Beranda blog Halaman 411

Tafsir Surah Yasin Ayat 55-57: Kenikmatan Penduduk Surga

0
Yasin Ayat 55-57
Yasin Ayat 55-57

Setelah sebelumnya dinyatakan bahwa Hari Pengadilan itu ada, pada tafsir Surah Yasin Ayat 55-57 ini akan diuraikan bagaimana gambaran kenikmatan yang dirasakan penduduk surga. Berikut tafsir surah Yasin ayat 55-57:

إِنَّ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِي شُغُلٍ فَاكِهُونَ

هُمْ وَأَزْوَاجُهُمْ فِي ظِلَالٍ عَلَى الْأَرَائِكِ مُتَّكِئُونَ

لَهُمْ فِيهَا فَاكِهَةٌ وَلَهُم مَّا يَدَّعُونَ

Artinya:

(55)   Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka).

(56)   Mereka dan pasangan-pasangan mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan.

(57)   Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa yang mereka minta.

Pada Hari Kiamat, para penduduk surga sibuk dengan kesenangan mereka. Maksud dari sibuk dengan kesenangan atau bersenang-senang dalam kesibukan ini para ulama berbeda pendapat. Ar-Razi mengemukakan tiga penafsirannya. Yang pertama, bahwa para penghuni surga disibukkan dengan berbagai kenikmatan surga, sehingga tidak merasakan huru-hara kiamat berupa hisab maupun azab.

Kedua, bahwa mereka sibuk beraktivitas, namun bukan aktivitas yang menyusahkan, melainkan aktivitas yang disukai lagi menyenangkan. Ketiga, bisa jadi mereka sibuk menerka-nerka kenikmatan seperti apa lagi yang akan mereka dapatkan, sebab kenikmatan surgawi yang datang selalu melebihi gambaran imajinasi mereka.

Selain tiga penafsiran tersebut, Nawawi al-Bantani menyebutkan dua penafsiran lain. Menurutnya, kenikmatan yang menyibukkan itu ialah saling berkunjung antarsesama penghuni surga. Bisa pula berarti mereka sibuk bertamu kepada Allah Swt. Melihat Allah Swt bagi ahlus sunnah wal jama’ah merupakan kenikmatan terbesar di akhirat kelak.

Para penduduk surga itu bersama pasangannya berada di tempat yang teduh sambil bertelekan di atas dipan-dipan. Hamka menjelaskan, mereka nyaman, aman dan tentram di sana, tidak terkena terik panasnya matahari. Sebagai catatan, berdasarkan hadis sahih riwayat Muslim no. 5108, pada hari kiamat kelak matahari hanya berjarak satu mil dari kepala manusia.

Ilustrasi ini dipilih bisa jadi dengan mempertimbangkan konteks masyarakat Arab abad 7 ketika ayat al-Qur’an ini turun. Dahulu kondisi Arabia identik dengan gurun pasir yang panas lagi gersang. Ketika sedang dalam perjalanan di gurun pasir, tempat berteduh tentu merupakan suatu kenikmatan tersendiri.

Adapun yang dimaksud dengan azwajuhum (pasangan-pasangan mereka) menurut At-Thabathaba’i adalah istri atau suami mereka ketika di kehidupan dunia. Mereka yang diperkenankan menyertai pasangannya di surga tentulah yang juga sama-sama beriman dan ikut masuk surga. Sementara bagi yang pasangannya tidak senasib dengan mereka, para bidadarilah yang menggantikannya.

Baca Juga: Sayyid Muhammad Husain Al-Thabathaba’i: Arsitek Tafsir Al-Mizan

Di surga kelak, mereka memperoleh berbagai buah-buahan dan memperoleh apa pun yang mereka minta. Al-Bantani menjelaskan,  Segala macam buah-buahan tersedia di surga. Al-Bantani juga mengutip az-Zajaj yang mengatakan bahwa apa yang penghuni surga inginkan akan langsung datang menghampiri mereka, tanpa perlu usaha dan menunggu lagi.

Terkait redaksi ayat, At-Thabari meriwayatkan perbedaan bacaan pada kata شغل di bagian akhir QS. Yasin: 55 di atas. Mayoritas qurra (ahli qiraat) membaca fi syughulin. Sedangkan sebagian ulama qiraat Basrah membaca fi syughlin.

Demikian pula pada kata فاكهون (fakihun). Ada yang membaca pendek fa’-nya, yaitu riwayat dari Abu Ja’far. Ada pula yang memanjangkannya, yaitu bacaan mayoritas ulama qiraat dan yang tepat menurut at-Tabari.

Demikianlah penjelasan singkat dari tafsir surat Yasin ayat 55-57 mengenai gambaran kenikmatan yang dirasakan penduduk surga. Tentunya ini hanya sebagian gambaran yang diilustrasikan Allah Swt melalui al-Qur’an untuk kita renungi bersama. Semoga kita termasuk dalam kelompok yang beruntung ini. Amin ya mujibas sailin. Sekian, Wallahu a’lam.

4 Hikmah Keberadaan Kata Ajam (Non Arab) Di Dalam Al-Qur’an

0
Hikmah Keberadaan Kata Ajam (Non Arab)
Hikmah Keberadaan Kata Ajam (Non Arab)

Sebagian ulama’ meyakini keberadaan kata ajam atau non arab di dalam Al-Qur’an. Salah satu contohnya adalah kata sundusin yang ada di dalam Surat Al-Insan ayat 21. Dimana kata ini dinyatakan oleh Imam Al-Laits sebagai kata yang telah disepakati oleh ahli bahasa dan ahli tafsir, sebagai kata mu’arrab atau yang asalnya non arab dan kemudian diserap ke dalam Bahasa Arab (Al-Itqan/1/401).

Salah satu ulama’ yang mendukung keberadaan kata non Arab di dalam Al-Qur’an adalah Imam As-Suyuthi. Imam As-Suyuthi di dalam Al-Itqan mencantumkan kajian khusus tentang permasalahan keberadaan kata non Arab di dalam Al-Qur’an. Ia juga menyusun sebuah kitab khusus tentang permasalahan tersebut. Tulisan ini akan mencoba mengulas beberapa hikmah di balik keberadaan kata non Arab di dalam Al-Qur’an.

Baca juga: Benarkah Musibah adalah Adzab dari Allah? Gus Baha: Bukan Hak Kita Menjudge!

Hikmah Keberadaan Kata Non Arab Di Dalam Al-Qur’an

Imam As-Suyuthi menyusun sebuah kitab khusus yang mengkaji kata-kata non Arab di dalam Al-Qur’an dan diberi judul: Al-Muhadzdzab; Fiimaa Waqa’a Fiilqur’ani Minal Mu’arrab. Di dalam kitab ini, Imam As-Suyuthi menguraikan berbagai hikmah tentang keberadaan kata ajam (non Arab) di dalam Al-Qur’an. Baik yang ditemukan oleh dirinya sendiri, maupun secara tidak langsung dinyatakan oleh ulama’ lain. Berikut hikmah-hikmah tersebut (Al-Muhadzdzab/1):

Pertama, Al-Qur’an adalah kitab suci yang memiliki sifat memuat pengetahuan milik orang-orang yang telah lampau, dan yang akan datang. Al-Qur’an juga menceritakan tentang berbagai macam hal. Maka sudah sepatutnya di dalamnya ada petunjuk tentang ragam bahasa manusia untuk lebih menyempurnakan sifat Al-Qur’an tersebut. Maka dipilihlah kata-kata non Arab yang paling indah, paling ringan, dan paling sering dipakai, untuk dimuat di dalam Al-Qur’an.

Hikmah ini diambil oleh Imam As-Suyuthi diantaranya dari perkataan sahabat Sa’id ibn Jubair yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir, bahwa suatu kali orang-orang Quraish berkata: “Kenapa Al-Qur’an tidak diturunkan dengan bahasa Arab dan non Arab saja?” Lalu turunlah Surat Fushshilat ayat 44 yang mengejek ucapan mereka itu.

Sa’id ibn Jubair menyatakan, setelah turunnya ayat ini, Allah menurunkan Al-Qur’an dengan setiap bahasa yang ada. Salah satu contohnya adalah kata sijjil di dalam Surat Hud ayat 82 yang menggunakan Bahasa Persia.

Baca juga: Surah Al-Ahzab [33] Ayat 4-5: Hukum Mengadopsi Anak Menurut Al-Quran

Kedua, keberadaan Al-Qur’an yang memuat kata non Arab menunjukkan keistimewaan Al-Qur’an dibanding kitab-kitab suci samawi lain. Sebab kitab suci samawi lain diturunkan kepada suatu kaum dengan bahasa mereka, dan sama sekali tidak memuat bahasa selain mereka. Berbeda dengan Al-Qur’an. Hikmah ini dikutip Imam As-Suyuthi dari Ibn Naqib.

Ketiga, Nabi Muhammad diutus kepada semua umat manusia. Sementara Allah telah berfirman bahwa tidak mengutus seorang utusan kecuali dengan bahasa kaumnya. Maka sudah sepatutnya di dalam Al-Qur’an yang diperuntukkan kepada semua manusia, ada bahasa dari tiap-tiap mereka. Hal ini difahami Imam As-Suyuthi sendiri dari Surat Ibrahim ayat 4.

Keempat, kata-kata non arab yang dimuat adalah kata-kata pilihan. Dimana di dalam Bahasa Arab sendiri tidak ditemukan satu kata yang bisa menunjukkan makna yang dikandung oleh kata non Arab tersebut. Bisa saja menggantikan kata non Arab tersebut dengan kata Arab yang terdiri lebih dari satu kata. Namun hal itu akan mengurangi kadar keindahan Al-Qur’an. Hikmah ini dikutip Imam As-Suyuthi dari Al-Juwaini (Al-Muhadzdzab/2).

Baca juga: Perintah Mencetak Generasi Tangguh: Tafsir surat An-Nisa’ Ayat 9

Meski keberadaan kata-kata non arab di dalam al-qur’an masih diperselisihkan oleh ulama’, tapi hikmah-hikmah ini tetap penting untuk diketahui. Hal ini agar memberi wawasan bahwa ulama’ yang setuju dengan keberadaan kata non Arab di dalam Al-Qur’an, tidak serta merta telah merendahkan Al-Qur’an dengan pendapat mereka. Keberadaan kata non Arab di dalam Al-Qur’an justru bisa berpotensi menunjukkan keistimewaan Al-Qur’an dalam banyak hal. wallahu a’lam bisshowab.

Benarkah Musibah adalah Adzab dari Allah? Gus Baha: Bukan Hak Kita Menjudge!

0
apakah musibah adalah adzab dari Allah?
apakah musibah adalah adzab dari Allah?

Akhir-akhir ini bumi Indonesia kembali dirundung duka dengan datangnya bencana alam yang silih berganti. Sebagaimana dilansir oleh kompas.com, di tengah pandemi Covid-19 yang masih berjalan, setidaknya ada lima bencana di awal tahun 2021, gempa bumi di Sulawesi Barat, banjir di beberapa kabuapaten di Kalimantan selatan, longsor di Sumedang, banjir dan longsor di Manado, Sulawesi Selatan, dan erupsi gunung Semeru. Jika bencana ini adalah musibah, lantas apakah musibah adalah adzab dari Allah? Gus Baha ikut mengomentari pertanyaan ini.

Al-Ayid dalam kitabnya, Al-Mu’jam Al-‘Arabi Al-Asasi mengatakan bahwa di dalam Al-Quran bencana alam erat dikaitkan dengan musibah yang diartikan sebagai segala hal yang tidak disukai yang menimpa seseorang.

Musibah dengan derivasinya diulang sebanyak 77 kali di dalam Al-Quran. Terkhusus kata “musibah” sendiri disebutkan sebanyak 10 kali. Hanya saja kata musibah dan derivasinya tidak selamanya mengarah kepada peristiwa atau kejadian yang berkenaan dengan bencana alam, sebab konsepnya lebih luas daripada bencana alam, kejadian buruk apapun meskipun skala dan efeknya kecil tetap saja disebut musibah.

Hal umum di masyarakat, ketika terjadi bencana alam yaitu muncul asumsi sepihak yang mengatakan bahwa bencana alam terjadi disebabkan karena kemurkaan Allah Swt. kepada manusia karena perbuatan maksiat mereka, semua musibah adalah adzab dari Allah karena pelanggaran hambaNya. Lantas benarkah asumsi demikian? Bolehkah kita menjudge demikian?

Baca Juga: Pengertian dan Penyebab Datangnya Musibah Menurut Al-Quran

Pandangan Gus Baha Terkait Musibah

Dalam salah satu kajiannya, “Musibah Awal Tahun 2021, Apakah Azab?” yang diupload di channel youtube Online Berbagi, Gus Baha memberikan penjelasan terkait esensi suatu musibah. Beliau mengatakan bahwa “musibah adalah ketentuan Allah Swt. yang sifatnya potensial (berdasarkan siklusnya) bukan murni karena kemurkaan Allah.”

“Hal ini berbeda konteks ketika berbicara musibah yang ditujukan kepada umat-umat terdahulu yang membangkang terhadap ajaran para Nabi, yang terdapat di dalam Al-Quran maupun Hadis (manshush), terkait dengan itu semua musibah yang menimpa mereka murni karena kemurkaan Allah Swt”. Lanjut pengasuh pesantren tahfidz Al-Quran, Sawah, Narukan, Rembang ini

Kiai yang juga hafidz Al-Quran ini menganalisis secara mendalam surah Al-Isra ayat 68-69. Ayat tersebut menjelaskan berbagai macam musibah, tetapi dengan redaksi yang bermakna sesuatu yang potensial. Mengapa potensial? karena tegas beliau ayat-ayat tersebut kebanyakan menggunakan redaksi berupa kalimat-kalimat pertanyaan “sudah merasa amankah kamu, jika kami guncangkan bumi dan lain sebagainya?” Hal ini berbeda dengan term rahmat yang redaksinya selalu menggunakan shigatul jasmi yang berarti sebuah kepastian, sebagaimana pada surah Al-An’am:12 dan di surah-surah lainnya.

Lantas, pantaskah kita berasumsi bahwa gempa, tsunami dan banjir yang terjadi di Indonesia ini karena adzab Allah yang disebabkan oleh maksiat? Terkait hal tersebut Gus Baha menerangkan bahwa “menjustifikasi bahwa musibah adalah adzab dari Allah yang ditimpakan kepada manusia bukanlah wilayah kita, cukup berhenti dengan mengatakan ini adalah kuasa Allah Swt. sebab Allah memiliki sifat qadir (kuasa) atas segalanya, apalagi sampai kita mengatakan itu karena maksiat yang dilakukan oleh manusia”.

Baca Juga: Inilah 3 Macam Musibah Yang Digambarkan dalam Al-Quran

Beliau kemudian menganalogikan, “andaikan musibah ini terjadi karena satu alasan yakni karena penduduknya banyak melakukan kemaksiatan, misal di Kalimantan Selatan penduduknya melakukan kemaksiatan sehingga turunlah banjir, jika pertimbangannya demikian, lalu bagaimana dengan daerah Bali yang katanya tempat maksiat para wisatawan asing dan lain sebagainya, mengapa tidak pernah diazab oleh Allah Swt.?”

Kiai yang khas dengan bahasa Jawa-nya ini memberikan pernyataan yang sangat bijak terkait sikap kita terhadap para korban yang tertimpa musibah, “Oleh karenanya, tidaklah pantas kita mengatakan bahwa musibah ini adalah adzab dari Allah, hukuman dan murka Allah yang ditimpakan kepada manusia karena kemaksiatannya, karena itu bukanlah hak kita. Perlu diketahui juga bahwa adzab Allah kebanyakan ditujukan untuk orang-orang yang kafir (bukan untuk orang mukmin)”

Baca Juga: Ketika Ditimpa Musibah, Terus Ngapain? Ini Seharusnya Sikap Seorang Muslim

Statemen-statemen Gus Baha di atas merupakan sebuah teguran yang harusnya menampar kita sebagai sesama manusia untuk tidak serta merta melakukan blamming the victim (menyalahkan korban) sebagaimana yang rentan kita temui di media masa, yang sedikit-sedikit mengutip ayat dan hadis untuk membenarkan bahwa musibah adalah adzab dari Allah karena maksiat yang terjadi di sana-sini. Kita lupa bahwa hadirnya bencana alam juga bermakna sebagai ujian (bala’) dan bisa juga rahmat (kasih sayang) yang diberikan Allah Swt. kepada umat manusia.

Sebagai sesama mukmin, hendaknya kita saling mendoakan, memotivasi, bukan saling menjatuhkan dan menyalahkan orang lain seolah diri kita benar-benar suci. Sadarlah, kita juga manusia yang masih penuh dengan dosa. Jikalau kita mencerca mereka dengan cacian dan prasangka buruk kita, maka penulis menganalogikan para korban bencana tersebut dengan kalimat “sudah jatuh (sakit), tertimpa tangga lagi”. Mari kita sama-sama mengintrospeksi diri dan saling mendo’akan agar bumi kita selalu dilindungi dan dilimpahkan rahmat oleh Allah Swt. Amin

Surah Al-Ahzab [33] Ayat 4-5: Hukum Mengadopsi Anak Menurut Al-Quran

0
Mengadopsi Anak
Hukum Mengadopsi Anak (strongnation.org)

Mengadopsi anak adalah salah satu tindakan yang sering diambil oleh pasangan yang tidak bisa memiliki keturunan. Karena anak – bagi sebagian pasangan – adalah tanda atau simbol kesempurnaan sebuah keluarga. Maka tak heran, banyak pasangan yang berbondong-bondong ingin segera memiliki keturunan. Bahkan, kadangkala pasangan yang tidak atau belum memiliki anak dicap sebagai keluarga tak sempurna.

Sebagian orang mungkin bertanya berbagai hal mengenai hukum adopsi anak, seperti apakah mengadopsi anak orang lain sebagai anak angkat dibolehkan dalam Islam? Haram atau boleh? Seandainya boleh, lantas apa konsekuensi hukum yang harus dilakukan oleh orang yang mengadopsi dan yang diadopsi? serta berbagai pertanyaan lain yang tak bisa disebutkan satu persatu.

Dalam sejarah Islam, mengadopsi anak bukanlah perkara yang baru. Masyarakat muslim sejak dahulu telah mengenai istilah tabbani atau mengangkat anak. Nabi Muhammad saw bahkan pernah mempraktikkannya secara langsung, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak angkatnya. Namun, tindakan nabi tersebut nantinya akan dikoreksi oleh Al-Qur’an.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Jual Beli dengan Label Harga, Sah kah?

Jauh sebelum nabi Muhammad saw, tindakan mengadopsi anak sebenarnya telah ada sebagai bagian dari budaya Arab pra-Islam. Orang-orang jahiliyah dahulu biasa mengadopsi anak, kemudian anak angkat itu dianggap sebagaimana anak kandung. Anak angkat tersebut dinasabkan kepada bapak angkatnya, tidak dinasabkan kepada bapak kandungnya dan juga dianggap sebagai mahramnya (Sejarah Arab Sebelum Islam).

Surat Al-Ahzab [33] Ayat 4-5: Nasabkan Anak Angkat Pada Ayah Kandungnya

Tradisi adopsi anak pada masa jahiliyah hingga awal Islam memiliki berbagai problem seperti ketidakjelasan nasab, hak waris, mahram, hingga perwalian. Karena itulah Al-Qur’an – kitab suci umat Islam – melalui surat Al-Ahzab [33] ayat 4-5 secara tegas menyebutkan bahwa anak angkat tidak boleh dinasabkan kepada ayah angkatnya.

Firman Allah swt:

مَا جَعَلَ اللّٰهُ لِرَجُلٍ مِّنْ قَلْبَيْنِ فِيْ جَوْفِهٖ ۚوَمَا جَعَلَ اَزْوَاجَكُمُ الّٰـِٕۤيْ تُظٰهِرُوْنَ مِنْهُنَّ اُمَّهٰتِكُمْ ۚوَمَا جَعَلَ اَدْعِيَاۤءَكُمْ اَبْنَاۤءَكُمْۗ ذٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِاَفْوَاهِكُمْ ۗوَاللّٰهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ ٤

Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (QS. Al-Ahzab [33]: 5).

اُدْعُوْهُمْ لِاٰبَاۤىِٕهِمْ هُوَ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ ۚ فَاِنْ لَّمْ تَعْلَمُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ فَاِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِ وَمَوَالِيْكُمْ ۗوَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيْمَآ اَخْطَأْتُمْ بِهٖ وَلٰكِنْ مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوْبُكُمْ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ٥

Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab [33]: 5).

Dua ayat di atas turun berkenaan dengan peristiwa pengangkatan Zaid bin Haritsah yang diadopsi oleh nabi Muhammad saw. Disahkan bahwa ketika muda Zaid diculik oleh rombongan berkuda dari suku Tihamah. Ia dibawa ke Mekah dan dibeli oleh Hakim bin Hiza, keponakan Khadijah binti Khuwailid. Zaid kemudian diserahkan  kepada Khadijah lalu diberikan kepada nabi saw sebagai hadiah (Mahasin al-Takwil [8] 47).

Setelah sekian lama tinggal bersama nabi saw, Zaid ditemukan oleh kakeknya yang ingin membawanya kembali ke rumah dan ia bersedia membayar tebusan kepada nabi saw seandainya itu dibolehkan. Nabi Muhammad saw kemudian mengatakan bahwa ia tidak meminta imbalan, akan tetapi serahkan saja semua keputusan kepada Zaid, apakah ia mau kembali atau tetap bersamanya (Tafsir Marah Labid [2] 246).

Alkisah, Zaid memilih tinggal bersama nabi saw di Mekah dan enggan kembali kepada keluarganya. Nah, ketika itulah Rasulullah saw mengumumkan kepada masyarakat mekah bahwa Zaid adalah putranya. Beliau berkata, “Wahai orang-orang Quraisy! Saksikanlah bahwasanya ia (Zaid) adalah anakku yang akan mewarisiku dan aku akan mewarisinya.” Sejak itulah Zaid dikenal sebagai Zaid bin Muhammad.

Panggilan tersebut terus melekat pada Zaid hingga turun surat Al-Ahzab [33] ayat 4-5. Hal ini diterangkan oleh Ibnu Umar, “Sesungguhnya Zaid bin Haritsah, budak Rasulullah saw, dulu tidaklah kami memanggilnya kecuali dengan nama Zaid bin Muhammad, sampai turun Al-Qur’an (yang artinya), “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah.” (HR. Bukhari no. 4782).

Menurut Quraish Shihab, surat Al-Ahzab [33] ayat 4 berfungsi untuk membatalkan adopsi nabi dan semua adopsi yang dilakukan masyarakat muslim. Setelah itu, nabi Muhammad saw memperingatkan semua agar tidak mengaku mempunyai keturunan dengan satu pihak padahal sebenarnya tidak. Beliau bahkan bersabda, “Siapa yang mengakui seseorang yang bukan bapaknya sebagai bapaknya, maka surga baginya haram.” (HR. Bukhari dari Sa’id bin Abi Waqqas).

Ayat inilah yang kemudian dijadikan mayoritas ulama sebagai dalil bahwa mengadopsi anak dalam arti menasabkan kepada orang tua angkatnya dilarang dalam Islam. Gus Baha dalam sebuah kesempatan menyebutkan bahwa mengadopsi anak itu dibatalkan oleh Al-Qur’an dan hadis. Karena memiliki sisi kemudaratan seperti ketidakjelasan nasab dan pewarisan. Selain itu, menurutnya jikalau memang ingin membantu si anak, maka bisa dilakukan dengan cara yang lebih efektif.

Kemudian, pembatalan anak angkat juga ditegaskan melalui perintah memanggilnya dengan nasab ayah kandung (surat Al-Ahzab [33] ayat 5), bukan ayah angkat sebagaimana yang terjadi pada kasus Zaid bin Haritsah. Menurut Quraish Shihab, ayat ini merupakan penegasan Allah swt kepada umat Islam untuk mengikis tradisi adopsi anak yang telah mengakar sejak masa jahiliyah (Tafsir Al-Misbah [11]: 221).

Lantas bagaimana praktik adopsi yang dilakukan saat ini?

Menurut fatwa MUI, mengadopsi anak dalam arti mengubah nasab dari ayah dan ibu kandungnya memang dilarang. Sedangkan adopsi anak tanpa mengubah nasab yang dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara, mengasuh dan mendidik mereka dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal saleh yang dianjurkan oleh agama Islam.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukuman Zina dan Alasan Perempuan Disebutkan Lebih Dulu

Mahmud Syaltut dalam bukunya Al-Fatawa menerangkan bahwa seseorang boleh mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri dalam rangka memberi kasih sayang, nafkah pendidikan, dan keperluan lainnya. Namun secara hukum anak tersebut bukanlah anaknya. Ia masih memiliki nasab dan identitas yang disandarkan kepada ayah kandungnya sesuai perintah Al-Qur’an.

Jadi, tidak mengapa seandainya pasangan suami istri ingin merawat seorang anak seperti anaknya mereka sendiri. Hanya saja – sebagai catatan – nasab dan identitas anak tersebut tidak boleh dirubah. Selain itu, berbagai konsekuensi hukum juga tetap harus dipatuhi sebagaimana adanya, seperti tidak ada waris mewaris, tidak ada mahram, tidak ada perwalian dan sebagainya. Wallahu a’lam.

Pedoman dan Prinsip Utama dalam Al-Quran Bagi Seorang Hakim

0
Seorang Hakim
Prinsip Utama Al-Quran Bagi Seorang Hakim

Hukum tidak pernah bisa dilepaskan dari sebuah tatanan pemerintahan, karena ia merupakan tonggak bagi keadilan dan ketertiban masyarakat. Sedang, demi tegaknya sebuah hukum diperlukan peran dari seorang hakim.

Seorang hakim yang adil tidak akan tebang pilih dalam menjalankan hukum, dan juga tidak akan membuat hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas dalam. Konsep hakim yang adil ini ternyata telah dijelaskan secara gamblang oleh Al-Quran, dengan memberikan rambu-rambu bagi para hakim dalam menjalankan hukum. Tulisan ini akan mengulas konsep tersebut dengan setidaknya menjabarkan tiga prinsip utama di dalamnya.

Berlaku Adil dan Tidak Mengikuti Hawa Nafsu

Prinsip pertama yang harus dilakukan oleh seorang hakim adalah berlaku adil dan tidak mengikuti hawa nafsunya belaka. Prinsip ini disebutkan Al-Quran dalam surah Shad ayat 26:

إِذْ دَخَلُوا۟ عَلَىٰ دَاوُۥدَ فَفَزِعَ مِنْهُمْ ۖ قَالُوا۟ لَا تَخَفْ ۖ خَصْمَانِ بَغَىٰ بَعْضُنَا عَلَىٰ بَعْضٍ فَٱحْكُم بَيْنَنَا بِٱلْحَقِّ وَلَا تُشْطِطْ وَٱهْدِنَآ إِلَىٰ سَوَآءِ ٱلصِّرَٰطِ

“Ketika mereka masuk (menemui) Daud lalu ia terkejut karena kedatangan) mereka. Mereka berkata: “Janganlah kamu merasa takut; (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain; maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus.”

Baca Juga: Hukum Memperdengarkan Al-Quran Kepada Non Muslim: Tafsir Surat At-Taubah Ayat 6

Dalam Al-Wajiz karangan Wahbah Zuhayli dijelaskan bahwa ayat ini sebenarnya ditujukan kepada Nabi Daud yang kala itu bukan hanya sebagai raja, namun dipercaya rakyatnya untuk memutus perkara atau sebagai hakim. Turunnya ayat ini memberikan pengingat kepada Nabi Daud yang ternyata secara tidak sadar pernah berbuat tidak adil kepada salah seorang rakyatnya, lalu kemudian ia bertaubat dan kembali berlaku bijaksana. Zuhayli juga menafsirkan bahwa yang dimaksud lafadz “tunjukilah kami” dalam ayat ini bermakna agar tidak berlaku berat sebelah, dan  lafadz “jalan yang lurus” adalah adalah memberikan keputusan dengan jalan pertengahan.

Masih dalam konteks yang sama, yaitu dengan khitab Nabi Daud, Al-Quran juga menunjukkan pedoman bagi hakim agar tidak menuruti hawa nafsunya. Rambu-rambu tersebut bisa kita temukan dalam surah Shad ayat 26:

يَٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلْنَٰكَ خَلِيفَةً فِى ٱلْأَرْضِ فَٱحْكُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِٱلْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌۢ بِمَا نَسُوا۟ يَوْمَ ٱلْحِسَابِ

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Meskipun khitab pertama ayat ini adalah kepada Nabi Daud, namun hal ini juga menjadi pedoman bagi seorang hakim di masa sekarang. As-Syawi dalam tafsirnya, An-Nafahat Al-Makiyyah mengungkapkan bahwa ayat dalam mengatur siyasah atau pemerintahan tidak akan terlaksana kecuali dengan dengan mengetahui syariat dan mewujudkan yang hak. Seorang hakim tidak boleh mengikuti hawa nafsunya seperti memihak karena hubungan kerabat, teman, atau mengutamakan rasa suka dan benci kepada yang lain. Ayat ini juga mengancam dengan azab-Nya yang pedih bagi mereka yang yang memberikan putusan dengan hawa nafsunya semata.

Menjauhi Suap-Menyuap

Hal kedua yang benar-benar harus digarisbawahi untuk dihindari bagi seorang hakim adalah suap-menyuap sebagaimana dalam surah Al-Baqarah 188:

وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَآ إِلَى ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

Dalam ayat ini ditegaskan larangan memakan harta yang diperoleh dengan bathil, apalagi harta tersebut dibawa kepada hakim, atau yang biasa disebut perilaku suap-menyuap. Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al’Adhim menjelaskan bahwa keputusan hakim tidak dapat merubah sedikitpun hukum sesuatu, dan juga tidak membuat sesuatu yang sebenarnya haram menjadi halal atau yang halal menjadi haram. Artinya meskipun sang hakim melakukan tindakan tersebut dan membelot dari hukum yang sebenarnya, tetap saja hukum Allah di akhirat tetap berlaku sesuai hukum yang aslinya benar.

Tidak Bertentangan dengan Hukum Agama

Prinsip ketiga yang diberikan Al-Quran untuk sang hakim, adalah mengambil keputusan apapun dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum agama. Prinsip ini bisa kita lihat dalam rangkaian surah Al-Maidah ayat 49-50:

وَأَنِ ٱحْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ وَٱحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَنۢ بَعْضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَٱعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ ٱلنَّاسِ لَفَٰسِقُونَ . أَفَحُكْمَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”

Baca Juga: Ibn Katsir: Sosok di Balik Lahirnya Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menceritakan asbabun nuzul ayat ini yang berkaitan dengan tindakan suap orang Yahudi Madinah kepada Nabi Muhammad. Kaum Yahudi tersebut mensyaratkan diri memeluk Islam jika mereka Rasulullah mau mengikuti hukum mereka yang keliru, yaitu memenangkan perkara mereka dengan cara yang salah. Namun, Rasulullah dengan sikap tegasnya menolak negosiasi mereka, karena buat apa memeluk Islam namun dengan cara yang salah. Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi mengungkapkan hikmah diturunkan ayat ini adalah bahwa Allah mengakui kebenaran sikap Rasulullah tersebut, tetap teguh pada rambu-rambu hukum agama.

Tindakan Rasulullah yang kemudian diperkuat Al-Quran, merupakan satu teladan dan uswah yang baik untuk para hakim di masa sekarang. Teguh pada hukum agama bukan berarti harus selalu dimaknai leksikal hukum Islam, karena hukum agama pada prinsipnya adalah jalbul mashalih wa dar’ul mafasid, yang seringkali dimaknai pakar fiqih kontemporer sebagai maqasidus syari’ah.  Oleh sebab itu, mau apapun sistem pemerintahannya, prinsip untuk tidak bertentangan dengan hukum agama harus selalu teguh dipegang oleh hakim yang adil. Wallahu a’lam.

Menelisik Epistemologi Tafsir Susfistik Abu Hamid al-Ghazali

0
Abu Hamid Al-Ghazali
Ilustrasi Gambar Abu Hamid Al-Ghazali (noonpost.com)

Sebagai salah satu tokoh Sufi Abu Hamid al-Ghazali memiliki epistemologi yang khas sebagaimana sufi lainnya dalam memandang al-Qur’an. Pada umumnya para sufi dengan nalar sufistiknya meyakini bahwa untuk mendapatkan pemahaman akan al-Qur’an yang utuh, seseorang harus mengetahui dua dimensi dalam al-Qur’an yaitu sisi zahiri/ eksoteris dan sisi bathini/ esoteris.

Kerangka pemahaman para sufi ini dilandasi oleh sebuah hadis yang memang populer di kalangan mereka. Hadis tersebut mengemukakan:

لكل آية ظهر وبطن ولكل حرف حد ولكل حد مطلع

Setiap ayat memiliki sisi zahir dan bathin, dan setiap huruf memiliki had, dan setiap had memiliki matla’

al-Muhasibi memberikan syarah atas hadis ini dengan menjelaskan bahwa makna zahir dan bathin ialah literal meaning (makna literal) dan the hidden meaning (tafsir/ ta’wil). Keduanya masih berada di bawah level had atau batas penafsiran (maksudnya penafsiran yang paling mendekati kehendak Tuhan). Level had ini baru bisa dicapai oleh orang yang masuk dalam kategori al-shiddiqun yaitu sufi yang telah berada pada titik matla’ atau transendensi atau kasyf.

Baca Juga: Nalar Sufistik dan 3 Ragam Konteks Interaksinya dengan al-Quran

Artinya bagi sufi, pemahaman akan al-Qur’an yang tertinggi akan didapatkan jika seorang sufi telah mendapatkan pengalaman intuitif (kasyf). Maka atas dasar inilah, seorang sufi pada umumnya meyakini bahwa makna dalam al-Qur’an itu bertingkat-tingkat atau berlevel-level, sehingga abolutisme serta pembatasan epistemologi dalam menafsirkan al-Qur’an merupakan suatu kesalahan.

Epistemologi al-Ghazali

Dalam karyanya, Jawahir al-Qur’an, ِAbu Hamid al-Ghazali menuturkan bahwa ada dua kategorisasi ilmu al-Qur’an yang harus dikuasai untuk mencapai penafsiran yang baik yaitu ilmu kulit (ilm al-sadaf) dan ilmu inti (ilm al-lubab). Istilah yang digunakan al-Ghazali bisa dibilang serupa dengan teori sisi zahir dan bathin. Namun al-Ghazali akan terlihat lebih rinci dalam menjelaskannya.

Ia membagi masing-masing ilmu tersebut ke dalam beberapa level. Pada ilmu kulit, ia menjelaskan ada lima tingkatan (dari yang paling luar ke dalam). Pertama, makharij al-huruf atau ilmu mengenai bunyi huruf (fonologi). Kedua, ilmu bahasa al-Qur’an atau ilmu yang berkaitan dengan aspek kebahasaan. Ketiga, I’rab al-Qur’an atau ilmu mengenai struktur kalimat dalam al-Qur’an. Keempat, Qira’at atau ilmu mengenai ragam dialek dalam membaca al-Qur’an. Terakhir, tafsir zahir atau tafsir berdasarkan makna leksikal teks.

Selanjutnya pada ilmu inti, ia membaginya kembali ke dalam thabaqah sufla (tingkatan terendah) dan thabaqah al-ulya (tingkatan tertinggi). Pada thabaqat sufla, al-Ghazali memasukka tiga keilmuan yakni Fiqh, Kalam dan Qasasul Qur’an (Kisah al-Qur’an). Fungsi ketiga ilmu ini menurut al-Ghazali adalah sebagai wasilah menuju thabaqa ulya.

Sebab Fiqh merupakan pondasi dasar yang harus dipahami dan dikuasai oleh manusia untuk menjalani kehidupan duniawi. Selanjutnya Kalam diperuntukkan sebagai penguat pondasi Tauhid dan Kisah menjadi sarana untuk mendapatkan kemantapan dalam merasakan pengalaman suluk para tokoh yang dikisahkan.

Ketiga ilmu dalam thabaqat sufla beserta keilmuan dalam ilm sadaf yang akan mengantarkan seorang hamba kepada thabaqat ulya yakni ma’rifatullah. Artinya pemahaman akan teks al-Qur’an oleh orang yang telah ma’rifat tentu sangat berbeda dengan orang yang masih dalam level ilmu kulit maupun thabaqat sufla, sebab mereka sudah mendapati langsung haqiqah dari apa yang dibaca dan dipahaminya.

Pandangan epistemologisnya inilah yang membawa Abu Hamid al-Ghazali pada penolakannya terhadap epistemologi lain yang hanya berpegang pada sumber kebenaran tunggal. Di antara beberapa golongan yang menjadi objek kritikan al-Ghazali ialah golongan yang hanya berpegang pada sisi zahiri al-Qur’an (zahiriyah), kemudian golongan yang hanya berpegang pada sisi batini al-Qur’an (bathiniyah) serta golongan yang terpaku pada model tafsir bi al-riwayah.

Menurut al-Ghazali ketiga golongan tersebut justru memonopoli kebenaran al-Qur’an dengan fanatisme subjektivitas kelompok. Absolutisme dalam epistemologi penafsiran al-Qur’an akan membawa pada sempitnya perspektif serta penafsiran yang sangat subjektif. Sederhananya tafsir, bagi ketiga kelompok tersebut menurut al-Ghazali, hanya dijadikan sebagai alat “pembenaran” dan bukan sarana untuk mencapai “kebenaran”.

Baca Juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (1): Definisi, Klasifikasi dan Prasyarat yang Harus Dipenuhi

Dalam kasus tafsir bi al-riwayah, al-Ghazali menuturkan bahwa alasan di balik ketidaktepatan tafsir bi al-riwayah dijadikan sebagai standar “kebenaran” ialah 1) tidak dapat diberlakukan ke semua ayat sebab hadis maupun atsar hanya mampu men-cover beberapa ayat saja; 2) di masa Sahabat, penggunaan rasio bukanlah hal tabu dan terlarang sebab fakta adanya perbedaan penafsiran di masa sahabat membuktikan adanya penggunaan rasio dala menafsirkan al-Qur’an; 3) doa Nabi Muhammad kepada Ibn Abbas menunjukkan adanya keistimewaan yang diberikan kepada Ibn Abbas, sehingga jika ta’wil dalam doa tersebut dimaknai “riwayat” maka tidak ada keistimewaan yang ditunjukkan.

Seluruh uraian ringkas atas epistemologi tafsir Abu Hamid al-Ghazali setidaknya memberikan satu pesan penting bagi para pengkaji al-Qur’an. Pesan pentingnya adalah sebagai pengkaji al-Qur’an, kita harus terus mempelajari dan menguasai keilmuan-keilmuan pendukung dalam memahami al-Qur’an namun kita juga harus membersamainya dengan suluk atau tirakat sebagai wasilah sekaligus penyempurna usaha kita menuju haqiqah al-ma’na atau makna yang dikehendaki Allah. Wallahu a’lam.

Sekolah Hadis El-Bukhari Institute Buka Kelas Musthalah Periode Februari 2021

0
Sekolah Hadis
Sekolah Hadis

Beberapa tahun lalu, beredar video wawancara Dian Yuliana, terduga pelaku bom panci yang akan melakukan aksinya pada 11 Desember 2016. Ketika diwawancarai, ia mengaku bahwa paham keagamaan yang dianutnya adalah perkara asing yang dilandasi oleh Hadis Nabi berbunyi :

بدأ الإسلام غريبا وسيعود غريبا فطوبى للغرباء.

Islam itu awalnya asing dan akan kembali menjadi asing, maka berbahagialah mereka orang-orang yang asing. (H.R. Muslim).

Merujuk kepada sanadnya, hadis tersebut bernilai shahih karena diriwayatkan oleh para periwayat yang tsiqah dan bersambung (muttashil) hingga ke Rasulullah Saw. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana hal tersebut bisa diketahui.? Apa pengertian sanad, shahih, rawi, tsiqah, dan muttashil itu.? Dan bagaimana pemahaman di atas (seperti yang disampaikan oleh terduga pelaku bom panci) bisa disimpulkan.?

Nah untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, setidaknya ada tiga cabang Ilmu Hadis yang harus kita miliki, yaitu pengetahuan tentang istilah-istilah Ilmu Hadis (Musthalah al-Hadits), cara melacak sumber keberadaan hadis dan mengkaji kualitas mata rantainya (Ilmu Takhrij al-Hadits wa Dirasah al-Asanid), serta Ilmu tentang cara memahami Hadis (Thuruq Fahm al-Hadits).

Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan istilah hadits shahih, hasan dan dhaif serta syarat dan pengaruhnya terhadap hukum, maka kita harus belajar Ilmu Musthalah al-Hadits. Kemudian, untuk menarik kesimpulan tersebut kita perlu melakukan penelitian secara komprehensif, apakah hadis tersebut hanya mempunyai satu ragam redaksi saja atau ada hadis lain yang semakna dengannya.?

Untuk itu, perlu adanya proses jam’u al-riwayah dan dirasah al-asanid, yaitu pengumpulan hadis-hadis yang semakna dengan hadis tersebut dan analisis kualitas perawi serta ketersambungan sanadnya. Tahapan ini dilakukan melalui ilmu khusus yang disebut dengan Ilmu Takhrij al-Hadits wa Dirasah al-Asanid.

Setelah itu, baru kita dapat menarik kesimpulan berupa pemahaman dari hadis-hadis yang telah diteliti tadi. Namun untuk menarik kesimpulan tersebut tidak bisa dilakukan begitu saja. Ada banyak alat bantu serta metode khusus yang diperlukan dalam memahaminya. Hadis-hadis tersebut harus dipahami secara komprehensif dari berbagai perspektif yang ada.

Kita harus mengkaji aspek kebahasaannya, maqashidnya, sababul wurudnya, konteks serta dalalahnya serta banyak hal lainnya. Nah, untuk menguasai itu semua, kita harus matang dalam kajian khusus yang disebut dengan Ilmu Thuruq Fahm al-Hadits.

Tampaknya apa yang dikemukakan terduga pelaku bom panci tersebut belum melalui tahap penelitian panjang seperti yang disampaikan di atas. Padahal, kalau kita mengkaji hadis tersebut lebih jauh, akan dijumpai riwayat lain yang lebih utuh yang dapat menjelaskan siapa sebenarnya orang asing (ghuraba) yang dimaksud oleh Rasulullah pada hadis tersebut. Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda :

إن الإسلام بدأ غريبا وسيعود غريبا قالوا: ومن الغرباء يا رسول الله؟ الذين يصلحون إذا فسد الناس.

“Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing sebagaimana awal mula kedatangannya. Para sahabat bertanya, “Siapakah orang asing yang engkau maksud wahai Rasulullah?” Rasul pun menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang berbuat kebajikan di saat yang lain merusak (muka bumi).” (H.R. al-Thabarani).

Berdasarkan riwayat ini, kita dapat memahami bahwa yang dimaksud ghuraba (orang asing) tersebut adalah mereka yang berbuat kebaikan di saat yang lain melakukan kerusakan. Bukan malah berbuat kerusakan semisal pengeboman sebagaimana yang hendak dilakukan oleh Dian Yuliana tersebut.

Karena pentingnya ilmu ini, maka sejak tahun 2016 yang lalu, el-Bukhari Institute telah membuka Program Sekolah Hadis dalam tiga jenjang. Berikut informasi pembukaan kelas terbaru periode Februari 2021 :

Menu Program Sekolah Hadis:
1⃣. Kelas Ilmu Hadis Dasar.
2⃣. Kelas Takhrij.
3⃣. Kelas Metode Memahami Sunnah.

Output Program Sekolah Hadis:
Menguasai materi-materi dasar terkait Ilmu Musthalah, Ilmu Takhrij Hadis dan Dirasah Sanad, serta Metode Pemahaman Hadis.

Mulai Belajar :
Senin, 8 Februari 2021.

Jadwal Belajar :
1⃣. Ilmu Hadis Dasar.
👉 Senin & Selasa, Jam 16.00 Wib.
2⃣. Ilmu Takhrij.
👉 Rabu & Kamis, Jam 16.00 Wib.
3⃣. Metode Memahami Sunnah.
👉 Sabtu & Ahad, Jam 16.00 Wib.

Kuota Maksimal Kelas :
Hanya 20 Orang/Kelas.

Total Pertemuan :
8x Pertemuan/Program.

Fasilitas Program :
1⃣. Buku Panduan.
2⃣. Materi (PPT/Word).
3⃣. E-Sertifikat.
4⃣. Tutor Berpengalaman.
5⃣. Daurah Bulanan Lembaga.

Media Pengajaran :
Aplikasi Zoom Cloud Meeting

Investasi Pendidikan :
350K/Program (Diskon 50K/Program kalau mengambil 3 program sekaligus)

Info Pendaftaran :
http://bit.ly/SekolahHadisEl-Bukhari

Perintah Mencetak Generasi Tangguh: Tafsir surat An-Nisa’ Ayat 9

0
Mencetak Generasi Tangguh: Tafsir surat An-Nisa’ Ayat 9
Mencetak Generasi Tangguh: Tafsir surat An-Nisa’ Ayat 9

Salah satu anugerah Allah yang perlu kita syukuri adalah diberinya kita kemampuan yaitu dapat memiliki keturunan. Pada suatu riwayat, Rasulullah pernah bersabda bahwasanya salah satu tujuan dari pernikahan adalah agar umatnya beranak pinak, lebih-lebih mampu mencetak generasi yang tangguh.

Oleh karena itu, selain bereproduksi secara biologis, manusia juga dituntut untuk mendidik keturunannya. Baik itu dididik untuk agamanya, Rasulnya, negaranya, dan untuk kedua orang tuanya. Hal ini disampaikan Allah dalam firmanNya :

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (Q.S An-Nisa : 9)

Baca juga: Hukum Menulis Ayat Al-Quran dengan Bahasa Selain Arab

Ayat ini pada awalnya adalah peringatan atas kelakuan masyarakat Arab Pra- Islam yang menggunakan hukum rimba sebagai acuan, sehingga pada saat itu masyarakat Arab menjadi lemah dan takut. Sayyid Qutub dalam Tafsir Fi Dzilal Al-Quran menyatakan sebagaimana berikut:

وتشي هذه التوصيات المشددة- كما قلنا- بما كان واقعاً في الجاهلية العربية من تضييع لحقوق الضعاف بصفة عامة. والأيتام والنساء بصفة خاصة.. هذه الرواسب التي ظلت باقية في المجتمع المسلم- المقتطع أصلاً من المجتمع الجاهلي- حتى جاء القرآن يذيبها ويزيلها، وينشئ في الجماعة المسلمة تصورات جديدة، ومشاعر جديدة، وعرفاً جديداً، وملامح جديد

“wasiat keras ini ditujukam terhadap realita yang terjadi di Arab Jahiliyah, yakni penelantaran hak – hak orang lemah, pada umumnya. Khususnya terhadap anak yatim dan wanita. Kebobrokan ini masih terjadi di beberapa circle masyarakat muslim (yang merupakan pecahan asli dari masyarakat jahiliyah) saat itu, hingga akhirnya Al-Quran menjelaskannya, menghapusnya. Kemudian menumbukan semangat, perasaan, pengetahuan, dan kisah yang baru dalam kelompok muslim”

Penafsiran Surat an-Nisa Ayat 9

Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan kita untuk mempersiapkan generasi setelah kita. Jangan sampai generasi–generasi di bawah kita jadi generasi yang lemah. Lemah di sini maknanya sangat luas, karena memang yang dikehendaki Al-Quran dalam ayat tersebut adalah univeralisasi makna. Baik kelemahan dalam aqidah, syariat, psikis, sosial, maupun ekonomi, dan lain sebagainya.

Tindakan preventif ini diperlukan, mengingat kita sebagai manusia tidak seharusnya meninggalkan legacy kepada bumi sebagai planet, maupun sebagai ruang bersosial untuk diisi dengan orang – orang yang tidak kompeten.

Baca juga: Anjuran Menjaga Diri Dari Orang Yang Berpikir Buruk: Surat Yusuf Ayat 67

Kelemahan sebuah generasi, tak lepas dari tanggung jawab generasi sebelumnya untuk mengentaskan penerusnya dari jurang kegelapan dan kegagalan. Karena hidup sejatinya adalah kematian, maka salah satu usaha untuk mempersiapkan kematian tersebut adalah dengan mempersiapkan pengganti yang tangguh. Abdul Lathif Al-Khatib dalam Audhah Al-tafasir menyebutkan :

نزلت هذه الآية في الأوصياء والمعنى: تذكر أيها الوصي ذريتك الضعاف من بعدك؛ وكيف يكون حالهم بعد موتك؛ وعامل اليتامى الذين وكل إليك أمرهم وتربوا في حجرك؛ بمثل ما تريد أن يعامل أبناؤك بعد فقدك

“Ayat ini diturunkan untuk para pewasiat, makna dibaliknya adalah : wahai pemberi wasiat, ingatlah akan anak turunmu yang lemah. Bagimana keadaan mereka selepas kepergianmu? Pergaulilah pula anak – anak yatim, mereka yang dititpkan padamu. Didiklah mereka di ruanganmu. Sebagaimana kamu ingin bergaul dengan anak – anakmu selepas kepergianmu”

Dari sini kita dapat menyimpulkan, bahwa kehidupan kita tidak hanya selesai pada kita. Namun akan berlanjut ke generasi yang berikutnya. Maka mendidik mereka agar mampu menjadi khalifatullah fil Ard dan kebanggaan Rasulullah kelak di hari kiamat adalah tanggung jawab kita sebagai pendahulu. Apabila mereka menebar manfaat dan kebaikan, kitalah yang akan memanennya di akhirat kelak. Demikian pula, jika kita gagal mendidik mereka, maka kerusakan yang mereka timbulkan akan membawa bencana bagi dunia, bahkan hingga di akhirat kelak. Wallahu a’lam[]

 

Hukum Menulis Ayat Al-Quran dengan Bahasa Selain Arab

0
Hukum Menulis Ayat Al-Quran dengan Bahasa Selain Arab
Hukum Menulis Ayat Al-Quran dengan Bahasa Selain Arab

Saat ini sudah banyak kita jumpai tulisan ayat Al-Quran yang ditulis dengan menggunakan bahasa Arab serta bahasa Indonesia atau bahasa latin. Umumnya yang sering kita jumpai, surah yang ditulis dengan bahasa Arab serta bahasa Indonesianya adalah surah Yasin. Sebenarnya, bagaimana hukum menulis ayat Al-Quran dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab, misalnya dengan bahasa Indonesia, apakah boleh?

Pendapat Hukum Menggunakan Bahasa Selain Arab

Dalam masalah hukum penulisan Al-Quran menggunakan bahasa selain arab ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Setidaknya, ada dua pendapat dalam masalah ini:

Pertama, menulis al-Quran dengan selain bahasa Arab tidak diperbolehkan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syeh Yasin bin Isa Al-padangi dalam  kitabnya Faidul khobir yaitu, “At-tarjamah adalah melafadzkan al-qur’an atau bahasa dengan bahasa yang lain. Syeh Yasin menyebutkan bahwa merubah Al-Qur’an dengan bahasa selain bahasa arab dengan tanpa mengurangi makna dan maksud dari ayat tersebut, baik terjemahan yang berupa harfiyah atau tafsiriyah itu diharamkan”.

Baca juga: Anjuran Menjaga Diri Dari Orang Yang Berpikir Buruk: Surat Yusuf Ayat 67

Pendapat tentang keharaman menulis Al-Quran dengan menggunakan bahasa selain arab juga dikemukakan oleh Syekh Ibnu Hajar al-Haitsami yg ditulis Sayyid Al-Bakri dalam kitabnya I’anatut Thalibin : “menulis Al-Quran dengan menggunakan huruf selain huruf hijaiyah itu diharamkan.

Sayyid Al-Bakri pernah menemukan pendapat Imam Ibnu Hajar  di dalam kitab Fatawi Ibnu Hajar, bahwa beliau (Imam Ibnu Hajar) pernah ditanyakan perihal menulis Al-Qur’an dengan ajamiyah (bahasa selain arab), apakah hal tersebut termasuk perkara yang di haramkan? “Dan Imam Ibnu Hajar menjawab, bahwasanya Imam An-Nawawi di dalam kitab Ai-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab menyimpullkan tentang keharaman menulis Al-Quran dengan bahasa selain arab sesuai dengan pendapat As-Habussyafi’iyah.

Kedua, menulis Al-Quran dengan menggunakan bahasa Arab hukumnya diperbolehkan. Hukum tidak diperbolehkannya adalah membaca Al-Quran dengan bacaan selain bahasa Arab atau huruf hijaiyah. Karena itu, menulis Al-Quran dengan menggunakan bahasa Indonesia diperbolehkan selama tetap dibaca dengan menggunakan ejaan bahasa arab atau huruf hijaiyah. Hal ini agar orang yang tidak mengerti huruf hijaiyah juga bisa terbantu untuk membaca al-Quran.

Baca juga: Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya

Pendapat yang mengemukakan bolehnya menulis Al-Quran dengan menggunakan bahasa selain arab diantaranya disebutkan didalam kitab al-bujairimi dan kitab Jamal Alal Mnhaj, sebagai berikut:

Didalam kitab al bujairimi karangan al khotib bahwa beliau menyebutkan menulis al qur’an dengan huruf selain arab itu diperbolehkan, lain halnya apabila membaca Al-Quran dengan menggunakan bahasa selain arab maka hal tersebut dilarang. Beliau juga menerangkan bahwa menulis Al-Quran dengan bahasa selain arab dengan menjaga kehormatan atau kemulian Al-Qur’an adalah sama baiknya dengan Al-Qur’an dengan tulisan bahasa arab. Maka haram juga menyentuh dan membawanya tanpa wudhu.

Baca juga: Jawaz al-Amrain: 5 Kondisi Huruf Ra Khusus dalam Ilmu Tajwid

Dan selanjutnya penjelasan didalam kitab jamal alal manhaj  :

Bahwasanya menulis Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain arab hukumnya diperbolehkan, akan tetapi tidak diperbolehkan dalam hal membacanya dan untuk kitab yang ditulis Al-Quran dengan menggunakan bahasa selain arab sama hukumnya dengan mushhaf (Al-Quran) dalam hal menyentuhnya dan membawanya, yaitu haram menyentuh dan mambawa kitab tersebut tanpa adanya wudhu atau dalam keadaan suci.

Dengan demikian, dari penjelasan para ulama di atas dapat kita ketahui bahwa menulis al-Quran dengan bahasa Indonesia masih diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian mengatakan tidak boleh, dan sebagian lagi membolehkan. Menurut Imam Zarkasyi, yang paling kuat dari pendapat tersebut adalah pendapat kedua, yaitu menulis al-Quran dengan menggunakan bahasa selain Arab adalah diperbolehkan. Wallahu a’lam[]

Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun, Doktor Muhamamd Alfatih Suryadilaga Meninggal Dunia

0
Alfatih Suryadilaga
Alfatih Suryadilaga

Berita duka cita datang dari keluarga besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia (Asilha), pasalnya dosen sekaligus ketua Asilha Dr Muhammad Alfatih Suryadilaga dikabarkan wafat pada Selasa (02/02) pukul 23.37 di Rumah Sakit Hermina Yogyakarta.

Kabar meninggal dosen yang akrab disapa Pak Fatih ini tersebar di berbagai kanal media sosial jaringan UIN Sunan Kalijaga, jaringan media Islam, dan jaringan pesantren. 

Alfatih Suryadilaga adalah sosok yang terkenal low profile dan akrab dengan semua sahabat, kolega, mahasiswa dan murid-muridnya. Banyak kesaksian dari sahabat maupun orang-orang yang pernah kenal dengannya.  Kemas Muhammad Intizham, salah satu muridnya, memberi kesaksian kepada redaksi.

“Kami kenal sejak 2010. Selain di kampus, Pak Fatih membimbing hafalan Quran di pondok. Setiap subuh, beliau berangkat dari dari rumahnya, membangunkan kami salat subuh berjamaah dan setoran hafalan. Meski setiap hari yang bangun untuk setoran hafalan hanya beberapa saja, beliau tidak pernah marah. Tetap menunggu.”

“Pada tahun 2019 ketika kuliah saya mandeg, pak Fatih menghubungi saya, menanyakan kabar tesis, dan meminta datang ke ruangan kerjanya. Ternyata tema tesis saya sudah dicarikan dan didownlodkan oleh beliau. Di ruangan itu juga saya diajari menggunakan aplikasi Zotero, yang sampai sekarang saya belum paham betul kerjanya. Padahal beliau bukan pembimbing saya dan selama S2 tidak diajar beliau karena konsentrasi ke Ilmu Tafsir.” 

“Kemudian ketika ada seleksi CPNS beliau inbox saya, kasih saya info dan meminta untuk mencoba di IAIN Curup, sebab peluangnya besar. Semua informasinya beliau kirim lewat WA saya. Saya benar-benar merasa diistemawakan oleh beliau, dianakemaskan. Padahal tidak. Beliau begitu kepada semua orang. Semua murid yang beliau kenal,” jelas Kemas yang saat ini ada di Jambi bercerita panjang lebar kepada kami.

Kesaksian juga datang dari kolega Alfatih sesama dosen di UIN Sunan Kalijaga, Ahmad Rafiq. Dalam status di media sosialnya tertulis bahwa sejak mengenal sosok Alfatih 20 tahun lalu di Yogyakarta, selama berproses dengan tanggung jawab masing-masing, tidak pernah tampak raut muka amarah keluar dari sosok Alfatih. 

Ketika redaksi tafsiralquran.id mengadakan pelatihan menulis SEO untuk pemula, Alfatih Suryadilaga sebagai sosok dosen sekaligus guru bagi kami, hadir mendengarkan sebagai peserta. Bagi kami, beliau adalah sosok yang humble dan tidak sungkan untuk belajar dan diskusi kepada murid-muridnya, termasuk kami di keredaksian. 

Segenap redaksi tafsiralquran.id berbela sungkawa atas wafatnya Dr Alfatih Suryadilaga. Semoga amal ibadahnya diterima dan mendapat tempat terbaik di sisi Allah Swt. Amin.