Beranda blog Halaman 412

Anjuran Menjaga Diri Dari Orang Yang Berpikir Buruk: Surat Yusuf Ayat 67

0
Menjaga Diri Dari Orang Yang Berpikir Buruk: Surat Yusuf Ayat 67
Menjaga Diri Dari Orang Yang Berpikir Buruk: Surat Yusuf Ayat 67

Salah satu hal unik yang dapat kita temukan pada kisah Nabi Yusuf di dalam Al-Qur’an, adalah saat ke-9 anak Nabi Ya’qub hendak memasuki Mesir, Nabi Ya’qub meminta mereka masuk dari pintu yang berbeda-beda. Kebanyakan ahli tafsir menyatakan, hal ini disebabkan Nabi Ya’qub takut anak-anaknya akan terkena sesuatu hal buruk yang diistilahkan sebagai Al-‘Ain, yang mana dijelaskan pada surat Yusuf ayat 67.

Al-‘Ain dapat diartikan sebagai pandangan mata dari orang yang memiliki pikiran buruk. Anak-anak Nabi Ya’qub memiliki perawakan yang rupawan dan berwibawa. Hal ini membuat Nabi Ya’qub khawatir bila sosok mereka akan mengundang perhatian orang yang melihat mereka dan kebetulan memiliki pikiran yang buruk. Tindakan Nabi Ya’qub ini dapat menjadi pelajaran bagi kita untuk berusaha menjaga diri dari pandangan orang yang berpikiran buruk.

Sabda Nabi Muhammad Tentang Al-‘Ain

Allah berfirman di dalam surat yusuf ayat 67:

وَقَالَ يَا بَنِيَّ لا تَدْخُلُوا مِنْ بَابٍ وَاحِدٍ وَادْخُلُوا مِنْ أَبْوَابٍ مُتَفَرِّقَةٍ وَمَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَعَلَيْهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ

Dan Ya’qub berkata: “Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; Namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah. Kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri”(QS: Yusuf [12] 67).

Baca juga: Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya

Imam Ar-Razi menyatakan bahwa berdasar pendapat mayoritas ahli tafsir, alasan Nabi Ya’qub meminta anak-anaknya memasuki Mesir dari pintu yang berbeda-beda, adalah Nabi Ya’qub khawatir anak-anaknya terkena Al-‘Ain. Imam Ar-Razi kemudian menyebutkan beberapa hadis yang membuktikan terhadap keberadaan Al-’Ain pada kitab Mafatihul Ghaib.

Diantara hadis yang Imam Ar-Razi sebutkan adalah:

قَالَ كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعَوِّذُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ وَيَقُولُ « إِنَّ أَبَاكُمَا كَانَ يُعَوِّذُ بِهَا إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ ، أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ »

Berkata Ibn ‘Abbas: “Suatu kali Nabi pernah meminta perlindungan dengan sebuah kalimat, untuk Hasan dan Husain. Nabi bersabda: ‘Sesungguhnya ayah kalian, yaitu Isma’il dan Ishaq, meminta perlindungan dengan kalimat tersebut. Yaitu kalimat: ‘Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari tiap-tiap setan, hewan berbisa, dan penyakit yang mengenai manusia (HR. Imam Bukhari)

Pengertian Serta Cara Kerja Al-‘Ain

Al-‘Ain menurut Ibn Hajar Al-‘Asqalani adalah pandangan kagum bercampur dengan rasa iri, yang muncul dari watak buruk seseorang dan memunculkan dampak buruk pada orang yang dipandang. Dampak buruk yang muncul dari Al’-‘Ain bukanlah semacam tindakan buruk yang kasat mata. Namun lebih kepada rasa tidak nyaman pada tubuh meski si orang yang berwatak buruk tersebut sekedar memandang orang yang ia pandang, tanpa melakukan tindakan lain.

Baca juga: Potret Persaudaraan Muhajirin dan Anshar Yang Diabadikan Al-Quran

Memang bila dicerna akal pikiran agak tidak masuk akal. Bagaimana bisa hanya sekedar pandangan mata bisa memberi pengaruh kepada orang yang dipandang. Namun menurut banyak ulama’, Al-‘Ain benar-benar ada dan berulangkali disinggung oleh Nabi muhammad. Pada Fathul Bari Ibn Hajar mencontohkan pengaruh Al-‘Ain sebagaimana orang yang memiliki mata sehat bisa menjadi belekan sebab memandang mata orang yang belekan. Dan bagaimana saat satu orang menguap di samping yang lain, maka yang lain ikut menguap.

Sebagai penutup, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsirnya menyatakan, menurut mayoritas ahli tafsir, Surat Yusuf ayat 67 adalah dasar anjuran berlindung dari Al-‘Ain. Al-‘Ain adalah benar ada. Namun pada hakikatnya yang memunculkan dampak buruk di dalam Al-‘Ain adalah Allah semata, dan mata manusia hanya sebagai lantaran semata.  wallahu a’lam bisshowab.

Tafsir Surah Al-Insan Ayat 17: Jahe dalam Tinjauan Al-Quran

0
Jahe dalam Tinjauan Al-Quran
Jahe dalam Tinjauan Al-Quran

Jahe termasuk bahan rempah-rempah yang biasa kita temui sehari-hari di dapur rumah. Selain digunakan sebagai bumbu masakan, jahe juga sering dibuat minuman yang memiliki manfaat penyembuhan. Nama jahe ternyata juga disebutkan oleh Al-Quran dengan makna konotasi positif, yaitu dalam surah Al-Insan ayat 17. Lalu, bagaimanakah tinjauan Al-Quran tersebut mengenai tumbuhan yang dalam bahasa Arab disebut dengan “zanjabil” alias jahe tersebut? Simak penjelasan berikut ini!

Baca juga: Inilah 8 Manfaat Buah Zaitun, Buah yang Disebut dalam Al-Quran

Tafsir surah Al-Insan ayat 17

وَيُسْقَوْنَ فِيهَا كَأْسًا كَانَ مِزَاجُهَا زَنجَبِيلًا

“Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe.”

Thantawi Jauhari menyebutkan dalam kitab tafsirnya Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim bahwa Surah Al-Insan ini adalah Surah madaniyyah, jumlah ayatnya 31, dan diturunkan setelah Surah Ar-Rahman. Jauhari mengungkapkan bahwa maksud diturunkannya Surah ini menjelaskan al-aktsa al-maqsud, as-tsani al-maqsud, dan as-tsalits al-maqsud. Dari ketiga tujuan tersebut, potongan ayat 17 terletak pada bagian kedua, yakni balasan orang-orang yang bersyukur, orang-orang afir, dan sifat surga-neraka.

Masih dalam Tafsir Jawahir, Jauhari selanjutnya menginterpretasi ayat ini secara lafdziyahnya. Lafadz ويسقون oleh Thantawi diartikan dengan kata al-abrar adalah bentuk jamak dari kata barr dan baarr yang bermakna kebenaran. Kemudian kata ini melahirkan turunan kkata taat, dan kata-kata bermakna baik lainnya seperti kejujuran, menepati janji dan lain-lain. Seseorang yang disifati dengan kata barr atau baarr berarti dia yang meluas lagi banyak kebaikan serta kebaktiannya. Jadi dalam hal ini kata al-abrar bisa dimaknai dengan kalimat orang-orang yang taat atau berbuat kebaikan. Dalam artian, ayat tersebut memang ditujukan untuk orang-orang yang saleh dan taat.

Baca juga: Keistimewaan Buah Delima (Ar-Rumman) yang Disebut dalam Al-Quran

Mengenai maksud ayat ini apa yang diberikan, Jauhari juga memberikan penjelasan bahwa di sana (dalam surga) mereka disuguhi (segelas) khamr, karena lafadz ka’s dimaknainya sebagai khamr. Pemaknaan segelas khamr oleh Jauhari ini serasi dengan Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah bahwa jika wadah tersebut kosong maka penyebutan biasanya menggunakan ina’. Sedangkan penyebutan kata ka’s sendiri memang sering digunakan untuk menyebut wadah yang berisi khamr. Satu hal pasti yang telah dijanjikan Allah bahwa memang para ahli surga tersebut mendapatkan fasilitas mewah, termasuk suguhan yang mereka minum sebagaimana dijelaskan di awal.

At-Thabari dalam Tafsir Jami’ul Bayan mengungkapkan mengenai asbabun nuzul ayat ini yang ternyata berkenaan dengan tawanan kaum musyrikin yang diperlakukan buruk oleh kaum muslimin. Kemudian turunlah ayat ini dan Rasulullah memerintahkan kaum muslim agar memperlakukan mereka dengan baik. Karena jika menelisik teks siyakul kalam dari ayat-ayat sebelumnya yang berbicara balasan untuk orang-orang kufur, ayat ini adalah penjelasan lanjutan mengenai balasan bagi mereka yang bersyukur dan taat. Hal ini memberikan satu isyarat yang jelas tentang kebaikan dan orang-orang saleh, serta menunjukkan bahwa mereka diselamatkan dari siksa buruk dan menyakitkan di akhirat. Mereka diliputi cahaya keindahan Ilahiah dan dipenuhi rasa bahagia.

Baca juga: Surah Al-Qalam Ayat 17-29: Kisah Pemilik Kebun dan Sebuah Penyesalan

Jahe, minuman ahli surga

Surah Al-Insan ayat 17 menunjukkan suatu balasan yang baik bagi penduduk surga, yaitu berupa minuman yang campurannya adalah jahe, atau yang disebut Al-Quran dengan lafzd zanjabil. Kata zanjabil ini ternyata dimaknai beragam oleh mufassir. Namun, dari kebanyakan pendapat mufassir Jauhari menyimpulkan bahwa zanjabil adalah sebuah tanaman tropis yang tumbuh dengan akar beraroma yang digunakan untuk menyedapkan makanan dan minuman. Dalam tafsirnya pula, Jauhari menceritakan bahwa seorang penyair dari Arab yang bernama A’sya berkata “seolah-olah cengkeh dan jahe itu aryan”. Aryan adalah madu, larutan yang dikeluarkan dari sarang-sarang lebah.

Minuman ahli surga yang terdapat campuran zanjabil yang tertera dalam surah Al-Insan ayat 17, ternyata memiliki penjelasan lanjutan pada ayat 18:

عَيْنًا فِيهَا تُسَمَّىٰ سَلْسَبِيلًا

“(Yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil.”

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menafsirkan ayat ini satu paket dengan ayat sebelumnya yang menyatakan bahwa orang-orang yang baik itu didalam surga, mereka akan disuguhi disana gelas minuman yang campurannya adalah jahe tapi bukan seperti jahe duniawi. Jahe itu dari sebuah mata air surga yang dinamai atau ciri sifatnya adalah salsabil. Minuman terebut menurut Hasbi As-Siddiqi dalam Tafsir An-Nuur merupakan minuman yang memang paling digemari olehmereka.

Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al’Adhim turut menafsirkan beberapa tambahan pandangan bahwa di dalam surga itu mereka diberi minum segelas yang campurannya adalah jahe. Minuman ini terkdang berasal dari air kapur yang dingin. Namun, di lain waktu minuman terseut bercampur jahe zanjabil (rempah-rempah) agar seimbang. Pendapat Ibnu Katsir ini selaras dengan Jauhari dalam Tafsir Jawahir yang menyebutkan bahwa jahe sebagai minuman penghuni surga, yang adakalanya dicampur kafur dingin, adakalanya dicampur jahe, dan baunya harum.

Baca juga: Inilah Keutamaan dan Manfaat Buah dalam Al Quran

Jahe atau yang disebut Al-Quran sebagai zanjabil  ini jika di dunia sering dikonsumsi manusia. Ia dimanfaatkan sebagai minuman sehari-hari, dan umumnya disukai banyak orang, karena selain untuk penyembuhan, rasanya juga begitu nikmat. Ia juga bisa dijumpai di surga sebagai campuran suguhan minuman, namun tentunya secara rasa jauh lebih lezat daripada jahe yang di dunia. Wallahu a’lam.

Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya

0
Makna kiamat sudah dekat
Makna kiamat sudah dekat

Secara metaforis, Al-Quran menyinggung masalah kiamat ini sebanyak 97 ayat yang tersebar dalam 49 surah. Akal manusia akan menerima bahwa kiamat merupakan peristiwa hancurnya dunia. Sudah banyak data yang dilampirkan perihal  kiamat, tanda tandanya, bagaimana dahsyatnya. Tetapi, tidak ada “bocoran” kapan waktu terjadinya. Kita hanya mendapat informasi tentang proses yg dilaluinya. Allah telah memberikan tanda-tanda akan terjadinya peristiwa itu. Adanya Fenomena alam yang terjadi diluar kendali seperti gempa, tsunami, tanah longsor, wabah penyakit dan lain-lain mejadikan stimulus otak untuk berbicara tentang kiamat. Karena itu, tak jarang manusia ada yang merasa ketakutan, apalagi ditambah dengan banyak angka kematian terutama dari kalangan ulama. Jadi wajar jika hal ini kemudian menggiring akal manusia pada satu kesimpulan bahwa kiamat akan segera terjadi, atau “kiamat sudah dekat”.

Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 48-50: Hari Kiamat Datang dengan Tiba-Tiba

Disisi lain, sebagian manusia justru memandang kiamat sebatas fenomena alam biasa. Parahnya lagi jika disandingkan dengan stetemen ulama yang mengatakan bahwa peristiwa kiamat “sudah dekat”, yang sudah disampaikan berabad abad lalu dan buktinya hingga kini belum terjadi.  Pernyataan ini sebetulnya bersumber dari Al-Quran dan hadis, maupun dari lisan dan tulisan para ulama. Dalam QS. Al-Ahzab ayat 63 disebutkan:

يَسْـَٔلُكَ ٱلنَّاسُ عَنِ ٱلسَّاعَةِ . قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِندَ ٱللَّهِ . وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ ٱلسَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا

“Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah”. Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya.

Juga hadis yang berbunyi:

بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ، وَيُشِيْرُ بِإِصْبَعَيْهِ فَيَمُدُّ بِهِمَا

Jarak diutusnya aku dan hari Kiamat seperti dua (jari) ini.” Beliau berisyarat dengan kedua jarinya (jari telunjuk dan jari tengah), lalu merenggangkannya

Para ulama memahami hadis ini dan memberi kesimpulan dengan statemant “kiamat sudah dekat” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Wabilus Shayyib minal Kalamit Thayyib, 1995M).

Diakui atau tidak, pikiran “kiamat sudah dekat”  sering terlintas dalam benak manusia, namun hanya afirmasi saja tanpa ada tabayyun secara logis dalam menyikapinya. Padahal ini bisa menjadi bumerang bagi Islam jika tidak ada penjelasan secara kompherensif perihal “kiamat sudah dekat” ini. Boleh jadi, para muallaf akan ragu terhadap kejadian hari kiamat, padahal hari kiamat meupakan salah stau rukun iman bagi muslim.

Problem yg riskan terhadap keimanan seseorang yakni kenapa hari kiamat sampai detik ini belum terjadi padahal pernyataan kiamat sudah dekat telah disampaikan beberapa abad silam, apakah ini hanya berita hoax atau hanya sekedar menakut-nakuti saja?

Baca juga: Tafsir Surat Al-Waqiah Ayat 1-6: Hari Kiamat itu Pasti, Inilah Visualisasinya

Dengan demikian, penulis ingin menampilkan  argumentasi rasional dan ilimiah untuk mengungkapkan makna dibalik kiamat “sudah dekat” yang sedikit banyak telah menghantui kehidupan sebagian besar umat Islam.

Ada 3 argumentasi sebagai pengejewantahan problematika tersebut, diantaranya:

1.Kata dekat menunjukkan bahwa peristiwa kiamat itu pasti terjadi, sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Ma’arij ayat 6-7. Mayoritas mufassir menafsiri dekat dengan makna pasti terjadi sedangkan jauh bermakna mustahil. Kepastian terjadinya hari kiamat dijelaskan dalam QS Thaha ayat 15 yang artinya: Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang, aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. (QS. Thaha: 15)

Ayat ini mempertegas bahwa datangnya hari kiamat merupakan sebuah kepastian. Seperti pastinya kematian bagi sesuatu yang bernyawa. Begitu pula langit dan bumi yang menanti masa sirnanya. Allah ‘Azza wa Jalla benar-benar merahasiakan waktunya agar manusia dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan apa yang mereka usahakan. Dengan dirahasiakannya waktu kedatangannya, tentunya menutup kesempatan manusia untuk merakayasa amal perbuatannya.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 8-11: Penyesalan Orang yang Ingkar di Hari Kiamat

2.Berdasarkan data ilmiah bahwa usia alam raya ini, menurut disiplin keilmuan astronomi dan fisika sangatlah tua, kira-kira 13 miliar tahun (Jurnal ilmiah Pendidikan Fisika, “Ketidakpastian Usia Dunia,”116). Maka, kiamat bisa dikatakan dekat karena ditinjau dari lamanya keberadaan dunia sebelum nabi Muhammad yang mana beliau merupakan nabi terahir yang diutus oleh Allah. Sejarah telah mencatat bahwa terdapat 24 Nabi sebelumnya  dan masing-masing mempunyai umur berbeda bahkan ada yang berumur diluar kebiasaan manusia sekarang, seper Nabi Nuh dan Nabi Idris berumur lebih dari ratusan tahun. Berbeda halnya dengan Nabi Muhammad dan ummatnya yang rata rata umurnya 60-70 tahun (Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah).

Sehingga, tidak ada kejelasan berapa usia dunia yang sudah dihuni. Di sisi lain, jika dikaji dari sisi retorika kebahasaan, maka telah mengenal bahasa awal dunia dalam mitos Mesopotamia, Mesir, India, Nordik, Israel, Jepang, Afrika. Dengan demikian Bisa jadi manusia sudah hidup hampir mendekati 13 miliyar tahun, jika memang demikian maka tidak salah hal itu dikatakan dekat.

Baca juga: Mengulik Makna Kiamat dalam Al-Quran

3.Secara teologis, kata dekat membuktikan bahwa Allah Maha Kuasa dan mampu atas segalanya. Jika dianalogikan seeekor semut yang akan merusak (memakan) gula akan memerlukan durasi waktu lama, bisa sehari bahkan seminggu, berbeda halnya jika posisi semut digantikan kepada manusia, maka dalam proses menghancurkan gula hanya butuh sekian detik. Apalagi Allah Maha segalanya sangatlah mudah dan tidak membutuhkan durasi waktu untuk menghancurkan isi alam jagat raya alam ini.

Dengan demikian letak perbedaanya ada pada presepsi manusia dalam memandang sesuatu yg sangat besar. Yang tidak kalah penting adalah bahwa kepastian akan datangnya hari kiamat harus disikapi dengan terus memperbaiki diri dan menaruh harapan penuh terhadap limpahan rahmat-Nya yang tidak berujung serta akan selalu melimpah. Wallahu a’lam[]

Tafsir Tarbawi: Inilah Tujuan Pendidikan Islam

0
Tujuan pendidikan Isalm
Tujuan pendidikan Isalm

Salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan Islam adalah tujuannya. Kita tahu bahwa pendidikan Islam hari-hari ini mengalami dentuman keras akibat pandemi Covid-19. Pembelajaran daring pun terpaksa dilakukan agar transfer of knowledge kepada peserta didik tetap berjalan optimal. Padahal, ini bukan karakteristik dari pendidikan Islam. Sebab pendidikan Islam mengandaikan satu pertemuan antara guru dan murid sehingga keduanya memiliki ketersambungan (sanad) ilmu. Sungguh pun demikian, mari kita simak firman Allah dalam Q.S. Taha [20]: 2-4,

مَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لِتَشْقٰٓى ۙ اِلَّا تَذْكِرَةً لِّمَنْ يَّخْشٰى ۙ تَنْزِيْلًا مِّمَّنْ خَلَقَ الْاَرْضَ وَالسَّمٰوٰتِ الْعُلٰى ۗ اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى

“Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah; melainkan sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), diturunkan dari (Allah) yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi” (Q.S. Taha [20]: 2-4)

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Semangat Menuntut Ilmu dari Nabi Musa AS

Tafsir surah Taha ayat 2-5

At-Tabary dalam tafsirnya menafsirkan ayat ini dengan mengutip riwayat sebagai berikut; kami telah mengabarkan kepada Ibnu Wahab dan Ibnu Zaid bahwa yang dimaksud dengan ma anzalna ‘alaikal qur’ana litasyqa ialah bahwa Allah swt telah menurunkan Al-Quran kepada Nabi Muhammad saw beserta sahabat dan pengikutnya agar melainkan sebagai tadzkirah (peringatan) bagi orang yang takut (bertakwa) kepada Allah swt.

Lebih dari itu, para ulama Arab berbeda pendapat terkait penisbatan kata “tadzkirah”. Ulama bahasa dari Basrah berpendapat bahwa tadzkirah merupakan badal dari kata litasyqa, sehingga bermakna tidakkah Kami turunkan Al-Quran melainkan sebagai tadzkirah (peringatan). Berbeda dengan Ulama Basrah, Ulama bahasa Kufah menafsirkan lebih menafsirkan litasyqa ketimbang tadzkirah, dengan tiga term penafsiran, yaitu (1) al-jahd (mengingkari, mendustakan), (2) al-tahqiq (memeriksa, menguji, mempertanyakan), akan tetapi yang tepat adalah takrir (penguatan).

Di samping itu, sebagian ulama memaknainya dengan ‘tidakkah kami menurunkan Al-Quran kepadamu melainkan sebagai peringatan bagi orang yang khusyu’ (bertakwa), bukan untuk kesengsaraan, menderita, dst (li tasyqa)’.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Debat Kompetitif, Metode Efektif dalam Pembelajaran

Senada dengan at-Tabary, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa asbabun nuzul ayat ini yakni Juwaibir telah meriwayatkan dari al-Dhahhak bahwa ketika Allah swt menurunkan Al-Quran ini kepada Nabi saw beserta sahabat dan pengikutnya tidak lain adalah bertujuan agar tidak menjadi susah, alias bahagia hidupnya. Maka turunlah ayat ini sebagai penegasan akan hal tersebut. Karena itu, menurut Ibnu Katsir, melainkan tujuan Al-Quran diturunkan sebagai rahmat sebagaimana lanjutan Surat Taha ayat 3.

Lebih jauh, Ibnu Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir memaknai ayat 2-3 di atas, Sesungguhnya Allah swt tidak menginginkan risalah-Nya dan turunnya Al-Quran untuk menjadikan menderita atau susah. Makna susah di sini adalah tushibuhu al-masyaqqag wa yasyudduhu al-ta’b (tertimpa kesengsaraan dan keletihan yang berarti). Masih menurut Ibnu Asyur, melainkan Al-Quran diturunkan sebagai peringatan bagi orang yang takut kepada Allah swt. Dan makna takut ditujukan kepada orang-orang mukmin yang khusyu’ dan senantiasa berdzikir atau mengingat Al-Quran dalam kehidupannya.

Adapun dalam Tafsir Jalalain ditafsiri dengan Kami tidak menurunkan Al-Quran ini kepadamu wahai Muhammad supaya engkau tidak letih dan payah dikarenakan apa yang engkau kerjalan setelah Al-Quran diturunkan, sehingga mengharuskan engkau mendirikan shalat sepanjang malam tanpa berhenti. Artinya, Nabi Muhammad diminta untuk mengistirahakan dirinya dan segala kegundahannya agar Rasul saw tetap bahagia dan Al-Quran menjadi rahmat untuknya.

Baca juga: Hari Guru Sedunia: Inilah 3 Artikel Serial Tafsir Tarbawi Tentang Guru dan Pendidik

Adapun Ibnu Asyur menafsirkan kata yakhsya dengan shihhah al-din (sehat agamanya). Yang  dimaksud sehat secara agamanya ialah kullu man yufakkiru linnajah fil ‘aqibah (setiap orang yang berpikir sebelum bertindak dan berkata agar selamat dari bencana atau akibat keburukan yang tidak tersadari)

Tujuan pendidikan Islam

Ayat di atas menunjukkan bahwa Al-Quran diturunkan bukan untuk membuat manusia menderita, melainkan rahmat dan kebahagiaan untuk seluruh umat manusia, tak terkecuali umat Islam. Sama halnya pendidikan dapat ditafsirkan dalam konteks ini, yaitu tujuan adanya pendidikan Islam adalah untuk mengoptimalkan potensi peserta didik agar menjadi pribadi yang shalih dan akram. Persoalannya, masih ditemui pendidikan Islam yang berbagai pengajarannya masih konservatif dan monoton apa adanya sehingga peserta didik menjadi bosan.

Jika demikian, tentu ini menyalahi tujuan diturunkannya Al-Quran bahwa Al-Quran – termasuk tujuan pendidikan Islam – diturunkan untuk memberi rahmat dan kebahagiaan bagi manusia. Kurikulum 2013 misalnya, paling tidak tujuan pendidikan Islam tergambar dalam empat kompetensi inti (KI), yaitu spiritual (KI-1), sosial (Ki-2), pengetahuan (KI-3) dan keterampilan (KI-4). Semua aspek itu bertujuan untuk mengimplementasikan pesan ayat di atas. Pendek kata, tujuan pendidikan Islam adalah mengasah ketajaman berpikir, bersikap, memperindah akhlak manusia, serta mampu mendekat kepada Allah swt dengan sedekat-dekat-Nya. Wallahu a’lam[]

Potret Persaudaraan Muhajirin dan Anshar Yang Diabadikan Al-Quran

0
Muhajirin dan Anshar
Ilustrasi Persaudaraan Muhajirin dan Anshar

Ketika hijrah ke Madinah, nabi Muhammad saw melakukan beberapa langkah strategis untuk menstabilkan posisi umat Islam di sana. Beliau memulai dakwahnya dengan mendirikan masjid sebagai pusat peradaban (center of activities), membangun persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar (ukhuwah islamiyah), serta menyatukan masyarakat Madinah yang majemuk (Ar-Rahiq Al-Makhtum).

Dalam upayanya tersebut, Rasulullah saw membuat kontrak sosial dengan segenap masyarakat Madinah atau dikenal sebagai Piagam Madinah (Constitution of Medina). Norma inilah yang nanti menjadi aturan yang harus ditaati oleh setiap penduduk Madinah dalam rangka membangun masyarakat madani. Dengannya, Rasulullah berhasil mempersatukan masyarakat Madinah yang selama itu – dianggap – tidak mungkin dipersatukan.

Tiga fondasi dasar di atas bisa dikatakan sukses, sebab pasca kedatangan nabi Muhammad saw kota Madinah berkembang pesat. Sebagai contoh, persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar juga memperkuat solidaritas dan kohesivitas sosial antar sesama umat Islam. Sehingga, mereka tidak mudah bertikai dan berperang sebagaimana watak Arab Jahiliyah (Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah dan Teladan Muhammad SAW).

Selain itu, kedatangan nabi saw ke Madinah juga membawa dampak positif terhadap ekonomi. Umat Islam bisa membangun kekuatan ekonomi melalui pasar yang dikelola oleh Abdurahman bin Auf dan mampu bersaing dengan pasar-pasar yang sudah ada. Praktik dagang umat Islam yang sesuai dengan anjuran nabi saw sedikit-demi sedikit menghapuskan monopoli dan kecurangan perdagangan yang selama ini terjadi.

Baca Juga: Inilah Alasan Mengapa Umat Islam Harus Mengenal Rasulullah SAW

Bagi umat Islam – mungkin – usaha mempersatukan antara Muhajirin dan Anshar adalah langkah signifikan nabi Muhammad saw yang paling dirasakan oleh mereka. Sebab ini adalah langkah yang berpengaruh terhadap setiap perkembangan dan kemajuan umat Islam di Madinah. Dengan itu, umat Islam menjadi satu kelompok masyarakat yang satu padu dan siap bergerak di bawah komando nabi saw.

Umat Islam saat itu bisa dibaratkan sebagai sebuah bangunan yang terdiri dari berbagai komponen. Setiap komponen menutupi dan menguatkan komponen lainnya. Kaum Muhajirin yang tidak membawa harta sama sekali dibantu oleh kaum Anshar. Sebaliknya, kaum Anshar yang baru mengenal Islam dibantu oleh kaum Muhajirin. Persaudaraan bahkan dikatakan lebih dari persaudaraan yang didasarkan pada ikatan darah.

Surah Al-Hasyr [59] Ayat 9: Kuatnya Persaudaraan Muhajirin dan Anshar

Potret Persaudaraan Muhajirin dan Anshar yang begitu romantis ini diabadikan oleh Allah swt dalam surat al-Hasyr [59] ayat 9 yang berbunyi:

وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُو الدَّارَ وَالْاِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ اِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ اُوْتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۗوَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ ٩

Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr [59]: 9).

Menurut Quraish Shihab, surat al-Hasyr [59] ayat 9 merupakan pujian Allah swt terhadap persaudaraan dan perlakukan Anshar terhadap Muhajirin. Mereka senantiasa mencintai  dan membantu kaum Muhajirin dengan setulus hati, tanpa menginginkan balasan apapun.  Tindakan mereka itu murni karena kecintaan terhadap saudara mereka dan semata-mata mengharap rida Allah swt.

Pada hampir setiap situasi dan kondisi, mereka mengutamakan kepentingan saudara kaum Muhajirin dibandingkan kepentingan mereka sendiri sekalipun mereka memiliki keperluan mendesak. Mereka itulah mukmin sejati dan terpelihara dari kekikiran dirinya dan kekikiran yang melekat pada naluri setiap Insan. Pada akhir ayat ini Allah swt menegaskan bahwa mereka itulah orang-orang beruntung yang akan memperoleh segala yang didambakan (Tafsir Al-Misbah [14]: 115).

Pendapat serupa disampaikan oleh al-Sa’adi. Menurutnya, ayat ini berbicara mengenai kaum Anshar yang mencintai dan senantiasa menolong kaum Muhajirin sebagai bentuk cinta terhadap Allah dan rasul-Nya. Mereka tidak pernah iri dengan apa yang diberikan Allah swt kepada kaum Muhajirin. Mereka juga selalu mendahulukan kepentingan Muhajirin dibandingkan kepentingan mereka. Karena cinta Allah swt – bagi mereka – lebih utama dari keinginan diri (syahwat).

Menurut syekh Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid, surat al-Hasyr [59] ayat 9 turun berkenaan dengan seorang sahabat nabi saw. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa pada suatu malam ada seorang laki-laki yang sedang menerima tamu dan ia ingin menjamunya. Namun ia sama sekali tidak memiliki makanan untuk menjamu tamu tersebut kecuali beberapa makanan yang diperuntukkan bagi anaknya.

Melihat kondisi tersebut, si laki-laki kemudian berkata kepada istrinya, “Tidurkanlah anak kita! lalu ketika hendak menyantap makanan, maka matikanlah lampu dan temanilah tamu kita seraya berpura-pura ikut menikmati hidangan.” Allah swt kemudian menurunkan ayat ini sebagai pujian bagi orang yang mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan dirinya. Dia menyifati orang tersebut sebagai orang yang berhasil atau sukses.

Tingginya solidaritas dan rasa persaudaraan kaum Anshar terhadap Muhajirin membuat mereka tidak segan-segan untuk berbagi, sampai-sampai ada di antara mereka yang bersedia membagi hartanya kepada kaum Muhajirin atau memberi makanan yang semestinya disiapkan untuk anak-anak mereka demi menjamu kaum Muhajirin yang kekurangan dan membutuhkan bahan pangan.

Baca Juga: Pemeliharaan Al-Quran Pada Masa Nabi Muhammad Saw

Sikap kaum Anshar ini Allah swt gambarkan dengan frasa walau kana bihim khashasah, yakni meskipun mereka juga memerlukan. Pada mulanya, Khashasah berarti khashasah al-bayt yakni lubang yang terapat pada satu rumah atau bangunan. Kata ini kemudian juga diartikan sebagai kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi, persis seperti lubang yang tidak berhasil ditutup (kekurangan) (Tafsir Al-Misbah [14]: 118).

Dalam konteks surat al-Hasyr [59] ayat 9, Allah swt memberitahukan kepada kita tentang begitu mulianya tindakan kaum Anshar yang siap sedia memberikan pertolongan kepada Muhajirin berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal meskipun pada saat yang bersamaan mereka kekurangan dan membutuhkan itu semua. Mereka memberi bukan karena memiliki kelebihan, tetapi semata-mata karena mereka mencintai Allah swt dan rasul-Nya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Allah swt memuji mereka – tidak hanya kaum Anshar – yang mau membantu sesama dengan tulus dan ikhlas, tidak mengharapkan apapun kecuali rida Allah swt semata. Ini adalah sikap yang harus dimiliki setiap mukmin, yakni sikap berani berkorban demi kepentingan orang lain secara proporsional. Mereka yang memiliki sikap ini, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Wallahu a’lam.

Menilik Akar Tradisi Tadarus Al-Quran dalam Al-Quran dan Hadis

0
tadarus al-quran
tadarus al-quran

Secara umum, tadarusan biasa diartikan dengan membaca Al-Quran secara bergiliran yang melibatkan dua  pihak (pembaca dan penyimak) dengan mengeraskan suara. Untuk masyarakat sekarang, praktik tadarus Al-Quran sudah tidak asing lagi bagi kita, hal tersebut sudah menjamur di desa-desa, terutama di daerah yang dikenal dengan nuansa pesantrennya. Namun, adakah tradisi ini bersambung hingga Nabi? ataukah memang tradisi ini baru ada setelah Nabi?

Kegiatan berkumpul dalam rangka tadarusan ini merupakan tradisi yang bagus dan mulia. Tradisi ini perlu dijaga dan dilestarikan. Sebab, adanya tradisi ini bisa memperkenalkan Al-Quran kepada masyarakat luas. Terlebih lagi bagi orang yang jarang membacanya. Kegiatan ini biasa dilakukan ketika ada hajatan, dan hampir terdengar setiap hari ketika sudah memasuki bulan Ramadhan.

Baca Juga: Inilah Keutamaan Membaca Al-Quran dengan Tartil

Tadarus Al-Quran dalam referensi teologis

Sebenarnya, tradisi tadarus Al-Quran yang diselenggarakan masyarakat saat ini bukanlah tradisi yang baru. Pada zaman Rasulullah saw dan sahabat, tradisi ini sudah berlangsung. Bahkan, majelis khatmil Qur’an biasa dijadikan sebagai sarana dakwah. Mereka mengisinya dengan doa, wejangan dan nasihat agama.

Imam An-Nawawi, dalam kitabnya, at-Tibyan fi adab hamalat Al-Quran menjelaskannya dalam bab al-idarah bi al-Qur’an (membaca Al-Quran sambung menyambung secara bergantian). Di kitabnya ini ia mendeskripsikan tadarus Al-Quran meski tidak mengistilahkannya dengan sebutan tersebut.

“Yaitu sejumlah orang berkumpul, sebagian dari mereka membaca sepuluh ayat, kemudian diam (menyimak) dan yang lain meneruskan pembacaan, kemudian (ganti) yang lain membaca. Ini adalah boleh dan baik. Imam Malik RA. telah ditanya (perihal tersebut) dan beliau menjawab: ”Tidak ada masalah dengan hal seperti ini” Begitulah Imam An-Nawawi menjelaskan perihal kebaikan dalam tadarusan ini.

Baca Juga: Riwayat Hadis Tentang Perumpamaan Orang yang Membaca Al-Quran

Jika ditelusuri dalam Al-Quran, tradisi tadarus Al-Quran semacam ini terinspirasi dari firman Allah SWT surah Al-A’raf: 204. Semangat membaca dan menyimak Al-Quran (ketika dibaca) dalam ayat ini erat kaitannya dengan kegiatan tadarusan.

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ﴿ ٢٠٤

Artinya: “Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”. (Q. S. Al-A’raf : 204)

Sejalan dengan firman Allah SWT tersebut, Nabi Muhammad SAW juga menjelaskan dalam hadisnya sebagai berikut:

ﻗَﺎﻝَ اﺑْﻦُ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺭَﺿِﻲَ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ “ ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ اﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃَﺟْﻮَﺩَ اﻟﻨَّﺎﺱِ ﺑِﺎﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺃَﺟْﻮَﺩَ ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﻓِﻲ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺣِﻴﻦَ ﻳَﻠْﻘَﺎﻩُ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞُ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ اﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻳَﻠْﻘَﺎﻩُ ﻓِﻲ ﻛُﻞِّ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ ﻣِﻦْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﻓَﻴُﺪَاﺭِﺳُﻪُ اﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻓَﻠَﺮَﺳُﻮﻝُ اﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺣِﻴﻦَ ﻳَﻠْﻘَﺎﻩُ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞُ ﺃَﺟْﻮَﺩُ ﺑِﺎﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻣِﻦْ اﻟﺮِّﻳﺢِ اﻟْﻤُﺮْﺳَﻠَﺔِ “ ﺭﻭاﻩ اﻟﺒﺨﺎﺭﻱ

Artinya : “Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah Saw. adalah paling dermawannya manusia. Kedermawanan beliau paling terlihat ketika Ramadhan saat didatangi oleh Jibril. Ia datang kepada Nabi tiap malam di bulan Ramadhan, kemudian Jibril membacakan (mudarasah) Al-Quran kepada Nabi. Sungguh kedermawanan Nabi dengan kebaikan seperti angin yang berhembus” (HR. Al-Bukhari)

Apa maksud mudarasah dalam hadis diatas? (lagi-lagi) Imam An-Nawawi, ahli hadis dan ahli Fikih Syafiiyah dalam kitabnya yang lain, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab menjelaskan bahwa Ulama Syafi’iyah menganjurkan memperbanyak membaca dan mudarasah Al-Quran di bulan Ramadhan, yaitu seseorang membaca Al-Quran kepada orang lain dan orang lain tersebut membacakan Al-Quran untuknya.

Baca Juga: Mengaplikasikan Metode Tadabbur Saat Membaca Al-Quran dan Langkah-Langkahnya

Gambaran mudarasah dari An-Nawawi ini sangat dekat dengan tradisi tadarus Al-Quran. Saat tadarusan seseorang membaca Al-Quran sekian ayat sementara yang lain mendengarkan dan menyimaknya, setelah itu bergantian seorang yang lain yang membacakan dan yang lainnya juga mendengarkan, begitu seterusnya secara bergantian.

Tadarus Al-Quran, terlebih di bulan Ramadhan merupakan salah satu media menghidupkan bulan Ramadhan, bulan yang mulia dan penuh ampunan, banyak keutamaan dan pahala di bulan tersebut. Sementara dari segi sosial, tadarusan dapat mempererat silaturahim masyarakat. Tentu ini adalah hal baik yang sudah semestinya kita teruskan.

Selain itu, para peserta tadarusan akan dibangga-banggakan Allah SWT kelak di kalangan penduduk langit. Biasanya, setelah tadarusan, hati kita merasakan ketenangan dan ketentraman. Bisa jadi, ketentraman dan kedamaian yang dirasakan ini hasil  hembusan yang ditiupkan para malaikat ke dalam hati-hati kita. Wallahu A’lam

Kisah Mimpi Yusuf Bukan Wahyu: Tafsir Surah Yusuf Ayat 4

0
Kisah Mimpi Yusuf
Kisah Mimpi Yusuf

Kisah mimpi Yusuf bukan wahyu karena waktu itu Yusuf masih kecil belum menjadi seorang Nabi, meskipun mimpi Yusuf benar dan terbukti. Mimpi tidak hanya bunga tidur yang tidak ada artinya bagi sebagian orang. Keabsahan sebuah mimpi juga dialami oleh orang-orang shaleh meskipun bukan seorang Nabi, yakni mimpi itu bukan sebagai wahyu.

Dalam tafsir surah Yusuf ayat 4 ini membahas dua hal. Pertama, mimpi Yusuf bukan wahyu. Kedua, pembagian dan kebenaran sebuah mimpi menurut Rasulullah Saw. Berikut ini penafsiran surah Yusuf ayat 4:

إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَاأَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ (4)

Ingatlah! Ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, wahai ayahku! Sungguh, aku melihat (bermimpi) sebelas Bintang, Matahari dan Bulan: kulihat semuanya sujud kepadaku.

Para mufassir memulai menjelaskan mimpi Yusuf dengan mengawali penjelasan tentang nama Yusuf secara detail. Menurut Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyaf, Yusuf adalah nama yang berasal dari bahasa Ibarani. Menurutnya tidak benar karena kata Yusuf sesungguhnya berasal dari bahasa Arab, dan jika berasal dari bahasa Arab, maka nama tersebut ada bentuk perubahan. Sedangkan kata Yusuf tidak dapat berubah, karena tidak adanya sebab akhir selain bentuk ma’rifah.

Baca juga: Surah Al-Ashr Ayat 1-3: Empat Prinsip Hidup Bagi Orang-Orang Mukmin

Dikutip dari Tafsir al-Tsa’laby bahwa sebagian ulama yang mengatakan bahwa kata Yusuf berasal dari bahasa Arab adalah Abu al-Hasan al-Aqtha’. Menurutnya penamaan Yusuf merupakan persatuan dari al-aasif dan al-asiif. Jika al-aasif memiliki arti sedih, sedangkan al-asiif berarti ‘abd atau hamba sahaya.

Kemudian ada juga ulama yang membaca Yusuf dengan Yusif dan Yusaf. Lantas apakah perubahan bacaan itu, kata Yusuf bisa dikatakan berasal bahasa Arab? Dengan alasan berasal dari bentuk kedua (fi’il mudhari’) dalam bentuk pasif (mabni fa’il atau majhul), apakah tidak dibaca tanwin karena ma’rifah dan wazan al-fi’il?

Al-Zamakhsyary menjawab tidak, karena qira’ah yang masyhur berdasarkan kesaksian (Syahadah), bahwa kata Yusuf adalah a’jamiyah, maka tidak bisa dalam satu waktu bahasa Arab dan a’jamiyah (bukan bahasa Arab) dalam waktu yang lain.

Baca juga: Jawaz al-Amrain: 5 Kondisi Huruf Ra Khusus dalam Ilmu Tajwid

Mimpi Nabi Yusuf Datang Sebelum Menjadi Nabi

Ayat empat dari surah Yusuf ini menjelaskan tentang kebenaran sebuah mimpi meskipun bukan  mimpi seorang Nabi. Al-Jashshas, Ahkam al-Quran li al-Jashshas menjelaskan pada waktu itu Yusuf masih anak kecil, belum menjadi seorang Nabi. Meskipun jamak mufassir yang menafsirkan ayat ini dengan mengutip riwayat Ibn ‘Abbas berikut:

إن رؤيا الأنبياء كانت وحيًا.

Sesungguhnya mimpi para Nabi adalah wahyu. (Abu Ja’far al-Thabary, Jami’ al-Bayan fii Ta’wil al-Quran, 15/554).

Pada kitab Bahr al-Ulum li al-Samarqandy riwayat al-Kaliby, Yusuf bermimpi pada umur 12 tahun, malam Jum’at bertepatan malam seribu malam (laila al-qadr). Dia bermimpi melihat bintang-bintang, Matahari dan rembulan turun dari langit dan bersujud kepada Yusuf.

Selanjutnya Abu Ja’far al-Thabary dalam Jami’ al-Bayan fii Ta’wil al-Quran dari Qatadah: Bintang-bintang adalah saudaranya, Matahari dan Rembulan kedua orang tuanya. Qatadah: pendapat sebagian ahli ilmu menyatakan bahwa Matahari dan Rembulan adalah bapak beserta bibinya.

Riwayat dari Qotadah: Bintang-bintang adalah saudaranya, Matahari dan Rembulan adalah kedua orang tuangnya. Dari riwayat Ibn ‘Abbas: Matahari adalah bapak Yusuf. Bulan melambangkan bibinya dan bintang-gemintang adalah saudaranya.

Ada yang berpendapat Matahari dan Rembulan adalah bapak dan bibi Yusuf, bukan bapak ibunya? Menurut Fakhruddin al-Razy pada Mafatih al-Ghaib sebab pada saat itu ibunda Yusuf telah meninggal. Namun, ada juga ulama yang menafsirkan Matahari dan Rembulan adalah bapak ibu Yusuf, dengan dalil mimpi seorang Nabi adalah wahyu. Akan tetapi pendapat tersebut tidak kuat, sebab pada saat itu Yusuf bukan seorang Nabi.

Baca juga: Mabadi’ Asyrah: Sepuluh Dasar Ilmu Qiraat yang Perlu Diketahui

Tiga Jenis Mimpi Menurut Rasulullah SAW

Rasulullah Saw membagi mimpi menjadi tiga, bisikan jiwa, ketakutan yang bersumber dari setan dan kabar gembira dari Allah Swt. Pembagian mimpi ini ada dalam riwayat Abu Hurairah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الرُّؤْيَا ثَلَاثٌ: فَرُؤْيَا حَقٍّ، وَرُؤْيَا يُحَدِّثُ بِهَا الرَّجُلُ نَفْسَهُ، وَرُؤْيَا تَحْزِينٍ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَمَنْ رَأَى مَا يَكْرَهُ فَلْيَقُمْ فَلْيُصَلِّ

Dari Abu Hurairah, Ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: mimpi itu ada tiga, mimpi yang benar, mimpi yang merupakan bisikan diri sendiri dan mimpi yang merupakan kesedihan dari setan. Maka barang siapa yang bermimpi sesuatu yang tidak dia sukai, bangun dan shalatlah. (H.R. al-Nasa’i dan al-Tirmidzi).

Pertama, mimpi dari bisikan jiwa berasal dari angan-angan, pikiran dan cita-cita yang dialami seseorang sebelum tidur dan memenuhi pikirannya sehingga terbawa tidur. Mimpi pada kategori ini sama dengan teori pemadatan (condensation) dan pemindahan (displacement) yang disampaikan oleh Sigmund Freud. Dalam teori tersebut mimpi merupakan pemenuhan keinginan (wish-fulfillment) yang berasal dari alam bawah sadar yang telah diresepsi.

Kedua, mimpi yang bersumber dari setan. Hal ini mampu menumbuhkan ketakutan dan sedih pada diri manusia. Sehingga mengakibatkan murung, lesu dan kekhawatiran yang terbawa pada saat terjaga. Adapun jenis mimpi mimpi yang terakhir yaitu mimpi yang benar dan memiliki arti yang berasal dari Allah. (Muhamad Arphah Nurhayat, Mimpi Dalam Pandangan Islam, Juni 2006, Th.17, Nomor.1, 65-66).

Mimpi kategori ketiga ini mempunyai banyak istilah di beberapa riwayat hadis, seperti dalam dalam riwayat Ibn Umar berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ جُزْءٌ مِنْ سَبْعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ»

Ibn Umar berkata: Rasulullah Saw bersabda: Mimpi yang benar adalah bagian dari tujuh puluh bagian dari kenabian. (H.R. Muslim)

Banyak ulama menjelaskan bahwa mimpi yang benar (ru’ya al-shalihah) harus mimpi seorang Nabi karena termasuk wahyu sebagaimana penyampaian wahyu saat terjada. Namun menurut al-Marizy bisa saja mempunyai maksud bahwa mimpi itu kabar ghaib, salah satu manfaat kenabian,  tidak hanya sebatas pada kenabian.

Sebab Allah boleh saja mengutus seorang Nabi untuk menjelaskan syariah dan hukumNya, tidak selalu mengabarkan perkara ghaib. Dan hal ini tidak mencederai kenabian  serta tidak mempengaruhi pada tujuan kenabian. Bagian dari kenabian ini merupakan kabar ghaib sehingga apabila terjadi, maka ia adalah benar. (Nawawi, al-Minhaj Syarah Muslim bin al-Hajjaj, 15/22).

Baca juga: 

Kesimpulannya seperti pendapat Fakruddin al-Razy bahwa mimpi Yusuf bukan wahyu, sebab saat itu Yusuf masih umur 12 tahun dan belum menjadi seorang Nabi. Namun mimpi Yusuf benar dan terbukti. Hal ini yang mendukung bahwa seseorang juga bisa bermimpi seperti Yusuf meskipun bukan seorang Nabi. Terlebih Rasulullah Saw telah menyampaikan ada juga mimpi  yang benar, yaitu dengan istilah ru’yah al-shalihah dan ru’yah al-haq.[]

Surah Al-Ashr Ayat 1-3: Empat Prinsip Hidup Bagi Orang-Orang Mukmin

0
Prinsip Hidup
Prinsip Hidup dalam surah al-Ashr

Artikel ini akan menguraikan tentang Surah al-Ashr ayat 1-3 tentang pentingnya waktu. Bagi seorang mukmin waktu adalah modal utama dalam meningkatkan kebaikan dari hari ke hari. Dalam surat ini disebutan beberapa prinsip hidup yang perlu dijadikan pedoman orang-orang mukmin. Allah Swt berfirman:

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, ‎kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan ‎nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat ‎menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S. Al-‘Ashr: 1-3)‎

Nabi Muhammad Saw. mengingatkan, ada dua nikmat besar yang ‎sering diabaikan oleh manusia, yaitu: nikmat sehat, dan nikmat waktu luang. ‎Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim ini ‎menunjukkan betapa pentingnya kedua nikmat tersebut dalam kehidupan ‎kita, yaitu kesehatan dan waktu luang. ‎

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Tata Cara Itikaf, Waktu, Tempat dan Hukumnya

Kita seringkali merasakan betapa nikmatnya kesehatan justru ketika ‎tengah terbaring sakit. Kita juga kerap menganggap betapa pentingnya waktu, ‎justru ketika kita dalam kondisi sempit atau usia telah uzur.‎

Dengan demikian, tepat sekali pesan al-Qur’an dalam surat al-‘Ashr di ‎atas, bahwa demi waktu, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, ‎kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, serta saling menasehati ‎untuk kebenaran dan juga saling menasehati untuk kesabaran.‎

Syekh Nawawi al-Bantani, dalam kitab tafsirnya, Marah Labid ‎menjelaskan bahwa maksud dari kalimat wa al-‘Ashri, adalah bahwa Allah Swt. ‎bersumpah dengan masa atau zaman, di mana di dalamnya terdapat ‎rangkaian peristiwa kehidupan, seperti: lapang dan sempit, sehat dan sakit, ‎kaya dan fakir, senang dan sedih serta beragam kisah kehidupan yang ‎melingkupi setiap manusia. ‎

Dalam menjalani beragam peristiwa dan kisah hidup tersebut, manusia ‎selalu berada dalam kerugian, kecuali mereka yang memegang teguh empat ‎prinsip hidup yang diajarkan al-Qur’an. ‎

Keempat prinsip hidup tersebut adalah: 1) Iman; 2) Amal saleh; 3) ‎Saling menasehati untuk kebenaran; 4) Saling menasehati untuk kesabaran.‎

Ketika menafsirkan makna ‘kerugian’ dalam Q.S. Al-‘Ashr tersebut, ‘Abd ‎al-Karim al-Khathib dalam karyanya Al-Tafsir al-Qur’ani li al-Qur’an ‎menjelaskan bahwa kerugian yang dimaksud adalah kesesatan. Hal ini ‎disebabkan karena ketidaktahuan manusia akan kualitas dirinya (qudrat) ‎yang sesungguhnya, serta keengganannya untuk mencapai posisi (maqam) ‎yang mulia di sisi Allah. Padahal, Allah Swt. sudah menciptakannya dalam ‎bentuk terbaik di antara ciptaan Allah lainnya. ‎

Ironisnya, manusia justru tidak menyadari kualitas serta potensi ‎dirinya. Dia tidak menempuh jalan menuju kemuliaan, malah justru ‎memperturutkan hawa nafsunya, menyejajarkan dirinya dengan binatang, ‎yang hanya mengejar kenikmatan jasmani semata, seperti makan, minum, ‎dan berhubungan seks. Hanya sedikit saja di antara manusia yang memahami ‎hakekat kemanusiaannya, yang mau menempuh jalan untuk menjadi manusia ‎mulia yang tinggi derajatnya di sisi Allah Swt.‎

Untuk mencapai posisi mulia, yaitu manusia dengan derajat yang ‎tinggi di sisi Allah, maka empat prinsip yang sudah disebutkan di atas, yaitu: ‎iman, amal saleh, saling menasehati untuk kebenaran dan kesabaran harus ‎selalu kita pegang teguh.‎

Dua prinsip pertama, yaitu iman dan amal saleh ibarat dua sisi mata ‎uang yang tidak bisa dipisahkan, saling terkait erat satu sama lain. Bukti iman ‎seseorang harus mewujud dalam tindakan nyata sehari-hari. Pun demikian, ‎tindakan serta aktivitas sehari-hari harus selalu didasari oleh keimanan.‎

Adalah omong kosong belaka ketika seseorang mengaku beriman, ‎tetapi tidak ada dampak apa pun dari keimanannya yang tampak dalam ‎aktivitas sehari-harinya. Tidak ada aktivitas positif (amal saleh) yang ‎dilakukannya, serta perilakunya jauh dari nilai-nilai keimanan. ‎

Demikian halnya, kebaikan yang dilakukan seseorang, yang hanya ‎ditujukan untuk mengharap sanjung puji dari orang lain, bukan karena ‎ketulusan hati yang didasari keimanan, maka hal ini juga tidak disebut ‎dengan amal saleh.‎

Intinya, antara iman dan amal harus saling berkait kelindan satu sama ‎lain. Jika keduanya bersinergi dengan baik, maka itulah yang akan ‎menghindarkan seseorang dari kerugian, sebagaimana disebutkan dalam ayat ‎di atas.‎

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat 18:  Intropeksi Diri, Manajemen Waktu, dan Tabungan Kebaikan

Dua prinsip berikutnya adalah saling menasehati untuk kebenaran dan ‎kesabaran. Az-Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kasysyaf menjelaskan bahwa ‎makna wa tawashaw bi al-haqq (menasehati untuk kebenaran) adalah saling ‎menasehati untuk tetap dalam bertauhid kepada Allah, taat kepada-Nya, ‎mengikuti kitab-Nya, meneladani rasul-Nya, zuhud dalam urusan dunia serta ‎semangat dalam urusan akhirat. Sedangkan wa tawashaw bi al-shabr ‎‎(menasehati untuk kesabaran) adalah saling menasehati untuk tetap sabar ‎dalam ketaatan kepada Allah dan dalam menjauhi maksiat kepada-Nya.‎

Keempat prinsip hidup yang dijelaskan Q.S. Al-‘Ashr itulah yang akan ‎menyelamatkan umat manusia dari kerugian.‎ Wallahu A’lam.

Jawaz al-Amrain: 5 Kondisi Huruf Ra Khusus dalam Ilmu Tajwid

0
Jawaz al-Amrain
Jawaz al-Amrain

Setelah mempelajari bacaan tafkhim dan tarqiq dalam ilmu Tajwid, perlu dibahas lebih lanjut dan lebih rinci terkait huruf ra (ر) itu sendiri. Hal ini wajar mengingat huruf r memiliki kondisi-kondisi yang lebih banyak dibandingkan huruf lainnya. Salah satunya adalah Jawaz al-Amrain.

Artikel ini menjelaskan jawaz al-amran atau 5 kondisi khusus huruf ra dalam ilmu Tajwid yang bersumber dari kitab al-Wadhih fi Ahkam at-Tajwid karya Muhammad Isham Muflih al-Qudhat. Selain itu, ditambahkan pula hikmah atau alasan dibalik adanya jawaz al-amrain.

Kondisi huruf ra dalam al-Quran terbagi menjadi 3 macam, yaitu tafkhim, tarqiq, dan jawaz al-amrain. Sebelum membahas secara rinci, perlu dipahami bahwa tafkhim itu adalah bacaan tebal, sedangkan tarqiq adalah bacaan tipis. Hukum ro yang dibahas di sini merupakan bacaan riwayah Hafsh dari Ashim.

Jawaz al-Amrain

Secara bahasa, jawaz al-amrain (جَوَازُ الْاَمْرَيْنِ) terdiri dari dua kata yaitu jawaz yang artinya boleh dan al-amrain yang artinya dua perkara. Yang dimaksud ra dibaca jawaz al-amrain adalah huruf ro boleh dibaca tafkhim atau tarqiq.

Berbeda dengan ro tafkhim yang hanya bisa dibaca tafkhim, maupun ra tarqiq yang dibaca tarqiq saja, ra jawaz al-amrain bisa membaca dengan tafkhim dan tarqiq. Artinya pembaca al-Quran dapat memilih antara keduanya karena sama-sama diperbolehkan.

Ada 5 (lima) ra yang termasuk jawaz al-amrain. Sebagian darinya, ada yang hanya satu saja ditemukan dalam al-Quran dan ada pula yang berulang. Ra nomor 1 dapat dibaca washal maupun waqaf, sedangkan ra lainnya harus dibaca waqaf agar dapat memenuhi syarat jawaz al-amrain.

  1. Ra dalam (فِرْقٍ)

Ra pertama berada pada kata (فِرْقٍ). Ra dalam kata itu bisa dibaca tafkhim karena setelah ra sukun terdapat huruf isti’la. Sedangkan bisa dibaca tarqiq karena huruf isti’la-nya berharakat kasrah dalam keadaan washal sehingga menjadikannya lemah. Kata (فِرْقٍ) hanya ada satu dalam al-Quran, tepatnya Q.S. As-Syu’ara [26]: 63.

فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيْمِ

  1. Ra dalam (مِصْرْ)

Selanjutnya terdapat pada kata (مِصْرْ) tanpa tanwin dimanapun ia berada dalam al-Quran. Ra dalam kata itu bisa dibaca tafkhim dan tarqiq karena adanya huruf isti’la antara ro sukun (sebab waqaf) dan kasrah. Bagi yang menguatkan isti’la-nya, maka ra dibaca tafkhim. Sedangkan bagi yang menguatkan kasrahnya, maka ro dibaca tarqiq. Salah satu contohnya terdapat dalam Q.S. Yusuf [12]: 99.

فَلَمَّا دَخَلُوْا ….. اُدْخُلُوْا مِصْرَ اِنْ شَاءَ اللهُ ءَامِنِيْنَ

  1. Ra dalam (الْقِطْرْ)

Sama seperti sebelumnya, ra dalam kata itu bisa dibaca jawaz al-amrain karena adanya huruf isti’la antara ra sukun (sebab waqaf) dan kasrah. Bagi yang menguatkan isti’la-nya, maka ra dibaca tafkhim. Sebaliknya, bagi yang menguatkan kasrahnya, maka ro dibaca tarqiq. Kata (الْقِطْرْ) hanya ada satu dalam al-Quran yaitu Q.S. Saba [34]: 12.

وَاَسَلْنَالَهُ عَيْنَ الْقِطْرِ

  1. Ra dalam (نُذُرْ)

Kata (نُذُرْ) di dalam al-Quran dapat ditemukan sebanyak 6 kali dan semuanya berada dalam surat al-Qamar. Ra dalam kata itu bisa dibaca tafkhim karena melihat harakat dhammah yang ada sebelum ra sukun (sebab waqaf). Sedangkan ra bisa dibaca tarqiq karena mempertimbangkan huruf ya (ي) yang dibuang karena kata asalnya (ونذري). Berikut salah satu contohnya Q.S. Al-Qamar [54]: 16.

فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِيْ وَنُذُرِ

  1. Ra dalam (يَسْرْ)

Ra dalam kata (يَسْرْ) dan sejenisnya, termasuk (اَسْرْ). Ro dalam kata tersebut dibaca tafkhim karena adanya harakat fathah dan sukun sebelum ro sukun (sebab waqaf). Sedangkan ro bisa dibaca tarqiq karena asal kata itu memiliki huruf ya (ي) yang dibuang. Asal katanya adalah  (يسري). Salah satu contohnya dalam Q.S. Al-Fajr [89]: 4

وَاللَّيْلِ اِذَا يَسْرِ

Demikian penjelasan tentang Jawaz al-Amrain bagi huruf Ro dalam 5 kondisi dalam al-Quran. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Abasa Ayat 33-42

0
tafsir surah abasa
Tafsiralquran.id

Pada pembahasan sebelumnya telah berbicara mengenai aneka nikmat bagi manusia, dalam Tafsir Surah Abasa Ayat 33-42 ini berbicara mengenai hari kiamat. Diawali dengan tiupan yang kedua. Pada hari itu manusia hanya mementingkan dirinya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Abasa Ayat 27-31


Ayat 33

Dalam ayat ini dijelaskan apabila datang hari Kiamat, ketika terdengar suara yang sangat dahsyat yang memekakkan telinga, yaitu tiupan Malaikat Israfil yang kedua kalinya, maka pada hari tersebut terasa kesedihan dan penyesalan bagi seluruh orang-orang yang kafir. Dalam ayat berikutnya diperinci kedahsyatan hari Kiamat itu.

Ayat 34-36

Pada ayat-ayat ini diterangkan bahwa pada hari Kiamat, manusia lari dari saudara, ibu, dan bapaknya, bahkan dari istri dan anak-anaknya. Hal itu disebabkan seluruh pikiran hanya tertuju pada penyelamatan diri dari bencana yang sangat menakutkan, sehingga lupa pada orang tua, saudara, istri, dan anak-anak. Firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَّا يَجْزِيْ وَالِدٌ عَنْ وَّلَدِهٖۖ وَلَا مَوْلُوْدٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَّالِدِهٖ شَيْـًٔاۗ اِنَّ وَعْدَ اللّٰهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَاۗ وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللّٰهِ الْغَرُوْرُ  ٣٣

Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutlah pada hari yang (ketika itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya, dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun. Sungguh, janji Allah pasti benar, maka janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kehidupan dunia, dan jangan sampai kamu terpedaya oleh penipu dalam (menaati) Allah. (Luqman/31: 33)

Ayat 37

Setiap manusia pada hari Kiamat yang dahsyat itu mempunyai urusan masing-masing yang cukup menyibukkannya sehingga tidak sempat memperhatikan orang lain.

Ketika masih di dunia, mereka saling memberikan pertolongan sampai menebus dengan harta bilamana diperlukan, apalagi jika bersangkutan dengan keselamatan anak-anaknya sendiri yang akan meneruskan generasinya yang akan datang atau mengenai kehormatan istrinya, orang yang paling dekat dan paling setia kepadanya.

Akan tetapi pada hari akhirat nanti, tidak ada kesempatan lagi untuk memperhatikan anggota-anggota keluarganya itu karena kedahsyatan pada hari Kiamat yang sangat menyibukkan itu.

Pada hari itu manusia terbagi dua golongan: yang bahagia dan yang celaka, dan terhadap golongan yang pertama dinyatakan dalam ayat berikut ini.


Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 53-54: Hari Penggiringan dan Pengadilan 


Ayat 38-39

Banyak muka orang-orang mukmin pada hari itu berseri-seri dengan penuh kegembiraan karena mereka dapat menyaksikan sendiri apa yang dijanjikan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman ternyata semuanya dapat terlaksana dengan penuh kebahagiaan. Mereka tertawa dan bergembira.

Ayat 40-42

Sebaliknya terhadap golongan kedua dinyatakan bahwa banyak pula muka orang-orang kafir pada hari itu tertutup debu penuh dengan sesal dan kesedihan. Mereka itu ditutup lagi oleh kegelapan karena ditimpa oleh kehinaan dan kesusahan. Mereka itulah orang-orang kafir yang amat durhaka.


Baca setelahnya: Tafsir Surah At Takwir Ayat 1-5

(Tafsir Kemenag)