Beranda blog Halaman 419

Simak Ini untuk Belajar Memaklumi Perbedaan Tafsir Al-Quran!

0
Memaklumi perbedaan tafsir Al-Quran
Memaklumi perbedaan tafsir Al-Quran

Salah satu mukjizat yang pertama kali ditunjukkan oleh Al-Qur’an adalah mukjizat kebahasaan. Oleh karena itu, pilihan-pilihan kata dan kalimat yang digunakan dalam Al-Qur’an dikenal sangat sastrawi. Di sisi lain, karakter bahasanya bersifat multiinterpretatif, yaitu berpeluang untuk menimbulkan perbedaan tafsir. Hal ini sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Al-Qur’an memiliki beberapa sisi dan makna (Dzul Wujuh) atau lebih lanjut kita bisa melihat pembahasan wujuh wa an-nazhair dalam kitab-kitab ulumul qur’an.

Pendapat lain sebagaimana riwayat dari Muqatil yang dikutip oleh as-Suyuti dalam kitabnya al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an bahwa seseorang tidak dapat benar-benar disebut fakih sampai ia melihat bahwa Al-Qur’an memiliki banyak sisi (makna yang variatif). Hal ini terbukti pada penggunaan derivasi kata dalam Al-Qur’an di mana setiap kata akan berbeda maknanya tergantung dengan posisi dan penggunaan kata tersebut. Bahkan, menurut sebagian ulama Al-Qur’an, setiap ayat Al-Qur’an mengandung 60.000 pemahaman atau bisa jadi lebih.

Baca juga: Perbedaan Serta Hikmah Keberadaan Al-Quran Dan Hadis Qudsi

Konsekuensi dari beragamnya pemaknaan terhadap Al-Qur’an yaitu, munculnya perbedaan tafsir yang kini telah dirangkum dalam kitab-kitab tafsir dengan berbagai macam jenis, model, metode dan corak yang digunakan. As-Subkiy mengatakan bahwa “Seandainya kita meletakkan kitab-kitab tafsir di samping Al-Qur’an, Niscaya kita akan berhadapan dengan bukit kitab tafsir yang menjulang tinggi.

Perkataan ini menunjukkan bahwa banyak sekali kitab-kitab tafsir yang telah dikarang oleh para ulama Al-Qur’an mulai pasca wafatnya Nabi hingga saat ini. Kemudian, yang menjadi persoalan selanjutnya ialah bagaimana cara menyikapi keragaman penafsiran tersebut sehingga tidak menimbulkan perpecahan bagi para pembaca tafsir? Tulisan ini lebih jauh akan membahas persoalan tersebut.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, hal yang pertama kali harus kita sadari ialah bahwa perbedaan merupakan hal yang inheren pada diri manusia (sunnatullah). Masing-masing individu tentu saja akan memiliki persepsi dan pemahaman berbeda terhadap sebuah objek tergantung dengan cara melihat dan latar belakang individu tersebut. Jika terhadap suatu objek yang sederhana saja seseorang memiliki pemahaman yang variatif, apalagi terhadap Al-Qur’an yang setiap katanya sangat sarat dengan makna.

Baca juga: Inilah Rambu-Rambu Toleransi Beragama Menurut Al-Quran: Perbedaan Adalah Keniscayaan

Bahkan Al-Qur’an mentolerir perbedaan itu sendiri dengan kesadaran bahwa keragaman merupakan salah satu bentuk kebesaran Allah di atas makhluk-makhluknya. Hal ini sejalan dengan firman Allah

وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلْعٰلِمِيْنَ

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (Ar-Rum: 22)

Melalui ayat di atas, kita sadari bahwa sebenarnya keragaman dalam memahami sebuah fenomena/ objek merupakan sebuah keniscayaan, karena manusia merupakan makhluk historis yang bersifat dinamis yang tidak dapat mengelak dari perubahan sesuai kondisi dan situasi yang mengitarinya. Perubahan demi perubahan inilah yang nantinya terus berdialektika sehingga memunculkan peradaban yang sangat beragam.

Dalam konteks tafsir misalnya, potret keragaman terhadap penafsiran Al-Qur’an berhasil dipotret dalam beberapa karya ensiklopedik seperti Mazahibut Tafsir karya Ignaz Goldziher yang berusaha memotret beragam metode penafsiran mulai dari era klasik hingga modern yang ditandai dengan kemunculan Muhammad Abduh. Kemudian, at-Tafsir Wal Mufasirun karya Muhammad Husain yang mencoba merangkum corak-corak penafsiran terhadap Al-Qur’an serta tokoh-tokoh yang terlibat dalam proses penafsiran Al-Qur’an, dan masih banyak lagi karya-karya lainnya.

Baca juga: Tafsir Kalimat Sawa’: Hidup Damai di Tengah Perbedaan, Kenapa Tidak?

Karya-karya ensikolpedik tersebut merupakan sebuah bukti bahwasannya telah banyak usaha-usaha yang dilakukan oleh para sarjanawan Al-Qur’an dalam melakukan pemaknaan terhadap Al-Qur’an. Keragaman penafsiran ini tentu saja tidak muncul begitu saja. Faktor paling utama yang menyebabkan hal ini terjadi karena Al-Qur’an sendiri ketika mengutarakan sebuah pesan selalu menggunakan redaksi yang bersifat universal (ijmal) sehingga tentu saja memberikan peluang pada keragaman penafsiran.

Selain itu, faktor lainnya ialah perbedaan kemampuan seorang mufasir ketika memahami pesan Al-Qur’an, baik ketika memahami teks hadis, perbedaan dalam menggunakan kaidah tafsir, perbedaan dalam menentukan kedudukan akal dalam menafsirkan Al-Qur’an dan perbedaan dalam fokus keilmuan serta latar belakang sosio-historis seorang mufasir.

 Dari fakta-fakta di atas, kita sebenarnya bisa mempelajari bahwa perbedaan penafsiran yang telah terjadi selama ini membawa manfaat yang cukup signifikan terhadap penafsiran Al-Qur’an. Terjadi sinergitas dibalik keragaman tersebut. Karena perbedaan yang muncul dalam tafsir umumnya bersifat variatif (tanawwu’) bukan kontradiktif (taradud).

Dengan munculnya beragam kitab-kitab tafsir tersebut sebenarnya malah memperlihatkan kekayaan kandungan Al-Qur’an sekaligus menegaskan sifat Al-Qur’an yang shahih li kulli zaman wal makan, yaitu di mana Al-Qur’an mampu terus beradaptasi sesuai situasi dan kondisi. Di sisi lain, keragaman penafsiran ini sebenarnya menjadi bukti bahwa Al-Qur’an selama ini menemani peradaban manusia dalam menyelasaikan problematika yang terjadi di dalam kehidupan manusia.

Baca juga: Konsekuensi Perbedaan Qiro’ah pada Penafsiran Al-Quran Menurut Mufassir

Problematika manusia yang terus berkembang dari masa Nabi hingga saat ini tentunya meniscahyakan lahirnya penafsiran-penafsiran baru yang relevan dengan kondisi zamannya. Terlebih banyak sekali problematika yang tidak terjadi di masa Nabi yang kemudian terjadi pada saat ini menuntut lahirnya penafsiran-penafsiran baru terhadap Al-Qur’an. Oleh karena itu, para muffasir di setiap zaman akan melahirkan penafsiran-penafsiran baru tergantung tantangan dan problematika yang terjadi sesuai zamannya.

Dari paparan di atas, kita ketahui bahwa sebanyak apapun dan seberagam apapun berbedaan penafsiran, sebenarnya memiliki tujuan yang sama. Yaitu, menjadikan Al-Qur’an sebagai solusi bagi problematika umat yang dihadapinya. Sebagai penutup penulis ingin menyampaikan sedikit pesan “Sampaikapan kita terus berdebat untuk menyamakan standar makna Al-Qur’an (tafsir), sedangkan Al-Qur’an sendiri diturunkan untuk ‘alamin (seluruh alam yang di dalamnya sangat erat dengan perbedaan dan keragaman).

Wallahu a’lam[]

Mengenal Muthlaq-Muqayyad: Definisi, Pembagian, dan Kaidah Penerapannya

0
kaidah muthlaq-muqayyad
kaidah muthlaq-muqayyad

Salah satu tema penting dalam kajian ulumul Qur’an adalah pembahasan tentang muthlaq-muqayyad. Oleh karena itu, dalam artikel sederhana ini penulis akan membahas mengenai definisi, pembagian, dan kaidah penerapan muthlaq-muqayyad.

Definisi Muthlaq-Muqayyad

Quraish Shihab dalam karyanya Kaidah Tafsir, mendefinisikan muthlaq sebagai suatu lafaz yang menunjukkan kepada satu atau beberapa satuan dari segi substansinya tanpa ikatan apapun. Sedangkan istilah muqayyad, didefinisikan sebagai suatu lafaz atau kata yang menunjuk kepada satu atau beberapa satuan yang diberi ikatan berupa lafaz atau kata yang terpisah darinya.

Untuk lebih mudahnya, Quraish Shihab memberi contoh pada kata “muslim”. apabila kita mengucapkan kata “muslim” saja, maka kata tersebut bersifat muthlaq. Hal ini dikarenakan kata tersebut masih umum, dan terkandung di dalamnya berbagai kemungkinan interpretasi terhadap maksud dari kata “muslim” tersebut.

Namun, jika kita mengucapkan kata “muslim Indonesia” maka kata “Indonesia” menjadi pengikat pada keumuman lafaz sebelumnya. Oleh karena itu, dengan adanya kata pengikat tersebut, maka kalimat tersebut dikatakan sebagai kalimat muqayyad. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa letak perbedaan mendasar antara muthlaq dan muqayyad adalah terkait ada tidaknya lafaz atau kata yang mengikat kata sebelumnya.

Baca Juga: Kaidah Tafsir: Pengertian dan Hakikatnya dalam Memahami Al-Quran

Pembagian dan Kaidah Penerapan Muthlaq-Muqayyad

Secara umum, Imam az-Zarkasyi menjelaskan bahwa kaidah dasar tentang muthlaq-muqayyad adalah sebagai berikut:

إِنْ وُجِدَ دَلِيْلٌ عَلَى تَقْيِيْدِ الْمُطْلَقِ صَيَّرَ إِلَيْهِ، وَإِلَّا فَلَا وَالْمُطْلَقُ عَلَى إِطْلَاقِهِ وَالْمُقَيَّدُ عَلَى تَقْيِيْدِهِ

Apabila ditemukan dalil yang mengikat suatu hal yang bersifat umum, maka keumuman tersebut dialihkan kepada pengikatnya. Namun, apabila tidak ditemukan pengikatnya, maka yang muthlaq tetap pada kemutlakanya, dan yang muqayyad tetap pada ikatan yang membatasinya

Dalam penerapannya, kaidah tersebut tidak sesederhana yang dibayangkan. Hal ini dikarenakan adanya ragam bentuk muthlaq-muqayyad yang ditemukan dalam Al-Qur’an. Manna’ al-Qaththan dalam karyanya Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, mengklasifikasikan ragam bentuk muthlaq-muqayyad tersebut menjadi empat bentuk, yaitu:

Baca Juga: Al-Quran dan Faktor Kemunculan Ilmu Nahwu

  1. Memiliki kesamaan dalam sisi sebab maupun hukumnya (أن يتحد السبب والحكم)

Klasifikasi yang pertama ini dapat ditemukan dalam sebuah ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang kafarat puasa dalam pelanggaran sumpah. Pada ayat yang pertama yaitu QS. Al-Ma’idah [5] ayat 89:

فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ ۗذٰلِكَ كَفَّارَةُ اَيْمَانِكُمْ اِذَا حَلَفْتُمْ ۗوَاحْفَظُوْٓا اَيْمَانَكُمْ ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ – ٨٩

Barangsiapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya)

Ayat tersebut membicarakan tentang kafarat pelanggaran sumpah dengan perintah berpuasa selama tiga hari. Namun, perintah puasa tersebut masih bersifat muthlaq, karena belum jelas apakah puasa tiga hari tersebut dilaksanakan secara berurutan atau boleh secara terpisah.

Lain halnya dalam qira’at Ibnu Abbas, ayat tersebut dibaca dengan memberikan ikatan berupa tambahan kalimat mutatabi’at (berurutan) setelah kalimat tsalatsati ayyam. Sehingga redaksinya dapat dituliskan sebagaimana berikut:

فَصِيَامُ ثَلَاتَةِ أَيَّامٍ مُتَتَبِعَاتِ

 “Maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari secara berurutan

Dalam menyikapi hal tersebut, para ulama masih berbeda pendapat. Terdapat ulama yang mengalihkan perintah yang masih bersifat muthlaq menuju bentuk muqayyad. Sehingga dalam hal ini, puasa yang digunakan dalam menebus kafarat pelanggaran sumpah adalah puasa tiga hari yang dilakukan secara berurutan, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah.

Namun, terdapat juga ulama yang menentang pendapat tersebut. Alasanya adalah karena qira’ah masyhurah tidak bisa dijadikan sebagai dalil argumen (hujjah). Oleh karena itu, mereka tidak mengalihkan perintah yang bersifat muthlaq tersebut kepada muqayyad.

Baca Juga: Kaidah Asbabun Nuzul: Manakah yang Harus didahulukan, Keumuman Lafaz atau Kekhususan Sabab?

  1. Memiliki sebab yang sama namun berbeda hukumnya (أن يتحد السبب ويختلف الحكم)

Klasifikasi yang kedua ini dapat dijelaskan dalam problematika pembasuhan tangan dalam wudhu dan tayammum. Sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Ma’idah [5] ayat 6:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku

Dalam ayat tersebut, perintah membasuh tangan dalam wudhu bersifat muqayyad karena harus dilakukan hingga siku. Namun dalam praktik tayammum, basuhan tangan dibiarkan umum (muthlaq) tanpa ada batasan tertentu, sebagaimana berikut:

فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ

maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu

Dalam menyikapi hal ini, terdapat ulama yang tidak membolehkan pemberlakuan batasan siku dalam wudhu untuk diterapkan dalam tayammum. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan hukum.

Berbeda dengan pendapat pertama, Imam Ghazali menyampaikan bahwa kebanyakan ulama syafi’iyah menerapkan batasan basuhan tangan hingga siku dalam tayammum. Hal ini didasarkan pada adanya unsur kesamaan sebab yaitu sama-sama ingin menghilangkan hadats walaupun berbeda dalam sisi hukumnya.

Baca Juga: Ini Alasan Penting Belajar Ilmu Al-Quran dan Tafsirnya

  1. Memiliki kesamaan hukum namun berbeda sebabnya (أن يتحد الحكم ويختلف السبب)

Pertama, taqyid-nya hanya satu bentuk. Dalam Q.S. al-Mujadalah [58]: 3 dan Q.S. al-Ma’idah [5]: 89, budak yang harus dimerdekakan bersifat muthlaq. Namun, dalam Q.S. al-Nisa’ [4]: 92, kafarat pembebasan budak bersifat muqayyad yaitu hanya berlaku apabila budak yang dibebaskan adalah budak yang beriman.

Menyikapi hal tersebut, mayoritas ulama syafi’iyah dan sebagian malikiyah mengalihkan yang muthlaq menuju muqayyad tanpa perlu adanya dalil tambahan. Sehingga dalam hal ini tidak diperbolehkan untuk membebaskan budak kafir sebagai tebusan dalam kafarat dzihar dan sumpah.

Kedua, taqyid-nya berbeda bentuk. Dalam hal kafarat sumpah (Q.S. al-Ma’idah [5]: 89) dan qadla’ puasa Ramadhan (Q.S. al-Baqarah [2]: 184), perintah puasa bersifat muthlaq. Tetapi dalam kafarat pembunuhan (Q.S. al-Nisa’ [4]: 92) dan kafarat dzihar (Q.S. al-Mujadalah [58]: 4), kafarat puasa berbentuk muqayyad berupa waktu pelaksanaanya yang harus berurutan.

Kemudian, dalam kafarat puasa haji tamattu’ (Q.S. al-Baqarah [2]: 196), puasanya dibatasi dengan pembedaan pada waktu pelaksanaan puasanya, yaitu 3 hari ketika haji dan 7 hari ketika sudah kembali. Maka, dalam hal ini para ulama memberikan kaidah bahwa ayat yang bersifat muthlaq tersebut tidak bisa dialihkan menjadi muqayyad, karena taqyid-nya berbeda-beda.

  1. Baik sebab maupun hukum, keduanya berbeda (أن يختلف السبب ويختلف الحكم)

Contohnya adalah batasan tangan dalam perkara wudhu’ dan batasan tangan dalam hukuman qishash bagi pencuri. Tangan dalam praktik wudhu’ dibatasi oleh ikatan berupa kata “ila marafiq” (sampai pada siku). Tetapi, dalam konteks hukuman qishash potong tangan bagi pencuri, redaksi yang digunakan bersifat muthlaq, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Ma’idah [5] ayat 38:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ – ٣٨

Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa, Maha bijaksana

Dalam hal ini, semua ulama sepakat untuk tidak menerapkan batasan siku lengan dalam praktik wudhu ke dalam pelaksanaan qishash potong tangan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan baik dari sisi sebab maupun hukumnya antara praktik membasuh tangan dalam wudhu dengan praktik potong tangan dalam hukuman qishash.

Demikian kurang lebih pemaparan seputar muthlaq-muqayyad. Banyak pendapat mengenai penerapan kaidah tersebut, tidak lain merupakan khazanah perkembangan kajian ulumul Quran yang tidak dapat dihindarkan. Wallahu A’lam

Al-Qur’an Sebagai Warisan Nabi Yang Tidak Mengalami Perubahan

0
Al-Qur’an Sebagai Warisan Nabi Yang Tidak Mengalami Perubahan
Al-Qur’an Sebagai Warisan Nabi Yang Tidak Mengalami Perubahan

Setelah usainya masa Kekhalifahan ‘Ali ibn Abi Thalib, pertikaian antar umat Islam tidak hanya bersinggungan dengan tentang siapa yang seharusnya menjadi khalifah menggantikan Nabi Muhammad. Namun juga tentang keabsahan kitab suci Al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan serta dikumpulkan oleh para sahabat, tanpa mengalami pengurangan dan penambahan. Hal ini bisa disebut bahwa al-Qur’an sebagai warisan Nabi yang tidak mengalami perubahan.

Oleh karena itu, Imam Al-Bukhari kemudian mencantumkan satu bab khusus yang menguatkan keabsahan Al-Qur’an sebagai wahyu yang terjaga dari segala pengurangan, penambahan serta perubahan. Di dalam bab tersebut dicantumkan bahwa Nabi Muhammad tidaklah meninggalkan satu warisanpun selain Al-Qur’an yang saat itu ada. Hal ini mengisyaratkan bahwa Al-Qur’an yang saat itu ada tidak mengalami perubahan sejak zaman Nabi.

Nabi Tidak Mewariskan Apapun

Salah satu bab yang dicantumkan Imam Al-Bukhari dalam kitab sahihnya adalah bab

باب مَنْ قَالَ لَمْ يَتْرُكِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِلاَّ مَا بَيْنَ الدَّفَّتَيْنِ

Bab orang yang mengatakan Nabi –salallahualaihi wasallam tidak mewariskan sesuatupun kecuali yang ada di antara dua sampul (Sahih Bukhari/4/1916)

Di dalam bab tersebut, Imam Al-Bukhari hanya mencantumkan satu hadis saja yang berbunyi

عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ رُفَيْعٍ قَالَ دَخَلْتُ أَنَا وَشَدَّادُ بْنُ مَعْقِلٍ عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما فَقَالَ لَهُ شَدَّادُ بْنُ مَعْقِلٍ أَتَرَكَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مِنْ شَىْءٍ قَالَ مَا تَرَكَ إِلاَّ مَا بَيْنَ الدَّفَّتَيْنِ .

قَالَ وَدَخَلْنَا عَلَى مُحَمَّدِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ فَسَأَلْنَاهُ فَقَالَ مَا تَرَكَ إِلاَّ مَا بَيْنَ الدَّفَّتَيْنِ

Diriwayatkan dari Abdul ‘Aziz ibn Rufi’ bahwa ia berkata: “Aku beserta Syadad ibn Ma’qil datang ke Ibn ‘Abbas. Lalu Syadad ibn Ma’qil bertanya padanya: ‘Apakah Nabi Muhammad salallahualaihi wasallam meninggalkan sesuatu?’ Ibn ‘Abbas menjawab: ‘Nabi tidak meninggalkan sesuatupun kecuali yang ada sekarang di antara dua sampul’.”

‘Abdul ‘Aziz berkata: “Kami mendatangi Muhammad ibn Al-Hanafiyah. Lalu kami menanyainya. Lalu ia menjawab: ‘Nabi tidak meninggalkan sesuatupun kecuali yang ada sekarang di antara dua sampul’.” (HR. Imam Al-Bukhari)

Baca juga: Sejarah Kodifikasi Al-Quran dalam Al-Tibyan fi Ulum al-Quran

Ibn Katsir berkata, makna dari kata “meninggalkan” adalah mewariskan harta serta selainnya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan hadis yang menyatakan bahwa nabi Muhammad tidak meninggalkan dirham serta dinar, dan juga budak lelaki atau perempuan. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa para nabi tidaklah mewariskan dirham serta dinar, melainkan mewariskan ilmu. Sedangkan yang dimaksud dari “yang ada sekarang di antara dua sampul”, adalah Al-Qur’an serta hadis sebagai penafsir, penjelas, pengurai makna, serta mengikut terhadap Al-Qur’an (Fadhailul Qur’an/1/107).

Menyangkal Adanya Pengurangan Di Dalam Al-Qur’an

Ibn Hajar Al-‘Asqalani dan Badruddin Al-‘Aini menyatakan, lewat judul bab serta hadis di atas, Imam Al-Bukhari ingin menolak anggapan bahwa sebagian besar bagian dari Al-Qur’an telah hilang, hal ini disebabkan banyak penghafalnya yang telah mati syahid. Tuduhan ini adalah tuduhan yang dilancarkan oleh sebagian kaum syiah.

Lewat tuduhan tersebut, kaum syiah ingin mencari jalan pembenaran terhadap klaim mereka bahwa sebenarnya ada keterangan di dalam Al-Qur’an tentang kepemimpinan sahabat Ali, bahwa ia adalah khalifah yang seharusnya diangkat setelah Nabi Muhammad. Hanya saja keterangan itu disembunyikan oleh para sahabat-sahabat nabi.

Imam Al-Bukhari menolak tuduhan tersebut lewat hadis yang diriwayatkan dari Muhammad ibn Al-Hanafiyah; salah satu putra sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib dan sosok yang dianggap salah satu dari 12 imam yang diakui oleh kalangan syiah. Imam Al-Bukhari secara tidak langsung ingin menyatakan, bukankah seharusnya kalau benar terjadi semacam pemalsuan sejarah terkait sahabat ‘Ali di dalam Al-Qur’an, yang paling mengetahui adalah anaknya sendiri?

Baca juga: Al-Baqarah Ayat 286: Allah Swt Tidak Akan Membebani Seseorang Melebihi Kemampuannya

Namun mengapa justru Muhammad ibn Al-Hanafiyah dalam hadis di atas seakan menyatakan, bahwa Al-Qur’an yang kini adalah Al-Qur’an yang sebagaimana diterima oleh Rasulullah dari malaikat Jibril. Dan ia sama sekali tidak menyinggung bahwa ada bagian dari Al-Qur’an yang hilang, atau semacam ungkapan “Al-Qur’an yang sekarang adalah sebagian dari warisan Nabi Muhammad. Dan ada bagian lain yang hilang atau disembunyikan”.

Ibn ‘Abbas dalam hadis di atas juga menyampaikan sebagaimana yang disampaikan oleh Muhammad ibn Al-Hanafiyah. Padahal Ibn ‘Abbas adalah keponakan sahabat ‘ali Serta orang yang paling dekat serta mengetahui segala keadaaan Sahabat ‘Ali (Fathul Bari/9/65).

Sejarah Kodifikasi Al-Quran dalam Al-Tibyan fi Ulum al-Quran

0
Kodifikasi Al-Quran
Kodifikasi Al-Quran

Sejarah kodifikasi al-Quran dijelaskan dalam al-Tibyan fi Ulum Al-Qur’an dibagi ke dalam dua fase yakni fase Kenabian dan fase al-Khulafa al-Rasyidun. Kata jam’u yang biasanya dijadikan sebagai kata kunci pembahasan dalam beberapa kitab Ulumul Qur’an merujuk pada makna kodifikasi baik melalui hafalan maupun tulisan.

Fase Nubuwwah

Pada fase pertama aktivitas kodifikasi al-Quran terbagi ke dalam dua metode yakni:

  1. Metode hafalan

Dalam kitab-kitab sejarah umumnya terdapat informasi bahwa bangsa Arab pra-Islam memang terkenal dengan kemampuannya dalam menghafal (cepat dan kuat). Mereka mampu menghafal ribuan syair serta ratusan silsilah nasab atau keturunannya. Keistimewaan yang mereka miliki inilah yang menjadi sebab mudahnya mereka menyimpan al-Qur’an dalam dada mereka dan menjaga otentisitasnya.

2. Metode penulisan

Pada fase pewahyuan, Nabi memiliki kuttab al-wahy atau asisten pribadi yang bertugas menulis wahyu. Di antara yang masyhur namanya adalah Ubay ibn Ka’ab, Muadz ibn Jabal, Zaid ibn Tsabit, dan Abu Zaid.

Namun selain para penulis wahyu yang khusus ditugaskan Rasulullah, ada beberapa sahabat yang juga berinisiatif secara mandiri untuk menuliskan wahyu yang didengarnya dari Nabi dan dibuktikan dengan keberadaan mushaf pribadinya. Di antara para sahabat tersebut ialah Ibn Mas’ud, Ali ibn Abi Thalib, Aisyah dan lainnya.

Baca Juga: Mengurai Sejarah Kemunculan dan Urgensi Kronologi Al-Quran dalam Ilmu Tafsir

Media yang mereka gunakan untuk menulis di antaranya tulang-belulang, permukaan batu yang lebar, kulit binatang, serta daun-daun yang lebar. Mengapa tidak di kertas? Sebab penggunaan kertas—dalam bentuk yang sangat sederhana—baru terdapat di zaman Persia dan Romawi dan itupun masih sangat terbatas. Maka, tidak heran jika zaman itu bangsa Arab menggunakan media apapun yang mudah dijumpainya sebagai media tulis.

Selanjutnya, para Sahabat menyusun al-Qur’an ke dalam susunan yang kita jumpai saat ini (tartib mushafi) merupakan petunjuk langsung dari Allah kepada Nabi. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa saat Jibril menurunkan ayat per ayat al-Qur’an, ia menginformasikan kepada Nabi letak dan susunannya yang merupakan instruksi langsung dari Allah.

Fase Khulafa Rasyidun

Fase kodifikasi al-Quran ini secara khusus akan membahas bagaimana sebab-sebab eksternal mendorong terjadinya proyek kepenulisan al-Qur’an secara tersistematisasi dan terorganisir.

  1. Fase Khalifah Abu Bakar

Fase ini merupakan fase pertama dalam periode penulisan al-Qur’an secara tersistematisasi dan terorganisir. Hal yang menjadi alasan dari aktivitas tersebut ialah terjadinya tragedi Yamamah. Di mana pasukan muslimin berperang dengan para murtaddin dari pengikut Musailamah al-Kadzab. Namun sayangnya, menurut data sejarah yang populer, sebanyak lebih dari 70 orang penghafal Qur’an syahid di pertempuran ini. Dalam data sejarah yang lain dikatakan sampai ribuan.

Banyaknya penghafal Qur’an yang syahid di medan perang, menyebabkan Umar ibn Khatab gusar dan sedih karena khawatir ketidaan mereka akan menyebabkan hilangnya al-Qur’an secara perlahan. Maka Umar pun mendatangi Abu Bakar dan meminta padanya sebagai Khalifah saat itu untuk memutuskan sebuah kebijakan yaitu melaksanakan program penulisan al-Qur’an.

Pada awalnya Abu Bakar saat itu merasa ragu untuk melakukannya (sebab di zaman Nabi tidak ada secara jelas Nabi memerintahkan untuk mengumpulkan al-Qur’an ke dalam satu mushaf), namun Umar berhasil meyakinkannya dengan memaparkan maslahat yang ada dalam kebijakan tersebut. Maka Abu Bakar yang telah setuju kemudian meminta kepada Zaid ibn Tsabit untuk menjadi ketua dari proyek penulisan al-Qur’an dalam satu mushaf (sebab selama ini penulisan al-Qur’an masih tercecer dalam berbagai media tulis yang berbeda).

Zaid pun merasa ragu saat itu, namun akhirnya berhasil diyakinkan dan proyek pun dilaksanakan hingga akhirnya al-Qur’an terkumpul ke dalam satu mushaf. Mushaf ini lalu turun temurun diwariskan kepada Umar ibn Khatab dan terakhir kepada Hafshah bintu Umar.

Adapun dalam proses penulisannya, mushaf Abu Bakar ini ditulis oleh Zaid dengan mempertimbangkan dua sumber yakni hafalan para huffadz dan tulisan-tulisan yang telah ada di zaman Rasulullah. Mushaf ini juga memuat ragam dialek baik secara sanad mutawatir maupun ahad yang dijumpai di era tersebut.

2. Fase Khalifah Utsman

Kodifikasi al-Quran di masa Utsman memiliki permasalahan lain, berbeda halnya dengan zaman khalifah Abu Bakar yang mengadakan proyek karena kekhawatiran akan sirnanya al-Qur’an bersamaan dengan ketiadaan para hafiz. Permasalahan yang dimilikinya berdasar pada ekspansi kekuasaan pemerintahan Islam.

Ekspansi wilayah kekuasaan ini menyebabkan umat Islam tersebar ke berbagai daerah baru. Di daerah-daerah baru tersebut Utsman mengirimkan para sahabat untuk menjadi paku bumi atau pusat pengajaran. Sepertinya halnya di Syam, maka ada Ubay ibn Ka’ab sebagai pengajar atau muallim/ muqri’, kemudian di Kufah ada Abdullah ibn Mas’ud, dan di Bashrah ada Abu Musa al-Asy’ari.

Masing-masing dari pengajar memiliki kekhasannya tersendiri khususnya dalam hal qira’at yang dipakai dan diajarkan. Perbedaan itu ternyata menimbulkan perdebatan, pengkafiran dan bahkan peperangan di antara masing-masing murid para sahabat tatkala berjumpa. Keresahan ini juga disampaikan Hudzaifah ibn al-Yamani tatkala memperluas wilayah kekuasaan Islam di Armenia dan Azerbaijan.

Baca Juga: Sejarah Jual-Beli Mushaf Al-Quran di Era Awal Islam

Ia menyaksikan bagaimana perdebatan para murid dari daerah yang berbeda dan tergabung dalam satu pasukan itu sudah seperti perselisihan dua agama yang berbeda (layaknya Yahudi dan Nasrani). Maka Utsman semakin khawatir dan akhirnya memutuskan untuk menjalankan proyek Mushaf Imam sebelum keadaan semakin parah.

Proyeknya dimulai dengan meminjam mushaf dari Hafshah bintu Umar, kemudian ia menunjuk Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Zubair, Sa’id ibn Ash, dan Abdurrahman ibn Harits ibn Hisyam untuk menuliskan ulang mushaf Abu Bakar agar menjadi banyak. Dari keempat orang tersebut, hanya Zaid yang bukan orang Quraisy. Utsman pun berpesan, apabila saat penulisan al-Qur’an terjadi perdebatan antara Zaid dan ketiga orang Quraisy lainnya, maka tulislah dengan logat atau dialek Quraisy sebab al-Qur’an turun dengan dialek orang Quraisy.

Keempat orang itu setuju dan menulis ulang mushaf Abu Bakar ke dalam beberapa mushaf yang kemudian disebar oleh Ustman ke berbagai daerah. Ia juga memerintahkan agar segala bentuk tulisan selain dari mushaf yang diproduksinya agar dibakar.

Meskipun kehadiran mushaf Utsmani ini juga berimplikasi pada hilangnya hilangnya beberapa dialek yang sebelumnya terdapat dalam mushaf Abu Bakar, sebab hanya memuat dialek Quraisy dengan harapan meminimalisir terjadinya perbedaan dan perpecahan di tengah umat Islam. Adapun cara penulisan al-Qur’an pada masa Utsman inilah yang kemudian melahirkan ilmu yang disebut sebagai Ilmu Rasm Utsmani.

Mengenal Tafsir Nidzam Al-Quran karya Hamiduddin Farahi

0
tafsir nidzam al-quran
tafsir nidzam al-quran

Pada pembahasan yang lalu telah dijelaskan biografi Hamiduddin al-Farahi, seorang mufasir kontemporer Al-Quran dari India. Ia mempunyai magnum opus di bidang tafsir Al-Quran yang berjudul Tafsir Nidzam al-Quran wa Ta’wil al-Furqan bil Furqan. Tafsir ini merupakan karya terbesar al-Farahi sekalipun tidak penuh 30 juz Al-Quran. Berikut penjelasan mengenai tafsir ini.

Identitas Tafsir

Nama lengkap tafsir al-Farahi yaitu Tafsir Nidzam al-Quran wa Ta’wil al-Furqan bil Furqan. Tafsir ini tidak lengkap 30 juz. Al-Farahi dalam tafsirnya hanya mencantumkan 13 penafsiran surat, itupun ditulis secara terpisah, yaitu Al-Fatihah, az-Zariyat, al-Tahrim, al-Qiyamah, al-Mursalat, Abasa, al-Syams, al-Tin, al-Ashr, al-Fil, al-Kautsar, al-Kafirun, dan al-Lahab.

Namun, dalam salah penelitian jurnal oleh Muhammad Yusuf al-Syurbaji dalam al-Imam Abd al-Hamid al-Farahi wa Manhajuhu fi Tafsirihi: Nizam al-Qur’an wa Ta’wil al-Furqan bil Furqan, menyebutkan ada 15 surat yang ditafsirkan oleh al-Farahi yaitu dengan menambahkan surat al-Baqarah dan al-Ikhlas. Tafsiran pada setiap surat tersebut diterbitkan dengan tahun yang berbeda, tapi ada pula yang bersamaan.

Berikut keterangan surat-surat tersebut,

  1. Tafsir surat al-Fatihah dan Basmalah beserta Fatihah Nizam, diterbitkan di al-Dairah al-Hamidiyah, India, pada tahun 1357 H.
  2. Tafsir surat al-Baqarah, yang juga diterbitkan di al-Dairah al-Hamidiyah, tahun 1320 H atau 2000 M.
  3. Tafsir surat adz-Dzariyat, tanpa disebutkan tahun dan penerbit.
  4. Tafsir surat at-Tahrim, ditterbitkan di Aligarh tahun 1326 H.
  5. Tafsir surat al-Qiyamah, diterbitkan di Aligarh tanpa tahun, dan untuk kedua kalinya diterbitkan di al-Dairah al-Hamidiyah pada tahun 1403 H.
  6. Tafsir surat al-Mursalat, tanpa keterangan penerbit dan tahun.
  7. Tafsir surat Abasa, tanpa keterangan penerbit dan tahun.
  8. Tafsir surat asy-Syams, diterbitkan di Aligarh pada tahun 1326 H.
  9. Tafsir surat at-Tin, tanpa keterangan penerbit dan tahun.
  10. Tafsir surat al-‘Asr, diterbitkan di Aligarh pada tahun 1326 H.
  11. Tafsir surat al-Fil, diterbitkan pada tahun 1354 H.
  12. Tafsir surat al-Kautsar, tanpa keterangan penerbit dan tahun.
  13. Tafsir surat al-Kafirun, diterbitkan di Aligarh pada tahun1326 H.
  14. Tafsir surat al-Lahab, tanpa keterangan penerbit dan tahun.
  15. Tafsir surat al-Ikhlas, dalam bahasa Arab diterbitkan di al-Dairah al-Hamidiyah pada tahun 1378 H.

Baca juga: Mufasir Kontemporer Asal India: Hamiduddin Farahi, Pencetus Teori ‘Amud Al-Quran

Pada bagian awal kitab tafsirnya, al-Farahi juga menjelaskan mengenai nizam Alquran. Kemudian, pembukaan nizam Alquran dengan menampilkan 17 muqaddimah. Muqaddimah inilah yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Exordium to Coherence in the Qur’an oleh Tariq Mahmood Hashmi. Dan disusul dengan penafsiran ke 13 surat seperti yang tersebut di atas

Metodologi, Sumber Penafsiran dan Polemik Penafsiran

Tidak seperti kebanyakan tafsir Al-Quran pada umumnya, tafsir al-Farahi ini sarat akan penggunaan metodologi nizam dan ‘amud Al-Quran dalam penafsirannya. Adapun sumber penafsiran yang digunakan al-Farahi adalah perpaduan tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi karena al-Farahi menguasai beberapa keilmuan, antara lain bahasa Arab, Nahwu, Hadis, Ushul Fiqih, Filsafat, Mantiq dan keilmuan yang lain. Al-Farahi memiliki prinsip tersendiri disetiap keilmuan. Berbekal ilmu inilah al-Farahi kemudian menafsirkan Alquran.

Menurut al-Farahi dalam tafsirnya, kebanyakan mufassir hanya membahas pada aspek kebahasaan, maqasid Alquran, perdebatan mutakallimin serta fikih yang bisa menimbulkan fanatisme madzhab. Dan ada pula tafsir yang menurutnya hanya fokus pada bil riwayah dan juga israiliyat. Sedangkan al-Farahi menafsirkan Alquran dengan tujuan untuk menunjukkan kepada manusia bahwa Alquran adalah tujuan hidup dan juga untuk mengintegrasikan umat muslim yang waktu itu mulai terpecah.

Terdapat polemik di antara Ulama pada waktu itu, mengapa al-Farahi menafsirkan Alquran dengan bahasa Arab, padahal ia notabene berasal dari India. Al-Farahi pun menjawab segala perdebatan itu, bahwa ia menafsirkan Alquran untuk Ulama pada waktu itu yang pola pemikirannya sudah fanatisme terhadap golongan. Tanpa menyelamatkan para ulamanya, maka mustahil bisa menyelamatkan umat muslim secara keseluruhan.

Keunikan Tafsir Al-Farahi dan ‘Amud Al-Quran

Kekhasan dari al-Farahi, seperti yang telah dijelaskan di atas adalah konsep nizam nya dalam menghasilkan produk ‘amud atau tema sentral pada setiap surat. Menurutnya, nizam berbeda dengan munasabah. Lanjutnya,  nizam lebih komprehensif cakupannya dibandingkan munasabah.

Tafsir al-Farahi ini adalah tafsir berbasis surat, karena harus mengamati dengan saksama keteraturan setiap antar ayat untuk membangun sebuah tema. Sebagaimana pemaparan yang ditulis oleh Mir dalam salah satu karyanya, Coherence in the Qur’an,

According to al-Farahi, each Qur’anic surah has a distinct controlling theme called ‘amud . The ‘amud (literally, “pillar, column”) is the hub of surah, and all the verses in that surah revolve around it. In attemping to establish the unity of a surah, Farahi central concern is to determine the surah ‘amud.

Al-Farahi sendiri mendefinisikan ‘amud sebagai sesuatu yang menyatukan tema-tema wacana. Namun bukan berarti ‘amud yang mendorong pemersatu secara umum, melainkan ‘amud sebagai prinsip pemersatu yang spesifik dan pasti.

Baca juga: Inilah Ragam Pendapat Ulama tentang Nidzam Al-Quran

‘Amud harus menjadi salah satu dari yang universal dan menjadi kunci untuk memahami surat serta memberi identitas pada surat. Ketika tema-tema wacana saling berkaitan dan diorientasikan pada ‘amud, kemudian wacana tersebut menjadi satu, maka wacana itu akan memiliki identitas yang berbeda.

‘Amud tampaknya memiliki lima karakteristik, yakni pertama sentralitas, tema yang berada pada semua surat bisa dikurangi, agar membentuk sentralitas tema. Yang kedua adalah konkret, harus berupa sesuatu yang konkret, bukan pada nada/karakter ataupun suasana hati (tone and mood). Yang ketiga adalah memiliki perbedaan, ‘amud pada satu surat harus memiliki perbedaan yang jelas dengan surat lainnya.

Yang keempat adalah universal, yang berarti bahwa hal-hal seperti perintah khusus tidak dapat berfungsi sebagai ‘amud, meskipun mungkin dapat diilustrasikan dari ‘amud. Dan yang kelima adalah memiliki nilai hermeneutik. Hal ini berarti, memberikan titik acuan dasar dalam surat dan semua tema serta gagasan dalam surat itu harus dijelaskan dengan sebuah rujukan (Abdul Hamid al-Farahi dalam Tafsir Nidzam al-Qur’an wa Ta’wil al Furqan bi al-Furqan).

Berpijak pada pernyataan di atas, menegaskan bahwa, al-Farahi mencoba untuk membuktikan bahwa pada setiap surat pasti terdapat ‘amud. Jika kembali pada penafsiran yang dilakukan oleh al-Farahi, yang hanya menafsirkan beberapa surat, ada di antara surat tersebut yang tidak dicantumkan atau dijelaskan ‘amud-nya. Jadi ringkasnya adalah ‘amud merupakan tema hermeneutik yang signifikan, ditandai dengan sentralitas, konkret, perbedaan dan universal.

Terlepas dari beberapa polemik penafsiran tafsir nidzam, keberadaan Tafsir Nidzam Al-Quran karya Hamiduddin Farahi semakin memperkaya khazanah munasabah terutama kajian nidzam dalam ulum Al-Quran. Wallahu A’lam.

Tafsir Ali Imran Ayat 169: Gus Dur Tidak Wafat, Menurut Prof. Nasaruddin Umar

0
Gus Dur Tidak Wafat, Menurut Prof. Nasaruddin Umar
Gus Dur Tidak Wafat, Menurut Prof. Nasaruddin Umar

Sewaktu Haul Gus Dur ke 11 di penghujung tahun 2020, ada tausyiah dari Professor Kiai Nasaruddin Umar, seorang imam besar Masjid Istiqlal dan sekaligus guru besar tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bagaimana ia menyuguhkan pandangan segar tentang sosok Gus Dur, yang tak kalah menggelitik dari berbagai macam sesi acara yang menghibur pada malam itu. Bahkan Nasiruddin Umar mengatakan bahwa Gusdur tidak wafat, bagaimana bisa?

Gus Dur memang ketika di depan publik banyak bicara tentang pemikiran, sosiologi, antropologi, dunia internasional, termasuk sepakbola. Akan tetapi ada bahasa larut malam Gus Dur yakni bahasa tasawuf. Begitu kata Nasiruddin Umar.

Nasaruddin sendiri mengaku pernah diminta Gus Dur untuk membaca tuntas karya Hassan Hanafi yang banyak membahas tentang filsafat, serta masterpiece karya Ibnu ‘Arabi yang ternyata juga menjadi kesayangan Gus Dur, seperti kitab Futuhat al-Makkiyyah dan Fushush al-Hikam.

Baca juga: Dosen di Korea pun Bertafsir, Kyai Mustain: Ada Dua Model Orang Menafsirkan Al-Quran

Itulah mengapa Gus Dur lebih suka memahami Alquran dengan gaya sufistik, dari perspektif esoterisnya, dengan menyibak isyarat (isyari) yang terkandung dalam sebuah ayat. Dalam hal ini, Nasaruddin Umar memisalkan Surat Ali-Imran [3] : 169.

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

Dalam terjemahan Kementerian Agama, “janganlah kalian mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki”.

Sebab turunnya ayat ini, dominan kitab tafsir mengaitkan pada perang uhud berdasarkan beberapa hadis shahih. Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir Jilid I (1991), menerangkan bahwa mereka menjadi golongan syuhada’ dan akan tetap hidup, ruh mereka bertransmisi pada burung hijau, yang bisa terbang ke surga sesuai kehendaknya.

Ayat ini menjadi menarik ketika ditelisik dengan kacamata esoterik. Begini Nasaruddin Umar menjelaskan : “janganlah kalian mengira mereka yang gugur di jalan Allah, yang menggugurkan kepentingan-kepentingan individu di jalan Allah, yang membunuh nafsunya, egonya, demi di jalan Allah. Itu tidak wafat, bahkan ia tetap hidup.

Kemudian ia mengkontekstualkan dengan perjuangan Gus Dur. “Jika kita melihat sosok Gus Dur yang merupakan sosok figur yang berani menyingkirkan kepentingan subjektivitasnya, berani menanggalkan ego-egonya, berani dan tanpa takut sedikitpun demi di jalan Allah, sesungguhnya orang itu tidak wafat. Berarti sesungguhnya dari ayat ini, Gus Dur itu tidak wafat, bahkan ia masih mendapatkan rizkinya di sini dan di sana.

Bagaimana memaknai ketidakwafatan Gus Dur ini? Kita bisa berangkat dari dua sudut pandang yang keduanya ini melekat pada diri Gus Dur, yakni secara spiritualis dan filosofis. Menurut Nasaruddin Umar sendiri, dunianya Gus Dur itu dunia teosofi, yang masuk akal juga masuk di hati. Maka barangkali dari sini kita bisa merasakan kehadiran Gus Dur dalam kehidupan sehari-hari.

Baca juga: Inilah Ragam Pendapat Ulama tentang Nidzam Al-Quran

Sosok Gusdur dalam Pandangan Spiritual

Dari sudut pandang spiritual, Gus Dur memang tidak wafat. Seperti pemaparan kitab al-Tahrir wa al-Tanwir Juz 4 (Ibnu Asyur, 1984), bahwa mereka para mujahidin itu jasadnya saja yang mati, tapi ruhnya tetap hidup. Yaitu berupa kehidupan yang hakiki dengan tetapnya ruh tanpa sedikitpun mengalami kerusakan.

Begitupun kata Nasaruddin Umar seraya mengutip pendapat Ibnu ‘Arabi. Saat kita menziarahi makam wali lalu membaca Surat Yasin, maka roh wali itu ikut membaca. Kemudian doa yang kita panjatkan kepada Allah juga turut diamini oleh roh wali itu. Maka setiap kita berkunjung ke makam Gus Dur, atau bahkan pada waktu Haul beliau itupun, Gus Dur sebetulnya juga ikut membaca yasin dan tahlil, serta mengamini doa kita.

Sosok Gus Dur dalam Pandangan Filosofis

Lalu yang kedua, masih hidupnya Gus Dur dalam pandangan filosofis. Artinya semangat perjuangannya terus menyala hingga satu dekade lebih ini. Sejalan dengan penafsiran Sayyid Qutb (1991), bahwa kehidupan adalah kesinambungan, berkembang dan terdapat gerakan aktif. Maka siapa yang gugur dalam berjuang, namanya akan terus dikenang dan api semangatnya akan terus berkobar.

Hal ini persis pula yang dikatakan Anita Wahid, puteri ketiga Gus Dur, saat sambutan mewakili keluarga besar Ciganjur. “Agak aneh jika kita bilang mau mengingat Gus Dur, karena sesungguhnya ia tak pernah pergi dari ingatan kita dan tak pernah beranjak dari hati kita.

Setiap kali kita melihat ketidakadilan terjadi di bumi Indonesia, kita teringat Gus Dur. Setiap kita melihat penindasan dilakukan kepada anak bangsa, kita teringat Gus Dur. Setiap melihat pembungkaman terhadap kelompok rentan, lagi-lagi kita teringat Gus Dur ….

Karena ialah yang paling terdepan membela yang tertindas, membela hak-hak warga yang terampas, dan melindungi mereka yang terhempas. Karena ia juga yang selalu menggaungkan cinta, keasihan, toleransi, penghormatan di atas perbedaan, kesatuan, dan persaudaraan ….

Gus Dur pula yang meneladankan harapan itu selalu ada walaupun jauh sekali untuk digapai, kalau tidak sekarang mungkin anak cucu kita yang merasakannya nanti. Itu sebabnya beliau sangat sulit lepas dari ingatan kita ….”.

Hingga hari ini, di awal tahun 2021 ini, Gus Dur tetaplah hidup di dalam hati, pikiran, dan tindakan kita secara individu maupun kolektif. Lantas seberapa besar gelora perjuangan beliau yang bisa kita rasakan? Maka seberapa besar kemauan, untuk menggugurkan kepentingan pribadi dan golongan, demi kemaslahatan banyak orang.

Baca juga: Haul Gus Dur: Penafsiran Kontekstual Terhadap Surat Al-Nisa Ayat 34

Seperti mendahulukan kepentingan para petani, yang bergantung pada ekosistem air di kawasan hutan dan pegunungan, dari pada melayani oligarki tambang dan perkebunan yang seringkali menimbulkan bencana musiman.

Kemudian juga, seberapa besar kemauan untuk membunuh nafsu yang menggebu-nggebu dalam mengakumulasi laba, memonopoli pasar, dan menjerat hutang terhadap kaum lemah. Yang justru kian mengkonsentrasikan kekayaan pada segelintir orang (oligarki), bersamaan dengan semakin merebaknya kemiskinan pada banyak orang.

Kesemuanya ini adalah demi perjuangan di jalan Allah (fi sabilillah), Tuhan Yang Maha Melindungi segenap alam raya beserta penghuninya. Apalagi dalam Alquran terdapat seruan kepada manusia untuk senantiasa berbuat adil, karena keadilan sendiri sangat dekat dengan ketakwaan kita. Wallahu a’lam[]

Dosen di Korea pun Bertafsir, Kyai Mustain: Ada Dua Model Orang Menafsirkan Al-Quran

0
dua model menafsirkan Al-Quran menurut Kyai Mustain
dua model menafsirkan Al-Quran menurut Kyai Mustain

Al-Quran adalah petunjuk bagi semua manusia (hudan linnas), tidak heran jika semua orang menjadikan Al-Quran sebagai rujukan dan muara dari setiap sisi kehidupannya. Mulai dari orang awam kebanyakan, agamawan hingga para ilmuwan, semuanya ‘ber-Al-Quran’. Apakah ini menandakan bahwa semua orang dengan segala kegiatannya itu berarti menafsirkan Al-Quran? Melihat fenomena ini, Kyai Mustain Syafii mengatakan bahwa ada dua model orang menafsirkan Al-Quran.

Pada suatu kesempatan, ketika mengisi Serial Diskusi Tafsir dengan tema Tafsir Aktual Kemasyarakatan di Media Massa, Kyai Tain, begitu sapaan akrabnya menyampaikan bahwa setiap orang itu punya porsi yang berbeda-beda dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran, sesuai dengan kadar kemampuannya. Demikian berarti bahwa setiap orang sebenarnya boleh memahami dan menafsirkan Al-Quran, hanya perlu diingat, menafsirkannya sesuai dengan kadar kemampuannya.

Tingkat kemampuan dan keilmuan seseorang ini yang juga menyebabkan hasil penafsiran itu beraneka ragam. Latar belakang keilmuan yang dimiliki seseorang akan secara alami mengarahkan kecenderungan dia dalam membaca dan memahami Al-Quran. Hal ini Sebagaimana disampaikan oleh Adz-Dzahabi dalam At-Tafsir wa Al-Mufassirun bahwa kecenderungan bahasan dan keilmuan mufasir dapat melahirkan corak tafsir yang beragam, misal tafsir fiqhi, ilmi, lughawi dan seterusnya.

Kyai Tain kemudian menceritakan pengalamannya ketika di Korea. Saat itu ada seorang Dosen di Korea memberi tugas kepada mahasiswanya untuk mencari ayat Al-Quran yang membicarakan tentang kulit. Di hari berikutnya, ada satu mahasiswa perempuan yang memberitahu bahwa Al-Quran tidak membicarakan tentang kulit, kecuali konteksnya di akhirat, yaitu ketika seseorang disiksa di neraka dan kulitnya hangus kemudian diganti dengan kulit yang lain.

Baca Juga: Tafsiralquran.id bersama CRIS Sukses Menggelar Webinar Bertajuk Tafsir Al-Quran Aktual Kemasyarakatan di Media Massa

Keterangan ini ada dalam surat An-Nisa’ ayat 56,

 اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِنَا سَوْفَ نُصْلِيْهِمْ نَارًاۗ كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُوْدُهُمْ بَدَّلْنٰهُمْ جُلُوْدًا غَيْرَهَا لِيَذُوْقُوا الْعَذَابَۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَزِيْزًا حَكِيْمًا

“Sungguh, orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti dengan kulit yang lain, agar mereka merasakan azab. Sungguh, Allah Maha-perkasa, Maha bijaksana.”

Mendengar ayat ini, sang dosen langsung kaget bahagia karena telah menemukan sesuatu yang lama dicarinya. Bagi dosen tadi, ayat tersebut memberi informasi kepadanya bahwa kulit itu mempunyai peremajaan sel. Sebagai ilmuwan yang fokus mengkaji kulit, informasi dari mahasiswa tersebut sangat berharga untuk pengembangan keilmuannya.

Pertanyaannya kemudian, apakah dosen tersebut menafsirkan Al-Quran? bukankah ia seorang dosen di bidang kulit yang notabene tidak menguasai keilmuan Al-Quran dan tafsir? lalu di mana posisinya, dan sebagai apa?

Baca Juga: Pionir Penulis Tafsir Tahlili di Media Massa, Bernama KH A. Musta’in Syafi’i

Dua Model Orang Menafsirkan Al-Quran: ihtida’ dan talwin

Menjawab pertanyaan di atas, kyai Mustain menerangkan bahwa ada dua model orang menafsirkan Al-Quran. Pertama yaitu ihtida’ dan yang kedua adalah talwin.

Ihtida’ berasal dari kata ihtada (mendapatkan petunjuk). Model menafsirkan Al-Quran yang pertama ini yaitu model seorang mufasir yang dalam keadaan kosong, lalu masuk ke dalam ruangan Al-Quran, membaca Al-Quran sesuai yang ia bisa, lalu di dalam Al-Quran itu ia menemukan sesuatu, menemukan ilmu, ia ambil, ia operasikan. Begitulah proses penggalian Al-Quran dengan model pembacaan ihtida’.

Pada model ini, seseorang membaca Al-Quran tanpa membawa suatu ilmu apapun, dan setelah membaca Al-Quran ia mendapatkan petunjuk.

Satu lagi model orang menafsirkan Al-Quran adalah talwin, berasal dari kata lawwana yang berarti mewarnai, membenarkan. Model bertafsir seperti ini yaitu ketika seseorang sudah mempunyai ilmu pengetahuan, apapun itu, bisa ilmu sosial, teknik, ekonomi, sains, politik atau ilmu-ilmu yang lain, tapi ia ingin mencari kelengkapan, kesempurnaan, juga ingin mencari inspirasi yang mendukung ilmunya tersebut dalam Al-Quran. Kemudian ayat itu diambil sebagai pembenaran atas keilmuannya.

Untuk model yang kedua ini, tampaknya tepat sekali jika dikaitkan dengan keadaan dan posisi dosen di Korea tadi. Baik ihtida’ maupun talwin dua-duanya merupakan bentuk interaksi manusia dengan Al-Quran. Dan seperti yang disampaikan di awal, interaksi dari keduanya disesuaikan dengan kadar keilmuannya masing-masing.

Tawaran dari kyai Mustain tentang dua model orang menafsirkan Al-Quran memberikan varian baru tentang model penafsiran. Namun demikian, perlu dikroscek lagi, apakah membaca terlebih menafsirkan Al-Quran itu cukup berbekal keilmuan (di luar Ilmu Al-Quran dan tafsir)? apalagi dalam model ihtida’, bisakah ia mendapatkan petunjuk dari Al-Quran dengan tangan kosong?

Baca Juga: Kenapa Hasil Penafsiran itu Berbeda-beda? Ini Salah Satu Alasannya

Syarat-syarat mufasir sebagai indikator kualitas penafsiran

Membahas tentang syarat dan bekal seseorang yang akan tampil menafsirkan Al-Quran mengingatkan kita pada pesan As-Suyuthi dalam Al-Itqan fi Ulumil Quran. Ada 15 ilmu yang harus dikuasai oleh orang yang akan menafsirkan Al-Quran. yaitu ilmu Bahasa Arab, ilmu Nahwu, ilmu Sharaf, ilmu tentang isytiqaq (akar kata), ilmu ma’ani, ilmu Al-Bayan, ilmu Al-Badi’, ilmu Al-Qiraat, ilmu Ushul ad-Din, ilmu Ushul Fiqh, Asbab an-Nuzul, Nasikh Mansukh, Fiqih/Hukum Islam, Hadis-Hadis Nabi, Ilmu Al-Mawhibah (shihhat al-‘aqidah atau lusrusnya akidah).

Sebab dinilai ‘sangat menakutkan’ dan menjadi ‘penyebab’ stagnasi perkembangan penafsiran, syarat-syarat di atas diulas lagi oleh Quraish Shihab dalam Kaidah Tafsir. Pertama, bekal dan syarat ini menurut Quraish Shihab ditujukan untuk orang yang akan tampil mengemukakan pendapat baru berdasar analisisnya sendiri, bukan yang hanya mengulang dan mengutip pendapat mufasir yang lain.

Kedua, Syarat As-Suyuthi di atas berlaku bagi mereka yang akan menafsirkan keseluruhan ayat Al-Quran, bukan seseorang yang mau membahas ayat-ayat tema tertentu saja. Ketiga, Quraish Shihab merevisi kalimat shihhat al-‘aqidah (lurusnya akidah) dengan objektivitas, karena syarat ini tidak mengakomodir penafsiran saudara non-muslim.

Keempat, As-Suyuthi tidak mempersayaratkan keilmuan lain di luar ilmu-ilmu yang 15, padahal objek uraian ayat Al-Quran beragam, ada kalanya tentang ekonomi, sejarah, sains dan seterusnya. Maka menurut Quraish Shihab perlu tambahan syarat, yaitu mempunyai pengetahuan tentang objek uraian ayat.

Baca Juga: Kaidah Tafsir: Pengertian dan Hakikatnya dalam Memahami Al-Quran

Selain sebagai syarat yang berarti harus dipenuhi sebelum menafsirkan Al-Quran, penguasaan dan pemenuhan terhadap beberapa ilmu di atas (termasuk ilmu tambahan di luar keilmuan Al-Quran dan tafsir) juga menjadi indikator kualitas hasil dari penafsiran seseorang. Semakin ia menguasai ilmu-ilmu tersebut, maka penafsiran yang dihasilkan juga semakin valid. Demikian pula sebaliknya.

Model orang menafsirkan Al-Quran yang dibahas sebelumnya, tentu erat kaitannya dengan syarat-syarat mufasir tersebut, terlebih jika melihat dan mencoba menganalisis hasil penafsirannya. Dengan kata lain, siapa pun boleh menafsirkan Al-Quran, baik itu bermodel ihtida’ maupun talwin, namun tetap harus sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Wallahu A’lam

Inilah Ragam Pendapat Ulama tentang Nidzam Al-Quran

0
nidzam al quran
nidzam al quran

Nidzam (نظام) sebagai bagian dari kajian munasabah Al-Quran menempati posisi yang signifikan dalam ulum Al-Quran. Sebagaimana disampaikan Mustansir Mir dalam sebuah penelitiannya menguraikan gagasan nidzam (نظام) dengan memberikan pengklasifikasian mufassir sebagai berikut, yaitu Ibn Jarir at-Thabari, ar-Razi, al-Biqa’i, al-Farahi dan al-Islahi.

Sekilas Nidzam Al-Quran

Term nadzm mempunyai arti susunan, tertib atau urut, dan memilah sesuatu. Munazam (منظم) diibaratkan dengan benang yang menarik dan menyusun manik-manik secara berdampingan. Kemudian nidzam (نظام) diibaratkan dengan benang yang mengikat secara bersama-sama benang manik dan gelang, sedangkan bentuk jamaknya yaitu nuzum (Jannat Taftahi dkk dalam Quranic Science from Abdul Hamid Farahi’s Perspective).

Istilah nidzam sendiri lebih dekat dengan pembahasan gramatikal bahasa Arab. Maka kata nizam lebih tepat untuk mengistilahkan keteraturan surat Al-Quran. Pendek kata, nidzam merupakan kata dasar, munadzam adalah sesuatu yang menarik keteraturan surat, sedangkan nidzam (نظام) yaitu ikatan dari beberapa ayat yang bahkan berbeda sehingga membentuk suatu keteraturan atau susunan.

Ragam Pendapat Ulama

Pertama, at-Thabari sebagaimana disinggung Mir bahwa ia tidak terartik untuk menemukan nidzam Al-Quran sebagai suatu koherensi dalam teks Al-Quran sekalipun terkadang at-Thabari sesekali berusaha mengaitkan antar ayat satu dengan ayat yang lain. Namun hal ini bukan dalam rangka membuktikan keberadaan nizam (نظام).

Selain at-Thabari tidak tertarik untuk menemukan nizam, alasan kedua yaitu keterkaitan yang ia buat untuk membangun di antara ayat-ayat tersebut hampir tidak memiliki subtansi kedua, yaitu al-Razi dalam pandangan Mir terkait nizam (نظام).

Kedua, Ar-Razi. Mufasir berikutnya yang barangkali berusaha mensistematisir keberadaan nidzam Al-Quran ialah Ar-Razi. Bahkan Ar-Razi secara eksplisit menegaskan bahwa sebagian besar seluk beluk dalam Al-Quran tersimpan rapi dalam keterkaitan dan hubungan antar ayat.

Baca juga: Mufasir Kontemporer Asal India: Hamiduddin Farahi

Terkait hal ini, ada tiga pandangan al-Razi terhadap nizam (نظام), (1) nizam Al-Quran pada dasarnya hubungan linier yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa ayat-ayat tersebut ditandai oleh sebuah kesinambungan atau inheren. (2) nizam adalah penentu interpretasi, (3) basis pendekatan nizam yang dilakukan ar-Razi adalah berbasis ayat, sekalipun dalam suatu permasalahan tertentu ia mencoba membangun sebuah relasi nizam antara surat.

Ketiga, al-Biqa’i. Menurut hemat penulis, al-Biqa’i pun berupaya untuk membangun keberadaan nizam. Dalam menafsirkan Al-Quran, al-Biqa’i terlebih dahulu mengidentifikasi gharad surat, sebagai cara untuk menemukan nizam. Menurut Mir, al-Biqai mempunyai cara-cara yang unik ketika membangun sebuah nizam adalah dengan merujuk pada sifat-sifat linguistik karakter alfabet Arab.

Yang keempat adalah al-Farahi dan al-Islahi, seorang cendekiawan muslim asal India. Al-Farahi mengutarakan serangkaian prinsip tentang nizam (نظام) dan mengutarakan tentang sejumlah surat. Prinsip ini kemudian dikembangkan oleh al-Islahi yang diterapkan pada karyanya yakni Tadabburi Quran dalam bahasa Urdu.

Mir menjelaskan bahwa al-Farahi adalah mufassir pertama yang menawarkan argumen secara teoritis dan terperinci untuk mendukung pandangan bahwa Al-Quran ditandai oleh nizam yang sistematis dan struktural. Al-Farahi merupakan salah satu mufassir yang menggunakan kerangka berpikir kestrukturan (nizam) dengan orientasi tema sentral surat.

Ciri khas yang dimiliki dalam tafsirnya adalah penggunaan istilah ‘amud, untuk mendeskripsikan keberadaan tema sentral dalam satu surat. Pada setiap surat, menurut al-Farahi, mempunyai tema pengontrol yang berbeda, yang disebut dengan ‘amud (Mustansir Mir dalam Coherence in The Qur’an; A Study of Islahi’s Concept of Nazm in Tadabbur-i Qur’an)

‘Amud merupakan pusat dari surat, maka semua surat akan berada atau berputar di sekitarnya. Sehingga, yang menjadi orientasi al-Farahi adalah menemukan ‘amud surat. Jadi ringkasnya adalah ‘amud merupakan tema hermeneutik yang signifikan, ditandai dengan sentralitas, konkret, perbedaan dan universal.

Baca juga: Pengkaji Al-Quran Kontemporer: Khaled Abou El-Fadl, Pencetus Teori Hermeneutika Otoritatif

Kesimpulan

Al-Farahi dalam Dalail al-Nizam menuturkan bahwa keberadaan teori nizam (نظام) sangat penting bagi seorang ulama, karena merekalah yang nantinya akan menyampaikan kepada masyarakat pesan Al-Quran. Apabila hal tersebut tidak tersampaikan, dan masyarakat tidak paham serta berbeda-beda dalam pemahamannya terhadap Al-Quran maka hidayah akan sulit didapat.

Prinsip nizam al-Farahi tersebut memunculkan sebuah turunan yang disebut dengan ‘amud. Menurut al-Farahi, ‘amud dapat menyatukan seluruh surat menjadi satu kesatuan, yang kemudian ia kembangkan secara logis. Sehingga metodologi yang dilakukan oleh al-Farahi menghasilkan sebuah tafsir yang lengkap (Mustansir Mir dalam Continuity, Context, and Coherence in The Qur’an: a Brief Review of The Idea of Nadm in Tafsir Literature).

Ini adalah gagasan utama yang kemudian diteruskan oleh al-Islahi, muridnya. Lebih lanjut al-Farahi menjelaskan bahwa jika nizam (نظام) sudah didapat, maka keindahan serta hikmah dari surat akan nampak. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Yasin Ayat 37: Siang dan Malam Sebagai Tanda Kekuasaan Allah Swt

0
Yasin Ayat 37
Yasin Ayat 37

Pada artikel sebelumnya telah berbicara mengenai tanda-tanda kekuasaan Allah swt. Salah satunya adalah Allah berkuasa menghidupkan tanah yang mati dengan menumbuhkan aneka macam tumbuhan. Selain itu Allah swt juga berkuasa menjadikan seluruh makhluknya berpasang-pasangan tanpa terkecuali. Selaras dengan hal itu, pada artikel kali ini akan membahas juga mengenai kekuasaan Allah swt yang lainnya, yaitu adanya siang dan malam.

Siang dan malam merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah lainnnya. Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa dengan adanya siang dan malam (gelap dan terang) manusia bisa mengambil manfaat dari keduanya. Untuk lebih jelasnya mari kita tadabburi bersama surah Yasin ayat 37 berikut:

وَاٰيَةٌ لَّهُمُ الَّيْلُ ۖنَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَاِذَا هُمْ مُّظْلِمُوْنَۙ

“Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari (malam) itu, maka seketika itu mereka (berada dalam) kegelapan,”

Beberapa literatur berbeda-beda dalam memfokuskan penjelasan surat Yasin ayat 37 ini. Khususnya terkait dengan padanan ayat dalam surah yang lain. Ibnu Jarir al-Tabari, sebagaimana juga dikutip oleh Suyuti dan Ibnu Katsir, mengatkan bahwa menurut Qatadah ayat 37 ini senada dengan ayat enam dalam surat al-Hadid, yakni:

يُوْلِجُ الَّيْلَ فِى النَّهَارِ وَيُوْلِجُ النَّهَارَ فِى الَّيْلِۗ وَهُوَ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ

“Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati.”

Makna ungkapan Naslakhu minhu al-Nahar (نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ) sama halnya dengan kata yuliju al-lail fi al-Nahar (يُوْلِجُ الَّيْلَ فِى النَّهَارِ). Secara tidak langsung, Qatadah memaknai kata naslakhu (نَسْلَخُ) dengan kata yuliju (يُوْلِجُ) yang berarti memasukkan malam kepada siang.

Baca Juga: Mengenal Jami’ al-Bayan, Pelopor Tafsir Al-Quran Dalam Islam Karya Ibnu Jarir At-Thabari

Wahbah Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir mengatakan bahwa ayat 37 ini semisal dengan ayat 54 dalam surat al-‘Araf, yaitu:

…يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهٗ حَثِيْثًا الأية

“…Dia menutupkan malam dengan kegelapannya kepada siang yang mengikutinya dengan cepat…”

Wahbah Zuhaili mengambil kesimpulan dari kalimat Naslakhu minhu al-Nahar (نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ) sebagai pergantian terus menerus antara malam dan siang dengan menghilangnya cahaya siang berganti malam dan begitupun sebaliknya datangnya cahaya (siang) menggantikan malam.

Sedangkan Ibnu ‘Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir mengatakan bahwa ayat 37 surat Yasin ini semisal dengan ayat 54 dalam surat al-‘Araf, yaitu:

… يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَۗ الأية

“…Dia menutupkan malam kepada siang….”.

Menurut Ibnu ‘Asyur ungakapan Naslakhu minhu al-Nahar (نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ) seakan-akan bermakna terkelupasnya siang sehingga tampaklah kegelapan (malam hari), sebagaimana terkelupaskan kulit hewan dari jasadnya sehingga menyisakan daging dan tulang. Hal ini terjadi karena kata salakha (سلخ) pada umumnya dipakai untuk mendeskripsikan pergantian kulit atau proses pengelupasan kulit hewan. Hal ini senada juga disampaikan oleh al-Zamakhsyari.

Siang diibaratkan dengan kulit hewan dan malam diibaratkan dengan daging dan tulang pada hewan. Hal senada juga diungkapkan oleh Quraish Shihab dalam Al Misbah yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan menguliti hewan adalah mengeluarkan kulitnya dari jasadnya. Dengan ini bisa disimpulkan bahwa kegelapan (malam) mendahului siang. Hal tersebut juga diamini oleh Ali al-Sabuni dalam Safwah al-Tafasir.

Namun Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa ayat tersebut tidak serta merta menyatakan bahwa kegelapan merupakan asal dari segala sesuatu. Hal itu hanya ungkapan yang dipilih al-Qur’an agar sesuai dengan penglihatan manusia secara lahir. Faktanya memang sumber cahaya dari bumi adalah matahari dan matahari terpisah dari bumi. Maka di luar matahari dan bumi adalah kegelapan. Itulah yang dimaksud dengan kegelapan mendahului cahaya.

Baca Juga: Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur dan Empat Prinsip Penafsirannya

Terlepas dari perbedaan-perbedaan di atas, mayoritas mufassir sepakat bahwa tujuan Allah dalam ayat 37 ini untuk menunjukkan salah satu bentuk kekuasaan Allah swt. Izzat Darwazah dalam al-Tafsir al-Hadist mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan kasih sayang Allah swt kepada makhluknya serta sebagai sarana agar manusia selalu bersyukur atas nikmat dan karunia Allah swt selama ini.

Tanpa adanya siang dan malam mustahil manusia bisa bertahan sampai detik ini. Menurut Wahbab Zuhaili dalam pergatian siang dan malam terdapat manfaat dan kebaikan seluruh makhluknya, khususnya manusia. Ia bisa beristirahat dan menenangkan diri dari rutinitas kerja seharian pada malam hari dan ketika fajar meyingsing ia siap memulai hari baru dengan ribuan nikmat, kebahagiaan dan rizqi yang telah Allah sediakan.

Sekian penjelasan tafsir surah Yasin ayat 37 ini. Nantikan penjelan dalam artikel-artikel berikutnya. Wallhu A’lam []

Termasuk Ajaran Islam, Ini Dalil Tawasul dalam Al-Quran

0
Dalil tawasul dalam Al-Quran
Dalil tawasul dalam Al-Quran

Memohon sesuatu melalui perantara orang saleh; Nabi, wali, dan semisalnya, atau yang biasa disebut dengan tawasul, merupakan bagian dari ajaran Islam. Beberapa dalil membuktikannya. Seperti firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 64 dan Al-Maidah ayat 35, dua-duanya menjadi bagian dari dalil tawasul dalam Al-Quran.

Surat Al-Maidah ayat 35, perintah tawasul

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱبۡتَغُوٓاْ إِلَيۡهِ ٱلۡوَسِيلَةَ وَجَٰهِدُواْ فِي سَبِيلِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung.

Ayat tersebut memerintahkan kepada orang beriman untuk bertakwa kepada Allah dan tawasul. Takwa seperti yang disebut Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’anul ‘Adzim, bermakna melakukan kebajikan dan menjauhi larangan. Sementara tawasul, diartikan sesuatu yang digunakan sebagai perantara untuk mencapai tujuan. Sependapat dengan Ibnu Katsir, Ibnu ‘Asyur dalam at-Tahrir wat-Tanwir berpendapat bahwa perintah tawasul pada ayat itu bermakna mencari perantara yang mempermudah seseorang untuk mendapat rida Allah.

Baca juga: Maksud Larangan Berlebihan Memuji Rasulullah SAW, Tafsir Surah an-Nisa 49

Lalu, bolehkah tawasul melaui seseorang? atau perbuatan saja?

Menurut az-Zahawi dalam Fajr as-Shadiq, sebagaimana Ibnu ‘Abbas, tawasul boleh-boleh saja melalui seseorang atu perbuatan. Pendapat ini memang mendapat kritik dari sebagian kalangan yang kontra tawasul. Karena menurut mereka, bila tawasul boleh melalui seseorang atau benda maka, sama saja dengan tradisi kaum musyrik zaman Jahiliyyah yang menjadikan berhala sebagai sesembahan untuk maksud mendekatkan diri kepada Allah. Mereka mendukung argumennya dengan Surat az-Zumar ayat 3 dan az-Zukhrif ayat 87.

Tetapi, sebenarnya tindakan musyrikin dengan tawasul yang dilakukan umat Islam sangat berbeda. Mengutip az-Zahawi, setidaknya ada empat hal yang menjadi pembeda.

Pertama, kaum musyrikin menyembah berhala dan menjadikannya sebagai Tuhan mereka, sedangkan umat Islam tidak berkeyakinan kalau Nabi dan wali sebagai Tuhan, karena hanya ada Allah yang patut diajadikan Tuhan.

Kedua, kaum musyrikin meyakini bahwa berhala berhak untuk disembah, sedangkan umat Islam hanya meyakini Allah sebagai sesembahan yang berhak disembah.

Ketiga, kaum musyrikin menyembah berhala dengan riil, sedangkan umat Islam sama sekali tidak berniat menyembah Nabi dan wali saat tawasul.

Baca juga: Menyoal Pemaknaan Wali Menurut Al-Quran

Keempat, redaksi li yuqarribuna ilallahi zulfa pada surat az-Zumar ayat 3, mengindikasikan bahwa taqarrub yang diharap oleh orang musyrik adalah taqarrub secara hakiki. Artinya, orang musyrik menganggap Allah itu berjisim di langit, untuk mencapai kedekatan denganNya mereka menggunakan berhala-berhala sebagai mediator. Sementara tawasul yang dilakukan oleh umat Islam sama sekali tidak berlandaskan pada paham tajassum (menganggap Allah berbentuk).

Surat An-Nisa ayat 64, tawasul kepada Nabi Saw

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ وَلَوۡ أَنَّهُمۡ إِذ ظَّلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ جَآءُوكَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ ٱللَّهَ وَٱسۡتَغۡفَرَ لَهُمُ ٱلرَّسُولُ لَوَجَدُواْ ٱللَّهَ تَوَّابٗا رَّحِيمٗا

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzhalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang

Memang tidak ada hadis yang secara pasti menjadi latar turunnya ayat ini. Tetapi, ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa ayat tersebut mengandung tuntunan untuk bertawasul kepada Nabi SAW. Misalnya, atsar yang dikutip Al-Qurthubi dalam Tafsir al-Qurthubi. Atsar ini riwayat Ali ra. Kurang lebih begini isinya.

Suatu ketika, 3 hari sepeninggal Nabi SAW, ada seorang Badui yang berziarah ke makam Nabi SAW. Badui itu berkata:

قلت يا رسول الله فسمعنا قولك ووعيت عن الله فوعينا عنك

Engkau telah sabdakan kepada Kami, wahai Rasulullah, dan kami mendengarnya. Engkau telah mendapat penjelasan dari Allah pula, kami pun mendapatkannya darimu.

Yang dimaksud si Badui itu ialah Surat An-Nisa ayat 64. Kemudian, dia membaca ayat itu. Dan mengakui kezalimannya serta mengutarakan tujuannya berziarah untuk memohon agar Nabi memintakan ampun kepada Allah untuknya.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Anbiya’ Ayat 105: Manusia Sebagai Khalifah fil Ardh dan Makna Saleh Total

Lalu, apa yang terjadi kemudian?

Benar saja, tiba-tiba terdengar suara bahwa Badui itu telah diampuni.

Dalam al-Hikayah karya Nashiruddin bin Shabbagh, terdapat pula kisah tentang pengalaman tawasul kepada Nabi yang diriwayatkan oleh al-‘Utba.

Alkisah, datanglah seorang non-Arab saat al-Utba duduk di pelataran makam Nabi. Non-Arab itu kemudian salam kepada Nabi seraya melantunkan Surat An-Nisa ayat 64. Ia lalu mengutarakan maksudnya untuk meminta syafaat dan ampunan Allah melalui perantara Nabi.

Seusai si non-Arab itu pergi, al-Utba pun tertidur. Ia mempimpikan Nabi, yang bersabda bahwa Allah telah mengampuni dosa non-Arab tersebut.

Hadis perintah tawasul kepada Nabi

Selain, dari Al-Quran, dalil tawasul kepada Nabi juga ada dalam hadis, seperti hadis riwayat Jabir bin ‘Abdullah yang ditakhrij Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من قال حين يسمع النداء اللهم رب هذه الدعوة التامة والصلاة القائمة آت سيدنا محمدا الوسيلة والفضيلة وابعثه مقاما محمودا الذي وعته إلا حلت له الشاعة يوم القيامة

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa berdoa ketika adzan “Wahai Allah, Tuhan pemilik panggilan yang sempurna, dan salat yang akan didirikan, berikanlah junjungan kita (Nabi Muhammad) sebagai perantara dan keagungan. Dan mohon bangkitkan ia pada tempat terpuji yang telah engkau janjikan”, maka syafaat akan terbuka untuknya di hari kiamat”

Baca juga: Tafsir Surat Yunus Ayat 62: Tak Ada Rasa Takut dan Sedih bagi Wali Allah

Hadis itu menjadi dalil sarih untuk tawasul. Nabi jelas memerintahkan kepada muslimin sekalian untuk berdoa agar ia dapat menjadi wasilah (lantaran) kepada Allah.

Terlepas dari berbagai dalil, tawasul kepada Nabi dan orang-orang saleh tidak pas disebut sebagai tindakan menyimpang, bahkan kekufuran, Karena tawasul substansinya baik,  menjadikan orang-orang yang saleh itu sebagai perantara hamba kepada Tuhannya. Dan hal ini sesuai dengan akal sehat. Lha wong, belajar saja butuh guru dan buku agar dapat paham. Berdoa pun juga begitu. Terkadang kita juga butuh menjadikan orang lain yang kita anggap lebih baik dari kita, untuk mendoakan keinginan-keinginan kita agar kita dapat keridaan Allah. Wallahu a’lam[]