Beranda blog Halaman 416

Inilah 4 Cara Menjaga Agama dalam Bingkai Maqashid Syariah

0
Menjaga Agama
Menjaga Agama

Menjaga agama menjadi salah satu maqashid al-syari’ah yang primer. Dewasa ini bahkan kata-kata “bela agama” dan juga “bela al-Qur’an” kerap kali mewarnai aksi-aksi demonstrasi yang diikuti oleh salah satu komunitas umat Islam tertentu atas fenomena-fenomena yang menurut mereka dapat mengancam keberlangsungan Islam sebagai agama.

Tulisan ini bukan ditujukan sebagai respon atas fenomena “bela agama”, namun sebagai tambahan referensi dalam wacana ini. Berikut ini merupakan ulasan atas pandangan Abdul Majid Najar, dalam karyanya Maqashid al-Syari’ah bi Ab’ad Jadidah yang mengulas empat poin penting dalam menjaga agam dalam bingkai maqashid syari’ah:

1. Menjaga agama dengan mempermudahnya

Menjaga agama dengan mempermudahnya yaitu memudahkannya dan mengurangi kesulitannya. Al-Qur’an dan hadis telah menyebutkan perintah untuk beragama secara mudah dan tidak berlebihan. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah, Q.S. al-Baqarah [2]: 185

يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.

Ayat ini menerangkan salah satu kemudahan yang diberikan oleh syariat Islam kepada pelakunya. Salah satu contoh kemudahan tersebut adalah tatkala masuk bulan Ramadhan dan pada saat itu jika ada umat Islam yang berada dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan yang mengharuskan untuk tidak berpuasa, maka Islam memberikan kelonggaran dengan membolehkan puasa itu diganti atau digenapkan di hari lain di luar bulan Ramadhan.

Selain itu, terdapat hadis berikut ini,

إنما بعثتم ميسرين و لم تبعثوا معسرين

Sesungguhnya aku diutus untuk memudahkan kalian, bukan untuk menyulitkan kalian

Penggalan hadis ini sebenarnya merupakan bagian dari hadis yang bercerita tentang seorang Badui yang kencing di masjid dan kala itu rasulullah dan beberapa sahabat ada di sana. Maka sahabat yang jengkel ingin menghalangi Badui tersebut, namun tidak diperbolehkan oleh Nabi dan justru meminta sahabat membiarkannya hingga selesai. Setelah Badui itu selesai, Nabi meminta sahabat menyiram kencing itu dengan satu ember air dan memberitahu Badui itu dengan halu bahwa ia tidak boleh kencing di masjid dan harus memuliakannya.

Baca Juga: Dialektika Kemukjizatan Al-Quran dan Budaya Bangsa Arab Sebagai Bukti Moderatnya Ajaran Islam

Setelah mendengar perintah Rasulullah, sahabat kemudian menyiramnya dan masjid pun kembali suci. Maka Nabi pun mengucapkan kalimat itu sebagai isyarat bahwa jika seandainya sahabat menghalangi Badui itu kencing, maka justru kencingnya akan kemana-mana dan justru membuat pekerjaan lebih susah. Kemudian Nabi juga mendapat doa dari Badui itu karena telah mengingatkannya dengan halus dan bukan dengan kekerasan atau makian.

Hikmah dari penggalan ayat dan hadis tersebut adalah Islam mengajarkan umatnya bahwa Islam adalah agama yang mudah untuk dijalankan. Maka maksud dari beragama dengan mudah tersebut adalah menjalankan syariat agama itu sendiri dan tidak berlebihan atau seolah-olah menampilkan bahwa Islam itu agama yang ruwet. Dengan begitu, dakwah Islam akan semakin mudah diterima dan lebih banyak mendapat simpati.

2. Menjaga agama dengan berijtihad

Ijtihad diperlukan sebagai pelaksanaan hukum syar’i yang kebanyakan bersifat umum. Ijtihad dalam hal ini adalah bersungguh-sungguh dalam berpendapat tentang suatu hukum nash dengan dalil dzhonni dan menunujukkan hal itu adalah perintah syari’at serta menetapkan hal yang belum ditetapkan dalam syari’at berdasarkan metode yang diketahui ahli ilmu (fikih). Dengan begitu dimungkinkan semua hal yang dilakukan atau ditinggalkan manusia dalam hal agama adalah berdasarkan hukum syari’at baik dengan cara langsung maupun ijtihad. Hal itu berarti segala perbuatan manusia untuk Allah memiliki hukum perintah, larangan, ataupun kebolehan.

Dalam syari’ah Islam, Ijtihad dihukumi fardhu kifayah untuk muslim. Ijtihad yang termasuk dalam cara menjaga agama ini ditujukan untuk memperlihatkan bahawa agama akan selalu hadir dalam setiap konteks kehidupan dan tidak akan pernah usang. Apabila tidak terdapat seorang muslim yang berijtihad untuk menetapkan suatu hukum (atas masalah baru) yang diperlukan, maka umat Islam akan beragama dengan tanpa tuntunan dan hal ini akan memberikan citra buruk bagi Islam yang dianggap tidak mampu menghadapi tantangan zaman. Maka dari itu, ijtihad merupakan salah satu cara dalam menjaga agama.

3. Menjaga agama dengan menyampaikannya (dakwah)

Menyampaikan agama dalam hal ini bertujuan untuk menunjukkan agama kepada manusia. Hal ini merupakan kewajiban dalam hukum syari’at. Berikut ini dalil al-Qur’an yang mengatakan hal tersebut :

قُلْ هٰذِهٖ سَبِيْلِيْٓ اَدْعُوْٓا اِلَى اللّٰهِ ۗعَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَا۠ وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ ۗوَسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

Katakanlah (Muhammad), “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.” (Surah Yusuf Ayat 108)

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Surah Ali Imran Ayat 104)

Baca Juga: Inilah Metode Dakwah Ideal Menurut Al-Quran, Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125

Dakwah menjadi salah satu cara untuk menjaga dan menunjukkan konsistensi serta ketersinambungan Islam. Maka dakwah perlu dilakukan dengan strategi yang mempertimbangkan konteks sosio-antropologis audiens yang akan didakwahi agar mendapatkan simpati mereka.

4. Menjaga agama dengan kekuasaan

Masuk dalam tatanan penguasa dan memiliki kekuasaan termasuk salah satu cara menjaga agama karena dengan ada kekuasaan, maka akan ada power untuk menegakkan syariat agama. Mengutip salah satu ungkapan Gus Baha’ bahwa seribu ulama yang mengeluarkan fatwa haram pada aktivitas nyundel (PSK), tidak akan mampu menutup lokalisasi tanpa power sebagai pejabat yang punya kuasa untuk itu.

Maka jika menengok Q.S. al-Maidah [5]: 51, yang sempat menjadi akar konflik beberapa tahun lalu, di dalamnya sebenarnya ada isyarat bahwa umat Islam haruslah mempersiapkan kader-kadernya sebagai pemimpin dan ikut serta dalam perpolitikan. Sebab dengan begitu umat Islam dapat menjaga keberlangsungan pelaksanaan syariat-syariatnya dan tidak mudah diintervensi oleh pihak-pihak yang berbeda serta memiliki tujuan-tujuan politis tertentu. Wallahu a’lam.

Debat Kusir Mengenai Al-Quran Dilarang, Berikut Penjelasannya

0
Debat Kusir
Debat Kusir

Sebuah perdebatan atau diskusi yang berjalan alot tentang dalil Al-Quran, disertai keinginan agar lawan debat dapat segera mau mengikuti kita, kadang membuat kita melakukan hal-hal yang dapat menciderai kemuliaan Al-Qur’an. Diantaranya adalah membuat lawan debat menjadi ragu pada suatu ayat di dalam Al-Qur’an dengan mempertentangkannya dengan ayat lain. Sehingga mengarah pada inkar terhadap suatu ayat di dalam Al-Qur’an.

Tindakan ini merupakan salah satu gambaran dari prilaku yang di dalam hadis Nabi disebut Al-Mira’ atau bisa diartikan sebagai debat kusir atau debat tanpa alasan yang jelas menurut ahli ilmu agama. Alih-alih membuat seorang muslim memperoleh pemahaman bermanfaat dari Al-Qur’an, Al-Mira’ justru mendorong seorang muslim mendustakan suatu ayat, tanpa tahu apakah pemahamannya akan ayat tersebut sudah benar atau belum.

Hadis Larangan Debat Kusir Mengenai Al-Qur’an Serta Berbagai Penjelasan Tentangnya

Sahabat Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad salallahualaihi wasallam bersabda:

« الْمِرَاءُ فِى الْقُرْآنِ كُفْرٌ »

Debat kusir mengenai Al-Qur’an hukumnya kufur (HR. Abi Dawud)

Hadis di atas diriwayatkan oleh banyak ahli hadis. Di antaranya Abi Dawud, Ibn Hibban, Ad-Daruquthni, Al-Hakim dan Abu Nu’aim. Ibn Hibban dan al-Hakim menilai hadis di atas sebagai hadis sahih.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 59: Cadar dan Perdebatan yang Melelahkan

Al-Mira’ di dalam kamus Bahasa Arab sendiri maknanya adalah “perdebatan”. Para ulama’ memiliki penjelasan yang berbeda-beda mengenai gambaran tindakan debat kusir mengenai Al-Qur’an yang dilarang sebagaimana di dalam hadis di atas:

  1. Membuat lawan debat meragukan salah satu ayat dari Al-Qur’an, bahwa itu adalah kalamullah. Atau Meragukan Ayat tersebut bersifat qadim atau hadis, atau gemar mengutak-atik ayat-ayat mustabihat yang kejelasannya hanya Allah yang tahu (Faidul Qadir/6/344).
  2. Adanya dua orang yang menggunakan qiraah yang berbeda dari 7 qiraah yang diakui kesahihannya, kemudian salah satunya atau masing-masing mengklaim qiraah yang dipakainyalah yang benar, sedang qiraah lawan bicaranya adalah qiraah yang salah. Hal ini dapat membuat pelakunya menjadi kufur sebab sama saja inkar terhadap cara baca yang diakui kesahihannya (‘Aunul Ma’bud/10/123).
  3. Perdebatan yang berisi mendustakan satu ayat di dalam Al-Qur’an dengan cara mempertentangkannya dengan ayat lain. Padahal yang seharusnya ia lakukan adalah mencari titik temu dari dua ayat tersebut. Apabila tidak bisa, maka seharusnya ia diam dan menanyakan permasalahan itu pada orang yang lebih tahu (‘Aunul Ma’bud/10/123).
  4. Tatkala sebuah ayat menunjukkan secara jelas pada kesimpulan yang berlawanan dengan yang diyakini seseorang, dan menunjukkan secara lemah pada kesimpulan yang diyakini orang tersebut, lalu ia menggunakan ayat tersebut sebagai modal debat dan diarahkan pada kesimpulan sesuai apa yang diyakininya. Padahal ia tahu, kesimpulan sebenarnya dari ayat tersebut berlawanan dengan apa yang diyakininya (At-Tibyan/168).

Titik Temu Berbagai Uraian Tentang Al-Mira’

Secara umum, ulama’ tidaklah meyakini bahwa yang dimaksud Al-Mira’ atau perdebatan di dalam hadis di atas adalah perdebatan secara umum. Sebab perdebatan-perdebatan tentang hukum halal-haram, tentang makna-makna suatu ayat, dimana perdebatan tersebut dilandasi oleh berbagai disiplin ilmu yang dimiliki oleh pelakunya, tidaklah dilarang dan justru malah dianjurkan. Hal ini disampaikan diantaranya oleh Ibn Hajar dan Abu ‘Ubaid (‘Aunul Ma’bud/10/123).

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Larangan Debat Kusir dengan Orang yang Tidak Berilmu

Perdebatan yang dilarang adalah perdebatan terkait Al-Qur’an yang tidak dilandasi ilmu atau debat kusir, sehingga berakibat menabrak hukum-hukum yang sudah disepakati ulama’. Misalnya yang mendorong mendustakan salah satu ayat dari Al-Qur’an, atau mengambil kesimpulan-kesimpulan lemah dari suatu ayat untuk menghalalkan darah atau harta seorang muslim.

Perdebatan-perdebatan tentang Al-Qur’an haruslah dilandasi dengan ilmu. Tujuan berdebat pun harus diarahkan pada mencari kebenaran, bukan untuk mengalahkan lawan dengan segala cara. Apabila perdebatan antara dua orang menemui jalan buntu pada hal-hal yang belum diketahui oleh mereka, maka sepatutnya mereka berhenti dan menanyakan pada orang lain yang lebih tahu.

Implementasi ‘Amud Al-Quran dalam Tafsir Nidzam Al-Quran (1): Empat Surat Al-Quran

0
amud al-quran
amud al-quran (republika)

Pada pembahasan yang lalu telah diulas tentang ‘amud Al-Quran, maka artikel ini berfokus pada aplikasi ‘amud dalam Tafsir Nidzam Al-Quran karya Hamiduddin Farahi. Kekhasan dari tafsir al-Farahi adalah sangat sarat akan nuansa nidzam Al-Quran dan ‘amud Al-Quran.

Seperti yang dijelaskan al-Farahi dalam Tafsir Nidzam-nya bahwa setiap surat pasti mengadung ‘amud, maka keberadaan ‘amud tersebut seharusnya dipaparkan pada setiap surat yang ditafsirkan. Namun, al-Farahi hanya menafsirkan beberapa surat saja, dan itu pun ada yang tidak ditampilkan ‘amud nya. Dan bagaimana pula dengan surat yang tidak ditafsirkan olehnya. Inilah letak pendiskusian yang menarik.

Untuk melihat apakah al-Farahi konsisten atau tidak terhadap apa yang telah ia rumuskan sendiri, maka perlu kiranya untuk mengurai kembali apa yang sudah ia tafsirkan. Dalam hal ini, akan diuraikan beberapa surat yang menurut al-Farahi masih dalam satu kelompok tema bahasan. Seperti yang ia jelaskan dalam Dalalil al-Nidzam.

Beberapa Surat Al-Quran

Berikut empat surat terakhir yang ditafsirkan oleh al-Farahi:

Surat al-Fil

Sebelum membahas tentang ‘amud dari surat al-Fil ini, al-Farahi terlebih dahulu menafsirkan beberapa kata yang dianggap penting untuk ditafsirkan. Ada sebelas point yang dijelaskan, di antaranya yaitu al-Fil, al-Kaidu, dan al-Tadlil . Kemudian di sub-bab yang kedua, al-Farahi menjelaskan tentang mukhatab pada surat ini. Penafsiran al-Farahi mengenai mukhatab di surat al-Fil ini banyak diteliti oleh para sarjana, dikarenakan al-Farahi memiliki pendapat yang berbeda.

Menurut Mustansir Mir, al-Farahi telah memberikan suatu interpretasi yang sepenuhnya baru dalam hal ini. Sasaran dari surat ini bukanlah kepada Nabi Muhammad, akan tetapi kepada bangsa Quraisy saat itu. Dan pasukan Abrahah dilempari batu bukan oleh burung, tapi oleh masyarakat Arab yang menggunkan cara bergerilya di atas gunung (Mustansir Mir, Elephants, Birds of Prey, and Heaps of  Pebbles: Farahi’s Interpretation of Surat al-Fil).

Orhan Guvel dalam Nazm Methode of Hamiduddin al-Ferahi in the Interpretation of Quran and Interpretation of Surah al-Fil mengatakah bahwa burung-burung tersebut dikirim bukan untuk melempar batu, akan tetapi untuk membersihkan Mekah dan sekitarnya dengan cara memakan sisa hewan dan tubuh manusia dari pasukan gajah tersebut.

Baca juga: Menilik Pengertian ‘Amud Al-Quran dan Metodologinya ala Hamiduddin Farahi

Kemudian dalam surat ini pula, al-Farahi memberikan sebuah bantahan bahwa Abdul Mutallib dan kaum Quraisy tidaklah melarikan diri atau keluar dari Mekah disebabkan ketakutan dengan Abrahah dan pasukannya. Hal ini adalah suatu hal yang mustahil, sebab sepanjang perjalanan Abrahah dan pasukannya menuju ke Mekah, kabilah Arab selalu menghadangi. Sehingga, tidak mungkin jika kaum Quraisy tidak membela Ka’bah yang sangat mereka hormati dan kagumi (Abdul Jalil, Abd al-Hamid al-Farahi dan Sumber-Sumber Sekunder dalam Tafsir Berbasis Surat).

Berikut ‘amud Al-Quran dalam surat al-Fil sebagaimana penuturan al-Farahi

فاتضح مما قدمنا أن عمود هذه السورة تمهيد وجوب الشكر لله تعالى ذذرر ما جعل لأهل

مكة خصوصا و العرب عموما من العز و الكرامة بما حماهم و ذلدتهم ذبررة

Apa yang telah kami sajikan bahwa pilar surah ini merupakan pendahuluan untuk perlunya bersyukur kepada Allah swt. Penduduk Makkah pada khususnya, dan orang Arab pada umumnya, kemuliaan dan martabatnya, termasuk apa yang melindungi dan menyiksa mereka

Dalam menyebutkan ‘amud surat, terkadang al-Farahi memang langsung menyebutkan dengan jelas, seperti halnya pada surat ini.

Surat al-Kautsar

Pada bagian kelompok surat yang sama, dalam perspektif al-Farahi, terdapat surat al-Kautsar yang juga ditafsirkan olehnya. Sub pertama pembahasannya adalah ‘amud yang dijadikan satu dengan pembahasan rabith surat sebelum dan sesudahnya. Memang kalimatnya tidak sejelas pada surat al-Fil di atas, al-Farahi menjelaskannya dalam bentuk tersirat. Terkadang memang ia menarasikan dalam bentuk deskripsi untuk menjelaskan ‘amud dari pada surat.

Seakan-akan pembaca harus menerka sendiri dimana letak ‘amud tersebut.  Paragraf awal pada penjelasan tersebut, al-Farahi menjabarkan tentang kondisi di saat surat itu turun. Bahwa, surat ini mengingatkan tentang sebuah pengkhianatan besar yang terjadi di wilayah Ka’bah, perusakan pada ibadah haji dan manasiknya, peniadaan hakikat salat dan kurban dengan membatalkan tauhid dan peristiwa-peristiwa kemiskinan.  

Al-Farahi juga menjelaskan bahwa tidak ada sebuah keraguan atas karunia yang diberikan berupa kemenangan yang besar dan nikamat yang banyak serta baik. Hal itu dijamin dengan Telaga Kautsar yang Allah berikan kelak di akhirat. Posisi surat ini dengan surat sebelumnya seperti peringatan akan nikmat setelah kemarahan, seperti pemberian setelah perampasan dan seperti halnya orang-orang yang menguasai setelah orang-orang yang binasa. Dan demikianlah uslub yang ada dalam Alquran.

Didahulukannya surat yang berisi tentang kabar gembira dan kesenangan menunjukkan keteraturan Alquran bahwa Allah menetapkan kemudahan sebelum kesulitan. Maka keterangan tentang hijrah yang terkandung pada surat al-Kafirun terletak di antara dua surat yang membawa berita gembira yakni surat al-Kautsar dan surat al-Nasr.

Baca juga: Mengenal Tafsir Nidzam Al-Quran karya Hamiduddin Farahi

Surat al-Kafirun

Pada surat al-Kafirun, al-Farahi hanya menjelaskan secara singkat tentang rabith dengan surat sebelumnya yakni surat al-Kautsar. Al-farahi tidak menyebutkan ‘amud dari surat ini secara khusus. Menurut al-Farahi, surat al-Kautsar adalah berita gembira untuk menjelaskan umat ini tentang kemuliaan dan persatuannya. Dan sebuah keputusan untuk memisahkan musuhnya dari kerkahan Islam.

Surat ini diikuti dengan surat yang menerangkan tentang dipisahnya hubungan yang mawaddah dengan orang-orang kafir, dan membiarkan mereka terputus dari bangsa yang diberkahi. Bagian akhir dari penafsiran ini menjelaskan tentang rabit{ dengan surat sesudahnya.

Surat al-Kafirun ini adalah surat tentang peperangan. Allah mengiringi surat ini dengan surat al-Nasr, sebagai petunjuk bahwa pertolongan erat kaitannya dengan peperangan. Sebagaimana banyak dijelaskan dalam Alquran mengenai keterkaitan seperti dua hal tersebut. pertolongan dan kemenangan yang dimaksud tidak lain adalah kembalinya Masjidil Haram kepada hamba Allah Yang Esa serta kembalinya keturunan Nabi Ibrahim kepada Allah.

Surat al-Lahab

Surat al-Lahab adalah surat terakhir yang ditafsirkan oleh al-Farahi. Dalam surat ini, ‘amud juga tidak disebutkan oleh al-Farahi. Pembahasan pertamanya adalah tentang ta‟wil ayat pertama dan rabith dengan surat sebelumnya. Surat ini bukanlah tentang sebuah doa, akan tetapi kabar tentang Fathu Mekah. 

Surat al-Lahab terletak di antara surat al-Nashr, al-Ikhlas dan al-mu’awidzatain. Diletakkannya surat al-Lahab di antara surat tersebut harus menjadi sebuah sebab agar tidak menjadi pemutus keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Surat al-Lahab ini adalah sebagai penegas dan pengklarifikasian terhadap makna al -Nashr yang disebutkan sebelumya.

Adapaun penta’wilan dari ayat pertama yakni kelemahan atau tidak mempunyai kekuasaaan dari kemenangan. Karena yang dimaksud dengan mematahkan tangan adalah kinayah yakni menghancurkan kekuatan dan ketidakberdayaan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa keempat surat di atas adalah surat yang masih dalam satu pengklasifikasian ‘amud.

Nantikan pembahasan selanjutnya tentang implementasi ‘amud Al-Quran di tafsiralquran.id Wallahu A’lam.

Sabab Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 62 dan Ragam Makna Umat Beragama

0
Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 62 dari klasik sampai kontemporer
Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 62 dari klasik sampai kontemporer

Agama-agama samawi yang diturunkan di bumi, banyak disinggung oleh al-Qur’an. Agama-agama ini sebagai penyempurna dari ajaran yang dibawa para nabi sebelum Muhammad saw (Surat Al-Maidah ayat 48).  Seperti umat Yahudi, Nasrani dan Sabiin yang disinggung dalam beberapa ayat. Salah satunya adalah Surat Al-Baqarah ayat 62, yang melahirkan beragam penafsiran.

Surat Al-Baqarah ayat 62 secara tekstual memuat orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin akan mendapatkan kebahagian, dalam arti tidak ada ketakutan dan kesedihan bagi mereka. Hal ini akan ia peroleh jika beriman kepada Allah dan hari akhir. Berikut merupakan Surat Al-Baqarah ayat 62:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَىٰ وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang sabi’in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. 

Baca juga: Benarkah Ahlu Kitab Musuh Umat Islam? Simak Penjelasan Surat Ali Imran Ayat 113

Sabab Nuzul

Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Azim, Juz I, 284 mengutip dari riwayat Ibnu Abi Hatim, menjelaskan bahwa ayat ini turun ketika Salman bertanya kepada Nabi Muhammad saw. perihal teman-temannya dulu. Berikut teks riwayatnya:

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ العَدني، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيح، عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: قَالَ سَلْمَانُ: سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَهْلِ دِينٍ كُنْتُ مَعَهُمْ، فذكرتُ مِنْ صَلَاتِهِمْ وَعِبَادَتِهِمْ، فَنَزَلَتْ: {إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ} إِلَى آخِرِ الْآيَةِ

Artinya: Ibnu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Bapakku, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abu Umar al-Adani, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang mengatakan bahwa Salman ra. pernah menceritakan hadis berikut: “Aku pernah bertanya kepada Nabi saw. tentang cara salat dan ibadah mereka. Lalu turunlah firman-Nya “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, hingga akhir ayat..”

Baca juga: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 120: Benarkah Yahudi dan Nasrani Tidak Rela Terhadap Islam?

As-Saddi mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kisah Salman yang sedang mengobrol dengan Nabi, ia menceritakan teman-temannya yang melaksanakan salat, puasa, dan beriman kepada Nabi ketika kelak diutus oleh Allah. Lalu Nabi menjawab, “Wahai Salman, mereka termasuk orang-orang ahli neraka.” Jawaban tersebut membuat Salman sangat berat, dan turunlah ayat ini (Tafsir al-Qur’an al-Azim, Juz I, 284)

Berdasarkan dari riwayat tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah kisah Salman al-Farisi yang bertanya kepada Nabi Muhammad tentang status teman-temannya yang dulu melaksanakan ibadah dan akan mengimani Nabi ketika telah tiba waktunya.

Pemaknaan term Mukmin, Yahudi, Nasrani, dan Sabiin

At-Thabari dalam Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, Jilid I, 443, dan Al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid I, 412, memaknai الَّذِينَ آمَنُوا yaitu orang-orang yang beriman, yang membenarkan Rasulullah saw terhadap ajaran yang disampaikannya adalah dari Allah.

Az-Zamakhsyari cukup berbeda menafsirkan kata tersebut, yaitu orang-orang yang imannya masih zahir (luar)nya saja, dikatakan mereka adalah orang-orang munafik. Maka dari itu, ayat ini menggandengkan mereka dengan orang Yahudi, Nasrani dan Sabiin. (al-Kasysyaf Juz I, 137)

Sementara kata هَادُوا berati kaum Yahudi. Hādū berarti tābu yaitu orang-orang yang bertaubat Kata al-Yahud disebut juga Yahudi hal ini berdasarkan perkataan mereka: “Innā hudnā ilayka” (QS. al-A’raf[7]: 156) (at-Thabari, Jami’al-Bayan, Juz I, 443). Ibnu Katsir mengutip dari Abu Amr bin al-‘Ala’, penyebutan Yahudi karena mereka adalah orang-orang yang ‘yatahwwadun’ yakni bergerak-gerak saat membaca kitab Taurat. Disebut Yahudi juga karena mereka anak keturunan Yahuda (Yakub/Israil). (Tafsir al-Qur’an al-Azim, Juz I, 285)

Baca juga: Inilah Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab

Quraish Shihab dalam Tafsirnya mengatakan bahwa kata yahud berasal dari bahasa Ibrani ‘yahudz’ dengan titik di atas huruf dal (menjadi dzal). Shihab menambahkan, kata yahud digunakan oleh al-Qur’an dalam konteks kecaman. Itulah sebabnya, dalam ayat ini menggunakan kata hadu (Tafsir al-Misbah, Volume I, 207)

Sementara dalam pandangan Thahir ibnu Asyur berpendapat bahwa bahwa hadu di sini berasal dari warisan kerajaan Sulaiman as di kota Yerussalem yang dipimpin Rahbi’am. Dan kerajaan ini tidak diikuti kecuali oleh cucu Yahudza dan Cucu Benyamin.

Adapun kata النَّصَارَىٰ adalah bentuk jamak dari nasrani yang berarti pengikut Nabi Isa. Menurut Ibnu Katsir, karena mereka saling tolong menolong dan juga karena mereka tinggal di Nashirah (Nazareth). Nabi Isa juga mengatakan “Man ansari ila Allah?” (Siapa yang akan menjadi penolongku untuk menegakkan agama Allah?), hal ini sebagaimana termaktub dalam QS. Ali Imran[3]: 52 (Tafsir al-Qur’an al-Azim, Juz I, 285)

Sementara kata الصَّابِئِينَ dalam lisan orang Arab disebut sabi. Yaitu mereka yang membuat agama baru yang bukan agamanya. Setiap orang yang keluar dari satu agama, maka dia berada dalam agama itu hingga melenceng kepada agama lainnya.(at-Thabari, Jami’ al-Bayan, Juz 1, 444)

Baca juga: Surat Al-Araf Ayat 172: Perjanjian Manusia dengan Tuhan

Menurut al-Qurthubi (al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz I, 413) kata as-Sabi secara etimologi berarti orang yag keluar dari satu agama kepada agama lain. Dari pada itu, orang-orang yang masuk Islam, dalam sebutan orang Arab dikatakan qad saba’a yang berarti dia telah condong, berpaling dari agama nenek moyangnya, dan condong untuk memeluk Islam.

Menurut Ibnu Katsir, berdasarkan riwayat dari Mujahid, mereka adalah golongan di antara agama Majusi, Yahudi, dan Nasrani. Menurut riwayat Abu al-‘Aliyah dan Abu Jakfar al-Razi, mereka adalah yang menyembah malaikat, membawa kitab Zabur, sembahyang menghadap kiblat, menyembah bintang, dan menganggap bahwa Allah telah menyerahkan urusan bumi ini kepada bintang-bintang itu (Tafsir al-Qur’an al-Azim, Juz I, 286)

Demikian makna dari orang-orang beriman, orang-orang yahudi, nasrani, dan sabiin dari berbagai mufasir yang banyak dijadikan rujukan oleh para pemerhati al-Qur’an dan tafsir. Setelah mengetahui makna masing-masing dari umat beragama, anda juga perlu mengetahui penafsiran dari ayat tersebut yang akan penulis bahas pada artikel selanjutnya. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 21-30

0
tafsir surah an naba'
Tafsiralquran.id

Setelah membahas tentang hari kebangkitan serta proses terbukanya pintu langit sebagai pemisah antara yang baik dan buruk, Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 22-30 ini berbicara mengenai tujuan selanjutnya, yaitu neraka dan surga.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 13-20


Neraka menjadi tempat kembali orang-orang yang durhaka dan melampaui batas. Sedangkan surge menjadi tempat kembali orang-orang yang baik. Namun untuk menuju surga terlebih dahulu melewati neraka. Berikutnya  dalam Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 22-30 dijelaskan lebih lanjut mengenai neraka dan penyebab penghuninya.

Ayat 21

Sesungguhnya tempat pelaksanaan azab Allah yaitu neraka Jahanam, yang selalu dalam posisi menunggu kedatangan orang-orang kafir untuk disiksa di dalamnya. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Munzir dari Hasan al-Basri, “Tidak seorang pun masuk surga kecuali setelah melalui neraka. Apabila dia sudah melewatinya, selamatlah dia dan jika tidak, dia akan tertahan.”

Ayat 22

Dijelaskan di sini bahwa neraka Jahanam itu menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang durhaka dan melampaui batas, yang tidak mau mendengar ajakan para rasul yang membawa petunjuk dan  kebenaran.

Ayat 23

Mereka tinggal di dalam neraka dalam waktu yang lama sebagaimana diterangkan pula dalam firman Allah:

يُرِيْدُوْنَ اَنْ يَّخْرُجُوْا مِنَ النَّارِ وَمَا هُمْ بِخَارِجِيْنَ مِنْهَا ۖوَلَهُمْ عَذَابٌ مُّقِيمٌ  ٣٧

Mereka ingin keluar dari neraka, tetapi tidak akan dapat keluar dari sana. Dan mereka mendapat azab yang kekal. (al-Ma’idah/5: 37)

Ayat 24

Di dalam neraka Jahanam itu mereka tidak merasakan kesejukan yang dapat mengurangi panas yang sangat menghanguskan dan tidak pula mendapat minuman yang dapat menghilangkan rasa haus.

Ayat 25

Selain air yang mendidih yang sampai kepada puncak panas, ada pula nanah yang sangat busuk baunya.

Ayat 26

Neraka Jahanam itu disediakan sebagai balasan dari Allah yang setimpal dengan dosa dan pelanggaran yang mereka lakukan di dunia, karena setiap kejahatan dan keburukan akan dibalas dengan kejahatan dan keburukan yang setimpal.

Azab yang setimpal itu diberikan karena dosa yang sangat berat yang telah mereka lakukan yaitu mempersekutukan Allah. Mereka dibakar dalam neraka Jahanam dalam waktu yang lama sekali.


Baca juga: Mengenal Kuliner Neraka dalam Al-Quran, dari Buah Zaqqum hingga Shadid


Ayat 27-28

Setelah menerangkan azab neraka secara garis besar dalam ayat-ayat yang lalu, maka dalam ayat-ayat berikut ini Allah menyebutkan perincian terhadap dosa itu, yaitu terbagi atas dua bagian: pertama, mereka tidak takut kepada hari perhitungan karena mengingkari kedatangannya.

Oleh karena itu, mereka tidak takut melakukan pelanggaran-pelanggaran itu sesuai dengan ajakan hawa nafsunya. Kedua, mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan apa yang disebutkan dalam Alquran tentang kewajiban mentauhidkan Allah sesuai dengan seruan para rasul serta mempercayai hari kebangkitan.

Ayat 29

 Setelah menerangkan amal perbuatan mereka yang buruk dan akidah yang sesat, maka Allah dalam ayat ini menerangkan bahwa segala sesuatu yang mereka kerjakan itu telah dihitung sesuai dengan catatan yang ada pada sisi-Nya. Segala amalan manusia secara keseluruhan telah tercatat dalam catatan-Nya itu, tidak ada yang ketinggalan sedikit pun.

Ayat 30

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa akibat dari kekafiran dan kedurhakaan itu, mereka akan merasakan siksaan-Nya. Allah tidak akan menambah kecuali dengan azab yang lebih pedih lagi.


Baca setelahnya: Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 31-40


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 75-79

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pembahasan sebelumnya berbicara mengenai watak orang Yahudi yang diibaratkan keras layaknya batu bahkan melebihi kerasnya batu. Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 75-79 ini masih mengenai tentang watak orang-orang Yahudi, yaitu watak yang menyerupai orang-orang munafik.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 74


Watak yang menyerupai orang munafik dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 75-79 yaitu menyembunyikan sifat-sifat Nabi Muhammad dan mengubah kitab suci Taurat, seakan-akan mereka menyembunyikan kekufuran dan kedustaan mereka.

Ayat 75

Dalam ayat ini Allah mengarahkan kembali firman-Nya kepada orang-orang mukmin agar mereka jangan terlalu banyak mengharapkan akan berimannya orang-orang Yahudi, karena watak mereka tidaklah jauh berbeda dengan watak nenek moyang mereka.

Hal yang demikian itu disebabkan adanya pendeta-pendeta Yahudi pada zaman dahulu yang mempelajari Taurat dan memahaminya kemudian mengubah pengertiannya, bahkan mengganti ayat-ayatnya dengan sengaja, terutama yang berkenaan dengan kedatangan Nabi Muhammad. Mereka sebenarnya menyadari bahwa mereka telah melakukan penyelewengan dengan memutarbalikkan isi Taurat itu.

Pelajaran agama yang sudah diputarbalikkan itulah yang diajarkan kepada keturunannya. Orang Yahudi pada zaman Rasul saw berpegang teguh dengan ajaran nenek moyang mereka yang keliru. Keinginan yang besar dari Nabi saw dan kaum Muslimin agar orang Yahudi beriman dan mengikuti ajaran Islam, sebab agama mereka paling dekat dengan Islam.

Ayat 76

Ayat ini memberitakan tentang beberapa watak orang-orang Yahudi yang tak dapat diharapkan lagi iman mereka; yaitu watak mereka menyerupai watak orang munafik dan juga menerangkan tingkah laku mereka.

Ayat ini menjelaskan bahwa apabila orang Yahudi yang bersikap munafik berjumpa dengan para sahabat Nabi saw mereka berkata, “Kami juga beriman seperti kamu, kami mengakui bahwa kamu dalam kebenaran, dan bahwa Muhammad saw itu memang utusan Allah yang telah diterangkan dalam kitab Taurat.”

Mereka mengucapkan kata-kata itu dengan maksud untuk menenteramkan hati orang-orang Aus dan Khazraj yang pernah menjadi teman sekutu mereka.

Tetapi ketika mereka berada di tengah-tengah kaumnya, mereka dicela oleh kaumnya dengan mengatakan, ”Mengapa mereka memberitahu kepada orang Islam apa yang diterangkan Allah tentang kedatangan Nabi Muhammad saw secara khusus di dalam Taurat.

Seharusnya kabar itu dirahasiakan dan tidak boleh seorang pun tahu, karena kalau rahasia itu dibukakan, berarti orang-orang mukmin mempunyai alasan yang kuat untuk mengalahkan hujah-hujah mereka sendiri di hadapan Allah”. Tindakan yang demikian dianggap oleh mereka sebagai perbuatan tercela, tidak diperkirakan sebelumnya akibat buruk yang akan terjadi.

Ayat 77

Ayat ini sebagai celaan dan pukulan bagi orang Yahudi terutama bagi para pemalsu yang menyembunyikan sifat-sifat Nabi Muhammad dan mengubah kitab suci mereka, seolah-olah mereka hendak menyembunyikan kekufuran dan kedustaan mereka. Tetapi Allah mengetahui tentang segala yang mereka lahirkan (tampakkan), yaitu memperlihatkan keimanan dan bermuka manis.


Baca juga: Al-Qur’an Sebagai Warisan Nabi Yang Tidak Mengalami Perubahan


Ayat 78

Dalam ayat ini diberitahukan tentang orang-orang awam pengikut-pengikut mereka yang mengikuti saja kemauan pendeta-pendeta yang memutarbalikkan isi Taurat. Baik pemimpin atau pun pengikutnya, keduanya dalam kesesatan. Di antara orang-orang Yahudi itu ada golongan ummi yaitu orang-orang yang buta huruf, tidak dapat membaca dan menulis.

Mereka hanya dapat menghafal Kitab Taurat, tetapi mereka tidak dapat memahami makna dan kandungan isinya, dan amal perbuatannya pun tidak dapat mencerminkan apa yang dimaksud oleh isi Taurat itu. Mereka adalah kaum yang hanya mendasarkan sesuatu kepada sangkaan saja, tidak sampai kepada martabat keyakinan yang berdasarkan keterangan-keterangan yang pasti tidak meragukan.

Orang-orang Yahudi itu memang banyak ingkar terhadap kebenaran, meskipun kebenaran itu telah terang dan jelas. Mereka banyak mendustakan ayat-ayat Allah, dan paling banyak tertipu oleh dirinya sendiri serta suka memakan harta orang lain dengan cara haram, seperti riba, menipu dan suap. Mereka menganggap bahwa mereka adalah orang yang paling utama di antara bangsa di dunia.

Ayat 79

Pada ayat ini dijelaskan siapa orang-orang yang terlibat dalam pemalsuan kitab suci, yaitu mereka yang menyesatkan dengan mengada-adakan dusta terhadap Allah dan memakan harta orang lain dengan tidak sah.

Orang-orang yang bersifat seperti itu akan celaka terutama pendeta mereka yang menulis kitab Taurat dengan menuruti kemauan sendiri, kemudian mengatakan kepada orang awam, bahwa inilah Taurat yang sebenarnya. Mereka berbuat begitu untuk mendapatkan keuntungan duniawi seperti pangkat, kedudukan, dan harta benda.

Diterangkan bahwa keuntungan yang mereka ambil itu amat sedikit dibanding dengan kebenaran yang dijualnya yang sebenarnya sangat mahal dan tinggi nilainya. Kemudian Allah mengulangi ancaman-Nya terhadap perbuatan pendeta Yahudi itu, bahwa kepada mereka akan ditimpakan siksaan yang pedih.

 Pendeta-pendeta Yahudi yang menulis Taurat itu melakukan tiga kejahatan, yaitu:

  1. Menyembunyikan sifat-sifat Nabi saw yang disebut dalam Taurat.
  2. Berdusta kepada Allah.
  3. Mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah.

Para pendeta itu berkata,  Kitab ini dari Allah.  Padahal Kitab itu sama sekali bukan dari Allah. Kitab tersebut justru menghambat manusia untuk memperhatikan Kitab Allah dan petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya. Perbuatan itu hanya dilakukan oleh:

  1. Orang yang memang keluar dari agama, yang sengaja merusak agama dan menyesatkan pengikut-pengikutnya. Ia memakai pakaian agama dan menampakkan diri sebagai orang yang mengadakan perbaikan untuk menipu manusia agar orang-orang tersebut menerima apa yang dia tulis dan apa yang dia katakan.
  2. Orang yang sengaja menakwilkan dan sengaja membuat tipu muslihat agar mudah bagi manusia menyalahi agama. Orang ini berbuat demikian untuk mencari harta dan kemegahan.

Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 80-82


(Tafsir Kemenag)

Digitalisasi Mushaf Nusantara dan Masa Depan Kajiannya

0
mushaf Tidore
mushaf Tidore

Catatan ini berupa refleksi atas perkembangan kajian mushaf Nusantara baik berupa manuskrip, cetak, hingga digital. 2018 lalu, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran telah meluncurkan database mushaf Al-Quran Nusantara yang bisa diakses online melalui https://seamushaf.kemenag.go.id/. Ini tentu kebijakan yang luar biasa dan akan memengaruhi atmosfer kajian Al-Quran di masa depan.

Sebagian orang mungkin akan abai dan mengira bahwa mushaf-mushaf seperti ini tak lagi relevan untuk diperbincangkan. Padahal, mushaf-mushaf yang sudah susah payah didokumentasikan dan dirawat oleh berbagai museum dan perpustakaan itu memiliki banyak mutiara terpendam. Mutiara terpendam itu yang akan menjadi bukti kekayaan peradaban Islam di Nusantara. Tentu, untuk menemukan mutiara itu kita perlu menenggelamkan diri di kedalaman samudera kajian mushaf.

Kita ambil contoh pada teori yang masih kokoh terkait mushaf tertua dari Nusantara. Sampai saat ini banyak sarjana menyebut bahwa mushaf tertua Nusantara yang berhasil ditemukan berasal dari abad ke-17 awal, tepatnya tahun 1606. Mushaf ini merupakan koleksi perpustakaan Rotterdam Belanda yang dulu ditulis di Jawa namun kemudian diperoleh dari Johor Malaysia.

Di sisi lain, kita tahu bahwa ada banyak teori tentang masuknya Islam, ada yang menyebut abad ke-7, ke-13 dan lainnya. Kemudian pada tahun 1345, Ibnu Batutah seorang pelancong ternama di dunia pernah singgah di Samudera Pasai dan mencatat bahwa Sultan Pasai acap kali menghadiri pembacaan Al-Quran dan diskusi dengan rakyatnya. Ini mengindikasikan bahwa tradisi penyalinan mushaf sudah ada di Nusantara pada abad ke-14.

Tapi sayangnya, hingga detik ini belum ada lagi temuan mushaf yang lebih tua dari dari mushaf koleksi Perpustakaan Rotterdam. Sangat disayangkan bukan, jika kita hanya mendapati mushaf tertua dari abad ke-17, sementara tradisi penyalinan mushaf sudah ada pada abad ke-13 atau 14. Lantas di mana jejak-jejak penyalinan itu?

Baca juga: Manuskrip Al-Qur’an Bone: Mushaf Kuno dengan Fitur Terbanyak yang Kini Disimpan di Kanada

Mari kita berangan saja, misalkan kita berhasil menemukan mushaf lebih tua dari abad ke-17 bukankah itu menjadi temuan yang dahsyat? Kita akan mengetahui bagaimana interaksi masyarakat muslim saat itu dengan kitab sucinya. Bagaimana karakteristik fisiknya, qiraat apa yang digunakan, hingga iluminasi apa yang khas pada abad tersebut. Ini bisa jadi salah satu alasan mengapa kajian mushaf tetap harus disemarakkan.

Perihal Database of Southeast Asian Mushaf

Database of Southeast Asian Mushaf adalah pusat data digitalisasi mushaf Nusantara yang diinisiasi Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran (LPMQ). Pusat data ini menghimpun banyak informasi, baik potret mushaf kuno, mushaf cetak, mushaf braille, hingga hasil riset para sarjanan dunia. Sebagai pusat data resmi, informasi yang disajikan sangat membantu para pengkaji mushaf. Meski demikian, karena baru berumur dua tahun kontennya pun harus kita semarakkan.

Pelbagai tokoh terkait kajian manuskrip maupun Al-Quran juga memberikan testimoni menarik. Misalnya Prof. Oman Fathurahman, guru besar filologi Islam ini menyebut bahwa database ini menunjukkan bahwa tingkat literasi bangsa Indonesia pada masa lalu sudah sangat tinggi, tidak hanya dalam hal tulisan, namun juga seni iluminasi yang beragam dari berbagai daerah. Database ini menjadi kontribusi yang penting, bukan hanya untuk Kementerian Agama, namun juga bangsa Indonesia dan dunia akademik internasional.

Dalam pusat data ini, manuskrip yang ditampilkan pun memiliki keterangan yang cukup lengkap sebagai data inventarisasi. Misalnya manuskrip mushaf Tidore, mushaf ini dijelaskan berasal dari Maluku Utara, tersimpan di Museum Kesultanan Tidore, berbahan kertas Eropa, ditulis dengan rasm imla’i dan merujuk qiraat Asim riwayat hafs.

Dalam potret digital mushaf kuno ini, gambar yang ditampilkan beresolusi tinggi sehingga sangat jelas karakter tulisan dan iluminasinya. Untuk potret lembaran yang ditampilkan hanya lima gambar yakni awal surat Al-Fatihah Al Baqarah (biasanya beriluminasi), halaman ketiga, awal surat Al-kahfi, akhir surat dan sampul mushaf.

Baca juga: Mushaf Sultan Ternate; Pernah Dianggap Tertua di Nusantara dengan Dua Kolofon Berbeda

Untuk lebih mengetahui contoh informasinya, berikut keterangan lengkap dan menjadi contoh yang serupa untuk keterangan di mushaf lainnya:

“Mushaf ini berada di musium kesultanan Tidore. Penulis atau penyalin mushaf tidak diketahui, namun tahun penyalinannya bisa diketahui, yakni tahun 1323 H. Mushaf ini sudah tidak utuh lagi, meskipun sampulnya masih ada. Ukuran mushaf ini adalah 28 x 19 x 6 cm dengan ukuran bidang teks 18 x 11 cm. Jumlah baris mushaf ini untuk setiap halamannya adalah 15, sehingga masing-masing juz terdiri sekitar 10 lembar atau 20 halaman lebih. Rasm yang digunakan adalah imlai, namun tidak seluruhnya. Qiraat yang digunakan adalah qiraat Hafs ‘an ‘Asim”.

“Tinta yang digunakan adalah hitam, merah, dan kuning; hitam untuk tulisan utama mushaf, merah untuk tanda waqaf, tanda tajwid seperti idgam, mad wajib dan jaiz, serta untuk sisi lingkaran bulatan ayat. Bagian dalam ayat sendiri diwarnai kuning. Warna kuning keemasan juga bisa dijumpai pada iluminasi bagian depan mushaf dan bagian tengah pada surah Al-Isra. Kertas yang digunakan adalah kertas Eropa dengan merek Pro Patria. Tanda maqra, sumun, rubu, tanda ‘ain dan tanda pergantian juz. Kecuali itu, mushaf ini juga dilengkapi dengan doa khatmil Qur’an. Yang menarik adalah, mushaf ini menggunakan penandaan ayat pojok sebagaimana lazim digunakan untuk menghafal di pesantren-pesantren tahfidz”.

Hadirnya pusat data digitalisasi mushaf Nusantara ini menjadi langkah besar untuk terus mengembangkan kajian mushaf di masa depan. Upaya koleksi dan dokumentasi ini harus terus didukung dengan riset dan publikasi. Apa artinya koleksi dan dokumentasi jika riset dan publikasi terhenti. Oleh karena itu angin segar kajian mushaf Nusantara ini patut kita semarakkan terus menerus. Wallahu A’lam []

Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 13-20

0
tafsir surah an naba'
Tafsiralquran.id

Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 13-20 ini masih membahas tentang berbagai macam kekuasaan Allah swt agar dijadikan pelajaran bagi manusia. Pada pembahasan sebelumnya telah disebutkan sekitar tujuh contoh kekuasaan Allah. Kali ini akan melanjutkan contoh kedelapan hingga ke sembilan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 6-12


Pada Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 13-20 ini juga membicarakan mengenai hari kebangkitan. Diawali dengan tiupan sang kakala. Bumi hancur lebur. Gunung-gunung berhamburan lalu manusia bangkit dan digiring ke padang mahsyar. Pada hari itu langit-langit terbuka dan memisahkan manusia antara yang baik dan buruk.

Ayat 13

Kedelapan, Allah menjadikan matahari sebagai pelita yang terang benderang, menyebarkan cahaya dan panasnya ke seluruh angkasa.

Allah telah menjadikan matahari yang sinarnya mengandung obat untuk membunuh kuman-kuman dan mengusir penyakit-penyakit yang dapat mengganggu makhluk yang hidup seandainya tidak cukup mendapat sinar.

Ayat 14-16

Kesembilan, Allah menurunkan dari awan air hujan yang banyak dan memberi manfaat, terutama untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang berguna bagi manusia dan binatang.

Hal itu bertujuan agar dapat menumbuhkan biji-bijian seperti gandum, sayur, padi, dan tumbuh-tumbuhan untuk bahan makanan manusia dan hewan ternak. Demikian pula kebun-kebun dan taman-taman yang lebat dengan daun-daunnya yang rimbun.

Dalam ayat ini, Allah menyebut bermacam-macam tanaman yang tumbuh di bumi, di antaranya ada yang mempunyai batang dan ada yang tidak.

Ada yang menghasilkan buah-buahan dan ada pula yang menghasilkan biji-bijian seperti gandum, padi, dan lain-lain untuk makanan manusia. Ada pula tanaman-tanaman untuk makanan binatang ternak. Semuanya itu merupakan makanan-makanan pokok dan tambahan bagi manusia.


Baca juga: Keistimewaan Pohon Kurma (Nakhl) yang Disebutkan dalam Al-Qur’an


Ayat 17

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa hari kebangkitan itu pasti terjadi pada waktu yang telah ditetapkan. Pada hari itu diputuskan siksa yang akan diterima orang yang kafir di dalam neraka dan pahala yang akan diterima orang-orang mukmin di dalam surga, baik orang-orang terdahulu, sekarang, maupun yang kemudian. Di sana akan sangat jauh beda nasib dan kehidupan mereka sesuai dengan derajat amal perbuatan mereka ketika di dunia.

Allah telah menjadikan hari itu sebagai batas antara dunia dan akhirat, tempat seluruh makhluk akan dihimpun di Padang Mahsyar agar masing-masing dapat melihat dan menyaksikan apa yang telah mereka perbuat selama hidup di dunia, sehingga orang yang berbuat kebajikan akan menerima pahalanya dan orang yang berbuat kejahatan akan menerima siksaan. Kemudian Allah menerangkan tanda-tanda hari itu dan kedahsyatannya dengan firman-Nya dalam ayat berikut ini.

Ayat 18

Pada hari Kiamat itu, ditiup sangkakala yang kedua oleh malaikat Israfil yang menyebabkan seluruh makhluk akan dibangkitkan kembali, bangkit dari kuburnya masing-masing dan berkumpul di Padang Mahsyar. Tiap-tiap umat dipimpin oleh rasulnya, sehingga datang berkelompok-kelompok seperti dalam firman Allah.

يَوْمَ نَدْعُوْا كُلَّ اُنَاسٍۢ بِاِمَامِهِمْ

(Ingatlah), pada hari (ketika) Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya. (al-Isra’/17: 71)

Ayat 19

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa pada hari keputusan itu langit terbuka dan mempunyai pintu-pintu yang memisahkan satu bagian dengan bagian yang lain. Maksudnya langit itu terbelah-belah sehingga mempunyai celah-celah seakan-akan terbuka dan mempunyai pintu-pintu. Hal ini dijelaskan oleh firman Allah yang lain:

اِذَا السَّمَاۤءُ انْشَقَّتْۙ   ١

Apabila langit terbelah. (al-Insyiqaq/84: 1)

Hal demikian terjadi karena muncul perubahan besar dalam susunan planet-planet di alam raya, yang menyebabkan perubahan dalam daya tarik dan perjalanan orbitnya. Kejadian itu menjurus ke arah kehancuran alam raya, dan juga kehancuran alam dunia.

Ayat 20

Dalam ayat ini dijelaskan bawah gunung-gunung pada hari itu tidak lagi seperti sediakala, tetapi akan diguncang sehingga hancur lebur seperti kabut yang dari jauh kelihatan seperti bayangan air. Akan tetapi jika didekati, ternyata tidak ada apa-apa karena bagian-bagiannya telah terpecah belah, dihancurkan, dan beterbangan ke mana-mana.

Firman Allah dalam hal ini:

وَّحُمِلَتِ الْاَرْضُ وَالْجِبَالُ فَدُكَّتَا دَكَّةً وَّاحِدَةًۙ  ١٤

Dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali benturan. (al-Haqqah/69: 14)

Kemudian dalam ayat yang lain Allah berfirman:

وَّبُسَّتِ الْجِبَالُ بَسًّاۙ    ٥  فَكَانَتْ هَبَاۤءً مُّنْۢبَثًّاۙ   ٦

Dan gunung-gunung dihancurluluhkan sehancur-hancurnya, maka jadilah ia debu yang beterbangan. (al-Waqi’ah/56: 5-6)

Kemudian gunung-gunung itu akan dihancurleburkan seperti debu yang beterbangan seperti dijelaskan dalam firman Allah:

وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْشِۗ  ٥

Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. (al-Qari’ah/101: 5)

Ayat 17-20 dari Surah an-Naba’/78 di atas tampaknya berbicara mengenai terjadinya kiamat. Pada ayat yang dibahas, ada penggambaran mengenai tiupan sangkakala.

Ada ayat lain yang juga menggunakan kata sangkakala atau trompet dalam menggambarkan kiamat, seperti Surah an-Nazi’at/79: 6-9, “(Sungguh, kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan pertama mengguncangkan alam, (tiupan pertama) itu diiringi dengan tiupan kedua.  Hati manusia pada waktu itu merasa sangat takut, pandangannya tunduk.”

Keempat ayat di atas membahas tentang apa yang akan terjadi saat terjadinya hari kiamat. Salah satu kejadian pada hari itu adalah gempa bumi yang sangat dahsyat. Pada ayat 6-9 Surah an-Nazi’at/79, peristiwa gempa, mungkin saja bumi, digambarkan dengan kata “tiupan”.

Apabila kita perhatikan ayat 6 dan 7 dari Surah an-Nazi’at/79 di atas tampak adanya kemiripan dalam gambaran tentang hari kiamat. Namun ada dua pendapat mengenai penggambarannya.


Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 33-35: Tanda-Tanda Kekuasaan Allah Swt di Muka Bumi


Di satu pihak, para ulama menginterpretasikan kata ar-rajifah sebagai bunyi trompet yang pertama, dan ar-radifah adalah tiupan trompet yang kedua.  Di pihak lain, ar-rajifah dinyatakan sebagai bumi, dan ar-radifah sebagai saat terjadinya pengadilan.

Ada juga yang menginterpretasikan ar-rajifah sebagai kekacauan dari unsur-unsur bumi, sedangkan ar-radifah adalah gempa buminya. Tampaknya pendapat terakhir yang lebih realistis. Tidak ada beda antara kekacauan unsur-unsur bumi dan gempa bumi.

Akan tetapi tampaknya ada pendapat lain yang lebih masuk akal.  Mungkin kedua kata yang coba diinterpretasikan oleh banyak ulama sebenarnya menunjukkan adanya gempa utama dan gempa susulan, seperti dapat dilihat pada terjemahan dan tafsir ayat 6 dan 7 Surah an-Nzi’at/79 dalam Tafsir Al-Misbah, “Pada hari ketika berguncang-guncangan yang dahsyat, diikuti oleh yang mengiringi(nya).”

Sebelum terjadinya gempa utama (main shock), beberapa gempa kecil (fore shock) akan mengawalinya. Setelah gempa utama terjadi maka diikuti oleh  gempa susulan (after shocks) yang kekuatannya lebih kecil dan jumlahnya banyak sekali. Lambat laun gempa susulan ini menurun baik jumlah maupun kekuatannya.

Perlu diketahui bahwa gempa awal sulit diidentifikasi. Umumnya gempa utama langsung datang, dan memorak-porandakan segalanya tanpa memperlihatkan adanya gempa awal.

Sebagai gambaran adalah gempa Aceh yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 dengan magnitudo Mw=9,3 datang tanpa gempa awal. Gempa yang mematahkan dasar laut sepanjang hampir 1000 km ini menimbulkan tsunami dan menghancurkan wilayah yang berada di sekitar Lautan Hindia.

Gempa Aceh ini kemudian memicu gempa Nias dengan kekuatan sangat besar pula, yakni Mw=8,7. Jadi, pada hakikatnya gempa Nias bukan gempa susulan melainkan gempa yang dipicu oleh gempa besar yang pertama. Baik gempa Aceh maupun gempa Nias diikuti gempa susulan masing-masing.

Dengan gambaran tersebut, gempa bumi yang datang pada hari kiamat akan jauh lebih dahsyat dan mampu memicu gempa-gempa yang sama dahsyatnya sehingga bumi hancur lebur.


Baca setelahnya: Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 21-30


(Tafsir Kemenag)

Makna Kata Hidayah dalam Al-Quran dan Macamnya Menurut Al-Maraghi

0
Hidayah dalam Al-Quran
Hidayah dalam Al-Quran

Dalam muqaddimah Tafsir al-Manar Muhammad Abduh, seorang tokoh pembaharu Islam abad modern, mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kitab hidayah yang menjadi pedoman hidup umat Islam. Oleh karena itu, seorang muslim harus berusaha memahami ayat-ayatnya dengan baik berdasarkan konteks sejarah pewahyuan dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Al-Qur’an sendiri juga sering menyebut dirinya sebagai hidayah bagi manusia secara umum ataupun bagi muslim secara khusus (hudal lil muttaqin). Berdasarkan penelusuran penulis, kata hidayah, derivasinya dan ayat-ayat semakna yang berbicara mengenai petunjuk berjumlah sekitar 307 ayat dan tersebar di berbagai surah Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa hidayah adalah salah satu tema terpenting dalam Al-Qur’an.

Kata hidayah berasal dari kata hada-yahdi-hadyan-hidayatan yang berarti menunjukkan atau lawan dari kata adhalla yakni menyesatkan. Menurut Ragib al-Asfahani, kata hidayah bermakna petunjuk dengan kasih sayang (al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an). Hal ini seanda dengan pendapat Muhammad Abduh yang mengartikan hidayah sebagai “petunjuk dengan kasih sayang yang menyampaikan pada apa yang diharapkan atau dikehendaki.”

Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa hidayah memiliki dua unsur, yakni: petunjuk kepada apa yang diharapkan; dan disampaikan dengan ungkapan kasih sayang atau lemah lembut (luthfun). Jadi, setiap petunjuk yang tidak diberikan dengan kasih sayang mengindikasikan bahwa itu bukan hidayah secara hakiki dan bisa jadi hanya sekedar arahan biasa.

Baca Juga: Baca Ayat Ini Sebagai Doa Agar Orang Mendapatkan Hidayah Islam

Pengertian ini secara implisit juga memberikan kesan kepada muslim bahwa dalam rangka mengajak orang menuju hidayah, mereka harus senantiasa mengutamakan sikap kasih sayang dibanding amarah dan sikap keras. Mereka harus menyampaikan kebaikan dan melarang keburukan dengan cara yang terbaik. Sebab, kebaikan yang dilempar atau tidak disampaikan dengan baik mungkin tidak akan diterima oleh orang yang mendapatkannya.

Macam-Macam Hidayah dalam Al-Quran

Kata hidayah dalam Al-Quran memiliki beberapa makna khusus di samping makna utamanya sebagai petunjuk. Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam kitabnya Tafsir al-Maraghi berpendapat bahwa hidayah yang ditujukan kepada manusia dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu hidayah ammah (hidayah yang umum) dan hidayah khashah (hidayah yang khusus).

Hidayah Ammah (Hidayah Umum)

Hidayah Ammah atau hidayah umum ialah hidayah yang Allah swt berikan kepada segenap makhluk untuk dijadikan sebagai pedoman kehidupan. Setiap manusia dan makhluk Allah swt memilikinya sesuai kadar yang ditentukan baginya. Dengan demikian, terlepas dari apakah ia muslim atau non-muslim, hidayah ini akan senantiasa ada dan hadir bersamanya.

Firman Allah swt:

قَالَ رَبُّنَا الَّذِيْٓ اَعْطٰى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهٗ ثُمَّ هَدٰى ٥٠

Dia (Musa) menjawab, “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.”  (QS. Taha [2]: 1).

Makna hidayah pada ayat ini adalah hidayah secara umum yang diberikan kepada setiap makhluk di alam semesta, baik manusia, hewan, benda maupun tumbuhan. Hidayah tersebut Allah berikan kepada makhluknya dalam bentuk yang bermacam-macam sesuai dengan peranan mereka di dunia. Misalnya, lebah yang diperintahkan untuk membuat sarang di hutan dan di pegunungan.

Hidayah Ammah – menurut al-Maraghi – terbagi kepada empat bentuk, yakni hidayah al-wijdan (insting), hidayah al-hawas (panca indera), hidayah al-‘aql (akal), dan hidayah al-din (agama). Masing-masing hidayah akan penulis jelaskan secara singkat sebagai berikut.

Hidayah al-wijdan atau insting – atau yang disebut Tantawi al-Jawhari sebagai  hidayah al-gharizati – ialah gerak hati (impuls) yang terdapat pada diri manusia dan binatang. Setiap makhluk Allah swt memiliki suatu daya dorong dalam keberlangsungan hidup mereka seperti nafsu birahi, rasa takut, dan dorongan untuk melakukan sesuatu.

Hidayah al-hawas atau panca indera – menurut al-Maraghi adalah indera badani yang peka terhadap rangsangan dari luar seperti rangsangan cahaya, bunyi, dan sebagainya. Hidayah ini secara langsung ditransmisikan oleh panca indera yang dimiliki manusia, hewan maupun tumbuhan.

Sedangkan hidayah akal adalah daya jiwa yang berfungsi memahami dan mengetahui nilai-nilai etis (baik dan buruk), dan epistemologis (benar dan salah), serta memiliki fungsi pengikat, penahan, dan pengendali hawa nafsu sehingga berhasil mengangkat manusia menjadi makhluk yang bijaksana. Dalam arti tertentu, akal inilah yang membuat manusia lebih bijaksana dibandingkan binatang.

Baca Juga: Surat Ghafir [40] Ayat 60: Allah Swt Akan mengabulkan Doa Setiap Hamba

Adapun hidayah al-din atau agama adalah anugerah yang Allah berikan kepada manusia melalui para nabi dan rasul sebagai petunjuk agar mereka tidak tersesat dalam menjalani kehidupan dunia. Hidayah ini berbentuk tuntunan-tuntunan dan penjelasan tentang syariat keagamaan. Menurut sebagian ulama, hidayah ini adalah fitrah alamiah manusia untuk bertuhan dan beragama.

Hidayah Khasah (Hidayah Khusus)

Hidayah khasah ialah hidayah yang diberikan Allah swt kepada manusia yang dikehendaki-Nya. Dengan kata lain, hidayah ini tidak menyeluruh dan hanya diberikan kepada mereka yang memiliki kualifikasi atau persyaratan khusus. Menurut ulama, hidayah semacam ini disebut sebagai hidayah taufiq sebagaimana dalam firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 272 yang berbunyi:

۞ لَيْسَ عَلَيْكَ هُدٰىهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَلِاَنْفُسِكُمْ ۗوَمَا تُنْفِقُوْنَ اِلَّا ابْتِغَاۤءَ وَجْهِ اللّٰهِ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ يُّوَفَّ اِلَيْكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تُظْلَمُوْنَ ٢٧٢

Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Apa pun harta yang kamu infakkan, maka (kebaikannya) untuk dirimu sendiri. Dan janganlah kamu berinfak melainkan karena mencari rida Allah. Dan apa pun harta yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan). (QS. Al-Baqarah [2]: 272).

Selain dua macam hidayah yang disebutkan di atas, para ulama – seperti Husain bin Muhammad al-Damaghani  dalam Qamus al-Qur’an – membagi hidayah dalam Al-Quran – berdasarkan makna relasional atau konteks ayat di mana ia berada – ke dalam beberapa bentuk, di antaranya sebagai berikut:

Hidayah dalam arti penjelasan (QS. As-Sajadah [32]: 26); hidayah dalam arti agama Islam (QS. Al-Hajj [22]: 67); hidayah dalam arti dakwah (QS. As-Sajdah [32]: 24); hidayah dalam arti pengetahuan (QS. Al-An’am [6]: 161); hidayah dalam arti rasul dan kitab suci (QS. Al-Baqarah [2]: 38); hidayah dalam arti petunjuk (QS. Al-Qasas [28]: 22); hidayah dalam arti perintah rasul (QS. Al-Baqarah [2]: 159); hidayah berarti Al-Qur’an (QS. Al-Kahf [18]: 55); dan sebagainya.

Namun jika kita cermati berdasarkan penjelasan di atas, kata hidayah dalam Al-Quran secara umum merujuk pada petunjuk kepada sesuatu dan mayoritas menuju kebaikan. Hidayah dalam makna petunjuk diberikan kepada seluruh makhluk Allah swt, termasuk manusia. Sedangkan hidayah dalam arti mengikuti agama Allah (berislam) hanya diberikan kepada makhluk-makhluk tertentu sesuai kehendak Allah swt (hak prerogatif-Nya). Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 74

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pada pembahasan sebelumnya telah berbicara mengenai alasan perintah menyembelih sapi, pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 74 ini berbicara mengenai watak orang-orang Yahudi.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 71-73


Watak orang-orang Yahudi yang digambarkan dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 74 ini bahwa hati mereka keras seperti batu atau melebihi batu. Maksud dari penyataan ini adalah hati mereka tidak bisa meneriman petunjuk Allah swt. Selain itu dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 74 juga dijelaskan terkait pembahasan hati dari sisi sains.

Ayat 74

Dalam ayat ini diungkapkan watak orang-orang Yahudi. Sesudah mereka diberi petunjuk ke jalan yang benar dan sudah pula memahami kebenaran, hati mereka keras membatu bahkan lebih keras lagi.

Allah mengumpamakan hati orang Yahudi itu dengan batu yang dalam istilah geologi digunakan untuk menyebut segala macam benda yang merupakan spesies dari karang, atau materi seperti karang yang bersifat keras, untuk menunjukkan kekerasan hati mereka untuk menerima petunjuk Allah. Bahkan mungkin lebih keras lagi.

Walaupun batu itu keras, tetapi pada suatu saat dan oleh suatu sebab dapat terbelah atau retak. Dari batu yang retak itu memancarlah air, dan kemudian berkumpul menjadi anak-anak sungai. Kadang-kadang batu-batu itu jatuh dari gunung karena patuh kepada kekuasaan Allah. Demikianlah halnya hati orang Yahudi lebih keras dari batu bagaikan tak mengenal retak sedikit pun.

Hati mereka tidak terpengaruh oleh ajaran-ajaran agama ataupun nasihat-nasihat yang biasanya dapat menembus hati manusia. Namun demikian, di antara hati yang keras membatu itu terdapat hati yang disinari iman, sehingga hati itu berubah dari keras menjadi lembut karena takut kepada Allah.

Yang demikian itu banyak disaksikan dalam kehidupan sehari-hari. Hati yang tadinya biasa membangkang menentang agama akhirnya menjadi lembut, orang yang biasanya berbuat maksiat menjadi orang yang taat berkat petunjuk Allah.

وَاِنَّ مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ لَمَنْ يُّؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِمْ خٰشِعِيْنَ لِلّٰهِ ۙ لَا يَشْتَرُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۗ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ

Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada yang beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu, dan yang diturunkan kepada mereka, karena mereka berendah hati kepada Allah, dan mereka tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga murah. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya. (Ali ‘Imran/3:199)

Demikian pula pada ayat lain, Allah berfirman:

وَمِنَ الْاَعْرَابِ مَنْ يُّؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَيَتَّخِذُ مَا يُنْفِقُ قُرُبٰتٍ عِنْدَ اللّٰهِ وَصَلَوٰتِ الرَّسُوْلِ ۗ

Dan di antara orang-orang Arab Badui itu, ada yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang diinfakkannya (di jalan Allah) sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai jalan untuk (memperoleh) doa Rasul. (at-Taubah/9:99)

Menurut saintis, kata “hati” tidak menunjuk pada organ hati (liver), melainkan umumnya mengacu kepada jantung. Jantung adalah suatu organ bagian dalam, terletak di bagian dada dan berukuran sebesar kepalan tangan. Jantung terbagi dalam dua sisi, yaitu sisi kanan dan sisi kiri. Setiap sisi terbagi lagi menjadi dua ruang, yaitu ruang atas (atrium) dan ruang bawah (Ventrikel).

Ruang-ruang itu berdenyut sebanyak 70 kali per menit untuk menjaga aliran darah ke seluruh tubuh. Apabila dihitung, maka jantung akan berdenyut sebanyak lebih dari 30 juta kali dalam setahunnya.

Perjalanan darah, apabila diukur dan dimulai dari paru-paru dan jantung, akan mengalir melalui urat darah di seluruh tubuh sepanjang 96.000 km. Jarak tersebut ditempuh dalam 23 detik setiap kali putaran. Terlihat bagaimana pentingnya peran jantung dalam kehidupan manusia.


Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 26-27: Pesan Damai Selalu Menyelimuti Hati Orang-orang yang Tulus


Kata jantung dalam bahasa Arab adalah ‘qalb’. Kata tersebut juga digunakan untuk maksud lain, yaitu untuk mengartikan perasaan atau kalbu. Kalbu, sebagaimana jantung, dalam kehidupan juga sangat penting. Nabi Muhammad saw, setelah mencontohkan banyak hal mengenai kebaikan dan keburukan, mengatakan mengenai kalbu dalam artian pusat rasa atau pusat kepekaan, demikian:

“ ….. Sesungguhnya dalam diri manusia ada segumpal daging sebesar kunyahan, apabila baik, baiklah seluruh jasad dan apabila rusak, rusaklah seluruh jasad. Ia adalah kalbu.” (Riwayat al-Bukhari melalui Nu’man bin Basyir)

Jantung atau kalbu sering juga disandingkan dengan “hati”. Seringkali disatukan dan menjadi jantung-hati. Ada beberapa ayat terkait mengenai hati dan kepekaan, dua di antaranya adalah Surah al-Isra’/17: dan Qaf/50: 37 yang artinya sebagai berikut:

“Dan Kami jadikan hati mereka terutup dan telinga mereka tersumbat, agar mereka tidak dapat memahaminya. Dan apabila engkau menyebut Tuhanmu saja dalam Al-Quran, mereka berpaling ke belakang melarikan diri (karena benci).” (al Isra’/17: 46) “Sungguh, pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengaran, sedang dia menyangsikannya.” (Qaf/50: 37)

Dalam bahasa Alquran, disebutkan bahwa hati yang ditutup akan menjadikan pemiliknya tidak dapat menerima kebenaran apalagi mengikutinya. Ia hanya dapat mengikuti hal-hal yang tidak sejalan dengan yang hak, yakni hawa nafsu. Penutupan hati yang dilakukan Allah adalah sebagai dampak dari perbuatan mereka sendiri. Mereka enggan menggunakan pendengaran, penglihatan dan hatinya, sehingga pada akhirnya hati berkarat dan tertutup.

Secara tradisional, orang menganggap bahwa komunikasi antara kepala/otak (akal) dan jantung/hati (perasaan) berlangsung satu arah, yaitu bagaimana hati bereaksi terhadap apa yang diperintahkan otak. Akan tetapi, sekarang terungkap bahwa komunikasi antara hati dan otak berlangsung sangat dinamis, terus menerus, dua arah, dan setiap organ tersebut saling mempengaruhi fungsi mereka satu sama lain.

Suatu penelitian mengungkap bahwa hati melakukan komunikasi ke otak dalam empat jalan, yaitu (1) transmisi melalui syaraf, (2) secara biokimia melalui hormon dan transmiter syaraf, (3) secara biofisik melalui gelombang tekanan, dan (4) secara energi melalui interaksi gelombang elektromagnetik. Semua bentuk komunikasi tersebut mengakibatkan terjadinya aktivitas di otak. Penelitian mengungkapkan bahwa pesan yang disampaikan hati kepada otak akan mempengaruhi perilaku.

Selama ini para ahli mempercayai bahwa medan elektromagnetik hati adalah medan yang paling kuat yang dimiliki manusia. Medan ini tidak hanya mempengaruhi setiap sel yang ada dalam tubuhnya, akan tetapi juga mencakup ke segala arah ruang di sekitarnya. Diduga bahwa medan elektromagnetik adalah pembawa informasi yang sangat penting. Bahkan dapat dibuktikan pula bahwa medan elektromagnetik seseorang dapat mempengaruhi cara kerja otak orang lain.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 75-79


(Tafsir Kemenag)