Beranda blog Halaman 370

Tafsir Surah Yunus Ayat 14-15

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 14-15 berbicara mengenai dua hal. Pertama pembicaraan mengenai hiburan terhadap orang-orang Islam yang mengalami tekanan dari orang-orang kafir. Kedua berbicara mengenai sikap orang kafir ketika mendengar al-Qur’an.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 12-13


Ayat 14

Setelah umat-umat yang terdahulu hancur, maka Allah mengganti dengan umat Muhammad, umat yang mengikuti agama Islam, agama yang membawa manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Ayat ini merupakan berita gembira bagi pengikut-pengikut Nabi Muhammad yang sedang mendapat tekanan dan siksaan orang-orang musyrik Mekah waktu itu. Dengan ayat ini mereka bertambah yakin akan kebenaran agama Islam dan bertambah yakin pula bahwa perjuangan mereka berhasil dengan kemenangan.

Janji Allah ini sesuai pula dengan firman-Nya:

وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى الْاَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْۖ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِى ارْتَضٰى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ اَمْنًاۗ يَعْبُدُوْنَنِيْ لَا يُشْرِكُوْنَ بِيْ شَيْـًٔاۗ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ

Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (an-Nµr/24: 55)

Ayat ini merupakan peringatan bagi kaum Muslimin agar selalu berhati-hati dalam menentukan apa yang akan mereka lakukan dan selalu ingat akan tugas-tugas yang diberikan Allah kepada manusia sebagai Khalifah di bumi.

Di antara tugas khalifah di bumi ialah menegakkan hak dan keadilan, membersihkan alam ini dari perbuatan najis, syirik, fasik, serta meninggikan kalimah Allah di muka bumi. Allah akan memperhatikan dan mencatat semua perbuatan manusia dalam melaksanakan tugasnya, apakah sesuai dengan yang diperintahkan-Nya atau tidak. Sebagaimana firman-Nya:

وَهُوَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ وَّكَانَ عَرْشُهٗ عَلَى الْمَاۤءِ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًا ۗ

Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. (Hµd/11: 7)

Sehubungan dengan ayat ini, Qatadah berkata, “Tuhan kita telah berbuat yang benar. Dia menjadikan kita sebagai khalifah di muka bumi, tidak lain hanyalah untuk melihat amal-amal kita, maka perlihatkanlah kepada Allah amalan-amalan kamu yang baik di malam dan siang hari.”


Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 37: Siang dan Malam Sebagai Tanda Kekuasaan Allah Swt


Ayat 15

Dalam ayat ini dijelaskan sikap orang-orang musyrik apabila Nabi Muhammad membacakan kepada mereka ayat-ayat Al-Qur′an yang diturunkan kepadanya yang mempunyai keindahan bahasa dan isi yang tinggi, yang menunjukkan segala macam kebenaran, berdasar alasan-alasan dan bukti-bukti yang kuat, maka mereka menantang Rasul untuk mendatangkan kitab selain Al-Qur′an untuk mereka yang berisi hal-hal yang tidak bertentangan dengan kepercayaan yang telah mereka anut, yang tidak mencela tuhan dan sembahan-sembahan mereka, yang tidak bertentangan dengan adat kebiasaan mereka dan tidak mengharamkan apa yang telah mereka halalkan.

Dengan permintaan itu mereka bermaksud untuk mematahkan hujjah yang dikemukakan Nabi Muhammad. Mereka mengharapkan agar Muhammad bersedia mengabulkan permintaan mereka. Jika Muhammad mengabulkan permintaan mereka berarti mereka telah dapat melemahkan alasan-alasan yang dibenarkan oleh Muhammad sendiri.

Maka Allah mengajarkan kepada Muhammad agar dia mengatakan kepada mereka bahwa Al-Qur′an itu dari Allah, bukan dari dia sendiri. Jika ia mengubah dan menukarnya, berarti Al-Qur′an itu buatannya sendiri, bukan dari Allah.

Namun jawaban yang mereka terima berlawanan dengan harapan mereka, bahkan bernada ancaman dan peringatan yang keras yang menyatakan bahwa karena keingkaran mereka yang sangat itu, maka mereka tidak layak lagi menerima ajaran-ajaran Allah, melainkan azab Allah-lah yang mereka terima.

Nabi menyatakan bahwa tidak layak menukar atau mengganti ayat-ayat Al-Qur′an. Ayat-ayat Al-Qur′an itu adalah firman Allah, bukan perkataannya, karena itu yang berhak mengganti atau mengubahnya hanyalah Allah sendiri.

Dia hanya seorang rasul utusan Allah karena itu yang ia ikuti hanyalah wahyu yang telah diturunkan Allah kepadanya. Ia tidak akan mengikuti selain dari itu.

Ia yakin dan percaya bahwa jika ia memperturutkan hawa nafsu dan permintaan orang-orang musyrik itu, berarti ia telah durhaka kepada Allah, telah mendustakan kalam Allah, mengingkari adanya hari kebangkitan dan sebagainya. Perbuatan yang demikian itu diancam Allah dengan azab yang pedih.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 16


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Yunus Ayat 12-13

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 12-13 bebicara mengenai dua hal. Pertama berkenaan dengan sifat manusia yang cenderung cengeng ketika mendapat cobaan dan jemawa ketika problemnya selesai.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 11 (Bagian 2)


Poin kedua yang dibicarakan dalam Tafsir Surah Yunus Ayat 12-13 adalah ancaman bagi orang-orang yang memperolok dakwah Nabi Muhammad Saw. hal ini dicontohkan dengan azab yang telah menimpa kaum terdahulu.

Ayat 12

Pada ayat-ayat ini, Allah menerangkan karakter manusia yang lain, yaitu apabila mereka ditimpa kemudaratan, musibah atau kesulitan, mereka ingat kepada Allah dan berdoa kepada-Nya, baik dalam keadaan berbaring duduk ataupun berdiri, agar dihindarkan dan dihilangkan dari mereka semua kemudaratan itu.

Sebaliknya jika bahaya kesengsaraan dan kesulitan itu telah lenyap dan mereka telah menikmati rahmat, nikmat dan karunia Allah, maka berangsur-angsur lupa kepada pemberi rahmat dan karunia itu, bahkan mereka mulai kafir kepada Allah.

 Ayat ini menunjukkan kelemahan-kelemahan manusia di kala ia menerima cobaan dari Allah, dan menunjukkan pula ketergantungan manusia kepada rahmat dan karunia Tuhan Pencipta dan Yang Mengatur kehidupannya.

Karena itu hendaklah orang-orang yang beriman ingat dan jangan lupa kepada Pencipta dan Pengawasnya, baik dalam keadaan kesulitan dan bahaya, maupun dalam keadaan lapang dan senang. Semua itu merupakan cobaan Tuhan kepada hamba-hamba-Nya untuk menguji kekuatan iman mereka.

Orang yang berhasil mengatasi segala cobaan yang dialaminya baik berupa kesulitan maupun kesenangan, mereka itulah yang berhak memperoleh kebahagiaan abadi di dunia dan di akhirat.

Orang yang melampaui batas dan orang yang sesat seperti orang musyrik Mekah adalah orang-orang yang telah dipalingkan hatinya oleh setan. Setan telah menjadikan mereka memandang baik perbuatan buruk yang telah mereka kerjakan, sehingga apabila bahaya telah lenyap mereka akan kembali sesat dan mendurhakai Tuhan.


Baca juga: Makna Ar-Rahman dan Ar-Rahim dalam Lafaz Basmalah


Ayat 13

Ayat ini menurut lahirnya ditujukan kepada orang kafir Mekah yang selalu memperolok-olokkan Nabi Muhammad, tetapi termasuk juga di dalamnya semua umat manusia yang bersikap dan bertindak seperti yang telah dilakukan orang-orang kafir Mekah itu.

Umat-umat dahulu pernah dihancurkan seluruhnya karena kezaliman, kekafiran, dan keingkaran kepada rasul-rasul dan nabi-nabi yang telah diutus Allah kepada mereka. Padahal rasul-rasul dan nabi-nabi itu telah membentangkan jalan kebenaran, yang bila mereka tempuh akan menyampaikan mereka ke tempat yang penuh bahagia.

Orang-orang dahulu pernah dibinasakan Allah, karena kezaliman mereka sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

وَتِلْكَ الْقُرٰٓى اَهْلَكْنٰهُمْ لَمَّا ظَلَمُوْا وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِمْ مَّوْعِدًا ࣖ

Dan (penduduk) negeri itu telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka. (al-Kahf/18: 59)

Allah menegaskan bahwa orang-orang zalim dan ingkar itu pasti ditimpa azab yang sangat pedih. Allah berfirman:

وَاِنْ مِّنْ قَرْيَةٍ اِلَّا نَحْنُ مُهْلِكُوْهَا قَبْلَ يَوْمِ الْقِيٰمَةِ اَوْ مُعَذِّبُوْهَا عَذَابًا شَدِيْدًاۗ كَانَ ذٰلِكَ فىِ الْكِتٰبِ مَسْطُوْرًا

Dan tidak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum Hari Kiamat atau Kami siksa (penduduknya) dengan siksa  yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Lauh Mahfuz). (al-Isra’/17: 58)

Ada dua macam azab yang pernah ditimpakan Allah kepada orang-orang dahulu karena keingkaran dan kezaliman mereka yaitu:

  1. Dengan memusnahkan seluruh mereka yang mendustakan rasul dan yang berbuat zalim itu, seperti yang pernah ditimpakan-Nya kepada kaum ‘Ad, Samµd, kaum Nuh dan sebagainya.
  2. Mendatangkan azab berupa kerusakan, kekacauan dalam masyarakat dan sebagainya, sebagaimana firman Allah:

وَكَمْ قَصَمْنَا مِنْ قَرْيَةٍ كَانَتْ ظَالِمَةً وَّاَنْشَأْنَا بَعْدَهَا قَوْمًا اٰخَرِيْنَ

Dan berapa banyak (penduduk) negeri yang zalim yang telah Kami binasakan, dan Kami jadikan generasi yang lain setelah mereka itu (sebagai penggantinya). (al-Anbiya’/21: 11)

Kerusakan dan kekacauan dalam masyarakat itu terjadi karena banyaknya pribadi-pribadi yang telah rusak, kemewahan yang berlebihan, suka hidup berfoya-foya, menuruti hawa nafsu, kerusakan akhlak dan sebagainya yang mengakibatkan golongan yang lemah di antara mereka berada di bawah kekuasaan golongan yang kuat.

Akan tetapi jika mereka mendustakan rasul yang membawa petunjuk ke jalan yang lurus, mereka tidak lagi bisa menerima ajaran yang dibawa rasul-rasul itu, karena telah terbiasa berlaku zalim, kafir dan hidup mementingkan kesenangan duniawi, sehingga iman mereka tidak dapat diharapkan lagi sedikit pun, maka Allah menghancurkan dan memusnahkan mereka.

Demikianlah Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang zalim dan mengerjakan perbuatan dosa. Ada kalanya Allah menghancurkannya sekaligus, atau mendatangkan azab berupa kerusakan dan kehancuran dalam masyarakat mereka. Hal ini merupakan peringatan keras dari Allah kepada orang-orang musyrik Mekah yang mendustakan Rasulullah.


Baca satelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 14-15


(Tafsir Kemenag)

Berbagai Cara Allah Menjaga Al-Quran dalam Tafsir Surah Al-Hijr Ayat 9

0
cara Allah menjaga Al-Quran
cara Allah menjaga Al-Quran

Al-Quran sebagaimana kita ketahui telah dijamin penjagaannya oleh Allah. Berbagai cara Allah menjaga Al-Quran, sebagaimana ditegaskan dalam tafsir surah Al-Hijr ayat 9.

Berikut bunyi QS. Al-Hijr [15]: 9,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (9)

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS. Al-Hirj [15]:9)

Menurut As-Sa’di dalam Taisīr al-Karīm al-Raḥmān (halaman 429), Allah menjaga Al-Quran pada masa penurunannya dan setelah masa penurunannya. Pada masa penurunannya Allah menjaga Al-Quran dari pencurian setan sedangkan pada masa sesudah penurunannya, Allah menjaga Al-Quran dari perubahan, penambahan, maupun pengurangan lafad dan penggantian maknanya. Cara Allah menjaga Al-Quran salah satunya dengan menyimpannya di dalam dada utusan-Nya, yaitu Nabi Muhammad, dan kemudian di dalam dada umat Nabi Muhammad.

Baca Juga: Baca Ayat Ini Untuk Menjaga Hafalan Al-Quran dan Semua Ilmu Pengetahuan

Makna ‘menjaga Al-Quran’

Penjagaan Al-Quran ini merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah dan anugerah dari Allah untuk hamba-hamba-Nya yang dititipi Al-Quran. Sementara menurut al-Māwardī dalam al-Nukat wa al-‘Uyūn (juz 3, halaman 149), ada tiga makna terkait makna kata “menjaga”: 1) Allah menjaga Al-Quran hingga hari kiamat, 2) Allah menjaga Al-Quran dari setan yang ingin membuat kebatilan di dalamnya atau menghilangkan kebenaran Al-Quran, dan 3) Allah menjaga Al-Quran di dalam orang-orang yang Allah kehendaki menjadi orang baik dan menghilangkan Al-Quran dari hati orang-orang yang Allah kehendaki menjadi orang yang buruk.

Ibn al-Jauzī dalam Zād al-Masīr (juz 2, halaman 525), sebelum masuk pada penafsiran tentang makna ‘menjaga’, terlebih dahulu ia menyinggung tentang penggunaan kata ‘nahnu’. Dikaitkan dengan konteks penjagaan Al-Quran, kata naḥnu yang bermakna “Kami” pada ayat tersebut mengandung pengertian bahwa Allah melibatkan makhluk-Nya dalam misi penjagaan Al-Quran ini.

Ibn al-Jauzī melanjutkan bahwa mayoritas mufasir merujukkan kata al-żikr kepada Al-Quran. Sedangkan kata ganti hu ada dua pendapat. Pendapat pertama merujuk kepada al-żikr (Al-Quran) dan ini merupakan pendapat jumhur ulama. Pendapat kedua merujuk kepada Nabi Muhammad sehingga maknanya menjadi “dan Kami (pula) yang menjaga Nabi Muhammad dari para setan dan musuh-musuhnya”. Maksudnya adalah orang-orang yang menuduh gila pada Nabi Muhammad

Ibn ‘Asyūr dalam al-Taḥrīr wa al-Tanwīr (juz 14, halaman 21) mengutip ‘Iyādh menceritakan bahwa Ismā’īl ibn Ishāq ditanya mengenai rahasia alasan kitab-kitab terdahulu yang mengalami banyak perubahan, sedangkan Al-Quran tidak.

Beliau menjawab “sesungguhnya Allah memasrahkan kepada ulama-ulama mereka untuk menjaga kitab-kitab mereka sendiri. Allah berfirman ‘sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah’ (QS. Al-Mā`idah[5]:44) sedangkan Allah menjaga Al-Quran dengan dzat-Nya sendiri.

Hal ini berarti ketika Allah menurunkan kitab-kitab sebelum Al-Quran, Allah memasrahkan penjagaannya kepada para ulama mereka sedangkan terhadap Al-Quran, Allah sendiri yang benar-benar menjaganya.

Baca Juga: Pemeliharaan Al-Quran Pada Masa Nabi Muhammad Saw

Berbagai cara Allah menjaga Al-Quran

Fakhr al-Dīn al-Rāzī dalam Mafātiḥ al-Ghaib (juz 19, halaman 123) merinci cara Allah menjaga Al-Quran. Pertama, Allah menjadikan Al-Quran sebagai mukjizat sehingga tidak ada satu makhluk pun yang mampu menambah dan mengurangi Al-Quran. Hal ini karena ketika ada makhluk yang mengurangi Al-Quran, maka akan mengubah susunan Al-Quran itu dan orang-orang yang berakal akan segera menyadari bahwa perubahan itu bukan bagian dari Al-Quran.

Kedua, Allah menjaga Al-Quran dari siapapun yang ingin  memalingkan makna Al-Quran. Ketiga, Allah melemahkan semua makhluk untuk merusak Al-Quran dengan melestarikan orang-orang yang terus menghafal, mengkaji, dan mempopulerkan Al-Quran. Keempat, ketika ada yang mengubah satu huruf atau satu titik dari Al-Quran, maka orang-orang akan berkata kepadanya “ini adalah kebohongan bagi kalam Allah”. Bahkan orang tua yang disegani sekalipun ketika melakukan laḥn (kesalahan) pada sebuah huruf maka anak anak akan berkata padanya “Anda salah wahai orang tua, yang benar adalah demikian dan demikian”.

Al-Qurṭubī dalam al-Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur’ān (juz 5, halaman 10) menceritakan kisah dari Yaḥyā ibn Akṡam. Khalifah al-Makmūn mempunyai majlis diskusi. Suatu hari di tengah kerumunan orang, datang seorang laki-laki Yahudi yang bagus pakaiannya, tampan wajahnya. Laki-laki tersebut mampir berbicara dengan bagus dan lugas.

Ketika dia akan pergi, Khalifah al-Makmūn memanggilnya dan berkata “apakah kamu seorang bani Isrāil? ”benar” jawabnya. Lalu Khalifah al-Makmūn berkata “masuklah ke dalam Islam” Dia menjawab “(agama Yahudi) agamaku dan agama nenek moyangku” dan dia pun pergi.

Setahun kemudian, dia datang lagi sebagai seorang muslim dan dia membahas dengan baik ilmu fikih. Setelah majlis selesai, Khalifah al-Makmūn memanggilnya lagi dan berkata “bukankan kamu teman kami kemarin?” dia menjawab “betul”

Khalifah al-Makmūn lanjut bertanya “apa yang membuat kamu masuk Islam?” dia bercerita “aku pergi dari hadapanmu dan tak lama kemudian aku melakukan sebuah . Aku menulis Taurat berjumlah tiga naskah. Di dalamnya ada bagian yang aku tambahi dan aku kurangi. Lalu aku masukkan ke dalam gereja. Maka kitab tersebut laku terjual. Kemudian aku melakukan hal yang sama pada Injil lalu aku jadikan barang dagangan dan laku terjual.

Hal tersebut juga aku lakukan pada Al-Quran. Lalu aku tawarkan pada penjual buku dan dia pun menelaahnya. Ketika dia tahu ada penambahan dan pengurangan pada Al-Quran dia melempar dan tidak mau membelinya. Dari kejadian itu aku tahu bahwa Al-Quran terjaga dan karena itulah aku masuk Islam.

Berdasarkan keterangan yang diberikan para mufasir dapat disimpulkan bahwa Al-Quran itu senantiasa dijaga oleh Allah dan dijamin keotentikannya oleh Allah hingga hari kiamat. Penjagaan itu juga melibatkan pihak lain, yaitu  melalui peran para pembaca, penghafal, pengkaji, dan orang-orang yang selalu melestarikan ajaran-ajaran Al-Quran.

Surah al-Kahfi Ayat 110: Melihat Sisi Kemanusiaan Nabi Muhammad Saw

0
Sisi kemanusiaan Nabi Muhammad saw
Sisi kemanusiaan Nabi Muhammad saw

Dalam pandangan teologis umat Islam, nabi Muhammad saw adalah manusia sempurna (al-insan al-kamil). Beliau Adalah nabi dan rasul terakhir dari rangkaian utusan Allah Swt di muka bumi sejak nabi Adam as. Karena itulah, dirinya sangat dikagumi dan dipuji-puji oleh umat Islam sampai-sampai terkadang mereka melupakan sisi kemanusiaan nabi Muhammad saw.

Nabi Muhammad saw – pada hakikatnya – memang utusan Allah swt. Hal ini telah ditegaskan oleh Al-Qur’an dan perkataan beliau sendiri (hadis). Secara faktual, ia juga memiliki sifat-sifat yang sempurna dari berbagai aspek dan ia maksum atau bersih dari segala bentuk dosa. Kendati demikian, nabi saw tetaplah manusia dan beliau juga melakukan apa yang biasa manusia lakukan secara alamiah.

Nabi Muhammad saw bersabda:

إنما أنا بشرٌ، أنسى كما تنسَوْن، فإذا نسِيتُ فذكِّروني

Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian, maka jika aku lupa,

ingatkanlah aku.” (al-Jami’ al-Shahih Li al-Bukhari).

Hadis di atas secara jelas menyatakan bahwa Baginda saw serupa dengan manusia lainnya dalam konteks kemanusiaan. Sisi kemanusian nabi Muhammad saw ini berkisar pada fitrah-fitrah manusia. Meskipun demikian, beliau tidaklah sama seutuhnya dengan manusia biasa. Sebab, ada sisi keistimewaan yang Allah swt berikan padanya dan itu tidak diberikan kepada selainnya.

Baca Juga: Sisi lain dari Isra Mikraj Nabi Muhammad Saw, Tafsir Alternatif Surah Al-Isra ayat 1

Menurut para ulama, sisi kemanusiaan nabi Muhammad saw atau diutusnya nabi dari golongan manusia memiliki hikmah tersendiri seperti kehadiran nabi sebagai manusia adalah sebagai suri teladan atau role model bagi manusia secara empiris sehingga bisa diikuti. Selain itu, sisi kemanusian nabi Muhammad saw juga dijadikan sebagai pelajaran bagi umatnya sebagaimana yang terjadi dalam kasus ‘lupa’ pada hadis di atas (Marah Labid).

Surah Al-Kahfi [18] Ayat 110: Nabi Muhammad Saw Juga Manusia

Dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang menunjukkan tentang sisi kemanusiaan nabi Muhammad saw. Salah satunya adalah surah al-Kahfi [18] ayat 110 yang berbunyi:

قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰٓى اِلَيَّ اَنَّمَآ اِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۚ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاۤءَ رَبِّهٖ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَّلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖٓ اَحَدًا ࣖ ١١٠

Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi [18] ayat 110).

Menurut al-Sa’adi, surah al-Kahfi [18] ayat 110 bermakna, “Katakanlah wahai Muhammad kepada orang-orang kafir dan selainnya bahwa engkau bukanlah Tuhan, bukan pula sekutu Tuhan, engkau tidak mengetahui hal yang gaib, dan engkau tidak mengusai perbendaharaan Allah swt. Katakanlah, ‘Aku adalah manusia seperti kalian, seorang hamba Allah. Hanya saja aku diberikan wahyu yang membedakan antara aku dan kalian’.”

Katakanlah, “Melalui wahyu tersebut, aku diperintahkan untuk mengabarkan kepada kalian bahwa Tuhan kalian Esa, tidak ada Tuhan selain Dia dan tidak ada seorang pun yang berhak disembah – sedikit pun – selain Dia. Oleh karena itu, Aku menyeru kalian untuk melakukan amal saleh yang dapat mendekatkan kalian dengan-Nya sehingga kalian mendapatkan pahala dan terhindar dari azab-Nya.”

Syekh Nawawi al-Bantani menuturkan bahwa surah al-Kahfi [18] ayat 110 memiliki dua sisi penekanan, yakni penegasan sisi kemanusian nabi Muhammad saw dan sisi keistimewaannya dibandingkan manusia lain karena wahyu. Dengan wahyu tersebut beliau mengetahui berbagai hal yang bersifat gaib, mulai dari surga, neraka, pahala, dosa, hingga Kenyataan Keesaan Allah swt.

Pandangan serupa disampaikan oleh Imam al-Syaukani dalam Fath al-Qadir. Ia menyatakan bahwa surah al-Kahfi [18] ayat 110 merupakan perintah Allah swt kepada nabi Muhammad saw untuk menyatakan dirinya sebagai manusia sebagaimana kaumnya. Apa yang membedakan antara nabi saw dan kaumnya hanyalah wahyu yang Allah swt berikan sebagai modal dakwah untuk mengenalkan Islam.

Dari penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa Al-Qur’an ingin menegaskan sisi kemanusiaan nabi Muhammad saw dan keistimewaannya dibandingkan manusia lain. Sisi ini perlu ditegaskan agar tidak terjadi dua hal, yakni pemujaan berlebihan terhadap nabi saw sebagaimana yang terjadi pada nabi Isa as dan pengabaian terhadap ajaran dan praktik agama karena hanya bisa dipraktikkan oleh orang-orang terpilih seperti nabi.

Baca Juga: Sisi lain dari Isra Mikraj Nabi Muhammad Saw, Tafsir Alternatif Surah Al-Isra ayat 1

Di sisi lain, surah al-Kahfi [18] ayat 110 juga menegaskan bahwa apa yang nabi Muhammad saw sampaikan – seluruhnya, tanpa terkecuali – berasal dari sisi Allah swt. Berbagai informasi yang disampaikan oleh nabi saw – khususnya berkenaan dengan yang gaib seluruhnya berasal dari Allah swt, bukan berdasarkan usahanya sendiri. Inilah yang membuat dirinya spesial dibandingkan manusia lain yang hanya bersandar pada pengalaman pribadi (empirical evidence).

Pada bagian akhir surah al-Kahfi [18] ayat 110 diterangkan kandungan wahyu secara universal, yakni pengetahuan tentang Keesaan Allah swt. Melalui pengetahuan ini, barulah manusia mampu melakukan pengakuan terhadap keesaan-Nya. Bisa dikatakan bahwa inilah inti sari ajaran Islam, baik Islam yang dianut nabi Adam, nabi Musa, nabi Isa, maupun Islam yang dibawa nabi Muhammad saw. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Yunus Ayat 11 (Bagian 2)

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 11 bagian kedua ini meneruskan pembicaraan sebelumnya. Orang-orang yang ingkar kepada Nabi Muhammad meminta hal yang tidak pantas. Mereka ingin mencelakai diri sendiri dengan permintaan azab.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 11 (Bagian 1)


Ayat 11

Permintaan ini sering diajukan orang-orang musyrik Mekah kepada Nabi Muhammad saw yang menyampaikan agama Allah kepada mereka.

Mereka meminta yang tidak pantas kepada Nabi, seperti meminta datangnya azab kepada mereka sebagaimana yang pernah didatangkan kepada bangsa-bangsa dahulu kala, meminta datangnya kiamat dan sebagainya, sebagaimana firman Allah:

وَيَسْتَعْجِلُوْنَكَ بِالسَّيِّئَةِ قَبْلَ الْحَسَنَةِ وَقَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِمُ الْمَثُلٰتُۗ وَاِنَّ رَبَّكَ لَذُوْ مَغْفِرَةٍ لِّلنَّاسِ عَلٰى ظُلْمِهِمْۚ وَاِنَّ رَبَّكَ لَشَدِيْدُ الْعِقَابِ

Dan mereka meminta kepadamu agar dipercepat (datangnya) siksaan, sebelum (mereka meminta) kebaikan, padahal telah terjadi bermacam-macam contoh siksaan sebelum mereka. Sungguh, Tuhanmu benar-benar memiliki ampunan  bagi manusia atas kezaliman mereka, dan sungguh, Tuhanmu sangat keras siksaan-Nya.  (ar-Ra’ad/13: 6)

Dan firman Allah:

وَيَسْتَعْجِلُوْنَكَ بِالْعَذَابِۗ وَلَوْلَآ اَجَلٌ مُّسَمًّى لَّجَاۤءَهُمُ الْعَذَابُۗ وَلَيَأْتِيَنَّهُمْ بَغْتَةً وَّهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ

Dan mereka meminta kepadamu agar segera diturunkan azab. Kalau bukan karena waktunya yang telah ditetapkan, niscaya datang azab kepada mereka dan (azab itu) pasti akan datang kepada mereka dengan tiba-tiba, sedang mereka tidak menyadarinya. (al-‘Ankabµt/29: 53)

Bahkan orang-orang musyrik itu, karena sangat ingkar kepada Al-Qur′an, berani berdoa agar disegerakan azab atas mereka seandainya yang disampaikan Muhammad itu adalah benar. Allah berfirman:

وَاِذْ قَالُوا اللهم  اِنْ كَانَ هٰذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَاَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ السَّمَاۤءِ اَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ

Dan (ingatlah,) ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata, “Ya Allah, jika (Al-Qur’an) ini benar (wahyu) dari Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.” (al-Anf±l/8: 32)

Orang-orang musyrik yang mengingkari adanya Hari Kiamat, menantang Rasulullah agar disegerakan datangnya Hari Kiamat itu, sebagaimana firman Allah:

يَسْتَعْجِلُ بِهَا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِهَاۚ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مُشْفِقُوْنَ مِنْهَاۙ وَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهَا الْحَقُّ ۗ اَلَآ اِنَّ الَّذِيْنَ يُمَارُوْنَ فِى السَّاعَةِ لَفِيْ ضَلٰلٍۢ بَعِيْدٍ

Orang-orang yang tidak percaya adanya Hari Kiamat meminta agar hari itu segera terjadi, dan orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya dan mereka yakin bahwa Kiamat itu adalah benar (akan terjadi). Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang yang membantah tentang terjadinya Kiamat itu benar-benar telah tersesat jauh. (asy-Syµra/42: 18)


Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 8-11: Penyesalan Orang yang Ingkar di Hari Kiamat


Tujuan orang-orang musyrik meminta kepada Nabi Muhammad saw agar didatangkan segera hukuman yang dijanjikan itu, bukan hanya karena mereka tidak percaya kepadanya, tetapi juga untuk membantah dan melemahkan hujah dan bukti kenabian, memperolok-olokan ayat-ayat Al-Qur’an yang disampaikan kepada mereka dan untuk mengatakan kepada Nabi Muhammad saw bahwa mereka sangat mengingkari segala macam yang disampaikan beliau kepada mereka. Adakalanya di antara mereka ada yang percaya kepada Nabi saw, tetapi rasa dengki kepada Muhammad dan fanatik kepada agama nenek moyang mereka telah menyebabkan mereka tetap mengingkarinya.

Dari ayat ini dipahami bahwa Allah tidak akan memperkenankan doa dan permintaan mereka, dan tidak menghendaki kehancuran mereka seperti yang telah dialami oleh umat yang telah lalu, tetapi Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. Muhammad diutus sebagai nabi dan rasul terakhir kepada seluruh manusia sebagai rahmat bagi seluruh alam. Karena itu Allah selalu memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertobat. Kalau mereka tetap dalam keingkaran dan kekafirannya sampai mati, maka Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih.

Allah tidak akan mendatangkan azab kepada mereka di dunia sebagaimana yang telah ditimpakan kepada umat-umat yang dahulu, karena seandainya Allah menimpakan azab kepada mereka, tentu mereka akan musnah semuanya, dan kemusnahan itu akan menimpa pula orang-orang yang beriman yang hidup dan berdiam di antara mereka, sebagaimana firman Allah:

وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللّٰهُ النَّاسَ بِظُلْمِهِمْ مَّا تَرَكَ عَلَيْهَا مِنْ دَاۤبَّةٍ وَّلٰكِنْ يُّؤَخِّرُهُمْ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّىۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً  وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ

Dan kalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ada yang ditinggalkan-Nya (di bumi) dari makhluk yang melata sekalipun, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai waktu yang sudah ditentukan. Maka apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun. (an-Nahl/16: 61)


Baca satelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 12-13


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Madrasah Tafsir Bashrah

0
Madrasah Tafsir Bashrah
Ilustrasi Madrasah Tafsir Bashrah

Sebagai salah satu madrasah terkemuka, Madrasah Tafsir Bashrah memiliki beberapa kekhasan dalam aktivitas kajiannya terhadap al-Qur’an. Muhammad ibn Abdullah ibn ‘Ali al-Khudhairi dalam karyanya Tafsir al-Tabi’in menyebutkan empat poin pembeda antara Madrasah Tafsir Bashrah dengan madrasah lainnya.

Keempat poin pembeda tersebut ialah 1) Memiliki uslub lughawy (gaya bahasa) yang khas; 2) Menyisipkan pesan-pesan hikmah dalam penafsirannya; 3) Menjauhi penggunaan israilliyah; 4) Menonjolkan al-tafsir bis sunnah (tafsir dengan riwayat hadis).

Memiliki Uslub Lughawy yang Khas

Uslub atau gaya bahasa memang tidak bisa dilepaskan dari faktor geografis dan demografis. Pemilihan kata yang diekspresikan dalam bentuk lisan maupun tulisan, tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan serta interaksi sosial yang terjadi di suatu daerah.

Setidaknya dapat dijelaskan secara lebih detail alasan di balik gaya bahasa khas yang dimiliki oleh Madrasah Tafsir Bashrah. Pertama, Bashrah memang terkenal sebagai salah satu pionir peletakan kaidah-kaidah Nahwu. Maka hingga hari ini, tidak heran jika penikmat keilmuan ini mengenal madzhab Nahwu Bashrah sebagai salah satu rujukan dalam mengambil kaidah-kaidah Nahwiyah.

Baca Juga: Ijtihad Tabiin dan Kontribusinya terhadap Tafsir bi al-Ma’tsur

Keunikan madzhab Nahwu Bashrah terletak pada komposisi stilistika bahasanya yang bercampur dengan kebudayaan-kebudayaan yang ada di lingkup geografisnya. Fenomena tersebut terjadi secara alamiah sebab Bashrah merupakan salah satu pusat perdagangan. Hasilnya, dalam stilistika bahasanya ditemukan pengaruh kebudayaan Hindi maupun daerah Timur lainnya yang pada akhirnya menyebabkan keunikan dan kekhasan pada gaya bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat Bashrah.

Kedua, Bashrah juga merupakan kota yang menjadi saksi banyaknya kaum Mawali (masyarakat non-Arab) yang masuk Islam. Kaum Mawali itupun mulai mempelajari bahasa Arab agar dapat memahami al-Qur’an. Implikasinya terjadi percampuran stilistika bahasa antara bahasa Ibu dengan bahasa Arab yang mereka pelajari. Sampai kemudian banyak dari kaum Mawali yang berhasil menguasai keilmuan Nahwu serta Sastra dan sampai menjadi sosok yang begitu populer hingga saat ini. Sebut saja Imam Sibawaih dan Hasan al-Bashri serta Abul Aswad al-Du’ali yang langsung teringat jika membicarakan dua keilmuan tersebut.

Menyisipkan Pesan-Pesan Hikmah Dalam Penafsiran

Kekhasan atau keistimewaan lainnya dari tafsir-tafsir yang lahir dari para cendekiawan Bashrah ialah kelihaian mereka dalam menyisipkan pesan-pesan hikmah dalam setiap penafsirannya. Para cendekiawan Bashrah terlihat enggan untuk menghadirkan penafsiran yang kering dan tidak berbekas bagi pembacanya. Mereka seakan ingin agar setiap produk penafsirannya selalu memberi impact bagi sisi ruhaniyah pembacanya.

Peran guru-guru mereka dari kalangan Sahabat juga turut memberikan andil besar dalam nuansa penafsiran khas yang mereka miliki. Guru mereka seperti Abu Musa al-Asy’ari telah mengajarkan mereka pengalaman hidup yang penuh kezuhudan dan suluk. Pengalaman hidup yang diajarkan oleh guru-guru mereka terbawa hingga karya-karya penafsiran yang mereka hasilkan.

Selain itu, kompetensi mumpuni mereka dalam ilmu Bahasa juga turut mendukung terciptanya penafsiran yang mampu menggubah perasaaan dan memberikan kesan mendalam pada setiap pembacanya. Tentu tidak mungkin jika kata-kata biasa tanpa ditambahkan bumbu sastra akan mampu menembus hingga hati yang terdalam.

Maka mereka para cendekiawan Bashrah terkenal dengan julukan qashshash (pemberi kisah) sebab menggunakan gaya bahasa kisah dalam menyampaikan penafsirannya. Meskipun gaya penyampaian ini dahulu ditentang karena dikhawatirkan banyak memuat riwayat-riwayat yang tidak jelas asal-usulnya, namun Hasan al-Bashri menilai bahwa gaya penyampaian ini sangat efektif dalam menekankan dzikrullah (mengingat Allah).

Menjauhi Penggunaan Israilliyah

Mayoritas jumhur Ulama menilai kebolehan penggunaan riwayat israilliyah selama tidak terdapat pertentangan dengan syariat Islam di dalamnya. Sebagaimana Madrasah Tafsir Mekkah yang banyak mempergunakan riwayat israilliyah sebagai alat bantu dalam metodologi penafsirannya.

Namun berbeda halnya dengan Madrasah Tafsir Bashrah yang terkenal cukup anti dalam penggunaan riwayat israilliyah. Ada beberapa alasan yang melatarbelakanginya, di antaranya: 1) sedikitnya riwayat yang sampai ke Bashrah sehingga mereka lebih dominan pada penggunaan akal seperti ijtihad dan istinbath dalam memahami maksud ayat; 2) Guru-guru utama madrasah ini terkenal sebagai sahabat yang menjauhi riwayat-riwayat israilliyah seperti Ibn Mas’ud dan Anas ibn Malik; 3) tidak adanya Muslim Ahli Kitab yang hidup di Irak. Faktor ini sekaligus menjawab mengapa begitu jarang ditemui riwayat israilliyah yang sampai ke Bashrah.

Menonjolkan Al-Tafsir Bis Sunnah

Madrasah Tafsir Bashrah juga dikenal dengan penafsirannya yang menonjolkan aplikasi penggunaan riwayat tafsir Nabi yang cukup banyak. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan banyaknya riwayat tafsir Nabi yang mereka miliki antara lain: pertama, bergurunya para pemuka Tabi’in semisal Hasan al-Bashri kepada para Sahabat yang berdomisili di Madinah seperti Anas ibn Malik yang terkenal banyak memiliki riwayat tafsir Nabi.

Kedua, para Tabi’in utama di lingkup Madrasah Tafsir Bashrah kerapkali melakukan tasahul al-riwayah (mudah menerima dan mempergunakan suatu riwayat selama secara kandungan makna benar adanya). Jadi semisal ada riwayat yang lengkap secara matan, namun kurang dalam rentetan sanadnya maupun sebaliknya, maka akan tetap dicantumkan dan ditambahkan sebagai pelengkap penafsiran. Akibatnya hadis-hadis yang diriwayatkan banyak yang dinilai sebagai hadis Mursal sebab terjadi loncatan langsung ke Nabi Muhammad tanpa penyebutan sahabat yang diambil hadisnya.

Baca Juga: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir al-Qur’an Mekkah Masa Tabiin

Mungkin sikap tasahul al-riwayah ini bisa menjadi alasan mengapa mereka dijuluki al-qashshash sebab banyak memasukkan riwayat yang belum jelas secara sanad dan matan namun memiliki tema yang sesuai dengan pembahasan. Namun bagaimanapun perdebatan dalam sikap tasahul ini, tetap saja telah menjadi salah satu kekhasan yang mewarnai metodologi penafsiran mereka.

Adapun jika para pembaca mengamati gaya penyampaian tafsir di Indonesia khususnya dalam acara-acara majelis pengajian yang memperingati momentum tertentu, maka akan didapati adanya kemiripan dengan gaya penyampaian Tabi’in Bashrah. Mereka menyampaikan esensi-esensi ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an  dengan menggunakan gaya penyampaian kisah dan banyak memasukkan riwayat-riwayat fadha’ilul a’mal yang biasanya banyak dipertentangkan keshahihannya. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Yunus Ayat 11 (Bagian 1)

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 11 terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berbicara mengenai watak alamiah manusia yang menginginkan sesuatu serba cepat dan instan. Hal itu tidak baik bagi manusia dan oleh karenanya Allah mengingatkan agar manusia selalu ingat bahwa semua hal terjadi atas kehendak Allah Swt.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 10


Ayat 11

Salah satu sifat dan watak manusia, adalah ingin segala sesuatu yang akan terjadi padanya dipercepat atau disegerakan, baik itu berupa hukuman atau kemudaratan, kebaikan atau pahala.

Padahal, mereka telah mengetahui bahwa semuanya itu terjadi atas kehendak Allah, sesuai dengan hukum-hukum-Nya dan sesuai pula dengan ketetapan dan aturannya. Allah berfirman:

فَهَلْ يَنْظُرُوْنَ اِلَّا سُنَّتَ الْاَوَّلِيْنَۚ فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللّٰهِ تَبْدِيْلًا ەۚ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللّٰهِ تَحْوِيْلًا  ;

…Mereka hanyalah menunggu (berlakunya) ketentuan kepada orang-orang terdahulu. Maka kamu tidak akan mendapatkan perubahan bagi ketentuan Allah dan tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi ketentuan Allah itu. (Fatir/35: 43)

Dan firman Allah:

سُنَّةَ اللّٰهِ الَّتِيْ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ  ۖوَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللّٰهِ تَبْدِيْلًا

(Demikianlah) hukum Allah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan pada hukum Allah itu. (al-Fath/48: 23)

Pada ayat-ayat Al-Qur’an yang lain dijelaskan sifat tergesa-gesa yang ada pada manusia, sebagaimana firman Allah:

وَيَدْعُ الْاِنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاۤءَهٗ بِالْخَيْرِۗ وَكَانَ الْاِنْسَانُ عَجُوْلًا

Dan manusia (seringkali) berdoa untuk kejahatan sebagaimana (biasanya) dia berdoa untuk kebaikan. Dan memang manusia bersifat tergesa-gesa. (al-Isra’/17: 11)

Dan firman Allah:

خُلِقَ الْاِنْسَانُ مِنْ عَجَلٍۗ سَاُورِيْكُمْ اٰيٰتِيْ فَلَا تَسْتَعْجِلُوْنِ

Manusia diciptakan (bersifat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Ku. Maka janganlah kamu minta Aku menyegerakannya. (al-Anbiya’/21: 37)

Sifat tergesa-gesa ingin memperoleh kebaikan dan kesenangan pada manusia itu, adalah karena keinginan mereka memperoleh manfaat dari sesuatu dalam waktu singkat, padahal mereka mengetahui bahwa segala sesuatu ada prosesnya.


Baca juga: Jangan Tergesa-gesa! Ini Dalil Larangannya dalam Al-Quran


Proses itu memerlukan tekad/niat yang kuat, kesabaran dan keuletan. Mustahil mereka akan mencapai suatu kesenangan, tetapi mereka tidak berusaha mencapainya dengan mengikuti syarat-syarat tercapainya sesuatu.

Lain halnya dengan keinginan manusia mengalami suatu siksaan, bahaya atau malapetaka.

Keinginan ini timbul karena kebodohan, ketidakimanan, kedurhakaan, dan keingkaran mereka terhadap Nabi Muhammad saw atau karena mereka ingin memperolok-olokan sesuatu yang tidak mereka inginkan itu, atau karena kemarahan dan kebencian mereka terhadap sesuatu dan sebagainya, seperti yang terjadi atas orang-orang yang putus asa dalam kehidupannya, maka ia memohon kematian atas dirinya.

Demikian pula orang-orang kafir yang tidak menginginkan sesuatu yang disampaikan Rasul Allah, lalu minta bukti dengan cara segera mendatangkan azab yang dijanjikan kepada mereka.

Keinginan dan permintaan mereka itu dijawab oleh Allah dengan tegas melalui firman-Nya dalam ayat ini, yaitu seandainya Allah mau memperkenankan doa dan permintaan manusia, supaya ditimpakan azab kepada mereka atau suatu malapetaka, sesuai dengan permintaan yang mereka ajukan semata-mata karena kebodohan atau ingin melemahkan bukti-bukti kenabian yang disampaikan kepada mereka, seperti yang pernah diminta oleh orang-orang musyrik Mekah, tentulah Allah akan segera mengabulkannya dan itu amat mudah bagi Allah.


Baca satelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 11 (Bagian 2)


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Yunus Ayat 10

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 10 berbicara mengenai gambaran kehidupan orang-orang yang mendapatkan balasan baik di surga. Gambaran tersebut dimunculkan dalam simbol kalimat-kalimat baik yang diucapkan oleh ahli surga.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 6-9


Ayat 10

Ayat ini menggambarkan tiga perumpamaan kehidupan orang-orang mukmin di surga. Dari tiga perumpamaan itu tergambar tingkatan kehidupan rohani yang tinggi yang telah dicapai mereka.

Gambaran itu ialah:

  1. Doa mereka, dimulai dengan menyebut, “Subhanaka Allahumma
  2. Salam penghormatan mereka ialah, “Salam”.
  3. Akhir doa mereka ialah, “Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin”.

Doa ialah permohonan yang dipanjatkan kepada Yang Mahaagung, dengan sepenuh hati dengan kata-kata yang penuh hormat, karena merasakan keagungan tempat meminta. Pengakuan akan keagungan Allah itu diungkapkan dengan perkataan “subhanaka Allahumma” (Maha Suci Engkau, wahai Allah).

Kalimat ini memberi pengertian bahwa Allah Maha Esa, hanya Dia sendirilah yang berhak disembah, yang berhak diagungkan. Setiap makhluk wajib menghambakan diri kepada-Nya selama-lamanya, baik di dunia maupun di akhirat. Makhluk yang seperti inilah yang berhak memperoleh kebahagiaan dan kenikmatan yang abadi pula.

Salam penghormatan mereka ialah “salam” yang maksudnya ialah agar sejahtera dan selamat dari yang tidak disukai dan diingini. Salam penghormatan ini telah selalu pula mereka ucapkan selama hidup di dunia.

Dalam Surah al-Ahzab/33: 44 diterangkan bahwa “salam” itu pun me-rupakan salam yang diucapkan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman waktu mereka pertama kali menjumpai Allah di akhirat.

Allah berfirman:

تَحِيَّتُهُمْ يَوْمَ يَلْقَوْنَهٗ سَلٰمٌ ۚوَاَعَدَّ لَهُمْ اَجْرًا كَرِيْمًا

Penghormatan mereka (orang-orang mukmin itu) ketika mereka menemui-Nya ialah, “Salam,” dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka. (al-Ahzab/33: 44)

Salam penghormatan ini pula yang diucapkan oleh para malaikat kepada mereka, waktu mereka pertama kali masuk surga.

Allah berfirman:

وَسِيْقَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ اِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا ۗحَتّٰىٓ اِذَا جَاۤءُوْهَا وَفُتِحَتْ اَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلٰمٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوْهَا خٰلِدِيْنَ

Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya diantar ke dalam surga berrombongan.  Sehingga apabila mereka sampai kepadanya (surga), dan pintu-pintunya telah dibukakan, penjaga-penjaganya berkata kepada mereka, “Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! Maka masuklah, kamu kekal di dalamnya.” (az-Zumar/39: 73)

Dan dalam penghormatan ini pula yang diucapkan oleh sesama orang-orang yang beriman di dalam surga. Allah berfirman:

لَا يَسْمَعُوْنَ فِيْهَا لَغْوًا اِلَّا سَلٰمًاۗ وَلَهُمْ رِزْقُهُمْ فِيْهَا بُكْرَةً وَّعَشِيًّا

Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang tidak berguna, kecuali (ucapan) salam. Dan di dalamnya bagi mereka ada rezeki  pagi dan petang. (Maryam/19: 62)


Baca juga: Tafsir Surah Yasin ayat 58-59: Ucapan Salam Untuk Para Penghuni Surga


Ketinggian kehidupan rohani yang dicapai oleh orang-orang yang beriman di dalam surga nanti dipahami pula dari setiap penutup doa dan permintaan yang mereka panjatkan kepada Allah, yaitu “Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin” (Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam). Ucapan ini pula yang diucapkan oleh orang-orang yang beriman di waktu pertama kali masuk surga.

Allah berfirman:

وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ صَدَقَنَا وَعْدَهٗ وَاَوْرَثَنَا الْاَرْضَ نَتَبَوَّاُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ نَشَاۤءُ ۚفَنِعْمَ اَجْرُ الْعٰمِلِيْنَ

Dan mereka berkata, “Segala Puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah memberi tempat ini kepada kami sedang kami (diperkenankan) menempati surga di mana saja yang kami kehendaki.” Maka (surga itulah) sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal. (az-Zumar/39: 74)

Dan ucapan ini pula yang diucapkan para malaikat di waktu mereka berada di sekeliling ‘Arsy. Allah berfirman:

وَتَرَى الْمَلٰۤىِٕكَةَ حَاۤفِّيْنَ مِنْ حَوْلِ الْعَرْشِ يُسَبِّحُوْنَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْۚ وَقُضِيَ بَيْنَهُمْ بِالْحَقِّ وَقِيْلَ الْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ࣖ

Dan engkau (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat melingkar di sekeliling ‘Arsy, bertasbih sambil memuji Tuhannya; lalu diberikan keputusan di antara mereka (hamba-hamba Allah) secara adil dan dikatakan, “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.” (az-Zumar/39: 75)

Dari ayat ini dipahami bahwa wajib atas tiap-tiap orang yang beriman mensucikan jiwanya, dan membersihkan dirinya. Cara mensucikan jiwa dan membersihkan diri itu ialah dengan beribadah kepada Allah, mengendalikan hawa nafsu dan mengarahkannya untuk mengerjakan perbuatan yang baik dan amal yang saleh.

Bukanlah membersihkan diri itu dengan menggunakan perantara, seperti menjadikan perantara orang-orang yang dianggap keramat dan sebagainya, atau mengharapkan syafaat dari padanya. Bahkan perbuatan yang demikian itu dapat menjurus ke arah kemusyrikan. Allah berfirman:

لَيْسَ بِاَمَانِيِّكُمْ وَلَآ اَمَانِيِّ اَهْلِ الْكِتٰبِ ۗ مَنْ يَّعْمَلْ سُوْۤءًا يُّجْزَ بِهٖۙ وَلَا يَجِدْ لَهٗ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلِيًّا وَّلَا نَصِيْرً

(Pahala dari Allah) itu bukanlah angan-anganmu dan bukan (pula) angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan dibalas sesuai dengan kejahatan itu dan dia tidak akan mendapatkan  pelindung dan penolong selain Allah. (an-Nisa’/4: 123)

Tiga macam perumpamaan kehidupan rohani yang tinggi yang diperoleh oleh ahli surga itu hendaklah selalu dibiasakan dan diamalkan oleh orang-orang yang beriman selama mereka hidup di dunia agar mereka memperoleh kebahagiaan yang abadi pula.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 11 (Bagian 1)


(Tafsir Kemenag)

Umat Islam berduka Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni Dikabarkan Wafat

0
Syekh Ali Ash-Shabuni
Syekh Ali Ash-Shabuni

Innalillah wa inna ilaihi rajiun umat Islam di dunia berduka cita, hari ini Jumat (19/03) bertepatan dengan 6 Sya’ban 1442 H, seorang mufassir kenamaan asal Suriah, Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni dikabarkan wafat. Kabar ini banyak tersebar di beberapa platform media sosial terutama gambar dari al-Jazeera Suriah.

Syekh Muhammad Ali As-Shabuni merupakan ulama yang banyak menghasilkan beragam karya dari berbagai bidang keilmuan antara lain tafsir, hadis, dan lainnya. Dalam bidang tafsir terutama, karya beliau yang banyak dikaji di Indonesia terutama adalah Shafwat al-Tafasir,  Rawai’ al-Bayan fi Tafsir al-Ahkam dan al-Tibyan fi ‘Ulum al-Quran.

Dilansir dari alsouria.net, Syekh Ali wafat di kota Yalova (يلوا) Turki dalam usia 91 tahun. Dalam laman tersebut disertakan pula kabar dari akun twitter Syekh Muhammad Basyir Haddad yang mengkonfirmasi berita wafatnya. Beberapa laman lain juga mengabarkan berita duka ini seperti islamsyria.com dan watanserb.com.

Setelah redaksi menelusuri laman twitter, banyak tweet dari sejumlah tokoh yang memberitakan wafatnya Syekh Ali Ash-Shabuni. Di antaranya adalah dari Abdul Mun’in Zainuddin, Anwar Malik, dan juga akun twitter kanal berita seperti OrientNews, dan TRTArabi.

Syekh Ali lahir di Aleppo, Suriah pada tahun 1930. Sepanjang hidupnya, beliau mengabdikan dirinya kepada agama dan dakwah. Beliau pernah beberapa kali mengunjungi Indonesia, salah satu kunjungannya adalah pada sekitar tahun 2013 dan berkeliling ke sejumlah wilayah di Indonesia termasuk ke pesantren-pesantren.

Sebelumnya Syekh Ali Ash-Shabuni pernah dikabarkan wafat sekitar tahun 2015. Namun berita ini ternyata hoaks dan tidak benar. Saat ini Syekh Ali Ash-Shabuni tercatat sebagai ketua dari Rabithah Ulama Suriah, sebuah organisasi perkumpulan Ulama Suriah yang sangat disegani di sana.

Wafatnya Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni menjadi meninggalkan lubang yang cukup besar bagi Dunia Islam. Kepakaran beliau terutama dalam bidang ilmu al-Quran dan tafsir tidak mudah untuk bisa digantikan.

Keluarga besar tafsiralquran.id sangat kehilangan tokoh Tafsir ini. Semoga apa yang sudah Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni tinggalkan berupa ilmu dan amal, terus mengalir menjadi bekal untuk beliau kembali ke sisi Allah Swt.

Tafsir Surah Yunus Ayat 6-9

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 6-9 berbicara mengenai tiga hal. Pertama tentang tanda kekuasan Allah dalam penciptaan matahari dan bumi. Kedua tentang orang yang tidak percaya adanya akhirat. Ketiga tentang balasan bagi orang beriman di akhirat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 5 (Part 2)


Ayat 6

Pada ayat ini Allah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang lain, yaitu pertukaran malam dan siang, walaupun pertukaran dengan arti pergantian malam dan siang itu, disebabkan oleh perputaran bumi mengelilingi sumbunya.

Perbedaan panjang malam dan siang disebabkan letak suatu tempat di bagian bumi, yang disebabkan oleh pergeseran sumbu bumi itu dan dua puluh tiga setengah derajat dari putaran jalannya (garis edar) serta peredaran bumi keliling matahari.

Di samping perputaran malam dan siang itu, dalam ayat ini Allah juga menjelaskan bahwa di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Allah menciptakan di langit dan di bumi aneka ragam benda, seperti benda cair, benda padat, udara, tumbuh-tumbuhan dan binatang, guruh petir, angin semuanya itu merupakan bukti dan tanda kebesaran dan kekuasaan Allah, bagi orang yang mau bertakwa kepada-Nya.

Ayat 7-8

Ayat-ayat ini menerangkan bahwa alasan orang-orang yang tidak meyakini akan adanya pertemuan dengan Allah di akhirat nanti di mana semua amal perbuatan akan ditimbang dengan adil, karena mereka lebih mencintai kehidupan dunia dan rela menukar kesenangan hidup di akhirat dengan kesenangan hidup di dunia yang fana ini.

Hal itu juga karena mereka terpengaruh oleh kelezatan duniawi, demikian pula orang-orang yang lalai dan tidak mengindahkan ayat-ayat Al-Qur′an, serta tidak mau mempelajari, memahami dan mengamalkannya, maka tempat mereka kelak ialah neraka Jahannam.

Balasan azab yang demikian itu adalah karena dosa-dosa yang mereka kerjakan selama hidup di dunia, dan balasan itu setimpal dengan perbuatan mereka.

Dalam ayat ini disebutkan dua macam sikap dan perbuatan manusia yang menyebabkan mereka masuk neraka, yaitu:

  1. Tidak percaya akan adanya hidup sesudah mati nanti, karena telah terpengaruh oleh kesenangan duniawi.
  2. Tidak mengindahkan ayat-ayat Al-Qur’an.

Tidak percaya adanya hidup sesudah mati, untuk menemui Allah, berarti tidak percaya akan keadilan Allah, dan kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya. Orang-orang yang demikian biasanya adalah orang-orang yang mengira bahwa segala sesuatu yang telah didapatnya itu, adalah semata-mata atas usahanya sendiri, bukanlah sebagai rahmat dan karunia dari Tuhan; seakan-akan dialah yang menentukan segala sesuatu.

Sifat-sifat yang demikian dapat menjurus pada kepercayaan atheisme yang berpendapat bahwa Tuhan itu tidak ada, hanya manusia sendirilah yang mengadakan segala sesuatu. Hal ini sangat bertentangan dengan pokok utama akidah Islamiyah.

Demikian pula tidak mengindahkan ayat-ayat Al-Qur’an berarti tidak percaya bahwa Al-Qur’an sebagai kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, nabi yang terakhir dan tidak percaya pula bahwa kitab itu dapat menjadi pedoman bagi manusia dalam melayarkan bahtera hidup di dunia untuk mencapai kehidupan abadi di akhirat nanti.

Kepercayaan kepada adanya hidup sesudah mati, dan Al-Qur’an itu Kitab Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw, adalah merupakan pokok utama ajaran Islam. Mengingkari kedua ajaran pokok itu berarti mengingkari ajaran Islam. Itulah sebabnya Allah mengancam dengan sangsi yang berat berupa azab neraka Jahannam terhadap orang-orang yang mengingkari-Nya.


Baca juga: Menyeimbangkan Urusan Dunia dan Akhirat, Perhatikan Semangat Doa Al-Quran Berikut!


Ayat 9

Pada ayat ini Allah menerangkan balasan dan pahala yang baik yang diterima orang-orang yang beriman dan beramal saleh di akhirat nanti yaitu mereka diberi tempat yang mulia berupa surga yang penuh kenikmatan.

Iman dan amal saleh merupakan dua hal yang sangat erat hubungannya, satu dengan yang lain berjalin dan bersangkut paut. Amat banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan keeratan hubungan itu.

Iman berupa keyakinan dan kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta dan Pemilik semesta alam, Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada hamba-Nya. Karena sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang ada pada-Nya itu.

Dia menganugerahkan hidayat dan petunjuk bagi manusia agar mereka dengan petunjuk itu berbahagia hidup di dunia dan di akhirat. Petunjuk ini diakui oleh orang yang beriman sebagai petunjuk dari Allah, yang perwujudannya adalah sebagaimana yang disebutkan dan yang dikemukakan contoh-contohnya di dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi saw.

Jadi amal yang saleh yang dikerjakan oleh seorang Muslim adalah manifestasi dari imannya, atau dengan perkataan lain bahwa seseorang yang telah mengaku beriman tentulah ia suka mengerjakan amal saleh. Mustahil seseorang yang beriman tidak mengerjakannya.

Iman dan amal saleh ini menjadi sebab manusia hidup berbahagia di dunia, dan diberi balasan oleh Allah berupa surga di akhirat. Dengan demikian, mereka telah sampai ke tingkat kehidupan rohani yang paling tinggi.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 10


(Tafsir Kemenag)