Beranda blog Halaman 412

Tafsir Surah Yasin ayat 45-46: al-Quran Mengajarkan Manusia Untuk Introspeksi Diri

0
Yasin Ayat 45-46
Yasin Ayat 45-46

Beberapa pembahasan sebelumnya telah menjelaskan banyak tentang tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditujukan kepada kaum yang inkar, namun mereka berpaling. Pembahasan tafsir surah Yasin ayat 45-46 kali ini akan membicarakan tentang bagaimana al-Quran mengajarkan manusia untuk selalu introspeksi diri melalui dua hal, sebagaimana yang akan dijelaskan dibawah ini. Allah berfirman:

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّقُوْا مَا بَيْنَ اَيْدِيْكُمْ وَمَا خَلْفَكُمْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

وَمَا تَأْتِيْهِمْ مِّنْ اٰيَةٍ مِّنْ اٰيٰتِ رَبِّهِمْ اِلَّا كَانُوْا عَنْهَا مُعْرِضِيْنَ

  1. Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Takutlah kamu akan siksa yang di hadapanmu (di dunia) dan azab yang akan datang (akhirat) agar kamu mendapat rahmat.”
  2. Dan setiap kali suatu tanda dari tanda-tanda (kebesaran) Tuhan datang kepada mereka, mereka selalu berpaling darinya.

Menurut Ar-Razi ayat ini masih berkaitan erat dengan ayat-ayat sebelumnya tentang bumi, bulan, matahari, malam, siang, sampai pembahasan samudera. Kesemuanya  bertujuan untuk meyakinkan akan adanya Allah Swt pada suatu kaum, namun mereka mengindahkankannya.

Baca Juga: Fakhruddin Ar-Razi: Sosok di Balik Lahirnya Tafsir Mafatih Al-Ghayb

Begitupula kasus dalam ayat ini, mereka diancam dengan siksaan dunia dan akhirat, tapi masih saja berpaling. Ini menunjukkan kalau kebodohan mereka tak berujung, dan kelalaian mereka tak bertepi.

Padahal Allah sudah menujukkan Maha Rahmat-Nya kepada mereka, kata لَعَلَّ  dalam redaksi la’allakum turhamun merupakan huruf tamanni yang berarti harapan, yakni harapan jikalau mereka bisa merasakan keberadaan Allah Swt, melalui tanda-tanda yang sudah ditunjukkan kepada mereka.

Adapun tafsir yasin ayat 46 merupakan jawaban sekaligus penegasan kembali akan bengal-nya mereka yang masih berpaling setelah mendapat peringatan dari para utusan, atau dikisahkan tentang kaum-kaum sebelum mereka, sampai ditunjukkan tanda-tanda kekuasaan Tuhan.

Yang menarik dari dua ayat diatas adalah pola kalimat ma baina aidkum dan ma khalfakum yang secara tidak lansung merupakan metode al-Quran mengajar manusia agar selalu introspeksi diri. Setidaknya ada dua hal yang mencakup ini.

Pertama, menurut Sufyan At-Tsauri, pola tersebut sebagai isyarat tentang tanda-tanda yang tampak (yakni dunia) dan tanda-tanda yang tersembunyi (yakni akhirat), melalui keduanya al-Qur’an mengajak ber-tadabbur untuk lebih mengenal Allah Swt.

Kedua, seperti dimaknai oleh Quraish dengan introspeksi diri sebelum melangkah kedepan (ma baina aidikum), memperbaiki planning, serta dampak apa yang akan terjadi. Disamping juga harus belajar dari pengalaman masa lalu (ma khalfakum), agar kesalahan yang sama tidak terulang kembali.

Kalimat tersebut juga mengingatkan hal yang sama kepada kita, baik sebagai individu ataupun entitas masyarakat. Supaya selalu introspeksi melalui pengalaman lampau agar langkah yang diambil kedepan bisa lebih baik.

Dua metode ini tampak sederhana namun berimplikasi besar untuk sebuah perubahan. Contohnya, Nabi Muhammad ketika hijrah dan telah menetap di Madinah, juga menerapkan metode ini untuk membangun karakter individu yang salih juga revolusioner.

Baca Juga: Para Tabi’in Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ubay Ibn Ka’ab di Kota Madinah

Nabi selalu mengingatkan perkara akhirat sebagai urgensi utama, dan hal ihwal dunia yang sifatnya sementara. Tujuannya adalah untuk membangun karakter kuat sebagai hamba Tuhan, sehingga segala sesuatu yang akan dikerjakan orientasinya adalah Tuhan.

Disaat yang sama, Nabi juga selalu mengingatkan perjalanan kelam masa lalu, yang konteks kedepannya adalah perubahan, tujuannya adalah progresifitas, perubahan, dan kemajuan yang tentunya dibangun dengan hablum minnan nas (hubungan sesama manusia) agar bisa memberi manfaat pada sesama.

Jadi, dua metode ini bukanlah sesuatu yang terpisah, namun saling berkaitan, sama seperti siang dan malam, matahari dan bulan, serta masa lalu dan masa mendatang.

Demikianlah kiranya penjelasan ringkas tafsir yasin ayat 45-46. Semoga bermanfaat, dan tunggu series tafsir surat Yasin selanjutnya. Wallahu a’lam bis Showab

Kenali Tiga Fitrah Manusia dalam Al-Quran, Jalan Menuju Kedamaian

0
Fitrah Manusia
Fitrah Manusia

Secara khusus, tulisan yang anda baca kali ini akan memaparkan tiga konstruksi fitrah manusia dalam Al-Quran, berdasar buku Prof. Imam Taufiq yang berjudul “Al-Quran Bukan Kitab Teror. Ia merupakan guru besar tafsir sekaligus Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang.

Buku Imam Taufiq tersebut menjelaskan wajah Islam yang damai merujuk pada penafsiran Al-Quran dari para mufasir klasik hingga kontemporer. Buku tersebut juga menggambarkan nilai kedamaian dalam sendi-sendi kehidupan sosok Muhammad sebagai uswah al-hasanah.

Makna Fitrah dan Damai

Fitrah, secara bahasa terambil dari faṭara-yafṭuru-faṭran yang berarti memegang dengan erat, memecah, atau membelah. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Quran mendefinisikan fitrah dengan suatu sistem yang Allah wujudkan untuk makhluk-Nya. Dan bagi manusia, fitrahnya berkaitan dengan jasad dan roh. 

Quraish Shihab menambahkan bahwa fitrah juga bisa diartikan penciptaan. Contohnya, fāṭir as-samāwāt wa al-arḍ (QS. asy-Syūrā[42]: 11). Artinya, (Allah) Pencipta langit dan bumi. Selain itu, fitrah memiliki kemiripan dengan kata ṭaba’a atau ṭabi’ah yang memiliki arti kecenderungan alami (bawaan) sejak dari lahir (Al-Quran Bukan Kitab Teror, 56)

Sementara damai, merupakan cerminan atas terkelolanya sebuah konflik. Damai bukan sekedar tidak adanya peperangan. Lebih dari itu, damai berjangka waktu panjang, bersifat dinamis dan partisipatif. Inilah yang kemudian disebut sebagai damai sejati atau damai positif. (Al-Quran Bukan Kitab Teror, 32)

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fath Ayat 1-3: Kunci Kemenangan Ada pada Perdamaian

Tiga Konstruksi Fitrah Manusia dalam Al-Quran

Imam Taufiq dalam bukunya tersebut menerangkan tiga konstruksi (bangunan) kecenderungan atau fitrah manusia dalam Al-Quran.

Pertama, fitrah keagamaan yang menyatu dalam diri manusia, sebagaimana dalam QS. ar-Rūm[30]: 30

فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ – ٣٠

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui

Menurut Quraish Shihab, ayat di atas menunjukkan makna fitrah tentang keesaan Allah yang tertanam pada manusia. Ayat tersebut juga menunjukkan bahwa agama (Islam) adalah tuntunan bagi fitrah yang tidak bisa diganti oleh manusia. Fitrah keagamaan akan tetap melekat pada jiwa-jiwa manusia, sekalipun diabaikan atau tidak diakui. (Tafsir al-Misbah, v. 11)

Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran al-Azim memaknai fitrah dengan mengakui ke-Esaan Allah. Menurutnya, manusia sejak lahir membawa ketauhidan atau setidaknya selalu berusaha mencapai pentauhidan terhadap Tuhannya.

Imam Taufiq menjelaskan, antara fitrah agama dan fitrah jiwa saling berkaitan dan berjalan saling beriringan. Manusia terlahir dalam fitrah ketuhanan dan keimanan terhadap Allah. Maka ketika fitrah jiwa manusia terjaga dengan baik, berarti ia dalam koridor fitrah keagamaan. Agama yang mengajarkan konsep perdamaian, akan bersinergis dengan jiwa manusia, yang pada gilirannya mendorong jiwa manusia melakukan proses perdamaian.

Ibnu Mubarak, seperti yang dikutip Imam Taufiq, cenderung memaknai fitrah manusia sebagai sesuatu yang determinatif. Dalam arti, fitrah merupakan kehendak Tuhan sepenuhnya. Iman dan kafir menjadi ketetapan Allah.

Al-Qurthubi dalam al-Jāmi’ li Ahkam Al-Quran, menambahkan, ketetapan manusia bergantung pada asal kejadiannya. Ketika awal ketetapan Tuhan baik, maka akan baik pula akhirnya. Sebaliknya, ketika awal ketetapan-Nya sesat, orang tersebut akan sesat,  meskipun prosesnya berupa kebaikan.

Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 30: Agama Sebagai Fitrah Manusia

Fitrah manusia dalam Al-Quran yang kedua, terjadi ketika manusia dalam masa konsepsi yaitu sebelum ia dilahirkan. Ketika masa ini, ada ikatan perjanjian sekaligus persaksian antara Tuhan dan manusia. Dialog di antara keduanya terekam dalam QS. al-A’raf [7]: 172 dengan terjemahan seperti berikut

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul, (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi….” (QS. al-A’raf[7]: 172)

Hamka menafsirkan ayat ini bahwa pengakuan atas Maha Pencipta, Allah swt. adalah fitri (bawaan) manusia. Fitrah tersebut tumbuh bersamaan dengan akal, bahkan dikatakan tumbuh-kembangnya akal juga dipengaruhi fitrah manusia tersebut.

Adapun karakter manusia terkait persakisannya, Imam Taufiq menjabarkan  menjadi dua kategori. Pertama, manusia yang sempat lupa dengan persaksian yang diikrarkan, kemudian mengingatnya (sadar) dan kembali ke jalan fitrah. Kedua, manusia yang tidak menghiraukan persaksiannya, sekalipun telah diberikan peringatan berkali-kali. Seperti dalam firman Allah, “Dan apabila mereka diperingatkan, mereka tidak mengingatnya.(QS. aṣ-Ṣāffāt[37]: 13).

Nabi Muhammad, sebagai utusan Allah juga memiliki tugas untuk memberi peringatan. Hal ini termaktub dalam QS. al-Ghāsyiyah [88]: 21.

“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan”

Baca Juga: Surat Ar-Rum [30] Ayat 30: Mengesakan Allah SWT adalah Fitrah Manusia

Fitrah manusia dalam Al-Quran yang ketiga adalah melihat entitas jasmani manusia sebagai ciptaan Allah yang tersusun dari saripati tanah dan spiritnya berupa roh yang merupakan manifestasi dari Allah. Dua unsur yang membentuk manusia bisa kita cermati dalam QS. al-Hijr [15]:28-29 berikut:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ خَالِقٌۢ بَشَرًا مِّنْ صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَاٍ مَّسْنُوْنٍۚ ٢٨ فَاِذَا سَوَّيْتُه وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَهُ سٰجِدِيْنَ – ٢٩

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh, Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk.(28)Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”(29)

Mengutip dari Ali Syariati dalam On the Sociology of Islam, Imam Taufiq menerangkan bahwa tubuh manusia diciptakan dari tanah yang merupakan simbol kerendahan. Sehingga, tanah memiliki sifat yang materialis dan fana (tak abadi). Sedangkan roh adalah sesuatu yang suci yang bersifat imateril, kejiwaan, dan spiritual dan kekal. Dengan demikian, manusia merupakan makhluk ganda yang terdiri dari tanah dan roh.

Sayyid Qutb melalui Tafsir fi Zilal Al-Quran mengatakan, manusia tercipta dari sulalah (tanah liat kering) dan roh. Keberadaan roh dalam diri manusia tersebut yang memberikan keistimewaan tersendiri bagi manusia daripada makhluk lain. Dengan roh pula manusia mampu berkomunikasi dengan Tuhannya, mampu melampaui batas materi yang dicapai oleh panca indera sebagai sifat dari jasmani.

Sayyid Qutb menambahkan, kedua unsur tersebut tidak bisa dipisahkan. Kesempurnaan manusia akan terbentuk ketika keduanya berjalan seimbang (tawazun). Tidak menegasikan salah satu di antara keduanya.

Fitrah penciptaan manusia tersebut kemudian mampu membawa pada aktivitas yang dilakukan dengan pertimbangan akal dan dan tuntutan wahyu yang dinalar melalui akal dan diterima secara baik oleh roh yang bersifat spiritual.

Baca Juga: Surat Al-Araf Ayat 172: Perjanjian Manusia dengan Tuhan

Dari Fitrah Menuju Damai

Manusia yang telah memiliki kesadaran pengetahuan tentang keesaan dan keagamaan, termasuk dalam persaksiannya di masa konsepsi serta atas dasar penciptaan yang sama, mampu berjalan dalam koridor syariat yang menjunjung nilai-nilai perdamaian.

Adapun perbedaan suku, ras, budaya,  adat istiadat, hingga karakter seperti dalam QS. al-Ḥujurāt [49]: 13, dalam pandangan Imam Taufiq, bukanlah sebuah alasan untuk dijadikan konflik dan perpecahan. Karena semua perbedaan tersebut, berasal dari asal yang satu (QS. an-Nisa’ [4]: 10).

Sementara barometer kualitas manusia ada pada kadar ketakwaannya. Sebaliknya, perbedaan tersebut dapat menjadi jalinan kebermanfaatan dan menciptakan kedamaian dalam kehidupan. Wallahu A’lam

Inilah 2 Cara Menjaga Ketenteraman Hati Menurut Al-Quran

0
Ketenteraman Hati
Ketenteraman Hati

Artikel ini akan menjelaskan ayat al-Quran dalam Surat Ar-Ra’d ayat 28 yang berbicara tentang ketenteraman hati dan penjelasan ulama tentang ayat tersebut. Dalam al-Quran Allah Swt berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram ‎dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati ‎menjadi tenteram.” (Q.S. Ar-Ra’d : 28)‎

Salah satu penyakit yang diderita oleh sebagian besar masyarakat ‎modern adalah hilangnya ketenteraman hati. Padahal, ketenteraman hati ‎adalah syarat utama seseorang untuk mendapatkan kebahagiaan hidup.‎

Ayat yang penulis kutip di atas memberikan resep bagaimana agar hati ‎kita tenteram. Walhasil, kebahagiaan hidup pun dapat kita raih. Kebahagiaan ‎hidup dimaksud bukan hanya ketika di dunia saja, tetapi juga kelak ketika di ‎akhirat.‎

Al-Sa’di dalam Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan ‎ketika menjelaskan makna “hanya dengan mengingat Allah hati menjadi ‎tenteram” menegaskan bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat ‎menenteramkan hati selain berzikir kepada-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang ‎lebih nikmat (lezat) dan lebih manis bagi hati selain mengenal dan mencintai ‎Sang Khalik.‎

Selanjutnya, Al-Sa’di mengungkapkan pandangan lain yang ‎menyatakan bahwa yang dimaksud dengan zikir kepada Allah adalah ‎memahami makna serta hukum-hukum yang ada di dalam kitab suci (Al-‎Qur’an). Karena hanya dengan keyakinan dan ilmu yang berasal dari al-‎Qur’anlah yang dapat menentramkan hati.‎

Dari keterangan Al-Sa’di tersebut dapat dipahami bahwa untuk ‎mendapat ketenteraman hati itu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu: ‎Pertama, berzikir dengan menyebut asma Allah, mengucapkan kalimat-kalimat ‎thayyibah, serta mengingat-Nya sepanjang masa.‎

Cara kedua adalah dengan membaca, mempelajari, memahami serta ‎mengkaji al-Quran beserta isi yang terkandung di dalamnya. Cara kedua ini ‎akan menghadirkan dampak yang luar biasa jika dapat dilakukan secara ‎istikamah.

Ya, karena ketika seseorang membaca al-Quran, baik memahami ‎arti dan kandungannya maupun tidak, sudah dinilai ibadah yang berpahala. ‎Hal ini, secara psikologis memberikan motivasi tersendiri bagi para ‎pembacanya. Apalagi jika pada saat membaca itu disertai dengan mempelajari, ‎mengkaji serta memahami makna dan isi yang terkandung di dalamnya.‎

Al-Qur’an akan menghadirkan ketenangan batin, ketenteraman hati ‎dan kedamaian jiwa bagi siapa saja yang membacanya dengan sepenuh hati ‎segenap jiwa seluruh rasa.‎

Semoga al-Quran dapat menjadi syafaat bagi kita semua yang selalu istikamah dalam mempelajarinya. Amin. Wallahu A’lam.

Mengenal Tafsir Feminis: Motif dan Paradigma Dasarnya

0
Mengenal tafsir feminis
Mengenal tafsir feminis

Tafsir feminis menjadi tren aliran tafsir saat kesetaraan gender menjadi proyek global. Tren ini merupakan salah satu upaya pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) selain agenda yang dilakukan oleh lembaga atau yayasan pemberdayaan dan perlindungan perempuan. Lalu, sebenarnya apa motif yang melatari muncul dan masyhurnya aliran ini? Dan bagaimana paradigma dasarnya? Berikut jawaban sederhana dari dua pertanyaan tersebut.

Baca juga: Surat Al-Baqarah Ayat 187: Isyarat Relasi Kesetaraan Antara Suami dan Istri

Motif kemunculan

Tafsir feminis merupakan aliran tafsir yang berupaya membaca ayat-ayat relasi laki-laki dan perempuan dengan perspektif gender. Sebagaimana yang dituturkan Eni Zulaikha dalam Tafsir Feminis, aliran ini muncul sebagai kritik terhadap tafsir-tafsir klasik yang dinilai bias terhadap perempuan.

Hal ini memang nyata adanya. Sebagai satu bukti, tatkala kita cermati tafsir Surat An-Nisa ayat 34 tentang qiwamah (kepemimpinan), pada tafsir klasik – Jami’ul Bayan, al-Kasysyaf, Mafatihul Ghayb, al-Jalalayn, dan lain sebagainya- semua sepakat berpendapat bahwa ayat itu menunjukkan kedudukan laki-laki sebagai pemegang kuasa atas perempuan di ruang domestik sekaligus berwenang mendidiknya.

Pendapat mereka ini berdiri atas argumentasi bahwa laki-laki memiliki kekuatan (al-quwwah/al-qudrah) yang lebih besar daripada perempuan. Baik itu kekuatan fisik, maupun intelektual. Di titik ini dapat kita pahami, dua konsep berbeda yang disebut dengan seks dan gender masih abu-abu, tidak ada pembedaan yang dilakukan mufassir klasik itu.

Baca juga: Teori Semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu dan Kontribusinya dalam Studi Al-Quran

Maka kemudian, mulai akhir abad 19 muncul tokoh tafsir feminis di berbagai penjuru negeri. Sebut saja, at-Tahtawi (w. 1873) Qasim Amin (w. 1908) dari Mesir, Amina Wadud dari Amerika, Asma Barlas dari Pakistan, dan lain sebagainya. Dari Indonesia juga lahir banyak pemikir tafsir feminis seperti Zaitunah Subhan, Musdah Mulia, Husein Muhammad. bahkan, tafsir feminis juga melembaga di Indonesia. Yayasan Puan Amal Hayati, salah satunya. Mengutip Farid Muttaqin dalam Feminist Interpretation of The Quran, yayasan yang berdiri sejak 21 tahun silam ini selain memiliki misi untuk mengawal pesantren dan madrasah dalam menciptakan sarana pendidikan yang setara gender, juga untuk mengenalkan perspektif feminis dalam memahami teks agama, Al-Quran dan Hadis.  Dari Puan ini kemudian Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) lahir sebagai lembaga yang concern pada pembacaan Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan feminis.

Baca juga: Husein Muhammad dan Pembacaan Al-Quran Berperspektif Gender

Munculnya tafsir feminis berikut gerakannya ini dilatari oleh kesadaran atas kesetaraan gender. seperti yang dikatakan Amina Wadud dalam Women in Quran dan begitu pun Asma Barlas dalam Believing Women in Islam, tafsir-tafsir yang kemudian menjadi kiblat mayoritas masyarakat muslim, tidak mewakili pengalaman perempuan dan terkesan eksklusif karena ditafsirkan oleh laki-laki.

Selain itu juga karena tafsir klasik yang berbentuk tahlili, menurutnya kurang utuh dalam menuangkan maksud Al-Quran. Tafsir bentuk ini memang bersifat atomistik, karena disusun secara tartib mushafi, sehingga ayat-ayat yang setema terpisah. Kecenderungan tafsir klasik pada analisis bahasa, sampai terkesan abai pada pesan universal ayat, turut menjadi motif munculnya tafsir feminis. Atas dasar motif-motif tersebut, tokoh tafsir feminis dengan kesadaran kesetaraan gendernya kemudian merumuskan tafsir menggunakan teori mereka masing-masing.

Paradigma tafsir feminis

Paradigma secara sederhana berarti kerangka berpikir yang mapan. Artinya, mengutip Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions, paradigma ini bisa kita artikan dengan teori, hukum, pendekatan, instrumen, aplikasi, atau apa pun itu yang bisa disebut sebagai cara menyelesaikan masalah, yang ditelah disepakati oleh sekelompok orang.

Bila dikaitkan dengan tafsir feminis, maka paradigmanya antara lain berupa pijakan dasar dalam membaca ayat-ayat relasi laki-laki dan perempuan dengan perspektif feminis. Menurut Nasaruddin Umar dalam Argumentasi Kesetaraan Gender, pijakan dasar ini ialah dengan melakukan pembedaan konsep seks dan gender. Seks dipahami sebagai sesuatu yang tak bisa dirubah dalam diri manusia, yaitu sesuatu yang bersifat biologis –jenis kelamin, misalnya-. Sementara gender terbentuk oleh konstruksi sosial –sederharanya bisa kita artikan dengan peran-. Pada yang kedua ini, tafsir feminis tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan.

Baca juga: Laleh Bakhtiar dan Kontribusinya Dalam Kajian Tafsir

Selanjutnya, ayat-ayat yang berhubungan dengan relasi laki-laki dan perempuan dibaca secara komprehensif dengan metode tematik dan pendekatan kontekstual –seperti yang populer dilakukan mufasir kontemporer). Pendekaran ini beraneka ragam istilah. Tiap tokoh bahkan memiliki istilah sendiri. Misalnya, Amina Wadud dengan hermeunitika tauhidik, Asma Barlas menggunakan anti-patriarchal approach, yang terbangun dari argumentasi sejarah dan hermeunitika Fazlur Rahman, Zaitunah Subhan dengan suspicious exegesis-nya, Faqihuddin Abdul Kodir dengan Qiraah Mubaadalah-nya, dan masih banyak lagi tentu saja.

Meski memiliki beraneka istilah, tafsir feminis secara umum memegang prinsip yang relatif sama. Prinsip ini disarikan dari Al-Quran, yang antara lain ialah keadilan (al-‘adalah), kesetaraan (al-musawah), kemaslahatan (al-mashlahah), kepantasan (al-ma’ruf), dan musyawarah (as-shura). Dan, tujuannya pun juga sama, menghasilkan tafsir yang setara gender, yang menjadi salah satu langkah penting untuk menghentikan tindak kekerasan terhadap perempuan melalui jalan kritik ideologi patriakhi yang masih menjadi common sense di sebagian masyarakat. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 88-90

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pembahasan sebelumnya telah dipaparkan mengenai janji Allah terhadap Bani Israil yang dilanggar oleh mereka. Kali ini Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 88-90 membahas tentang tertutupnya hati orang-orang Yahudi terhadap dakwah Nabi Muhammad Saw.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 84-87


Dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 88-90 dijelaskan bahwa setelah Alquran datang dan orang Yahudi mengetahui kebenarannya namun mereka mengingkarinya. Mereka tidak mau beriman dan Allah melaknat atas pengingkaran mereka.

Ayat 88

Allah menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi yang semasa dengan Muhammad saw membuat pernyataan bahwa hati mereka tertutup terhadap dakwah Muhammad saw. Perkataan mereka ini menunjukkan sikap mental yang mencegah mereka untuk memahami kitab yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Ayat ini searti dengan firman Allah:

وَقَالُوْا قُلُوْبُنَا فِيْٓ اَكِنَّةٍ مِّمَّا تَدْعُوْنَآ اِلَيْهِ وَفِيْٓ اٰذَانِنَا وَقْرٌ وَّمِنْۢ بَيْنِنَا وَبَيْنِكَ حِجَابٌ فَاعْمَلْ اِنَّنَا عٰمِلُوْنَ

Dan mereka berkata, ”Hati kami sudah tertutup dari apa yang engkau seru kami kepadanya dan telinga kami sudah tersumbat, dan di antara kami dan engkau ada dinding, …. (Fussilat/41:5)

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa orang-orang yang mengatakan demikian itu ialah mereka yang hidup pada saat turunnya ayat dan sezaman dengan Muhammad saw. Allah membantah perkataan mereka, karena duduk persoalannya tidaklah seperti yang mereka katakan.

Hati mereka itu diciptakan sesuai dengan fitrah, dan diberi bakat untuk menanggapi segala sesuatu yang dapat membuka hati mereka, dan menyampaikan kepada kebenaran, yang semestinya mereka dapat menilai kebenaran Kitab Alquran.

Tetapi karena sikap mereka demikian, maka Allah membiarkan mereka jauh dari rahmat-Nya, karena kekafiran yang bersarang di hati mereka terhadap para nabi yang telah lalu dan pada kitab-kitab yang tidak mereka amalkan ajarannya, bahkan mereka berani mengubah menurut kehendak hawa nafsu mereka.

Kemudian Allah menyebutkan laknat yang patut mereka terima dan alasan penimpaan laknat itu, yaitu agar mereka dapat memahami sebab dan musababnya, dengan disertai penjelasan bahwa Allah sekali-kali tidak menganiaya mereka.

Tetapi semata-mata karena perbuatan mereka yang terus-menerus bergelimang dalam kekufuran dan kemaksiatan yang menyebabkan hati mereka tertutup kekufuran untuk menerima kebenaran.

Kemudian Allah juga menyebutkan bahwa mereka beriman hanya dengan iman yang sekelumit saja. Yang dimaksud dengan iman yang sekelumit ialah iman mereka kepada kitab, hanya sebagiannya saja, sedang sebagian yang lain mereka ubah menurut kehendak hawa nafsu, bahkan mereka enggan mengamalkannya.

Atau dengan perkataan lain, mereka tidak mau mengamalkan keseluruhannya, bahkan yang mereka imani hanyalah sebagai ucapan lisan saja, tidak terbukti dalam perbuatan. Karena itu, iman yang terdapat dalam hati mereka tidak mampu untuk mengendalikan kemauan mereka, dan hawa nafsu mereka telah menyeret mereka ke lembah kekafiran.

Ayat 89

Allah swt menerangkan, bahwa setelah Alquran datang dari sisi Allah, orang-orang Yahudi dan Nasrani mengingkarinya, padahal Alquran memberi petunjuk serta membenarkan Kitab Taurat yang ada pada mereka, yang sebelumnya sangat mereka harapkan kedatangannya untuk membenarkan yang terdapat dalam kitab mereka.

Tetapi setelah kebenaran yang mereka ketahui itu datang, mereka tidak mau beriman. Sebabnya ialah karena mereka merasa akan kehilangan pengaruh, kekuasaan dan harta benda. Maka patutlah Allah melaknat mereka, sebagai imbalan kekafiran yang bersarang dalam dada mereka.

Alquran disebut Kitab yang membenarkan kitab mereka karena kandungannya sesuai dengan isi Kitab mereka dalam bidang tauhid dan prinsip-prinsip serta tujuan agama. Mereka dengan datangnya kitab yang ditunggu-tunggu itu sebenarnya mengharapkan kemenangan atas orang-orang musyrikin Arab dan orang-orang kafir Mekah.

Hal ini dapat diketahui dari perkataan mereka bahwa kitab yang ditunggu-tunggu itu akan mendukung tauhid yang dibawa oleh Musa a.s., untuk menundukkan agama wasaniyah yang dipeluk oleh orang-orang Arab.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Qatadah al-Ansari dari orang tua-tua dari kalangan Ansar mereka berkata,  Kisah yang tersebut dalam ayat ini adalah mengenai kami dan orang-orang Yahudi Medinah. Kami dahulu pernah menjalankan agama mereka pada masa Jahiliah, sedang waktu itu kami masih musyrik dan mereka ahli kitab.

Mereka mengatakan bahwa seorang nabi yang akan diutus telah dekat masanya, kami akan mengikutinya. Bersama-sama nabi itu kami akan membinasakan kamu seperti Allah membinasakan kaum ‘Ad dan Iram. Tetapi setelah Rasulullah saw diutus, kami mengikutinya, sedang orang-orang Yahudi itu mengingkarinya.”

Dari kisah ini dapat dipahami, bahwa mereka sebenarnya dengki kepada orang-orang Islam, kedengkian itu timbul setelah Allah mengutus Nabi Muhammad saw, dari kalangan orang-orang Arab, tidak dari kalangan mereka. Itulah sebabnya mereka terjerumus di lembah keingkaran dan kekafiran.

Maka Allah memberikan ketetapan-Nya, bahwa mereka akan terusir dan jauh dari rahmat-Nya, karena keingkaran mereka pada kebenaran, setelah kebenaran yang diharapkan itu tampak di hadapan mereka.


Baca juga: Edwin Wieringa, Tentang Al-Qur’an Kuno-kunoan dan Santri NU


Ayat 90

Allah menjelaskan betapa jeleknya perbuatan mereka dan meng-ibaratkannya seolah-olah mereka menjual diri mereka sendiri.

Perbuatan mereka itu berupa pengingkaran terhadap kitab yang diturunkan Allah, yang sebenarnya mereka telah mengetahui, yaitu kitab yang membenarkan Kitab Taurat yang ada pada mereka. Dengan demikian mereka membiarkan diri mereka terjerumus dalam kekafiran, seolah-olah mereka itu menghancurkan diri mereka sendiri.

Sebagai akibat dari kedengkian mereka, mereka mengingkari kenabian Muhammad dan benci apabila dia menerima wahyu dari Allah. Mereka tidak senang Muhammad saw diangkat sebagai nabi, karena Muhammad saw keturunan Ismail, padahal mereka mengharap-harap nabi yang ditunggu-tunggu kedatangannya itu diangkat dari keturunan Ishak.

Kemudian Allah menyebutkan bahwa mereka akan mendapat kemurkaan yang berlipat ganda, melebihi kemurkaan yang seharusnya diterima sebelumnya. Sebab tiada lain karena mereka di samping membangkang kepada Nabi Musa, juga mengingkari kerasulan Muhammad saw.

Kemudian Allah menerangkan akibat dari kekafiran mereka yaitu mereka mendapat siksaan yang menyeret mereka ke lembah kehinaan dan kenistaan baik di dunia maupun di akhirat.

Siksaan mereka di dunia ialah mereka akan berada dalam lembah kehinaan dan terbelenggu dalam rantai kenistaan. Sedang siksaan mereka di akhirat ialah mereka akan mengalami siksaan yang kekal di dalam neraka Jahanam.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 91-96


(Tafsir Kemenag)

Melihat Tradisi Khataman Al-Quran Sebagai Objek Penelitian

0
Khataman Al-Quran
Khataman Al-Quran

Khataman al-Quran menjadi salah satu tradisi yang bisa dibilang selalu ada dalam kehidupan umat Islam di Indonesia. Tetapi tahukah pembaca bahwa tradisi Khataman al-Quran bisa menjadi salah satu objek yang diteliti lebih mendalam? Khataman al-Quran tentu tidak serta merta begitu saja ada, tetapi ada latar belakang yang mendasarinya. Latar belakang itulah yang menjadi objek yang bisa untuk ditelusuri lebih jauh dalam aktivitas penelitian.

Fenomena khataman al-Quran adalah satu dari sekian banyak tradisi di Indonesia yang membawa al-Quran di dalamnya. Adapun Khataman al-Quran atau Khatmil Qur’an merupakan bahasa serapan dari bahasa Arab. Khatm sendiri merupakan bentuk masdar dari khatama yang bermakna “menutup, menamatkan, menyelesaikan atau memberi stempel”. Maka tradisi Khataman al-Quran atau Khatmil Qur’an merupakan sebuah tradisi yang digelar sebagai bentuk rasa syukur terhadap terlaksananya aktivitas menamatkan al-Quran baik secara bacaan maupun hafalan.

Tradisi Khataman al-Quran ini tentu tidak begitu saja muncul di tengah masyarakat Indonesia. Dalam ilmu Living Qur’an, ada asumsi teoritis bahwa setiap sikap maupun tradisi yang membawa al-Quran di dalamnya merupakan bentuk dari fungsi performatif al-Quran. Sebelum dilanjutkan, mungkin perlu diperjelas apa itu Living Qur’an dan apa itu fungsi performatif.

Baca Juga: Anda Sedang Khataman Al-Quran? Berikut Anjuran Para Ulama Mengenainya

Nah Living Qur’an itu merupakan ilmu untuk mempelajari fenomena Qur’an in every day life (al-Quran dalam kehidupan keseharian). Sederhananya adalah ilmu yang melihat bagaimana al-Quran itu diresepsi dan mengilhami (dimaknai dan difungsikan dalam) berbagai bentuk perilaku masyarakat. Maka dari definisi tersebut, jelas bahwa tradisi Khataman al-Quran masuk ke dalam bagiannya.

Adapun yang dimaksud fungsi performatif adalah salah satu dari resepsi fungsionalis terhadap al-Quran. Fungsi performatif ini sendiri didefinisikan sebagai bentuk penerimaan masyarakat terhadap al-Quran yang kemudian dimanifestasikan atau diwujudkan dalam berbagai bentuk sikap dan perilaku (bisa disebut tradisi) di masyarakat. Maka dari definisi ini tepat jika Khataman al-Quran dimasukkan dalam kategori fungsi performatif.

Lalu setelah mengetahui kedua hal tersebut, maka ada asumsi teoritis lain yang perlu diketahui. Asumsinya bahwa fungsi performatif selalu dipengaruhi oleh nuansa sosial-budaya masyarakat sehingga satu tradisi yang sama di masyarakat bisa memiliki ragam perbedaan dalam perwujudan dan pelaksanaannya. Nuansa sosial-budaya ini dipengaruhi oleh konteks ruang dan waktu.

Sederhananya konteks ruang ini merupakan wujud geografis dan demografis yang mempengaruhi budaya suatu masyarakat, maka perbedaan ruang akan memicu perbedaan nuansa sosial-budaya. Misalnya jika membandingkan antara masyarakat Medan dan Yogya, tentu akan ditemukan perbedaan nuansa sosial-budaya di antara keduanya. Selanjutnya konteks waktu, maka yang dimaksud di sini adalah rentang zaman atau masa. Misalnya jika membandingkan antara zaman klasik dan modern atau zaman pra-reformasi dan reformasi, maka akan ditemui perbedaann di antara keduanya.

Maka variabel itulah yang perlu untuk ditelusuri secara mendalam dalam melihat fenomena Living Qur’an atau dalam hal ini adalah tradisi Khataman al-Quran. Sebab dengan melihat variabel tersebut, akan ditemukan ciri khas serta filosofi yang mendasari hadirnya suatu tradisi yang ada di masyarakat. Temuan ini akan memberikan kontribusi dalam mengembangkan dan menambah perbendaharaan referensi rujukan dalam ranah Living Qur’an.

Selain itu, melihat variabel tersebut juga dapat memberikan informasi lain yaitu dinamika pemaknaan yang ada di balik tradisi. Maksudnya adalah bahwa dengan perbedaan konteks ruang dan waktu juga memicu adanya asumsi bahwa masing-masing masyarakat memiliki pemakanaan tersendiri dalam setiap laku tradisi yang mereka jalankan.

Maka bisa saja masyarakat di daerah A memaknai tradisi Khataman al-Quran sebagai ekspresi rasa syukur semata, Namun masyarakat di daerah B memaknainya sebagai barometer atau standar derajat seseorang di masyarakat sehingga semakin meriah dan mewah acara yang digelar maka menandakan bahwa orang tersebut merupakan masyakat dengan golongan ekonomi menengah ke atas.

Begitupula jika dilihat dari sisi historis, bisa saja masyarakat A di zaman A memaknai tradisi Khataman al-Quran sebagai kewajiban untuk mengapresiasi usaha buah hatinya. Namun ternyata setelah pergantian zaman, masyarakat A yang sudah berada di zamman B memaknainya sebagai ajang adu gengsi. Dari sisi ini akan ditemui bahwa makna bisa saja terus mengalami dinamika perubahan, meskipun tradisi yang dijalankan tetap sama secara tata cara dan ketentuan-ketentuannya.

Baca Juga: 3 Cara Tepat Membaca Al Quran

Untuk menganalisis variabel yang telah diuraikan tadi, perlu adanya sebuah pisau analisis yaitu teori sebagai landasan untuk menyusun argumentasi ilmiah. Teori yang populer dijadikan sebagai pisau analisis dalam ranah kajian Living Qur’an adalah teori-teori sosiologi-antropologi yang berkaitan dengan transmisi dan transformasi pengetahuan, konstruksi sosial serta fenomenologi dan makna. Teori-teori tersebut bisa ditemui penerapan langkah-langkahnya dan dirujuk dengan membaca jurnal-jurnal ilmiah yang membahas fenomena sosial-budaya.

Jadi apa yang ingin dibagikan dalam tulisan ini adalah cara pandang seorang akademisi. Maka untuk menjadi seorang akademisi, jangan pernah menganggap sesuatu hal yang biasa adalah hal yang biasa. Sebab bisa saja sesuatu hal yang biasa tersebut memiliki sisi-sisi yang bisa dikulik dan dijadikan sebagai academic problems atau rumusan masalah penelitian ilmiah akademik. Wallahu a’lam.

Perintah dan Teladan Kasih Sayang Rasulullah saw Kepada Semua Makhluk

0
Kasih Sayang
Kasih Sayang

Rasulullah adalah sosok teladan bagi umat manusia. Ia memiliki sifat kasih sayang yang besar terhadap siapa pun. Hal ini misalnya digambarkan oleh Allah Swt di dalam QS. Ali Imran [3]: 159:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[urusan peperangan dan hal-hal duniawi]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Menyayangi sesama dan makhluk Allah Swt yang lain adalah sifat terpuji. Kita bisa mendapatkan beberapa hadis Rasulullah yang menyinggung soal ini, di antaranya:

  1. Kasih sayang di antara kaum mukminin menjadikan mereka satu tubuh. Rasulullah menyatakan ini dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, sebagai berikut:

عَنِ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَرَى المُؤْمِنِينَ فِي تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، كَمَثَلِ الجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالحُمَّى». رواه البخاري ومسلم.

Dari Nu’man bin Basyir dia berkata, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: “Engkau melihat orang-orang yang beriman dalam saling cinta, saling kasih, dan saling sayang di antara mereka adalah bagaikan satu tubuh. Bila salah satu dari bahagian tubuh mengeluh sakit, seleuruh tubuhnya akan turut merasakan sakit (demam) dan tidak dapat tidur.” HR Bukhari dan Muslim.

  1. Penghuni surga nantinya adalah mereka yang memiliki sifat kasih sayang di dunia ini. Hal ini dikatakan oleh Rasulullah Saw. dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Ibn Hibban:

عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «أَهْلُ الْجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ: ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ مُوَفَّقٌ، وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ بِكُلِّ ذِي قُرْبَى وَمُسْلِمٍ، وَرَجُلٌ فَقِيرٌ عَفِيفٌ مُتَصَدِّقٌ». رواه ابن حبان.

Dari ‘Iyadh bin Himar, sesungguhnya Rasulullah Saw. telah bersabda: “Penghuni surga ada 3 macam, yaitu (1) penguasa yang berlaku adil, dan yang mampu melaksakan perintah Allah, (2) seseorang yang lemah lembut kepada kerabat dan kepada muslim, dan sesama, dan (3) seseorang yang fakir/miskin yang suci berbudi luhur, tetapi selalu menjaga dirinya (dari meminta-minta), suka bersedekah. HR Ibn Hibban.

Baca Juga: Pengertian Kata Syukur dan Penggunaannya dalam Kehidupan Sehari-hari

Setiap orang seharusnya memiliki sifat penyayang kepada sesama dan kepada makhluk-makhluk Allah yang lain. Orang-orang yang pengasih dan penyayang akan mendapatkan hal yang sama dari Allah Swt selamanya. Ini juga tergambar dari berbagai hadis Rasulullah, sebagai berikut:

  1. Allah menyayangi siapapun yang menyayangi hamba-Nya. Rasulullah menyatakan:

«إِنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ»

“Allah akan menyayangi hanya hamba-hamba-Nya yang menyayangi makhluk-Nya.” HR Bukhari dan Muslim.

  1. Allah memerintahkan manusia untuk mengasihi dan menyayangi. Rasulullah bersabda:

عَنْ أَبِي قَابُوسٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو، يَرْفَعُهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ارْحَمُوا أَهْلَ الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ أَهْلُ السَّمَاءِ الرَّحِمُ شَجْنَةٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلَهُ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعَهُ». روه الحاكم

“Orang-orang yang menyayangi (makhluk Allah yang lain) pasti akan disayangi Allah. Oleh sebab itu, sayangilah semua yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangimu.” HR. al-Hakim.

  1. Allah tidak akan menyayangi orang-orang yang tidak menyayangi manusia lain. Rasulullah bersabda:

عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ يَرْحَمُ اللَّهُ مَنْ لاَ يَرْحَمُ النَّاسَ»

“Allah tidak akan menyayangi orang-orang yang tidak menyayangi manusia.” HR Muslim.

Baca Juga: Memahami Makna Kata Ikhlas dan Penafsirannya dalam Al-Quran

Kasih sayang yang lahir dari seseorang harus memiliki banyak objek. Ia harus diarahkan kepada semua objek. Objek dari sikap penyayang haruslah luas, tidak hanya terbatas dalam ruang lingkup yang kecil, tetapi juga harus mencakup semua dimensi. Objek-objek itu bisa dirangkum dalam beberapa hal berikut:

  1. Kasih sayang terhadap diri. Ini adalah yang paling utama dan paling inti dari semua objek. Menyayangi diri sendiri diwujudkan dalam bentuk perbuatan-perbuatan atau tindakan yang menyelamatkan dirinya dari hal-hal yang membahayakan dengan cara memenuhi semua kebutuhan primernya dan menghindarkan diri dari segala hal-hal menimbulkan madarat bagi dirinya.
  2. Kasih sayang terhadap sesame manusia. Dimulai dari orang-orang yang paling dekat, seperti kedua orang tua, ayah dan ibu, suami/isteri, anak, cucu, mertua, keluarga dekat, keluarga jauh, tetangga, kawan karib, kenalan, dan orang-orang tidak dikenal, baik muslim maupun non-muslim.
  3. Kasih sayang terhadap hewan dan bintang. Setiap orang harus sayang terhadap hewan dan binatang. Seseorang yang memelihara hewan harus senantiasa menjaganya dengan cara memeliharanya dengan baik. Menjaga agar hewan itu tetap mendapat makanan dan minuman yang layak sesuai dengan kebiasaannya.
  4. Kasih sayang terhadap tumbuh-tumbuhan. Kasih terhadap tumbuh-tumbuhan itu harus diwujudkan terhadap semua tumbuhan-tumbuhan yang ada, baik yang memberi manfaat langsung bagi kehidupan manusia maupun manfaat tidak langsung.
  5. Kasih sayang terhadap makhluk-makhluk Allah yang lain, seperti batu, tanah, air, dan lain-lain. Kasih sayang terhadap mereka diwujudkan dalam bentuk penggunaan benda-benda itu secara proporsional.

6. Kasih sayang terhadap Allah. Kasih sayang terhadap Allah diwujudkan dalam bentuk takwa kepada-Nya dengan melaksakan semua perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Dengan begitu, akan datang kasih sayang Allah yang luar biasa terhadap dirinya.

Demikianlah dalil al-Quran dan hadis terkait dengan keutamaan sifat kasih sayang dan 6 objek yang patut dijadikan pusatnya. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah an-Nazi’at Ayat 23-30

0
tafsir surah an-nazi'at
Tafsiralquran.id

Dalam artikel sebelumnya telah dijelaskan bahwa Fir’aun tetap membangkan terhadap ajakan Nabi Musa as yang lebah lembut, kali ini dalam Tafsir Surah an Nazi’at Ayat 23-30 akan membicarakan mengenai kesombongan Fir’aun. Akibat kesombongannya itu Fir’aun mendapat siksa di dunia dan akhirat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah an-Nazi’at Ayat 12-22


Selain itu dalam Tafsir Surah an Nazi’at Ayat 23-30 ini juga membicarakan mengenai himbauan Allah swt kepada manusia agar selalu memanfaat akalnya untuk berfikir. Khususnya memikirkan adanya jagat raya yang telah diatur sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi manusia.

Ayat 23-24

Pada ayat-ayat ini, Allah menerangkan bahwa Fir’aun mengumpulkan pembesar-pembesarnya dan berseru memanggil kaumnya yang sebagiannya terdiri dari para tukang sihir. Dengan penuh kesombongan, Fir’aun berkata, “Akulah tuhan kamu yang paling tinggi. Jangan ikuti ajakan Musa.”

Ayat 25

Maka Allah menurunkan siksa kepadanya, bukan di dunia saja bahkan juga di akhirat. Siksaan di dunia ialah dengan ditenggelamkan bersama kaumnya di Laut Merah, dan siksaan di akhirat dengan dijerumuskan ke dalam neraka Jahanam, yang merupakan tempat kembali yang sangat buruk.

Ayat 26

Pada ayat ini dijelaskan sesungguhnya pada kejadian yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal dan dapat memperhitungkan tiap-tiap kejadian dengan akibatnya, terutama bagi orang yang takut kepada Allah.

Ayat 27

Ayat ini menghimbau manusia untuk menggunakan akalnya untuk membandingkan penciptaan dirinya yang kecil dan lemah dengan penciptaan alam semesta yang demikian luas dan kokoh. Hal itu menunjukkan kekuasaan Allah.

Ibnu Khaldun menggambarkan keadaan manusia yang terlalu mengagungkan kemampuan logika tanpa mengasah kalbunya dengan mengatakan, “Bagaimana manusia dengan otaknya yang hanya sebesar timbangan emas mau digunakan untuk menimbang alam semesta?”


Baca juga: Tafsir Surat Thaha Ayat 44: Nilai Kelembutan dalam Berdakwah


Ayat 28

Pada ayat ini dijelaskan bahwa Allah meninggikan langit, meluaskan, dan melengkapinya dengan benda-benda angkasa, seperti planet dan lainnya.

Allah lalu menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur benda-benda angkasa itu, sehingga tetap di tempatnya dan tidak berjatuhan, seakan-akan menjadi perhiasan seluruh jagatnya. Menciptakan dan mengatur alam raya (makrokosmos) ini jauh lebih rumit dan kompleks daripada menciptakan manusia yang hanya disebut mikrokosmos.

Kajian saintifik modern saat ini menyatakan bahwa jagad-raya seisinya ini diawali pembentukannya dari adanya singularity. Singularity adalah sesuatu dimana calon/bakal ruang, energi, materi dan waktu masih terkumpul menjadi satu (manunggal).

Dentuman Besar (Big Bang) meledakkan singularity ini dan berkembanglah bak seperti spiral-kerucut yang terus menerus berekspansi melebar dan melebar terus. Sejak Big Bang itulah, waktu mulai memisahkan diri dari ruang, begitu pula energi, materi dan gaya-gaya memisahkan diri, dan selama bermiliar-miliar tahun terbentuklah seluruh jagad-raya yang berisi miliaran galaksi.

Ruang dan waktu terus mengalami ekspansi meluas. Inilah yang disebut dengan “meninggikan bangunannya (langitnya)”. Bahiruddin S. Mahmud menjelaskan bahwa ekspansi jagad raya bukannya tak terbatas, bukannya terus menerus. Laju ekspansi atau perkembangan ini berangsur-angsur menurun, karena gaya gravitasi antar galaksi (yang mereka sesamanya terus saling menjauh) mulai mengendur, sehingga suatu saat akan berhentilah ekspansi jagad raya itu, maka sempurnalah bangunan itu.

Ayat 29

Pada ayat ini dijelaskan bahwa Allah telah menjadikan malam gelap gulita dan siang terang benderang, dan pergantian siang dan malam, serta perbedaan musim-musim sebagai akibat dari peredaran planet-planet di sekitar orbitnya. Mengatur dan memelihara peredaran planet-planet ini sungguh pekerjaan yang luar biasa hebatnya.

Ayat 30

Juga diterangkan bahwa Allah menjadikan bumi terhampar, sehingga makhluk Allah mudah melaksanakan kehidupan di sana. Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menciptakan bumi lebih dahulu, kemudian menciptakan langit, kemudian kembali lagi ke bumi dan menghamparkannya untuk kediaman manusia.

Setelah menyiapkan tempat-tempat tinggal, maka Allah menyediakan segala sesuatu yang diperlukan manusia yaitu tentang makanan dan minuman, sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikutnya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah an Nazi’at Ayat 31-42


(Tafsir Kemenag)

Perkembangan Penerjemahan Al-Quran di Indonesia dari Masa ke Masa

0
Al-Quran dan Terjemahnya
Al-Quran dan Terjemahnya

Terjemah Al-Quran, khususnya di Indonesia mengalami perkembangan dari masa ke masa. Di sini akan diulas versi singkat dari dinamika penerjemahan Al-Quran di Indonesia, lebih fokus lagi di lembaga resmi pemerintah yang menangani hal tersebut.

Al-Quran merupakan mukjizat yang kekal, tak terbatas oleh ruang dan waktu. Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk membimbing manusia kepada jalan yang lurus. Al-Quran meski diturunkan di Arab kepada Nabi Muhammad yang orang Arab, dan berbahasa Arab, tapi Al-Quran diturunkan untuk seluruh umat manusia, bukan hanya untuk bangsa Arab. Maka dari itu salah satu cara untuk memahami Al-Quran bagi kalangan non Arab adalah dengan adanya terjemah Al-Quran.

Awal mulanya banyak perdebatan di antara para ulama mengenai penerjemahan Al-Quran ini. Para ulama yang menolak terjemah dengan berargumen bahwa menerjemahkan Al-Quran akan mengurangi kemukjizatan Al-Quran.

Sedangkan, para ulama yang mendukung adanya terjemah Al-Quran, berpendapat bahwa perlunya terjemah Al-Quran dengan berpedoman kepada, Q.S. al-Baqarah Q.S. al-Baqarah: 159, Q.S. Ali-‘Imran: 138, Q.S. al-An’am: 19, QS. an-Nahl: 44, dan QS. al-Furqan: 1. Beberapa ayat ini menyinggung tentang peran dan fungsi Al-Quran di tengah kehidupan mausia. Peran dan fungsi itu akan maksimal jika manusia, khitab dari Al-Quran itu memahami kandungannya.

Penulis lebih condong kepada para ulama yang mendukung adanya terjemah Al-Quran, karena salah satu tujuan adanya terjemah adalah untuk memudahkan mengetahui makna dan kandungan dari Al-Quran itu sendiri. Khususnya bagi kalangan orang awam dan non Arab. Namun tetap diingat, jalan ini bukan jalan terakhir.

Baca Juga: Problem Status Terjemah dan Tafsir Al Quran

Mahmud Yunus: Pelopor Penerjemahan Al-Quran di Indonesia

Salah seorang ‘alim Indonesia yang menjadi pelopor penerjemahan Al-Quran di Indonesia adalah Mahmud Yunus. Ia merupakan seorang intelektual asal Sumatera Barat yang dikenal melalui karya-karyanya. Kurang lebih 75 judul buku pernah ditulis olehnya. Salah satu kitab masyhur yang pernah ditulis oleh beliau dan sering dijumpai adalah Tafsir Qur’an Karim dan Kamus Arab-Indonesia.

Dalam skripsi yang disusun oleh Anisa Al-Basiroh, ia menuliskan bahwa Tafsir Quran al-Karim karangan Mahmud Yunus awalnya diterjemahkan pada tahun 1922 dengan huruf Arab Melayu. Namun, sempat terhenti pada tahun 1924 karena beliau memilih melanjutkan pendidikannya di Mesir.

Kemudian pada tahun 1935, Kiai Mahmud Yunus kembali menerjemahkan Al-Quran beserta tafsirnya yang diberi nama: Tafsir Al-Quranul Karim. Dan ia menerbitkannya sebanyak 2 juz setiap bulannya. Saat menerjemahkan juz 7 sampai juz 18, Mahmud Yunus dibantu oleh H.M. Bakry. Lalu, pada April 1938 rampunglah terjemahan Al-Quran beserta tafsirnya lengkap 30 juz dan didistribusikan ke seluruh Indonesia.

Baca Juga: Mahmud Yunus: Pendidik Prolifik Yang Menulis Tafsir Qur’an Karim

Upaya Pemerintah dalam Menerjemahkan Al-Quran dan Perkembangannya dari Masa ke Masa

Adib dalam penelitiannya, Perkembangan Terjemah Al-Qur’an di Indonesia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia turut aktif dalam upaya penerjemahan Al-Quran ke dalam Bahasa Indonesia. Salah satu upayanya yakni dengan membentuk Lembaga Penyelenggara Penerjemah Al-Quran yang diketuai pertama kali oleh Prof. RHA. Soenarjo, SH.

Lembaga ini berhasil menerjemahkan Al-Quran untuk pertama kalinya pada 17 Agustus 1965. Terjemahan versi pertama ini diresmikan oleh Menteri Agama saat itu, yaitu kiai Saifuddin Zuhri. Terjemahan ini dicetak dalam 3 jilid yang setiap jilidnya berisi 10 juz.

Kemudian pada tahun 1971 dilakukan penyempurnaan pada edisi sebelumnya yang kemudian dicetak dalam satu jilid, sehingga terlihat tebal sekitar 1294 halaman. Cetakan edisi ini diberi nama Al-Quran dan Terjemahnya. Terjemahan edisi ini mendapat sambutan yang positif dari umat islam di Indonesia. Umat islam di Indonesia merasa terbantu memahami kitab sucinya dengan adanya terjamahan Al-Quran ini.

Lalu pada 1989, sebagaimana juga ditulis dalam laman resmi Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran, Kemenag melalui Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran melakukan kajian penyempurnaan terjemahan Al-Quran di Indonesia. Penyempuarnaan ini tidak menyeluruh, hanya fokus pada penyempurnaan redaksional yang dianggap tidak sesuai dengan Bahasa Indonesia saat itu. Tim ini dipimpin oleh ketua Lajnah saat itu, yaitu Drs. H. Abdul Hafidz Dasuki.

Pada tahun 1990, hasil penyempurnaan ini juga diterbitkan oleh pemerintah Saudi Arabia. Mereka membagikan Al-Quran secara gratis dan terjemahnya kepada jama’ah haji Indonesia saat itu sebelum kembali ke Indonesia.

Baca Juga: Apakah Terjemahan Al-Quran Dapat Disebut Karya Tafsir? Inilah Pemetaan Levelisasi Mufasir Menurut Para Ahli

Penyempurnaan selanjutnya dilakukan oleh Kemenag pada tahun 1998 sampai tahun 2002. Penyempurnaan kali ini lebih menyeluruh, sehingga memakan waktu empat tahun. Perbaikan yang dilakukan meliputi empat aspek. Pertama, aspek Bahasa. Kedua, aspek konsistensi. Ketiga, aspek substansi. Keempat, aspek transliterasi.

Awal penyempurnaan terjemah pada periode ini dipimpin oleh kepala Lajnah saat itu, yaitu Drs. H. Ahmad Hafidz Dasuki, M.A. Namun saat finalisasi penyempurnaan, Lajnah dipimpin oleh Drs. H. Fadhal Bafadhal, M.Sc. Terjemahan edisi tahun 2002 terlihat lebih tipis dibandingkan dengan edisi 1998. Dari 1290 halaman menjadi 924 halaman, berkurang 370 halaman.

Selain karena sistem terjemahan 2002 lebih singkat, ada beberapa bagian yang dihilangkan seperti bagian pembukaan dan footnote. 14 tahun kemudian, menindaklanjuti Musyararah Kerja Nasional (MUKERNAS) Ulama Al-Quran, Kemenag melalui Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran melakukan kajian penyempurnaan selanjutnya. Kajian penyempurnaan ini diketuai oleh Kepala Lajnah, Dr. Muchlis Hanafi, M.A.

Baca Juga: Uraian Lengkap Soal Terjemah Al-Quran dan Perbedaannya dengan Tafsir

Pada penyempurnaan kali ini, ada lima instrumen penyempurnaan yang ditetapkan untuk menghasilkan terjemahan yang lebih baik. Lima instrumen tersebut antara lain:

  1. Konsultasi public secara offline. Dilaksanakan di Jawa Tengah, Jakarta, Padang, dan Malang pada tahun 2017.
  2. Penelitian lapangan penggunaan terjemahan Al-Quran di masyarakat.
  3. Membentuk tim yang terdiri dari 15 orang pakar; Al-Quran, Tafsir, Bahasa Arab, dan Bahasa Indonesia. (bersidang setiap bulan sejak 2016-2019)
  4. Konsultasi public online. Guna menjaring usulan dan aspirasi masyarakat secara online melalui website Portal Konsultasi Publik.
  5. Mukernas Ulama Al-Quran tahun 2018 dan Ijtimak Ulama Al-Quran tahun 2019. Kegiatan ini sebagai forum uji publik dan uji shahih sekaligus menjaring masukan dari para ulama Al-Quran Indonesia.

Dan Pada tanggal 14 Oktober 2019, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran Bidang Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI meluncurkan terjemahan Al-Quran Kementerian Agama Edisi Penyempurnaan.

Adanya perkembangan penerjemahan Al-Quran di Indonesia dari masa ke masa ini menunjukkan tren positif, yakni upaya penyempurnaan yang terus dilakukan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran, tidak menutup kemungkinan akan ada evaluasi dan penyempurnaan (lagi) di masa-masa berikutnya.

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 84-87

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pada pembahasan sebelumnya telah dipaparkan bagaimana berpalingnya Bani Israil dari perintah-perintah Allah. Sedangkan untuk Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 84-87 membahas mengenai janji yang dilanggar oleh orang Yahudi.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 83


Allah telah memerintahkan Bani Israil untuk tidak melakukan pertumpahan darah. Namun dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 84-87 ini diterangkan bahwa Bani Israil melanggar perintah Allah, mereka merusaknya dengan membunuh saudara mereka sendiri.

Ayat 84

Dalam ayat ini Allah telah mengambil janji dari Bani Israil agar mereka benar-benar menjauhi pertumpahan darah di antara mereka, dan tidak saling mengusir dari negeri masing-masing.

Mereka hendaklah merupakan kesatuan bangsa karena satu agama dan satu keturunan. Masing-masing hendaklah merasa bahwa diri dan darahnya adalah diri dan darah kaumnya.

Ayat ini juga mengandung larangan mengerjakan kejahatan-kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati (qisas), atau pengusiran dari kampung halaman yang berarti “membunuh diri sendiri”.

Bilamana mengerjakan suatu kesalahan yang dapat dijatuhi hukuman mati, maka berarti membunuh dirinya sendiri. Pada akhir ayat ini Allah menyatakan bahwa orang Yahudi pada zaman Rasul saw mengaku menerima janji itu, bahkan mereka menjadi saksi atas janji itu.

Ayat 85

Dalam ayat ini disebutkan kenyataan tentang pelanggaran orang Yahudi terhadap larangan Allah itu. Di Medinah sejak sebelum Nabi Muhammad saw terdapat tiga suku Yahudi yaitu Bani Qainuqa, Bani Nadir, Bani Quraizah. Ketiga suku itu terlibat dalam perang saudara yang terjadi antara kabilah Aus dan Khazraj; keduanya penduduk asli kota Medinah.

Bani Qainuqa dan Bani Nadir adalah sekutu kabilah Khazraj, sedangkan Bani Quraizah adalah sekutu kabilah Aus. Dengan demikian terjadilah peperangan dan usir-mengusir antara sesama kaum Yahudi sendiri.

Ayat ini menerangkan bahwa sesudah menerima janji yang kuat itu, mereka merusaknya dengan membunuh saudara-saudara mereka sendiri, mereka saling membunuh sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang terhadap mereka, sedangkan mereka mengaku bahwa janji Allah itu juga dikenakan pada mereka.

Sebagian orang Yahudi membantu orang-orang Arab yang telah menjadi sekutu mereka dengan membuat dosa seperti pembunuhan dan peperangan, dan membantu mereka di dalam permusuhan seperti pengusiran dari kampung halaman. Bilamana ada yang tertawan, baik orang Arab ataupun orang Yahudi yang bermusuhan, maka untuk melepaskannya mereka meminta uang tebusan.

Masing-masing golongan Yahudi menebus bangsanya yang menjadi tawanan itu, walaupun tawanan itu musuhnya. Mereka mengemukakan alasan bahwa kitab suci mereka memerintahkan agar mereka menebus tawanan-tawanan bangsa yang suci itu.

Jika mereka benar-benar beriman kepada kitabnya seperti yang mereka katakan, mengapa mereka mengusir, saudara-saudaranya dari kampungnya, sedangkan Taurat melarang mereka berbuat begitu? Kalau demikian, bukankah itu berarti mengejek agama? Mengapa mereka beriman pada sebagian Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain?

Allah telah membuat janji dengan Bani Israil di dalam Taurat, agar tidak saling membunuh dan mengusir di antara sesamanya. Dalam Taurat disebutkan,  Siapa saja hamba lelaki atau perempuan dari Bani Israil yang kamu dapati, bayarlah harganya dan merdekakanlah dia.

Namun mereka tetap saling membunuh di antara sesamanya dan tetap saling mengusir. Mereka menyalahi janji mereka kepada Allah. Apabila ada yang ditawan, mereka menebusnya, sebagai ketaatan mereka kepada janji. Hal itu menunjukkan bahwa mereka mengimani sebagian isi Kitab dan tidak percaya kepada bagian yang lain.

Pembalasan terhadap para pelanggar ketentuan-ketentuan di atas ialah kebinasaan di dunia dan azab yang pedih di akhirat. Kenyataan telah menunjukkan bahwa umat yang berlaku curang terhadap perintah Allah dan melempar agama ke belakang, mereka akan bercerai-berai dan akan ditimpa azab kehinaan sebagai pembalasan terhadap kerusakan akhlak dan kejahatannya.

Adapun orang-orang yang tetap berlaku benar, menyucikan dirinya dan baik keadaannya, akan memperoleh nikmat di sisi Tuhannya. Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa-apa yang mereka kerjakan. Dia akan memberi balasan terhadap segala perbuatan manusia.


Baca juga: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 120: Benarkah Yahudi dan Nasrani Tidak Rela Terhadap Islam?


Ayat 86

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa merekalah orang-orang yang mengutamakan kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat dan menerima kehidupan dunia ini sebagai ganti kehidupan akhirat. Mereka memberi bantuan kepada sekutu-sekutu mereka yang menyembah berhala, kerena hendak mengambil keuntungan duniawi.

Pada hari kiamat mereka akan diazab dengan azab yang berat dan tidak diberi bantuan apa-apa, sebab perbuatan mereka telah mencantumkan mereka dalam golongan orang-orang celaka.

Oleh karena itu tertutuplah pintu rahmat Ilahi pada mereka. Mereka tidak mendapatkan penolong yang dapat menolong mereka, dan tidak pula mendapatkan pembela yang dapat membantu mereka. Mereka tetap abadi di dalam neraka Jahanam.

Ayat 87

Allah swt telah menurunkan Taurat kepada Nabi Musa a.s., kemudian Allah mengutus sesudahnya beberapa orang rasul yang datang silih berganti. Maka, setiap waktu selalu ada rasul yang menyampaikan agama Allah. Dengan demikian tidak ada alasan bagi mereka untuk melupakannya, mengganti atau mengubah peraturan-peraturan yang telah ditetapkan Allah.

Sesudah itu Allah menyebutkan Nabi Isa a.s. dalam ayat ini secara khusus di antara para rasul itu, dan menerangkan bahwa dia telah diberi mukjizat yang dapat membuktikan kebenaran kenabiannya. Kemudian Allah menyebutkan pula bahwa Isa a.s. telah diberi wahyu serta diperkuat dengan Rohulkudus (Jibril a.s.), dan ketinggian akhlak.

Kemudian Allah menjelaskan sikap orang-orang Yahudi, bahwa apabila datang utusan Allah dengan membawa peraturan, yang tidak sesuai dengan kehendak hawa nafsu mereka, mereka bersikap sombong dan congkak terhadap utusan itu dengan cara berbuat sewenang-wenang dan berbuat keji di bumi, lalu sebagian dari para rasul itu mereka dustakan, seperti Nabi Isa dan Nabi Muhammad, dan sebagian lagi mereka bunuh seperti Nabi Zakaria dan Nabi Yahya.

Maka tidaklah mengherankan apabila mereka tidak mempercayai seruan Muhammad saw, karena membangkang dan mengingkari itu termasuk tabiat yang telah merasuk dalam jiwa mereka.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 88-90


(Tafsir Kemenag)