Beranda blog Halaman 409

Tafsir Surah Yasin ayat 51-52: Penyesalan di Hari Kebangkitan

0
Yasin ayat 51-52
Yasin ayat 51-52

Tafsir Yasin ayat 48-50 menjelaskan tentang keingkaran mereka terhadap datangnya hari kiamat dan dahsyatnya fenomena tersebut. Gambaran awal yang diceritakan al-Qur’an adalah pemusnahan masal atas semua mahluk hidup hanya dengan satu teriakan. Adapun tulisan kali ini melanjutkan proses kejadian setelah itu, yakni Tafsir Yasin ayat 51-52 tentang kebangkitan mahluk hidup dari tempat peristirahatan mereka. Allah berfiman:

وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَاِذَا هُمْ مِّنَ الْاَجْدَاثِ اِلٰى رَبِّهِمْ يَنْسِلُوْنَ

قَالُوْا يٰوَيْلَنَا مَنْۢ بَعَثَنَا مِنْ مَّرْقَدِنَا ۜهٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمٰنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُوْنَ

  1. Lalu ditiuplah sangkakala, maka seketika itu mereka keluar dari kuburnya (dalam keadaan hidup), menuju kepada Tuhannya.
  2. Mereka berkata, “Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih dan benarlah rasul-rasul(-Nya).

Jika ayat sebelumnya mengisahkan bagaimana proses mematikan adalah perkara mudah bagi Allah Swt, maka begitupun pada surah Yasin ayat 51-52 ini dijelaskan bahwa mudah bagi Allah Swt. untuk membangkitkan mereka kembali.

Menurut Qurthubi secara bahasa kata نَفَخَ dalam bermakna tiupan. Konteks ayat ini menerangkan bahwa proses tiupan ada dua, tiupan pertama adalah untuk mematikan/memusnahkan sebagaimana dalam QS. az-Zumar [39]: 68, Allah berfirman:

وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَصَعِقَ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَمَنْ فِى الْاَرْضِ اِلَّا مَنْ شَاۤءَ اللّٰهُ ۗ ثُمَّ نُفِخَ فِيْهِ اُخْرٰى فَاِذَا هُمْ قِيَامٌ يَّنْظُرُوْنَ

Dan sangkakala pun ditiup, maka matilah semua (makhluk) yang di langit dan di bumi kecuali mereka yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sekali lagi (sangkakala itu) maka seketika itu mereka bangun (dari kuburnya) menunggu (keputusan Allah).

Sedangkan tiupan kedua adalah untuk menghidupakan, seperti yang diterangkan dalam ayat 51 ini, dan dalam surah an-Naml [27] :87. Jarak antara dua tiupan tersebut 40 tahun lamanya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qatadah yang dikutip oleh Qurthubi dalam tafsinya Jami’ al-Ahkam.

Quraish menceritakan kalau kondisi umat yang ingkar ketika itu kalang-kabut bercampur heran dan cemas. Bagaimana tidak, sebelumnya mereka mati, dan seketika mereka kembali hidup. Sama halnya dengan umat-umat terdahulu yang sudah lama mati, mereka semua dibangkitkan kembali dari peristirahatan (kubur-kubur) tanpa terkecuali. Lalu kemanakah tujuan mereka?

Menurut Ath-Thabari dan Ibnu ‘Asyur, mereka dibangkitkan dari kuburan mereka, kemudian menuju Allah Swt untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka selama di dunia. Kata يَنْسِلوْن sama dengan kata النَّسَلاَن yang berarti berjalan dengan sangat cepat. Yang berarti mereka berjalan menghadap Allah dengan tergesa-gesa.

Sambil berjalan, mereka masih terheran-heran berbicara satu sama lain, bahkan menurut Zuhaili mereka seakan sedang bermimpi. Ekspresi tersebut tampak pada redaksi yang digunakan yakni, “yaa wailanaa” (يَا وَيْلَنَا) “celakalah kami”.

Menruut Quraish, kata ini diucap sebagai ekspresi seseorang yang telah bertemu peristiwa besar/hebat, baik yang sifanya menggembirakan atau menyedihkan. Seperti kata yang diucapkan oleh siti Hajar (Istri Ibrahim) untuk melukis kegembiraan atas kelahiran anak, padahal ia dan suami sudah amat tua. Redaksi yang digunakan Hajar adalah (يَاوَيْلَتَى) sebagimana dalam QS. Hud [11]:72:

قَالَتْ يٰوَيْلَتٰىٓ ءَاَلِدُ وَاَنَا۠ عَجُوْزٌ وَّهٰذَا بَعْلِيْ شَيْخًا ۗاِنَّ هٰذَا لَشَيْءٌ عَجِيْبٌ

Dia (istrinya) berkata, “Sungguh ajaib, mungkinkah aku akan melahirkan anak padahal aku sudah tua, dan suamiku ini sudah sangat tua? Ini benar-benar sesuatu yang ajaib.”

Selanjutnya, kondisi orang-orang yang ingkar itu tidak lagi pada zona nyaman karena mereka sudah dibangkitakn dari marqad (مَرْقَد) “tempat tidur/tempat peristirahatan”. Menurut Ishfahani, kata tersebut berasal dari kata raqada  (رَقَدَ) yang berarti “tidur nyenyak tapi sebentar”.

Jadi, wajar jika mereka begitu kaget, analoginya seperti kita lagi pulas-pulasnya tidur, dibangunin, trus disuruh lari. Yang demikian mirip di film-film pelatihan militer, kiranya  begitulah kondisi saat itu.

Pertanyaannya, apakah mereka sadar dengan kondisi tersebut? dan sadarkah mereka akan apa yang terjadi? Ini terjawab pada redaksi kata setelahnya.

Bahwa kalimat هٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمٰنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُوْنَ terjemahannya inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih dan benarlah rasul-rasul(-Nya), mengisyaratkan bahwa mereka sudah sadar sekaligus menyesal atas keingkaran, serta membenarkan kebenaran dari para Rasul yang diutus kepada mereka.

Kata tersebut diucap oleh para malaikat untuk mengecapm kebodohan mereka ketika didunia. Sedangkan penggunaan kata ar-Rahman menurut Quraish, agaknya megisyaratkan harapan mereka akan adanya curahan rahmat Allah swt, sekaligus bentuk pengakuan dan sesal mereka yang telah ingkar dan enggan bersujud pada-Nya, sebagaimana dalam QS. al-Furqan [25]: 60:

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اسْجُدُوْا لِلرَّحْمٰنِ قَالُوْا وَمَا الرَّحْمٰنُ اَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُوْرًا

Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Sujudlah kepada Yang Maha Pengasih”, mereka menjawab, “Siapakah yang Maha Pengasih itu? Apakah kami harus sujud kepada Allah yang engkau (Muhammad) perintahkan kepada kami (bersujud kepada-Nya)?” Dan mereka makin jauh lari (dari kebenaran).

Demikianlah penjelasan ringkas tafsir surat Yasin ayat 51-52, silahkan tunggu series tafsir surat Yasin selanjutnya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis showab.

Sepuluh Pijakan Ilmu Rasm Utsmani Yang Patut Diketahui

0
Selisih Pendapat Tentang Rasm Yang Dilematik
Selisih Pendapat Tentang Rasm Yang Dilematik

Lazimnnya setiap awal pembahasan suatu disiplin ilmu, para pengkaji harus mengetahui secara umum dasar pijakannya. Dasar-dasar tersebut oleh para ulama sering disebut dengan mabâdiꞌ ʻasyrah. Al-Shabbân (w. 1206 H/1791 M) dalam Hâsyiyah ʻalâ Syarh al-Sullam li al-Malawî menghimpun sepuluh pokok dasar pijakan ilmu Rasm Utsmani dalam sebuah gubahan syairnya;

إِنَّ مَبَادِئَ كُلِّ فَنٍّ عَشْرَة ** الحَدُّ وَالمَوْضُوْعُ ثُمَّ الثَمْرَة

وَفَضْلُهُ وَنِسْبَةٌ وَالوَاضِعُ ** الاِسْمُ – الاِسْتِمْدَادُ – حُكْمُ الشَّارِعِ

مَسَائِلُ وَالبَعْضُ بِالبَعْضِ اكْتَفَى ** وَمَنْ دَرَى الجَمِيْعَ نَالَ الشَرَفَا

Setiap disiplin ilmu pasti mempunyai sepuluh pijakan, yakni;

Definisi; objek sasaran pembahasan; juga fungsi;

Keutamaan; korelasi; serta penggagas;  

Nama; sumber; juga hukum mempelajari;

dan permasalahan. Semua itu cukup kiranya.

Siapapun yang tahu pasti mulia.

  1. Definisi (Hadd) Ilmu Rasm ʻUtsmânî.

Rasm secara bahasa mempunyai dua arti asal; pertama atsar (bekas) -demikian terang Ibn Manzhûr dalam Lisân al-Arab– dan kedua –menurut Ibn Fâris dalam Maqâyîs al-Lughahdharb min as-sair (cara berjalan). Sebab menulis itu membutuhkan menjalankan yakni menggoreskan pena sehingga meninggalkan bekas berupa tulisan. Sedangkan term ʻUtsmânî merupakan penisbatan kepada khalifah ketiga ʻUtsmân bin ʻAffân ra (w. 35 H/656 M) yang memerintahkan penyalinan dan penulisan mushaf yang sampai pada kita saat ini, demikian keterangan Abû Muhammad Abdullah al-Shanhâjî dalam al-Tibyân fî Syarh Mawrid al-Zhamꞌân

Penggabungan dua term rasm dan ʻutsmânî oleh Abû Syuhbah (w. 1403 H/1983 M) dalam al-Madkhal li Dirâsah al-Qurꞌân al-Karîm didefinisikan dengan tulisan kata-kata dan huruf-huruf Al-Qurꞌan yang disepakati oleh ʻUtsmân bin ʻAffân ra (w. 35 H/656 M) beserta para sahabat lainnya dalam mushaf-mushaf yang dikirim ke berbagai daerah dan mushaf al-imâm (master) yang beliau simpan sendiri. Produk rasm ʻutsmânî ini selanjutnya dijadikan sebagai standar penulisan Al-Qurꞌan.  

Baca juga: Pengaruh Jawa dalam Tradisi Penyalinan Mushaf di Lombok

Sementara pengertian disiplin ilmu rasm ʻutsmânî kurang lebih berarti berkutat pada dua pengertian berikut: 1). mayoritas literatur Rasm Utsmânî mendefinisikannya dengan ilmu untuk mengetahui perbedaan tulisan al-mashâhif al-ʻutsmâniyyah dengan kaidah tulisan Arab pada umumnya (al-rasm al-qiyâsî/al-imlâꞌî). 2). Menurut al-Tanasî (w. 899 H/1494 M) dalam Al-Thirâz Fî Syarh Dlabth al-Kharrâz ilmu rasm ʻutsmânî ialah ilmu yang membahas tentang penambahan, pengurangan dan penggantian huruf serta penyambungan dan pemisan tulisan.

Dua definisi di atas sebenarnya saling melengkapi satu di antara yang lainnya. Tidak ada perbedaan yang bertentangan antara keduanya. Hanya saja definisi al-Tanasî (w. 899 H/1494 M) lebih cenderung sebagai penjelas perbedaan tulisan rasm ʻutsmânî dengan kaidah rasm al-imlâꞌî. Sehingga definisi ilmu rasm ʻutsmânî yang komprehensif adalah dengan menggabungkan dua pengertian di atas. Ilmu rasm ʻutsmânî adalah ilmu untuk mengetahui perbedaan tulisan mushaf-mushaf ʻUtsmân dengan kaidah penulisan Arab pada umumnya (rasm al-imlâꞌî) seperti penambahan (al-ziyâdah), pengurangan (al-hadzf) dan penggantian huruf (al-ibdâl) serta penyambungan dan pemisan tulisan (al-washl dan al-fashl).

  1. Objek Pembahasan (Maudhû) Ilmu Rasm ʻUtsmânî

Sasaran dari pembahasan ilmu rasm ʻutsmânî –menurut Ibrâhîm bin Ahmad al-Marghani al-Tûnisî dalam Dalîl al-Hayrân ʻAlâ Mawrid al-Zhamꞌân– berkutat pada huruf-huruf al-mashâhif baik yang dibuang, ditetapkan, ditambah, dikurangi, dipisah, disambung dan seterusnya.

Baca juga: Pesan Gus Awis: “Galilah Khazanah Tafsir dengan Manhaj Ulama Kita!”

  1. Fungsi (Tsamrah) Ilmu Rasm ʻUtsmânî

Salah satu fungsi utamanya sebagai barometer validitas varian qirâꞌât yang bisa diterima, demikian jelas Dalîl al-Hayrân.

  1. Keutamaan dan Keistimewaan (Fadhl) Ilmu Rasm ʻUtsmânî

Merujuk pada Miftâh al-Amân Fî Rasm Al-Qurꞌan karya Ahmad Mâlik Hammâd al-Fûtî, ilmu rasm ʻutsmânî mempunyai keutamaan yang tidak dimiliki disiplin ilmu lainnya sebagaimana keutamaan Al-Qurꞌan (kalâm Allah) dibanding kalam yang lain.

  1. Hubungannya (Nisbah) dengan Ilmu Ke-Al-Quran-an Lainnya

Relasi kuat ilmu rasm ʻutsmânî dengan ilmu qirâat terwujud dalam salah satu syarat kesahihan qirâat harus sesuai dengan rasm ʻutsmânî. Mengingat satu bentuk tulisan bisa mengakomodir berbagai ragam qirâꞌât. Sementara relasinya dengan tafsir bisa mengindikasikan makna yang tersembunyi dibalik sebuah kata. Selain itu keterhubungannya dengan bahasa Arab adalah memberikan contoh sebagian dialek bahasa Arab yang fasih dan menunjukkan asal harakat dan huruf suatu kata.

Baca juga: Tafsir Ibnu Abbas: Mengenal Dua Kitab yang Menghimpun Penafsiran Ibnu Abbas

  1. Pencetus (Wâdhi’) Ilmu Rasm ʻUtsmani

Ditemukan silang pendapat mengenai pencetus ilmu rasm utsmânî. Menurut pendapat yang kuat, sebagaimana disebutkan oleh Ahmad Muhammad Abû Ziethâr dalam Lathâꞌif al-Bayân fî Rasm al-Qurꞌân pencetus disiplin ilmu adalah para sahabat ra dengan segala hikmah dan rahasia di balik kemulian dan keutamaan mereka. Namun pendapat lain yang disebutkan Ahmad Mâlik Hammâd al-Fûtî dalam Miftâh al-Amân Fî Rasm Al-Qurꞌan menyatakan bahwa pencetusnya adalah para ulama amshâr (Beberapa wilayah yang dikirimi al-mashâhif al-ʻutsmâniyyah). Bahkan ada juga yang berpendapat, pencetusnya adalah Nabi saw sendiri karena melihat status ke-tawqîfî-an rasm ʻutsmânî, demikian jelas Abdurrahmân Yûsuf al-jamal dalam tulisannya Atsar Ikhilâf al-Qirâꞌât al-Qurꞌâniyyah fî al-rasm al-ʻutsmânî.

  1. Sebutan Nama (Ism)

Ahmad bin Muʻammar Syirsyâl menjelaskan dalam Mukhtashar al-Tabyîn li Hijâꞌ al-Tanzîl li Abû Dâwûd Sulaimân bin Najâh; Dirâsah wa Tahqîq. Dalam bahasa Arab, para Ulama menggunakan istilah ‘tulisan’ selain term rasm. Beberapa istilah tersebut di antaranya; al-Kitâb, al-Hijâꞌ, al-Khath, dan rasm sendiri. Penggunaan term-term tersebut berkembang seiring berjalannya waktu. Dari beberapa istilah ini, bisa disimpulkan bahwa sebutan untuk ilm rasm ʻustmânî tidak hanya satu nama saja. Perlu diketahui bahwa term al-Kitâb dan al-Hijâꞌ merupakan istilah penulisan yang banyak digunakan oleh ulama mutaqaddimîn (terdahulu). Kemudian istilah itu berubah menjadi al-khath dan al-rasm saat memasuki era ulama mutaꞌakhkhirîn.

Akhirnya istilah ilm rasm ʻustmânî oleh para ulama disebut menjadi beberapa sebutan nama, yakni; hijâꞌ al-mushhaf, khathth al-mushhaf, khathth ʻutsmânî, rasm al-mushhaf, rasm ʻustmânî, ʻilm al-rasm, al-khathth al-ishthilâhî dan rasm ishthilâhî. Disebut ishthilâhî karena rasm dinisbatkan pada istilah para sahabat. Dari beberapa sebutan nama di atas, nama rasm ʻustmânî merupakan sebutan yang paling masyhur dan sering digunakan hingga dewasa ini.

  1. Sumber (Istimdâd) Ilmu Rasm ʻUtsmânî

Lathâꞌif al-Bayân menerangkan disiplin ilmu ini bersumber dari konsensus para sahabat dalam penulisan al-mashâhif. Namun Sâlim Muhaisin dalam al-Fath al-Rabbânî menyebutkan, sumbernya adalah karya para ulama pakar rasm ʻutsmânî yang dirumuskan berdasarkan al-mashâhif. Bahkan dalam Miftâh al-Amân disebutkan ilmu ini bersumber dari ilham Allah swt bagi Nabi saw berupa petunjuk bagi para penulis wahyu, al-mashâhif al-ʻutsmâniyyah, dan mushaf-mushaf salinan selanjutnya. Sumber yang lain juga berasal dari kaidah sharf dan nahwu, imbuh Handâwî Jâmiʻ al-Bayân fî ma’rifah rasm al-Qurân.

Baca juga: Berkat Kegigihan Muslimah Memperjuangkan Keadilan, Firman Allah Turun dalam Surat Mujadilah

  1. Hukum (Hukm asy-Syâri’) Ilmu Rasm ʻUtsmânî

Mempelajari ilmu rasm ʻutsmânî –menurut Ahmad Muhammad Abû Ziethâr dalam Lathâꞌif al-Bayân dan Ahmad Mâlik Hammâd al-Fûtî dalam Miftâh al-Amân– hukumnya adalah fardlu kifâyah. Sehingga semua penduduk suatu wilayah berdosa jika tidak ada satu pun di antara mereka yang menguasainya.

  1. Pembahasan Materi (Masâ’il) Ilmu Rasm ʻUtsmânî

Dalam kitab Samîr al-Thâlibîn fî Rasm wa Dlabth al-Kitâb al-Mubîn karya Ali Muhammad al-Dlabbâʻ, pembahasan materi ilmu rasm ʻutsmânî seperti pembuangan huruf alif setelah nûn dlamîr al-rafʻ al-muttashil untuk kata ganti nahnu yang bersambung langsung dengan dlamîr al-mafʻûl seperti ﴿زِدْنٰهُمْ﴾ dan ﴿عَلَّمْنٰهُ﴾. Wallâhu A’lam[]

Fatimah Mernissi dan Inspirasi Bergelut di Bidang Tafsir Feminis, Ada Kisah Memilukan

0
Fatimah Mernissi
Fatimah Mernissi

Fatimah Mernissi menjadi tokoh feminis muslim kenamaan asal Maroko, yang terkenal berkat pemikiran reformisnya terhadap tafsir Al-Quran dan Hadis yang bersinggungan dengan relasi gender. Menurut Husein Muhammad dalam Membela Kaum Perempuan, Mernissi bahkan disebut sebagai salah satu perempuan Timur Tengah pertama yang berhasil melepaskan diri dari kesenjangan dan pengkhianatan kultural, baik yang ia dapatkan dari lingkungan keluarga atau masyarakat sekitarnya.

Ketertarikan Mernissi pada bidang feminisme, terutama yang bersinggungan dengan perspektif agama, tidak terlepas dari pengalamannya sebagai perempuan. Beberapa fragmen kisah perjalanan hidupnyalah yang kemudian menginspirasi Mernissi untuk menaruh keseriusan pada tafsir feminis. Bahkan, ada satu kisah yang cukup memilukan.

Baca juga: Dr. Laleh Bakhtiar, Muslimah Amerika Perintis Psikologi Al-Quran Telah Berpulang

Sketsa biografi

Fatimah Mernissi lahir pada 27 September 1940 di Fez, Maroko. Menyitir Eko Setiawan dalam Studi Pemikiran Fatima Mernissi tentang Kesetaraan Gender, ia termasuk generasi pertama perempuan Maroko yang mendapat akses pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi.

Masa kecilnya ia habiskan bersama keluaga perempuan. Waktu itu memang Maroko sedang ada di bawah kuasa Prancis, dan sistem sosial yang berlaku di masyarakat sangat menyudutkan perempuan. Seperti soal tempat tinggal. Perempuan dikucilkan di harem. Harem –berdasarkan pengertian dalam Encyclopedy of Islam and The Muslim World yang ditulis oleh Etin Anwar- ialah tempat domestik yang khusus diperuntukkan perempuan, yang ada dalam tradisi keluarga muslim.

Sementara itu, jejak akademik Mernissi ia mulai semenjak kecil dari lingkup keluarga. Ia belajar tentang kemerdekaan perempuan dari keluarga perempuannya di harem, baik dari ibu, nenek, maupun sepupu perempuannya. Sewaktu kecil ia juga disekolahkan ke madrasah Al-Quran milik pemerintah. Namun, tidak seperti pelajaran yang ia dapat dari keluarga, di sekolah ini ia justru sering menjadi sasaran kekerasan. Bahkan, guru ngajinya sendiri tak jarang menghukum murid yang tidak hafal dan dapat membaca Al-Quran sebagaimana yang diajarkan oleh gurunya itu.

Baca juga: Amina Wadud dan Hermeunitika Tauhid dalam Tafsir Berkeadilan Gender

Sistem pengajaran sewaktu kecil ini begitu ekstrem. Gurunya pun selalu mengatakan bahwa Al-Quran harus dibaca persis seperti tatkala ia diturunkan. Selanjutnya, mengutip Beyond the Veil karya Fatimah Mernissi, pendidikan formal di tingkat SD ia tempuh di sekolah milik orang nasionalis, sementara di tingkat SMP ia belajar di sekolah perempuan yang didirikan Prancis. Sampai di sini, Maroko berada dalam jajahan Prancis, sehingga berbagai sektor dikuasai olehnya. Di sisi lain, pergerakan dibatasi, karena kultur budaya patriarki yang masih sangat kentara dalam tradisi keluarga Muslim Maroko.

Barulah pada tahun 1956, saat Maroko merdeka, Mernissi mendapat akses belajar yang luas dan bahkan ia melanglang buana hingga ke Prancis dan Negeri Paman Sam. Memasuki jejang S1, Mernissi kuliah di Universitas Muhammad dengan mengambil jurusan Sosiologi dan Politik. Lalu, ia melanjutkan studi S2-nya di Sorbonne University, Paris, dengan mengambil konsentrasi Ilmu Politik. Pada tahun 1973, ia berhasil mendapat gelar P. hD. di Brandeis University, Boston. Selanjutnya, Mernissi mengabdikan diri sebagai pengajar di almamater S1-nya di bidang Sosiologi. Tak hanya itu, ia juga jadi dosen tamu di berbagai universitas ternama seperti Harvard dan Barkley.

Inspirasi bergelut di dunia tafsir feminis

Selain sebagai sosiolog, Mernissi juga dikenal sebagai tokoh feminis Muslim internasional. Setidaknya, semenjak ia menerbitkan disertasinya menjadi buku yang berjudul Beyond The Veil: Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society. Pendekatan sosio-politik begitu kentara saat ia melakukan risetnya itu.

Ia kemudian melakukan riset lebih komprehensif tentang tafsir feminis, yang kemudian terbit menjadi buku bertajuk Women and Islam: an Historical and Theological Enquiry. Dalam bukunya itu, Mernissi mengkritik penafsiran Al-Quran dan pemahaman atas hadis yang bernuansa misoginis.

Ketertarikan Mernissi pada tafsir feminis tidak lepas dari pengalaman personalnya dan kondisi sosial Maroko waktu itu. Mengutip Khalila Mukaromah dalam Hermeneutika Hadis Fatima Mernissi, sejak kecil Mernissi telah merasa ada ketidakadilan bagi perempuan. Mulai dari aturan tinggal di harem bagi perempuan, yang itu berarti perempuan tidak boleh berbaur dengan lawan jenis, hingga pembatasan akses pendidikan –sebelum Maroko merdeka, perempuan tidak bebas memilih sekolah, dan bahkan badan pengajarnya pun menomorduakan murid perempuan-.

Baca juga: Mengenal Faqihuddin Abdul Kodir, Perintis Metode Qira’ah Mubādalah

Di sisi lain, kesadaraan akan pentingnya memperjuangkan hak perempuan telah ia dapat sejak kecil. Sejak mendapat pendidikan dari keluarga perempuannya. Ibu Mernissi sering bercerita tentang Qasim Amin dan gagasan feminisnya, sekalipun ia tidak bisa membaca. Tak hanya itu, sepupu Mernissi yang bernama Chama seringkali membawakannya teater tentang kisah perempuan di panggung sejarah dunia.

Selain dua sosok dekatnya itu, ada satu sosok lain yang berperan penting bagi Mernissi dalam membentuk ketertarikannya pada kajian kesetaraan gender dalam Islam. Adalah Taslima, nenek Mernissi yang menjunjung kesetaraan laki-laki dan perempuan. Neneknya inilah yang menceritakan pada Mernissi tentang bagaimana Nabi dengan sikap egaliternya mengatur Madinah menjadi negeri berperadaban. Mernissi mengibaratkan neneknya ini sebagai sosok nan puitis dan kritis. Tidak seperti perempuan Maroko pada umumnya, yang bertekuk-lutut pada laki-laki, nenek Mernissi meyakini kesamarataan derajad laki-laki dan perempuan, sebagaimana yang Nabi ajarkan di Madinah. Berkat neneknya, Mernissi terobsesi dengan Islam di Madinah dan kemudian ia terinspirasi untuk menekuni kajian kesetaraan gender dalam Islam.

Disudutkan saat di pasar

Tidak hanya dari keluarga, inspirasi Mernissi bergelut pada kajian tafsir feminis juga ia dapat dari lingkungan sosial. Satu contoh, sebagaimana yang ia sampaikan pada pendahuluan bukunya, Women and Islam, saat ia bertanya pada seorang penjual sayur di pasar,

“bisakah perempuan menjadi pemimpin Muslimin?”

Seakan disambar petir, penjual sayur pun memberi respons yang menyayat hati,

“na’udzubillah (aku berlindung kepada Allah)”

Saking kagetnya, penjual sayur itu sampai menjatuhkan setengah lusin telur yang hendak dibeli oleh Mernissi.

“semoga Allah melindungi kita dari malapetaka itu!”, imbuh pedagang sayur tersebut.

Kisah memilukan tidak berhenti di situ. Seorang pembeli, yang juga seorang guru, juga menyudutkan Mernissi dengan hadis yang menyatakan bahwa ‘barangsiapa yang menyerahkan urusannya kepada perempuan maka tidak akan menemukan kemakmuran!’

Baca juga: Husein Muhammad dan Pembacaan Al-Quran Berperspektif Gender

Mernissi dengan bijaksana tidak langsung merespons jawaban sinis dari dua orang itu. Karena, mereka membawa dalil teologis. Tetapi, sekalipun tidak langsung memberikan respons, Mernissi dalam diamnya, ia juga menyimpan geram. Ia kemudian terdorong untuk menelusuri hadis dan tafsir Al-Quran yang dipahami dengan nuansa misoginis. Ia berupaya mencari pemahaman yang lebih baik dengan mencari apa yang ia bahasakan dengan extraordinary power, yang tampaknya semakna dengan nilai universal hadis dan ayat Al-Quran itu. Berkat kejadian yang memilukan sekaligus menyakitkan hati itu, Mernissi berhasil membuat riset tentang kesetaraan gender dalam Al-Quran dan Hadis, yang berjudul Women and Islam tersebut di atas. Wallahu a’lam[]

Pengaruh Jawa dalam Tradisi Penyalinan Mushaf di Lombok

0
Tradisi Penyalinan Mushaf di Lombok
Tradisi Penyalinan Mushaf di Lombok

Ada catatan menarik dari Ali Akbar tentang mushaf kuno yang ada di Lombok. Dalam catatannya yang berjudul Tradisi Mushaf Al-Quran di Lombok, ia menyebut mushaf Al-Quran di Lombok memiliki kecenderungan yang sama dengan mushaf kuno Jawa. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan mushaf dari dua wilayah terdekatnya yakni Sumbawa dan Bima.

Terkait dua wilayah yang disebutkan terakhir itu, dahulu kala memang berupa kesultanan. Di Kesultanan Sumbawa, Ali Akbar berhasil menelusuri lima buah mushaf. Sementara dari Kesultanan Bima, ia berhasil mencatat dua mushaf. Dari beberapa mushaf yang ada di Sumbawa dan Bima ini, ternyata memiliki karakteristik yang berbeda dengan mushaf Lombok. Justru mushaf kedua wilayah ini cenderung sama dengan mushaf yang ada di Sulawesi Selatan dan Trengganu Malaysia.

Baca juga: Pesan Gus Awis: “Galilah Khazanah Tafsir dengan Manhaj Ulama Kita!”

Di sinilah titik keunikannya. Dalam lingkup teritorial yang berdekatan, ternyata mushaf Lombok dan Sumbawa-Bima memiliki karakter yang berbeda. Saya ingin menyebutkan dulu contoh-contoh dari Sumbawa dan Bima. Setelah itu kita ulas karakteristik yang ada di mushaf Lombok.

Pertama mushaf Sumbawa. Observasi Ali Akbar menunjukkan bahwa ada lima mushaf dari Kesultanan Sumbawa yang menggunakan kertas Eropa, dengan kaligrafi dan beriluminasi yang cukup indah.  Di antaranya ada mushaf yang ditulis oleh Abdurrahman bin Al-Marhum Musa Al-Sumbawi. Ia menyelesaikan mushafnya di Mekah pada Jumat tanpa tanggal dan di bulan Sya’ban 1280 H.  Kaligrafi yang ada di mushaf ini termasuk indah dan sudah menggunakan ayat pojok. ini tentu sesuatu yang jarang ditemukan dari mushaf wilayah Jawa.

Baca juga: Surah Ar-Rum [30] Ayat 21: 3 Tujuan Pernikahan Menurut Al-Quran

Kedua mushaf dari Bima.  Ali Akbar menyebut mushaf dari Kesultanan Bima memiliki nama La Nontogama (jalan agama) dan La Lino (yang berkilau). Untuk mushaf La Nontogama, saat ini disimpan di Museum Samparaja di Bima dan memiliki kemiripan dengan mushaf Sulawesi Selatan. Sementara mushaf La Lino disimpan di Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal memiliki kemiripan dengan mushaf Trengganu. Mushaf-mushaf ini memang sangat terkenal keindahannya.

Mushaf Kuno Lombok yang Sederhana

Mushaf Kuno Lombok memiliki karakter yang sederhana. Tidak seperti mushaf Sumbawa dan Bima yang ditulis di atas kertas Eropa, mushaf Lombok ditulis di dluwang, kertas dari kulit kayu saeh khas Jawa. Ali Akbar mencatat ada delapan mushaf yang dianggap mewakili tradisi di Lombok yang ada di Museum Negeri NTB. Dalam penelusurannya itu, ia menyebut bahwa mushaf dluwang itu seperti yang beredar di pesantren Jawa, sehingga iluminasi, kaligrafi dan tampilannya apa adanya.

Dari temuan Ali Akbar ini, bisa kita sebut bahwa tradisi penyalinan mushaf di Lombok saat itu untuk belajar mengajar dan ditulis oleh orang biasa. Sementara yang ada di Sumbawa dan Bima ditulis oleh golongan kesultanan, maka unsur estetika juga diutamakan.

Baca juga: Oase Al-Qur’an Kiai Ahsin: Kompilasi Mutiara dari Pesan Whatsapp

Kemudian ada beberapa keunikan lainnya seperti, di Mushaf Lombok tidak disebutkan kolofonnya, dan ditulis dengan rasm imla’i. Ini mengindikasikan bahwa yang penulis mushaf saat itu bukanlah juru tulis manuskrip.

Dalam tradisi masyarakat Lombok, ternyata mereka mempunyai tempat penyimpanan mushaf yang bernama pare atau sampare. Kotak penyimpanan ini terbuat dari bambu dan dibentuk seperti besek. Kotak Ini berfungsi untuk menyimpan mushaf yang lebih aman, biar tidak dimakan ngengat maupun rayap. Bisa juga disebut  kotak ini dapat memperpanjang usia naskah.

Uraian tentang keunikan mushaf Lombok ini memberikan wawasan yang menarik jika kita tarik pada kondisi Islam di Lombok saat ini. Masyarakat Lombok saat ini terkenal dengan organisasi Nahdlatul Wathan, sebuah organisasi yang didirikan pada abad ke-20 dan berbasis kepesantrenan. Organisasi ini telah menghimpun ribuan lembaga pesantren atau madrasah yang ada di sana. Tentu, banyaknya instansi kepesantrenan itu memiliki ikatan kuat dengan tradisi pembelajaran masa lalu.

Sementara mushaf kuno Lombok adalah salah satu saksi sejarah yang memiliki benang merahnya. Sejak dulu masyarakat Lombok berinterkasi dengan mushafnya di lingkungan pendidikan seperti pesantren. Maka produk karyanya juga cenderung sederhana. Dan saat ini, pesantren di sana masih menjadi andalan, khususnya sebagai tradisi belajar keagamaan.

Di akhir kata, pengaruh Jawa dalam mushaf Lombok lebih terlihat pada fisik dan lingkungannya. Secara fisik, baik mushaf Lombok maupun Jawa banyak ditulis di atas kertas dluwang, dan ditulis dengan sederhana. Sementara secara lingkungan, keduanya lahir dari tangan-tangan para pelajar atau santri.

Meski demikian, terdapat juga mushaf yang beriluminasi baik. Tapi hal itu hanya sedikit jumlahnya.

Wallahu a’lam[]

Pesan Gus Awis: “Galilah Khazanah Tafsir dengan Manhaj Ulama Kita!”

0
Ngaji bareng Gus Awis
Ngaji bareng Gus Awis

Mengawali tahun 2021, tafsiralquran.id bekerjasama dengan CRIS Foundation kembali menyelenggarakan webinar tafsir serial ke-5 pada Selasa (26/01) bertajuk “Ngaji Kitab Jam’ul ‘Abir fi Kutub al-Tafsir”. Dengan mengundang penulis kitab sekaligus pengasuh PP Darul Ulum Jombang, cucu dari KH. Romli at-Tamimi, Mursyid Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yakni Dr. KH. M. Afifuddin Dimyathi Romli, Lc., M.A atau kerap disapa Gus Awis.

Dalam paparannya, beliau menjelaskan bahwa alasan dibalik penyusunan Jam’ul Abir adalah meneruskan tradisi ulama dengan menulis. Selain itu, mengetahui khazanah tafsir, thabaqat para ahli tafsir, serta tahun hidup dan kematiannya. Hal ini tentu sangat membantu beliau dalam melacak perkembangan studi tafsir. Lebih dari itu, beliau ingin mengenalkan tafsir-tafsir karya ulama Nusantara dan Asia Tenggara ke dunia Islam.

Jadi, pengetahuan akan karya tafsir Al-Quran tidak hanya berkutat pada tafsir Timur Tengah, misalnya Tafsir At-Thabari, Tafsir al-Qurtuby, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir ar-Razi, dan seterusnya, melainkan juga karya-karya tafsir dari ulama Nusantara, seperti Turjuman al-Mustafid, Tafsir Marah Labid, Tafsir Al-Ibriz, Tafsir Iklil, dan sebagainya.

Baca juga: Gus Awis: Ulama Muda, Pakar Sastra dan Tafsir Al-Qur’an yang Produktif dari Indonesia

Selain itu, beliau mengupas fokus Jam’ul ‘Abir adalah pada kutub at-tafsir.

“Jadi saya memang sengaja hanya memasukkan ulama yang mempunyai kitab tafsir utuh 30 juz”, terang Gus Awis.

“Tentu ini bukan bermaksud merendahkan beliau-beliau sebagai orang yang kapabel dalam menafsirkan Al-Quran. Beliau-beliau yang dimaksudkan seperti profesor, doktor di lingkungan kampus, maupun kiai di pesantren. Gus Baha’ misalnya, beliau adalah seorang mufasir meskipun tidak mempunyai karya tafsir akan tetapi beliau menyampaikan pandangan-pandangannya kepada orang lain melalui sosial media”, imbuh kawan dekat Ust. Abdul Somad ini.

Ia juga menambahkan, “ini tentu subjektivitas saya sebagai mufasir. Dan ini wajar sebab mufasir sendiri bermakna mereka yang menyampaikan penafsiran Al-Quran sesuai kadar keilmuannya atau semampunya. Saya menghargai karya tafsir Al-Quran yang berkembang sebab memang itulah kemampuannya dalam menafsiri. Kita patut bersyukur di era kontemporer, Indonesia dianugerahi ulama tafsir, Prof Quraish Shihab dengan karyanya Tafsir al-Misbah yang menjadi tonggak sejarah penafsiran Al-Quran di abad 20“

Monodisiplin, efektifkah?

Beliau juga menuturkan yang agak langka dewasa ini adalah tafsir Al-Quran berbasis qiraat.

“Pasalnya, penafsiran Al-Quran selama ini banyak didominasi oleh satu qiraat, Qiraat Hafsh dari Ashim misalnya, padahal ada tujuh qiraat (qiraat sab’ah), ada Qiraat Warasy, Imam Nafi’, Ibnu Katsir dan seterusnya. Penafsiran Al-Quran yang berpijak pada qiraat Hafsh umpamanya akan menghasilkan corak penafsiran Al-Quran menurut qiraat Hafsh, begitu pula seterusnya”, tutur alumni S3 al-Neelain University, Sudan ini.

Maka sebaiknya, para pengkaji Al-Quran atau mufasir Al-Quran menyampaikan secara eksplisit di muqaddimahnya bahwa karya tafsir ini mengikuti mazhab qiraat Imam Hafsh ‘an Ashim misalnya, sehingga jelas ketika ia menafsirkan suatu ayat, para pembaca dapat memahami bahwa tafsir ini mengikuti qiraat Hafsh. Sebab misalkan menafsiri satu ayat, maaliki yaumid din.

“Kata malik, jika berpijak pada qiraat ‘Ashim, al-Kisa’i, Ya’qub dan Khalaf bin Hisyam, maka ia bermakna raja (maalik dengan a panjang). Allah adalah Raja jika merujuk pada qiraat tersebut. Hal ini tentu berbeda secara diametral dengan qiraat Nafi’, Ibnu Katsir, Abu Amr, Ibnu Amir, Hamzah, yang malik dengan a pendek, ia bermakna penguasa. Allah adalah penguasa jika merujuk qiraat tersebut.

Baca juga: Serial Diskusi Tafsir Ngaji Kitab Jam’ul ‘Abir fi Kutub Tafsir Bareng Gus Awis

Maka, jika menafsirkan Al-Quran dengan beberapa qiraat di atas menghasilkan pemahaman bahwa Allah adalah Raja dan Penguasa. Sebab, jelas Gus Awis, ada Raja yang tidak berkuasa, seperti Raja Malaysia. Ada penguasa yang tidak berstatus sebagai Raja, Perdana Menteri misalnya. “Nah, Allah itu ya Raja, ya Penguasa. Itulah kelebihan menafsirkan Al-Quran dengan tidak menggunakan satu pendekatan atau monodisiplin”. Tandas Pengasuh PP Darul Ulum Jombang ini

Meski begitu, Gus Awis tetap menghargai dan mengapresiasi mufasir yang menggunakan satu pendekatan dan subjektifitasnya baik pendekatan fiqhi, falsafi, mazhabi, dan lain sebagainya.

Tidak hanya itu, Gus Awis juga mengulas definisi mufasir, menurutnya mufasir adalah seseorang yang menekuni dunia penafsiran atau berdekatan dengan kajian Al-Quran yang menyampaikan pandangan-pandanganya kepada orang lain sesuai kapasitasnya. Mereka tidak harus mempunyai karya penafsiran lengkap 30 juz.

Banyak ulama timur tengah atau ulama kita di Nusantara yang beliau adalah mufasir kenamaan tapi tidak mempunyai karya tafsir utuh, ada yang separuh 15 juz, beberapa surat saja, bahkan sama sekali tidak mempunyainya. Mereka tetap disebut mufasir asal menyampaikan pandangannya kepada masyarakat sehingga diikuti atau “disitasi” oleh jamaahnya.

Baca juga: Resolusi Al-Quran Menghadapi Tantangan Digital di Era Post-Truth

Pesan Gus Awis: “galilah manhaj ulama salafus shalih!”

“Menafsirkan Al-Quran bukan untuk keren-kerenan. Bukan untuk berbeda dengan yang sudah ada (mengikuti ulama). Saya pribadi sangat menyayangkan bilamana ada penafsir Al-Quran maupun mahasiswa tafsir yang mencoba menafsiri Al-Quran dari pendekatan Barat demi tampil beda atau keren-keren-an. Cobalah dikuatkan dulu pondasi khazanah keilmuan tafsir dari ulama salafus shalih kita. Andaikan kita tidak mampu menafsiri Al-Quran dan mengharuskan mengutip pendapat yang tarjih (unggul), why not (kenapa tidak)? Bukankah memang demikian dalam penafsiran.

Saya tidak anti pendekatan dari Barat misalnya hermeneutik. Namun demikian, legacy ulama salafus shalih kita sangatlah kaya. Sayang jika legacy ini kita tidak mewarisi dan meneruskannya. Kalau bukan kita umat Islam lantas siapa lagi? Subjektifitas tentu ada, namun jangan sampai meninggalkan legacy ulama salafus shalih kita”, terang Ulama Muda asal Jombang ini.

Beliau juga mewanti-wanti, janganlah kita menafsirkan Al-Quran dengan ittiba’ al-hawa (mengikuti hawa nafsu). Al-Quran adalah kalam Allah yang terpuji yang diturunkan kepada manusia untuk dipedomani dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari agar manusa senantiasa bahagia dalam bimbingan rabba hadzal bait, Allah swt. Semoga kita semua mampu meneladani ulama salafus shalih dan senantiasa menghadirkan penafsiran Al-Quran yang sejuk lagi damai. Amin. Ushini wa iyyaya bitaqwallah. Wallahu a’lam[]

10 Pertanyaan Dasar Seputar Ilmu Tajwid yang Harus Kamu Tahu

0
10 pertanyaan dasar Ilmu Tajwid
10 pertanyaan dasar Ilmu Tajwid

Istilah Ilmu Tajwid bukanlah hal asing, mengingat seorang muslim ketika belajar membaca Al-Quran juga bersamaan belajar Ilmu Tajwid. Namun, orang awam atau bahkan yang pernah mempelajari Ilmu Tajwid, bertanya-tanya tentang di luar Ilmu Tajwid, misalnya sejarah, hukum, dan lain-lain. Artikel ini membahas 10 (sepuluh) pertanyaan dasar yang sering ditanyakan atau FAQ (Frequently Asked Question) perihal Ilmu Tajwid. Pertanyaan dasar ini penting diketahui, terutama bagi pemula. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dasar tersebut diambil dari referensi-referensi Ilmu Tajwid seperti kitab al-Mufid fi Ilm at-Tajwid dan Taysir ar-Rahman fi Tajwid Al-Quran.

Baca juga: Mengenal 7 Cara Membaca Alif dalam Al-Quran Sesuai Ilmu Tajwid

  1. Apa itu Ilmu Tajwid?

Tajwid secara harfiah bermakna memperindah atau memperbaiki. Apabila dikaitkan dengan Al-Quran, maka Tajwid Al-Quran adalah ilmu yang berkaitan dengan tatacara membaca Al-Quran dengan baik dan indah. Berikut beberapa pengertian Ilmu Tajwid yang dikutip dari al-Mufid dan Taysir ar-Rahman:

عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْ كَيْفِيَّةِ النُّطْقِ بِالْحُرُوْفِ وَمُرَاعَاةِ الْوُقُوْفِ

(Ilmu Tajwid adalah) ilmu yang membahas tatacara pengucapan huruf dan pemeliharaan waqaf.

إِخْرَاجُ كُلِّ حَرْفٍ مِنْ مَخْرَجِهِ مَعَ إِعْطَائِهِ حَقَّهُ وَمُسْتَحَقَّهُ

(Tajwid adalah) cara mengeluarkan setiap huruf dari makhrajnya serta memberikan dan memenuhi hak dan mustahak huruf itu.

  1. Seberapa penting Ilmu Tajwid itu?

Mempelari ilmu Tajwid merupakan hal yang penting. Hal ini wajar karena ilmu Tajwid membahas tatacara baca Al-Quran. Seseorang yang tidak mengenal Ilmu Tajwid tentu kesulitan dalam membaca Al-Quran, apalagi orang ‘ajam (non Arab). Bahkan dalam kitab Taysir ar-Rahman dikatakan bahwa ilmu Tajwid merupakan salah satu ilmu yang paling mulia.

Baca juga: Hukum Membaca Al-Quran dengan Ilmu Tajwid dan Objek Pembahasannya

  1. Apa hukum mempelajari Ilmu Tajwid?

Berbicara tentang hukum mempelajari Ilmu Tajwid, para Ulama membaginya ke dua pembahasan yaitu belajar istilah Ilmu Tajwid dan membaca Al-Quran dengan ilmu Tajwid. Para Ulama sepakat bahwa membaca Al-Quran itu harus (wajib/fardu ain) menggunakan ilmu Tajwid.

Sedangkan hukum belajar istilah Ilmu Tajwid seperti mengenal bab hukum nun sukun dan tanwin, nama-nama Mad, dan lain sebagainya, menurut sebagian Ulama adalah fardu kifayah. Dengan kata lain, mempelajari ilmu Tajwid itu merupakan opsional.

  1. Apa dalil-dalil tentang Ilmu Tajwid?

Dalil-dalil terkait ilmu Tajwid banyak ditemukan baik Al-Quran, hadis, maupun ijmak ulama, misalnya dalam Q.S. Al-Muzzammil [73]: 4.

  1. Bisakah membaca Al-Quran tanpa belajar Ilmu Tajwid?

Yang dimaksud dengan membaca Al-Quran tanpa belajar ilmu Tajwid adalah mempelajari dan mengetahui nama istilah-istilah yang ada di dalam ilmu Tajwid. Sedangkan membaca Al-Quran tetap menerapkan ilmu Tajwid.

Jawabannya, bisa. Dewasa ini, di kalangan masyarakat banyak muncul metode-metode belajar Al-Quran yang tidak menyertakan istilah-istilah ilmu Tajwid dalam pembelajarannya sehingga para pemula dapat membaca Al-Quran dengan ringan dan singkat.

Baca juga: Keunikan Mushaf Pangeran Diponegoro; Iluminasi yang Mewah hingga Tanda Tajwid yang Lengkap

  1. Apa saja yang dibahas dalam Ilmu Tajwid?

Merujuk pada pendapat Abdurrahman bin Sa’dullah Aytani dalam kitab al-Mufid-nya, pembahasan ilmu Tajwid mencakup pengucapan huruf dan pemeliharaan waqaf.

  1. Bagaimana sejarah Ilmu Tajwid?

Sejarah (dasar atau bibit) ilmu Tajwid sudah ada sejak turunnya Wahyu pertama kali. Merujuk pada kitab Taysir ar-Rahman, ilmu Tajwid secara amaliyah sudah dipraktekkan ketika malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad.

Saat Islam menyebar luas dan banyak penduduk ‘ajam (non Arab) yang memeluk Islam, barulah ilmu Tajwid mulai berdiri sendiri dari dasar, dinding, hingga utuh menjadi ilmu mandiri.

  1. Siapa yang pertama kali menyusun Ilmu Tajwid?

Para ulama berbeda pendapat terkait siapa yang pertama kali menyusun ilmu Tajwid. Dikutip dari kitab Taysir ar-Rahman, peletak dinding ilmu Tajwid adalah Abu Aswad ad-Duali, Khalil bin Ahmad al-Farahidi, dan para imam Qiraat.

  1. Kitab-kitab ilmu Tajwid yang bisa dipelajari?

Banyak sekali kitab-kitab Tajwid yang bisa dipelajari, baik itu berbahasa Indonesia maupun berbahasa Arab. Untuk kitab tajwid berbahasa Arab bisa serta biasa dipelajari di masyarakat Indonesia adalah Muqaddimah Jazariyah, Tuhfatul Athfal, dan Hidayatus Shibyan.

Baca juga: Mengenal lebih dekat Ilmu Tajwid dan Asal-Usulnya Menurut Para Ulama

  1. Apa hubungannya Ilmu Tajwid dengan Ilmu Qiraat?

Ilmu Tajwid dan ilmu Qiraat memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya sama-sama berfokus pada bacaan Al-Quran. Bahkan dapat dikatakan, ilmu Tajwid merupakan bagian dari Ilmu Qiraat.

Namun keduanya tetap memiliki perbedaan. Hemat penulis, perbedaannya adalah ilmu Tajwid lebih menekankan pada pengucapan huruf, sedangkan ilmu Qiraat lebih membahas pada perbedaan bacaan dari segi dialek kebahasaan. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surah An-Nur Ayat 32: Ingin Menjadi Kaya? Menikahlah!

0
Tafsir Surah An-Nur ayat 32
Tafsir Surah An-Nur ayat 32

Menikah merupakan hal yang sangat didambakan oleh manusia, terutama pemuda pemudi yang telah menginjak usia pernikahan. Hal itu alamiah dan naluriah. Akan tetapi, banyak orang takut menikah disebabkan kekhawatiran akan keadaan perekonomian nantinya. Padahal Islam mengajarkan bahwa dengan menikah akan menjadi kaya, serba kecukupan, dan semakin mendekatkan diri kepada-Nya sebagaimana terlukiskan dalam Surah An-Nur ayat 32 di bawah ini:

وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui. (Surah An-Nur ayat 32)

Baca juga: Tafsir Surat An-Nur Ayat 26: Jodoh Merupakan Cerminan Diri

Tafsir Surah An-Nur ayat 32

Ibnu Katsir dalam tafsirnya, As-Suyuthi dalam al-Dur al-Mantsur, Abu Hayyan Muhammad al-Andalusi dalam al-Bahr al-Muhith fi Tafsir, Al-Qurtuby, At-Thabari dan ulama lainnya, sepakat bahwa bagi seseorang yang telah mampu untuk menikah, maka menikahlah, sebab dengan menikah itu lebih menjaga kesucian dirinya dari perbuatan zina.

Hal ini senada dengan sabda Nabi saw,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menanggung biaya perkawinan, maka hendaklah ia kawin. Karena sesungguhnya kawin itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, hendaknyalah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu dapat dijadikan peredam (berahi) baginya.

Para ulama di atas juga tidak hanya menganjurkan untuk menikah, melainkan mewanti-wanti (baca: memberi peringatan) untuk menikahi seseorang yang masih menjomblo, bukan mereka yang terikat status pernikahan. Hal ini digambarkan oleh ayat di atas dengan kata al-Ayama.

Al-Ayama adalah bentuk jamak dari ayyimun. Kata ini ditujukan kepada laki-laki dan wanita tidak punya pasangan hidup baik ia pernah kawin ataupun belum. Demikianlah menurut pendapat al-Jauhari yang ia nukil dari ahli lughah (kebahasaan). Rajulun ayyimun dan imra-atun ayyimun bermakna bahwa laki-laki yang tidak beristri dan wanita yang tidak bersuami.

Baca juga: Menikahlah, Maka Pintu Rezekimu Akan Terbuka Lebar

Sedangkan redaksi إِن يَكُونُواْ فُقَرَاء يُغْنِيَهُمُ الله مِن فَضْلِهِ para ulama memaknainya secara beragam, namun intinya sama. Muhammad Hafidz al-Din al-Nasafi (w. 710 H), misalnya, dalam Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil atau Tafsir An-Nasafi, ia menafsirkan dengan,

{إِن يَكُونُواْ فُقَرَاء} من المال {يُغْنِيَهُمُ الله مِن فَضْلِهِ} بالكفاية والقناعة أو باجتماع الرزقين وفي الحديث التمسوا الرزق بالنكاح وعن عمر رضى الله عنه روي مثله

Jika mereka miskin dari harta, maka Allah swt akan memberi kecukupan, qana’ah, atau mengumpulkan rizikinya dari berbagai penjuru. Dan dalam satu hadits dikatakan, “carilah rizkimu melalui pernikahan”.

Dalam tafsir yang lain, Ibnu Katsir mengutip qaul sahabat, yaitu Ibnu Mas’ud berkata, “Carilah kekayaan di dalam pernikahan” (iltamisu al-ghina fi nikah). Dari al-Laits, dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari Sa’id al-Maqburi, dari Abu Hurairah r.a., berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “ada tiga hak Allah yang pasti ditunaikannya, yaitu orang yang menikah dengan niat menjaga kesucian, budak yang menunaikan kewajibannya, dan orang yang berjihad di jalan Allah” (H.R. Imam Ahmad, al-Tirmidzi, al-Nasa’i dan Ibnu Majah).

Selain itu, penafsiran senada juga disampaikan Jalaluddin al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain bahwa carilah kekayaan itu melalui pernikahan. Tidak jauh berbeda, Ibnu ‘Abbas dalam tafsirnya juga menyampaikan, kata ghina yang dimaksud adalah rizki. Lebih dari itu, Muhammad Jamaluddin al-Qasimi (w. 1332 H) dalam Mahasin al-Ta’wil menafsiri ghina dengan fadhal Allah (keutamaan Allah) berupa rizki yang tidak disangka-sangka oleh manusia (min haitsu la yahtasib).

Baca juga: Surah Ar-Rum [30] Ayat 21: 3 Tujuan Pernikahan Menurut Al-Quran

Sedangkan Abdullah al-Sa’adi (w. 1376 H) dalam Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, menjelaskan ghina yang dimaksud adalah janganlah engkau takut hanya karena engkau miskin harta lalu mencegah dirimu atau minder untuk menikah, sebab janji Allah kepada seorang laki-laki yang sudah menikah akan dicukupkan (dikayakan) setelah sebelumnya miskin.

Penafsiran yang lain datang dari Ats-Tsa’laby (w. 875 H) dalam Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Quran, ia memaknai esensi menikahh dengan,

مَنْ يَتَعَذَّرُ عليه النكاحُ أَنْ يستعفف حتى يُغْنِيَهُمُ الله من فضله، إذِ الغالب من موانع النكاح عَدَمُ المال، فوعد سبحانه المُتَعَفِّفُ بالغنى

Barang siapa yang tidak memungkinkah untuk segera menikah, hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan dosa (zina, dst) sampai ia dimampukan oleh Allah swt. Sebab, kebanyakan orang mencegah untuk menikah karena ketiadaan uang atau harta, maka yakinlah bahwa Allah swt menjanjikan kekayaan dalam pernikahan.

Adapun Muhammad al-Syairazi al-Baidhawi (w. 685 H) dalam Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil atau Tafsir al-Baidhawi menjelaskan bahwa Allah swt menjanjikan kecukupan bagi hamba-Nya yang menikah. Rasulullah saw bersabda, uthlubu al-ghina fi hadzihil ayat (carilah kekayaan atau kecukupan itu di dalam ayat ini).

Baca juga: Tafsir Surat An-Nur Ayat 35: Allah Sang Maha Cahaya

Ingin kaya atau serba kecukupan? menikahlah!

Dari berbagai penafsiran di atas, menunjukkan bahwa seseorang yang telah mampu menikah atau yang belum mampu namun memiliki niat baik untuk menjaga kesucian dirinya serta melaksanakan sunnah Rasul saw, maka menikahlah. Jangan risau dan gundah gulana akan rizkimu, sebab Allah swt telah menggaransi dan menambahi rizki hamba-Nya yang telah menikah. Menikah itu membuat kaya. Dengan menikah kita tidak sendiri melewati hari-hari, ada istri atau suami yang saling melengkapi dan menguatkan.

Dewasa ini, banyak orang ragu untuk menikah, bagaimana ya nanti kondisi ekonomi setelah menikah? Pekerjaann belum mapan, beban bertambah karena harus menafkahi istri dan keluarga, maka ayat di atas patut menjadi refleksi kita bersama. Apakah kita masih meragukan janji Allah swt? Meragukan sunnah Nabi saw berupa pernikahan? Bukankah dengan berjuang bersama dengan pasangan tentu akan lebih indah dan bernilai ibadah ketimbang berjuang sendirian? Wallahu a’lam[]

 

Tafsir Surah Yasin Ayat 48-50: Hari Kiamat Datang dengan Tiba-Tiba

0
Yasin ayat 48-50
Yasin ayat 48-50

Ayat ke 48-50 dari surat Yasin kembali menarasikan respons orang kafir ketika disampaikan peringatan. Setelah sebelumnya diperlihatkan penolakan mereka untuk bertakwa dan menginfakkan harta, kali ini ditunjukkan bagaimana keingkaran mereka terhadap datangnya hari kiamat dan bagaimana sebenarnya dahsyatnya fenomena tersebut. Berikut tafsir surat Yasin ayat 48-50:

وَيَقُولُونَ مَتَىٰ هَٰذَا الْوَعْدُ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

مَا يَنظُرُونَ إِلَّا صَيْحَةً وَاحِدَةً تَأْخُذُهُمْ وَهُمْ يَخِصِّمُونَ

فَلَا يَسْتَطِيعُونَ تَوْصِيَةً وَلَا إِلَىٰ أَهْلِهِمْ يَرْجِعُونَ

Artinya:

(48)   Dan mereka berkata: “Bilakah (terjadinya) janji ini (hari berbangkit) jika kamu adalah orang-orang yang benar?”.

(49)   Mereka tidak menunggu melainkan satu teriakan saja yang akan membinasakan mereka ketika mereka sedang bertengkar.

(50)   Lalu mereka tidak kuasa membuat suatu wasiatpun dan tidak (pula) dapat kembali kepada keluarganya.

Nawawi al-Bantani dalam Marah Labid menafsirkan tiga ayat di atas secara global. Ia mengatakan bahwa orang kafir Mekah bertanya pada Nabi saw dan orang-orang mukmin tentang kapan datangnya hari yang dijanjikan, yaitu hari kiamat. Allah menjawab pertanyaan mereka bahwa yang mereka nantikan tidak lain kecuali hanya sebuah teriakan atau tiupan yang seketika membinasakan mereka.

Ar-Razi dan Az-Zuhaili sepakat akan kesinambungan ayat ini dengan ayat sebelumnya. Ayat sebelumnya menyinggung orang kafir yang enggan bertakwa dan mengeluarkan infak. Pada ayat ini secara tidak langsung dijelaskan penyebab keengganan mereka, yaitu keingkaran kepada Hari Pembalasan. Karena tidak meyakini akhirat, mereka merasa tidak perlu bersusah payah melakukan amal kebaikan di dunia.

Pertanyaan orang kafir tentang kapan kiamat itu terjadi bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban. At-Tabataba’i menyebutnya pertanyaan yang bernada istihza, yakni bertujuan memperolok yang didasari oleh perasaan inkar terhadap apa yang diyakini umat Islam. Oleh karena itu, pada ayat selanjutnya Allah Swt tidak memberikan jawaban spesifik mengenai kapan kiamat tiba.

Selain karena pertanyaan tersebut dilontarkan bukan dalam rangka mencari jawaban, juga karena hal ini merupakan rahasia Tuhan yang bahkan Nabi Muhammad saw sekalipun tidak mengetahuinya. Dibanding memikirkan kapan waktunya, Allah Swt lebih memilih memberikan gambaran bagaimana kengerian kiamat sebagai solusi bagi siapa saja yang mengimani kiamat untuk mempersiapkan diri menghadapinya.

Kiamat datang secara tiba-tiba, tanpa bisa diduga dan disadari kedatangannya.

Pada QS. Az-Zukhruf: 66 Allah Swt berfirman:

هَلْ يَنظُرُونَ إِلَّا ٱلسَّاعَةَ أَن تَأْتِيَهُم بَغْتَةً وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ

( 66 )   Mereka tidak menunggu kecuali kedatangan hari kiamat kepada mereka dengan tiba-tiba sedang mereka tidak menyadarinya.

Dalam tafsir Jami’ul Bayan, At-Tabari mengutip suatu hadis yang juga menggambarkan kejadian kiamat yang mendadak sebagai berikut:

 “عن قتادة ( مَا يَنْظُرُونَ إِلا صَيْحَةً وَاحِدَةً تَأْخُذُهُمْ وَهُمْ يَخِصِّمُونَ ) ذُكر لنا أن النبي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم كان يقول: “إِنَّ السَّاعَةَ تَهِيجُ بِالنَّاسِ، وَالرَّجُلُ يَصْلِحُ حَوْضَهُ، وَالرَّجُلُ يَسْقِي مَاشِيَتَهُ، وَالرَّجُلُ يُقِيمُ سِلْعَتَهُ فِي السُّوقِ وَيُخْفِضُ مِيزَانَهُ وَيَرْفَعُهُ وَتَهِيجُ بِهِمْ وَهُمْ كَذلكَ، فَلا يَسْتَطِيعُونَ تَوْصِيَةً ولا إلى أهْلِهِمْ يَرْجِعُونِ”

Diriwayatkan dari Qatadah terkait QS. Yasin: 49 di mana Nabi saw berkata kepada kami; “Sesungguhnya hari kiamat datang mendadak menimpa manusia, sedangkan seseorang ada yang sedang memperbaiki kolamnya, ada yang sedang memberi minum ternaknya, ada pula yang sedang menjajakan barang dagangannya di pasar seraya menurunkan dan menaikkan timbangannya. Kiamat datang menimpa mereka dalam keadaan demikian, maka mereka tidak mampu membuat suatu wasiatpun dan tidak pula dapat kembali kepada keluarganya.”

Sebagaimana dikatakan pada ayat ke-49 di atas bahwa pada saat terjadi kiamat, bisa saja orang-orang kafir itu sedang bertengkar dengan sesamanya. Mengisyaratkan bahwa mereka ini lalai dari perkara kiamat. Mereka meributkan urusan duniawi seakan-akan lupa akan adanya hari kiamat dan tidak mempersiapkan diri menghadapinya.

At-Tabataba’i menggarisbawahi penambahan kata wahidah (satu) sebagai penekanan bahwa perkara mematikan semua makhluk hidup itu mudah bagi Allah Swt. Cukup baginya satu teriakan yang adalah tiupan pertama dari malaikat Israfil untuk mematikan seluruh makhluk hidup yang ada di dunia.

Mengenai ragam qiraat pada ayat di atas, Az-Zuhaili menyebutkan tiga versi cara membaca kata يخصمون (yakhissimun). Ashim, Ibn Zakwan dan al-Kisa’i membaca “yakhissimun”, sementara Warsy, Ibn Kasir dan Abu Amr membaca “yakhassimun”. Dan yang terakhir, Hamzah membacanya dengan “yakhsimun”.

Sekian tafsir surat Yasin ayat 48-50 mengenai bagaimana dahsyat dan mengerikannya hari kiamat itu. Semoga kita dapat mengambil pelajaran darinya. Wallahu a’lam.

Surah Ar-Rum [30] Ayat 21: 3 Tujuan Pernikahan Menurut Al-Quran

0
Tujuan Pernikahan
Tujuan Pernikahan dalam Al-Quran

Pernikahan adalah ibadah yang penting dan sakral dalam ajaran Islam. Pernikahan merupakan ikatan atau kesepakatan janji yang dilaksanakan dua orang untuk meresmikan hubungan perkawinan. Dalam bahasa Arab, pernikahan berasal dari kata al-nikah yang memiliki arti watha’ yakni jimak atau hubungan seksual. Selain itu, kata al-nikah juga memiliki makna akad yang berarti ikatan atau kesepakatan.

Sebuah pernikahan bukan hanya persoalan menyatukan dua insan dan dua hati, melainkan juga persoalan menunaikan tujuan pernikahan itu sendiri, yakni menyempurnakan agama, melaksanakan titah ilahi serta sunah nabi dalam rangka menjaga keturunan, meraih kebahagiaan, dan lain sebagainya. Tujuan pernikahan ini penting untuk ditegaskan agar setiap pasangan bisa mengingatnya dan mewujudkannya.

Dalam ajaran Islam, secara umum setiap muslim disunahkan untuk melaksanakan pernikahan. Namun hukum menikah ini nantinya bersifat tentatif sesuai kondisi masing-masing individu. Oleh karena itu, bagi seorang muslim sebaiknya ia mengevaluasi dirinya berdasarkan norma tersebut tentang apakah ia sudah layak untuk menikah atau belum agar tidak terjadi problem-problem di kemudian hari.

Nabi Muhammad saw pernah bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

Artinya:

Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya).

Secara singkat, hukum pernikahan ada 5, yakni: 1) wajib bagi mereka yang telah memiliki kemampuan untuk berumah tangga, baik secara fisik maupun finansial serta sulit baginya untuk menghindari zina. Pada posisi ini, ia diwajibkan menikah agar tidak terjerumus kepada kemaksiatan; 2) sunah bagi mereka yang mampu dan siap berumah tangga, namun masih dapat menahan diri dari perbuatan zina.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 13: Apakah Al-Quran Menyetarakan Kasta dalam Pernikahan?

Selanjutnya, 3) mubah bagi orang yang bertujuan menikah untuk memenuhi syahwat semata, bukan bertujuan membina rumah tangga. Namun ia bertanggung jawab dan tidak menelantarkan istrinya; 4) makruh bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi pasangan atau memiliki penyakit tertentu yang dapat membuatnya tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis pasangan; 5) dan haram bagi mereka yang bertujuan untuk menyakiti pasangan (Fath al-Qarib).

Tafsir Surat Ar-Rum [30] Ayat 21: Tujuan Pernikahan Menurut Al-Qur’an

Salah satu ayat Al-Qur’an yang membahas tentang tujuan pernikahan adalah surat ar-Rum [3] ayat 21 yang berbunyi:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ ٢١

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum [3] ayat 21).

Menurut as-Sa’adi, ayat ini berbicara mengenai tanda-tanda kekuasaan dan keesaan Allah swt yang menunjukkan bentuk kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya melalui penciptaan pasangan. Bersama pasangan, manusia dapat saling mengasihi dan menyayangi. Selain itu, memiliki pasangan juga dapat membuat seseorang merasakan ketenangan, kedamaian, dan ketenteraman. Oleh karena itu, hubungan suami istri lebih spesial dibandingkan hubungan antara manusia lainnya.

Sedangkan menurut Quraish Shihab, surat ar-Rum [3] ayat 21 merupakan kelanjutan ayat-ayat sebelumnya yang berbicara mengenai kekuasaan dan keesaan Allah swt. Rangkaian ayat ini secara implisit menegaskan bahwa tanda-tanda kekuasaan dan keesaan Allah meliputi segala hal, mulai dari kehidupan dan kematian (ayat 19), penciptaan manusia (ayat 20), penciptaan pasangan bagi manusia ( ayat 21), hingga penciptaan alam dan keragaman semesta (ayat 22).

Pada ayat ini Al-Qur’an seakan menyatakan, “Dan juga di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kamu secara khusus pasangan-pasangan hidup dari jenis kamu sendiri, supaya kamu tentang  dan tenteram serta cenderung kepadanya yakni pada pasangan, dan dijadikan-Nya di antara kamu mawaddah dan rahmat. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi orang-orang yang berpikir.

Menurut sebagian ulama, kata azwaj pada ayat ini – dan ayat serupa – bermakna istri-istri. Sehingga ketika disebutkan frasa ilaiha (kata ganti feminin) – menurut mereka – maka yang dimaksud adalah perempuan. Dalam konteks ayat di atas, berarti laki-laki akan merasa tenteram kepada istrinya. Penafsiran serupa disampaikan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab tafsirnya Marah Labid.

Pemahaman semacam ini – menurut Quraish Shihab – tidaklah tepat. Karena kata ganti feminin pada ilaiha merujuk kepada lafaz azwaj yang berposisi sebagai jamak. Dalam kaidah bahasa Arab, setiap kata jamak merupakan kata feminin. Sehingga pada ayat ini maknanya adalah masing-masing individu akan merasa tenteram dan cenderung kepada pasangannya, tidak terbatas hanya hanya untuk laki-laki (Tafsir Al-Misbah [11]: 35).

Tujuan pernikahan yang pertama disebutkan surat ar-Rum [3] ayat 21 adalah sakinah (litaskunu) yakni diam atau tenang setelah sebelumnya goncang. Pernikahan dapat melahirkan ketenangan batin dan ketenteraman baik dari segi fisik maupun psikologis. Allah swt mensyariatkan bagi manusia pernikahan agar kekaucauan pikiran dan gejolak jiwa mereka mereda dan tenang. Dengan demikian, setiap orang seharusnya merasakan ketenangan di samping pasangannya.

Tujuan pernikahan yang lain pada ayat ini adalah mawaddah  dan rahmah. Dalam bahasa Indonesia, kata mawaddah agak sulit untuk diterjemahkan dan biasanya hanya dimaknai cinta atau kasih. Padahal mawaddah sendiri memiliki makna yang lebih luas, yakni perasaan atau keinginan kuat agar sang pasangan mendapatkan kebaikan, bukan yang lain. Barang siapa memiliki perasaan ini, berarti dia telah mawaddah.

Baca Juga: Pernikahan; Tujuan dan Hukumnya, Tafsir Surat An-Nahl Ayat 72

Sedangkan rahmah sering diterjemahkan dengan arti sayang. Kata rahmah identik dengan rasa sayang yang dibarengi simpati sebagaimana diterangkan dalam surat al-Fath ayat 29, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, namun berkasih sayang sesama mereka” (Kitab Istigfar).

Dalam konteks suami istri – menurut sebagian ulama – rahmah lahir bersamaan dengan kehadiran seorang anak, atau ketika pasangan suami istri telah mencapai usia lanjut. Karena rahmat pada dasarnya merupakan kasih sayang yang tertuju kepada seseorang yang membutuhkan atau yang lemah. Biasanya rahmah hadir – selain karena anugerah Allah swt – didasarkan oleh rasa simpati dan empati (Tafsir Al-Misbah [11]: 36).

Melalui surat ar-Rum [3] ayat 21, kita dapat belajar bahwa pernikahan memiliki tujuannya tersendiri bagi kebaikan suami istri, yakni sakinah, mawaddah, an rahmah. Tujuan pernikahan ini tidaklah seperti garis finis balapan yang hanya dituju lalu selesai. Tetapi tujuan ini adalah sesuatu yang wajib diusahakan dan wajib dijaga oleh pasangan suami istri ketika sudah mendapatkannya layaknya menjaga sesuatu yang paling berharga. Wallahu a’lam.

Enam Sifat Orang Mukmin dalam Surah Al-Mukminun Ayat 1-9

0
Enam Sifat Orang Mukmin
Enam Sifat Orang Mukmin

Mukmin dalam istilah bahasa Arab memiliki arti orang beriman, orang yang membenarkan ajaran Nabi. Sedangkan, secara terminologi adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan melaksanakan dengan tindakan. Maka tidak heran, jika definisi mukmin berada di tingkat yang lebih tinggi di atas muslim. Banyak tanda dan sifat seseorang dapat dikatakan mukmin, Al-Quran pun merincikannya. Berikut enam sifat orang mukmin yang disebut dalam surah Al-Mukminun ayat 1-9.

Surah Al-Mukminun ini memiliki munasabah dengan penutup surat sebelumnya, Al-Hajj, yang berbicara mengenai ajakan kepada orang-orang yang beriman berupa perintah untuk melaksanakan tuntunan agama, perintah salat dan zakat, serta ajakan untuk berpegang teguh pada tali Allah.

Baca Juga: Surat al-Anfal [8] Ayat 2: Ciri-Ciri Orang Yang Beriman Menurut Al-Qur’an

Enam Sifat Orang Mukmin

Sebelas ayat pertama dari surat Al-Mukminun ini berbicara tentang sifat-sifat yang dimiliki orang Mukmin. Terdapat enam sifat orang mukmin yang disebutkan di dalamnya. Dimulai dari pernnyataan kesungguhan tentang keberuntungan yang akan didapat oleh orang-orang mukmin,

 1) قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ

Kata aflaha pada ayat pertama dalam Tafsir Al-Misbah terambil dari kata al-falh yang memiliki makna membelah. Dari kata al-falh ini, petani disebut al-fallah -orang yang mencangkul untuk membelah tanah, lalu menanam benih. Dari benih ini kemudian tumbuh, dan menghasilkan buah. Sebab hal tersebut, petani tentu merasa bahagia, maka kemudian dinamakan falah. Jadi, suatu hal yang melahirkan sebuah kebahagiaan, itulah makna falah.

Sedang kata al-mukminun M. Quraish Shihab membedakannya dengan alladzina amanu. Al-Mukminun berarti sudah berupa labeling sifat terhadap beberapa subjek, bukan lagi sebuah proses.

Tanda pertama seorang mukmin adalah mereka yang khusuk dalam shalatnya.

 2) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

Kata khasyi’un berakar kata khasya’a yang bermakna diam atau tenang.  Sebagian ulama mengatakan, bahwa kata kasyi’un dalam ayat ini adalah rasa takut agar jangan sampai apa yang dilaksanakannya itu tertolak. Salah satu tanda kekhusyukan dalam shalat ditandai dengan mata yang fokus pada tempat sujud.

Imam ar-Razi, mengungkapkan, bahwa seseorang yang sedang melaksanakan shalat, tabir akan terbuka antara dirinya dan Tuhannya. Akan tetapi jika ia menoleh tabir itu akan tertutup. Sedang, menurut Ibnu Katsir, khusyuk baru akan tercapai ketika jiwa pada diri orang yang mendirikan shalat mengabaikan sesuatu selain yang berkaitan dengan shalat.

Baca Juga: Inilah Keutamaan Shalat Menurut Al-Quran: Tafsir QS. Al-Ankabut [29] Ayat 45

Sifat kedua dari enam sifat orang mukmin adalah orang yang menjauhkan diri dari perkataan atau perbuatan yang tidak berguna.

وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ (3

Kata al-laghwu pada ayat ketiga, menunjukkan makna batal, atau sesuatu yang ditiadakan. Sesuatu yang terkadang dianggap kurang berfaidah (laghwu), atau sesuatu yang berfaidah tapi tidak memiliki dampak apa-apa terhadap hal ukhrawi. Sehingga Quraish Shihab mengungkapkan bahwa laghwu ini merupakan sebuah hal yang tidak terlarang dan tidak pula dianjurkan (mubah), tetapi tidak ada manfaat yang diperoleh dari hal tersebut.

Ayat ini tidak serta merta melarang umat muslim untuk bencanda dan tertawa, tidak. Akan tetapi merupakan anjuran untuk lebih memperbanyak hal yang bermanfaat, utamanya dalam hal ukhrawi.

Sifat orang mukmin yang ketiga, yaitu orang yang menunaikan zakat.

وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ (4

Kata zakah ( زكاة ) dari segi bahasa memiliki arti suci, dan berkembang, hal ini menurut Quraish Shihab karena menunaikan zakat, atau menafkahkan harta dapat mengantarkan penafkah kepada kesucian jiwa. Iman yang telah mantap dalam jiwa seseorang akan mendorong untuk senantiasa menafkahkan sebagian hartanya kepada orang-orang yang membutuhkan.

Pemberian nafkah ini, tentu berdampak pada kesejahteraan sosial di lingkungannya, dengan adanya kegembiraan hati orang yang menerima zakat tersebut. Selain itu, dampak positif pada orangyang berzakat adalah pengikisan dengki dan iri di dalam hatinya. Maka, tidak heran jika salah satu tanda orang mukmin adalah mereka yang senang menafkahkan sebagian hartanya kepada jalan yang diridhoi Allah.

Selain menggunakan kata zakah, Al-Quran juga menggunakan kata sadaqah dalam arti zakat, contohnya surat al-Taubah [9]: 60.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 43: Dalil Kewajiban Zakat

Sifat keempat orang mukmin adalah mereka yang memelihara kemaluannya;

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7

Hafidzun, dalam ayat kelima bermakna memelihara atau menahan, yang terambil dari kata hifdzh. Dalam ayat ini yang dimaksud adalah menjaga atau memelihara kemaluan sehingga tidak digunakan pada tempat dan waktu yang dilarang oleh agama.

Dalam kitab tafsirnya, M. Quraish Shihab mengatakan, boleh jadi yang dimaksud pemeliharaan atas kemaluan ini adalah dalam proses mencari pasangan hidup yang tepat dan baik, bukan hanya berdasarkan pada kecantikan dan ketampanan.

Seorang yang mukmin adalah mereka yang pemeliharaannya terhadap kemaluan mereka sangat baik. Mereka hanya menyalurkan syahwat biologisnya kepada yang halal bagi mereka, yakni pasangan mereka, atau budak mereka (pada masa perbudakan), Illa ala azwajihim auw maa malakat aimanahum.

Sifat kelima dari enam sifat orang mukmin adalah mereka yang menepati atau menjaga janji mereka.

وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (8

Bentuk jamak yang digunakan pada kata amanah, menjadi amanaatihim  adalah sesuatu yang diserahkan oleh seseorang kepada pihak lain untuk menjaganya. Dalam Islam, amanah merupakan asas keimanan seeorang.

Dalam Tafsir Al-Misbah, amanah memiliki empat aspek; pertama amanah antara manusia dan Allah, seperti ibadah. Kedua, amanah antara satu orang kepada orang lain, seperti rahasia, titipan. Ketiga, antara manusia dan lingkungan, hal ini menyangkut pada penjagaan dan pemeliharaan alam untuk generasi mendatang. Keempat, amanah kepada diri sendiri, misalnya dalam menjaga kesehatan badan, dan lain-lain.

Kemudian kata ‘ahd memiliki makna wasiat dan janji -yakni komitmen yang disepakati seseorang dengan seseorang yang lain. Lalu, kata ra’un (رعون) dalam ayat ke delapan tersebut bermakna memerhatikan seseuratu sehingga tidak rusak, terbengkalai, atau bahkan sia-sia. Hingga dapat dikatakan, penjagaan seseoarng terhadap janji dengan orang lain harus senantiasa dijaga, dan ditepati dengan baik.

Baca Juga: Pemimpin Harus Berlaku Adil dan Menjalankan Amanah

Dan sifat terakhir dari enam sifat orang mukmin adalah mereka yang memelihara shalatnya.

وَٱلَّذِينَ هُمْ عَلَىٰ صَلَوَٰتِهِمْ يُحَافِظُونَ(9

Apa yang membedakan ayat kesembilan dan kedua di atas mengenai shalat? Yakni pada maksud yang dituju. Jika di ayat kedua adalah mereka yang dalam shalatnya khusyuk, kemudian pada ayat kesembilan lebih ditekankan lagi, orang yang mukmin adalah mereka yang memelihara shalatnya pada waktu-waktu yang telah ditetapkan dalam agama. Sehingga, mereka yang memelihara waktu shalatnya pada waktu yang ditetapkan akan terpelihara pula rukun salat yang dikerjakannya.

Sifat yang terakhir dari enam sifat orang mukmin ini menjadi sifat penutup bagi seorang mukmin yang dijelaskan dalam surat Al-Mukminun. Sayyid Quthub ditanya, “apakah nilai dari sifat-sifat yang disebut di atas?” ia kemudian menjawab, “Nilainya adalah bahwa ayat tersebut menggambarkan kepribadian yang dimiliki seorang muslim dalam tingkatan yang tertinggi -yakni kepribadian yang dimiliki Rasulullah Muhammad saw., sebaik-baiknya makhluk di muka bumi ini.”

Apakah lantas kita manusia biasa tidak dapat menjadi bagian dari mukmin itu sendiri? Tentu hal itu tidaklah mustahil, dengan terus belajar memperbaiki diri baik kepada Alah, dan interaksi kepada makhluk serta alamnya. Setidaknya kita harus senantiasa berusaha menjalani kehidupan ini dengan baik dengan mengikuti aturan Al-Quran dan sunnah Rasul dengan baik, dan benar. Hingga kita semua dapat menjadi bagian orang-orang yang diwarisi surga Firdaus, sebagaimana lanjutan pada ayat ke 10-11 dari surah Al-Mukminun ini. Amin. Wallahu A’lam