Beranda blog Halaman 368

Tafsir Ahkam: Dalil Kehalalan Susu Hewan dalam Al-Quran

0
Susu Hewan
Susu Hewan

Salah satu nikmat yang diberikan oleh Allah lewat diciptakannya hewan adalah keberadaan jenis minuman berupa susu. Susu adalah cairan yang secara alami dikeluarkan oleh hewan. Susu amat berbeda dengan darah serta kotoran yang sama-sama juga dikeluarkan oleh hewan. Susu hewan memiliki banyak manfaat untuk kesehatan tubuh. Lalu bagaimana ulama’ memperoleh kesimpulan hukum halalnya susu, padahal darah dan kotoran dihukumi haram? Berikut penjelasannya:

Perihal Susu Hewan Di Dalam Al-Qur’an

Kehalalan susu hewan di dalam Al-Qur’an merujuk pada dua firman Allah. Pertama, Surat An-Nahl ayat 66:

وَاِنَّ لَكُمْ فِى الْاَنْعَامِ لَعِبْرَةً ۚ نُسْقِيْكُمْ مِّمَّا فِيْ بُطُوْنِهٖ مِنْۢ بَيْنِ فَرْثٍ وَّدَمٍ لَّبَنًا خَالِصًا سَاۤىِٕغًا لِّلشّٰرِبِيْنَ ٦٦

Sesungguhnya pada hewan ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberi kamu minum dari sebagian apa yang ada dalam perutnya, dari antara kotoran dan darah (berupa) susu murni yang mudah ditelan oleh orang-orang yang meminumnya (QS. An-Nahl [16] 66).

Kedua, firman Allah dalam Surat Al-Mu’minun ayat 21:

وَاِنَّ لَكُمْ فِى الْاَنْعَامِ لَعِبْرَةًۗ نُسْقِيْكُمْ مِّمَّا فِيْ بُطُوْنِهَا وَلَكُمْ فِيْهَا مَنَافِعُ كَثِيْرَةٌ وَّمِنْهَا تَأْكُلُوْنَ ۙ ٢١

Sesungguhnya pada hewan-hewan ternak benar-benar terdapat pelajaran bagimu. Kami memberi minum kamu dari sebagian apa yang ada dalam perutnya (air susu), padanya terdapat banyak manfaat untukmu, dan sebagian darinya kamu makan (QS. Al-Mu’minun [23] 21).

Imam Ibn Katsir tatkala menafsiri Surat Al-Mu’minun ayat 21 menyatakan, di dalam ayat tersebut Allah menjelaskan berbagai manfaat yang bisa kita dapatkan dari hewan ternak. Diantaranya adalah dapat diminum susunya, dapat dimakan dagingnya, dapat dipakai bulunya dan dapat ditunggangi punggungnya. Susu tersendiri memiliki keunikan. Sebab meski bersanding dengan darah dan kotoran, Allah telah mengatur jalur keluarnya susu tersendiri sehingga tidak bercampur dengan yang lain (Tafsir Ibn Katsir/3/197).

Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Jami’ Liahkamil Qur’an menyatakan, dalam ayat di atas terdapat dasar bolehnya mengambil manfaat dengan susu hewan. Baik pengambilan manfaat itu dengan cara meminum maupun selainnya. Namun ini berlaku pada susu dari hewan yang hidup. Sedang dari hewan yang mati atau bangkai, maka tidak boleh dimanfaatkan. Dikarenakan susu adalah sesuatu yang cair, dan keberadaannya di dalam bangkai menyebabkan susu itu berasal dari wadah yang najis sehingga otomatis susu itu menjadi najis (Tafsir Al-Jami’ Liahkamil Qur’an/10/126).

Di dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah dinyatakan, ulama’ mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali bersepakat bahwa apabila susu hewan tersebut keluar dari hewan yang hidup, maka hukum susu tersebut mengikuti hukum mengkonsumsi daging hewan tersebut. Apabila daging hewan tersebut haram atau makruh dikonsumsi maka hukum mengkonsumsi susunya adalah haram atau makruh juga. Apabila halal, maka hukum susunya juga halal (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah/2/1628).

Penutup

Di dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi dan Ahmad dari Abi Hurairah dinyatakan, tatkala Isra’ Mi’raj, Nabi Muhammad pernah diberi dua pilihan. Yaitu antara susu dan khamr. Lalu Nabi pun memilih susu. Lalu ada yang berkata kepada Nabi Muhammad “Engkau telah mendapatkan fitrah manusia. Andai engkau memilih khamr, pastilah umatmu tersesat” (Sahih Bukhari/3/1243).

Di dalam hadis lain yang diriwayatkan Abi Dawud, Imam Ahmad dan At-Tirmidzi, diajarkan sebuah doa tatkala minum susu. Doa tersebut berbunyi:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيهِ وَزِدْنَا مِنْهُ

Allaahumma baarik lanaa fiihi wazidnaa minhu

Ya allah, berilah keberkahan pada susu ini dan berilah kami tambahan darinya (Sunan Abi Dawud/11/157).

Berbagai uraian di atas menunjukkan kepada kita tentang dalil kehalalan susu hewan. Tidak hanya halal, tapi juga merupakan nikmat yang besar sebab mengandung berbagai manfaat. Susu juga merupakan rahmat bagi umat Nabi Muhammad. Nabi sendiri juga mengajarkan doa sebelum meminum susu. Kesemuanya menunjukkan keistimewaan susu. Wallahu a’lam bishshowab

Tips Agar Ikhlas dalam Berbuat Baik: Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 77

0
tips agar ikhlas, tafsir surah Al-Qasas ayat 77
tips agar ikhlas, tafsir surah Al-Qasas ayat 77

Lazimnya, orang akan baik kepada kita saat kita juga memperlakukan orang lain baik. Wajar ketika kita berbuat baik, lalu muncul harapan orang lain akan bersikap baik kepada kita. Akan tetapi, realitanya tidak selalu demikian. Sikap baik manusia kadang tidak dihargai, bahkan terkadang justru dibalas dengan keburukan. Hal ini tentu dapat menimbulkan kekecewaan. Mengenai masalah ini, Al-Quran telah memberikan tips agar manusia tidak lagi merasa kecewa ketika perbuatan baik tidak dibalas dengan hal yang sama, atau dengan kata lain tips agar ikhlas dalam berbuat baik.

Tips agar ikhlas dapat kita ambil salah satunya dari pesan ayat 77 surah Al-Qasas. Berikut bunyinya,

وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ

“…dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu,…” (QS. Al-Qaṣaṣ [28]: 77)

Baca Juga: Dia yang Berlaku Baik Kepadamu, Lebih Baiklah Kepadanya! Pesan Surat An-Nisa Ayat 86

Tafsir surah Al-Qasas ayat 77

Ibn al-Jauzi dalam Zād al-Masīr (juz 3, halaman 393) mengumpulkan tiga pendapat mengenai makna dari ayat tersebut. Pertama, berikanlah lebihan dari hartamu sebagaimana Allah memberikanmu tambahan pada hartamu ketida kamu membutuhkan”. Berbicara mengenai lebihan harta, brarti bisa merujuk pada sedekah atau bisa juga zakat. Di dalam Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr Ibn ‘Abbās  (halaman 330) menjelaskan bahwa objek golongan yang kita diharuskan berbuat baik kepadanya adalah orang-orang fakir dan miskin.

Pendapat yang pertama ini mengkhususkan perbuatan baik pada sedekah, dan disambung di penafsiran yang lain dengan juga memprioritaskan objek dari sedekah tersebut, yaitu fakir dan miskin.

Kedua, “berbuat baiklah terhadap apa yang diwajibkan atas kamu sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu dengan nikmat-nikmat-Nya. Yang dimaksud dengan “apa yang diwajibkan” adalah seperti kewajiban zakat dan memberikan nafkah kepada keluarga. Pendapat yang kedua ini tidak jauh berbeda dengan yang pertama.

Ketiga, “berbuat baiklah dalam mencari rezeki halal sebagaimana Alllah berbuat baik kepadamu dengan menghalalkan banyak hal.” Pendapat ketiga ini menghimbau agar manusia dapat memanfaatkan makanan atau rezeki apapun yang halal.

Baca Juga: Surat al-Mumtahanah Ayat 8-9: Perintah Berbuat Baik Kepada Siapa Pun

Para mufasir lainnya hampir sama dalam menafsirkan potongan ayat tersebut. Potongan ayat tersebut menurut al-Marāghī dalam Tafsir al-Marāghī bermakna “berbuat baiklah kamu terhadap makhluk-Nya, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu berupa kenikmatan yang telah diberikan oleh-Nya. Tolonglah makhluk-Nya dengan harta dan kesungguhan usahamu, dengan menunjukkan wajah yang selalu berseri-seri, dengan pergaulan yang baik, dan memujinya ketika mereka tidak ada.”

Tafsir Al-Maraghi tersebut terlihat tampak lebih umum dari penafsiran Ibn Al-jauzi sebelumnya. Dengan begitu berarti ia tidak membatasi perbuatan baik yang disampaikan dalam redaksi ayat, berbuat baiklah, apapun itu meski hanya dengan menunjukkan wajah yang berseri-seri, senyum dan memeberikan energi positif pada orang lain.

Al-Qāsimi dalam Maḥāsin al-Ta`wīl (juz 7, halaman 537) memaknai potongan ayat tersebut dengan “berbuat baiklah kepada manusia atau berbuatlah kebaikan berlandaskan ihsan (kesadaran) adanya wujud Allah dan pengetahuan-Nya sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu”.

Abū Ḥayyān dalam al-Baḥr al-Muḥīṭ fi al-Tafsīr (juz 8, halaman 325) menafsirkan ayat tersebut dengan “berbuat baiklah kepada hamba-hamba Allah sebagai wujud syukur dan taatmu kepada Allah sebagaimana Allah telah berbuiat baik kepadamu dengan berbagai nikmat yang ada di sekitarmu.

Abū Ḥayyān menambahkan keterangan bahwa huruf kaf pada ayat tersebut merupakan huruf untuk menyerupakan sifat baik dari hamba terhadap sifat baik yang Allah miliki. Namun penyerupaan ini hanya sebatas sifat baik Allah, bukan semuanya. Karena ada sifat-sifat Allah yang terlarang dimiliki seorang hamba. Oleh karena itu, huruf kaf pada ayat tersebut merupakan penjelasan sebab sehingga maknanya menjadi “berbuat baiklah karena kebaikan Allah kepadamu.”

Selain tentang jenis perbuatan baik, sebenarnya yang lebih penting yang perlu dibold dalam ayat ini adalah kalimat yang terakhir, ‘sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu’. Mari kita renungkan, bagaimana Allah berbuat baik kepada hambaNya? Apakah Ia menuntut balasan kebaikan pula? Tidak sama sekali! Di sinilah poinnya, bagian yang sering kita lupakan. Inilah tips agar ikhlas dalam berbuat baik, jangan pernah mengharap balasan kebaikan dari manusia, mengharaplah hanya kepada Allah.

Baca Juga: Amal Banyak Tapi Sering Menyebut Kebaikannya, Bagaimana Menurut Al-Quran?

Pada intinya, berdasarkan penjelasan mufasir ayat tersebut memberikan arahan kepada manusia untuk selalu melakukan kebaikan berdasar konsep ihsān. Ihsān sebagaimana dijelaskan dalam kitab Arba’īn al-Nawawiyah (halaman 49) adalah keadaan dimana seseorang beribadah seakan-akan melhat Allah atau merasa Allah selalu melihatnya.

Perbuatan baik yang dimaksud dalam hal ini adalah umum, baik itu berupa bentuk ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah (hablun minallah) atau kebaikan yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia (hablun minanas).

Bisa juga ditambahkan dengan segala bentuk kebaikan yang kebaikannya kembali kepada lingkungan seperti membuang sampah pada tempatnya atau menjaga kebersihan lingkungan dan juga kebaikan yang manfaatnya kemhali kepada diri manusia sendiri seperti menjaga kesehatan. Jadi kebaikan yang dilakukan hendaknya berdasarkan ihsan kepada Allah, bukan didasarkan karena seseorang baik kepada kita.

Dengan menumbuhkan kesadaran ini, kita tidak akan terpengaruh dengan sikap manusia setelah kita berbuat baik kepadanya. Ketika kita berbuat baik kepada sesama, alhamdulillah jika mereka juga baik kepada kita. Jika tidak, maka kita tidak bersedih dan kecewa karena kita menyandarkan perbuatan baik yang kita  lakukan hanya kepada Allah dan Allah sekali-kali tidak akan menyia-nyiakan kebaikan yang dilakukan seorang hamba. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Yunus Ayat 27-30

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 27-30 ini berbicara mengenai dua hal pokok. Pertama mengenai orang-orang yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah. Kelak di akhirat mereka akan merasa menyesal sekali atas perbuatannya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 25-26


Pembicaraan kedua dalam Tafsir Surah Yunus Ayat 27-30 ini mengenai berhala-berhala yang mereka sembah tidak dapat memberikan pertolongan kepada mereka. Bahka berhala-berhala itu menambah siksaan bagi mereka.

Ayat 27

Dalam ayat ini, Allah memberikan penjelasan bahwa orang-orang yang menyebarkan kejahatan, mengerjakan keonaran di muka bumi serta membangkang dan mengingkari ayat-ayat Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, mereka itu akan mendapat pembalasan yang seimbang.

Mereka akan menerima hukuman dari Allah yang setimpal dengan amal perbuatan mereka Wajah mereka tampak kusut karena mereka menderita akibat dari perbuatan syirik yang merasuk ke tulang sumsum mereka, kejahatan yang telah meracuni diri mereka serta penganiayaan mereka terhadap diri mereka sendiri.

Pada saat itu mereka tidak dapat membela dirinya, karena memang tidak dapat melindungi diri mereka atau mencegah bencana yang akan ditimpakan kepada mereka. Demikianlah azab yang mereka rasakan dengan penuh penyesalan, akibat menyembah berhala yang mereka anggap sebagai perantara, yang dapat menyampaikan doa-doa mereka kepada Allah.

Itulah hari pembalasan di mana tidak ada seorang pun yang menolong mereka kecuali amal baik mereka.

Firman Allah:

يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِّنَفْسٍ شَيْـًٔا ۗوَالْاَمْرُ يَوْمَىِٕذٍ لِّلّٰهِ ࣖ

(Yaitu) pada hari (ketika) seseorang sama sekali tidak berdaya (menolong) orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah. (al-Infitar/82: 19)

Sebagai tanda penyesalan mereka, wajah-wajah mereka terlihat hitam kelam laksana gelapnya malam, tidak nampak sedikit pun percikan kilat, kemilau bintang, atau seberkas sinar bulan. Mereka benar-benar menyesali perbuatan yang dilakukan di dunia. Harapan mereka hampa, karena berpegang kepada keyakinan yang salah dan mengingkari petunjuk Allah.

Allah menegaskan bahwa mereka itu akan menjadi penghuni neraka yang kekal selama-lamanya dan tidak ada kemungkinan lagi bagi mereka untuk dapat melepaskan diri karena tempat itulah yang layak bagi mereka.

Allah berfirman:

وَوُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍۢ بَاسِرَةٌۙ  ٢٤  تَظُنُّ اَنْ يُّفْعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌ ۗ  ٢٥

Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram,  mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang sangat dahsyat. (al-Qiyamah/75: 24-25)

Dan firman Allah:

وَوُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌۙ  ٤٠  تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ ۗ  ٤١  اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ ࣖ  ٤٢

Dan pada hari itu ada (pula) wajah-wajah yang tertutup debu (suram), tertutup oleh kegelapan (ditimpa kehinaan dan kesusahan). Mereka itulah orang-orang kafir yang durhaka.” (‘Abasa/80: 40-42)


Baca juga: Dinamika Penerjemahan Al-Quran di Indonesia: dari Perdebatan Awal hingga Revisi Terjemahan Secara Berkala


Ayat 28

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar memperhatikan orang-orang musyrik bahwa pada suatu saat yang telah ditentukan Allah akan mengumpulkan penyembah-penyembah berhala itu semuanya tanpa ada seorang pun yang ketinggalan, yaitu pada saat seluruh manusia akan diperiksa perkaranya.

Allah pada waktu itu berbicara kepada mereka yang mempersekutukan-Nya, sedang mereka terbungkam tidak bisa menge-luarkan sepatah kata pun karena kebingungan dan ketakutan.

“Mengapa mereka tidak lagi bersama-sama dengan sekutu-sekutu mereka di tempat itu. Sehingga sampai saatnya nanti mereka menyaksikan apa yang akan diberlakukan kepada mereka serta keputusan apa yang pantas diberikan kepada mereka, sebagai imbalan dari perbuatan mereka yang benar-benar melanggar larangan Allah serta bertentangan dengan fitrah mereka sendiri, yaitu mereka telah menyembah berhala. Mereka tidak dapat lagi memungkiri perbuatannya, karena bukti-bukti telah nyata bahkan memberatkan mereka.”

Pada waktu itu sekutu-sekutu mereka memberikan kesaksian bahwa mereka sebenarnya tidak hanya menyembah sekutu-sekutu itu, akan tetapi mereka juga mempertuhankan hawa nafsu dan setan.

Mereka itu menjadikan berhala-berhala sebagai alat untuk kepentingan mereka sendiri. Kemudian Allah memberikan penjelasan bahwa mereka dan sekutu-sekutunya akan dipisahkan dan masing-masing akan diperiksa, mereka sebagai tertuduh, sedang sekutu-sekutu mereka menjadi saksi.

Ayat 29

Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa berhala-berhala itu memberi pernyataan, sedangkan Allah cukup menjadi saksi antara berhala-berhala dengan penyembah-penyembahnya.

Pada saat itulah berhala-berhala itu berlepas diri dari mereka dan mengatakan tidak tahu menahu akan perbuatan mereka. Pada prinsipnya mereka yang menyekutukan Allah itu akan disiksa, karena mereka telah melakukan kesalahan besar.

Mereka telah menyembah sesuatu yang tidak berhak disembah padahal mereka mengerti bahwa mereka dan berhala-berhala yang mereka sembah itu diciptakan Allah.

Maka seharusnya Allah-lah yang patut disembah, karena Dia Zat yang mempunyai kekuasaan tertinggi terhadap seluruh makhluk-Nya dan Dia berkuasa pula untuk mendatangkan manfaat dan kemudaratan apabila Dia menghendaki.

Ayat 30

Selanjutnya Allah menjelaskan bahwa di Padang Mahsyar nanti seluruh manusia akan dikumpulkan untuk menerima pembalasan terhadap perbuatan yang telah mereka lakukan, tidak ada seorang pun yang bebas dari hukuman-Nya.

Bagi yang berbuat kebajikan akan mendapat balasannya dan sebaliknya mereka yang berbuat kejahatan akan mendapat pula siksaannya. Kemudian urusan mereka akan dikembalikan kepada Allah karena Dialah yang paling berhak menentukan keputusan untuk mereka.

Pada saat itu, apa yang mereka harapkan agar memberikan syafaat, serta segala sesuatu yang dianggap dapat memberikan pertolongan, akan sia-sia belaka, tidak ada yang dapat memenuhi harapan mereka, apalagi akan menyelamatkan mereka dari siksaan yang akan menimpa. Allah berfirman:

يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِّنَفْسٍ شَيْـًٔا ۗوَالْاَمْرُ يَوْمَىِٕذٍ لِّلّٰهِ ࣖ

(Yaitu hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikit pun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah. (al-Infitar/82: 19)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 31


(Tafsir Kemenag)

Pembelaan Al-Quran terhadap Dhu’afa dan Mustadh’afin

0
Al-Quran terhadap Dhu’afa dan Mustadh’afin
Al-Quran terhadap Dhu’afa dan Mustadh’afin

Islam merupakan ajaran hak yang membawa kemaslahatan kepada manusia. Dalam mewujudkan kemaslahatan tersebut, Islam tidak bersikap netral, namun ia berpihak kepada kaum dhu’afa (lemah) dan mustadh’afin (yang dilemahkan). Tujuannya jelas, karena dalam realitas sejarah, pihak-pihak tersebut sering terpinggirkan oleh penguasa, mereka yang kuat, dan yang memegang sistem kendali masyarakat. Dan kehadiran Islam adalah untuk memberikan keadilan kepada tatanan masyarakat dengan cara membela para dhu’afa dan mustadh’afin tersebut. Pembelaan Islam kepada mereka sangat kentara sekali dibuktikan dengan banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang menyebut mereka secara literal maupun dalam spiritnya yang tersirat. Tulisan di bawah ini akan mengulas pembelaan Al-Quran terhadap mereka, dengan penjelasan tafsir maupun anasir ayat-ayat yang bersifat gamblang.

Baca juga: Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Kufah

Perintah Al-Quran untuk Membela Dhu’afa dan Mustadh’afin

Dhu’afa dan mustadh’afin sebenarnya memiliki akar kata yang sama yaitu berasal dari kata dha’if yang berarti lemah. Dhu’afa sendiri berkedudukan sebagai isim jamak dari dha’if, sedangkan mustadh’afin menempati posisi sebagai maf’ul dari kata dasar istadh’afa. Sehingga secara etimologi, makna dhu’afa adalah orang-orang yang lemah, sedangkan mustadh’afin adalah orang-orang yang dilemahkan.

Ar-Raghib Al-Isfahani dalam Al-Mufrodat Alfaadh Al-Qur’an mengklasifikan dha’if di dalam Al-Quran menjadi tiga kelompok. Pertama, dha’if fi jism yaitu mereka yang lemah secara fisik. Kedua, dha’if fil aqli, yaitu mereka yang lemah secara intelektual. Kemudian yang terakhir dha’if fil hali yakni mereka yang lemah dalam keadaan sosial dan ekonomi.

Ayat-ayat yang mencatut pembelaan terhadap dhu’afa dan mustadh’afin di dalam Al-Quran cukup banyak, terdapat dalam 13 ayat dalam 5 surat. Ayat-ayat tersebut, ditekankan secara gamblang karena menyebut langsung dengan lafadz mustadh’afin, salah satunya dalam surah An-Nisa’ ayat 75:

وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُوْنَ فِي سَبيْلِ اللهِ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْرِّجَالِ وَالْنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مٍنْ هَذِه الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لّدُنْكَ نَصِيْراً

“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau”.

Menurut penafsiran Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah ayat di atas menyiratkan semangat kaum muslim untuk tampil berjuang membela kebenaran yaitu membela mereka yang lemah. Penggunaan gaya pertanyaan yang mengandung kecaman sekaligus penafian menyiratkan arti penegasan terhadap kalimat tersebut.

Ayat tersebut menurut Quraish Shihab menggaris bawahi kewajiban berjuang membela mereka yang lemah dan tertindas. Ayat ini juga mengisarkan makna pembelaan dhu’afa dan mustadh’afin terhadap saudara yang pernah berlokasi sama atau dalam konteks sekarang saudara setanah air.

Baca juga: Konsep Makna Uli An-Nuha dalam Tafsir Surah Thaha Ayat 49-55

Thabathaba’i dalam Tafsir Al-Mizan turut memberikan komentar terhadap ayat ini bahwasannya dalam diri manusia memang terdapat dorongan untuk membela apa yang diagungkan dan dihormati, seperti sanak family, kehormatan, tempat tinggal dan lain-lain. Hal ini sejalan dengan fitrah manusia, hanya saja pembelaan tersebut menjadi terpuji apabila tidak bertentangan dengan kebenaran.

Islam datang memelihara fitrah itu dengan terlebih dahulu menyebutkan rinciannya, kemudian membimbing seluruhnya ke arah Allah SWT dan mengalihkan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak-Nya. Sehingga pada akhirnya semua dimasukkan ke dalam satu wadah yaitu tauhid. Berangkat dari titik tolak ini Allah menganjurkan manusia untuk membela kelompok, keluarga, dan keturunannya, serta semua hak yang dimilikinya dengan mengembalikan semua itu ke sisi Allah.

Anasir Ayat-Ayat Dhu’afa dan Mustadh’afin dalam Al-Quran

Penafsiran secara konteks baku perihal yang dimaksud mustadh’afin adalah orang-orang yang dibuang oleh orang kafir Mekah yang sangat kuat sebagaimana yang dipaparkan oleh Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab tafsirnya Mafatih al-Ghayb. Namun, jika definisi dhu’afa dan mustadh’afin diperluas, maka pada era hari ini yang termasuk dalam istilah kata tersebut adalah mereka yang lemah, teraniaya, tertindas, dan yang dilemahkan oleh sistem.

Dalam Al-Quran, pihak lemah dan yang dilemahkan ini juga tidak hanya terbatas pada satu konteks, namun banyak. Adakalanya berasal dari konteks ekonomi, sosial, kemerdekaan, fisik, dan lain-lain. Jika dirinci secara global, dhu’afa dan mustadh’afin ini dalam Al-Quran disebutkan secara eksplisit pada sepuluh kelompok.

Pertama, mereka adalah anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil (musafir), orang yang meminta-minta, serta hamba sahaya sebagaimana tersebut dalam surah Al-Ma’un ayat 2-4. Kedua, tuna netra, cacat fisik, dan orang sakit sebagaimana disebut dalam surah An-Nur ayat 61. Ketiga, manusia lanjut usia sebagaimana tersebut dalam surah Al-Isra ayat 23. Keempat, janda miskin sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 240. Kelima, para tahanan atau tawanan yang tertera pada surah Al-Insan ayat 8.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Dalil Kehalalan Bangkai Ikan

Keenam, mereka yang baru memeluk Islam atu muallaf, orang-orang yang memiliki hutang (gharim), serta orang yang berjuang di jalan Allah (fi Sabilillah) sebagaimana yang dijelaskan dalam surah At-Taubah ayat 60. Ketujuh, mereka para karyawan, buruh, atau pekerja kasar yang disebut oleh surah At-Thalaq ayat 6.

Kedelapan, disebut dalam surah Al-Kahfi ayat 79 yaitu para nelayan. Kesembilan, para rakyat kecil yang tertindasa dan teraniaya sebagaimana disebutkan dalam surah An-Nisa’ ayat 75. Kesepuluh, para bayi dan anak-anak kecil sebagaimana yang disebutkan dalam smurah Al-An’am ayat 140.

Selain kesepuluh kelompok yang telah dijelaskan di atas, Al-Quran sebenarnya juga cukup banyak memberikan isyarat pembelaan terhadap mustadh’afin meskipun tidak menyebutkan kata dasarnya langsung. Namun, spirit Al-Quran mengenai hal tersebut begitu jelas, karena memang Al-Quran memang menginginkan keadilan bagi setiap lapisan masyarakat, sebagaimana ajaran Islam yang memiliki prinsip rahmatan lil’alamin. Wallahu a’lam.

Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Kufah

0
Madrasah Tafsir Kufah
Madrasah Tafsir Kufah

Melanjutkan tema kajian pada tulisan sebelumnya, kali ini “Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Kufah” akan coba dibedah dan dipaparkan dalam edisi kali ini. Sebelum masuk ke dalam pembahasan utama, perlu diketahui bahwa madrasah tafsir ini dipimpin oleh Sahabat utama yang oleh riwayat Masruq dikatakan sebagai salah satu dari enam sahabat yang memiliki otoritas dalam memberikan fatwa dan fakta menariknya bahwa setengah dari enam sahabat tersebut merupakan orang Kufah.

Pengaruh Ibn Mas’ud sebagai seorang Sahabat yang memiliki otoritas hukum terhadap madrasah tafsir yang dipimpinnya begitu besar. Maka madrasah tafsir Kufah begitu dikenal sebagai salah satu madrasah yang sangat menaruh perhatian pada kajian al-ahkam al-Qur’aniyah dalam penafsirannya.

Selain itu ada beberapa poin lainnya yang mewarnai kekhasan kajian Qur’an madrasah tafsir Kufah, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad ibn Abdullah ibn ‘Ali al-Khudhairi dalam karyanya Tafsir al-Tabi’in antara lain: 1) Menaruh perhatian pada penafsiran ayat-ayat ahkam; 2) Memungsikan Qira’at sebagai alat bantu penafsiran; 3) Bersikap hati-hati serta wara’ dalam aktivitas penafsiran; 4) Fanatik pada riwayat yang berasal dari Ibn Mas’ud; 5) Sedikitnya penggunaan israilliyah dalam tafsir.

Menaruh Perhatian Pada Penafsiran Ayat-Ayat Ahkam

Sebagaimana telah diuraikan sedikit sebelumnya, bahwa salah satu ciri khas kajian madrasah tafsir Kufah adalah perhatiannya yang tinggi pada persoalan Fiqh. Sufyan ibn Uyainah sebagai salah satu pemuka Tabi’ al-Tabi’in di Mekkah menilai bahwa umat Islam pada saat itu sangat dianjurkan mengambil rujukan soal persoalan Fiqh pada pemikiran-pemikiran ahl al-Kufah.

Baca Juga: Ijtihad Tabiin dan Kontribusinya terhadap Tafsir bi al-Ma’tsur

Madrasah tafsir Kufah juga dikenal dengan julukan Madrasah al-Ra’y. Julukan itu disematkan sebab madrasah yang satu ini selain memiliki spesialisasi di bidang Fiqh, juga banyak mempergunakan analisa logis (logical analyze) dalam struktur metodologi yang mereka gunakan.

Namun perlu diketahui bahwa penggunaan logika dalam penyampaian hukum-hukum dalam Qur’an tidak mereka lakukan semena-mena atau seenaknya. Alasan utama para Tabi’in di Kufah banyak menggunakan analisa logis dalam menjawab persoalan maupun menganalisis hukum-hukum dalam al-Qur’an ialah sedikitnya riwayat yang mereka terima dan sahkan kevalidannya. Hal itu disebabkan adanya konflik politik yang terjadi antara Sunni dan Syi’ah sehingga terjadi banyak pemalsuan hadis.

Selain itu, secara geografis dan demografis terdapat perbedaan antara Iraq dan Hijaz, di mana Iraq merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Persia. Hal itu memberikan dampak pada banyak persoalan masyarakat yang tidak ditemui di wilayah Hijaz dan menuntut adanya argumentasi syar’i dalam menjawabnya. Maka para Salaf di Kufah dihadapkan pada kondisi genting yang mendesak mereka untuk melakukan ijtihad demi menjawab tuntutan sosial yang terjadi saat itu.

Memungsikan Qira’at Sebagai Alat Bantu Penafsiran

Qira’at mendapatkan tempat khusus dalam metodologi penafsiran para punggawa madrasah tafsir Kufah. Maka tidak mengherankan apabila Imam al-Suyuthi dalam al-Itqan menyatakan bahwa jumlah Qura’ atau ahli Qira’at di Kufah lebih banyak dari pada di daerah-daerah lainnya. Hal itu bahkan bisa dibuktikan dari tujuh Imam Qira’at yang menjadi rujukan utama bahwa tiga di antara mereka merupakan orang Kufah yaitu Imam ‘Ashim, Imam Hamzah dan Imam Kisa’i.

Bahkan riwayat Qira’at yang berasal dari guru mereka, Ibn Mas’ud banyak dijadikan rujukan dalam menentukan hukum fiqh pada ayat-ayat ahkam. Maka berdasarkan hal tersebut, mungkin saja yang dimaksud dengan penggunaan ra’yu yang dominan sebenarnya dinisbahkan pada penggunaan alat bantu selain riwayat hadis dalam penafsiran. Sebab di masa Salaf, Fiqh juga disepadankan maknanya dengan ra’yu begitu sebaliknya.

Bersikap Hati-Hati Dalam Aktivitas Penafsiran

Sebagai madrasah yang terkenal dengan perhatiannya yang besar pada penafsiran ayat-ayat ahkam, ternyata madrasah Kufah juga terkenal sebagai madrasah yang minim dalam memproduksi penafsiran. Dalam penafsiran ayat-ayat selain ayat ahkam yang memang dibutuhkan secara langsung oleh masyarakat dalam praktik kehidupan, para punggawa madrasah tafsir Kufah terlihat kurang bergairah untuk menggelutinya.

Mereka memilih untuk mengikuti pendapat yang lebih otoritatif dalam penafsiran ayat-ayat selain ayat ahkam. Belum lagi adanya problem di mana para pemuka di madrasah tersebut cenderung sangat berhati-hati dalam menerima adanya penafsiran-penafsiran baru yang dihasilkan oleh inisiasi para Tabi’in muda.

Para tetua madrasah ini berargumen bahwa penafsiran-penafsiran yang dihasilkan oleh para Tabi’in, yang merasa keilmuan ini perlu dikembangkan dan dibutuhkan oleh masyarakat, tidak pernah mereka dengar sebelumnya dan begitu asing sehingga patut ditolak (sebagai bentuk kehati-hatian). Mereka lebih memprioritaskan untuk mengambil penafsiran yang berasal dari madrasah tafsir Ibn Abbas yang terkenal sebagai madrasah yang paling menonjol dalam bidang tersebut.

Fanatik Pada Riwayat yang Berasal Dari Ibn Mas’ud

Ciri khas lainnya yang bisa ditemui dari madrasah tafsir Kufah ialah sikap fanatisme para punggawanya pada riwayat Ibn Mas’ud. Mereka seakan lebih mempercayai riwayat yang berasal dari Ibn Mas’ud dari pada yang lainnya. Dan bahkan banyak yang begitu fanatis terhadap riwayat yang berasal dari Ibn Mas’ud, sehingga jika tidak ada nama Ibn Mas’ud dalam rantai sanad dalam suatu riwayat maka bisa saja ditolak.

Sebenarnya ada alasan mendasar yang menyebabkan terjadinya fenomena tersebut. Sebagaimana telah diuraikan pada poin sebelumnya, bahwa di Kufah pemalsuan hadis begitu marak akibat adanya konflik politis antar aliran dalam Islam. Akhirnya, para Tabi’in pun lebih mempercayai jika riwayat yang disampaikan pada mereka berasal dari Ibn Mas’ud dari pada orang lain. Fenomena tersebut juga yang telah menjadikan mereka begitu selektif dalam menerima sebuah hadis, dan bahkan dianggap sebagai madrasah yang paling sering menolak riwayat hadis.

Sedikitnya Penggunaan Israilliyah Dalam Tafsir

Penggunaan riwayah israilliyah yang begitu minim menjadi kekhasan lanjutan madrasah tafsir ini. Manhaj atau metode ini memang ditanamkan oleh Ibn Mas’ud yang terkenal sebagai salah satu Sahabat yang sangat berhati-hati dan tidak menyenangi apabila merujuk riwayat ahlu kitab.

Banyak sekali riwayat yang menceritakan sikap Abdullah Ibn Mas’ud yang menentang penggunaan riwayat israilliyah dan tak jarang menyingkirkannya dari rujukan penafsiran. Namun, tidak semua Tabi’in mengikuti secara absolute apa yang telah digariskan oleh Ibn Mas’ud. Sebab salah satu Tabi’in utama madrasah tafsir Kufah, Ibrahim al-Nakha’i, menjadi salah satu dari sedikit Tabi’in madrasah ini yang menggunakan riwayah israilliyah dalam penafsiran.

Baca Juga: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir al-Qur’an Mekkah Masa Tabiin

Berdasarkan uraian atas ragam kekhasan madrasah tafsir Kufah, ada satu poin penting yang perlu direfleksikan. Bahwa madrasah tafsir ini memperlihatkan jika penafsiran khususnya yang berkaitan dengan bahasan ahkam atau Fiqh tidak bisa dilepaskan dengan kondisi geografis dan demografis suatu daerah dan masyarakatnya. Sebab penafsiran dan nantinya ijtihad serta istinbath hukum yang dilakukan merupakan produk yang ditujukan untuk kemaslahatan manusia.

Maka apabila produk-produk penafsiran maupun istinbath hukum tidak mempertimbangkan kedua aspek tersebut, justru tidak akan menjawab apapun. Bisa saja jika produk penafsiran dan ketentuan hukum yang lahir tanpa pertimbangan justru akan membawa pada jauhnya tujuan esensial syari’at (maqashid al-syari’ah) yaitu li mashlah al-ummah (memberi mashlahat pada kehidupan manusia). Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Yunus Ayat 25-26

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 26-27 ini berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai seruan Allah kepada umat Islam agar mereka menempuh jalan yang sudah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad. Kedua mengenai balasan positif yang akan Allah berikan kepada umat Islam.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 23-24


Ayat 25

Allah menyeru kaum Muslimin agar mereka menempuh jalan yang menghantarkan diri mereka ke Darussalam yaitu kebahagiaan abadi yang akan mereka rasakan di surga nanti.

Sebagai bimbingan kepada kehidupan yang bahagia itu, Allah telah memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya, agar mereka menempuh jalan yang lurus yaitu jalan yang bisa mengantarkan mereka kepada kehidupan bahagia itu.

Mereka dilarang meniru perbuatan orang-orang musyrik yang mengutamakan kehidupan dunia. Mereka terpesona sedemikian rupa kepada kehidupan dunia; mereka tidak akan mengharapkan kebahagiaan lain dari yang telah mereka rasakan.

Dengan demikian, mereka telah memilih jalan yang sesat sebab kehidupan dunia itu sangat terbatas dan kebahagiaannya tidak kekal.

Itulah sebabnya maka Allah mengajak kaum Muslimin agar mengikuti syariat dan petunjuk yang dibawa Rasul, agar mereka dapat hidup bahagia di dunia dan di akhirat.

Petunjuk Allah yang diberikan kepada manusia adalah merupakan tanda-tanda yang sangat halus, yang dapat dicapai oleh seseorang dengan menggunakan akalnya dengan jalan memperhatikan alam semesta dan isinya, serta hukum-hukum yang berlaku di dalamnya, sehingga dengan demikian manusia akan dapat mencapai kebenaran yang hakiki.

Selain itu Allah memberikan penjelasan tentang hukum, baik yang bersifat umum ataupun yang bersifat khusus, yaitu hukum syara’ yang mengatur hubungan antara makhluk dengan Khalik serta hubungan antara sesama makhluk.

Hukum-hukum Allah yang berlaku bagi manusia ditunjukkan oleh Allah dengan taufik-Nya. Orang yang mencapai hidayah-Nya itu ialah orang-orang yang diberi kemampuan untuk memahami dan melaksanakannya. Hidayah ini diberikan Allah kepada manusia sesuai dengan iradah-Nya.


Baca juga: Umat Islam berduka Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni Dikabarkan Wafat


Ayat 26

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa bagi orang-orang yang dapat memahami petunjuk dan mengambil manfaat dari petunjuk itu serta mengamalkannya, Allah akan memberikan pahala sesuai dengan amal perbuatan mereka.

Bahkan untuk menggalakkan mereka agar lebih giat mengamalkannya, Allah menjanjikan pahala sepuluh kali lipat atau lebih banyak dari pada itu. Firman Allah:

لِيَجْزِيَ الَّذِيْنَ اَسَاۤءُوْا بِمَا عَمِلُوْا وَيَجْزِيَ الَّذِيْنَ اَحْسَنُوْا بِالْحُسْنٰىۚ

(Dengan demikian) Dia akan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan dan Dia akan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).  (an-Najm/53: 31)

Orang yang melakukan amal yang baik akan mendapat imbalan pahala melebihi pahala yang seharusnya diterima. Mereka itu akan menerima pahala yang berlipat ganda.

Mereka akan mendapat tambahan pahala lagi yang tidak ternilai harganya, yaitu mereka akan mengetahui dengan sebenarnya bahwa Allah Yang Mahamulia.

Pengetahuan ini adalah pengetahuan yang paling tinggi, karena mereka mengetahui dengan sebenarnya Pencipta alam semesta ini, dan membenarkan terjadinya hari akhir. Mereka hidup bahagia, dari wajah mereka tampak cahaya yang berseri-seri, sedikitpun tidak terlihat kemurungan dan kemuraman, lantaran mereka itu tidak merasa kecewa atas keyakinannya yang kuat, dan tidak merasa bersusah hati.

Allah menegaskan bahwa mereka inilah orang-orang yang berhak menjadi penghuni surga. Mereka akan bertempat tinggal di dalamnya selama-lamanya.

Di situlah mereka mengalami kebahagiaan yang abadi, karena tidak akan merasa bosan dan jemu akan kenikmatan yang mereka rasakan, dan tidak pula mereka takut akan berkurangnya kenikmatan atau dikeluarkan dari sana.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 27-30


(Tafsir Kemenag)

Konsep Makna Uli An-Nuha dalam Tafsir Surah Thaha Ayat 49-55

0
makna uli an-nuha
makna uli an-nuha

Uli an-nuha adalah salah satu diksi yang digunakan al-Quran untuk mengungkap karakteristik seseorang “yang memiliki akal”. Uli An-Nuha (أولِي النُّهى) ditemukan di dalam al-Quran sebanyak dua kali; semuanya ada di surah Thaha [20] ayat 54 dan 128. Untuk mengungkap makna uli an-nuha secara komprehensif perlu melihat ayat sebelum atau sesudahnya, sehingga akan melahirkan pemahaman yang holistik.

Quraish Shihab dalam Kaidah Tafsir, hal. 338 berpendapat bahwa di antara keistimewaan bahasa al-Quran ialah keserasian dan keseimbangan maknanya. Seperti dalam kasus makna uli an-Nuha. Bagaimana kemudian maksud dan makna uli an-Nuha dalam Al-Quran? sebuah frasa yang digunakan untuk menyebut ‘orang yang memiliki akal’?

Baca Juga: Alasan Kenapa Al-Quran Diturunkan Berbahasa Arab

Makna Uli An-Nuha

Selama ini kalimat uli an-nuha sering diterjemahkan dengan ‘yang mempunyai akal’. Namun, terjemahan seperti itu tidak mewakili makna secara komprehensif, karena ada istilah lain yang digunakan al-Quran untuk menyebutkan “yang mempunyai akal” di antaranya ulul albab dan ulul abshar. Sehingga apabila maknanya sampai pada “yang mempunyai akal” maka akan menimbulkan kesan pengulangan, padahal setiap diksi al-Quran mempunyai signifikansinya.

Terjemahan tersebut tidaklah salah, karena bersumber dari kitab-kitab tafsir yang otoritatif, seperti Tafsīr al-Jalālain, Mafātīh al-Ghaib, dan lain-lain. Disamping itu, adanya penerjemahan seperti itu bertujuan untuk memberi pemahaman kepada masyarakat umum supaya makna kalimat tersebut tidak sukar dicerna.

Lebih dari itu, uli an-nuha memiliki makna yang khas dan sangat dalam. Kalimat “ulin nuha” terdiri dari dua kata, yakni uli (أولِي) dan an-Nuha (النُّهى). Uli atau ulu (أُولُو)  -ketika marfu’– lafaz jama (plural) yang tidak memiliki bentuk mufrad (tunggal), atau isim jama yang bermakna “mempunyai”  bersinonim dengan dzu ((ذو.

Fairūz ābādī di dalam Bashāir Dzawi al-Tamyīz fī Lathāif al-Kitāb al-‘Azīz (2, 174) dan Qāmūs al-Muhīth (1, 1349) berpendapat   bahwa kalimat ulu tatkala dikategorikan kepada isim jama maka bentuk tunggalnya ialah dzū untuk muzakar dan dzātuذات’ atau dzuh -dengan ha tanbih- untuk muannats.

Adapun kata an-Nuha merupakan bentuk plural dan kata tunggalnya yaitu nuhyah ((نهية yang bermakna “akal”. Artinya, orang yang mempunyai akal harus mampu menghindari semua hal yang dilarang oleh agama dan terus berusaha menjalankan kebaikan. Di dalam Tafsīr al-Jalālain (1, 410) akal diistilahkan dengan nuha, karena dapat mencegah pemiliknya dari perbuatan-perbutan buruk. Al-Razi dalam Mafātīh al-Ghaib (12, 112) mengatakan bahwa nuha adalah salah satu sifat dari akal, sehingga nuha hanya untuk orang-orang yang memiliki akal.

Dari dua pendapat ulama tafsir di atas mengindikasikan bahwa seseorang dapat mencapai derajat uli an-nuha yaitu jika ia menggunakan akalnya sebagai media untuk menilai hal-hal yang baik dan buruk serta dengannya mampu meninggalkan semua hal buruk, yang berpotensi menurunkan kualitas akalnya.

Baca Juga: Surat Al-Isra Ayat 1: Makna Kata Asrā dan Ketelitian Pemilihan Diksi Al-Quran

Makna Uli An-Nuha dan karakteristiknya dalam surah Thaha ayat 49-55

قَالَ فَمَن رَّبُّكُمَا يَٰمُوسَىٰ  ٤٩ قَالَ رَبُّنَا ٱلَّذِيٓ أَعۡطَىٰ كُلَّ شَيۡءٍ خَلۡقَهُۥ ثُمَّ هَدَىٰ  ٥٠ قَالَ فَمَا بَالُ ٱلۡقُرُونِ ٱلۡأُولَىٰ  ٥١ قَالَ عِلۡمُهَا عِندَ رَبِّي فِي كِتَٰبٖۖ لَّا يَضِلُّ رَبِّي وَلَا يَنسَى  ٥٢ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ مَهۡدٗا وَسَلَكَ لَكُمۡ فِيهَا سُبُلٗا وَأَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَأَخۡرَجۡنَا بِهِۦٓ أَزۡوَٰجٗا مِّن نَّبَاتٖ شَتَّىٰ  ٥٣ كُلُواْ وَٱرۡعَوۡاْ أَنۡعَٰمَكُمۡۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلنُّهَىٰ  ٥٤ ۞مِنۡهَا خَلَقۡنَٰكُمۡ وَفِيهَا نُعِيدُكُمۡ وَمِنۡهَا نُخۡرِجُكُمۡ تَارَةً أُخۡرَىٰ  ٥٥

Berkata Fir’aun: “Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa? (49) Musa berkata: “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk. (50) Berkata Fir’aun: “Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu?” (51) Musa menjawab: “Pengetahuan tentang itu ada di sisi Tuhanku, di dalam sebuah kitab, Tuhan kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa; (52) Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan Yang telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam (53) Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal (54) Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain (55).

Secara umum ayat di atas berkaitan dengan dialog antara Fir’aun dan Nabi Musa. Fir’aun bertanya tentang Tuhan Nabi Musa dan Harun dengan pertanyaan yang bermakna takabur dan keangkuhan. Maksudnya, pertanyaan yang diajukan oleh Fir’aun tersebut bukan berdasar pada tidak tahunya dia, tetapi pertanyaan tersebut hanya menunjukan kesombongannya terhadap Musa dan inkarnya terhadap Tuhan. Wahbah Al-Zuhaili dalam al-Tafsīr al-Munīr mengelompokan ayat tersebut pada tema al-Hiwār bain Fir’aun wa Mūsā Haul al-Rubūbiyyah (percakapan antara Fir’aun dan Musa tentang ketuhanan).

Baca Juga: Konsep Kepribadian Ulul Albab dalam Surat Ali ‘Imran Ayat 190-191

Di dalam ayat 54 ada perintah untuk memakan dan mengembala binatang-binatang ternak; namun perintah tersebut bukan berstatus wajib, tetapi mubah (boleh). Perintah tersebut merupakan puncak dari kekuasaan Allah untuk dimanfaatkan oleh semua manusia, tanpa kecuali, karena pada hakikatnya, Allah menciptakan bumi beserta fasilitasnya supaya dimanfaatkan oleh makhluk-Nya, sehingga merawat dan menjaga keutuhan dan stabilitas bumi menjadi sebuah keharusan sebagai pembuktian dari mereka yang mempunyai akal.

Di samping Allah menciptakan sesuatu yang zahir (jelas) dan dapat dijangkau oleh akal manusia, pada kesempatan lain Allah menciptakan sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia. Sehingga tidak heran bagi sebagian kalangan yang masih meragukan Allah menanyakan hal demikian dengan nada inkar, seperti Fir’aun.

Kendati demikian, baik yang terjangkau atau tidak, bagi orang dengan karakteristik uli an-nuha tidak akan mengubah pengetahuan dan keyakinannya terkait sifat Tuhan, yakni Allah memiliki sifat ilmu; yang selamanya tidak akan ada sifat salah dan lupa. Muhammad Sayyid Thanthawi menegaskan bahwa adanya penafian (lupa dan salah) tersebut sebagai bukti bahwa Allah bersih dari sifat “tidak tahu” terhadap semua hal yang berhubungan dengan alam semesta (makhluknya). Al-Tafsīr al-Wasīth li al-Qur’an al-Karīm (9, 115).

Terakhir, tanah yang dimanfaatkan oleh manusia akan menjadi akhir kembali setelah hidup di dunia sekaligus menjadi awal kehidupan di hari kiamat, dan di sanalah manusia mempertanggungjawabkan semua fasilitas yang telah dimanfaatkan olehnya di dunia.

Alhasil, hubungan surah tersebut dengan uli an-nuha tentu membentuk karakteristik bagi manusia, yaitu (1) Meyakini bahwa Allah sebagai ‘pencipta’ dan mempunyai sifat ilmu; (2) Merawat dan menjaga hamparan bumi secara maksimal; (3) Memanfaatkan fasilitas bumi untuk kepentingan ibadah, di antaranya tafakkur; (4) Selalu mempersiapkan bekal (amal) untuk kehidupan setelah kematian. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Yunus Ayat 23-24

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 23-24 ini meneruskan pembahasan sebelumnya yang berbicara mengenai sifat manusia yang kadang melupakan Tuhan dalam setiap masalah yang dihadapi. Selain itu juga berbicara mengenai perumpamaan dunia yang fana ini.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 21-22


Ayat 23

Setelah Allah melepaskan mereka dari malapetaka itu dan mereka merasa senang dan hilang segala kekhawatirannya, mereka lupa kepada Yang Maha Penyelamat dan Pemberi Karunia, bahkan mereka durhaka kepada-Nya dan kembali berbuat kebinasaan di muka bumi dengan melakukan kezaliman dan kekacauan di antara manusia.

 Demikianlah Allah melukiskan watak dan tabiat manusia. Mereka ingat dan merendahkan diri kepada Allah bila mendapat kesengsaraan dan bila malapetaka itu telah lenyap, mereka lupa bahkan kembali mendurhakai Allah.

Watak dan tabiat yang dilukiskan di atas menunjukkan kelemahan manusia, karena itu hendaklah manusia insaf dan sadar atas kelemahan itu. Janganlah kelemahan itu membawa mereka kepada malapetaka yang lebih besar.

Sikap congkak dan perbuatan zalim itu, seandainya merupakan suatu kesenangan baginya, maka itu adalah kesenangan sementara, selama hidup di dunia, sedang kesenangan dan kebahagiaan yang kekal ialah kesenangan dan kebahagiaan yang ditimbulkan oleh kepatuhan kepada Allah dalam keadaan bagaimanapun, baik dalam keadaan senang dan sengsara, suka dan duka, dalam keadaan rugi dan beruntung dan sebagainya.

Kesenangan dan kebahagiaan yang demikian akan dirasakan selama hidup di dunia, lebih-lebih di akhirat nanti.


Baca juga: Menyeimbangkan Urusan Dunia dan Akhirat, Perhatikan Semangat Doa Al-Quran Berikut!


Ayat 24

Ayat ini menerangkan sifat kehidupan dunia dan perumpamaan yang tepat ditinjau dari segi kefanaanya, seperti lenyapnya suatu harapan yang mulai timbul pada diri seseorang.

Sifat dunia seperti ini diserupakan dengan air hujan yang diturunkan Allah dari langit. Dengan air itu tumbuhlah beraneka macam tanaman dan tumbuhan, yang beraneka rupa dan berlainan rasa yang menjadi makanan bagi manusia dan binatang.

Lalu permukaan bumi ditutupi oleh keindahan pemandangan dari pohon-pohon yang menghijau, yang dihiasi oleh bunga dan buah-buahan yang beraneka warna. Pada saat itu timbullah harapan dan cita-cita manusia yang mempunyai kebun itu, seandainya tumbuh-tumbuhan itu berbuah dan bisa dipetik.

Di tengah harapan yang demikian, datanglah malapetaka yang memusnahkan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan itu, sehingga bumi yang berhiaskan pohon yang beraneka warna itu tiba-tiba menjadi datar dan rata seakan-akan belum pernah ditumbuhi apapun.

Pada saat itu, sirnalah harapan dan cita-cita itu, sebagaimana kehidupan dan kesenangan duniawi yang dapat pula sirna seketika.

Kefanaan hidup di dunia itu ditegaskan oleh firman Allah:

اَفَاَمِنَ اَهْلُ الْقُرٰٓى اَنْ يَّأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَّهُمْ نَاۤىِٕمُوْنَۗ  ٩٧  اَوَاَمِنَ اَهْلُ الْقُرٰٓى اَنْ يَّأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَّهُمْ يَلْعَبُوْنَ  ٩٨ 

Maka apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang malam hari ketika mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang pada pagi hari ketika mereka sedang bermain? (al-A’raf/7: 97-98)

Sebagaimana Allah telah memberikan perumpamaan yang tepat dan jelas dalam melukiskan keadaan kehidupan dunia dan tertipunya manusia oleh kehidupan itu karena pengaruh setan dan mengikuti hawa nafsu, maka seperti itu pulalah jelas dan terangnya Allah menerangkan hakikat tauhid, pokok-pokok agama, budi pekerti yang baik dan amal-amal yang saleh yang harus dikerjakan dan dipatuhi.

Hanya orang-orang yang mau menggunakan akal pikiran yang sehatlah yang dapat memahami perumpamaan dan penjelasan itu. Banyak manusia yang lalai dan ingkar karena merasa dirinya telah merasa cukup, merasa sanggup dan merasa berkuasa, sehingga lupa akan tujuan hidup dan kehidupan yang sebenarnya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 25-26


(Tafsir Kemenag)

Theodor Nöldeke: Sarjana German Pelopor Kajian Sejarah Al-Qur’an

0
Theodor Nöldeke
Theodor Nöldeke

Theodor Nöldeke adalah seorang sarjana asal Jerman yang menggeluti studi Perjanjian Lama, bahasa Semit, sastra Arab, Persia, dan Siria. Nöldeke menerjemahkan beberapa karya penting sastra oriental dan selama hidupnya dianggap sebagai seorang orientalis penting. Dia menulis banyak penelitian (termasuk tentang Al-Qur’an) dan menyumbangkan artikelnya ke Encyclopedia Britannica.

Kehidupan Theodor Nöldeke dimulai saat ia dilahirkan di kota Harburg pada tanggal 2 Maret 1836 M. Ia tumbuh di keluarga yang berpendidikan, sehingga sejak kecil ia sudah mengenyam pendidikan secara ketat melalui bimbingan ayahnya di kota Lingen. Dari sinilah Noldeke mempersiapkan diri untuk memasuki pendidikan tinggi.

Pada tahun 1853, Noldeke diterima sebagai Mahasiswa Universitas Gottinngen untuk belajar sastra bahasa Semit, yakni Arab, Ibrani dan Suryani kepada salah seorang sahabat ayahnya bernama H. Ewald. Kemudian pada tahun 1864-1872 ia belajar bahasa Sansekerta dari Benfay hingga diteruskan sampai Universitas Kiel.

Pada tahun 1856, Noldeke memperoleh gelar doktor melalui karya tentang Sejarah Al-Qur’an yang ditulis dalam bahasa Latin. Setelah mendapatkan gelar doktor, pada sekitar tahun 1856-1857, Noldeke  pergi ke Wina (Viena) untuk mempelajari beberapa manuskrip di perpustakaan kota tersebut.

Noldeke merupakan salah tokoh orientalis yang mendedikasikan seluruh hidupnya dalam mengkaji ketimuran. Dengan penguasaan terhadap bahasa Semit, ia telah banyak meneliti dunia timur. Noldeke juga merupakan seorang orientalis yang memiliki umur panjang, yakni 94 tahun. Bahkan, ia dikatakan sebagai tokoh orientalis Jerman yang paling panjang umurnya (Dirasah al-Mustasyriqin Hawl Sihah al-Syi’ir al-Jahili).

Theodor Nöldeke lalu meneruskan pengembaraannya ke Lieden, Belanda pada musim gugur tahun 1857 hingga musim semi tahun 1858. Di Lieden ia mempelajari manuskrip-manuskrip Arab dari beberapa tokoh pemikir seperti Dozy, Juynboll, Matthys de Vries dan Kuenen, serta de Goeje, de Yong dan Engelmann. Dari Lieden, Noldeke  pergi menuju Berlin untuk meneliti beberapa manuskrip termasuk manuskrip bahasa Turki selama 1,5 tahun (hingga 2 September 1860).

Selanjutnya Noldeke berangkat menuju Italia untuk tujuan serupa, yakni mempelajari manuskrip. Sekembalinya dari Italia pada Desember tahun 1860, dia mendapat tugas sebagai pegawai di perpustakaan Göttingen University. Kemudian pada tahun 1861 ia mulai menjadi staf pengajar di universitas tersebut. Tiga tahun berikutnya ia menjadi profesor luar biasa.

Pada tahun 1858, Noldeke memenangi Academie des Inscription et Belles-Lettres di Prancis melalui karyanya tentang sejarah Al-Qur’an. Pada kesempatan yang sama, dua kolega Noldeke, yaitu Aloys Sprenger (1813-1893) dan Michele Amari (1806-1889) juga memperoleh penghargaan tersebut. Karya ini kemudian disempurnakan dan diterbitkan dengan judul Geschichte des Qorans di kota Göttingen.

Dalam pengembaraannya, Noldeke telah melewati beberapa kota besar di Eropa hingga ke Roma Italia. Namun, satu hal yang agak mengherankan, ia tidak pernah mau menjelajahi negara- negara Arab, meskipun ia meneliti manuskrip-manuskrip Arab. Menurut beberapa kalangan, ia sebenarnya mengalami masalah terkait kesehatannya sejak keci sehingga ia tidak mungkin bepergian ke tempat yang rawan (Dirasah al-Mustasyriqin Hawl Sihah al-Syi’ir al-Jahili).

Noldeke menghabiskan masa tuanya sebagai pengajar di Universitas Strassburg hingga pensiun. Kemudian pada umur 84 tahun, ia pindah ke tempat tinggal anaknya, kota Karlsruhe, tempat di mana ia menghabiskan masa-masa akhir hidupnya selama sepuluh tahun. Noldeke meninggal pada 25 Desember 1930 meninggalkan 10 putra dan putri dari hasil pernikahannya sejak tahun 1864.

Pandangan Theodor Nöldeke Mengenai Al-Qur’an

Dalam banyak tulisannya, Theodor Nöldeke ingin membuktikan bahwa apa yang selama ini diyakini umat Islam salah. Ia mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak orisinal, Muhammad bukanlah seorang yang ummi, melainkan ia sangat akrab dengan seni menulis yang saat itu dianggap sebagai bukti orang yang berilmu. Berkat itulah ia mampu menduplikasi ajaran Kristen dan Yahudi (The History of Qur’an: 3).

Melalui pendekatan filologi, Noldeke  memberikan kesimpulan yang berbeda dari pandangan pada umumnya tentang predikat ummī bagi Muhammad. Menurutnya, tidak benar anggapan umum bahwa kata ummī dipahami sebagai kebalikan dari “orang yang bisa membaca dan menulis.” Yang benar adalah ummī lebih layak dipahami sebagai kebalikan dari “orang yang mengenal kitab suci.”

Theodor Nöldeke berkata:

“Setelah kami menelaah secara saksama terhadap seluruh ayat-ayat  Al-Qur’an,  kami  mendapatkan  kesimpulan bahwa kata ﺍﻻﻣﻲ adalah kebalikan dari ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺍﻫﻞ ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kata ummī bukan sebagai kebalikan dari “orang yang bisa menulis,” tetapi sebagai kebalikan dari “orang-orang yang mengetahui kitab suci.”

Pandangan Nöldeke tentang pengertian ummī di atas diamini oleh Muhammad Abid al-Jabiri. Kata ummī adalah kebalikan dari “ahl al-kitāb” (kaum Yahudi dan Nasrani). “Ummiyyūn” ditujukan bagi orang-orang Arab yang tidak paham terhadap kitab Taurat dan Injil, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, yakni surah al-Baqarah ayat 78, surah Āli ‘Imran ayat 20 dan 75 serta surah al-Jumu’ah ayat 2.

 Karena alasan inilah, al-Jabiri kemudian menolak kata ummī dipahami sebagai orang yang tidak bisa membaca dan menulis (Madkhal  ilā  al-Qur`ān   al-Karīm). Berbeda dari pendapat di atas, al-Syātibī lebih memahami term ummī sebagai sifat keawaman seseorang atau kelompok terhadap ilmu-ilmu kaum terdahulu, termasuk awam dalam bidang tulis menulis dan ilmu hitung (al-Muwāfaqāt fī Usul al-Syarī’ah).

Nöldeke menyimpulkan bahwa dalam penulisan Al-Qur’an, Muhammad memiliki dua karakteristik dalam mengimpor ajaran dari kitab Yahudi dan Kristen; Pertama, ia menuliskan kedua ajaran tersebut menjadi Al-Qur’an menurut pemahamannya yang terbatas, karena ia tidak bisa melihat kitab-kitab tersebut secara literal. Kedua, dalam menulis Al-Qur’an, Muhammad tidak memasukkan ideologi luar tertentu karena ia bermaksud untuk menciptakan ideologinya sendiri.

Contoh kongkretnya adalah dengan adanya Ka’bah dan seruan untuk haji. Noldeke mengatakan bahwa di dalamnya terdapat unsur-unsur kepercayaan pagan yang merupakan kepercayaan bangsa Arab ketika itu dan mempunyai sumber orisinal dari ajaran Ibrahim. Muhammad mengadopsi ini, namun mengubahnya secara total dan menyesuaikannya dengan cerita-cerita Yahudi sebanyak yang ia ingat (The History of Qur’an: 14).

Dalam bukunya yang lain, yaitu yang tercantum dalam Encyclopedia Britannica, Noldeke dengan lantang menyatakan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam Al-Qur’an ini disebabkan karena ketidaktahuan Muhammad mengenai sejarah awal dan pemahamannya tentang agama Yahudi. Akibatnya, banyak muncul informasi yang “keliru” tentang umat-umat terdahulu.

Pemikiran yang disampaikan Noldeke ini sebenarnya merupakan sebuah pengembangan dari pemikir sebelumnya yaitu Abraham Geiger, yang mengatakan bahwa Al-Qur’an terpengaruh oleh agama Yahudi, pada hal, pertama, dalam hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin, yang kedua, peraturan-peraturan hukum dan moral, dan ketiga, tentang pandangan terhadap kehidupan.

Terlepas dari pandangan kontroversi Nöldeke terhadap nabi Muhammad saw dan Al-Qur’an, kajian historisnya telah membuka kesadaran sarjana muslim modern untuk lebih memperhatikan kesejarahan Al-Qur’an, bukan hanya diskursus teologis tentang pewahyuan Al-Qur’an. Berkat itu pula, lalu muncullah berbagai karya sejarah Al-Qur’an di kalangan umat Islam seperti Abu Bakar Aceh asal Indonesia. Wallahu a’lam.

Tafsir Ahkam: Dalil Kehalalan Bangkai Ikan

0
dalil kehalalan bangkai ikan

Apakah hukum makan bangkai? Saat ditanya tentang hal itu mungkin kita akan serta merta menjawab haram. Lalu bagaimana dengan bangkai ikan atau hewan laut? Bukankah tidak ada tata cara untuk menyembelih ikan? Sampai di sini kita mungkin akan tersadar bahwa ada bangkai yang dihalalkan. Yaitu bangkai hewan laut. Lalu bagaimana para ulama sampai pada kesimpulan bahwa bangkai hewan laut di halalkan? Berikut penjelasan pertanyaan tersebut sekaligus dalil kehalalan bangkai ikan.

Perihal bangkai hewan laut dalam Al-Quran

Dalam permasalahan kehalalan bangkai ikan atau hewan laut yang lain, ulama merujuk pada firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 96:

اُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهٗ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۚوَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا ۗوَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْٓ اِلَيْهِ تُحْشَرُوْنَ ٩٦

Dihalalkan bagi kamu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal dari) laut sebagai kesenangan bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) hewan buruan darat selama kamu dalam keadaan ihram. Bertakwalah kepada Allah yang hanya kepada-Nya kamu akan dikumpulkan (QS. Al-Ma’idah [5] 96).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Petunjuk Al-Quran Tentang Makanan yang Halal dan Haram

Ada beragam penafsiran tentang makna dari “hewan buruan laut” dan “makanan laut”. Imam Ibn Katsir menafsirkan hewan buruan laut sebagai hewan lunak yang diambil dari laut, sedang makanan laut sebagai hewan yang dijadikan bekal dalam keadaan kering dan sudah diasinkan. Ibn Katsir kemudian mengutip keterangan tafsir yang diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas yang menyatakan bahwa “hewan buruan laut” adalah hewan yang diambil dari laut dalam keadaan hidup dan “makanan laut” adalah hewan yang dikeluarkan laut (terdampar) dalam keadaan mati (Tafsir Ibn Katsir/3/197).

Tafsir yang diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas, juga diriwayatkan dari Abu Bakr As-Shiddiq, Zaid ibn Tsabit, ‘Abdullah Ibn ‘Amr, Abi Ayyub Al-Anshari, ‘Ikrimah, Abi Salamah Ibn ‘Abdirrahman, dan Ibrahim An-Nakha’i. Sementara itu, masih banyak riwayat yang menyatakan tafsir yang berbeda dari yang di atas.

Ibn Jarir At-Thabari di dalam tafsirnya menyatakan, ada 3 riwayat yang berbeda tentang tafsir dari kata “makanan laut”. Ada yang menyatakan maknanya adalah hewan yang terdampar dalam keadaan mati, ada yang menyatakan maknanya adalah ikan yang diasinkan, dan ada pula yang menyatakan maknanya segala yang ada di dalam laut. Ibn Jarir kemudian memilih penafsiran yang menyatakan bahwa makanan laut adalah hewan yang terdampar atau lemas kemudian ditemukan di tepi laut dalam keadaan mati (Tafsir At-Thabari/11/69).

Baca Juga: Surah Al-Baqarah [2] Ayat 168: Anjuran Makan Makanan Halal dan Bergizi

Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Muhazab menyatakan, ikan dan belalang ketika mati maka hukumnya halal. Hal ini sesuai dengan nas dan kesepakatan para ulama’. Imam An-Nawawi kemudian menyatakan bahwa dasar yang dipakai adalah surah Al-Maidah ayat 96 di atas dan hadis yang diriwayatkan dari Abi Hurairah:

سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ ».

Seorang lelaki bertanya pada Nabi Muhammad salallahualaihi wasallam lalu berkata: “Wahai Rasulullah, kami berlayar di lautan dan membawa air sedikit. Apabila kami menggunakannya berwudhu, kami akan kehausan. Apa kami boleh berwudhu dengan air laut?”. Rasulullah kemudian menjawab: “Air laut suci dan mensucikan. Bangkainya halal” (HR. Ad-Daruqutni, Al-Baihaqi, Al-Hakim dan selainnya).

Imam As-Shan’ani di dalam Subulus Salam menyatakan, hadis di atas merupakan dasar bagi hukum halalnya bangkai ikan dalam segala bentuk keadaan. Baik mati dengan terlihat mengapung atau selainnya (Subulus Salam/1/52).

Berdasar pernyataan Imam An-Nawawi di atas, ulama telah sepakat bahwa bangkai ikan hukumnya halal. Dalil kehalalan bangkai ikan sendiri telah dijelaskan sebelumnya, termasuk dari para mufasir. Namun perlulah diingat bahwa ulama tidak mengkategorikan seluruh hewan laut sebagai ikan. Sehingga pernyataan Imam An-Nawawi di atas tidak bisa dijadikan dasar bagi dihalalkannya seluruh hewan laut. Wallahu a’lam bishshowab.