Beranda blog Halaman 415

Ibnu Athiyyah, Mufasir Al-Quran dari Granada Spanyol

0
ibnu athiyyah
ilustrasi ibnu athiyyah (islami.co)

Kegemilangan Islam di Andalusia (sekarang Spanyol) telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peradaban dan pemikiran Islam. Hal ini dibuktikan dengan kemajuan dalam bidang keilmuan baik sains maupun agama. Banyak para ilmuwan filsuf dan ahli tafsir yang lahir dari rahim Islam di Andalusia, salah satunya adalah Ibnu Athiyyah.

Ibnu Athiyyah adalah seorang ahli tafsir Al-Quran yang lahir dari peradaban Islam di Granada, Andalusia. Ia mempunyai satu karya terbesar di bidang tafsir yaitu Tafsir al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz. Tafsir ini menjadi salah satu rujukan kelompok Aswaja dalam kajian tafsir. Berikut penjelasan biografi Ibnu Athiyyah, kiprah, dan karya-karyanya.

Biografi Ibnu Athiyyah

Sebelum mengemukakan lebih jauh terkait biografi Ibnu Athiyyah, perlu ditegaskan bahwa Ibnu Athiyyah yang dimaksud dalam artikel ini ialah orang Andalusia bukan orang Damaskus (al-Dimasyqi). Ibnu Athiyyah bernama lengkap Abu Muhammad ‘Abd al-Haqq bin Galib bin ‘Abdurrahman bin Ghalib bin ‘Abd al-Rauf bin Tamam bin ‘Abd Allah bin Tamam bin Athiyyah bin Khalid bin Athiyyah al-Muharibi al-Dakhil (Abdul Wahab Fayid, Manhaj Ibnu Athiyyah fi Tafsir al-Quran al-Karim).

Terkait nasab beliau, terdapat khilafiyah (perbedaan pendapat) di kalangan ulama sebagaimana diungkapkan oleh Al-Rahalliy al-Faruq, et.al dalam al-Ta’rif bi al-Muallif dalam Ibnu Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz. Syamuddin al-Dzahaby misalnya, Abdurrahman bin Ghalib bin Tammam bin Athiyyah. Sedangkan al-Suyuthi mengatakann Abdul Malik bin Ghalib bin Tamam bin Athiyah. Bahkan versi Syamsuddin al-Dawudi lebih panjang Abdurrahman bin Abdul Rauf bin Tammam bin Abdullah bin Tammam bin Athiyyah. Dengan demikian, nama Athiyyah bukan nama ayahnya melainkan kakeknya.

Ibnu Athiyyah lahir di Granad, Spanyol pada penghujung abad ke-5 atau 481 H pada masa awal pemerintahan Bani Murobitin. Bani Murobitin atau Dinasti Murobitun adalah produk politik dalam sejarah Islam Andalusia bersama Dinasti Muwahhidun. Ia wafat pada 25 Ramadhan 541 H di Lorca (Luraqah Andalusia), Murcia, Spanyol (Abu al-Hasan ‘Ali bin Abd Allah bin al-Hasan al-Nabahy, Tarikh Qudhah al-Andalus dan al-Hafidz Syams al-Din Muhammad bin Ahmad al-Dawudiy, Thabaqat al-Mufassirin dan Hasan Yunus Abidu, Dirasah wa Mabahits fi Tarikh al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin dan Muhammad Syakir al-Katbi, Fawat al-Wafayat wa al-Dzayl ‘alaiha).

Beliau hidup di lingkungan keluarga akademis dan agamis sebagaimana disampaikan Abd Wahhab Fayid dalam Manhaj Ibnu Athiyyah. Ayahnya merupakan ulama besar pada masanya, yakni Al-Imam al-Hafidz Abu Bakr Ghalib bin ‘Athiyyah. Ia adalah keturunan Arab dari Bani ‘Athiyyah. Kakenya adalah seorang pejuang yang membebaskan Andalusia bersama Tariq bin Ziyad.

Sejak kecil Ibnu ‘Athiyyah memang dididik untuk mencintai ilmu. Maka tak heran, jika ia banyak melakukah rihlah intelektual (rihlah ilmiyyah) dan nyantri kepada para berbagai ulama (Ibnu Farhun, al-Dibaj al-Muhadzab dan al-Dzahaby, Al-Tafsir wa al-Mufassirun).

Abd Wahhab Fayid mennyampaikan bahwa ada dua hal esensial yang sangat berpengaruh terhadap Ibnu ‘Athiyyah sehingga menjadikannya ulama besar, yaitu nasab dan lingkungan keluarga ilmiah serta kecerdasan dan ketekunannya dalam menuntut ilmu. Selain itu penguasaan berbagai disiplin keilmuannya semakin melengkapi dirinya sebagai seorang pakar.

Perjalanan Intelektual

Sebagaimana tradisi para ulama, Ibnu Athiyyah juga berkunjung ke berbagai wilayah untuk menimba ilmu, seperti fikih, hadits, qiraat, tafsir dan bahasa. Tercatat ada berbagai daerah yang dikunjunginya yaitu Cordoba, Murcia, Valencia, dan Sevilla. Ibnu Athiyyah juga seorang Malikiyah dan qadhi (hakim) di daerah Almeria, Andalusia.

Fayid mengutip al-Fahrasat, karya Ibnu Athiyyah bahwa ada 30 orang guru Ibnu Athiyyah, 7 orang di antaranya sangat mendominasi pemikiran Ibnu Athiyyah, yakni (1) ayahnya sendiri, seorang ahli hadits; (2) Abu Ali al-Husain bin Muhammad al-Gasaani (427-498 H/ 1035-1104 M), ahli hadits; (3) Abu Ali al-Husain bin Muhammad al-Shadafy (w. 514 H); (4) bu al-Hasan Aliy bin Ahmad bin Khalaf al-Anshariy atau Ibnu al-Badzis (444-528 H/ 1052-1133 M), ahli bahasa dan qiraaat;

(5) Abu Muhammad Abdurrahman bin Muhammad bin Itab al-Qurthuby, ahli fiqih, qiraat dan tafsir; (6) Abu Bahr Sufyann bin al-Ashi’ bin Ahmad al-Asadi, ahli fiqih; (7) Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ali bin Abdul Aziz bin Hamadin al-Taglabi, ahli fiqih dan sastra Arab.

Dari latar belakang kepakaran guru-gurunya sangat membentuk kepribadian Ibnu Athiyyah dan pemikirannya sebagai ulama yang menguasai di berbagai disiplin keilmuan (ahli tafsir, hadits, fiqih, qiraat, bahasa dan sastra Arab). Selain mewarisi keilmuan guru-gurunya, ia juga memiliki banyak murid yang terkenal di antaranya,

Al-Hafidz al-Tsiqah Abu Bakr Muhammad bin Khair bin Umar al-Isybilli (w. 575 H/ 1179 M), al-Imam al-Faqih Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abdul Malik bin Abi Jamrah al-Mursiy (w. 599 H/ 1202 M), al-Imam al-Hafidz Abu Qasim Abdurrahman bin Muhammad bin Abdullah al-Anshariy atau dikenal dengan Ibnu Hubaysy (w. 584 H/ 1188 M), al-Imam al-Faylasuf Abu Bakr Muhammad bin Abd al-Malik bin Thufayl al-Qaysiy (w. 581 H/ 1185 M) atau dikenal Ibnu Thufayl, al-Imam al-‘Alim al-Tsiqah Abu Ja’far Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Madha al-Nakhamiy al-Qurthubiy (w. 592 H/ 1195 M).

Karya-karya

Ibnu Athiyyah merupakan ulama produktif yang banyak menghasilkan karya, akan tetapi yang sampai kepada kita atau generasi sekarang hanya tiga buah karya, yaitu Tafsir Al-Muharrar al-Wajiz, Al-Ansab fi al-I’tiqad ‘ala Iqtibas al-Anwar wa al-Tamas al-Azhar fi Ansab al-Shahabah li al-Rasyathi dan Al-Fahrasat fi Kitab al-Tarajim al-Andalusiyah. Bahkan konon, penulisan karya terbesarnya al-Muharrar dimulainya sejak belia. Sungguh luar biasa. Ia seringkali dibangunkan ayahnya 2 kali dalam semalam untuk menulis. Semangat menulis ilmiahnya sudah dipupuk sejak dini oleh keluarganya. Sebuah hal yang patut diteladani bagi keluarga di era kekinian.

Kesan Para Ulama

Beliau juga mendapat pujian dari berbagai ulama akan ke’aliman dan kepakarannya. Az-Zahaby dalan Siyaar ‘Alam al-Nubala menyebut beliau sebagai imam al-‘Allamah, Imam dalam fiqih, tafsir, bahasa Arab, mufassirin, pintar, cerdas. Senada dengan al-Zahaby, Ibnu Furhun dalam al-Dibaj al-Mudzhib dan Ibn Basykuwaal dalam al-Shilah menyematkan mutafannin fi al-ulum (pakar dalam berbagai ilmu) dan waasi’ al-ma’rifah (luas cakrawala pandang).

Ibnu ‘Athiyyah adalah orang yang cerdas, rajin dan cinta akan ilmu pengetahuan. Karena itulah, ia senang berkelana ilmiah mendatangi guru-guru atau ulama di beberapa kota besar di wilayah Andalusia sebagaimana penjelasan di muka. Ibnu Athiyyah merupakan mu’awwil al-Asy’ari (orang yang suka mena’wil ayat dan berpaham Asy’ari).

Kelahiran tafsir al-Muharrar menjadi penting sebab dibuktikan dengan kemunculan beberapa tafsir di Barat setelahnya, seperti Tafsir al-Bahr al-Muhith karya Ibnu Hayyan, Tafsir Jami’ al-Ahkam karya Imam al-Qurthuby dan Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Quran karya al-Sa’alabi di Maghrib (Maroko). Sebagai tafsir yang berhaluan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kita perlu untuk mempelajarinya untuk menambah wawasan dalam beragamal. Wallahu A’lam.

Menilik Makna Ummatan Wasatha dalam Surat Al-Baqarah Ayat 143 Dari Berbagai penafsiran

0
ummatan wasatha
ummatan wasatha

Cita-cita yang diharapkan oleh Al-Quran adalah keseimbangan dalam menjalani kehidupan. Kesimbangan yang dimaksud yaitu keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani, serta seimbang dalam antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Allah merekam konsep umat yang berkeseimbangan atau yang disebut ummatan wasatha dalam Al-Quran QS. al-Baqarah [2]: 143,

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا

Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (Q.S. al-Baqarah [2]: 143)

Asbab an-Nuzul

Mayoritas ulama berpendapat bahwa turunnya ayat 143 pada surah al-Baqarah di atas berawal dari penantian Rasulullah akan turunnya perintah untuk memindahkan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Imam Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya, Tafsir al-Quran al-‘Adhim, juz 1, 458, menyatakan bahwa:

قال علي بن أبي طلحة عن ابن عباس: كان أول ما نُسخ من القرآن القبلة، وذلك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما هاجر إلى المدينة، وكان أكثر أهلها اليهود، فأمره الله أن يستقبل بيت المقدس، ففرحت اليهود، فاستقبلها رسول الله صلى الله عليه وسلم بضَعةَ َ عشَر ً شهرا

Peristiwa pemindahan kiblat shalat merupakan hukum pertama yang dinasakh dalam Al-Quran. Ketika Rasulullah hijrah ke kota Madinah, saat itu mayoritas penduduk Madinah masih beragama Yahudi. Allah SWT memerintahkan beliau untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis untuk menarik simpati penduduk Madinah yang merasa senang dengan hal tersebut. Maka, pada masa awal di Madinah Rasulullah menghadap ke Baitul Maqdis selama beberapa puluh bulan. Setelah itu turunlah QS. al-Baqarah[2]: 144.

Baca juga: Inilah Tinjauan Tafsir Ummatan Wasatha Menurut M. Thalibi

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (QS. al-Baqarah [2]: 144)

Kemudian ada seorang muslim berkata “kami ingin tahu tentang orang-orang muslim yang meninggal sebelum kiblat kita berubah dan bagaimana shalat kita ketika msih menghadap ke baitul maqdis?” lalu Allah swt menurunkan QS. al-Baqarah[2]: 143.

Makna ummatan wasatan dari ragam penafsiran

Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam karya tafsirnya al-Maraghi juz 2: 93 menjelaskan bahwa ummatan wasaṭha merupakan sikap umat Islam yang berada di tengah-tengah atau sebagai penengah di antara dua kubu. Pertama, orang-orang yang selalu cenderung pada kepentingan dunia, seperti kaum Yahudi dan Musyrikin.

Kedua, orang-orang yang membelenggu diri dengan adat kebiasaan dan kepentingan rohaniah, sehingga meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawiyah, termasuk kebutuhan jasmani mereka. Di antara mereka adalah kaum Nasrani dan Sabi’in.

Pandangan al-Maraghi tersebut tidak jauh berbeda dengan pendapat ath-Thabari yang memahami kata al-wasaṭ dengan keadilan atau proporsional. Dan kata ini pun semakna dengan kata al-khiyār yang disebut sebelumnya. Sebab hanya orang-orang adil (bersikap seimbang) yang disebut orang-orang terpilih di antara manusia.

Selanjutnya, ath-Thabari mengemukakan empat belas riwayat yang menjelaskan mengenai makna al-wasaṭ. Tiga belas riwayat sama-sama mengartikannya dengan keadilan. Berikut salah satu riwayatnya sebagimana dalam Tafsir al-Maraghi, terjemahan dari K. Anshori Umar Sitanggal, Hery Noer Aly, Bahrun Abu Bakar, Cet. 2.

عن أبي صالح، عن أبي سعيد، عن النبي صلى الله عليه وسلام في قوله: (وكذالك جعلناكم أمة وسطا) قال: عدول

Pengertian kedua mufassir tersebut dapat dipahami bahwa konsep ummatan wasaṭha merupakan masyarakat yang seimbang, yang berdiri di tengah tengah antara dua kelompok ekstrem, yaitu kecenderungan berlebihan kepada kepentingan dunia dan kebutuhan jasmani seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, dan kecenderungan membelenggu diri secara total dari hal-hal yang bersifat duniawi seperti yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani.

Baca juga: Inilah 3 Syarat Utama Implementasi Islam Wasathiyah Menurut Quraish Shihab

Dalam At-Tafsîr al-Munîr juz 2, 102, Wahbah az-Zuhayli menjelaskan bahwa wasath merupakan sesuatu yang berada ditengah-tengah atau intisari sesuatu, kemudian makna tersebut digunakan juga untuk sifat atau perbuatan yang terpuji. Karena semua sifat yang terpuji adalah selalu bermuara pada sikap pertengahan, seperti contoh, keberanian merupakan sikap pertengahan dari sifat pengecut dan nekad. Tetapi ia juga menambahkan bahwa disebut juga sebagai al-khiyar (terbaik) karena ia mampu memadukan antara ilmu (teori) dan amal (praktek)

Demikian pula, M. Quraish shihab dalam tafsirnya al-Misbah juz 2, 98. Beliau menambahkan bahwa konsep ummatan wasatha. Selain kalimat ummatan wasatha, Al-Qur‟an juga menyebutkan sebuah istilah untuk sebuah kelompok masyarakat yang memiliki makna kurang lebih sama yaitu; ummatan muqtashidah. Kalimat tersebut terdapat dalam QS. al-Ma’idah [5]: 66 sebagai berikut:

وَلَوْ اَنَّهُمْ اَقَامُوا التَّوْرٰىةَ وَالْاِنْجِيْلَ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِمْ مِّنْ رَّبِّهِمْ لَاَكَلُوْا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ اَرْجُلِهِمْۗ مِنْهُمْ اُمَّةٌ مُّقْتَصِدَةٌ ۗ وَكَثِيْرٌ مِّنْهُمْ سَاۤءَ مَا يَعْمَلُوْنَ ࣖ

Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada sekelompok yang jujur dan taat. Dan banyak di antara mereka sangat buruk apa yang mereka kerjakan. (Q.S. al-Maidah [5]: 66)

Menurut al-Maraghi, kelihatan bahwa makna ummah muqtashidah ini hampir identik dengan ummatan wasata karena keduanya mengandung makna moderat dan ketidakterjebakan pada titik ekstrim. Keduanya juga berfungsi memelihara konsistensi penerapan nilai-nilai utama di tengah-tengah berbagai komunitas di sekitarnya yang telah menyimpang.

Bedanya, cakupan ummah muqtashidah adalah sub komunitas seagama (Yahudi atau Nashrani), yang berprilaku pertengahan dalam melakukan ajaran agamanya, dan kelompok pertengahan itulah yang cepat menerima kebenaran dan menyambut upaya-upaya perbaikan atau pembaharuan.

Sedangkan ummatan wasatha adalah komunitas seagama itu sendiri, yakni Islam yang berada di antara dua komunitas Yahudi dan Nashrani. (Al-Maraghi, Jami’ al-Bayan, Juz 2, 102)

Demikian pemaknaan ummatan wasatha yang dilihat dari ragam penafsiran. Dari sini, setidaknya ada dua poin penting yang bisa ditarik sebagai kesimpulan. Pertama, Allah swt. menyebut umat Nabi Muhammad saw. sebagai Ummatan Wasatha karena konsep keseimbangan mereka dalam beragama, tidak cenderung kepihak kanan seperti orang-orang Yahudi maupun pihak kiri sebagaimana umat Nasrani.

Kedua, Ummatan Wasatha adalah potret masyarakat yang seimbang, masyarakat ideal yang berada di tengah-tengah dua kutub ekstrem, yaitu kecenderungan berlebihan kepada kepentingan dunia (kebutuhan jasmani) dan kecenderungan berlebihan membelenggu diri secara total dari hal-hal yang bersifat duniawi. Wallahu A’lam.

Pembukaan Awal Tafsir Surah al-Kahfi: Kisah dan Keutamaan Membaca Surah al-Kahfi

0
Kisah dan Keutamaan Membaca Surah al-Kahfi
Kisah dan Keutamaan Membaca Surah al-Kahfi

Belum lengkap rasanya jika kita membahas tentang tafsir surah al-kahfi tanpa memahami pengetahuan tentang kisah dan keutamaan membaca surah al-kahfi. Turunnya surat ini begitu menarik dan beda dengan surah yang lainnya, karena surat al-Kahfi ini turun setelah surat al-Ghasyiyah dan surat al-Syura dalam satu paket. Artinya, menurut Ibnu Asyur, surah al-kahfi ini turun secara sekaligus, jadi tidak berangsur-angsur atau ayat per ayat. Selain menurut Ibnu Asyur, ternyata juga diriwayatkan dari Anas bin Malik yang menyampaikan bahwa surah al-Kahfi itu turun secara sekaligus, dan diiringi oleh tujuh puluh ribu malaikat.

Surah al-Kahfi ini memiliki banyak penjelasan tentang kisah keteladanan, mulai dari kisah diturunnya surah al-Kahfi, kisah ashabul Kahfi dan seekor anjing, jika kisah Ashabul Kahfi ini diawali dari ayat ke-9 sampai ayat ke 26. Kisah tentang sekumpulan pemuda muslim yang hidup di negeri kafir. Kemudian mereka bertekad hijrah untuk mempertahankan agama. Mereka  melakukan hijrah setelah mereka mendakwahi kaumnya lalu mendapatkan penolakan, tekanan, dan intimidasi. Selanjutnya kisah pemuda tersebut juga sempat tertidur selama ratusan tahun.

Baca juga: 3 Macam Nun Sukun yang Dibaca Idzhar dalam Ilmu Tajwid

Kemudian ada juga kisah tentang raja Zukainain, seorang raja mulia yang menguasai ilmu dan kekuatan, ia mengelilingi dunia dan menebarkan kebaikan di muka bumi. Ia menolong manusia di atasnya. Ia mampu membendung kejahatan Ya’juj dan Ma’juj dengan membangun tembok raksasa (benteng), dengan tujuan untuk mengurung makhluk perusak dunia tersebut. Kemudian datang juga dari kisah Nabi Khidir mencekik anak kecil ketika bersama Nabi Musa, kisah Ashabul Kahfi di dalam goa serta masih lebih luas lagi.

Selain memahami makna cerita yang terdapat pada surah al-Kahfi, kita juga perlu mengetahui keutamaan ketika kita membaca surat al-Kahfi, ada beberapa riwayat hadis yang menceritakan tentang kisah seseorang yang mengalami sesuatu setelah membaca surah al-Kahfi.

Riwayat Tentang Kisah Orang yang Membaca Surat al-Kahfi

Hadis riwayat dari Imam Bukhory dan Imam Muslim:

وَجَعَلَ فَرَسُهُ يَنْفِرُ فَلَمَّا أَصْبَحَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ تِلْكَ السَّكِينَةُ تَنَزَّلَتْ بِالْقُرْآنِ

Dari al-Bara’ bin ‘Aazib r.a beliau berkata: Ada seorang laki-laki yang membaca surat al-Kahfi, di sampingnya ada kuda yang terikat pada dua tali yang panjang. Tiba-tiba ia dinaungi awan yang terus mendekap, maka kuda itupun lari (terlepas dari ikatan). Pada pagi harinya,  orang tersebut mendatangi Nabi Muhammad SAW dan menceritakan hal itu. Nabi bersabda: Itu adalah as-Sakiinah (ketenangan) yang turun dengan al-Quran (H.R al-Bukhari dan Muslim).

Baca juga: Makna Kata Hidayah dalam Al-Quran dan Macamnya Menurut Al-Maraghi

Kemudian pada kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar al-asqolani, makna as-Sakinah adalah suatu makhluk yang padanya terdapat ketenangan dan rahmat, bersamanya (turun) Malaikat. Menurut al-Jurjani, sakinah adalah adanya ketenteraman dalam hati pada saat datangnya sesuatu yang tidak diduga, dibarengi satu nur (cahaya) dalam hati yang memberi ketenangan dan ketenteraman pada yang menyaksikannya, dan merupakan keyakinan berdasarkan penglihatan (ain al-yaqin). Ada pula yang menyamakan sakinah dengan kata rahmah dan thuma’ninah, artinya tenang dan tidak gundah dalam melaksanakan ibadah.

Selajutnya dari Abu Sa’id al-Khudri r.a, hadis riwayat Imam Ad-Darimi, Imam an-Nasai dan Al-Hakim, pada Shahih al-Jami’, nabi  Muhammad SAW bersabda:

مَنْ َقَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ

“Siapa membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, maka dipancarkan cahaya untuknya sejauh antara dirinya dia dan Baitul ‘Atiq.” (HR. Imam Al-Darimi dan Imam an-Nasai).

Baca juga: Kisah Al-Quran: Beberapa Gelar Yang Disandang Nabi Ibrahim a.s.

Dengan begitu, ulama sepakat bahwa surat al-kafi memberikan keutamaan berupa cahaya sakinah dan bisa diamalkan secara istiqomah setiap hari jumat. Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm menyatakan bahwa membaca surat al-Kahfi bisa dilakukan pada malam Jum’at dan siangnya. Wallahu a’lam[]

Ragam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 62 dari Klasik hingga Kontemporer

0
Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 62 dari klasik sampai kontemporer
Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 62 dari klasik sampai kontemporer

Pada artikel sebelumnya, telah dijelaskan terkait asbab an-nuzul dan pemaknaan dari umat-umat beragama. Lalu, bagaimana ragam tafsir Surat Al-Baqarah ayat 62 dari tafsir klasik hingga kontemporer? Sebelum masuk ke penafsirannya, terlebih dahulu penulis jelaskan terkait munasabah pada ayat tersebut.

Munasabah ayat

Dalam ayat sebelumnya (Surat Al-Baqarah ayat 61), Allah memberikan keterangan tentang kesalahan-kesalahan orang Yahudi. Sehingga mereka mendapatkan kemurkaan, kehinaan, dan kemiskinan dari Tuhan. Allah menjelasakan dalam ayat 62, bahwa umat beragama lain pada masanya, bisa mendapatkan pahala seperti yang diperoleh umat mukmin, jika mereka beriman dan bertobat (Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 1, 121)

Dari keterangan tersebut, dapat diambil pelajaran bahwa Surat Al-Baqarah ayat 62 berkaitan dengan ayat sebelumnya, yang menggambarkan golongan umat Yahudi yang durhaka dan dihinakan, ketika mereka hendak bertaubat maka akan diberikan kebahagiaan. Ini menjadi jawaban dan kemurahan Allah terhadap makhluk-Nya.

Baca juga: Sabab Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 62 dan Ragam Makna Umat Beragama

Pendapat mufasir klasik

Keimanan orang-orang Yahudi menurut at-Thabari, yaitu mereka yang teguh keimanannya terhadap Taurat dan ajaran Musa as. Dan sampai datangnya Isa as, ia harus mengimani Isa as. Ketika tidak beriman, maka ia termasuk orang yang celaka. Sementara keimanan orang Nasrani yaitu mereka yang teguh dengan Injil dan ajaran Isa as dan ketika datang kenabian Muhammad saw. mereka lantas mengimaninya. Ketika tidak, mereka bakal celaka (Jami’ al-Bayan, Juz I, 232-233).

Ibnu Jarir at-Thabari, dalam Jami’ al-Bayan, Juz I, 231 menafsirkan مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ secara ringkasnya yaitu mereka yang membenarkan serta mengikrarkan adanya hari kebangkitan setelah kematian di hari akhir, mengerjakan amal saleh dan taat kepada Allah, maka baginya adalah pahala atas perbuatannya di sisi Allah.

Ibnu Katsir (Tafsir al-Qur’an al-Azim, Juz I, 284) berpendapat, umat-umat yang lalu apabila berbuat baik dan taat maka baginya adalah pahala yang baik. Kaidah yang ditetapkan sampai hari kiamat, adalah setiap orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, kebahagian abadi berhak baginya. Masa depan yang mereka hadapi tanpa rasa ketakutan dan masa yang lalu tidak menjadi kesedihan.

Baca juga: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 120: Benarkah Yahudi dan Nasrani Tidak Rela Terhadap Islam?

Seperti dimaktub dalam Surat Yunus ayat 62 yaitu, “Ingatlah, Sesungguhnya kekasih-kekasih Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Ukuran keimanan orang Yahdui dan Nasrani, dalam pandangan Ibnu Katsir yaitu ketika mereka mengimani ajaran Nabinya masing-masing. Namun ketika datang ajaran Nabi Muhammad saw. lalu mereka tidak mengimaninya, makan mereka termasuk orang yang binasa (Tafsir al-Qur’an al-Azim, Juz I, 285)

Pendapat mufasir kontemporer

Menurut Rasyid Ridha (Tafsir al-Manar, Jilid 1, 243), bahwa agama itu sama jika suatu agama itu memiliki tiga hal. Pertama, beriman kepada Allah. Kedua, beriman kepada hari Akhir. Ketiga beramal Shaleh. Ridha melanjutkan, kriteria yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 62 dan termasuk Al-Maidah ayat 69 diperuntukkan bagi golongan/kaum yang dakwah Nabi Muhammad belum sampai kepada mereka.

Keselamatan golongan ini disyaratkan hanya iman kepada Allah dan hari kiamat saja. Namun ketika dalam kondisi dakwah Islam sampai pada mereka, dan bisa menjumpainya, mau tidak mau harus mengimani ajaran tersebut.

Hamka menafsirkan ayat ini dengan menyatakan bahwa keempat golongan tersebut terkumpul dalam satu keimanan kepada Allah dan hari akhir, diikuti dengan melakukan kebajikan. Dengan begitu, mereka akan mendapatkan ganjaran di sisi Tuhannya. (Tafsir al-Azhar Juz I, 191)

Dalam pandangan Hamka, ayat ini tidak dinasakh dengan ayat 85 dari QS Ali Imran sebagaimana pendapat dari Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim yang mereka terima dari Ibnu Abbas. Hamka berpendapat ketika ayat ini dinasakh maka akan timbul fanatik dan sikap eksklusif. Tetapi ayat ini dipahami saling melengkapi sehingga agama Islam tetap membuka pintu dakwah dan menjadi agama yang fitrah dan murni. (Tafsir al-Azhar,196)

Adapun syarat yang diperuntukkannya, dalam pandangan Hamka ada dua, yaitu iman kepada Allah dan hari pembalasan dan kedua beramal saleh yang berfaidah dan bermanfaat untuk diri sendiri serta orang lain.

Baca juga: Inilah Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab

Berkaitan dengan syarat pertama yaitu keimanan, Thaba’thabai menjelaskan tentang pengulangan kata “beriman” dalam ayat tersebut. Pengulangan ini membuktikan bahwa; kata iman pada kata kedua yaitu “man âmana” (barangsiapa yang beriman) menunjukkan pensifatan iman dengan arti yang sebenar-benarnya, “iman sejati”.

Berbeda dengan kata iman pertama pada kata “innalladzîna âmanû” (sesungguhnya orang-orang yang beriman) yang menunjukkan arti iman secara dzahir saja, iman yang belum teruji. (Tafsir al-Mizan, jil: 1, 192)

Sementara menurut Quraish Shihab, persyaratan beriman kepada Allah dan hari kemudian, bukan berarti hanya dua itu saja yang dituntut dari mereka, tetapi dua rukun tersebut menjadi istilah yang biasa digunakan oleh al-Qur’an dan sunnah untuk pemaknaan iman yang benar dan mencakup semua rukunnya (Tafsir al-Misbah, 208)

Kementerian Agama (al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 1, 121) menerangkan bahwa ayat tersebut menjelaskan tiap-tiap umat pada masa itu yang benar-benar berpegang pada ajaran para nabi mereka serta beramal saleh akan memperoleh ganjaran di sisi Allah, karena rahmat dan maghfirah-Nya selalu terbuka untuk seluruh hamba-hamba-Nya.

Namun ketika sudah datang ajaran Nabi Muhammad, semua umat manusia diwajibkan beriman kepadanya dan seluruh ajaran yang dibawanya yakni dengan menganut Islam. Hal ini apabila ia menginginkan keselamatan, kebahagiaan, dan pahala di sisi Allah.

Baca juga: Makna Kebebasan Beragama dan Toleransi dalam Al-Quran

Sementara hal yang berbeda dapat ditemukan dalam penafsiran Abdul Moqsith Ghazali (Argumen Pluralisme Agama; Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, 248). Ia nampaknya tidak sependapat dengan kebanyakan ulama tafsir seperti at-Thabari, Ibnu Katsir, terkait ukuran keimanan golongan-golongan umat beragama seperti yang telah disebutkan di atas.

Penafsiran sebagaimana di atas, menurut Moqsith mengasumsikan bahwa setiap kedatangan nabi baru akan menghapus ajaran nabi yang lama, yang berarti mereka saling bertentangan. Menurutnya, perbedaan antara Islam, Yahudi, dan Nasrani bukan pada prinsip pokoknya, melainkan syariat yang diembannya. Maka dari itu, ajaran yang dibawa Nabi Muhammad merupakan hasil modifikasi dari ajaran sebelumnya.

Moqsith menyimpulkan, ayat tersebut tidak menerangkan kewajiban orang Yahudi, Nasrani, dan Sabiin agar beriman kepada Nabi Muhammad. Karena pernyataan beriman kepada Muhammad saw merupakan sebuah penafsiran bukan pernyataan al-Qur’an itu sendiri.

Dengan demikian, Islam tidak hanya mengakui ajaran agama dan umat agama lain, namun menurut al-Qur’an, golongan non-Muslim tetap akan diselamatkan Allah sejauh mereka menjalankan ajaran agamanya secara sungguh-sungguh dan melakukan amal saleh sebagaimana yang ditetapkan dalam kitab suci masing-masing. (Argumen Pluralisme Agama; Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, 249)

Ragam pendapat dari para mufasir tidak sepatutnya kita jadikan perpecahan dan klaim kebenaran. Karena kebenaran al-Qur’an mutlak milik Allah dan Rasul-Nya. Sementara tafsir adalah hasil ijtihad dari para mufasir sebagai reader (pembaca) yang patut diapresiasi. Wallahu a’lam[]

Memahami Konsep Sakralitas Al-Quran dan Berbagai Sikap Terhadapnya

0
Sakralitas Al-Quran
Sakralitas Al-Quran

Al-Quran telah menghiasi kehidupan manusia, khususnya umat muslim dalam kehidupannya selama berabad-abad sejak diwahyukan. Definisi mayoritas terhadap al-Quran sebagai kalamullah telah mengantarkan al-Quran pada kedudukan yang tinggi (sakral) dan disucikan.

Penilaian “sakral” pada al-Quran telah membawanya pada variasi penyikapan umat Islam terhadapnya. Dalam sejarah arsitektur Islam, al-Quran yang diekspresikan dalam bentuk tulisan (kaligrafi) banyak digunakan sebagai hiasan interior maupun eksterior yang secara hakiki fungsinya tidak hanya sebagai hiasan melainkan simbol yang menandai bahwa bangunan itu merupakan bangunan yang sakral (masjid) atau tempat yang terhormat seperti istana kerajaan.

Sakralitas al-Quran juga yang membawa penyikapan umat Islam untuk selalu menempatkan Kaligrafi tersebut di bagian atas ruangan sebagai simbol bahwa kemuliaan kalam Ilahi ini di atas segalanya. Sikap ini juga sekaligus mencegahnya diperlakukan dengan tidak pantas, seperti diinjak atau disejajarkan dengan benda-benda yang secara “level” ada di bawahnya.

Baca Juga: Tiga Tantangan Pembelajaran Tafsir Menurut Quraish Shihab

Salah satu ayat al-Qur’an, telah memicu respon berbagai dimensi umat Islam, ada yang menekankan bahwa sebelum berinteraksi dengan al-Qur’an, umat Islam harus menyucikan dirinya terlebih dahulu sebab al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang suci.

Q.S al-Waqi’ah [56]: 77-79:

اِنَّهٗ لَقُرْاٰنٌ كَرِيْمٌۙ فِيْ كِتٰبٍ مَّكْنُوْنٍۙ لَّا يَمَسُّهٗٓ اِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَۙ

dan (ini) sesungguhnya Al-Qur’an yang sangat mulia, dalam Kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan.

Aspek “kesucian diri” ini pun mendapatkan respon yang berbeda-beda, ada yang menekankan bahwa umat Islam harus suci secara rohani agar dapat memahami kalam Tuhan ini, adapula yang memahaminya sebagai praktik penyucian jasmani dengan berwudhu.

Kemuliaan dan kesucian al-Qur’an tidak hanya berdampak pada penilaiannya sebagai sesuatu yang “sakral” dan tidak sembarang orang boleh mendekatinya. Namun juga berdampak pada pemahaman bahwa kalam Tuhan yang “sakral” ini dapat dijadikan sebagai obat yang mujarab bagi penyucian (penyembuhan) manusia dari segala penyakit. Sebagaimana budaya beberapa masyarakat yang menilai bahwa sesuatu yang “sakral” memiliki sisi magis yang dapat menjadi obat dan penyembuh segala penyakit.

Baik itu penyakit yang non-metafisis (penyakit dalam dunia medis) maupun yang metafisis (penyakit non-medis seperti kejinan/ kesurupan). Sebagaimana bisa disaksikan dalam riwayat surah muawwidzatain (al-Falaq dan al-Nas) yang menceritakan lepasnya sihir dari Nabi setelah membacanya. Bahkan Allah sendiri juga menegaskan bahwa al-Qur’an adalah obat atau penawar yang Dia turunkan, sebagaimana salah satunya dalam Q.S. al-Isra [17]: 82:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْاٰنِ مَا هُوَ شِفَاۤءٌ وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَۙ

Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman

Kemudian perihal masalah eskatologis (perihal hal-hal seperti kematian, hari akhir, dan kebangkitan pasca mati), al-Qur’an juga menjadi bekal “sakral” untuk menghadapinya nanti. Umat Islam meyakini bahwa ada surah-surah tertentu dalam al-Qur’an (berdasar pada berbagai hadis mengenai faidah al-Qur’an dari sisi eskatologis) yang memiliki spirit khusus dan dapat menjadi teman sekaligus penolongnya dalam perjalanan setelah kematian. Maka salah fenomena yang sejak dulu sampai saat ini terus berlangsung adalah hadirnya majelis-majelis al-Qur’an.

Selanjutnya mari melihat bahasa yang digunakan al-Qur’an. Bahasa Arab yang digunakan sebagai mediator komunikasi antara pesan-pesan Tuhan dengan manusia dalam al-Qur’an, juga membawa implikasi bagi sikap umat Islam terhadapnya. Bahasa Arab dianggap sebagai simbol identitas umat Islam. Anggapan ini terekspresikan secara empiris dari banyaknya negara-negara mayoritas Islam (yang bukan dari jazirah Arab) yang menkonversi dan mengadopsi kosa kata bahasa Arab.

Baca Juga: Makki Al-Qaisi, Imam Qiraat yang Terlupakan dan Keragaman Bacaan yang Dihadirkannya

Penguasaan bahasa Arab juga dijadikan standar bagi seorang intelektual dalam upaya memahami al-Qur’an. Bahkan dalam pemberian nama, banyak kosa kata bahasa Arab yang termaktub dalam al-Qur’an yang dijadikan sebagai inspirasi dalam pemberian nama seorang anak. Dalam percakapan umat Islam, ungkapan-ungkapan bahasa Arab yang tertulis dalam al-Qur’an juga sering dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, semisal, insyaallah, alhamdulillah, allahu akbar, ma sya allah dan lain sebagainya.

Sakralitas al-Quran yang dinilai oleh umat Islam, telah membawa mereka pada berbagai penyikapan terhadapnya. Berbagai penyikapan ini tak jarang berkembang dari generasi ke generasi dan menjadi budaya turun-temurun. Maka tidak heran jika antara satu tempat ke tempat lain akan ditemukan berbagai macam ekspresi penyikapan atas sakralitas al-Quran. Sebab masing-masing tempat memiliki budaya dan masing-masing budaya memiliki ciri khas.

Fenomena inilah yang dalam kajian Living Qur’an dianggap sebagai resepsi. Masing-masing resepsi atau penilaian atas al-Qur’an oleh umat Islam baik itu berdasar pada landasan yang valid (hadis maupun atsar) maupun atas kreativitas manusia itu sendiri merupakan objek yang menarik untuk dikaji dan diteliti. Bukan untuk menemukan benar/salah, namun untuk menyingkap filosofi dan makna yang ada di baliknya. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Yasin Ayat 41-42: Ketika Manusia Terselamatkan dari Banjir Bandang

0
Yasin Ayat 41-42
Yasin Ayat 41-42

Artikel kali ini akan membicarakan tentang bukti kekuasaan Allah Swt sebagaimana pembicaraan artikel sebelumnya. Namun bedanya kali ini pembicaraan akan bergeser pada keesaan Allah Swt yang berkaitan dengan “samudra”, tepatnya ketika manusia terselamatkan dari bencana banjir bandang.

Ibnu ‘Asyur menelaah bahwa surah Yasin ayat 41-42 ini merupakan pengemukaan bukti-bukti kekuasaan Allah di samudra setelah sebelumnya berbicara mengenai bukti kekuasaan Allah di langit dan bumi. Selain itu juga berbicara tentang adanya aneka alat transportasi masa depan. Begini tuturan lengkapnya:

وَاٰيَةٌ لَّهُمْ اَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِى الْفُلْكِ الْمَشْحُوْنِۙ

وَخَلَقْنَا لَهُمْ مِّنْ مِّثْلِهٖ مَا يَرْكَبُوْنَ

“Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam kapal yang penuh muatan,”

“dan Kami ciptakan (juga) untuk mereka (angkutan lain) seperti apa yang mereka kendarai.”

Ibnu ‘Asyur dalam Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir melanjutkan bahwa bukti kekuasaan Allah Swt yang dimaksud, adalah kejadian tentang terapungnya sebuah kapal di atas air. Air yang sedianya didatangkan sebagai azab (menenggelamkan) bagi kaum pembangkang, namun pada sebagian lain justru sebaliknya. Al-Suyuti dalam Jalalain secara tegas menyatakan bahwa kapal tersebut adalah kapal Nabi Nuh As.

Baca Juga: Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur dan Empat Prinsip Penafsirannya

Pada waktu itu seluruh manusia dan hewan binasa kecuali yang terangkut oleh kapal Nabi Nuh As. Menurut Ibnu Katsir,  kapal tersebut berisi Nabi Nuh As dan pengikutnya, serta sepasang hewan-hewan. Selain itu juga terdapat harta benda untuk bertahan hidup di atas kapal selama banjir bandang. Wahbah Zuhaili mengaitkannya dengan ayat 31 dalam surah Luqman:

 اَلَمْ تَرَ اَنَّ الْفُلْكَ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِنِعْمَتِ اللّٰهِ لِيُرِيَكُمْ مِّنْ اٰيٰتِهٖۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُوْرٍ

“Tidakkah engkau memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, agar diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran)-Nya bagi setiap orang yang sangat sabar dan banyak bersyukur.”

Sejatinya pengemukaan kisah terselamatkannya manusia ini merupakan bentuk peringatan Allah Swt bagi orang-orang musyrik Mekah pada waktu itu. Allah menyangsikan sikap pembangkangan mereka terhadap risalah Nabi Muhammad Saw, padahal dahulu kala leluhur  mereka pernah dianugerahi keselamatan dari bencana banjir bandang.

Ketika menjelaskan surah Yasin ayat 41-42, Qurasih Shihab dalam Al-Misbah mengatakan bahwa andai leluhur mereka pada waktu tragedi banjir bandang itu tidak diselamatkan, mustahil mereka (musyrik Mekkah) ada. Anak dan cucu yang sangat mereka cintai juga tidak akan pernah ada. Namun karena kasih sayang Allah Swt akhirnya leluhur mereka terselamatkan dalam kapal Nabi Nuh As.

Ahmad bin Muhammad al-Shawi dalam Hasyiah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain memberikan tambahan informasi mengenai kapal Nabi Nuh As. Kapal ini memiliki tiga tingkat. Pada tingkatan pertama ditempati oleh hewan-hewan buas dan hewan-hewan yang berbisa. Pada tingkatan ke dua ditempati oleh hewan-hewan ternak. Sedangkan pada tingkat ketiga ditempati oleh manusia dan burung-burung.

Itulah sedikit gambaran bagaimana kapal Nabi Nuh As dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Berkat adanya kapal Nabi Nuh yang merupakan perintah dari Allah Swt akhirnya makhluk-makhluk Allah bisa terselamatkan hingga saat ini. Selain itu berkaitan dengan kapal Nabi Nuh As tersebut, Allah menjadikan hal-hal serupa sebagai transportasi agar bisa dimanfaatkan oleh manusia. Sebagaimana dituturkan dalam ayat 42 di atas.

Dalam memaknai ayat 42 tersebut al-Thabari membagi pendapat ulama pada dua poros. Poros pertama adalah kalangan yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah transportasi darat, yaitu berupa unta atau hewan ternak lainnya. Pendapat ini diwakili oleh Ikrimah, Mujahid, ‘Abdulah bin Syaddad, dan al-Hasan.

Baca Juga: Mengenal Jami’ al-Bayan, Pelopor Tafsir Al-Quran Dalam Islam Karya Ibnu Jarir At-Thabari

Sedangkan poros yang kedua berpendapat bahwa yang dimaksud adalah transportasi laut, sebagaimana dikisahkan oleh ayat sebelumnya. Pendapat ini diwakili oleh Ibnu ‘Abbas, Abi Malik, Abi Salih, al-Dhahhak, Qatadah, dan Ibnu Zaid. Pendapat terakhir ini  diamini oleh Wahbah Zuhaili.

Wahbah, mengutip dari al-Razi, mengemukakan bahwa mayoritas mufasir mengatakan bahwa dhamir (kata ganti tunggal) pada kata mistlihi (مِّثْلِهٖ) merujuk pada kata al-Fulk (الْفُلْكِ) yang terletak pada ayat 41. Namun Quraish Shihab mempunyai analisis menarik mengenai hal ini.

Quraish mengatakan bahwa ayat 42 ini mengisyaratkan adanya transportasi di masa depan yang dapat digunakan oleh manusia. Alasan Quraish berdasarkan Surah an-Nahl ayat 8:

وَّالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيْرَ لِتَرْكَبُوْهَا وَزِيْنَةًۗ وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

“dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui.”

Maksudnya adalah setelah Allah menegaskan tentang penyebutan beberapa binatang yang bisa digunakan sebagai alat transportasi, lalu ditutup dengan kalimat wa yakhluqu ma la ta’lamun (وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ). Hal ini menurut Quraish mengindikasikan adanya transportasi-transportasi baru di masa depan.

Berawal dari kapal Nabi Nuh As yang dijadikan sebagai penyelamat dari bencana banjir bandang. Lalu dijadikan prototipe sebagai transportasi dalam mengarungi samudra dan dari situ terdapat transportasi-transportasi lain tidak hanya di laut, namun juga di darat seperti unta dan hewan-hewan lainnya. Pada perkembangan selanjutnya muncul berbagai alat transportasi seperti yang kita rasakan sekarang.

Quraish Shihab menutup ayat 42 ini dengan kesimpulan bahwa apa yang dinyatakan (oleh al-Qur’an) ini telah terbukti masa kini dan masih akan terbukti lagi di masa-masa mendatang. Maka dari itu sudah sepatutnya kita selalu mengambil pelajaran dari pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur’an.

Demikian kiranya pembahasan tafsir surah Yasin ayat 41-42. Tunggu artikel berikutnya di Tafsiralquran.id. Wallahu A’lam. []

3 Macam Nun Sukun yang Dibaca Idzhar dalam Ilmu Tajwid

0
Dibaca Idzhar
Nun Sukun Dibaca Idzhar

Setelah mengetahui tentang hukum nun sukun dan tanwin dalam Ilmu Tajwid, kita akan beranjak membahas hal yang lebih rinci terkait nun sukun itu sendiri. Artikel ini membahas tentang macam-macam nun sukun yang dibaca idzhar menurut qiraat Ashim riwayat Hafs thariq Syathibi secara singkat dan jelas.

Nun sukun, sebagaimana yang dikutip dalam kitab al-Mufid fi ‘Ilm at-Tajwid adalah nun yang tidak berharakat (baik itu tanpa syakl maupun ada tanda sukunnya) dan dapat terletak di tengah maupun akhir. Nun sukun dapat terletak di isim (kata benda), fi’il (kata kerja), maupun huruf (kata yang tidak dapat berdiri sendiri).

Idzhar secara bahasa berarti menjelaskan. Nun sukun yang dibaca idzhar adalah nun sukun yang diucapkan secara jelas tanpa ada hukum ghunnah (dengung) serta langsung membaca huruf setelahnya tanpa ada pemisah (fashil) atau diam sejenak (saktah).

Idzhar Halqi

Pertama adalah Idzhar Halqi yang masuk dalam bab hukum nun sukun dan Tanwin. Nun sukun yang apabila bertemu huruf-huruf halqi maka dibaca idzhar atau jelas. Halqi adalah huruf-huruf yang tempat keluar (makhraj) nya berasal dari tenggorokan (halq). Huruf halqi berjumlah 6 huruf yaitu

 ء ه ع غ ح خ

Contoh nun sukun dalam hukum bacaan Idzhar Halqi cukup banyak ditemukan di dalam al-Quran. Diantaranya nun sukun bertemu ha dalam Q.S. al-Kautsar [108]: 3 dan nun sukun bertemu kha dalam Q.S. Al-Qari’ah [101]: 8

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِيْنُهُ

Alasan idzhar-nya nun sukun yang bertemu huruf Halqi adalah karena makhraj antar huruf nun dengan huruf Halqi yang berjauhan. Rinciannya, makhraj huruf nun terletak di ujung lidah, sedangkan makhraj huruf-huruf Halqi berada di tenggorokan.

Idzhar Muthlaq

Kedua, hukum pengecualian dari hukum Idgham Bi Ghunnah yaitu Idzhar Muthlaq. Nun sukun yang apabila bertemu huruf ya atau wawu dalam satu kata maka hukum bacaannya adalah Idzhar Muthlaq. Kata kunci yang membedakan antara Idgham Bi Ghunnah dan Idzhar Muthlaq adalah satu kata, meski hurufnya sama.

Baca Juga: Hukum Nun Sukun dan Tanwin dalam Ilmu Tajwid

Contoh nun sukun dalam hukum bacaan Idzhar Muthlaq di dalam al-Quran hanya terdapat dalam 4 kata saja yaitu (الدُّنْيَا) di semua tempat, (بُنْيَان) di semua tempat, (صِنْوَان), dan (قِنْوَان).

Alasan idzhar-nya nun sukun dalam hukum bacaan Idzhar Muthlaq adalah agar tidak menyerupai dengan kata mudha’af (kata yang ain dan lam fi’il-nya sama hurufnya) sehingga maknanya menjadi samar atau tidak jelas.

Idzhar Riwayah

Terakhir, nun sukun dibaca Idzhar yang terletak di fawatihus suwar (pembuka-pembuka surat). Berbeda dengan dua hukum sebelumnya, nun sukun idzhar ini terletak dalam bentuk huruf. Sebagaimana diketahui bahwa membaca huruf-huruf fawatihus suhar adalah seperti mengeja nama huruf itu.

Idzhar riwayah ini muncul apabila menyambungkan (washal) huruf fawatihus suwar dengan kata berikutnya. Idzhar riwayah ini hanya terdapat dalam fawatihus suwar yang ada dalam 3 surat saja, yaitu Q.S. an-Naml [27]: 1, Yasin [36]: 1-2, dan al-Qalam [68]: 1.

طس تِلْكَ أَيَاتُ الْقُرْاَنِ وَكِتَابٍ مُبْيْنٍ

يس وَالْقُرْاَنِ الْكَرِيْمِ

ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُوْنَ

Alasan idzhar-nya nun sukun dalam hukum bacaan Idzhar Riwayat ini adalah untuk menjaga batasan secara hukum. Seandainya nun sukun dalam fawatihus suwar disambungkan dengan kata berikutnya maka hilang pembatas diantara keduanya.

Pembatasan yang dimaksud ialah nun sukun dalam fawatihus suwar bukanlah huruf asli struktur kata (bina’) melainkan huruf yang muncul dari pengucapan (hija’) huruf hijaiah, sehingga menjadi jelas perbedaan atau batasan yang dimaksud.

Belajar Tekun dari Penulis Mushaf Al-Qur’an Didin Sirojuddin

0
Penulis Mushaf Al-Qur’an Didin Sirojuddin ( sumber gambar: ilhamkhoiri.files.wordpress.com)
Penulis Mushaf Al-Qur’an Didin Sirojuddin (sumber gambar: ilhamkhoiri.files.wordpress.com)

Didin Sirojuddin namanya, seorang maestro kaligrafi sekaligus penulis mushaf Al-Qur’an yang kini masih aktif mendidik kaligrafer Indonesia. Pengabdiannya dalam dunia kaligrafi tak bisa diragukan, ribuan santrinya telah menjadi kaligrafer ternama, dan beberapa di antaranya menyabet prestasi  Internasional. Namanya sangat dikenal ketika HB.Jassin merealisasikan mushaf unik “ Al-Qur’an Berwajah Puisi”, saat itu ia ditunjuk sebagai penulisnya. Sekarang, mari kita belajar tekun darinya.

Sabtu pagi (16/01), Didin mengirimkan artikel ringan via Whatsapp berjudul “Isolasi Mandiri ala Pelukis Kaligrafi”.  Artikel seperti ini biasa ia bagikan kepada kolega, santri, atau siapapun yang ia ingin bagikan. Tak hanya satu kali, ratusan tulisan seperti ini telah ia bagikan. Bahkan, 108 artikel sebelumnya telah ia kumpulkan menjadi buku “Kisah-kisah Kaligrafi” yang terbit awal tahun 2020 lalu.

Dalam artikel  “Isolasi Mandiri ala Pelukis Kaligrafi” ini, ia menyebutkan bahwa banyak para tokoh kaligrafer dunia berhasil menciptakan karya luar biasa melalui isolasi mandiri. Mantan jurnalis Panji Masyarakat ini menuliskan kisah-kisah isolasi para kaligrafer dan pengalamannya dalam menuliskan mushaf Al-Qur’an.

Baca juga: Implementasi ‘Amud Al-Quran dalam Tafsir Nidzam Al-Quran (1): Empat Surat Al-Quran

“Mengurung diri di rumah untuk menekuni pekerjaan ternyata dapat menggandakan hasil kerja. Di Indonesia, mushaf Al-Qur’an, apalagi yang berukuran besar, rata-rata ditulis  setahun atau lebih. Saya pun menulis 4 Al-Qur’an masing-masing sekitar setahun. Dengan mengurung diri dan berkonsentrasi penuh di rumah, Al-Qur’an bisa ditulis lebih cepat. Misalnya, Abdurrahman bin Shayig menulis Al-Qur’an selama 60 hari dengan khat tsulus. Emin Berin juga menyebut seorang khattat Turki menulis Al-Qur’an 48 hari,” tulisnya.

Selain itu, ia juga mencantumkan beberapa nama kaligrafer kondang yang berhasil menulis mushaf puluhan hingga ratusan melalui pengurungan diri. Nama-nama itu seperti, Muhammad bin Umar Arab Zadah menulis 1000 mushaf, Ibnu Khazin menulis 500 mushaf, Ibnu Bawab menulis 64 mushaf, Mustafa bin Umar Al-Ayubi menulis 48 mushaf, Sayid Muhammad bin Ahmad Qaishari menulis 500 mushaf, Umar Muhammad Al-Ayubi Al-Kurdi menulis 477 mushaf, Ramadhan bin Ismail menulis 400 mushaf, Musthafa Hilmi menulis 200 mushaf, Faidhullah bin Shun’illah menulis 196 mushaf, Musthafa Raqim menulis 100 mushaf, Hafizh Waliyuddin menulis 99 mushaf, Darwisy Ali Syeikh Tsani menulis 88 mushaf, Ahmad Al-Suhrawardi menulis 33 mushaf, dan Hafizh Usman menulis 25 mushaf.

Dari tulisannya ini, Didin menyebut bahwa suasana pandemi bisa menjadi waktu yang tepat untuk melahirkan karya fenomenal, misalnya mushaf Al-Qur’an.

Ketekunan Didin Sirajuddin   

Sebagaimana di pembukaan tadi disebutkan, kita akan belajar bagaimana tekunnya seorang Didin Sirajuddin. Ia merupakan sosok yang berjuang luar biasa untuk membumikan kaligrafi Al-Qur’an di tanah Indonesia. Salah satu gurunya adalah Salim Fachry, penyalin Mushaf Pusaka Republik Indonesia era Soekarno.  Ia tidak hanya menulis kaligrafi dan mushaf, ia juga membangun pesantren kaligrafi, meneliti kajian kaligrafi, dan menjadi dewan hakim di berbagai kompetisi kaligrafi nasional dan internasional.

Baca juga: Inilah 4 Cara Menjaga Agama dalam Bingkai Maqashid Syariah

Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta ini pernah mengenyam pendidikan di Pesantren Gontor dan merasakan keberkahan dari kiainya. Dalam kisah yang pernah ia ceritakan, KH. Imam Zarkasyi suatu ketika mendekatinya yang sedang menulis Arab dan mengucapkan, “Sirojuddin, la, la, la. Labud an yakuna hakaza.” Kiai Zarkasyi itu memberi isyarat sambil membetulkan posisi tangannya. Inilah yang diyakini Didin sebagai doa dan memotivasinya untuk berkarier di kaligrafi Al-Qur’an.

Singkatnya, ia pun berhasil mendirikan tempat kursus Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (Lemka) di Ciputat tahun 1985, kemudian membangun pesantren kaligrafi di Sukabumi pada tahun 1998. Sebagai pionir pendiri pesantren kaligrafi, ia tercatat pernah memenangi peraduan khat di level Asean pada tahun 1987 tepatnya di Brunei Darussalam. Karena ketekunannya, hingga kini ia masih diandalkan sebagai dewan hakim di Asia Tenggara.

Selain didaulat sebagai maestro kaligrafi, ia juga diakui sebagai penulis yang produktif. Artikel ringan yang disebutkan di atas adalah salah satu contohnya. Pria yang lahir pada tahun 1957 ini juga telah melahirkan ratusan karya tulis bertemakan kaligrafi Al-Qur’an. Beberapa karyanya yaitu Tafsir Al-Qalam (1999), Seni Kaligrafi Islam di Indonesia Angkatan Perangkatan (1998), dan Koleksi Karya Master Kaligrafi Islam (Ensiklopesi Kaligrafi Islam), (2007).

Saat HB. Jassin diterpa kontroversi, Didin pun memberikan penjelasan secara ilmiah tentang salinan mushaf yang ia kerjakan itu. Di antara keterangan untuk menjelaskan itu berjudul “Al-Quran Gagasan HB Jassin Tetap Berdasarkan Kaidah Mushaf Ustmani” yang diterbitkan dalam Harian Pelita pada Senin, 16 Oktober 1995/21 Jumadil Awal 1416 H.

Baca juga: Digitalisasi Mushaf Nusantara dan Masa Depan Kajiannya

Kepiawaiannya dalam ilmu kaligrafi Al-Qur’an juga dimanfaatkan beberpa muridnya untuk menekuni manuskrip kuno. Guru Besar Filologi UIN Jakarta Oman Fathurahman, dan peneliti Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Ali Akbar merupakan di antara murid yang pernah belajar kaligrafi dengannya.

Sementara muridnya yang menjadi kaligrafer internasional banyak sekali, di antaranya adalah Isep Misbah dan Teguh Prasetyo. Mereka berdua sering kali memenangi peraduan di Turki, kemudian mereka juga membimbing kaligrafer-kaligrafer berbakat di Indonesia.

Dedikasi Didin Sirojuddin dalam mengembangkan kaligrafi Al-Qur’an, benar-benar kita rasakan. Lahirnya kaligrafer ternama dan peneliti mansukrip kuno hanyalah contoh keberhasilannya. Demikian salah satu alasan mengapa kita perlu belajar tekun kepadanya.

Wallahu a’lam[]

Implementasi ‘Amud Al-Quran dalam Tafsir Nidzam Al-Quran (2): Tema Sentral Al-Quran

0
amud al-quran
amud al-quran (republika)

Menyambung pembahasan yang lalu, ternyata al-Farahi telah mengelompokkan beberapa surat pada satu gagasan ‘amud, dimulai pada surat ke 25 sesuai dengan urutan mushaf. Ada 37 gagasan ‘amud Al-Quran yang dimplementasikan dalam Tafsir Nidzam Al-Quran karya Farahi, berikut uraiannya,

Pertama, Surat al-Fatihah adalah surat yang menghimpun seluruh kandungan Al-Quran sebagaimana pendahuluan. Di dalamnya terdapat kunci-kunci untuk memahami seluruh kandungan Al-Quran.

Kedua, Surat al-Baqarah adalah surat keimanan yang sangat dibutuhkan, yakni iman kepada Nabi Muhammad. Maka dari itu dalam surat al-Baqarah tersebut terkumpul segala hal yang berkaitan dengan keimanan kepada Nabi Muhammad. 

Ketiga, Surat ‘Ali Imran adalah berupa ketaatan kepada Nabi Muhammad yang mana ketaatan merupakan sambungan kedua setelah keimanan. Sebagaimana Islam merupakan sisi terluar dari keimanan. 

Keempat, Surat al-Nisa’ menerangkan bahwasannya syari’at merupakan rahmat bagi seluruh umat manusia.

Kelima, Surat Perjanjian (al-Maidah), sebagaimana surat terdahulu, surat ini mengandung/menyebut unsur-unsur konstruksi Islam yang dibangun atas perjanjian ketuhanan serta proses perjanjian tersebut hingga usai. 

Keenam, Surat al-An’am merupakan tempat yang berisi perjanjian ketauhidan dengan upaya menutup pintu-pintu syirik. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Taubah ayat 115.

Baca juga: Implementasi ‘Amud Al-Quran dalam Tafsir Nidzam Al-Quran (1): Empat Surat Al-Quran

Ketujuh, 8 delapan surat yakni al-Furqan, Asy-Syu’ara, an-Naml, al-Qashash, al-‘Ankabut, ar-Rum, Luqman dan as-Sajdah tersebut termasuk Makiyah. Berisi tentang janji orang-orang mukmin yang sangat beruntung, tidak menyekutukan Allah, serta akan mendapatkan pertolongan Allah.

Kedepalan, 13 tiga belas surat (Saba’, Fathir, Yasin, As-Shaffat, Shad, Az-Zumar, Ghafir, Fusshilat, As-Syura, Al-Zukhruf, Ad-Duha, Al-Jatsiyah, al-Ahqaf) tersebut temasuk surat Makiyah yang berisi tentang ketauhidan, hari kiamat, urgensi kenabian, serta janji tentang adanya pertolongan. Dua surat dibuka denga kata alhamdulillah. Tiga surat dengan sumpah menggunakan Al-Quran, malaikat, dan Al-Quran. Sebagian yang lain dibuka dengan menyebut Al-Quran.

Kesembilan, tujuh surat (Qaf, Az-Zariyat, al-Thur, An-Najm, al-Qamar, ar-Rahman, al-Waqi’ah) tersebut semuanya Makiyah yang berisi tentang peringatan terhadap hari Kiamat serta pengingat pentingnya Al-Quran terkadang keduanya tentang peringatan terhadap hari Kiamat serta pengingat pentingnya Al-Quran itu porsinya lebih mendominasi dalam satu surat terkadang porsinya sama.

Mengingat keduanya merupakan hal yang sama. setelah tuntasnya pengingat pentingnya Al-Quran, lalu disambung dengan bara’ah serta kepasrahan terhadap kehendak Allah yaitu tasbih.

Dengan adanya 37 tema sentral (‘amud Al-Quran) perpsektif al-Farahi di atas, setidaknya memberikan jalan keluar dari permasalahan ini. Asumsi bahwa adanya inkonsistensi al-Farahi dalam tafsirnya saat menyebutkan ‘amud pada setiap surat, bisa sedikit terpatahkan.

Bisa jadi tidak disebutkan, karena masih  dalam satu pembahasan dengan surat sebelum atau sesudahnya. Karena proses untuk mencapai ‘amud tetaplah menggunakan perangkat korelasi ayat dan surat. Dan semua perangkat itu masuk dalam teorinya, yakni nidzam.

Baca juga: Menilik Pengertian ‘Amud Al-Quran dan Metodologinya ala Hamiduddin Farahi

Meskipun begitu, Al-Farahi sebenarnya kurang begitu konseptual dalam menjelaskan dan mengimplementasikan bagaimana cara menemukan atau merumuskan ‘amud Al-Quran dalam Tafsir Nidzam Al-Quran. Keadaan yang seperti ini, tidak menutup kemungkinan mengundang pembaca untuk menghadirkan ruang kritik. Karena ‘amud merupakan ciri khas yang dimiliki oleh al-Farahi, maka uraian amud akan menjadi orientasi kajian pembaca, selain argumentasinya tentang nidzam.

Dari semua uraian di atas, dapat ditarik benang merah bagaimana cara menemukan ‘amud. Langkah awal adalah dengan tetap mengkaji munasabah per ayat dalam setiap surat. Kemudian, mengelompokkannya menjadi beberapa subtema, ini yang disebut dengan nidzam atau macro structure dari surat. Dan, langkah terakhir adalah menganalisis lebih dalam lagi pembahasan apa yang tetap ada atau yang lebih dominan dari setiap sub-tema pengelompokan ayat tersebut.

Pembahasan yang sering muncul itulah yang akan merumuskan atau mengimplementasikan ‘amud pada setiap surat. Kerangka berpikir yang digagas oleh al-Farahi dalam Tafsir Nidzam-nya memang masih memiliki sisi kekurangan. Namun, peletakan dasar atas konsep tersebut merupakan suatu keberanian. Karena metodologinya itulah, kajian terhadap struktur dan tema sentral dalam Al-Quran masih diminati oleh para pengkaji Al-Quran dan akan terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan. Wallahu A’lam.

Tafsir Ilmi: Sejarah Kemunculan, Metodologi, dan Kritik Terhadapnya

0
Tafsir Ilmi
Tafsir Ilmi

Sejak diwahyukan pada masa nabi Muhammad saw, Al-Qur’an senantiasa berinteraksi dengan umat Islam. Mereka meresepsi, meresapi dan mengaktualisasikan Al-Qur’an pada keseharian mereka dalam berbagai bentuk. Interaksi ini juga menghasilkan beragam penafsiran dan pemahaman sesuai kecenderungan pembaca. Misalnya, kelahiran tafsir ilmi didorong oleh kecenderungan mufasir terhadap pengamatan alam semesta.

Secara eksplisit Al-Qur’an juga mengajak para pembacanya untuk merefleksikan berbagai aspek dari alam semesta, seperti kosmos (afaq), diri manusia (nafs), dan sejarah (atsar). Ajakan ini bertujuan agar pembaca Al-Qur’an menanamkan keimanan tak tergoyahkan dalam hatinya melalui tadabur dan tafakur alam. Dengan itu diharapkan manusia yakin dengan ke-Esaan Allah swt yang telah menciptakan jagat raya.

Pasca datangnya era modern, pemahaman tentang ayat-ayat kosmos mengalami transmutasi besar-besaran disebabkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ayat-ayat kealaman ditelah kembali oleh para reformis melalui kacamata sains, teknologi dan pengamatan-pengamatan eksperimental. Langkah ini dinilai dapat mengatasi ketertinggalan masyarakat muslim dari bangsa barat yang menghegemoni dunia dengan teknologinya.

Baca Juga: Mengenal Lebih Jauh Tentang Tafsir Ilmi: Pengertian dan Perkembangannya

Menurut Muzaffar Iqbal dalam tulisannya Scientific Commentary On The Qur’an, semarak tafsir ilmi memiliki dua tujuan utama, yaitu: yang pertama adalah untuk memberikan tingkat legitimasi tertentu agar sains modern digalakkan dalam kajian Al-Qur’an;  dan yang kedua adalah untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an kitab suci yang mengandung fakta atau teori tertentu yang baru-baru ini ditemukan sains modern. Fakta tersebut – mungkin – tidak diketahui nabi Muhamad saw.

Sejarah Kebangkitan Tafsir Ilmi

Dalam sejarah kebangkitan tafsir ilmi, setidaknya ada dua karya awal yang paling awal, yakni tafsir karya Sayyid Aḥmad Khān (w. 1315/1898), seorang reformis India, yang mulai ditulis pada 1296/1879. Namun tafsir ini belum selesai hingga saat kematiannya. Tafsir ilmi yang kedua adalah karya Muḥammad bin Aḥmad al-Iskandarānī (w. 1306/1889), yang berjudul Kasyf al-Asrār ʿan al-Nūrāniyyat al-Qurʾāniyyah fī-mā Yata’allaqu bi al-Ajrām al-Samāwiyyah wa al-Arḍiyyah wa al-Hayawānāt wa al-Nabāt wa al-Jawāhir al-Maʿdaniyyah.

Dalam usahanya, Aḥmad Khān memiliki pengetahuan terbatas mengenai sains modern. Karena itu, ia tidak mampu mengidentifikasi penemuan dan tidak memberikan penemuan spesifik dalam tafsirnya. Ia lebih cenderung ke arah memotivasi umat Islam untuk mempelajari sains modern. Sebaliknya, al-Iskandarānī memiliki pengetahuan mumpuni terkait sains modern sehingga ia mampu mengidentifikasi penemuan tertentu dan mengklaim itu sudah ada dalam Al-Qur’an.

Taka lama setelah dua upaya awal ini, bayak muncul buku-buku serupa. Misalnya, ʿAbd Allāh Bāshā Fikrī (w. 1307/1889), Sayyid ʿAbd al-Raḥmān al-Kawkabī (w. 1320/1922), dan Muḥammad Tawfīq Ṣidqī (w. 1338/1920), yang – semuanya – menulis penafsiran atau karya-karya pendek tentang Al-Qur’an di mana penjelasan ilmiah dari ayat-ayat tersebut ditawarkan sebagai ganti atau sebagai tambahan dari penafsiran tradisional.

Pada akhir abad ketiga belas Hijriah  atau kesembilan belas Masehi, tafsir ilmi telah memantapkan dirinya sebagai disiplin yang independen. Meskipun demikian, tafsir ilmi masih kurang diterima dan dihargai oleh khalayak umum sebagaimana corak penafsiran lain yang selama ini eksis di dunia Islam, seperti tafsir hukum (tafsir fiqhī), tafsir sufi (tafsir isyari) dan tafsir linguistik (tafsīr lughawī).

Selama abad keempat belas Hijriah atau kedua puluh Masehi, muncul beberapa produk tafsir ilmi, namun tidak ada yang selengkap kitab al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qurʾān al-Karīm (Mutiara Tafsir Al-Qur’an Mulia) yang ditulis oleh Tanṭāwī al-Jawharī (w. 1359/1940). Karya ini diilustrasikan dengan gambar, foto, dan tabel sehingga memudahkan pembaca untuk mengetahui informasi yang terkandung di dalamnya.

Dalam kata pengantarnya, al-Jawharī menyatakan bahwa dia berdoa kepada Allah swt agar memungkinkannya menafsirkan Al-Qur’an dengan cara yang mencakup semua ilmu yang diperoleh manusia, sehingga umat Islam dapat memahami ilmu kosmik. Al-Jawharī berusaha untuk menunjukkan bahwa surah Al-Qur’an melengkapi penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern.

Metodologi Tafsir Ilmi dan Kritik Terhadapnya

Secara umum, konten tafsir ilmi biasanya terdiri dari ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai proses biologis, geologi, meteorologi, atau kosmik tertentu. Karena tema-tema ini merupakan pokok bahasan dari sains modern. Dalam usahanya, seringkali penulis tafsir ilmi bertujuan untuk menjelaskan fenomena tersebut berdasarkan teori-teori atau penemuan sains yang ada. Kosa kata dalam Al-Qur’an kadangkala – tidak sedikit – diidentifikasi dengan kosa kata sains modern.

Misalnya, surat al-Anbiya [21] ayat 30 yang berbicara mengenai penyatuan langit dan bumi pada awal penciptaan sering dikutip sebagai pendukung teori Big Bang. Kata ratq dan fath pada ayat tersebut diartikan bahwa bumi dan langit menyatu bersama sebagai massa yang pada dan panas (ratq), kemudian dipisahkan oleh Allah swt (ratq) sebagaimana yang dikemukakan oleh Martin Ryle dan Allan R. Sandage dalam teori Big Bang.

Metodologi seperti ini sering muncul dalam tafsir ilmi seakan-akan semuanya berasal dari cetakan yang sama namun berbeda pada detail tertentu. Semuanya fokus pada ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan proses alam atau bagian-bagian kosmos seperti langit, planet, bintang, bumi, matahari dan sebagainya. Mayoritas tafsir ilmi mengutip teori-teori sains modern barat tanpa menyadari bahwa teori tersebut suatu ketika mungkin menjadi usang (terfalsifikasi).

Baca Juga: Tafsir Ilmi Kemenag: Bumi yang Dinamis dan Relevansinya Bagi Kehidupan

Karena itulah, sejumlah sarjana Qur’an seperti al-Syatibi, al-Zahabi, Muhammad Izzat Darwaza, Bint al-Syathi, Subhi al-Shalih, dan Mahmud Syaltut telah mengekspresikan keberatan mereka terhadap tafsir ilmi yang menggunakan sains modern sebagai sumber utama penafsiran. Misalnya, al-Syatibi mengatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada bangsa yang ummi, sesuai dengan pemahaman mereka dan mustahil memuat hal-hal di luar nalar bangsa Arab kala itu.

Sedangkan Syaltut berargumen bahwa pendekatan sains dalam Al-Qur’an adalah suatu kekeliruan dengan alasan yakni; 1) Al-Qur’an bukan kitab sains; 2) Pada masa pewahyuan Al-Qur’an, generasi awal muslim telah mengenal pengetahuan ilmiah, namun mereka tidak menggunakannya untuk menafsirkan Al-Qur’an; 3) Dalam banyak kasus, tafsir ilmi mendorong mufasir berlebihan menggunakan metode ini; 4) teori sains modern bisa difalsifikasi sedangkan Al-Qur’an tidak (bebas dari kesalahan).

Terlepas dari perdebatan tentang reliabilitas tafsir ilmi dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an, ia telah memberi wawasan baru kepada kita tentang bagaimana Al-Qur’an mengandung banyak hal termasuk kealaman. Ketika menjelaskan semesta, Al-Qur’an mungkin tidak sedetail dan sepresisi tafsir ilmi, namun ia berusaha menjelaskan itu semua dalam rangka mengajak manusia untuk berpikir tentang ke-Maha Kuasaan Allah swt sebagai Pencipta Semesta.

Berbeda dengan worldview yang diciptakan oleh sains modern yang cenderung mendewakan dan mengutamakan manusia, paradigma Al-Qur’an tentang kosmos tidak membuatnya hanya tunduk pada kemanusiaan; sebaliknya, mereka tetap dalam pelayanan kepada Tuhan mereka, Yang menciptakan mereka dan mengatur mereka untuk tugas-tugas untuk Tujuan-Nya.

Kosmos (alam semesta) mungkin menguntungkan atau memberi manfaat bagi umat manusia, dan keberadaan serta fungsinya dapat dipelajari secara mendalam oleh manusia melalui pemahaman tentang hukum alam yang ditentukan Sang Pencipta untuk keberadaan mereka, tetapi kosmos pada akhirnya tetap berada di luar kendali manusia. Wallahu a’lam.