Beranda blog Halaman 417

Tafsir Surah Yasin ayat 39-40: Semua Makhluk Langit Adalah Ciptaan Allah Swt

0
Yasin ayat 39-40
Yasin ayat 39-40

Sebelumnya telah dibahas bagaimana matahari yang berputar pada porosnya  dan menjadi salah satu asbab adanya siang dan malam (tafsir ayat 37). Adapun pada pembasahan kali ini kita akan mengulas tafsir surat Yasin ayat 39-40 tentang matahari, bulan, dan semua mahluk langit adalah ciptaan Allah. Sebagaimana Firman-Nya:

وَالْقَمَرَ قَدَّرْنٰهُ مَنَازِلَ حَتّٰى عَادَ كَالْعُرْجُوْنِ الْقَدِيْمِ

لَا الشَّمْسُ يَنْۢبَغِيْ لَهَآ اَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا الَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ ۗوَكُلٌّ فِيْ فَلَكٍ يَّسْبَحُوْنَ

  1. Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua.
  2. Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.

Dua ayat diatas secara tekstual bisa dikatakan sebagai ayat-ayat sains, yang sebagian Mufassir sudah mengulasnya meski hanya secara ringkas. Terdapat perdebatan dikalangan ulama terkait tafsir ilmi, sebagian menghindari penafsiran yang bernuansa sains dengan alasan bahwa al-Qur’an bukanlah kitab ilmu pengetahuan, akan tetapi ia merupakan teks untuk membimbing manusia (hudan li al-nas) pada nilai-nilai tauhid dan moral.

Kita kesampingkan dulu perdebatan yang sudah menyejarah itu, fokus pembahasan kali ini adalah untuk membaca bagaimana penafsiran para ulama terkait ayat-ayat diatas.

Setelah sebelumnya Allah menegaskan peredaran bagi Matahari, maka pada ayat ini, Bulan pun ditetapkan kadar dan sistem perdarannya di beberapa tingkat/posisi tertentu (al-manazil).

Baca Juga: Tafsir Fiqh (4): Al-Qurthubi dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an

Istilah “al-manazil” oleh bangsa Arab adalah tempat turunnya bintang, dan menurut Zamaksyari, Qurthubi, serta beberapa mufassir lain, menyebut ada 28 al-manazil, yaitu:

Syaratan, Butayn, Tsurya, Dabaran, Haq’ah, Han’ah, Dzira’, Tsanrah, Tarf, Jabhah, Kharatan, Sarfah, ‘Awwa’, Samak, Ghafr, Zubanayan, Iklil, Qalb, Syawlah, Na’a’im, Baldah, Sa’d al-Zabh, Sa’d Bula’, Sa’d Su’ud, Sa’d al-Akhbiyah, Farghr al-Mutaqaddam, Farghr al-Mu’akhkhar, dan Batn al-Haut.

Apabila semuanya sudah dilalui hingga akhir, maka akan kembali ke awal, dan setiap hitungan 2-3 manazil juga akan terjadi gugusan bintang, dimana ratusan bintang akan berpendar indah menghiasi malam-malam bersama bulan. Terhitung pada manazil ke-28, akan ada peristiwa terputusnya orbit, yang memunculkan hilal, dimana bulan akan meredup, menua, bagai tandan tua termakan masa (kal ‘urjunil qadim) hingga lenyap, lalu lahir kembali menunaikan tugasnya.

Begitupun manusia, perjalanannya mirip seperti bulan, ia beranjak tumbuh sedikit-demi sedikit, dari bayi, terlentang, merangkak, berjalan menjadi anak-anak, tumbuh sebagai remaja, hingga dewasa. Ketika tua, kekuatannya akan menurun, membungkuk, semakin lemah, hingga lelap, dan menutup usia.

Matahari dan Bulan adalah dua makhluk ciptaan Allah yang memiliki keistimewaan tersendiri. Menurut Qurthubi, keduanya tercipta dari api, yang kemudian dibungkus oleh cahaya. Matahari dibungkus oleh cahaya ‘Ars, sedangkan bulan dibungkus dari cahaya Kursiy.

Keduanya beredar sesuai ketentuan, Mujahid berkata, “Keduanya memiliki batasan yang telah ditentukan, tidak mungkin mendahului atau membelakangi, apabila penguasa siang (matahari) datang, maka penguasa malam (bulan) hilang, begitupun sebaliknya”

Quraish menambahi, bahwa kata yanbaghi (يَنْبَغِيْ) mulanya bemakna “meminta sesuatu lalu memperolehnya”, proses ini kemudian melahirkan makna baru, yaitu “dapat/mampu”. Sehingga konteks ayat ini bisa dimaknai dengan ketidak mampuan bulan dan matahari untuk saling mendahului.

Baca Juga: Tafsir al-Lubab Karya Quraish Shihab, Tafsir Ringkas Cocok untuk Orang Sibuk

Menariknya, Zuhaili mengumpamakan tata surya sebagai lautan, dimana Matahari, Bulan, dan Bumi sedang berenang didalamnya. Karena itu pula redaksi akhir ayat 40 menggunakan kata يَسْبَحُوْن (yasbahun) yang berarti berenang. Menurutnya, dalam 1 tahun Matahari berotasi pada teritorinya (mengitari bumi) sekitar jarak tempuh 93 juta mil. Sedangkan Bulan beredar mengelilingi bumi setiap bulannya terhitung 240 ribu mil, adapun Bumi beredar mengelilingi Matahari, satu putaran terhitung sama dengan 1 tahun (365 hari).

Lebih jauh lagi jika melihat jarak dengan bintan-bintang yang dinamai dengan galaxy, untuk menempuhnya membutuhkan kecepatan cahaya sekitar 104.000.000.000 mil/detik, sedangkan antara bumi ke matahari dan bulan membutuhkan kecepatan cahaya sekitar 186.000 mil/detik.

Hamka menilai bahwa ayat ini memperlihatkan betapa kuasanya Allah dan kecilnya manusia. Semakin seseorang melihat ke langit, semakin kecil sesuatu yang terlihat, maka sejatinya adalah yang paling besar. Dan sebesar-besarnya sesuatu itu, ia tetaplah makhluk ciptaan Allah. Wallahu a’lam.

Demikianlahn penjelasan ringkas dari tafsir surat Yasin ayat 39-40, tunggu series tasfir Yasin selanjutnya. Semoga bermanfaat

Menyoal Politisasi Tamkin oleh Ikhwanul Muslimin Perspektif Al-Quran (1): Klarifikasi Makna

0
Klarifikasi makna tamkin Ikhwanul Muslimin
Klarifikasi makna tamkin Ikhwanul Muslimin

Kehadiran ayat tamkin telah “mengaspirasi” (baca: dijadikan aspirasi) Ikhwanul Muslimin dalam menyemaikan benih gagasannya. Tak pelak politisasi ayat pun tak terhindarkan. Dalam sejarah Islam, politisasi ayat bukanlah hal baru. Saya kira fenomena politisasi ayat tidak hanya terjadi dalam Islam, akan tetapi menghinggapi di semua agama. Karena itu, pada kesempatan ini saya akan sedikit mengulas makna tamkin yang seharusnya.

Klarifikasi Makna Tamkin

Secara bahasa tamkin berasal dari kata makkana, yumakinu, tamkin, artinya memperkuat, memperkokoh, mengamankan, meneguhkan. Muhammad Ali ash-Shalaby dalam Tabshirul Mu’minin Fiqh Nasr wa Tamkin fi Quran, tamkin secara bahasa ialah kekuasaan, kekuatan, kerajaan. Sebagaimana yang disitir dalam Al-Quran,

اِنَّا مَكَّنَّا لَهٗ فِى الْاَرْضِ وَاٰتَيْنٰهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا

Sungguh, Kami telah memberi kedudukan kepadanya di bumi, dan Kami telah memberikan jalan kepadanya (untuk mencapai) segala sesuatu (Q.S. al-Kahf [18]: 84)

Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menafsirkan kata makkanna dengan,

بالقوة والرأي والتدبير والسعة في المال والاستظهار بالعدد وعظم الصيت وكبر الشهرة

Kekuatan, gagasan, pemikiran, kesenangan dalam bentuk materi (kekayaan), popularitas, dan otoritas penuh.

Dalam pengertian yang lain, tamkin bermakna pemberdayaan. Penyebutan kata tamkin dalam Al-Quran sebanyak 18 kali. Secara umum tamkin memiliki beraneka ragam makna, di antaranya, pemberian kekuasaan dari Tuhan sebagaimana dalam Q.S. al-Kahfi: 84; (2) memberikan nikmat dunia atau mata pencaharian seperti Q.S. al-An’am: 6, kemampuan dan kemenangan atas sesuatu seperti Q.S. al-Anfal: 71, tetap kokoh, stabil di suatu tempat sebagaimana dalam Q.S. al-Mursalat: 21.

Baca juga: TGB Zainul Majdi: Makna Khalifah dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 30 Tidak Memuat Tendensi Politis

Lebih dari itu, Faridah Zamrad dalam Mafhum at-Tamkin fi al-Quran menyebutkan bahwa tamkin dalam Al-Quran secara umum terbagi dua makna; tamkin fi syai dan tamkin al-syai. Tamkin fi syai adalah upaya pemberdayaan dengan memperhatikan pemanfaatan potensi sumber daya alam sebagaimana disitir dalam Q.S. al-A’raf: 8, juga termasuk segala kebutuhan hidup lainnya sebagaimana dalam Q.S. al-Ahqaf: 24, Q.S. al-kahfi: 82, Q.S. al-An’am: 6.

Sedangkan tamkin al-syai adalah pemberdayaan yang mengaksentuasikan pada sisi spiritual, seperti peningkatan iman dan takwa, akhlak karimah, termasuk peningkatan ilmu pengetahuan sebagaimana disitir dalam Q.S. al-Nur: 52.

Dengan demikian, manusia dikatakan berdaya tatkala ia mampu memiliki dan memanfaatkan dua hal, yaitu sumber daya materi (sandang, pangan, papan atau harta, tahta dan sejenisnya) dan sumber daya spiritual atau agama (akhlak karimah, intelektualitas).

Baca juga: Mengkaji Slogan Kembali Kepada Al-Quran dan Al-Hadits

Ikhwanul Muslimin

Ikhwanul Muslimin (IM) merupakan gerakan politik yang muncul di Timur Tengah. IM didirikan pada Maret 1928 oleh Hasan al-Banna. IM memusatkan gerakannya pada kegiatan reformasi moral dan sosial (Munawir Sjadzali dalam Islam Tata Negara: Sejarah dan Pemikiran). Ikhwanul Muslimin bejuang dalam bidang politik sebagaimana penuturan Hasan al-Banna,

“Bila ada yang mengatakan bahwa Ikhwanul Muslimin adalah kaum politisi dan dakwahnya adalah dakwah politik wahai kaum muslimin sesungguhnya kami menyerukan dakwah dengan Al-Quran sebelah kanan dan Sunnah sebelah kiri serta amalan-amalan para salafus shalih adalah para suri tauladan kami. Kami menyeru pada hukum-hukum dan petunjuk Islam. Apabila hal ini kalian anggap politik, alhamdulillah berarti kami adalah pelopor dalam politik (Hasan al-Banna dalam Jabir, Membentuk Jama’atul Muslimin).

Baca juga: Kisah Akhnas Ibn Syuraiq dan Pergulatan Politik Berbaju Agama di Indonesia

Beranjak dari pernyataan al-Banna, ia mendengungkan gerakan reformis melalui IM-nya dengan merekrut beberapa tokoh, dan mempolitisir makna ayat Al-Quran untuk dijadikan legitimasi gerakannya. Salah satu politisasi ayat yang dilakukannya yang menurut saya sangat fundamental dan penting untuk kita ketahui bersama adalah tamkin.

Syekh Usamah dalam Islam Radikal; Telaah Kritis Radikalisme dari Ikhwanul Muslimin Hingga ISIS menjelaskan bahwa tamkin adalah sebuah konsep yang sangat fundamental dan merupakan pondasi bangunan pemikiran Ikhwanul Muslimin dan kelompok-kelompok Islam radikal lainnya yang lahir dari rahimnya. Pemikiran ini telah diwacanakan dan diberi landasan teori dengan sebuah metode yang mengubahnya menjadi gerakan politik yang terorganisir, yang sejalan dengan konteks umum teori-teori mereka yang berangkat dari pengafiran kaum muslimin; masyarakat, sistem, pemerintah, ulama dan lembaga-lembaga mereka.

Demikianlah ulasan singkat terkait makna tamkin dan Ikhwanul Muslimin, nantikan serial berikutnya dalam tafsiralquran.id.

Wallahu A’lam.

Sabar dan Tekad Kuat, Kunci Sukses Menjadi Pemimpin

0
Sabar dan tekad kuat, kunci jadi pemimpin
Sabar dan tekad kuat, kunci jadi pemimpin

Sabar dan tekad kuat adalah dua kunci sukses bagi seorang pemimpin. Sudah menjadi mandat baginya untuk merawat masyarakat dan memakmurkan kehidupan mereka. Tanpa adanya sifat sabar dan tekad kuat, mustahil pemimpin mampu mengatur dan mebangun negara. Ibarat kata pepatah, al-i’timad ‘ala al-nafs asas al-najah (teguh dalam prinsip/pendirian kunci sukses) dan sabar kunci kesuksesan. Dalam Al-Quran, dua kunci itu Allah firmankan pada Surat as-Sajdah ayat 24-25.

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ

إِنَّ رَبَّكَ هُوَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami. Sungguh, Tuhanmu, Dia yang memberikan keputusan di antara mereka pada hari kiamat tentang apa yang dahulu mereka perselisihkan padanya.

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Yusuf: Menjadi Pejabat di Bawah Kepemimpinan Non-Muslim

Konteks ayat

Sebenarnya, tidak ada satu pun riwayat yang persis menjelaskan sebab turunnya ayat 24-25 ini. Akan tetapi, bila mengacu pada konten yang berbicara soal risalah dari Bani Israel, maka mengindikasikan bahwa ayat ini turun sebagai risalah perdamaian kaum Yahudi Madinah yang telah tertarik dengan Islam dan berdekatan dengan zaman ketika Nabi saw. akan menyebarkan dakwah ke Madinah. Anggapan ini mengacu pada Surat as-Sajdah ayat 23 dan 24.

Mengutip Abid Al-Jabiri dalam Fahmul Qur’anil Hakim, penghargan yang Allah swt. berikan kepada Nabi Musa as. dan Bani Israel  dapat dipahami sebagai analogi bagi Islam yang dibawa dan didakwahkan oleh Nabi saw. berharap untuk dapat hidup dan berbaur dengan Yahudi Madinah dengan menjunjung nilai-nilai tolesansi dan saling melengkapi.

Ketika para pengikut Nabi Musa as. dapat menjadi panutan bagi kaumnya dalam hal agama, maka begitu pun kaum Nabi Muhammad saw.. Mereka juga dapat menjadi panutan bahkan untuk seluruh umat. Panutan yang senantiasa menggolarakan prinsip-prinsip ketauhidan dan ketaatan. Sebagaimana Allah swt. menjadikan Taurat sebagai petunjuk untuk Bani Israil dan kaum Nabi Musa as. sebagai panutan, begitu pula Al-Quran, ia adalah kitab petunjuk untuk seluruh umat, dan pengikut Nabi saw. adalah panutan seluruh umat.

Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 59: Bentuk Dukungan Rasulullah Terhadap Pemimpin dan Ulama

Dengan begitu, risalah Nabi saw. ini menjadi penyempurna risalah-risalah sebelumnya yang telah dijelaskan pada Surat Al-‘Anbiya’, tentang janji Allah swt. kepada Nabi Musa as. yang telah terbukti. Dan bahwa Allah swt. telah menetapkan dalam Kitab Zabur, sesungguhnya yang berhak menjadi pewaris dunia adalah hamba-hambanya yang saleh.

Tafsir global

Allah swt. dalam ayat 24 menjelaskan bahwa Ia telah menjadikan sebagian dari Bani Israel sebagai panutan dalam agama. Berdasarkan tafsiran Wahbah az-Zuhayli dalam Tafsir al-Munir, panutan agama yang dimaksud ialah nabi. Ada pula yang menafsirkannya dengan nabi dan rahib.

Nabi atau rahib itulah yang bertugas untuk mendakwahkan tauhid, ubudiyah, dan syariat kepada umat serta menunjukkannya pada jalan kebenaran. Hal ini dilakukan atas dasar mandat dari Allah swt., selama para panutan tersebut mampu bersabar dalam menahan beratnya beban yang dipukul dan sabar dari cobaan-cobaan dunia. Juga, selama mereka yakin terhadap ayat-ayat yang telah Allah swt. turunkan.

Pada ayat selanjutnya, Allah swt. menyatakan kepada Nabi saw. bahwa kelak di hari kiamat Allah swt. memutuskan segala konflik agama antara mukmin dan kafir, hingga semua dapat balasan yang setimpal dengan apa yang diperbuat.

Baca juga: 3 Macam Sikap Sabar yang Digambarkan dalam Al-Quran

Sabar dan tekad kuat kunci sukses pemimpin

Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, ayat ini membicarakan tentang kenikmatan yang diberikan kepada suatu kaum berupa dihadirkannya pemimpin-pemimpin yang dapat membimbing menuju kebenaran. Yaitu pemimpin yang penuh kesabaran dan bertekad kuat..

Frasa Sabaru pada ayat 24, diambil dari kata as-sabr, yang secara bahasa berarti menahan diri dalam kesempitan. Sementara secara istilah, sabar diartikan dengan menahan hawa nafsu sesuai dengan tuntutan akal dan syariat. Menurut ar-Raghib al-Ishfahani dalam Mufradat Alfadzil Quran, sabar memiliki beberapa sinonim, sesuai dengan konteks kata itu digunakan. Pertama, sabar, diartikan dengan menahan nafsu dari tindakan maksiat. Kedua, shaja’ah, diartikan dengan menahan rasa takut ketika peperangan. Ketiga, lapang dada, diartikan dengan menahan kebosanan. Keempat, menyembunyikan kabar. Frasa ini kemudian dapat dipahami dengan menahan diri dari hal-hal negatif, sehingga melatih pemimpin agar tidak grusa-grusu dalam mengambil tindakan.

Sementara frasa yuqinun: diambil dari kata yakin, salah satu sifat ilmu di atas taraf makrifat dan dirayah. Ilmu tertinggi. Sebagaimana yang dijelaskan al-Ishfahani, yakin adalah ketika sesuatu yang menjadi objek sudah benar-benar tertancap dalam pemahaman besertaan tetapnya hukum, sehingga tidak ada lagi bentuk pertentangan. Dengan pengertian ini, dapat dipahami bahwa pemimpin yang baik ialah yang memiliki tekad kuat tak tergoyahkan.

Baca juga: Kisah Akhnas Ibn Syuraiq dan Pergulatan Politik Berbaju Agama di Indonesia

Dengan adanya tekad kuat, pemimpin dapat menebar kemaslahatan pada rakyatnya, tanpa ada ragu. Dengan kesabaran, pemimpin dapat melaksanakan tanggungjawabnya dengan istikamah.. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bila sabar adalah sebagian dari iman, dan sebagian lainnya adalah rasa syukur dengan mentaati perintah dan menjauhi larangan.

Dua pilar ini sangatlah penting untuk menjadi acuan seorang pemimpin yang bertanggungjawab. Hal ini karena dengan tekad itulah, hakikat perintah dan larangan bisa diketahui. Dan, dengan kesabaran, apa yang dilarang bisa dihindari serta apa yang diperintah bisa dilaksanakan dengan khidmat. Ibarat kata, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan adalah kunci kesuksesan, dan bahwa orang sabar dan pemaaf adalah yang berhati mulia’. Tanpa keduanya mustahil harapan akan terealisasi.

Sebagaimana konteks ayat di atas, yang memberikan isyarat bagi minoritas muslim Mekah kala itu agar tetap bersabar sebagaimana orang-orang pilihan dari Bani Israel. Di lain sisi, bertekad kuat sebagaimana tekad orang-orang pilihan itu, sehingga membuat mereka pantas untuk menjadi pemimpin, generasi sekarang pun harus demikian. Dengan sabar dan tekad kuat, kepemimpinan akan dapat terlaksana dengan baik. Wallahu a’lam[]

Surat Al-Araf Ayat 172: Perjanjian Manusia dengan Tuhan

0
Surat Al-Araf Ayat 172
Ilustrasi Surat Al-Araf Ayat 172

Artikel ini akan menjelaskan Surat al-Araf Ayat 172 tentang perjanjian dengan Allah Swt. Menurut ayat ini, setiap manusia telah mengikat janji dengan Tuhannya sebelum mereka dilahirkan. Allah Swt berfirman:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (ٍSurat Al-Araf Ayat 172)

Ibn Katsir ketika menjelaskan ayat ini mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan dalam shahihain (Bukhari dan Muslim) yang menyatakan, “Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah (suci), yakni beragama (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang yahudi, nasrani atau majusi”.

Baca Juga: Ibn Katsir: Sosok di Balik Lahirnya Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim

Lebih lanjut, Ibn Katsir menegaskan bahwa melalui Surat Al-Araf Ayat 172 ini, Allah Swt. menginformasikan kepada setiap manusia, bahwa ketika mereka masih berada di alam ruh (rahim), Allah telah mengikat mereka dengan sebuah persaksian bahwa Allah adalah Tuhan mereka, tidak ada tuhan lain selain Dia. Hal ini dimaksudkan agar kelak manusia tidak mengatakan bahwa mereka lalai akan hal ini (persaksian).

Ironisnya, ketika kelak manusia sudah lahir ke muka bumi, kemudian ia bertumbuh dari kanak-kanak menjadi remaja kemudian dewasa sampai akhirnya meninggal dunia, banyak di antara mereka yang justru melupakan perjanjian tersebut.

Perjalanan hidup anak manusia diwarnai dengan beragam peristiwa, baik yang menghadirkan suka maupun yang meninggalkan duka. Warna-warni kehidupan tersebut pada gilirannya akan membentuk pribadi setiap manusia.

Ada orang yang sebagian besar hidupnya diwarnai penderitaan dan kekecewaan, tetapi justru semakin mendekatkan dirinya kepada Allah. Hingga akhirnya Allah pun melimpahkan karunia berupa kesuksesan dan kebahagiaan hidup. Di sisi lain, ada pula orang yang sebagian besar hidupnya diliputi kesenangan, kelimpahan materi, tetapi justru menjauhkan dirinya dari Allah, hingga pada akhirnya berujung dengan dihilangkannya segala kenikmatan dan kesenangan hidup yang pernah dialaminya.

Pada hakekatnya, jika kita semua mengingat perjanjian yang pernah kita ikrarkan dan sepakati dengan Allah ketika berada di alam rahim, sebagaimana disebut oleh ayat di atas, maka perjalanan hidup kita akan senantiasa berada di jalan yang benar dan diridlai Allah. Tetapi jika kita melupakannya, maka sangat mungkin perjalanan hidup kita akan melenceng jauh dari jalan kebenaran.

Janji dengan Tuhan adalah janji tauhid, janji untuk terus mengesakan-Nya, janji untuk selalu berada di jalan-Nya. Jika janji tersebut kita pegang teguh, maka Tuhan pun akan terus menuntun kita tetap berada di jalan-Nya. Tetapi jika kita mengingkarinya, maka Dia pun akan memalingkan wajah-Nya dari kita.

Tuhan sesuai dengan persangkaan kita kepada-Nya. Jika kita mengingat-Nya dalam diri kita, maka Dia pun akan mengingat kita dalam diri-Nya. Demikian disebutkan dalam sebuah hadis qudsi.

Betapa banyak di antara kita, atau mungkin diri kita sendiri yang sering melupakan Tuhan. Tuhan hanya kita tempatkan di masjid, mushalla, tempat-tempat ibadah, majelis taklim serta majelis dzikir. Sedangkan ketika kita di kantor, di pasar, di tempat kerja, di jalan, di tempat-tempat umum, kita tinggalkan Tuhan, kita tidak sertakan Dia dalam aktivitas keseharian kita.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 180: Anjuran Berdoa dan Berdzikir dengan Asmaul Husna

Dengan demikian, maka yang terjadi adalah munculnya manusia-manusia dengan kepribadian ganda. Di satu sisi mereka kelihatan khusyu’ ketika beribadah, tekun mendengar ceramah-ceramah keagamaan, rajin mengikuti majelis taklim dan majelis dzikir, tetapi di sisi lain, mereka juga gemar melakukan kejahatan; korupsi, kolusi, penyalahgunaan wewenang dan jabatan, curang dalam berdagang, dan sederet tindak kejahatan lainnya.

Perilaku mereka sehari-hari seringkali tidak mencerminkan ibadah yang mereka lakukan. Mereka tidak risih dan tanpa malu lagi melakukan perselingkuhan, perzinahan, penganiayaan, bahkan pembunuhan.

Inilah bukti nyata bahwa manusia sering melupakan Tuhan, melalaikan janji sucinya dengan Tuhan untuk menjadi hamba-Nya saleh, yang penuh ketaatan kepada-Nya dan kasih sayang terhadap sesamanya.

Mari kita kembali mengingat perjanjian dengan Tuhan, kemudian kita penuhi janji tersebut, sehingga kita mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan hidup di dunia ini dan di akhirat nanti. Wallahu A’lam.

Tafsir al-Lubab Karya Quraish Shihab, Tafsir Ringkas Cocok untuk Orang Sibuk

0
Tafsir al-Lubab Karya Quraish Shihab
Tafsir al-Lubab Karya Quraish Shihab

Perkembangan tafsir di Indonesia telah menjadi isu lawas dalam kajian tafsir itu sendiri. Pada tahun 1990-an misalnya, Islah Gusmian mencatat bahwa pada era tersebut muncul tafsir-tafsir dengan jejaring sosial penulisnya secara bebas dan longgar. Pada pertengahan tahun 2012, muncul tafsir al-Lubab karya Quraish Shihab, tafsir ringkas ini memiliki makna, tujuan dan Pelajaran dari Surah-surah al-Qur’an dengan slogan “tafsir ringkas untuk orang sibuk”. Tafsir ringkas al-Lubab dinilai tetap memiliki keunikan. Berikut Spesifikasi mengenai tafsir al-Lubab;

Spesifikasi Tafsir al-Lubab

Nama al-Lubab diberikan sendiri oleh Quraish Shihab. Al-Lubab merupakan derivasi kata dari labba. Atau dengan kata lain, labba merupakan kata kerja dari al-Lubab. (Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia h.1247. )

Tafsir ringkas al-Lubab diperkirakan selesai ditulis pada bulan Juni 2008, namun baru selesai dicetak pada bulan Juli 2012. Walaupun al-Lubab merupakan anak kandung dari tafsir al-Mishbah, banyak hal yang berbeda dijumpai dalam tafsir ini. Pertama, dari segi sistematika. Sama halnya dengan tafsir al-Mishbah, al-Lubab ditafsirkan dari juz 1 hingga juz 30. Hanya saja, jumlah jilid tafsir al-Lubab menjadi 4 jilid setelah diringkas dari tafsir al-Mishbah.

Baca juga: Petunjuk Al-Quran tentang Tiga Hal Untuk Memperkuat Keyakinan

Jilid 1 mencakup surah al-Fatihah hingga surah Hud (714 halaman), jilid 2 memuat surah Yusuf hingga surah asy-Syu’ara (720 halaman), jilid 3 dari surah an-Naml hingga surah al-Fath (719 halaman) dan jilid 4 terdiri dari surah al-Hujurat hingga surah an-Nas (803 halaman).

Kitab tersebut ditulis dengan menggunakan metode ijmali atau global. Quraish Shihab mengonfirmasi kesimpulan ini. Ia menyatakan bahwa al-Lubab dapat dikategorikan ke dalam metode ini. Al-Lubab tidak menyertakan pengertian kosakata ayat, tidak menggunakan istilah-istilah yang menjadikan pemaknaan ayat menjadi luas, juga tidak membahas tema-tema tertentu.

Contoh Penafsiran Tafsir Al-Lubab

Karakteristik yang paling terlihat jelas pada tafsir ini ialah penyampaian inti sari dan pelajaran dari kandungan ayat-ayat yang dijelaskan dalam al-Mishbah. Misal mengenai penafsiran ayat 34 surah an-Nisa;

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Q.S An-Nisa Ayat 34).

Dalam al-Mishbah, Quraish memberikan penjelasan panjang mengenai ayat tersebut. Ia memberikan uraian mengenai kata al-rijal dari segi kebahasaan yang diterjemahkan sebagai lelaki dengan tidak mengabaikan pendapat ulama lain yang mengartikannya sebagai para suami. Dengan mengutip pendapat Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur bahwa dalam konteks kebahasan Arab tidak digunakan al-rijal dalam arti suami tetapi berbeda dengan al-nisa dan imra’ah yang dimaknai istri, ia setuju bahwa penggalan awal ayat tersebut secara umum berbicara tentang pria dan wanita dan memiliki fungsi sebagai pendahuluan untuk penggalan ayat kedua yang lebih spesifik berbicara mengenai sikap dan sifat istri-istri yang shalehah.

Baca juga: Bentuk-bentuk Filantropi yang Diperintahkan dalam Al-Quran

Quraish juga memaparkan kata qawwamun dari segi pemaknaannya hingga sampai pada kesimpulan kata tersebut diterjemahkan dengan pemimpin. Namun, pemimpin yang dimaksud ialah yang mencakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan dan pembinaan. Lebih lanjut, Quraish memberikan kejelasan tentang pemimpin tersebut dengan mengutip redaksi dari ayat tersebut yaitu pertama, bima fadhdhalallahu ba’dhuhum ‘ala ba’d (karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain) yang dimaknainya dengan memiliki keistimewaan masing-masing. Keistimewaan ini digambarkan salah satunya dari segi psikis.

Mengutip pendapat dari pakar psikologi, ia menemukan bahwa lelaki memiliki keunggulan dari segi fisiknya sedang wanita lebih pada perasaannya. Kedua, bima anfaqu min amwa lihim (disebabkan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka) yang dimaknai bahwa seorang suamilah yang berkewajiban memberikan nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Sesuai dengan redaksi ayat tersebut, Quraish selanjutnya memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat tersebut yang memuat perihal atau hal-hal yang harus dilakukan jika ada seorang istri yang nusyuz (angkuh, membangkang dan lain-lain) dengan merujuk pada ayat tersebut.

Baca juga: Penjelasan Aqsam al-Quran dan Beberapa Fakta Menarik di dalamnya

Pada al-Lubab, Quraish memberikan pemaparan bahwa ayat tersebut menjelaskan fungsi dan kewajiban masing-masing jenis kelaminnya serta yang menjadi motif perbedaan tersebut, yaitu lelaki atau suami dianggap sebagai qawwam, pemimpin dan penanggung jawab atas perempuan atau istri karena keistimewaan pria atau suami yang menjadikannya pantas menjadi qawwam.

Oleh karena itu, para lelaki atau suami menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan membiayai hidup istri dan anak-anaknya. Lebih lanjut, ayat tersebut memberikan kategori wanita shalehah yaitu yang taat kepada Allah dan taat kepada suaminya setelah keduanya bermusyawarah bersama dan atau jika perintah suaminya tidak bertentangan dengan perintah Allah dan tidak mencabut hak-hak pribadi istrinya. Di samping itu, perempuan atau istri berkewajiban memelihara diri, hak-hak suami dan rumah tangga jika suaminya tidak ada karena Allah memelihara mereka dalam bentuk memelihara cinta suaminya.

Lalu, ayat tersebut juga memberi tuntunan kepada seorang suami bagaimana memperlakukan istrinya yang membangkang, yaitu dengan menasihati mereka pada saat yang tepat dan dengan kata-kata yang menyentuh.

Dan jika hal ini masih belum berhasil, maka sang suami diizinkan memukul tetapi dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Apabila sang istri telah patuh, maka sang suami tidak lagi dibenarkan menyusahkannya dengan cara apapun. Dan dengan itu, mereka dapat membuka lembaran baru kembali dengan bermusyawarah dalam segala persoalan kehidupan bersama.

Baca juga: Uraian Lengkap Soal Terjemah Al-Quran dan Perbedaannya dengan Tafsir

Kesimpulan di atas telah dikonfirmasi oleh Quraish Shihab dengan menyertakan slogan “Tafsir Ringkas untuk Orang Sibuk”. Juga pada penggalan penamaan tafsir ini sendiri yang pada dasarnya ingin mengungkap makna, tujuan dan pelajaran dari surah-surah al-Qur’an. Oleh karena itu, berdasarkan redaksi ayat di atas ada tiga pelajaran yang dapat dipetik:

  1. Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan suatu yang mutlak, lebih-lebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama dan persoalan yang mereka hadapi sering kali muncul dari sikap jiwa, tetapi kepemimpinan yang dibebankan kepada suami bukan berarti kesewenangan.
  2. Istri yang shalehah adalah yang menaati suaminya selama tidak bertentangan dengan ajaran agama. Namun, dalam saat yang sama, suami istri hendaknya selalu bermusyawarah mencari titik temu dalam segala persoalan yang mereka hadapi.
  3. Istri yang membangkang – perintah yang wajar – sehingga melampaui batas kewajaran, maka suami dituntut menasihatinya, lalu meninggalkannya dari tempat tidur dan membatasi perselisihan mereka dalam kamar. Jika ini pun tidak berhasil, maka “memukulnya” tanpa menyakiti, karena tujuan pemukulan adalah menampakkan “ketidaksenangan suami yang mendalam”.

Pada pemaparan sebelumnya telah dideskripsikan mengenai tafsir al-Lubab oleh karena itu mengenai pembacaan kritis tafsir al-Lubab antara lain: keuniversalan makna yang dikandung, makna yang disampaikan pun global. Bagi para pengkaji tafsir, khususnya yang mendalami kitab tafsir mengenai kebahasaannya, munasabah ayat, asbab nuzul dan lain sebaginya, tentu kitab ini tidak akan mencukupi kebutuhan tersebut.

Sekali lagi, tafsir ini dirancang dan dibuat untuk orang sibuk maupun “sok” sibuk yang tidak sempat mengkaji maupun mempelajari tafsir dengan penjelasan panjang, sebagaimana slogan yang tertera pada cover kitab.

Menilik Pengertian ‘Amud Al-Quran dan Metodologinya ala Hamiduddin Farahi

0
amud al-quran
amud al-quran

Penjelasan mengenai ‘amud Al-Quran (tema sentral Al-Quran) yang dikembangkan oleh Hamiduddin Farahi, mufasir kontemporer asal India ini menjadi hal yang sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Pada salah satu karyanya, Dalail al-Nidzam, al-Farahi memberikan ulasan lebih lanjut tentang ‘amud Al-Quran sekalipun secara global.

Sebenarnya konseptualisasi ‘amud Al-Quran ala al-Farahi berasal dari nidzam yang terdapat dalam Al-Quran. Nidzam, dalam pandangan al-Farahi dan Islahi, seperti yang dikutip Mustansir Mir dalam Coherence in the Quran, merupakan prinsip yang sangat diperlukan dalam penafsiran. Sehingga, al-Farahi menyebutkan bahwa nidzam adalah yang pertama dan yang terpenting dari semua prinsip penafsiran. Bahkan, apabila melupakan petunjuk terhadap nidzam, maka terlupakan juga bagian terbesar dari Al-Quran (Al-Farahi, Tafsir Nidzam Al-Quran).

Nidzam Al-Quran mempunyai arti penting dalam penafsiran Al-Quran sebagaimana dipaparkan oleh Farid Ravi dalam al-Imam ‘ Abd al-Hamid al-Farahi wa Juhuduh fi al-Tafsir wa‘ Ulum al-Qur’an, adalah (1) implementasi metodologi nidzam akan mengantarkan pada tujuan Al-Quran itu sendiri; (2) nidzam adalah sebuah bukti dari kebenaran ta’wil; (3) nidzam adalah sebuah kunci untuk mengetahui hikmah di balik Al-Quran, karena ada kerahasian dalam Al-Quran; (4) nidzam membuka wawasan untuk memahami Al-Quran dari aspek balaghah.

Dengan menjaga metodologi nidzam dalam penafsiran maka akan diketahui kronologi ayat itu turun, serta sebagai respon atas kritik riwayat tafsir dengan ini juga bisa membedakan antara riwayat yang lemah dan kuat. Menerapkan nidzam dalam penafsiran akan membawa pembaca pada kemudahan dalam memahami Al-Quran

Baca juga: Mengenal Tafsir Nidzam Al-Quran karya Hamiduddin Farahi

Keberadaan nidzam sangat penting, dikarenakan nidzam merupakan satu-satunya cara untuk memahami Al-Quran denga tepat. Ketika membaca Al-Quran tanpa panduan dari nidzam, maka hanya beberapa pengetahuan yang didapat dari Al-Quran. Tanpa adanya nidzam, Al-Quran tidak lebih dari kumpulan ayat dan surat. Tapi, dengan adanya nidzam bisa berubah menjadi kesatuan yang nyata.

Sekilas ‘Amud Al-Quran

Secara bahasa ‘amud berarti tiang. Seperti yang diungkapkan Mustansir Mir dalam Coherence in the Quran,

“According to al-Farahi, each Qur’anic surah has a distinct controlling theme called ‘amud. The ‘amud (literally, “pillar, column”) is the hub of surah, and all the verses in that surah revolve around it. In attemping to establish the unity of a surah, Farahi central concern is to determine the surah’s ‘amud.”

Al-Farahi sendiri mendefinisikan ‘amud sebagai sesuatu yang menyatukan tema-tema wacana. Namun bukan berarti ‘amud yang mendorong pemersatu secara umum, melainkan ‘amud sebagai prinsip pemersatu yang spesifik dan pasti. Amud merupakan pusat dari surat, maka semua surat akan berada atau berputar di sekitarnya. Sehingga, yang menjadi orientasi al-Farahi adalah menemukan ‘amud surat.

أما العمود فلا يكون لسورة إلا واحد، وهذه الواحد ربما يحتوى واحد أشياء كثيرة

Hanya ada satu ‘amud dalam satu surat, namun bisa jadi satu ‘amud tersebut memang mengandung beberapa perkara di dalamnya. ‘Amud merupakan hal yang paling utama dalam memahami pesan tunggal.

Menurut al-Farahi, setiap surat dalam Al-Quran meki tema sentral yang menggabungkan makna dari surat itu sendiri. Tema sentral tersebut mengubah aspek-aspek yang berbeda menjadi seperti satu unit, meskipun ada arti yang berbeda dari ayat atau surat secara bersamaan.

Lebih dari itu, ‘amud dapat menyatukan seluruh surat menjadi satu kesatuan, yang kemudian ia kembangkan secara logis. Sehingga metodologi yang dilakukan oleh al-Farahi menghasilkan sebuah tafsir yang lengkap. Ini adalah gagasan utama yang kemudian diteruskan oleh al-Islahi, muridnya.

Baca juga: Inilah Ragam Pendapat Ulama tentang Nidzam Al-Quran

Metodologi ‘Amud Al-Quran

Basis dari kesatuan nidzam dalam Al-Quran adalah surat, yang bertumpu pada ‘amud. ‘Amud merupakan benang pemersatu dalam surat, dan surat harus ditafsirkan dengan mengacu pada ‘amud tersebut. Tidak hanya setiap surat adalah kesatuan, tapi juga ada hubungan yang logis di antara semua surat yang mengikuti satu sama lain. ‘Amud berfungsi sebagai tema pengontrol pada setiap surat.

Beberapa cara al-Farahi dalam mengungkapkan ‘amud Al-Quran pada saat melakukan penafsiran:

  • Dalam beberapa penafsirannya, al-Farahi menjelaskan kandungan ‘amud di awal pembahasan kemudian diikuti dengan ittishal, atau terkadang juga menggunakan kata rabith lalu disambung dengan pembahasan nidzam surat. Seperti halnya pada surat al-Dzariyat, al-Qiyamah, al-Mursalat, ‘Abasa, al-Syams, al-Tin dan al-Kautsar.
  • Terkadang juga al-Farahi mencantumkan terlebih dahulu nidzam surat, kemudian diikuti dengan ‘amud nya, seperti pada surat al-Tahrim.
  • Pada surat al-Fil misalnya, al-Farahi memberikan sebuah keterangan lebih lanjut. Karena memang al-Farahi memiliki argumen yang berbeda dari mufassir lainnya terkait mukhatab pada surat tersebut. Sebelum menguraikan kandungan ‘amud, al-Farahi memberikan sebuah intruksi untuk mengkaji terlebih dahulu terkait penjelasan siapa mukhatab yang dimaksud. Untuk mendapatkan pemahaman yang benar terkait ta’wil dan makna rabith.
  • Dan dalam 4 surat yang lain, al-Farahi tidak menunjukkan apa ‘amud yang terkandung dalam surat tersebut, yakni pada surat al-Asr, al-Fil, al-Kafirun dan al-Lahab.
  • Menurut al-Farahi, setiap surat dalam Al-Quran meki tema sentral yang menggabungkan makna dari surat itu sendiri. Tema sentral tersebut mengubah aspek-aspek yang berbeda menjadi seperti satu unit, meskipun ada arti yang berbeda dari ayat atau surat secara bersamaan.

Dari metode yang digunakan al-Farahi dalam mengungkap ‘amud Al-Quran terlihat bahwa metode penafsiran ‘amud Al-Quran tidak terlepas dari nidzam Al-Quran. Nuansa nidzam di sini sangat kental. Mustansir Mir sendiri telah mengidentifikasi enam penafsir modern yang mengembangkan gagasan tema sentral (‘amud) dalam Al-Quran, yakni al-Farahi (1930), Ashraf Ali Thanavi (19943), Sayyid Quthb (1966), al-Islahi (1997), Izzat Darwazah (1984) serta Thabathaba’i (1981), selain itu ada juga Muhammad Abdullah Darraz (1958). Metodologi ini berupaya untuk membimbing penafsir pada pemahaman yang holistik. Wallahu A’lam.

Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun Syekh Ali Jaber Dikabarkan Meninggal Dunia

0
Syekh Ali Jaber
Syekh Ali Jaber

Hari ini Kamis (14/01) berita duka datang menghampiri umat Islam Indonesia, da’i asal Madinah berkewarganegaraan Indonesia Syekh Ali Jaber dikabarkan meninggal dunia di RS Yasri Cempaka Putih pukul 08.30.

Kabar meninggalnya dibenarkan oleh Ust. Yusuf Mansur dalam unggahan instagramnya.

“Innaa lillaahi Wa Innaa Ilaihi Raaji’uun Syaikh Ali Jaber wafat di RS Yarsi, jam 8.30. Mohon do’anya,” tertulis dalam caption Ust Yusuf Mansur sambil berlinang air mata dalam unggahan videonya.

Kabar wafatnya Da’i yang sering muncul di televisi ini dibenarkan oleh Ketua Yayasan Syekh Ali Jaber, Habib Abdurrahman Al-Habsyi, sebagaimana dilansir dari Republika.co.id, Kamis (14/1). Untuk detail kabar ini, Habib Abdurrahman belum merespons.

Sebelumnya, Syekh Ali dilaporkan semakin menunjukkan perkembangan yang baik. Selama dirawat intensif karena Covid-19 sejak Selasa (29/12/2020) lalu, kesehatan dai kelahiran Madinah ini terus memperlihatkan perkembangan baik setiap harinya.

“Alhamdulillah wa syukurillah, berdasarkan laporan observasi medis harian, keadaan beliau hari ini selasa 5 januari 2021 menunjukkan erkembangan yng amat baik,” jelas Ketua Yayasan Syekh Ali Jaber, Habib Abdurrahman Al-Habsyi, Selasa (5/1).

Sebagai informasi tambahan, Pemilik nama lengakap Syekh Ali Saleh Muhammad Ali Jaber ini lahir di Madinah Februari 1976. Ia anak pertama dari 12 bersaudara dan menikah dengan Umi Nadia, wanita Indonesia asal Lombok, NTB, dan dikaruniai seorang anak bernama Hasan.

Beliau mulai berdakwah di Indonesia sejak tahun 2008 dan resmi menjadi warga negara Indonesia pada tahun 2012.

Untuk detailnya, sebagaimana dilansir dari viva.co.id, pada tahun 2008, kala usia 32 tahun, Syekh Ali Jabir terbang ke Indonesia. Ia menuju ke Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), asal istrinya tinggal. Di sini ia menjadi guru tahfidz (hapalan) Quran, Imam salat, khatib di Masjid Agung Al- Muttaqin Cakranegara Lombok, NTB, Indonesia.

Kariernya berlanjut saat ia diminta menjadi Imam salat tarawih di Masjid Sudan Kelapa, Menteng, Jakarta. Selain itu, ia juga menjadi pembimbing tadarus Quran dan imam salat Ied di Masid Sunda kelapa, Menteng, Jakarta ini.

Syekh Ali Jaber wafat dalam keadaan negatif Covid-19. Hal ini dikabarkan Ust. Yusuf Mansur dalam unggahan instagram terbarunya.

“Benar Syeikh Ali wafat. 08.30, sudah dalam keadaan negatif covid. Di RS. Yarsi, Cempaka Putih, Jakarta. Kita semua kehilangan banget,” tulisnya dalam caption.

Semoga Syekh Ali Jaber mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah Swt. Amin.

Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 6-12

0
tafsir surah an naba'
Tafsiralquran.id

Setelah pada pembahasan sebelumnya berbicara mengenai alasan-alasan diturunkannya surah an-Naba, Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 6-12 berbicara mengenai tanda-tanda kekuasaan Allah swt. Salah satu tanda kekuasaanNya adalah menjadikan bumi sebagai tempat hidup yang layak dan nyaman.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 1-5 


Selain itu tanda-tanda lainnya yang disebutkan dalam Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 6-12 adalah menjadikan gunung sebagai pasak, menciptakan manusia berpasang-pasangan, menciptakan siang sebagai aktifitas dan malam sebagai waktu istirahat dan lain sebagainya.

Ayat 6

Pertama, bukankah Allah telah menjadikan bumi sebagai hamparan yang mudah didiami oleh manusia dan hewan ternak yang berguna bagi manusia. Sebetulnya bumi ini bundar seperti bola, tetapi karena begitu besarnya, maka permukaannya tampak datar seperti hamparan.

Ayat 7

Kedua, Allah jadikan gunung-gunung sebagai pasak untuk mengokohkan bumi, sehingga tidak bergoyang karena guncangan-guncangan yang ada di bawahnya.

Ayat 8

Ketiga, yang tidak kalah hebatnya Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan, agar timbul kecintaan dan kesayangan di antara suami-istri untuk menempuh hidup bahagia dan memelihara keturunan yang baik, mempertahankan kelangsungan jenis manusia sehingga tidak punah.

Ayat ini sejalan dengan maksud firman Allah:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ  ٢١

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. (ar-Rµm/30: 21)

Ayat 9

Keempat, Allah menjadikan tidur pada malam hari untuk beristirahat dari kesibukan pekerjaan pada siang hari, agar menghasilkan berbagai mata pencaharian. Dengan istirahat waktu tidur itu, manusia dapat mengembalikan daya dan kekuatan untuk melangsungkan pekerjaan pada keesokan harinya. Seandainya tidak diselingi oleh istirahat tidur tentu kekuatan siapa pun akan merosot sehingga tidak dapat melangsungkan tugas sehari-hari.


Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 37: Siang dan Malam Sebagai Tanda Kekuasaan Allah Swt


Ayat 10

Kelima, Allah menjadikan malam sebagai pakaian. Maksudnya malam itu gelap menutupi permukaan bumi sebagaimana pakaian menutup tubuh manusia. Hal itu berarti bahwa malam itu berfungsi sebagai pakaian bagi manusia yang dapat menutupi auratnya pada waktu tidur dari pandangan orang-orang yang mungkin melihatnya.

Demikian pula sebagai pakaian, maka gelap malam itu dapat melindungi dan menyembunyikan seseorang yang tidur dari bahaya atau musuh yang sedang mengancam.

Ayat 11

Keenam, Allah menjadikan siang untuk berusaha dan mencari rezeki yang diperlukan dalam kehidupan dan untuk hidup bermasyarakat.

Ayat 12

Ketujuh, Allah membangun di atas manusia tujuh langit yang kokoh tanpa memiliki tiang dan tunduk kepada hukum Allah.

Secara ilmiah, tujuh langit yang kokoh kemungkinan dapat diartikan dengan lapisan-lapisan atmosfer yang dekat dengan bumi ini, seperti: (1) Troposphere (Troposfer), (2) Tropopause (Tropopaus), (3) Stratosphere (Stratosfer), (4) Stratopause (Stratopaus), (5) Mesosphere (Mesosfer), (6) Mesopause (Mesopause), dan (7) Thermosphere (Termosfer). Pembagian ini berdasarkan temperatur (suhu) dari lapisan-lapisan atmosfer dan jaraknya dari permukaan bumi.

Kekokohan lapisan-lapisan tersebut, dalam pengertian kokoh dalam menyelimuti bola bumi kita, karena adanya gaya gravitasi bumi. (lihat pula telaah ilmiah dalam Surah ar-Ra’d/13:2, Juz-13). Pada telaah ilmiah Surah ar-Ra’d/13: 2 tersebut, pembagian lapisan atmosfer sedikit berbeda dengan yang dijelaskan pada telaah ilmiah ini, di mana Ionosfer dan Eksosfer disatukan dalam Termosfer.


Baca juga: Mengenal Tafsir Ilmi, Tafsir Jawahir Karangan Thanthawi Jauhari


Namun apabila pengertian tujuh langit ini dikaitkan dengan Mi’raj Rasulullah Muhammad saw, tampak kurang tepat. Tujuh langit dalam Surah an-Naba’/78: 12 ini mungkin dapat diartikan sebagai Tujuh Dimensi Ruang-Waktu dalam Kaluza-Klein Theory (KKT). Seperti dinyatakan dalam fisika bahwa terdapat empat (4) Gaya Fundamental yang ada di jagad raya ini, yaitu Gaya Elektromagnetik, Gaya Nuklir Lemah, Gaya Nuklir Kuat, dan Gaya Gravitasi.

Jika keempat gaya ini terbentuk dari Ledakan Besar (Big Bang) dari suatu Singularity, maka mestinya keempat gaya ini dahulunya menyatu sebagai Satu Gaya Tunggal (Grand Unified Force), ini yang dikenal dalam Grand Unified Theory (GUT, Teori Ketersatuan Agung?).

KKT menjelaskan bahwa untuk dapat menerangkan ketersatuan gaya-gaya yang empat itu, maka adanya geometri ruang-waktu yang kita berada di dalamnya sekarang ini tidaklah cukup. Geometri ruang-waktu yang kita berada di dalamnya sekarang ini hanya mampu menjelaskan sedikit tentang gaya-gaya Elektromagnetik dan dalam beberapa hal Gaya Gravitasi.

Untuk bisa menjelaskan keempat gaya tersebut, maka KKT  menyatakan harus ada tujuh dimensi ruang-waktu (time-space dimensions) yang lain. Dengan demikian bersama empat dimensi yang sudah dikenal, yaitu: garis, bidang, ruang dan waktu; maka total dimensi ada sebelas (11) dimensi.

Pernyataan ini berbasiskan pada perhitungan Matematika-Fisika. Berbasiskan pada KKT ini, para saintis telah mampu pula menghitung garis tengah salah satu dimensi ruang-waktu itu, yaitu sebesar 10-32 cm, jadi dimensi itu sangat kecil sekali. Dengan demikian, tidaklah mungkin dengan instrument yang ada sekarang ini kita dapat menembus tujuh dimensi ruang-waktu yang lain itu.

Kaluza-Klein Theory telah memberikan gambaran adanya Tujuh Dimensi Ruang-Waktu, yang kesemuanya ini akan mengokohkan geometri jagad-raya dengan empat gaya-gaya fundamentalnya. Mungkinkah tujuh langit yang kokoh tersebut adalah tujuh dimensi ruang-waktu menurut Kaluza-Klein Theory ? Wallahu a’lam bis-sawab.


Baca setelahnya: Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 13-20


(Tafsir Kemenag)

Penjelasan Aqsam al-Quran dan Beberapa Fakta Menarik di dalamnya

0
Aqsam al-Quran
Ilustrasi Aqsam al-Quran

Artikel ini akan menjelaskan seputar Aqsam al-Quran yang merupakan satu pembahasan dalam Ulum al-Quran. Kata al-aqsam merupakan bentuk plural dari al-qasm yang memiliki makna al-khalf dan al-Yamin yang dalam bahasa Indonesia berarti sumpah. Sumpah juga dinamai dengan yamin karena dahulu orang Arab pada saat melakukan sumpah, ia menjabat tangan kanan sahabat/orang yang diajaknya bersumpah.

Secara istilah aqsam dijabarkan sebagai ungkapan yang dipakai guna memberikan penegasan atau pengukuhan suatu pesan dengan menggunakan kata-kata qasam. Dalam pemakaiannya

Di dalam kitab Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Manna’ al-Qathan menjelaskan bahwa aqsam al-Quran atau qasam secara umum memiliki shigot asli yang terdiri dari fi’il atau kata kerja aqsama atau akhlafa yang dimuta’addikan (ditransitifkan) dengan “ba” untuk sampai kepada muqsam bihi (sesuatu yang digunakan untuk bersumpah), lalu disusul dengan muqsam ‘alaih (sesuatu yang karenanya sumpah diucapkan) yang dinamakan dengan jawab qasam, sebagaimana firman Allah, Q.S. al-Nahl [16]: 38:

وَاَقْسَمُوْا بِاللّٰهِ جَهْدَ اَيْمَانِهِمْۙ لَا يَبْعَثُ اللّٰهُ مَنْ يَّمُوْتُۗ بَلٰى وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا وَّلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ

Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah dengan sumpah yang sungguh-sungguh, “Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati.” Tidak demikian (pasti Allah akan membangkitkannya), sebagai suatu janji yang benar dari-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Dahulu qasam sering digunakan dalam percakapan, maka diringkaslah adat al-qasam dengan menghilangkan fi’il aqsam dan diganti dengan “ba”. Lalu kemudian “ba” pun diganti dengan “wawu” pada isim-isim yang dzahir, contohnya: واليل إذا يغشى. dan kemudian diganti dengan “ta” pada lafadz jalalah, contohnya: و تالله لأكيدن أصنمكم.

Qasam memiliki beberapa unsur yang harus dimiliki untuk mementuk shigot qasam, yakni:

  • Adat al-Qasm

Pada dasarnya yang disebut dengan adat al-qasm adalah fi’il atau kata kerja aqsama atau akhlafa yang di-muta’addi-kan (ditransitifkan) dengan “ba” untuk sampai kepada muqsam bihi. Namun akibat seringnya qasam digunakan dalam percakapan maka diringkaslah adat al-qasm dengan menghilangkan fi’il aqsam dan diganti dengan huruf “ba”, “wawu”, dan “ta”.

  • Muqsam’ Bih

Allah bersumpah dengan Dzat-Nya yang suci atau dengan tanda-tanda kekuasaan-Nya. Allah juga bersumpah dengan sebagian makhluk-Nya sebagai bukti bahwa makhluk itu merupakan salah satu dari tanda kekuasaan-Nya.

Allah telah bersumpah dengan Dzat-Nya dalam al-Qur’an pada tujuh tempat yakni: Q.S. al-Taghabun: 7; Q.S. Saba: 3; Q.S. Yunus: 53; Q.S. Maryam: 68; Q.S. al-Hijr: 92; Q.S. al-Nisa: 65;  dan Q.S. al-Ma’arij: 40.

Selain dari ketujuh ayat di atas, qasam dalam al-Qur’an dijumpai dengan muqsam bih berupa nama makhluk atau ciptaan Allah seperti pada Q.S. al-Syams: 1-2; Q.S. al-Lail: 1-3; Q.S. al-Fajr: 1-4; Q.S. al-Takwir: 15 dan Q.S. al-Tin: 1-2.

Baca Juga: Menilik Keutamaan dan Tujuan Qasam dalam Al-Quran

Allah bisa bersumpah dengan apa saja yang dikehendaki-Nya. Adapun sumpah manusia dengan selain Allah merupakan salah satu bentuk kemusyrikan. Diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab bahwa Rasulullah bersabda: “Barang siapa bersumpah dengan selain (nama) Allah, maka ia telah kafir atau telah mempersekutukan (Allah).”

Allah bersumpah dengan makhluk-Nya karena makhluk itu menunjukkan Penciptanya, yaitu Allah, di samping menunjukkan pula akan keutamaan dan kemanfaatan makhluk tersebut, agar dijadikan pelajaran bagi manusia serta agar memperhatikan pengajaran yang ingin Allah berikan melalui perhatian terhadap muqsam bih yang Dia gunakan.

  • Muqsam ‘alaih

Muqsam ‘alaih atau yang dinamai juga dengan jawab al-qasm merupakan sesuatu yang karenanya lafadz qasam harus keluar dari mulut seseorang untuk mengukuhkan pernyataannya dan kebenarannya. Adapun sejatinya tujuan qasam adalah untuk mengukuhkan dan mewujudkan muqsam ‘alaih.

Sebagaimana contohnya dalam Q.S. al-Dhuha [93]: 3-5:

مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلٰىۗ وَلَلْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْاُوْلٰىۗ وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضٰىۗ

Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu, dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu dari yang permulaan. Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas.

Beberapa Fakta Menarik Seputar Aqsam al-Quran

Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi dalam karyanya al-I’jaz al-Bayani lil Qur’an mengemukakan beberapa fakta menarik seputar aqsam al-Quran. Beberapa di antaranya:

  1. Ayat-ayat yang dimulai dengan wau qasam di depannya hanya didapati pada surah-surah Makiyah dan tidak dijumpai pada surah-surah Madaniyah.
  2. Tidak jumpai ayat qasam yang menggunakan lafadz “Allah” sebagai muqsam bih-nya kecuali diucapkan oleh kaum Musyrikin yang bersumpah demi mendurhakai kedatangan hari Kiamat.
  3. Qasam yang menggunakan kata “rabb” sebagai muqsam bih-nya berjumlah empat dalam al-Qur’an dan seluruhnya tidak dimulai dengan adat al-qasm melainkan diiringi dengan fa’ (Q.S. al-Dzariyat: 23; Q.S. Hijr: 92); fala (Q.S. al-Nisa’: 65); dan iy (Q.S. Yunus: 53).

Beberapa poin menarik yang didapatkan penulis dari pemaparan Bintu Syathi saat membahas dan menafsirkan Aqsam Al-Quran, menjadi tambahan informasi dalam keilmuan ini. Meskipun demikian, pembahasan ini akan lebih menarik lagi jika melihat penafsiran para Mufassir mengenai keterkaitan antara muqsam bih dan muqsam alaih.

Baca Juga: Bint As-Syathi: Mufasir Perempuan dari Bumi Kinanah

Sebab bisa saja dijumpai hal-hal menarik dari kreativitas para Mufassir dalam memaknai hakikat dari nama-nama ciptaan yang Allah jadikan muqsam bih untuk menegaskan muqsam alaih-nya. Pembahasan tersebut mungkin akan coba penulis lanjutkan pada edisi tulisan selanjutnya. Wallahu a’lam.

Kitab al-Miftah ‘ala Tahrir Ushul al-Tafsir, Ringkasan Dasar Ilmu Tafsir Karya Kiai Asal Cianjur

0
Kitab al-Miftah ‘ala Tahrir Ushul al-Tafsir
Kitab al-Miftah ‘ala Tahrir Ushul al-Tafsir

Selama ini, buku-buku dalam kajian ulumul Qur’an yang dikenal dan dijadikan sebagai sumber referensi oleh para santri dan akademisi Indonesia adalah karya-karya ulama timur tengah. Namun, perlu diketahui, dalam negeri sendiri ternyata terdapat sosok kiai ‘alim asal Cianjur yang menulis tentang kitab dasar ilmu tafsir berbahasa Arab yakni Kitab al-Miftah ‘ala Tahrir Ushul al-Tafsir. Oleh karena itu, kiranya penting bagi penulis untuk memperkenalkan produk lokal tersebut kepada para pembaca sekalian.

Latar Belakang Penulisan

Karya yang berjudul al-Miftah ‘ala Tahrir Ushul al-Tafsir tersebut merupakan karya dari seorang Kiai asal Cianjur yang bernama lengkap Miftah ibn Ma’mun ibn Abdullah al-Martiy al-Syianjuriy. Dalam mukaddimah-nya, Kiai Miftah menyampaikan bahwa penulisan kitab tersebut bertujuan untuk membuat semacam ringkasan yang berguna untuk memudahkan dalam memahami dasar-dasar ilmu tafsir.

Karya tersebut diterbitkan oleh penerbit Dar al-Fikr dengan ketebalan kitab hanya mencapai 16 halaman. Kiai Miftah juga menyampaikan bahwa isi materi dalam kitab tersebut tidak lain hanyalah bersumber dari kutipan-kutipan dari kumpulan kitab mu’tabar (kredibel) para ulama, serta berdasarkan hasil taqrirat (keterangan) dari para masyayikh.

Baca juga: Petunjuk Al-Quran tentang Tiga Hal Untuk Memperkuat Keyakinan

Oleh karena itu, dengan rendah hati, Kiai Miftah menjelaskan bahwa apabila dalam kitab tersebut ditemukan kebenaran maka semua hal tersebut tidak lain berasal dari para ulama yang ia kutip tersebut. Namun, apabila ditemukan kesalahan maka hal tersebut murni berasal dari kelalaian penulis kitab itu sendiri.

Gambaran Umum Isi Pembahasan

Kiai Miftah menyampaikan dalam pendahuluan kitabnya, bahwa kitab tersebut tersusun atas tiga bagian pembahasan, yaitu mukaddimah, empat bab pembahasan utama, dan penutup. Sebelum menuju pembahasan utama, Kiai Miftah menguraikan terlebih dahulu dalam mukaddimahnya terkait penjelasan tentang definisi istilah-istilah dasar dalam ulumul Qur’an seperti istilah ushul al-tafsir, Al-Qur’an, Surat (jumlah dan macam-macam bentuk surat), dan Ayat.

Setelah menjelaskan definisi dari ragam istilah tersebut, Kiai Miftah menguraikan perihal lima permasalahan yang harus dipahami oleh setiap umat Islam, seperti larangan menafsirkan Al-Qur’an dengan hawa nafsu dan akal semata, larangan menulis Al-Qur’an dengan bahasa selain bahasa Arab, larangan terjemah harfiah dan lain sebagainya.

Lanjut menuju empat pembahasan utama, Kiai Miftah mengawalinya dengan pembahasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan turunnya Al-Qur’an (fima Yarji’ ila al-Nuzul). Dalam bab pertama tersebut di dalamnya terbagi lagi menjadi tujuh tema pembahasan, yaitu (1) makkiy-madaniy, (2) hadhariy-safariy, (3) nahariy-lailiy, (4) firasyiy-naumiy, (5) shaifiy-syita’iy, (6) awwal ma nazala wa akhir ma nazala min al-qur’an, dan (7) ma’rifah sabab al-nuzul.

Baca juga: Uraian Lengkap Soal Terjemah Al-Quran dan Perbedaannya dengan Tafsir

Kemudian, pada bab kedua dari pembahasan utama, Kiai Miftah menguraikan di dalamnya perihal pembahasan yang memiliki sangkut paut dengan transmisi sanad (fima Yarji’ ila al-Sanad). Dalam bab kedua tersebut terdiri dari tiga tema pembahasan, yaitu (1) al-mutawatirah wa al-ahad wa al-syadz min al-qur’an, (2) al-qira’at al-waridah ‘an al-nabiy annahu qara’a biha, dan (3) fiman isytahara min al-shahabah wa al-tabi’in bi hifdz al-qur’an al-karim wa iqra’ihi.

Berikutnya, pada bab ketiga. Dijelaskan mengenai pembahasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan teks Al-Qur’an (fima Yarji’ ila al-Alfadh). Dalam pembahasan tersebut terurai lagi menjadi enam topik pembahasan, yaitu (1) al-gharib, (2) al-musytarak, (3) al-muradif, (4) al-haqiqah wa al-majaz, (5) al-tasybih, dan (6) al-kinayah. Dalam bab al-haqiqah wa al-majaz, Kiai Miftah menguraikan secara singkat terkait 30 bentuk majaz yang ditemukan dalam Al-Qur’an.

Pada bab keempat, diuraikan di dalamnya perihal pembahasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan makna (fima Yarji’ ila al-Ma’ani). Dalam tema pembahasan tersebut, terbagi lagi menjadi enam topik pembahasan, yaitu (1) al-mantuq wa al-mafhum, (2) al-’aam wa al-khash, (3) al-nasikh wa al-mansukh, (4) al-muthlaq wa al-muqayyad, (5) al-mujmal wa al-mubayyan, dan (6) al-muhkam wa al-mutasyabbih.

Baca juga: Satu Lagi Karya Ulama Indonesia di Bidang Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Kitab At-Tashrih Al-Yasir Fi Ilmi At-Tafsir

Kiai Miftah menutup uraian pembahasan dalam kitabnya dengan memberikan bab terkahir yaitu penutup (khatimah). Dalam pembahasan terakhir tersebut, Kiai Miftah membahas perihal definisi dari istilah tafsir dan takwil. Kemudian ditutup dengan pembahasan empat tipologi bentuk tafsir Al-Qur’an.

Terdapat pembahasan yang menarik dalam kitab tersebut, terutama dalam pembahasan pembagian bentuk-bentuk tafsir. Kiai Miftah membagi membagi tipologi bentuk tafsir menjadi empat macam, yaitu:

  1. al-Tafsir bi al-Tanzil

Kiai Miftah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bentuk tafsir al-tafsir bi al-tanzil adalah bentuk penafsiran Al-Qur’an yang berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, atau biasa disebut dengan penafisran al-Qur’an bi al-Qur’an. Kemudian, terkait contohnya, ia menyebut bahwa Q.S. al-A’raf []: 22 merupakan ayat yang menafsirkan Q.S. al-Baqarah [2]: 27.

  1. al-Tafsir bi al-Ma’tsur

Bentuk tafsir kategori kedua ini merupakan bentuk penafsiran Al-Qur’an yang menggunakan riwayat Hadis Nabi atau melakukan kutipan terhadap atsar dari sahabat Nabi yang berisi penjelasan terhadap sebuah ayat Al-Qur’an.

  1. al-Tafsir bi al-Dirayah

Kiai Miftah mendefinisikan al-tafsir bi al-dirayah ini sebagai bentuk penafsiran yang berlandaskan pada pengetahuan yang dimiliki oleh seorang mufasir, atau dalam istilah lain bisa juga disebut sebagai bentuk tafsir bi al-ra’y (rasio).

  1. al-Tafsir bi al-Isyarah

Istilah al-tafsir bi al-isyarah didefinisikan oleh Kiai Miftah sebagai kegiatan pentakwilan makna ayat Al-Qur’an dengan makna yang bukan makna lahirnya, karena adanya isyarat khusus yang diketahui oleh para penempuh jalan spiritual (salik) dan tasawuf.

Dari uraian pembagian bentuk tafsir tersebut, sisi yang menarik adalah adanya pemisahan antara bentuk penafsiran bi al-tanzil dengan bentuk penafsiran bi al-ma’tsur. Hal ini cukup unik menarik, mengingat dalam kitab-kitab ulumul Qur’an lainya, dua bentuk penafsiran tersebut dijadikan satu dalam satu bentuk tafsir yaitu tafsir bi al-ma’tsur.

Demikian kurang lebih paparan singkat tentang kitab al-Miftah ‘ala Tahrir Ushul al-Tafsir karya Kiai Miftah. Kitab tersebut sangatlah bermanfaat bagi para pengkaji Al-Qur’an, khususnya bagi pemula. Hal ini dikarenakan di dalamnya berisi pemaparan dasar-dasar pengetahuan ilmu tafsir yang dijelaskan secara ringkas dan mudah dipahami. Sehingga dapat dijadikan sebagai referensi awal dalam mengenal ilmu tafsir. Wallahu A’lam