Beranda blog Halaman 371

Tafsir Ayat Syifa: Al-Quran sebagai Obat bagi Orang Beriman

0
tafsir ayat-ayat syifa
tafsir ayat-ayat syifa

Sebagai manusia tentu pernah mengalami sakit dan berobat. Namun adakalanya pengobatan yang dilakukan baik secara medis maupun non-medis tidak kunjung menuai hasil. Sejatinya, Islam (melalui ayat syifa dan hadis syifa) telah memberi petunjuk tentang ilmu kesehatan dengan mapan (established). Terbukti hal ini telah menginspirasi Ibnu Sina untuk menguak dan menuliskannya dalam magnum opusnya yang berjudul, al-Qanun fi Thibb (The Canon of Medicine).

Salah satu dari ayat syifa (obat) dalam Al-Quran yang patut kita renungi bersama di era pandemi ialah Q.S. al-Isra’ [17]: 82, berikut ayatnya,

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْاٰنِ مَا هُوَ شِفَاۤءٌ وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَۙ وَلَا يَزِيْدُ الظّٰلِمِيْنَ اِلَّا خَسَارًا

Dan Kami turunkan dari Al-Quran (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian. (Q.S. al-Isra’ [17]: 82)

Baca Juga: Menyoal Makna Syifa dalam Al-Quran

Tafsir Surah Al-Isra Ayat 82

Penafsiran ini kami fokuskan pada kalimat syifa untuk menyingkap makna syifa sedalam-dalamnya. Al-Qurtubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa Allah swt menurunkan Al-Quran dan semua ayatnya berisi syifa (obat). Tidak ada yang bukan syifa. Dalam hal ini terjadi ikhtilaf (berbeda pendapat) di kalangan ulama.

Pendapat pertama, mengatakan, syifa-un lil qulub bi zawal al-jahli ‘anha wa izalati al-raibi (obat atau penyembuh bagi hati dengan menghilangkan kebodohan serta keraguan). Selain itu, syifa bermakna sebagai obat untuk menghilangkan kotoran dan penyakit hati agar mampu memahami mukjizat dan segala perintah Allah swt (li fahm al-mu’jizat wal umur al-dallati).

Pendapat kedua, syifa bermakna obat terhadap tubuh yang tengah sakit baik dengan rukyah, ta’awwudz, maupun pengobatan medis. Dalam satu khabar dikatakan, “man lam yastaysfa bil quran falaa syafahullaha” (barang siapa yang mencari kesembuhan dengan Al-Quran maka Allah swt akan menyembuhkan sakitnya).

Dari penafsiran ini, syifa bermakna dua hal, yaitu syifa bermakna esoteris (aspek ruh atau kejiwaan) dan syifa bermakna eksoterik (aspek jasmani). Jadi kata syifa di sini dapat digunakan tidak hanya kesembuhan secara jasmaniah, namun juga ruhaniah.

Masih tentang penafsiran al-Qurtuby, dalam satu riwayat Rasulullah saw bersabda,

” شِفَاءُ أُمَّتِي فِي ثَلَاثٍ، آيَةٌ مِنْ كِتاب اللهِ أو لَعقةٌ مِنْ عَسَلٍ أوْ شَرْطةً مِن محِجم “

“Obat kesembuhan umatku ada tiga, yaitu dari ayat-ayat kitab Allah (Al-Quran), sesendok madu dan bekam”.

Baca Juga: Quranic Immunity: Kajian Ayat-Ayat Syifa dalam Al-Quran

Selanjutnya penafsiran cukup detail disampaikan Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, ia berujar bahwa ketahuilah sesungguhnya Al-Quran adalah obat bagi mereka yang sakit baik secara ruhaniah maupun jasmaniah. Sakit ruhaniah, kata al-Razi terbagi menjadi dua, yaitu berpegang teguh pada kebatilan (al-i’tiqadu al-bathilah) dan akhlak tercela (al-akhlaq al-madzmumah).

Mereka yang senantiasa meng-agemi (baca: memegang teguh) kebatilan sesungguhnya jiwanya sedang sakit, meski fisiknya sehat bugar. Al-Razi melukiskan mereka dengan senantiasa berbuat fasad (kerusakan) dalam aspek teologi (keyakinan), kenabian, suka bermusuhan atau memecah belah persatuan masyarakat, mengingkari qadha dan qadar Allah swt dan menegasikan kebenaran mazhab.

Sakit kedua adalah berakhlak tercela. Kecenderungan ini dilukiskan Ar-Razi dengan mengingkari kebenaran Al-Quran dan justru merusaknya. Maka cara menyembuhkannya dengan akhlak mahmudah (berakhlak yang baik).

Senada dengan Ar-Razi, Ibnu Katsir juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan akhlak madzmumah adalah penyakit hati. Penyakit hati inilah yang kerapkali menggerogoti kemurnian hati manusia sehingga menimbulkan bintik-bintik hitam jika tidak cepat didelete. Penyakit hati ini, kata Ibnu Katsir, meliputi keraguan, kemunafikan, kesyirikan dan kesesatan. Sehingga para ulama tafsir sepakat bahwa Al-Quran adalah obat penawar bagi penyakit-penyakit hati di atas.

Jenis sakit kedua ialah sakit jasmaniah (al-amradh al-jasmaniyyah) adalah penyakit fisik sebagaimana pada umumnya. Maka Al-Quran melalui ayat-ayat syifa-nya dapat digunakan sebagai obat dengan cara membaca ayat-ayat syifa, berwirid dengannya, ruqyah dengan ayat-ayat syifa, bahkan meminum ayat-ayat syifa setelah dibasuh dengan air.

Kata syifa di atas juga bermakna menguatkan pemahaman keagamaan serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari, memperbaiki jiwa bagaikan obat bagi orang sakit (ma huwa fi taqwim dinihim wa istilahi nufusihim kal dawa’ al-syafi lil mardha). Hal ini persis digambarkan Al-Baidhawi dalam Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil.

Lebih jauh al-Baidhawi menjelaskan maksud syifa di atas adalah surah Al-Fatihah. Di dalam Al-Fatihah sesungguhnya mengandung syifa yang luar biasa. Tidak mau kalah, Al-Qusyairi, tokoh sufistik kenamaan, ia menafsirkan ayat syifa di atas sebagaimana dalam Lathaif al-Isyarat dengan obat atas kebodohan dan terhindarnya dari ulama yang jahil, obat atas kesyirikan, obat atas kebimbangan, obat atas rasa cinta yang berlebihan terhadap duniawi dan obat atas kelakuan murid yang melampaui batas.

Dalam syairnya, ia senandungkan,

وكُتْبُكَ حَوْلِي لا تفارق مضجعي  #  وفيها شفاءٌ للذي أنا كاتِمُ

Bagaimana aku memisahkan diri dari kitabku (Al-Quran), justru aku terbangun dari tidurku karena di dalamnya penuh syifa (kesembuhan) bagiku.

Penafsiran sufistik berikutnya diwartakan Ibn ‘Ajibah dalam Al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid, kata ‘Ajibah, keseluruhan Al-Quran mengandung syifa. Syifa di atas menurutnya tidak jauh berbeda dengan al-Qusyairi, Ar-Razi, dan para ulama lainnya bahwa syifa bermakna hissi (inderawi) dan maknawi. Untuk syifa hissi seperti halnya surah Al-Fatihah dan ayat syifa di atas. Adapun syifa maknawi sangatlah banyak, seperti kesembuhan atas kebimbangan dan kebodohan (wa min saqam al-raibi wal jahli), obat atas khayalan sia-sia dan tuduhan tak berdasar (wa adawa’u al-auhami wa al-syakauki).

Baca Juga: Doa Nabi Ayyub as dalam Al-Quran untuk Kesembuhan Penyakit

Al-Quran sebagai Syifa (Obat)

Dari paparan tafsir di atas, sesungguhnya Al-Quran adalah obat penawar bagi orang beriman. Dalam konteks ayat ini, orang mukmin kerapkali dihadapkan pada kepelikan persoalan sehingga ia merasa hyperstress, kecemasan berlebihan, dan malah meminta bantuan kepada “orang pintar” yang justru menjerumuskannya pada kesyirikan.

Karena itu, pada masa pandemi seperti ini sebagaimana penjelasan Ibn al-Qayyim dan al-Dzahabi, Al-Quran adalah obat yang sempurna bagi manusia (syifa-un lin nas) untuk semua penyakit baik jasmani maupun ruhani. Lantas bagaimana caranya mengaplikasikan Al-Quran sebagai syifa?

Dale F. Eickelman dalam Al-Quran Sains dan Ilmu Sosial, terj. Lien Iffa Naf’atu Fina dan Ari Hendri menjelaskan fisik Al-Quran dapat ditempatkan pada orang yang sakit, atau misalnya sakit mata, membiarkan mata orang sakit menatap Al-Quran, berwirid dengan ayat syifa di atas dengan jumlah tertentu per hari, atau menuliskannya dalam selembar kertas lalu dilipat dan dimasukkan dalam satu wadah, dan berbagai resepsi lainnya.

Ibn al-Qayyim juga menggarisbawahi bahwa keyakinan manusia dan diri sendiri akan kuasa Allah swt itulah yang sangat esensial. Betapa tidak? Al-Quran sebagai hudan telah memberikan panduan-panduan syifa, demikian pula pengobatan medis, semua itu hakikatnya yang memberi kesembuhan hanyalah Allah swt semata. Hanya dengan pasrah dan meminta kepada-Nyalah penyakit dan segala problem dapat teratasi.

Sebagai penutup, Fazlur Rahman pernah melukiskan Islam dalam karyanya, Health and Medicine in the Islamic Tradition, bahwa Islam tidak hanya sekadar agama (ortodoksi) yang berkutat pada persoalan teologis melainkan Islam juga memiliki konsepsi kesehatan yang established (mapan). Sehingga umat Islam harus yakin akan kebenaran Al-Quran sebagai syifa. Wallahu A’lam

Tafsir Surah Yunus Ayat 5 (Part 2)

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 5 (Part 2) meneruskan pembicaraan mengenai contoh dari ayat yang menyebutkan matahari dan bulan secara beriringan. Setelah sebelumnya menerangkan dua dari tiga aspek penting matahari dan bulan, kali ini menerangkan aspek ketiganya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 5 (Bagian 1)


Ayat 5

Ketiga, ketentuan Allah tentang garis edar yang teratur dari bulan dan matahari dimaksudkan agar supaya manusia mengetahui perhitungan tahun dan ilmu hisab (lita’lamµ ‘adad as-sinina walhisab).

Bisa dibayangkan, seandainya bulan dan matahari tidak berada pada garis edar yang teratur, atau dengan kata lain beredar secara acak, bagaimana kita dapat menghitung berapa lama waktu satu tahun atau satu bulan? Maha Suci Allah yang Maha Pengasih yang telah menetapkan segalanya bagi kemudahan manusia.

Hal ini dijelaskan pula oleh firman Allah:

تَبٰرَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِى السَّمَاۤءِ بُرُوْجًا وَّجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَّقَمَرًا مُّنِيْرًا

Mahasuci Allah yang menjadikan di langit gugusan bintang dan Dia juga menjadikan padanya matahari dan bulan bersinar. (al-Furqan/25: 61)

Dalam hakikat dan kegunaannya terdapat perbedaan antara sinar matahari dan cahaya bulan. Sinar matahari lebih keras dari cahaya bulan.

Sinar matahari itu terdiri atas tujuh warna dasar sekalipun dalam bentuk keseluruhannya kelihatan berwarna putih, sedang cahaya bulan adalah lembut, dan menimbulkan ketenangan bagi orang yang melihat dan merasakannya.

Demikian pula kegunaannya. Sinar matahari seperti disebutkan di atas adalah sumber hidup dan kehidupan, sumber gerak tenaga dan energi. Sedang cahaya bulan adalah penyuluh di waktu malam.

Tidak terhitung banyak kegunaan dan faedah sinar matahari dan cahaya bulan itu bagi makhluk Allah pada umumnya, dan bagi manusia pada khususnya. Semuanya itu sebenarnya dapat dijadikan dalil tentang adanya Allah Yang Maha Esa bagi orang-orang yang mau menggunakan akal dan perasaannya.

Allah menerangkan bahwa Dia telah menetapkan garis edar dari bulan dan menetapkan manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan-Nya.

Pada tiap malam, bulan melalui suatu manzilah. Sejak dari manzilah pertama sampai manzilah terakhir memerlukan waktu antara 29 atau 30 malam atau disebut satu bulan.

Dalam sebulan itu bulan hanya dapat dilihat selama 27 atau 28 malam, sedang pada malam-malam yang lain bulan tidak dapat dilihat, sebagaimana firman Allah:

وَالْقَمَرَ قَدَّرْنٰهُ مَنَازِلَ حَتّٰى عَادَ كَالْعُرْجُوْنِ الْقَدِيْمِ

Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai tempat peredaranya yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. (Yasin/36: 39)

Maksud ayat ini ialah bulan itu pada awal bulan adalah kecil berbentuk sabit, kemudian setelah melalui manzilah ia bertambah besar sampai menjadi purnama, setelah itu kembali berangsur-angsur kecil, dan bertambah kecil yang kelihatan seperti tandan yang melengkung, akhirnya menghilang dan muncul kembali pada permulaan bulan.


Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 38: Kuasa Allah Swt dalam Pergerakan Matahari


Allah berfirman:

اَلشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍۙ

Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan. (ar-Rahman/55: 5)

Allah menciptakan bulan dan menjadikannya beredar menjalani garis edar dalam manzilah-manzilah-Nya agar dengan demikian manusia dengan mudah mengetahui bilangan tahun, perhitungan waktu, perhitungan bulan, penentuan hari, jam, detik dan sebagainya, sehingga mereka dapat membuang rencana untuk dirinya, untuk keluarganya, untuk masyarakat, untuk agamanya serta rencana-rencana lain yang berhubungan dengan hidup dan kehidupannya sebagai anggota masyarakat dan sebagai hamba Allah. Allah berfirman:

وَجَعَلْنَا الَّيْلَ وَالنَّهَارَ اٰيَتَيْنِ فَمَحَوْنَآ اٰيَةَ الَّيْلِ وَجَعَلْنَآ اٰيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِّتَبْتَغُوْا فَضْلًا مِّنْ رَّبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنٰهُ تَفْصِيْلًا

Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran Kami), kemudian Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang benderang, agar kamu (dapat) mencari karunia dari Tuhanmu, dan agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas. (al-Isra’/17: 12)

Dengan mengetahui perhitungan tahun, waktu hari dan sebagainya, dapatlah manusia menetapkan waktu-waktu salat, waktu puasa, waktu menunaikan ibadah haji, waktu turun ke sawah, dan sebagainya.

Allah menciptakan matahari bersinar dan bulan bercahaya yang bermanfaat bagi hidup dan kehidupan semua makhluk itu adalah berdasarkan kenyataan, keperluan, dan mempunyai hikmah yang tinggi.

Dan Allah menerangkan tanda-tanda kekuasaan-Nya itu kepada orang-orang yang mau menggunakan akal pikirannya dengan benar dan kepada orang-orang yang mau mengakui kenyataan dan beriman berdasarkan bukti-bukti yang diperolehnya itu.

Dengan perkataan lain, tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah ini tidak akan berfaedah sedikit pun bagi orang-orang yang tidak mau mencari kebenaran, yang hatinya dipenuhi oleh rasa dengki dan rasa fanatik kepada kepercayaan yang telah dianutnya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 6-9


(Tafsir Kemenag)

Pilihan Tidak Memiliki Anak Meningkat, Namun Begini Pentingnya Anak dalam Al-Quran

0
Begini Pentingnya Anak dalam Al-Quran
Begini Pentingnya Anak dalam Al-Quran

Anak terlahir dari sebuah ikatan, akan tetapi pilihan memiliki anak tidak harus ada sebuah ikatan. Karena untuk memiliki anak kita bisa saja meminjam rahim orang lain atau mengadopsi dari orang lain. Tomas Frejka, seorang peneliti dalam risetnya yang berjudul Childlessness in the United States menyatakan bahwa dibanding dekade 1970-an, pilihan untuk tidak memiliki anak meningkat dari 10 persen menjadi 20 persen di tahun 2000-an. Alasannya beragam, mulai dari latar belakang permasalahan keluarga sampai dengan pertimbangan pengasuhan anak di masa depan.

Faktor lain juga bisa karena pasangan suami istri yang sedang sibuk menggaungkan gagasan ideologis mereka, atau bisa karena pasangan suami istri sedang mengabdi pada masyarakat sosial, yang mana peran mereka ternyata sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Lalu, apakah keputusan pasangan suami istri yang memilih tidak memiliki anak adalah tidak sesuai dengan ajaran Islam? dan apakah perkawinan mereka akan tidak bermakna?

Baca juga: Quranic Immunity: Kajian Ayat-Ayat Syifa dalam Al-Quran

Perkawinan dalam Ajaran Islam

Islam memberi perhatian yang besar terhadap perkawinan. Perhatian itu disebabkan karena dalam persoalan manusia atau hubungan suami istri, selain itu kesucian keturunan merupakan hal yang perlu dipelihara kejelasannya. Menurut Islam hal tersebut adalah penting, sehingga persoalan perkawinan telah terselesaikan dan tidak ada tuntutan agama yang perlu banyak lagi untuk diijtihadkan atau perlu adanya pemikiran serius dari para ulama dan pakar.

Masih membahas tentang konteks perkawinan dalam Islam, bahwa pada FirmanNya dalam surat ar-rum ayat 21, sekilas menjelaskan tentang alasan Allah Swt menciptakan sebuah perkawinan dengan tujuan agar lelaki dan perempuan mampu meraih ketenangan. Berikut surat ar-rum ayat 21:

وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-rum 21)

Penafsiran Surat Ar-rum Ayat 21

Pada Jami’ al-Bayan an-Ta’wil Ay al-Qur’an karya imam At-Thabary, menjelaskan surat ar-rum ayat 21 dikatakan bahwa, karena adanya hubungan tali pernikahan, Allah menghadirkan kasih yang bisa membuat kalian saling mengasihi wanita (istri kalian). Semuanya terdapat ibrah dan nasihat untuk kaumNya yang mau berfikir akan dalil-dalil yang menunjukkan kekuasaanNya. Dengan begitu, mereka akan memahami bahwa Dialah Tuhan yang Maha Kuasa.

Hal penting yang menjadi highlight tafsir at-Thabari dalam menafsirkan surat ar-rum ayat 21 yakni adanya sebab diciptakannya pasangan yang diikat oleh ikatan tali pernikahan. Kemudian ikatan tersebut memunculkan rasa kasih sayang di antara mereka. Hal ini merupakan salah satu tanda dari kebesaran Allah Swt.

Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 19: Perempuan Adalah Sosok Istimewa

Memang, tidak ada larangan keputusan untuk tidak memiliki anak, akan tetapi dalam Al-Qur’an banyak disebutkan doa-doa untuk keturunan yang baik, dari sini kita mampu berfikir bahwa al-Quran telah memberikan perhatian khusus untuk ikatan pasangan yang sedang memperjuangkan keturunan mereka. Di antara ayat-ayat doa untuk keturunan misalnya adalah QS. As-Saffat [37] ayat 100, QS. Ibrahim [14] ayat 40-41, QS Al-Baqarah [2] ayat 128, Q.S al-Anbiya [21]: 89-90, dan QS.Al-Furqan ayat 74, berikut ayatnya:

رَبَّنا هَبْ لَنا مِنْ أَزْواجِنا وَذُرِّيَّاتِنا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنا لِلْمُتَّقِينَ إِماماً

Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS al-Furqan [25]: 74).

Dalam Tafsir Muqatil ibn Sulaiman, jilid 3, hal. 242, ulama tafsir menyebutkan, maksud qurrata a’yun dalam ayat di atas adalah anak-anak yang saleh, taat kepada Allah, berbakti kepada orang tua, bermanfaat bagi sesama lingkungannya. Maka, tidak heran jika anak yang memiliki perangai ini menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa, menjadi kebanggaan dan pembela bagi para orang tua di dunia dan akhirat.

Gus Baha’ Ketika Berbicara Tentang Keturunan dalam Surat An-Nisa Ayat 71

K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih dikenal dengan Gus Baha’ salah satu ulama ahli tafsir yang memiliki pengetahuan mendalam seputar al-Qur’an. Ia mengatakan dalam sebuah channel You Tube yang sedang mengaji Tafsir surat An-Nisa ayat 71, sebagaimana terlansir berikut https://youtu.be/oN7DvTlBF-k. Pada zaman Rasulullah SAW, beliau menganjurkan umat muslim untuk memiliki keturunan yang banyak, hal ini dianjurkan Nabi, karena Nabi Saw bangga ketika memiliki pasukan penganut Islam menjadi mayoritas, bukan lagi sebuah minoritas.

Baca juga: Tafsir Ayat Poligami yang Tidak Pernah Usai dan Kisah Imam Abu Hanifah Membela Perempuan

Selain Rasulullah menganjurkan umatnya untuk memiliki keturunan, Al-Quran juga banyak berbicara tentang usaha menjadikan anak menjadi soleh, baik itu keturunan biologis dengan keturunan tidak biologis juga sangat dibutuhkan. Meskipun tentu keduanya sangat berbeda, yaitu dalam konteks pengaruh menyuarakan pemikiran ideologis. Misalnya saja pada masa Nabi Muhammad Saw, Aisyah sebagai istri Nabi, ternyata memiliki riwayat hadis yang banyak, hal ini terjadi karena Aisyah lebih sering bersama dengan Nabi. Begitu pula anak atau keturunannya, pasti lebih sering dimintai pendapat tentang hukum Islam selain karena dianggap keturunannya yang memiliki sifat dan karakter hampri sama, mereka juga lebih sering bersama dengan Nabi.

Fenomena tersebut juga masih relevan dengan keluarga Abdurahman Wahid atau yang lebih sering disapa dengan Gus Dur. Banyak yang mengatakan bahwa jasad Gus Dur telah tiada, namun, jiwa Gus Dur masih hidup. Hal ini terjadi karena keturunan Gus Dur terus berani menggaungkan pemikiran Gus Dur pada masyarakat. Sehingga, meskipun Gus Dur telah tiada, suara Gus Dur masih hadir di tengah-tengah kita.

Dari sini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa bagi kita atau yang lainnya yang memiliki gerakan sosial, yang mana perannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat serta mampu memberi pengaruh yang lebih bermartabat, tidak ada salahnya kita tetap menjaga keturunan kita demi apa yang kita suarakan tetap juga terpelihara. Selain memasukkan keturunan pada lingkungan kita, juga tidak putus-putusnya kita mendoakan keturunan kami agar memiliki peran yang baik serta mampu pengaruh masyarakat sekitar agar lebih bermaslahat dan bermartabat. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surah Yusuf Ayat 19-20: Kesabaran Nabi Yusuf Saat Jadi Korban Human Trafficking

0
tafsir surah Yusuf ayat 19-20
tafsir surah Yusuf ayat 19-20

Setelah Nabi Yusuf mendekam dalam sumur selama tiga hari, akhirnya Nabi Yusuf dapat keluar. Dengan izin Allah kafilah dagang mendatangi sumur dimana Yusuf berada di dalamnya. Mulai dari sinilah Nabi Yusuf dijadikan sebagai barang dagangan dan dianggap budak. Meskipun sangat menyedihkan, kisah ini mempunyai hikmah yang bisa diambil di dalamnya. Kisah ini tercatat dalam tafsir surah Yusuf ayat 19-20, berikut surah Yusuf ayat 19-21:

وَجَاءَتْ سَيَّارَةٌ فَأَرْسَلُوا وَارِدَهُمْ فَأَدْلَى دَلْوَهُ قَالَ يَابُشْرَى هَذَا غُلَامٌ وَأَسَرُّوهُ بِضَاعَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِمَا يَعْمَلُونَ (19) وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍ بَخْسٍ دَرَاهِمَ مَعْدُودَةٍ وَكَانُوا فِيهِ مِنَ الزَّاهِدِينَ (20)

Dan datanglah sekelompok musafir, mereka menyuruh seorang untuk mengambil air. Lalu dia menurunkan timbanya. Dia berkata, “Oh, senangnya, ini ada seorang anak muda!” Kemudian mereka menyembunyikannya sebagai barang dagangan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. [19] Dan mereka menjualnya (Yusuf) dengan harga rendah, yaitu beberapa dirham saja. Sebab mereka tidak tertarik kepadanya. [20]

Pada tafsir surah Yusuf ayat 19-20 As-Samarqandi menjelaskan bahwa kafilah pedagang yang datang itu dari arah Madyan menuju Mesir. Mereka berhenti di dekat sumur dan menyuruh penyedia minum mereka untuk mengambil air buat mereka. Penyedia minum mereka yang bernama Malik bin Da’rin mendekat ke sumur yang di dalamnya ada Yusuf. Malik menurunkan timbanya ke sumur, Yusuf berpegangan dan bergantung pada timba tersebut. Kemudian Malik terkejut saat melihat Yusuf, seorang anak muda yang tampan ada dalam timbanya.

Sontak Malik terkejut bahagia melihat Yusuf yang sangat tampan. Dalam redaksi ayat terlukis dengan kalimat ‘ya busyra! Hadza ghulam” (Oh, senangnya! ini seorang anak muda). Malik tidak ingin ‘rezeki’ yang tidak disangka ini diketahui oleh orang banyak, sehingga ia menyembunyikan identitas Yusuf dan mengatakannya sebagai barang dagangan.

Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 16-18: Cara Nabi Yakub Memverifikasi Berita

Siapa yang menyembunyikan identitas Nabi Yusuf dan menjualnya?

Setidaknya ada dua riwayat yang berbeda tentang tafsir surah Yusuf ayat 19 ini, tepatnya pada pelaku atau ‘mereka’ yang menyembunyikan identitas dan menjual Yusuf dalam kalimat wa asarruuhu bi dhaa’ah dan wa syarawhu bi tsaman. At-Thabari mengutip beberapa riwayat yang bisa disimpulkan menjadi dua pendapat.

Pertama, Riwayat dari Mujahid yang mengatakan bahwa orang yang menyembunyikan dan menjual Yusuf adalah para penyedia air. Mereka mengatakan bahwa pemilik sumur telah memberikan Yusuf kepada mereka sebagai barang dagangan. Mereka tidak mau teman-teman lain di rombongannya mengetahui hal tersebut, apalagi bila mereka mengetahui harganya.

Di bagian tafsir surah Yusuf ayat 19-20 ini sekaligus mengkonfirmasi bahwa perbudakan dan human trafficking sudah ada jauh sebelum masa kerasulan Muhammad. Ini dapat terjadi pada siapapun, bahkan seorang Nabi sekalipun. Al-Quran kemudian datang dan menghapusnya secara perlahan.

Semakin tampan atau baik fisik seseorang maka tambah mahal pula harga jualnya. Ini yang dapat kita pahami dari tindakan penyedia air yang tidak ingin diketahui oleh teman-teman rombongannya, ia tidak ingin berbagi ‘harga’ Yusuf yang mahal itu.

Kedua, At-Thabari mengutip pendapat Ibu Abbas yang mengatakan bahwa ‘mereka’ pelaku yang menyembunyikan identitas Yusuf dan menjualnya adalah saudara-saudara Nabi Yusuf sendiri. Tiga hari setelah tragedi pembuangan, saudara-saudara Nabi Yusuf kembali ke sumur dan mendapati Nabi Yusuf sudah di luar bersama rombongan para pedagang.

Saudara-saudara Nabi Yusuf menyembunyikan status Nabi Yusuf yang sebenarnya dan mereka juga merahasiakan bahwa dia adalah saudara mereka. Nabi Yusuf sendiri juga ikut menyembunyikan identitasnya sendiri, karena diancam dan kawatir dibunuh oleh saudara-saudaranya.

Mereka (saudara-saudara Nabi Yusuf) kemudian menjual Yusuf kepada para pedagang, meskipun mereka tidak membutuhkan uang dari penjualan Yusuf. Mereka hanya ingin menjauhkan Yusuf dari ayahnya, buktinya mereka menjual Yusuf dengan harga murah.

At—Thabari sendiri berpendapat bahwa penyedia air minum dan teman-temannya lah yang menyembunyikan perihal Yusuf. Mereka takut teman-temannya ikut membayar pembelian Yusuf. Penyedia air itu pun berkata ‘Pemilik air telah menjadikannya dagangan kepada kami.’ Pendapat ini juga disinyalir oleh As-Samarqandi dan Fakruddin Ar-Razy di masing-masing tafsirnya.

Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 15: Optimislah, Kabar Gembira Akan Segera Datang dari Allah

Untuk riwayat yang kedua, diceritakan pula tentang jawaban Nabi Yusuf atas ancaman saudara-saudaranya, ‘Wahai saudaraku, kembalilah kepada ayah bersamaku, karena aku adalah jaminan keridhaannya kepada kalian. Aku tidak akan menceritakan semua ini kepadanya.” Namun Mereka menolaknya.

Meskipun demikian, terlepas siapapun mereka yang telah menyembuyikan identitas dan menjadikan Nabi Yusuf sebagai barang dagangan, Allah adalah Maha mengetahu atas segala hal yang mereka perbuat.

Nabi Yusuf pun pernah jadi korban human trafficking

Kedzaliman pada Yusuf terus berlanjut, Yusuf kemudian dijual dengan harga yang sangat rendah, yang tidak sesuai dengan aturan penjualan yang normal. Menurut Mujahid, bakhsin pada ayat berarti sedikit, sendangkan ma’dudah berarti 20 dirham. Ada pula yang mengatakan bahwa harga penjualannya adalah 10 dirham, 12 dirham, 20 dirham 40 dirham.

Ada Pendapat lain dari Muqatil bahwa Malik bin Da’rin (penyedia air minum para pedagang) menjual Yusuf tidak lagi dengan harga dirham melainkan satuan dinar, yaitu 20 dinar, dua sepatu dan tekstil. Menurut al-Kalibi, dia menjualnya 20 dirham, dua sepatu dan tekstil. Namun ada pula yang mengatakan bahwa Yusuf dihargai dengan perak sesuai dengan beratnya Nabi Yusuf. Sebagian lainnya berpendapat, dia menjualnya dengan emas seberat Yusuf.

Wahb bin Munabbih berpendapat, Malik melelang Nabi Yusuf sampai harga tinggi, hingga tidak seorang pun mampu membelinya. Akhirnya raja Mesir yang membelinya dengan misik, mutiara, perak, emas dan tekstil, masing-masing seberat Yusuf dan raja menyerahkan semua itu. Pendapat terakhir ini  yang kemudian bisa menyambung dengan cerita selanjutnya, yaitu Nabi Yusuf akhirnya menjadi pelayan Raja Mesir dan ia hidup dalam istana.

Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 11-14: Waspadai Firasat Buruk Orang Tua terhadap Anaknya!

At-Thabari memberi catatan tambahan dalam kisah Nabi Yusuf di episode ini. Ia menyampaikan bahwa kisah ini merupakan informasi dari Allah untuk mengingatkan Nabi Muhammad Saw. sekaligus sebagai penghibur bagi Nabi setelah mendapatkan siksaan dari kerabat-kerabatnya yang musyrik, karena setiap Nabi pasti akan menghadapi penentangan dari orang lain, termasuk keluarga dan kerabat dekatnya.

Allah memeritahkan beliau bersabar atas siksaan kerabatnya yang musyrik. Sebab Allah Maha Kuasa untuk mengubah keadaan itu, sebagaimana Allah kuasa mengubah apa yang menimpa Yusuf. Adakah keadaan yang lebih hina daripada menjadi barang dagangan yang dijual kesana kemari? Nabi Yusuf menghadapinya dengan sabar yang sangat luar biasa. Allah membiarkan hal itu terjadi bukan sebagai kehinaan bagi Yusuf, tetapi sungguh Allah telah mengetahui perihal Yusuf dan saudara-saudaranya di masa depan.

Begitu juga Allah membiarkan apa yang telah orang-orang musyrik lakukan kepada Nabi Muhammad. Itu bukan hinaan bagi beliau, tetapi Allah telah mengetahui perihal beliau dan orang-orang musyrik. Kemudian Allah mengangkat derajat beliau atas mereka, mereka kemudain patuh kepada beliau, sebagaimana Allah mengangkat derajat Nabi Yusuf atas saudara-saudaranya dan mereka pun akhirnya patuh kepadanya.

Tafsir Surah Yunus Ayat 5 (Bagian 1)

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 5 bagian satu ini berbicara mengenai penjelasan dan hikmah dari ayat kauniyah. Artikel ini  mencontohkan salah satu ayat kauniyah tentang matahari dan bulan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 4


Secara jelas Tafsir Surah Yunus Ayat 5 ini mengemukakan manfaat dari adanya matahari dan bulan. Keduanya sama-sama memiliki cahaya yang masing-masing bermanfaat untuk keadaan-keadaan terentu.

Ayat 5

Ayat ini menerangkan bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi dan yang bersemayam di atas ‘Arsy-Nya. Ialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya.

Matahari dengan sinarnya merupakan sumber kehidupan, sumber panas dan tenaga yang dapat menggerakkan makhluk-makhluk Allah yang diciptakan-Nya. Dengan cahaya manusia dapat berjalan dalam kegelapan malam dan beraktivitas di malam hari.

Ayat ini membedakan antara cahaya yang dipancarkan matahari dan yang dipantulkan oleh bulan. Yang dipancarkan oleh matahari disebut “diya” (sinar), sedang yang dipantulkan oleh bulan disebut “nµr” (cahaya) Pada firman Allah yang lalu dijelaskan:

وَّجَعَلَ الْقَمَرَ فِيْهِنَّ نُوْرًا وَّجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا

Dan di sana Dia menciptakan bulan yang bercahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita (yang cemerlang)? (Nµh/71: 16)

Dari ayat-ayat ini dipahami bahwa matahari memancarkan sinar yang berasal dari dirinya sendiri, sebagaimana pelita memancarkan sinar dari dirinya sendiri yakni dari api yang membakar pelita itu.

Lain halnya dengan bulan, yang cahayanya berasal dari pantulan sinar yang dipancarkan matahari ke permukaannya, kemudian sinar itu dipantulkan kembali berupa cahaya ke permukaan bumi.

Matahari dan bulan adalah dua benda langit yang banyak disebut dalam Al-Qur’an. Kata bulan’ terdapat dalam 27 ayat dan matahari disebut dalam 33 ayat.

Seringkali kedua benda ini disebut secara bersamaan dalam satu ayat. Sejumlah 17 ayat menyebut matahari dan bulan secara beriringan.

Biasanya ayat yang menyebut matahari dan bulan secara beriringan adalah ayat yang menjelaskan aspek kauniyah dari kedua benda langit ini. Di dalam 3 ayat, kedua benda langit ini disebut bersamaan dengan bintang, benda langit lainnya.

Ayat 5 Surah Yµnus di atas adalah contoh ayat yang menyebutkan matahari dan bulan secara beriringan. Ayat ini mengisyaratkan tiga aspek penting dari terciptanya matahari dan bulan.

Pertama, dalam ayat ini Allah menyebut matahari dan bulan dengan sebutan yang berbeda. Meskipun kedua benda langit ini sama-sama memancarkan cahaya ke bumi, namun sebutan cahaya dari keduanya selalu disebut secara berbeda.

Pada ayat ini, matahari disebut dengan sebutan diya’ dan bulan dengan sebutan nµr. Hal ini untuk membedakan sifat cahaya yang dipancarkan oleh kedua benda ini.

Dewasa ini, ilmu pengetahuan telah menunjukkan bahwa cahaya matahari berasal dari reaksi nuklir yang menghasilkan panas yang sangat tinggi dan cahaya yang terang benderang. Sementara itu cahaya bulan hanya berasal dari pantulan cahaya matahari yang dipantulkan oleh permukaan bulan ke bumi.

stilah yang berbeda ini menunjukkan bahwa memang Al-Qur’an berasal dari Allah sang Pencipta, karena pada waktu Al-Qur’an diturunkan pengetahuan manusia belum mencapai pemahaman seperti ini.


Baca juga: Enam Ayat Kauniyah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 164 dan Hikmahnya


Di ayat lain, matahari disebut sebagai siraj (lampu) dan bulan disebut sebagai munir (cerah berbinar-binar).

تَبٰرَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِى السَّمَاۤءِ بُرُوْجًا وَّجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَّقَمَرًا مُّنِيْرًا

Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan padanya siraj (matahari) dan bulan yang bercahaya (al- Furqan/25: 61)

وَّجَعَلَ الْقَمَرَ فِيْهِنَّ نُوْرًا وَّجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجً

Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita (yang cemerlang) (Nµh/71: 16)

Lebih tegas lagi di ayat lain matahari disebut sebagai siraj dan wahhaj (terang membara).

وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًاۙ   ١٢  وَّجَعَلْنَا سِرَاجًا وَّهَّاجًاۖ  ١٣

Dan Kami bangun di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, dan Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari). (an-Naba’/78: 12-13)

Kedua, penegasan dari Allah bahwa matahari dan bulan senantiasa berada pada garis edar tertentu (wa qaddarahµ manazila). Garis edar ini tunduk pada hukum yang telah dibuat Allah, yaitu hukum gravitasi yang mengatakan bahwa ada gaya tarik menarik antara dua benda yang memiliki masa.

Besarnya gaya tarik menarik ini berbanding lurus dengan massa dari kedua benda tersebut dan berbanding terbalik dengan jarak antara keduanya.

Adalah Newton yang memformulasikan hukum gravitasi pada abad ke-18. Perhitungan menggunakan hukum gravitasi ini telah berhasil menghitung secara akurat garis edar yang dilalui oleh bulan ketika mengelilingi bumi, maupun bumi ketika mengelilingi matahari.

Hukum gravitasi inilah yang dimaksud oleh Allah ketika Dia berfirman dalam Surah al-A’raf/7: 54: ”… (Dia ciptakan) matahari, bulan, dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya….” Matahari, bulan, dan bintang tunduk kepada ketentuan Allah, yakni hukum gravitasi yang mengendalikan gerak benda.

Di berbagai ayat lainnya sering disebutkan bahwa Allah-lah yang telah menundukkan bulan dan matahari bagi manusia (Lihat misalnya Surah ar-Ra’d/13: 2, Ibrahim/14: 33, an-Nahl/16: 12, Luqman/31: 29, Fatir/35: 13, az-Zumar/39: 5).

Yang dimaksud adalah bahwa Allah-lah yang telah menetapkan bahwa matahari dan bulan serta bintang-bintang tunduk kepada hukum gravitasi yang telah dia tetapkan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 5 (Bagian 2)


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Yunus Ayat 4

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 4 berbicara mengenai keingkaran orang-orang kafir. Mereka tidak hanya mengingkari al-Qur’an yang dianggap sebagai sihir, namun juga segala yang berkaitan dengan al-Qur’an mereka tentang pula. Misalnya ingkar terhadap hari kebangkitan. Padahal sudah jelas bahwa ketika Allah mampu menciptakan, Ia pula mampu  membangkitkan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 3


Ayat 4

Hanya kepada Allah semua manusia kembali setelah mati dan sesudah lenyap alam yang fana ini, bukan kepada sesuatu yang lain, seperti sembahan-sembahan berhala, yang dianggap sebagai penolong bagi orang kafir. Yang demikian itu adalah janji Allah kepada makhluk-Nya. Dia tidak akan menyalahi janji-Nya sedikit pun.

Sebagai bukti bahwa Allah pasti menepati janji-Nya, Dia telah menciptakan makhluk pertama kalinya. Penciptaan manusia oleh Allah pada pertama kalinya dapat dijadikan dalil bahwa Allah berkuasa pula untuk menciptakan makhluk-Nya pada kedua kalinya dan membangkitkannya kembali. Mengulangi kembali penciptaan sesuatu adalah lebih mudah dari menciptakan sesuatu pertama kalinya.

Allah berfirman:

وَهُوَ الَّذِيْ يَبْدَؤُا الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيْدُهٗ وَهُوَ اَهْوَنُ عَلَيْهِۗ

Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya. (ar-Rµm/30: 27)

 

Demikian kuatnya bukti yang dikemukakan Allah tentang hari kebangkitan, sehingga Dia menyatakan bahwa jika masih ada orang yang mengingkarinya, berarti ia telah lupa kepada kejadian dirinya sendiri. Allah berfirman:

اَوَلَمْ يَرَ الْاِنْسَانُ اَنَّا خَلَقْنٰهُ مِنْ نُّطْفَةٍ فَاِذَا هُوَ خَصِيْمٌ مُّبِيْنٌ   ٧٧ 

وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَّنَسِيَ خَلْقَهٗۗ قَالَ مَنْ يُّحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيْمٌ   ٧٨ 

Dan tidaklah manusia memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani, ternyata dia menjadi musuh yang nyata! Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami dan melupakan asal kejadiannya; dia berkata, “Siapakah yang menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?” (Yasin/36: 77-78)

Terhadap orang-orang yang tidak mau percaya kepada adanya hari kebangkitan sekalipun telah dikemukakan dalil-dalil kepada mereka, maka Allah mengancam mereka dengan neraka Jahannam, sebagai dilukiskan oleh ayat berikut:

 فَوَرَبِّكَ لَنَحْشُرَنَّهُمْ وَالشَّيٰطِيْنَ ثُمَّ لَنُحْضِرَنَّهُمْ حَوْلَ جَهَنَّمَ جِثِيًّا  

Maka demi Tuhanmu, sungguh, pasti akan Kami kumpulkan mereka bersama setan, kemudian pasti akan Kami datangkan mereka ke sekeliling Jahannam dengan berlutut. (Maryam/19: 68)

Baca juga:

Allah menerangkan tujuan manusia dibangkitkan sesudah matinya, ialah untuk memberi mereka balasan dari perbuatan yang telah dikerjakannya sesuai dengan sifat adil dan sifat pemurah Allah. Allah tidak mengurangi sedikitpun apa yang telah mereka lakukan. Tujuan ini dijelaskan oleh firman Allah:

وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔاۗ وَاِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ اَتَيْنَا بِهَاۗ وَكَفٰى بِنَا حَاسِبِيْنَ  

Kami akan memasang timbangan yang tepat pada Hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit; sekalipun hanya seberat biji sawi pasti Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan. (al-Anbiya’/21: 47)

Allah memberikan pembalasan yang adil, tidak berarti Allah tidak akan melebihkan pahala yang akan diberikan-Nya, bahkan Dia akan melipat gandakannya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَيُوَفِّيْهِمْ اُجُوْرَهُمْ وَيَزِيْدُهُمْ مِّنْ فَضْلِهٖۚ وَاَمَّا الَّذِيْنَ اسْتَنْكَفُوْا وَاسْتَكْبَرُوْا فَيُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًاۙ وَّلَا يَجِدُوْنَ لَهُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلِيًّا وَّلَا نَصِيْرًا 

Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Allah akan menyempurnakan pahala bagi mereka dan menambah sebagian dari karunia-Nya. Sedangkan orang-orang yang enggan (menyembah Allah) dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih. Dan mereka tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain Allah. (an-Nisa’/4: 173)

Jika dilihat banyak tindakan yang tidak adil dilakukan oleh sebagian manusia terhadap yang lain, dan perbuatan jahat menungguli perbuatan baik di dunia, dan sebagainya, tentu harus ada suatu masa nanti di mana keadilan dapat ditegakkan dengan sempurna.

Orang kafir yang mengingkari keesaan Allah dan adanya hari kebangkitan, mereka akan mendapatkan pembalasan yang setimpal dengan kejahatan yang telah mereka lakukan. Di antaranya mereka diberi minum dengan air panas yang mendidih yang menghancurkan usus mereka. Di samping itu mereka akan memperoleh azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 5 (Bagian 1)


(Tafsir Kemenag)

 

 

Tafsir Surah Yunus Ayat 3

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 3 berbicara mengenai penciptaan alam semesta dengan segala keteraturannya. Selain itu dijelaskan pula mengenai bantahan terhadap orang kafir yang menuduh al-Qur’ann sebagai sihir.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 1-2


Ayat 3

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa Dialah yang mengatur perjalanan planet dan benda-benda angkasa lainnya, sehingga satu sama lain tidak saling berbenturan.

Dia pula yang menciptakan bumi dan segala isi yang terkandung di dalamnya, sejak dari yang kecil sampai kepada yang besar, semuanya diciptakan dalam enam masa yang hanya Allah sendiri yang mengetahui berapa lama waktu enam masa yang dimaksud itu. Setelah menciptakan langit dan bumi,

Dia bersemayam di atas ‘Arsy (singgasana), dan dari ‘Arsy ini Dia mengatur dan mengurus semua makhluk-Nya.

Ketika Rasulullah saw ditanya tentang ‘Arsy, beliau mengatakan:

قَالَ: كَانَ الله ُوَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ قَبْلَهُ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ خَلَقَ السَّمٰوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَكَتَبَ فِى الذِّكْرِ كُلَّ شَيْءٍ

(رواه البخاري في كتاب التوحيد)

Bersabda Rasulullah, “Dahulu, Allah telah ada, dan belum ada sesuatupun sebelum-Nya dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air, kemudian Dia menciptakan langit dan bumi, dan menulis segala sesuatu di Lauh Mahfµz.” (Riwayat al-Bukhari dalam Kitab at-Tauhid)

Selanjutnya Allah menerangkan bukti lainnya yang membantah pendapat orang-orang kafir bahwa Al-Qur’an itu adalah sihir, yaitu Dialah yang memiliki dan menguasai segala sesuatu dengan kekuasaan yang tidak terbatas.

Dia dapat berbuat sesuai dengan apa yang dikendaki-Nya. Tidak ada sesuatu makhluk pun—walaupun ia seorang rasul atau malaikat—dapat memberikan syafa’at kecuali dengan izin-Nya.

Yang dimaksud dengan “syafa’at” disini ialah pertolongan para malaikat, nabi dan orang-orang saleh kepada manusia pada Hari Kiamat untuk mendapatkan keringanan atau kebebasan dari azab Allah jika Allah memerintahkan atau mengizinkannya.

Ayat ini membantah dakwaan orang-orang kafir bahwa berhala yang mereka sembah selain Allah dapat memberi syafa’at kepada mereka di Hari Kiamat. Hal ini ditegaskan oleh firman Allah:

وَكَمْ مِّنْ مَّلَكٍ فِى السَّمٰوٰتِ لَا تُغْنِيْ شَفَاعَتُهُمْ شَيْـًٔا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ اَنْ يَّأْذَنَ اللّٰهُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيَرْضٰى

Dan betapa banyak malaikat di langit, syafa’at (pertolongan) mereka sedikit pun tidak berguna kecuali apabila Allah telah mengizinkan (dan hanya) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Dia ridai. (an-Najm/53: 26)

Syafa’at yang paling dirasakan manfaatnya oleh seseorang hamba ialah syafa’at yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw, kepada seseorang yang hati dan jiwanya mengakui keesaan Allah. Abu Hurairah menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah saw, lalu Rasulullah menjawab:

 أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ: لاَ إِلٰهَ إِلاَّ الله ُخَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ وَنَفْسِهِ

(رواه البخاري عن أبي هريرة)

Manusia yang paling bahagia dengan syafa’atku pada Hari Kiamat, ialah orang-orang yang mengucapkan: “La ilaha illallah” yang timbul dari hati dan jiwa yang bersih.” (Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah)


Baca juga: Sisi lain dari Isra Mikraj Nabi Muhammad Saw, Tafsir Alternatif Surah Al-Isra ayat 1


Allah menegaskan kepada orang-orang kafir, apakah mereka tidak ingat dan tidak memperhatikan dalil-dalil dan bukti-bukti yang nyata ini, bahwa yang menciptakan alam ini adalah Allah sendiri,

Dia yang mengatur segala urusan dari atas ‘Arsy-Nya, dan Dia yang memberikan syafa’at kepada orang yang dikehendaki-Nya. Itulah Tuhan yang wajib disembah, tidak ada tuhan yang lain selain Dia. Janganlah mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, baik dalam penciptaan langit dan bumi, maupun dalam penyembahan-Nya.

Walaupun orang-orang Jahiliyah mengakui bahwa Allah sendirilah yang menciptakan alam ini, tidak bersekutu dengan siapapun, tetapi mereka mempersekutukan Allah dengan yang lain dalam menyembah-Nya. Mereka menyembah berhala di samping menyembah Allah.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 4


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Yunus Ayat 1-2

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus merupakan surah yang turun sebelum hijrah. Dalam istilahnya disebut dengan kelompok surah Makiyah. Surah ini berjumlah 109 ayat. Dinamakan surah Yunus karena di dalamnya terdapat kisah Nabi Yunus.

Namun tidak semua ayat dalam surah Yunus membahas kisah Nabi Yunus As. Itu hanya sebagai simbol saja bahwa inti dalam surah ini merupakan esensi dari kisah Yunus. Tafsir Surah Yunus Ayat 1-2 diawali dengan mafatih suwar. Selanjutya dijelaskan mengenai sebab nuzulnya.

Ayat 1

Lihat arti “Alif Lam Ra”, pada keterangan tentang “mafatihus suwar” pada jilid pertama.

Allah menerangkan bahwa ayat-ayat yang dibaca ini adalah ayat-ayat yang tinggi nilainya, tersusun rapi lagi kokoh, baik lafaz maupun maknanya, berisi petunjuk bagi orang-orang yang mau mengikutinya. Dari ayat-ayat ini tersusun surah-surah itu dan disusun Al-Qur’an. Pada firman-Nya yang lain Allah menjelaskan sifat ayat Al-Qur’an.

الۤرٰ ۗ كِتٰبٌ اُحْكِمَتْ اٰيٰتُهٗ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَّدُنْ حَكِيْمٍ خَبِيْرٍۙ;

Alif Lam Ra, (inilah) Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci, (yang diturunkan) dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana, Mahateliti. (Hµd/11: 1)

Dari susunan ayat ini dipahami bahwa Allah memerintahkan manusia agar mengetahui, mempelajari dan mengingat ayat-ayat yang menjadi petunjuk itu, agar dapat dipahami dan diamalkan.

Ayat 2

Sabab Nuzul: Ibnu ‘Abbas menyatakan bahwa ketika Allah mengutus Muhammad sebagai rasul, orang-orang kafir mengingkarinya dengan mengatakan,  Allah jauh lebih mulia dari mengangkat manusia menjadi rasul-Nya, seperti Muhammad.  Maka turunlah ayat ini.

Orang kafir Mekah khususnya dan semua orang kafir pada umumnya heran dan tercengang, mengapa wahyu itu diturunkan kepada seorang manusia biasa seperti Muhammad, bahkan kepada seorang yatim, tidak kepada seorang terpandang di antara mereka.

Allah menegaskan dengan ayat ini, bahwa keheranan mereka itulah yang mengherankan.

Mengapa mereka harus tercengang bahwa Allah telah menurunkan Al-Qur’an kepada manusia biasa.

Mengenai siapa yang pantas dan yang sanggup menyampaikan agama Allah kepada seluruh manusia, hanyalah Allah sendirilah Yang Paling mengetahuinya. Kekayaan, kekuasaan, kedudukan dan kepandaian semata belum tentu dapat dijadikan alasan untuk mengangkat seseorang menjadi nabi dan rasul.

Sesungguhnya sikap mereka seperti ini terhadap rasul yang diutus Allah terdapat pula pada manusia-manusia yang terdahulu kepada para rasul yang telah diutus kepada mereka, sebagaimana tersebut dalam firman Allah.

اَوَعَجِبْتُمْ اَنْ جَاۤءَكُمْ ذِكْرٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ عَلٰى رَجُلٍ مِّنْكُمْ لِيُنْذِرَكُمْ وَلِتَتَّقُوْا وَلَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ  #

Dan herankah kamu bahwa ada peringatan yang datang dari Tuhanmu melalui seorang laki-laki dari kalanganmu sendiri, untuk memberi peringatan kepadamu dan agar kamu bertakwa, sehingga kamu mendapat rahmat. (al-A’raf/7: 63)

Sikap mereka yang demikian itu adalah karena rasa dengki yang telah terpendam dalam hati mereka, apapun bukti yang dikemukakan, mereka tidak akan beriman, sehingga Allah menurunkan azab kepada mereka. Allah berfirman:

وَلَوْ جَعَلْنٰهُ مَلَكًا لَّجَعَلْنٰهُ رَجُلًا وَّلَلَبَسْنَا عَلَيْهِمْ مَّا يَلْبِسُوْنَ   ٩

وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِّنْ قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِيْنَ سَخِرُوْا مِنْهُمْ مَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ ࣖ  ١٠

Dan sekiranya rasul itu Kami jadikan (dari) malaikat, pastilah Kami jadikan dia (berwujud) laki-laki, dan (dengan demikian) pasti Kami akan menjadikan mereka tetap ragu sebagaimana kini mereka ragu.

Dan sungguh, beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) telah diperolok-olokkan, sehingga turunlah azab kepada orang-orang yang mencemoohkan itu sebagai balasan  olok-olokkan mereka. (al-An’am/6: 9-10)


Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 15-17: Jawaban Para Utusan Ketika Didustakan


Allah menerangkan tugas utama dari seorang rasul, yaitu:

  1. Memberikan peringatan kepada manusia dan menerangkan kepada mereka tentang keesaan Allah, adanya hari kebangkitan dan hari pembalasan, adanya hukuman dari Allah bagi semua orang yang tidak mengikuti agama-Nya, ketentuan-ketentuan, perintah-perintah, larangan-larangan Allah, dan sebagainya.
  2. Memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengikuti seruan Rasul, bahwa mereka memperoleh pahala yang besar dari Allah, karena telah melakukan perbuatan-perbuatan yang benar dan terpuji.

Setelah orang-orang Arab melihat pengaruh Al-Qur’an yang amat besar pada jiwa dan hati orang-orang yang beriman serta kehidupan mereka, maka mereka mengatakan bahwa Muhammad adalah seorang tukang sihir, dan  Al-Qur’an itu adalah sihir.

Mereka menamakan Al-Qur’an sihir karena kuatnya pengaruh Al-Qur’an pada hati orang-orang yang beriman hampir sama besarnya dengan sihir, yang dapat memisahkan antara dua orang yang dahulunya bersaudara, antara seseorang dengan bapak, ibu, isteri dan anak-anaknya.

Karena sangat cinta kepada Allah dan rasul-Nya, seolah-olah cinta kasih mereka berkurang kepada anak-anak, isteri dan sebagainya.

Orang-orang yang beriman yakin bahwa Al-Qur’an itu bukan sihir, bukan pula sesuatu yang dapat dijadikan guna-guna, tetapi merupakan kumpulan dari petunjuk-petunjuk Allah, menerangkan hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, pokok-pokok hukum, akhlak, perbuatan yang baik yang diridai Allah, cara-cara membersihkan jasmani dan rohani dari segala macam najis, berisi seruan kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Muhammad adalah rasul Allah yang menyampaikan dan mengajarkan Al-Qur’an kepada manusia. Al-Qur’an itu juga merupakan nikmat dan mukjizat bagi Muhammad untuk menguatkan kerasulannya.

 Karena kaum Muslimin sangat merasakan faedah dan petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an bagi dirinya, dan kebenaran semua yang tersebut di dalamnya. Oleh karena itu, mereka mengikuti dengan sepenuh hati, mengikuti semua petunjuk yang sangat berbeda dengan petunjuk kemusyrikan, mencontoh akhlak Nabi Muhammad yang berbeda dengan akhlak nenek moyang mereka, mengikuti adat kebiasaan Nabi yang berbeda dengan adat kebiasaan nenek moyang mereka.

Mereka juga lebih mencintai orang yang beriman dari orang lain, sekalipun orang lain itu adalah ibu-bapaknya dan sebagainya. Dengan demikian orang-orang kafir menganggap bahwa orang yang beriman telah kena sihir oleh Muhammad dan mereka menganggap Muhammad sebagai tukang sihir.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 3


(Tafsir Kemenag)

Siapakah Ashab Al-A’raf itu? Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 46-49

0
siapakah ashab al-a'raf?
siapakah ashab al-a'raf?

Al-Quran mengisahkan dialog antara ashab al-jannah (penghuni surga) dan ashab al-nar (penghuni neraka) di surah Al-A’raf ayat 44-45. Dan dialog itu dilanjutkan di ayat berikutnya, di ayat 46-49. Di antara penghuni surga dan neraka, terdapat batas (yang disebut A’raf). Kata A’raf juga digunakan dalam penamaan surat ini (surat al-A’raf). Kemudian, siapakah ashab Al-A’raf itu? Terkait hal ini, Allah berfirman dalam QS. Al-A’raf [7]: 46-49 sebagai berikut :

وَبَيْنَهُمَا حِجَابٌ وَعَلَى الْأَعْرَافِ رِجَالٌ يَعْرِفُونَ كُلًّا بِسِيمَاهُمْ وَنَادَوْا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ أَنْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ لَمْ يَدْخُلُوهَا وَهُمْ يَطْمَعُونَ (46) وَإِذَا صُرِفَتْ أَبْصَارُهُمْ تِلْقَاءَ أَصْحَابِ النَّارِ قَالُوا رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (47) وَنَادَى أَصْحَابُ الْأَعْرَافِ رِجَالًا يَعْرِفُونَهُمْ بِسِيمَاهُمْ قَالُوا مَا أَغْنَى عَنْكُمْ جَمْعُكُمْ وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ (48) أَهَؤُلَاءِ الَّذِينَ أَقْسَمْتُمْ لَا يَنَالُهُمُ اللَّهُ بِرَحْمَةٍ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ لَا خَوْفٌ عَلَيْكُمْ وَلَا أَنْتُمْ تَحْزَنُونَ (49)

“dan di antara keduanya (penghuni surga dan neraka), ada batas (yang disebut A’rāf); dan di atas A’raf (tempat yang tertinggi) ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tandanya. Mereka menyeru penghuni surga, “Salāmun ‘alaikum (salam sejahtera bagimu)”. Mereka belum dapat masuk, tetapi mereka ingin segera (masuk). Dan apabila pandangan mereka dialihkan ke arah penghuni neraka, mereka berkata “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau tempatkan kami bersama-sama orang-orang yang zalim itu.” Dan orang-orang yang di atas A’rāf menyeru beberapa pemuka (kafir) yang mereka kenal dengan tanda-tandanya sambil berkata, “Harta yang kamu kumpulkan dan apa yang kamu sombongkan, (ternyata) tidak ada manfaatnya buatkamu. Itukah orang-orang yang kamu telah bersumpah tidak akan mendapat rahmat Allah?” (Allah berfirman), “Masuklah kamu ke dalam surga! Tidak ada rasa takut pada kamu dan tidak pula kamu akan bersedih hati.” (QS. Al-A’rāf [7]: 46-49)

Baca Juga:Tafsir Surah Yasin ayat 58-59: Ucapan Salam Untuk Para Penghuni Surga

Antara ahli surga dan ahli neraka

Ibn ‘Aṭiyyah dalam kitabnya al-Muḥarrar al-Wajīz fi Tafsīr al-Kitāb al-‘Azīz (juz 2, halaman 404), mengutip pendapat Ibn ‘Abbās bahwa yang dimaksud  al-hijāb (batas) di sini adalah batas yang telah Allah sebut dalam firman-Nya “Lalu di antara mereka dipasang dinding (pemisah) yang berpintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di luarnya hanya ada azab” (QS. Al-Ḥadīd [57]:13).

Pada kesempatan lain, Ibn Abbas berkata bahwa al-A’raf adalah sebuah anak bukit di antara surga dan neraka. Al-Zahrawi menuturkan sebuah hadis bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya bagi seseorang ada sebuah bukit. Dia mencintai kita dan kita mencintainya. Pada hari kiamat, dia berdiri di antara surga dan neraka. Mereka mengenal penghuni surga dan neraka dengan tandanya masing-masing. InsyaAllah dia (ashab Al-A’raf) merupakan ahli surga”.

Sementara Ibn al-Qayyim dalam Tafsir Ibn al-Qayyim memberikan penjelasan bahwa ashab Al-A’raf merupakan orang-orang yang kebaikan dan keburukannya sama. Kebaikannya mencegahnya dari masuk neraka sedangkan keburukannya mencegahnya dari masuk surga.

Ashab Al-A’raf bisa mengenali ahli surga dan neraka dengan tanda-tanda yang terdapat pada masing-masing golongan. Tanda tersebut berupa wajah yang putih pada orang-orang beriman dan wajah yang hitam pada orang-orang kafir. Demikian keterangan dalam Tafsīr al-Jalālain karya Jalāl al-Dīn al-Maḥallī dan Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī (halaman 199).

Baca Juga: Tafsir Sufistik: Kenali Dua Golongan Yang Mempengaruhi Kendali Manusia

Lalu ashab Al-A’raf menyeru kepada ahli surga ketika mereka melihat ahli surga “salām alaikum (keselamatan bagi kalian)”, namun mereka belum dapat masuk surga padahal mereka sangat ingin segera memasuki surga. Al-Hasan berkata sebagaimana dinukil di dalam Ma’ālim al-Tanzīl fi Tafsīr al-Qur’an karya Al-Baghawi (juz 2, halaman 195) “keinginan yang kuat dari ashab Al-A’raf untuk masuk ke dalam surga membuat mereka akhirnya sampai pada apa yang sangat diinginkannya, yaitu masuk surga”. Hal ini berarti manusia dianjurkan untuk selalu mengharap rahmat dari Allah.

Setelah itu, pandangan ashab Al-A’raf dipalingkan menuju ahli neraka dan mereka memohon perlindungan kepada Allah dengan berdoa “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau tempatkan kami bersama-sama orang-orang yang zalim itu”. Doa ini Menurut Abū al-Su’ūd di dalam kitabnya Irsyād al-Aql al-Salīm ilā Mazāya al-Kitāb al-Karīm (juz 3, halaman 230) bukan hanya doa untuk berlindung dari azab neraka namun juga berlindung dari perbuatan-perbuatan zalim.

Setelah pandangan mereka dialihkan, mereka berseru kepada ahli neraka “Harta yang kamu kumpulkan dan apa yang kamu sombongkan, (ternyata) tidak ada manfaatnya buat kamu”. Di katakan bahwa ashab Al-A’raf melihat para pemuka kaum kafir seperti Abu Jahal, Abu Lahab, dan al-Walīd ibn al-Mughīrah (Tafsir al-Sam’āni, juz 2, halaman 185). Mereka adalah orang-orang yang membanggakan hartanya dan menggunakan hartanya itu untuk menindas orang-orang beriman.

Kemudian ashab Al-A’raf berkata lagi “Itukah orang-orang yang kamu telah bersumpah tidak akan mendapat rahmat Allah?” Yang dimaksud orang yang tidak mendapat rahmat Allah menurut orang kafir adalah Bilāl, ‘Ammar dan keluarganya, serta orang-orang yang ditindas saat orang Islam masih lemah. Sekarang terbukti siapa yang terputus dari rahmat Allah. Setelah iu barulah Allah memerintahkan ashab Al-A’raf untuk masuk surga.

Allah memerintahkan mereka untuk masuk surga karena orang kafir bersumpah bahwa ashab Al-A’raf juga akan masuk bersama mereka. Allah awalnya berbuat adil sehingga ashab Al-A’raf tidak berada di surga tidak juga di dalam neraka karena amalnya yang seimbang, kemudian Allah memberikan ashab Al-A’raf rahmat sehingga mereka akhirnya masuk surga.

Pelajaran yang dapat diambil adalah bahwa balasan seseorang di akhirat tergantung dengan apa yang dia perbuat. Akan tetapi, jangan terlalu mengandalkan amal kita karena amal baik yang kita lakukan hakikatnya juga atas pertolongan Allah. Jangan berhenti untuk selalu mengharap rahmat Allah dengan berbuat kebaikan karena rahmat Allah dekat kepada orang yang berbuat kebaikan (QS. Al-A’raf [7]: 56). Wallahu a’lam.

Quranic Immunity: Kajian Ayat-Ayat Syifa dalam Al-Quran

0
Ayat-Ayat Syifa
Ayat-Ayat Syifa dalam al-Quran

Quranic Immunity adalah konsep imunitas yang berpijak pada teks Al-Quran. Muchlis Hanafi menyatakan, “selain berfungsi sebagai hidayah, Al-Qur’an memperkenalkan dirinya sebagai kitab petunjuk (hudan) yang akan mengantarkan manusia menuju kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, Al-Qur’an juga memperkenalkan dirinya sebagai obat yang menyembuhkan berbagai penyakit. Artikel ini akan mengulas ayat-ayat syifa dalam al-Quran dan keutamaannya.

Al-Qur’an menggunakan terminologi syifa’ (obat atau penyembuhan) dengan berbagai derivasinya.” Demikian paparan Muclish M. Hanafi, Quranic Immunity: Al-Quran sebagai Obat Pandemi Covid dalam Webinar bertajuk, “Prospek dan Tantangan Al-Quran sebagai Obat di Masa Pandemi” yang diadakan IAIN Salatiga pada Rabu 10 Juni 2020.

Menurut Hanafi, kata syifa dalam berbagai derivasinya disebut dalam Al-Quran sebanyak 6 kali; 4 kali dalam bentuk kata benda dan 2 kali dalam kata kerja. Berikut kutipan ayat-ayatnya,

قَاتِلُوْهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللّٰهُ بِاَيْدِيْكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُوْرَ قَوْمٍ مُّؤْمِنِيْنَۙ

Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tanganmu dan Dia akan menghina mereka dan menolongmu (dengan kemenangan) atas mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman, (Q.S. al-Taubah [9]: 14)

وَاِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ

Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, (Q.S. al-Syu’ara [26]: 80)

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَاۤءٌ لِّمَا فِى الصُّدُوْرِۙ وَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ

Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman. (Q.S. Yunus [10]: 57)

ثُمَّ كُلِيْ مِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِ فَاسْلُكِيْ سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًاۗ يَخْرُجُ مِنْۢ بُطُوْنِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ اَلْوَانُه ۖفِيْهِ شِفَاۤءٌ لِّلنَّاسِۗ انَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan lalu tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).” Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir. (Q.S. al-Nahl [16]: 69)

Baca Juga: Kisah Raja Najasyi dan Obat Sakit Kepala dari Terjemah Ayat Al-Quran

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْاٰنِ مَا هُوَ شِفَاۤءٌ وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَۙ وَلَا يَزِيْدُ الظّٰلِمِيْنَ اِلَّا خَسَارًا

Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian. (Q.S. al-Isra’ [17]: 82)

قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا هُدًى وَّشِفَاۤءٌ ۗوَالَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ فِيْٓ اٰذَانِهِمْ وَقْرٌ وَّهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًىۗ اُولٰۤىِٕكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَّكَانٍۢ بَعِيْدٍ ࣖ

Katakanlah, “Al-Qur’an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an) itu merupakan kegelapan bagi mereka. Mereka itu (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (Q.S. Fussilat [41]: 44)

Makna Ayat-Ayat Syifa

Dari cara penyebutannya, diperoleh beberapa kesan sebagaimana penuturan Muchlis M. Hanafi di atas, yaitu

Pertama, Yang berbentuk kata benda (masdar), tiga di antaranya menjelaskan fungsi Al-Quran sebagai obat penyembuh (Q.S. Yunus [10]: 57, Q.S. Al-Isra [17]: 82, Q.S. Fusshilat [41]: 44) dan satu lainnya tentang madu sebagai obat (Q.S. al-Nahl [16]: 69). Satu hal yang mengisyaratkan penyembuhan dengan Al-Quran selain madu, tidak bisa diabaikan. Bahkan dengan bermain angka, bila empat kata syifa menggambarkan penyembuhan 100%, maka penyembuhan dengan Al-Quran (3 kali disebut) memiliki porsi 75% dibandung madu yang 25% (sekali disebut).

Kedua, sedangkan 2 ayat yang menyebut kata syifa dalam bentuk kata kerja menjelaskan Allah sebagai yang menyembuhkan manusia di saat sakit. (Q.S. al-Taubah [9]: 14 dan Q.S. al-Syu’ara [26]: 80).

Ketiga, dari 4 ayat yang menyebut kata syifa, dua di antaranya ditujukan kepada manusia secara keseluruhan (al-nas) (Q.S. Yunus [10]: 57 dan Q.S. al-Nahl [16]: 69) dan dua lainnya ditujukan untuk orang yang beriman (Q.S. Al-Isra [17]: 82 dan Q.S. Fusshilat [41]: 44). Ini memberi kesan bahwa konsep kesembuhan yang ditawarkan Al-Quran berlaku untuk semua manusia, mukmin dan yang bukan mukmin.

Keempat, enam ayat tersebut, menggambarkan proses penyembuhan yaitu yang memberi kesembuhan adalah Allah; media penyembuhan yang bersifat psikis atau ruhani adalah Al-Quran; dan media yang bersifat fisik adalah madu.

Lebih jauh, Al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan misalnya menafsirkan Q.S. Al-Isra [17]: 82,

وَنُنَزِّلٌ عَلَـيْكَ يَا مُـحَمَّدُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَـاءٌ يَسْتَشْفَـى بِهِ مِنَ الْـجَهْلِ مِنَ الضَّلاَلَةِ، وَيُبْصِرُ بِهِ مِنَ الْعَمَى لِلْـمُؤْمِنِـيْنَ وَرَحْمَةٌ لَهُمْ دُوْنَ الْكَافِرِيْنَ بِهِ، لِأَنَّ الْـُمؤْمِنِـيْنَ يَعْمَلُوْنَ بِـمَا فِـيْهِ مِنْ فَرَائِضِ اللهِ، وَيَحِلُّوْنَ حَلَالَهُ، وَيُحَرِّمُوْنَ حَرَامَهُ فَـيُدْخِـلُهُمْ بِذَلِكَ الْـجَنَّةِ، ويُنَـجِّيْهِمْ مِنَ عَذَابِهِ، فَهُوَ لَهُمْ رَحْمَةٌ وَنِعْمَةٌ مِنَ اللهِ، أَنْعَمَ بِهَا عَلَـيْهِمْ

“Dan Kami turunkan (Al-Quran) kepadamu Wahai Muhammad adalah sebagai obat untuk mereka yang sakit agar sembuh dari kebodohan dan kesesatan, menyembuhkan kebutaan sehingga mereka kaum mukmin mendapatkan rahmat dari-Nya, karena sesungguhnya orang mukmin senantiasa mengerjakan apa yang diperintahkan Allah, mereka menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mereka mengharaman apa yang diharamkan-Nya, mereka itulah golongan yang dimasukkan ke dalam surga dan dijauhkan dari jilatan adzab-Nya. Mereka dalam naungan rahmat Allah swt.” (Al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan)

Keutamaan Ayat-Ayat Syifa

Ibn al-Hajj dalam al-Madkhal menuturkan khasiat ayat syifa sebagai berikut, “Tidak mengapa melakukan pengobatan dengan nasyrah, yaitu melunturkan tulisan ayat-ayat Quran yang dituliskan di atas kertas atau bejana dengan air dan kemudian meminum airnya”. Para ulama berbeda pendapat menyikapi istilah nasyrah. Nasyrah bermakna menjadikan ayat Al-Quran sebagai wirid, ada pula yang menuliskan ayat Al-Quran dan membasahinya, lalu diusapkan pada bagian yang sakit.

Bahkan dalam riwayat Abu Dawud dari hadits Jabir bin Abdullah, berkata, “Rasulullah menjelaskan tentang nasyrah bahwa ia adalah bagian dari amaliyah syaitaan”. Ibn Abd al-Barr menilai qaul ini lemah dan membuka ruang interpretasi yang lain. Nasyrah adalah satu jenis pengobatan dengan menggunakan air bekas basuhan yang bernilai keutamaan di dalamnya seperti air wudhunya Rasulullah saw. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh al-Qurtuby dalam Tafsir al-Qurtuby.

Tidak jauh berbeda, Mahmud Sami’ dalam Mukhtashar fi Ma’ani Asma Allah al-Husna, diterjemahkan oleh Idrus Hasan dengan judul Rahasia 99 Nama Allah Yang Indah, juga menerangkan bahwa Syekh Imam Abi al-Qasim al-Qusyairi pernah menjelakan bahwa suatu waktu anaknya sakit parah sehingga beliau merasa berputus asa. Dalam tidurnya ia bermimpi bertemu baginda Nabi Muhammad saw dan beliau bertanya, “apakah ada obat bagi penyakit yang diderita oleh anaknya?” Rasulullah bersabda, “Apakah engkau tidak mengetahui ayat-ayat syifa (ayat-ayat penyembuh)?”.

Baca Juga: Amaliyah Ayat-Ayat Al-Quran Untuk Mengobati Penyakit Demam

Selain diminum, dijadikan sebagai wirid, ayat-ayat Syifa juga dirapalkan dalam kondisi tertentu dan bilangan tertentu misal 100 kali tiap hari, lalu untuk terapi penyakit baik jasmani maupun ruhani, ruqyah dan sebagainya.

Pada ayat-ayat di atas pula, demikian kata Hanafi, Al-Quran memiliki empat sifat dan ciri, yaitu 1) Al-Quran sebagai nasihat dan pelajaran; 2) penyembuh dari segala penyakit hati atau jiwa; 3) sebagai petunjuk (hudan) dan; 4) sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman. Hal ini semakin menunjukkan kemukjizatan Al-Quran yang tidak hanya sebagai hudan, melainkan juga mengandung aspek syifa (pengobatan) bagi manusia. Wallahu A’lam.