Beranda blog Halaman 367

Tafsir Surah Yunus Ayat 35-36

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 35-36 berbicara mengenai penegasan Allah Swt bahwa hanya Dialah yang Maha memberi hidayah kepada manusia. Bukan berhala-berhala yang disembah orang kafir. Pembicaraan kali ini diakhiri dengan penegasan kebenaran tauhid.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 32-34


Ayat 35

Selanjutnya Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw untuk mengemukakan pertanyaan kepada mereka bahwa adakah di antara tuhan-tuhan yang mereka sekutukan dengan Allah itu dapat memberikan petunjuk kepada jalan yang benar seperti yang diterima oleh hamba-hamba-Nya yang beriman?

Allah menegaskan bahwa Allah-lah yang memberikan petunjuk atau hidayah dalam arti taufik. Firman Allah:

قَالَ رَبُّنَا الَّذِيْٓ اَعْطٰى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهٗ ثُمَّ هَدٰى

Dia (Musa) menjawab, ”Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” (Taha/20: 50)

Setelah orang musyrikin tidak mampu memberikan jawaban karena tidak ada seorang pun di antara mereka yang merasa dirinya mendapat petunjuk dari tuhan-tuhan yang mereka persekutukan dengan Allah, baik petunjuk yang harus diterima sebagai seorang makhluk ataupun agama yang mereka terima sebagai bimbingan hukum, maka Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw untuk menjawab bahwa Allah-lah Yang memberikan petunjuk kepada kebenaran.

Baik petunjuk yang diberikan melalui utusan, petunjuk yang diberikan melalui kitab-kitab-Nya, petunjuk yang didapat oleh manusia karena diperintahkan oleh Allah untuk merenungi yang demikian dan memikirkan kejadian alam maupun petunjuk yang diberikan Allah melalui pancaindra.

Allah memerintahkan kepada Nabi saw, agar menanyakan kepada mereka, “Manakah yang lebih berhak untuk diikuti apakah Zat Yang memberikan petunjuk kepada kebenaran ataukah berhala-berhala yang tidak dapat memberikan petunjuk sedikit pun kepada mereka bahkan tidak dapat mengetahui dirinya sendiri.”

Mengapa mereka menerima pilihan serupa itu. Kalaulah mereka mau menggunakan akal dan pikiran tentulah mereka akan memilih Zat Yang memberikan petunjuk kepada mereka, yaitu Allah. Karena tuhan-tuhan yang lain tidak dapat memberikan petunjuk apapun.

Allah mencela perbuatan mereka dengan menanyakan apakah gerangan yang menimpa mereka, sehingga mereka menjadikan berhala-berhala itu sebagai perantara yang dapat menyampaikan ibadah mereka kepada Allah, padahal berhala-berhala itu bukanlah tuhan yang menciptakan, dan bukan yang memberi rezeki serta bukan pula tuhan yang memberi petunjuk.

Maka mengapa mereka mengambil keputusan yang tidak adil yaitu menganggap tuhan-tuhan yang mereka persekutukan itu, sebagai Tuhan Yang berhak disembah, berhak dimintai pertolongan tanpa izin dari Zat Yang menciptakan. Dari sisi ini tampaklah kesesatan orang-orang musyrikin itu dan kesalahan tindakan mereka.


Baca juga: Memahami Kata Kafir dalam Al Quran


Ayat 36

Berikutnya ayat ini mengemukakan beberapa alasan yang menunjukkan kebenaran agama tauhid dan kesesatan keyakinan orang musyrikin, yaitu kebanyakan dari mereka yang mempersekutukan Allah dengan tuhan-tuhan yang lain, memusuhi Rasulullah saw dan mendustakan hari kebangkitan.

Anggapan serupa itu bukanlah keyakinan yang benar, akan tetapi dugaan yang dilandasi taklid buta kepada nenek moyang mereka karena mereka menduga bahwa apa yang baik menurut nenek moyang mereka, adalah baik buat mereka, padahal yang dilakukan oleh nenek moyang mereka adalah sesat.

Di sisi lain, ada segolongan kecil dari mereka yang mengetahui bahwa agama yang dibawa oleh Rasulullah saw itulah agama yang benar, dan berhala-berhala yang mereka sembah tidak dapat memberi pengaruh apa-apa kepada mereka.

Akan tetapi karena hati mereka dikotori oleh kemusyrikan, dan sikap mereka yang sombong dan ingkar terhadap kerasulan Muhammad serta perasaan mereka yang takut apabila kepemimpinan mereka hilang, maka mereka tetap bertaklid buta kepada nenek moyang mereka yang bergelimang dalam kemusyrikan.

Kemudian Allah menerangkan bagaimana keadaan yang sebenarnya dari orang-orang yang mendasarkan keyakinannya kepada dugaan itu, bahwa sesungguhnya persangkaan itu sedikitpun tidak berguna untuk mencapai kebenaran.

Dugaan-dugaan itu tidak dapat disamakan dengan keyakinan, dan keyakinan tidak bisa terjadi kecuali apabila didasarkan kepada sesuatu yang benar yaitu kepada yang telah mantap, yang tidak dapat diragukan lagi kebenarannya.

Di akhir ayat Allah menegaskan bahwa Allah Maha Mengetahui apa saja yang mereka lakukan, baik perbuatan yang didasarkan kepada kepercayaan yang belum pasti kebenarannya, ataupun amal perbuatan yang didasarkan kepada yang telah pasti kebenarannya. Dia-lah yang mengetahui perbuatan-perbuatan mereka, dan memberikan balasan sesuai dengan perbuatan mereka.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 37-39


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Ahkam: Dalil Adanya Keluarga Sepersusuan (Radha’) dan Konsekuensi Hukum Atasnya

0
dalil adanya keluarga sepersusuan
dalil adanya keluarga sepersusuan

Kriteria anggota keluarga dalam Islam tidaklah selalu sama dengan yang dipahami masyarakat umum. Dalam Islam, seorang ibu tidaklah selalu orang yang melahirkan atau yang menjadi pasangan ayah kita. Seorang ibu bisa jadi adalah orang yang tidak melahirkan kita dan bukan pula pasangan ayah kita, namun pernah menyusui kita tatkala kecil atau lazimnya disebut ibu persusuan. Berikut keterangan Al-Qur’an tentang keberadaan keluarga sepersusuan atau dalam istilah Islam disebut saudara radha’.

Kejelasan status seseorang sebagai anggota keluarga amat penting dalam Islam. Hal ini berkaitan dengan adanya hukum seperti batalnya wudhu seseorang saat menyentuh lawan jenis selain mahram, haramnya menikahi seseorang yang berstatus mahram, juga guna menentukan siapa saja yang berhak menerima warisan dalam sebuah keluarga. Oleh karena itu, besar sekali perhatian Islam perihal nasab.

Baca Juga: Keluarga Ideal Menurut al-Quran dan Perannya Demi Keutuhan Bangsa

Ibu Dan Saudara Sepersusuan

Keberadaan keluarga sepersusuan ditunjukkan oleh firman Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 23:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ

Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan (QS. An-Nisa’ [4] 23).

Imam Ibn Katsir di dalam tafsirnya menyatakan, ayat di atas menunjukkan bahwa sebagaimana diharamkan atas kita menikahi ibu yang melahirkan kita, begitu juga diharamkan bagi kita menikahi ibu susu kita. Dari sini muncul dua kategori seorang ibu, yaitu ibu yang melahirkan, dan ibu yang menyusui (Tafsir Ibn Katsir/2/248).

Menurut keterangan Imam Ar-Razi yang mengutip dari Imam Al-Wahidi, ibu persusuan diistilahkan dengan “ibu” sebagai bentuk pemuliaan terhadap orang yang menyusui kita. Hal ini sebagaimana yang berlaku pada istri-istri Nabi Muhammad yang diistilahkan sebagai para ibu kaum muslim. Hal ini disinggung oleh Allah dalam Surat Al-Ahzab ayat 6 (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/136).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Benarkah Bersentuhan dengan Lawan Jenis itu Membatalkan Wudhu?

Imam As-Syafi’i di dalam tafsirnya menyatakan, ayat di atas memberikan kita dua kemungkinan pemahaman. Pertama, keharaman sebab persusuan hanya terbatas pada ibu dan saudari perempuan. Hal ini dikarenakan hanya dua jenis ini yang disinggung oleh Al-Qur’an. Kedua, keharaman sebab persusuan mencakup semua orang yang masih satu nasab dengan si ibu. Dan kemungkinan kedua inilah yang dipilih Imam As-Syafi’i berdasar qiyas dari Al-Qur’an dan keterangan dari hadis Nabi (Tafsir Imam As-Syafi’i/2/568).

Hadis yang dimaksud oleh Imam As-Syafi’i dan juga dijadikan dasar oleh ulama’ lain dalam menentukan mana yang termasuk keluarga sepersusuan, adalah hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisyah dan berbunyi:

“إِنَّ الرَّضَاعَةَ تَحْرُمُ مَا تَحْرُمُ الْوِلَادَةُ”

Sesungguhnya persusuan membuat haram apa yang diharamkan sebab melahirkan (HR. Imam Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat lain disebutkan:

“يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ”

Diharamkan sebab persusuan apa yang diharamkan sebab nasab (HR. Imam Muslim).

Berdasar ayat serta hadis di atas, dapat diketahui bahwa ada empat kategori keluarga sepersusuan, atau orang-orang yang haram dinikah sebab persusuan, yaitu ibu yang menyusui dan saudara sepersusuan. Dua kategori awal ini berdasar pada redaksi ayat di atas. Selain keduanya ada lagi yaitu bibi dari pihak ibu atau ayah serta keponakan baik dari saudara laki-laki maupun perempuan. Untuk dua kategori yang terakhir berdasar pada dua hadis di atas (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah/2/7848).

Berdasar pada hadis di atas ini pula, diketahui bahwa ada konsekuensi hukum lain yang dibawa oleh keluarga atau saudara sepersusuan selain nikah, seperti tidak batalnya wudhu seseorang ketika bersentuhan kulit saudara sepersusuannya, dan juga hal lainnya.

Uraian di atas menunjukkan kepada kita tentang dipertimbangkannya keluarga sepersusuan di dalam Islam. Dan hal ini berdampak bahwa kriteria orang yang haram dinikah tidaklah terbatas pada keluarga yang melahirkan kita, namun juga keluarga ibu yang pernah menyusui kita meski tidak melahirkan kita. Mengenai bagaimana syarat-syarat kategori ‘menyusui’ yang bisa menyebabkan ‘sepersusuan’ dapat dipelajari dalam kitab-kitab fikih yang mendetail yang membahas permasalahan ini.

Fakta keberadaan keluarga persusuan ini penting untuk diperhatikan agar kita tidak secara sembrono membiarkan orang lain menyusui anak kita. Sebab nantinya pernikahan anak kita dengan anak orang yang pernah menyusui anak kita adalah pernikahan yang dilarang agama dan dapat berujung pada perzinahan. Wallahu a’lam bishshowab

Tafsir Ahkam: Bagaimana Merespon Bantuan Non-Muslim dalam Proses Pembangunan Masjid?

0
proses pembangunan masjid
proses pembangunan masjid

Dalam konteks Indonesia yang sangat plural, relasi antarumat beragama di Indonesia telah menjadi sebuah ikatan relasi yang saling menghargai dan toleran antarmereka. Konstruksi relasi yang baik tersebut, dalam beberapa tempat menyebabkan masyarakat non-muslim saling bantu-membantu dengan masyarakat muslim, salah satunya dalam hal pembangunan tempat ibadah. Terdapat beberapa saudara non-muslim yang ikut serta berpartisipasi, baik dalam segi materi maupun yang lainnya dalam proses pembangunan masjid.

Masjid merupakan tempat ibadah umat Islam yang telah menjadi simbol bangunan yang disucikan. Berdasarkan fakta tersebut, terdapat beberapa pandangan ulama yang membatasi interaksi non-muslim terhadap masjid. Salah satu argumentasi dalil yang digunakan dalam membatasi interaksi non-muslim tersebut adalah QS. al-Taubah [9]: 17. Jika demikian, lantas bagaimana penafsiran para ulama terhadap ayat tersebut?

Baca Juga: Pembangunan Masjid dan Keberagaman Umat: Refleksi Surat Al-Hujurat Ayat 13

Penafsiran Ulama Terhadap QS. al-Taubah [9]: 17

Sebelum menuju penafsiran ayat, terlebih dahulu penulis menyampaikan teks QS. al-Taubah [9] ayat 17, sebagai berikut:

مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِيْنَ اَنْ يَّعْمُرُوْا مَسٰجِدَ اللّٰهِ شٰهِدِيْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِۗ اُولٰۤىِٕكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْۚ وَ فِى النَّارِ هُمْ خٰلِدُوْنَ – ١٧

“Tidaklah pantas orang-orang musyrik memakmurkan masjid Allah, padahal mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Mereka itu sia-sia amalnya, dan mereka kekal di dalam neraka”

Terkait sebab turunya ayat tersebut, ِAbu Al-Hasan Ali Ibn Ahmad Al-Wahidi dalam karyanya, Asbab Nuzul al-Qur’an memaparkan sebuah riwayat yang menceritakan bahwa pada saat al-Abbas ibn Abd al-Muthalib menjadi tawanan perang Badar, para kaum muslim mencelanya akibat kekufuranya dan karena ia memutus silaturrahim. Hal yang demikian juga dilakukan oleh Ali ibn Abi Thalib. Mendapat tekanan dari para kaum muslim tersebut, al-Abbas kemudian berkata: “mengapa kalian hanya menyebut keburukan kami dan tidak menyebut kebaikan kami?”

Mendapat pertanyaan tersebut, Ali kemudian berbalik bertanya, “apakah dirimu memiliki kebaikan?”. al-Abbas lalu menjawab “ya, sesungguhnya kami telah memakmurkan Masjidil Haram, menutup Ka’bah, memberi minum orang-orang yang haji, dan membebaskan tawanan”. Maka Allah kemudian menurunkan ayat tersebut guna menolak jawaban dari al-Abbas tersebut.

Muhammad Ali al-Shabuni dalam karya monumentalnya yaitu Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, ketika menafsirkan term “an ya’muru masajid”, ia membagi bentuk pemakmuran masjid menjadi dua, yaitu: pertama, pemakmuran masjid yang bersifat dzahir atau bisa ditangkap oleh panca indera, seperti mendirikan bangunan, merenovasi, dan perbaikan-perbaikan terhadap bentuk fisik masjid (al-’imarah al-hissiyah). Kedua, bentuk pemakmuran masjid yang bersifat bathin, seperti pelaksanaan shalat, dzikir, do’a, dan ibadah-ibadah lain yang dilakukan di Masjid (al-imarah al-ma’nawiyah).

Dalam konteks ayat ini, Muhammad al-Husain ibn Mas’ud al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil berpendapat bahwa larangan pemakmuran (al-’imarah) yang dimaksud dalam ayat tersebut lebih dalam bentuk larangan pemakmuran masjid secara dzahir, seperti membangun, menjaga, dan merenovasi bangunan fisik masjid.

Kemudian, dalam aspek qira’at, Ibnu Abbas, Sa’id ibn Jubair, Atha’ ibn Abi Rabah, Mujahid, Ibnu Katsir, Abu Umar, Ibnu Muhaishin, dan Ya’qub berpendapat bahwa yang dimaksud dalam term “masajid Allah” hanya terbatas untuk Masjidil Haram. Hal ini dikarenakan mereka membaca teks tersebut dengan bentuk tunggal (مسجد الله).

 Lain halnya dengan Abu Ubaidah, ia membaca teks tersebut dengan bentuk plural (مساجد الله), sehingga larangan pemakmuran non-muslim tersebut mencakup seluruh masjid dan tidak terbatas hanya Masjidil Haram. Ali al-Shabuni menilai bahwa qira’at yang kedua lebih banyak digunakan oleh jumhur ulama.

Baca Juga: Tafsir Surat at-Taubah Ayat 107: Mengenal Masjid Dhirar dan Sikap Nabi Terhadapnya

Bolehkah kita Menerima Sumbangan Dana Pembangunan Masjid dari Non-Muslim?

Menjawab pertanyaan tersebut, Muhammad Ali al-Shabuni dalam karya monumentalnya yaitu Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, menjelaskan dua pendapat yang berbeda.

Pertama, pendapat sebagian ulama tidak membolehkan umat non-muslim ikut serta dalam memakmurkan masjid, baik dalam bentuk bantuan sumbangan materi ataupun non-materi, karena hal tersebut masuk dari kategori pemakmuran masjid secara hissiyah. Sedangkan hal tersebut dilarang oleh Allah berdasarkan dalil QS. al-Taubah [9]: 17.

Kedua, berbeda dengan pendapat pertama, mayoritas ulama justru membolehkan partisipasi pihak non-muslim dalam proses pembangunan masjid, selama partisipasi tersebut tidak menjadikan pihak non-muslim sebagai penguasa dari masjid tersebut, sebagaimana dalam kutipan berikut:

وَأَمَّا اِسْتِخْدَامُ الْكَافِرِ فِيْ عَمَلٍ لَا وِلَايَةَ فِيْهِ، كَنَحْتِ الحِجَارَةِ وَالبِنَاءِ وَالنِّجَارَةِ، فَلَا يَظْهَرُ دُخُوْلُهُ فِيْ الْمَنْعِ، وَهَذَا قَوْلُ جُمْهُوْرِ العُلَمَاءِ

“Adapun terkait bantuan orang kafir dalam perbuatan (pembangunan masjid) yang dimana mereka tidak memiliki kekuasaan terhadap masjid tersebut, seperti memahat batu, membangun, dan menukangi. Maka perbuatan yang demikian tidak masuk dalam kategori pelarangan (sebagaimana yang disampaikan ayat di atas). Pandapat yang demikian merupakan pendapat dari mayoritas ulama”

Baca Juga: Inilah Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab

Pendapat yang disampaikan Ali al-Shabuni tersebut juga diamini oleh Wahbah az-Zuhaili, sebagaimana ia sampaikan dalam karyanya al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj. Menurut az-Zuhaili, letak pelarangan partisipasi non-muslim dalam pemakmuran masjid adalah apabila partisipasi tersebut menjadikan non-muslim sebagai pemilik otoritas kekuasaan penuh yang dapat menentukan maslahat tidaknya masjid. Seperti otoritas dalam menunjuk pengawas masjid dan pengawas wakaf masjid.

Namun, apabila hanya sebatas membantu dan tidak ada kepentingan untuk membuat kemudharatan terhadap masjid tersebut, maka partisipasi yang dalam bentuk demikian dibolehkan, sebagaimana disampaikan az-Zuhaili dalam kutipan berikut:

وَلَا مَانِعَ أَيْضًا مِنْ قِيَامِ الْكَافِرِ بِبِنَاءِ الْمَسْجِدِ أَوْ الْمُسَاهَمَةِ فِيْ نَفَقَاتِهِ، بِشَرْطٍ أَلَّا يُتَّخَذَ أَدَاةٌ لِلضَّرَرِ، وَإِلَّا كَانَ حِيْنَئِذٍ كَمَسْجِدِ الضِّرَارِ

“Dan tidak ada larangan bagi orang kafir untuk membangun masjid ataupun ikut berpartisipasi dalam pendanaan pembangunan masjid. Dengan syarat hal tersebut tidak dijadikan sebagai sarana untuk menimbulkan kemudharatan. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka masjid tersebut sama halnya dengan masjid dhirar

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pihak non-muslim diperbolehkan menyumbangkan sebagian harta mereka dalam proses pembangunan atau pemakmuran masjid, dengan syarat sumbangan tersebut bersifat sukarela dan tidak ada kepentingan untuk menguasai masjid. Dimana dengan penguasaan tersebut dapat mendatangkan kemudharatan yang dapat mengganggu kemaslahatan masjid. Jika syarat-syarat tersebut telah terpenuhi maka pihak muslim boleh menerima sumbangan tersebut. Wallahu A’lam

Tafsir Ayat Syifa: Al-Quran sebagai Obat Penyakit Hati Manusia

0
Al-Quran sebagai Obat Penyakit Hati
Al-Quran sebagai Obat Penyakit Hati

Sebagaimana kita ketahui bersama, jenis penyakit ada dua, yaitu penyakit lahiriah dan batiniyah. Penyakit lahiriah adalah jenis penyakit yang menyerang fisik manusia, seperti stroke, kanker, diabetes, dan semacamnya. Adapun penyakit batiniyah adalah penyakit yang menyerang hati manusia alias penyakit hati, seperti iri hati, dengki, sombong, riya’, munafik, provokasi, dan sebagainya, hal ini bisa disebut dengan penyakit hati manusia.

Karenanya, Islam mengatur mekanisme kesehatan yang baik kepada manusia melalui konsep syifa yang terkandung dalam Al-Quran. Salah satu konsep itu telah disitir oleh-Nya dalam Q.S. Yunus [10]: 57 yang berfungsi untuk menyembuhkan penyakit hati manusia sebagai berikut,

اَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَاۤءٌ لِّمَا فِى الصُّدُوْرِۙ وَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ

Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman. (Q.S. Yunus [10]: 57)

Tafsir Surat Yunus Ayat 57

Al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan membagi penafsiran ayat di atas ke dalam tiga redaksi. Pertama, redaksi ya ayyuhan nas qad jaatkum mauidzatun min rabbikum. Redaksi ini ditafsiri al-Tabari sebagai satu bentuk warning bagi penduduk kafir Quraisy Makkah agar mereka mempertegas keimanannya dan kembali kepada-Nya.

Dalam tafsirnya, al-Tabari melampirkan statement-nya,

من عند ربكم لم يختلقها محمد صلى الله عليه وسلم ولم يفتعلها أحد، فتقولوا: لا نأمن أن تكون لا صحة لها. وإنما يعني بذلك جلّ ثناؤه القرآن، وهو الموعظة من الله

“Barang siapa di sisi Tuhannya, lalu tidak mereka-reka kenabian Nabi Muhammad saw dan tidak berbuat (buruk) terhadap-Nya. Kata mereka (penduduk Mekah): Maka mereka tidak akan merasa aman dan menjadi sakit (alias tidak sehat). Demikianlah pengagungan terhadap Al-Quran dan termasuk mauidzah dari-Nya”.

Baca juga: Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Madinah

Pernyataan di atas bermakna bahwa kita diminta untuk mengakui dan mencintai yang haq (benar) dan membenci kebatilan. Maka tak heran, jika redaksi berikutnya berbunyi wa syifa-un lima fis shudur, artinya obat (penyembuh) bagi penyakit yang bersarang di dada manusia seperti kebodohan, kedengkian, iri hati, adu domba, provokasi, dan semacamnya.

Jadi, untuk dapat mencintai kebenaran dan membenci kebatilan, maka gunakanlah ramuan syifa ala Al-Quran. Ramuan itu ada tiga hal, yaitu mau’idzah (peringatan atau pesan Allah dalam Al-Quran supaya direnungi dan ditadabburi), syifa (penyembuh untuk penyakit hati, seperti iri hati, dengki, dst), hudan (petunjuk Al-Quran tentang halal-haram, taat-maksiat, baik-buruk), dan rahmat (Allah pasti merahmati umat Islam dan menjauhkannya dari kekufuran. Demikian tafsiran al-Tabari.

Tidak jauh berbeda, Ibnu Katsir sependapat dengan al-Tabari terkait makna syifa bahwa Al-Quran adalah penyembuh kebimbangan dan keraguan serta penghapus penyakit hati manusia. Sedangkan, penafsiran senada juga dituturkan Ibnu Ajibah dalam al-Bahr al-Madid bahwa wa syifa-un lima fis shudur bermakna al-haqqu jalla jalaluhu al-syakku wa al-jahlu (mengagungkan kebenaran, dan menjauhkan keraguan dan kebodohan).

Masih menurut Ibnu Ajibah, hudan wa rahmatun lil mu’minina di sini ialah hidayah dan cahaya Allah swt dalam batin mukmin (hidayatun fi bawathinihim bi anwari al-tahqiq) serta rahmat Allah yang terkandung dalam setiap ibadah beserta adab yang dikerjakan kaum mukmin (rahmatun fi dzawahirihim bi adabi al-tasyri’). Lebih jauh, Az-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyaf menafsirkan ayat di atas bahwa sesungguhnya di dalam kitab Al-Quran berisi mau’idzah (nasihat) dan memperteguh keesaan Allah swt (tanbihun ala al-tauhid).

Baca juga: Mengenal Kitab Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir Karya Syekh Ali Ash-Shabuni

Syifa adalah obat, kata al-Zamaksyari, obat untuk menyembuhkan endapan najis dan kotor dalam dada manusia serta memulihkan kepada kebenaran. Rahmat di sini olehnya dimaknai rasa aman bagi kaum mukmin. Dalam tafsir yang lain, sebut saja al-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain, wa syifa-un lima fis shudhur bermakna obat atau penyembuh akidah yang rusak dan keraguan (al-‘aqidah al-fasidah wa al-syukuki). Adapun hudan adalah petunjuk dari kesesatan.

Tidak mau kalah, al-Qurtuby juga urun rembug terkait tafsiran syifa di atas yakni obat bagi penyakit hati manusia seperti keraguan (syakk), munafik (nifaq), kesalahan (khilaf), dan perselisihan (syiqaq). Selanjutnya, kalima hudan ia tafsiri dengan rasyidan liman ittaba’ahu (petunjuk bagi mereka yang mengikuti Al-Quran). Serta rahmat bermakna nikmat.

Mufasir kenamaan asal Granada, Spanyol sekaligus salah satu rujukan kelompok Aswaja, yaitu Ibnu Atiyyah. Dalam tafsirnya, al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz, ia menjelaskan bahwa khitab ayat di atas berlaku semua manusia (hadza ayatun khithabun biha jami’i al-‘alam). Al-Quran sebagai mauidzah yang berisi ajakan untuk berbuat ma’ruf dan menjauhi yang bathil.

Ibnu Atiyyah juga mengajak manusia merenung akan penyakit hati yang kapanpun siap menjangkiti manusia, seperti kebodohan dan segala perbuatan yang melemahkan iman. Terkait makna hudan wa rahmatun, tampaknya Ibnu Atiyyah lebih memerinci perbedaan penafsiran di antara para ulama. Ibnu Abbas dan Abu Sa’id al-Khudri misalnya, kata rahmat dimaknai al-fadhl (keutamaan), Islam, dan Al-Quran. Begitu pula Yazid bin Aslam, dan al-Dhahhak memaknai serupa dengan mereka.

Al-Quran sebagai Obat bagi Penyakit Hati Manusia

Sebaik-baik obat ialah Al-Quran. Seluruh ayat Al-Quran mengandung syifa’. Apa saja mampu diobati oleh Al-Quran. Dalam artian, Al-Quran memberi petunjuk kepada manusia khususnya umat Islam bahwa segala penyakit baik penyakit lahiriah maupun batiniyah mampu diobati dengan Al-Quran.

Baca juga: Periode Pewahyuan surah Al-Qur’an Menurut Theodor Nöldeke

Kita tentu mafhum, dengan beragamnya resepsi terhadap Al-Quran di kalangan masyarakat kita seperti pembacaan hizib, wiridan ayat-ayat tertentu, ijazahan. Semua itu menguatkan Al-Quran selain berfungsi sebagai hudan (petunjuk), akan tetapi juga syifa (obat) sebagaimana penjelasan artikel terdahulu.

Syekh Ibrahim al-Khawash sebagaimana dikutip oleh al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyah memberikan mekanisme bagaimana obat hati (seperti nifaq, iri hati, dengki, hasud, adu domba, fitnah, dst) bekerja. Berikut ungkapannya,

ومن كلامه أيضا دواء القلب خمسة أشياء: قراءة القرآن بالتدبر، وخلاء البطن، وقيام الليل؛ والتضرع عند السَحر، ومجالسة الصالحين ذكره القشيري في الرسالة

“Salah satu kalam al-Khawash ialah Ia menyatakan bahwa obat hati terdiri atas lima hal, yaitu (1) membaca Al-Quran disertai kontemplasi, (2) mengatur perut (pola makan dan pola hidup sehat) agar tidak kekenyangan sehingga menyuburkan nafsu syahwat, (3) mendirikan ibadah malam (shalat tahajjud, shalat hajat, berdzikir, atau amalan lainnya, (4) menghinakan diri dihadapan Allah di sepertiga malam, (5) berkumpul dengan orang-orang shalih. Demikilah yang termaktub dalam Risalah al-Qusyairiyah”.

Pernyataan di atas adalah syarah atas kata syifa di atas. Dengan demikian, tatkala kelima hal tersebut kita jalankan dengan baik dan penuh kesadaran diri (self-awareness), maka bukan tidak mungkin segala penyakit enggan menjangkiti manusia, termasuk wabah Covid-19. Sungguhpun demikian, semua hal tersebut harus kita sandarkan kepada Allah swt. Karena Allah swt lah sejatinya Yang Maha Menyembuhkan. La haula wa la quwwata illa billah. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Yunus Ayat 32-34

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 32-34 melanjutkan pembahasan sebelumnya, yakni berbicara mengenai anugerah dan kekuasaan Allah. Di awal disinggung mengenai zat yang Maha Menghidupkan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 31


Selanjutnya, Tafsir Surah Yunus Ayat 32-34 berbicara mengenai ancaman terhadap orang yang fasiq. Dan terakhir berbicara mengenai penegasan kekuasan Allah yang mampu menghidupkan sesuatu yag telah mati.

Ayat 32

Kemudian ayat ini mengisyaratkan kepada orang-orang musyrikin Mekah bahwa Zat yang mempunyai sifat-sifat yang telah disebutkan terdahulu ialah Allah Yang memelihara mereka, Dialah Tuhan Yang Hak, Yang Hidup dan menghidupkan.

Dan Dialah Yang berhak untuk disembah. Dan Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar menyatakan kepada mereka bahwa tidak ada Tuhan yang mengurus segala urusan di dunia ini selain Allah.

Allah menyalahkan perbuatan mereka dan meminta pertanggungjawaban mengapa mereka menyeleweng dari agama yang benar yaitu agama tauhid kepada sesuatu yang batil, seolah-olah mereka itu lari dari petunjuk Allah dan mencari jalan yang sesat, padahal mereka mengetahui bukti-bukti kebenaran adanya Allah Tuhan Yang sebenarnya.

Apabila mereka telah mengetahui bukti-bukti adanya Allah Pencipta alam maka seharusnya mereka tidak mau menyembah tuhan-tuhan yang lain. Sebab apabila terjadi demikian, berarti pengakuan mereka berbeda dengan perbuatan, dan apa yang terbetik dalam hati mereka tidak sesuai dengan apa yang mereka kerjakan.

Bagi siapa yang bersikap menghambakan dirinya kepada Allah berarti mereka telah menempuh jalan yang benar dan mendapat petunjuk-Nya, karena mereka menyembah Tuhan yang benar.

Tetapi orang-orang yang menyembah tuhan-tuhan selain Allah, mereka itulah orang-orang yang sesat, karena mereka menyembah tuhan yang tidak berhak disembah yang mereka anggap sebagai perantara. Setiap orang yang menyembah tuhan-tuhan selain Allah adalah orang-orang musyrik dan bergelimang dalam kebatilan serta terjerumus dalam lembah kesesatan.

Ayat 33

Allah memberikan ancaman kepada orang-orang yang fasik, dengan ancaman yang tidak dapat diubah lagi karena mereka tidak mau beriman kepada agama yang diserukan oleh Rasul yaitu agama tauhid dan meninggalkan pemujaan berhala.

Mereka yang tidak mau percaya kepada agama tauhid bukan karena terpaksa, akan tetapi atas dasar kemauan dan ikhtiar mereka sendiri karena mereka tidak mempunyai pandangan yang benar yang dapat melepaskan diri mereka dari belenggu kemusyrikan.

Itulah sebabnya mengapa jiwa mereka tidak bisa diarahkan kepada pegangan yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang batil. Mereka telah jauh tenggelam dalam kekafiran, sedang mereka sediri terlalu fanatik kepada kepercayaan nenek moyang mereka. Firman Allah:

اِنَّ الَّذِيْنَ حَقَّتْ عَلَيْهِمْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ   ٩٦  وَلَوْ جَاۤءَتْهُمْ كُلُّ اٰيَةٍ حَتّٰى يَرَوُا الْعَذَابَ الْاَلِيْمَ   ٩٧

Sungguh, orang-orang yang telah dipastikan mendapat ketetapan Tuhanmu, tidaklah akan beriman, meskipun mereka mendapat tanda-tanda (kebesaran Allah), hingga mereka menyaksikan azab yang pedih. (Yµnus/10: 96-97)


Baca juga: Tafsir Surat al-Mulk Ayat 25-27: Balasan Bagi yang Ingkar Terhadap Ancaman Allah


Ayat 34

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk menanyakan kepada mereka bahwa adakah satu di antara tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah, seperti berhala, roh nenek moyang, binatang-binatang, planet-planet, malaikat, dan jin, yang berkuasa menciptakan makhluk, kemudian menghidupkan kembali sesudah makhluk-makhluk itu mati? Sudah tentu mereka tidak akan dapat menjawab.

Hal ini karena mereka mengingkari terjadinya hari kebangkitan, hari mereka dihidupkan kembali dari alam kubur.

Sesudah itu Allah memberikan jawaban dengan perantaraan rasul-Nya, bahwa yang berkuasa untuk memulai kehidupan hanyalah Allah dan Dia Yang Berkuasa untuk memulai kehidupan atau mengembalikannya seperti keadaannya semula.

Namun, mereka tetap tidak mau menerima agama yang benar, yaitu agama tauhid dan lebih memilih menyembah berhala dan patung-patung yang mereka lakukan karena kecenderungan jiwa mereka sendiri bukan karena terpaksa.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 35-36


(Tafsir Kemenag)

Vernakularisasi Al-Qur’an Terjemah Bahasa Aceh: Upaya Melestarikan Warisan Budaya Lokal  

0
Al-Qur’an Bahasa Aceh
Al-Qur’an Bahasa Aceh

Vernakularisasi adalah upaya pembahasaan lokal terhadap ajaran Islam (Al-Qur’an) yang diterjemahkan dan ditulis mengunakan bahasa dan aksara lokal, baik secara lisan maupun tulisan. Menurut tulisan Jajang A. Rohmana yang berjudul Kajian Al-Qur’an di Tataran Sunda: Sebuah Penulisan Awal, vernakularisasi Al-Qur’an berkembang di hampir seluruh kawasan Nusantara jauh sebelum abad ke-16. Misalnya daerah Jawa, Sunda, Aceh Madura, Bugis, Gorontalo dan lainnya.

Vernakularisasi dalam kajian Al-Qur’an yang dilakukan oleh ulama Nusantara paling tidak memiliki dua alasan, yaitu: Pertama, sebagai bentuk membumikan Al-Qur’an kepada masyarakat Muslim Indonesia yang notabenenya tidak paham bahasa Arab. Kedua, upaya melestarikan warisan budaya lokal, yaitu bahasa daerah.

Upaya membumikan Al-Qur’an melalui bahasa lokal juga terjadi di tanah rencong, Aceh. Yaitu dengan diterbitkannya Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, karya Tgk. Mahjiddin Jusuf yang ditulis pada tahun 1955 -1995, menggunakan bahasa Aceh dalam bentuk sajak.

Baca juga: Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Madinah

Di Dalam kata pengantarnya Tgk. Mahjiddin mengatakan bahwa dalam proses penerjemahann dia bukan sekedar memberikan informasi, tetapi juga berupaya mempengaruhi emosi pembaca, seperti berusaha mendekatkan makna dengan latar budaya dan lingkungan pembaca.

Seperti halnya ketika Tgk. Mahjiddin ketika menerjemahkan tentang pengusiran Adam dan Hawa dari syurga pada surat Al-‘Araf ayat 18, yaitu teubit laju kah keudeh hina ngon paleh hana meutuah. Terjemahan Tgk. Mahjiddin dalam memilih kata ia menggunakan diksi kah (bahasa kasar untuk kamu)  dan paleh (kurang ajar). Hal ini jika dibaca oleh orang yang memahami bahasa Aceh maka akan tergambar sangat jelas murka Allah kepada Adam dan Hawa.

Al-Qur’an Sesuai dengan Corak dan Budaya masyarakat

Pembendaharaan kata yang dipilih Tgk. Mahjiddin tidak terjadi mutlak dari hasil pemikirannya, melainkan hasil dari persepsi dan interpretasi terhadap latar sosioal budaya. Kemudian dalam karya yang berjudul Isthanti Al-Quran Pengenalan Studi Al-Qur’an Pendekatan Interdisipliner oleh Imam Musbikin, bahwa keterpengaruhan ini sangat wajar terjadi karena ketika Al-Qur’an disentuh dengan  budaya masyarakat tertentu, maka ia akan berubah bentuk sesuai dengan corak dan budaya masyarakat tersebut.

Ahmad Muzakki, dalam bukunya Konstribusi Semiotika dalam Memahani Bahasa Agama, juga mengatakan bahwa kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang kita maksud. Dan makna tidak dapat disusun di mana pun dalam pikiran manusia, karena makna adalah produk pengalaman. Kalau saja makna sudah diprogramkan dan disusun dalam pikiran manusia, maka mestinya orang akan menafsirkan Al-Qur’an dengan penafsiran yang sama pula. Namun, realitanya sekarang penafsiran dan terjemahan terhadap Al-Qur’an terus berkembang dengan berbagai bahasa dan corak.

Baca juga: Tips Agar Ikhlas dalam Berbuat Baik: Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 77

Dalam Al-Qur’an terjemahan bahasa Aceh ini pun, unsur budaya masyarakat Aceh ikut terserap dalam proses terjemahan, baik disadari atau pun tidak. Salah satu budaya masyarakat Aceh yang ikut terserap dalam terjemahan adalah budaya memuliakan tamu atau dalam bahasa Aceh adalah peumulia jamee. Berikut beberapa terjemahan yang memuat budaya memuliakan tamu:

Budaya Memuliakan Tamu dalam Al-Qur’an Terjemahan Bahasa Aceh

  1. Surat Yusuf Ayat 59

وَلَمَّا جَهَّزَهُم بِجَهَازِهِمْ قَالَ ٱئْتُونِى بِأَخٍ لَّكُم مِّنْ أَبِيكُمْ ۚ أَلَا تَرَوْنَ أَنِّىٓ أُوفِى ٱلْكَيْلَ وَأَنَا۠ خَيْرُ ٱلْمُنزِلِينَ

Dan tatkala Yusuf menyiapkan untuk mereka bahan makanannya, ia berkata: “Bawalah kepadaku saudaramu yang seayah dengan kamu (Bunyamin), tidakkah kamu melihat bahwa aku menyempurnakan sukatan dan aku adalah Sebaik-baik penerima tamu?

Al-Qur’an Terjemahan Bahasa Aceh:

Geubot khanduri teuma le bagah

Jamee nyan bandum geupeumulia

Yusuf kheun teuma narit sipatah

‘Oh tajak keunoe teuma beu taba

Chedara gata nyang saboh ayah

Takalon di lon cukop lonsukat

Lon bri ngon teumpat nyang got that leupah

Ayat di atas menceritakan tentang pembagian makanan yang diberikan oleh pemerintah Mesir kepada orang-orang yang membutuhkan makanan, karena pada saat itu Mesir sedang dilanda paceklik. Menurut Quraish Shihab, pada saat itu pembagian makanan lansung diawasi oleh Nabi Yusuf.

Dalam Al-Qur’an Terjemahan Republik Indonesia kata jahhaza diterjemahkan dengan dengan ‘menyiapkan bahan makan’, sedangkan Tgk. Mahjiddin menerjemahkannya dengan geubot khanduri. Geubot Khanduri adalah hidangan berbagai jenis makanan yang disuguhkan kepada tamu sebagai bentuk memuliakan tamu, biasanya hidangan tersebut disajikan menggunakan talam.

Baca juga: Tafsir Ayat Syifa: Inilah Khasiat Madu bagi Kesehatan Manusia

Diksi Jamee nyan bandum geupeumulia (semua tamu dimuliakan) semakin memperjelas bahwa hidangan yang diberikan bertujuan untuk memuliakan tamu, karena tradisi menjamu tamu dengan hidangan adalah perbuatan mulia bagi masyarakat Aceh. Bahkan dari mereka terkadang terlihat begitu sibuk mempersiapkan keperluan tamu karena tidak rela membuat para tamu menunggu lama. Hal ini menujukkan bahwa masyarakat Aceh ramah dan sangat memuliakan tamu.

  1. Surat Yusuf Ayat 31

فَلَمَّا سَمِعَتْ بِمَكْرِهِنَّ أَرْسَلَتْ إِلَيْهِنَّ وَأَعْتَدَتْ لَهُنَّ مُتَّكَـًٔا وَءَاتَتْ كُلَّ وَٰحِدَةٍ مِّنْهُنَّ سِكِّينًا وَقَالَتِ ٱخْرُجْ عَلَيْهِنَّ ۖ فَلَمَّا رَأَيْنَهُۥٓ أَكْبَرْنَهُۥ وَقَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَٰشَ لِلَّهِ مَا هَٰذَا بَشَرًا إِنْ هَٰذَآ إِلَّا مَلَكٌ كَرِيمٌ

Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian Dia berkata (kepada Yusuf): “Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka…

 Al-Qur’an Terjemahan Bahasa Aceh:

‘Oh ban jideungo narit awaknyan

Jimeuhoi yohnyan jilakee langkah

Ka jiseudia dum ngon boh kayee

Jimeutop malee jipeugot ilah

Jijok ngon sikin dum saboh sapo

Tujuan meuho hana jipeugah

Jikheun bak Yusuf jak teubiet siat

Tajak horomat jame troh langkah

 

Ayat 31 ini menceritakan tentang jamuan Zulaikha kepada wanita-wanita Mesir yang telah mengunjingnya. Ketika semua jamuan telah disediakan dihadapan wanita-wanita tersebut, Zulaikha memerintahkan Nabi Yusuf untuk keluar. Dalam Al-Qur’an Terjemahan Republik Indonesia kata ukhruj diterjemahkan dengan keluarlah dengan maksud untuk nampakkanlah diri kepada mereka. Sebagai mana penjelasan Quraish Shihab bahwa jamuan tersebut bertujuan untuk menunjukkan kepada wanita-wanita tersebut bahwa apa yang terjadi pada dirinya dapat pula terjadi pada diri mereka, yaitu terpesona dengan Nabi Yusuf. (Tafsir Al-Misbah, Jil.6, h. 445)

Tgk. Mahjiddin juga menerjemahkan ukhruj dengan keluar, tapi dengan maksud keluar untuk menghormati kedatangan para tamu (tajak horomat jame troh langkah). Hal ini karena dalam kehidupan masyarakat Aceh, kedatangan tamu akan disambut suka-cita oleh seluruh penghuni rumah. Para orang tua terkadang akan memanggil anak-anak mereka untuk sekedar menyalami para tamu sebagai bentuk sopan santun dan menghargai kedatangan tamu.

Hemat penulis, apa yang dilakukan oleh Tgk. Mahjiddin adalah bentuk penegasan identitas kultur dalam terjemahan Al-Qur’an. Selain itu, justru dengan mengadopsi budaya Aceh, nilai-nilai  Qur’ani dapat langsung berintegrasi dengan budaya lokal setempat. Wallahu ‘Alam

Tafsir Surah Yunus Ayat 31

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 31 berbicara mengenai empat hal. Pertama mengenai rezeki dan hujan sebagai pembawa berkah bagi kehidupan. Kedua mengenai anugerah penciptaan mata dan telinga.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 27-30


Ketiga mengenai kuasa Allah menghidupkan dan mematikan. Dan terakhir mengenai pengendalian Allah terhadap urusan semua makhluk. Empat hal dalam Tafsir Surah Yunus Ayat 31 tersebut intinya berbicara tentang anugerah dan kekuasaan Allah kepada manusia.

Ayat 31

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw, agar mengatakan kepada penduduk Mekah yang menentang kenabiannya, bahwa siapakah yang menurunkan rezeki dari langit dan siapa pula yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan di bumi yang beraneka macam untuk manusia ataupun binatang ternak mereka?

Pernyataan ini dimaksudkan agar orang-orang musyrikin Mekah itu menyadari diri mereka sendiri dan ingat bahwa berhala-berhala itu sama sekali tidak sanggup menurunkan hujan dan yang menurunkan hujan itu hanyalah Allah.

Selanjutnya Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk menanyakan kepada mereka bahwa siapakah yang kuasa menciptakan telinga sebagai alat pendengaran dan mata sebagai alat penglihatan mereka, sehingga dengan kedua indra itu, mereka dapat mengenal alam semesta dengan fenomenanya.

Dengan telinga manusia dapat mendengar tutur kata orang lain dan dengan perantaraannya pula dapat menerima ilmu pengetahuan dan memperoleh pengalaman. Demikian pula dengan penglihatannya, manusia dapat melihat keindahan alam dan dapat menerima isyarat-isyarat yang dapat menuntun pikirannya untuk mengetahui siapa pencipta alam semesta.

Tanpa kedua indra ini, manusia tidak dapat mengetahui dengan sempurna keadaan alam dunia. Dua indra ini disebutkan dalam dua ayat ini karena kedua indera itulah yang menjadi alat untuk menerima ilmu pengetahuan, sehingga manusia mempunyai derajat lebih tinggi dari hewan. Sebab, meskipun hewan mempunyai pendengaran dan penglihatan, tetapi hewan tidak diberi akal oleh Allah, sehingga binatang itu tidak dapat menerima ilmu pengetahuan kecuali sekedar insting kebinatangan.

Apabila manusia suka merenungkan siapa yang menciptakan kedua indera itu tentulah ia tidak akan ragu, bahkan tanpa berpikir panjang mereka dapat menemukan jawabannya. Apabila mereka menemukan jawabannya, tentulah mereka akan mensyukuri nikmat Allah serta akan beriman dengan iman yang sebenar-benarnya dengan mengakui bahwa tiada tuhan yang lain kecuali Zat Yang Berkuasa Yang menciptakan panca indera itu.

Selanjutnya Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk menanyakan kepada orang-orang musyrik bahwa siapakah yang berkuasa menghidupkan dan mematikan, dan siapa yang menciptakan benda hidup dari benda mati dan menciptakan benda mati dari benda hidup?

Pertanyaan ini sengaja ditanyakan untuk menumbuhkan kesadaran mereka, bahwa hanya Allah-lah yang menciptakan tumbuh-tumbuhan dari bumi yang mati, setelah bumi itu diberi kehidupan oleh Allah dengan menurunkan air hujan, firman Allah:

اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ اَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَسَلَكَهٗ يَنَابِيْعَ فِى الْاَرْضِ ثُمَّ يُخْرِجُ بِهٖ زَرْعًا مُّخْتَلِفًا اَلْوَانُهٗ

Apakah engkau tidak memperhatikan, bahwa Allah menurunkan air dari langit, lalu diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi, kemudian dengan air itu ditumbuhkan-Nya tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya. (az-Zumar/39: 21)

Tanda-tanda kehidupan pada setiap makhluk berbeda-beda. Tanda kehidupan pada tumbuh-tumbuhan ialah tumbuh-tumbuhan itu dapat terus tumbuh, berkembang, dan membesar, sedang tanda kehidupan bagi binatang ialah bergerak dan bernafas. Tanda kehidupan serupa itu mudah dipahami dan diterima oleh akal manusia.

Tetapi bagaimanakah tanda-tanda kehidupan dari biji-bijian, baik biji-bijian tunggal ataupun berkeping dua, atau tumbuh-tumbuhan spora, dan bagaimana pula kehidupan pada ovum dan sperma, baik dari binatang dan manusia. Hal ini adalah suatu tanda yang sukar dibayangkan dan dianalisa oleh manusia.

Oleh sebab itulah, Allah memberikan tamsil yang mudah dipahami yaitu mengeluarkan benda hidup dari benda mati dan sebaliknya bagaimana mengeluarkan benda mati dari benda hidup untuk menyatakan kekuasaan Allah menciptakan segala benda mati ataupun benda hidup dengan kekuasaan-Nya.


Baca juga: Musim Hujan Tiba, Inilah 2 Fungsi Hujan dalam Al-Quran


Apabila seseorang mau meneliti asal mula kejadian biji-bijian, spora, ovum, dan sperma serta segala macam asal kehidupan, maka mereka akan sampai pada kesimpulan bahwa asal mula kehidupan makhluk yang ada di bumi berasal dari benda mati.

Sudah tentu pendapat ini berlawanan dengan pendapat para ahli biologi yang mengatakan bahwa segala jenis yang hidup tidak akan timbul kecuali dari yang hidup.

Memang pendapat ini kelihatannya benar apabila kita tinjau dari siklus peredaran kehidupan binatang dan tumbuh-tumbuhan, akan tetapi apabila ditinjau dari asal mula kejadiannya tentulah pendapat tadi tidak tepat.

Selanjutnya Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw untuk menanyakan siapakah yang mengendalikan segala macam urusan makhluk di muka bumi ini? Pengendaliannya sangat mengagumkan.

Segala macam kehidupan diatur dengan hukum-hukum yang serasi dan seimbang. Maka bagi orang yang mau merenungkan hukum-hukum-Nya ia akan memberikan jawaban dari semua pertanyaan itu bahwa yang menciptakan segala-galanya ialah Allah, Tuhan seru sekalian alam dan Dia pula yang mengurus dan mengendalikannya.

Allah memerintahkan kepada Nabi saw agar mengatakan kepada kaum musyrikin, mengapa mereka tidak memelihara diri mereka agar terlepas dari kesesatan? Apabila mereka mau memelihara diri mereka tentulah mereka tidak akan terjerumus kepada kemusyrikan dan menjadi penyembah-penyembah berhala. Sembahan-sembahan selain Allah itu sedikitpun tidak mempunyai kekuasaan untuk mendatangkan kemudaratan atau kemanfaatan kepada mereka.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 32-34


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Madinah

0
Madrasah Tafsir Madinah
Ilustrasi Madrasah Tafsir Madinah

Dalam kajian Usul Fiqh mungkin para pembaca pernah mendengar salah satu sumber hukum ialah kebiasaan atau perilaku keseharian ahlu Madinah. Mungkin saat membacanya belum terbesit pertanyaan terkait latar belakang yang menyebabkannya bisa menjadi salah satu rujukan hukum. Nah, ulasan ragam kekhasan kajian madrasah tafsir Madinah kali ini mungkin bisa membantu memberikan jawaban terhadap nalar kritis tersebut.

Sebelum masuk pada pembahasan utama, ada beberapa hal yang perlu diketahui bahwa madrasah tafsir Madinah memiliki ciri khas yang begitu berbeda dari madrasah lainnya. Madrasah tafsir ini justru lebih terkenal akan kedalaman dan keluasan ilmu yang mereka miliki dalam bidang hadis.

Hal ini dibuktikan dengan ketenaran madrasah ini sebagai sumber hadis-hadis Shahih. Tidak hanya, ada beberapa kajian khas yang menjadikan madrasah tafsir ini berbeda dengan madrasah tafsir lainnya—sebagaimana disampaikan oleh Muhammad ibn Abdullah ibn ‘Ali al-Khudhairi dalam karyanya Tafsir al-Tabi’in. Untuk lebih jelasnya silakan disimak uraian masing-masing poin di bawah ini.

Sangat Wara’ dalam Aktivitas Penafsiran

Madrasah Madinah dikenal sebagai madrasah yang paling sedikit meriwayatkan penafsiran yang berasal dari ijtihad mandiri mereka. Fenomena ini ditengarai oleh sikap wara’ mereka yang begitu tinggi. Para punggawa madrasah ini lebih suka jika aktivitas penafsiran Al-Qur’an dilakukan atas dasar tuntutan tertentu. Seperti halnya saat ada pertanyaan yang mendesak, permintaan atas suatu hukum fiqh tertentu maupun penjelasan mengenai sabab nuzul suatu ayat.

Baca Juga: Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Kufah

Penyebab lain dari minimnya aktivitas penafsiran di madrasah ini ialah banyaknya riwayat yang sampai pada mereka mengenai bahaya dan sanksi apabila menafsirkan Al-Qur’an tanpa adanya ilmu yang memadai. Selain itu mereka juga mendapati banyak riwayat penafsiran Nabi yang shahih sehingga mereka merasa cukup dengan riwayat yang mereka miliki. Tentu hal ini begitu berbeda dengan madrasah tafsir Kufah yang minim aktivitas penafsiran sebab sedikitnya riwayat shahih yang mereka miliki.

Menaruh Perhatian Besar Terhadap Penafsiran Berbasis Riwayat

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa madrasah tafsir Madinah merupakan salah satu madrasah yang memiliki riwayat hadis yang berlimpah. Keistimewaan tersebut membuat madrasah tafsir Madinah menjadi begitu gencar dalam menjadikan hadis sebagai kajian utama yang mereka geluti sehingga keseharian kehidupan intelektual mereka lebih dominan diisi oleh kajian hadis dari pada kajian lainnya. Walhasil, mereka pun kemudian dijadikan sebagai teladan dan bahkan setiap perilaku yang mereka kerjakan dianggap sebagai Sunnah. Hal ini didasarkan pada pendapat Zaid bin Tsabit serta praktek ahlu Madinah itu sendiri yang begitu menaruh perhatian terhadap Hadis.

Selain Hadis, Madinah juga terkenal dengan banyaknya riwayat kisah dan sejarah yang mereka miliki. Bahkan mereka juga terkenal dengan praktek fiqh mereka yang disebut sebagai fiqh atsari sebab praktek fiqh harian mereka secara dominan didasarkan pada riwayat bukan pada ijtihad dan qiyas.

Keunikan ini mungkin tidak bisa disamakan dengan madrasah tafsir yang berada di Iraq. Sebab secara geografis dan demografis, kedua daerah tersebut berbeda sehingga perbedaan yang ada berimplikasi pada perbedaan dalam masalah yang dihadapi dan metodologi dalam menyusun jawaban syar’i yang tepat.

Menghindari diri dari Penafsiran yang Sarat Hawa Nafsu dan Fitnah

Madrasah Madinah tersohor dalam kuatnya mereka mempertahankan metodologi pengajaran talaqqi. Metode ini merupakan metode terbaik dalam menjaga otentisitas riwayat yang mereka miliki. Selain itu, metode ini juga berimplikasi pada terminimalisirnya penggunaan akal sehingga juga meminimalisir terjadinya ketergelinciran pada hawa nafsu maupun fitnah.

Keketatan dalam metodologi pengajaran yang mereka terapkan juga berimbas pada aspek sosial mereka tatkala berjumpa dan menerima informasi dari orang yang bukan berasal dari Madinah. Hal ini tidak begitu saja terjadi, sikap ketat ini disebabkan oleh banyaknya terjadi fitnah politis di masa Tabi’in sehingga perlu ada proteksi terhadap hadirnya riwayat-riwayat berpenyakit.

Bahkan kepada orang-orang Iraq, para punggawa madrasah tafsir Madinah kerapkali terlihat berseteru. Mereka bahkan dalam beberapa riwayat terlihat merendahkan serendah-rendahnya kualitas riwayat yang dibawa oleh ahlu Iraq. Mungkin alasan tersebut bisa dijumpai pada artikel “Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Kufah” di mana Kufah maupun Iraq secara umum merupakan daerah yang paling banyak terjadi fitnah siyasiyah pada saat itu. Maka, sikap Tabi’in Madinah mungkin bisa ditoleransi meskipun terlihat begitu ekstrem.

Memiliki Perhatian Pada Kajian Qira’at

Kekhasan ini mungkin terlihat serupa dengan madrasah tafsir Kufah. Namun pada realitanya sama sekali berbeda. Jika di Kufah, kajian Qira’at diaplikasikan dalam ranah penafsiran dan difungsikan sebagai alat bantu, namun di Madinah Qira’at dikaji validitasnya.

Sederhananya, Qira’at ditempatkan sebagai riwayat layaknya hadis maupun atsar yang kemudian ditelusuri kesahihannya baik dari sisi sanad maupun matan. Jadi argumentasi ini menjelaskan maksud dari perkataan Sufyan bin Uyainah yang mengajurkan untuk mengambil Qira’at dari ahlu Madinah, bahwa yang dimaksud adalah riwayat Qira’at yang valid atau shahih bukan lahjah Qira’at ahlu Madinah.

Baca Juga: Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Madrasah Tafsir Bashrah

Satu poin penting yang perlu direfleksikan sebagai penutup ialah sikap kehati-hatian para punggawa madrasah tafsir Madinah dalam menafsirkan Al-Qur’an. Sikap hati-hati atau menjaga dari kesalahan penafsiran serta menyadari derajat keilmuan perlu ditanamkan dalam diri. Sebab yang coba diungkapkan maknanya bukan sembarang kitab melainkan kitabullah. Sikap ini akan memproteksi seseorang dari sikap sewenang-wenang dalam menafsirkan Al-Qur’an apalagi jika niatnya bukan demi kemaslahatan umat.

Sebab dewasa ini banyak sekali dijumpai orang-orang yang tidak bertanggungjawab dengan beraninya menafsirkan Al-Qur’an dengan ugal-ugalan dan tanpa adanya landasan keilmuan yang jelas. Maka implikasinya, penafsiran semacam ini akan membuat umat Islam semakin terbelakang sebab terbawa pada arus kepentingan personal yang dibalut baju keagamaan. Wallahu a’lam.

Tafsir Ayat Syifa: Inilah Khasiat Madu bagi Kesehatan Manusia

0
Khasiat Madu bagi Kesehatan Manusia
Khasiat Madu bagi Kesehatan Manusia

Di tengah merebaknya wabah Covid-19, manusia membutuhkan nutrisi kesehatan agar imunitas tubuh meningkat dan kondisi badan tetap prima. Salah satu nutrisi kesehatan dan imunitas tubuh itu ialah madu. Madu merupakan cairan kental alamiah yang dihasilkan lebah dari nektar bunga. Lantas, selain menjaga imunitas, apa saja khasiat madu bagi kesehatan manusia?

David W. Ball dalam The Chemical Composition of Honey menyebutkan bahwa madu mengandung asam amino, vitamin B, vitamin B6, vitamin C, asam folat, mineral, zat besi, dan antioksidan. Selain itu, kandungan madu tersebut berfungsi sebagai antiolsida dan aktibakteri sehingga memperkuat imunitas tubuh manusia. Dalam riset serupa, Honey in Traditional and Modern Medicine menjelaskan bahwa madu memiliki mekanisme penyembuhan dan memperbaiki sel yang rusak, serta memperkuat imun bagi kesehatan manusia.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Dalil Kehalalan Susu Hewan dalam Al-Quran

Khasiat madu ini sejatinya telah dilukiskan Allah swt dalam firman-Nya di bawah ini,

ثُمَّ كُلِيْ مِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِ فَاسْلُكِيْ سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًاۗ يَخْرُجُ مِنْۢ بُطُوْنِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ اَلْوَانُه ۖفِيْهِ شِفَاۤءٌ لِّلنَّاسِۗ انَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan lalu tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).” Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir. (Q.S. al-Nahl [16]: 69)

Tafsir Surat An-Nahl Ayat 69

Ayat di atas menjelaskan khasiat madu sebagai obat kesembuhan. Dalam tafsirnya, al-Tabari menafsirkan bahwa madu mengandung khasiat obat yang luar biasa. Ia menandaskan bahwa kata syifa di atas bermakan dua hal, yakni madu sebagai obat dan Al-Quran adalah obat bagi penyakit yang ada di dalam dada manusia alias penyakit hati.

Ulama ahli takwil berbeda pendapat terkait makna syifa. Ada yang memaknai syifa sebagai pengobatan berbasis Al-Quran (al-‘adat ala al-quran). Sebagian yang lain tidak mengkhususkan makna syifa pada satu ayat melainkan Al-Quran itulah semuanya bersifat syifa, demikian kata Mujahid dari Laits dari al-Muharibi dari Nasr bin Abdurrahman.

Baca juga: Tips Agar Ikhlas dalam Berbuat Baik: Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 77

Mengarifi hal itu, ulama mutaakhirin berpendapat syifa (obat) ialah madu. Hal senada juga disampaikan Ibnu Abbas bahwa syifa bermakna madu. Tidak jauh berbeda, Muhammad Ali al-Shabuni dalam Shafwah al-Tafasir, menafsiri bahwa di dalam Al-Quran terdapat obat bagi manusia yang tengah sakit (syifa-un lin nas min al-amradh).

Lebih jauh, al-Razi mengatakan bagaimana cara madu bekerja untuk menyembuhkan manusia? Oleh al-Shabuni dijawab bahwa sesungguhnya madu adalah obat yang menyembuhkan bagi manusia, terkandung khasiat obat di dalamnya dan madu mampu memperbaiki sel-sel manusia yang rusak dengan khasiat syifa yang terkandung di dalamnya.

Sedikit berbeda dari beberapa penafsiran di atas, Al-Zamakhsyari, Al-Samarqandi dan al-Khazin sepakat bahwa madu merupakan salah satu obat dari sekian banyak obat yang disebutkan dalam Al-Quran serta kandungan syifa di dalamnya. Al-Zamaksyari misalnya, dalam Tafsir al-Kasyaf ia menyebutkan,

أنه من جملة الأشفية والأدوية المشهورة النافعة، وقل معجون من المعاجين لم يذكر الأطباء فيه العسل، وليس الغرض أنه شفاء لكل مريض، كما أن كل دواء كذلك. وتنكيره إمّا لتعظيم الشفاء الذي فيه، أو لأن فيه بعض الشفاء، وكلاهما محتمل. وعن عبد الله بن مسعود: العسل شفاء من كل داء، والقرآن شفاء لما في الصدور، فعليكم بالشفاءين القرآن والعسل

“Sesungguhnya madu merupakan salah satu obat kesembuhan yang terkenal di antara sekian banyak obat yang ada. Berkatalah ahli obat bahwa para dokter tidak mengkhususkan madu sebagai satu-satunya obat, melainkan sebagai salah satu obat yang disitir dalam Al-Quran dan al-Hadits yang mengandung beberapa khasiat syifa’. Dari Abdullah bin Mas’ud mengatakan bahwa madu adalah penyembuh dari beberapa obat. Sedangkan Al-Quran sebagai penyembuh bagi mereka yang tengah mengidap penyakit di dadanya. Maka, keduanya (Al-Quran dan madu) berfungsi sebagai obat sesuai konteksnya”.

Qatadah sebagaimana dikutip al-Baidhawi dalam Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, mengatakan,

حـدثنا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ: حدَّثنا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ: حدَّثنا شُعْبَةُ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي الْمُتَوَكِّلِ: عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلعم فَقَالَ: إِنَّ أَخِي اسْتَطْلَقَ بَطْنُهُ(1)، فَقَالَ: اّْسْقِهِ عَسَلًا فَسَقَاهُ فَقَالَ: إِنِّي سَقَيْتُهُ فَلَمْ يَزِدْهُ إِلَّا اّْسْتِطْلَاقًا فَقَالَ: صَدَقَ ا للَّهُ وَكَذَبَ بَطْنُ أَخِيكَ

Diceritakan oleh Muhammad bin Basyyar, dari Muhammad bin Ja’far, dari Syu’bah, dari Qatadah, dari Abi al-Mutawakkil dari Abi Sa’id al-Khudri berkata, “telah datang seorang laki-laki menemui Rasul saw, ia mengadu, “saudaraku menderita sakit perut parah”. Lantas Nabi saw bersabda, “berilah ia madu”. Laki-laki itu bergegas pulang dan meminumkan madu kepada saudaranya. Tak lama, ia kembali menemui nabi dan berujar, “sudah saya minumkan madu, tapi tak kunjung mereda, malah penyakitnya semakin menjadi-jadi”. Mengarifi hal itu, Nabi saw, “Maha benar Allah dan dustalah perut saudaramu itu, maka sembuhlah sakit yang diderita saudaranya itu.”

Baca juga: Pembelaan Al-Quran terhadap Dhu’afa dan Mustadh’afin

Demikianlah secercah kisah tentang sabda Rasul saw akan khasiat madu bagi kesehatan. Tentu semua itu tidak lepas dari izin dan ridha Allah swt. Al-Samarqandi dalam Bahr al-Ulum tidak menafikan khasiat madu sebagai obat herbal alamiah. Abu al-Laits menambahkan bahwa sesungguhnya madu itu mengandung syifa’ (obat kesembuhan) bagi manusia yang mengetahuinya.

Tidak puas mengutip satu pendapat, al-Samarqandi berekspansi mengurai kalam al-Saddi, “madu mampu menyembuhkan sakit yang parah sekalipun sebab di dalamnya terkandung syifa’ (zat atau partikel sel yang konstruktif bukan destruktif). Lalu Mujahid juga memberikan pendapatnya bahwa di dalam madu terdapat khasiat syifa bagi manusia.

Demikian pula dalam Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil, al-Khazin menuturkan bahwa madu hanyalah salah satu obat dari sekian obat yang ada. Di dalamnya mengandung syifa yang mampu mengobati manusia yang sakit maupun untuk menjaga kesehatan.

Khasiat Madu bagi Kesehatan Manusia

Ayat di atas memberi satu pemahaman kepada kita bahwa madu dan Al-Quran berperan penting dalam kesehatan manusia. Lebih-lebih madu, penggunaannya telah memiliki rentang sejarah yang sangat panjang. Selama berabad-abad, madu telah digunakan sejak dahulu kala karena mengandung nutrisi, gizi dan obat kesembuhan.

Sultan Ayoub Meo dalam risetnya, Role of Honey in Modern Medicine menyebutkan bahwa madu memiliki potensi klinis dan mekanisme kerja antibakteri dengan kemungkinan penggunaan terapeutik yang diterima secara ilmiah. Kandungan antibakteri di dalamnya disebabkan oleh hidrogen peroksida yang dibentuk oleh oksidase glukosa enzim turunan lebah.

Baca juga: Mengenal Kitab Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir Karya Syekh Ali Ash-Shabuni

Di dunia ini, sekurangnya terdapat 320 jenis madu yang berasal dari berbagai bunga. Rasa, warna, dan bau dari jenis madu tertentu bergantung pada berbagai sumber cairan bunga dan tanaman yang dihisap oleh lebah madu. Cara konsumsi madu pun juga beraneka ragam. Ada yang digunakan sebagai obat, vitamin untuk menjaga kesehatan (imunitas) maupun vitalitas manusia, dan lain sebagainya.

Madu berperan penting sebagai antioksidan, anti-inflamasi, antibakteri dan meningkatkan imunitas tubuh, memperbaiki sel tubuh yang rusah dan mempercepat proses penyembuhan luka. Peran madu telah diakui dalam literatur ilmiah oleh ilmuwan kelas dunia. Jauh sebelum adanya riset tentang madu, Al-Quran dan hadits Nabi saw telah berbicara bagaimana madu beserta khasiatnya bermanfaat bagi kesehatan manusia. Wallahu A’lam.

Periode Pewahyuan surah Al-Qur’an Menurut Theodor Nöldeke

0
Tartib Nuzuli
Tartib Nuzuli menurut Theodor Noldeke

Pada artikel sebelumnya, Theodor Nöldeke: Sarjana German Pelopor Kajian Sejarah Al-Qur’an, telah dijelaskan mengenai biografi singkat Theodor Nöldeke dan bagaimana pandangannya terhadap Al-Qur’an serta nabi Muhammad saw. Pada artikel ini, penulis akan menerangkan mengenai urutan pewahyuan surah Al-Qur’an menurut Theodor Nöldeke (tartib nuzuli).

Berkenaan dengan susunan ayat Al-Qur’an, setidaknya kita mengenal dua macam urutan, yakni: Pertama, tartib mushaf atau penyusunan ayat Al-Qur’an berdasarkan urutan yang diajarkan nabi Muhammad saw dan yang tertuang dalam mushaf selama ini. Kedua, tartib nuzuli atau penyusunan yang didasarkan pada urutan pewahyuan surah Al-Qur’an (al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an).

Masing-masing kedua penyusunan Al-Qur’an di atas (tartib al-Qur’an), baik tartib mushaf atau tartib nuzuli memiliki kelebihan dan karakteristik tersendiri. Hanya saja, tartib mushaf lebih sering digunakan karena mengikuti rasm utsmani  Menurut mayoritas ulama, tartib al-Qur’an ini bersifat tauqifi (baca: sesuai petunjuk) dari nabi Muhammad saw dan bebas dari intervensi apa pun.

Baca Juga: Mengurai Sejarah Kemunculan dan Urgensi Kronologi Al-Quran dalam Ilmu Tafsir

Sedangkan tartib nuzuli – sebagaimana disebutkan oleh Muhammad al-Thahir Ibnu ‘Asyur dalam Muqaddimah al-Tahrir wa al-Tanwir – dibuat berdasarkan urutan pewahyuan surah Al-Qur’an sesuai dengan pengetahuan masing-masing sahabat atau mufasir yang melakukannya. Artinya, mayoritas tartib nuzuli dihasilkan dari ijtihad individu. Maka tak heran, tartib nuzuli menurut tokoh tertentu sedikit berbeda dengan tokoh yang lain.

Secara umum tartib nuzuli terbagi kepada dua bentuk, yaitu: Pertama, tartib nuzuli yang bersifat global, yakni dengan mengelompokkan semua surah-surah makkiyah sebelum surah-surah madaniyah tanpa mengurutnya secara presisi. Kedua, tartib nuzuli yang bersifat khusus, yakni dengan mengurutkan surah-surah Al-Qur’an mulai dari yang pertama kali turun hingga yang terakhir. Ini pernah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud.

Kronologis Surah Al-Qur’an dalam Perspektif Theodor Nöldeke

Ketika mengkaji teks Al-Qur’an, Theodor Nöldeke menggunakan pendekatan historis-filologis dan kesusastraan. Dengan pendekatan sejarah, ia melacak segala peristiwa terkait Al-Qur’an atau yang sezaman dengannya melalui teks-teks sejarah. Kemudian, ia membaca peristiwa tersebut secara komprehensif, mulai dari kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya dan siapa saja tokoh yang terlibat.

Melalui pendekatan sejarah ini, seseorang diajak untuk memasuki realitas yang sebenarnya berkenaan dengan terjadinya suatu peristiwa. Dari sini, seseorang akan memahami bahwa Al-Qur’an memiliki konteks historisnya. Oleh karena itu, jika seseorang ingin memahami Al-Qur’an secara komprehensif, maka ia harus mempelajari sejarah pewahyuan Al-Qur’an dan kejadian-kejadian yang mengiringinya (asbabun nuzul).

Sementara pendekatan susastra digunakan oleh Noldeke untuk melihat gaya bahasa Al-Qur’an – seperti rima dan persajakan – dan perbendaharaan katanya. Dengan memadukan pendekatan historis-filologis dan kesusastraan, Noeldeke dan Schwally berpandangan bahwa babak pewahyuan Al-Qur’an merupakan gerak maju yang ajeg dan kontekstual, mulai dari surah-surah panjang periode Mekah hingga surah-surah pendek periode Madinah.

Singkatnya, dalam upaya merekonstruksi urutan pewahyuan surah Al-Qur’an secara komprehensif Theodore Noeldeke melakukan langkah ganda, yaitu: Pertama, Ia mengeksplorasi sejarah Al-Qur’an melalui berbagai sumber rujukan sejarah, baik referensi tradisional seperti kitab tafsir maupun referensi sejarah lainnya, guna menentukan secara presisi kapankah suatu ayat atau surah diturunkan, terutama pada periode Madinah (The History of Qur’an).

Kedua, selain mengacu pada referensi sejarah yang kompatibel, Theodore Noeldeke juga memfokuskan diri pada gaya bahasa Al-Qur’an, mulai dari kosa kata, terminologi hingga ungkapan-ungkapannya. Dalam konteks ini, Noeldeke secara serius berusaha menjelaskan pola-pola dialektika Al-Qur’an dari masa ke masa. Melalaui hal tersebut, ia dapat melakukan penyusunan urutan pewahyuan surah Al-Qur’an.

Berdasarkan hasil kajiannya, Noldeke membagi kronologi Al-Qur’an dalam beberapa periode, yaitu:

  1. Periode Makah Pertama

Surah-surah dan ayat-ayat pada periode Mekah pertama cenderung pendek dan berirama. Pada periode ini, surah sering kali diawali dengan ungkapan sumpah, bahasanya penuh dengan tamsilan (metafora) dan memiliki keindahan puitis (The History of Qur’an: 64). Hal ini lumrah terjadi, karena menurut mayoritas mufasir – seperti al-Suyuthi dalam al-Itqan Fi Ulumil Quran – kala itu Al-Qur’an ingin menyentuh jiwa masyarakat Mekah yang mengagungkan syair.

  1. Periode Mekkah Kedua (Tengah)

Surah-surah pada periode Mekah kedua lebih panjang dan lebih berbentuk prosa, tetapi itu tetap dengan kualitas puitis yang indah. Gaya bahasanya seakan-akan membentuk suatu transisi antara Surah-surah periode Makkah pertama dan ketiga. Pada periode ini, tanda-tanda kemahakuasaan Tuhan dalam alam dan sifat-sifat ilahi seperti rahmah mulai ditekankan secara intens. Hal ini dapat dilihat dengan ungkapan Al-Qur’an di mana Tuhan digambarkan sebagai al-Rahman.

Baca Juga: Mengenal Kitab Fahm Al-Quran Al-Hakim, Tafsir Nuzuli Karya M. Abid Al-Jabiri

Selain itu, pada periode ini deskripsi yang hidup tentang surga dan neraka turut diungkapkan. Al-Qur’an juga mulai memperkenalkan kisah-kisah umat terdahulu – yakni kisah umat manusia sebelum kedatangan nabi Muhammad saw mulai dari nabi Adam as hingga nabi Isa as – terutama umat-umat yang ingkar dan diazab oleh Allah swt sebagai bahan pelajaran bagi pendengar Al-Qur’an. Sarjana barat lebih mengenal kisah-kisah ini dengan istilah “Punishment Stories”.

  1. Periode Makah Ketiga (akhir)

Surah-surah pada periode Makkah ketiga lebih panjang dan lebih berbentuk prosa. Noeldeke-Schwally mengemukakan bahwa penggunaan al-Rahman sebagai nama Tuhan berakhir pada periode ini, tetapi karakteristik-karakteristik periode kedua lainya semakin mengental. Kisah-kisah kenabian dan pengazaban umat terdahulu dituturkan kembali secara lebih terperinci (The History of Qur’an: 118).

  1. Periode Madinah

Surah-surah pada periode Madinah tidak memperlihatkan banyak perubahan gaya dari periode ketiga selain perubahan pokok bahasan. Perubahan ini terjadi seiring meningkatnya kekuasaan politik Nabi dan perkembangan masyarakat di Madinah setelah Hijrah. Pengakuan terhadap Nabi sebagai pemimpin masyarakat, menyebabkan wahyu-wahyu Al-Qur’an berisi hukum dan aturan kemasyarakatan. Tema-tema dan istilah-istilah kunci baru turut membedakan surah-surah periode ini dengan periode sebelumnya.

Melalui pembagian periode tersebut dan karakteristik ayat yang turun di dalamnya, Noeldeke kemudian menyusun urutan pewahyuan surah Al-Qur’an (tartib nuzuli). Menurutnya surah yang pertama kali turun adalah surah al-‘Alaq dan surah yang terakhir turun adalah surah al-Hujarat. Tartib nuzuli Noeldeke ini dikemudian hari menstimulus al-Jabiri dan Angelika Neuwirth untuk melakukan pendekatan sejarah terhadap Al-Qur’an.