Beranda blog Halaman 418

Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 1-5

0
tafsir surah an naba'
Tafsiralquran.id

Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 1-5 termasuk dalam golongan surah-surah makiyah. Secara keseluruhan ayatnya berjumlah 40. Surat ini turun untuk membantah spekualsi-spekulasi orang-orang musyrik Mekah yang kala itu bertanya-tanya mengenai pribadi Nabi Muhammad saw yang dianggap seorang penyihir dan juga Alquran yang dianggap sebagai syair atau mantra-mantra.

Ayat 1-5

Orang-orang musyrik Mekah ketika berkumpul di tempat pertemuan mereka yang berada di dekat Baitullah, sering membicarakan keadaan Nabi Muhammad dan Kitab Alquran yang dibawanya. Mereka sering bertanya satu sama lain bahwa apakah Muhammad itu seorang tukang sihir, penyair, atau seorang dukun tukang tenung yang terkena pengaruh buruk oleh berhala-berhala mereka?

Mereka juga bertanya-tanya apakah Alquran itu sihir, syair, atau mantra-mantra saja? Masing-masing mengemukakan pendapat sesuai dengan hawa nafsu dan angan-angan mereka, sedangkan Nabi Muhammad sendiri dengan sikap yang tenang menyampaikan seruannya berdasarkan ayat-ayat Alquran yang memberi sinar penerangan kepada manusia menuju jalan kebenaran dan petunjuk yang lurus.

Selain itu mereka sering bercakap-cakap tentang hari kebangkitan sehingga sering menimbulkan perdebatan, sebab di antara mereka ada yang mengingkarinya dan beranggapan bahwa setelah mati habislah urusan mereka. Tidak ada lagi kebangkitan setelah mati. Mereka berpendapat bahwa manusia itu lahir ke dunia lalu ia mati dan ditelan bumi karena tidak ada yang membinasakan mereka kecuali masa atau waktu saja.

Di sisi lain, ada pula di antara mereka yang berpendapat bahwa yang dibangkitkan itu hanya arwah saja dan bukan jasad yang telah habis dimakan bumi. Ada pula di antara mereka yang menjumpai salah seorang sahabat Nabi dan menanyakan tentang hal itu dengan sikap mencemoohkan.

Sehubungan dengan sikap mereka yang demikian itu, surah ini turun untuk menolak keingkaran mereka, dan mengemukakan argumen yang nyata bahwa Allah benar-benar Mahakuasa membangkitkan mereka kembali setelah mati, walaupun mereka telah menjadi tanah, dimakan binatang buas, ditelan ikan di laut, terbakar api dan diterbangkan angin, atau sebab lainnya.


Baca juga: Uraian Lengkap Soal Terjemah Al-Quran dan Perbedaannya dengan Tafsir


Dalam ayat ini, Allah mencela perselisihan orang-orang kafir Mekah mengenai hari kebangkitan dengan mengatakan, “Tentang apakah orang-orang musyrik di kalangan penduduk Mekah itu saling bertanya-tanya?”

Allah menjawab pertanyaan mereka itu dengan firman-Nya. Yang dimaksud dengan berita yang sangat besar dalam ayat ini ialah berita tentang hari Kiamat. Disebut berita yang sangat besar karena hari Kiamat itu amat besar huru-haranya sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمْۚ اِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيْمٌ   ١

يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّآ اَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكٰرٰى وَمَا هُمْ بِسُكٰرٰى وَلٰكِنَّ عَذَابَ اللّٰهِ شَدِيْدٌ   ٢

Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu; sungguh, guncangan (hari) Kiamat itu adalah suatu (kejadian) yang sangat besar.

(Ingatlah) pada hari ketika kamu melihatnya (guncangan itu), semua perempuan yang menyusui anaknya akan lalai terhadap anak yang disusuinya, dan setiap perempuan yang hamil akan keguguran kandungannya, dan kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, tetapi azab Allah itu sangat keras. (al-Hajj/22: 1-2)

Meskipun begitu, orang-orang musyrik masih meragukan bahkan banyak yang tidak percaya, sebagaimana diterangkan Allah dalam firman-Nya:

اِنْ هِيَ اِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوْتُ وَنَحْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوْثِيْنَ ۖ   ٣٧

(Kehidupan itu) tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, (di sanalah) kita mati dan hidup dan tidak akan dibangkitkan (lagi). (al-Mu’minµn/23: 37);Firman Allah:

مَّا نَدْرِيْ مَا السَّاعَةُۙ اِنْ نَّظُنُّ اِلَّا ظَنًّا وَّمَا نَحْنُ بِمُسْتَيْقِنِيْنَ   ٣٢

Kami tidak tahu apakah hari Kiamat itu, kami hanyalah menduga-duga saja, dan kami tidak yakin. (al-Jasiyah/45: 32)

Adapun hikmah Ilahi menyampaikan persoalan ini dalam bentuk pertanyaan dan jawaban adalah agar lebih mendekatkan kepada pengertian dan penjelasan, seperti tercantum dalam firman Allah:

لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ ۗ لِلّٰهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ

(Lalu Allah berfirman), “Milik siapakah kerajaan pada hari ini?” Milik Allah Yang Maha Esa, Maha Mengalahkan. (Gafir/40: 16)

Kemudian Allah menjawab pertanyaan mereka dengan nada ancaman, “Sekali-kali tidak. Jauh sekali dari kebenaran apa yang mereka anggap itu. Nanti mereka akan mengetahui pada waktu menyaksikan keadaan yang sebenarnya pada hari Kiamat yang selalu mereka ingkari.”

Sebaiknya mereka jangan memperolok-olokkan karena mereka kelak pasti akan mengetahui keadaan yang sebenarnya. Apa-apa yang diragukan itu pasti akan mereka alami. Allah menguatkan firman-Nya itu dengan mengulang pernyataan itu sekali lagi.

Kemudian Allah menerangkan kekuasaan-Nya yang Maha ِِِِAgung dan tanda-tanda rahmat-Nya yang sering dilupakan oleh mereka. Padahal tanda-tanda itu tampak jelas di hadapan mata. Allah mengemukakan sembilan perkara yang dapat mereka saksikan dengan mata sebagai bukti-bukti yang menunjukkan kekuasaan-Nya, seperti disebutkan pada ayat-ayat berikut, yaitu dari ayat 6 sampai ayat 14.


Baca setelahnya: Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 1-5


(Tafsir Kemenag)

Mengulik Pandangan Ibn ‘Arabi Tentang Al-Quran

0
al-quran sebagai penghimpun
pendapat ibn arabi tentang al-quran

Dalam sufistik, kita mengenal salah satu sufi yang masyhur yaitu Ibn ‘Arabi. Wahdatul wujud yang dicetuskannya telah menuai polemik tersendiri dalam tasawuf. Meskipun begitu, tahukah anda bahwa dibalik sosok nyentrik Ibn ‘Arabi menyimpan beberapa pandangannya tentang Al-Quran.

Pandangan Ibn ‘Arabi tentang Al-Quran tidak banyak dibahas dalam studi Al-Quran karena ia memang lebih dikenal sebagai sufi kontemporer ketimbang tokoh tafsir. Namun, pada sisi yang lain, William C. Chittick dalam The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination mengungkapkan bahwa karya-karya Ibn ‘Arabi tidak lain adalah pengejawantahan (baca: tafsir) dari Al-Quran.

Hampir senafas dengan Chittick, Michael Chodkiewicz, salah seorang pengkaji terbaik Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa tidak mungkin memahami karya-karya Ibn ‘Arabi tanpa mengingat Al-Quran yang selalu hadir dalamsegala sesuatu yang ia tulis (Michael Chodkiewicz dalam Some Remarks about the Role of the Quran in Ibn Arabi’s Writings dalam Syeda Sayidain Hameed (ed.), Contemporary Relevance of Sufism)

Pandangan Ibn ‘Arabi tentang Al-Quran

Pergumulan Ibn ‘Arabi tentang Al-Quran bukanlah hal baru. Hampir disetiap karya dan gagasannya senantiasa diselimuti dan diinspirasi oleh worldview (pandangan dunia) Al-Quran. Pendek kata, Ibn ‘Arabi  dalam Futuhat al-Makkiyah bahwa semua yang ia tulis dalam seluruh karyanya adalah tentang Al-Quran.

Lebih jauh, Ibn ‘Arabi juga mengukuhkan logosentrisme (pengetahuan tentang tuhan) dengan mengklaim bahwa pengetahuan yang didapatnya berasal dari fath (pembukaan) atau kasyf (penyingkapan) dari makna Al-Quran. Ibn ‘Arabi dalam Futuhat al-Makkiyah menuturkan,

“Kami tidaklah mengutip perkataan para filosof sedikitpun dan tidak pula perkataan orang lain. Apa yang kami kemukakan dalam kitab ini dan semua kitab kami yang lain adalah apa yang diberikan melalui kasyf dan didikte oleh al-Haqq”.

Baca juga: Uraian Lengkap Soal Terjemah Al-Quran dan Perbedaannya dengan Tafsir

Kendati demikian, Ibn ‘Arabi menyadari bahwa segala apa yang ia tulis hanyalah sedikit dari apa yang telah Allah singkapkan kepadanya. Hal inilah kiranya menurut saya sangat fundamental cum esensial dan penting untuk diketahui sebab acapkali dilupakan dalam studi terhadap Ibn ‘Arabi. Fakta yang terlupakan itulah yang kemudian mengantarkan Chittick dengan mengasumsikan bahwa al-Futuhat al-Makkiyah, dan karya Ibn ‘Arabi yang lain tidak lain adalah bagian dari pengejawantahan (tafsir) dari Al-Quran.

Menurut Ibn ‘Arabi, Allah swt telah menurunkan tiga kitab kepada manusia yaitu Al-Quran, kitab makrokosmos atau alam semesta, dan kitab mikrokosmos atau manusia itu sendiri. Pernyataan ini selaras dengan Q.S. Fusshilat [41]: 53,

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (Q.S. Fusshilat [41]; 53)

Dari ketiga kitab tersebut, Ibn ‘Arabi menandaskan bahwa Al-Quran merupakan sebuah kitab di antara kitab-kitab yang lain, kecuali hanya Al-Quran lah yang memiliki kepenghimpunan (jam’iyah). Al-Quran lah, baginya, lebih siap untuk dipahami daripada kalam kosmis yan diwahyukan, karena Al-Quran sebagai kalam tertulis menyediakan miftah (kunci) yang dengannya memperoleh fath (keterbukaan), yakni terbukanya pintu untuk memahami ayat-ayat Al-Quran baik ayat makrokosmos (alam sekitar kita) maupun mikrokosmos (diri kita sendiri) (Ibn ‘Arabi dalam Rasail Ibn ‘Arabi).

Al-Quran Sebagai Penghimpun

Ibn ‘Arabi menggunakan term al-jam’u (himpunan) sebagai definisi Al-Quran. Hal ini tentu kontras sekali terhadap pemaknaan qara-a (membaca) pada umumnya.  Berikut penuturan Ibn ‘Arabi,

“Al-Quran adalah sebuah kitab di antara kitab-kitab yang lainnya kecuali bahwa hanya Al-Quran yang memiliki kepenghimpunan (jam’iyah). Nabi memuji Rabb melalui Al-Quran sebagai yang menghimpun seluruh pujian. Oleh karena itu mengapa Al-Quran disebut sebagai Al-Quran atau Penghimpun.”

Baca juga: Tafsir Fiqh (3): Ibn Al-Arabi dan Ahkam al-Qur’an-nya

Dari sini, dapat diambil kesimpulan bahwa Ibn ‘Arabi memaknai istilah Al-Quran dengan jam’u, yang berarti penghimpunan, pengumpulan, penggabungan, pemaduan, atau pencakupan. Beranjak dari term tersebut, Ibn ‘Arabi sesungguhnya mempertemukan dua nama Al-Quran secara tidak langsung, yaitu Al-Quran dan Al-Furqan (pembeda), yang bermakna bahwa Al-Quran menghimpunkan, mengumpulkan, menggabungkan atau memadukan segala sesuatu bersama-sama dan pada waktu yang sama mendemarkasikan atau membedakan segala sesuatu ke dalam wilayah yang berbeda pula.

Selain itu, koherensi al-jam’u dengan arti kata Allah sebagai nama yang menghimpun (al-ism al-jami’) adalah Allah swt memiliki dan menguasai sumber daya ilahi sebagaimana penampakan diri-Nya (al-tajalli) memiliki semua bentuk. Ibn ‘Arabi berkata, “Allah adalah himpunan realitas-realitas keseluruhan nama-nama ilahi”. Lebih lanjut, ia menambahkan, “Sungguh Allah menghimpun nama-nama yang saling berlawanan dan yang bukan saling berlawanan”.

Dengan demikian, Al-Quran bermakna sebagai penghimpun telah menghimpun atau mengkodifikasi dan mengkompilasi semua kitab suci yang diwahyukan sebelumnya sekaligus menghimpun semua ilmu tentang Allah, maka dengan mengetahui, mempelajari dan mengkaji Al-Quran sama halnya dengan mengetahui Allah, Nabi Muhammad saw, alam semesta, dan manusia itu sendiri. Wallahu A’lam.

Uraian Lengkap Soal Terjemah Al-Quran dan Perbedaannya dengan Tafsir

0
Terjemah Al-Quran

Dalam empat tahun terakhir ini, saya sedang fokus mengkaji penerjemahan al-Quran. Ternyata cakupan kajiannya amat luas, dan banyak hal yang menarik untuk diteliti. Melalui tulisan singkat ini, saya ingin berbagi tentang hal tersebut.  Selain karena lagi gandrung pada kajian terjemah al-Quran, saya juga sering menyimak artikel-artikel terkait penerjemahan al-Quran di portal ini, tafsiralquran.id. Artikel-artikel tersebut memantik saya untuk turut sharing gagasan, bacaan dan berdiskusi. Tulisan kali ini akan berfokus pada apakah terjemah al-Quran adalah tafsir al-Qur’an.

Awalnya, saya tertarik membaca tulisan Ulin Nuha dalam portal ini dengan tajuk Apakah Terjemahan Al-Quran Dapat Disebut Karya Tafsir? Inilah Pemetaan Levelisasi Mufasir Menurut Para Ahli. Sekilas, saya berharap menemukan jawaban yang memuaskan dari  judul  tulisan tersebut. Alih-alih mendapatkan jawaban yang memuaskan, saya malah terpancing untuk ikut menambahkan.

***

Mari berangkat dari definisi terjemah yang diusung para sarjana Ulumul Qur’an. Pertama, Muhammad Abd al-Azim az-Zarqani (w. 1367 H/1948) dalam Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, menyebutkan bahwa tarjamah al-Quran memiliki makna tafsiruhu bi lughatihi al-‘arabiyya (tafsir al-Qur’an dengan bahasa Arab) dan juga memiliki makna tafsiruhu bi lughatin ajnabiyyah (tafsir al-Qur’an dengan bahasa lain). Kedua, Jalaluddin Ibn at-Tahir al-‘Alusi, dalam Ahkam Tarjamah al-Qur’an al-Karim menyebutkan bahwa tarjamah adalah tafsiru al-kalam bi lughatihi al-asliyyah allati ja’a biha (penjelasan berita dengan bahasa aslinya) atau yang sering disebut dengan istilah tafsir. Tarjemah juga didefinisikan dengan tafsiru al-kalam bi lughatin ukhra ghairi al-lughati allati ja’a biha (penjelasan berita dengan bahasa lain selain bahasa asli) atau yang sering disebut dengan at-tarjamah al-ma’nawiyyah.

Ketiga, Najdah Ramadan dalam Tarjamah al-Qur’an al-karim wa asaruha fi ma’aniha menyebutkan bahwa terjemah adalah tafsiru al-kalam wa bayanuhu bi lughatihi allati ja’a bih (penjelasan berita dan penjelasannya dengan bahasa asli) dan tafsiru al-kalam bi lughatin ghairi lughatihi (penjelasan dengan bahasa selain bahasa asli).

Tiga sarjana Ulumul Qur’an tersebut, pada dasarnya menguatkan gagasan bahwa terjemah al-Qur’an adalah tafsir al-Qur’an. Bahwa apa yang dilakukan oleh penerjemah, yakni memindahkan kata, frasa, kalimat, atau pesan dari bahasa sumber ke bahasa target merupakan tindakan penafsiran. Keputusan yang diambil dalam menentukan pilihan kata, frasa dan kalimat adalah—meminjam istilah dari Johanna Pinkexegetical decision (keputusan tafsiriyah).

Contoh, kata qawwamun dalam QS. An-Nisa [4]:34 dalam al-Qur’an dan Terjemahnya Kementerian Agama edisi 1990 atau sebelumnya diterjemahkan dengan pemimpin. Pada edisi penyempurnaan 2002 diterjemahkan pelindung. Sedangkan pada edisi penyempurnaan 2019, qawwamun diterjemahkan dengan penanggung jawab. Pemilihan pemimpin, pelindung dan penanggung jawab pasti didasarkan pada proses penafsiran.

Namun, dalam kenyatannya, meskipun memiliki pengertian yang mirip, terjemah al-Quran dan tafsir al-Quran itu berbeda. Perbedaan mendasarnya terletak pada luas-lebarnya penjelasannya. Tafsir memiliki ruang yang luas dalam menjelaskan berbagai sisi ayat-ayat al-Qur’an.  Maka, tak heran jika kitab tafsir itu tebal-tebal dan berjilid-jilid. Sedangkan terjemah memiliki ruang yang terbatas dalam menjelaskan kata-kata dalam al-Qur’an.

Jadi, tugas penerjemah al-Qur’an itu pada dasarnya lebih berat. Ia harus memilih di antara pilihan-pilihan kata bahasa target yang tersedia, yang bisa mewakili maksud dari kata-kata pada bahasa aslinya. Karena penerjemah tidak bisa ruang yang luas untuk menyediakan banyak pilihan, maka ia harus mengambil salah satu atau dua.

Konsekuensinya, keputusannya dalam mengambil pilihan tersebut bisa jadi dipandang salah, kurang tepat atau tidak memuaskan oleh pembacanya. Inilah yang dalam studi penerjemahan disebut dengan lost in translation. Akan selalu ada yang hilang dalam penerjemahan.

Lost in translation  yang dimunculkan karena kei’jazan al-Qur’an (Inimitability of Qur’an) ini yang menjadi alasan utama para ulama generasi awal (hingga abad ke-5 H) untuk menolak keterjemahan al-Qur’an (Translatability of Qur’an). Usaha-usaha untuk memindahkan bahasa al-Qur’an (Arab) ke bahasa selain Arab tidak mungkin bisa dilakukan dan hanya akan menimbulkan masalah.

Di sinilah penerjemahan al-Qur’an selalu menghadapi tantangan dan tidak menemukan solusi yang memuaskan.  Kebuntuan ini menurut Fred Lemhuis—sebagaimana ia tuliskan dalam buku The Cambridge Companion to The Qur’an (2006)—karena  kata tarjamah sejak dari awal dimaknai sebagai literal translation (tarjamah harfiyyah).

The Cambridge Companion to The Qur’an
The Cambridge Companion to The Qur’an

Terjemah harfiyyah inilah yang sejak awal ditolak. Seiring dengan menyebarkan agama Islam ke daerah-daerah non-Arab dan proses vernakularisasi (pembahasalokalan teks-teks keagamaan), sikap para ulama dan sarjana mulai melentur dan mencari jalan keluar, yakni menawarkan tarjamah tafsiriyyah dan juga menawarkan gagasan bahwa yang diterjemahkan bukanlah al-Qur’an tetapi makna dari kata-kata al-Qur’an. Gagasan yang terakhir ini terihat misalnya dari judul-judul karya terjemahan seperti karya Muhammad Marmaduke Pickthall yang berjudul The Meaning of the Glorious Koran: an explanatory translation (1930), Abul A’la Al Maududi,  yang berjudul The Meaning of The Qur’an (1967), dan M. Quraish Shihab dengan judul Al—Qur’an dan Maknanya (2010).  

***

Singkat kata, penerjemah al-Qur’an akan menghadapi banyak masalah. Hussein Abdul-Rouf dalam Qur’an Translation: Discourse, Texture and Exegesis (2001) mendaftar berbagai fitur al-Qur’an yang bakalan hilang bila diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Hussein memberikan yang cukup memadai daam buku tersebut. Misalnya, kata gulibat ar-rum (غلبت الروم) dalam pembuka surah Ar-Rum. Abdullah Yusuf Ali menerjemahkan ayat tersebut dengan The Roman Empire has been defeated. M. Quraish Shihab menerjemahkan (Kerajaan) Rum telah dikalahkan.  Apa yang hilang dari terjemahan tersebut?

Perhatikan kata gulibat adalah verb dalam bentuk mu’annas (feminine form), padahal ar-rum adalah isim mudzakar (masculine form). Secara semantik, bentuk seperti ini menunjukkan humiliation (penghinaan). Sedangkan secara retorik fitur ini berfungsi sebagai sarcasm (sindiran tajam).  Fungsi semantik dan retorik inilah yang tidak muncul atau hilang (lost) dalam terjemah Inggris dan Indonesia.  Contoh lainnya yang sering disebut-sebut adalah kata nazzala dan anzala yang sama-sama diterjemahkan menurunkan. Padahal keduanya berbeda, memiliki tekanan makna yang beda. Kalau nazzala itu turun secara berangsur-angsur, sedangkan anzala, turun secara sekaligus.

Begitu berat dan banyaknya tantangan seorang penerjemah al-Qur’an, sampai-sampai, Tarif Khalidi—dalam sebuah makalahnya berjudul Reflection of a Qur’an Translation (2013)—mengibaratkan seorang penerjemah al-Qur’an itu bagaikan sebagai seorang yang berpisah dengan  kekasihnya. Setelah perpisahan, seseorang itu menyesali dirinya sebab pada saat berpisah, ia seharusnya mengatakan banyak hal, ini dan itu. Begitulah dengan para penerjemah al-Qur’an. Begitu terjemahnya sudah selesai dan dicetak, ia merasakan banyak hal yang seharusnya ia jelaskan tetapi tidak bisa. Hingga akhirnya menyadari kekurangan atas terjemahnya tersebut.

Untuk membenahi penyesalan tersebut, beberapa karya terjemah mengalami biasanya direvisi. Seperti al-Qur’an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI yang direvisi sebanyak empat kali (1970, 1990, 2002 dan 2019). Tentu ini langkah yang baik sebagai usaha penyempurnaan terjemah tersebut. Meskipun begitu, selalu ada ‘penyesalan’ (karena ada yang terlewatkan dari revisi) pada edisi penyempurnaan yang terakhir, yakni tahun 2019.

Beberapa bulan setelah al-Qur’an dan Terjemahnya edisi penyempurnaan 2019 di-launching, saya mewawancarai salah satu panitia penyempurnaan. Dalam wawancara tersebut, ia mengakui ada yang terlewatkan, misalnya terjemah kata ‘alaqah. ‘Alaqah di QS. Al-‘Alaq [96]:2, al-Hajj [22]:5, Ghafir [40]:67 masih diterjemahkan dengan segumpal darah. Sedangkan ‘alaqah pada Al-Qiyamah [75]:38 dan al-Mu’minun [23]:14 diterjemahkan dengan sesuatu yang menggantung (darah). Menurut panitia ini, yang lebih tepat adalah sesuatu yang menggantung.

***

Dari penjelasan di atas, rasanya tidak berlebihan bila saya berkesimpulan pada dasarnya terjemah al-Quran adalah tafsir yang terbatas. Karena keterbatasannya itulah, pembaca sudah seharusnya berhati-hati dalam membacanya dan melengkapinya dengan membaca kitab tafsir. Memang, kita harus mengakui bahwa terjemah al-Quran sangat membantu dalam memahami al-Qur’an terutama bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan bahasa Arab.

KH. Ahsin Sakho Muhammad—ketika saya wawancarai—berpendapat bahwa terjemah al-Qur’an hanyalah salah satu pintu awal memahami al-Qur’an, bukan satu-satunya cara untuk memahami al-Qur’an. Maka, saya setuju dengan apa yang dikatakan Ahmad Rafiq—Direktur LSQH UIN Sunan Kalijaga—the worst way to read the Qur’an is stop it on the translation. Cara terburuk membaca/memahami al-Qur’an adalah hanya dengan berhenti pada terjemahnya.[]

Petunjuk Al-Quran tentang Tiga Hal Untuk Memperkuat Keyakinan

0
tiga hal untuk memperkuat keyakinan menurut petunjuk Al-Quran
tiga hal untuk memperkuat keyakinan menurut petunjuk Al-Quran

Al-Imam al-Allamah Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad atau yang Sayyid Abdullah Al-Haddad, pengarang Ratib al-Haddad, dalam kitabnya, Risalat al-Muawanah wa al-Muzhaharah wa al-Muwazarah, mengatakan bahwa ada tiga hal untuk memperkuat keyakinan dapat dilakukan oleh seseorang. Tiga hal ini didasarkan pada petunjuk ayat-ayat Al-Quran.

Menurut Sayyid Abdullah Al-Haddad, seseorang yang memiliki kekuatan dan kekokohan iman tidak akan mudah diperdaya oleh setan. Bahkan, setan pun akan takut padanya. Sebagaimana setan yang takut pada sosok Umar bin Khattab ra.

إِنَّ الشَّيْطَانَ لِيَفْرَقُ مِنْ ظِلِّ عُمَرَ وَمَا سَلَكَ عُمَرَ فَجًّا إِلاَّ سَلَكَ الشَّيْطَانُ فَجًّا اَخَرَ

“Setan takut pada banyangan Umar. Karena itu, setiap kali Umar melewati suatu lorong, pasti setan akan memilih lorong lainnya.”

Baca Juga: Pentingnya Niat dan Keimanan dalam Mewujudkan Kebermaknaan Suatu Amalan

Sayyid Abdullah Al-Haddad menyebutkan ada tiga hal untuk memperkuat dan membaikkan keyakinan, di antaranya:

Pertama, senantiasa menyimak, dan mendengarkan  ayat-ayat, serta riwayat-riwayat yang mengungkapkan keagungan serta Keesaan Allah, merenungkan segala penciptaan-Nya, tentang kebenaran mukjizat para Rasul, hari kiamat, dan semua yang ada di semesta ini.

Menurut tuturan Sayyid, langkah penguatan iman yang pertama ini yakni salah satunya tersirat dalam surat Al-Ankabut [29] : 51, mempecayai segala yang difirmankan-Nya dalam Al-Quran.

أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّآ أَنزَلْنَا عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَىٰ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

dan apakah belum cukup bagi mereka bawa Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab yang dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam hal itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.”

Salah satu kuatnya iman seseorang, ketika ia mempercayai bahwa Al-Quran adalah Kitab yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Al-Quran adalah rahmat yang bersifat abadi, hingga saat ini pun, Al-Quran masih memiliki eksistensi dan banyak sekali yang berminat untuk mempelajarinya bahkan orang-orang non-muslim.

Baca Juga: Surat al-Anfal [8] Ayat 2: Ciri-Ciri Orang Yang Beriman Menurut Al-Qur’an

Kata yutla, menurut Quraish Shihab mengisyaratkan bahwa ayat-ayat al-Quran sejak masa Nabi Muhammad, kini, hingga masa yang akan datang akan senantiasa dibaca. Hal ini juga memberi isyarat, bahwa mukjizat Nabi Muhammad akan kekal selamanya, sepanjang masa. Di sisi lain, ini membuktikan bahwa mukjizat Nabi Muhammad yang bersifat immaterial –akli ini memiliki derajat yang lebih tinggi dari mukjizat yang bersifat material.

Cara yang kedua, yaitu memerhatikan dan merenungkan keajaiban, keindahan, di langit, di bumi, dan di segala penjuru yang membuat takjub setiap orang yang melihatnya. Termaktub dalam surat Fushshilat [41]:53:

سَنُرِيهِمْ ءَايَٰتِنَا فِى ٱلْءَافَاقِ وَفِىٓ أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُۥ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ شَهِيدٌ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa itu adalah hak. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagimu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?”

Kata sanurihim (Kami akan memperlihatkan kepada mereka), mengisyaratkan perlunya sebuah keterlibatan manusia di dalam prosesnya, melalui para ulama dan cendikiawan. Hal ini merurut Quraish Shihab agar dapat lebih mempermudah dalam menunjukkan kebesaran dan kebenaran al-Quran.

Di masa Rasulullah ‘ayat-ayat’ yang dijanjikan dalam Kitab suci-Nya ini, diperlihatkan dengan peristiwa yang terjadi ketika itu, seperti kemenangan yang diperoleh Nabi dalam setiap peperangan. Bahkan tanda Kekuasaan-Nya saat Nabi wafat pun masih dapat terlihat jelas, seperti terbitnya matahari dari ufuk timur dan terbenamnya di ufuk barat, adanya siang dan malam, penciptaan manusia, hingga penciptaan semut dan nyamuk yang merupakan hewan kecil pun merupakan tanda bahwa Ia Maha Kuasa atas segala apa yang dikehendaki dan diciptakan-Nya.

Baca Juga: Anda Beriman, Maka Bersiaplah untuk Diuji, Tafsir Surat Al-Ankabut Ayat 2

Satu yang terakhir dari tiga hal untuk memperkuat keyakinan adalah menyadari setiap perbuatan dengan konsekuansi keimanannya secara lahir dan batin, terus menerus. Sebagaimana yang diisyaratkan dalam firmannya surat Al-Ankabut [29] : 69;

وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُوا۟ فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلْمُحْسِنِينَ

dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami, dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”

Dalam ayat ini, salah satu kandungan maknanya adalah setiap orang yang bersungguh-sungguh berbuat baik, berjihad dalam kebaikan, sesungguhnya ia telah berbuat baik untuk dirinya sendiri, karena Allah telah berjanji padanya akan menuntunnya menuju jalan-jalan kedamaian (subul) dalam kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat.

Demikian juga berlaku kebalikannya, jika seseorang telah memilih jalan yang lain, di luar kebaikan, maka ia juga akan sampai di tujuannya, yaitu keburukan, kecuali ia segera menyadari dan mengubah rute jalannya. Bukankah Allah juga telah berfirman dalam ayatNya yang lain, surat Al-Insan ayat 3 yang terjemahannya, ‘Sungguh, Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur’.

Di atas adalah tiga hal untuk memperkuat keyakinan yang diwanti-wanti oleh Sayyid Abdullah Al-Haddad. Semoga kita bisa mengamalkannya dan istiqamah di jalanNya. Amin

Wallahu A’lam

Bentuk-bentuk Filantropi yang Diperintahkan dalam Al-Quran

0
Bentuk filantropi dalam Al-Quran
Bentuk filantropi dalam Al-Quran

Filantropi merupakan salah satu amal sosial yang menjadi konsensus bersama masyarakat di manapun tempatnya. Filantropi sendiri bermakna kedermawanan yang asal katanya diambil dari bahasa Yunani. Kata filantropi sebenarnya merupakan istilah yang dipopulerkan oleh orang-orang di era modern hari ini. Dalam Islam, itu merupakan kata yang baru. Meski begitu, praktik filantropi dalam Islam telah dilakukan sejak awal kelahirannya. Dalam pedoman utama umat Islam yaitu Al-Quran ternyata banyak sekali ditemukan perintah-perintah amal saleh yang berkenaan dengan filantropi. Tulisan ini setidaknya akan mengulas tiga bentuk filantropi paling lazim yang disebutkan secara eksplisit oleh Al-Quran.

Infak

Bentuk filantropi dalam Al-Quran yang pertama adalah infak. Secara bahasa infak bermakna hilang atau kosong akibat diberikan atau karena hal-hal lain. Menurut terminologi syariat, infak berarti menafkahkan atau membelanjakan rezeki atau harta benda kepada orang lain sehingga dari yang awalnya ada menjadi kosong dengan tanpa mengharap kompensasi apapun. Dilihat dari segi definitif, istilah infak memang masih sangat umum, tidak ditentukan objek, besaran, dan tujuannya. Al-Quran pun mengungkapkan anjuran berinfak dalam tiga bentuk, kalimat informatif (khabariyah), kalimat perintah dan larangan (insya’iyah), dan dalam bentuk perumpamaan (amtsal). Bentuk-bentuk kalimat ini untuk memberi stimulus yang bersifat psikologis (taqsya’irru bihi al-qulub) sesuai dengan konteks penerimanya. Salah satu perintah berinfak dalam Al-Quran terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 215:

يَسْـَٔلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ ۖ قُلْ مَآ أَنفَقْتُم مِّنْ خَيْرٍ فَلِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا۟ مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ

“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.”

Baca juga: Jangan Ragu Untuk Bersedekah! Inilah 4 keutamaan Sedekah Menurut Al-Quran

Merujuk keterangan Al-Mahalli dan As-Suyuti dalam Tafsir Jalalyn ayat di atas menjelaskan mengenai apa yang diinfakkan dan siapa yang paling berhak menerimanya. Al-Mahalli dan As-Suyuti menjelaskan bahwa yang mendapat pertanyaan adalah Rasulullah, sedang yang bertanya bernama Amir bin Jamuh, seorang hartawan yang sudah tua. As-Syawi dalam An-Nafahat Al-Makiyyah menjelaskan bahwa sesuatu yang paling baik untuk diinfakkan adalah harta benda. Sedang orang yang paling utama menerima infak tersebut yang pertama adalah kedua orang tua sebagai bentuk bakti sang anak. Setalah kedua orang tua, kemudian sanak saudara terdekat, lalu anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang yang sedang dalam perjalanan.

Sedekah

Bentuk filantropi kedua yang disebut oleh Al-Quran adalah sedekah. Sedekah berasal dari bahasa Arab “shadaqa” yang berarti membenarkan. Secara istilah, sedekah diartikan diartikan sebagai pemberian seseorang secara ikhlas, kepada yang berhak menerimanya yang diiringi oleh pemberian pahala dari Allah. Dalam masyarakat, istilah infak dan sedekah marak dipahami sebagai dua istilah yang tidak memiliki distingsi, sehingga pemaknaannya sering terkesan tumpang tindih. Terbukti dari beberapa praktek masyarakat ketika menyebarkan selebaran ataupun kotak yang tertulis di atasnya “infak sedekah”. Namun, jika dicermati lebih dalam, istilah-istilah dalam Al-Quran memiliki kekhususan arti tersendiri, termasuk istilah infak dan sedakah. Salah satu ayat Al-Quran yang memuat anjuran sedekah adalah surah Al-Baqarah ayat 280:

وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَن تَصَدَّقُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

Baca juga: Surat Al-Baqarah [2] Ayat 264: Jangan Merusak Pahala Sedekah

Melihat penjelasan Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, ayat di atas menunjukkan salah satu cara bersedekah yang tidak melulu dengan memberikan harta banyak yang kita miliki. Ayat di atas memberikan kita referensi cara sedekah yang orientasinya dimaksudkan untuk meringankan beban orang lain yang mengalami kesulitan membayar hutang, yaitu dengan memberinya tenggat waktu atau mengikhlaskan hutang tersebut.

Cakupan sedekah memang lebih luas daripada infak. Adapun perbedaan paling umum antara keduanya terdapat pada objeknya. Infak lebih menekankan pada harta dan materi, sedang sedekah bisa berupa apa saja baik fisik maupun non fisik. Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda “Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu” (HR Tirmidzi). Jadi, setiap orang dapat bersedekah sekalipun ia tidak punya harta, karena sedekah tidak terikat pada materi. Sedekah non-material bisa berupa memberi nasihat dan solusi, mendamaikan yang berseteru, menjadi relawan kemanusiaan, membuat karya yang bisa dinikmati banyak orang, dan lain-lain.

Zakat

Bentuk filantropi yang ketiga yang diperintahkan dalam Al-Quran adalah zakat. Kata zakat secara bahasa berarti suci, dan secara istilah syariat, ia merupakan bentuk penyucian diri melalui pengeluaran harta benda dengan syarat dan ukuran tertentu dengan mengharap ridho Allah. Begitu pentingnya zakat ini hingga Al-Quran pun menyejajarkan amalan ini setara dengan shalat. Terbukti dalam 27 ayat dalam Al-Quran yang menyebutkan perintah zakat ini persis setelah perintah shalat. Salah satu ayat yang dimaksud demikian adalah surah Al-Baqarah ayat 43:

وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”

Dalam Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab dijabarkan bahwa dalam ayat tersebut ada syarat-syarat yang harus ditunaikan untuk menjadi muslim sejati. Hal yang dikerjakan jika seorang telah beriman kepada Islam adalah menunaikan shalat dengan rukun yang benar. Lalu ia memberikan zakat kepada orang yang berhak menerimanya. Kemudian ia shalat berjamaah dengan orang-orang muslim. Syarat-syarat muslim sejati yang telah disebutkan oleh Al-Quran tersebut senafas dengan ungkapan Rasul mengenai lima kewajiban seorang muslim “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan puasa Ramadhan” (HR Bukhari Muslim).

Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 43: Dalil Kewajiban Zakat

Ketiga bentuk filantropi yaitu infak, sedekah, dan zakat begitu ditekankan dalam Al-Quran dengan disebut berulang-ulang agar dikerjakan oleh umat Islam. Kewajiban zakat dan kesunnahan infak lebih yang lebih menekankan pada pemberian materi dimaksudkan agar terjadinya pemerataan surplus pendapatan muslim terhadap defisit muslim. Begitu juga dengan adanya bentuk amalan sedekah yang bisa dilakukan siapa saja termasuk bagi mereka yang tidak memiliki harta. Adanya perintah filantropi dalam Al-Quran tersebut seseungguhnya mengindikasikan bahwa ajaran dalam Islam meman sangat memperhatikan kesejahteraan sosial agar terciptanya suatu bentuk masyarakat madani.

Wallahu a’lam[]

Satu Lagi Karya Ulama Indonesia di Bidang Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Kitab At-Tashrih Al-Yasir Fi Ilmi At-Tafsir

0
kitab At-Tashrih Al-Yasir Fi Ilmi At-Tafsir
kitab At-Tashrih Al-Yasir Fi Ilmi At-Tafsir

Kitab At-Tashrih Al-Yasir Fi Ilmi At-Tafsir ini merupakan salah satu karya KH. Muhammad Sya’roni Ahmadi, seorang ‘alim asal Kudus. Sebagaimana namanya, yaitu At-Tashrih Al-Yasir (penjelasan yang mudah) kitab ini disajikan dengan bahasa Arab yang mudah dipahami dan sangat ringkas. Kitab setebal 79 halaman ini berisi penjelasan atas Mandzumah Ilmu at-Tafsir karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Ali az-Zamzami al-Makki (w. 963 H/1556 M) yang terdiri dari 157 bait.

Mandzumah Ilmu at-Tafsir sendiri sudah pernah disyarahi, seperti Nahju At-Taisir karangan Sayyid Muhsin al-Musawa (w. 1354 H/1936 M), dan hasyiyah-nya yaitu Faiydh al-Khobir Wa Khulashotu at-Taqrir karangan Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki (w. 1391 H/1971M) dan Syekh Yasin al-Fadani (w. 1410 H/1990 M), dan Al-Iksir Fi Tarjamati Nadzmi Ilmi At-Tafsir karangan KH. Bisri Mustofa.

Namun, tampaknya KH. Muhammad Sya’roni Ahmadi menilai masih dibutuhkan lagi sebuah penjelasan yang ringkas dan padat sebagai jawaban dari kebutuhan sebagian masyarakat yang cenderung menginginkan pembahasan yang simpel dan mudah dipahami, tidak terlalu bertele-tele ataupun terlalu mendalam, terutama bagi para pemula dalam kajian ilmu Al-Quran dan Tafsir.

Dalam kata pengantarnya, KH. Muhammad Sya’roni Ahmadi mengatakan:

أَمَّا بَعْد فَهَذِهِ تَصْرِيْحَاتٌ يَسِيْرَةٌ وَتَعْلِيْقَاتٌ لَطِيْفَةٌ عَلَى مَنْظُوْمَةِ الْإِمَامِ الْعَلَّامَةِ الشَّيْخِ عَبْدِ الْعَزِيْزِ الزَّمْزَمِيْ تَسْهِيْلًا لِلطَّلَبَةِ بِعِبَارَةٍ سَهْلَةٍ يَفْهَمُهَا الْمُبْتَدِيْ وَلِهَذَا لَمْ نَتَعَرَّضْ لِلتَّعَالِيْلِ الْمُطَوَّلَةِ

(Amma Ba’du, Ini merupakan penjelasan-penjelasan yang mudah dipaham dan catatan-catatan yang lembut atas Manzhumah Ilmut Tafsir karya al-Imam as-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz az-Zamzami untuk mempermudah para pencari ilmu dengan ungkapan yang mudah, yang pemula dapat memahaminya dan karena ini, saya tidak menyinggung alasan-alasan yang panjang lebar).

Baca Juga: Mengenal Tafsir Marah Labid, Tafsir Pertama Berbahasa Arab Karya Ulama Nusantara, Syekh Nawawi Al-Bantany

Sistematika penulisan kitab

Adapun sistematika penulisan Kitab At-Tashrih Al-Yasir Fi Ilmi At-Tafsir, yaitu dimulai dengan kata pengantar singkat dari penulis. Dilanjutkan dengan pembahasan sesuai isi dari Mandzumah Ilmu At-Tafsir, yaitu dimulai dari pengertian ilmu tafsir dan menjelaskan cakupan pembahasannya, yaitu 55 macam yang termuat dalam 6 ‘Iqd atau bab, sebelumnya ada muqaddimah dan setelahnya khatimah.

Bagian muqaddimah berisi pengertian seputar Al-Qur’an, meliputi definisi Al-Qur’an, surat dan ayat, perbedaan pendapat mengenai adanya keutamaan diantara ayat-ayat Al-Qur’an, keharaman membaca Al-Qur’an dengan bahasa selain Arab, pengertian tafsir, keharaman tafsir bir ra’yi, perbedaan tafsir dengan ta’wil, dan diperbolehkan mengambil filosofi dari Al-Qur’an.

Kemudian dalam al-‘Iqd al-Awwal membahas mengenai turunnya Al-Qur’an yang mencakup 12 macam sub tema, yaitu makki, madani, hadhori, safari, nahari, laili, shaifi, syita’i, firasyi, asbabun nuzul, wahyu yang pertama turun, dan wahyu yang terakhir turun.

Dilanjutkan dengan al-‘Iqd ats-Tsani yang membahas jalur sanad bacaan Al-Qur’an dan mencakup 6 macam sub tema, yaitu mutawatir, ahad, syadz, bacaan Nabi Muhammad SAW, perawi dan huffadz dari para sahabat dan tabi’in.

Baca Juga: Mengenal Kitab Mabadi’ Ilm Ushul At-Tafsir: Pengantar Ilmu Tafsir Karya Ulama Sulawesi

Dalam bab ini pula disebutkan nama-nama Imam Qiro’ah Sab’ah dan periwayatnya; Imam Qiro’ah Tsalatsah yang menyempurnakan al-‘Asyroh dan periwayatnya; Imam Qiro’ah Arba’ah yang menyempurnakan al-Arba’ah ‘Asyar dan periwayatnya, sanad-sanad Imam qiro’ah sab’ah yang bersambung dengan Nabi Muhammad SAW.

Selanjutnya, dalam al-‘Iqd ats-Tsalits Kitab At-Tashrih Al-Yasir Fi Ilmi At-Tafsir ini dibahas cara membaca Al-Qur’an yang memuat 6 macam sub tema, yaitu waqaf, ibtida’, imalah, mad, meringankan hamzah, dan idgham.

Kemudian al-‘Iqdul Rabi’-nya beralih ke bahasan mengenai lafad-lafad Al-Qur’an yang mencakup 7 macam sub tema, yaitu gharib (kata asing), mu’arrob (kata Arab serapan), majaz (kiasan), musytarak (polisemi), mutaradif (sinonim), isti’arah, tasybih (antromorfis).

Adapun al-‘Iqd al-Khamis membicarakan tentang makna-makna yang terkait dengan hukum-hukum. Terdapat 14 macam sub tema, yaitu al-amm al-baqi ‘ala umumih, al-amm al-makhsus, al-amm al-ladzi urida bihi al-khusus, ma khusso minhu bi as-sunnah, ma khusso bihi min as-sunnah, mujmal, muawwal, mafhum, muthlaq, muqoyyad, nasikh, mansukh, ayat yang diamalkan di masa tertentu, dan hanya satu orang yang mengamalkan.

Sedangkan dalam al-‘Iqd as-Sadis, bahasan terakhir dalam Kitab At-Tashrih Al-Yasir Fi Ilmi At-Tafsir yaitu tentang makna-makna yang berkaitan dengan lafadz-lafadz. Terdapat 6 macam sub tema, yaitu fashl, washl, i’jaz, ithnab, musawah, dan qashr.

Setelah itu penjelasan kitab At-Tashrih Al-Yasir Fi Ilmi At-Tafsir ditutup dengan pembahasan mengenai nama-nama Nabi, malaikat, dan nama selain mereka, termasuk mubham (nama yang disamarkan). Semua pembahasan di atas tadi dijelaskan secara ijmali (global) sesuai tema. Penjelasannya selalu dimulai dengan kata يَعْنِيْ dan diakhiri dengan kata والله أعلم.

Baca Juga: Mengenal Tafsir Firdaus An-Naim, Tafsir Nusantara Asal Madura

Gaya penyampaian KH. Sya’roni Ahmadi

Penulis kitab ini mampu menampilkan cara yang mudah dan singkat, yaitu dengan menggunakan tabel dalam menyebutkan nama-nama surat Al-Qur’an serta mengklasifikasikan ke dalam makkiyah dan madaniyah, penjelasan para Imam Qiro’ah dan para periwayatnya (nama, daerah, tahun lahir dan wafatnya), nama para nabi dan letak suratnya. Juga disebutkan tabel rumus Imam Qiro’ah Sab’ah dan periwayatnya.

Penulis juga terlihat lihai saat menjelaskan seputar Ilmu Qira’at, yaitu pada bagian al-‘Iqd al-Awwal dan al-‘Iqd ats-Tsalits. Hal ini menunjukkan kepakaran penulis di dalam keilmuan tersebut. Bahkan penulis juga menyusun kitab khusus mengenai Ilmu Qiro’at yang diberi nama dengan Faiydh al-Asany yang berjumlah 3 jilid. Tentu itu semua tak lepas dari status penulis yang merupakan murid langsung dari KH. Arwani Amin Kudus, seorang ulama ahli Qiro’ah Sab’ah.

Kemudian pada teks manzhumah penulis memberikan syakal atau harokat. Begitu juga dengan beberapa contoh versi qiro’ah dan sebagian nama, seperti نُعيم dan حُبيب yang mungkin bagi sebagian pemula bisa saja salah baca menjadi Na’im dan Habib.

Lebih dari itu, menariknya penulis juga memberikan catatan komentar terhadap beberapa teks mandzumah yang dinilainya kurang. Pada bait-nya tertulis sebagai berikut:

مِنْهُ عَلَى الْقَوْلِ بِهِ كَتَبَّتِ # وَاْلفَاضِلُ الَّذْ مِنْهُ فِيْهِ أَتَتِ

Penulis mengatakan وَلَوْ قَالَ النَّاظِمُ وَعَكْسُهَا الَّتْ فِيْهِ مِنْهُ أَتَتِ لَكَانَ أَحْسَن (Jika orang yang menadzamkan berkata tentu itu lebih bagus). Begitu juga, penulis menyebutkan versi lain dalam teks Mandzumah Ilmut Tafsir pada bait berikut:

وَهَذِهِ وَنَحْوُهَا قَدْ أَنْكَرَا # جُمْهُوْرُهُمْ بِالْوفْقِ قَالُوْا إِحْذَرَا

Penulis menyebutkan وَفِيْ نُسْخَةٍ حَذَرَا (dalam naskah lain menggunakan redaksi حَذَرَا) dengan berbentuk fi’il madhi, bukan fiil amr.

Baca Juga: Gus Awis: Ulama Muda, Pakar Sastra dan Tafsir Al-Qur’an yang Produktif dari Indonesia

Sebagaimana yang terdapat dalam kolofon kitab tersebut, dikatakan bahwa kitab At-Tashrih Al-Yasir Fi Ilmi At-Tafsirini selesai ditulis oleh KH. Muhammad Sya’roni Ahmadi pada permulaan bulan Rajab tahun 1392 Hijriyah yang bertepatan dengan 10 Agustus 1972 Masehi. Sungguh bentuk kontribusi penulis yang nyata dalam memperkaya khazanah keilmuan, khususnya dalam bidang kajian Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di Indonesia.

Menurut Titik Wahidatun Nikmah dari hasil penelitiannya KH. Sya’roni Ahmadi Biografi dan Perjuangannya, menyebutkan seorang kyai yang lahir pada tanggal 17 Agustus 1930 M di Kudus ini juga mempunyai karya yang lain, yaitu: al-Faraid as-Saniyah, Tarjamah As-Sulam al-Munawaroq, Tarjamah Tashil at-Thuruqat, dan Qiro’ah al-‘Ashriyyah.

Karya ini sangat menarik dan penting sekali untuk dikaji. Selain karena di dalamnya termuat berbagai macam penjelasan tema dasar mengenai ilmu Al-Qur’an dan Tafsir dengan bahasa yang mudah, kitab At-Tashrih Al-Yasir Fi Ilmi At-Tafsir merupakan salah satu karya ulama dari Indonesia.

Kita sebagai orang Indonesia sudah sepatutnya mengkaji dan menjadikannya salah satu rujukan. Sekaligus bentuk penghormatan kita kepada mereka dengan selalu menghidupkan karya-karya mereka melalui membaca dan mengkajinya. Wallahu a’lam.

Membedah Pustaka Lajnah, Akses Kajian Al-Qur’an dengan Mudah

0
Pustaka Lajnah, Akses Kajian Al-Qur’an
Pustaka Lajnah, Akses Kajian Al-Qur’an

Eksistensi Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an tidak bisa lepas dari tugas utama mentashih mushaf-mushaf yang bakal beredar di Indonesia. Sejak berdirinya lembaga ini, tugas dan fungsinya semakin berkembang hingga sekarang. Sejak tahun 2007, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) tidak hanya berkutat pada pentashihan belaka, namun juga memiliki tugas yang mencakup tiga bidang, yaitu pentashihan, pengkajian Al-Qur’an, serta Bayt Al-Qur’an dan Dokumentasi. Dari tiga tugas ini, bidang pengkajian Al-Qur’an kemudian melahirkan Pustaka Lajnah. Dengan begitu tulisan ini akan membedah Pustaka Lajnah sebagai akses kajian al-Qur’an yang mudah.

Pustaka Lajnah merupakan perpustakaan yang berisi berbagai literatur kajian Al-Qur’an terbitan LPMQ. Langkah strategis ini mulai dioperasikan oleh LPMQ pada tahun 2017 seiring maraknya digitalisasi karya kajian. Sebagai tambahan informasi, mulai tahun 2016 LPMQ memang mengembangkan kajian Al-Qur’an ke format-format digital, seperti Aplikasi Al-Qur’an Kemenag, film-film pendek, animasi, videografis dan infografis. Maka keberadaan Pustaka Lajnah ini patut disambut dengan baik oleh para pengkaji Al-Qur’an Indonesia.

Baca juga: Simak Ini untuk Belajar Memaklumi Perbedaan Tafsir Al-Quran!

Akses perpustakaan ini begitu mudah dengan menyusuri laman ini. Dalam platform ini, ada beberapa kanal yang menyimpan berbagai karya seperti Literatur, Pentashihan, Tafsir, Jurnal Suhuf, dan Literatur Penelitian. Nampaknya kita perlu membedah satu per satu apa isi kanal tersebut.

Literatur Qur’an

Dalam kanal ini mencakup beberapa hasil kajian yang terdiri dari Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur’an, Makkiy & Madaniy, Para Penjaga Al-Qur’an, Memelihara Kemurinan Al-Qur’an, Keutamaan Al-Qur’an dalam Kesaksian Hadis, Damai Bersama Al-Qur’an, dan Asbabun Nuzul. Karya dalam kanal ini cenderung umum, karena ada kajian terkait ulumul Qur’an, namun ada juga tema-tema populer. Meski demikian, pesan dan semangat kebangsaan menjadi corak khas literatur ini.

Misalnya pada karya Damai Bersama Al-Qur’an, buku ini disusun untuk meluruskan kesalahpahaman tafsir yang beredar di masyarakat. Topik yang dibicarakan pun terkait etika sosial-politik, hubungan antaragama, dan konsep jihad. Kemudian buku Para Penjaga Al-Qur’an, dalam buku ini juga mengumpulkan biografi para hufaz generasi awal yang berperan penting dalam menyemarakkan tradisi menghafal Al-Qur’an di Indonesia.

Kanal Pentashihan

Kanal ini merupakan kanal yang sangat sedikit kontennya. Karena hanya berisi dua buku saja namun sangat berkaitan erat dengan pentashihan mushaf Al-Qur’an di Indonesia. Pertama berjudul Tanya Jawab Tentang Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia dan Layanan Pentashihan. Kedua berjudul Pedoman Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.

Kanal Tafsir

Kanal ini merupakan tempat karya-karya tafsir yang terdiri dari Tafsir Ilmi, Tafsir Tahlili, Tafsir Tematik, dan Tafsir Wajiz. Untuk Tafsir Ilmi, Lajnah telah menerbitkan beberapa karya seperti Waktu dalam Perspektif Al-Qur’an, Tumbuhan dalam Perspektif Al-Qur’an, Seksualitas dalam Perspektif Al-Qur’an, Samudra dalam Perspektif Al-Qur’an, Penciptaan Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an, Penciptaan Bumi dalam Perspektif Al-Qur’an dan lainnya. Karya-karya ini merupakan hasil karya bersama dengan para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahan Indonesia (LIPI).

Baca juga: Dosen di Korea pun Bertafsir, Kyai Mustain: Ada Dua Model Orang Menafsirkan Al-Quran

Untuk Tafsir Tahlili, merupakan tafsir yang ditulis berdasarkan urutan mushaf Al-Qur’an dan diuraikan dengan Analisa dari berbagai sudut pandang pendekatan. Tafsir ini berjudul Al-Qur’an dan Tafsirnya, terdiri dari 10 jilid yang mencakup juga ulumul Qur’an di mukaddimahnya.

Kemudian ada Tafsir Tematik, karya-karya di sini mencakup penafsiran berbasis tema-tema kemasyarakatan.  Di sini ada 10 buku, di antaranya yaitu Kesehatan Alam Perspektif Al-Qur’an, Moderasi Islam, Membangun Keluarga Harmonis, Komunikasi dan Informasi, Pembangunan Ekonomi Umat, dan lain sebagainya.

Terakhir terdapat Tafsir Al-Wajiz, tafsir ini terdiri dari 2 jilid yang menyajikan penafsiran-penafsiran secara ringkas. Dari berbagai karya tafsir tersebut, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an ingin menampilkan berbagai metode yang biasa digunakan oleh mufasir dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Baca juga: Manuskrip Al-Qur’an Bone: Mushaf Kuno dengan Fitur Terbanyak yang Kini Disimpan di Kanada

Jurnal Suhuf

Di kanal ini, LPMQ menyediakan jurnal yang khusus membahas khazanah dan kajian Al-Qur’an. Jurnal ini termasuk jurnal yang update dalam kajian Al-Qur’an, terlebih tentang mushaf atau tafsir-tafsir khas Nusantara. Sayangnya, link yang tersambung di Pustaka Lajnah sedang tidak bisa dibuka, dan saat ini website Jurnal Suhuf berganti menjadi laman berikut ini.

Literatur Penelitian

Kanal ini ada di menu home yang mencakup hasil publikasi mushaf-mushaf kuno di Nusantara. sampai saat ini baru empat publikasi yang mencakup inventarisasi mushaf-mushaf di Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Sumatera.

Demikian isi dari Pustaka Lajnah yang terus diperbaharui kontennya. Sebagai pengkaji khazanah Al-Qur’an, literatur-literatur terbitan LPMQ pun patut kita nikmati. Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam[]

 

Inilah Lima Alasan Penyusunan Tafsir Nidzam Al-Quran

0
tafsir nidzam al-quran
tafsir nidzam al-quran

Penulisan Tafsir Nidzam Al-Quran oleh Hamiduddin Farahi bukanlah tanpa alasan. Tentu ada sebuah alasan yang melatari al-Farahi sehingga merasa perlu menyusun tafsir ini. Al-Farahi menyadari bahwa pengetahuan yang telah ia peroleh ini adalah berkat rahmat dan taufik dari Allah SWT. Ia juga mengakui bahwa pengetahuannya ini merupakan anugrah yang sangat besar. Ia tidak memplagiat dan juga tidak membuat sesuatu yang baru.

Ia hanya mengembangkan yang sudah ada. Ia mengemukakan beberapa pendapat ulama yang mengispirasi dirinya dalam mempelajari nizam Al-Quran ini. Seperti nukilan dari al-Itqan karya al-Suyuti dan dari kitab al-Razi yang terkenal dengan julukan Tafsir al-Kabir.

Setidaknya ada lima alasan yang mendorong al-Farahi untuk menuliskan tafsirnya ini ini. Meski pada awal-awal ia sedikit ragu. Tapi karena situasi dan kondisi yang menuntut, akhirnya ia memberanikan diri dengan keyakinan dan perlindungan kepada Allah SWT.

Baca juga: Mengenal Tafsir Nidzam Al-Quran karya Hamiduddin Farahi

Adapun lima alasan yang melatarbelakangi penulisan tafsir ini yaitu:

Pertama, banyaknya perselisihan para ulama dalam meta’wilkan Al-Quran dan mereka cenderung mengesampingkan aspek rabt al-ayat atau nidzam (keterikatan antar ayat). Padahal menurut al-Farahi, andaikan para ulama menyadari nizam dalam Al-Quran, bisa dipastikan tidak ada perselisihan yang sampai memecah belah.  Karena, nizam ini yang akan menjelaskan sesuatu yang belum jelas terkait sebuah kalimat dan diharapkan menjadi benteng dari pemahaman-pemahaman yang batil dan menyesatkan.

Kedua, adanya tuduhan tentang ketidakserasian dan ketidakteraturan ayat-ayat dalam Al-Quran dan al-Farahi melihat tidak adanya pembelaan dari ulama terhadap tuduhan ini. Maka dari itu, ia membela dan menyatakan dengan lantang bahwa apa yang telah dituduhkan kepada Al-Quran itu batil dan tidak mempunyai dasar argumen yang kuat.

Ketiga, Farahi sangat yakin bahwa nidzam al-kalam (keserasian dan keteraturan ayat-ayat Al-Quran) merupakan bagian dari cara mengungkap pesan-pesan Al-Quran yang tidak boleh disepelekan. Maka jika hal itu tidak ditanggapi, bisa jadi akan hilang sebagian dari pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.

Baca juga: Inilah Ragam Pendapat Ulama tentang Nidzam Al-Quran

Keempat, Farahi mengungkapkan makna dari proses turunnya Al-Quran secara bertahap. Hal itu tidak lain untuk menstabilkan keimanan umat muslim pada waktu itu. Sebagaimana firman Allah pada surat al-Furqan ayat 32.

Dan, letak ayat yang terpisah-pisah itu dalam satu surat berdasarkan perintah Rasulullah SAW dan didiktekan lagi oleh Jibril ketika suatu surat telah sempurna. Hal ini pun menjadi dasar agumennya bahwa keteraturan susunan ayat-ayat Al-Quran merupakan hal yang unik dan patut untuk diungkap.

Kelima, apabila aspek keteraturan dan keserasian dalam ayat-ayat Al-Quran ini telah diketahui oleh seseorang, sehingga ia mengetahui rahasia keindahan susunan kalimat dan hikmah-hikmah yang tersembunyi, maka ia akan menyadari bahwa nizam ini merupakan bagian yang cukup penting perannya dalam mengungkap pesan-pesan Al-Quran (Farahi dalam Tafsir Nidzam Al-Quran).

Itulah beberapa alasan mengapa al-Farahi mengungkapkan temuannya ini, lalu ia tulis dalam beberapa kitab, seperti Tafsir Nidzam al-Quran wa Ta’wil al-Furqan bi al-Furqan, Dala’il al-Nizam, Aqsam al-Quran dan lain-lain. Wallahu A’lam.

Keistimewaan Pohon Kurma (Nakhl) yang Disebutkan dalam Al-Qur’an

0
Pohon Kurma
Pohon Kurma

Al-Qur’an banyak menyebutkan tentang buah-buahan dan pepohonan. Di antara pohon yang disebut al-Qur’an adalah pohon kurma. Penyebutan kata kurma dalam al-Qur’an tidak kurang dari 20 kali dengan beragam derivasi.

Dengan masifnya penyebutan kata kurma dalam al-Qur’an, penulis mengasumsikan adanya keistimewaan yang terkandung dalam kurma. Oleh karena itu, tulisan ini akan menguraikan secara singkat dan padat terkait apa saja keistewaan kurma baik yang tercantum dalam sudut pandang ajaran Islam maupun dalam narasi ilmu pengetahun sains.

Penyebutan Kata Nakhl dalam Al-Qur’an

Dikutip dalam kitab Mu’jam alfadz al-Qur’anil Karim, bahwa kata nakhl (kurma) dapat ditemukan di beberapa tempat dengan menggunakan derivasi yang beragam. (Ibrahim: 1988).

Pertama, dengan derivasi kata nakhl yang dapat ditemukan dalam ayat berikut: (al-Kahfi: 32), (as-Syu’ara’: 148), (al-Qamar: 20), (ar-Rahman: 68 & 11), al-haqqah: 8), (al-an’am: 99 & 191), (thaha: 71), (Qaf: 10).

وَٱضۡرِبۡ لَهُم مَّثَلٗا رَّجُلَيۡنِ جَعَلۡنَا لِأَحَدِهِمَا جَنَّتَيۡنِ مِنۡ أَعۡنَٰبٖ وَحَفَفۡنَٰهُمَا بِنَخۡلٖ وَجَعَلۡنَا بَيۡنَهُمَا زَرۡعٗا  ٣٢

Artinya:

Dan berikanlah (Muhammad) kepada mereka sebuah perumpamaan, dua orang laki-laki, yang seorang (yang kafir) Kami Beri dua buah kebun anggur dan Kami Kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara keduanya (kebun itu) Kami Buatkan ladang. (Al-kahfi[18]: 32).

Kedua, dengan derivasi nakhlan yang dapat ditemukan dalam satu ayat yakni:

وَزَيۡتُونٗا وَنَخۡلٗا  ٢٩

Artinya:

dan zaitun dan pohon kurma, (QS. Abasa[80]: 29).

Ketiga, dengan derivasi an-nakhlah yang hanya tertera di dua ayat dalam surat Maryam (Maryam: 23 & 25), yakni:

فَأَجَآءَهَا ٱلۡمَخَاضُ إِلَىٰ جِذۡعِ ٱلنَّخۡلَةِ قَالَتۡ يَٰلَيۡتَنِي مِتُّ قَبۡلَ هَٰذَا وَكُنتُ نَسۡيٗا مَّنسِيّٗا  ٢٣

وَهُزِّيٓ إِلَيۡكِ بِجِذۡعِ ٱلنَّخۡلَةِ تُسَٰقِطۡ عَلَيۡكِ رُطَبٗا جَنِيّٗا  ٢٥

Artinya:

(23). Kemudian rasa sakit akan melahirkan memaksanya (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia (Maryam) berkata, “Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan.” (25).  Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.

Keempat, dengan derivasi an-nakhīl. Bentuk yang terakhir ini yang paling banyak ditemukan dalam al-Qur’an, yakni dalam (al-Baqarah: 266), (ar-Ra’d: 4), (Isra’: 90), (al-Mu’minun: 19), (Yasin: 34), (an-Nahl: 11 & 67).

أَيَوَدُّ أَحَدُكُمۡ أَن تَكُونَ لَهُۥ جَنَّةٞ مِّن نَّخِيلٖ وَأَعۡنَابٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ

Artinya:

Adakah salah seorang di antara kamu yang ingin memiliki kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, (QS. Al-Baqarah[2]: 266).

Meski disajikan dengan beragam konteks, namun kata yang berakar dari nakhl mempunyai makna pohon atau kebun kurma. Jadi berdasarkan keterangan seluruh ayat-ayat tersebut, kita dapat mengartikan bahwa kata nakhl dapat diartikan sebagai (kebun/pohon) kurma. Selain itu, secara jelas dapat diketahui bahwa kata kurma bukan hanya ada, namun banyak dicantumkan oleh al-Qur’an.

Baca Juga: Inilah 8 Manfaat Buah Zaitun, Buah yang Disebut dalam Al-Quran

Islam dan Dogma tentang Kurma

Disadari atau tidak, kurma menduduki tempat istimewa dalam dogma Islam. Kurma dianggap sebagai salah satu makanan istimewa berdasarkan nasihat dan penjelasan Nabi Muhammad saw., sebagaimana hadis berikut:

“Apabila seseorang dari kalian berbuka puasa, maka hendaklah dia berbuka dengan kurma. Sesungguhnya kurma itu berkah. Apabila tidak mendapatkan kurma maka hendaklah berbuka dengan air. Sesungguhnya air itu suci.” (HR. Abu Daud dan Timidzi).

Dalam hadis lain juga dijelaskan:

“Barang siapa memakan tujuh buah kurma ajwah dipagi hari, maka racun dan sihir tidak akan membahayakannya pada hari itu.” (HR. Bukhari).

Dua hadis tersebut, memberikan indikator bahwa kurma mempunyai keistimewaan tersendiri sehingga ia dianjurkan agar menjadi makanan pembuka bagi orang yang berpuasa, dan juga ia dapat menjadi protector agar terhindar dari segala racun dan sihir. (Suyanti: 2010)

Apa yang disampaikan Nabi di sini hanya terbatas pada dalil teologis yang dengan keterangan singkat tersebut, tidak dapat ditemui kelogisan terkait keitimewaan kurma terhadap tubuh. Untuk menguraikan tentang keistimewaan kurma secara ilmiah akan dibahas di bagian selanjutnya.

Sudut pandang sains

Pohon kurma (Phoenix dactylyfera) termasuk dalam suku Aecaceae, yang terdiri dari beratus jenis. Beberapa kerabat tanaman dari pohon kurma di Indonesia di antaranya kelapa (Cocos nucifera), aren (Arenga pinata), gewang (Corypha utan), lontar atau siwalan, nipah, sagu, salak dan rotan.

Baca Juga: Keistimewaan Buah Delima (Ar-Rumman) yang Disebut dalam Al-Quran

Adapun keistimewaan kurma jika dilihat melalui kaca mata kesehatan tubuh antara lain:

  1. Kurma kering diketahui dapat melancarkan pencernaan dan air seni karena mengandung cukup banyak serat;
  2. Serat dalam kurma, diketahui sangat baik bagi ibu yang hendak melahirkan maupun yang sedang menyusui;
  3. Buah kurma kaya akan unsur kalsium dan besi yang diperlukan dalam proses pembentukan air susu dan perkembangan bayi;
  4. Kurma dapat mempengaruhi ketenangan seseorang akibat pengaruh positifnya terhadap kelenjar gondok. (LPMA: 2010).

Jadi dapat disimpulkan, bahwa al-Qur’an menyebutkan kata nakhl memang mempunyai keistimewaan, terutama jika dilihat dari kebermanfaatannya berdasarkan sudut pandang sains. Wallahu a’lam bis showāb.

Tafsir Surat Yasin Ayat 38: Kuasa Allah Swt dalam Pergerakan Matahari

0
Yasin Ayat 38
Yasin Ayat 38

Artikel sebelumnya menyebutkan bahwa siang dan malam merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah Swt. Adapun artikel ini akan membahas sebab terjadinya siang dan malam serta melihat lebih jauh bagaimana kuasa Allah Swt dalam pergerakan matahari. Untuk itu, mari kita simak tafsir surat Yasin ayat 38 berikut ini:

وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ۚ ذَٰلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ

Wasy syamsu tajrii limustaqarrin lahaa dzaalika taqdiirul ‘azizil ‘aliim.

Artinya:

(38) Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.

Hamka menjelaskan, pergantian siang dan malam yang disinggung di ayat 37 sebelumnya dipengaruhi oleh rotasi dan peredaran bumi mengelilingi matahari. Mana bagian bumi yang menghadap matahari, akan teranglah ia dan terjadilah siang. Dan mana bagiannya yang membelakangi matahari, jadilah ia gelap dan itulah yang disebut malam.

Dahulu orang-orang mengira bahwa matahari hanya berdiam di tempatnya sambil dikelilingi oleh bumi, namun kemudian terungkap bahwa matahari itu sendiri juga berjalan dan berputar pada porosnya. Ini sejalan dengan isyarat ilmiah dalam surat Yasin ayat 38 di atas pada ungkapan “tajri limustaqarrin laha.”

Husein al-Thabathaba’i dalam al-Mizan menafsirkan kata “tajri” (berlari) dengan “tataharrak” (bergerak) dan huruf lam dalam “limustaqarrin” menurutnya bermakna “ila lil-ghayah.” Maknanya, matahari senantiasa bergerak sampai menuju tempat perhentian atau akhir perjalanannya, yaitu kala kiamat tiba.

Sedikit berbeda dengan pendapat Ibn Kasir. Menurut Ibn Kasir kata “mustaqarr” dapat merujuk pada dimensi ruang (al-makani) dan waktu (az-zamani). Berdasarkan makna yang pertama, pergerakan matahari bertempat di bawah Arsy sebagaimana keadaan semua makhluk. Sementara berdasarkan makna yang kedua, matahari dipahami selalu bergerak sampai tibanya masa pemberhentian, yaitu hari kiamat.

Ibn Katsir dan Nawawi al-Bantani dalam tafsirnya juga menyebutkan riwayat dari Ibn Abbas yang membaca “la mustaqirrun laha.” Bila diterjemahkan, maknanya matahari itu tidak pernah berhenti dan tidak pernah diam, ia senantiasa bergerak siang dan malam sampai hari kiamat.

Wahbah az-Zuhaili menambahkan, bahwa berdasarkan ilmu astronomi, matahari berotasi pada porosnya dan sekaligus mengelilingi pusat galaksi Bima Sakti. Maka perjalanan matahari pada ayat ini dapat bermakna ganda, yaitu berputar pada porosnya dan mengitari garis edarnya.

Kembali pada kata “tajri,” Quraish Shihab sendiri tetap memaknainya dengan ‘berlari’. Pemilihan diksi ini baginya mengindikasikan bahwa matahari memang benar-benar bergerak dengan cepat layaknya orang yang berlari. Dengan izin Allah Swt, matahari mampu menempuh perjalanan jauh dalam waktu yang relatif singkat.

Matahari yang menurut para astronom jauh lebih besar dan jauh lebih berat dari bumi itu bergerak dengan cepatnya secara teratur tanpa bertabrakan dengan bintang lain, dari semenjak penciptaannya hingga kini. Kecepatan revolusi matahari menurut perkiraan sekitar 720.000 km/jam. Hal itu merupakan bukti nyata kuasa Allah Swt.

Hamka juga menyatakan, ujung ayat 28 telah menegaskan bahwa pergerakan matahari beserta semua benda langit yang mengitarinya itu merupakan ketetapan Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Mengetahui. Hanya Allah Swt yang mampu menakdirkan fenomena tersebut dan mengetahui dengan jelas hikmah di baliknya.

Itulah secuil tafsir surat Yasin ayat 38 mengenai bukti kuasa Allah Swt dalam pergerakan matahari. Nantikan pembahasan tafsir surat Yasin berikutnya di portal tafsiralquran.id. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis sawab.