Beranda blog Halaman 411

Ibrah Kisah Nabi Adam Memakan Buah dan Bencana dari Kerusakan Alam

0
Nabi Adam
Ibrah Kisah Nabi Adam dan Kerusakan Alam

Di dalam surah Al-Baqarah: 30 diceritakan mengenai kisah Nabi Adam yang ketika hendak diciptakan sebagai khalifah di bumi, para malaikat ‘protes’ kepada Allah Swt. Mereka beranggapan bahwa manusia hanya akan membuat pertumpahan darah dan perusakan di muka bumi.

Anggapan tersebut ditepis Allah Swt dengan mengatakan “Inni A’lamu ma la ta’lamun (Aku lebih mengetahui apa yang kalian tidak ketahui)”. Akhirnya diciptakanlah Adam as sebagai manusia pertama, lalu disusul Hawa sebagai wanita yang menemaninya melahirkan keturunan di Bumi.

Dengan segala kenikmatan dan kelebihan manusia yang tidak dirasakan oleh malaikat dan iblis, kisah Nabi Adam berlanjut pada Surah Al-Baqarah: 35. Dalam ayat ini diceritakan bahwa Nabi Adam dan Hawa diberi aturan agar tidak mendekati ‘Pohon Ini’.

Akan tetapi Nabi Adam dan Hawa melanggar aturan tersebut karena tergoda oleh rayuan Iblis. Mereka bukan hanya mendekatinya, tetapi juga menyentuh, memetik dan memakan buah ‘Pohon Itu’. Akibatnya, Allah Swt memberi sanksi dengan memisahkan Nabi Adam dan Hawa di muka Bumi. Allah Swt mempertemukan Kembali mereka, setelah berkali-kali bertaubat.

Baca Juga: Benarkah Nabi Adam AS Penghuni Pertama di Bumi?

Cerita di atas mengandung dua pemahaman. Pertama, dosa pertama yang dilakukan manusia adalah dosa kepada alam, sebagaimana Nabi Adam mendekati, memetik dan memakan buah ‘Pohon itu’. Kedua, alam sejak awal dijadikan sebagai bagian penting dalam kehidupan manusia, berbuat jahat kepadanya akan mengakibatkan dampak negatif bagi manusia, sehingga alam menjadi salah satu hubungan utama manusia selain hubungan kepada Tuhan dan kepada manusia.

Dua pemahaman ayat di atas pada dasarnya saling terkait. Manusia dan alam adalah satu kesatuan, sehingga merusak kehidupan alam sama dengan merusak kehidupan manusia itu sendiri. Dalam ayat lain dikatakan bahwa kerusakan yang terjadi di darat dan di laut merupakan hasil kejahatan manusia (QS. Al-Rum: 41).

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Dari ayat di atas, Ibnu Katsir mengatakan bahwa kerusakan alam merupakan perbuatan maksiat yang dilakukan oleh penghuninya (Ibnu Katsir, 1978). Ahmad Mustafa Al-Maragi memahami ayat tersebut sebagai sebuah isyarat bahwa kerusakan Alam merupakan akibat kezaliman manusia seperti peperangan, pesawat-pesawat terbang, kapal-kapal selam,dan lainnya (Ahmad Mustafa Al-Maragi, 1394).

Demikian juga Hamka yang menyebutkan berbagai perbuatan manusia yang merusak Alam  seperti air dari pabrik-pabrik kimia, racun, sebagaimana ketika terjadi matinya berjuta ikan di sekitar Selat Terberau, antara Ujung Semenanjung Tanah Melayu dan pulau Singapura (Hamka, 1999). Hal ini menunjukkan besarnya campur tangan manusia terhadap kerusakan Alam.

Berbagai bencana alam yang terjadi selama ini, jangan-jangan bukan karena curah hujan yang tinggi, hujan tak turun-turun, musim hujan atau kemarau yang berkepanjangan, bukan juga yang lainnya. Tetapi, bencana Alam terjadi akibat kejahatan manusia yang, misalnya, menebang hutan secara liar, menutup saluran air dengan aspal, membela gunung, berbohong, tidak amanah, tidak mementingkan Shalat, Puasa, Zakat, sombong, atau lainnya.

Kisah Nabi Adam memperlihatkan bahwa sekalipun ia menjadi manusia pertama di Bumi, yang kemuliaannya melebihi Malaikat –apalagi Iblis, tetapi bukan berarti Adam diperbolehkan bertindak semaunya. Faktanya, Allah Swt menghukumnya karena mendekati Pohon yang dilarang.

Artinya, ada sesuatu yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia, sesuatu yang harus atau tidak harus dilakukan. Kebolehan beriringan dengan ketidakbolehan, keharusan beriringan dengan ketidakharusan layaknya beriringinannya ungkapan Al-Qur’an tentang amar ma’ruf nahi munkar.

Ketika seseorang melakukan kebaikan (ma’ruf), maka saat yang sama ia tidak melakukan keburukan (munkar). Ketika seseorang diperbolehkan menikmati sesuatu, maka saat yang sama ia tidak diperbolehkan menikmati sesuatu. Ketika seseorang diharuskan melakukan sesuatu, maka saat yang sama ia tidak diharuskan melakukan sesuatu. Di dalam kenikmatan Surga yang dibolehkan untuk dicicipi oleh Adam, terdapat ‘Pohon itu’ yang tidak boleh dinikmati oleh Adam.

Dosa pertama manusia dilakukan kepada Alam, makhluk yang selalu dijadikan Objek (korban) oleh manusia. Manusia tidak ‘mendengarkan’ perkataan Alam, tidak ‘memperhatikan’ kegelisahan Alam, atau tidak ‘menyadari’ penderitaan Alam.

Baca Juga: Empat Tipologi Bencana dalam Perspektif al-Quran

Boleh jadi, semua bencana ini terjadi karena manusia tidak menjadikan Alam sebagai Subjek (pelaku), yang mesti didengar, diperhatikan, juga disadari kehadirannya. Padahal, Tuhan bisa saja marah kepada manusia karena Alam, sebagaimana Adam yang diberi hukuman karena mendekati ‘Pohon itu’.

Cerita Adam mengajarkan kita tentang beretika kepada Alam. Adam adalah kita, dan ‘Pohon itu’ adalah Alam, dan Alam adalah kita. Menjaga kebaikan Alam adalah sebuah keniscayaan untuk menjaga kebaikan manusia.

Dengan tidak merusaknya, kita tidak hanya melakukan kebaikan kepada Alam, tetapi juga telah menjaga kehidupan manusia dari bencana Alam. Ketika Tuhan melarang Adam untuk mendekati ‘Pohon itu’, boleh jadi Tuhan sedang menjaga Nabi Adam dari perbuatan Zalim. Ketika Allah Swt menghukum Nabi Adam, boleh jadi Dia sedang memperlihatkan akibat kezaliman pada ‘Pohon itu’. Wallahu A’lam.

Qiraah Mubadalah: Pembacaan Nash Berbasis Keadilan Gender

0
Qiraah Mubadalah
Qiraah Mubadalah

Diskursus keadilan gender memang masih menjadi diskursus yang hangat dibincangkan dalam ruang-ruang akademik. Terlebih diskusi gender yang menjadikan al-Quran maupun Hadis sebagai objek materilnya. Kehadiran qiraah mubadalah bisa dianggap sebagai sebuah deklarasi bahwa al-Quran dan Hadis tidak pilih kasih dan bukanlah nash yang patriarki. Kehadiran qiraah mubadalah sekaligus juga menjadi perspektif tandingan terhadap tafsir-tafsir yang terlalu berbau patriarki.

Dalam mengurai gagasannya, sang penulis sekaligus pencetus teori Qiraah Mubadalah, Faqihuddin Abdul Qadir menggunakan basis metode penafsiran maudhui yakni mengumpulkan ayat-ayat setema yang kemudian dianalisis. Analisis linguistik dan konteks juga menjadi alat yang digunakan oleh sang penulis. Salah satu penjelasan menarik yang diutarakan adalah mengenai maskulinitas maupun femininitas dhomir (kata ganti orang) yang digunakan oleh al-Quran.

Baca Juga: Mengenal Faqihuddin Abdul Kodir, Perintis Metode Qira’ah Mubādalah

Baginya, itu adalah taghlib atau kebiasaan yang sudah terjadi dalam kultur Arab yang diadopsi oleh Quran. Jadi meskipun Quran menggunakan dhomir maskulin bukan berarti hanya laki-laki saja yang di-taklif, begitupun juga jika Quran menggunakan dhomir (kata ganti) feminin tidak berarti bahwa hanya perempuan saja yang dibebankan oleh Quran. Dengan begitu pembacaan mubadalah ini hadir juga untuk menunjukkan substansi pesan yang pada dasarnya menunjuk kepada laki-laki maupun perempuan.

Pembacaan ini juga berlaku saat membaca Hadis. Jadi sederhananya, konsep qiraah mubadalah adalah konsep yang mencoba menggali makna eksplisit dibalik teks-teks agama yang hanya menyebutkan salah satu dari jenis kelamin yang ada, sedangkan konteks kalimatnya (siyaqul kalam) menunjuk pada kedua jenis kelamin, atau dalam ilmu Majaz dikenal dengan kaidah ithlaq al-juz wa iradah al-kull (menyebutkan sebagian namun sejatinya yang diinginkan adalah keseluruhan).

Dalam salah satu pembahasan bukunya yaitu “Tauhid Sebagai Basis Mubadalah”, uraian awal sang penulis menjadi salah satu uraian paragraf yang paling menarik. Ia mengungkapkan:

“Selain terkandung didalam ayat-ayat al-Quran, gagasan dan konsep mubadalah juga memiliki akar yang kuat pada ajaran yang paling fundamental dalam Islam, yaitu Tauhid. Saat seorang insan mengucapkan lafadz la ilaha illallah, itu bermakna bahwa ia telah memproklamirkan diri untuk meyakini akan keesaan Allah.

Memproklamirkan ketauhidan berarti menyatakan dua hal, yaitu pengakuan akan keesaan Allah dan pernyataan atas kesetaraan manusia dihadapan-Nya. Meyakini tidak ada Tuhan selain Allah  itu berarti meyakini tidak ada perantara antara hamba dan Tuhannya, dan bahwa sesama manusia tidak boleh ada satu pihak yang menjadi Tuhan terhadap yang lain. Raja bukan Tuhan bagi rakyatnya, majikan bukan Tuhan bagi buruhnya, dan suami bukan Tuhan bagi istrinya (pun sebaliknya).”

Pemikiran tauhid dalam perspektif mubadalah ini, setidaknya menunjukkan dua hal yang ingin ditekankan. Pertama, tauhid adalah asas fundamental bagi keberadaan mubadalah. Maksudnya tauhid merupakan kerangka dasar yang membentuk konsep mubadalah, sebab ketauhidan akan mengantarkan seseorang pada pemahaman tunggal bahwa Tuhan adalah entitas satu-satunya yang memiliki kedudukan tertinggi sehingga selainnya (makhluk) berada pada posisi yang setara.

Baca Juga: Inilah Tiga Prinsip Kesetaraan Gender dalam Al Quran

Kedua, tauhid tidak hanya diwujudkan dalam laku ibadah vertikal, namun juga dalam laku ibadah horinsontal. Adapun yang dimaksud dengan ibadah horisontal ini adalah pergaulan sosial yang melibatkan sesama makhluk. Maka wujud dari tauhid horisontal adalah dengan terwujudnya kesetaraan sosial dalam konstruk sosial masyarakat yang akan menjadi alasan utama teraktualisasinya konsep mubadalah.

Tawaran konsep Qiraah Mubadalah yang digagas oleh Faqihuddin Abdul Qadir atau Kang Faqih ini memberikan tambahan amunisi bagi perbendaharaan perspektif dalam membaca teks-teks induk dalam ajaran Islam. Semoga kedepannya ada juga tawaran pembacaan baru yang bernuansa ekologis dan dapat memberikan kontribusi pada umat Islam khususnya dalam menyikapi kerusakan alam yang semakin menjadi-jadi. Wallahu alam.

Tafsir Surah an-Nazi’at Ayat 43-46

0
tafsir surah an-nazi'at
Tafsiralquran.id

Pada artikel sebelumnya sempat disinggung mengenai datang hari kiamat, kelanjutannya akan dibicarakan dalam Tafsir Surah an-Nazi’at Ayat 43-46 ini.


Baca juga: Tafsir Surah an Nazi’at Ayat 31-42


Lebih khusus Tafsir Surah an-Nazi’at Ayat 43-46 ini membicarakan mengenai pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad saw. Adapun pertanyaannya terkait dengan kapan kiamat itu akan tiba. Namun Allah swt tidak memerintah Nabi untuk memberitahu waktu pasti terjadinya hari kiamat. Nabi hanya diperintah untuk memberi peringatan agar  manusia bersiap menghadapi hari itu.

Ayat 43

Dalam ayat ini, Allah menanyakan apakah Nabi Muhammad akan menyebutkan waktu Kiamat itu? Padahal tugasnya hanya sekadar memberi peringatan sehingga tidak ada kewenangan untuk menyebutkan tentang kedatangan hari kebangkitan.

Waktu datangnya hari Kiamat tetap merupakan rahasia Allah. Nabi sendiri tidak mengetahui tentang waktu kedatangannya, sebagaimana difirmankan Allah dalam Alquran:

اِنْ عَلَيْكَ اِلَّا الْبَلٰغُ

Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). (asy-Syµra/42: 48)

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin Khattab, ketika Nabi ditanya tentang kapan datangnya hari Kiamat, beliau menjawab:

مَا الْمَسْئُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ.

(رواه مسلم عن عمر بن الخطاب)

Orang yang ditanya tidaklah lebih mengetahui daripada orang yang bertanya. (Riwayat Muslim dari ‘Umar bin al-Khattab)

Allah tetap merahasiakan waktu datangnya hari Kiamat mempunyai hikmah yang besar, yaitu supaya manusia selalu mempersiapkan diri setiap saat dengan banyak-banyak berbuat kebaikan dan selalu menghindari perbuatan jahat.

Ayat 44

Dalam ayat ini diterangkan bahwa hanya Allah saja yang mengetahui kapan ketentuan waktunya. Tidak ada yang mengetahui kapan ketentuan waktunya, dan kapan akan terjadinya kiamat kecuali Allah sendiri.

Firman Allah:

يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ السَّاعَةِ اَيَّانَ مُرْسٰىهَاۗ قُلْ اِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّيْۚ  لَا يُجَلِّيْهَا لِوَقْتِهَآ اِلَّا هُوَۘ ثَقُلَتْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ  لَا تَأْتِيْكُمْ اِلَّا بَغْتَةً ۗيَسْـَٔلُوْنَكَ كَاَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَاۗ قُلْ اِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللّٰهِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ   ١٨٧

Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang Kiamat, “Kapan terjadi?” Katakanlah, “Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu ada pada Tuhanku; tidak ada (seorang pun) yang dapat menjelaskan waktu terjadinya selain Dia. (Kiamat) itu sangat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi, tidak akan datang kepadamu kecuali secara tiba-tiba.”

Mereka bertanya kepadamu seakan-akan engkau mengetahuinya. Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya pengetahuan tentang (hari Kiamat) ada pada Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (al-A’raf/7: 187)


Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 8-11: Penyesalan Orang yang Ingkar di Hari Kiamat


Ayat 45

Dalam ayat ini diterangkan bahwa Nabi Muhammad hanya ditugaskan untuk memberi peringatan kepada orang yang takut kepada hari kebangkitan. Mereka diminta untuk mempersiapkan diri dengan beramal kebaikan dan menghindari kejahatan.

Ayat 46

Pada hari menyaksikan hari kebangkitan dan merasakan huru-haranya, mereka merasa seolah-olah tinggal di dunia hanya sementara saja, seperti sepenggal pagi atau sepenggal sore pada masa-masa yang lalu itu. Kehidupan manusia di dunia ini memang hanya sebentar saja, sebagaimana firman Allah:

يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوْعَدُوْنَۙ  لَمْ يَلْبَثُوْٓا اِلَّا سَاعَةً مِّنْ نَّهَارٍ

Pada hari mereka melihat azab yang dijanjikan, mereka merasa seolah-olah mereka tinggal (di dunia) hanya sesaat saja pada siang hari. (al-Ahqaf/46: 35)


Baca juga: Tafsir Surah Abasa Ayat 1-2


(Tarsif Kemenag)

Lima Cara Membaca Awal Surah At-Taubah dalam Ilmu Tajwid

0
Cara Membaca Awal Surah at-Taubah dalam Ilmu Tajwid
Cara Membaca Awal Surah at-Taubah dalam Ilmu Tajwid

Diantara sekian banyak surat-surat dalam al-Quran, surah At-Taubah merupakan satu-satunya surah yang tidak diawali dengan Basmalah. Lalu bagaimana cara membaca awal surah At-Taubah yang tanpa adanya Basmalah dalam kacamata Ilmu Tajwid? Berikut adalah Lima cara membacanya. 

Lima cara membaca awal surah At-Taubah dalam Ilmu Tajwid ini dikutip dari kitab al-Mufid fi Ilm at-Tajwid karya Abdurrahman bin Sa’dullah Aytani. Selain itu, secara singkat dipaparkan latar belakang absennya Basmalah dari surat At-Taubah.

Awal Surah At-Taubah Tanpa Basmalah

Para Ulama, menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya, al-Misbah, berbeda pendapat mengenai alasan tidak ditulisnya Basmalah di awal surah At-Taubah. Sebagian mengatakan karena Basmalah itu ungkapan rahmat, sedangkan surah At-Taubah berisi pemutusan hubungan atau laknat.

Baca Juga: Mengapa Surat At-Taubah Tanpa Basmalah? Begini Penjelasannya Dalam Tafsir Al-Mishbah

Sebagian yang lain berpendapat bahwa itu adat kebiasaan orang Arab. Masyarakat Arab terbiasa tidak menulis Basmalah apabila mereka ingin memutus atau membatalkan perjanjian. Ada juga yang berpendapat dari sisi rahasia angka dalam al-Quran.

Dalam uraiannya, Quraish Shihab menutup perbedaan-perbedaan pendapat itu dengan menyatakan bahwa pendapat yang sesuai dan berhubungan adalah karena Rasul memang tidak menyuruh sahabat untuk mencantumkan Basmalah di awal surat At-Taubah.

5 Cara Membaca Awal Surah At-Taubah

Ada sebanyak 5 (lima) cara membaca awal surah At-Taubah yang disadur dari kitab al-Mufid fi Ilm at-Tajwid, baik membaca ibtida’ (memulai) dari awal surah At-Taubah itu sendiri maupun menyambung akhir Q.S. Al-Anfal [8] dengan awal Q.S. At-Taubah [9].

Yang perlu diperhatikan ketika membaca awal surah ke sembilan dalam urutan mushaf Usmani adalah tidak membaca basmalah dan cukup dengan taawuz. Ketika seseorang membaca al-Quran dan memulai (ibtida’) bacaannya dari awal surat at-Taubah, ada dua cara membaca taawudz dan awal surat at-Taubah.

اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ () بَرَاءَةٌ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ اِلَى الَّذِيْنَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

Pertama adalah me-washal-kan atau menggabungkan bacaan taawuz dengan awal surah at-Taubah.  Yang dimaksud washal adalah membaca (الرَّجِيْمِ) disambung dengan  (بَرَاءَةٌ) tanpa ada jeda atau berhenti sejenak untuk mengambil nafas.

Baca Juga: Hukum Memperdengarkan Al-Quran Kepada Non Muslim: Tafsir Surat At-Taubah Ayat 6

Kedua adalah me-waqaf–kan atau memisah bacaan taawuz dengan awal surah at-Taubah. Ini tidak ada bedanya dengan membaca seperti biasanya. Pembaca membaca taawuz lalu berhenti, kemudian melanjutkan baca ayat pertama surah at-Taubah.

Cara membaca yang ketiga hingga kelima, semuanya berkaitan ketika seseorang sedang membaca akhir ayat dari surat Al-Anfal dan ingin melanjutkan ke awal surah At-Taubah. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini tidak ada bacaan taawuz karena bukan ibtida at-tilawah (awal membaca al-Quran). Berikut ini potongan akhir dari ayat terakhir surah Al-Anfal dan ayat pertama surah At-Taubah.

…اِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْئٍ عَلِيْمٌ () بَرَاءَةٌ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ اِلَى الَّذِيْنَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

Ketiga adalah me-washal-kan atau menggabungkan akhir surat Al-Anfal dengan awal surah at-Taubah.  Yang dimaksud washal adalah membaca (عَلِيْمٌ) disambung dengan  (بَرَاءَةٌ) tanpa ada jeda atau berhenti sejenak untuk mengambil nafas.

Baca Juga: Akhlak Nabi saw yang Mempersatukan Umat dan Tafsir Surat At-Taubah Ayat 107-109

Keempat adalah me-waqaf–kan atau memisah akhir surah Al-Anfal dengan awal surat at-Taubah. Ini sama halnya berhenti atau waqaf di setiap akhir ayat. Qari (pembaca) membaca ayat terakhir surat Al-Anfal lalu berhenti, kemudian melanjutkan baca ayat pertama surat at-Taubah.

Kelima adalah membaca saktah antara akhir surat Al-Anfal dengan awal surah At-Taubah. Langkah-langkahnya, membaca ayat terakhir dari surat Al-Anfal kemudian berhenti sejenak tanpa bernafas, lalu disambung membaca ayat pertama surat At-Taubah. Ketiga cara ini merupakan kesepakatan para Ulama qiraat.

Oase Al-Qur’an Kiai Ahsin: Kompilasi Mutiara dari Pesan Whatsapp

0
Oase Al-Qur’an Kiai Ahsin
Oase Al-Qur’an Kiai Ahsin

Oase Al-Qur’an adalah buku Kiai Ahsin Sakho Muhammad yang memiliki proses penulisan tak biasa. Buku yang diterbitkan oleh penerbit Qaf ini sebelumnya terdiri dari tiga jilid, namun pada tahun 2020 lalu dikumpulkan mejadi satu. Setelah lahir edisi yang lengkap ini, Oase Al-Qur’an menghimpun 300 ‘bab’ renungan Qurani yang luar biasa. Saya menyebut buku ini sebagai kompilasi mutiara dari pesan Whatsapp.

Benar, dari judul ini terlihat bahwa proses kreatif yang dilalui oleh Kiai Ahsin bermula dari pesan WA. Lebih tepatnya dari ketidak-sengajaan. Kiai pakar ulumul Qur’an yang produktif ini semula hanya berniat untuk memberikan sentuhan Qurani di tengah hiruk pikuk dunia maya. Dari pengantarnya, ia menulis untuk kali pertama berbarengan dengan maraknya fenomena berita hoaks. Dan tulisan-tulisannya lahir untuk meredam itu.

Sebagaimana yang tercantum, ia menulis renungan Qurani itu untuk tiga tujuan. Pertama untuk mendinginkan suasana. Kedua untuk berbagi pengalaman dan sedikit ilmu. Ketiga untuk ikut andil dalam dunia kequranan yang sedang marak di Indonesia, baik untuk komunitas Al-Qur’an atau masyarakat umum.

Baca juga: 5 Ragam Corak Tafsir Feminis yang Penting Diketahui

Untuk proses penulisannya, Kiai Ahsin menyebut berawal dari iseng belaka tapi malah berkelanjutan. Ia tak membatasi diri dengan rentang waktu dan ruang untuk menulis ini. Ia bercerita bahwa di berbagai tempat bisa saja menulis. Hingga jadilah renungan Qurani itu. Beberapa tempat ia sebutkan sebagai permisalan, seperti di mobil, bandara, pinggir laut Bandengan Jepara, kota Kudus, hingga Masjidil Haram. Seusai tulisan ringan itu jadi, ia pun membagikan ke koleganya di grup WA.

Ia mengakui bahwa proses penerbitan Oase Al-Qur’an ini berkat dukungan Ahli Tafsir Prof. Quraish Shihab. Suatu ketika Quraish Shihab berpesan agar tulisan ringan Kia Ahsin dicetak dan dibaca oleh masyarakat luas. Bukan hanya untuk grup Whatsapp saja.

Baca juga: Ini 4 Bacaan Saktah dan Hikmahnya Menurut Ilmu Tajwid

Tapi, saat itu Quraish Shihab memberikan syarat minimal 101 tulisan. Kiai Ahsin pun istiqamah, dan mencapai target itu. Singkat cerita, tulisan yang sudah dibagikan itu tidak terdokumentasi dengan baik. Untungnya, Kiai Ahsin dibantu Dr. Hawasyi al-Betawi untuk menghimpun tulisan yang berserakan itu.  Sehingga lahirlah buku jilid pertama.

Bedah Konten Oase Al-Qur’an

Buku setebal 518 halaman ini sebenarnya sangat ringan sehingga nyaman untuk dibawa kemana-mana. Buku ini berisi 300 oase Qurani dan dibagi menjadi enam bagian. Bagian pertama berjudul Menjadi Muslim dan Khalifah Allah. Bagian kedua berjudul Fungsi dan Keutamaan Al-Qur’an. Bagian ketiga berjudul Berinteraksi dengan Al-Qur’an. Bagian keempat berjudul Jejak Indah Kisah Al-Qur’an. Bagian kelima berjudul Al-Qur’an dan Ibadah Ritual. Terakhir berjudul Al-Qur’an dan Kesalehan Sosial.

Beragam oase Qurani ini ditulis dengan maksud untuk dibaca semua kalangan. Sehingga Kiai Ahsin menampilkan pembahasan yang sederhana, langsung ke persoalan dan menggunakan judul yang singkat padat. Kiai Ahsin juga menyampaikan bahwa apa yang ditulis ini bukanlah terjemahan maupun tafsir Al-Qur’an. Ia hanya ingin menyampaikan pemahaman sederhana dari kalam ilahi yang ia tekuni.

Seperti yang disampaikan di awal tadi, salah satu tujuan penulisan Oase Qurani ini untuk mendinginkan suasana. Di antara pesan dari Kiai Ahsin yaitu tertuang pada Oase Qurani nomor 291.  Oase ini berjudul Penistaan Agama (3) dan berada di bagian keenam Al-Qur’an dan Kesalehan Sosial. Ia menyebut bahwa Islam melarang umatnya melecehkan lambang keislaman dan lambang agama-agama lain.

Baca juga: Edwin Wieringa, Tentang Al-Qur’an Kuno-kunoan dan Santri NU

Setiap kepercayaan mempunyai lambang kesucian dari agamanya dan kepercayaanya. Masing-masing diagungkan dan disakralkan oleh para pengikutnya. Penistaan terhadap lambang-lambang itu akan mengakibatkan konflik berkepanjangan,” tulisnya.

Kiai Ahsin lantas mengisahkan Abrahah yang ingin menghancurkan Ka’bah di Makkah semasa Nabi Muhammad lahir. Saat itu, motivasi Abrahah adalah untuk membalas tindakan provokatif yang dilakukan oleh seorang Arab terhadap lambang sesembahannya yang bernama Al-Qulaish.  Sebelumnya, seorang Arab itu secara sengaja mengotori Al-Qulaish dengan membuang hajat. Atas tindakan ini, Abrahah pun marah dan hendak menghancurkan Ka’bah.

Kiai Ahsin kemudian menguatkan statement-nya dengan menyebut surat Al-An’am. Dalam surat tersebut, Al-Qur’an melarang kaum muslim memaki sesembahan nonmuslim, karena bisa saja mereka berbalik memaki Allah tanpa melihat batas apapun.

Baca juga: Memaknai Surah al-Nahl Ayat 125 dalam Konteks Quranic Parenting

Pesan Buku Oase Al-Qur’an

Oase Al-Qur’an memang ditulis untuk menampilkan karakter orang beriman yang menyejukkan hati. Kiai Ahsin ingin mencerminkan ketauladanan tanpa ada kekerasan. Ia justru memotret sifat manusia yang cerdas secara mental, sosial, moral dan spiritual. Tentu buku ini lebih bernas karena ditulis oleh sosok guru yang mengejawantahkan pemahaman Quraninya. Sehingga saat membaca karyanya, kita seakan melihat dari perilaku dan tutur kata yang selalu digaungkannya.

Pesan terakhir dari buku ini sangat lah menarik, bahwa membaca Oase Al-Qur’an itu tak harus langsung selesai dalam waktu yang singkat. Kiai Ahsin justru menyarankan untuk menyimak setidaknya sehari satu oase. Lalu pembaca menghayati makna dan diajak memohon kepada Allah untuk menuntun segala langkahnya.

Demikian uraian singkat atas Oase Al-Qur’an Kiai Ahsin. Ia berhasil menyajikan tulisan yang menyejukkan sekaligus memberikan tauladan. Maka, tak ada salahnya jika saya menyebut buku ini sangatlah berharga laksana mutiara.

Wallahu a’lam[]

Tafsir Surah an Nazi’at Ayat 31-42

0
tafsir surah an-nazi'at
Tafsiralquran.id

Pada artikel sebelumnya telah membicarakan terkait dengan hamparan bumi dan ketersediaan makanan bagi makhlukNya, Tafsir Surah an Nazi’at Ayat 31-42 ini berbicara mengenai pancaran sumber-sumber air dari bumi dan juga gunung-gunung yang dipancang agar bumi menjadi stabil dan tidak goyah.


Baca juga: Tafsir Surah an Nazi’at Ayat 23-30


Tafsir Surah an Nazi’at Ayat 31-42 ini juga membicarakan mengenai hari kiamat. Allah mengumpamakan hari itu dengan perubahan rambut pemuda-pemuda yang seketika beruban. Perubahan itu menandakan dahsyatnya hari kiamat tersebut.

Ayat 31

Pada ayat ini dijelaskan bahwa Allah memancarkan dari perut bumi sumber-sumber mata air dan sungai-sungai dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhannya, baik untuk dimakan manusia maupun binatang ternak.

Ayat 32

Pada ayat ini juga dijelaskan bahwa Allah memancangkan gunung-gunung dengan cara yang teguh sekali laksana tonggak sehingga menjadikan bumi stabil tidak goyah. Allah menerangkan hikmahnya pada ayat berikut ini.

Ayat 33

Semuanya itu untuk kesenangan manusia dan hewan-hewan ternaknya. Dengan demikian, manusia dan hewan-hewan itu dapat hidup dengan tenang dan mencari rezeki dengan melakukan berbagai kegiatan.

Hal ini juga dijelaskan dalam firman Allah yang lain:

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً لَّكُمْ مِّنْهُ شَرَابٌ وَّمِنْهُ شَجَرٌ فِيْهِ تُسِيْمُوْنَ     ١٠

Dialah yang telah menurunkan air (hujan) dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuhan, padanya kamu menggembalakan ternakmu. (an-Nahl/16: 10)

Setelah mempelajari kandungan ayat-ayat tersebut yang ditujukan untuk meyakinkan tentang adanya hari kebangkitan, maka sepatutnya menjadi bahan renungan bahwa Tuhan yang telah menciptakan manusia dan menciptakan apa-apa yang diperlukan untuk kehidupannya, yang telah mengangkat langit di atas dan menghamparkan bumi di bawah, tidakkah berkuasa untuk membangkitkan manusia kembali pada hari Kiamat? Pantaskah Allah membiarkan manusia melakukan perbuatan yang sia-sia setelah menyiapkan sarana bagi mereka dan menghimpun kebaikan-kebaikan yang melimpah ruah itu untuk mereka?


Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 8-11: Penyesalan Orang yang Ingkar di Hari Kiamat


Ayat 34

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa apabila malapetaka yang sangat besar yaitu hari Kiamat telah datang yang menyebabkan rambut pemuda bisa beruban dan neraka dapat dilihat, maka setiap orang akan melupakan malapetaka-malapetaka lain yang pernah dialaminya.

Allah akan memisahkan antara orang-orang yang taat serta bertakwa, yang mana akan dimasukkan ke dalam surga, dengan orang-orang yang membangkang dan durhaka, yang mana akan dimasukkan ke dalam neraka.

Ayat 35-36

Pada hari Kiamat, manusia akan teringat kepada apa yang telah dikerjakannya ketika hidup di dunia, karena amal-amalnya tercatat dalam sebuah kitab yang lengkap berisi rekaman-rekaman dari ucapan dan perbuatannya sejak mulai balig sampai mati.

Neraka Jahim diperlihatkan dengan jelas kepada setiap orang, baik mukmin maupun kafir.

Ayat 37-39

Adapun orang-orang yang sombong dan melampaui batas, lebih mengutamakan kelezatan kehidupan dunia dari pahala di akhirat. Maka sesungguhnya neraka Jahimlah tempat kediamannya.

Ayat 40-41

Sebaliknya ditegaskan pula bahwa orang-orang yang takut dan mengadakan persiapan karena memandang kebesaran Tuhannya serta menahan diri dari ajakan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat kediamannya yang kekal dan abadi. Alangkah beruntung mereka memperoleh bagian seperti itu.

Ayat 42

Orang-orang musyrik bertanya kepada Nabi tentang kapan waktunya hari Kiamat itu datang. Mereka menanyakan hal itu dengan nada mengejek dan mencemooh. Nabi sendiri ingin sekali menjawab pertanyaan mereka dengan tepat, akan tetapi Allah melarangnya karena hanya Dia sendirilah yang mengetahui kapan hari Kiamat itu akan terjadi.


Baca setelahnya: Tafsir Surah an-Nazi’at Ayat 43-46 


(Tafsir Kemenag)

Surah al-Baqarah Ayat 195: Perintah dan Keutamaan Memberi di Jalan Allah Swt

0
Keutamaan Memberi
Keutamaan Memberi dalam al-Quran

Ada sejumlah dalil dari ayat-ayat di dalam Al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah yang menggambarkan tentang keutamaan memberi. Di antaranya terdapat dalam Surah Al-Baqarah [2]: 195. Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk memberi.

وَأَنفِقُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٩٥

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

Ada empat pesan penting yang disampaikan oleh Allah di dalam ayat di atas, yaitu:

Pertama, perintah untuk memberi dalam bentuk infak. Infakkanlah (belanjakanlah, serahkan, berikanlah) sebahagian dari harta benda yang engkau miliki di jalan Allah, di jalan kebaikan untuk menegakkan kalimat Allah, dan jalan untuk menegakkan agama Allah. Kata “jalan Allah” di dalam ayat ini menunjukkan semua jalan sesuai dengan aturan Allah dan jalan-jalan yang diridai-Nya.

Kedua, larangan kepada semua manusia untuk menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan. Larangan ini menunjukkan bahwa setiap orang yang membelanjakan harta bendanya sesuai dengan kemampuannya.

Tidak berlebihan dalam membelanjakan harta hingga dia mengalami kesulitan dan kesusahan dalam menjalani kehidupannya karena hartanya banyak dibelanjakan di jalan Allah. Oleh sebab itu, yang dibelanjakan itu hanyalah sebahagian dari harta yang engkau miliki.

Baca Juga: Perintah dan Teladan Kasih Sayang Rasulullah saw Kepada Semua Makhluk

Ketiga, perintah untuk berbuat baik dalam ayat di atas berlaku umum untuk siapa saja. Bisa ihsan untuk dirimu sendiri, bisa ihsan untuk orang lain, bisa ihsan kepada makhluk Allah yang lain, dan bisa pula ihsan kepada Allah sebagai pemberi nikmat. Kata ihsan itu diartikan dengan perbuatan baik yang lebih kepada semua pihak.

Yang dimaksud dengan perbuatan baik yang lebih itu adalah perbuatan kebaikan yang lebih daripada kebaikan yang minimum. Seperti Anda memberi kepada seseorang lebih daripada upah yang sebenarnya harus dia terima, memberi lebih daripada gaji yang harusnya diterima.

Keempat, orang-orang yang berbuat kebaikan yang lebih itu dicintai oleh Allah, menjadi kekasih Allah Swt.

Secara garis besar, pemberian atau sesuatu yang diberikan itu dapat dibagi atas dua kelompok, yaitu pemberian yang bersifat fisik (material) dan yang bersifat non-fisik (non-material).

Allah telah memberikan dua kategori pemberian itu kepada seluruh manusia, tanpa diskriminasi, baik kepada yang beriman, yang taat beribadah, yang saleh, dan yang bertakwa kepada-Nya, maupun kepada yang kafir, yang maksiat, yang durhaka, dan yang tidak taat kepadanya.

Buktinya Allah telah memberikan berbagai kenikmatan yang bersifat material kepada manusia, seperti kekayaan, harta benda, uang, dan semacamnya, sebagaimana Allah telah memberikan hal-hal yang bersifat non-material buat manusia, seperti kebahagiaan, ketenangan hidup, ketenteraman, kedamaian, dan kesehatan.

Manusia pun memahami keutamaan memberi dan mengikuti sifat memberi yang dilakukan oleh Allah, yaitu memberi kepada makhluk Allah, terutama manusia, berupa sesuatu yang bersifat fisik, dan non-fisik. Sesuatu yang bersifat fisik ialah pemberian manusia kepada saudaranya dalam bentuk materi, seperti uang, makanan, rumah, tanah, atau materi lainnya.

Baca Juga: Memaknai Surah al-Nahl Ayat 125 dalam Konteks Quranic Parenting

Pemberian manusia yang bersifat non-fisik kepada saudaranya ialah pemberian manusia dalam bentuk ilmu pengetahuan, tuntunan, nasihat, menyenangkan orang, dan menggembirakan pihak lain, dalam hal-hal lain yang bersifat non-material.

Pemberian manusia kepada sesamanya disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan sang pemberi, atau sesuai dengan kebutuhan pihak yang diberi. Pemberian manusia kepada saudara seharus tidak didahului dengan permintaan dari pihak yang diberi.

Akan berbeda nilai pemberian yang diberikan tanpa diminta sebelumnya oleh pihak yang menerima pemberian, dengan pemberian yang didahului oleh permintaan oleh pihak yang membutuhkan pemberian.

Demikianlah sedikit ulasan tentang keutamaan memberi dalam al-Quran dan kategorisasi bentuk pemberian. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam

 

5 Ragam Corak Tafsir Feminis yang Penting Diketahui

0
5 ragam corak tafsir feminis
5 ragam corak tafsir feminis

Sebagai suatu genre tafsir, tafsir feminis memiliki ragam corak. Mengadaptasi dari tipologi yang dibuat oleh Ghazali Anwar dalam Wacana Teologi Feminis Muslim, ada lima ragam cara pembacaan teks Al-Quran dengan perspektif gender. Lima cara ini juga dapat disebut dengan corak tafsir feminis, yang penting kita ketahui untuk mempermudah identifikasi berdasarkan kekhasan masing-masing. Apa saja corak tafsir feminis itu? Berikut penjabarannya.

Corak apologis

Seperti namanya, corak tafsir feminis ini belum menunjukkan kemapanan kesetaraan gender dalam penafsiran. Corak ini didasari oleh kesadaran kepentingan perempuan dan laki-laki itu berbeda. Dan, bagi corak ini, Al-Quran pun telah memenuhi kepentingan masing-masing laki-laki dan perempuan. Jadi, narasi awalnya tampak condong pada pembedaan gender.

Selanjutnya, yang membuat corak ini disebut apologis ialah karena prinsip dasarnya kontras dengan penerapannya. Dalam tatanan praktis, corak apologis menyadari pemenuhan kepentingan perempuan belum maksimal karena dirampas oleh otoritas laki-laki atau memang mereka sendiri yang menyerahkan kepentingannya kepada otoritas laki-laki karena sebab ketidakpahaman terhadap Al-Quran.

Corak tafsir ini, menurut Anwar memakai metode filologis dan kontekstual. Tetapi, bukan untuk melakukan reinterpretasi Al-Quran, melainkan mengajarkan tafsir yang sudah ada pada perempuan.  Ya, meski di sisi lain, mulai ada sinyal kesadaran penyimpangan terhadap kepentingan perempuan.

Baca juga: Mengenal Tafsir Feminis: Motif dan Paradigma Dasarnya

Corak reformis

Corak reformis ialah corak tafsir feminis yang melakukan reinterpretasi ayat-ayat relasi laki-laki dan perempuan. Corak ini berdiri atas kesadaran tafsir-tafsir yang ada tidak mewakili kepentingan perempuan, sehingga perlu untuk mengupayakan penafsiran ulang.

Sebagaimana corak apologis, corak reformis juga menggunakan metode filologis dan kontekstual. Namun, beda dengan apologis, corak reformis menjadikan dua metode itu untuk melakukan rekonstruksi tafsir. Corak tafsir ini sedikit lebih mapan dari corak apologis, karena telah melakukan upaya reinterpretasi ayat.

Corak transformasionis

Corak transformasionis bisa dibilang sebagai wajah corak reformis yang lebih mutakhir. Corak ini merupakan corak tafsir feminis yang berupaya melakukan rekonstruksi tradisi patriarkhi dalam tafsir secara massif dan lebih terstruktur.

Dengan memakai metode hermeuntika klasik, corak transformasionis pertama-tama mempertemukan semua tafsir yang bertentangan dan ambigu dengan kesetaraan. Kemudian, melakukan rekonstruksi tradisi penafsiran patriakis itu menjadi tafsir yang setara.

Baca juga: Dr. Laleh Bakhtiar, Muslimah Amerika Perintis Psikologi Al-Quran Telah Berpulang

Corak rasionalis

Corak tafsir rasionalis ialah corak tafsir yang menjadikan keadilan sebagai basis penafsiran ayat relasi gender. Corak ini mendefinisikan keadilan sebagai basis dasar melalui apa yang ia dapat dari Al-Quran. Artinya, mufasir dengan corak ini, mengambil nilai keadilan dari sebagian ayat, untuk kemudian dijadikan prinsip dasar penafsiran terhadap ayat-ayat relasi gender, yang secara literal tidak mencerminkan keadilan. Sehingga, kemudian, ayat itu diarahkan pada prinsip dasar berupa keadilan itu sendiri. Mengutip Arif Syarif dalam Relasi Gender Suami Istri, termasuk dari tokoh tafsir feminis dengan corak ini ialah Riffat Hassan, tokoh tafsir feminis asal Pakistan.

Hassan mendasari pembacaannya atas ayat relasi gender dengan prinsip keadilan yang ada pada Dzat Allah, yang tertera diberbagai ayat. Bahwa Allah Maha Adil dan Maha pemberi kasih. Sehingga, firman-firman-Nya, seharusnya selaras dengan kemahaadilan Allah. Di titik ini, tampaklah corak rasionalis Hasan.

Baca juga: Lima Pilar Kehidupan Rumah Tangga dalam Al-Quran Menurut Faqihuddin Abdul Kodir

Corak rejeksionis

Corak rejeksionis ialah corak yang menjadikan pengalaman perempuan sebagai prinsip dasar penafsiran. Segala sumber tafsir yang mengandung pemahaman diskriminatif terhadap perempuan ditolak oleh corak ini. Sekalipun itu Hadis Nabi atau bahkan Al-Quran. Menyitir Shinta Nurani dalam Al-Quran dan Penciptaan Perempuan, termasuk tokoh tafsir feminis yang cenderung pada corak ini ialah Fatimah Mernissi dan Taslima Nasrin.

Demikianlah lima corak tafsir feminis yang dapat dijadikan salah satu acuan untuk mengelompokkan tafsir feminis. Bila merujuk pada lima kategori tersebut, tampak corak rasionalis menjadi yang paling digrandrungi. Karena, keadilan merupakan salah tuntutan kehidupan manusia saat ini, selain demokrasi dan penegakan HAM, seperti yang dituturkan oleh Husein Muhammad. Wallahu a’lam[]

Ini 4 Bacaan Saktah dan Hikmahnya Menurut Ilmu Tajwid

0
4 bacaan saktah dan hikmahnya
4 bacaan saktah dan hikmahnya

Salah satu dari bacaan gharib dalam Al-Quran menurut Qiraah Ashim riwayat Hafsh adalah bacaan saktah. Di balik bacaan saktah, ternyata ia mengandung pelajaran atau hikmah yang perlu diketahui para pembaca Al-Quran agar semakin meresapi bacaannya.

Artikel ini memaparkan hikmah di balik 4 bacaan saktah yang dikutip dari kitab al-Mufid fi ‘Ilm at-Tajwid serta menjelaskan dampak yang terjadi jika saktah tidak digunakan. Bacaan saktah yang dimaksud merupakan bacaan saktah menurut Qiraah Ashim riwayat Hafs, yang jumlahnya tidak banyak di dalam Al-Quran.

Saktah dalam Ilmu Tajwid adalah berhenti sejenak tanpa bernafas dengan niat melanjutkan bacaan. Saktah berbeda dengan waqaf. Waqaf ialah berhenti sejenak dengan bernafas. Berikut ini 4 bacaan saktah berserta hikmahnya menurut Ibn Jazari yang dikutip dari kitab al-Mufid fi Ilm at-Tajwid.

Baca juga: Tujuh Tanda Waqaf dalam Mushaf al-Qur’an yang Jarang Diketahui

Saktah pada lafadz (عِوَجًا)

الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ اَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا () قَيِّمًا

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (al-Quran) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok [1] sebagai bimbingan yang lurus…..

Saktah ini terletak di Q.S Al-Kahfi [18]: 1 dan terdapat di penghujung ayat. Hikmah bacaan saktah di ayat ini adalah untuk memisahkan kata (عِوَجًا) dengan kata (قَيِّمًا) karena memiliki persamaan i’rab, yakni sama-sama dibaca nashab.

Bagaimana jika tidak ada saktah? Apabila pembaca al-Quran tetap melanjutkan bacaan (tidak saktah) maka makna ayat menjadi samar karena kata (قَيِّمًا) menjadi sifat dari  (عِوَجًا) sehingga secara bahasa berarti “bengkok yang lurus”.

Baca juga: Mengenal Idgham Mutajanisain dan Contohnya dalam al-Qur’an

Saktah pada lafadz (مَرْقَدِنَا)

قَالُوْا يَاوَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُوْنَ

Mereka berkata, “Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih dan benarlah rasul-rasul(-Nya).

Saktah ini terletak di Q.S. Yasin [36]: 52 dan terdapat di pertengahan ayat. Hikmah bacaan saktah di ayat ini adalah untuk menandakan akhir dari kalimat atau percakapan dan menjelaskan siapa yang berbicara.

Bagaimana jika tidak ada saktah? Apabila pembaca Al-Quran tetap melanjutkan bacaan (tidak saktah) maka makna ayat menjadi ambigu karena percakapan kata (مَرْقَدِنَا) dan sebelumnya merupakan ucapan orang kafir. Sedangkan kata setelah (مَرْقَدِنَا) merupakan perkataan orang mukmin.

Baca juga: 3 Macam Nun Sukun yang Dibaca Idzhar dalam Ilmu Tajwid

Saktah pada lafadz (مَنْ)

وَقِيْلَ مَنْ رَاقٍ

dan dikatakan (kepadanya), “Siapa yang dapat menyembuhkan?”

Saktah ini terletak di Q.S. Al-Qiyamah [75]: 27 dan terletak di pertengahan ayat. Hikmah bacaan saktah di ayat ini adalah untuk menjelaskan adanya dua kata yaitu (مَنْ) yang artinya siapa dan (رَاقٍ) yang bermakna menyembuhkan.

Bagaimana jika tidak ada saktah? Apabila pembaca Al-Quran tetap melanjutkan bacaan (tidak saktah) maka makna ayat menjadi bermasalah karena kedua kata, yakni (مَنْ) dan (رَاقٍ), seolah-olah menjadi satu kata (مَرَّاق).

Saktah pada lafadz (بَلْ)

كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.

Saktah ini terletak di Q.S. Al-Muthaffifin [83]: 14 dan terletak di pertengahan ayat. Hikmah bacaan saktah di ayat ini adalah untuk menjelaskan adanya dua kata yaitu (بَلْ) yang artinya tetapi dan (رَانَ) yang bermakna menutupi.

Bagaimana jika tidak ada saktah? Apabila pembaca Al-Quran tetap melanjutkan bacaan (tidak saktah), maka makna ayat menjadi bermasalah karena kedua kata, yakni (بَلْ) dan (رَانَ), seolah-olah menjadi satu kata (بَرَّان).

Wallahu a’lam[]

Memaknai Surah al-Nahl Ayat 125 dalam Konteks Quranic Parenting

0
Quranic Parenting
Quranic Parenting

Surah al-Nahl [16]: 125 sejatinya memuat inspirasi dakwah Qur’ani di mana al-Qur’an memberikan tiga langkah yang bijak dalam berdakwah. Namun dalam tulisan kali ini tiga langkah tersebut akan dijadikan sebagai pijakan inspiratif dalam mengaktualisasikan Quranic Parenting (metode pendidikan dalam ranah rumah tangga).

Alasan mendasar yang menjadikan ayat ini juga cocok dalam konteks Quranic Parenting adalah bahwa anak merupakan objek dakwah bagi orang tuanya. Orang tua memiliki kewajiban untuk mengajak anaknya dan menuntunnya pada hal-hal prinsipil sebagai seorang muslim.

Berikut lafadz dan terjemah dari Q.S. al-Nahl [16]: 125:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.

Pada artikel yang pernah saya tulis mengenai ayat ini, ada tiga langkah bijak dalam mengajak dan menuntun seseorang. Ketiga langkah tersebut ialah hikmah, mauidzhah hasanah dan husnul jadl. Untuk memperjelas aktualisasi dari ketiga langkah tersebut dalam ranah Quranic Parenting, masing-masing langkah akan diuraikan secara ringkas.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Membudayakan Mauidzah Hasanah dalam Pendidikan Islam

Pertama, dalam upaya ud’u ila sabil rabbik bil hikmah, anak harus diberikan pendidikan tauhid sejak dini lewat teladan orang tua. Dalam bahasa arab, anak dapat dipadankan dengan kata ibn yang masih satu akar dengan kata bana yang bermakna membangun atau berbuat baik. Maka anak dapat diibaratkan sebagai sebuah bangunan yang harus dibangun dengan pondasi yang kokoh agar tidak goyah ditimpa badai maupun guncangan.

Dalam mengaktualisasikan poin pertama tersebut, orang tua memiliki tanggungjawab untuk memberikan teladan. Semisal orang tua harus memperlihatkan bahwa mereka melaksanakan kewajibannya sebagai umat beragama dengan baik dan tidak pernah melalaikannya. Dengan begitu anak akan menilai bahwa apa yang dicontohkan oleh orang tuanya merupakan hal prinsipil sebagai umat beragama dan mereka pun akan menirukannya.

Kedua, dalam rangka pemberian pengajaran (mau’idzah hasanah) mengenai hal-hal prinsipil dalam Islam, hendaklah orang tua menggunakan bahasa yang baik dan penuh kasih sayang sebagai bentuk kedekatan secara psikologis. Dalam al-Qur’an kita menemukan penggunaan term bunayya yang merupakan isim tashgir dari ibn, yang memiliki faidah al-iqtirab (kedekatan).

Misalnya ketika Nabi Nuh memanggil anaknya agar ikut menaiki perahunya (Q.S al-Hud: 42), ketika Luqman menasehati anaknya (Q.S Luqman: 13), dan ketika Nabi Ya’qub menasehati anaknya, Nabi Yusuf, agar tidak menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya (Q.S Yusuf: 5).

Begitulah seharusnya komunikasi yang terjalin antara orang tua dengan anaknya, yakni dengan hubungan yang penuh kedekatan, yang mengedepankan kelembutan dan kasih sayang. Bukan hubungan yang menonjolkan kekerasan dan kebencian. Sebab anak laksana cermin, jadi perilaku orang tua kepadanya akan sangat mungkin dibalas sama.

Ketiga, menerapkan model pendidikan demokratis (jadilhum billati hiya ahsan). Model pendidikan ini sangat efektif terutama dalam membangun kesepahaman antara orang tua dan anak yang sudah menerima pendidikan formal di sekolah. Model dialog ini pun juga harus ditempuh dengan cara yang ramah dan santun serta penuh kejujuran. Seperti halnya yang diperagakan oleh Nabi Ibrahim dan anaknya, Nabi Ismail, yang digambarkan dalam Q.S al-Shaffat: 102:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Story Telling, Metode Pendidikan Islam Paling Ampuh

Tentunya sebuah dialog seperti ini tidak akan terjadi jika sebelumnya tidak diajarkan dan dibiasakan dalam kehidupan keluarga, ini juga yang dikatakan oleh Quraish Shihab dalam tafsirnya.

Berkat pendidikan yang dibangun dengan pondasi keagamaan yang baik serta dengan metode penyampaian yang baik maka terbukti akan mencetak seorang anak yang shalih dan berkarakter (qurrata a’yun), seperti halnya Nabi Ismail. Wallahu a’lam.