Beranda blog Halaman 413

Variasi Qiraat Al-Quran dan Contohnya dalam Surat Al-Fatihah Ayat 4

0
Variasi Qiraat
Variasi Qiraat

Sudahkah anda mengentahui bahwa al-Quran dapat dibaca dengan berbagai macam? Jika belum, anda perlu belajar tentang ilmu qiraat. Artikel ini akan mengulas seputar definisi qiraat dan contoh variasi qiraat dalam surat Al-Fatihah ayat 4.

Qiraat adalah sebuah madzhab bacaan lafaz-lafaz al-Quran, baik menyangkut perpindahan huruf maupun harakat, perubahan dialek seperti tahqiq, isymam, imalah, dan lain-lain yang dinisbatkan kepada seorang Imam yang memiliki jalur bersambung kepada Nabi Muhammad saw.

Variasi qiraat (bacaan) ini bersumber dari Nabi saw secara langsung yang kemudian diriwayatkan kepada generasi tabi’in oleh para sahabat hingga sampai kepada kita. Ada beberapa syarat yang diajukan oleh para ulama agar sebuah qiraat bisa diterima di antaranya:

Baca Juga: Ahli Qiraat dan Lukis: Sisi Lain Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dari Manuskrip Al-Quran Peninggalannya

Pertama: Qiraat harus sesuai dengan kaidah bahasa arab, seperti segi kefasihannya.

Kedua: Qiraat harus sesuai dengan rasm Usmani. Jika terdapat sedikit perbedaan, maka qiraat tersebut masih dapat diterima.

Ketiga: Qiraat harus memiliki sanad yang shahih.

Jika tidak memenuhi salah satu dari ketiga syarat ini, maka bacaan tersebut tidak diterima.

Beberapa qiraat yang terkenal dan memenuhi persyaratan di atas adalah qiraat Imam tujuh, yaitu Nafi’ al Madani, Ibnu Katsir al Makky, Abu Amr, Ibnu Amir as Syami, Ashim al Kuufi, Hamzah al Kuufi dan Al Kisa’i al Kuufi, qiroat Imam tujuh ini lebih dikenal dengan nama qiraat mutawatirah.

Meskipun demikian, sesungguhnya qira’at al Qur’an sangat banyak sekali variannya. Tetapi yang dapat dipakai hanyalah yang riwayatnya mutawatir dalam arti jalurnya sangat kuat karena diriwayatkan oleh banyak orang yang tidak mungkin bersepakat berbohong.

Baca Juga: 7 Bacaan Gharib dalam al-Quran menurut َQiraat Ashim Riwayat Hafs

Berikut ini adalah beberapa contoh variasi qiraat dalam ayat keempat surah al Fatihah, baik yang dapat dipakai maupun yang tidak dapat dipakai karena termasuk aahad (tidak mutawatir) atau bahkan syadz (menyalahi yang lebih kuat).

1- Qiroat Ashim, al Kisa’i, Ya’qub dan Kholaf bin Hisyam:

مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ

2- Qiroat Nafi’, Ibnu Katsir, Abu Amr, Ibnu Amir dan Hamzah:

مَلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ

Kedua qiroat di atas adalah mutawatirah dan dipakai oleh umat Islam sekarang dalam bacaan mereka.

Sedangkan qiroat-qiroat yang tidak dipakai karena riwayat nya ahad atau syadz adalah:

3- Diriwayatkan dari Aisyah dan Sa’ad bin Abi Waqqash:

مَلِكُ يَوْمِ الدِّيْنِ

4- Diriwayatkan dari Anas bin Malik:

مَلِكَ يَوْمِ الدِّيْنِ

5- Bacaan al A’mash dan al Mathu’i, diriwayatkan dari Abu Hurairah:

مَالِكَ يَوْمِ الدِّيْنِ

6- Bacaan Yahya bin Ya’mar dan Abu Hanifah, diriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib:

مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ

7- Bacaan as Sya’bi dan Abu Usman an Nahdy:

مِلْكِ يَوْمِ الدِّيْنِ

8- Bacaan Ashim al Juhduri, diriwayatkan dari Abu Hurairah:

مَلْكِ يَوْمِ الدِّيْنِ

9- Bacaan Aun bin Abi Syaddad al Aqiily, diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz:

مٰلِكُ يَوْمِ الدِّيْنِ

10- Bacaan Abu Ubaid dan Aun al Aqiily:

مَالِكٌ يَوْمَ الدِّيْنِ

11- Bacaan Abu Roja al Athaaridy, diriwayatkan dari Ubay bin Kaab:

مَلِيْكِ يَوْمِ الدِّيْنِ

12- Bacaan Ibnu Abi Ashim:

مِلْكًا يَوْمَ الدِّيْنِ

13- Dalam sebuah riwayat di kitab al Bahrul Muhith tanpa menyebut nama:

مَلّاكِ يَوْمِ الدِّيْنِ

14- Dalam sebuah riwayat di kitab al Bahrul Muhith tanpa menyebut nama:

مَلْكَ يَوْمِ الدِّيْنِ

Semua variasi bacaan ini semuanya masih bisa terbaca dalam Rosam Usmani yang tertulis

ملك يوم

tanpa harakat dan titik.

Demikianlah penjelasan tentang qiraat, variasinya, dan contoh bacaannya dalam riwayat yang mutawatir surat al-Fatihah Ayat 4. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah an Nazi’at Ayat 12-22

0
tafsir surah an-nazi'at
Tafsiralquran.id

Setelah sebelumnya berbicara mengenai hari kebangkitan yang diingkari oleh orang-orang musyrik, kali ini dalam Tafsir Surah an Nazi’at Ayat 12-22 akan berbicara mengenai kesadaran mereka bahwa hari kebangkitan merupaka sesuatu yang pasti.


Baca juga: Tafsir Surah an Nazi’a’t Ayat 1-10


Kala itu orang-orang musyrik menyatakan kesadarannya bahwa hari kebangkitan itu nyata. Untuk lebih menyadarkan lagi, dalam Tafsir Surah an Nazi’at Ayat 12-22 ini juga dikemukakan kisah Nabi Musa as. Bagaimana Nabi Musa as berdakwah kepada Fir’aun yang sudah melewati batas.

Ayat 12-14

Dalam ayat ini akhirnya mereka berkata juga, “Kalau demikian, sungguh kami akan mengalami pengembalian yang sangat merugikan.” Allah menjawab ejekan dan penyesalan mereka itu dengan menjelaskan bahwa pengembalian itu cukup sederhana saja, yaitu dapat terjadi hanya dengan satu kali tiupan saja oleh Malaikat Israfil.

Akhirnya mereka menyadari bahwa manusia tidak dapat memandang peristiwa hari kebangkitan itu sebagai mustahil. Sebab, dengan itu mereka dapat serta merta akan hidup kembali di permukaan bumi sebagai permulaan hari akhirat.

Ayat 15-16

Dalam ayat ini, Allah mengingatkan Nabi Muhammad tentang kisah Musa dalam bentuk pertanyaan, yaitu apakah belum diketahui olehnya tentang kisah Musa yang diutus Allah kepada Fir’aun untuk menyampaikan risalahnya dengan cara yang halus dan lemah lembut seperti tercantum dalam firman Allah:

فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى   ٤٤

Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut. (Taha/20: 44)


Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 43-44: Kuasa Allah Swt dan Bahtera Nabi Nuh As


Ayat 17-19

Tugas Nabi Musa ialah supaya pergi kepada Fir’aun dan menasihatinya karena Fir’aun sudah melampaui batas, berlaku sombong terhadap Bani Israil dan memperbudak mereka dengan kekejaman yang luar biasa dan di luar peri kemanusiaan.

Di antaranya adalah perintah untuk membunuh bayi-bayi laki-laki dan membiarkan bayi perempuan hidup. Kemudian Allah menyuruh Nabi Musa supaya melaksanakan dakwah dengan halus dan lemah lembut.

Nabi Musa diperintahkan untuk berdialog secara baik-baik dengan Fir’aun dan mengemukakan pertanyaan apakah Fir’aun mau membersihkan diri dari kesesatan. Fir’aun telah bergelimang dalam kesesatan, sehingga sebaiknya mau menerima petunjuk dari Allah yang dibawa Nabi Musa. Fir’aun perlu menempuh jalan kebajikan yaitu menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan jahat.

Kemudian Nabi Musa diperintahkan untuk menjelaskan secara terbuka dengan mengajak Fir’aun untuk mengikuti risalahnya menuju ke jalan Allah dengan bertakwa kepada-Nya.

Ayat 20-22

Kemudian Allah menerangkan bahwa Fir’aun tetap membangkang dan tidak mau mengikuti ajakan Nabi Musa sehingga Musa terpaksa memperlihatkan mukjizat-mukjizatnya.

Lalu Musa memperlihatkan kepada Fir’aun mukjizat yang besar yaitu tongkat menjadi ular dan telapak tangan yang bersinar terang. Meskipun begitu, Fir’aun masih mengingkari kenabian Musa dan tetap bersikap durhaka dan menentang Allah. Kemudian Fir’aun berpaling dan berusaha untuk mengadakan perlawanan kepada Musa.


Baca setelahnya: Tafsir Surah an-Nazi’at Ayat 23-30


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Yasin Ayat 43-44: Kuasa Allah Swt dan Bahtera Nabi Nuh As

0
Yasin Ayat 43-44
Yasin Ayat 43-44

Berkat kuasa Allah Swt kakek buyut kita bisa selamat dari banjir bandang yang terjadi pada masa Nabi Nuh as sehingga manusia masih eksis sampai sekarang. Demikian sebagaimana yang diterangkan dalam tulisan sebelumnya. Adapun tulisan ini akan membahas kuasa dan tujuan Allah Swt menyelamatkan manusia dari musibah di perjalanan selama berada di dalam bahtera Nabi Nuh As. Berikut tafsir dari surah Yasin ayat 43-44:

وَإِن نَّشَأْ نُغْرِقْهُمْ فَلَا صَرِيخَ لَهُمْ وَلَا هُمْ يُنقَذُونَ

إِلَّا رَحْمَةً مِّنَّا وَمَتَاعًا إِلَىٰ حِينٍ

Artinya:

(43)   Dan jika Kami menghendaki niscaya Kami tenggelamkan mereka, maka tiadalah bagi mereka penolong dan tidak pula mereka diselamatkan.

(44)   Tetapi (Kami selamatkan mereka) karena rahmat yang besar dari Kami dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai kepada suatu ketika.

Makna ayat di atas menurut al-Thabathaba’i ialah bahwa nasib orang-orang dan binatang-binatang yang ada di atas bahtera Nabi Nuh itu sepenuhnya berada di tangan Allah Swt. Apabila Allah berkehendak, bisa saja mereka semua tenggelam dan tak terselamatkan, namun Dia berkehendak sebaliknya. Itu semua tiada lain merupakan rahmat Allah Swt.

Baca Juga: Sayyid Muhammad Husain Al-Thabathaba’i: Arsitek Tafsir Al-Mizan

Ibn Asyur menjelaskan, ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya. Ayat sebelumnya membicarakan belas kasih Allah Swt yang telah menyelamatkan mereka yang menaiki kapal Nabi Nuh as. Nah ayat ini kemudian memperingatkan bahwa Allah Swt berkuasa merubah nikmat tersebut menjadi musibah.

Pola ungkapan ini merupakan ciri khas al-Qur’an di mana komposisi pesan ayat senantiasa berimbang. Ayat yang mengandung pesan anjuran (targhib) selalu diiringi dengan dengan ayat yang mengandung peringatan (tarhib) atau sebaliknya. Sehingga seseorang tidak merasa besar ketika diberi kenikmatan dan tidak pula putus asa dari turunnya rahmat.

Quraish Shihab menambahkan, kata “sarikh“ berasal dari kata “sarakha” yang berarti berteriak minta tolong. Kata “sarikh” sendiri berarti orang yang diteriaki untuk dimintai pertolongan. Orang yang terjebak dalam bahaya di perjalanan biasanya tidak memiliki siapa pun untuk dimintai pertolongan. Hanya Allah lah satu-satunya yang bisa mendengarkan teriakannya dan menyelamatkannya dari musibah yang sedang dihadapi.

Menariknya, dalam menjelaskan ayat ini Quraish menyinggung tragedi tenggelamnya kapal Titanic. Berdasarkan ceritanya disebutkan bahwa sebelum berlayar, perancang kapal sesumbar mengatakan bahwa Tuhan pun tak kuasa membuat kapal besarnya tersebut karam. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Kejadian ini menunjukkan betapa angkuhnya manusia serta betapa besarnya kuasa Allah Swt dalam menentukan nasib mereka.

Semua aktivitas perjalanan memang lumrahnya dilakukan dengan sukar dan berisiko mengalami kecelakaan atau musibah, terlebih ketika berlayar di lautan lepas. Terkait hal itu, Hamka mengatakan bahwa tidak ada yang lebih dapat memahami pesan ayat ini melebihi para pelaut itu sendiri yang sering mengalami kondisi antara hidup dan mati pada saat berlayar mengarungi samudra luas.

Selanjutnya pada ayat ke 44 dikatakan bahwa tujuan manusia diselamatkan dari musibah berkaitan dengan dua hal, yakni sebagai rahmat dan untuk memberikan kesenangan hidup lebih. Nawawi al-Bantani menjelaskan, adakalanya orang yang diselamatkan sudah diketahui Allah bahwa ia akan beriman, maka selamatnya ia adalah sebuah rahmat dari Allah Swt.

Adakalanya pula orang yang diselamatkan tersebut merupakan orang yang dalam ilmu Allah akan mendustakan kebenaran, maka tujuan dia diselamatkan ialah supaya dapat merasakan kesenangan hidup lebih lama sampai selesai masanya dan kemudian dia akan mendapatkan balasan yang lebih pedih pula.

Ini yang dinamakan oleh ulama sebagai istidraj. Oleh karena itu menurut Nawawi al-Bantani, keselamatan dari musibah duniawi tidaklah berarti positif selamanya, ia dapat berarti malapetaka apabila tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas iman yang lebih baik.

Baca Juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani

Adapun yang dimaksud dengan kata “ila hin” (sampai waktunya), At-Tabari mengutip dari Qatadah bahwa maksudnya ialah “ilal maut” (sampai kematiannya). Maka siapa saja yang diberikan kesempatan hidup, hendaknya ia mengisi sisa umurnya sebaik mungkin sebelum tiba ajalnya.

Sekian tafsir dari surat Yasin ayat 43-44 mengenai bagaimana Allah Swt berkuasa menyelamatkan maupun menimpakan musibah kepada manusia yang sedang melakukan perjalanan dan apa hikmah dari takdir yang ditetapkannya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis sawab.

Respons Al-Quran terhadap Perbuatan Vandalisme

0
Respons Al-Quran terhadap perbuatan vandalisme
Respons Al-Quran terhadap perbuatan vandalisme

Vandalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lain (keindahan alam dan sebagainya), perusakan dan penghancuran secara ganas. George T Falkness mendefinisikan perbuatan vandalisme merupakan sebuah tindak kejahatan yang bertujuan untuk merusak barang-barang.

Tindakan yang dilakukan bukan hanya merusak fasilitas umum yang tersedia, namun juga fasilitas yang menunjang kebutuhan pribadi. Jadi, vandalisme merupakan suatu perbuatan yang mempunyai tujuan untuk merusak ataupun menghancurkan benda atau karya, baik buatan manusia maupun alam ciptaan Allah SWT. Perbuatan vandalisme tentu bukan hanya merugikan diri sendiri, akan tetapi dampak dari perbuatan tersebut juga dirasakan oleh orang lain dan lingkungan sekitar. Allah SWT. dalam Q.S. al-Rum [30]: 41 berfirman:

ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ

Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Baca juga: Resolusi Al-Quran Menghadapi Tantangan Digital di Era Post-Truth

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah Juz 11: 77, mengemukakan bahwa kerusakan yang terjadi di darat dan di laut disebabkan oleh ketidakseimbangan antara keduanya serta kemanfaatan yang ada didalamnya telah berkurang, bisa juga keduanya mengalami kerusakan dengan sendirinya.

Sementara itu, Ibnu ‘Asyur mendefinisikan kerusakan yang dimaksud dalam ayat diatas adalah semesta alam yang telah diciptakan oleh Allah dalam sebuah komponen yang sangat serasi dan menunjang kebutuhan manusia, mengalami kerusakan akibat dari perbuatan buruk yang mereka lakukan, sehingga hal ini mengakibatkan ketimpangan atau ketidakseimbangan ekosistem alam. Kerusakan alam yang dilakukan oleh manusia mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem alam, begitupula kerusakan yang dilakukan di tempat-tempat umum, hal ini juga mengakibatkan rusaknya fasilitas umum sehingga akomodasi manusia menjadi terhambat.

Kerusakan yang dilakukan oleh manusia bukan hanya berdampak pada alam ataupun fasilitas yang tersedia, akan tetapi kerusakan juga dapat menimpa manusia itu sendiri. Sebagaimana penafsiran Quraish Shihab pada Q.S. al-Baqarah [2]: 205 yang berbunyi:

وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِي ٱلۡأَرۡضِ لِيُفۡسِدَ فِيهَا وَيُهۡلِكَ ٱلۡحَرۡثَ وَٱلنَّسۡلَۚ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلۡفَسَادَ

Artinya: “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”.

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 41: Menyoal Manusia dan Krisis Ekologis

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah Juz 1:446 mengartikan kalimat al-harts wa al-nasl adalah tanaman dan binatang ternak, akan tetapi juga dapat dipahami dalam arti wanita dan anak-anak. Sehingga, kerusakan yang terjadi pada manusia adalah ketika manusia itu melecehkan wanita akan berdampak pada rusaknya generasi muda/anak-anak. Kemudian kata tawalla dapat pula dipahami dengan arti memerintah. Sehingga, apabila manusia diberi kekuasaan, kemudian membuat kebijakan-kebijakan yang mana kebijakan tersebut dapat menimbulkan kerusakan, seperti eksploitasi alam dan lain sebagainya.

Kerusakan-kerusakan di muka bumi tentunya juga dapat menghambat aktivitas manusia sebagai khalifatullahi fi al-ardh atau wakil Allah di bumi. Oleh karena itu, manusia juga harus senantiasa melakukan pengelolaan yang terus berkesinambungan untuk meminimalisir terjadinya kerusakan. Allah SWT. berfirman dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 30 yang berbunyi:

وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ

Artinya: “ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan engkau?” tuhan berfirman: “sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Baca juga: Tafsir Ilmi Kemenag: Bumi yang Dinamis dan Relevansinya Bagi Kehidupan

Manusia sebagai tangan kanan Allah atau wakil Allah di bumi, sudah sepatutnya untuk merepresentasikan sifat allah dalam mengelola alam semesta raya. Diantara sifat tersebut adalah terus menerus mengurus atau memelihara dan selalu menebar rahmat atau kasih sayang di bumi. Oleh sebab itu, kewajiban seorang manusia terhadap semesta sebagai bentuk tanggungjawabnya dan pengabdiannya kepada Allah adalah terus melakukan pemeliharan alam termasuk juga pemeliharaan terhadap diri sendiri dan orang lain guna mempertahankan kebutuhan hidupnya.

Allah memperkenankan manusia untuk mengambil manfaat dari apa yang telah diciptakan oleh-Nya. Namun, hal demikian harus dilakukan secara bijak dan penuh tanggungjawab, tidak dilakukan secara berlebihan sehingga dapat mengakibatkan kerusakan.

Sifat rahmat atau kasih sayang dalam menjalani tugas manusia sebagai wakil Allah di bumi juga perlu dimiliki. Karena, apabila manusia berinteraksi dengan manusia lain, tetapi tidak dilandasi dengan sifat rahmat atau kasih sayang, yang akan timbul adalah permusuhan dan pertengkaran antar sesama manusia. Permusuhan dan pertengkaran tentunya bukanlah suatu hal yang baik, karena hal ini dapat memicu adanya perkelahian atau peperangan yang dapat mengakibatkan kerusakan terhadap diri dan orang lain. Pada akhirnya, sifat saling memelihara dan menebar rahmat atau kasih sayang, menjadi poin penting dalam menjalani kehidupan manusia sebagai wakil Allah di bumi.

Wallahu a’lam bi shawab.

Tafsir Surah an Nazi’at Ayat 1-11

0
tafsir surah an-nazi'at
Tafsiralquran.id

Artikel ini membahas tentang surah an Nazi’at, kususnya Tafsir Surah an Nazi’at Ayat 1-11. Surah ini termasuk kategori makiyah dan berjumlah 46 ayat. Nama an-Naziat terambil dari ayat pertama. Selain itu surah ini juga disebut sebagai surah as-Shahirah yang terambil dari ayat 14 dan surah at-Thammah yang terambil dari ayat 34.

Baca sebelumnya: Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 31-40

Sebagai pembuka, Tafsir Surah an Nazi’at Ayat 1-11 ini diawali dengan sumpah dengan maksud menegaskan adanya hari kebangkitan yang diiingkari oleh orang-orang musyrik. Diawali dengan kematian lalu pada hari kiamat dibangkitkan kembali.

Ayat 1-7

Pada ayat-ayat ini, Allah berfirman dalam bentuk sumpah terhadap beberapa malaikat yang mencabut nyawa manusia dengan keras dan juga kepada para malaikat yang mencabut nyawa manusia dengan lemah-lembut. Hal ini dalam rangka menegaskan adanya hari kebangkitan yang diingkari orang-orang musyrik.

Ayat-ayat selanjutnya yang juga dalam bentuk kalimat-kalimat sumpah kepada para malaikat yang turun dari langit dengan cepat sambil membawa perintah Allah. Bahkan Allah bersumpah kepada para malaikat yang mendahului malaikat yang lain dengan kencang, serta para malaikat yang mengatur dunia.

Firman-firman dalam bentuk sumpah ini banyak terdapat pada surah-surah Makiyah karena banyak orang-orang musyrik menolak dan mengingkari hari kebangkitan, seperti pada Surah as-Saffat/37: 1-4:

وَالصّٰۤفّٰتِ صَفًّاۙ  ١  فَالزّٰجِرٰتِ زَجْرًاۙ  ٢  فَالتّٰلِيٰتِ ذِكْرًاۙ  ٣  اِنَّ اِلٰهَكُمْ لَوَاحِدٌۗ   ٤

Demi (rombongan malaikat) yang berbaris bersaf-saf, demi (rombongan) yang mencegah dengan sungguh-sungguh, demi (rombongan) yang membacakan peringatan, sungguh, Tuhanmu benar-benar Esa. (as-Saffat/37: 1-4);

Adapun jawab qasam (isi dari sumpah) pada awal Surah an-Nazi’at ini terdapat dalam ayat 6, yaitu sungguh pada saat alam berguncang ketika tiupan sangkakala pertama, semuanya rusak dan hancur.

 Tiupan sangkakala yang pertama itu kemudian diikuti oleh tiupan kedua yang membangkitkan manusia dari kuburnya. Inilah hari Kiamat dalam arti yang sebenarnya.

Ayat-ayat permulaan pada Surah an-Nazi’at ini oleh jumhur mufasir dipahami sebagai sumpah-sumpah kepada para malaikat. Akan tetapi, ada mufasir lain, seperti Ahmad Musaafa al-Maragi, yang memahami sumpah ini bukan kepada para malaikat, tetapi kepada bintang-bintang yang beredar menurut aturan tertentu, seperti matahari, bulan, dan planet-planet yang lain.

Dalam tafsir al-Marāg³, ayat-ayat ini dipahami sebagai bintang-bintang yang sigap dan cepat jalannya, cahaya-cahaya yang keluar dari bintang ke bintang, dan bintang-bintang yang jalannya cepat dari bintang-bintang yang lain.

Adapun tentang pemahaman jawab qasam-nya sama dengan pendapat jumhur mufasir.


Baca juga: Inilah Macam-Macam Qasam dalam Al-Quran, Simak Penjelasannya


Ayat 8-9

Pada ayat-ayat ini dijelaskan bahwa hati orang-orang kafir pada waktu itu sangat takut setelah mereka menyaksikan sendiri apa yang telah diberitahukan kepada mereka dahulu di dunia.

Orang-orang kafir Mekah ketika di dunia bahkan telah diberitahu langsung oleh Nabi Muhammad. Pandangan mereka tertunduk lemas, selalu melihat ke bawah karena rasa takut dan gelisah yang sangat tinggi.

Pada ayat lain digambarkan keadaan orang-orang kafir pada hari Kiamat itu sebagai berikut:

مُهْطِعِيْنَ مُقْنِعِيْ رُءُوْسِهِمْ لَا يَرْتَدُّ اِلَيْهِمْ طَرْفُهُمْ ۚوَاَفْـِٕدَتُهُمْ هَوَاۤءٌ ۗ    ٤٣

Mereka datang tergesa-gesa (memenuhi panggilan) dengan mengangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong. (Ibrahim/14: 43)

Ayat 10-11

Pada ayat ini kemudian dijelaskan bahwa orang-orang kafir yang mengingkari hari kebangkitan bertanya dengan nada penyesalan, “Apakah kami betul-betul dikembalikan seperti kehidupan semula?” Hal ini juga pernah mereka tanyakan, sebagaimana terdapat dalam firman Allah:

قَالُوْٓا ءَاِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَّعِظَامًا ءَاِنَّا لَمَبْعُوْثُوْنَ  ٨٢

Mereka berkata, “Apakah betul, apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, kami benar-benar akan dibangkitkan kembali? (al-Mu’minµn/23: 82)

Pada hari Kiamat pun mereka masih bertanya, “Apakah kami akan dibangkitkan juga apabila telah menjadi tulang-belulang yang hancur dan bersatu dengan tanah?” padahal ketika di dunia sudah dijelaskan dalam firman Allah:

وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَّنَسِيَ خَلْقَهٗۗ قَالَ مَنْ يُّحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيْمٌ   ٧٨  قُلْ يُحْيِيْهَا الَّذِيْٓ اَنْشَاَهَآ اَوَّلَ مَرَّةٍ ۗوَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيْمٌ ۙ  ٧٩

Dia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh?” Katakanlah (Muhammad), “Yang akan menghidupkannya ialah (Allah) yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk. (Yasin/36: 78-79)


Baca setelahnya: Tafsir Surah an-Nazi’at Ayat 12-22


(Tafsir Kemenag)

Mengenal Terjemahan Al-Quran Bersajak dalam Bahasa Aceh Karya Tengku Mahjiddin Jusuf

0
Terjemahan Al-Quran Bersajak
Terjemahan Al-Quran Bersajak Bahasa Aceh

Satu lagi khazanah terjemahan Al-Quran dalam bahasa daerah di Indonesia, yaitu terjemahan Al-Quran bersajak dalam bahasa Aceh yang ditulis oleh Tengku Haji Mahjiddin Jusuf. Judul lengkap terjemahannya yaitu Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai karya terjemahan ini.

Karir Keorganisasian dan Intelektualitas Tengku Mahjiddin Jusuf

Tengku H. Mahjiddin Jusuf lahir di Peusangan, Aceh Utara pada tanggal 6 September 1918. Dia berasal dari keluarga yang agamis, pendidikan pertamanya didapatkan langsung dari sang ayah, Tgk. Fakir Jusuf seorang ulama dan pengarang sya’ir. Keahlian menulis syairnya didapatkannya dari sang ayah.  

Layaknya muda-mudi Aceh pada zamannya, Tengku Mahjiddin menimba ilmu agama terlebih dahulu di beberapa dayah (pondok) baru kemudian melanjutkan pendidikan formalnya ke perguruan tinggi di Madrasah al-Muslim hingga tahun 1937 (sekarang menjadi Institut Agama Islam (IAI) Al-Muslim Aceh). Dalam kata pengantar bukunya disebutkan bahwa Tengku Mahjiddin pernah melanjutkan pendidikannnya di Padang sampai tahun 1941, namun tidak dijelaskan secara lebih spesifik.

Setelah menyelesaikan pendidikannnya secara formal Tengku Mahjiddin kembali ke Aceh dan ditunjuk sebagai pemimpin Madrasah al-Muslim, tetapi berhenti di tengah jalan karena dipilih sebagi Kepala Negeri (setingkat camat) di Peusangan, dan tidak berlangsung lama dia kemudian dipindahkan ke Banda Aceh dan ditugaskan sebagai Kepala Pendidikan Agama.

Karena kepiawannya dalam memimpin, dia mendapatkan kepercayaan yang lebih tinggi, yaitu sebagai Kepala Pendidikan Agama  provinsi Sumatra Utara, namun jabatan ini hanya sebentar diemban (1951-1952) dan kembali lagi ke Aceh menjabat sebagai Kepala Pendidikan Agama di Aceh.

Jabatan lain yang pernah diembannya adalah sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mewakili partai politik Islam (MASYUMI) Majelis Syura Muslim Indonesia  dan anggota Majelis Ulama Indonesia untuk daerah Aceh.

Walaupun dia banyak berkecimpung di dunia pemerintahan, dia tetap berdedikasi di bidang agama. Tengku Mahjiddin adalah seorang imam di Masjid Baiturrahman Banda Aceh, dan dia juga menulis beberapa buku pelajaran untuk Sekolah Rakyat Indonesia (SRI) dalam bidang tafsir dan bahasa Arab, seperti terjemahan Al-Quran bersajak dalam bahasa Aceh ini. Ia juga mulai merintis pengajaran tahfidz Al-Quran pada tahun 1990.

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran mencatat karya Tengku Mahjiddin yang lain yang ditulis dalam bahasa Aceh seperti ‘Hikayat Nabi Yusuf’, juga beberapa hikayat (syair dalam bahasa Aceh yang lain) dan buku tentang ayahnya yang berjudul ‘Fakir Jusuf, Penulis Hikayat Aceh’. Beberapa karya hikayatnya dan buku yang terakhir ini belum sempat diterbitkan.

Atas jasa dan pengabdiannya kepada Al-Quran, termasuk pula karya terjemahan Al-Quran bersajak tersebut, lembaga resmi pentashih mushaf Al-Quran ini memasukkan Tengku Mahjiddin sebagai salah satu di antara ulama, para penjaga Al-Quran. Ia meninggal dunia pada malam Hari Raya Idul Fitri tahun 1414 H bertepatan dengan 14 Maret 1994 M.

Latar Belakang Penulisan Terjemah

Tengku Mahjiddin mulai melakukan penerjemahan pada tanggal 25 November 1955 ketika dia dalam tahanan. Empat tahun Mahjiddin pernah mendekam di penjara Binjai, tepatnya setelah peristiwa pemberontakan Aceh tahun 1953. Selama dalam tahanan dia hanya menerjemahkan tiga surat, yaitu: QS. Yasin [36], QS. al-Kahfi [18], dan QS. al-Insyirah dan diterbitkan di Harian Duta Pantjatjita Banda Aceh tahun 1965. Proses penerjemahan sempat terhenti selama 20 tahun kemudian dilanjutkan kembali pada tahun 1977 dan selesai pada tahun 1988.

Dalam kata pengantar buku Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, penyunting mengatakan bahwa dalam melakukan penerjemahan Tengku Mahjiddin bukan sekedar memberikan informasi, tetapi juga berupaya mempengaruhi emosi pembaca, seperti berusaha mendekatkan makna dengan latar budaya dan lingkungan pembaca.

Penjelasan ini secara tidak langsung bisa mengidentifikasi alasan Tengku Mahjiddin dalam menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Aceh, yaitu agar masyarakat Aceh memahami isi kandungan Al-Qur’an dan merasakan Al-Qur’an berbicara kepadanya.

Pendekatan makna terhadap latar budaya salah satunya dapat dilihat ketika Tengku Mahjiddin  menerjemahkan firman Allah Q.S At-Tin [95]: 1

وَالتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِۙ

Tengku Mahjiddin menerjemahkan teks tersebut dengan Demi boh ara dan boh zaitun. Ketika ditanya oleh tim penyunting mengapa Tengku Mahjiddin menerjemahkan buah tin menjadi buah ara, dia menjawab bahwa buah zaitun sudah dikenal di Aceh sekurang-kurangnya dari minyaknya, sedangkan buah tin hampir tidak dikenal. Oleh karena itu ia lebih memilih terjemahan boh ara.

Metode Terjemahan dan Sumber

Pada awalnya Al-Quran terjemahan ini ditulis dengan Arab Jawi. Dan setelah mengalami beberapa proses penyuntingan dari tahun 1993-1994, untuk pertama kalinya terjemahan Al-Quran  ini diterbitkan dengan bahasa latin. Selama proses penyutingan, tim penyunting selalu berkonsultasi langsung dengan Tengku Mahjiddin sehingga apabila ada kata atau kalimat yang perlu diubah maka penyunting meminta beliau sendiri yang mengganti kata atau kalimat tersebut.

Sesuai dengan jenis terjemahannya, terjemah Al-Quran bersajak dalam bahasa Aceh ini, akan langsung terlihat sajak pada setiap penggalan ayat yang diterjemahankannya. Setiap penggalan ayat terdiri dari empat baris dan setiap empat baris memiliki sepuluh suku kata dan setiap akhir baris ada persamaan bunyi.

Dalam proses terjemahan, Tengku Mahjiddin lebih dulu menangkap maksud teks baru kemudian memformulasikannya dalam sajak bahasa Aceh. Hal ini terbilang rumit karena harus memenuhi syarat dan kriteria yang tidak ada dalam terjemahan bebas.

Metode terjemahan yang dipakai dalam terjemah Al-Quran bersajak ini adalah metode tarjamah tafsiriyyah, sebagaimana defenisi tarjamah tafsiriyyah oleh Manna’ Khalil al-Qattan dalam kitabnya Maba>his fi Ulum Alqur’a>n, yaitu menjelaskan menjelaskan  makna kalimat dengan bahasa lain tanpa terikat kepada kaidah-kaidah atau struktur bahasa asal. Terjemahan  jenis ini tidak mengabaikan penjagaan kaidah dan struktur bahasa asal, selama penerjemah sanggup mengungkap makna dari teks yang diterjemahkan.

 Dalam proses terjemahannya, Tengku Mahjiddin merujuk kepada beberapa kitab-kitab tafsir di antaranya adalah kitab al-Mishba@hu al-Munir fi Tahdzibi Tafsi@r karya Ibn Kastir, Tafsir Al- Kasya@f karya al-Zamakhsyari, Jami’ al-Bayan ‘an ta’wi@li Alquran karya Ibnu Jarir al-Thabari. Kemudian untuk bahan pembanding terjemahan bahasa Indonesia, Tengku Mahjiddin merujuk Alquran Bahasa Indonesia susunan A. Hassan, Mahmud Yunus, H.B Jassin dan Alquran Terjemahan Kementrian Agama Republik Indonesia.

Demikian sekilas tentang terjemahan Al-Quran bersajak ini, karya tersebut tentu menambah warna dalam dunia dan kajian terjemahan Al-Quran di Indonesia. Wallahu A’lam.

 

Al-Hujurat Ayat 13: Pentingnya Silaturahmi Sebagai Bagian dari Ajaran Islam

0
Silaturahmi (Ilustrasi)
Silaturahmi (Ilustrasi)

Artikel ini akan menjelaskan surat al-Hujurat Ayat 13 dan kaitannya dengan silaturahmi. Sebagai makhluk berakal Allah Swt memerintahkan kita sesama manusia untuk menjalin silaturahmi. Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-‎laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa ‎dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang ‎yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling ‎takwa. Sesunggguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” ‎‎(Q.S. Al-Hujurat: 13)‎

Salah satu ajaran penting dalam Islam yang mendapat perhatian cukup ‎besar dari Allah dan Rasul-Nya adalah silaturahim. Dalam konteks Indonesia, ‎biasanya kata ‘silaturahim’ diucapkan dengan ‘silaturahmi’. Kedua-duanya ‎bermakna menyambung ikatan persaudaraan. Tidak ada perbedaan makna ‎sama sekali dalam kedua istilah tersebut, dan tidak perlu diperdebatkan.‎

Baca Juga: Krisis Kemanusiaan, Gus Mus Serukan Para Kyai Memviralkan Kandungan Surat Al-Hujurat

Silaturahim secara bahasa berasal dari dua kata dalam bahasa Arab, yaitu ‎kata ‘shilatun’, yang menurut Al-Raghib Al-Asfahani dalam kitabnya Al-‎Mufradat fi Gharib al-Qur’an, berarti menyatunya beberapa hal, sebagian ‎dengan yang lain, dan kata ‘al-rahimu’ , yang menurut Ibnu Manzur dalam ‎Kamus Lisan al-‘Arab, berarti hubungan kekerabatan.‎

Dengan demikian, makna silaturahim adalah menyambung tali ‎persaudaraan kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab. Inilah makna ‎silaturahim secara istilah sesuai pengertian dari rangkaian katanya. ‎

Adapun makna silaturahim yang lebih luas adalah menghubungkan ‎ikatan persaudaraan baik dengan kerabat yang memiliki hubungan nasab, ‎atau pun dengan orang lain yang tidak ada hubungan nasab. Menjalin relasi ‎dengan teman sepergaulan, rekan kerja, atau pun orang lain yang belum kita ‎kenal sama sekali merupakan bentuk dari silaturahim.‎

Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw menyatakan, “Barangsiapa yang ‎senang untuk dilapangkan (atau diberkahi) rezekinya, atau ditunda ‎‎(dipanjangkan) umurnya, maka hendaknya ia bersilaturahim.” (Muttafaqun ‎‎‘Alaih)‎

Setiap orang tentu ingin diberi kelapangan dan keberkahan rezeki serta ‎diberi umur panjang yang bermanfaat. Karena dengan rezeki melimpah nan ‎berkah serta umur panjang yang bermanfaat, maka kebahagiaan hidup ada ‎dalam genggaman. Belum lagi kelak di akhirat, orang yang dikaruniai rezeki ‎melimpah dan dipergunakan untuk kepentingan fi sabilillah, juga umur ‎panjang yang diisi dengan amal shalih, akan mendapat kebahagiaan abadi di ‎sisi Allah Swt.‎

Di sisi lain, silaturahim akan mendekatkan yang jauh, semakin ‎mengakrabkan yang sudah dekat, menghadirkan kebahagiaan, melimpahkan ‎rahmat, mengundang keberkahan.‎

Silaturahim akan menguatkan jalinan persaudaraan, persahabatan, dan ‎pertemanan. Silaturahim akan menghilangkan syak wa sangka, menepis rasa ‎saling curiga, serta meredam percik-percik api permusuhan dan pertikaian. ‎

Sungguh betapa mulianya orang-orang yang senang bersilaturahim. ‎Dalam diri mereka tak ada benci, apalagi dendam. Yang ada hanyalah rasa ‎cinta dan kasih sayang dengan sesama. Sesama keluarga, sesama rekan ‎kerja, sesama tetangga, sesama orang-orang di lingkungan tempat mereka ‎tinggal.‎

Mereka inilah, yang disebut dalam hadis di atas, sebagai orang-orang ‎yang akan selalu dilepangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya.‎

Bahkan di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, semakin luas lagi cara kita untuk bersilaturahmi. Meskipun pada awalnya pola silaturahmi via video call seperti ini agak canggung, tetapi lama kelamaan orang semakin terbiasa dengan ini. Sekarang kita tidak harus saling berkunjung dan mengobrol di dalam satu tempat bahkan waktu, silaturahmi secara bersamaan bisa dilakukan via Zoom, Google Meet, dan aplikasi sejenisnya.

Akhir kalam, semoga kita termasuk ke dalam bagian orang-orang yang senang ‎bersilaturahim.‎ Amin. Wallau A’lam.

Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 31-40

0
tafsir surah an naba'
Tafsiralquran.id

Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 31-40 berbicara mengenai kenikmatan surgawi. Nikmat yang betul-betul diangankan sebagai kenyamanan ketika di dunia. Angan-angan itu kelak akan terwujud ketika di surga.


Baca juga: Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 22-30


Beberapa contoh nikmat yang digambarkan oleh Tafsir Surah an-Naba’ Ayat 31-40 ini adalah kebun-kebun kurma dan buah lainnya seperti anggur yang lezat. Selain penggambaran kebutuhan jasmani ada juga penggambaran kebutuhan rohani. Misalnya disediakan bidadari bagi laki-laki. Semua kenikmatan itu tidak akan didapat tanpa ketakwaan yang tulus.

Ayat 31

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang yang bertakwa itu benar-benar akan mendapat kemenangan dan kebahagiaan dengan penghormatan dan pahala yang besar di dalam surga.

Ayat 32

Di dalamnya terdapat berbagai nikmat, antara lain berupa kebun-kebun kurma dan buah anggur yang sangat lezat rasanya, cocok dengan selera, dan sedap dalam pandangan mata.

Ayat 33

Lalu diterangkan pula bahwa di dalam surga itu terdapat pula banyak bidadari yang cantik, montok, dan sebaya usianya. Kesenangan bergaul dengan kaum wanita yang biasanya merupakan kesenangan yang memuncak di dunia, akan dialami pula oleh ahli surga dengan cara yang lebih sempurna, tetapi tidak dapat dibayangkan bagaimana terjadinya nanti.

Ayat 34

Di dalamnya juga terdapat hidangan-hidangan minuman yang dikemas dalam gelas-gelas yang penuh. Dalam firman Allah yang lain dinyatakan:

وَيُسْقَوْنَ فِيْهَا كَأْسًا كَانَ مِزَاجُهَا زَنْجَبِيْلًاۚ  ١٧

Dan di sana mereka diberi segelas minuman bercampur jahe. (al-Insan/76: 17)

Ayat 35

Di dalam surga itu, mereka tidak mendengar perkataan yang tidak berarti atau sia-sia dan tidak pula perkataan yang dusta walaupun mereka meminum arak, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah:

يَتَنَازَعُوْنَ فِيْهَا كَأْسًا لَّا لَغْوٌ فِيْهَا وَلَا تَأْثِيْمٌ   ٢٣

(Di dalam surga itu) mereka saling mengulurkan gelas yang isinya tidak (menimbulkan) ucapan yang tidak berfaedah ataupun perbuatan dosa. (at-Tµr/52: 23)

Ayat 36

Dalam ayat ini diterangkan bahwa kemenangan dan kebahagiaan yang besar itu adalah pemberian yang banyak dari Allah, sebagai rahmat dan karunia-Nya kepada hamba yang taat kepada-Nya.

Ayat 37

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa Dialah Tuhan Yang memelihara langit dan bumi dan segala yang berada di antaranya dengan sifat-Nya sebagai Tuhan Yang Maha Pemurah. Keagungan Allah pada hari Kiamat itu tampak sekali, tidak seorang pun yang akan berbicara dengan Allah, melainkan dengan izin-Nya.


Baca juga: Keistimewaan Jahe (Zanjabil) dalam Al-Qur’an


Ayat 38

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa pada hari Kiamat itu Malaikat Jibril dan para malaikat lainnya berdiri bersaf-saf menunggu perintah Allah. Mereka tidak berkata apa pun kecuali setelah diberi izin oleh Allah Yang Maha Pemurah. Kata-kata yang mereka ucapkan pun ketika itu hanya kata-kata yang benar.

Ayat 39

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa hari Kiamat itu pasti terjadi dan persoalan-persoalan yang tadinya tertutup atau tersembunyi pasti akan diungkapkan. Begitu pula apa-apa yang tersimpan dalam hati manusia, pada hari itu pasti diperlihatkan.

Oleh karena itu, Allah mendorong mereka agar bertambah dekat kepada-Nya dan melakukan perbuatan yang menjauhkan diri dari azab-Nya. Dengan demikian, ia pasti menempuh jalan kembali kepada Tuhannya dengan penuh kebahagiaan.

Ayat40

Ayat ini memberi peringatan kepada orang-orang kafir bahwa sesungguhnya Allah telah memberi peringatan kepada mereka dengan siksaan yang dekat.

Setiap orang harus mengerti bahwa apa saja yang akan dialaminya telah dekat waktu terjadinya. Soal jarak waktu bukanlah suatu hal yang penting, tetapi yang penting adalah peristiwa itu pasti akan dialaminya.

Maka seorang yang berakal sehat selalu bersiap-siap untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan dijumpainya. Pada hari itu, manusia akan melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya, sebagaimana dijelaskan pula dalam firman Allah:

يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَّا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُّحْضَرًا  ۛوَمَا عَمِلَتْ مِنْ سُوْۤءٍ ۛ تَوَدُّ لَوْ اَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهٗٓ اَمَدًاۢ بَعِيْدًا

(Ingatlah) pada hari (ketika) setiap jiwa mendapatkan (balasan) atas kebajikan yang telah dikerjakan dihadapkan kepadanya, (begitu juga balasan) atas kejahatan yang telah dia kerjakan. Dia berharap sekiranya ada jarak yang jauh antara dia dengan (hari) itu. (Ali Imran/3: 30)

Pada hari itu, orang kafir akan berkata dengan penuh kesedihan dan penyesalan, “Andai kata aku dahulu di dunia hanya menjadi tanah, dan tidak menjadi manusia yang durhaka kepada Tuhan.”


Baca setelahnya: Tafsir Surah an-Nazi’a’t Ayat 1-10


(Tafsir Kemenag)

Keistimewaan Jahe (Zanjabil) dalam Al-Qur’an

0
Keistimewaan Jahe (Zanjabil) dalam Al-Qur’an
Keistimewaan Jahe (Zanjabil) dalam Al-Qur’an

Di musim penghujan seperti ini, kekuatan daya tahan tubuh sangat dibutuhkan. Apalagi pandemi corona belum juga menampakkan angka penurunan yang signifikan. Pola makan sehat menjadi kebutuhan utama. Salah satu upaya yang dapat kita lakukan adalah minum jahe. Selain menghangatkan badan, jahe juga dipercaya banyak memiliki manfaatnya bagi tubuh. Dan berikut adalah keistimewaan jahe (Zanjabil) dalam al-Qur’an.

Dalam Al-Qur’an jahe disebut dengan zanjabil, yaitu pada QS. Al-Insan [76]:17 sebagai berikut:

وَيُسْقَوْنَ فِيهَا كَأْسًا كَانَ مِزَاجُهَا زَنجَبِيلًا

“Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe”

Meskipun pada ayat tersebu disebutkan tentang jahe, tentu jahe di surga berbeda dengan rasa jahe yang ada di dunia saat ini. Ibnu ‘Abbas sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya (3391) berkata:

لَيْسَ فِي الْجَنَّةِ شَيْءٌ اِلَّا قَدْ اُعْطِيْتُمْ فِيْ الدُّنْيَا شِبْهَهُ اِلَّا قَوَارِيْرَ مِنْ فِضَّةٍ

Tidak ada suatu apa pun dalam surga, melainkan di dunia telah dianugerahkan Allah kepadamu sesuatu yang mirip dengan itu, kecuali botol-botol yang terbuat dari perak.

Baca juga: Keistimewaan Buah Delima (Ar-Rumman) yang Disebut dalam Al-Quran

Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir (15/321) juga mengutip pernyataan Ibnu Abbas berikut ini:

وَكُلُّ مَا ذَكّرَ اللهُ فِيْ الْقُرْآنِ مِمَّا فِي الْجَنَّةِ فَلَيْسَ مِنْهُ فِيْ الدُّنْيَا اِلَّا الْإِسْم

Semua yang disebutkan Allah di dalam Al-Qur’an mengenai sesuatu di surga, tidak ada di dunia ini kecuali hanya namanya.

Oleh karena itu, mungkin mengapa Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid (2/588) menafsirkannya dengan مَا يُشْبِهُ بِالزَّنْجَبِيْلِ (sesuatu yang menyerupai dengan jahe). Karena keduanya memang tidak sama.

Begitu pula dengan Az-Zuhaili dalam tafsirnya (15/318) yang menafsirkan kata zanjabil dengan مَاءٌ يُشْبِهُ الزَّنْجَبِيْلَ فِيْ الطَّعْمِ (air yang menyerupai jahe dalam rasanya). Selanjutnya, Az-Zuhaili menggambarkan bahwa zanjabil merupakan tumbuhan yang memiliki akar yang ditaruh sebagai campuran bumbu-bumbu. Jahe memiliki bau yang harum dan rasa pedas di lidah. Jahe tumbuh di daerah Syam, India, dan China.

Baca juga: Keistimewaan Pohon Kurma (Nakhl) yang Disebutkan dalam Al-Qur’an

Tidak kalah dengan beberapa daerah di atas, begitu juga negeri kita Indonesia yang kaya akan rempah-rempah, hal ini menjadikan jahe juga mudah ditemukan di negeri kita. Bahkan dalam Tafsir Al-Azhar (X/7800) Buya Hamka menyatakan, dari zaman dahulu orang Arab suka sekali meminum minuman yang dicampurkan sepedas atau jahe yang dimasak lebih dahulu dan diminum sedang panas-panas, terutama jadi minuman di musim dingin. Mereka namai syarbat: (شربة) yang berarti minuman. Minuman bercampur jahe (sepedas) ini dibuat oleh bangsa kita dan dipakai juga nama Arabnya lalu diindonesiakan dengan nama serbat. Dinamai oleh orang Banggali mandret.

Dari kutipan tafsir di atas bisa diambil kesimpulan bahwa jahe merupakan salah satu tumbuhan yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan menjadi salah satu campuran minuman bagi penduduk surga. Walaupun jahe dunia dan surga tidak sama, tapi tidak ada salahnya juga kita mengetahui seluk beluk mengenainya. Bagi sebagian orang yang mau berfikir, tentu ayat di atas tidak terlewatkan begitu saja. Akan muncul berbagai macam pertanyaan seputarnya. Misalnya, dia akan bertanya apa kandungan dan manfaatnya?

Kandungan Dan Manfaat Jahe (Zanjabila)

Dalam Shofwah At-Tafasir (3/494) Syekh Ali Ash-Shobuni menyebutkan bahwa orang-orang Arab menikmati minuman yang dicampur dengan jahe karena harum baunya. Dijelaskan oleh Abdul Basit Muhammad As-Sayyid dalam bukunya Rahasia Pola Makan Nabi SAW (184) bahwa akar-akar jahe mengandung getah, lemak, tepung (amilum), dan volative oil yang memberikan aroma harum yang khas, dan juga getah minyak non volative (gingerin) yang memberikan rasa yang tajam.

Selain itu, dalam buku Makanan dan Minuman Dalam Al-Qur’an (38) disebutkan bahwa jahe juga mengandung magnesium (Mg) yang bermanfaat untuk membantu pembentukan sel darah merah, mencegah tekanan darah tinggi, serangan jantung, kram otot, diabetes dan asma.

Baca juga: Inilah 8 Manfaat Buah Zaitun, Buah yang Disebut dalam Al-Quran

Selanjutnya dalam buku Rahasia Ramuan Sehat dari Al-Qur’an (51-52) disebutkan manfaat dari jahe, antaralain menghindari sakit kepala, migran, obat batuk, masuk angin, flu, kram saat menstruasi, menurunkan kolesterol, membantu pencernaan, menambah aroma. Menariknya, pada bagian akhir disebutkan jahe juga bisa sebagai antivirus dan penambah daya tahan tubuh. Tentu ini sangat tepat dikonsumsi di musim seperti ini.

Dengan banyaknya manfaat tadi, tidak heran jika Al-Qur’an menyinggung tentang jahe. Hal itu cukup sebagai isyarat bagi kita untuk mengungkap lebih jauh mengenai kandungan jahe sehingga kita dapat mengambil manfaat dari salah satu tumbuhan yang telah Allah ciptakan ini.

Al-Qur’an sering kali mengajak kita untuk berfikir tentang ciptaan-Nya. Karena dengan berfikir akan muncul berbagai macam pertanyaan, kemudian berusaha mencari jawabannya. Sehingga pada akhirnya dengan penuh kesadaran akan mengucapkan “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia” QS. Ali Imran [3]: 191. Hadanallah.[]

Hukum Membaca Al-Quran dalam Keadaan Hadas

0
Hukum membaca Al-Quran dalam keadaan hadas
Hukum membaca Al-Quran dalam keadaan hadas

Apakah orang yang sedang hadas boleh membaca Al-Quran? Menjawab pertanyaan ini mungkin membuat orang agak merasa gamang. Kalau membaca ini diartikan membaca Al-Quran berdasar ingatan, maka mungkin sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang yang hadas besar tidak diperbolehkan. Namun bagaimana dengan orang yang berhadas kecil?, bagaimana hukum membaca Al-Quran baginya?

Ulama bersepakat bahwa membaca Al-Quran bukanlah larangan bagi orang tidak memiliki wudhu. Tidak dihukumi haram juga makruh. Fakta ini mungkin agak sedikit membingungkan bagi orang yang memiliki pandangan, bahwa larangan membaca atau menyentuh Al-Quran bagi orang yang hadas, disebabkan Al-Quran tidaklah boleh diakses kecuali oleh orang yang suci berdasar surat Al-Waqi’ah ayat 79.

Baca juga: Bagaimana Hukum Menyentuh Al-Quran Terjemah Bagi Orang yang Hadas?

Al-Quran hanya boleh disentuh oleh orang yang suci

Allah berfirman di dalam surat Al-Waqi’ah ayat 79:

لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ

Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan (QS. Al-Waqi’ah [56] 79).

Mengaitkan larangan membaca dan menyentuh Al-Quran bagi orang yang hadas dengan ayat di atas, dan memahami larangan “menyentuh” di dalam ayat sebagai “mengakses” sehingga memasukkan tindakan membaca, tidaklah sepenuhnya tepat. Memang benar ulama’ fikih melarang orang orang yang hadas menyentuh Al-Quran berdasar ayat di atas. Namun larangan membaca Al-Quran bagi orang yang hadas, tidak ada kaitannya dengan ayat di atas.

Dalam kitab-kitab tafsir sendiri dijelaskan, ulama’ fikih memahami bahwa “menyentuh” yang dimaksud adalah secara hakikat. Bukan secara metafora yang kemudian dikaitkan dengan arti “mengakses”, dan kemudian berdampak bahwa membaca Al-Quran juga diharamkan oleh orang yang berhadas. Larangan menyentuh ini kemudian diakitkan dengan berbagai hadis yang menyatakan larangan menyentuh Al-Quran bagi orang yang tidak suci dari hadas (Tafsir Ibn Katsir/7/545).

Baca juga: Riwayat Hadis Tentang Perumpamaan Orang yang Membaca Al-Quran

Imam Ar-Razi menyatakan, bisa saja Imam As-Syafi’i mengambil kesimpulan larangan menyentuh Al-Quran bagi orang yang hadas dari ayat di atas, didasari bahwa dalam tindakan “menyentuh” ada unsur penghormatan dan penghinaan. Menyentuh dalam keadaan suci adalah penghormatan, sedang dalam keadaan hadas adalah penghinaan. Namun adakalanya seseorang tidak dikategorikan menghormati ataupun menghina. Yaitu saat ia tidak menyentuh Al-Quran (Mafatihul Ghaib/15/188).

Larangan membaca Al-Quran bagi orang yang memiliki hadas besar adalah berdasar beberapa hadis yang salah satunya diriwayatkan Ibn ‘Umar dan berbunyi:

« لاَ تَقْرَإِ الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ »

Janganlah orang yang haid dan junub membaca sedikitpun dari Al-Quran (HR. At-Tirmidzi dan Al-Baihaqi) (Al-Majmu’/2/158).

Orang berhadas kecil boleh menyentuh Al-Quran

Bila hukum membaca Al-Quran bagi orang yang berdasar besar didasarkan selain dari Al-Waqi’ah ayat 79, maka begitu pula bagi orang yang berhadas kecil. Ulama menyatakan bahwa orang yang berhadas kecil boleh membaca Al-Quran, salah satunya berdasar hadis yang diriwayatkan dari sahabat Ali ibn Abi Thalib, bahwa ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْضِى حَاجَتَهُ فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ ، وَيَأْكُلُ مَعَنَا اللَّحْمَ ، وَلَمْ يَكُنْ يَحْجُبُهُ عَنِ الْقُرْآنِ شَىْءٌ لَيْسَ الْجَنَابَةَ

Rasulullah salallahualaihi wasallam membuang hajat kemudian membaca Al-Quran dan memakan daging bersama kami. Tidak ada sesuatupun yang menghalangi beliau dari Al-Quran kecuali junub (HR. Al-Baihaqi)

Baca juga: Sujud Tilawah, Sujud Tatkala Membaca Ayat Sajdah

Imam An-Nawawi berkata di dalam kitab At-Tibyan, ulama’ sepakat membolehkan orang yang berhadas kecil untuk membaca Al-Quran. Cukup banyak hadis yang menjadi dasar atas pendapat tersebut. Imam An-Nawawi juga mengutip pernyataan Imam Haramain, bahwa orang yang berhadas kecil kemudian membaca Al-Quran tidaklah dikategorikan sebagai melakukan hal yang dimakruhkan. Ia hanya dikategorikan orang yang meninggalkan sesuatu yang “lebih utama” (At-Tibyan/58).

Berbagai keterangan di atas menunjukkan kepada kita, agar tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan atas sebuah dalil yang terdengar familiar di telinga kita. Sebab sebuah hukum digali dari sebuah dalil, melalui metode khusus salah satunya mengkomparasikan dengan dalil-dalil lain yang berkaitan. Tidak secara serampangan dan terkesan bersikap “yang penting ada dalilnya”. Wallahu a’lam[]