Beranda blog Halaman 410

Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 14-15: Tragedi Pembunuhan Juru Masak Fir’aun

0
Surah Al-Qasas ayat 14-15: awal mula kehancuran Firaun
Surah Al-Qasas ayat 14-15: awal mula kehancuran Firaun

Nabi Musa adalah satu dari beberapa nabi yang kisahnya banyak diabadikan dalam Al-Quran. Nabi Musa lahir ditengah krisis kemanusiaan yang sedang melanda Mesir pada saat itu, dimana Firaun akan membunuh semua bayi laki–laki di zaman tersebut. Namun Allah selalu punya cara untuk menjalankan takdir sesuai kehendakNya. Hingga akhirnya Nabi Musa hidup di “kandang singa”, Firaun tidak menyadari bahwa bocah yang ditemukan istrinya di aliran sungai itu kelak akan menghancurukan kerajaannya. Kehancuran Firaun dan seluruh bala tentaranya dimulai dari sebuah peristiwa yang diceritakan dalam Al-Quran Surah Al-Qasas ayat 14-15:

وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (14) وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلَانِ هَذَا مِنْ شِيعَتِهِ وَهَذَا مِنْ عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُضِلٌّ مُبِينٌ  (15)

Artinya : “Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (14) Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: “Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya) (15)” (Q.S Al-Qasas ayat 14-15)

Baca juga: Kisah Nabi Musa dan Doa-Doa yang Dipanjatkannya dalam Surat al-Qashash

Titik kecurigaan Fir’aun terhadap Musa

Peristiwa yang ada pada Surah Al-Qasas ayat 14-15 tersebut adalah titik tolak kecurigaan Firaun dan bala tentaranya terhadap Musa yang telah ada sejak sebelumnya. Musa semakin yakin bahwa Firaun ada di pihak yang salah, Risalah Allah yang berupa hikmah dan ilmu menuntun Nabi Musa pada kebenaran tauhid yang sesungguhnya. Peristiwa tersebut terjadi saat Nabi Musa telah mencapai 2 pencapaian fisik yang disebutkan melalui kata “Balagha Asyuddah” (diterjemahkan dengan “cukup umur”) dan “Istawa” (diterjemahkan dengan “sempurna akal”). Konsep cukup umur sendiri banyak terjadi perbedaan pendapat di kalangan mufassir, menurut Az-Zamhasyari dalam al-Kasysyaf, usia nabi  Musa saat itu adalah 40 tahun, usia yang sangat matang untuk bersiap menerima wahyu. sedangkan Al-‘Iz bin Abdussalam dalam Tafsir-nya, mengemukakan konsep Istawa dengan beberapa alternatif karakteristik seperti stabilnya kekuatan, tumbuh jenggot, maupun berakhirnya masa remaja.

Baca juga: Kisah Pengkhianatan Samiri dalam Al-Quran

Dengan gambaran fisik yang cukup realistis tadi, Nabi Musa sedang memasuki kota Memphis, sebuah kota yang berjarak sekitar 2 farsakh atau sekitar 11 kilometer dari kediaman nabi Musa. An-Nakhjuni dalam Tafsirnya memperkirakan bahwa kedatangan nabi Musa di kota tersebut adalah ketika waktu – waktu tidur siang atau malam hari.

حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِها لأنهم لا يترقبونه في تلك الوقت قيل هو وقت القيلولة وقيل وقت العشا

“ketika penduduk lemah, karena saat itu para penduduk tidak mengawasi keberadaan Nabi Musa, ada yang mengatakan itu di waktu – waktu Qailulah (tidur siang), ada pula yang berpendapat pada waktu isya”

Tragedi pembunuhan

Pada saat kunjungannya itu, nabi Musa menyaksikan perkelahian antara 2 orang, yang satu dari Bani Israel, sedangkan yang satunya bangsa Qibty (Mesir). Dalam Tafsir Al-Bahr Al-Madid disebutkan bahwa dari pihak Bani Israel bernama Samiry, sedangkan dari Qibty adalah juru masak istana.

As-Syaukani dalam Fathul Qadir menafsirkan bahwa penyebab perkelahian tersebut adalah karena Orang Qibthy yang ternyata adalah juru masak istana tersebut memaksa orang Bani Israil tadi untuk mengangkut kayu bakar ke dapur kerajaan. Melihat hal itu, nabi Musa tentu tak mau diam. Beliau membela dan menolong orang Bani Israil. bukan karena ia masih sedarah, namun karena si Bani Israil ini sedang terdzalimi.

طلب أَنْ يَنْصُرَهُ وَيُعِينَهُ عَلَى خَصْمِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَأَغَاثَهُ لِأَنَّ نَصْرَ الْمَظْلُومِ وَاجِبٌ فِي جَمِيعِ الْمِلَلِ

“Nabi Musa berniat menolong dan membantu orang bani Israil tersebut untuk menghadapi musuhnya (orang Qibthy), maka beliau berusaha membebaskan si bani Israil, karena menolong orang yang teraniaya itu wajib dalam setiap agama”.

Nabi Musa berniat melindungi orang Bani Israil ini, dengan cara memukul si Koki Qibthy tersebut. Menurut As-Syaukani, Pukulan yang disebut “Al-Wakz” ini adalah pukulan yang dilakukan dengan keseluruhan telapak tangan, entah itu yang bagian luar maupun yang dalam. Kementerian Agama dalam Tafsir-nya menerjemahkannya dengan “meninju”.

Baca juga: Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam Al-Quran: Refleksi Kepatuhan Terhadap Guru

Entah seberapa kuat pukulan Nabi Musa, Si Qibthy  mati seketika. Tapi kematian si Qibthy ini di luar dugaan nabi Musa, karena beliau hanya berniat melindungi si Bani Israil.

لَمْ يَقْصِدْ مُوسَى قَتْلَ الْقِبْطِيِّ، وَإِنَّمَا قَصَدَ دَفْعَهُ، فَأَتَى ذَلِكَ عَلَى نَفْسِهِ

“Nabi Musa tak bermaksud  membuntuh si Qibthy, ia hanya berniat menahannya. Maka datanglah (ajal) padanya”

Ayat ini dilanjutkan dengan peringatan Allah terhadap nabi Musa akan perbuatannya yang dinilai seperti perbuatan setan. Padahal nabi Musa punya alibi yang kuat untuk dianggap tidak bersalah. Yang dibunuh adalah seorang Kafir, yang melakukan perbuatan dzalim pada seorang Muslim. Nabi Musa memohon ampun, kemudian melarikan diri ke arah Madyan. Sejak saat itu Nabi Musa secara resmi dijadikan buronan oleh Firaun. Mulailah takdir membawa nabi Musa pada perselisihan sengit dengan ayah angkatnya, antara tauhid dan kesyirikan.

Wallahu a’lam[]

Hikmah Kisah-kisah dalam Al-Quran menurut Manna’ Al-Qaththan

0
Hikmah kisah Al-Quran menurut Manna' al-Qaththan
Hikmah kisah Al-Quran menurut Manna' al-Qaththan

Menurut Syaikh Manna’ al-Qaththan, dalam kitabnya Mabahits fi Ulum Al-Quran, ada tiga macam kisah dalam Al-Quran. Pertama, kisah-kisah Nabi terdahulu, mencakup tentang sepak terjang dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat yang Allah berikan kepada mereka, para penentang dakwahnya, serta perjalanan dan perkembanga dakwah mereka. Kedua, kisah-kisah yang menceritakan peristiwa-peristiwa terdahulu serta sosok-sosok yang tidak termasuk nabi. Seperti, perawan suci Maryam yang melahirkan Nabi Isa as. Ketiga, kisah-kisah yang terkait peristiwa pada zaman Nabi saw. Seperti, perang Badar, dan perang Uhud dalam Surah Ali Imran, dan lain-lain.

Masih Menurut Syaikh Manna’ al-Qaththan, adanya cerita-cerita yang ada dalam Al-Quran itu mempunya beberapa tujuan atau hikmah. Berikut ini penjelasannya.

Bukti kesamaan Al-Quran dengan dakwah nabi terdahulu

Hikmah pertama dari adanya kisah Al-Quran ialah sebagai bukti kesamaan misi dakwah Al-Quran dengan Nabi terdahulu. Didalam kitab-kitab Nabi terdahulu itu tertulis informasi tentang datangnya Nabi Terakhir. Tetapi sangat disayangkan, fakta ini sengaja disembunyikan, bahkan hal ini dilakukan oleh para pemuka agamanya sendiri. Penceritaan kisah kisah adalah sebagai bentuk untuk memperlihatkan bahwa apa yang dibawa Nabi saw. Dan nabi-nabi sebelumnya sama. Yakni, mengajak umat manusia untuk menyembah Tuhan yang Esa. Jika kisah-kisah nabi sebelumnya tidak disebutkan dalam Al-Quran, bagaimana bisa para pembaca mengetahui kesamaan misi dakwahnya.

Baca juga: Kisah Mimpi Yusuf Bukan Wahyu: Tafsir Surah Yusuf Ayat 4

Memantapkan hati Nabi dan umatnya

Hikmah kedua menurut Manna’ al-Qaththan ialah bahwa kisah Al-Quran memantapkan hati Nabi saw. dan umatnya atas agama. Hal ini digambarkan dengan perjuangan Nabi dan umat Islam dalam berdakwah dan menyebarkan agama Allah ini dengan berbagai penolakan bahkan siksaan yang dialami mereka. Maka untuk menghadapi itu dibutuhkan keimanan yang kuat dan spirit (semangat) yang dapat menjadikan hati mereka untuk mengobarkan cahaya keimanan.

Beratnya medan juang juga dirasakan oleh para utusan terdahalu. Intimidasi terhadap umat yang beriman juga pernah dialami oleh umat terdahulu juga. Namun, hal itu hanya sebagai cobaan saja, karena kemenangan akan tercapai cepat atau lambat dan kebathilan akan segera sirna.

Membenarkan dakwah nabi terdahulu dan Nabi Saw.

Hikmah selanjutnya ialah bahwa kisah Al-Quran membenarkan kenabian sekaligus mengenang jasa Nabi terdahulu. Ini dapat kita amati dari hadis yang menyebutkan bahwa kelak di hari kiamat Allah akan mengumpulkan hamba-hamba-Nya dan meminta pertanggung jawaban masing-masing mereka.

Di lain sisi, kisah Al-Quran juga membuktikan kebenarkan Dakwah Nabi saw.  Keberadan kisah-kisah dapat menjadi bukti kebenaran Nabi karena melihat faktor bahwa Nabi tidak pernah belajar sejarah dari seorang pun. Namun demikian, kevalidan cerita-cerita yang disampaikannya dapat dibuktikan secara ilmiah di mas-masa modern walaupun orang-orang tidak percaya kepada beliau, menganggap apa yang dibawa oleh nabi sebagai sesuatu yang mengada-ada, bahkan menuduh Nabi sebagai orang yang tidak waras (gila).

Baca juga: Surah Al-Qalam Ayat 17-29: Kisah Pemilik Kebun dan Sebuah Penyesalan

Bantahan terhadap Ahli Kitab dan sarana pembelajaran efektif

Kisah Al-Quran juga dapat menjadi bantahan bagi ahli kitab yang menghilangkan fakta-fakta kebenaran. Hal ini berangkat dari klaim-klaim ahli kitab yang kebanyakan mengada-ada, ataupun merekayasa suatu hal. Seperti, halnya mengharamnkan apa yang dihalalkan oleh Allah, begitupun sebaliknya.

Tidak hanya itu, kisah Al-Quran juga dapat berfungsi sebagai sarana pembelajaran yang efektif. Seperti diungkap sebelumnya, bahwa sebuah kisah itu merupakan salah satu bentuk kesusastraan yang dapat memancinf perhatian pendengar dan lebih efektif menanamkan sebuah ajaran kedalam hati. Berkisah ini telah menjadi salah satu sarana dan metode dalam pendidikan yang efektif dalam pembelajaran.

Baca juga: Pembukaan Awal Tafsir Surah al-Kahfi: Kisah dan Keutamaan Membaca Surah al-Kahfi

Dengan demikian, penjelasan tentang hikmah-hikmah adanya kisah-kisah dalam Al-Quran. Mungkin sebagai orang belum pernah mengetahui tentanf adanya hikmah dalam kisah-kisah yang termuat dalam Al-Quran. Semoga Bermanfaat. Wallahu a’lam[]

Emansipasi Tiga Sahabat Perempuan dan Asbab Nuzul Turunnya Ayat-Ayat Kesetaraan

0
Sahabat Perempuan
Sahabat Perempuan

Jauh sebelum aktivis kesetaraan gender lantang disuarakan di zaman modern, keresahan terhadap diskriminasi berbasis gender pernah disuarakan oleh beberapa sahabat perempuan. Mereka mempertanyakan eksistensi perempuan yang tidak disinggung oleh al-Qur’an sebagai sosok yang mempunyai andil dalam dakwah Islam.

Keresahan ini disampaikan langsung kepada Nabi saw dan kemudian mendapatkan respon dari Allah Swt yang tertuang dalam beberapa ayat al-Qur’an mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Artikel ini akan mengulas andil 3 sahabat perempuan yang mempunyai peran penting sebagai latar turunnya beberapa ayat tentang kesetaraan.

Ummu Salamah

Bernama asli Hindun binti Abi Umayah, Ummu Salamah merupakan sosok perempuan yang memiliki paras cantik, nasab baik, perangai santun, dan seorang intelektual. Ummu Salamah termasuk sahabat perempuan yang pertama kali ikut hijrah ke Habasyah dan Madinah. Ia merupakan istri Rasulullah yang sebelumnya pernah menikah dengan Abi Salamah bin Abdul Asad al-Makhzumi. Pada tahun 61 H Ummu Salamah menghembuskan nafas terakhirnya dan menjadi istri Rasulullah yang paling akhir wafat.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 19: Perempuan Adalah Sosok Istimewa

Ummu Salamah mempunyai peran penting dalam penyebaran Islam. Bersama sahabat perempuan lainnya ia aktif membantu menyiapkan logistik dan pengobatan bagi para mujahidin yang berjuang di medan perang.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, al-Hakim, dan Ibn Abi Hatim dikisahkan suatu ketika Ummu Salamah bertanya “Ya Rasulullah! Saya tidak mendengar Allah menyebut-nyebut perempuan sedikit pun yang berkenaan dengan hijrah.” Respon pertanyaan di atas, maka turunlah ayat Q.S. Ali Imran (3): 195 yang berbunyi:

فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ اَنِّيْ لَآ اُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنْكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى ۚ بَعْضُكُمْ مِّنْۢ بَعْضٍ ۚ فَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا وَاُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ وَاُوْذُوْا فِيْ سَبِيْلِيْ وَقٰتَلُوْا وَقُتِلُوْا لَاُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّاٰتِهِمْ وَلَاُدْخِلَنَّهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۚ ثَوَابًا مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الثَّوَابِ ١٩٥

Maka, Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan perbuatan orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. Maka, orang-orang yang berhijrah, diusir dari kampung halamannya, disakiti pada jalan-Ku, berperang, dan terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka dan pasti Aku masukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai sebagai pahala dari Allah. Di sisi Allahlah ada pahala yang baik.”

Kisah tersebut direkam dalam kitab Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul karya Imam al-Suyuthi. Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam hal pahala. Secara eksplisit ayat di atas menyebut kata perempuan dan laki-laki dengan beriringan. Hal ini memberi ajaran kepada kita bahwa keutamaan seseorang bukan dilihat dari atribut sosial, termasuk jenis kelamin, tapi dari amal yang dilakukannya.

Nusaibah binti Ka’ab

Nusaibah binti Ka’ab, biasa disebut dengan Ummu Ammarah adalah sahabat perempuan dari kalangan Anshar yang dikenal pemberani. Puncak keberaniannya terlihat ketika ia mengikuti perang Uhud. Saat itu, terjadi kekacauan pasukan muslim karena tidak mengikuti instruksi Rasulullah. Hal tersebut mengakibatkan posisi Rasulullah dapat diserang dengan mudah oleh pihak musuh. Melihat Rasulullah dalam keadaan terancam, Nusaibah bergegas mempersenjatai diri untuk memberi perlindungan Rasul. Beberapa riwayat mengatakan akibat aksi heroiknya itu, ia mengalami 12 luka di sekujur tubuhnya.

Selain terkenal dengan keberaniannya, Ummu Ammarah juga bisa kita anggap sebagai sosok pembela hak asasi perempuan. Asumsi ini berdasar kepada suatu riwayat dalam Sunan At-Tirmidzi dan Musnad Ahmad bin Hanbal sebagaimana dikutip pada buku Qiraah Mubadalah.

Riwayat tersebut tentang pertanyaan Ummu Ammarah kepada Rasulullah, “Sepertinya, segala sesuatu hanya untuk laki-laki, saya tidak melihat perempuan disinggung (al-Qur’an) sama sekali.” Sebab aduan itu kemudian Allah berfirman Q.S. al-Ahzab (33): 5 sebagai berikut:

اِنَّ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمٰتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ وَالْقٰنِتِيْنَ وَالْقٰنِتٰتِ وَالصّٰدِقِيْنَ وَالصّٰدِقٰتِ وَالصّٰبِرِيْنَ وَالصّٰبِرٰتِ وَالْخٰشِعِيْنَ وَالْخٰشِعٰتِ وَالْمُتَصَدِّقِيْنَ وَالْمُتَصَدِّقٰتِ وَالصَّاۤىِٕمِيْنَ وَالصّٰۤىِٕمٰتِ وَالْحٰفِظِيْنَ فُرُوْجَهُمْ وَالْحٰفِظٰتِ وَالذّٰكِرِيْنَ اللّٰهَ كَثِيْرًا وَّالذّٰكِرٰتِ اَعَدَّ اللّٰهُ لَهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا ٣٥

Sesungguhnya muslim dan muslimat, mukmin dan mukminat, laki-laki dan perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan penyabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kemaluannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, untuk mereka Allah telah menyiapkan ampunan dan pahala yang besar.

Ayat ini menjelaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan di hadapan Allah dalam hal mendapat balasan amal perbuatan sesuai apa yang masing-masing individu kerjakan. Dengan demikian kualitas diri seorang manusia tidak terpaku pada aspek biologis semata. Setiap individu baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak untuk mengembangkan kreativitas yang dimilikinya. Masing-masing dari mereka memiliki konsekwensi logis atas apa yang dilakukannya.

Asma binti Umais

Selain dua nama di atas, riwayat lain menyebut Asma binti Umais sebagai salah satu sahabat perempuan yang dianggap sebagai pejuang emansipasi. Sebagaimana dinukil dalam buku Qiraah Mubadalah yang disadur dari Imam al-Baghawi menceritakan bahwa Asma binti Umais suatu ketika pernah bertanya kepada Rasul mengenai kedudukan perempuan. Ia mengatakan bahwa posisi perempuan sangat merugi karena peran mereka tidak disinggung al-Qur’an.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 33: Perempuan sebagai Pemeran Domestik dan Publik

Dikisahkan Asma binti Umais datang ke dzuriyah Rasulullah kemudian bertanya, “Apakah ada ayat al-Qur’an yang turun menyebut dan mengapresiasi perempuan?” Saat dijawab tidak ada, ia langsung menemui Rasulullah, mengadu, “Wahai Rasullah, sungguh para perempuan itu merugi. Sangat merugi.” “Memang kenapa?” tanya Rasulullah, “Karena kerja dan kiprah mereka tidak disinggung al-Qur’an, sebagaimana kerja laki-laki yang selalu diapresiasi al-Qur’an.

Dari kisah di atas, terlihat Asma memprotes fenomena laki-laki yang selalu disebutkan oleh al-Qur’an. Pernyataan Asma semacam bentuk keresahan yang mewakili perasaan perempuan pada saat itu yang tidak ingin dibeda-bedakan dengan laki-laki. Menurut sementara ulama kisah ini juga menjadi asbab al-nuzul ayat-ayat kesetaraan yang disebutkan sebelumnya.

Demikian sepenggal kisah sahabat perempuan yang berupaya meraih kesetaraan dengan laki-laki. Riwayat-riwayat di atas menunjukkan apresiasi Allah terhadap perempuan. Al-Qur’an berupaya merefleksikan ajaran Islam yang berupaya mengubah tradisi patriarki menuju kesetaraan laki-laki dan perempuan. Wa Allahu A’lam

Tafsir Tarbawi: Pentingnya Nalar Induktif bagi Kemajuan Pendidikan Islam

0
Pentingnya nalar induktif dalam pendidikan Islam
Pentingnya nalar induktif dalam pendidikan Islam

Reorientasi dan reformulasi dalam tubuh pendidikan Islam di era pandemi dan disrupsi adalah keniscayaan. Mau tidak mau, pendidikan Islam harus memformat ulang baik kurikulum, sistem, strategi dan model pembelajaran, maupun kelembagaannya agar mampu adaptif sesuai dinamika zaman. Salah satu reorientasi dan reformulasi itu adalah penggunaan nalar induktif.

Kita tahu bahwa kegemilangan Islam di era Abbasiyah adalah klimaks daripada penggunaan nalar induktif. Temuan besar di segala bidang oleh ilmuwan muslim, katakanlah Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Al-Farabi, Ar-Razi, dan sebagainya tidak terlepas dari pengarusutamaan (mainstreaming) nalar tersebut. Mereka, para ilmuwan muslim, tidak hanya pakar di satu bidang, namun hampir semua bidang. Ini menunjukkan keampuhan nalar induktif bagi pengembangan ilmu pengetahuan kala itu.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Dasar Pendekatan Saintifik dalam Pendidikan Islam

Allah swt sendiri telah menyiratkan kepada manusia untuk menggunakan nalar induktif dalam proses pembelajarannya sebagaimana tertera dalam QS. Al-Baqarah [2]: 164,

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ مَّاۤءٍ فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍ ۖ وَّتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ

“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh, merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti” (Q.S. al-Baqarah [2]: 164)

Tafsir Surah al-Baqarah ayat 164

Al-Wahidi dalam Asbabun Nuzul-nya memaparkan latar belakang turunnya ayat ini disebabkan oleh pertanyaan dari kaum kafir Quraisy sebagai berikut:

“Telah mengabarkan kepada kami Abdul Aziz bin Tahir al-Taimi, Abu ‘Amr bin Mathar, Abu Abdullah al-Zayadi, diceritakan kepada kami Syibli dari Ibn Abi Najih, dari Atha; berkata, “ayat ini turun di Madinah kepada Rasulullah saw yaitu وَإِلَـٰهُكُمْ إِلَـٰهٌ وَاحِدٌ لاَّ إِلَـٰهَ إِلاَّ هُوَ ٱلرَّحْمَـٰنُ ٱلرَّحِيمُ lalu berkatalah kaum kafir Quraisy Makkah, “bagaimana mungkin Tuhan yang tunggal mampu mendengar atau meliputi semua urusan manusia?”

Maka turunlah ayat ini.

Baca juga: Kunci Kemajuan Pendidikan Islam Terletak pada Learning by Doing

Ayat ini, sebagaimana penjelasan Tafsir Kemenag, mengisyaratkan kepada manusia untuk mengambil hikmah dari semua penciptaan alam semesta dan seisinya. Dalam ayat ini Allah swt menuntunt kepada manusia untuk melihat, memperhatikan dan tafakur atas segala ciptaan-Nya dan kejadian di lingkungan sekitarnya agar semakin kaya keilmuan kita dan semakin mendekat kepada Allah swt.

Lebih jauh, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah mengemukakan bahwa Allah swt telah menjadikan bukti kebesaran-Nya melalui alam semesta dan seisinya sebagai pertanda wujud dan ketuhanan-Nya bagi hamba-Nya yang mau menggunakan akal fikirannya. Di antara bukti itu, kata Quraish Shihab, adalah langit yang tampak, gemerlap cahaya bintang yang berkilauan pada malam hari, peredaran bumi dan bulan yang teratur tidak saling menyalip atau bahkan bertabrakan, semilir angin yang menyegarkan, dan air yang menjadi nukleus kehidupan manusia.

Tidak jauh berbeda, Ibnu Abbas misalnya, menjelaskan bahwa pergantian siang dan malam dengan segala keutamannya, air, angin, awan dan berbagai macam binatang semua untuk menopang kehidupan manusia di muka bumi.

Pentingnya nalar induktif bagi kemajuan pendidikan Islam

Ayat di atas mengakomodasi betapa pentingnya nalar induktif dalam pendidikan Islam kita. Jika dikontekstualisasikan dengan realitas pendidikan Islam, maka struktur kurikulum dan materi pembelajaran harus mengapresiasi pengembangan nalar burhani atau induktif yang menjadi basis pengetahuan inquiry di segala aspek. Harus diakui, kurikulum dan model pembelajaran pendidikan Islam sementara ini lebih banyak menggunakan nalar deduktif atau dalam istilah Abid al-Jabiri disebut bayani dan irfani.

Jika nalar burhani atau induktif lebih banyak melatih peserta didik untuk berpikir secara induktif dan berbasis pada pengalaman empiris, maka nalar bayani dan irfani lebih mengedepankan kemampuan berpikir deduktif dengan cara indoktrinasi atau berangkat dari keimanan dulu baru dicari legitimasinya. Bahkan parahnya, peserta didik diasumsikan tak ubahnya tong kosong sehingga mau tidak mau mereka harus menerima materi secara terpaksa dan tidak bahagia.

Hal-hal semacam inilah menunjukkan ayat di atas semakin menemukan titik signifikansinya. Terlebih wabah pandemi Covid-19 adalah momentum yang “pas” untuk para pendidik, dosen, guru, kiai, dan seterusnya untuk mengawali pembelajarannya dengan berbasis pada nalar induktif sehingga peserta didik diajak berlatih untuk berpikir dan mengamati terlebih dahulu, tanpa harus indoktrinasi dan mengalpakan potensinya.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Membudayakan Mauidzah Hasanah dalam Pendidikan Islam

Sir Muhammad Iqbal dalam maha karyanya yang sudah menjadi klasik, The Reconstruction of Religious Thought in Islam menandaskan bahwa Islam memberikan  ruang yang sangat luas bagi spirit induktif dalam proses pencarian kebenaran ilmiah. Menurutnya, “the birth of Islam is the birth of inductive intellect” (kelahiran Islam adalah kelahiran nalar induktif).

Dengan demikian, langkah konkrit berikutnya adalah  bagaimana kita mengaplikasikan nalar induktif dalam proses belajar mengajar (PBM) atau paling tidak membumikannya kepada diri kita sendiri. Wallahu a’lam[]

Lima Pedoman Hidup Bermasyarakat: Refleksi Surah Al-Hujurat Ayat 11-13

0
pedoman hidup bermasyarakat dalam surah al-hujurat
pedoman hidup bermasyarakat dalam surah al-hujurat

Manusia itu makhluk sosial, ia tidak bisa hidup sendiri. Ia pasti dan butuh berinteraksi dengan orang lain dalam banyak hal. Untuk memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, seseorang harus memiliki adab dan akhlak yang baik. Adab dan akhlak itu merupakan pedoman hidup bermasyarakat dan aturan berinteraksi dengan sesama yang harus diperhatikan. Al-Quran pun turut menjelaskan beberapa aturan dan pedoman ini, khususnya dalam surah Al-Hujurat ayat 11-13.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Baca Juga: Krisis Kemanusiaan, Gus Mus Serukan Para Kyai Memviralkan Kandungan Surat Al-Hujurat

Lima Pedoman Hidup Bermasyarakat dalam Surah Al-Hujurat

Berikut aturan-aturan, pedoman hidup bermasyarakat dan adab berinteraksi antar sesama manusia yang termaktub dalam firman Allah surah Al-Hujurat [49]: 11-13

  1. Menjaga harga diri orang lain dengan tidak merendahkan, menghina dan mengejeknya.

Pada ayat 11 surah Al-Hujurat Allah melarang kepada orang-orang yang merasa punya iman agar jangan mengejek orang lain, karena bisa jadi orang yang dihina itu kelak di hadapan Allah justru lebih baik daripada yang menghina. Ini pedoman hidup bermasyarakat yang pertama.

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab al-Tafsir al-Munir menyebutkan ada beberapa sabab nuzul terkait ayat ini. Ada riwayat yang menyatakan ayat ini terkait dengan utusan dari Bani Tamim yang mengolok-olok sahabat yang kekurangan secara materi, ada juga riwayat yang mengatakan bahwa ayat ini turun ketika Ikrimah masuk Islam dan kaum muslim saat itu memanggilnya dengan sebutan ‘anaknya firaun’ umat ini (Ikrimah adalah anak Abu Jahal).

Masih ada lagi beberapa riwayat lain terkait sabab nuzul ayat ini, namun itu tidak menjadi masalah, karena ‘ibrah itu diambil dari keumuman lafaz bukan dari kekhususan sebab (al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzh la bikhushush al-sabab), sesuai dengan kaidah tafsir yang disepakati oleh jumhur ulama.

  1. Mengutamakan prasangka baik dan menghindari prasangka buruk

Imam al-Qurthubi dalam kitab al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an membawakan sebuah hadis yang diriwayatkan dalam shahihain dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah bersabda,

إياكم والظن, فإن الظن أكذب الحديث

Jauhilah prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu adalah sedusta-dustanya perkataan…’ (HR. Bukhari & Muslim).

Prasangka di sini adalah apa yang jamak disebut oleh masyarakat Indonesia dengan suuzhan, yakni prasangka buruk kepada orang yang zhahirnya baik ataupun tuduhan buruk kepada orang lain hanya berdasarkan prasangka tanpa adanya bukti nyata yang mendukung.

Surah Al-Hujurat ayat 12 ini bahkan menegaskan bahwa setiap orang harus berhati-hati dengan prasangka buruk yang bisa muncul kapan saja dalam pikirannya, karena sebagian besar dari prasangka itu terdapat dosa yang mengintai.

Baca Juga: Jangan Menggunjing! Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12 Untuk Menjaga Tali Persaudaraan

  1. Tidak mencari-cari keburukan atau aib orang lain.

Pedoman hidup bermasyarakat berikutnya erat kaitannya dengan adanya prasangka buruk, karena biasanya setelah itu seseorang akan terdorong untuk mencari-cari aib, cela dan kekurangan orang lain. Dalam surah Al-Hujurat ayat 12 disebut dengan istilah tajassus, sesuatu yang sangat tercela dalam Islam. Dalam satu hadis Rasulullah pernah bersabda,

…وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Terjemahnya, ‘…Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya kelak di hari kiamat’. (HR. Bukhari & Muslim).

Perbuatan tajassus merupakan perilaku yang kontradiktif dengan spirit hadis tersebut, maka orang yang senang mencari keburukan orang lain sejatinya bertentangan dengan ajaran Rasulullah dan telah melakukan perbuatan yang tiada manfaatnya, sungguh lebih berfaedah jika ia mencari cela dirinya sendiri lalu memperbaikinya.

  1. Tidak julid, gosip atau membicarakan aib kekurangan orang lain.

Jika sudah diawali dengan prasangka buruk, kemudian diiringi dengan mencari-cari aib cela orang lain, maka biasanya akan berujung dengan ghibah, dalam bahasa gaul sering disebut julid. Ada satu untaian nasihat indah berbungkus bait yang dinisbatkan kepada imam al-Syafi’i,

لِسَانُكَ لَا تَذْكُرْ بِهِ عَوْرَةَ امْرِئٍ # فَكُلُّكَ عَوْرَاتٌ وَلِلنَّاسِ أَلْسُنُ

lisanmu jangan kau gunakan untuk menyebut aib cela orang lain # karena setiap kalian memiliki cela dan orang lain juga masing-masing memiliki lisan

Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menyebutkan bahwa pada kalimat “la yaghtab ba’dhukum ba’dha” mengandung makna larangan syariat terhadap aktivitas ghibah. Kalau yang dibicarakan itu benar maka itu termasuk ghibah, namun jika tak benar maka jatuhnya memfitnah saudara sendiri.

Perumpamaan pelaku ghibah seperti sedang memakan bangkai saudara sendiri menunjukkan bahwa perilaku ini sangat menjijikkan dan sangat berbahaya jika terus dilakukan, baik bagi diri sendiri maupun masyarakat. Di Indonesia sendiri ‘congorna tetangga’ adalah satu senjata yang paling berbisa dan terbukti ampuh dalam menyemai benih-benih permusuhan dalam masyarakat.

Baca Juga: Al-Hujurat Ayat 13: Pentingnya Silaturahmi Sebagai Bagian dari Ajaran Islam

  1. Menghargai perbedaan yang ada.

Pedoman hidup bermasyarakat yang diterangkan dalam Qs. Al-Hujurat [49]: 13 adalah dalam bermasyarakat kita harus bisa menghormati perbedaan. Tidak semua yang berbeda dengan kita otomatis keliru, mungkin saja itulah warna kehidupan yang bisa diterima.

Pelangi yang tersusun dari warna yang berbeda-beda itu tetap nampak indah jika diatur dengan sedemikian rupa. Demikian juga dengan manusia, mungkin ada yang bekerja sebagai guru, manajer, buruh, petani, dll, semuanya sejatinya saling membutuhkan.

Seandainya tidak ada buruh, maka bagaimana seorang bos perusahaan bisa menjalankan bisnisnya?. Jika hal ini dipahami, maka hal yang harus dilakukan adalah bersikap adil, saling menghargai satu sama lain dan menjalankan peran yang digeluti dengan adil serta serius sepenuh hati.

Terlebih lagi jika hanya soal perbedaan fisik, hal ini sudah menjadi hukum alam. Maka dalam Islam, tiada mengenal istilahnya rasisme akibat warna kulit ataupun suku.

Dalam ajaran Islam kuncinya adalah takwa, inilah yang membedakan antara satu orang dengan orang yang lain, semakin takwa dan baik seseorang maka akan semakin berharga diri dan hidupnya, baik dihadapan manusia maupun dihadapan Allah.

Demikianlah sedikit dari hikmah pengajaran Allah dalam Al-Quran yang bisa dipetik dari surah Al-Hujurat ayat 11-13. Beberapa pondasi hidup bersosial ini tidak lain dan tidak bukan untuk mewujudkan keadilan, kenyamanan dan keharmonisan hubungan antar sesama, baik dalam tataran keluarga, bermasyarakat hingga bernegara. Wallahu a’lam.

Annabel Gallop, Pakar Mushaf Kuno Nusantara dari Inggris

0
Annabel Gallop, Pakar Mushaf Kuno Nusantara dari Inggris
Annabel Gallop, Pakar Mushaf Kuno Nusantara dari Inggris

Annabel Teh Gallop Kamis kemarin (05/02), mengunggah status tentang digitalisasi mushaf Kuno Nusantara di akun facebook-nya. Ia menuliskan ada delapan mushaf Kuno Asia Tenggara di British Library yang telah didigitalisasi dan bisa diakses secara gratis. Delapan mushaf itu terdiri dari satu mushaf dari Patani/Kelantan, tiga dari Aceh, dan empat dari Jawa. Mushaf-mushaf ini tentu sangat layak untuk diulas, namun artikel ringan ini akan membahas figur Annabel Gallop pakar mushaf terlebih dahulu. Siapakah ia?

Annabel sangat dikenal di kalangan pemerhati naskah kuno Nusantara sebagai pakar manuskrip Melayu. Tentu, istilah Nusantara ini mencakup wilayah yang kini berupa Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand, hingga Filipina. Kepala Koleksi Asia Tenggara di British Library London Inggris ini meneliti banyak sekali manuskrip yang ada di wilayah tersebut. Berbagai manuskrip baik berbentuk korespondensi, sastra hingga mushaf Al-Qur’an ia tekuni. Namun, ia sangat fokus terhadap manuskrip yang berbentuk dokumen, atau yang memiliki stempel, dan iluminasi.

Baca juga: Teologi Memahami Bahasa Asing: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 22

Annabel sebenarnya menghabiskan pendidikan strata satu di jurusan Matematika. Namun ia justru mengambil masternya di Indonesian and Malay Studies, SOAS London. Keputusan ini membawanya untuk terus konsisten di bidang Melayu, dan pada studi doktoralnya ia menulis tentang inskripsi stempel Melayu. Konsistensi Annabel semakin kuat karena pada tahun 1986 ia mendapat tugas sebagai Curator for Maritime Southeast Asia. Dan sejak 2002 ia bertugas sebagai Kepala Koleksi Asia Tenggara di British Library.

Kontribusi Annabel Gallop terhadap Kajian Mushaf Nusantara

Dalam kajian Mushaf Nusantara, Annabel banyak bersinggungan dengan mushaf-mushaf Nusantara yang tersimpan di luar negeri. Contoh beberapa penelitiannya itu berjudul An Acehnese Qur’an manuscript in Belgium (Sebuah Manuskrip Al-Qur’an Aceh di Belgia). From Caucasia to Southeast Asia: Daghistani Qur’ans and the Islamic manuscript tradition in Brunei and the southern Philippines (Dari Kaukasia ke Asia Tenggara: Al-Qur’an Dagestan dan Tradisi Manuskrip Keislaman di Brunei dan Filipina Selatan).

Kemudian, The spirit of Langkasuka? Illuminated manuscripts from the East Coast of the Malay Peninsula (Semangat Langkasuka? Naskah Beriluminasi dari Pantai Timur Semenanjung Malaya).  Qur’an manuscripts from Mindanao in U.S. collections (Manuskrip Al-Qur’an dari Minadanau Koleksi Amerika Serikat). Lalu ada juga mushaf yang kini di Kanada di Museum Aga Khan dengan judul The Bone Qur’an from South Sulawesi (Al-Qur’an Bone dari Sulawesi Selatan).

Selain bersinggungan dengan mushaf-mushaf Nusantara yang ada di luar negeri, ia juga fokus pada karakteristik fisik mushaf. Terlebih yang bersinggungan dengan iluminasi. Adapun beberapa penelitiannya itu berjudul The Art of the Malay Qur’an (Seni Al-Qur’an Melayu). The Art of the Qur’an in Southeast Asia (Seni Al-Qur’an di Asia Tenggara). The Art of the Qur’an in Java (Seni Al-Qur’an di Jawa).

Baca juga: Menanti Riset Manuskrip Al-Qur’an Nusantara Koleksi Prancis

Kemudian ia juga menganalisa perkembangan kajian manuskrip Al-Qur’an di wilayah Nusantara. Sehingga tulisannya pun lahir The appreciation and study of Qur’an manuscripts from Southeast Asia: past, present, and future (Apresiasi dan Kajian Manuskrip Al-Qur’an dari Asia Tenggara: Dulu, Kini, dan Nanti).

Sosok yang pernah menerima Anugerah Kebudayaan Indonesia tahun 2017 kategori Perorangan Asing ini memang sangat inspiratif. Ia juga mengapresiasi upaya lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an yang menerbitkan database mushaf Nusantara.

“Database ini akan membuka mata semua orang di seluruh dunia akan kekayaan khazanah mushaf Nusantara. Saya sendiri sangat tertegun dan kagum dengan mushaf dari misalnya Madura, Sumbawa, dan Kalimantan Timur yang masing-masing memperlihatkan kekhasan kedaerahan, tetapi juga ada benang merah yang mengikat semuanya, yaitu gaya kenusantaraan,” ujar Annabel, mengutip dari lama Mushaf Nusantara.

Selama menekuni kajian mushaf Nusantara, Annabel juga sering kolaborasi dengan pemerhati mushaf lainnya. Misalnya Ali Akbar, peneliti Lajnah ini acap kali berkolaborasi dan penelitiannya telah dipublikasikan. Beberapa hasil penelitiannya itu The Art of The Qur’an in Banten (Seni Al-Qur’an di Banten). Kemudian  karya Ali Akbar berjudul Pengaruh Qur’an [Turki] Usmaniyah di Asia Tenggara dari Masa ke Masa juga diterjemahkan Annabel dengan judul “The Influence of Ottoman Qur’ans in Southeast Asia through the Ages”. Karya ini lantas dimasukkan dalam buku From Anatolia to Aceh: Ottomans Turks and Southeast Asia terbitan Oxford Universit Press, tahun 2015.

Baca juga: Hukum Menulis Ayat Al-Quran dengan Bahasa Selain Arab

Melihat dari uraian karya tersebut, kompetensi Annabel Gallop tentu patut untuk dilanjutkan. Ia sangat berkontribusi pada seni yang ada di mushaf kuno Nusantara. Tentu masih ada banyak bagian yang belum disinggungnya, khususnya bagian ulumul Qur’an baik berupa rasm, qiraat, dhabt, atau lainnya. Alangkah indahnya jika puzzle peradaban dari mushaf kuno itu tersusun rapi dan penuh. Bukankah kita akan mengenal siapa nenek moyang kita dan bagaimana interaksinya dengan keyakinan beragama?

Hingga kini masih banyak manuskrip Al-Qur’an yang belum diungkap. Kita sebagai anak bangsa turut bertanggung jawab untuk melestarikan khazanah itu. Karena pada prinspinya, bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai sejarah dan peradabannya.

Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam[]

Kegundahan Nabi Muhammad Saw Dibalik Turunnya Surah Ad-Dhuha

0
Surah Ad-Dhuha
Surah Ad-Dhuha

Surah Ad-Dhuha merupakan surat yang ke-93 dari 114 surat dalam Al-Qur’an dan terdiri dari 11 ayat. Surat ini diturunkan di Mekkah – tepatnya sesudah surat Al-Fajr – atau lebih dikenal dengan istilah surat Makkiyah. Nama ad-Dhuha diambil dari kata yang terdapat pada ayat pertama, yang artinya “waktu matahari sepenggalahan naik (Safwat al-Tafasir).”

Secara umum, surah Ad-Dhuha menerangkan tentang pemeliharaan Allah swt terhadap nabi Muhammad saw yang tidak pernah terhenti walaupun sekejap, menepis anggapan kaum kafir Quraisy yang menuduh beliau telah ditinggalkan Tuhannya, larangan berbuat buruk terhadap anak yatim dan orang yang meminta-minta serta perintah Allah swt kepada nabi saw supaya mensyukuri segala nikmat.

Sebagaimana mayoritas surat Al-Qur’an, surah Ad-Dhuha juga memiliki peristiwa yang melatarbelakangi turunnya (asbabun nuzul). Ada banyak riwayat yang menyebutkan tentang peristiwa-peristiwa tersebut. Semua riwayat itu mengerucut pada satu kondisi, yakni kegundahan nabi Muhammad saw akibat terhentinya wahyu dari Allah swt dalam beberapa waktu.

Disebutkan bahwa setelah sepuluh kali menerima wahyu – yakni 1. Iqra’, 2. al-Qalam, 3. Al-Muzzammil, 4. al-Muddatstsir, 5. al-Lahab, 6. at-Takwir, 7. Sabbihisma, 8. Alam Nasyrah, 9. al-Ashr, dan 10. al-Fajr – nabi Muhammad saw dalam beberapa waktu tidak lagi menerima wahyu. Hal ini membuat beliau sedikit khawatir dan gelisah (Tafsir Al-Misbah [15]: 323).

Baca Juga: Maksud Larangan Berlebihan Memuji Rasulullah SAW, Tafsir Surah an-Nisa 49

Ketidakhadiran wahyu Al-Qur’an tersebut melahirkan berbagai tanggapan masyarakat Arab. Bahkan – menurut Quraish Sihab – ini memberi dampak negatif dalam jiwa nabi saw (gejolak psikologis). Beliau menjadi gelisah dan memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi. Diriwayatkan bahwa beliau sampai bolak-balik pergi ke gua Hira karena sangat menginginkan wahyu datang.

Di tengah kegundahan nabi Muhammad saw, seorang perempuan berkata kepada beliau – dikatakan itu adalah Ummu Jamil istri Abu Lahab – “Wahai Muhammad, setanmu benar-benar telah meninggalkanmu.” Lantas turunlah firman Allah swt dalam surah Ad-Dhuha (HR. Bukhari, no. 4983). Identitas tokoh yang mengatakan hal itu memang simpang siur, namun melalui riwayat tersebut kita dapat memahami bahwa nabi sedang dalam kondisi gejolak jiwa.

Pandangan di atas ditolak oleh Muhammad Abduh, sang pembaharu tafsir modern. Menurutnya, kecil kemungkinan  kaum musyrikin mengetahui ketidakhadiran wahyu. Baginya,  yang sebenarnya terjadi adalah nabi Muhammad saw begitu merindukan wahyu setelah merasakan manisnya keterhubungan dengan Allah swt. Akibatnya, beliau takut, gelisah, khawatir jikalau itu terjadi secara permanen (Tafsir al-Manar).

Ketidakhadiran wahyu Al-Qur’an ini berlangsung dalam beberapa waktu. Ada riwayat yang menyebutkan 2 atau 3 hari, ada yang menyebutkan 12 hari yakni al-Thabari, dan ada pula yang menyatakan selama 15 hingga 40 hari. Namun jika kita berkaca pada besarnya kegundahan nabi Muhammad saw – hingga dikatakan al-Maraghi beliau hampir frustasi – maka dapat disimpulkan bahwa itu terjadi dalam waktu yang cukup lama.

Orang-orang mungkin bertanya, sebenarnya apa yang menyebabkan wahyu terhenti? Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa penyebabnya adalah seekor anjing, tetapi pendapat ini ditolak oleh Ibnu Hajar. Menurutnya, Kisah lambatnya turun yang disebabkan anak anjing itu mahsyur, akan tetapi itu sangat gharib bahkan ganjil dan terbantahkan oleh hadis dalam kitab Shahih Bukhri.

Terlepas dari apa penyebab terhentinya wahyu, menurut sebagian ulama peristiwa ini – baik fatratul wahyi sebelum turunnya al-Muddatstsir atau ad-Dhuha – menunjukkan bahwa otoritas pewahyuan sepenuhnya berada di tangan Allah swt, bukan atas kehendak nabi Muhammad saw sebagaimana yang dituduhkan oleh orang-orang kafir bahwa beliau memanipulasi wahyu. Allah swt adalah pemilik wahyu dan Dialah yang mengaturnya.

Ketika kegundahan nabi Muhammad saw berada pada puncaknya, Allah swt kemudian menurunkan surah Ad-Dhuha sebagai jawaban atas pertanyaan dan hinaan yang dilontarkan oleh kaum kafir Mekah yang menganggap bahwa Rasulullah saw sudah tidak dipedulikan lagi oleh Tuhannya, karena beliau sudah lama tidak menerima wahyu kenabian.

Menurut Quraish Shihab, ketika surah Ad-Dhuha turun dikisahkan bahwa nabi saw bertakbir karena senang dan gembira. Dari pengamalan beliau inilah, para ulama menganjurkan agar setiap selesai membaca surat ini dan surat-surat yang tercantum dalam Mushaf sesudah ad-Dhuha agar bertakbir pula, baik pembacaan tersebut dalam shalat, maupun di luar shalat (Tafsir Al-Misbah [15]: 325).

Namun riwayat nabi saw bertakbir tersebut tidak bisa dikatakan sahih, karena hadisnya dhaif. Hal ini telah disampaikan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Azim dan Imam asy-Syaukani dalam Fath al-Qadir.  Meskipun demikian, jika kita merujuk pada peristiwa kegundahan nabi Muhammad saw, maka suatu hal yang wajar seandainya beliau bertakbir ketika wahyu kembali datang sebagai bentuk kegembiraan.

Menurut penulis, surah Ad-Dhuha merupakan kabar gembira dari Allah swt kepada nabi Muhammad saw yang begitu merindukan kedatangan wahyu, bahwa segala kegelisahan dan kegundahannya selama ini tidaklah benar. Melalui surat ini Allah swt ingin menegaskan bahwa diri-Nya tidak pernah membenci, melupakan, atau meninggalkan nabi saw. Dia senantiasa membersamainya tanpa henti.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 59: Bentuk Dukungan Rasulullah Terhadap Pemimpin dan Ulama

Melalui surah Ad-Dhuha, hati Rasulullah menjadi tenteram dan semakin semangat berdakwah. Dalam ayat-ayat ini Allah swt bersumpah dengan dua macam tanda-tanda kebesaran-Nya, yaitu dhuha bersama cahayanya dan dengan malam beserta kegelapannya; bahwa Dia tidak meninggalkan Rasul-Nya Muhammad dan tidak pula memarahinya, sebagaimana orang-orang kafir Quraisy mengatakannya atau perasaan Rasulullah sendiri.

Menurut Sahiron Syamsuddin – mengutip Bint al-Syati’ – sumpah  Allah swt dengan waktu dhuha dan kegelapan malam merupakan sebuah perumpamaan kondisi psikologis nabi Muhammad saw. Ketika wahyu terhenti, beliau seakan berada dalam gelapnya malam. Sebaliknya, ketika wahyu datang, beliau berada dalam pancaran cahaya yang sepenuhnya mampu melenyapkan kegelapan malam. Wallahu a’lam.

Teologi Memahami Bahasa Asing: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 22

0
Memahami Bahasa Asing
Memahami Bahasa Asing

Setidaknya berdasarkan survey UNESCO yang terakhir digelar di tahun 2018 yang terlampir di sini, bahwa jumlah bahasa di dunia mencapai 6.700 dengan penutur kurang lebih 7 miliar penduduk dunia. Bahasa mempunyai kekuatan lokalitas yang luar biasa, dalam satu negara bisa ditemukan ratusan bahasa, bahkan Indonesia saja memiliki hampir 400-an bahasa yang berbeda – beda di tiap daerah. Bahkan, memahami bahasa asing dalam satu rumpun bahasa bisa memiliki varian yang sangat beragam.

Namun pernahkah kita berfikir bahwa keragaman bahasa adalah karunia Allah SWT yang seharusnya kita syukuri?. Dari berbagai teori kemunculan bahasa yang populer dalam literatur Islam klasik adalah teori tauqifiyah. Teori ini menyatakan bahwa bahasa adalah murni wahyu dari Allah SWT. Tidak ada inisiasi maupun improviasasi dari makhluk dalam bentuk apapun, ibarat kata Allah menciptakan kita manusia sudah satu paket dengan kemampuan berbahasa. Salah satu yang dijadikan landasan teori ini adalah surat Al-Baqarah ayat 31

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Artinya : “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!” ( QS. Al-Baqarah 31).

Dalam ayat diatas, Allah berfirman bahwa Allah-lah yang mengajarkan Nabi Adam nama – nama benda di surga, sedangkan nama adalah salah satu produk turunan dari bahasa. Termasuk dari nama – nama yang diajarkan Allah, menurut Ibnu Abi Najih adalah nama – nama hewan melata, hewan – hewan yang terbang, dan semua hal.

Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 55-57: Kenikmatan Penduduk Surga

Diantara linguis yang mempercaya akan teori ini adalah Ibnu Faris, dalam bukunya As-Shahiby fi Fiqh Al-Lughah wa Sunan Al-‘Arab fi Kalamiha. Dan Ibnu Jinny, dalam karyanya Al-Khasais dan Sirr Shina’at Al-I’rab. Keragaman bahasa merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT. Seperti yang telah disinggung tadi, Allah menciptkan miliaran manusia mulai dari nabi Adam hingga saat ini, dengan segala kemampuan berbahasa mereka yang sangat beragam dari suku bangsa yang bermacam – macam. Allah berfirman:

وَمِنْ آياتِهِ خَلْقُ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوانِكُمْ إِنَّ فِي ذلِكَ لَآياتٍ لِلْعالِمِينَ

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan lisan dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui” ( QS. Ar-rum : 22 )

Diksi “lisan” disini bukanlah lisan secara fisiologis. Karena perbedaan manusia secara fisiologis telah diwakili oleh kata “Alwan” yang ada setelahnya. Sebagaimana yang Imam Abu Mansur cantumkan dalam Tafsir Al-Maturidy :

لأن الألسن بحيث خلقة الألسن غير مختلفة، ولكن إنما تختلف بحيث النطق والتكلم حتى لا يقع في التكلم بها والنطق والصوت تشابه بحال، وخروجه عما يقدرون من الكلام، وإن كانت بحيث خلقتها واحدة غير مختلف

“Karena lisan dari segi penciptaan (fisiologis) itu tidak ada perbedaan. Namun, yang membedakan adalah ucapan dan perkataan. bahkan tidak ada perkataan, ucapan, dan suara yang memiliki persamaan sempurna dan keluar dari kemampuan masyarakat dalam bertutur. Walaupun secara penciptaan sama, tak ada perbedaan”.

Baca juga: Menanti Riset Manuskrip Al-Qur’an Nusantara Koleksi Prancis

Az-Zamhasyari dalam Al-Kussyaf menyatakan secara eksplisit bahwa yang dimaksud “lisan” bukanlah produk abstrak seperti perkataan dan ucapan sebagaimana dituturkan Al-Maturidy. Beliau memastikan bahwa yang dimaksud dalam ayat itu adalah bahasa, secara khusus.

الألسنة: اللغات. أو أجناس النطق وأشكاله. خالف عزّ وعلا بين هذه الأشياء حتى لا تكاد تسمع منطقين متفقين في همس واحد، ولا جهارة، ولا حدّة، ولا رخاوة، ولا فصاحة، ولا لكنة، ولا نظم، ولا أسلوب، ولا غير ذلك من صفات النطق وأحواله

“yang dimaksud Al-Alsinat adalah Al-Lughaat (Bahasa-Bahasa), atau genre – genre serta format – format sebuah ucapan. Allah’Azza wa Jalla meletakkan perbedaan disini, sampai – sampai hampir tidak ada 2 buah wilayah yang bersepakat dalam satu ucapan baik berbisik, nyaring, ketajaman, kelembutan, retorika, aksen, aturan, gaya bahasa, dan lain-lain dalam hal sifat dan kondisi pengucapan”

Seharusnya perbedaan bahasa bukan membuat kita makin ter-diferensiasi, justru harusnya makin bersatu. Dengan cara belajar bahasa asing untuk saling memahami antar sesama manusia dari berbagai penjuru dunia. Belajar bahasa asing adalah cara untuk semakin menekan poin perbedaan antara satu dengan yang lain. sebagaimana ulama Syeh Nawawi katakan dalam Marah Labid :

وَاخْتِلافُ أَلْسِنَتِكُمْ أي لغاتكم العربية، والفارسية، وغير ذلك. والأصح أنه اختلاف كلامكم، فإن الأخوين إذا تكلما بلغة واحدة يعرف أحدهما من الآخر

“Perbedaan lisan kalian, maksudnya adalah bahasa Arab, Persia, dsb. yang paling absah adalah perbedaan tuturan. Maka jika ada 2 oang berbicara menggunakan bahasa yang sama, maka mereka akan saling kenal”

Baca juga: Surah Al-Ahzab [33] Ayat 4-5: Hukum Mengadopsi Anak Menurut Al-Quran

Dengan demikian dari berbagai keterangan diatas dapat disimpulkan, bahwa perbedaan bahasa adalah salah satu tanda kekuasaan Allah yang harusnya membuat iman kita terhadap-Nya semakin bertambah. Salah satu cara untuk mengimaninya adalah dengan belajar bahasa Asing sebagai wujud representasi kita sebagai hamba yang ingin menitih jalan menuju-Nya

Wallahu A’lam

Hukum Membuka Lembaran Al-Quran dengan Ludah, Berikut Penjelasan Para Ulama

0
hukum membuka lembaran Al-Quran dengan ludah
hukum membuka lembaran Al-Quran dengan ludah

Pernahkah kita melihat seseorang membaca Al-Quran dan ketika ia membuka lembaran mushafnya, ia menggunakan bantuan ludahnya? Sudah sering kita melihat pemandangan di atas. Lantas, bagaimana menurut para ulama hukum membuka lembaran Al-Quran dengan ludah tersebut, mengingat mushaf Al-Quran itu dimuliakan, sedangkan ludah adalah sebaliknya?

Setidaknya ada dua kelompok pendapat ulama mengenai hukum membuka lembaran Al-Quran dengan menggunakan ludah. Ada yang tidak membolehkan, bahkan cenderung mengharamkan, ada pula yang membolehkan dengan alasan tertentu. Berikut penjelasannya.

Baca Juga: Hukum Membaca Al-Quran dalam Keadaan Hadas

Antara yang Mengharamkan dan yang Membolehkan

Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh Al Imam Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Hawasyi Al-Madaniyah beliau menjelaskan tentang keharaman membuka lembaran Al-Quran dengan air ludah. Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan:

“Menyentuh mushaf atau lembaran Al-Quran dengan tangan yang ada air ludahnya itu diharamkan, karena air ludah tidaklah diperbolehkan mengenai dari bagian-bagian mushaf atau lembaran Al-Quran. Hukum keharaman di atas yaitu apabila tangan tersebut masih basah dengan air ludah sehingga dapat membasahi mushaf. Namun, jika air ludah yang di tangan tersebut sudah kering dan tidak membasahi mushaf, maka menyentuh mushaf dengan menggunakan tangan tersebut tidaklah diharamkan”.

Hukum keharamannya juga sebagaimana diutarakan oleh Imam Ad-Dusuki Al-Maliki dalam kitab Hasyiyahnya terhadap kitab Mukhtashar Khalil. Beliau mengomentari perkataan imam Khalil, tepatnya pada bagian “menyentuh mushaf dengan sesuatu yang kotor”.

Ad-Dusuki mencoba memperjelas pernyataan di atas dengan, “membasahi ujung jari dengan menggunakan ludah untuk membuka lembaran-lembaran Al Quran, meski perbuatan ini hukumnya haram, tetapi tidak semestinya kita berani mengatakan bahwa membuka Al-Quran dengan ludah adalah termasuk perbuatan kufur dan murtad, karena pelaku tidak bermaksud menghina Al-Quran. Pada permasalahan semacam ini, adanya unsur penghinaanlah yang bisa menyebabkan kekufuran”.

Komentar Ad-Dusuki Di atas bahkan sampai menyinggung bahwa membuka Al-Quran dengan ludah itu ada yang menjadikannya sebagai penyebab murtad, karena dianggap mengandung penghinaan terhadap Al-Quran. Di sinilah kita dapat melihat bagaimana ketat dan sensitifnya ulama dalam memuliakan Al-Quran.

Baca Juga: Ketahui Sembilan Adab Ketika Membaca Al-Quran

Kitab lain yang juga memuat tentang hokum keharaman membuka Al-Quran dengan ludah adalah kitab Tarsyih Al-Mustafidayn karya ‘Alawi bin Ahmad As-Saqqaf dan Busyra Al-Karim bi Syarh Masa’il At-Ta’lim karya Said bin Muhammad Ba’ali.

Pendapat yang kedua sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Romli didalam kitab Tuhfah Al-Muhtaj. Di sini dinyatakan bahwa hukum membuka lembaran Al-Quran dengan ludah itu boleh asalkan bertujuan untuk mempermudah membuka Al-Quran tersebut dan tidak ada maksud untuk menghinanya. Kesimpulan ini ia kutip dari beberapa penjelasan ulama sebelumnya, seperti terbaca dalam keterangan berikut,

وَفِي الْقَلْيُوبِيِّ عَلَى الْمَحَلِّيِّ يَجُوزُ مَا لَا يُشْعِرُ بِالْإِهَانَةِ كَالْبُصَاقِ عَلَى اللَّوْحِ لِمَحْوِهِ ؛ لِأَنَّهُ إعَانَةٌ ا هـ

وَفِي فَتَاوَى الْجَمَالِ الرَّمْلِيِّ جَوَازُ ذَلِكَ حَيْثُ قُصِدَ بِهِ الْإِعَانَةُ عَلَى مَحْوِ الْكِتَابَةِ وَفِي فَتَاوَى الشَّارِحِ يَحْرُمُ مَسُّ الْمُصْحَفِ بِإِصْبَعٍ عَلَيْهِ رِيقٌ إذْ يَحْرُمُ إيصَالُ شَيْءٍ مِنْ الْبُصَاقِ إلَى شَيْءٍ مِنْ أَجْزَاءِ الْمُصْحَفِ

Di dalam Kitab Qolyubi ala Almahalli dikatakan bahwa “Boleh membuka Al-Quran dengan menggunakan jari yang diberi ludah asalkan tidak menimbulkan penghinaan terhadap Al-Quran karena dapat mempermudah membukanya.

Sedangkan dalam kitab Fatawa Al-Jamal Ar-Romli, hukum kebolehan membuka Al-Quran dengan menggunakan jari yang diberi air ludah tersebut yaitu apabila bertujuan untuk mempermudah membukanya.

Namun demikian, dalam Fatawa As-syarih kembali menjelaskan tentang sebab keharamannya, yaitu “hukum keharaman memegang mushaf dengan menggunakan jari yang dibasahi air ludah yaitu tidak lain karena berarti mencampurkan sesuatu yang ada di air ludah itu dengan mushaf.

Selanjutnya, sebagian ulama Syafi’iyah kontemporer juga tidak absen berpendapat. Dalam hal ini, bolehnya menggunakan air ludah untuk menghapus ayat-ayat Al Quran yang tertulis di atas papan dan membuka Al-Quran dengan air ludah, karena pelaku tidak bermaksud untuk merendahkan Al-Quran.

Imam Al-Bujairimi rahimahullah mengatakan dalam Hasyiyahnya yang terkenal dengan judul At-Tajrid li Naf’i Al-‘Abid bahwa kebiasaan (membuka lembaran Al-Quran dengan ludah dan menghapus tulisan ayat Al-Quran di atas papan dengan ludah) yang sering dilakukan kaum muslimin bukanlah perbuatan kufur, juga tidak semestinya perbuatan tersebut dihukumi haram.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Membaca Al-Quran Ketika Haid, Bolehkah?

Demikian sekilas dua pendapat tentang hukum membuka lembaran Al-Quran dengan ludah. Jika dikaji lebih lanjut, dua pendapat di atas sebenarnya mempunyai substansi yang sama, yaitu sama-sama memuliakan Al-Quran dan sangat tidak setuju dengan adanya unsur penghinaan terhadap Al-Quran.

Hal ini terlihat dari alasan yang dikemukakan sebelumnya. Pendapat yang mengharamkan beralasan karena kawatir kebiasaan tersebut mengandung unsur penghinaan terhadap Al-Quran, sedang yang membolehkannya pun bukan karena tidak menjauhi unsur penghinaan terhadap Al-Quran, tetapi lebih pada unsur kemudahan dalam belajar dan membaca Al-Quran.

Silahkan anda mengikuti pendapat yang sudah ada tersebut. Selain itu ikuti pula kearifan dan keterbukaan yang diperlihatkan oleh para ulama dengan saling menerima perbedaan pemikiran tanpa menghakimi, menyalahkan pemikiran orang lain yang berbeda dan membenarkan pendapatnya sendiri. Wallahu A’lam

Tafsir Ahkam: Pengampunan Hukuman dalam Islam

0
Pengampunan hukuman dalam Islam
Pengampunan hukuman dalam Islam

Hukuman harus diberikan terhadap para pelanggar aturan sebagai balasan dan efek jera. Hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam sebuah pemerintahan berdaulat hukum. Namun terkadang, dalam suatu keadan dan kondisi, para pelaku kesalahan mendapatkan pengampunan hukuman atau tidak dihukum dikarenakan satu dan lain hal.

Dalam Islam, hal-hal tersebut ternyata juga dikenal dengan istilah ampunan (al-‘afwu) dan pertolongan (as-syafa’ah) yang digali dari Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 178 dan surah An-Nisa ayat 85. Lebih jauh, terminologi al-‘afwu dan as-syafa’ah ini ditarik secara teoritis maupun praktis hukum Islam sebagai pengampunan hukuman bagi pelanggar kesalahan di beberapa keadaan, tentunya diiringi syarat-syarat yang berlaku.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukuman Zina dan Alasan Perempuan Disebutkan Lebih Dulu

Tafsir ayat-ayat al’afwu dan as-syafa’ah

Al-‘afwu atau ampunan, adalah suatu sikap atau keadaan memaafkan perbuatan maupun pelaku yang membuat kesalahan. Sebagai umat Islam, dalil mengenai al-‘afwu ini bisa kita petik dalam surah Al-Baqarah ayat 178:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَى ۖ ٱلْحُرُّ بِٱلْحُرِّ وَٱلْعَبْدُ بِٱلْعَبْدِ وَٱلْأُنثَىٰ بِٱلْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِىَ لَهُۥ مِنْ أَخِيهِ شَىْءٌ فَٱتِّبَاعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَٰنٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”

Qurasih Shihab dalam Tafsir Al-Missbah memaparkan konteks hukuman qisas dan diat pada ayat tersebut. Menurutnya, zaman jahiliyah seringkali membunuh orang merdeka tidak bersalah untuk membalas budak mereka yang terbunuh. Lantas maksud dari diturunkannya ayat ini adalah memberi kelurusan bahwa hukuman qisas diberlakukan bagi yang bersalah atau si pembunuh. Namun, kemudian Quraish Shihab memberikan penjelasan lagi mengenai maaf dari sang ahli korban atau al-‘afwu, apakah ia menghendaki hukuman qisas atau diyat.

baca juga: Inilah Makna Qishash Menurut Al-Quran, Berikut Penjelasannya

Istilah yang serupa dengan al-‘afwu adalah as-syafa’ah. Lafadz as-syafa’ah yang berarti pertolongan ini ternyata diangkat dari Al-Quran surah An-Nisa’ ayat 58:

مَّن يَشْفَعْ شَفَٰعَةً حَسَنَةً يَكُن لَّهُۥ نَصِيبٌ مِّنْهَا ۖ وَمَن يَشْفَعْ شَفَٰعَةً سَيِّئَةً يَكُن لَّهُۥ كِفْلٌ مِّنْهَا ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ مُّقِيتًا

“Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa memberi syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Merujuk Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, ada dua kategori yang dinamakan syafa’ah dalam ayat tersebut, yaitu syafa’ah baik dan syafa’ah buruk. Nampaknya, klasifikasi tersebut lebih didasarkan atas kegunaan syafa’ah itu diberikan. Mengenai syafa’ah yang baik, Hamka menyebutkan tindakan-tindakan seperti memenuhi panggilan Tuhannya, menolong Rasul dalam perjuangan dakwahnya akan mendatangkan keuntungan yang baik akibat syafa’ah baik yang ia berikan tersebut. Kemudian beberapa tindakan syafa’ah yang buruk adalah tidak jujur, setengah hati, mundur di tengah jalan, dan mau enaknya sendiri. Jika seseorang melakukan tindakan-tindakan tersebut, ia pasti akan menanggung dosa dan menderita akibat syafa’ah buruk yang ia berikan.

Jarullah Az-Zamakhsyari dalam Tafsir Al-Kasysyaf juga menafsirkan definisi as-syafa’ah yang dimaksud dalam ayat tersebut. Menurutnya, syafa’ah yang baik itu digunakan untuk memelihara dan menjaga sessama muslim, menolak kejahatan menuju kebaikan, dan dalam semua sikap mengenai syafa’ah atau pertolongan yang ia berikan hanya mengharap ridho dari Allah, bukan mengharap suap (risywah). Oleh karena itu, syafa’ah yang hukum mulanya adalah terpuji jangan sampai dinodai dan disalahgunakan untuk hal-hal yang dilarang syara’ dan merugikan sesama muslim.

Pengampunan hukuman dalam Islam

Sejarah mencatat, bahwa term al-‘afwu dan as-syafa’ah ini telah digunakan dalam hukum Islam baik secara praktis maupun teoritis. Mengutip buku Al-Faruq ‘Umar karya seorang sejarawan Mesir, Husein Haikal, di mana diceritakan suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab tidak menghukum seorang wanita yang telah mengakui perbuatan zinanya. Wanita tersebut mengungkapkan alasan bahwa ia hampir mati kehausan dalam perjalanan, dan hanya ada satu temannya yang mau menolong dengan mengajukan syarat tersebut. Usai dilakukan musayawarah dengan para sahabat, dalam keputusan akhirnya khalifah Umar tidak menghukum wanita tersebut. Ampunan hukuman juga pernah diberikan Khalifah Umar bin Khattab kepada seorang pencuri dengan tidak dipotong tangannya karena kesulitan ekonomi dan sedang musim-musimnya paceklik.

Dalam perkembangan hukum Islam, konsep pengampunan hukuman bagi tindak pidana juga telah dimasukkan secara teoritis oleh pakar fiqih. Satu contoh bisa kita temukan dalam istinbath hukum Imam Syafi’i dari surah Al-Baqarah ayat 178 yang telah disebut di awal. Dalam kasus pembunuhan, hukuman dikembalikan kepada keluarga korban apakah mau menghendaki qisas atau diat. Sedangkan ketika seorang pembunuh tersebut dibunuh, maka hukumannya adalah diat karena gugurnya qisas sebelum hukuman dijalankan. Intinya, menurut Imam Syafi’i semua ketentuan hukuman bagi pelaku pembunuhan maka sanksinya adalah dikembalikan kepada ahli waris atau korban apakah mereka menghendaki qisas atau memaafkan dengan diat.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukuman Bagi Pencuri dan Beberapa Ketentuannya

Al-Mawardi dalam Ahkamus Sulthaniyah juga turut memberikan konsep mengenai al-‘afwu dan as-syafa’ah yang dapat digunakan sebagai pengampunan hukuman. al-‘afwu dimaknai Al-Mawardi dalam pencabutan tuntutan hukum atas terpidana. Sedangkan as-syafa’ah ia artikan sebagai pengurangan, perubahan atau peniadaan pidana baik dari keluarga korban atau dari hakim dan pemerintah, namun Al-Mawardi sebenarnya lebih condong kewenangan tersebut oleh pemerintah atau hakim.

Konsep as-syafa’ah Al-Mawardi tersebut sebetulnya memiliki relevansi dengan istilah grasi dan keringanan hukuman yang ada di pemerintah sekarang. Istilah grasi atau pengampunan hukuman menurut Quraish Shihab bertujuan agar seseorang ataupun sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana dapat kembali memperoleh hak-haknya sebagai seorang warga negara, karena syafa’ah diberikan untuk berbuat kebaikan.

Wallahu a’lam[]