Beranda blog Halaman 409

Doa Nabi Ayyub as dalam Al-Quran untuk Kesembuhan Penyakit

0
Doa Nabi Ayyub
Doa Nabi Ayyub

Dalam Al-Qur’an, terdapat banyak ayat yang berbicara mengenai kesembuhan penyakit. Salah satunya adalah doa nabi Ayyub ketika meminta kesembuhan penyakit kepada Allah swt pada surat al-Anbiya’ [21] ayat 83. Doa ini beliau lantunkan setelah mengalami sakit menahun yang membuat dirinya dijauhi dan ditinggalkan oleh orang-orang terdekat. Namun beliau tetap sabar, taat kepada Allah swt dan senantiasa mengusahakan kesembuhan.

Doa nabi Ayyub tersebut diabadikan Allah swt dalam firman-Nya:

۞ وَاَيُّوْبَ اِذْ نَادٰى رَبَّهٗٓ اَنِّيْ مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَاَنْتَ اَرْحَمُ الرّٰحِمِيْنَ ۚ ٨٣

Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, “(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: ayat 83).

Menurut Quraish Shihab,  konteks surat al-Anbiya’ [21] ayat 83 merupakan informasi dari Allah swt bahwa setiap manusia pasti akan mendapatkan ujian dan anugerah. Dalam hal ini Dia menceritakan nabi Ayyub yang begitu sabar menghadapi ujian dari-Nya, yakni kemusnahan harta dan kehadiran penyakit menahun (Tafsir Al-Misbah [8]: 494).

Baca Juga: Doa Al-Quran: Surat Ali Imran Ayat 8 untuk Ketetapan Hati dalam Iman

Pada ayat ini, Allah swt memerintah nabi Muhammad saw untuk mengingat kisah kesabaran Ayyub tersebut. Beliau tidak pernah menggerutu, marah maupun menyalahkan  Allah swt. Sebab beliau sadar bahwa kehidupan akan senantiasa disi oleh cobaan dan ujian. Dalam doanya di atas, nabi Ayyub bahkan tidak memaksa Allah untuk memberikan kesembuhan penyakit baginya.

Meskipun pada surat al-Anbiya’ [21] ayat 83 tidak ada doa secara eksplisit dari nabi Ayyub kepada Allah swt, namun sebenarnya di sana ada permohonan secara implisit. Beliau seakan berkata, “Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa kesulitan, sedang Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang, maka Wahai Tuhan perlakukanlah aku sesuai kebesaran dan keagunan rahmat-Mu.”

Al-Sa’adi menyebutkan dalam tafsirnya, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Mannan, surat al-Anbiya’ [21] ayat 83 merupakan perintah Allah swt untuk mengingat kesabaran nabi Ayyub yang ditimpa penyakit menahun. Beliau senantiasa bersyukur dan tidak pernah mengeluh di dalam penderitaannya tersebut. Nabi Ayyub hanya meminta kepada Allah yang Maha Penyayang untuk memberikan yang terbaik bagi masalahnya tersebut.

Permohonan yang tulus ini kemudian – menurut Quraish Shihab – disambut oleh Allah swt, “Kami mendengar permohonannya, maka Kami pun tidak mengecewakannya. Kami memperkenankan untuknya apa yang ia harapkan, kemudian kami lenyapkan apa yang ada padanya dari kesulitan.” Allah swt lalu memerintahkan, “Hentakkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.” (QS. Shad [38] 42).

Melalui kisah nabi Ayyub ayat di atas, setidaknya kita dapat belajar bahwa setiap cobaan dan ujian hidup adalah sebuah keniscayaan yang harus dihadapi. Ujian tersebut pada hakikatnya ditujukan untuk menguji kesabaran dan keimanan kita. Meskipun demikian, bukan berarti kita harus berpangku tangan dan diam atas keadaan yang terjadi. Kita sebaiknya berusaha, berdoa dan bertawakal kepada Allah swt secara proporsional.

Surat al-Anbiya’ [21] ayat 83 juga dapat kita jadikan sebagai doa untuk memohon kesembuhan penyakit kepada Allah swt sebagaimana doa nabi Ayyub as. Melalui doa ini kita mengadu kepada Allah swt dengan kondisi yang dihadapi dan berharap semoga Dia mencurahkan rahmat serta kasih sayang-Nya kepada kita. Sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Maha Mengetahui kebutuhan dan keinginan hamba-Nya.

Selain doa di atas, kita juga dapat menambah doa lain berdasarkan riwayat hadis Nabi Muhammad saw. Beliau pernah mengajarkan sahabat sebuah doa bagi siapa saja yang mengalami sakit agar Allah swt segera mengangkat penyakitnya dan memberikan kesembuhan. Doa ini dapat ditemukan dalam Sahih al-Bukhari nomor 5309. Berikut doa yang dipanjatkan Rasulullah:

اللّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذهِبِ البَأسَ اشفِ أَنتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاوءُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا.

Allahumma Rabban nasi, adzhibil ba’sa isyfi anta asy-syafi la syifa’a illa syifauka syifaan la yughadiru saqman.”

Artinya: “Ya Allah Tuhannya manusia, hilangkanlah rasa sakit ini sembuhkan lah, Engkau Dzat Yang Maha Penyembuhan, tak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, yaitu kesembuhan yang tak meninggalkan rasa sakit.”

Baca Juga: Kisah Nabi Musa dan Doa-Doa yang Dipanjatkannya dalam Surat al-Qashash

Terakhir – sebagai catatan bagi pembaca – seyogyanya kita menjaga kesehatan sebelum sakit. Adapun jika seseorang mengalami sakit, maka sebaiknya ia bersabar, berdoa, dan berusaha menyebuhkannya, tidak berputus asa serta berpangku tangan. Kita – sebagai seorang muslim – juga harus meyakini bahwa segala penyakit datang dan sembuh atas izin Allah swt. Wallahu a’lam.

Kemuliaan Manusia dalam Al-Quran dan Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia

0
Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur'an
Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur'an

Hak asasi manusia yang telah melekat pada diri manusia sejak lahir merupakan diskursus yang penting untuk dibicarakan. Baik yang mempertahankannya, mempertanyakan ulang, ataupun bagi yang ingin meratifikasi substansinya, agar bisa diaktualisasikan dalam kehidupan.

Diakui atau tidak, masalah ini bukan hanya karena kelatahan terhadap prinsip dan konsep HAM sekuler—yang notebene diadopsi hampir mayoritas negara Barat—tetapi juga karena adanya sikap skeptis dan “gagal paham” sebagian kalangan atas eksistensi ajaran HAM yang termaktub dalam Alquran

Andai berkenan menengok kembali pada Alquran—terutama konstitusi Madinah dalam konteks hak asasi manusia yang bisa dibincangkan—tidak sedikit ayat-ayat Alquran yang tanpa melalui sebuah interpretasi saja sudah sangat memihak pada HAM, baik berbentuk individual maupun komunal. Beberapa hak-hak asasi tersebut antara lain adalah: 1.Hak memilih agama 2.Hak hidup 3.Hak kebutuhan hidup/hak ekonomi 4.Hak kemerdekaan/kebebasan 5.Kebebasan berpendapat dan berekpresi 6.Hak keadilan 7.Hak tempat tinggal. Kesemuanya akan dijelaskan secara bertahap dalam artikel ini. Namun sebelumnya perlu kiranya untuk menampilkan definisi dari Hak asasi manusia itu sendiri dan relevansinya dalam Islam.

Baca juga: Abu Bakar RA dan Penafsiran Sufistik Terhadap Surah Ar-Rum Ayat 41

HAM diistilahkan dengan al-Huquq al-Insaniyyah menurut Manfred Nowak pada Introduction to the International Human Rights Regime. Ditinjau dari aspek kosakata Arab, kata al-Huquq diambil dari bentuk mufrad haqq yang memiliki arti milik, ketetapan atau kepastian.

Di dalam al-Qur’an, term al-haqq dengan berbagai bentuknya dimuat sebanyak 287 kali, yakni oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqi, pada karyanya al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim. Kemudian yang paling banyak adalah term al-haqq dengan makna kebenaran yakni kisaran 227 kali. Selanjutnya Aisyah pada karyanya Hak Asasi Manusia dalam Al-Qur’an, kata al-haqq memiliki konotasi kepemilikan atau kewajiban yang umumnya diungkapkan dalam bentuk isim tafdhil.

Jika melacak term al-haqq dalam al-Qur’an maka akan ditemukan beberapa makna yang digunakan antara lain adalah makna menetapkan sesuatu dan membenarkannya seperti tang termaktub pada QS. Yasin (36): 7, “Sesungguhnya telah pasti Berlaku Perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, kerena mereka tidak beriman”.  Ada yang berarti menetapkan dan menjelaskan seperti dalam QS. al-Anfal: (8): 8 “Agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya”.

Baca juga: Kematian dalam Al-Quran dan Penggunaannya Menurut Hamza Yusuf

Ketika menelusuri term al-haqq dalam Alquran, sulit kiranya mengatakan dan menyimpulkan bahwa itulah yang dimaksud dengan HAM. Sebab, kebanyakan dari term al-haqq itu sendiri memiliki arti kebenaran petunjuk. Minyikapi masalah ini, Abdul Muin Salim, seorang pemikir Muslim yang aktif menyoroti masalah HAM menawarkan metode identifikasi partikel untuk melacak keberadaan ayat-ayat Alquran yang berbicara soal HAM.

Satu metode ini cukup unik dan memudahkan untuk menangkap pesan-pesan tertentu dalam Alquran. Karena itu, pengidentifikasian ayat-ayat HAM melalui partikel kata atau lafal yang menunjukkan kepemilikan atau martabat manusia salah satu cara untuk menemukan konsep HAM dalam Alquran. Salah satu ayat yang dapat menunjukkan makna HAM adalah ayat-ayat Alquran yang menjelaskan tentang kemuliaan manusia seperti QS. al-Isra’ (17):70:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.

Pada ayat ini, Allah SWT hendak menjelaskan tentang 4 hal yang diberikan kepada manusia, yakni kemuliaan anak cucu Adam, kendaraan darat dan laut, rezki yang baik dan kelebihan-kelebihan di atas makhluk lain. Sebagaimana ungkapan Ibnu Asyur, bahwa ayat di atas mengandung lima anugerah yang diberikan kepada manusia, yaitu kemuliaan dari Allah swt, pemakaian transportasi darat, pemakian transportasi laut, penghasilan atau rezki dari hasil yang baik dan keunggulan dari makhluk yang lain.

Baca juga: 5 Ayat yang Berbahaya bila Difahami Tanpa Tahu Sabab Nuzulnya

Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, bahwa sosok manusia dalam perspektif Islam, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial, mempunyai hak asasi pokok, semata-mata diistimewakan memang karena dirinya sebagai hamba Allah SWT. Hak-hak ini pada jenjang selanjutnya—jika diterapkan secara maksimal—akan menciptakan tatanan kehidupan sosial yang apik dan sejahteta. Beberapa hak-hak asasi tersebut antara lain adalah:

Hak Memilih Agama (Keyakinan)

Perlindungan terhadap agama dan keyakinan yang dianut oleh masing-masing individu mendapatkan posisi dan perhatian yang sangat tinggi dari ajaran Islam. Secara universal, Islam memberikan kepada setiap individu untuk memilih dan memilah agama yang akan dianutnya.

Walaupun, Islam memang menawarkan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk dipahami, dikaji, dan dianalisa. Sehingga pemahaman dan kesadaran dari masing-masing individulah yang sangat diutamakan dengan melihat konsep untuk memeluk agama Islam dengan penuh ketulusan, dan nilai-nilai positif yang akan didapatkan. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah SWT pada QS. al-Baqarah (2): 256, yaitu:

آ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Ayat tersebut merupakan larangan pemaksaan dalam memeluk suatu agama, terutama Islam. Kebebasan beragama merupakan kehormatan bagi manusia dari Allah, karena Allah mengakui hak manusia untuk memilih sendiri jalan hidupnya (Departemen Agama RI, Tafsir al-Qur‟an Tematik: Hubungan antar-Umat Beragama,2008).

Nurcholish Madjid pada karyanya Pintu-Pintu Menuju Tuhan menuliskan bahwa tentu tidak perlu lagi ditegaskan bahwa semua resiko pilihan itu adalah tanggung jawab sepenuhnya manusia sendiri. Adapun tidak dibolehkannya memaksa suatu agama karena manusia mampu dan harus diberi kebebasan untuk membedakan serta memilih sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Dengan kata lain, manusia telah diberi petunjuk untuk menentukan sendiri jalan hidupnya yang benar, dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya.

Baca juga: Annabel Gallop, Pakar Mushaf Kuno Nusantara dari Inggris

Masih banyak lagi ayat Alquran yang kandungannya menunjukkan adanya kebebasan beragama seperti Dalam QS. al-Kahfi (18):29 tentang Kebebasan beragama dalam Islam dan jaminan Allah atas konsekuensi pilihannya.

Begitu juga dalam QS. Yunus (10): 99, Ayat ini pun bermakna tidak ada paksaan dalam agama Islam karena manusia sudah memiliki akal dan pikiran untuk memilih yang mana yang benar. Serta bermakna satu-satunya agama yang benar ialah Islam. Manusia memiliki fitrah dan akal.

Allah memberikan kebebasan karena Allah ingin menguji manusia apakah hambaNya ini dapat mendengarkan kata hatinya yang paling dalam atau mengikuti pengaruh ruang dan waktu yang ada di sekitarnya. Kalau seseorang mendapatkan ilmu atau keterangan yang sesuai dengan batinnya, bebas dari paksaan atau tekanan yang ada di lingkungannya, ia akan mengikuti hal tersebut, dikutip pada tulisan al-Suyuthi, al-Jami’ al-Saghir.

Ayat ini diperjelas lagi dengan Tafsir Ibnu Katsir yang mana Allah adalah yang Maha Adil dalam segala sesuatu, dalam memberi petunjuk kepada siapa yang berhak ditunjuki dan menyesatkan siapa yang patut disesatkan. Dengan kata lain, andai saja Allah SWT berkehendak agar semua makhluknya beriman kepadaNya, hal itu pasti bisa saja dilakukan dengan mudah oleh Allah. Ia telah menghendaki seluruh alam semesta beserta isinya secara seimbang, ada yang hak dan bathil, baik dan buruk, dan lain sebagainya.

Beberapa hak hak manusia lainya dalam perspektif Alquran akan disampaikan di sesi berikutnya.

Tafsir Tarbawi: Jangan Bandingkan Kemampuan Murid!

0
Larangan membandingkan kemampuan murid
Larangan membandingkan kemampuan murid

Tidak ada satupun orang di dunia mau untuk dibanding-bandingkan, termasuk membandingkan kemampuan murid. Bahkan, Allah swt sekalipun sangat mengutuk dan melabeli syirik akbar bagi hamba-Nya yang menyekutukan-Nya. Membandingkan pun termasuk dalam kategori ini. Karenanya, Allah swt mengingatkan persoalan ini dalam firman-Nya Q.S. An-Nur [24]: 41 di bawah ini,

اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يُسَبِّحُ لَهٗ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالطَّيْرُ صٰۤفّٰتٍۗ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهٗ وَتَسْبِيْحَهٗۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌۢ بِمَا يَفْعَلُوْنَ

“Tidakkah engkau (Muhammad) tahu bahwa kepada Allah-lah bertasbih apa yang di langit dan di bumi, dan juga burung yang mengembangkan sayapnya. Masing-masing sungguh, telah mengetahui (cara) berdoa dan bertasbih. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan” (Q.S. An-Nur [24]: 41)

Tafsir surat An-Nur ayat 41

Al-Tabari dalam Jami’ul Bayan, menafsirkan ayat di atas dengan Allah swt berfirman kepada Nabi Muhammad saw. Tidakkah Engkau Muhammad melihat dengan mata hatimu bahwa sesungguhnya Aku telah mengetahui cara makhluk-Ku memuji nama-Ku. Sedangkan wa thairu shaffat bermakna yushalli (mereka berdoa) dan tasbih (memuji), yaitu semua yang ada di langit dan bumi baik raja, manusia maupun jin semuanya berdoa dan memuji namanya.

Adapun redaksi kullun qad ‘alima shalatahu wa tasbihah bermakna klasifikasi ibadah masing-masing makhluk. Jika manusia maka dengan shalat atau berdoa, sedangkan makhluk selain manusia seperti malaikat, hewan, jin, tumbuhan, air, dan sebagainya dengan bertasbih.

Penafsiran al-Tabary kemudian diperkuat dengan qaul sahabat, yaitu diceritakan dari Muhammad bin ‘Amr berkata Abu ‘Ashim, ‘Isa dan al-Harits, al-Hasan, Waraqa’ dan semuanya dari Ibn Abi Najih, dari Mujahid berkata, bahwa shalat hanya untuk manusia, sedangkan selain manusia dengan bertasbih kepada-Nya.

Baca juga: Meramahkan Metode Hikmah Kepada Peserta Didik

Tidak jauh berbeda, Ibnu Katsir menafsirkan redaksi wa thairu shaffat dengan tatkala burung-burung itu mengepakkan sayapnya, itulah caranya bertasbih kepada Allah swt, sebagaimana yang telah diilhamkan kepadanya serta dibimbing oleh Allah swt kepadanya, dan hanya Allah swt sajalah yang mengetahui apa yang sedang dilakukannya.

Sedangkan kullun qad ‘alima shalatahu wa tasbihah, artinya masing-masing makhluk telah mendapat bimbingan dari Allah swt tentang bagaimana caranya berdzikir, beribadah kepada Allah swt. Selama makhluk itu berpegang teguh kepada Allah swt dan beribadah kepada-Nya, maka ia tidak akan sesat. Selain itu, ayat ini menyiratkan bentuk ta’dzim (pengagungan) kepada Allah swt atas yang dilakukan oleh bumi dan langit seisinya.

Di lain itu, al-Baghawy misalnya, menafsirkan redaksi alam tara-anna… wa thairu shaffat bahwa rentangan sayap burung-burung itu adalah bagian dari salah satu bentuk memuji nama Allah swt. Sedangkan lafadz kullun qad ‘alima, bermakna كل مصل ومسبح علم الله  صلاته وتسبيحه  (setiap ciptaannya telah mengetahui bagaimana cara berdoa dan memuji nama Allah swt).

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Inilah Tujuan Pendidikan Islam

Lebih jauh, Muhammad Jamaluddin al-Qasimy dalam Mahasin at-Ta’wil mengartikan lafal alam tara annallaha dengan bentuk penyucian dan pengagungan kepada Allah swt bahwa Ia telah menetapkan tiap-tiap makhluk-Nya untuk beribadah sesuai cara mereka masing-masing, seperti burung yang mengembangkan sayapnya juga bagian dari bentuk ibadah kepada-Nya. Berkatalah al-Zamakhsyari,

ولا يبعد أن يلهم الله الطير دعاءه وتسبيحه، كما ألهمها سائر العلوم الدقيقة التي لا يكاد العقلاء يهتدون إليها

“Dan tidaklah terlalu berlebihan bagi Allah swt untuk mengilhamkan burung itu untuk berdoa dan memujinya, sama seperti Allah swt menganugerahkan semua ilmu kepada burung itu yang di mana sulit ditemukan rasionalisasinya”

Artinya, perkataan al-Zamakshyari menegaskan bahwa Allah swt telah menetapkan masing-masing ciptaan-Nya untuk berdzikir, beribadah, dan bertasbih sesuai cara yang dikehendaki-Nya.

Jangan bandingkan kemampuan murid!

Ayat di atas memberi satu pesan kepada kita, hendaknya tidak membandingkan kemampuan murid atau siapapun dengan yang lain. Setiap manusia mempunyai keunikannya sendiri. Tidak mungkin kita membandingkan kemampuan terbang burung dengan burung yang lain, atau kemampuan berlari macan dengan singa. Begitupun, sangat tidak etis apabila membandingkan kemampuan matematika murid misalnya, dengan keahlian keagamaan murid yang lain.

Sungguh, Allah swt telah menetapkan masing-masing makhluk untuk berdoa dan bertasbih kepada-Nya. Karena itu, kewajiban seorang pendidik hanyalah mengembangkan dan mengoptimalkan kemampuan murid sesuai fitrahnya. Bukan malah membanding-bandingkan. Adanya pendidikan tidak untuk membanding-membandingkan, saling mengalahkan, saling pandai-pandaian, saling benar-benaran, melainkan pendidikan ada untuk mengembangkan potensi manusia menuju taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah).

Sebagai penutup, kami mengutip dawuh Gus Mus, kiranya dapat menjadi refleksi kita bersama,

“Tidak ada amal shalih yang lebih baik bagi orang tua melebihi mengasihi dan mengasuh anak-anaknya dengan keteladanan. Tidak ada amal yang lebih baik bagi pelajar/ santri melebihi belajar dengan rajin dan sungguh-sungguh. Tidak ada amal yang lebih baik bagi pengajar melebihi mengajar dengan tulus dan ikhlas”

Baca juga: Hari Guru Sedunia: Inilah 3 Artikel Serial Tafsir Tarbawi Tentang Guru dan Pendidik

Tidak ada amal yang lebih baik bagi pendidik melebihi mendidik dengan penuh kasih sayang. Tidak ada amal yang lebih baik bagi pekerja melebihi bekerja dengan kesungguhan dan tanggungjawab. Tidak ada amal yang lebih baik bagi petani melebihi bertani dengan giat dan tekun.

Tidak ada amal yang lebih baik bagi pejabat melebihi melaksanakan amanat dengan amanah. Tidak ada amal yang lebih baik bagi pemimpin melebihi memimpin dengan cinta dan kepedulian. Tidak ada amal yang lebih baik bagi hamba Allah melebihi menghamba (beribadah) semata-mata kepada-Nya.”

Wallahu a’lam.

5 Ayat yang Berbahaya bila Difahami Tanpa Tahu Sabab Nuzulnya

0
Sabab nuzul Al-Quran
Sabab nuzul Al-Quran

Sikap keras kepala sebagian muslim yang nekat belajar Islam hanya lewat Al-Quran saja, perlu dikikis dengan menunjukkan bukti-bukti bahaya mempelajari Al-Quran tanpa menggunakan referensi lain. Salah satunya adalah referensi riwayat hadis yang menjelaskan sabab nuzul atau sebab turunnya suatu ayat. Berikut ini adalah 5 ayat yang berbahaya bila difahami tanpa tahu sabab nuzulnya. Penjelasan 5 ayat ini berdasarkan pendapat Imam As-Suyuthi di dalam kitab Al-Itqan (Al-Itqan/1/31):

  1. Permasalahan orang yang senang dipuji atas hal yang tidak ia lakukan

Allah berfirman:

لا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa. Dan bagi mereka siksa yang pedih (QS: Ali-Imran [3] 188).

Saat mengetahui ayat di atas, seorang pemimpin bernama Marwan ibn Hakam sempat memiliki kesimpulan hendak menghukum setiap orang yang gembira dengan apa yang mereka lakukan, dan senang dipuji dengan apa yang tidak mereka perbuat. Namun kemudian Ibn ‘Abbas meluruskan pemahamannya, bahwa ayat itu turun berkenaan ahli kitab yang menyembuyikan kabar diutusnya Nabi Muhammad di kitab mereka. Bisa dibayangkan bila Ibn Abbas tidak memberitahukan sebab turunnya ayat di atas, mungkin akan banyak muslim disiksa tanpa ada kesalahan yang mereka lakukan.

Baca juga: Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!

  1. Permasalahan keharaman meminum khamar

Allah berfirman:

لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا

Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang soleh dalam memakan makanan yang dahulu telah mereka makan, apabila mereka bertakwa serta beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh. Kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan (QS: Al-Maidah [5] 93).

Sekilas ayat di atas seakan menyatakan bahwa makanan yang haram dikonsumsi akan tidak menjadi haram, bila orang yang mengkonsumsinya adalah orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh. Oleh Karena itu, tabi’in bernama ‘Utsman ibn Madh’un dan ‘Amr ibn Ma’di Yakrib pernah menyatakan khamr boleh dikosumsi berdasar ayat di atas.

Baca juga: Sabab Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 62 dan Ragam Makna Umat Beragama

Padahal ayat di atas turun berkenaan orang-orang yang berjihad dan mati syahid, sementara mereka pernah meminum khamr sebelum turunnya ayat yang menyatakan keharaman khamr. Tanpa memahami sebab turunnya ayat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan yang salah mengenai hukum minum khamr.

  1. Permasalahan iddah perempuan menopause

Allah berfirman:

وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan (QS: Ath-Thalaq [65] 4).

Para ulama sempat kebingungan dengan arti kata “jika kamu ragu-ragu”. Bahkan sampai ada yang menyimpulkan bila perempuan menopause tidak memiliki iddah apabila mereka tidak ragu-ragu atas status mereka. Padahal ayat di atas turun berkenaan surat Al-Baqarah yang menerangkan masa iddah dan tidak menyinggung perempuan yang belum haidl dan sudah menopause, sehingga membuat pembacanya ragu-ragu dalam menentukan hukum.

Sehingga sebenarnya maksud dari kata “jika kamu ragu-ragu” adalah, jika orang yang hendak menentukan hukum iddah merasa ragu-ragu dalam menentukan hukum iddah. Bukannya jika si pelaku iddah merasa ragu-ragu atas status dirinya. Memahami ayat di atas tanpa mengetahui sebab turunnya akan membuat kita kebingungan akan maknanya.

Baca juga: Ketahui 4 Hal Ini saat Belajar Islam dari Al-Quran Terjemah!

  1. Permasalahan keharusan salat menghadap Kiblat

Allah berfirman:

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ

Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat. Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah (QS: Al-Baqarah [2] 115).

Orang yang membaca ayat di atas dan tidak mengerti sebab turunnya bisa saja menyatakan bahwa menghadap kiblat pada waktu salat wajib lima waktu tidaklah wajib. Ayat di atas memang turun berkenaan tentang kiblat salat. Namun salat yang dimaksud adalah salat Sunnah saat diperjalanan.

  1. Permasalahan kewajiban ibadah Sa’i

Allah berfirman:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا

Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya (QS: Al-Baqarah [2] 158).

Beberapa sahabat mengambil kesimpulan bahwa ibadah sa’i tidaklah wajib. Hal ini dikarenakan sebagaimana di dalam ayat di atas, Allah menyatakan bahwa “orang yang mengerjakan sa’i tidaklah berdosa”. Hal itu menyiratkan bahwa sa’i bukanlah sesuatu hal yang dianggap penting. Padahal berdasar riwayat ‘Aisyah, ayat di atas turun berkenaan beberapa sahabat yang merasa kurang enak hati dalam melakukan sa’i, sebab ibadah itu juga dilakukan kaum jahiliyah sebelum datangnya Islam. Sehingga ayat di atas dalam rangka memberi tanggapan, bukan menyatakan suatu hukum tanpa adanya rentetan sebelumnya.

Baca juga: Sababun Nuzul Mikro dan Makro: Pengertian dan Aplikasinya

5 ayat di atas menunjukkan bagaimana berbahayanya mengambil kesimpulan dari satu ayat, tanpa disertai mempelajari referensi lain. Diantaranya tentang sabab nuzul dari ayat tersebut. Bahaya yang ditimbulkan bahkan bisa berupa bertindak dzalim pada orang yang tidak bersalah, menghalalkan sesuatu yang haram, sampai melanggar suatu hukum yang sudah disepakati ulama sebagaimana dalam permasalahan menghadap kiblat saat salat. Wallahu a’lam.

Abu Bakar RA dan Penafsiran Sufistik Terhadap Surah Ar-Rum Ayat 41

0
Abu Bakar
Lisan dan Hati Menurut Abu Bakar

Abu Bakar memiliki penafsiran yang menarik terhadap Q.S. al-Rum: 41 dan terekam dalam kitab Nashaihul Ibad karya Imam Nawawi al-Bantani. Ayat yang biasanya dalam kitab-kitab tafsir mu’tabarah ditafsirkan secara teologis, namun oleh Abu Bakar cenderung dimaknai secara sufistik. Meskipun tidak diketahui latar belakang dibalik corak penafsirannya, namun isinya cukup bermakna untuk dijadikan bahan renungan di tengah carut-marutnya kehidupan sosial saat ini.

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Pada lafadz dzharal fasad fi barr wal bahr, ia menafsirkan bahwa kata al-barr dimaknai permukaan (surface) atau hal yang nampak, sedangkan al-bahr dimaknai sebagai sesuatu yang dalam dan luas sehingga sifatnya sama seperti lautan.

Baca Juga: Kisah Kesetiaan Abu Bakar As-Shiddiq dibalik Surah At-Taubah Ayat 40

Sesuatu yang nampak itu dimaknainya secara spesifik dengan al-lisan (mulut). Sedangkan yang dalam dan luas dimaknainya dengan laut. Ia pun menguraikan implikasi dari penafsirannya ini. Ia menuturkan bahwa nampaknya kerusakan lisan (dzhara al-fasad fil barr) dapat terlihat dari banyaknya hinaan dan cacian yang terucap dari mulut manusia.

Kerusakan atau ketidakbermoralan lisan manusia tentu akan memberi dampak balik kepada manusia itu sendiri (liyudziqahum ba’dal ladzi amilu). Hinaan dan cacian akan memberikan bekas luka pada psikis atau jiwa manusia yang disasar.

Lihat saja misalnya pada korban-korban bullying. Mereka yang setiap hari menjadi objek hinaan dan cacian, pada akhirnya mengalami sakit psikis berupa efek traumatis baik jangka pendek dan bahkan jangka panjang.

Bagi si pembully, mereka tentu akan mendapatkan balasan. Baik berupa hukuman pidana dan bukan tidak mungkin sanksi sosial juga akan mereka dapatkan. Maka tepat jika ada perumpamaan yang menyebut bahwa “tajam lidah daripada pedang”, karena mampu menusuk lebih dari satu orang dalam sekali tusukan.

Serta “mulutmu harimaumu”, sebab apapun yang terucap oleh mulut apabila tidak dikontrol dengan baik justru dapat menjadi malapetaka bagi diri si pengucap. Apalagi di zaman medsos saat ini. Sudah banyak terbukti bahwa orang-orang yang tidak dapat menjadi lisannya dalam bentuk status medsos, diproses secara hukum dan tak jarang mendapat pidana yang cukup lama.

Begitupun halnya dengan kerusakan hati. Sejatinya rusaknya lisan bisa menjadi salah satu tolak ukur rusaknya hati. Sebab hati yang sehat adalah hati yang bebas polusi seperti riya’, serakah, hasad dan polutan-polutan lainnya. Maka bisa dikatakan bahwa keduanya satu paket. Sama halnya dengan kondisi ekologis, di mana jika daratan sudah rusak ekosistemnya maka lautpun juga mengalami kondisi yang sama.

Dari penafsiran Abu Bakar yang menafsirkan al-bahr dengan hati sebab kesamaan antara kedalaman dan keluasannya. Maka ada poin penting yang didapatkan bahwa hati yang sehat seyogyanya memang memiliki sifat lautan yang luas dan dalam.

Artinya dengan begitu hati tidak mudah terkontaminasi oleh polutan-polutan yang dapat mengotorinya. Akibatnya hati akan tetap jernih, dan kejernihan itu juga akan mempengaruhi lisan dalam berucap.

Abu Bakar menegaskan untuk mendapatkan kondisi lisan dan hati yang ideal, maka lisan dan hati harus senantiasa digunakan untuk berdzikir (mengingat Allah). Lisan dan Hati juga harus dihindarkan dari hal-hal yang tidak perlu dan dapat menjadi sebab kerusakannya.

Itulah mengapa hati dan lisan berjumlah satu bukan berpasangan layaknya mata dan telinga. Sebab kebutuhan akan mendengar dan melihat lebih banyak daripada berbicara. Di mana bicara merupakan salah satu bentuk ekspresif manusia yang mewakili hati dan diungkapkan oleh lisan.

Baca Juga: Tafsir Abu Bakar atas Wafatnya Nabi Muhammad Saw.

Oleh karena itu, salah satu cara untuk menjaga hati selalu jernih serta lisan dari ucapan-ucapan yang tidak baik adalah dengan selalu berdzikir baik dalam hati maupun dengan lisan.

Menurut penulis, dengan riyadhah dzikir tersebut bukan saja lisan yang akan senantiasa mengucapkan hal-hal yang baik. Namun juga bentuk ekspresif lainnya seperti perbuatan anggota tubuh.

Mungkin metode ini juga bisa menjadi obat bagi kerusakan ekologi manusia saat ini. Kerusakan akibat hubbud dunya yang telah menguasai hati manusia sampai lupa bahwa setiap bentuk kerusakan pasti membawa dampak bagi manusia itu sendiri. Wallahu a’lam.

Kematian dalam Al-Quran dan Penggunaannya Menurut Hamza Yusuf

0
Kematian dalam Al-Quran
Kematian dalam Al-Quran

Kematian adalah muara akhir dari kehidupan seluruh makhluk yang bernyawa, yakni makhluk yang memiliki ruh dalam jasad (fisik). Ia merupakan peristiwa yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari. Kematian dalam Al-Quran disebut sebagai ajal, tawaffa atau istifa’. Istilah ini terdapat pada empat belas tempat dalam Al-Quran yang kesemuanya mengandung makna yang sama, yaitu kematian.

Kematian dalam perspektif Al-Quran merupakan putusnya keterikatan ruh dengan badan dalam bentuk yang telah diketahui, disertai pergantian keadaan, serta perpindahan dari satu alam ke alam yang lain (Mafatih al-Ghaib). Tidak ada yang mengetahui secara pasti bagaimana kematian terjadi. Namun yang jelas perpisahan antara ruh dan jasad ini adalah pintu gerbang untuk memasuki kehidupan yang baru (after life).

Para mufasir seperti Ibnu Katsir, Sayyid Quthb, Buya Hamka, dan Quraish Shihab sependapat bahwa kematian menurut Al-Quran adalah sesuatu yang pasti. Akan tetapi, tidak ada yang manusia yang dapat mengetahui kapan kematian akan terjadi. Allah swt – dalam Al-Quran – hanya menjelaskan tentang adanya sebab-sebab seseorang akan mengalami kematian, seperti terbunuh, sakit, kecelakaan dan sebagainya.

kata yang dipakai untuk menyebut kematian dalam Al-Quran yang paling lumrah adalah al-maut. Kata ini digunakan untuk menunjukkan kematian secara umum, baik untuk manusia, tumbuhan maupun bumi.  Al-Rāghib al-Iṣfahānī (w. 502/1108) menjelaskan perbedaan penggunaan istilah kematian dalam Al-Quran sebagai berikut (al-Mufradat fi Gharib al-Quran):

Jenis-jenis kematian sesuai dengan jenis kehidupan. Yang pertama berkaitan dengan kekuatan regenerasi yang ada pada tumbuhan, hewan, dan manusia dan disebut dalam Surat al-Rum [30] ayat 19, “..Dia (Allah) menghidupkan bumi setelah mati (kering).” Yang kedua adalah kondisi mati rasa dan dimaksudkan dalam permohonan Maria, “Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan” ( QS. Maryam [19]: 23).

Yang ketiga adalah hilangnya kemampuan kecerdasan, yakni kebodohan yang tercermin dalam surat al-An’am [6] ayat 122, “Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana?…

Tipe keempat adalah keadaan depresi dimana hidup menjadi tidak tertahankan. Kondisi ini bisa dikatakan sebagai keadaan antara hidup dan mati sebagaimana dimaksud dalam surat Ibrahim [14] ayat 17, “Diteguk-teguknya (air nanah itu) dan dia hampir tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi dia tidak juga mati; dan di hadapannya (masih ada) azab yang berat.”

Tipe kelima adalah kematian yang artinya tidur. Makna ini ditunjukkan dalam surat al-An’am [6] ayat 60, “Dan Dialah yang menidurkan kamu pada malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari…” dan surat az-Zumar [39] ayat 42, “Allah memegang nyawa (seseorang) pada saat kematiannya dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika dia tidur…”

Dari pemaparan al-Rāghib al-Iṣfahānī (w. 502/1108) di atas, Hamza Yusuf, co-pendiri Zaytuna College, kemudian membuat klasifikasi kematian dalam Al-Quran. Ini ia tuangkan dalam sebuah artikel yang berjudul, “Death, Dying, And The Afterlife In The Quran.” Pada artikel ini ia menjelaskan tentang kematian, sakaratul maut, dan kehidupan akhirat menurut pandangan Al-Quran secara tematik, yakni:

Jenis kematian pertama berkaitan dengan pertumbuhan dan kekuatan regenerasi setelah kematian (regeneration after death). Al-Quran menyampaikan gagasan tentang kehidupan sebagai pertumbuhan dan kematian sebagai pembusukan, penurunan, dan pengeringan. Banyak ayat menggunakan gambaran bumi yang mati dihidupkan kembali sebagai analogi untuk kebangkitan.

Dalam surat al-Ḥajj [22] ayat 5, terdapat dua analogi untuk kebangkitan. Yang pertama bersifat embriologis dan yang kedua adalah agricultural. Tahapan embrio manusia disorot dalam ayat 5 ini, mengingatkan kita bahwa manusia berasal dari debu dan diciptakan dari materi tak bernyawa. Fakta ini sendiri seharusnya menjadi bukti bahwa kebangkitan itu mungkin, mengingat Dia yang menciptakan kita sekali pasti bisa melakukannya lagi.

Analogi kedua yang Al-Quran berikan pada ayat 5 lebih mudah dipahami oleh orang-orang Arab gurun pada masa Nabi Muhammad saw, karena topografi gurun yang tandus dan minim kehidupan mengungkapkan kepada mereka regenerasi tiba-tiba setiap tahun. Melalui contoh tersebut Allah swt ingin menggambarkan bagaimana manusia dibangkitkan kembali pada Hari Kemudian.

Jenis kematian kedua adalah kematian perasaan atau empati hati manusia (satient death). Banyak ayat dalam Al-Quran yang mencaci-maki orang yang berhati keras, yang tidak menunjukkan belas kasihan, dan menyebut orang-orang kafir sebagai tidak sadar dan tidak berperasaan. Dalam beberapa ayat Al-Quran menyebutkan perlunya “pertumbuhan spiritual” melalui pemurnian (tazkiyah).

Allah berfirman, “Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams [91]: 9-10). Pertumbuhan spiritual ini mengikuti jalur dan stasiun yang dipetakan dalam Al-Quran. Dengan demikian, kematian menjadi metafora untuk kematian jiwa yang lebih rendah dan kemungkinan pemulihannya untuk hidup dan tumbuh dalam keadaan yang lebih sempurna.

Jenis ketiga adalah kematian kecerdasan (intellectual death) yang dipahami sebagai kebodohan. Al-Quran mengkategorikan beberapa orang sebagai tuli, bisu, buta, dan dengan hati yang keras (hati adalah pusat kecerdasan) atau dengan kata lain, tidak peka secara intelektual. Dalam ayat-ayat lain, keadaan ini disamakan dengan jenis kematian (lihat surat al-An’am [6] ayat 122).

Banyak hadis merujuk pada kematian spiritual hati yang mencegahnya berfungsi sebagai pusat kecerdasan, sehingga membutuhkan terapi spiritual agar dapat dihidupkan kembali. Namun, kematian spiritual pada kondisi tertentu juga merupakan langkah awal untuk mendapatkan kehidupan spiritual baru. Nabi sebenarnya menganjurkan kepada para pengikutnya, “Matilah sebelum kamu mati.”

Jenis kematian keempat adalah bentuk keputusasaan dan kesengsaraan psikologis (despair and psychological death) di mana kehidupan dialami tanpa makna dan bahkan kesenangan. “Diteguk-teguknya (air nanah itu) dan dia hampir tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi dia tidak juga mati; dan di hadapannya (masih ada) azab yang berat.” (QS. al-An’am [6] 122).

Terakhir, jenis kematian kelima yang disebutkan oleh al-Rāghib al-Iṣfahānī adalah tidur (death as sleep). Al-Quran mengatakan dalam surat al-An’am [6] ayat 60, “Dan Dialah yang menidurkan kamu pada malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari…” dan surat az-Zumar [39] ayat 42, “Allah memegang nyawa (seseorang) pada saat kematiannya dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika dia tidur…”

Salah satu tanda yang menghubungkan tidur dan mati adalah dalam kedua kasus kita tidak berdaya untuk menjalankan keinginan kita. Tidur adalah “diktator kecil” yang menguasai kita seperti kematian. Di malam hari, tidur menaklukkan manusia dan membuat mereka tak bernyawa. Tidur dianggap sebagai kematian kecil, dan kematian, jika dibandingkan dengan realitas kehidupan duniawi, dapat dianggap sebagai tidur yang nyenyak. Wallahu a’lam.

Mushaf Al-Quran Pojok Menara Kudus sebagai Simbol Lokalitas

0
Mushaf Al-Quran Pojok Kudus
Mushaf Al-Quran Pojok Kudus

Era digital serba canggih seperti sekarang ini, banyak sekali mushaf Al-Quran yang terlahir dengan berbagai fitur yang sangat lengkap. Berbagai sajian dengan varian mulai kreativitas ragam sampul, tanda tajwid, atau berupa audio. Terlebih adanya Al-Quran digital memberikan warna baru dalam perindustrian Al-Quran. Tak kalah dengan berbagai kreativitas yang ada, beberapa kurun waktu yang lalu tepatnya tahun 1947 M lahirlah Mushaf Al-Quran Pojok Menara Kudus. Tentu hal ini menarik sekali untuk dikaji sebagai sebuah simbol lokalitas khususnya daerah di Kudus.

Sejarah penulisan Mushaf Pojok Menara Kudus

Masyarakat Kudus mempunyai ciri khas mushaf yang dikenal dengan Mushaf Pojok Menara Kudus. Kata Pojok merupakan bahasa Jawa yang berarti sudut. Mushaf pojok adalah mushaf yang setiap sudut/pojok lembarnya berupa akhir sebuah ayat tertentu dan dilanjutkan dengan ayat selanjutnya pada sudut atas lembar berikutnya.

Dari penelitian Ali Akbar bahwa Mushaf Al-Quran Pojok Menara Kudus adalah hasil kopi ulang dari Mushaf Bahriyyah terbitan Percetakan Usman Bik di Turki tahun 1370 H yang ditulis seorang kaligrafer Mustafa Nazif. Sebagaimana dikutip oleh gus Nashiih dalam bukunya. (Sejarah & Karakteristik Mushaf Pojok Menara Kudus (2019, hlm.100))

Mushaf ini sebuah mushaf Al-Quran yang dicetak dan diterbitkan oleh percetakan dan penerbit Menara Kudus Jawa Tengah dengan menggunakan sistem pojok (mengakhiri setiap sudut lembarnya dengan akhiran sebuah ayat dan berjumlah 15 baris pada setiap lembarnya, kecuali pada beberapa lembar).

Baca juga: Annabel Gallop, Pakar Mushaf Kuno Nusantara dari Inggris

Tercatat dalam buku gus Nashih (Sejarah & Karakteristik Mushaf Pojok Menara Kudus (2019, hlm.102)), pada mulanya naskah Mushaf Al-Quran Pojok Menara dicetak dengan satu ukuran dan menggunakan karakter tulisan dari Mustafa Nazif, seorang kaligrafer terkenal pada masa itu yang berkebangsaan Turki.

Namun, dalam perkembangannya kemudian dicetak dalam tiga bentuk ukuran, yaitu kecil, sedang dan besar. Sehingga sampai saat ini terus mengalami cetak ulang pada tiap tahunnya yang mencapai sekitar kurang lebih 40.000 eksempler.

Berdasarkan informasi yang didapatkan dari KH. M. Ulil Albab Arwani, pada awalnya Mushaf Al-Quran Pojok Menara Kudus adalah milik KH. M. Arwani Amin yang diperoleh ketika beliau melaksanakan ibadah haji. Mushaf tersebut yang merupakan terbitan dari Bahariyyah Turki ini, kemudian oleh KH. Arwani diberikan kepada H.Zjainuri untuk dicetak ulang dan disebarluaskan di tengah masyarakat.

Baca juga: Pengaruh Jawa dalam Tradisi Penyalinan Mushaf di Lombok

  1. Arwani pun berpesan agar tidak merubah apapun yang ada di dalam mushaf tersebut, jika ada yang kurang paham silahkan ditanyakan langsung. Adapun alasan, mengapa KH. M. Arwani Amin menyerahkan mushafnya untuk dicetak ulang.

Pertama, untuk membantu dan memudahkan para santri yang sedang mengahfal Al-Quran. Kedua, para santri yang sedang menghafal Al-Quran agar berkiblat dengan mushaf terbitan Bahriyyah Turki. Gagasan KH. M. Arwani tersebut kemudian mendapat respon dan dukungan dari masyarakat sekitar Kudus. Setelah itu mushaf dicetak oleh PT. Menara Kudus dan disebarluaskan di tengah masyarakat Kudus.

Namun hal ini sangat disayangkan, naskah asli yang diberikan KH. M. Arwani kepada pihak PT. Menara Kudus diduga ikut terbakar pada saat terjadi musibah kebakaran pada bagian reproduksi PT. Menara Kudus yang terjadi sekitar tahun 2000-an.

Meskipun naskah aslinya sudah tidak ada, akan tetapi K.H. M. Ulil Albab Arwani masih menyimpan mushaf K.H. M Arwani Amin terbitan al-Maktab al-‘Arabi Syria. Lanjut pemaparan dari K.H. M. Ulil Albab dalam memberikan informasinya. (Wawancara bersama KH. M. Ulil Albab Arwani pada 20 Maret 2020, 10.30 WIB.)

Baca juga: Digitalisasi Mushaf Nusantara dan Masa Depan Kajiannya

Percetakan PT. Menara Kudus yang didirikan Alm. Zjainuri Noor menorehkan sejarah dalam proses percetakan Mushaf Al-Quran Pojok menara. Sebab PT. Menara Kudus yang pada awal beroperasinya dengan hanya tujuh orang karyawan dapat berkembang dengan pesat.

Sampai sekarang ini, PT. Menara Kudus yang bergerak di bidang penerbitan pun masih eksis dengan berbagai cetakannya sampai tercatat sudah 57 varian mushaf yang dicetak oleh PT Menara Kudus.

Mushaf Pojok Menara Kudus pertama kali terbit pada tahun 1974 M, kemudian ditashih oleh beberapa ulama’, antara lain: Syekh Arwani Amin, KH. Hisyam Hidayat, dan K.H Sya’roni Ahmadi. Mushaf ini telah mendapatkan tanda tashih dari Lajnah Pentashih pada tanggal 23 Rabi’ul Akhir 1394 H / 6 Mei 1974 M dan ditanda tangani oleh Drs. Sujono selaku ketua dan Hamdani Ali selaku sekretaris.

Simbol lokalitas daerah Kudus

Mushaf Al-Quran Pojok Menara adalah salah satu mushaf yang lahir sebagai simbol lokalitas daerah Kudus. Bagi masayarakat Kudus, mushaf ini sangat familiar sehingga tidak asing ketika menyebut mushaf Pojok (sudut) terutama di kalangan para santri yang sedang mengahafal Al-Quran. Sebab mushaf tersebut dijadikan pegangan hampir semua pesantren tahfiz{ yang ada di Indonesia.

Salah satu yang menarik dari mushaf pojok adalah dicetak oleh sebuah percetakan yang selama ±25 tahun merupakan satu-satunya pencetak mushaf pojok dari dalam negeri. Perannya sebagai satu satunya penerbit Mushaf Pojok selama dua setengah dasawarsa telah menjadikan Mushaf Pojok sangat melekat di hati masyarakat Kudus, sehingga mereka menyebutnya sebagai Qur’an Kudus.

Adapun hal yang menarik dari Mushaf Al-Quran Pojok Menara Kudus yang memiliki ciri khas berbeda dengan mushaf lainnya, yaitu setiap juz mempunyai 20 halaman. Setiap halaman terdiri dari 15 baris. Setiap baris terdiri dari sekitar 8-10 kata.

Baca juga: Utsman Thaha: Penulis Mushaf Al-Qur’an yang Karyanya Dibaca Muslim Seantero Dunia

Berkaitan dengan seseorang yang menghafal Al-Quran, hal ini sangat membantu dalam menghafal Al-Quran berdasarkan hitungan halaman. Maka. jika satu hari bisa menghafalkan 1 halaman, berarti ia akan khatam Al-Quran selama 600 hari atau 2 tahun kurang.

Berawal dari pemilik PT. Menara Kudus (H.Zjainuri) yang ingin menerbitkan mushaf Al-Quran untuk didistribusikan. Ketika akan menerbitkan, H.Zjainuri berniat dan menyarankan agar yang dicetak adalah Mushaf Pojok Menara Kudus. Karena pada saat itu, di Indonesia belum banyak dijumpai dan masih langka mushaf yang menggunakan sistem pojok.

Sebagaimana yang dipaparkan oleh KH. M. Ulil Albab Arwani dalam wawancara bersama beliau melalui via Whatssapp putrinya pada 23 Juni 2020. Bahwasannya, Al-Quran yang telah dicetak ulang kemudian beredar di tengah-tengah masyarakat sehingga dikonsumsi oleh masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi santri yang sedang menghafal Al-Quran bukanlah suatu kebanggaan bagi kami.

Baca juga: Potret Iluminasi Mushaf Al-Quran Nusantara Dulu dan Kini

Akan tetapi ini adalah suatu keberkahan bagi siapa saja yang memakainya sehingga tidak ada kesulitan dalam membaca maupun menghafal Al-Quran. Meski Mushaf Al-Quran Pojok Menara sudah menjadi ikon di Kudus sebagai mushaf yang terlahir dari sebuah lokalitas, itu semua karena atas fadal Allah SWT.

Mushaf Al-Quran Pojok yang terlahir dari sebuah lokalitas ini, tentunya harus senantiasa dilestarikan dan disapa dengan disuarakan di setiap lembaran-lembarannya dan mempraktekkan nilai-nilai moral yang ada di dalamnya. Dengan demikian Al-Quran akan terus hidup di tengah-tengah umat manusia.

Sebab Al-Quran tanpa dipahami dan dipraktekkan pesan-pesan moralnya dalam bentuk tindakan, maka Al-Quran adalah ibarat ruh bagi jasad manusia, dengan ruh manusia bisa hidup dalam menjalani kehidupan dengan segala aktifitasnya. Sebaliknya, manusia tanpa ruh, maka ibarat benda mati yang tidak bisa apa-apa.

Wallahu’alam.

Mengenang Sang Maestro Akademik Dr. AlFatih Suryadilaga

0
Sang Maestro Akademik Dr. AlFatih Suryadilaga
Sang Maestro Akademik Dr. AlFatih Suryadilaga

Tepat pukul 23.37 WIB beberapa waktu lalu (Selasa, 02/02/2021), kami tersontak kaget membaca berita duka di salah satu grup WhatsApp, salah satu dosen prodi Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Muhammad Alfatih Suryadilaga, S.Ag., M.Ag. dikabarkan telah menghembuskan nafas terakhirnya, setelah beberapa waktu lalu memang beliau dikabarkan sakit dan dirawat inap selama beberapa hari hingga menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Hermina Yogyakarta.

Mengenal dan Mengenang Pribadi Pak Fatih

Pak Fatih atau Gus Muh, adalah seorang yang sangat aktif dalam organisasi. Dosen yang ahli dalam bidang hadis ini, hingga saat ini memegang jabatan penting di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yakni menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (2020-2024). Beliau juga menjabat sebagai Ketua Asosasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA), Ketua Yayasan Pondok Pesantren al-Amin serta Ketua Pengelola PBSB UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Baca juga: 7 Keluh Kesah Manusia yang Tertera dalam Al-Quran

Tidak hanya tersohor di lingkungan civitas academica Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga saja, hampir semua kalangan akademisi di pelbagai kampus manapun mengenal beliau. Sebab semasa hidupnya beliau dikenal sebagai pribadi yang humble, mudah berbaur, serta tidak pandang bulu ketika bergaul. Semua kalangan mengakui ihwal kepribadian beliau tersebut.

Bagi kami sebagai mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam serta alumni Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) Univeristas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta yang pernah menimba ilmu kepada beliau tentu merasa sangat kehilangan. “Beliau adalah bapak akademik kami, ada saat kami membutuhkan, menjadi tempat curhat dalam hal apa saja termasuk permasalahan percintaan, hingga masalah dompet menipis” ungkap Mushawwir mahasiswa alumni Ilmu Hadis angakatan 2016 yang merupakan asisten beliau ketika di kampus.

Dalam mengajar beliau memiliki ciri khas yang unik, ketika memulai pelajaran beliau selalu mengawalinya dengan guyonan-guyonan yang cukup mengocok perut, sehingga materi yang dirasa berat menjadi ringan karena dibumbui dengan guyonan tersebut.

Baca juga: Tafsir Surah Yasin ayat 58-59: Ucapan Salam Untuk Para Penghuni Surga

Disamping beliau adalah pribadi yang loyal ke semua kalangan, beliau juga paling dikenal dengan keproduktifannya dalam menulis hampir di semua website, jurnal internasional maupun nasional. Dikutip dari google scholar jumlah tulisan beliau mencapai ratusan yang dikutip sebanyak 822 kali oleh para penulis mulai tahun 2006 sampai sekarang.

Selain itu Pak Fatih juga menjadi reviewer, editor di beberapa jurnal seperti Musawa, Esensia dan masih banyak lagi. Bahkan menurut informasi dari Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Al Makin, Pak Fatih juga menjadi Ketua rumah jurnal UIN Sunan Kalijaga.

Semua sepakat mengatakan bahwa beliau adalah pribadi yang super sibuk, mulai menjadi Dosen, Ketua Yayasan, Dekan Fakultas, dan sebelumnya pernah menjadi Kepala Prodi Ilmu Hadis. Meskipun beliau tergolong orang yang super sibuk tetapi beliau selalu menyela-nyela kegiatan beliau dengan menulis. Bahkan sebelum wafat, tepatnya dua hari sebelumnya beliau sempat mengirim dua artikel di website Artikula.id. Masya Allah.

Memang diakui beliau sangat lihai dalam menulis, salah satu metode beliau yang pernah diceritakan ke pada mahasiswanya bahwa, kita menulis bisa menggunakan media apapun, kapanpun, dan di manapun. “Saya mas, ketika diundang kemana-mana biasanya kan naik kereta atau pesawat, itu kan lama biasanya sampai ke tujuan. Jadi, di sela-sela itu saya biasanya menulis artikel apa saja di whatsapp”, ungkap beliau dengan nada semangat untuk memotivasi para mahasiswa.

Mendengar ungkapan beliau tersebut, kami tertegun dan saat itu saya mencoba trik jitu dari beliau tersebut dengan menuangkan gagasan dan ide di whatsapp (meskipun nggak sekeren tulisan beliau). Tak hanya itu, terkadang beliau memberikan tips-tips menulis karya tulis ilmiah, artikel ataupun essai via japri di whatsapp.

Sisi Lain Pak Fatih Di Balik Layar

Banyak hal lain yang belum diketahui dari beliau, termasuk sisi religius beliau. Dikutip dari status kolega beliau Bapak Muntaha Artalim di facebook beliau menceritakan bahwa pak Fatih adalah seorang hafiz Al-Qur’an, beliau hanya satu tahun mengkhatamkan hafalannya di salah satu ma’had di Jombang, bahkan ada yang mengatakan beliau mengkhatamkannya dalam waktu 4 bulan.

Baca juga: Hukum Membuka Lembaran Al-Quran dengan Ludah, Berikut Penjelasan Para Ulama

Gus Muh kata beliau, memang lahir dari keluarga ahli Qur’an, ayah beliau adalah KH. Miftah terkenal sebagai ulama yang hafiz mutqin.  Dalam sebuah riwayat bahwa KH. Miftah, mampu menghafal Al-Qur’an dalam kurun waktu 3 bulan, dan kakek beliau KH. Amin mampu menghafal al-Qur’an hanya dalam waktu satu bulan. Tulis Muntaha Artalim dalam kanal facebook-nya.

Muntaha Artalim yang juga merupakan dosen di IIUM Kuala Lumpur, menggambarkan sosok Gus Muh/Pak Fatih, “berulang kali saya tinggal di rumahnya saat masih di Surabaya dan di Yogyakarta, Gus Muh adalah sosok yang ahli tahajjud, selalu dawamul wudhu’, dan yang paling menonjol dari beliau adalah tampilan yang apa adanya”. Tulis beliau.

Masih banyak sisi-sisi lain dari beliau yang sangat melekat dalam ingatan kami. Salah satunya motivasi yang beliau sampaikan ketika kami berada di penghujung semester, “luluslah cepat, lanjut S2 dan S3 jangan langsung is-tri” (dibumbui dengan tawa yang khas dari beliau).

Terimakasih dan selamat jalan Pak Fatih, jasa-jasamu akan selalu kami kenang dan ilmu-ilmu yang engkau ajarkan kelak akan menjadi nilai berharga bagi kami meskipun jasadmu telah tiada, kami yakin kau akan selalu abadi dengan karya-karyamu. Alllahummagfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu, khususon ila (Bapak Fatih) al-faatihah….

7 Keluh Kesah Manusia yang Tertera dalam Al-Quran

0
keluh kesah manusia
keluh kesah manusia

Dalam realita kehidupan, kita sering sekali mempertanyakan atau mengeluhkan apa yang diberikan oleh Allah kepada kita. Terkadang, kita sering menyatakan keluh kesah dengan apa yang menimpa kita, yang mana sebenarnya allah SWT telah menjelaskannya dengan gamblang di dalam firman-Nya. Oleh karena itu, marilah kita merenungi sebagian ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang realita kehidupan kita, supaya kita tidak selalu mengeluh dan dapat menjadi manusia yang lebih ikhlas dan syukur. Berikut ini 7 keluh kesah manusia yang terdapat dalam Al-Quran.

Baca juga: 3 Macam Sikap Sabar yang Digambarkan dalam Al-Quran

  1. Kenapa aku diuji?

Allah SWT menjelaskan dalam Al-Quran Surah : Al-‘Ankabuut ayat 2-3.

اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْٓا اَنْ يَّقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ

وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللّٰهُ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكٰذِبِيْنَ

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:”Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-Ankabut: 2-3)

Syaikh Abdul Qodir Jaelani –rahimahullah-  beliau berkata: “Wahai anak kecilku, sesungguhnya musibah itu datang bukan untuk membinasakanmu, namun musibah itu datang untuk menguji kesabaran dan imankalian. Wahai anak kecilku, cobaan itu diibaratkan seperti hewan buas, dan hewan buas itu tidak akan memangsa bangkai”.

Oleh karena itu, semakin tinggi agama kita, semakin kita butuh berdoa untuk keteguhan iman kita. Ingat saja orang baik bukan berarti jauh dari cobaan.

  1. Kenapa aku tidak mendapatkan apa yang aku idam-idamkan?

Allah SWT menjelaskan dalam Al-Quran Surah Al-Baaqarah ayat 216 :

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ

”Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu bencoi. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 216)

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir di jelaskan bahwa Ayat ini bersifat umum dalam segala hal. Bisa saja seseorang menyukai sesuatu, padahal sesuatu itu tidak mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan baginya. Di antaranya adalah penolakan ikut berperang yang akan berakibat jatuhnya negeri dan pemerintahan ke tangan musuh. Maksudnya, Allah Ta’ala lebih mengetahui akibat dari segala sesuatu. Dan Dia memberitahukan bahwa dalam peperangan itu terdapat kebaikan bagi kalian di dunia maupun di akhirat. Karena itu, sambut dan bersegeralah memenuhi perintah-Nya supaya kalian mendapat petunjuk.

  1. Kenapa ujian seberat ini?

Allah SWT menjelaskan dalam Al-Quran Surah Al-Baaqarah ayat 286:

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ

”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”…. (QS. Al-Baqarah: 286)

Di dalam kitab Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir karya  Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar beliau menjelaskan : “Agama Allah adalah mudah, tidak ada kesulitan di dalamnya. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta’aala tidak membebani sesuatu yang mereka tidak sanggup memikulnya. Pada asalnya perintah dan larangan tidaklah memberatkan seseorang, bahkan hal itu merupakan makanan bagi ruh dan obat bagi badan serta menjaganya dari bahaya. Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan hamba-hamba-Nya sebagai rahmat dan ihsan-Nya. oleh karena itu, apabila ada udzur yang mengakibatkan berat melaksanakan perintah itu, maka ada keringanan dan kemudahan, baik dengan digugurkan kewajiban itu atau digugurkan sebagiannya sebagaimana pada keringanan-keringanan bagi musafir dan orang yang sakit. Oleh karena itu, seseorang tidaklah dihukum karena dosa orang lain dan tidak dihukum karena was-was yang menimpa hatinya selama tidak diucapkan atau dikerjakan”.

Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 18-19: Menjadi Sial Akibat Berperilaku Buruk

  1. Rasa frustasi

Allah SWT menjelaskan dalam Al-Quran Surah Al-‘Imraan ayat 139 :

وَلَا تَهِنُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَنْتُمُ الْاَعْلَوْنَ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ

”Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. Al-‘Imran:139)

Dalam Tafsir Al-Wajiz,  Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili beliau adalah pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah, beliau menjelaskan: “Dan janganlah kamu lemah dan janganlah kamu berduka-cita, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi jika kamu (memang) orang-orang yang beriman”.

  1. Bagaimana aku harus menghadapinya?

Allah SWT menjelaskan dalam Al-Quran Surah Al-‘Imran ayat 200:

ٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اصْبِرُوْا وَصَابِرُوْا وَرَابِطُوْاۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ࣖ

”Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung”.( QS Al-‘Imran: 200)

Di dalam Tafsir Al-Muyassar dijelaskan “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengikuti rasul-Nya, bersabarlah kalian terhadap beban-beban syariat (agama) serta musibah-musibah dunia yang menimpa kalian. Dan kalahkanlah orang-orang kafir dalam hal kesabaran. Jangan sampai mereka lebih sabar dari kalian. Tegakkanlah jihad di jalan Allah. Dan takutlah kalian kepada Allah dengan cara menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, supaya kalian mendapatkan apa yang kalian harapkan. Yaitu selamat dari Neraka dan masuk ke dalam Surga”.

  1. Apa yang aku dapat dari semua ini?

Allah SWT menjelaskan dalam Al-Quran surah At-Taubah ayat 111 :

اِنَّ اللّٰهَ اشْتَرٰى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اَنْفُسَهُمْ وَاَمْوَالَهُمْ بِاَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَۗ

”Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka”. (QS. At-Taubah: 111)

Di dalam kitab Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir karya Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar beliau menjelaskan Hamba yang berakal tidak melihat pada dirinya sesuatu yang berharga kecuali hanya jannah yang akan menantinya. Sesungguhnya telah merugi orang yang menjual rumah mereka dari surga dengan sesuatu yang lebih murah dan hina, sedangkan orang-orang beriman menjual diri dan harta mereka yang merupakan titipan dari Allah dan mereka menjadikannya jaminan untuk surga; dan sesungguhnya mereka itu akan menggapai kemenangan yang besar.

Baca juga: Surah Al-Qalam Ayat 17-29: Kisah Pemilik Kebun dan Sebuah Penyesalan

  1. Aku tak dapat bertahan lagi

Allah SWT menjelaskan dalam Al-Quran surah Yusuf ayat 87 :

.وَلَا تَا۟يْـَٔسُوْا مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يَا۟يْـَٔسُ مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْكٰفِرُوْنَ

”dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (QS. Yusuf: 87).

Di dalam kitab Aisarut Tafasir karya Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di Masjid Nabawi beliau menjelaskan bahwa Yang demikian adalah karena sikap harap menghendaki seseorang untuk terus berusaha dan bersunguh-sungguh terhadap harapannya. Sedangkan sikap putus asa menghendaki seseorang berat untuk maju dan berlambat-lambatan, dan hal yang paling patut diharap seorang hamba adalah karunia Allah, ihsan-Nya, dan rahmat-Nya.

Mulai saat ini, mari kita terus berbenah untuk memepersembahkan yang terbaik dalam hidup ini, dengan torehan kemuliaan dan semangat pantang menyerah. Dimanapun, Kapanpun dan dengan siapapun. Selama Allah swt menjadi tujuan utama kita, Insya Allah kita akan menjadi hamba yang Dia cintai dan meraih kata bahagia sebagaimana doa yang sering terlantun “untuk kebahagiaan dunia dan akhirat”. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surah Yasin ayat 58-59: Ucapan Salam Untuk Para Penghuni Surga

0
Yasin Ayat 58-59
Yasin Ayat 58-59

Sebelumnya telah diterangkan bagaimana gambaran kenikmatan yang diperoleh penghuni surga. Adapun pembahasan kali ini tentang tafsir surah Yasin ayat 58-59 adalah kelanjutan peristiwa tesebut, yakni sambutan Allah untuk penguni surga sekaligus respon-Nya terhadap penghuni neraka. Berikut firman-Nya:

سَلٰمٌۗ قَوْلًا مِّنْ رَّبٍّ رَّحِيْمٍ

وَامْتَازُوا الْيَوْمَ اَيُّهَا الْمُجْرِمُوْنَ

  1. (Kepada mereka dikatakan), “Salam,” sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.
  2. Dan (dikatakan kepada orang-orang kafir), “Berpisahlah kamu (dari orang-orang mukmin) pada hari ini, wahai orang-orang yang berdosa!

Setelah para penghuni surga bersibuk ria menikmati fasilitas syurga yang beragam tanpa kekurangan, mereka juga mendapat tambahan nikmat utama berupa kata Salamun sebagai ucapan  dari Allah. Tuhan yang maha Agung lagi maha Penyayang.

Setidaknya ada dua versi pendapat terkait kata Salamun tersebut. Pertama, ucapan tersebut disampaikan lansung oleh Allah Swt dengan menampakkan wujud-Nya, sebagaimana yang diterangkan oleh Qurthubi dalam al-Jami’al-Ahkam al-Quran mengikuti pendapat Qusyairi dan Tsa’labi yang menukil hadis riwayat Jabir bin Abdullah, bahwasanya Nabi bersabda:

“Allah telah menggambarkan kepada kita bagaimana kenikmatan yang diperoleh penduduk syurga, wajah mereka yang berbinar-binar (karena bahagia), dan ketika mereka mengangkat kepala, seketika itu Allah hadir, dan berucap salam kepada mereka. Nabi kemudian membaca ayat 58 dari surat Yasin. Peristiwa tersebut adalah pertemuan antara Allah dengan penghuni syurga, dimana mereka dapat melihat Allah tanpa hijab. Dan saking besarnya nikmat tersebut, mereka terpaku dan tidak bisa berpaling, disaat yang sama mengalirlah cahaya Allah dan keberkahna-Nya kepada mereka.”

Baca Juga: Tafsir Fiqh (4): Al-Qurthubi dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an

Kedua, ucapan tersebut disampaikan oleh Allah akan tetapi tidak secara lansung, bisa melalui perantara malaikat, atau berupa suara Allah saja tanpa memperlihatkan wujud-Nya. Seperti yang pernah dialami oleh Nabi Musa ketika berada di Bukit Tursina.

Menurut Quraish kata Salam (سلام) terambil dari kata salima (سَلِمَ), dan memiliki dua model pemaknaan, yakni aktif dan pasif. Makna aktif misalnya ketika memperoleh sesuatu yang disenangi dan diidamkan, termasuk ucapan Salam pada ayat ini. Sedangkan makna pasif yakni Salam sebagai bentuk doa agar terselamatkan atau terhindar dari sesuatu yang tidak menyenangkan. Salam yang demikian mirip dengan apa yang sering diucapkan ketika didunia yakni Assalamu’alaikum.

Ini sekaligus menegaskan bahwa ucapan Salam ketika di dunia berbeda dengan di syurga, adapun ucapan Salam yang berbentuk doa seperti Assalamu’alaikum tidak diperlukan lagi di syurga karena mereka sudah berada dalam negeri yang damai nan kekal yakni Dar al-Salam.

Berbanding terbalik dengan kondisi orang kafir ketika itu, mereka justru diusir dan diacuhkan oleh Allah Swt. Menurut Ibnu ‘Asyur, kata imtazu (امتازوا)  terambil dari kata mazah (مَازَه) yakni memisahkan sesuatu yang bercampur dengannya.

Beberapa mufassir menggambarkan kondisi saat itu dimana orang kafir dan mukmin berada pada suatu tempat yang sama, namun kaum Mukminin diperintahkan masuk kedalam syurga sedangkan mereka yang Kafir dijerumuskan kedalam neraka.

Menurut ad-Dhahak para penghuni neraka pun dipisah kembali menjadi beberapa firqah (golongan), seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabi’un, dan penyembah berhala. Setiap golongan memiliki rumah khusus di neraka. Adapun orang muslim yang masih memikul dosa, menurut Daud bin Jarrah mereka juga mendapat tempat tersendiri di neraka.

Terkait kata imtaz, Ar-Razi berpandangan bahwa ada lima urutan imtaz yang dimaksud ayat 59 ini. Pertama, memisahkan dan membedakan antar masing-masing individu. Kedua, memisahkan kauf Kafir dengan kaum Mukmin. Ketiga, memisahkan mereka berdasarakn golongan. Keempat, memisahkan mereka berdasarakn generasi. Kelima, memisahkan mereka yang berdosa dan menarik diri dari kebaikan.

Baca Juga: Fakhruddin Ar-Razi: Sosok di Balik Lahirnya Tafsir Mafatih Al-Ghayb

Adapun perintah imtaz ini bersifat takwin, yakni perintah Allah atas kehendak-Nya yang mutlak untuk mewujudkan sesuatu. Perintah semacam ini, sekaligus menunjukkan begitu cepatnya proses pemisahan itu terjadi. Sebagaimana firmannya:

اِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ اِذَآ اَرَدْنٰهُ اَنْ نَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ

Sesungguhnya firman Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. (QS. al-Nahl [16]: 40)

Demikian kiranya penjelasan ringkas tafsir surat Yasin ayat 58-59. Tunggu series tafsir yasin selanjunya, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam