Beranda blog Halaman 410

12 Makna Ummah dalam Al-Quran menurut Ahli Tafsir

0
12 makna ummah dalam Al-Quran
12 makna ummah dalam Al-Quran

Upaya memahami kandungan Al-Quran melalui sebuah penafsiran dibutuhkan perangkat komplit dan kompleks. Salah satunya adalah penguasaan bahasa ushûl al-lughah. Kajian ushûl al-lughah atau fiqh al-lughah meliputi musytarak al-lafzhî, at-tarâduf, haqîqah-majâz dan lain sebagainya. Mengenai musytarak al-lafzhî (satu kata beragam makna) perlu diperkenalkan secara luas. Sehingga pemahaman terhadap ayat menjadi tepat. Sebut saja salah satunya term ummah yang punya makna cukup dinamis. Berikut ini ragam makna ummah dalam Al-Quran menurut Ahli Tafsir.

Dalam bahasa Arab kontemporer, kata ummah diartikan sebagai bangsa/negara. Sebagaimana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab dengan hai’ah al-umam al-muttahidah. Jika merujuk pada kamus al-muʻjam al-wasîth term ummah diartikan dengan majmû’ min an-nâs yatasyârakûn fi umûr musytarakah sawa’ fî siyasiyah aw ghairihâ (sekumpulan manusia yang berserikat dalam urusan yang sama baik politik maupun yang lainnya).

Baca juga: Salah Paham tentang Khayr Ummah, Awal Lahirnya Sikap Superioritas

Dalam Al-Quran, kata ummah –sebagaimana catatan Fuad Abdul Bâqi dalam al-mu’jam al-mufahras li alfâzh al-Qur’ân– tersebar 64 kali di berbagai tempat. Dari jumlah tersebut setidaknya ummah berkembang tidak kurang dari 12 makna.   Sembilan di antaranya disebutkan Muqâtil bin Sulaimân (w. 150 H) dalam bukunya, al-Wujûh wa an-Nazhâ’ir yang kemudian dipertegas oleh Hârûn bin Mûsâ (w. 170 H) dan Ad-Dâmighânî (w. 478 H) dalam judul buku yang sama. Kesembilan makna itu sebagaimana berikut:

Pertama, sekelompok (‘ushbah/jamâ’ah)

Sebagaimana doa Nabi Ibrahim as dan Ismail as saat mengangkat pondasi Kakbah yang memohon agar keturunannya menjadi sekelompok Muslim yang berserah diri pada Allah, wa min dzurriyatinâ ummah muslimah laka (Q.S. al-Baqarah [2]: 128). Juga saat Allah swt mengisahkan di antara kaum Nabi Musa as ada sekelompok yang adil dan mendapat hidayah, wa min qaum Mûsâ ummah (Q.S. al-A’râf [7]: 159). Makna pertama ini bisa kita jumpai pada penafsiran ath-Thabarî (w. 310 H) dan al-Baghawî (w. 510 H).

Kedua, waktu bertahun-tahun (sinîn)

Dimaknai demikian karena tahun merupakan sekumpulan dari jam, hari, dan bulan. Penundaan siksa Allah swt bagi orang-orang yang ingkar berlangsung hingga waktu bertahun-tahun, wa lain akhkharnâ ‘anhum al-‘adzâb ilâ ummah ma’dûdah (Q.S. Hûd [11]: 8). Begitu juga kembalinya ingatan salah satu teman Nabi Yusuf setelah bertahun-tahun lamanya, waddakara ba’da ummah (QS Yûsuf [12]: 45). Riwayat Ibn ‘Abbas yang dinukil ath-Thabari (w. 310 H) juga memaknainya dengan (sinîn).

Ketiga, kaum (qaum)

Makna ini berdasarkan riwayat Ibn ‘Abbâs, Mujâhid, Qatâdah dan adh-Dhahhâk yang ditemukan dalam tafsîr ath-Thabarî. Saat satu kaum lebih banyak jumlahnya dibanding kaum lainnya, an takûn ummah hiya arbâ min ummah (Q.S. an-Nahl [16]: 92).

Keempat, imam pemimpin kebaikan (imâm fî al-khair)

 Abû Hilâl al-‘Askarî (w. 395 H) juga menambahi maknanya dengan seorang laki-laki hebat karena menjadi rujukan bagi orang-orang sekelilingnya. Makna ini bisa didapati pada Q.S. an-Nahl [16]: 120, innâ Ibrâhîm kâna ummah. Sebagaimana riwayat Ibn Mas’ûd dalam Jâmi’ al-Bayân karya ath-Thabarî. Râghib al-Ashfihânî (w. 425 H) memaknainya sebagai sesosok yang ibadahnya kepada Allah menyamai ibadah sekelompok orang banyak.

Kelima, umat-umat kafir terdahulu (al-umam al-khâliyah min al-kuffâr)

Sebagaimana penafsiran ath-Thabari, setiap umat kafir yang telah lewat memiliki seorang Rasul, wa likulli ummah rasûl (Q.S. Yûnus [10]: 47) dan wa in min ummah illâ khalâ fîhâ nadzîr (Q.S. Fâthir [35]: 24).

Baca juga: Inilah Tinjauan Tafsir Ummatan Wasatha Menurut M. Thalibi

Keenam, umat Muhammad saw dari kalangan Muslim (al-muslimûn khâshshah)

Makna ini seperti yang dimaksud dalam kuntum khaira ummah ukhrijat li an-nâs (Q.S. Ali ‘Imrân [3]: 110) dan ja’alnâkum ummah washath (Q.S. al-Baqarah [2]: 143). Ath-Thabari dan al-Baghawi juga memaknainya demikian.

Ketujuh, umat Muhammad saw dari kalangan non-Muslim (al-kuffâr khâshshah)

Makna ini sebagaimana makna kata ummah dalam kadzâlika arsalnâka fî ummah qad khalat min qablihâ umam (Q.S. ar-Ra’d [13]: 30).

Kedelapan, makhluk (al-khalq)

Sebagaimana riwayat as-Sudî dinukil oleh ath-Thabari dalam ayat wa mâ min dâbbah wa lâ thâir yathîr bi janâhaih illâ umam amtsâlukum (Q.S. al-An’âm [6]: 38).

Kesembilan, agama (millah/dîn)

Seperti dalam ayat kâna an-nâs ummah wâhidah (Q.S. al-Baqarah [2]: 213) dan wa lau syâ’a Allâh laja’alakum ummah wâhidah (Q.S. an-Nahl [16]: 52). Makna ini diperkuat dengan riwayat ath-Thabari dari Ibn ‘Abbâs dan as-Sudî serta pemaknaan Al-Khalil (w. 175 H) terhadap kata ummah pada Q.S. az-Zukhruf [43]: 22 dengan keyakinan (dîn).

Kemudian, makna ini dikembangkan lagi oleh Abû Hilâl al-‘Askarî (w. 395 H) dalam buku yang berjudul sama, al-Wujûh wa an-Nazhâ’ir, menjadi dua makna; agama itu sendiri (millah bi ‘ainihâ) dan pemeluk agama Islam (ahl al-Islâm bi ‘ainih) dan wa inna hâdzihi ummatukum ummah wâhidah (Q.S. al-Anbiyâ’ [21]: 92). Sehingga pemeluk agama Islam menjadi makna kesepuluh. Kemudian makna ummah dalam kâna an-nâs ummah wâhidah (Q.S. al-Baqarah [2]: 213) diperluas lagi oleh Râghib al-Ashfihânî (w. 425 H) dengan shinfan wâhidan (satu jenis).

Ibnu Fâris (w. 395 H) melalui Maqâyîs al-Lughah menambahkan makna keduabelas dari ummah yaitu para ulama. Diperkuat kembali oleh Râghib al-Ashfihânî (w. 425 H) dengan ulama yang mengamalkan ilmunya hingga menjadi teladan. Sebagaimana termuat dalam Q.S. Ali ‘Imrân [3]: 104, wal takun minkum ummah yad’ûna ila al-khair.

Baca juga: Menilik Makna Ummatan Wasatha dalam Surat Al-Baqarah Ayat 143 Dari Berbagai penafsiran

Menurut hemat penulis, ragam makna ummah bisa disimpulkan pada dua asal makna kata yaitu: jam’ (kumpulan) dan qashd (tujuan). Sebagaimana Râghib al-Ashfihânî (w. 425 H) –dalam al-mufradât fî gharîb al-Qur’ân-menyimpulkan ragam makna kata ummah dengan sekumpulan yang disatukan dalam satu urusan yang sama baik itu teologi (keyakinan agama), waktu, maupun tempat. Hal yang menyatukan itu bisa bersifat alamiah (taskhîr) ataupun bisa diupayakan (ikhtiyâr).

Sementara itu, menurut Abû Hilâl al-‘Askarî (w. 395 H) dalam al-Wujûh wa an-Nazhâir- ragam makna ummah bisa dikembalikan pada satu kata asal yaitu qashd (tujuan). Sebab, suatu umat pasti mempunyai tujuan dan misi yang sama. Dinamakan umat Muhammad saw karena memiliki tujuan yang sama, yaitu mengimaninya. Jika dirunut akar katanya berasal dari kata kerja amma yaummu imâman yang berarti di depan. Seorang imam harus berdiri lebih depan dibanding makmum. Sehingga disebut ummah karena kepentingan umat harus diprioritaskan dan ditempatkan di depan dibanding kepentingan lainnya. Wallahu a’lam []

Serial Diskusi Tafsir Ngaji Kitab Jam’ul ‘Abir fi Kutub Tafsir Bareng Gus Awis

0
Serial Diskusi Tafsir
Serial Diskusi Tafsir ke-5

Tafsiralquran.id bersama dengan CRIS Foundation akan kembali menggelar diskusi bulanan dalam program Serial Diskusi Tafsir dengan mengundang Dr. KH. Afifuddin Dimyathi, Lc, M.A atau akrab dipanggil Gus Awis pada Selasa (26/01) malam pukul 20.00 – selesai dengan topik “Ngaji Kitab Jam’ul ‘Abir fi Kutub al-Tafsir”, kitab karya Gus Awis sendiri.

Serial Diskusi Tafsir merupakan program rutin bulanan yang dibuat khusus sebagai sarana diskusi akademik bagi para mahasiswa, dosen, peneliti, dan kalangan umum yang tertarik dengan kajian Ilmu al-Quran dan Tafsir. Program ini sudah berjalan hingga di seri ke-5 sejak pertama kali digelar pada September tahun 2020 lalu.

Ngaji Kitab Jam’ul ‘Abir fi Kutub al-Tafsir merupakan topik yang sedianya dipilih agar kajian kali ini lebih seperti mengaji bandongan langsung kepada muallif kitab. Selain tabarukan dan menyambung sanad keilmuan, kami juga berharap para pembaca dan follower tafsiralquran.id lebih mengenal potensi para kiai dan ulama kita yang tidak kalah dengan para ulama di belahan dunia yang lain.

Perlu diketahui bahwa kitab Jam’ul ‘Abir fi Kutub al-Tafsir yang diterbitkan di Mesir ini adalah kitab ensiklopedis yang memuat pembahasan kitab-kitab tafsir sesuai dengna urutan tahun wafat mufasir pengarang kitab tafsir. Selain itu, sebagaimana dilansir dari laman nu.or.id, Gus Awis juga dalam kitab ini turut memperkenalkan para mufasir Nusantara seperti Syekh Abdur Rauf as Sinkili, Kiai Shalih Darat, Mbah Kiai Bisri Musthofa, Mbah Kiai Misbah Musthofa, Syekh Muhammad Said bin Umar al Malaysia, KH Ahmad Sanusi, dan Syekh Ahmad Shonhaji as-Singapuri kepada para pembaca di Timur Tengah dan dunia.

Sebagaimana Serial Diskusi Tafsir sebelumnya, kali ini juga akan diselenggarakan via Zoom Cloud Meeting. Untuk mengikuti Serial Diskusi Tafsir ini, anda bisa melakukan registrasi disini.

Hukum Menyentuh Al-Quran dalam Keadaan Hadas bagi Anak Kecil yang Sedang Belajar

0
hukum anak kecil menyentuh Al-Quran
hukum anak kecil menyentuh Al-Quran

Dalam kehidupan sehari-hari, interaksi anak kecil terhadap Al-Quran adalah sebuah pemandangan yang tak asing. Di majlis khataman Al-Quran, kadang mereka diajak serta agar ikut mendengarkan agar bisa dekat dengan Al-Quran. Baik itu di masjid, musholla atau tempat-tempat pengajaran Al-Quran, anak kecil mulai dikenalkan Al-Quran sejak dini. Bahkan saat dirasa sudah lulus pelajaran membaca Al-Quran tingkat dasar, mereka sudah diizinkan membaca dan membawa mushaf. Bagaimana hukum anak kecil menyentuh Al-Quran dalam keadaan hadas, sedang ia sedang mempelajarinya?

Pertanyaan di atas berasal dari kekawatiran dan beberapa kegelisahan lain yang mendahuluinya. Di antaranya, bolehkah membiarkan anak kecil membawa Al-Quran? Bukankah hal itu dikawatirkan akan membuat Al-Quran yang mereka bawa rusak atau ditaruh di tempat sembarangan sehingga mencederai kemuliaan Al-Quran? Lalu apakah mereka harus bebas dari hadas saat membawanya?

Baca Juga: Hukum Membaca Al-Quran dalam Keadaan Hadas

Antara Anak yang Sudah Tamyiz dan Belum Tamyiz

Istilah “anak kecil” menurut ulama’ fikih adalah anak yang belum baligh. Mereka terdiri dari dua kategori. Yaitu anak yang belum tamyiz, atau belum mengerti mana prilaku yang baik dan mana prilaku yang buruk. Kategori kedua yaitu anak yang sudah tamyiz, yang berarti sudah bisa membedakan mana prilaku yang baik dan mana prilaku yang buruk. Hukum anak kecil menyentuh Al-Quran, termasuk membawanya juga dibedakan berdasar pada dua kategori anak kecil tersebut.

Anak yang belum tamyiz tidak diperbolehkan untuk membawa Al-Quran. Hal ini dinyatakan antara lain oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab. Alasannya adalah, agar seorang anak tidak memperlakukan mushaf dengan perlakuan yang bisa mencederai kemuliaan mushaf. Misalnya mencorat-coret mushaf, menyobek-nyobek halamannya atau bahkan meletakkannya di lantai sehingga terinjak olehnya atau orang yang lewat (Al-Majmu’/2/69).

Meski ada tujuan mengenalkan anak terhadap Al-Quran, memberikan mushaf terhadap anak yang belum tamyiz tidak diperbolehkan. Untuk mengenalkan Al-Quran kepada mereka, dapat disiasati dengan memperdengarkan bacaan Al-Quran, baik lewat bacaan langsung guru atau orang tuanya, maupun rekaman. Bisa juga memberi mereka materi membaca huruf hijaiyah tingkat dasar.

Baca Juga: Bagaimana Hukum Menyentuh Al-Quran Terjemah Bagi Orang yang Hadas?

Sebagian ulama’ juga menyatakan bahwa diperbolehkan memberikan mushaf pada anak yang belum tamyiz, dengan syarat ada orang dewasa yang mengawasi anak tersebut dan mencegahnya memperlakukan mushaf dengan prilaku yang menciderai kemuliaannya (Hasyiyah Syarwani/1/152). Di sini jelas perlunya keberadaan orang tua atau guru untuk mendampingi anak kecil yang sedang belajar Al-Quran.

Untuk anak yang sudah tamyiz, Imam An-Nawawi menyatakan bahwa bagi orang tua atau guru, tidak diwajibkan mengharuskan anak tersebut untuk bersuci terlebih dahulu sebelum menyentuh mushaf. Terkait hal ini, para ulama’ sebenarnya berbeda pendapat. Namun pendapat yang paling sahih adalah, tidak wajib menyuruh mereka untuk suci dari hadas.

Anak yang sudah tamyiz inilah, yang meski belum mencapai usia baligh, sudah tahu bagaimana seharusnya memuliakan Al-Quran. Misalnya dengan tidak mencorat-coret serta menyobek-nyobek halaman Al-Quran. Ia juga sudah mengerti di mana seharusnya meletakkan Al-Quran agar kemudian tidak terinjak baik oleh dirinya maupun orang lain. Jadi, pada kategori ini, hukum anak kecil menyentuh Al-Quran dalam keadaan hadas masih bisa ditolerir.

Baca Juga: Memahami Konsep Sakralitas Al-Quran dan Berbagai Sikap Terhadapnya

Antara Kebutuhan Belajar Al-Quran dan Membiasakan Suci dari Hadas

Alasan ulama’ memperbolehkan anak yang sudah tamyiz menyentuh Al-Quran tanpa harus bersuci terlebih dahulu adalah, sulit meminta anak yang sedang proses belajar Al-Quran dan perlu membawa Al-Quran ke tempat mengaji untuk terus menerus (mudawamah) dalam keadaan suci dari hadas. Maka selama itu dalam rangka proses belajar, ia boleh menyentuh Al-Quran dalam keadaan hadas. Namun apabila tidak dalam rangka belajar, atau menyentuh mushaf tanpa tujuan tertentu, ulama’ tetap mewajibkan si anak harus dalam keadaan suci. (Mughnil Muhtaj/1/167).

Hukum menyuruh anak yang sudah tamyiz agar menyentuh Al-Quran dalam keadaan suci hanya sunnah saja. Meski begitu, mendorong anak yang sudah tamyiz agar terbiasa menyentuh Al-Quran dalam keadaan suci juga penting. Dua hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi guru serta orang tua anak, agar tidak terlalu kaku juga tidak terlalu longgar dalam menyuruh anak menyentuh Al-Quran dalam keadaan suci.

Berbagai penjelasan tentang hukum anak kecil menyentuh Al-Quran saat ia sedang hadas di atas menunjukkan kepada kita bahwa dalam proses belajar dan mengajar Al-Quran untuk anak kecil, guru serta orang tua anak tidak perlu terlalu sering menyuruh anak berwudu setiap kali sang anak hadas dan hendak menyentuh Al-Quran, keduanya hanya perlu sesekali menyuruhnya berwudu. Hal ini agar antara kebutuhan belajar Al-Quran dan membiasakan sang anak suci dari hadas saat memegang Al-Quran dapat berjalan dengan baik, efektif dan tetap edukatif.

Berkat Kegigihan Muslimah Memperjuangkan Keadilan, Firman Allah Turun dalam Surat Mujadilah

0
Kegigihan Muslimah Memperjuangkan Keadilan, Firman Allah Turun dalam Surat Mujadilah
Kegigihan Muslimah Memperjuangkan Keadilan, Firman Allah Turun dalam Surat Mujadilah

Turunnya surat al-mujadilah ayat 1-4 merupakan bukti bahwa Allah sungguh merespon gugatan seorang perempuan yang telah digantung pernikahannya oleh suaminya, perempuan ini bernama Khawlah binti Tsa’labah. Hal ini terjadi disebabkan muncul perkataan suaminya kepada Khawlah, kamu seperti punggung ibuku, ucapan tersebut merupakan perkataan zihar. Menurut tradisi Arab pada saat itu, bahwa perkataan yang disampaikan suami Khawlah ini merupakan bertanda suami sudah tidak bisa menyentuh istrinya yaitu Khawlah. Dan pada saat yang sama Khawlah belum bebas dari status pernikahan. Berkat kegigihan muslimah memperjuangkan keadilan tersebut, firman Allah turun dalam surat al-mujadilah ayat 1-4.

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ (١) الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (٢)وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (٣) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٤)

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar tanya-jawab antara kamu berdua. Sesungguhya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat orang-orang menzihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita-wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta.

Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami-istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajib lah atasnya) memberi makan 60 orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan, itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat sedih.

Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, bahwa ayat tersebut turun ketika terjadi peristiwa yang menimpa Khawlah bin Tsa’labah yang mencoba mengadukan masalahnya kepada Rasulullah SAW terkait ia mendapatkan perkataan zihar dari suaminya. Akan tetapi dia tidak bisa lepas dari status pernikahannya.

Baca juga: Prinsip Tafsir Husein Muhammad dalam Ayat Relasi Laki-laki dan Perempuan (2)

Dari kutipan Tafsir al-Quran al-Adzim karya Ibnu Katsir, sesungguhnya dari Aisyah, disebutkan bahwa ia pernah berkata, “Mahasuci Tuhan Yang pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu, sesungguhnya aku benar-benar mendengar suara pembicaraan Khaulah binti Sa’labah, tetapi sebagiannya tidak dapat kudengar, yaitu saat dia mengadukan perihal suaminya kepada Rasulullah Saw. Dia mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, suamiku telah makan hartaku dan mengisap masa mudaku, serta kubentangkan perutku untuknya, hingga manakala usiaku telah menua dan aku tidak dapat beranak lagi, tiba-tiba dia melakukan zihar terhadapku. Ya Allah, aku mengadu kepada Engkau masalah yang menimpaku ini’.”

Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa sebelum Khaulah bangkit pulang, Jibril turun dengan membawa ayat ini, yaitu: Sungguh, Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya. (al-mujadilah ayat 1)

Bahkan Khawlah pun mengadukan kepada Rasulullah bahwa setelah itu Aus ibnu Samit (suaminya) mengatakan perkataan zihar, ia keluar dan duduk di tempat perkumpulan kaumnya selama sesaat, kemudian ia kembali masuk menemuiku. Tiba-tiba berahinya memuncak, dia menginginkan diri Khawlah kembali.

Respon Allah SWT Kepada Perempuan Penggugat

Kemudian pada ayat berikutnya adalah bentuk respon Allah SWT kepada peristiwa yang dialami Khawlah bin Tsa’labah, bahwa suami yang telah melakukan zihar kepada istrinya, kemudian menginginkan isrinya kembali, maka wajib untuk melakukan perintah Allah sebagai mana sesuai dengan ayat 2-4 surat al-mujadilah. Perintah itu adalah memerdekakan seorang budak, jika tidak mampu maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak kuasa melakukan puasa, bisa dengan memberi makan 60 orang miskin.

Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 19: Perempuan Adalah Sosok Istimewa

Sesungguhnya Allah benar-benar Maha adil kepada perempuan, bahkan peristiwa tersebut tidak hanya perempuan saja yang diuntungkan, yaitu seorang budak dan fakir miskin. Dengan adanya kebijakan Allah yang tertuang dalam firmanNya tersebut. Menjadikan hambanya semakin hati-hati bahwa suami harus lebih menghargai hubungan pernikahan mereka. Bahwa perkataan zihar bukanlah solusi dalam penyelesaian konflik dalam hubungan pernikahan. Karena perkataan yang tidak didasari dengan nurani yang tulus atau hanya emosi sesaat, menyebabkan penyesalan yang amat pahit.

Peristiwa tersebut memang perlu digaungkan, maka dengan begitu, kita banyak menemui tulisan yang beredar tentang gugatan perempuan pada surat al-mujadilah. Misalnya adalah tulisan Prof Nadisyah Hosen pada karyanya Tafsir Al-Quran di Medsos, ia pernah menyinggung tentang kisah ziharnya Khawlah pada tulisannya dan ia juga memasukkan pendapat Inggrid Mattson pada The Story of the Qur’an: History and Place in Muslim Life, di situ tertulis bahwa spirit pernikahan dalam Islam itu adalah “ perlakukan pasanganmu dengan baik, atau jika tidak, lepaskan dengan baik-baik”.

Baca juga: Tafsir Ayat Poligami yang Tidak Pernah Usai dan Kisah Imam Abu Hanifah Membela Perempuan

Selanjutnya datang juga dari pendapat Prof Mustaqim, bahwa ia menguraikan kisah gugatan perempuan  pada surat al-mujadilah menggunakan ciri khas pendekatan tafsir maqashidi. Singkat gagasannya ada dalam sini. Prof Mustaqim menuliskan konsep zhihar saat itu di zaman jahiliyah dianggap sabagai bentuk perceraian. Dalam saat yang sama zhihar adalah bentuk kesewenang-wenangan laki-laki terhadap perempuan. Hegemoni patriarki sedemikian kuat, hingga nyaris tidak ada negosiasi. Wallahu a’lam[]

Melihat Fungsi Interpretasi Jorge J E Gracia sebagai Teori Penafsiran Al-Quran

0
Hermeunitika Jorge J E Gracia
Hermeunitika Jorge J E Gracia

Teori fungsi interpretasi yang ditawarkan oleh Jorge J E Gracia memungkinkan untuk dipakai sebagai salah satu perangkat berpikir dalam mengembangkan kaidah penasiran. Pendekatan hermeneutika yang digagasnya dikenal bersifat moderat yang ditempatkan ke dalam aliran obyektif cum subyektif yakni berada ditengah antara subyektif dan obyektif.

Hermeunitika Gracia sebagai jalan tengah

Seperti yang ditulisan Syamsul Wathani dalam Hermeneutika Jorge J E Gracia Sebagai Alternative Teori Penafsiran Tekstual Al-Quran, Sebagai sistem interpretasi, hermeneutika masih dipandang sebagai pendekatan yang bisa melenyapkan kesakralan teks. Sebagian pihak setuju dan sebagian lain menggugatnya. Perdebatan terjadi berdasarkan beberapa elemen seperti, ketidaksesuaian hermeneutika dengan beberapa perangkat penafsiran Al-Quran.

Melihat permasalahan yang muncul, maka penulis akan mengangkat hermenutika Gracia sebagai jalan tengah dalam polemik ini. Karena adanya keseimbangan antara makna asal teks dan peran seorang pembaca dalam penafsiran hermeneutika moderat yang diperkenalkan oleh Gracia. Sahiron Syamsuddin dalam karyanya  Hermenetuika Dan Pengembangan Ulumul Qur’an menjelaskan bahwa dalam hal ini, memungkinkan model hermeneutika yang diperkenalkan oleh Gracia untuk diaplikasikan dalam lingkup Ilmu Al-Quran dan Tafsir. Karena dianggap memiliki kemiripan dalam tradisi penafsiran Al-Quran.

Mengutip Nablur Rahman dalam Hermeneutika J E Gracia (Sebuah Pengantar), Sebab dalamnya perhatian Gracia terhadap interpretasi, membuatnya tidak hanya mengkaji secara general tetapi juga mengamati bagaimana proses pemahaman seseorang untuk memaknai sebuah teks. Maka, Gracia membagi teks ke dalam lima bentuk yang berbeda dan dirumusakan sebagai berikut: 1. Teks-teks nyata yang prakteknya lebih mengarah ke teks historis. 2. teks perantara. 3. teks kontemporer. 4. teks yang dimaksud dan 5. teks ideal. Pembagian tersebut merupakan sebuah proses interpretasi yang dilalui oleh para penafsir.

Baca juga: Teori Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Perkembangannya dalam Studi Al-Quran

Teks historis seringkali membuat penafsir terjebak dalam asumsi pribadi yang akan mengubah makna dari sebuah teks. Sehingga muncul beberapa perbedaan pemahaman dari audiens dan menimbulkan dilema para penafsir. Gracia berpendapat bahwa sebuah makna memang memliki batasan, tetapi batasan tersebut tergantung pada berbagai faktor maka sebaiknya pengkaji teks tidak memahami makna teks dalam lingkupan yang sempit. Jadi, meskipun pembaca boleh memahami teks dengan perspektifnya namun tidak diperbolehkan memahami sekehendaknya.(Syamsuddin, 2017: 106-108).

Menurut Gracia, teks adalah sebuah entitas historis, yakni teks yang di produksi oleh pengarang atau muncul pada waktu dan tempat yang tertentu. Maka, sebuah teks merupakan bagian dari masa lalu. Ketika seorang pengkaji ingin berinteraksi dengan teks harus dipastikan menjadi seorang historian untuk mendapatkan kembali makna masa lalu. Permasalahannya, tidak semua pengkaji teks memiliki akses untuk mendapatkan entitas dari pengarang dan menyampaikan maknanya, hal ini disebut Gracia dengan dilema penafsiran. Kemudian, untuk mendapatkan solusi dari permasalahan tersebut Gracia menawarkan sebuah temuan yang disebut dengan “the development of tekxtual interpretation”(pengembangan interpretasi tekstual) yang bertujuan untuk menjembantani ketidaksesuaian antara keadaan ketika teks historis di produksi dan keadaan audiens kontemporer yang mencoba untuk mengimplikasikan makna teks tersebut.

Baca juga: Massimo Campanini; Pengkaji Al-Quran Kontemporer dari Italia

Teori penafsiran tidak akan terlepas dari tiga komponen dasar yaitu; teks, konteks dan kontekstualisasi. Begitupula yang diperbincangkan oleh Gracia mengenai interpretasinya, ia tidak terlepas dari pemahaman original teks yang dikaitkan dengan pengarang teks dan para audiens terdahulu dan sekarang. Menurut Gracia ada tiga hal yang dilibatkan dalam interpretasi yaitu teks yang ditafsirkan (interpretandum), penafsir dan keterangan tambahan (interpretans). Interpretendum adalah teks historis itu sendiri dan interpretans adalah ungkapan yang memuat tambahan-tambahan dari penafsir sehingga lebih mudah dipahami.(Syamsuddin, 2017: 112)

Teori fungsi interpretasi Gracia dan langkah-langkahnya

Teori fungsi interpretasi adalah cara yang ditawarkan Gracia untuk menciptakan pemahaman dalam diri audiens kontemporer terhadap teks yang ditafsirkan. Fungsi tersebut terbagai menjadi tiga yaitu; fungsi historis, fungsi makna, dan fungsi implikatif.

Fungsi historis berfungsi untuk menciptakan pemahaman dalam benak audiens kontemporer yaitu mengenai pemahaman sang pengarang teks dan audiens historis.

Fungsi makna betujuan untuk meciptakan pemahaman dalam benak audiens kontemporer untuk mengangkap makna dari teks, terlepas apakah makna tersebut memang yang dimaksud oleh sang pengarang teks atau tidak.

Sementara, fungsi implikatif bertujuan untuk memunculkan pemahaman dalam benak audiens kontemporer untuk memhamai teks yang ditafsirkan secara implikatif.

Mengutip Ali Akbar dalam Tawaran Hermeneutika Untuk Menafsirkan, Paul Ricoeur mendefinisikan hermeneutika menjadi acuan balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai dasar dari hermenenutika. Menurutnya, hermenutika adalah teori tentang kaidah yang menata sebuah eksegesis.

Baca juga: Amina Wadud dan Hermeunitika Tauhid dalam Tafsir Berkeadilan Gender

Pernyataan diatas dapat dijadikan landasan bahwa penawaran Gracia tentang teori fungsi penafsiran bisa digunakan dalam pengembangan penafsiran pada Al-Quran. Seperti penjelasan Ulummudin dalam Tafsir Kontemporer Atas “Ayat Perang” Q.S. Al-Taubah(9):5-6:Perspektif Hermeneutika Jorge J E Gracia, di mulai dengan fungsi historis, seorang penafsir bisa menggunakan analisis historis dan bahasa (linguistik) terhadap ayat yang ingin ditafsirkan. Analisis Bahasa digunakan untuk meneliti pengunaan struktur tertentu atau kata yang ada pada masa turunnya ayat. Kemudian analisis historis sendiri bisa digunakan sama halnya dengan asbabun nuzul mikro atau makro. Metode intertekstualisasi juga bisa digunakan untuk mencari hubungan ayat Al-Quran dengan teks lain.

Setelah mendapatkan makna utama ayat yang dimaksud, langkah selanjutnya yaitu mengembangkannya dengan fungsi makna berdasarkan pada makna dasar hasil dari fungsi historis dan tidak lupa dengan aspek kebahasaan yang menempati posisi penting dalam penafsiran Al-Quran serta keterkaitannya dengan makna. Dengan memperhatikan korelasi ayat-ayat Al-Quran serta kajian lingusitik terhadap ayat tersebut. Pada akhirnya, makna tersebut bisa dikembangkan pada konteks kekinian. Hal tersebut layaknya seperti upaya untuk mengontekstualisasi makna teks.

Dan, terakhir, fungsi implikatif, yakni penafsiran yang dibantu dengan ilmu lain seperti antropologi, sosiologi ataupun ilmu kedoteran. Pada fungsi ini, penafsiran tidak hanya mamahami arti atau makna sebuah ayat tetapi juga mengembangkannya. Fungsi implikatif bisa dilihat dengan munculnya penafsiran-penafsiran Al-Quran kontemporer dengan berbagai macam corak seperti corak tafsir ilmi dan fiqh.

Baca juga: Inilah Lima Latar Belakang Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed

Suatu kemungkinan jika gagasan Gracia ini sudah dibahas oleh beberapa pakar kebahasaan. Tetapi, tentu Gracia juga sudah memodifikasi dengan olahan yang menarik. Dengan begitu, heremeneutika Gracia bisa menjadi alternatif bagi para pengkaji tafsir untuk menggali dan mencari makna asli sebuah teks khususnya Al-Quran.

Walaupun sejumlah kalangan masih manafikan beberapa tawaran metodologi modern dengan asumsi yang diyakini masing-masing, teori dan pemikiran yang digagas oleh Gracia ini dapat dipertimbangkan. Sehingga, perlu kiranya para pakar tafsir memahami kembali, memodifikasi, serta menelaah aspek hermeneutika Gracia. Di sisi lain, juga mengaitkannya dengan Studi Al-Quran dan Islam tanpa harus merubah teori lama agar dapat menghadirkan makna Al-Quran. Doktrin keagamaan yang rasional sehingga melahirkan pemahaman yang luas, karena Al-Quran shalih li kulli zaman wa makan.

Wallahu a’lam[]

Mengenal Imran Hosein dan Diskursus Yajuj dan Majuj di Dunia Modern

0
Yajuj dan Majuj
Yajuj dan Majuj

Yajuj dan Majuj dalam tradisi penafsiran klasik hingga sekarang, umumnya dikategorikan sebagai bagian dari kajian eskatologis atau ghaibiyah. Kategorisasi ini setidaknya menyebabkan dua sikap para cendekiawan Islam terhadap diskursus ini yaitu sedikitnya minat mengkaji secara mendalam dan ketergantungan pada pemaknaan yang sudah ada (ketiadaan kreativitas untuk melakukakn reinterpretasi).

Sikap para cendekiawan Islam tersebut setidaknya juga menimbulkan beberapa implikasi dalam ranah akademik dan yang paling serius adalah minimnya referensi yang bisa dirujuk. Fenomena ini menjadi alasan adanya “kegelisahan akademik” yang dirasakan oleh Imran Hosein dan mendorongnya untuk melakukan kajian ulang terhadap diskursus Yajuj dan Majuj.

Sekilas tentang Imran Hosein, ia adalah salah satu cendekiawan Islam jebolan dari madrasah/ institut Alimiyah Pakistan, sebuah institut atau perguruan tinggi yang memadukan antara keilmuan Islam klasik serta pendekatan ilmu-ilmu modern. Madrasah ini didirikan oleh guru sekaligus inspirasi Imran Hosein yakni Fazlur Rahman Ansari, seorang filsuf sekaligus sufi yang berasal dari Pakistan.

Baca Juga: Kajian Barat atas Timur: Dari Edward Said Sampai Angelika Neuwirth

Karya Imran Hosein yang membahas Yajuj dan Majuj berjudul An Islamic View of Gog and Magog in the Modern World. Selain buku yang akan dibahas dalam artikel ini, karya-karya Imran Hosein yang lainnya dapat diunduh dengan mudah di website resmi miliknya, https://www.imranhosein.org.

Sebelum masuk pada pembahasan tafsir Imran Hosein akan diskursus Yajuj dan Majuj, maka perlu diinformasikan bahwa term Yajuj dan Majuj dalam al-Qur’an hanya terulang dua kali dan selalu bergandengan. Kedua ayat tersebut terdapat dalam Q.S. al-Kahfi [18]: 94 dan Q.S. al-Anbiya [21]: 96:

قَالُوْا يٰذَا الْقَرْنَيْنِ اِنَّ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ مُفْسِدُوْنَ فِى الْاَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلٰٓى اَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا

Mereka berkata, “Wahai Zulkarnain! Sungguh, Yakjuj dan Makjuj itu (makhluk yang) berbuat kerusakan di bumi, maka bolehkah kami membayarmu imbalan agar engkau membuatkan dinding penghalang antara kami dan mereka?” (Q.S. al-Kahfi [18]: 94)

حَتّٰىٓ اِذَا فُتِحَتْ يَأْجُوْجُ وَمَأْجُوْجُ وَهُمْ مِّنْ كُلِّ حَدَبٍ يَّنْسِلُوْنَ

Hingga apabila (tembok) Yakjuj dan Makjuj dibukakan dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. (Q.S. al-Anbiya [21]: 96)

Para ulama maupun mufassirin umumnya menafsirkan term Yajuj dan Majuj secara istilah dengan melihat pada Q.S. al-Kahfi [18]: 93 yang menjelaskan kisah perjalanan Dzulqarnain yang bertemu sebuah kaum yang hampir tidak memahami perkataan yang kemudian disebut Yajuj dan Majuj. Namun mengenai siapa dan dari mana kaum itu berasal hanya ditemukan sedikit pendapat dari para mufassirin.

Imam al-Qurthubi berpendapat berdasarkan riwayat Abu Hurairah bahwa Yajuj dan Majuj adalah keturunan Nabi Nuh dari jalur Yafits. Sementara Ibn Katsir menyebut bahwa Yajuj dan Majuj adalah kaum yang serupa dengan bangsa Turki. Sedangkan ditemukan dalam penjelasan Quraish Shihab yang mengatakan bahwa Yajuj dan Majuj merupakan kaum yang mirip dengan bangsa Tartar dan Mongol. Selanjutnya ditemukan juga riwayat hadis yang mendeskripsikan ciri fisik dari Yajuj dan Majuj yakni bermuka lebar dan bermata sipit.

Semua keterangan dalam paragraf di atas sudah menjadi rujukan umum dalam menjawab pertanyaan seputar Yajuj dan Majuj. Namun hal itu akan berbeda jika melihat uraian penafsiran yang bisa dikatakan baru oleh Imran Hosein mengenai wacana penafsiran Yajuj dan Majuj serta dengan upayanya dalam mengaitkan diskursus ini dengan dunia modern.

Imran Hosein, sebagaimana cendekiawan Islam modern-kontemporer pada umumnya yang bisa dikatakan terpengaruh pemikiran Abduh, sangat memperhatikan sisi semantik. Ia mengawali penafsirannya dengan mengutip pendapat Tammam Adi, seorang ahli semantik al-Qur’an yang mendefinisikan bahwa kata dasar dari term Ya’juj dan Ma’juj adalah a-ja-ja, maka implikasinya Ya’juj merupakan bentuk aktif dan Ma’juj merupakan bentuk pasif.

Maksudnya Ya’juj dan Ma’juj merupakan dua wajah yang berbeda atau bermuka dua. Ya’juj merupakan perwujudan dari sikap bar-bar sedangkan Ma’juj merupakan sikap kebalikannya yakni seakan seperti korban. Wujud permisalan ekstrem yang juga ia sebutkan lainnya ialah Ya’juj seakan terekspresikan pada sosok yang relijius namun kenyataannya justru sebaliknya, Ma’juj (godless).

Imran Hosein juga menjelaskan asal-muasal dari Ya’juj dan Ma’juj. Ia mengatakan bahwa mereka berasal dari suku Khazar, Eropa Timur. Suku Khazar ini kemudian mengonversi dirinya ke dalam agama Yahudi Eropa dan dan Kristen Eropa. Maka apa yang dimaksud oleh Hosein dengan menunjukkan asumsinya ini adalah bahwa Ya’juj dan Ma’juj sudah berhasil keluar dari belenggunya dan telah menyebar ke penjuru dunia.

Ia melanjutkan bahwa Ya’juj dan Ma’juj yang telah bebas itu kemudian menyebar ke seluruh dunia. Pendapat ini sekaligus ia arahkan untuk memaknai Q.S. al-Anbiya [21]: 96. Ya’juj dan Ma’juj yang telah menyebar itu kemudian masuk dan berbaur dalam setiap sektor penting di dunia dan terlibat dalam menebarkan bibit-bibit peperangan.

Secara spesifik Hosein mengatakan bahwa Ya’juj dan Ma’juj telah menyebar dan berbaur serta menjadi bagian dari aliansi Inggris-Amerika dan Israel di satu sisi dan Rusia modern di sisi lain. Di mana sudah bukan rahasia lagi bahwa kedua aliansi ini adalah rival yang saling menyerang dan menjatuhkan satu sama lain.

Hal inilah yang diyakini Imran Hosein sebagai perwujudan dari Q.S. al-Kahfi [18]: 99 yang menjelaskan bahwa ada masa di mana Ya’juj dan Ma’juj akan bersatu dan menerjang bagaikan gelombang serta saling menghancurkan satu sama lain. Pengrusakan dan penghancuran yang dilakukan Ya’juj dan Ma’juj yang masuk pada dua aliansi tersebut akhirnya menimbulkan kerusakan global akibat peperangan yang terus-menerus dikobarkan.

Tatanan dunia modern yang saat ini kita rasakan, menurut Imran Hosein adalah tatanan dunia yang sengaja dibentuk oleh Ya’juj dan Ma’juj. Mereka menciptakan masyarakat global menuju kehidupan yang korup, dekstruktif dan penuh tuhan palsu.

Sejatinya semua penjelasannya tersebut didasarkan pada ketertarikannya pada hadis yang menyatakan bahwa Ya’juj dan Ma’juj akan melewati danau Tiberias dan Yerussalem. Sebab baginya hadis ini memperlihatkan adanya niat Ya’juj dan Ma’juj untuk menguasai Yerussalem. Maka dengan itu menurutnya segala tindakan yang mengarah pada pengambilalihan kota itu dari umat Islam adalah tindakan dari Ya’juj dan Ma’juj.

Sebagaimana sikap kedua aliansi besar dunia itu yang terlihat saling berhadapan namun sejatinya baik yang kontra pun bukan disebabkan oleh keberpihakannya kepada Islam namun lebih pada upaya memperlihatkan kebesaran dan dominasinya. Maka bisa dipahami bahwa menurut Hosein puncak kerusakan yang dilakukan oleh Ya’juj dan Ma’juj adalah merebut Yerussalem dari umat Islam, sehingga dengan pemahaman ini penafsiran Imran Hosein yang mengaitkan Ya’juj dan Ma’juj dengan dunia modern akan nampak logis.

Namun sebenarnya penafsiran Imran Hosein ini sangat layak untuk dikritisi lebih lanjut. Salah satu kritik diajukan oleh Sirajuddin Bariqi yang mengatakan bahwa ada Imran Hosein telah melakukan inkonsistensi dalam penafsirannya. Menurutnya, Hosein sengaja tidak memasukkan riwayat-riwayat shahih mengenai ciri fisik Ya’juj dan Ma’juj yang populer di kalangan mufassir demi memuluskan pra-pemahamannya mengenai hadis tentang Ya’juj dan Ma’juj, danau Tiberias dan Yerussalem yang menurutnya merupakan gambaran dari kebebasan Ya’juj dan Ma’juj (keringnya sungai Tiberias) serta puncak dari kerusakan yang mereka lakukan di bumi.

Sebab ketiadaan hadis-hadis mengenai ciri fisik Ya’juj dan Ma’juj memberikan peluang besar bagi Hosein untuk membenarkan teorinya mengenai asal-muasal Ya’juj dan Ma’juj. Di mana ia menyebut bangsa Eropa Timur dan teori mengenai konversi agama yang akhirnya menjadi dua blok besar dunia yang saling berhadapan. Akan sangat mungkin jika ia akan berkesimpulan berbeda jika ia mencantumkan hadis tersebut sebab secara realita, hadis ciri fisik Ya’juj dan Ma’juj lebih dekat mengarah pada bangsa Asia Tengah sampai Timur bukan Eropa, sebagaimana pendapat Quraish Shihab.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Waqiah Ayat 1-6: Hari Kiamat itu Pasti, Inilah Visualisasinya

Atas dasar tersebut, Bariqi menilai bahwa penafsiran Imran Hosein adalah tipologi penafsiran non-ilmiah sebab kebenaran datanya tidak bisa divalidasi akibat adanya inkonsistensi dan pemaksaan pra-pemahaman. Meskipun begitu, penafsiran Imran Hosein ini setidaknya bisa memberikan warna baru bagi diskursus-diskursus dalam kajian Islam yang jarang tersentuh.

Selain itu, penafsiran Hosein juga dapat menjadi bahan renungan dan introspeksi diri. Sebab apabila kita sebagai manusia memang gemar membuat kerusakan di muka bumi ini lewat kegemaran menyulut perpecahan, merendahkan nilai kemanusiaan serta eksploitasi lingkungan secara besar-besaran, maka bukankah kita bertindak layaknya Ya’juj dan Ma’juj? Mari menilai dan mari mengevaluasi. Wallahu a’lam.

Argumen Kesetaraan Gender, Referensi Pengantar Tafsir Feminis

0
Resensi Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran
Resensi Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran

Termasuk pemicu ketimpangan gender ialah adanya kesalahpahaman terhadap konsep seks dan gender. Dua hal itu sejatinya berbeda, tetapi sering diidentikkan, sehingga melahirkan pemahaman yang bias terhadap perempuan dan laki-laki. Ambiguitas pemahaman seks dan gender inilah yang menginspirasi Nasaruddin Umar untuk melakukan risetnya berjudul Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran. Menurutnya, pengaburan makna antara seks dengan gender dalam memahami Al-Quran menjadi penyebab tafsir cenderung bias gender.

Motif dan langkah penulisan

Bagi Umar, kesalahan dalam memahami gender dapat memicu keabu-abuan gender dan seks itu sendiri. Persoalannya adalah seks merupakan jenis kelamin, sehingga bersifat biologis dan tidak bisa dirubah. Seperti perempuan memiliki vagina dan laki-laki memiliki penis. Sementara gender merupakan konsep untuk mengidentifikasi laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya. Jadi, gender ini tidak natural, karena dibentuk oleh konstruk sosial-budaya yang senantiasa berkembang. Misalnya, perempuan itu lembut, emosional; laki-laki itu kuat, dan rasional. Ciri khas dan sifat itu dapat dipertukarkan, seperti laki-laki ada yang lembut, perempuan ada yang kuat dan rasional. Perubahan ini tentu saja dipengaruhi oleh faktor sosial dan kultural yang dapat berubah sesuai dengan tuntutan konteks yang sedang berkembang.

Sebelumnya, upaya penyelesaian masalah ketimpangan gender telah dilakukan berbagai pihak. Yang antara lain kemudian melahirkan gerakan emansipasi perempuan –karena dalam konteks ini, perempuan menjadi objek yang dirugikan dengan stereotype makhluk kelas dua-. Sebut saja, National Organization for Woman (NOW), yang dibentuk Betty Friedan (w. 2006) di AS pada 1966, dan disusul dengan Women’s Lib (WLM) setahun berikutnya. Gerakan itu kemudian tersegmentasi menjadi beberapa aliran, di antaranya; liberal, radikal, sosialis. Dan, dari sederet aliran itu, belum ada yang menyertakan perspektif agama. Di sinilah letak distingsi riset Umar. Berbeda dengan aliran-aliran yang cenderung sekular itu, pendiri MADIA dan Imam Besar Masjid Istiqlal ini mengupayakan penyelesaian ketimpangan gender dengan sudut pandang Al-Quran.

Baca juga: Mengenal Tafsir Feminis: Motif dan Paradigma Dasarnya

Umar mengawali risetnya dengan pertanyaan mendasar. Yakni,

“Apakah bahasa Al-Quran dan penafsiran atasnya yang kadang dianggap sangat patriarkhis itu merupakan doktrin teologis, ataukah justru hanya dipengaruhi oleh konstruksi sosial historis semata, sehingga diperlukan penafsiran ulang dalam konteks modern yang jelas-jelas sangat berbeda situasi dan kondisi serta problematikanya?”

Karena, mungkin saja, gender bukan doktrin agama, melainkan sekedar idiologisasi dari suatu produk sejarah. Atas dasar itu, Umar mengajak untuk memetakan dan membedakan antara relasi seksual dan relasi gender secara tepat.

Buku hasil adaptasi dari disertasinya ini menyuguhkan perspektif gender dalam Al-Quran dengan menjadikan ayat-ayat Al-Quran yang bernuansa gender sebagai objek bahasan. Langkah-langkah yang ditempuh untuk menguraikan riset ini ialah dengan mengidentifikasi ayat-ayat gender, kemudian menganalisis konsep peran dan relasi gender. Dan, kendati objek bahasan Umar berupa Al-Quran, tulisan ini tidak hanya mengandalkan kajian teks. Ia juga memperhatikan aspek lain yang berhubungan dengan penafsiran Al-Quran, seperti kondisi sosial masyarakat Arabia. Aspek ini tentu saja sangat berpengaruh pada hasil penafsiran, karena Al-Quran turun di kawasan tersebut.

Baca juga: Mengenal Jami’ al-Bayan, Pelopor Tafsir Al-Quran Dalam Islam Karya Ibnu Jarir At-Thabari

Buku ini sekaligus menjadi buku pertama yang khusus membahas wawasan gender dalam Al-Quran, karena riset-riset kesetaraan gender sebelumnya, belum ada yang melibatkan agama sebagai bahan pertimbangan, padahal, nilai-nilai agama menjadi salah satu unsur penting dalam kehidupan masyarakat.

Konten

Konten buku ini dikelompokkan menjadi 5 bab.

Pertama, pendahuluan, yang memuat latar belakang riset ini seperti yang diulas di muka.

Kedua, teori gender. Dalam bagian ini, Umar menampilkan diskursus gender; mulai dari aspek ontologisnya, seperti definisi dan distingsinya dengan seks; aspek epistemologisnya, seperti teori-teori gender dan feminis; serta aspek aksiologisnya, seperti pembagian kerja dan perempuan sebagai kelompok minoritas unik.

Ketiga, analisis historis (historical analysis) berupa penelusuran data sejarah di Arabia dan masyarakat internasional menjelang Al-Quran diturunkan. Pada babak ini, Umar tampak menonjolkan analisis sosial, psikologis, politik masyarakat Arabia pada khususnya, dan dunia pada umumnya. Tentu saja karena, berangkat dari prinsip dasar Al-Quran turun pada tempat yang tidak hampa budaya. Sehingga, ajaran yang ada di dalamnya, termasuk ayat relasi gender menjadi respons dari kondisi tertentu.

Sebagai contoh, dengan analisis ini, diketemukan tradisi pembunuhan bayi perempuan dan menjadikan perempuan sebagai komoditi yang bisa diperjual belikan. Tradisi ini yang kemudian menarik respons dari Al-Quran berupa larangan membunuh bayi perempuan dan pengakuannya sebagai manusia sebagaimana laki-laki, yang juga diberi mandat sebagai ‘abid (hamba) dan khalifat al-ard (penanggungjawab bumi).

Keempat, penelusuran identitas gender dalam Al-Quran, baik yang merujuk pada laki-laki mau pun perempuan. Menurut Umar, Al-Quran konsisten menggunakan term-term tertentu untuk menunjukan fenomena dan identitas gender yang berbeda satu sama lain. Untuk mengungkapnya, Umar menggunakan metode tematik dengan menghimpun ayat yang mengandung term mudhakkar (maskulin) dan mu’annath (feminin) sebagai istilah yang sering digunakan oleh Al-Quran untuk mengungkapkan persoalan gender.

Baca juga: Tafsir Ibnu Abbas: Mengenal Dua Kitab yang Menghimpun Penafsiran Ibnu Abbas

Kemudian, ayat itu diklasifikasikan menjadi beberapa kategori, antara lain; ayat yang mengandung term ar-rijal dengan berbagai derivasinya dan yang mengandung istilah an-nisa’. Ayat yang mengandung dua istilah ini lebih menunjukkan pada pengertian gender/ beban sosial; ayat yang mengandung term az-dhakr dan yang mengandung term al-untha. Dua istilah ini berorientasi pada seks daripada gender; dan, ayat yang mengandung term al-mar’u serta al-mar’ah. Dua term ini menunjukkan laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa.

Ayat-ayat tersebut kemudian dianalisis dengan pendekatan yang ada dalam ‘ulumul qu’ran, seperti makkiyyah-madaniyyah, sabab an-nuzul, dan munasabah. Ia mengadopsi teori double movement Fazlur Rahman dalam pengoperasionalannya, untuk menemukan ideal moral (tujuan/substansi) ayat tersebut.

Kelima, tinjauan kritis terhadap konsep gender dalam Al-Quran. Pada bab ini, Umar menampilkan penemuan-penemuannya berupa argumen kesetaraan gender yang terkandung dalam Al-Quran. Yakni, bahwa Al-Quran menyebut laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba (Surah az-Dzariyat ayat 56); laki-;aki dan perempuan sebagai khalifah di bumi (Surah Al-Baqarah ayat 30);  laki-laki dan perempuan menerima janji primordial (Surah al-A’raf ayat 172), dan lain sebaginya.

Buku rekomendasi pengantar tafsir feminis

Buku Argumen Kesetaraan Gender ini cukup layak menjadi referensi pengantar tafsir feminis, karena tema sudah mewakili sebagai pijakan awal, penjelasannya komprehensif pula. Sebut saja, muasal kejadian manusia dan prinsip-prinsip kesetaraan gender.

Tidak hanya itu, disuguhkannya kritik terhadap tafsir yang bias gender menjadi nilai plus dari buku ini. Sehingga, Umar tidak hanya menawarkan pembacaan baru yang lebih ramah gender, tapi juga menampilkan faktor-faktor yang menyebabkan pemahaman yang bias gender terhadap Al-Quran. Sedangkan, pembahasan yang komprehensif dalam buku ini, tak lain karena penulis menggunakan berbagai pendekatan sebagai pisau analisis, seperti, hermeunitika double movement, semantik, dan semiotik. Ia juga memakai pendekatan ilmu sosial seperti antropologi dan psikologi.

Argumen Kesetaraan Gender juga cukup representatif digunakan sebagai referensi pengantar untuk membangun paradigma tafsir feminis. Tentu saja karena prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam Al-Quran menjadi salah satu fokus bahasan penulis, sebagaimana yang sempat di singgung di atas (baca halaman 247-263).

Baca juga: Mengenal Muhammad Abduh Pabbajah, Mufasir Nusantara Asal Sulawesi

Berbagai tokoh cendekia terkemuka pun turut menyambut hangat buku ini. Sebut saja, Quraish Shihab, yang mengisi bagian pengantar buku. Menurutnya, riset ini unik dan terbilang jarang, karena penulis memadukan pendekatan ilmu Al-Quran kontemporer dengan ilmu sosial. Azyumardi Azra juga menyebut riset ini sebagai proyek penting dalam rangka rekonstruksi dan reformulasi tafsir bias gender.

Kendati demikian, buku hasil adaptasi dari pengarang ini belum bisa disebut sebagai referensi utama (buku babon) perihal tafsir ayat-ayat relasi gender. Tentu saja, karena penulis tidak menuangkan banyak tema di dalamnya, melainkan bahasan dasarnya saja.

Judul buku      : Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran

Penulis             : Nasaruddin Umar

Penerbit           : Paramadina

Kota                : Jakarta Selatan

Tahun              : 2001

Halaman          : 327

ISBN               : 978-602-731-9653

Tafsir Surah Yasin ayat 47: Kemanusiaan Sebagai Tanggung Jawab Bersama

0
Yasin ayat 47
Yasin ayat 47

Artikel kali ini masih bertalian erat dengan sebelumnya. Wahbah Zuhaili mengelompokkan surah Yasin ayat 47 ini dengan ayat 45 dan 46 di bawah tajuk “Keengganan orang-orang kafir bertakwa kepada Allah, tanda-tanda kebesaran Allah serta berkasih sayang pada makhluk Allah”. Terkhusus ayat 47 ini, berkaitan dengan anjuran untuk saling berkasih sayang meski berbeda dalam keyakinan karena kemanusiaan tetap harus dijunjung bersama’.

Dalam surah Yasin ayat 47 ini memuat anjuran kepada orang-orang kafir agar mau menginfakkan sebagian harta yang telah Allah anugerahkan kepada mereka. Tapi nyatanya mereka menunjukkan keengganan secara tegas. Selain itu mereka juga mencatut nama Allah sebagai dalih untuk menyindir orang-orang mukmin. Berikut redaksi lengkapnya:

 وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ اَنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ ۙقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنُطْعِمُ مَنْ لَّوْ يَشَاۤءُ اللّٰهُ اَطْعَمَهٗٓ  ۖاِنْ اَنْتُمْ اِلَّا فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Infakkanlah sebagian rezeki yang diberikan Allah kepadamu,” orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman, “Apakah pantas kami memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki Dia akan memberinya makan? Kamu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.””

Ibnu ‘Abbas, sebagaimana dikutip oleh al-Sabuni dalam Safwah al-Tafasir, mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan orang-orang zindiq Mekah. Mereka diminta untuk menginfakkan sebagian hartanya untuk membantu orang miskin ketika itu. Namun mereka menolak mentah-mentah. Dalam penolakannya itu mereka berdalih bahwa keadaan miskin tersebut merupakan kehendak Allah dan mereka enggan untuk ikut campur dengan urusan Allah tersebut. Hal senada juga diungkapkan oleh al-Zamakhsyari.

Lebih lanjut al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf menambahkan bahwa ayat ini itu turun dalam rangka merespons orang-orang musyrik. Ketika itu kalangan sahabat yang berada di bawah garis kemiskinan meminta agar-orang musyrik sudi menginfakkan sebagian hartanya. Namun lagi-lagi permintaan itu mereka tolak dengan dalih yang sama, yakni keadaan mereka sudah kehendak Allah. Jika Allah berkehendak untuk menolong mereka pasti Allah sendiri yang akan membuat mereka kaya.

Baca Juga: Biografi Al-Zamakhsyari: Sang Kreator Kitab Tafsir Al-Kasysyaf

Informasi lebih rinci diberikan oleh al-Shawi. Ia mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan stori sebagian pembesar-pembesar Mekah. Salah satunya adalah al-‘Ash bin Wail al-Sahmi dan kawan-kawannya. Ketika mereka diminta untuk berinfak, mereka menolak dengan keras seraya mengejek, “Tuhanmu saja membiarkanmu miskin, aku tidak ada urusan untuk ikut campur dengan urusan Tuhannmu!”

Berbeda dengan yang disampaikan oleh Quraish Shihab. Dalam Al-Misbah Quraish memberikan dua kemungkinan terkait dengan sebab nuzul ayat 47 ini. Pertama berkenaan dengan masa sulit yang dihadapi masyarakat Mekah. Lalu Rasulullah memberi anjuran kepada semua pihak, termasuk orang musyrik, agar membatu fakir miskin. Namun anjuran tersebut mereka tolak.

Kedua, bisa jadi keengganan orang-orang musyrik untuk menginfakkan sebagian hartanya ditenggarai oleh adanya pilih kasih. Fakir miskin yang sebelumnya mendapatkan bantuan dari orang-orang musyrik tersebut kali ini tidak mendapatkan bantuan lagi karena telah memeluk Islam. Dan ketika itulah terucap kalimat sindiran tersebut. Kurang lebih hal senada juga diungkapkan oleh Ibnu ‘Asyur dalam Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir.

Terlepas dari perbedaan pendapat dari kalangan mufassir di atas kita bisa menarik benang merah bahwa pada waktu itu Mekah sedang dilanda paceklik dan para pembesar-pembesar diharap untuk ikut bahu-membahu menyelesaikan problem tersebut. Sayangnya pembesar-pembesar musyrik menolak untuk membantu. Mereka beralasan bahwa kemiskinan yang dirasakan oleh sebagian umat muslim merupakan kehendak Allah swt.

Alasan-alasan itu muncul sebagai sindiran kepada umat muslim. sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu ‘Asyur bahwa mereka berhujah seakan membalikkan akidah umat Islam sendiri. “Allah itu maha pemberi rizqi. Semuanya sudah diatur olehNya. Tidak akan ada yang keluar dari kehendaknya”. alasan tersebut dilontarkan dengan maksud mengejek dan meremehkan.

Menurut Thaba’thaba’i, ada kesalahan logika dalam alasan yang digunakan oleh orang-orang musyrik. Menurutnya orang-orang musyrik meletakkan ketetapan Allah yang bersifat tasyri’ kepada ketetapan Allah yang bersifat takwin. Berkenaan dengan anjuran untuk berinfak ini merupakan ketetapan Allah yang bersifat tasyri’. Maka dari itu manusia dianugerahi kebebasan untuk mengikuti anjuran atau tidak. Barangkali ini yang disebut  Wahbah Zuhaili dengan “seakan-akan Allah berlepas dengan takdirnya”.

Hal itu ia sampaikan dalam al-Tafsir al-Munir. Wahbah menyatakan bahwa alasan yang dilontarkan oleh orang musyrik tersebut ngawur. Menurutnya, ketika Allah swt menganugerahkan kepemilikan sebuah harta, pada saat itu juga Allah mewajibkan kepada si pemilik untuk menunaikan hak-hak atas hartanya. Lalu seakan-akan Allah berlepas dari takdirnya, karena keputusan akan beralih kepada si pemilik harta, apakah dia akan menunaikan hak-haknya atau tidak.

Terkait dengan kalimat mim ma razaqakumullah (مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ) Quraish menyatakan bahwa yang dimaskud dengan itu adalah harta benda yang dimiliki dan dinikmati serta berada dalam kekuasannya. Hal itu juga mengindikasikan bahwa harta benda yang mereka miliki itu merupakan anugerah Allah dan seyogianya si pemilik harus menunaikan hak-haknya, salah satunya adalah menginfakkan sebagian hartanya kepada fakir miskin. Terlebih dalam kondisi sulit.

Berinfak tidak mesti makanan, meskipun redaksi ayat merujuk pada makanan, yakni pada kata anut’imu (اَنُطْعِمُ). Namun menurut Ibnu ‘Asyur kata infak tidak mesti memberi makanan. Kata itu juga bisa bermakna memberi pakaian maupun tempat tinggal. Ibnu ‘Asyur menambahkan bahwa alasan penyebutan anut’imu (اَنُطْعِمُ) ini karena hal itu merupakan paling mudahnya infak. Terkait hal ini Quraish Shihab mempunyai analisis menarik.

Baca Juga: Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur dan Empat Prinsip Penafsirannya

Menurutnya, pembatasan pada kata anut’imu (اَنُطْعِمُ) bisa jadi bertujuan untuk menggambarkan kekikiran dan ketidak pedulian mereka terhadap kaum lemah, sehingga hal termudah seperti memberi makanan yang notabene kebutuhan pokok saja mereka enggan memberinya. Apalagi keengganan mereka itu didasari oleh perbedaan keyakinan sebagaimana yang telah disebut di atas.

Tidak berhenti di situ saja. setelah mereka menolak anjuran untu berinfak, mereka lantas menganggap bahwa apa yang dilakukan orang-orang mukmin dengan mengajurkan mereka berinfak merupakan kesesatan yang nyata. Jelas-jelas ini menciderai kemanusiaan. Seharusnya perbedaan, lebih-lebih perbedaan keyakinan, tidak menghalangi kerja-kerja kemanusiaan. Jika mereka bukan saudara dalam iman, mereka adalah saudara dalam kemanusiaan. Begitu kira-kira quote dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra.

Kiranya demikian pembahasan singkat tasfir surah Yasin ayat 47 ini. Nantikan kelanjutan artikel surah Yasin berikutnya. Wallahu A’lam. []

Tafsir Ibnu Abbas: Mengenal Dua Kitab yang Menghimpun Penafsiran Ibnu Abbas

0
Tafsir Ibnu Abbas
Tafsir Ibnu Abbas

Sahabat yang satu ini menjadi ikon mufasir di eranya, meski usianya terbilang muda. Pengakuan ini disampaikan oleh seniornya, Umar bin Khattab ketika Ibn Abbas menafsirkan surah An-Nashr. Ini karena penafsirannya berbeda dengan penafsiran mayoritas sahabat. Selain masih tersebar berupa riwayat-riwayat di banyak kitab tafsir, dokumentasi penafsiran Ibnu Abbas dapat juga kita jumpai setidaknya di dua kitab tafsir yang dinisbatkan kepadanya. Dua kitab tafsir ini kemudian dikenal sebagai representasi dari Tafsir Ibnu Abbas

Sekilas tentang Ibnu Abbas

Nama lengkap Ibnu Abbas adalah ‘Abd Allah bin ‘Abbas bin ‘Abd al-Mutalib bin Hashim bin ‘Abd al-Manaf al-Quraishi al-Hashimi. Ayahnya bernama Abbas yang merupakan paman Rasulullah, ibunya bernama Umm al-Fadl Lubanah binti al-Haris al-Hilaliy-yah. Ia dilahirkan ketika Banin Hashim berada di  Shi’b, kurang lebih 3 tahun sebelum hijrah.

Hasan Asyari Ulamai dalam tulisannya, Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas Karya Al-Fairuzabadi mengisahkan bahwa pada mas hidupnya, IbnAbbas banyak berdialog dengan Rasulullah Saw sekalipun ia masih muda, Nabi Muhammad Saw wafat ketika ia bahkan saat ia berumur sekitar 13-15 tahun. Artinya  semasa  hidup Nabi ia masih sangat muda sekali. Kemudian ia sendiri wafat pada tahun 68 H ketika berumur 71 tahun, di kota Thaif dan dikuburkan di sana.

Baca Juga: Siapa Saja Mufassir di Era Sahabat? Edisi Abdullah Ibn Abbas

Ibnu Abbas memiliki beberapa gelar berkat keilmuan yang ia miliki, antaranya bahr al-‘Ilm (lautan ilmu), habr al-ummah (ulama umat), turjuman al-Qur’an (juru tafsir Al-Quran), rais al-mufassirin (pemimpin para mufasir), dan juga habr al-Qur’an (ulama Al-Qur’an). Gelar-gelar di atas sebagai pengakuan umat atas ilmunya yang banyak, ijtihadnya yang agung, dan ma‘rifatnya terhadap makna-makna Al-Quran di samping akhlaknya yang mulia, sehingga ia banyak dijadikan sandaran sahabat dalam tafsir maupun fatwa.

Dalam usia muda, Ibnu Abbas telah mendapatkan tempat yang istimewa dikalangan para senior sahabat mengingat ilmu dan ketajaman pemahamannya,  sebagai wujud dari doa Rasulullah untuknya. Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas sendiri dijelaskan bahwa nabi pernah merangkulnya dan berdo’a, “Ya Allah, ajarkanlah kepadanya hikmah”. Demikian penjelasan Muhammad Sa’id Mursi dalam Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Masa.

Selain mendapat doa khusus dari Rasulullah Saw, Ibnu Abbas merupakan salah satu sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis nabi. Dan ia juga salah satu yang dalam penilaian kaum muslimin menjadi hujah sanad yang terkuat dan signifikan.

Baca Juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (4): Mushaf Ibnu Abbas

Khusus dalam bidang tafsir, sebagaimana disampaikan Sakinah dalam tulisannya, Pendapat Ibnu Abbas tentang Makna Walad, Ibnu Abbas bahkan dikatakan sebagai peletak dasar dari teori penafsiran, yang kemudian dikembangkan pada era berikutnya. Pemikirannya juga diyakini sebagai salah satu model penafsiran yang paling akurat. Bahkan secara tradisi ia dipercaya sebagai salah seorang tokoh yang berhasil menanamkan embrio Hermeneutika Al-Quran.

Selain ahli dalam bidang tafsir, Ibnu Abbas juga ahli dalam bidang faraid (ilmu waris). Beberapa catatan penting lain tentang Ibnu Abbas ini antara lain:

  1. Ibnu Abbas dianggap sebagai orang pertama yang mendirikan perguruan tafsir di mana ilmu bahasa dan syair-syair kuno diajarkan sebagai mata pelajaran pelengkap.
  2. Ibnu Abbas tidak hanya menggunakan pikiran semata dalam menafsirkan ayat, ia juga melandaskan kepada riwayat, bahkan diketahui hadis riwayat Ibnu ‘Abbas seluruhnya berjumlah 660 hadis, 95 hadis di antaranya disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim, secara terpisah al-Bukhari menetapkan 120 hadis dan Muslim menetapkan 49 buah.

Baca Juga: Ciri Khas Tafsir Era Sahabat Menurut Husein Adz-Dzahabi

Dua Kitab Tafsir Ibnu Abbas

Tidak ada satu kitab khusus yang memuat penafsiran Ibnu Abbas, yang ada adalah kitab-kitab tafsir yang dinisbatkan padanya. Hal ini dilakukan oleh orang-orang yang berguru dan menerima riwayat langsung darinya. Ada dua kitab tafsir yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas yang penulis cantumkan di sini. Dua kitab ini kemudian sering diasosiasikan dengan tafsir Ibnu Abbas

Pertama, kitab Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibni ‘Abbas yang ditulis oleh Al-Fairuzabadi. Kedua, Shahifah ‘Ali bin Abi Thalhah ‘an Ibni ‘Abbas karya ‘Ali bin Abi Thalhah. Berikut gambaran singkat mengenai kedua kitab tafsir yang dinisbatkan pada Ibnu Abbas tersebut.

Karya Al-Fairuzabadi yang berjudul Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibni Abbas memiliki kemiripan cara penafsiran dengan Tafsir Al-Jalalain yaitu dengan pola sederhana yang menampilkan makna kata. Pengarang kedua kitab ini memang hidup semasa, hanya saja pada karya Alfairuzabadi ditampakkan jalur sanadnya terlebih dahulu, sementara Tafsir Al-Jalalain tidak demikian.

Oleh karenanya, umumnya ulama memasukkan Tanwir al-Miqbas ke dalam kategori tafsir bi al-ma’tsur dengan alasan sumber penafsirannya adalah riwayat, yaitu riwayat Ibnu Abbas. Sedangkan Jalalain digolongkan pada tafsir bi al-ra’yi karena menggunakan nalar kebahasaan. (A. Hasan Asyari Ulamai, Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas Karya Al-Fairuzabadi) Al-Fairuzabadi lebih dulu menampilkan jalur sanad lengkap kemudian berlanjut pada surat dengan menulis beberapa ayat yang akan ditafsiri.

Baca Juga: Tiga Tabi’in Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ibn Abbas: (1) Said Ibn Jubair

Tafsir Ibnu Abbas yang kedua yaitu dokumentasi dari ‘Ali bin Abi Thalhah. Sebenarnya tidak berbeda jauh dengan Tanwir al-Miqbas, dalam kitab ini tidak semua ayat Al-Quran ditafsirkan. Namun, sistematika yang digunakan ‘Ali diperinci dengan pemberian nomor. Ayat yang akan ditafsirkan baik itu secara utuh atau hanya berupa penggalan sama-sama diberi nomor, kemudian ia mencantumkan catatan kaki untuk menjelaskan letak ayat atau riwayat penafsirannya.

Mengenai kedua kitab Tafsir Ibnu Abbas ini, terdapat penilaian dari para ulama’. Nur Hayati dalam penelitiannya, Studi Tafsir Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibni Abbas menyatakan bahwa di antara kitab tafsir yang dinisbatkan pada Ibnu Abbas memiliki bermacam-macam riwayat dan sanad yang berbeda, tetapi yang paling baik adalah jalur ‘Ali bin Abi Thalhah. Sanadnya dijadikan pedoman al-Bukhari dalam kitab Shahihnya.

Sedangkan penyandaran riwayat dalam Tanwir al-Miqbas, ulama menganggapnya lemah karena di dalamnya mengutip riwayat Ibnu ‘Abbas yang disandarkan pada al-Kalbi dari Abi Shalih yang dinilai lemah oleh ulama’. Kemudian jika digabung dengan riwayat Muhammad bin Marwan, maka ini merupakan silsilat al-kadzib. Demikian penjelasan lain dari Afrizal Nur, Khazanah dan Kewibawaan Tafsir bi al-Ma’tsur, dan inilah yang menyebabkan dokumentasi Al-Fairuzabadi ini memperoleh nilai minus dari para pemerhati sanad.

Demikian ulasan singkat tentang dua kitab dokumentasi penafsiran Ibnu Abbas, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang terdapat di dalamnya, dua kitab ini telah berhasil mengumpulkan riwayat-riwayat penafsiran Ibnu Abbas yang terpencar di berbagai tempat.

Keistimewaan Pohon Bidara (Sidr) dalam Al-Quran

0
Pohon Bidara
Pohon Bidara

Nama pohon bidara mungkin terdengar agak asing bagi sebagian telinga penduduk Indonesia. Karena memang pohon ini tidak tumbuh dalam skala besar di setiap kawasan di Nusantara. Selain itu, pohon ini lebih cenderung memilih kawasan tertentu sebagai tempat pertumbuhannya, terutama di kasawan yang kering.

Terlepas dari hal itu, pohon sidr bisa dimasukkan ke dalam kategori pohon yang istimewa. Untuk melihat keistimewaan dari buah bidara secara eksplisit dapat dilihat dari kegunaannya. Buah pohon bidara atau sidr dapat dikonsumsi sebagai makanan maupun dijadikan minuman dengan cara diperas, bahkan pohon bidara juga dapat dijadikan manisan. Sedangkan bagi kesehatan, buah bidara juga dapat digunakan sebagai pengobatan.

Dalam artikel ini akan dijelaskan mengenai bagaimana al-Quran menyebutkan pohon bidara. Kemudian dalam konteks seperti apa pohon ini disebutkan dalam al-Quran. Setidaknya ada dua hal yang dapat digarisbawahi yang dapat penulis dapatkan.

Pohon yang Dinotasi oleh Al-Qur’an dan Hadis

Keistimewaan yang pertama ini berkaitan dengan penyebutan pohon sidr dalam sabda Nabi Muhammad saw.,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً صَوَّبَ اللَّهُ رَأْسَهُ فِي النَّارِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa menebang pohon bidara maka Allah akan membenamkan kepalanya dalam api neraka.” (HR. Abu Dawud).

Tentu terdapat maksud tersendiri mengapa Rasulullah mengecam sekeras itu ketika melarang mengeksploitasi pohon bidara. Asumsi penulis, selain untuk menjaga keberlangsungan hidup dari pohon bidara. Pohon bidara merupakan pohon yang mulia, hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat ibn abbas. (Ibn Katsir: 2000).

Baca Juga: Inilah 8 Manfaat Buah Zaitun, Buah yang Disebut dalam Al-Quran

Selain itu, keistimewaan pohon sidr juga dibuktikan dengan pengakuan al-Qur’an terkait eksistensi pohon sidr. Setidaknya terdapat dua ayat yang secara jelas menyebutkan nama bidara, yakni:

  1. (QS. As-Saba’[34]: 16)

فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِنْ سِدْرٍ قَلِيلٍ

“Tetapi mereka berpaling, maka Kami kirim kepada mereka banjir yang besar dan Kami Ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit pohon Sidr.”

2. (QS. Al-Waqi’ah[56]: 28)

فِي سِدْرٍ مَخْضُودٍ

“(Mereka) berada di antara pohon bidara yang tidak berduri.”

Dalam bahasa (arab) al-Qur’an kata sidr atau sidrah merupakan sejenis pohon, dan jika dibahasakan ke bahasa Indonesia menjadi pohon bidara. (Munawwir: 1997).

Namun untuk memperjelas apakah benar sidr yang disebut al-Qur’an itu bidara, perlu untuk melihat beberapa pandangan sejarah masa lalu.vKemunculan pohon sidr ini, bisa dikatakan lama, berdasarkan sejarah pohon sidr dapat ditelusuri keberadaannya bersamaan dengan kemunculan Kaum Saba’ yang tinggal di selatan Jazirah Arab sejak 1.000-750 SM.

Berdasarkan data-data ilmiah, pohon sidr merupakan kelompok jenis pohon Celtis yang tumbuh di gurun pasir, dan kalau sekarang dapat disebut sebagai pohon bidara.

Meski dalam pandangan yang lain, pohon sidr sebenarnya dapat diasosiasikan kepada dua kelompok jenis tumbuhan. Pertama, pohon Cedar yang berasal dari marga cedrus. Kedua, pohon Lote atau Hackbarry yang berasal dari marga Celtis. (LPMA: 2010).

Namun setidaknya data-data di atas menunjukkan kebenaran pohon bidara yang ditemukan saat ini dengan apa yang dimaksud oleh al-Qur’an.

Pohon Bidara adalah Tanaman Surga

Petunjuk pertama bahwa pohon bidara merupakan salah satu di antara pohon yang tumbuh di surga dapat di lihat melalui narasi penyebutan sidrah al-muntaḥā dalam al-Qur’an. Term sidrah al-muntaḥā ini erat kaitannya dengan perjalanan supranatural Nabi saat Isra’ Mi’raj di mana ketika beliau diangkat ke tingkatan tersebut, di mana kemudian beliau menyaksikan banyak hal yang berkaitan dengan surga dan neraka.

Quraish Shihab kemudian mendefinisikan kata Sidrah sebagai jenis pohon yang rindang. Pohon ini memiliki tiga keistimewaan. 1. Rindang. 2. Lezat. 3. Beraroma harum. Sedang al-muntaḥā berarti tempat terakhir. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan tempat itu. Beberapa Riwayat menyatakan bahwa tempat tersebut berada di langit ke tujuh. (Quraish Shihab: 2005).

Adapun petunjuk selanjutnya yakni berdasarkan pada (QS. Al-Waqi’ah[56]: 28). Pada dasarnya ayat ini berkaitan dengan ayat eskatologis yakni kelompok ayat yang membicarakan tentang masakah ke-akhiratan.

Petunjuk bahwa pohon sidr merupakan pohon surga dapat diketahui berdasarkan riwayat Salim bin Amir yang juga masih berkenaan dengan ayat di atas. Salim bin Amir meriwayatkan, bahwa pada satu saat, terdapat seseorang dari kaum Arab yang meminta klarifikasi kepada Rasulullah saw., Allah telah menyebutkan di dalam surga pohon yang dapat menyakiti penghuninya ? Rasulullah malah bertanya Kembali: pohon apa itu? Oorang arab tadi berkata, yakni pohon sidr, karena sesungguhnya pohon sidr itu penuh dengan duri yang bisa membuat luka.

Rasulullah kemudian bersabda,”Bukankah Allah telah berfirman fī sidrin mandhūḍ (pohon bidara yang tidak berduri).” Allah telah mencabut semua durinya, dan menjadikan tempat yang awalnya dipenuhi dengan duri menjadi tempat munculnya buah dari pohon sidr.

Baca Juga: Keistimewaan Jahe (Zanjabil) dalam Al-Qur’an

Petunjuk tersebut kemudian dijelaskan lagi oleh imam Qatadah bahwa pohon sidr yang ada di akhirat berbeda dengan pohon sidr yang ada di dunia. Jika di dunia, pohon sidr memiliki duri yang banyak sedang buahnya sangat sedikit, namun ketika di akhirat (surga) pohon sidr penuh dengan buah tanpa ada satu duripun yang menempel di pohonnya. (Ibn Katsir: 2000).

Dalam kaitannya dengan surga, pohon bidara divisualisasikan sebagai pohon yang sangat besar; akarnya berada di langit ke-6 sedangkan cabang-cabangnya di langit ke-7. Meski demikian, sebagian ulama lainnya menempatkan pohon sidr berada di luar kemampuan akal manusia; yang tidak bisa divisualisasikan. (LPMA: 2010). Wallahu A’lam