Beranda blog Halaman 369

Tafsir Ayat Syifa: Kenali Makna Kesehatan dan Bagaimana Cara Menjaganya

0
Tafsir Ayat Syifa: Kenali Makna Kesehatan
Tafsir Ayat Syifa: Kenali Makna Kesehatan

Salah satu nikmat yang paling sering dilupakan oleh manusia ialah nikmat kesehatan. Kesehatan merupakan nikmat yang teramat penting dalam kehidupan manusia. Tanpa kesehatan, niscaya manusia bukanlah apa-apa. Maka tak heran Nabi saw pernah bersabda, “ada dua kenikmatan yang sering dilalaikan manusia, yaitu nikmat sehat dan waktu luang”. Dan begitu, kita berharap mampu mengenali makna kesehatan dan bagaimana cara menjaganya. 

Manusia acapkali baru menyadari betapa pentingnya anugerah kesehatan tatkala ditimpa sakit. Jika sudah sakit, mengeluh pun tak ada gunanya. Karena itu, kesadaran akan nikmat kesehatan, kesembuhan serta anjuran untuk menjaga keduanya telah disitir dalam firman-Nya dalam Q.S. al-Syu’ara [26]: 80,

وَاِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ

Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, (Q.S. al-Syu’ara [26]: 80)

Baca juga: Tafsir Ayat Syifa: Al-Quran sebagai Obat bagi Orang Beriman

Tafsir Surat al-Syu’ara Ayat 80

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa konteks ayat ini adalah terkait sakit yang diderita oleh Nabi Ibrahim a.s. Meskipun pada kenyataannya sakit yang dideritanya berasal dari qadha dan qadar Allah swt. Tatkala manusia sakit, sejatinya tiada yang dapat menyembuhkannya kecuali kuasa Allah swt. Pengobatan medis dan dokter hanyalah wasilah (perantara) kesembuhan bukan jaminan paten akan kesembuhan manusia.

Ismail Haqqi dalam Ruh al-Bayan menafsirkan ayat di atas bahwa tatkala seseorang divonis sakit A, B, C dan seterusnya oleh dokter, maka sesungguhnya dokter hanyalah seorang manusia biasa. Ia mampu mendiagnosa sakit pasiennya dan menyatakan sakit A atau B karena berpijak pada keilmuan kedokteran. Meski begitu, sesungguhnya dokter sendiri beserta obat pun tidak menjamin kesembuhan pasien. Karena itu, Allah swt sangat penting untuk dihadirkan dalam benak kita bahwa yang memberi sakit adalah Allah swt, dan Allah sendirilah yang menyembuhkannya. Itulah hakikat makna ayat di atas.

Artinya, Allah pulalah yang mendatangkan obatnya, lalu Dia sendiri yang menyembuhkannya. Berkenaan dengan dokter hanyalah sebagai wasilah (perantara) kesembuhan, bukan menjamin kesembuhan manusia. Penafsiran demikian juga dituturkan Muhammad Ali al-Shabuni dalam Shafwah al-Tafasir bahwa, idza ashabanil mardha fa-innahu la yaqdiru ala syafa-ii ahadun ghairahu (apabila penyakit menyerangku maka sesungguhnya tidak ada kuasa apapun untuk menyembuhkannya kecuali Allah swt. Maka bersandarlah kepadaNya dan meminta kesembuhan dari-Nya.

Baca juga: Menyoal Makna Syifa dalam Al-Quran

Tidak jauh berbeda, al-Tabari, mufasir klasik kenamaan menafsirkan ayat di atas sebagai berikut,

وإذا سقم جسمي واعتلّ، فهو يبرئه ويعافـيه

“Tatkala tubuhku terserang penyakit dan jatuh sakit, maka Dialah yang menyembuhkan dan menyehatkanku”

Lebih jauh, al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib lebih merincikan makna ayat di atas, ia berpendapat sakit yang diderita manusia itu lebih banyak disebabkan oleh pengaruh makanan dan minuman. Atau pola makan dan minum yang tidak sehat, serta sembarangan. Munculnya penyakit karena ada satu pertentangan di dalam tubuh akibat dominasi satu unsur, misal jika seseorang mengonsumsi gula berlebihan, maka akan terserah penyakit diabetes, dan sejenisnya misalnya.

Karena itu, al-Razi mengistilahkan hal ini dengan istila’ (الاستيلاء). Istila ialah segala sesuatu yang menyebabkan pertentangan karena tidak adanya ketersesuaian di dalamnya. Hal ini berbeda diametral dengan istilah shihhah (الصحة). Sehat menurut al-Razi adalah adanya keseimbangan dalam tubuh karena perpaduan semua zat yang proporsional, tidak kurang ataupun berlebihan. Sehingga sehat itu adalah akibat bukan sebab. Selama manusia mematuhi koridor pola makan minum dari Allah Swt dan rasul-Nya, Insya Allah kesehatan senantiasa menyelimutinya.

Dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 168 dinyatakan, “… makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan”. Firman ini juga diamini Quraish Shihab dalam tafsirnya, al-Misbah bahwa selain ikhtiar memakan makanan yang halal lagi baik, itu juga merupakan mempercepat kesembuhan (syifa’) bagi manusia itu sendiri, serta sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat kesehatan yang diberikan-Nya.

Baca juga: Sihir itu Nyata ataukah Hayalan? Inilah Tafsir Ayat tentang Sihir

Menjaga Sehat, Menjaga Nikmat Allah SWT

Kesehatan dan kesembuhan merupakan salah satu nikmat yang teramat penting bagi manusia tanpa nikmat sehat, niscaya manusia tidak mampu melakukan aktifitasnya dengan baik. Pada ayat di atas, sesungguhnya menyiratkan makna bahwa sakit dan sehat adalah berasal dari Allah swt. Tatkala manusia terserang penyakit mematikan sekalipun, terpapar Covid-19 misalnya, maka sandaran kita hanyalah Allah swt. Pengobatan medis tetap dilakukan sebagai bentuk ikhtiar kesembuhan. Mengabaikan pengobatan medis dan saran dokter sama dengan mengabaikan Allah swt.

Lebih dari itu, ayat di atas juga menyitir akan perintah menjaga kesehatan. Salah satunya dengan memakan makanan yang halal lagi baik (bergizi). Kebanyakan manusia menderita sakit karena pola makan yang serampangan, tidak memperdulikan apakah ini halal atau bergizi, tidak memperhatikan efek jangka panjang apabila mengonsumsi makanan atau minuman ini, dan terkesan pragmatis (seenaknya sendiri) serta cenderung diperbudak hawa nafsu. Sehingga jangan disalahkan jika penyakit “gemar” menjangkiti manusia.

Meskipun demikian, Rasulullah saw menyadari bahwa manusia itu lebih banyak lalainya ketimbang iling-nya (sadarnya). Karena itu, Beliau saw mengajarkan beberapa doa kesembuhan sebagaimana terekam dalam Kitab al-Adzkar, karya Imam an-Nawawi. Dalam beberapa riwayatnya, Rasul saw jiga mendoakan kesembuhan untuk keluarganya sebagaimana diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a.

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شَافِيَ إلَّا أَنْتَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقْمًا

“Ya Allah, Tuhan manusia. Hilangkanlah penyakit. Sembuhkanlah penyakit ini karena hanya Engkaulah Dzat Yang Maha Penyembuh. Tidak ada yang mampu menyembuhkan kecuali Engkau Ya Rabb yang tidak menyisakan rasa nyeri sedikitpun”.

Dalam riwayat yang lain, Rasul saw juga memintakan ampun dan perlindungan agama bagi mereka yang sakit. Doa ini dibacakan oleh Nabi saw tatkala menjenguk Salman al-Farisi seperti yang diriwayatkan Ibnu Sunni,

شَفَى اللهُ سَقَمَكَ، وَغَفَرَ ذَنْبَكَ، وَعَافَاكَ فِي دِيْنِكَ وَجِسْمِكَ إِلَى مُدَّةِ أَجَلِكَ

“Ya Allah (sebutkan nama orang yang sakit), semoga Allah menyembuhkanmu, mengampuni dosamu dan menyehatkanmu agama dan jasmanimu sepanjang usiamu”.

Doa-doa di atas dapat kita baca baik untuk diri sendiri, karib kerabat, keluarga, maupun teman kita. Sungguhpun demikian, di tengah kondisi wabah Covid-19 selain mendawamkan doa di atas, kita juga diingatkan kembali bagaimana menjaga pola makan dan kebersihan, mengatur waktu dengan baik, berolahraga secara teratur, dan lebih banyak berdiam diri untuk merenungi diri atau bermuhasabah (introspeksi diri) sehingga semakin muttaqin (orang yang bertakwa) dan tergolong hamba-Nya yang ‘ibadiyas syakur (hamba yang bersyukur kepada Allah SWT).

Semoga kesehatan dan kebaikan senantiasa menyertai kita semuanya, dan dijauhkan dari bala’ ad-dunya wa ‘adzabil akhirat. Aamiin. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Yunus Ayat 21-22

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 21-22 berbicara mengenai kekuasan dan kasih sayang Allah kepada manusia, namun sebagian manusia mengingkarinya. Salah satunya ketika diberi kebahagiaan mereka lupa bahwa itu merupakan anugerah Allah Swt.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 20


Selanjutnya Tafsir Surah Yunus Ayat 21-22 bebicara mengenai anugerah Allah berupa kemampuan berjalan, berlayar, terbang dan memberikan banyak sekali potensi agar bisa dimanfaatkan oleh manusia.

Ayat 21

Ayat ini menerangkan sifat orang kafir pada umumnya dan sifat orang musyrik pada khususnya. Bahwa bila Allah memberikan suatu kelapangan kepada mereka setelah menderita suatu kesukaran atau kebahagiaan sesudah mereka sengsara, mereka tidak mengakui bahwa kelapangan dan kebahagiaan itu datangnya dari Allah, sehingga mereka tidak mensyukuri-Nya.

Apabila rahmat Allah datang kepadanya berupa hujan yang diturunkan dari langit yang menumbuhkan tanam-tanaman dan menghidupkan binatang ternak, mereka menyatakan bahwa itu adalah berkat berhala dan sembahan-sembahan mereka, atau mereka mengatakan bahwa hujan itu turunnya secara kebetulan saja, karena musim hujan telah tiba.

Jika mereka ditimpa kesukaran, kemudian kesukaran itu hilang maka mereka mengatakan bahwa kesukaran itu hilang semata-mata karena mereka sendiri adalah orang-orang yang pandai menghilangkan kesukaran dan termasuk orang-orang yang bernasib baik.

Hal yang seperti ini telah dilakukan oleh Fir’aun dan kaumnya setiap mereka menerima azab Allah dan setiap mereka terlepas dari azab itu. Hal yang sama dilakukan orang-orang musyrik Mekah terhadap Nabi Muhammad saw dan pengikut-pengikutnya.

Diriwayatkan oleh al-Bukhāri dari Abdullah bin Mas’µd bahwa tatkala orang-orang Quraisy menyakiti Rasul sampai melampui batas, Rasulullah saw berdoa kepada Allah agar orang musyrik ditimpakan azab berupa musim kemarau seperti tahun kemarau yang terjadi pada masa Nabi Yusuf.

Maka merekapun ditimpa musim kemarau yang sangat dahsyat, hingga mereka terpaksa makan tulang dan bangkai. Karena kekeringan dan panas yang sangat tinggi, penglihatan mereka menjadi berkunang-kunang dan berasap sebagai dilukiskan Allah dalam Surah ad-Dukhān/44 ayat 10.

Maka datang-lah Abu Sufyan, pemimpin Quraisy kepada Muhammad saw, ia berkata, “Ya Muhammad, sesungguhnya engkau memerintahkan kepada kami mengada-kan hubungan silahturrahim, dan sesungguhnya kaummu telah binasa, maka mohonkanlah kepada Allah agar mereka dilepaskan dari kesulitan itu.

Maka Rasulullah berdoa kepada Allah, lalu kesulitan dan malapetaka itu pun berakhir dan turunlah hujan. Ternyata, tidak berapa lama, mereka kembali mengingkari Rasulullah dan memusuhinya.

Karena sikap mereka yang demikian itu, maka Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw untuk menyampaikan peringatan kepada orang-orang musyrik itu bahwa Allah lebih cepat siksa-Nya dari tipu daya mereka, Allah telah menyiapkan azab yang akan ditimpakan kepada mereka, sebelum mereka sempat mengatur siasat tipu daya untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslimin.

Semua amalan baik dan buruk akan dicatat oleh malaikat yang telah ditugaskan Allah. Tidak ada satu pun dari perbuatan manusia, baik yang kecil maupun yang besar yang tidak dituliskannya. Kemudian di akhirat nanti, setiap manusia akan memperoleh balasan segala perbuatannya itu. Perbuatan buruk dibalas dengan siksa neraka, sedang perbuatan baik dibalas dengan kenikmatan surga.

Ayat ini mengisyaratkan bahwa semua pembicaraan manusia dicatat oleh malaikat dan keberadaan malaikat itu ditegaskan oleh ayat ini.


Baca juga: Perdebatan Nabi Musa dengan Fir’aun tentang Hakikat Tuhan


Ayat 22

Dalam ayat ini, Allah menunjukkan kemampuan, kekuasaan, dan anugerah-Nya kepada manusia seraya berfirman, Dialah Allah yang telah memberikan kepadamu (manusia) kesanggupan berjalan di darat, berlayar di lautan, dan terbang di udara dengan memberikan kepadamu kesempatan untuk mempergunakan beraneka macam sarana seperti bintang, kapal, dan sebagainya.

Dengan alat angkutan tersebut kamu dapat mencapai berbagai keinginanmu dan untuk bersenang-senang.

Dengan kesanggupan dan kemampuan yang diberikan-Nya itu, manusia diuji dan dicoba oleh Allah, sehingga nampak jelas watak dan tabiatnya, yang diibaratkan Allah sebagai berikut: dengan kesanggupan yang diberikan-Nya itu, manusia membuat sebuah bahtera yang dapat mengarungi samudera luas.

Tatkala mereka telah berada dalam bahtera itu dan ia berlayar membawa mereka dengan bantuan hembusan angin yang baik dan ombak yang tenang, mereka pun bergembira. Tiba-tiba datanglah angin badai yang kencang dan ombak yang menghempas dari segenap penjuru, sehingga timbullah kecemasan dan ketakutan dalam hati mereka.

Mereka merasa tidak akan dapat lagi melihat matahari yang akan terbit pada esok harinya karena hempasan ombaknya yang dahsyat.

Karena itu mereka pun berdoa kepada Allah seraya merendahkan diri dengan penuh keikhlasan, sambil menyesali perbuatan yang pernah mereka lakukan, agar Allah melepaskan mereka dari gulungan ombak yang maha dahsyat itu, mereka mengucapkan, “Wahai Tuhan kami, sesungguhnya jika engkau lepaskan kami dari malapetaka yang akan menimpa kami, tentulah kami menjadi orang-orang yang mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan.”


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 23-24


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Ahkam: Benarkah Bersentuhan dengan Lawan Jenis itu Membatalkan Wudhu?

0
benarkah bersentuhan dengan lawan jenis itu membatalkan wudhu?
benarkah bersentuhan dengan lawan jenis itu membatalkan wudhu?

Mayoritas umat muslim di Indonesia menganut Mazhab Syafi’i yang meyakini bahwa menyentuh lawan jenis termasuk membatalkan wudhu. Hal ini berdampak saat diri mereka hendak menjaga wudhu, mereka menghindari bersentuhan dengan lawan jenis meski itu istri sendiri. Selain itu, pada waktu menunaikan haji dan hendak melakukan tawaf, beberapa diantara mereka merasa perlu beralih mazhab sebab cukup sulit menghindari bersentuhan kulit dengan lawan jenis saat tawaf.

Lalu, benarkah sebenarnya masih ada perbedaan pendapat diantara ulama mengenai batalnya wudhu sebab bersentuhan dengan lawan jenis? Bagaimana ayat Al-Quran menyinggung hal ini? dan apa yang menjadi penyebab perbedaan pendapat diantara para ulama? Berikut penjelasannya

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6: Hukum Wudhu Perempuan yang Memakai Kuteks

Bersentuhan dengan lawan jenis dalam Al-Quran

Ada dua ayat di dalam Al-Quran yang menyinggung perihal bersentuhan dengan lawan jenis menjadikan seseorang mengalami hadas kecil atau batalnya wudhu. Ayat pertama adalah firman Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 43:

اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ

Atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci) (An-Nisa’ [4]: 43).

Ayat kedua adalah firman Allah dalam Surat Al-Ma’idah ayat 6:

اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗ

Atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu (Al-Ma’idah [5]: 6).

Mazhab Syafi’i meyakini bahwa menyentuh lawan jenis hukumnya membatalkan wudhu. Dasar yang dipakai salah satunya adalah ayat di atas. Ayat di atas menyatakan bahwa laki-laki menyentuh perempuan dan tidak menemukan air maka diwajibkan bertayamum. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan bersentuhan tersebut menyebabkan perlunya berwudhu atau bertayamum. Namun apa yang diyakini Mazhab Syafii ini bukanlah kesepakatan para ulama’ (Al-Majmu’/2/23)

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Berwudhu dengan Air Laut?

Imam Ar-Razi di dalam tafsirnya menyatakan, para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna “bersentuhan” di dalam ayat di atas. Setidaknya ada dua pendapat tentang hal itu. Pendapat pertama meyakini bahwa makna bersentuhan tersebut adalah berhubungan intim (Jima’). Pendapat ini diyakini oleh Ibn ‘Abbas, Al-Hasan, Mujahid, Qatadah, dan merupakan pendapat Mazhab Hanafi. Konsekuensi dari penafsiran menurut pendapat ini adalah, bersentuhan dengan lawan jenis selain lewat hubungan intim tidaklah membatalkan wudhu.

Pendapat kedua menyatakan bahwa makna bersentuhan tersebut adalah bertemunya dua kulit, entah itu dengan berhubungan intim atau selainnya. Pendapat ini diyakini oleh Ibn Mas’ud, Ibn ‘Amr, As-Sya’bi, An-Nakha’i, dan merupakan pendapat Mazhab Syafi’i. Imam Ar-Razi selanjutnya menyatakan bahwa pendapat kedua inilah pendapat yang paling unggul. Hal ini berdasar pada perlu memahami kata “bersentuhan” dengan makna hakikatnya terlebih dahulu, sebelum beralih ke makna kiasannya, yaitu berhubungan intim (Mafatihul Ghaib/5/2016).

Berbeda dengan Imam Ar-Razi yang mengunggulkan pendapat bahwa makna bersentuhan adalah pertemuan dua kulit, sehingga menyentuh lawan jenis membatalkan wudhu, Imam Ibn Jarir At-Thabari meyakini bahwa makna yang tepat adalah berhubungan intim. Ibn Jarir mendasarkan pendapatnya pada hadis sahih yang menyatakan, bahwa Nabi mencium sebagian istrinya kemudian menjalankan salat tanpa berwudhu terlebih dahulu (Tafsir Ath-Thabari/8/396).

Ulama yang meyakini bahwa makna bersentuhan adalah berhubungan intim, mendasarkan pendapatnya pada ayat lain yang juga memakai kata bersentuhan sebagai kiasan dari berhubungan intim. Ayat tersebut adalah surah Al-Baqarah ayat 237 tentang pembagian warisan, dan surah Al-Ahzab ayat 49 tentang masa iddah yang wajib dijalankan perempuan (Tafsir Ibn Katsir/2/314).

Meski hanya ada dua pendapat mengenai makna dari “bersentuhan” di dalam Surat An-Nisa’ dan Al-Maidah di atas, tapi kenyataannya di dalam fikih terjadi banyak silang pendapat mengenai kriteria bersentuhan yang membatalkan wudhu. Diantaranya usia perempuan yang disentuh, apakah bersentuhan tersebut dengan syahwat atau tidak, serta bagian tubuh mana yang bersentuhan, dan selainnya. Sehingga penting untuk tidak hanya mempelajari hukum bersentuhan dengan lawan jenis hanya cukup lewat kitab tafsir saja. Namun juga pada syarh hadis serta kitab fikih dalam berbagai mazhab. Wallahu a’lam bishshowab.

Tafsir Surah Yunus Ayat 20

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 20 berbicara mengenai keingkaran orang-orang kafir dengan pura-pura dalam kesangsian. Mereka mempertanyakan tentang mukjizat yang dimiliki oleh Nabi Muhammad Saw.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 19


Mukjizat yang mereka pertanyakan yang termuat dalam Tafsir Surah Yunus Ayat 20 ini adalah yang berhubungan dengan alam seperti mukjizat Nabi Nuh As, Nabi Salih As, Nabi Musa As, dan Nabi Isa As. Padalah al-Qur’an juga mukjizat yang tak kalah hebatnya.

Ayat 20

Dalam ayat ini dijelaskan sikap orang-orang musyrik kepada Nabi dengan mengatakan bahwa mengapa tidak diturunkan kepada Muhammad tanda-tanda kerasulannya yang berhubungan dengan alam ini, seperti yang pernah diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya, seperti angin topan Nabi Nuh, membelah laut untuk Nabi Musa, dan sebagainya.

Permintaan dan keheranan mereka itu dilukiskan dalam ayat yang lain, sebagai berikut:

وَقَالُوْا مَالِ هٰذَا الرَّسُوْلِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِيْ فِى الْاَسْوَاقِۗ  لَوْلَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُوْنَ مَعَهٗ نَذِيْرًا ۙ  ٧  اَوْ يُلْقٰىٓ اِلَيْهِ كَنْزٌ اَوْ تَكُوْنُ لَهٗ جَنَّةٌ يَّأْكُلُ مِنْهَاۗ وَقَالَ الظّٰلِمُوْنَ اِنْ تَتَّبِعُوْنَ اِلَّا رَجُلًا مَّسْحُوْرًا  ٨

Dan mereka berkata, ”Mengapa Rasul (Muhammad) ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa malaikat tidak diturunkan kepadanya (agar malaikat) itu memberikan peringatan bersama dia, atau (mengapa tidak) diturunkan kepadanya harta kekayaan atau (mengapa tidak ada) kebun baginya, sehingga dia dapat makan dari (hasil)nya?” Dan orang-orang zalim itu berkata, ”Kamu hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir.” (al-Furqan/25: 7-8)

Mereka juga meminta bukti-bukti kenabian yang lain, seperti kebun-kebun yang indah dimana sungai-sungai mengalir di sana, atau azab dengan menjatuhkan langit, atau rumah dari emas yang diberikan kepada Muhammad. Dalam ayat lain Allah berfirman:

وَقَالُوْا لَنْ نُّؤْمِنَ لَكَ حَتّٰى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الْاَرْضِ يَنْۢبُوْعًاۙ    ٩٠  اَوْ تَكُوْنَ لَكَ جَنَّةٌ مِّنْ نَّخِيْلٍ وَّعِنَبٍ فَتُفَجِّرَ الْاَنْهٰرَ خِلٰلَهَا تَفْجِيْرًاۙ    ٩١  اَوْ تُسْقِطَ السَّمَاۤءَ كَمَا زَعَمْتَ عَلَيْنَا كِسَفًا اَوْ تَأْتِيَ بِاللّٰهِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ قَبِيْلًاۙ    ٩٢  اَوْ يَكُوْنَ لَكَ بَيْتٌ مِّنْ زُخْرُفٍ اَوْ تَرْقٰى فِى السَّمَاۤءِ ۗوَلَنْ نُّؤْمِنَ لِرُقِيِّكَ حَتّٰى تُنَزِّلَ عَلَيْنَا كِتٰبًا نَّقْرَؤُهٗۗ

Dan mereka berkata, ”Kami tidak akan percaya kepadamu (Muhammad) sebelum engkau memancarkan mata air dari bumi untuk kami. Atau engkau mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu engkau alirkan di celah-celahnya sungai yang deras alirannya, Atau engkau jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana engkau katakan, atau (sebelum) engkau datangkan Allah dan para malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau engkau mempunyai sebuah rumah (terbuat) dari emas, atau engkau naik ke langit. Dan kami tidak akan mempercayai kenaikanmu itu sebelum engkau turunkan kepada kami sebuah kitab untuk kami baca.” (al-Isra’/17: 90-93)

Maka Allah mengajarkan Nabi Muhammad jawaban atas permintaan orang-orang musyrik itu sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

وَمَا مَنَعَنَآ اَنْ نُّرْسِلَ بِالْاٰيٰتِ اِلَّآ اَنْ كَذَّبَ بِهَا الْاَوَّلُوْنَۗ وَاٰتَيْنَا ثَمُوْدَ النَّاقَةَ مُبْصِرَةً فَظَلَمُوْا بِهَاۗ وَمَا نُرْسِلُ بِالْاٰيٰتِ اِلَّا تَخْوِيْفًا

Dan tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena (tanda-tanda) itu telah didustakan oleh orang terdahulu. Dan telah Kami berikan kepada kaum Samµd unta betina (sebagai mukjizat) yang dapat dilihat, tetapi mereka menganiaya (unta betina itu). Dan Kami tidak mengirimkan tanda-tanda itu melainkan untuk menakut-nakuti. (al-Isra’/17: 59)

Baca juga:

Setiap rasul yang diutus Allah diberi-Nya mukjizat untuk membuktikan dan menguatkan risalahnya, tetapi mukjizat yang diberikan itu berbeda-beda, disesuaikan dengan keadaan dan tempat umat yang akan menerima risalah itu. Khususnya Nabi Muhammad saw diberikan mukjizat berupa Al-Qur’an karena mukjizat itu sesuai dengan tingkat pengetahuan orang-orang Arab dan manusia yang hidup sesudahnya. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:

مَا مِن نَبِيٍّ إِلاَّ وَقَدْ أُعْطِيَ مِنَ الاٰيَاتِ مِثْلُهُ اٰمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِيْ أُوْتِيْتُهُ وَحْيًا أَوْحَاهُ الله ُإِليَّ فَأَرْجُوْ أَنْ أَكُوْنَ أَكْثَرَهُمْ تَابِعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

(رواه البخاري ومسلم والترمذي عن أبي هريرة)

Tidak ada seorang Nabi (yang diutus Allah), kecuali Dia memberinya mukjizat-mukjizat yang karenanyalah manusia beriman kepadanya. Yang diberikan kepadaku tak lain adalah wahyu yang telah diwahyukan Allah kepadaku. Maka aku mengharapkan agar akulah di antara mereka yang paling banyak pengikutnya di Hari Kiamat. (Riwayat al-Bukhari, Muslim, dan at-Tirmizi dari Abµ Hurairah)

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar memberi peringatan keras kepada orang-orang musyrik dengan mengatakan kepada mereka bahwa barang yang gaib itu di bawah kekuasan Allah, hanya Dialah yang memilikinya, termasuk di dalamnya mukjizat-mukjizat yang mereka minta itu. Jika Allah berkehendak menurunkannya kepada mereka, maka Dia sendirilah yang mengetahui waktu turunnya.

Muhammad hanyalah seorang rasul, yang bertugas menyampaikan agama dan ketetapan Allah atas diri mereka, sebagaimana Muhammad pun termasuk orang-orang yang menunggu datangnya ketetapan itu.

Dalam ayat lain Allah berfirman :

قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِّنَ الرُّسُلِ وَمَآ اَدْرِيْ مَا يُفْعَلُ بِيْ وَلَا بِكُمْۗ اِنْ اَتَّبِعُ اِلَّا مَا يُوْحٰٓى اِلَيَّ وَمَآ اَنَا۠ اِلَّا نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌ

Katakanlah (Muhammad), ”Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak tahu apa yang akan diperbuat terhadapku dan terhadapmu. Aku hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku hanyalah pemberi peringatan yang menjelaskan. (al-Ahqaf/46: 9)

Apa yang dinantikan Muhammad saw dan apa pula yang mereka nantikan diterangkan Allah pada ayat 102 surah ini.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 21-22


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Yunus Ayat 19

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 19 berbicara mengenai maksud ummah wahidah. Diterangkan di sini bahwa maksudnya adanya satu akidah, yakni dengan konsep tauhid. Tidak menyekutukan Allah dengan apapun.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 17-18


Ayat 19

Yang dimaksud satu umat di sini ialah satu akidah, yaitu percaya kepada Allah Yang Maha Esa, karena manusia sejak dilahirkan ke dunia telah menganut kepercayaan tauhid, Allah telah mengambil kesaksian terhadap manusia, sejak mereka dikeluarkan dari sulbi, (lihat tafsir Surah al-Baqarah/2: 213 dan al-A’rāf/7: 172) sebagai fitrah kejadiannya, seperti sabda Nabi Muhammad saw:

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ  يُهَوِّدَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ

(رواه أبو يعلى والطبراني والبيهقي عن الأسود بن سري)

Tiap anak yang lahir itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi. (Riwayat Abi Ya’’la, at-Tabrani dan al-Baihaqi dari al-Aswad bin Sari)

Pada mulanya, manusia hidup sederhana, dalam satu kesatuan, seakan-akan mereka satu keluarga. Akan tetapi, setelah mereka berkembang biak, terbentuklah suku-suku dan bangsa-bangsa yang berbeda-beda, baik dari sisi kepentingan maupun kemaslahatannya. Karena hawa nafsu, merekapun berselisih.

Oleh karena itu, Allah mengutus kepada mereka para rasul yang menyampaikan petunjuk Allah, untuk menghilangkan perselisihan dan perbedaan pendapat di antara mereka. Para rasul itu membawa kitab yang berisi wahyu Allah. Kemudian manusia berselisih pula tentang kitab yang telah diturunkan Allah itu, sehingga terjadilah permusuhan dan pertarungan di antara mereka.

Sebagian mufasir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “manusia” dalam ayat ini ialah orang Arab. Mereka dahulu adalah pengikut-pengikut agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim, agama yang mengakui keesaan Allah. Kemudian masuklah unsur syirik kepada kepercayaan mereka, sehingga sebagian mereka menyembah berhala di samping menyembah Allah dan sebagian masih tetap menganut agama Nabi Ibrahim. Terjadilah perselisihan antara kedua golongan itu.

Jika diperhatikan antara kedua pendapat ini maka tidak ada perbedaan pokok, karena pendapat pertama adalah sifatnya umum, meliputi seluruh manusia yang ada di dunia, sedangkan pendapat kedua adalah khusus untuk orang Arab saja, tetapi tidak menutup kemungkinan berlakunya untuk semua manusia.


Baca juga: Kritik Al-Quran Terhadap Fenomena Pembunuhan Anak Di Masa Jahiliyah


Dengan peringatan yang sangat keras dengan menyatakan bahwa seandainya belum ditetapkan oleh Allah dahulu untuk memberikan balasan yang setimpal dan adil di akhirat, maka Allah akan segera membinasakan orang-orang yang berselisih itu di dunia ini. Mereka membawa perpecahan dan permusuhan, apalagi perselisihan mereka itu tentang Kitab Allah yang sebenarnya diturunkan untuk menghilangkan perselisihan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 20


(Tafsir Kemenag)

Mengenal Kitab Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir Karya Syekh Ali Ash-Shabuni

0
mukhtasar tafsir ibn katsir
mukhtasar tafsir ibn katsir

Pada Jumat (19/3) kemarin, kita telah kehilangan salah satu ulama besar panutan umat, Syekh Ali Ash-Shabuni. Beliau merupakan guru besar ilmu al-Qur’an dan tafsir Universitas Umul Qura’ Mekah. Beliau meninggal di kota Yalova Turki di umur 91 tahun. Salah satu karya beliau di bidang tafsir adalah Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir.

Beliau dikenal sebagai ulama yang hati-hati dan produktif. Kehati-hatian beliau tunjukan ketika menulis karya-karyanya. Beliau tidak menulis sesuatu dengan kesewenang-wenangan tanpa ilmu. Dalam penulisan kitab tafsir Rawai’ al-Bayan misalnya, beliau mengatakan dalam pendahuluan kitabnya “Aku meringkas apa yang para ulama katakana. Aku mengumpulkan pendapat lama dan pendapat baru. Tidaklah aku menulis sesuatu kecuali aku telah membaca minimal 15 rujukan dari kitab-kitab tafsir induk.”

Produktivitas beliau tunjukan dengan banyak karya tulis. Beberapa karya yang beliau wariskan diantaranya adalah al-Mawarits fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, al-Nubuwwah wa al-Anbiya’, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, Min Kunuz al-Sunnah, Ijaz al-Bayan fi Suwar al-Qur’an, Subhat wa Abathil haul Zaujat al-Rasul, Risalah al-Shalah, al-Zawaj al-Islamy al-Mubkir Sa’adah wa Hashanah, Harakah al-Ardh wa Duranuha Haqiqah ‘Ilmiyyah Atsbataha al-Qur’an.

Baca Juga: Umat Islam berduka Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni Dikabarkan Wafat

Tiga karya penting yang beliau wariskan dalam kapasitas sebagai seorang mufasir adalah Rawai’ al-Bayan (tafsir tematik ayat-ayat hukum Islam setebal dua juz), Shofwah al-Tafsir (tafsir al-Qur’an lengkap dengan tartib mushaf setebal tiga juz), dan Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir (ringkasan Tafsir ibn Katsir setebal tiga juz).

Tulisan ini akan sedikit mengulas kitab tafsir yang ketiga, mengingat kitab tafsir yang pertama dan kedua telah dibahas dalam tulisan sebelumnya.

Mengapa Meringkas Tafsir Ibn Katsir?

Syekh Ali Ash-Shabuni melihat ada sebuah kecenderungan masyarakat kontemporer untuk kembali merujuk pada turats terlebih pada tafsir al-Qur’an dan sunah Rasulullah. Banyak pula dijumpai pertanyaan, ”Kitab tafsir apa yang paling mudah dipahami dan memberikan banyak faidah bagi para pembaca?” Syekh Ali As-Shabuni melihat banyak kitab tafsir yang mudah dipahami namun kitab-kitab tersebut penjelasannya terlalu panjang. Demikian sekilas latar belakang penyusunan Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir

Fakta ini juga terdapat dalam kitab Tafsir Ibn Katsir yang baginya sangat istimewa. Menurutnya, keistimewaan kitab ini adalah sebab kitab ini menggunakan metode tafsir bi al-ma’tsur (menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, sunah, pendapat para sahabat, dan tabiin) dengan ungkapan yang jelas dan mudah dan memadukannya dengan tafsir bi al-ra’y (tafsir dengan penalaran akal). Beliau menguatkan klaimnya dengan mengutip pendapat As-Suyuthi yang menyatakan “Belum pernah disusun tulisan yang sepadan dengan gaya tafsir ini”.

Baca Juga: Muhammad Ali Ash-Shabuni, Begawan Tafsir Ayat Ahkam Asal Aleppo, Suriah

Jalan Peringkasan Syekh Ali Ash-Shabuni

Meringkas bukan hal yang sepele, peringkas harus mampu memberikan prioritas mana yang perlu ditulis dan mana yang harus ditinggalkan. Untuk itu, dalam menyusun Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir Syekh Ali memegang tujuh rambu-rambu peringkasan, yaitu:

  1. Membuang sanad-sanad sunah yang panjang dan mencukupkan pada penyebutan periwayat pertama (sahabat) dan
  2. Penulisan ayat yang dijadikan sebagai penafsir ayat utama hanya dituliskan potongan yang diperlukan saja.
  3. Mencukupkan pada penulisan hadis sahih, membuang hadis yang lemah, membuang riwayat atsar yang tidak tetap sanadnya sebagaimana Ibnu Katsir ingatkan.
  4. Menyebutkan tokoh-tokoh populer dari kalangan sahabat serta menetapkan riwayat-riwayat yang paling sahih.
  5. Berpegang pada pendapat-pendapat populer tabiin yang penukilannya sahih dan meninggalkan penyebutan semua pendapat mereka sebab tidak semua pendapat tabiin adalah sahih.
  6. Mebuang riwayat-riwayat Israiliyat
  7. Membuang permasalahan-permasalahan hukum dan perbedaan pendapat yang tidak urgen dan mencukupkan pada penuturan hukum secara ringkas.

Demikian sedikit pengenalan tentang warisan Syekh Ali Ash-Shabuni yang berupa Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir. Dengan ringkasan ini, beliau telah berjasa dalam penulisan kitab tafsir yang mudah dipahami, memiliki banyak faidah tetapi ringkas dengan tetap memperhatikan substansi kitab. Jika kitab aslinya setebal delapan juz, ringkasan Syekh Ali As-Shabuni hanya setebal tiga juz sehingga memudahkan pembaca dalam memahami substansi tafsir tebal Ibn Katsir.

Nafa’ana Allah Bi’ulumih fi Ad-Darain. Amin

Bagaimana Anjuran Al-Quran dalam Memilih Teman?

0
Pentingnya Memilih Teman dalam Bergaul: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 27-28
Pentingnya Memilih Teman dalam Bergaul: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 27-28

Islam melalui ajarannya baik dalam Al-Quran ataupun Hadis telah membimbing umat manusia untuk berhati-hati dalam memilih teman. Hal tersebut bukan berarti harus menutup diri dan tidak memperbanyak perkenalan, akan tetapi kita tetap harus hati-hati untuk menentukan teman terdekat atau yang sering disebut dengan ‘circle pertama’. Kemudian bagaimana anjuran Al-Quran dalam memilih teman?

Pada artikel kali ini kita akan membahas ayat Al-Quran yang di dalamnya terdapat gambaran penyesalan orang-orang yang salah dalam memilih teman ketika hidup di dunia, yaitu surah Al-Furqan ayat 27-28.

Baca juga: Berbagai Cara Allah Menjaga Al-Quran dalam Tafsir Surah Al-Hijr Ayat 9

Tafsir surah Al-Furqan ayat 27-28

Al-Quran menggambarkan sebuah keadaan seseorang yang menyesal karena tidak mengikuti jalan rasul sebab salah dalam memilih teman. Gambaran tersebut diabadikan dalam surah Al-Furqan [25]: 27

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلٰى يَدَيْهِ يَقُوْلُ يٰلَيْتَنِى اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُوْلِ سَبِيْلًا

“Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang zalim menggigit dua jarinya (menyesali perbuatannya) seraya berkata: Wahai sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul.”

Al-Furqan [25]: 28

يٰوَيْلَتٰى لَيْتَنِيْ لَمْ اَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيْلًا

“Celaka aku! Sekiranya (dulu) aku tidak menjadikan  si fulan itu teman akrab(ku)

Disebutkan dalam Tafsir Al-Azhar jilid 7, 5026, latar belakang turunnya ayat di atas adalah seorang pemuka Quraisy bernama Uqbah bin Abu Mu’aith. Sebelum memeluk Islam, Uqbah memiliki hubungan sangat baik dengan Rasulullah saw.  Uqbah sering bertukar pikiran dan bergaul dengan Nabi, sehingga ia mengucapkan syahadat.

Baca juga: Surah al-Kahfi Ayat 110: Melihat Sisi Kemanusiaan Nabi Muhammad Saw

Setelah kejadian tersebut, ia bertemu dengan teman lamanya yang sangat membenci Rasulullah saw. yaitu Ubayyu bin Khalaf. Temannya tersebut menghasut Uqbah, ia mencela kelemahannya karena meninggalkan kepercayaan nenek moyang yang pada akhirnya Uqbah berbuat kesalahan dengan mencaci maki  dan meludahi muka Rasulullah saw.

Meskipun temannya sangat memuji perbuatan dirinya, namun dalam hati Uqbah menyesal ‘mengapa saya tidak menuruti ajaran Rasul?’ ‘mengapa saya menjadikan si Ubayyu teman?’ akan tetapi kelemahannya menyebabkan kehancuran jiwanya sehingga Uqbah tidak lagi menempuh jalan kebenaran bersama Rasulullah saw sampai akhir hayatnya. Demikian salah satu contoh orang yang zalim yang pada akhirnya di akhirat nanti hanya gigit jari karena menyesal.

Quraish Shihab dalam tafsirnya, Al-Misbah, Jilid 9, 458 menyebutkan bahwa saking menyesalnya, dari saat ke saat orang zalim tersebut terus berangan-angan dengan berkata: ‘Aduhai seandainya dulu, ketika aku hidup di dunia aku mengekang hawa nafsuku dan memaksanya mengambil walau hanya satu jalan kecil saja dari sekian banyak jalan kebaikan sehingga aku menempuhnya bersama-sama Rasul’ akan tetapi penyesalan pada hari itu tiada artinya.

Lafad fulan pada ayat “…Sekiranya (dulu) aku tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku) Menurut Sayyid Qutb disebut secara anonim karena bisa jadi mencakup seluruh teman yang buruk yang menghalangi seseorang dari jalan Rasulullah dan menyesatkannya untuk tidak mengingat Allah swt. (Fi Dzilalil Qur’an, Jilid 8, 292).

Pentingnya Teman yang Baik

Gambaran penyesalan orang zalim pada hari akhir yang dipotret oleh Al-Quran tersebut sekiranya menjadi pengingat untuk kita semua, betapa pentingnya kita memiliki teman dekat yang satu misi, satu tujuan, terlebih dalam urusan jangka panjang yaitu akhirat.

Rasulullah saw. bersabda: “Perumpamaan orang yang bergaul dengan orang baik dan orang yang bergaul dengan orang buruk, seperti penjual minyak wangi dan tukang tempa besi. Pasti kau dapatkan dari pedagang minyak wangi apakah kamu membeli minyak wanginya atau sekedar mendapatkan bau wewangiannya, sedangkan dari tukang tempa besi akan membakar badanmu atau kamu akan mendapatkan bau yang tidak sedap” (HR. Bukhari dan Muslim).  

Saking pentingnya seorang teman, ia bahkan menjadi sebuah identitas bagi seseorang. Syeikh Az-Zarnuji dalam Ta’lim Al-Muta’allim menyampaikan hal ini dalam sebuah syair,

عَنِ الْمَرْءِ لَا تَسْأَلْ وَسَلْ قَرِيْنَهُ #  فَكُلُّ قَرِيْنٍ بِالْمَقارِنِ يَقْتَدِي

“Tak perlu kau tanya tentang seseorang (siapa dia), cukup tanya siapa temannya, maka setiap teman akan mengikuti orang yang dia temani.”  

Dilanjut dengan syair berikutnya dengan bahasa Persi yang menyinggung tentang mudarat teman yang tidak baik,

يَا رَبَدْبَدْ تَرْبُودَا زَمَا رِبَدْ # بِحَقِّ ذَاتِ بَاكِ اللهِ الصَّمَد

يَا رَبَدْ اَرَدْ تَرْأَى سِوَى # جَحِيمِ يَا رَنِيكُو كِيْرَنَيَا بِي نَعِيمِ

“Teman jahat itu lebih berbahaya daripada ular hitam berbisa karena teman jahat itu bisa menjeremuskan kita ke neraka jahiim, oleh karenanya bertemanlah dengan teman yang baik karena teman yang baik itu bisa menyebabkan kita masuk surga”

Baca juga: Tafsir Ayat Syifa: Al-Quran sebagai Obat bagi Orang Beriman

Namun demikian, akan lebih bagus lagi ketika kita bisa berteman dengan siapa saja, jika berteman dengan orang yang baik, itu adalah anugerah yang harus kita syukuri, namun jika berteman dengan orang yang tidak baik, maka kita lah yang harus berusaha membawa kemanfaatan padanya dengan mengajaknya menjadi baik.

Semoga kita bisa menjadi teman yang baik untuk orang lain dan memiliki teman yang baik untuk diri kita sendiri, sehingga kita semua termasuk orang yang benar-benar beriman dan berjalan di barisan bersama Rasulullah saw. pada hari ketika tidak ada teman. Ya Allah, jauhkan kami untuk menjadi seseorang yang zalim, yang hanya bisa gigit jari pada hari akhir karena penyesalan pertemanan yang tiada berarti. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Yunus Ayat 17-18

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 17-18 berbicara mengenai dua hal. Pertama berbicara mengenai perbuatan orang-orang zalim. Kedua berbicara mengenai kepercayaan orang-orang Arab jahiliyah.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 16


Pembiacaraan kedua dalam Tafsir Surah Yunus Ayat 17-18 ini misalnya dengan menjadikan berhala-berhala sebagai Tuhan yang mereka sembah. Padahal berhala-berhala itu tidak bisa berbuat apa-apa.

Ayat 17

Ayat ini menerangkan perbuatan orang yang paling zalim di sisi Allah ialah:

  1. Orang yang berbuat dusta terhadap Allah, seperti yang telah dilakukan orang-orang musyrik karena keingkaran mereka, yaitu meminta Rasulullah menukar ayat-ayat Al-Qur′an dengan perkataan yang lain yang tidak bertentangan dengan kepercayaan mereka.
  2. Orang yang mendustakan ayat-ayat Allah. Ayat ini memberi peringatan bahwa orang yang melakukan salah satu dari perbuatan yang paling zalim itu adalah orang yang pantas mendapat kemurkaan Allah dan siksa-Nya. Mereka telah berbuat dosa, mereka tidak akan memperoleh keberuntungan dengan perbuatan-perbuatan itu. Oleh karena itu, hendaklah orang-orang yang beriman menjaga dirinya agar jangan sampai melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.

Ayat 17

Ayat ini menerangkan bentuk kepercayaan orang-orang Arab Jahiliyah. Mereka menyembah berhala di samping menyembah Allah, karena mereka percaya bahwa patung-patung dan berhala-berhala itu dapat memberi manfaat kepada mereka sebagaimana ia dapat memberi mudarat, jika mereka melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan kemarahannya.

Padahal jika mereka mau berpikir dan menyadari benar-benar bahwa patung itu adalah benda mati yang dibuat oleh tangan mereka sendiri, mereka akan tahu bahwa berhala-berhala itu tidak akan dapat menimbulkan mudarat atau manfaat kepada siapapun dan tentu mereka tidak akan menyembahnya. Yang berhak disembah hanyalah Yang Maha Kuasa lagi Maha Pencipta.

Orang-orang Arab pada masa Jahiliyah menganut bermacam-macam agama dan kepercayaan, serta mempunyai beberapa cara dalam melakukan peribadatan kepada sembahan-sembahan mereka.

Semua kepercayaan itu menunjukkan keyakinan bahwa tuhan itu banyak, bukan esa. Dengan perkataan lain, mereka mempersekutukan Allah dengan yang lain.

Di antara mereka ada pula yang memeluk agama Yahudi seperti sebagian penduduk Medinah dan sebagian penduduk Yaman, dan ada pula yang memeluk agama Nasrani seperti penduduk Gassan dan penduduk Najran, demikian pula segolongan suku ‘Aus dan Khazraj yang tinggal di daerah, yang berbatasan dengan Khaibar, Qurai§ah, dan Bani Na«ir.

Di antara mereka ada pula yang beragama ¢abi’in, yaitu umat sebelum Nabi Muhammad yang mengetahui adanya Tuhan Yang Maha Esa, dan mempercayai adanya pengaruh bintang-bintang.

Kemudian Allah menerangkan sikap orang-orang Arab terhadap berhala-berhala, di antaranya ada yang mengatakan bahwa mereka percaya berhala itu tidak dapat mendatangkan kemudaratan dan manfaat, tetapi mereka percaya bahwa sembahan-sembahan itulah yang akan menjadi perantara bagi mereka untuk memohonkan syafa’at bagi mereka di sisi Allah, dan itulah jalan yang terdekat. Karena itulah mereka berna©ar, menyembelih kurban dan berdoa kepada sembahan-sembahan itu dan menyebut nama-namanya. Dengan melakukan yang demikian mereka merasa bertambah dekat kepada Allah.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ¦atim dari Ikrimah bahwa Na«ar bin ¦aris berkata, “Apabila datang Hari Kiamat, maka Lata dan Uzza akan memberi syafa’at kepadaku.”

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa inti dari kepercayaan bangsa Arab Jahiliah ialah sekalipun mereka mempercayai Tuhan Maha Pencipta itu ada, tetapi dalam hubungan antara Tuhan dan manusia masih memerlukan perantara (wasilah) yang akan menyampaikan permohonan mereka kepada Tuhannya.


Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30: Kecaman terhadap Kaum Musyrikin Mekah


Kemudian Allah memerintahkan agar Nabi Muhammad menyampaikan kepada orang-orang musyrik itu sesuatu yang dapat membuktikan kebohongan mereka dan sesuatu yang dapat membantah perkataan mereka dengan mengatakan bahwa apakah mereka mengabarkan kepada Allah sesuatu yang tidak diketahui-Nya, yaitu bahwa ada pemberi syafa’at di langit dan di bumi yang dapat memberikan syafa’at sebagai perantara antara Allah dan makhluk-Nya, padahal seandainya ada tentu Allah mengetahuinya.

Tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang tidak diketahui Allah, ada dan tidaknya sesuatu semata-mata menurut kehendak Allah, apalagi syafa’at itu hanya diberikan semata-mata dengan izin Allah dan hanya diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Rasulullah saw sendiri tidak sanggup memberi kemanfaatan untuk dirinya, begitu pula menolak kemudaratan kecuali dengan izin Allah sebagai firman Allah:

قُلْ لَّآ اَمْلِكُ لِنَفْسِيْ نَفْعًا وَّلَا ضَرًّا اِلَّا مَا شَاۤءَ اللّٰهُ ۗوَلَوْ كُنْتُ اَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِۛ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْۤءُ ۛاِنْ اَنَا۠ اِلَّا نَذِيْرٌ وَّبَشِيْرٌ لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ

Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi diriku kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang gaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan tidak akan ditimpa bahaya. Aku hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman. (al-A’raf/7: 188)

Akhir ayat ini menerangkan kemahasucian Allah, Tuhan semesta alam dari persekutuan sebagaimana yang dikatakan orang-orang musyrik itu.

Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan hanya dapat diperoleh penjelasannya dengan perantaraan wahyu yang disampaikan kepada rasul-Nya, sedangkan segala sesuatu itu diketahui Allah, baik yang tersembunyi maupun yang nyata.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 19


(Baca Juga)

Makna-Makna Shighat Amar (perintah) Di dalam Al-Qur’an (Bagian 1)

0
Makna-Makna Shighat Amar (perintah) Di dalam Al-Qur'an
Makna-Makna Shighat Amar (perintah) Di dalam Al-Qur'an

Allah Swt. menurunkan firman-Nya di dalam al-Qur’an dengan berbagai bentuk gaya bahasa. Sehingga, dengan gaya bahasa yang anti mainstream tersebut, al-Quran sangat indah untuk dibaca dan direnungi kandungan maknanya. Ini adalah salah satu bentuk mukjizat al-Quran yang tidak bisa ditandingi oleh siapa pun hingga hari kiamat nanti. Salah satu bentuk gaya bahasa al-Quran adalah penggunaan kalimat perintah atau amar. Bentuk kalimat perintah ini dapat berupa fiil amar murni, seperti lafad اِفْعَلْ atau berupa fiil mudlari yang ditambah dengan lam amar, seperti lafad لِيَفْعَلْ. Tulisan ini akan mengulas terkait makna-makna shighat amar dalam al-Qur’an.

Secara makna hakikat, kalimat perintah itu menunjukkan kewajiban untuk melakukan sesuatu. Seperti contoh pada ayat Q.S. Al-Baqarah [2]: 43

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ

Artinya: Dan dirikanlah shalat,

Perintah untuk mendirikan shalat tersebut berkonsekuensi wajibnya hukum melaksanakan shalat. Hal ini sesuai dengan kaidah tafsir yang disebutkan dalam kitab Qawaid at-Tafsir karya Khalid bin Utsman yang berbunyi:

اَلْاَمْرُ الْمُطْلَقُ يَقْتَضِيْ الْوُجُوْبَ اِلَّا لِصَارِفٍ

Artinya: Perintah (amar) yang bersifat mutlak itu menuntut kewajiban (melaksanakan perintah itu) kecuali bagi orang yang menolaknya

Kemudian, kalimat perintah ini tidak hanya dimaknai secara hakikat saja. Tetapi ada juga kalimat perintah yang bermakna majaz, yaitu kalimat yang penggunaanya membutuhkan penakwilan atau perincian.

Baca juga: Berbagai Cara Allah Menjaga Al-Quran dalam Tafsir Surah Al-Hijr Ayat 9

Ada beberapa makna majaz dari kalimat perintah yang disebutkan dalam kitab Zubdat al-Itqan fi Ulum al-Quran karya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki.

 9 Makna majaz dari kalimat perintah dalam kitab Zubdat al-Itqan fi Ulum al-Quran: 
  1. An-Nadbu (الندب)

An-Nadbu merupakan sinonim dari sunah, yaitu pekerjaan apabila dilakukan mendapat pahala, apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa. Contohnya terdapat dalam Q.S. Al-A’raf [7]: 204.

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Artinya: Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat

Di dalam Tafsir Al-Munir karya Wahbah az-Zuhaili dijelaskan bahwa kewajiban untuk mendengarkan bacaan al-Quran itu hanya berlaku pada bacaan Nabi Muhammad Saw pada zaman itu. Kewajiban ini juga berlaku pada waktu sholat dan khutbah. Selain dalam tiga keadaan tadi, maka mendengarkan bacaan al-Quran itu hukumnya sunah. Karena jika hal itu diwajibkan dalam setiap keadaan, maka akan timbul kesulitan yang besar disebabkan kewajiban tersebut yang menuntut untuk meninggalkan pekerjaan.

  1. Al-Ibahah (الاباحة)

Al-Ibahah berarti menunjukkan kebolehan atau mubah. Contoh shighat amar yang bermakna al-Ibahah adalah Q.S. An-Nur [24]: 33

وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا

Artinya: Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka,

Imam Syafi’i menegaskan bahwa perintah untuk membuat perjanjian tersebut hukumnya boleh atau mubah.

Dan juga termasuk amar bermakna al-Ibahah adalah Q.S. Al-Maidah [5]: 2

وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا

Artinya: Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.

  1. Ad-Du’a (الدعاء)

Doa berarti permintaan dari orang yang derajatnya lebih rendah kepada Dzat yang lebih tinggi (من السافل للعالي). Shighat amar yang bermakna doa terdapat dalam Q.S. Al-A’raf [7]: 151

قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِأَخِي وَأَدْخِلْنَا فِي رَحْمَتِكَ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ (151)

Artinya: Musa berdoa: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.”

  1. At-Tahdid (التهديد)

Makna dari at-Tahdid adalah mengancam atau ancaman. Contoh amar yang memiliki makna at-Tahdid terdapat dalam Q.S. Fushshilat [41]: 40

اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Artinya: Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Maksud dari shighat amar tersebut bukanlah perintah untuk melakukan segala sesuatu yang mereka mau. Namun, lebih kepada ancaman bahwa Allah Swt. itu mengetahui segala perbuatan mereka, yang baik atau yang buruk, dan Allah akan membalas setiap perbuatan mereka sesuai dengan kadar baik atau buruknya.

  1. Al-Ihanah (الاهانة)

Arti dari al-Ihanah adalah menghinakan atau penghinaan. Q.S. Ad-Dukhan [44]: 49 adalah contoh dari shighat amar bermakna al-Ihanah ini.

ذُقْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْكَرِيمُ (49)

Artinya: Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.

  1. At-Taskhir (التسخير)

Maksud dari at-Taskhir adalah mencemooh, mengejek, atau merendahkan. Makna ini lebih khusus dan lebih rendah dalam penghinaannya dibandingkan dengan al-Ihanah. Contohnya terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 65

فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ

Artinya: Lalu Kami berfirman kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina”.

Baca juga: Surah al-Kahfi Ayat 110: Melihat Sisi Kemanusiaan Nabi Muhammad Saw

Maksud dari menjadi kera yang hina pada ayat tersebut bukanlah perubahan wujud mereka menjadi kera. Tetapi yang dimaksud adalah perubahan keadaan mereka menjadi orang yang jauh dari kebaikan, yang tidak mau menerima nasihat, dan tidak menggubris larangan. Sehingga, mereka disamakan dengan kera sebagai bentuk ejekan terhadap mereka.

  1. At-Ta’jiz (التعجيز)

At-Ta’jiz berarti melemahkan. Maksudnya adalah menjadikan lemah atau tidak berdaya orang diajak berbiacara. Contohnya terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 23

فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ

Artinya: Buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu

Perintah di sini tidak dimaknai dengan permintaan untuk membuat satu surah yang semisal al-Quran dari mereka. Namun, perintah tersebut dimaknai dengan menampakkan ketidakmampuan mereka untuk membuat satu surah saja yang semisal al-Quran.

  1. Al-Imtinan (الامتنان)

Al-Imtinan memiliki arti menyebut-nyebut kebaikan atau kenikmatan. Contohnya terdapat dalam Q.S. Al-An’am [6]: 141

كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ

Artinya: Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah,

  1. Al-Ajab (العجب)

Al-Ajab berarti menunjukkan keheranan atau kekaguman. Contoh shighat amar yang bermakna al-Ajab terdapat dalam Q.S. Al-Isra [17]: 48

انْظُرْ كَيْفَ ضَرَبُوا لَكَ الْأَمْثَالَ فَضَلُّوا فَلَا يَسْتَطِيعُونَ سَبِيلًا (48)

Artinya: Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan terhadapmu; karena itu mereka menjadi sesat dan tidak dapat lagi menemukan jalan (yang benar).

Baca juga: Ijtihad Tabiin dan Kontribusinya terhadap Tafsir bi al-Ma’tsur

Perintah untuk melihat perumpamaan-perumpamaan yang dibuat oleh orang-orang musyrik itu merupakan bentuk ta’jib (menimbulkan keheranan) dari Allah Swt. kepada Rasulullah Saw. Bagaimana mungkin mereka selalu membuat perumpamaan-perumpamaan yang berbeda-beda setiap kali datang kepada mereka suatu bukti kerasulan Nabi Muhammad Saw. Seperti ungkapan sahir (tukang sihir), majnun (orang gila), dan syair (penyair).

Itu adalah sebagian makna majaz shighat amar dalam al-Quran. Insya Allah penjelasan lanjutan mengenai makna majaz shighat amar akan ditulis di artikel selanjutnya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Yunus Ayat 16

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 16 berbicara mengenai bantahan terhadap orang-orang kafir yang mengingkari al-Qur’an. Mereka membuat tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar sama sekali.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 14-15


Dalam  Tafsir Surah Yunus Ayat 16 ini Allah mengajarkan kepada Nabi Muhammad untuk menjawab tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar itu. Seandainya Allah tidak memerintahkannya menyampaikan niscaya Nabi tidak akan menyampaikan. Telah banyak fakta bahwa Nabi adalah seorang yang ummi.

Ayat 16

Pada ayat ini Allah mengajarkan jawaban yang akan disampaikan Nabi Muhammad kepada orang-orang musyrik yang mengingkari Al-Qur′an, yaitu perintah untuk mengatakan kepada orang-orang yang musyrik bahwa jika Allah berkehendak, Nabi tidak akan membacakannya.

Nabi membacakan Al-Qur′an kepada mereka semata-mata atas perintah Allah dan kehendak-Nya. Seandainya Allah tidak berkehendak menyampaikan Al-Qur′an itu kepada mereka, tentu Dia tidak akan mengutus dirinya kepada mereka, sehingga Al-Qur′an yang mengandung petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat ini tidak akan sampai kepada mereka. Allah berfirman:

وَلَقَدْ جِئْنٰهُمْ بِكِتٰبٍ فَصَّلْنٰهُ عَلٰى عِلْمٍ هُدًى وَّرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ

Sungguh, Kami telah mendatangkan Kitab (Al-Qur′an) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (al-A’raf/7: 52)

Ayat ini menegaskan bahwa Allah telah menurunkan Al-Qur′an kepada Nabi Muhammad, yang berisi petunjuk bagi kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat, serta menegaskan bahwa Muhammad adalah utusan Allah yang menyampaikan petunjuk itu kepada manusia.

Sebagai bukti kebenaran wahyu yang telah disampaikan itu maka Allah memerintahkan kepada Nabi, agar mengatakan kepada orang musyrik, bahwa dia (Muhammad) telah hidup dan bergaul bersama mereka lebih dari 40 tahun.

Mereka semua telah mengetahui pula sifat-sifat, watak, dan kepribadian Nabi, telah mengetahui pula akhlak, tingkah laku, sikap, dan keadilannya terhadap mereka semua.

Selama itu pula mereka semua mengetahui bahwa Nabi tidak pernah membaca satu kitab pun, karena dia tidak pandai membaca, tidak pernah belajar kepada seorang pun dan tidak pula menyampaikan perkataan yang sama nilainya dengan ayat-ayat Al-Qur′an.

Karena itu, apakah benar Nabi berbuat kebohongan, sebagaimana dugaan mereka. Kenapa mereka semua meminta kepada Nabi untuk mengganti ayat-ayat Al-Qur′an dengan yang lain.

Sebagaimana diketahui bahwa tiap-tiap rasul yang diutus Allah kepada kaumnya diberi berbagai keistimewaan oleh Allah, sebelum diangkat menjadi rasul, seperti Musa a.s. diberi hikmah dan ilmu pada saat-saat ia berumur antara 30 dan 40 tahun, pada waktu akalnya telah sempurna sebagaimana firman Allah:

وَلَمَّا بَلَغَ اَشُدَّهٗ وَاسْتَوٰىٓ اٰتَيْنٰهُ حُكْمًا وَّعِلْمًاۗ وَكَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ

Dan setelah dia (Musa) dewasa dan sempurna akalnya, Kami anugerahkan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (al-Qasas/28: 14)

Demikian pula Yusuf a.s. diberi oleh Allah hikmah dan pengetahuan pada saat ia mencapai umur dewasa, sebelum diangkat menjadi rasul, (Yusuf/12: 22) seperti ilmu mentakwilkan mimpi dan sebagainya.


Baca juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 19-20: Kesabaran Nabi Yusuf Saat Jadi Korban Human Trafficking


Nabi Isa a.s. sebelum diangkat menjadi rasul, pada waktu kecil dalam buaian telah pandai berbicara, dilahirkan tanpa bapak, diberi Kitab, dan Hikmah. (Ali ‘Imran/3: 46, 47 dan 48)

Nabi Muhammad telah diberi Allah keistimewaan seperti keistimewaan yang telah diberikan kepada nabi-nabi dan rasul-rasul terdahulu.

Beliau juga diberi keistimewaan yang lain, yaitu keistimewaan yang langsung dirasakan, diyakini, dan diketahui oleh seluruh anggota masyarakat Mekah pada waktu itu. Seluruh penduduk Mekah menganggap beliau sebagai seorang yang jujur yang benar-benar dapat dipercayai, ia dipandang sebagai orang yang adil dalam menetapkan keputusan, tidak berat sebelah.

Sebagai contoh ialah kebijaksanaan beliau memberi keputusan kepada kabilah-kabilah Quraisy yang meminta beliau untuk menentukan siapa yang berhak meletakkan kembali Hajar Aswad ke tempatnya semula ketika Ka’bah direnovasi.

Pemuka-pemuka Quraisy membersihkan dan mem-perbaiki Ka’bah, karena itu mereka mengeluarkan Hajar Aswad dari tempatnya. Setelah Ka’bah itu selesai dibersihkan dan diperbaiki, mereka ingin meletakkan kembali Hajar Aswad ke tempatnya.

Para kepala suku kabilah bertikai dalam menetapkan siapa yang paling berhak meletakkan kembali Hajar Aswad ke tempatnya semula.

Masing-masing kepala kabilah merasa berhak, sehingga terjadilah perdebatan dan perselisihan yang hampir menimbulkan pertumpahan darah di antara mereka. Maka salah seorang di antara mereka meminta Muhammad memberikan keputusan tentang siapa yang lebih berhak meletakkan Hajar Aswad itu kembali. Apa saja keputusan Nabi akan diikuti.

Permintaan orang itu disetujui oleh kepala-kepala kabilah, dan Muhammad bersedia pula memenuhi permintaan mereka. Beliau membuka sorbannya dan meletakkan Hajar Aswad di atasnya, kemudian disuruhnya masing-masing kepala kabilah memegang tepi sorban itu dan bersama-sama mengangkatnya.

Setelah tiba di tempat Hajar Aswad, beliau meletakkannya di tempat semula. Keputusan beliau ini diakui oleh kepala-kepala kabilah sebagai suatu keputusan yang adil, tepat dan bijaksana.

Orang-orang Mekah sangat percaya kepada beliau, karena kepercayaan itu beliau digelari “Al-Am³n” (orang kepercayaan). Karena kepercayaan itu pula Khadijah mempercayakan dagangannya kepada beliau. Akhirnya Khadijah menjadi istri beliau. Beliau diakui oleh orang-orang Mekah sebagai orang yang berakhlak mulia, kuat kepribadiannya, disegani dan sebagainya.

Setelah beliau bertugas sebagai rasul, beliau menyampaikan ayat-ayat  Al-Qur′an kepada mereka serta mengajak mereka untuk masuk agama Islam, tiba-tiba mereka menuduh Muhammad sebagai seorang pembohong, seorang yang mengganggu ketenteraman umum dan orang yang mengubah dan merusak kepercayaan serta adat istiadat yang telah mereka warisi dari nenek moyang mereka sejak dahulu.

Karena kebencian mereka kepada Muhammad, mereka tidak ingat lagi akan sikap dan kepercayaan mereka terhadapnya. Inilah yang dimaksud Allah dengan firman-Nya di atas yang artinya: “Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya”.


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 17-18


(Tafsir Kemenag)