Beranda blog Halaman 414

Asbab Nuzul Surat Al-Maidah Ayat 51 dan Implementasinya di Indonesia

0
Asbab Nuzul
Asbab Nuzul Surat Al-Maidah Ayat 51

Dalam kajian Asbab Nuzul ada dua kaidah yang sering diperdebatkan yakni al-ibrah bi umum al-lafdzi (pemahaman ayat adalah berdasar pada keumuman lafadznya) dan al-ibrah bi khusus al-sabab (pemahaman ayat adalah berdasar Asbabun Nuzulnya).

Sebenarnya kedua kaidah ini dapat dikompromikan dalam konteks Asbab Nuzul. Jadi tetap mempertimbangkan kedua dimensi penting dari ayat yakni kesejarahan (ma haula al-Qur’an) dan teks (ma fi al-Qur’an) sebagaimana dikemukakan Amin al-Khulli. Sebagai contoh, dalam Q.S. al-Maidah [5]: 51:

 يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصٰرٰٓى اَوْلِيَاۤءَ ۘ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۗ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ مِّنْكُمْ فَاِنَّهٗ مِنْهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

Ayat ini merupakan salah satu ayat yang paling banyak dibaca dan diperbincangkan baik dalam majelis-majelis formal maupun majelis virtual. Jika dilihat Asbab Nuzul, riwayat al-Suddi mengatakan bahwa ayat ini mengisahkan kekhawatiran sekelompok umat Islam yang sedang dalam kondisi perang Uhud. Saking takutnya mereka mendapati siksaan saat perang, ada yang memilih untuk ber-wala’ (menunjukkan loyalitas) pada Yahudi dan ada juga pada Nashrani.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 8: Dalil Sila Kelima Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat…

Ketakutan mereka di tengah kondisi perang, membuat mereka berpikiran sempit dan mengira bahwa dengan loyal dan memohon perlindungan dari musuh, mereka akan selamat dari siksaan jika seandainya Islam kalah. Maka ayat yang turun beriringan dengan peristiwa atau kejadian ini, menjadi respon atas sikap sekelompok umat Islam tersebut, sebagai penegasan bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah pengkhianatan dan pelakunya dihukumi masuk dalam kategori musuh umat Islam.

Jika ditinjau dari kaidah al-ibrah bi khusus al-sabab, maka ayat ini seolah sudah tidak berlaku dalam konteks saat ini. Sebab memang secara khusus kandungannya merespon peristiwa atau kejadian tersebut.

Namun, jika ditinjau dari kaidah al-ibrah bi umum al-lafdzi maka ayat ini secara mutlak melarang umat Islam untuk menjalin hubungan yang positif (loyal) dengan umat beragama lain (jika auliya’ dipahami sebagai teman setia). Apalagi menjadikan mereka sebagai pemimpin (jika auliya’ dimaknai pemimpin).

Maka sikap hanya bergantung pada khusus al-sabab akan terlihat seolah-olah memberi label “kadarluarsa” pada ayat, dan apabila sebaliknya umum al-lafdzi maka akan memperlihatkan seolah-olah Islam adalah agama yang ekstrim. Sebab di zaman globalisasi saat ini, akan sangat sulit untuk menghindari interaksi dengan non-muslim apalagi jika kondisinya sudah tingkat negara. Bahkan banyak negara non-muslim yang dianggap sebagai “negara sahabat” oleh Indonesia.

Dan jika melihat konteks masyarakat Indonesia sendiri, banyak sekali umat Islam yang menganggap umat beragama lain sebagai sahabatnya karena memang realitas sosialnya yang plural. Atau memilih umat beragama lain sebagai pemimpin karena umat Islam berstatus minoritas.

Maka ayat ini harus dipahami dari kedua sisi, sehingga kesimpulan yang didapati akan lebih bijaksana dan sesuai dengan keadaan umat Islam saat ini. Jadi menurut penulis, larangan dalam ayat ini harus disikapi dengan menemukan kesamaan pada konteks saat ayat ini turun, sehingga keumuman lafadz ayat tetap berlaku sepanjang masa.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 32: Yang Lebih Penting dari Pemimpin Adalah Kebijakan yang Berpihak…

Oleh karena itu, sepanjang di negeri ini antara umat Islam dan non-muslim dalam keadaan damai maka berinteraksi positif dengan mereka adalah hal yang diperbolehkan bahkan menjadi sahabat pun dianjurkan apabila dengan tujuan menjaga langgengnya perdamaian sebagaimana di Maluku.

Selanjutnya jika pada kondisi suatu daerah tertentu seperti di Bali, umat Islam menjadi minoritas dan tidak ada satupun wakil umat Islam yang bisa dipilih maka diperbolehkan untuk memilih non-muslim selama ia dikenal adil dan tidak memiliki catatan riwayat yang berupaya merendahkan atau menyengsarakan umat Islam. Wallahu a’lam.

Tafsir Al-Muharrar, Tafsir Al-Quran Asal Peradaban Islam di Andalusia

0
tafsir al-muharrar
tafsir al-muharrar

Salah satu kitab tafsir klasik yang menjadi rujukan kalangan Aswaja adalah Tafsir al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir Al-Kitab al-‘Aziz. Tafsir ini merupakan karya terbesar dari Ibnu Athiyyah, mufasir kenamaan dari Granada, Spanyol. Tafsir al-Muharrar menjadi penting di era saat itu sebab menginspirasi kemunculan tafsir setelahnya, seperti Tafsir al-Qurthubi, dan seterusnya.

Identitas Tafsir

Tafsir al-Muharrar bernama lengkap Tafsir al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir Al-Kitab al-‘Aziz. Para ulama berbeda pendapat terkait siapa yang memberikan nama terhadap tafsir ini. Sebab ada informasi yang menerangkan bahwa Ibnu Athiyyah tidak secara eksplisit memberi nama lengkap tafsir ini. Dia hanya menamainya al-Wajiz, bermakna lugas atau tidak bertele-tele sebagaimana disampaikan Abdussalam dalam Muqaddimah. Al-Rahally al-Faruq dalam al-Ta’rif-nya menyampaikan informasi yang lain bahwa Ibnu Athiyyah menghendaki tafsirnya dengan ungkapan, kana jami’an, wajizan, muharraran.

Selain itu Ibnu ‘Umayrah al-Dhabbiy (w. 599 H/ 1202 M) yang hidup sezaman dengan Ibnu Athiyyah bahwa kitab ini bernama Allafa fi al-Tafsir Kitaban Dhakhman arba ‘ala kulli mutaqaddim (Ahmad bin Yahyā bin ‘Umayrah al-Dhabbiy, Bugyah al-Multamis). Adapun Ibnu al-‘Abbar (w. 658 H/ 1259 M) menjelaskannya dengan wa ta’lifuhu fi al-tafsir jalīl al-fā ‘ idati katabahū al-nāsu katsīran wa sami’ūhu minhu wa akhadzūhu ‘anhu (Ibn al-Abbār, al-Mu’jam fī Ashhāb ‘Alī dan ‘Abd al-Wahhāb Fāyid, Manhaj Ibni ‘Athiyyah).

Yang memberi nama lengkap tafsir ini adalah Mula Katib Jalabiy (w. 1068 H/ 1657 M) dengan al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz yang di mana lebih sesuai dengan keinginan Ibnu Athiyyah sebagaimana ungkapannya, an yakuna jami’an wajizan muharraran.

Dari beberapa pendapat di atas mengindikasikan bahwa kitab tafsir ini sangat eksotis sebab penamaannya saja sampai diperdebatkan di kalangan ulama. Serta berkontribusi dalam dunia penafsiran di Barat khususnya Islam di Andalusia. Bahkan Ibnu Sa’īd (w. 685 H /1286 M) menjelaskannya dalam lampiran Risālah Ibni Ħazmin fī Fadhli al-Andalus, dengan: Wa li Abī Muħammad bin ‘Athiyyah al-Garnāthiy fī tafsīr al-Qur’āni, al-kitābu al-kabīru alladzī isytahara wa thāra fī al-garbi wa alsyarqi wa shāħibuhū min fudhalā’i al-mi’ah al-sādisah yang bermakna bahwa Ibnu Athiyyah merupakan salah seorang tokoh di bidang tafsir pada abad ke-6 H.

Baca juga: Ibnu Athiyyah, Mufasir Al-Quran dari Granada Spanyol

Menurtu Ali Iyazi, tafsir ini dicetak pertama kali di Kairo oleh Majlis al-A’la al-Syu’um al-Islamiyah dan diperbaiki oleh Ahmad Shadiq al-Milah dengan ukurann 28 cm. Sekitar trahun 540 H, tafsir ini dicetak kembali sebanyak 2 jilid dari Surat Al-Fatihah-Ali Imran ayat 93. Lalu dilanjutkan oleh Kementerian Wakaf, Maroko pada tahun 1395 H – 1412 H sebanyak 16 jilid dengan ukuran 26 cmn diperbaiki oleh Majlis al-‘Ilmi dan diteruskan oleh penerbit kenamaan, yaitu Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah pada tahun 1413 dengan 5 jilid cetakan (Muhammad Ali Iyazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum).

Metode dan Corak Penafsiran

Tafsir al-Muharrar menggunakan metode tahlili, yaitu tafsir yang memulai dengan menyebutkan ayat lalu ditafsirkan penafsirannya. Sebelum memulai penafsiran, terlebih dahulu Ibnu Athiyyah mengemukakan makki atau madani, baru menafsirkan suatu ayat. Terkait corak penafsiran tafsir ini memadukan dua mazhab tafsir, yaitu tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi.

Dalam tafsirnya, Ibnu Athiyyah seringkali mengambil riwayat dari at-Thabari yang dianggap shahih dan. Selain itu, tafsir ini juga menggunakan pendekatan dari berbagai disiplik keilmuan seperti kaidah sastra, balaghah, dan sebagainya. Corak tafsir ini lebih kepada tafsir fiqhi, yaitu berpusat pada ayat-ayat hukum. Meskipun Ibnu Athiyah bermazhab Malikiyah, akan tetapi dalam penafsirannya tidak menentang mazhab lain di luar mazhab empat.

Rujukan Penafsiran

Ada beberapa kitab baik tafsir, hadits maupun qiraat dan seterusnya yang menjadi referesni atau rujukan Ibnu Athiyyah dalam penafsirannya, sebagai berikut,

Pertama, bidang tafsir. Jami’ al-Bayan li Tafsir al-Quran karya At Thabari, Syifa al-Shudur karya Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan bin Ziyad al-Mushili, al-Tashil li Fawaid Kitab al-Tafshil al-Jami’ li Ulum al-Tanzil karya Abu al-Abbas Ahmad bin ‘Ammar al-Mahdawi al-Tamimi, al-Hidayah ila Bulugh al-Nihayah karya Makki bin Abi Thalib Hamusy bin Muhammad bin Mukhtar Abu Muhammad al-Qaysi.

Baca juga: Kitab Al-Mutawakkili Karya As-Suyuthi: Mengenal Kosakata Serapan dalam Al-Quran

Kedua, bidang hadits. Al-Jami al-Shahih karya Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 256 H), Al-Musnad al-Shahih karya Muslim bin al-Hallaj al-Naysaburi (w. 261 H), Sunan Abi Dawud karya Sulaiman bin al-Asy’ats bin Syidad bin ‘Amr bin ‘Amir (w. 275 H), Sunan al-Turmudzi karya Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa bin al-Dhahhak al-Sulami al-Bughi al-Turmudzi (w. 279 H), Sunan al-Nasa’i karya Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr bin Dinar al-Khurasani (w. 303 H).

Ketiga, bidang qiraat. Al-Muhtasib (dua jilid) karya Abu al-Fath Utsman bin Jani (w. 392 H), al-Hujjah fi ‘Ilal al-Qiraat al-Sab’ karya Abu al-Hasan bin Ahmad bin ‘Abd al-Ghaffar bin Muhammad bin Sulaiman al-Imam Abu Ali al-Farisi (w. 377 H), Al-Taysir karya Abu Amr bin Utsman bin Sa’id bin Utsman Abu Amr al-Dani (w. 444 H).

Keempat, bidang bahasa. Ma’ani Al-Quran li al-Farra karya Abu Zakariyya Yahya bin Ziyad al-Farra (217 H), Ma’ani al-Quran li al-Zajjaj karya Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin al-Sirri al-Zajjaj (w. 311 H), al-Aghfal fi Ma Aghfalahu al-Zajjaj min al-Ma’ani karya Abu Ali al-Farisi, Majaz al-Quran karya Abu Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna al-Taymi al-Bashri dan seterusnya.

Kelima, bidang fiqih. Al-Muwattha karya Imam Malik bin Anas (w. 179 H), al-Mukhtashar karya Abdullah bin ‘Abd al-Hakam bin A’yun (w. 214 H), al-Mudawwanah, al-Wadihah karya Abd al-Malik bin Habib al-Sulami, Al-Tafri karya Abu al-Qasim bin al-Jallab, al-Isyraf ‘ala Mazhabihi Ahl al-‘Ilm karya Abu Bakr Muhammad bin Ibrahim bin al-Mundzir al-Naysaburi (w. 309 H).

Keenam, bidang Teologi. Di bidang teologi ini, Ibnu ‘Athiyyah menggunakan kitab-kitab karya al-Asy’ari, Abu Bakr al-Bâqillâniy, dan al-Juwaynî.

Keunikan Tafsir

Ibnu Athiyyah dalam penafsirannya sering kali tidak menitikberatkan pada satu pendekatan atau satu disiplin keilmuan, melainkan berbagai disiplin keilmuan. Semua terkait ilmu yang ia pahami, ia sampaikan dalam tafsirnya secara gamblang. Sehingga menjadikan kitab tafsirnya sangat komprehensif sebagaimana keterangan yang disampaikan Abu Hayyan dalam Bahrul Muhith.

Tafsir Al-Muharrar al-Wajiz merupakan satu karya kitab tafsir yang sangat monumental yang pernah dimiliki oleh Islam di Barat (al-Gharb al-Islamiy). Wallahu A’lam.

Memahami Definisi dan Pertanyaan-Pertanyaan Lain Soal Asbabun Nuzul

0
Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul

Asbabun Nuzul mungkin menjadi salah satu perbincangan menarik yang hampir selalu muncul saat ada fenomena-fenomena viral tertentu yang menyinggung dan membawa salah satu ayat al-Qur’an. Terkadang sebagian umat Islam yang belum teredukasi dan mengenal ulumul Qur’an, merasa penasaran sebenarnya apa sih Asbabun Nuzul dan apa sih fungsinya sehingga ditampilkan dalam perdebatan (seandainya terjadi perdebatan) serta dijadikan sebagai penguat argumentasi.

Nah, untuk itu artikel ini akan membahas beberapa pertanyaaan populer seputar Asbabun Nuzul disertai uraian jawabannya.

  1. Apa itu Asbabun Nuzul?

Asbabun Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang mengiringi turunnya wahyu (al-Qur’an), di mana peristiwa atau kejadian ini dapat berupa pertanyaan ataupun memang murni peristiwa atau kejadian yang terjadi bersamaan dengan turunnya wahyu (baik sebelum maupun sesudah) maupun terjadi selama bentang waktu turunnya al-Qur’an yakni selama 23 tahun, dan wahyu atau ayat al-Qur’an tersebut secara kandungan berkaitan dengan peristiwa atau kejadian tertentu itu.

Baca Juga: Inilah Solusi Menyikapi Kontradiksi Riwayat Pada Asbabun Nuzul

Catatan yang harus digarisbawahi adalah bahwa Asbab Nuzul haruslah berupa riwayat yang valid (shahih). Adapun jika menggunakan argumentasi kesejarahan yang memuat informasi keadaan sosial dan antropologis di masyarakat Arab saat wahyu turun, maka harus berdasar pada data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.

  1. Apakah Jika Tanpa Sebab, Wahyu tetap Turun?

Untuk menjawab pertanyaan ini maka harus benar-benar memahami definisi Asbabun Nuzul. Jadi pemahaman atas Asbabun Nuzul tidak boleh didasari oleh pemaknaannya secara bahasa, “sebab turun”. Melainkan harus berdasarkan pada makna istilah atau terminologinya.

Maka Asbab Nuzul bukan “sebab” turunnya wahyu, akan tetapi peristiwa atau kejadian yang mengiringi turunnya wahyu dan wahyu tersebut secara kandungannya memang memiliki keterkaitan dengan peristiwa atau kejadian tersebut. Tanpa adanya “sebab” sekalipun, wahyu akan tetap turun dan menjadi petunjuk kepada umat Islam melalui Nabi Muhammad.

Sederhananya lagi, al-Qur’an itu qadim (tidak diawali sesuatu/ sudah ada tanpa ada yang mengadakan), sedang asbab atau sebab itu hadits (baru/ ada karena ada yang mengadakan). Maka tidak mungkin sesuatu yang hadits bisa menjadi pengganjal sesuatu yang qadim.

  1. Mengapa penting mempelajari Asbabun Nuzul?

Asbabun Nuzul merupakan alat bantu dalam memahami isi kandungan al-Qur’an. Mufassir bahkan menetapkan bahwa Asbabun Nuzul merupakan kunci memahami maksud al-Qur’an.

Salah satu pendapat yang populer adalah pendapat al-Wahidi yang menyatakan:

لا يمكن معرفة تفسير الأية دون الوقوف على قصتها وبيان نزولها

La yumkinu ma’rifatu tafsiril ayah duna al-wuquf ‘ala qishshatiha wa bayani nuzuliha

“Tidak mungkin mengetahui penafsiran ayat tanpa bergantung atau mengetahui kisah-kisah (yang ada di baliknya) dan penjelasan turunnya (mengenai keadaan atau peristiwa yang terjadi saat wahyu turun)”.

Sebab dalam realitanya beberapa ayat tertentu yang apabila dipahami secara literal justru akan menjerumuskan pada kesalahpahaman. Contohnya:

Q.S. al-Maidah [5]: 53:

لَيْسَ عَلَى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ جُنَاحٌ فِيْمَا طَعِمُوْٓا اِذَا مَا اتَّقَوْا وَّاٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَّاٰمَنُوْا ثُمَّ اتَّقَوْا وَّاَحْسَنُوْا ۗوَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ

Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentang apa yang mereka makan, apabila mereka bertakwa dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, selanjutnya mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Secara literal ayat ini tentu akan membawa pembacanya pada pemahaman bahwa selama masuk dalam kategori orang beriman (dalam hal ini umat Islam), maka makan apapun tidak ada larangan dan tidak berdosa. Padahal ayat ini jika ditinjau Asbabun Nuzulnya menjelaskan bahwa yang dimaksud orang beriman dan beramal shalih di dalam ayat adalah para sahabat yang wafat sebelum adanya larangan minum khamr. Maka bagi mereka yang belum mendapatkan ketentuan larangan, mereka tidak dikenai dosa atau sangsi dari Allah.

Demikianlah penjelasan secara singkat mengenai Asbabun Nuzul. Semoga bisa dipahami para pembaca sekalian. Wallahu A’lam.

Mengenal 7 Cara Membaca Alif dalam Al-Quran Sesuai Ilmu Tajwid

0
Mengenal 7 alif dalam ilmu tajwid
Mengenal 7 alif dalam ilmu tajwid

Salah satu dari bacaan Gharib dalam al-Quran menurut Qiraah Ashim riwayat Ashim adalah tata cara membaca alif yang dapat dibaca panjang (mad) atau pendek (qashr). Alif itu tersebar dalam Al-Quran dan terdapat dalam 7 kata sehingga disebut 7 alif (sab’ah alifat).

Artikel ini menjelaskan letak dan cara membaca 7 alif (al-alifat as-sab’ah) dalam Al-Quran yang dikutip dari Athlas at-Tajwid karya Dr. Ayman Rusydi Suwaid. Ketujuh alif itu adalah (اَنَا), (لَكِنَّا), (الظُّنُوْنَا), (الرَّسُوْلَا), (قَوَارِيْرَا), (السَّبِيْلَا), dan (سَلَاسِلَا).

Kata (اَنَا)

Cara membaca Alif yang terletak pada kata (اَنَا) adalah panjang apabila waqaf (berhenti) pada kata tersebut dan dibaca pendek apabila washal (sambung) ke kata berikutnya. Kata (اَنَا) dapat ditemukan di banyak tempat dalam al-Quran, salah satunya Q.S. Al-Kafirun [109]: 4.

وَلَا اَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ

Cara membaca saat waqaf adalah wa laaaa anaa. Sedangkan cara membaca saat washal adalah wa laaaa ana ‘aabidum ma ‘adattum.

Baca juga: Bacaan Al-Qur’an Agar Proses Melahirkan Lancar dan Mudah

Kata (لَكِنَّا)

Cara membaca Alif yang terletak pada kata (لَكِنَّا) adalah panjang apabila waqaf (berhenti) pada kata tersebut dan dibaca pendek apabila washal (sambung) ke kata berikutnya. Kata (لَكِنَّا) hanya dapat ditemukan di satu tempat dalam al-Quran, yaitu Q.S. Al-Kahf [18]: 38.

لَكِنَّا هُوَ اللهُ رَبِّىْ وَلَا اُشْرِكُ بِرَبِّىْ اَحَدًا

Cara membaca saat waqaf adalah laakinnaa. Sedangkan cara membaca saat washal adalah laakinna huwallahu rabbi.

Kata (الظُّنُوْنَا)

Alif yang terletak pada kata (الظُّنُوْنَا) dibaca panjang apabila waqaf (berhenti) pada kata tersebut dan dibaca pendek apabila washal (sambung) ke kata berikutnya. Kata (الظُّنُوْنَا) hanya dapat ditemukan di satu tempat dalam al-Quran, yaitu Q.S. Al-Ahzab [33]: 10.

… وَتَظُنُّوْنَ بِاللهِ الظُّنُوْنَا

Cara membaca saat waqaf adalah wa tadzunnuuna billahidz-dzunuunaa. Sedangkan cara membaca saat washal adalah wa tadzunnuuna billahidz-dzunuuna hunaalika.

Kata (الرَّسُوْلَا)

Cara membaca Alif yang terletak pada kata (الرَّسُوْلَا) adalah panjang apabila waqaf (berhenti) pada kata tersebut dan dibaca pendek apabila washal (sambung) ke kata berikutnya. Kata (الرَّسُوْلَا) hanya dapat ditemukan di satu tempat dalam al-Quran, yaitu Q.S. Al-Ahzab [33]: 66.

… اَطَعْنَا اللهَ وَاَطَعْنَا الرَّسُوْلَا

Cara membaca saat waqaf adalah atha’nallaha wa atha’nar-rasuulaa. Sedangkan cara membaca saat washal adalah atha’nallaha wa atha’nar-rasuula wa qaaluu.

Baca juga: Mengenal lebih dekat Ilmu Tajwid dan Asal-Usulnya Menurut Para Ulama

Kata (السَّبِيْلَا)

Alif yang terletak pada kata (السَّبِيْلَا) dibaca panjang apabila waqaf (berhenti) pada kata tersebut dan dibaca pendek apabila washal (sambung) ke kata berikutnya. Kata (السَّبِيْلَا) hanya dapat ditemukan di satu tempat dalam al-Quran, yaitu Q.S. Al-Ahzab [33]: 67.

… فَاَضَلُّوْنَا السَّبِيْلَا

Cara membaca saat waqaf adalah fa adhalluunas-sabiilaa. Sedangkan cara membaca saat washal adalah fa adhalluunas-sabiila rabbanaa.

Kata (قَوَارِيْرَا)

Alif yang terletak pada kata (قَوَارِيْرَا) dibaca panjang apabila waqaf (berhenti) pada kata tersebut dan dibaca pendek apabila washal (sambung) ke kata berikutnya. Alif yang dimaksud adalah alif yang terakhir. Kata (قَوَارِيْرَا) dapat ditemukan di dua tempat dan yang dimaksud adalah yang ada pada Q.S. Al-Insan [76]: 15.

… مِنْ فِضَّةٍ وَاَكْوَابٍ كَانَتْ قَوَارِيْرَا

Cara membaca saat waqaf adalah min fidhdhatiw wa akwaabin kaanat qawaariiraa. Sedangkan cara membaca saat washal adalah min fidhdhatiw wa akwaabin kaanat qawaariira qawaariira.

Baca juga: Pengertian Makharijul Huruf dalam Ilmu Tajwid dan Pembagiannya Menurut Ulama

Kata (سَلَاسِلَا)

Alif yang terletak pada kata (سَلَاسِلَا) dibaca panjang apabila waqaf (berhenti) pada kata tersebut dan dibaca pendek apabila washal (sambung) ke kata berikutnya. Khusus untuk kata ini, apabila waqaf juga dapat dibaca sukun huruf lam nya (salaasil). Kata (سَلَاسِلَا) dapat ditemukan di satu tempat dalam al-Quran, misalnya Q.S. Al-Insan [76]: 4.

اِنَّا اَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِيْنَ سَلَاسِلَا وَاَغْلَالًا وَسَعِيْرًا

Cara membaca saat waqaf adalah innaaaa a’tadnaa lilkaafiriina salaasilaa. Sedangkan cara membaca saat washal adalah innaaaa a’tadnaa lilkaafiriina salaasila wa aghlaalaw wa sa’iiraa. Wallahu a’lam[]

Tujuh Tanda Waqaf dalam Mushaf al-Qur’an yang Jarang Diketahui

0
Tujuh Tanda Waqaf dalam Mushaf al-Qur’an
Tujuh Tanda Waqaf dalam Mushaf al-Qur’an

Ketika al-Qur’an diterima oleh orang selain Arab atau orang yang belum paham tata bahasa arab, maka dalam membaca al-Qur’an, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah tanda waqaf dalam mushaf al-Qur’an (berhenti) dan ibtida’ (memulai). Pedoman utama dalam tanda waqaf adalah kesempurnaan kalimat yang dibaca. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kerancuan maksud dari redaksi ayat al-Qur’an.

Imam Ahmad bin Abdul Karim al-Asymuni dalam kitab Manar al-Huda fi al-Waqf wa al-Ibtida mendefiniskan waqaf sebagai berikut:

قَطْعُ الصّوْتِ عَلَى آخِرِ الْكَلِمَةِ زَمَنًا أوْ هُوَ قَطْعُ الْكَلِمَةِ عَمَّا بَعْدَهَا

Artinya: “Menghentikan suara sejenak pada akhir kalimat atau memutuskan suatu kata dari kata berikutnya”

Adapun Ibtida’ menurut Imam Shalih dalam kitab al-Waqf wa al-Ibtida’ wa Shilatuhuma bi al-Ma’na fi al-Qur’an al-Karim, yaitu memulai untuk membaca al-Qur’an baik itu setelah qath’i ataupun waqaf.

Baca juga: Balaghah Al-Quran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Al-Quran

Artikel yang anda baca adalah tentang tanda waqaf yang disepakati oleh para ulama. Tidak terkecuali yang digunakan Kementerian Agama Republik Indonesia dalam penerbitan mushaf al-Qur’an. Akan tetapi, dari semua jenis tanda waqaf yang ada, ternyata tidak semuanya digunakan. Disinilah anda akan menemukan jawaban bahwa beberapa tanda waqaf jarang diketahui para pembaca al-Qur’an. Sebelumnya, penulis jelaskan dahulu tanda waqaf dalam mushaf standar Indonesia.

Tanda Waqaf dalam Mushaf al-Qur’an Kementerian Agama RI

Mushaf standar Indonesia yang diterbitkan Tim Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Kemenag RI, mengambil riwayat dari Imam Hafs dari Imam ‘Ashim dengan menggunakan Rasm Utsmani.

Tanda waqaf yang akan dibahas di sini adalah bagian dari waqaf ikhtiyari. Artinya, berhenti membaca untuk mengambil napas karena memang disengaja dan tanpa ada sebab. Sebagai informasi tambahan, ada tiga jenis waqaf lain, yaitu waqaf ikhtibari; waqaf intidzari; dan waqaf idhtirari.

Waqaf ikhtibari yaitu berhenti membaca untuk mengambil napas dengan maksud untuk melatih para murid untuk mengetahui cara waqaf yang benar ketika harus berhenti mendadak. Adapun waqaf intidzari yakni berhenti untuk mengumpulkan jenis-jenis qira’at dari berbagai riwayat. Waqaf ini dikhususkan bagi yang mempelajari macam-macam qira’ah (bacaan) baik qira’ah sab’ah ataupun qira’ah ‘asyr. Sementara waqaf idhtirari yaitu berhenti membaca karena terpaksa, seperti napas yang tidak kuat, lupa, tidak mampu meneruskan bacaannya, dan sebagainya.

Baca juga: Memahami Konsep Sakralitas Al-Quran dan Berbagai Sikap Terhadapnya

Tanda waqaf ikhtiyari yang digunakan dalam mushaf tersebut terdiri dari enam tanda sebagai berikut:

  1. Waqaf Lazim ( م ), yaitu tanda yang menunjukkan bacaan wajib berhenti dan tidak boleh washal (dilanjutkan)
  2. Waqaf Ja’iz ( ج ), yaitu tanda yang menunjukkan bacaan boleh berhenti boleh juga diteruskan. Karena keduanya sama-sama bagusnya.
  3. Al-Waqfu al-Aula (قلى), yaitu tanda menunjukkan kebolehannya berhenti atau meneruskan bacaan. Akan tetapi lebih utama (baik) berhenti.
  4. Al-Washlu al-Aula ( صلى ), yaitu tanda yang menunjukkan bolehnya berhenti atau diteruskannya bacaan. Akan tetapi lebh utama untuk diteruskan.
  5. Lā Waqfa fihi atau Lā Taqif ( لا ), tidak boleh berhenti pada tanda ini kecuali di akhir ayat.
  6. Waqaf Mu’annaqah (tanda titik tiga berjejer dua) yaitu berhenti pada salah satu titik tiga tersebut dan tidak boleh pada keduanya.

Selain enam tanda tersebut, ada dua tanda waqaf yang juga terdapat dalam mushaf. Yaitu saktah (س) yang berarti berhenti sejenak tanpa mengambil napas dan tanda waru (۵) seperti dalam QS. al-Fatihah[1]: 7. Tanda ini menjadi perbedaan jumlah ayat dalam periwayatan ahli qiraat. Imam Ashim, sebagaimana digunakan riwayatnya oleh Kemenag, menyatakan bahwa tanda tersebut bukanlah untuk akhir ayat.

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ

Tujuh Tanda Waqaf Lain dalam Kaidah Waqaf

Dalam Buku Petunjuk Praktis Tahsin al-Qur’an Metode Maisûrâ karya dari Dr. KH. Ahmad Fathoni, LC, MA, ada tujuh tanda waqaf lain. Beliau menukil dari kitab Bughyatu ‘Ibad ar-Rahman li Tahqiqi Tajwid al-Qur’an karya Muhammad bin Syahadah al-Ghul. Ketujuh rumus (tanda) waqaf lainnya yaitu sebagai berikut:

  1. Waqaf Mutlaq (ط), yaitu tanda waqaf yang menunjukkan diperbolehkannya untuk berhenti dan bagus (baik) memulai dengan lanjutan bacaannya.
  2. Waqaf Mujawwaz (ز), tanda yang menunjukkan bolehnya berhenti (waqaf) pada satu bacaan akan tetapi lebih baik diteruskan (washal). Tanda ini yang kemudian banyak diganti dengan Al-Washlu al-Aula ( صلى ) pada mushaf-mushaf yang banyak beredar. Contohnya pada QS. al-Baqarah[2]: 86.

أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ ٱشْتَرَوُا۟ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا بِٱلْأخِرَةِ ۖ فَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ ٱلْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنصَرُونَ

  1. Waqaf Murakhkhas Ḍarurah (ص) yaitu diperbolehkan untuk berhenti (waqaf) pada kalimat yang sudah sempurna. Karena biasanya pembaca al-Qur’an yang tidak kuat napasnya atas ayat yang terlalu panjang. Namun tanda waqaf ini dalam banyak cetakan mushaf diganti dengan Waqaf Ja’iz ( ج ) Contohnya pada QS. al-Baqarah[2]: 177.

وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ ۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا ۚ

  1. Waqaf Qif (قف), yaitu tanda yang menunjukkan lebih baik waqaf dari pada Karena sama dengan Al-Waqfu al-Aula (قلى), maka tanda waqaf keempat ini diganti penulisannnya dengan Al-Waqfu al-Aula (قلى).
  2. Tanda Waqaf (ق), dalam pendapat para ulama ahli waqaf tanda ini tidak boleh waqaf (berhenti).
  3. Tanda Waqaf ك)كذالك), ketika ada tanda tersebut, maka hukum waqafnya mengikuti dengan tanda sebelumnya. Contohnya ketika tanda waqaf (ك) didahului oleh tanda Waqaf Ja’iz ( ج ), maka tanda yang kedua sama halnya dengan tanda Waqaf Ja’iz ( ج ).
  4. Tanda waqaf (وقفة) tanda ini sebenarnya mirip dengan tanda saktah, hanya saja berhentinya sedikit lebih lama. Pada banyak percetakan mushaf al-Qur’an, tanda ini diganti dengan tanda al-Washlu al-Aula ( صلى ).

Demikian tadi tujuh tanda waqaf yang mungkin belum kita ketahui. Karena pada mushaf-mushaf yang kita baca merupakan bentuk standarisasi Tim Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an dari Kementerian Agama Republik Indonesia. Darimana pun penerbitya, mushaf al-Qur’an di Indonesia terlebih dahulu harus melalui tashih dari Kemenag RI.

Baca juga: Huruf Muqathaah: Cara Baca dan Pembagiannya dalam Ilmu Tajwid

Keterangan catatan kaki dari buku Ahmad Fathoni menyebutkan, tanda-tanda waqaf yang tidak lagi digunakan di Mushaf Kemenag, masih bisa ditemukan dalam Mushaf al-Qur’an “Pojok” terbitan Menara Kudus dan terbitan Bombay (sebelum era 1980an). Menurut M. Ulil Albab Arwani, terkait waqaf ibtida’, Mushaf Pojok Kudus mengikuti mazhab Imam al-Sijawandi(w. 560). Mushaf al-Qur’an “Pojok” dari Kudus juga menambahkan tanda  untuk membantu pembaca dalam waqaf dan ibtida’ ketika napasnya tidak sampai pada akhir kalimat.

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 83

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Sebelumnya telah dibahas mengenai kedurhakaan orang Yahudi yang menganggap mereka tidak kekal di neraka. Untuk pembahasan pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 83 ini mengenai berpalingna janji Bani Israil.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 80-82


Bani Israil berpaling dari perintah-perintah Allah, tidak menjalankannya, bahkan menghindarinya. Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 83 ini menjelaskan kebiasaan dan kesukaan Bani Israil tidak menaati petunjuk dan perintah Ilahi.

Allah mengingatkan Nabi Muhammad saw, ketika Dia menetapkan atas Bani Israil akan janji yang harus mereka penuhi, yaitu bahwa mereka tidak akan menyembah sesuatu selain Allah. Allah melarang mereka beribadah kepada selain Allah, biarpun berupa manusia atau berhala dan lain-lain, karena hal itu berarti mempersekutukan Allah dengan benda-benda tersebut. Menyembah kepada selain Allah adakalanya dengan perbuatan-perbuatan yang lain yang berupa mengagungkan sesuatu yang disembah itu.

Agama Allah yang dibawa oleh para utusan-Nya semua menekankan untuk menyembah Allah yang Maha Esa dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apa pun, seperti firman Allah:

۞ وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا

Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun…. (an-Nisa′/4:36)

Janji dari Bani Israil ini diawali dengan janji memenuhi hak Allah, hak yang tertinggi dan terbesar yaitu hanya Dia semata-mata yang berhak disembah, tidak ada sesuatu pun yang disekutukan dengan Dia. Semua makhluk diperintahkan menyembah-Nya dan untuk tugas inilah sebenarnya mereka diciptakan.

Sesudah menyebutkan hak Allah, disusul dengan perintah berbuat kebajikan kepada orang tua, suatu amal kebajikan yang tertinggi. Karena melalui kedua orang tualah Allah menciptakan manusia. Allah berfirman:

وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا

…Dan berbuatbaiklah kepada kedua orang tua, … (an-Nisa′/4:36)

Berbuat kebajikan kepada orang tua ialah dengan mengasihi, memelihara dan menjaganya dengan sempurna serta menuruti kemauannya selama tidak menyalahi perintah Allah. Adapun hikmah berbakti kepada ibu dan bapak ialah karena ibu bapak itu telah berkorban untuk kepentingan anaknya pada waktu masih kecil dengan perhatian yang penuh dan belas kasihan.

Mereka mendidiknya dan mengurus segala kepentingan anaknya itu ketika masih lemah, belum dapat mengambil suatu manfaat dan belum dapat pula menghindar dari suatu bahaya. Selain dari itu, orang tua memberikan kasih sayang yang tidak ada tandingannya. Apakah tidak wajib bagi anak memberikan balasan kepada ibu-bapaknya sebagai imbalan atas budi baiknya?

هَلْ جَزَاۤءُ الْاِحْسَانِ اِلَّا الْاِحْسَان

Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula). (ar-Rahman/55:60)

Kecintaan kedua orang tua kepada anaknya disebabkan:

  1. Rasa cinta kasih yang dianugerahkan Allah kepada keduanya untuk menyempurnakan nikmat-Nya demi terpeliharanya jenis manusia.
  2. Rasa syukur terhadap anak-anaknya.
  3. Harapan pada masa depan anaknya untuk dapat menolongnya baik dengan harta maupun dengan tenaga dalam kehidupan.
  4. Dapat melanjutkan misi kedua orang tuanya.

Sesudah Allah menyebutkan hak kedua orang tua, disebutkan pula hak kerabat (kaum keluarga) yaitu berbuat kebajikan terhadap mereka, karena berbuat kebajikan kepada karib kerabat adalah faktor yang memperkuat tali persaudaraan di antara kaum kerabat itu.


Baca juga: Ibnu Athiyyah, Mufasir Al-Quran dari Granada Spanyol


Suatu umat ini terdiri atas keluarga dan rumah tangga. Maka kebaikan dan keburukan umat tergantung kepada kebaikan dan keburukan keluarga dan rumah tangga. Orang yang tidak membina rumah tangga berarti dia tidak ikut membina unsur umat.

Kemudian setiap rumah tangga itu hendaklah menghubungkan tali persaudaraan dengan rumah tangga lainnya berdasarkan tali keturunan, keagamaan atau pun kebangsaan. Dengan demikian akan terbinalah suatu bangsa dan umat yang kuat.

Mengadakan hubungan erat sesama keluarga adalah sesuai dengan fitrah manusia. Agama Islam, agama fitrah memberi jalan yang baik bagi pertumbuhan ikatan kerabat ini. Kemudian Allah menyebutkan pula hak orang-orang yang memerlukan bantuan, yaitu hak orang miskin.

Berbuat baik kepada anak yatim ialah mendidiknya dengan baik dan memelihara segala hak-haknya. Al-Qur′an dan Sunah sangat menganjurkan agar memperhatikan anak yatim walaupun ia kaya, karena yang dipandang ialah keyatimannya. Mereka telah kehilangan orang yang menjadi tempat mereka mengadu.

Allah mewasiatkan anak-anak yatim kepada masyarakat agar menganggap mereka itu sebagai anak sendiri, untuk memberikan pendidikan. Jika mereka terlantar, mereka dapat menimbulkan kerusakan pada anak-anak lainnya, dan akibatnya lebih besar pada bangsa dan negara.

Berbuat ihsan kepada orang miskin ialah memberikan bantuan kepada mereka terutama pada waktu mereka ditimpa kesulitan. Nabi bersabda:

اَلسَّاعِي عَلَى اْلأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِيْنِ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيْلِ اللهِ

(رواه مسلم عن أبي هريرة)

Orang yang menolong janda dan orang miskin, seperti orang yang berjuang di jalan Allah. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)

Allah mendahulukan menyebut anak yatim daripada orang miskin karena orang miskin itu dapat berusaha sendiri untuk mencari makan, sedang anak yatim, dikarenakan masih kecil, belum sanggup berusaha sendiri.

Sesudah mendapat perintah berbuat kebaikan kepada kedua orang tua, kaum keluarga, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, kemudian perintah mengucapkan kata-kata yang baik kepada sesama manusia. Bilamana kebajikan itu telah dikerjakan berarti ketinggian dan kemajuan masyarakat telah tercapai.

Allah selanjutnya memerintahkan kepada Bani Israil untuk melaksanakan salat dan zakat seperti yang digariskan Allah untuk mereka. Salat pada tiap agama bertujuan memperbaiki jiwa, membersihkannya dari kerendahan budi dan menghiasi jiwa dengan rupa-rupa keutamaan.

Ruh salat ialah ikhlas kepada Allah, tunduk kepada kebesaran dan kekuasaan-Nya. Apabila salat itu kosong dari ruh tersebut, tidak akan memberi faedah apa pun. Bani Israil selalu mengabaikan ruh salat itu sejak dahulu sampai waktu Alquran diturunkan dan bahkan sampai sekarang.

Zakat juga diperintahkan kepada mereka, karena zakat mengandung maslahat bagi masyarakat. Orang-orang Yahudi dahulu mempunyai beberapa macam kewajiban zakat. Tetapi Bani Israil berpaling dari perintah-perintah itu, tidak menjalankannya, bahkan menghindarinya.

Termasuk penyelewengan mereka ialah menganggap pendeta-pendeta mereka sebagai Tuhan yang menetapkan hukum halal dan haram, menambah upacara-upacara agama menurut keinginan mereka, meninggalkan nafkah terhadap kerabat, melalaikan zakat, tidak melakukan amar makruf nahi mungkar serta perbuatan lain yang meruntuhkan agama.

Hanya sebagian kecil dari mereka pada zaman Musa a.s. atau pada tiap zaman yang taat pada perintah Allah. Pada tiap zaman, pada tiap bangsa atau umat selalu ada golongan orang yang ikhlas berjuang memelihara kebenaran sesuai dengan keyakinan dan kemampuan mereka. Namun demikian bila kemungkaran telah menyebar pada umat itu, kehadiran orang-orang ikhlas itu tidaklah mencegah turunnya azab Allah.

Di akhir ayat ini Allah berfirman, “Dan kamu (hai Bani Israil) selalu berpaling.” Ayat ini menunjukkan kebiasaan dan kesukaan mereka tidak menaati petunjuk dan perintah Ilahi, sehingga tersebarlah kemungkaran dan turunlah azab kepada mereka.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 84-87


(Tafsir Kemenag)

Tuntunan Membersihkan Mulut Sebelum Membaca Al-Qur’an Berdasarkan Kitab At-Tibyan

0
Tuntunan membersihkan mulut sebelum membaca Al-Quran
Tuntunan membersihkan mulut sebelum membaca Al-Quran

Imam An-Nawawi di dalam kitab At-Tibyan fi Adabi Hamlatil Qur’an; sebuah kitab yang mengulas khusus tatakrama saat bersinggungan dengan Al-Qur’an, menyatakan dianjurkan membersihkan mulut tatkala hendak membaca Al-Qur’an. Entah apakah cara membersihkannya itu dengan siwak, maupun selainnya.

Imam An-Nawawi juga mengulas tatacara yang benar dalam bersiwak, alat yang diperbolehkan digunakan untuk bersiwak, area mulut mana saja yang hendaknya dikenai siwak, serta doa dalam bersiwak. Ia juga menyinggung sekilas hukum membaca Al-Qur’an dalam keadaan mulut terkena najis. Tulisan ini akan berusaha merangkum tuntunan membersihkan mulut sebelum membaca Al-Qur’an menurut Imam An-Nawawi di dalam kitab At-Tibyan.

Baca juga: Mengaplikasikan Metode Tadabbur Saat Membaca Al-Quran dan Langkah-Langkahnya

Anjuran membersihkan mulut sebelum membaca Al-Qur’an

Imam An-Nawawi mengutip berbagai pendapat ulama mengenai hukum serta tatacara dalam membersihkan mulut sebelum membaca Al-Qur’an. Berikut kesimpulan uraian An-Nawawi beserta tambahan keterangan dari kitab lainnya:

Pertama, hukum membersihkan mulut tatkala hendak membaca Al-Qur’an. Di dalam kitab At-Tibyan, Imam An-Nawawi hanya menyatakan bahwa “sebaiknya” sebelum membaca Al-Qur’an didahului dengan membersihkan mulut. Baik itu dengan bersiwak serta selainnya.

Imam As-Suyuthi menyatakan lebih jelas, bahwa hukum bersiwak sebelum membaca Al-Qur’an adalah sunnah, sebagai bentuk penghormatan dan langkah mensucikan diri tatkala bersinggungan dengan Al-Qur’an. Imam As-Suyuthi kemudian mengutip sebuah hadis dari sahabat ‘Ali (Al-Itqan/1/125):

إِنَّ أَفْوَاهَكُمْ طُرُقٌ لِلْقُرْآنِ فَطَيِّبُوهَا بِالسِّوَاكِ

Sesungguhnya mulut-mulut kalian adalah jalan bagi Al-Qur’an. Maka bersihkanlah dengan siwak (HR. Ibn Majah dan Al-Bazzar).

Bila membersihkan mulut dapat dilakukan dengan bersiwak serta selainnya, apa saja bentuknya? Perlulah diketahui bahwa bersiwak tidaklah harus menggunakan kayu siwak sebagaimana yang dijual di toko-toko. Bersiwak bisa dilakukan dengan segala alat yang dapat membersihkan gigi. Sedang salah satu tindakan membersihkan mulut selain bersiwak adalah berkumur-kumur (Syi’bul Iman/4/443).

Kedua, alat membersihkan mulut. Dapat dilaksanakan dengan bersiwak menggunakan kayu arok. Boleh juga menggunakan kayu-kayu selainnya. Atau membersihkan dengan menggunakan kain kasar. Menurut sebagian pendapat, boleh juga membersihkan area mulut dengan menggunakan jari-jari kasar.

Baca juga: Konteks dan Keterampilan dalam Memahami Al-Quran Menurut Ingrid Mattson

Kayu yang digunakan bersiwak hendaknya tidak terlalu kering, juga tidak terlalu basah. Apabila terlalu kering, boleh membasahinya dengan air agar lembut. Kayu yang digunakan bersiwak juga tidak harus milik sendiri. Boleh juga milik orang lain, tapi dipakai dengan seizin si pemiliknya.

Ketiga, area yang dikenai siwak. Bersiwak dapat dilakukan dengan bergerak secara horizontal, dimulai dari kanan, serta dengan niat melaksanakan Sunnah Nabi. Area yang dikenai siswak adalah gigi bagian luar, bagian dalam, serta pucuk gigi. Selain itu, dianjurkan menggerakkan siwak secara berlahan diarahkan mengenai pangkal gigi serta langit-langit tenggorokan.

Keempat, doa saat bersiwak. Berikut doa saat bersiwak yang dikutip Imam An-Nawawi dari sebagian ulama:

اَللّٰهُمَّ بَارِكْ لِي فِيْهِ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Allahumma baarik lii fiihi ya arhamar raahimiin

Ya Allah, berikan aku keberkahan dalam bersiwak. Wahai dzat yang paling pengasih di antara para pengasih.

Baca juga: Inilah Keutamaan Membaca Al-Quran dengan Tartil

Membaca Al-Qur’an tatkala mulut dalam keadaan najis

Imam An-Nawawi menyatakan, membaca Al-Qur’an dengan mulut terkena najis dan belum  membasuhnya, baik itu berupa darah atau selainnya, hukumnya hanya makruh saj. Memang ada yang berpendapat bahwa hukumnya haram. Namun pendapat yang paling sahih adalah tidak haram.

Berbagai uraian di atas diatas dapat dijadikan pedoman untuk mengikuti kesunnahan membersihkan mulut sebelum membaca Al-Qur’an. Yang dianjurkan dalam penjelasan di atas tidaklah secara khusus pada bersiwak, tapi pada membersihkan area mulut. Bersiwak sendiri tidaklah harus menggunakan kayu siwak, tapi bisa juga dengan semacam kain atau bahkan sikat gigi. Selain itu, bila tidak ada alat untuk bersiwak, maka bisa digantikan dengan berkumur-kumur. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 80-82

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pembahasan sebelumnya telah dipaparkan watak orang-orang Yahudi yang menyerupai orang munafik. Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 80-82 ini masih menyebutkan lagi kedurhakaan orang Yahudi.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 75-79


Kedurhakaan orang Yahudi dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 80-82 ialah menganggap mereka tidak kekal di dalam neraka. Padahal Allah berfirman bahwa orang yang menyekutukan Allah dan orang-orang kafir kekal di dalam neraka. Dan Allah menjanjikan kepada orang yang beramal saleh mendapat ganjaran berupa surga, yang terus-menerus dalam iman.

Ayat 80

Dalam ayat ini disebutkan lagi segi lain dari kedurhakaan orang Yahudi yaitu mengenai anggapan mereka bahwa mereka tidak akan dibakar oleh api neraka kecuali hanya beberapa hari saja. Maksudnya, mereka tidak kekal di dalam neraka karena menganggap diri mereka adalah putra dan kekasih Allah.

Kebanyakan orang Yahudi berpendapat bahwa mereka dimakan api selama tujuh hari. Karena umur dunia menurut pendapat mereka 7000 tahun, maka siapa di antara mereka yang tidak memperoleh keselamatan dan kemenangan serta kebahagiaan, mereka akan mendekam dalam neraka selama 7 hari. Sehari untuk tiap 1000 tahun.

Ayat 81

Pada ayat ini dengan tegas Allah menyatakan tidak benar sama sekali apa yang mereka katakan itu. Bahkan api akan membakar diri mereka dan orang-orang lain dalam waktu yang lama sesuai dengan dosa mereka. Dosa di sini ialah dosa mempersekutukan Allah. Maka orang yang mempersekutukan Allah dan orang-orang kafir kekal di dalam neraka.

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dosa di sini ialah kesalahan pada umumnya. Mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kekal di sini ialah mendekam dalam neraka dalam waktu yang lama sampai batas waktu yang telah dikehendaki Allah. Orang yang berbuat maksiat dan mengerjakan dosa-dosa besar, dia mendekam di dalam neraka beberapa lama waktunya, kemudian keluar dari neraka, kapan Allah menghendakinya.

Apabila manusia bertobat dengan jujur atas segala macam dosa dan meninggalkan dengan sungguh-sungguh dosa-dosanya itu, maka dirinya tidak akan diliputi oleh kesalahan-kesalahan dan jiwanya tidak akan berkarat dengan kesalahan-kesalahan itu.


Baca juga: Mengenal Kuliner Neraka dalam Al-Quran, dari Buah Zaqqum hingga Shadid


Ayat 82

Ayat ini menjanjikan kepada orang yang beramal saleh akan mendapat ganjaran berupa surga. Biasanya ayat ancaman selalu diikuti dengan ayat janji baik (harapan). Faedahnya antara lain sebagai berikut:

  1. Untuk menunjukkan keadilan Ilahi. Bilamana Allah menetapkan azab yang abadi bagi orang yang terus-menerus dalam kekafiran, maka Allah juga menetapkan pahala abadi (surga) bagi mereka yang terus-menerus dalam iman.
  2. Bahwa janji baik (harapan) dan janji buruk (ancaman) dari Allah itu menanamkan rasa harap dan cemas yang seimbang ke dalam jiwa orang mukmin.
  3. Bahwa Allah dengan janji baik-Nya menunjukkan kesempurnaan rahmat-Nya dan dengan ancaman-Nya Allah menunjukkan kesempurnaan keadilan-Nya.

Semua orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya dan beriman kepada hari akhirat serta mengerjakan perbuatan baik, menunaikan kewajiban-kewajiban dan menjauhkan diri dari maksiat, mereka itulah yang pantas masuk surga sebagai balasan yang setimpal terhadap ketundukan mereka kepada Allah dan keikhlasan mereka kepada-Nya, baik secara rahasia maupun nyata. Di dalam ayat ini jelas terbukti bahwa masuk surga itu dikaitkan dengan iman yang benar dan amal saleh seperti tersebut di dalam hadis:

;ِإنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِسُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللهِ الثَّقَفِيِّ وَقَدْ قَالَ لَهُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِي فِى اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا غَيْرَكَ. قَالَ: قُلْ اٰمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ

(رواه مسلم عن سفيان بن عبد الله الثقفي)

 Bahwa Nabi saw bersabda kepada Sufyan bin Abdillah as-Saqafi, tatkala Sufyan bertanya kepada Rasul,  Ya Rasulullah, terangkanlah kepadaku mengenai Islam, suatu petunjuk yang tidak perlu lagi saya bertanya tentang hal itu kepada orang lain. Nabi menjawab,  Katakanlah, saya beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah kamu. (Riwayat Muslim dari Sufyan bin Abdillah as-Saqafi)


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 83


(Tafsir Kemenag)

Balaghah Al-Quran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Al-Quran

0
Balaghah Al-Quran
Balaghah Al-Quran

Balaghah al-Quran adalah salah satu alternatif untuk mengetahui seni tata krama dalam bahasa al-Quran. Alasan Allah Swt memilih bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran bukan tanpa maksud. Bahasa Arab sendiri merupakan bahasa yang paling akurat untuk mewakili firman-firman Allah yang diturunkan pada umat manusia. Imam As-Syafi’i dalam kitab Ar-Risālah menyebutkan:

” ولسان العرب أوسع الألسنة مذهباً، وأكثرها ألفاظاً، ولا نعلمه يحيط بجميع علمه إنسان غيرُ نبي

“Bahasa Arab adalah bahasa yang paling luas madzhabnya, paling banyak kosa-katanya, dan kami belum pernah mendapati manusia yang menguasai seluruh ilmunya kecuali Nabi”.

Para ulama telah mengerahkan kemampuannya dalam menghimpun keindahan-keindahan bahasa Arab khususnya bahasa Al-Quran dalam satu disiplin ilmu khusus, yakni Ilmu Balāghah. Salah satu kandungan Balaghah Al-Quran adalah Fann At-Taaddub (seni bertata krama).

Contoh konkritnya terdapat dalam QS. al-Fatiha [1]:7

صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ

“(yaitu) jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.

Menurut Dr. M. Afifuddin Dimyathi, Lc, MA dalam kitab beliau tentang Balaghah Al-Quran, As-Syāmil fī al-Balāghah al-Qurān, dalam ayat tersebut terdapat Fann at-Taaddub (seni tata krama). Yaitu ketika berbicara tentang nikmat, maka perbuatan ‘memberi nikmat’ itu langsung disandarkan pada Allah Swt dengan menyebutkan fā’il (pelaku) yakni Dzāt pemberi nikmat tersebut dengan redaksi أَنْعَمْتَ (menyebutkan dlamir mukhatab ت pada lafadz tersebut, yaitu Allah). Hal itu bertujuan untuk menjelaskan bahwa yang memberi segala macam nikmat dan karunia hanyalah Allah Swt semata.

Baca Juga: Menilik Pengertian ‘Amud Al-Quran dan Metodologinya ala Hamiduddin Farahi

Berbanding terbalik ketika membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan kemurkaan, kesesatan dan semacamnya, Al-Quran tidak menyandarkannya langsung kepada Allah Swt, sebagaimana redaksi ٱلْمَغْضُوبِ (menggunakan shīgāt maf’ūl, tanpa menyebut Fā’il, yaitu Dzāt yang memurkai, yakni Allah), begitu juga redaksi ٱلضَّآلِّينَ (menggunakan shīghat Fā’il) itu karena semata-mata mereka sendirilah yang melakukan kesesatan.

Syaikh Ali As-Shabuni dalam Shafwah At-Tafasir menerangkan jika redaksi di atas konsisten mengikuti uslub (gaya bahasa) sebelumnya sebagaimana أَنْعَمْتَ, maka akan berbunyi غَضِبْتَ عَلَيْهِمْ وَالَّذِيْنَ أَضْلَلْتَهُمْ , yang artinya, “bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai dan orang-orang yang Engkau sesatkan.”

Beliau juga menambahkan:

فالشرّ لا ينسب إلى الله تعالى أدباً وإن كان منه تقديراً. الخير كله بيدك والشر لا ينسب إليك

“Adapun suatu keburukan tanpa dinisbatkan kepada Allah untuk menjaga adab. Walaupun hal itu sejatinya merupakan takdir dari-Nya. Kebaikan ada pada kuasa-Mu seluruhnya tanpa menisbatkan suatu keburukan pun pada-Mu”.

Memang benar, ada hakikatnya segala sesuatu baik berupa nikmat ataupun adzab tidak lain dari sisi Allah Swt tanpa terkecuali. Jika itu berupa nikmat, maka semata-mata karunia Allah. Dan jika berupa adzab, maka yang demikian adalah bentuk keadilan dari Allah.

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī menjelaskan dalam Nadzam Jauharatut Tauhīd-nya:

فَإِنْ يُثِبْنَا فَبِمَحْضِ الْفَضْلِ # وَ إِنْ يُعَذِّبْ فَبِمَحْضِ العَدْلِ

“Maka jika Dia memberi pahala, itu adalah semata-mata karena karunia-Nya, dan jika dia memberi adzab (menyiksa) pada kita, adalah semata-mata karena keadilan-Nya”.

Pembahasan mengenai Fann At-Taaddub pada QS. al-Fatihah [1]:7 senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. Fadhil Shalih As-Samarrai, seorang pakar nahwu dan konsentrasi Ta’bīr Qur’ānī (ungkapan-ungkapan dalam Al-Quran). Beliau meneliti perbedaan antara redaksi آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ (mereka yang telah Aku beri Kitab) dan أُوتُواْ الْكِتَابَ (yang yang telah diberikan Kitab).

Menurut beliau, uslūb آتَيْنَاهُمْ الْكِتَابَ yang menyebutkan fā’il (pelaku) yakni Dzāt Sang Pemberi Kitab pada pada dlamīr (نَا) yang kembali pada Allah Swt menunjukkan suatu kebaikan serta digunakan untuk memuji mereka yang diberi Kitab.

Sedangkan uslub أُوتُواْ الْكِتَابَ yang menggunakan shīghāt kata kerja mabnī majhūl (bentuk pasif) dalam arti lain menyembunyikan fā’il (pelaku), yakni Dzāt yang memberi Kitab menunjukkan sesuatu yang buruk atau digunakan untuk mencaci dan menghinakan.

Beliau mengumpulkan beberapa ayat yang terkait uslub الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ, di antaranya:

 (الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاَوَتِهِ 121) البقرة)

 (أُوْلَئِكَ الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ (89) الأنعام)

 (وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَفْرَحُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ (36) الرعد)

Mari kita coba telisik lebih dalam salah satu dari ayat di atas, pada surah Al-Baqarah:121:

ٱلَّذِينَ ءَاتَيْنَٰهُمُ ٱلْكِتَٰبَ يَتْلُونَهُۥ حَقَّ تِلَاوَتِهِۦٓ أُو۟لَٰٓئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِۦۗ وَمَن يَكْفُرْ بِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْخَٰسِرُونَ

“Orang-orang yang telah Kami beri Kitab, mereka membacanya sebagaimana mestinya, mereka itulah yang beriman kepadanya. Dan barangsiapa ingkar kepadanya, mereka itulah orang-orang yang rugi”.

Pada ayat di atas, mereka yang telah diberi Kitab oleh Allah merupakan hamba-hamba yang baik dan terpuji, mereka membaca Kitab sebagaimana mestinya Kitab tersebut harus dibaca.

Ayat-ayat lain yang senada, jika kita telisik lebih dalam maka akan ditemukan fakta yang sama.

Berikut beberapa ayat yang menggunakan redaksi أُوتُواْ الْكِتَابَ.

 (وَلَمَّا جَاءهُمْ رَسُولٌ مِّنْ عِندِ اللّهِ مُصَدِّقٌ لِّمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌ مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ كِتَابَ اللّهِ وَرَاء ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ (101) البقرة)

 (وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَّا تَبِعُواْ قِبْلَتَكَ (145) البقرة)

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوَاْ إِن تُطِيعُواْ فَرِيقًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ يَرُدُّوكُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ (100) آل عمران)

Jika kita teliti salah satu ayat di atas, misalnya pada Al-Baqarah 2:101:

وَلَمَّا جَآءَهُمْ رَسُولٌ مِّنْ عِندِ ٱللَّهِ مُصَدِّقٌ لِّمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌ مِّنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ كِتَٰبَ ٱللَّهِ وَرَآءَ ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul (Muhammad) dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi Kitab (Taurat) melemparkan Kitab Allah itu ke belakang (punggung), seakan-akan mereka tidak tahu”.

Ayat tersebut menegaskan bahwa mereka yang telah diberi Kitab adalah orang-orang yang enggan menerima kebenaran dan mengamalkan isi dari Kitab tersebut, seakan-akan mereka berlagak tidak mengetahui bahwa apa yang ada di dalam Kitab (Taurat) adalah kebenaran yang harus mereka jalankan.

Baca Juga: Uraian Lengkap Soal Terjemah Al-Quran dan Perbedaannya dengan Tafsir

Demikianlah di antara kemukjizatan bahasa Al-Qur’an yang berhasil diteliti oleh para ulama. Tentu saja masih banyak sekali yang belum ditemukan karena keterbatasan akal manusia. Sedangkan Al-Quran sendiri adalah samudera yang amat dalam dan tak bertepi. Dan salah satu keindahan tersebut adalah Fann Taaddub (seni tata krama) yang terdapat di dalamnya.

Jika pada sesama makhluk kita dituntut untuk bertata krama yang baik dan santun, apalagi terhadap Allah Sang Khāliq?

Maka, dari Balaghah Al-Quran kita bisa meneladani adab-adab kepada Allah Swt. Rahasia Al-Quran sangatlah melimpah, sedangkan kemampuan manusia amatlah terbatas. Wallahu a’lam bis Showab

Huruf Muqathaah: Cara Baca dan Pembagiannya dalam Ilmu Tajwid

0
Huruf Muqathaah
Huruf Muqathaah

Salah satu diantara sepuluh macam bentuk fawatih as-suwar (pembuka-pembuka surat) di dalam al-Quran adalah huruf-huruf muqathaah. Dikenal juga dengan sebutan huruf-huruf fawatih as-suwar. Huruf-huruf muqatha’ah merupakan huruf-huruf yang cara membacanya terputus-putus.

Artikel ini mengulas cara membaca huruf-huruf muqathaah dalam ilmu Tajwid, yang berbeda dengan cara membaca rangkaian huruf hijaiah lainnya. Selain itu, diharapkan para pembaca al-Quran juga mengetahui pembagian huruf-huruf muqatha’ah dari segi panjang bacaannya, yang dikutip dari kitab al-Mufid fi ‘Ilm at-Tajwid karya Abdurrahman bin Sa’dullah Aytani.

Cara Membaca Huruf Muqathaah

Cara membaca huruf muqathaah adalah dengan mengeja atau menyebutkan nama hurufnya. Misalnya membaca dengan “nun” pada huruf muqatha’ah yang terdapat dalam Q.S. Al-Qalam [68], bukan dibaca seperti memberi harakat atau dibaca “na”.

Baca Juga: Pengertian dan Macam-Macam Shifatul Huruf dalam Ilmu Tajwid

Huruf muqathaah berjumlah 14 huruf dan menjadi pembuka (fawatihus as-suwar) di 29 surat dalam al-Quran. Keempat belas huruf itu adalah

ا ح ر س ص ط ع ق ك ل م ن ه ي

اَلِفْ، حَا، رَا، سِيْنْ، صَادْ، طَا، عَيْنْ، قَافْ، كَافْ، لَامْ، مِيْمْ، نُوْنْ، هَا، يَا

Membaca keempat belas huruf di atas adalah dengan menyebutkan nama hurufnya yaitu alif, ha, ra, sin, shad, tha, ain, qaf, kaf, lam, mim, nun, ha, dan ya. Selain itu, disesuaikan dengan panjang bacaannya juga yang akan dibahas berikutnya.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan ketika membaca huruf-huruf muqatha’ah adalah ghunnah (dengung). Misalnya dengung diantara huruf lam dan mim ketika membaca huruf muqatha’ah yang ada di Q.S. Al-Baqarah [2]

(الم (اَلِفْ لَامْ مِّيْمْ

Pembagian Huruf Muqathaah

Ditinjau dari segi panjang bacaannya (madd), huruf-huruf muqatha’ah terbagi menjadi 4 macam: tidak dibaca panjang, panjang 2 harakat, panjang 4 atau 6 harakat, dan panjang 6 harakat. Rinciannya sebagai berikut:

Pertama, huruf muqatha’ah yang tidak dibaca panjang. Hanya ada 1 huruf yaitu huruf alif. Ketika membaca alif, cukup mengatakan “alif” tanpa ada madd atau bacaan panjang baik di bunyi “a” maupun “lif” nya. Huruf muqatha’ah berupa alif dapat ditemukan misalnya pembuka Q.S. Al-Baqarah [2].

Kedua, huruf muqatha’ah yang dibaca panjang sekitar 2 harakat. Terdapat 5 huruf yaitu huruf ya, tha, ra, ha (ح), dan ha (ه). Cara membacanya cukup dengan memanjangkan tanpa ada tambahan bunyi hamzah mati di akhir.

Contoh membaca huruf muqatha’ah yang ada dalam Q.S. Thaha [20] dengan mengatakan “thaa – haa”. Contoh lainnya dalam Q.S. Yasin [36] dengan membaca “yaa – siiiiiin”, bukan dibaca “yasa”.

Ketiga, huruf muqatha’ah yang dibaca panjang sekitar 4 atau 6 harakat. Dua pilihan panjang bacaan ini disebabkan terdapat bacaan lin di dalam hurufnya. Huruf muqatha’ah tersebut adalah huruf ain.

Baca Juga: Pengertian Makharijul Huruf dalam Ilmu Tajwid dan Pembagiannya Menurut Ulama

Huruf muqatha’ah ain dapat ditemukan di Q.S. Maryam [19] dan Q.S. as-Syura [42]. Contoh membaca huruf muqatha’ah yang ada di Q.S. Maryam [19] adalah “kaaaaaaf – haa – yaa – aiiiin – shaaaaaad” atau “kaaaaaaf – haa – yaa – aiiiiiin – shaaaaaad”.

Keempat, huruf muqatha’ah yang dibaca panjang sekitar 6 harakat. Ada 7 huruf yang dibaca demikian. Ketujuh huruf itu adalah huruf sin, shad, qaf, kaf, lam, mim, dan nun. Dalam mushaf, ketujuh huruf ini diberi tanda garis melengkung di atas hurufnya yang menandakan dibaca panjang sekitar 6 harakat.

Contoh membaca huruf muqatha’ah yang ada di Q.S. Al-Araf [7] dengan mengatakan “alif – laaaaaam – miiiiiim – shaaaaaad”, bukan dibaca alamasha atau tidak dipanjangkan sekitar 6 harakat.