Beranda blog Halaman 408

Inilah Beberapa Perempuan yang Disinggung dalam Al-Quran

0
Perempuan yang disinggung dalam al-Quran
Perempuan yang disinggung dalam al-Quran

Terdapat beberapa perempuan yang disinggung dalam Al-Quran. Di antara para perempuan ini ada pengaruh dalam sejarah peradaban di antaranya Maryam dan Ratu Balqis. Artikel ini akan mengulas beberapa nama yang berkaitan erat dengan ayat-ayat al-Quran.

Asiyah Bint Muhazim dan Hawa

Satu dari sekian perempuan yang disinggung dalam Al-Quran adalah Asiyah Bint Muhazim, wanita ini tidak disebutkan namanya secara implisit oleh Al-Quran, hanya menggunakan ungkapan “istri fir’aun” (QS. Al-Qashash [28]: ayat 9, QS. Al-Tahrim [66] ayat 11). Asiyah adalah salah satu wanita yang dijanjikan surga oleh Allah Swt. sebagaimana dalam riwayat Aisyah Ra. Bahwa “Pemuka wanita ahli surga ada empat: Maryam binti Imran, Fatimah Binti Rasulullah, Khadijah Binti Khuwailid, dan Asiyah”.

Mengapa Asiyah menjadi perempuan yang disinggung dalam al-Quran dan dijamin masuk surga? Dalam sebuah keterangan dikatakan bahwa Asiyah adalah sosok perempuan yang sangat setia, terutama terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Musa As.  Meskipun ia menjadi istri fir’aun. Bahkan sampai ia wafat karena disiksa oleh Fir’aun yang memaksa Asiyah untuk mengakui Fir’aun sebagai Tuhan.

Perempuan yang disinggung dalam Al-Quran selain Asiyah adalah  Hawa (QS. Al-Nisa: [4] ayat 1).  Ia adalah sosok yang sangat setia menemani Nabi Adam. Saat mereka merasakan kebahagian ketika mereka berada di Surga, hingga merasakan penderitaan saat mereka diturunkan ke muka Bumi oleh Allah Swt.

Usai diusir dari surga Nabi Adam (QS. Al-A’raf: [7] 18) terpisah dengan Siti Hawa, terdapat perbedaan riwayat terkait daerah diturunkannya Adam dan Hawa. Dalam sebuah riwayat Ibnu Haitam dari Al-Saddi, ia berkata Adam turun di India, sedangkan Hawa di Jeddah. Dalam waktu yang lama mereka akhirnya dipertemukan kembali di Jabal Rahmah (bukit cinta) yang berada di padang Arafah. Akhirnya mereka berdua hidup bahagia dengan dikaruniai keturunan yang banyak.

Maryam Bint Imran

Maryam adalah keturunan Imran, salah satu keluarga terbaik yang pernah ada dalam sejarah kehidupan manusia. Kemulian Maryam digambarkan dalam Al-Qur’an Surah al-Tahrim ayat 12 dan Surah Ali-Imran ayat 42.

وَإِذْ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاكِ وَطَهَّرَكِ وَاصْطَفَاكِ عَلَى نِسَاءِ الْعَالَمِينَ

Dan (ingatlah) ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah telah memilihmu, menyucikanmu, dan melebihkanmu di atas segala perempuan di seluruh alam (pada masa itu).

Dalam tafsir Marah Labid dijelaskan bahwa ayat ini (QS. Ali Imran: [3] 42) menggambarkan kepribadian Maryam yang dikatakan oleh Malaikat Jibril, bahwa Ia adalah wanita yang taat dalam beribadah, memiliki sifat lemah-lembut, terbebas dari akhlak tercela (maksiat) serta gangguan para lelaki.

Oleh karena itu, namanya dicatat sebagai wanita yang mulia di sisi Allah Swt. bahkan dalam Shahih Bukhari dikatakan dari Ali Bin Abi Thalib bahwa Rasulullah bersada “sebai-baik wanita adalah Maryam dan Siti Khadijah”. Dari rahim Maryam-lah kemudian melahirkan Nabi Isa as.

Ratu Balqis    

Ratu Balqis atau Ratu Syeba merupakan sosok pemimpin wanita yang tangguh (QS. Al-Naml [27] ayat 23). Hal ini digambarkan dari kondisi kerajaan dan masyarakat yang di pimpinnya, mereka semua hidup makmur dan sejahtera. Keterangan ini dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir, bahwa negeri Saba Allah sebutkan dalam Al-Qur’an sebagai negeri yang “baldatun tayyibatun wa rabbun ghofur” yaitu negeri yang makmur dan mendapatkan ampunan dari Tuhan.

Maula Sari dalam artikelnya yang berjudul Tafsir QS. Al-Naml Ayat 23 memberikan catatan bahwa Ratu Balqis dan rakyatnya tidak menutup dirinya dengan kebenaran dakwah yang dibawa oleh Nabi Sulaiman. Menunjukkan bahwa ia merupakan sosok pemimpin yang mengantarkan rakyatnya menuju jalan kebenaran agar menyembah Allah Swt.

Istri Nabi Nuh dan Istri Nabi Luth

Dalam tafsir Al-Qurthubi dijelaskan bahwa Istri Nabi Nuh bernama walihah, sedangkan Istri Luth bernama wali’ah. (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li ahkamil Qur’an)

Istri Nabi Luth dan Nabi Nuh ini, melakukan pengkhianatan terhadap agama. Dikisahkan bahwa istri Nabi Luth menyerukan maksiat kepada para tamu Nabi Luth, sedangkan Istri Nabi Nuh menyebarkan propaganda kepada masyarakat bahwa suaminya gila. Dari sini kita bisa mengetahui bahwa mereka adalah dua orang yang munafik, di depan suaminya bersikap baik tetapi di belakang suaminya mereka menyebarkan fitnah, selain mengkhianati Nabi Luth dan Nabi Nuh, mereka juga mengkhianati Allah Swt.

Dari kisah para perempuan yang disinggung dalam Al-Quran, kita dapat mengambil ibrah (pelajaran) sebagaimana dijelaskan dalam QS. Yusuf ayat 111

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” Wallahu A’lam.

Tafsir Tarbawi: Pentingnya Pendidikan Ekologi bagi Peserta Didik

0
Pendidikan ekologi
Pendidikan ekologi

Dewasa ini, marak terjadi bencana alam di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Pada awal tahun 2021 saja, berbagai bencana alam menerpa Indonesia misalnya banjir, tanah longsor, dan sebagainya. Menurut data Word Widelife Fund (WWF) 2020, 75% kebakaran hutan dan bencana alam disebabkan langsung oleh manusia. Ini artinya, sudah waktunya manusia dibekali pendidikan ekologi.

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 41: Menyoal Manusia dan Krisis Ekologis

Allah swt menganugerahkan bumi dan alam semesta isinya kepada manusia tidak lain adalah untuk keperluan hidup manusia. Karenanya, menjaga dan merawatnya merupakan bagian daripada mensyukuri nikmat-Nya. Dalam konteks inilah, pendidikan ekologi sangat penting untuk dibumikan dalam sanubari peserta didik. Mereka harus dilatih dan dibiasakan sejak dini untuk peduli terhadap lingkungan alam sekitar sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. al-A’raf [7]: 56 berikut ini:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan. (Q.S. Al-A’raf [7]: 56)

Tafsir Surah Al-A’raf ayat 56

Dalam Jami’ul Bayan, at-Tabary menafsirkan ayat di atas bahwa kalian wahai manusia, apabila engkau tidak menaati Allah swt dan menyekutukan-Nya itu adalah bagian daripada kerusakan (al-fasad). Redaksi berikutnya ba’da islahiha, bermakna setelah bumi ini diciptakan dengan baik. Islah di sini bermakna bahwa Allah swt telah mengutus sejumlah rasul untuk mengajak manusia kepada kebenaran dan menyampaikan dakwahnya kepada mereka.

Adapun redaksi wad’uhu khaufan wa thama’an, al-Thabary menafsirkannya dengan ikhlashu lahu al-du’a wa al-‘amal wa la tusyriku fi amalikum syai-an (berdoa dan beramallah kalian dengan penuh keikhlasan dan jangan menyekutkan-Nya dengan sesuatu apapun).

Baca juga: Epidemiologi Al-Quran (1): Wabah dalam Kisah Raja Thalut dan Pasukanya

Lebih lanjut, al-Zamakhsyari dalam Al-Kasyaf menjelaskan kata qarib dengan sesungguhnya rahmat Allah berbentuk kasih sayang atau ampunan Allah swt. Jadi rahmat Allah swt teramat dekat kepada manusia yang berbuat kebaikan. Di samping itu, Ar-Razi dalam Tafsir al-Kabir merincikan makna wa la tufsidu sebagai berikut,

 ولا تفسدوا شيئاً في الأرض، فيدخل فيه المنع من إفساد النفوس بالقتل وبقطع الأعضاء، وإفساد الأموال بالغصب والسرقة ووجوه الحيل، وإفساد الأديان بالكفر والبدعة، وإفساد الأنساب بسبب الإقدام على الزنا واللواطة وسبب القذف، وإفساد العقول بسبب شرب المسكرات، وذلك لأن المصالح المعتبرة في الدنيا هي هذه الخمسة: النفوس والأموال والأنساب والأديان والعقول

Janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi. Termasuk bagian dari merusaknya ialah merusak jiwa dengan membunuh, dan merusak sendi-sendi bumi. Selain itu, merusak harta dengan mencuri, merampok dan tipudaya muslihat. Merusak agama dengan saling mengafirkan dan berbuat bid’ah. Merusak nasab dengan rutin berbuat zina, liwath serta qadzaf (menuduh zina padahal tidak). Merusak akal dengan minum-minuman yang memabukkan. Semua hal itu merupakan bagian daripada menjaga lima hal pokok, yaitu menjaga jiwa, harta, nasab, agama dan akal.

Masih tentang al-Razi, ia menafsirkan lafal ba’da islahiha, dengan Allah swt telah membuat bumi ini baik dengan mengutus nabi, menurunkan kitab dan menurunkan syariat sebagai pedoman hidup umat manusia. Maka, kalian wahai manusia jangan merusaknya.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Dasar Pendekatan Saintifik dalam Pendidikan Islam

Tidak jauh berbeda, Al-Syaukani misalnya, dalam Fathul Qadir ia lebih menafsirkan ayat di atas dengan penafsiran filosofis yakni jangan merusak bumi karena ia merupakan bagian dari perwujudan Tuhan. Merusak bumi atau bagian-bagiannya baik skala kecil maupun besar sama halnya merusak Allah swt.

Penafsiran yang lain datang dari Ibnu Athiyyah dalam al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz, ia mengecam seseorang yang berbuat kerusakan di muka bumi baik sedikit maupun banyak, disengaja atau tidak, sebab itu sama halnya merusak kehidupan seluruh umat manusia, bumi dan alam semesta isinya, serta membuat Allah swt murka. Al-Dhahhak berkata, “janganlah kalian mencemari air atau menyumbat sumber mata air, dan jangan pula menebang pohon termasuk buahnya kecuali dalam keadaan darurat, janganlah kalian lakukan hal tersebut hanya demi mendatangkan dinar dan dirham, sebab dapat membuat bumi rusak.”

Pentingnya pendidikan ekologi bagi peserta didik

Ayat di atas menyiratkan pentingnya pendidikan ekologi bagi peserta didik. Islam merupakan agama yang sangat menaruh perhatian besar dalam pelestarian alam lingkungan. Oleh karenanya, Islam mengatur bagaimana hubungan manusia dengan alam sekitar. Tanpa menjaga alam, mustahil manusia mampu hidup nyaman dan aman.

Istilah ekologi jika merujuk pada KBBI adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan kondisi lingkungan alam sekitar. Dalam bahasa Arab, istilah ekologi atau lingkungan hidup disebut bi’ah atau fiqhul bi’ah. Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya, Ri’ayah al-Bi’ah fi Syariah al-Islam menjelaskan bahwa Islam melalui fikihnya sangat menaruh perhatian besar terhadap lingkungan hidup.

Hal tersebut tercermin dari literatur fiqih klasik, misalnya pembahasan bersuci (thaharah), menghidupkan lingkungan hidup (ihya al-mawat), pemanfaatan lahan baik untuk perkebunan atau persawahan (al-musaqah, al-muzara’rah, dsb). Itu semua bukti bahwa Islam mengajarkan untuk menjaga lingkungan alam sekitar, agar alam pun bersahabat kepada kita.

Maka tak heran jika dalam filosofi Jawa mengatakan alam kuwi dulur tuomu, ojo dirusak, yen dirusak rasakne dewe (alam adalah saudara tua kita, jangan dirusak, kalau dirusak rasakan sendiri akibatnya). Jauh sebelum manusia ada, alam sudah ada. Kitalah yang harus menjaga alam, bukan sebaliknya menuntut alam menjaga kita.

Baca juga: Reformasi Lingkungan Perspektif Yusuf al-Qaradhawi: Membentuk Manusia Ber-mindset Eko-Teologis

Maka jangan heran dan menyalahkan alam, jika daerah yang seharusnya menjadi resapan air berubah jadi lahan perumahan, perindustrian, pertambangan, lalu kemudian terjadi banjir. Itu adalah kodrat air yang pada dasarnya mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah.

Berkaitan hal ini, dikenal tujuh gatra dalam literatur Jawa yaitu: (1) Hamemayu Hanyuning Tirto (air); (2) Hamemayu Hayuning Wono (hutan); (3) Hamemayu Hayuning Samodro (samudera); (4)  Hamemayu Hayuning Howo (udara); (5) Hamemayu Hayuning Bantolo (tanah); (6) Hamemayu Hayuning Budoyo (budaya); dan (7) Hamemayu Hayuning Manungso (manusia). Atau dalam bahasa Islam dikenal maqasidus syariah, yaitu menjaga jiwa (hifz an-nafs), agama (hifz ad-din), akal (hifz al-‘aql), nasab (hifz an-nasb) dan harta (hifz al-mal).

Oleh karenanya, bagi para pendidik dan para orang tua mari bersama-sama membudayakan pendidikan ekologi dalam setiap jengkal proses pembelajaran. Peserta didik harus sedini mungkin ditanamkan cinta dan peduli akan lingkungannya dan cinta akan kebaikan. Misalnya dengan cara tidak membuang sampah sembarangan, menanam tanaman di lingkungan sekitar, dan lain sebagainya. Dengan demikian, secara tidak langsung mereka telah mengamalkan kandungan ayat di atas. Wallahu a’lam.

Disimpan British Library, Beginilah Potret Empat Al-Qur’an Kuno dari Jawa

0
Empat Al-Qur’an Kuno dari Jawa di British Library
Empat Al-Qur’an Kuno dari Jawa di British Library

Koleksi Al-Qur’an kuno Nusantara tercecer di berbagai belahan dunia. Selain di wilayah Asia Tenggara, Al-Qur’an kuno juga disimpan di benua Australia, Eropa, hingga Amerika. Di British Library (Perpustakaan Britania Raya) misalnya. Di sana terdapat delapan Al-Qur’an kuno Nusantara yang terdiri dari satu mushaf dari Patani/Kelantan, tiga mushaf dari Aceh, dan empat mushaf dari Jawa. Dari delapan mushaf itu, kita akan melihat potret empat Al-Qur’an kuno dari Jawa.

Dalam sejarahnya, naskah Al-Qur’an kuno jarang dikoleksi oleh peminat manuskrip di negeri Barat. Menurut Kepala Koleksi Asia Tenggara di British Library Annabel The Gallop, sejak abad ke-17 para sarjana Barat hanya terfokus pada naskah-naskah sastra dan sejarah. Maka tak heran jika sebelum tahun 1995 hanya ada empat buah mushaf Nusantara di seluruh Inggris raya. Tentu jumlah ini hanya sedikit jika dibandingkan dengan naskah lainnya yang mencapai ratusan naskah (tahun 2014 dilansir dari liputan6 menyebut ada 500 manuskrip Indonesia di British Library, di sini link tersebut.)

Baca juga: Doa Nabi Ayyub as dalam Al-Quran untuk Kesembuhan Penyakit

Singkat cerita, pada tahun 1996 koleksi mushaf kuno Nusantara di British Library bertambah dan mencapai delapan buah. Pertama mushaf dari jawa dengan kode Add 12312. Kedua mushaf dari jawa dengan kode Add 12343. Ketiga mushaf dari Patani atau Kelantan dengan kode Or 15227. Keempat mushaf dari Aceh dengan kode Or 15406. Kelima mushaf dari Madura (disebut termasuk Jawa) dengan kode Or 15877. Keenam mushaf dari Aceh dengan kode Or 16034. Ketujuh mushaf dari Jawa dengan kode Or 16877. Terakhir mushaf dari Aceh dengan kode Or 16915.

Seperti yang di awal sampaikan, kita akan melihat potret empat mushaf kuno dari Jawa.

  1. Mushaf Jawa Add 12312

    Digitised Manuskrip (Add MS 12312)

Mushaf pertama ini berukuran 30 x 21 cm dengan bahan dluwang. Kondisinya masih bagus dan tiap halaman terdiri dari 17 baris. Adapun total halamannya mencapai 400 halaman. Mushaf Jawa ini dibeli dari John Crawfud, seorang dokter berkebangsaan Inggris pada tahun 1842. Tercatat, Crawfud pernah tinggal di Melayu-Jawa dan pernah menulis buku berjudul “History of the East Indian Archipelago”.

Mushaf ini terlihat sederhana namun ditulis dengan dua tinta, yakni hitam dan merah. Tinta hitam untuk ayat-ayat biasa, sedangkan tinta merah untuk nama surat. Di awal surat juga terdapat iluminasi yang unik, karena hanya menampilkan setengah lingkaran dan dedauanan belaka (seperti di gambar). Sayangnya kolofon mushaf ini hanya singkat, yakni menyebutkan harinya saja tanpa disebutkan penulis, tarikh, dan daerah penulisannya. Namun British Library mencantumkan kisaran waktu yakni abad ke-18 sampai awal abad 19.

  1. Mushaf Jawa Add 12343

    Digitised Manuscripts (Add MS 12343)

Mushaf ini hampir sama dengan mushaf sebelumnya, terlebih dari jumlah halaman, bahan yang digunakan dan tinta yang digunakan. Mushaf ini juga didapatkan dari John Crawfud. Selain itu, terdapat keunikan berkaitan dengan kolofon.  Mushaf ini justru memiliki keterangan di awal, bukan di akhir mushaf sebagaimana lazimnya. Kolofon itu berbunyi “punika syerat nipun abdi dalem paulu sila”, mungkin saja maknanya “(Al-Qur’an ini) tulisan seorang abdi dalem penghulu sila”.  Mushaf ini juga dikisarkan pada abad ke-18 hingga awal 19.

Baca juga: Annabel Gallop, Pakar Mushaf Kuno Nusantara dari Inggris

  1. Mushaf Madura Or 15877

    Digitised Manuscripts (Or 15877)

Mushaf ini berdimensi 295 x 195 mm dan bejumlah 594 halaman. Ditulis di atas dluwang, tapi memiliki iluminasi yang meriah. Mushaf ini didapatkan dari balai lelang Christie’s South Kensington pada tahun 2001. Pelelangan ini juga pernah menjual mushaf dari Bone Sulawesi Selatan yang kini disimpan di Museum Aga Khan Kanada.

Di awal halaman mushaf kuno dari Madura ini terdapat iluminasi yang megah dengan warna hijau merah dan kuning. Iluminasi itu mencantumkan keterangan bertuliskan “Pangeran Pakuningrat Keraton 1793 Sumeneb” dengan tulisan Arab pegon. Selain itu, ada juga kolofon yang menghimpun banyak informasi. Saya mencoba membaca namun masih banyak sekali kekurangan, begitu juga dengan guru besar Filologi UI Titik Pujiastuti. Ia mencoba membaca dan menerjemahkan sebagai berikut.

“kala tahun ja.s.ra.nga wulan eni tanggal? 22 dinten soma panca wala kumala, ‘ pada tahun? jasranga bulan eni, pada? 22, pada hari Senin, [wuku] panca wala kumala ‘, dengan nama’ Abd al-Latif, ing dusun Larangan kampung Puri wastanipun maù.rh makarim kala tahun ja. s.ra.nga, ‘di dusun Larangan, di desa bernama Puri..”

Dari pemaparan di atas, nampaknya perlu dibedah lebih lanjut. Pasalnya Annabel Gallop justru menyebut iluminasi yang terdapat di mushaf ini baru dibubuhkan sebelum dijual di pasar pelelangan. Beberapa indikasi yang mengarah ke asumsi tersebut berkaitan dengan kaligrafi yang digores dan warna yang masih mencolok. Memang, penulisan “Pangeran Pakuningrat Keraton 1793 Sumeneb” itu terlihat rapi dan ditulis dengan khat tsulus serta naskhi. Mushaf ini menurut British Library ditulis pada abad ke-19 namun dibubuhi iluminasi pada akhir abad 20.

Terkait analisa penambahan iluminasi itu, silahkan buka artikel Annabel Gallop berjudul Fakes or fancies? Some ‘problematic’ Islamic manuscripts from Southeast Asia”.

  1. Mushaf Jawa Or 16877

    Digitised Manuscripts ( Or 16877)

Mushaf ini berdimensi 320 x 20 mm, dan memiliki 644 halaman. Mushaf ini ditulis di atas kertas Belanda yang digunakan pada kisaran tahun 1852-1860. Mushaf ini didapatkan dari peneliti naskah Melayu berkebangsaan Inggris, Russell Jones pada tahun 2012. Namun dalam catatannya, Jones mencantumkan tarikh saat mendapatkan naskah ini, tepatnya pada tahun 1971 di Yogyakarta. Sementara di bagian belakang mushaf, terdapat kolofon yang menyebut bahwa mushaf ini merupakan waqaf dari Encik Musa bin Yahya untuk Masjid Sunan Giri.

Baca juga: Hukum Membuka Lembaran Al-Quran dengan Ludah, Berikut Penjelasan Para Ulama

Terkait gaya penulisan, mushaf ini justru yang paling sederhana di antara lainnya dan tidak ada iluminasi apapun. Nampaknya, juru tulisnya juga bukan dari kalangan kaligrafer, sehingga tulisannya pun tidak rapi. Adapun tinta yang digunakan hampir sama dengan mushaf sebelumnya, yakni hitam dan merah.

Sebagai tambahan keterangan, empat mushaf yang disampaikan tadi ternyata menggunakan rasm imla’i, bukan usmani. Kesimpulan sederhana ini dilihat dari penulisan lafadz maaliki yang mencantumkan huruf alif. Padahal dalam konsep rasm usmani, kalimat itu berlaku kaidah pembuangan alif. Biasanya diganti dengan fathah berdiri untuk tetap menunjukkan bacaan yang panjang.

Demikian, uraian singkat terkait Al-Qur’an kuno di Jawa yang tersimpan di British Library. Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam bi al-shawab[]

5 Hal yang Penting Diketahui tentang Bacaan Amin setelah Surah Al-Fatihah

0
Bacaan Amin
Bacaan Amin

Bacaan amin lekat dengan Surah Al-Fatihah. Meski amin bukan bagian dari Surah Al-Fatihah, amin merupakan salah satu bacaan yang disunnahkan dibaca sebagai tanggapan atas kandungan Surah Al-Fatihah. Memang, setiap muslim hampir setiap hari tidak lepas dari bacaan amin, tapi jarang ada yang mengenal informasi tentang bacaan ini. Mulai dari ragam cara bacanya, maknanya, serta hukum fikih yang berkaitan dengannya. Tulisan ini akan mengulas 5 hal penting untuk diketahui tentang bacaan amin.

  1. Tanggapan atas ayat Al-Quran yang diajarkan langsung oleh Nabi

Salah satu hal yang sunnah dilakukan tatkala membaca Al-Quran adalah memberi tanggapan atas ayat yang sedang dibaca. Apabila ayat tersebut berisi adzab, maka memberi tanggapan dengan meminta perlindungan. Apabila berbicara tentang dosa, maka memberi tanggapan dengan memohon ampunan, dan lain sebagainya. Termasuk dari tanggapan atas ayat Al-Quran adalah bacaan amin (At-Tibyan/91).

Namun, berbeda dengan tanggapan lain yang bisa berupa bacaan yang dikarang oleh pembacanya, amin merupakan tanggapan yang diajarkan langsung oleh Nabi Muhammad. Amin termasuk sunnah dibaca usai Al-Fatihah berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Wa`il ibn Hujr:

قَالَ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ ، فَقَالَ : آمِينَ ، مَدَّ بِهَا صَوْتَهُ

Berkata Wa`il ibn Hujr: “Aku mendengar Nabi membaca ghairil maghdubi ‘alaihim waladhdhaalliin dan membaca aamiin dengan memanjangkan suara beliau” (HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Baca juga: Bacaan Al-Qur’an Untuk Menghilangkan Khayalan Yang berlebihan

  1. 4 ragam cara baca amin

Imam An-Nawawi di dalam At-Tibyan mendokumentasikan 4 ragam cara baca amin sebagai berikut:

  1. آمِينَ (aamiin) dengan memanjangkan alif dan tanpa mentasydid mim.
  2. اَمِينَ (amiin) dengan tanpa memanjangkan alif dan tanpa mentasydid mim. Dua cara ini adalah yang mashur dipakai.
  3. آمِينَ (aameen) dengan memanjangkan alif, tanpa mentasydid mim, dan membaca imalah. Cara baca ini adalah satu cara baca yang diriwayatkan Imam Al-Wahidi dari Imam Hamzah dan Al-Kisa’i.

Baca juga: Menelisik Makna Hukman wa ‘Ilman, Sepasang Diksi dalam Al-Quran

  1. آمِّينَ (aammiin) dengan memanjangkan alif dan mentasydid mim. Cara baca keempat ini diriwayatkan Imam Al-Wahidi dari Al-Hasan dan Al-Husain ibn Al-Fadl. Hanya saja, menurut Imam An-Nawawi, cara ini termasuk tidak dikenal dan tergolong dari kesalahan yang dilakukan kebanyakan orang awam. Bahkan beberapa ulama menyatakan bahwa orang yang mempraktikkan cara baca ini di dalam salat, salatnya menjadi batal (At-Tibyan/134).

Baca juga: Bacaan Ayat Al-Quran Agar Hubungan Suami Istri Harmonis

  1. Makna amin

Imam An-Nawawi di dalam At-Tibyan mendokumentasikan bahwa ada 11 lebih perbedaan di antara para ulama di dalam memaknai amin. Sedang Ibn Katsir di dalam tafsirnya menyatakan, kebanyakan ulama menyatakan bahwa makna amin adalah:

اللهم استجب لنا

Ya Allah, kabulkanlah permintaan kami (Tafsir Ibn Katsir/1/145).

  1. Anjuran membaca amin secara bersamaan antara imam dan makmum di dalam salat

Tidak seperti tanggapan atas ayat Al-Quran lainnya, amin mempunyai cara khusus dalam mempraktikkannya di dalam salat. Yaitu tatkala imam selesai membaca Al-Fatihah dan memberi jeda sebentar, disunnahkan bagi imam dan makmum untuk membaca amin secara bersamaan. Kesunnahan ini berdasarkan beberapa hadis sahih yang salah satunya diriwayatkan Abi Hurairah bahwa Nabi Muhammad bersabda:

« إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »

Ketika imam membaca amin, maka bacalah amin! Sesungguhnya siapa yang yang amin malaikat menyertai aminnya, maka dosa-dosa yang telah dilakukan orang tersebut akan diampuni (HR. Bukhari dan Muslim).

  1. Bacaan amin hanya ada di masa Nabi Muhammad

Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya menyatakan, bacaan amin tidak ada sebelum diutusnya Nabi Muhammad, kecuali di masa Nabi Musa dan Harun. Beberapa riwayat juga menyatakan, kaum ahli kitab tidak pernah merasa iri kepada umat muslim melebihi rasa iri terhadap keberadaan amin dan salam di antara mereka (Tafsir Jamiul Ahkam/1/169).

Demikianlah 5 hal penting terkait bacaan amin usai Al-Fatihah. Sebenarnya masih banyak lagi permasalah penting tentang amin yang pernah diulas oleh para ulama. Terutama dalam masalah fikih. Namun, penulis hanya ingin menyuguhkan wawasan bacaan amin secara singkat. Wallahu a’lam bisshawab.

Mengenal Ilmu Taujih Al-Qira’at (2)

0
Mengenal Ilmu Taujih Al-Qira'at (2)
Mengenal Ilmu Taujih Al-Qira'at (2)

Pada artikel sebelumnya sudah dijelaskan tentang  beberapa poin yang mengenalkan kita dengan ilmu taujih al-qira’at. Dan berikut adalah lanjutan dari artikel sebelumnya.

7. Posisi (Nisbah) Ilmu Taujih Qira’at

Ilmu Taujîh al-Qirâ’ât berada pada posisi bagian dari Ulum Al-Quran dan bagian dari ilmu bahasa Arab. Namun porsi posisinya dalam Ulum Al-Quran lebih banyak. Di antara disiplin ilmu yang bertalian erat dengan ilmu taujîh al-qirâât –selain bahasa Arab- adalah: tafsir; akidah; fikih dan; Rasm al-Mashâhif.

Baca juga: Hukum Menulis Ayat Al-Quran dengan Bahasa Selain Arab

8. Nama Sebutan (Ism) Ilmu Taujih Qira’at

Ditemukan sejumlah padanan nama yang digunakan para ulama untuk menyebut ilmu taujîh al-qirâât yaitu: maʻânî al-qirâât, taʻlîl al-qirâât, hujjah atau ihtijâj al-qirâât,ʻilal atau taʻlîl al-qirâât, iʻrâb al-qirâât, takhrîj al-qirâât, wujûh al-qirâât, al-intishâr li al-qirâât dan nukât al-qirâ’ât.

Dari sekian nama di atas, taujîh al-qirâât merupakan nama yang paling populer. Sejatinya istilah taujîh digunakan untuk disiplin ilmu al-qirâât baru muncul pada awal abad keenam yang diawali oleh Abu al-Hasan Syuraih ar-Ruʻainî (w. 539 H) dengan kitabnya yang berjudul al-jamʻ wa at-taujîh limâ infarada bih al-imâm Yaʻqûb bin Ishâq al-Hadhramî. Penggunaan istilah taujîh sejatinya tidak hanya pada ilmu qiraat namun juga digunakan pada disiplin ilmu lainnya seperti hadis dan ulum Al-Quran.

Hal ini bisa dilihat dari literatur yang berjudul Taujîh Ahâdîts al-Muwaththa’ ditulis oleh Muhammad Abasyun (w. 341 H) dan juga kitab bernama al-Burhân fî Taujîh Mutasyâbih al-Qur’ân limâ fîh min al-Hujjah wa al-Bayân karya al-Kirmani (w. 500 H).

9. Hukum Mempelajari Ilmu Taujih Qira’at

Dari ulasan sebelumnya bisa dipastikan bahwa ilmu taujîh al-qirâât bukan merupakan ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap Muslim. Menurut para ulama mempelajarinya termasuk fardu kifayah. Sehingga cukup beberapa orang saja yang mempelajarinya. Namun bagi para huffâzh Al-Quran mempelajari ilmu ini sangat dianjurkan terlebih lagi yang sedang memperdalam ilmu qirâât sab’ah atau ʻasyrah.

Baca juga: Mengenal Ilmu Taujih Al-Qira’at (1)

10. Permasalahan (Masâil) Ilmu Taujih Qira’at

Salah satu contoh permasalah ilmu taujîh al-qirâât adalah kata –((عَلَيْهِمْ))- bagi yang mengkasrahkan hâberargumen beratnya melafalkan dhammah setelah kasrah atau yâmati. Namun bagi yang men-dhammah-kan hâberalasan cara baca tersebut apa adanya sebagaimana sebelum kemasukan kata ʻalâ.

11. Perbedaan Ilmu Taujîh al-Qirâât dengan Tarjîh al-Qirâât

Sebagaimana diketahui bahwa dari segi kualitasnya qiraat terbagi menjadi dua yaitu qiraat mutawatir dan qiraat syâdzdzah. Qirâât mutawatir terdiri dari sepuluh ragam qirâât. Sementara qirâât syâdzdzah selain sepuluh ragam tersebut. Diperbolehkan men-tarjîh qirâât mutawatir dibanding qirâât syâdzdzah. Akan tetapi tidak sebaliknya, dilarang men-tarjîh qirâât syâdzdzah dibanding qirâât mutawatir. Sebab qirâât mutawatir tidak bisa dieliminasi begitu saja. Sebab semua qirâât mutawatir transmisinya valid (sanadnya sahih) hingga Nabi saw. Wallâhu A’lam []

Menelisik Makna Hukman wa ‘Ilman, Sepasang Diksi dalam Al-Quran

0
Makna Hukman wa 'Ilman dalam Al-Quran
Makna Hukman wa 'Ilman dalam Al-Quran

Ada 2 diksi yang menarik untuk dibahas dalam Al-Quran. Diksi ini adalah Hukman wa ‘Ilman. Keduanya memang bisa berdiri sendiri–sendiri, atau bisa dipasangkan dengan diksi yang lain. Namun menariknya, ada banyak momen dua diksi ini berpasangan, alias beriringan. Dan kesemuanya berada dalam satu payung tema besar, yakni kisah hidup para Nabi.

Dengan bentuk yang sama (dalam format mashdar), i’rab dan kedudukan yang sama, kuantitas yang sama (sama–sama selalu berbentuk tunggal), serta didahului oleh Fi’il yang sama, yakni atainahu.

Baca juga: 4 Hikmah Keberadaan Kata Ajam (Non Arab) Di Dalam Al-Qur’an

Pasangan kedua diksi ini disebutkan sebanyak 4 kali dalam Al-Quran. Diksi ini pertama kali muncul di surat Yusuf ayat 22. Kemudian di surat Al-Anbiya ayat 74 dan 79. Serta di surat Al-Qasas ayat 44. Ketiga surat tersebut adalah surat – surat kisah, surat – surat yang model penyampaiannya adalah cerita dari masa lalu. Misalkan pada surat Yusuf, berikut bunyi ayatnya :

وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ

Artinya : “Dan tatkala dia cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik” (QS. Yusuf : 22)

Fakhr ad-Din Ar-Razi dalam Mafatihul Ghayb menyebutkan bahwa ayat ini adalah pertanda diangkatnya Nabi Yusuf sebagai seorang Rasul. Setelah sebelumnya sudah diangkat sebagai nabi pasca curhatan beliau soal mimpinya kepada Nabi Ya’kub, ayahnya.

إِنَّهُ كَانَ نَبِيًّا مِنَ الْوَقْتِ الَّذِي قَالَ اللَّه تَعَالَى فِي حَقِّهِ: وَأَوْحَيْنا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَا [يُوسُفَ: 15] وَمَا كَانَ رَسُولًا، ثُمَّ إِنَّهُ صَارَ رَسُولًا مِنْ هَذَا الْوَقْتِ أَعْنِي قَوْلَهُ: وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ آتَيْناهُ حُكْماً وَعِلْماً [يوسف: 22] وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: إِنَّهُ كَانَ رَسُولًا مِنَ الْوَقْتِ الَّذِي أُلْقِيَ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ

“Sungguh beliau (Yusuf) telah diangkat menjadi nabi ketika ayat ke 10 dari surat Yusuf diturunkan (Wa Auhaina Ilaihi Latunabbiannahum bi amrihim hadza), namun belum diangkat menjadi seorang Rasul. Kemudian beliau diangkat menjadi Rasul ketika ayat ke 22 dari Surat Yusuf diturunkan (Wa lamma balagha Asyuddahu Atainahu hukman wa ‘ilman). Sedangkan yang lain berpendapat bahwa Yusuf diangkat menjadi Rausl ketika ia dilemparkan di titik buta sumur”.

Baca juga: Kisah Mimpi Yusuf Bukan Wahyu: Tafsir Surah Yusuf Ayat 4

Makna Hukman wa ‘Ilman serta urgensinya terhadap risalah kenabian

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Tafsir Zaad Al-Masir mengutip pendapat para linguis Arab terhadap semantik kedua makna tersebut, sebagai berikut :

قال اللغويون: الحكم عند العرب ما يصرف عن الجهل والخطأ، ويمنع منهما، ويردُّ النفس عما يشينها ويعود عليها بالضرر، ومنه: حكمَة الدابة. وأصل أحكمت في اللغة: منعت، وسمي الحاكم حاكماً، لأنه يمنع من الظلم والزّيغ. وفي المراد بالعلم ها هنا قولان: أحدهما: الفقه. والثاني: علم الرؤيا

“Para Linguis berpendapat : Al-Hukm menurut orang Arab adalah apa – apa yang mengubah haluan kebodohan dan kesalahan, dan mencegah keduanya terjadi, lalu menjauhkan diri dari tindakan yang memalukan, serta menyelamatkan diri dari hal – hal berbahaya. Misalkan kata : Hikmat Ad-Daabah. Sedangkan asal kata Ahkamat dalam bahasa adalah Mana’at (mencegah). Hakim dinamai Hakim, karena ia mencegak kedzaliman dan penyimpangan. Sedangkan yang dimaksud Al-‘Ilm disini ada2 pendapat, yakni antara kemampuan nalar fiqh atau argumentasi”.

Dari paparan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa Hukm adalah naluri natural para Rasul untuk menjauhi kemaksiatan, sedangkan ‘Ilm adalah porsi intelektualitas yang dimilikinya.

Baca juga: Kajian Semantik Kata Nikmat dalam Al-Quran: Perbedaan Kata An-Ni’mah dan An-Na’im

Sedangkan, menurut Ar-Razi ada banyak pendapat soal tafsiran Hukman wa ‘Ilman. Beberapa diantaranya menyatakan bahwa Hukm adalah menahan diri atas apa yang ia inginkan, serta mencegahnya dari tindakan bodoh yang memalukan. Hal ini disebut pula dengan Al-Hikmah Al-‘Amaliyah. Sedangkan ilmu adalah kemampuan intelektual yang tinggi, kecerdasan akal, dan kekuatan menghafal. Hal ini disebut juga dengan Al-Hikmah Al-Nadzariyah. Oleh karena itu dalam Al-Quran, lafadz Hukm didahulukan (Taqdim) daripada lafadz ‘ilm. Menurut beberapa ahli, hal ini dikarenakan Al-Hikmah Al-‘Amaliyah punya posisi dan urgensi yang lebih kuat disbanding Al-Hikmah Al-Nadzariyah bagi seorang Rasul.

Allah menganugerahi para Rasul Hukman wa ‘Ilman sebagai bekal untuk menghadapi umat mereka yang beragam. Keluasan pengetahuan digunakan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang akan ditanyakan pada mereka, karena Rasul adalah pelayan umat yang harus siap sedia diserbu pertanyaan setiap waktu. Sedangkan Hukm digunakan untuk menonjolkan sisi tauladan di hadapan umatnya, karena seorang Rasul adalah role model umat. Tindak lakunya lah yang akan diwariskan dari generasi ke generasi. Jika dari awal saja tidak terjaga, mungkin degradasi akhlak terjadi lebih cepat dan luas.

Wallahu a’lam[]

Al-Quran dalam Pandangan Orientalis dan 3 Ajaran Islam yang Diadopsi dari Yahudi menurut Geiger

0
Tokoh Orientalis: Abraham Geiger
Tokoh Orientalis: Abraham Geiger

Al-Quran selain sebagai kitab suci Umat Islam, juga menjadi objek riset baik dari sarjana Barat, atau yang diistilahkan dengan orientalis. Para orientalis juga menjadikan Al-Quran sebagai objek penelitian. Secara umum kajian mereka terpetakan menjadi tiga bidang kajian: pertama, kajian tentang teks Al-Quran; kedua, studi mengenai alih bahasa Al-Quran; ketiga, adalah kajian yang mengarah pada bagaimana kaum muslim memahami Al-Quran.

Menurut Nur Kholis Setiawan dalam bukunya Orientalisme Al-Quran dan Hadis, sejarah teks Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari ciri khas kesarjanaan Barat yang melakukan penelitian melalui telaah filologis. Telaah filologis ini dipakai sebagai sebuah disiplin yang banyak berhubungan dengan ortohrafi dan sejarah muncul dan berkembangnya sebuah teks.

Baca juga: Robert of Ketton dan Dinamika Penerjemahan Al-Quran, Menjawab Kesimpulan Keliru Soal Kontribusi Orientalis dalam Studi Al-Quran

Pendekatan Orientalis dalam Studi Al-Quran

Adapun orientalis yang kita kenal saat ini sebagai tradisi kajian Islam secara ilmiah, dimulai atas beberapa tuduhan yang dilancarkan para penentang Muhammad. Khususnya, mengenai asal-usul Al-Quran yang memiliki kemiripan dengan konsepsi tuduhan yang disangkakan para orientalis Barat sejak abad pertengahan.

Menurut Sahiron Syamsuddin dalam Islam, Agama-agama, dan Nilai Kemanusiaan, pendekatan orientalis dalam studi Al-Quran di bagi 3 pendekatan. Pertama, Historis-Kritis, yaitu mengkaji sebuah teks dengan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Kritik historis ini meliputi bentuk, teks, dan sumber. Kedua, interpretatif penafsiran, yaitu memandang Al-Quran sebagai teks yang final dan memerlukan penafsiran. Dalam melakukan penafsiran para sarjana menerapkan metode-metode yang bervariasi, antara lain linguistik, filologi, dan sastra. Ketiga, deskriptif antropologis sosial, yaitu menjadikan Al-Quran sebagai resepsi masyarakat atau komunal tertentu.

Baca juga: Al-Quran dan Orientalis: Penerjemahan Al-Quran dalam Bahasa Latin

Fokus pemikiran Geiger

Kajian orientalis tentang Al-Quran sudah berlangsung lama. Namun, yang bernuansa akademik, menurut sebagian peneliti, dimulai semenjak Abraham Geiger. Melalui karyanya, Was hat Mohammed aus dem Judenthum aufgenommen? (Apa yang telah diadopsi Muhammad dari Agama Yahudi). Geiger dalam karyanya, memusatkan perhatian pada anasir Yahudi terhadap Al-Quran. Buku tersebut menyimpulkan bahwa tidak sebagaian besar kisah para Nabi terdahlu yang merupakan  hasil duplikasi dari Yahudi, ajaran-ajaran yang terkandung dalam Al-Quran juga meniru tradisi agama terdahulu.

Dalam kata lain, Geiger memposisikan Yahudi sebagai otoritas yang lebih tinggi untuk menilai islam. Sehingga, ia menganggap bahwa islam hanya mengadopsi tradisi budaya yang sebelumya sudah tersebar di Arab. Kesimpulan yang diambil Gieger ini didapatkan setelah ia melakukan kajian historis-kritis terhadap Al-Quran dengan analisis komporatif antara Yahudi dan Islam.

Baca juga: Massimo Campanini; Pengkaji Al-Quran Kontemporer dari Italia

Abraham Geiger dalam karyanya Judaism and Islam, menjelaskan bahwa Al-Quran terpengaruh oleh agama Yahudi dalam beberapa hal-hal berikut : Pertama, Linguistik, keimanan dan doktrin. Kedua, peraturan-peraturan dalam hukum dan moral. Ketiga, pendangan tentang kehidupan. Keempat, cerita cerita dalam Al-Quran.

Untuk membuktikan Nabi Muhammad mengadopsi ajaran Yahudi, Geiger menyatakan dua fakta; pertama, adalah fakta tentang adanya unsur-unsur agama lain yang telah diambil dan dipadukan ke dalam Islam. Karena sebuah budaya relatif terbuka bagi masuknya konsep budaya lain. Kedua, fakta bahwa unsur-unsur agama lain dalam Islam berasal daro tradisi Yahudi, bukan Kristen atau Jahiliyyah.

3 hal yang diadopsi Nabi Muhammad dari Yahudi

Abraham Geiger menyebutkan ada 3 hal pokok yang diadopsi Nabi Muhammad dari tradisi Yahudi, Yaitu:

Pertama, kosakata Al-Quran berasal dari bahasa Ibrani. Menurutnya, ada sejumlah kata Al-Quran yang diadopsi dari bahasa Ibrani, diantaranya; Tabut, Jannatu ‘Adn, Jahannam dan sebagainya.

Kedua, konsep keimanan, menurut Geiger Nabi Muhammad beberapa konsep keimanan Yahudi, seperti : tentang konsep penciptaam langit dan bumi dan isinya ada enam hari, surga memiliki tujuh tingkat, dan pembalasan di hari akhir. Bahwasanya ketiga kosep di atas itu ada dalam Islam.

Ketiga, aturan hukum dan moral, menurut Geiger, cara sholat yang diajarkan Nabi Muhammad dengam cara berdiri dan duduk, dan ketentuan ‘iddah bagi perempuan yang bercerai adalah bagaian dari tradsisi Yahudi yang sengaja dijiplak oleh Nabi Muhammad.

Respons sarjana Muslim atas Geiger

Sebagai umat Islam, jika membaca karya Abraham Geiger tersebut pasti akan geram dan tidak terima atas pernyataan tersebut. Oleh sebab itu perlu adanya respon positif yang dilakukan untuk mengcounter pernyataan Abraham Geiger ini, salah satunya yakni menggunakan analisis kritis secara metodologis.

Syed Muhammad Naquin al-Atthas mengkritik keras terhadap pernyataan Abraham Geiger, yang berpendapat bahwa kosa kata Al-Quran berasal dari bahasa lain. Dengan anggapan seperti itu bukan berarti Islam mengalami ketergantungan pada bahasa Yahudi dan Kristen. al-Atthas juga menyatakan bahwa makna dari kosakata Al-Quran tidak harus dikembalikan kepada makna dari sumber asalnya.

Baca juga: Fazlur Rahman: Sarjana Muslim Pencetus Teori Double Movement

Hal ini disebabkan Islam telah mengisi makna kosakata tersebut dari makna yang baru dan meluruskan ajaran yang salah dari Agama Yahudi, Kristen dan Jahiliiyah. Oleh sebab itu al-Atthas berpendapat bahwa bahasa Arab dalam Al-Quran adalah bahasa Arab dalam bentuk baru. Meskipun dari segi kata yang sama dalam Al-Quran telah digunakan pada zaman sebelum islam, tidak serta merta memiliki peran dan konsep yang sama.

Dengan demikian hal yang perlu di ketahui yaitu Al-Quran tidak semata-mata diturunkan dengan begitu saja, akan tetapi ia menyesuaikan diri dengan kondisi sosio-kultur masyarakat Arab pada saat itu dengan tujuan agar diterima dan dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat setempat. Namun bukan berarti Al-Quran itu hanya kitab suci yang dikhususkan kepada orang Arab saja, tetapi Al-Quran adala kitab suci yang shalih li kulli makan wa zaman.

Wallahu a’lam[]

Kisah Pasukan Bergajah dan Burung Ababil dalam Surah Al-Fîl

0
Kisah pasukan bergajah dan Burung Ababil
Kisah pasukan bergajah dan Burung Ababil

Surah al-Fîl merupakan salah satu surah makiyyah, yaitu surah yang diturunkan di Makkah. Kata al-Fîl secara umum berarti Gajah. Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, Juz 15: 523-524, kata al-Fîl dalam Surah al-Fîl merupakan bentuk tunggal. Oleh karena itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa pasukan Abrahah hanya membawa seekor gajah. Namun, ada juga yang memahami kata al-Fîl tersebut dengan banyak gajah. Hal ini dikarenakan kata al (ال) yang disusun dengan kata fîl (فيل) memiliki arti banyak. Para ulama berpendapat bahwa Abrahah membawa pasukan dengan banyak gajah, ada yang berpendapat delapan ekor. Adapula yang berpendapat dua belas ekor, salah satu diantaranya sangat besar. Surah Al-Fil sendiri menceritakan tentang pasukan bergajah dengan Abrahah sebagai pemimpinnya, yang diserang Burung Ababil. Berikut ini kisahnya.

Baca juga: 7 Keluh Kesah Manusia yang Tertera dalam Al-Quran

Abrahah dan Pasukan Bergajah

Dalam Kitab Tafsir al-Misbah, Juz 15: 522-523 disebutkan bahwa Abrahah merupakan seorang penguasa di Yaman di bawah kekuasan Negus di Ethiopia, yang memiliki sebuah gereja di San’a yang dinamainya al-Qullais. Kemudian, Abrahah mengirim surat kepada Negus di Ethopia. Ia menyampaikan bahwa dirinya telah membangun sebuah gereja yang indah dan megah yang belum pernah dibangun sebelumnya oleh siapapun. Gereja tersebut dipersembahkan untuk Negus. Ia terus berusaha agar orang-orang Arab mengunjungi gereja tersebut untuk melakukan ibadah haji.

Hal ini terdengar oleh penduduk Mekkah. Pada akhirnya, salah satu orang dari suku Kinanah mengunjungi gereja tersebut, kemudian buang air besar dengan tujuan untuk menghina Abrahah. Perbuatan tersebut membuat Abrahah sangat marah, maka ia pun bersama pasukannya pergi ke arah Hijaz dan mendirikan sebuah perkemahan di wilayah al-Maghmis. Abrahah dengan orang-orang Arab melakukan perundingan di wilayah tersebut, namun tidak berhasil. Pada akhirnya, Abrahah dan pasukannya menyerang Mekkah tetapi mengalami kegagalan. Hal ini terekam dalam Q.S. al-Fîl [105]:1-2:

اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِاَصْحٰبِ الْفِيْلِۗ اَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِيْ تَضْلِيْلٍۙ

Artinya: “Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?. Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia?”

Ibnu Katsir dalam kitab Lubâbut Tafsir Min Ibni Katsir, Juz 8: 540-541 menjelaskan bahwa, peristiwa tersebut selain merupakan salah ujian dari Allah untuk kaum Quraisy, juga merupakan nikmat. Mereka berhasil menghindar dari pasukan bergajah yang telah berupaya dengan kuat untuk menghancurkan Ka’bah serta menghilangkan keberadaannya. Namun, niat tersebut digagalkan oleh Allah dengan membinasakan dan menghinakan mereka, menyesatkan mereka, serta berhasil mengembalikan mereka ke asalnya. Mereka itu adalah kaum Nasrani yang mana agama mereka lebih dekat dengan kaum Quraisy, yaitu menyembah berhala.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30: Kecaman terhadap Kaum Musyrikin Mekah

Ibnu Asyur menyatakan bahwa kebinasaan Abrahah dan pasukan bergajah itu semata-mata terjadi karena Allah, Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad saw. Tidak ada keterkaitannya dengan berhala-berhala yang disembah oleh kaum musyrikin. Hal demikian merupakan pembelaan Allah terhadap rumah-Nya, terlebih lagi pembelaan Allah terhadap rasul-Nya.

Allah membinasakan Abrahah dan pasukan bergajah karena mereka memiliki tipu daya atau upaya negatif yang tersembunyi guna menggapai tujuan tertentu. Quraish Shihab dalam kitab Tafsir al-Misbah, Juz 15: 524 menjelaskan bahwa tipu daya dimaksud bermula dari mengalihkan manusia dari Baitullah di Makkah yang dibangun atas dasar ketaatan kepada Allah. Kemudian mengalihkan ke gereja yang dibangunnya untuk mendapat kedudukan duniawi di mata Negus, serta upaya mereka untuk meruntuhkan Ka’bah.

Pertolongan Allah melalui Burung Ababil

Pada saat Abrahah dan pasukan bergajah berupaya untuk menyerang Ka’bah, Allah mengirim pasukan burung ababil guna menolong penduduk Makkah dan menyelamatkan rumah-Nya. Peristiwa ini terekam dalam Q.S. al-Fîl [105]: 3-5:

وَّاَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا اَبَابِيْلَۙ تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّنْ سِجِّيْلٍۙ فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُوْلٍ ࣖ

Artinya: “dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat).”

Dalam kitab Tafsir al-Qurthubi, Juz 20: 744-745 dijelaskan bahwa pada saat Abrahah dan pasukan bergajah menyerang Ka’bah, Allah mengutus segerombolan burung dari arah laut yang memiliki kemiripan dengan burung-burung laut dan burung tiung. Tiap-tiap burung membawa tiga buah batu, satu batu dibawa dengan menggunakan paruhnya, sementara dua batu lainnya dibawa dengan menggunakan cakar yang ada pada kedua kakinya. Adapun ukuran batu yang dibawa oleh segerombolan burung tersebut seperti ukuran kacang humush dan kacang ‘adas.

Baca juga: Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 80-81: Benarkah Kaum Nabi Luth Homoseksual?

Batu yang mengenai Abrahah dan pasukannya pasti menjadikan mereka mati terkapar. Tetapi, tidak semua batu yang dilemparkan oleh segerombolan burung tersebut mengenai pasukan bergajah. Diantara mereka ada yang keluar dan melarikan diri ke arah jalan yang mereka lewati sebelumnya.

Abrahah dan pasukannya yang terlihat perkasa pada awalnya, mereka hancur lebur karena lemparan batu dari segerombolan burung. Mereka berjatuhan di jalan-jalan, potongan dari bagian tubuh mereka berserakan disetiap penjuru tempat tersebut. Begitu pula Abrahah, ia terkena lemparan batu dibagian tubuhnya, yang pada akhirnya Abrahah pun mati setelah jantungnya keluar dari dadanya. Segerombolan burung tersebut yang kini populer dikenal dengan burung ababil.

Peristiwa tersebut sebagai bukti adanya kekuasaan Allah. Terkadang, sebagai seorang makhluk sudah melakukan prediksi yang diyakini sangat tepat. Akan tetapi, prediksi tersebut bisa saja melesat dan tidak sesuai harapan. Allah dapat melakukan apa saja guna menghalagi setiap langkah makhluk-Nya yang hendak berupaya untuk menandingi kebesaran-Nya dan menghalangi tujuan serta kehendak-Nya.

Wallahu a’lam[]

Epidemiologi Al-Quran (1): Wabah dalam Kisah Raja Thalut dan Pasukanya

0
Raja Thalut
Epidemologi Al-Quran dan Kisah Raja Thalut

Saat ini, seluruh masyarakat di Dunia sedang mengalami ujian musibah berupa penyakit menular yang disebabkan oleh virus Covid-19. Berkaitan dengan hal tersebut, Islam sangat responsif dan memberikan solusi dalam menghadapi sebuah wabah penyakit. Hal ini dibuktikan dengan adanya ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis yang membicarakan tentang wabah (Tha’un). Salah satu kisah wabah yang direkam dalam Al-Qur’an adalah kisah Raja Thalut dan pasukanya.

Semenjak ditinggal Nabi Musa, Bani Israil mengalami kekosongan pemimpin selama 356 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, Bani Israil mendapat beberapa kali serangan dari bangsa-bangsa yang berdekatan dengan mereka, seperti bangsa Amalek (Arab kuno), Madyan, Palestina, Aram, dan lain sebagainya. (al-Zuhaili, 2013: 626)

Menurut al-Tsa’labi, silsilah nasab Raja Thalut bersambung hingga Nabi Ya’qub. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan silsilah nama lengkapnya yaitu Thalut ibn Qaisy ibn Afil ibn Sharu ibn Tahurt ibn Afih ibn Anis ibn Benyamin ibn Ya’qub ibn Ishaq ibn Ibrahim.

Baca Juga: Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya

Raja Thalut diangkat menjadi raja oleh Nabi Samuel atas perintah dari Allah. Namun, sebagaimana umumnya sifat dari Bani Israil yang suka membangkang, mereka menolak pengangkatan Thalut sebagai raja dikarenakan ia bukan berasal dari keluarga bangsawan, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Baqarah [2]: 247. Namun, berkat telah kembalinya Tabut, maka Bani Israil mulai mengakuinya sebagai raja.

Ujian Allah Bagi Pasukan Raja Thalut

Suatu ketika, Raja Thalut membawa para pasukanya untuk berperang melawan bangsa Amalek (‘amaliqah). Pada saat perjalanan menuju medan perang, cuaca saat itu sangat panas, sehingga mengakibatkan banyak pasukan mengalami kehausan dan dehidrasi. Pada saat kondisi tersebut, untuk mengetahui tingkat loyalitas pasukanya, Raja Thalut pun menguji para pasukanya dengan sebuah sungai. Namun, mereka tidak diperbolehkan untuk meminum air sungai tersebut, kecuali hanya seciduk tangan, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Baqarah [2] ayat 249:

فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوْتُ بِالْجُنُوْدِ قَالَ اِنَّ اللّٰهَ مُبْتَلِيْكُمْ بِنَهَرٍۚ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّيْۚ وَمَنْ لَّمْ يَطْعَمْهُ فَاِنَّهٗ مِنِّيْٓ اِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً ۢبِيَدِهٖ ۚ فَشَرِبُوْا مِنْهُ اِلَّا قَلِيْلًا مِّنْهُمْ ۗ فَلَمَّا جَاوَزَهٗ هُوَ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗۙ قَالُوْا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوْتَ وَجُنُوْدِهٖ ۗ قَالَ الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ اَنَّهُمْ مُّلٰقُوا اللّٰهِ ۙ كَمْ مِّنْ فِئَةٍ قَلِيْلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيْرَةً ۢبِاِذْنِ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ – ٢٤٩

“Maka ketika Thalut membawa bala tentaranya, dia berkata, “Allah akan menguji kamu dengan sebuah sungai. Maka barangsiapa meminum (airnya), dia bukanlah pengikutku. Dan barangsiapa tidak meminumnya, maka dia adalah pengikutku kecuali menciduk seciduk dengan tangan.” Tetapi mereka meminumnya kecuali sebagian kecil di antara mereka. Ketika dia (Thalut) dan orang-orang yang beriman bersamanya menyeberangi sungai itu, mereka berkata, “Kami tidak kuat lagi pada hari ini melawan Jalut dan bala tentaranya.” Mereka yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata. “Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.” Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”

Kata syariba dalam kalimat faman syariba minhu falaisa minni dimaknai al-Qurthubi sebagai kara’a (كَرَعَ), yaitu minum air secara langsung menggunakan mulut tanpa perantara tangan atau wadah dengan cara membungkukkan badan ke arah sungai. Mungkin dikarenakan rasa haus yang sangat dahsyat menyebabkan para pasukan langsung minum menggunakan mulut. Kemudian, kalimat illa man ightarafa ghurfah bi yadih dimaknai sebagai minum air sungai melalui perantara tadahan dua tangan.

Qatadah dan al-Rabi’ menjelaskan bahwa sungai tersebut terletak di antara Palestina dan Yordania. Sedangkan dalam pandangan Ibnu Abbas dan as-Suddi, sungai tersebut berada di Palestina (al-Thabari: 340-341). Kemudian terkait namanya, Ibnu Katsir menyebut sungai tersebut dengan nama nahr al-syari’ah al-masyhur. (Ibnu Katsir, 2000: 424)

Menurut as-Suddi, jumlah total pasukan Raja Thalut berjumlah 80.000 orang. Dari total pasukan tersebut, sebanyak 76.000 pasukan meminum air sungai. Sehingga tersisa hanya 4.000 pasukan yang patuh atas perintah Raja Thalut untuk tidak minum dan yang minum air sungai tersebut sebatas cidukan tangan. Namun, tatkala sisa pasukan tersebut melihat jumlah pasukan Jalut yang mencapai 100.000, maka sebanyak 3.680 pasukan Thalut mengundurkan diri dan kembali. (al-Qurthubi, 2006: 243-244)

Dengan demikian pasukan Thalut tersisa hanya 320 orang. Dalam pendapat lain, al-Razi menyampaikan bahwa jumlah pasukan yang dimaksud dalam kalimat illa qalil adalah sebanyak jumlah pasukan perang Badar, yaitu 313 pasukan saja. Argumentasi al-Razi tersebut dibangun atas dasar sabda Nabi Muhammad yang disampaikan kepada para pasukan Badar, berikut:

أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ لِأَصْحَابِهِ يَوْمَ بَدْرٍ: أَنْتُمُ اليَوْمَ عَلَى عِدَّةِ أَصْحَابِ طَالُوْت حِيْنَ عَبَّرُوْا النَّهْرَ وَمَا جَازَ مَعَهُ إِلَّا مُؤْمِنٌ

Sesungguhnya Nabi bersabda kepada para sahabat pada hari perang Badar: jumlah kalian saat ini adalah sebanyak jumlah pasukan Thalut ketika mereka melewati sungai, dan tidak diperkenankan menyertai (Raja Thalut) kecuali orang mukmin.

Malapetaka Air Sungai

Ibnu Jarir al-Thabari menyebutkan bahwa para pasukan yang banyak meminum air sungai dengan mulut tersebut justru semakin mengalami kehausan. Berbeda dengan yang meminumnya sebatas cidukan tangan, mereka tidak lagi mengalami kehausan. Selain itu, efek samping dari banyak meminum air sungai tersebut adalah berubahnya bibir mereka menjadi hitam.

Dari hasil penelusuran penulis terhadap sepuluh kitab tafsir karya ulama salaf maupun khalaf, hanya terdapat tiga kitab tafsir yang secara eksplisit menceritakan peristiwa hitamnya bibir pasukan Raja Thalut tersebut, yaitu kitab tafsir al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari, tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, dan tafsir Ma’alim al-Tanzil karya Abu Muhammad Husain ibn Mas’ud al-Baghawi.

Dalam hal ini, penulis akan menukil redaksi penyampaian yang digunakan oleh al-Razi dalam tafsirnya, sebagaimana berikut:

وَأَمَّا الَّذِيْنَ شَرَبُوْا وَخَالَفُوْا أَمْرَ اللهِ فَاسْوَدَّتْ شِفَاهُهُمْ وَغَلَبَهُمْ الْعَطَشُ وَلَمْ يَرْوُوْا، وَبَقَوْا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ، وَجَبَنُوْا عَلَى لِقَاءِ العَدُوِّ

Adapun orang-orang yang meminum (air sungai) dan melanggar perintah Allah, maka bibir mereka langsung berubah menjadi hitam, semakin dipenuhi rasa haus dan (dahaga) mereka tidak puas. Mereka tertinggal di sungai dan tubuh mereka menjadi lemah tatkala hendak menemui musuh”

Menurut Nasaruddin Umar dalam karyanya Islam Fungsional, ia mengutip pendapat Ahmad Ramali, bahwasanya hitamnya bibir para pasukan tersebut disebabkan oleh lintah air yang berjenis limmatis nilotica. Hal ini dikarenakan di musim panas dan musim semi, daerah sekitar Palestina Utara sering ditemukan lintah air, sehingga tidak heran jika banyak hewan di daerah tersebut yang mulutnya sering berdarah ketika meminum air sungai. (N. Umar, 2014: 323)

Terjadinya kehausan yang dahsyat dan dibarengi dengan perubahan warna hitam terhadap bibir pasukan tersebut semakin memperkuat dugaan bahwa mereka terkena penyakit dyspnea (sesak nafas) yang disebabkan oleh oedema glottides, yaitu akumulasi cairan yang abnormal di jaringan yang melibatkan daerah supraglotis (anatomi tubuh bagian dalam terletak di kerongkongan) dan subglotis (suatu daerah saluran pernapasan pada rongga laring/pita suara). (Husnul Hakim, “Epidemi dalam Al-Quran Kajian Tafsir Maudhu’i dengan Corak IlmiJurnal Kordinat, 2018).

Baca Juga: Empat Tipologi Bencana dalam Perspektif al-Quran

Oleh karena itu, diizinkanya meminum air sungai sebatas dengan cidukan tangan adalah untuk mengetahui keberadaan lintah air jenis limnatis nilotica tersebut, sehingga sebelum meminum air tersebut para pasukan bisa menyingkirkan lintah-lintah tersebut. Selain itu, air sungai akan cukup steril apabila diambil menggunakan cidukan tangan. Hal ini sejalan dengan hadis yang dikutip oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya, sebagaimana berikut:

حدثنا ابن فضيل، عن ليث، عن سعيد بن عامر قَالَ: مَرَرْنَا عَلَى بِرْكَةٍ فَجَعَلْنَا نَكْرَعُ فِيْهَا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: لَا تَكْرَعُوْا، وَلَكِنْ اغْسِلُوْا أَيْدِيَكُمْ، ثُمَّ اشْرَبُوْا فِيهَا، فَإِنَّهُ لَيْسَ إِنَاءٌ أَطْيَبَ مِنَ اليَدِ

Diceritakan kepada kami oleh Ibnu Fudhail, dari Laits, dari Sa’id ibn ‘Amir, ia berkata: kami melewati sebuah kolam, maka kami pun meminum (secara langsung dengan mulut) air kolam tersebut. Lantas kemudian Nabi bersabda: janganlah kamu meminum air secara langsung dengan mulut, namun cucilah tanganmu, kemudian minumlah dengan tanganmu itu. Hal ini dikarenakan tidak ada suatu wadah untuk minum yang lebih baik dari pada tangan

Dari paparan hadis di atas dapat diketahui bahwa Islam sangat memperhatikan akan pola hidup sehat dan bersih. Oleh karena itu, sudah sepatutnya di era wabah saat ini, kita harus terus menerapkan protokol kesehatan dengan memulai dari mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak. Karena itu semua merupakan juga ajaran ajaran dari agama Islam. Wallahu A’lam

Mengenal Ilmu Taujih Al-Qira’at (1)

0
Mengenal Ilmu Taujih Al-Qira'at
Mengenal Ilmu Taujih Al-Qira'at

Mengenal cabangan disiplin ilmu ke-Al-Quran-an (‘ulûm Al-Quran) merupakan keniscayaan bagi para pecinta Al-Quran. Ilmu taujîh al-Qirâât tergolong ilmu yang langka. Perlu digarisbawahi bahwa ilmu taujîh al-Qirâât berbeda dengan ilmu qiraat. Ilmu qiraat merupakan ilmu riwâyah yang tidak ada celah untuk berijtihad. Sementara ilmu taujih al-qira’at merupakan ilmu dirâyah yang memungkinkan adanya ijtihad dan pengembangan. Berikut beberapa poin yang mengenalkan kita dengan ilmu taujih al-qira’at .

1. Definisi Ilmu Taujih al-Qira’at 

Kata taujîh merupakan bentuk mashdar (kata benda abstrak) dari kata wajjaha yuwajjihu taujîh yang disebutkan Al-Quran sebanyak dua kali (Q.S. al-Anʻâm [6]: 79 dan Q.S. an-Nahl [16]: 76. Kata taujîh di sini artinya lebih kepada bayyana wajhahu (menerangkan) atau jaʻalahu dzâ wajh (memberikannya hujjah/argumen) sebagaimana QS al-Fajr [89]: 15 dalam kata naʻʻamahu diartikan dengan jaʻalahu dzâ niʻmah.

Baca juga: Pemuliaan Al-Quran Terhadap Hak Asasi Manusia

Pada hakikatnya taujîh di semua disiplin ilmumenurut ad-Dahlawî dalam al-fauz al-kabîr– merupakan sebuah sebutan untuk mengurai kerumitan memahami sebuah teks baik itu Al-Quran, hadis, syair dan lainnya yang dirasa ganjil dan memungkinkan kesalahfahaman.    

Ada beberapa definisi ilmu Taujih al-Qira’at secara istilah. Dalam buku Muqaddimât fî ‘Ilm al-Qirâât diartikan dengan ilmu yang bertujuan untuk menjelaskan ragam qiraat dan kesesuaiannya dengan kaedah nahwu. Kemudian landasannya secara bahasa sebagai upaya mewujudkan syarat kesesuaian qiraat dengan bahasa Arab meskipun hanya satu wajh (sisi).

Definisi ini hanya mengarah pada penjelasan kebahasaan saja dan dinilai masih belum memuat uraian makna qiraatnya. Sementara al-Harbi melalui Taujîh Musykil al-Qirâ’ât-nya memaknai ilmu taujîh al-Qirâât dengan ilmu yang membahas terkait makna-makna qiraat disertai uraian ragam kebahasaan (Arab).

Definisi ini dinilai lebih luas cakupannya karena mencantumkan pengulasan ragam makna qiraat. Ada juga definisi yang cenderung kaku seperti yang ditulis dalam artikel jurnalnya berjudul Nazhariyyah al-Wahdah al-Maʻnawiyyah li al-Qirâ’ât oleh ad-Daqur dan ar-Rababiah yaitu ilmu yang bertujuan untuk mengarahkan ragam qiraat pada satu makna yang mengakomodir, sehingga tidak ada lagi kontradiksi makna maupun kemungkinan mengunggulkan makna dari bacaan tertentu. Definisi ini kurang menerima adanya ragam pemaknaan dan pen-tarjîh-annya.

Sehingga terkesan sempit dan kaku. Barangkali definisi tersebut sebagai upaya agar tidak terjadi pengeliminasian terhadap qiraat tertentu. Ringkasnya ilmu taujîh al-Qirâât adalah ilmu yang membahas qiraat dari sisi makna dan bahasa, demikian dalam al-Mausûʻah al-Qur’âniyyah al-Mutakhashshishah.

2. Sasaran (Maudhûʻ) Ilmu Taujîh al-Qirâât

Sasaran pembahasan ilmu taujîh al-Qirâât adalah kata dalam Al-Quran yang dibaca lebih dari satu qiraat. Sehingga cakupannya meliputi berbagai varian bacaan. Literatur ilmu taujîh al-Qirâât memiliki objek pembahasan beragam di antaranya: ada yang mencakup qiraat mutawatir dan syâdzdzah tanpa batas; ada yang menghimpun qiraat mutawatir plus qiraat empat yang syâdzdzah; ada yang hanya qiraat ʻasyrah saja; ada yang qiraat sabʻah saja; ada yang qiraat syâdzdzah saja; ada yang qiraat secara mutlak dsb. Menurut az-Zarkasyi (w. 794 H) dalam al-Burhân, objek taujîh al-Qirâât yang paling urgen adalah qiraat syâdzdzah.

Baca juga: Abu Bakar RA dan Penafsiran Sufistik Terhadap Surah Ar-Rum Ayat 41

3. Pencetus (Wâdhiʻ) dan Sejarah Ilmu Taujîh al-Qirâât

Merujuk Fann Taujîh al-Qirâ’ât al-Qur’âniyyah karya Faiz Muhammad al-Gharazi, sejarah ilmu taujîh al-Qirâât sudah berkembang sejak era klasik. Pada periode pertama taujîh al-Qirâât dimulai dengan tradisi lisan yang dipelopori oleh Ibnu Abbas (w. 68 H) saat men-taujîh al-Qirâ’ât Q.S. al-Baqarah [2]: 259:

 قَرَأَ ابْنُ عَبَّاسٍ نُنْشِرُهَا بِالرَّاءِ بَدْلًا عَنِ الزَّايِ وَقَالَ إِنْشَارُهَا إِحْيَاؤُهَا وَاحْتَجَّ بِقَوْلِهِ تَعَالَى ((ثُمَّ إِذَا شَاءَ أَنْشَرَهُ))

Ibnu ‘Abbâs membaca kata “nunsyiruhâ”, huruf zây diganti dengan râ’, yang maknanya adalah menghidupkannya. Ibnu ‘Abbâs berargumen dengan potongan Q.S. ‘Abbasa [80]: 22, “kemudian saat berkehendak, Dia menghidupkannya”.   

Begitu juga Abu ʻAmr al-Bashrî (w. 154 H) pernah men-taujîh al-Qirâât pada Q.S. al-Baqarah [2]: 9:

قَرَأَ أَبُوْ عَمْرٍو بِإِثْبَاتِ الأَلِفِ: (وَمَا يُخَادِعُوْنَ) وَقَالَ مُوَجِّهًا قِرَاءَتَهُ: إِنَّ الرَّجُلَ يُخَادِعُ نَفْسَهُ وَلَا يَخْدَعُهَا

Abû ‘Amr membaca kata “wa mâ yukhâdi’ûna” dengan tetap adanya alif setelah huruf khâ’. Abû ‘Amr men-taujîh-nya bacaan tersebut dengan contoh kalimat; seseorang sangat bisa menipu dirinya sendiri. Menipu diri sendiri menggunakan kata yukhâdi’u (dengan alif) bukan yakhda’u (tanpa alif).

Juga pada surat yang sama QS al-Baqarah [2]: 85:

 قَرَأَ أَبُوْ عَمْرٍو بِإِثْبَاتِ الأَلِفِ: (أُسَارَى) وَقَالَ مُوَجِّهًا قِرَاءَتَهُ: إِذَا أُخِذُوْا فَهُمْ عِنْدَ الأَخْذِ أُسَارَى وَمَا لَمْ يُؤْسَرْ بَعْدُ فَهُمْ أَسْرَى لِقَوْلِهِ تَعَالَى ﴿مَاكَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ أَسْرَى) سورة الأنفال: 67

Abû ‘Amr membaca kata “usârâ” dengan huruf alif setelah sîn. Sebab menurutnya, kata “usârâ” digunakan untuk orang-orang yang sudah dalam penyanderaan. Sementara yang belum disandera disebut dengan kata “asrâ” sebagaimana Q.S. al-Anfâl [8]: 67.

Periode kedua berawal pada abad ketiga Hijriah yang digawangi oleh al-Farrâ’ (w. 207 H) lewat maʻânî al-Qur’ân-nya dan al-Akhfasy (w. 215 H) maʻânî al-Qur’ân melalui kitabnya serta az-Zajjâj (w. 311 H) dengan kitabnya, maʻânî al-Qur’ân wa Iʻrâbuh. Periode ini disebut sebagai fase kodifikasi ilmu taujîh al-qirâ’ât sebab pada masa itulah penulisan taujih al-Qira’at mulai tumbuh. Meskipun pembukuan tersebut tidak khusus konsentrasi pada taujih al-Qira’at. Sejatinya 27 tahun sebelum meninggalnya al-Farrâ’ (w. 207 H), ada Sibawaih (w. 180 H) yang mencantumkan sejumlah pendapat taujîh al-qirâ’ât-nya pada Kitab Sibawaih.

Baca juga: Kematian dalam Al-Quran dan Penggunaannya Menurut Hamza Yusuf

Fase ketiga adalah fase kodifikasi kedua bagi ilmu taujîh al-qirâ’ât yang mana secara khusus menghimpun taujîh al-qirâ’ât dalam sebuah karya tersendiri. Setidaknya tidak kurang dari 70 judul sebagaimana dicatat oleh Hazim Said dalam Syarh al-Hidâyah.

Berkembangnya ilmu taujîh al-qirâât juga berpengaruh pada literatur disiplin ilmu yang berkaitan dengan ilmu qiraat. Sehingga permasalahan qiraat yang berserakan di kitab-kitab ulama baik bahasa, tafsir hingga makna kosa kata Al-Quran mulai menggunakan taujîh al-qirâât. Salah satunya dalam literatur tafsir adalah ath-Thabari (w. 310 H) melalui karya tafsirnya, Jâmiʻ al-Bayân ʻan Ta’wîl Ây al-Qur’ân. Di sana ath-Thabari (w. 310 H) menguraikan ragam perbedaan qiraat disertai catatan penjelasan secara bahasa disertai argumen kebahasaan baik syair maupun prosa.

Namun ath-Thabari (w. 310 H) terkadang juga mengkritik sebagian ragam qiraat yang sahih karena dinilainya telah menyalahi kaedah nahwu (kebahasaan). Padahal qiraat yang mutawatir tidak bisa ditolak begitu saja. Terlebih lagi kaedah yang telah dirumuskan oleh para pakar bahasa Arab belum mampu mencakup keseluruhan ragam bahasa seluruh suku Arab. Dalam menguraikan taujîh qiraat, terkadang ath-Thabari (w. 310 H) lebih memilih salah satu qiraat dibanding lainnya yang dinilainya lebih sesuai dengan tatanan kebahasaan. Selain ath-Thabari (w. 310 H) ada sejumlah nama mufasirin lain seperti Abu al-Abbas al-Mahdawi dengan at-Tahshîl, al-Qurthubî (w. 671 H) dengan al-Jâmiʻ li Ahkâm Al-Qur’ân, Abu Hayyân (w. 745 H) dengan al-Bahr al-Muhîth-nya dan lain-lainnya.

4. Sumber (Istimdâd) Ilmu Taujîh al-Qirâât

Ilmu taujîh al-Qirâ’ât menggunakan banyak sumber data; 1). Al-Quran seperti Q.S. ath-Thûr [52]: 21 ﴿وَمَا اْلِتْنَاهُمْ﴾ (tidaklah kami mengurangi (amal) mereka) berhujjah dengan Q.S. al-Hujurat [49]: 14 ﴿لاَ يَلِتْكُمْ﴾ (dia tidak mengurangi (amal) kalian); 2). Hadis seperti pen-taujîh-an kata –((نِعْمَّا))- pada Q.S. al-Baqarah [2]: 271 dan Q.S. an-Nisâ’ [4]: 58 ber-hujjah dengan hadis riwayat Ahmad: ((نِعِمَّا المَالُ الصَالِحُ مَعَ الرَّجُلِ الصَّالِحِ)) (sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki oleh orang saleh); 3). Ilmu sharf seperti kata يَحْسَبُ (menghitung) dengan يَحْسِبُ (menduga); 4). Mufradât/Matn al-Lughah (kosa kata) seperti kata فتثبتوا (maka telitilah kalian) dan فتبينوا (maka klarifikasilah kalian) dalam Q.S. al-Hujurât [49]: 6 atau تتلوا (kamu membaca) dan تبلو (kamu menguji); 5). Al-Lahajât al-ʻArabiyyah (dialek Arab) seperti bab Hamzah, Idghâm dan kaedah ushul lainya;  6). syair Arab; 7). Nahwu; dan 8). Balaghah.

5. Kegunaan dan Manfaat (Tsamrah) Ilmu Taujîh al-Qirâât

Di antara tujuan ilmu taujîh al-Qirâ’ât adalah membantah sanggahan dan kritikan para ahli bahasa, nahwu, para mufassir terhadap sebagian ragam qiraat, yakni sebagai bantahan terhadap para orientalis yang menyangsikan kemutawatiran dan validitas qiraat Al-Quran.

Kemudian sebagai pembelaan atas validitas bahasa Arab dengan berbagai ragam bahasa suku-suku yang ada di semenanjung Arab, menjadi bukti kemukjizatan Al-Quran, mempengaruhi penafsiran Al-Quran, mengukuhkan tiga rukun validitas qiraat Al-Quran yang diriwayatkan dari Nabi terutama kesesuaian qiraat dengan salah satu wajh bahasa Arab dan kesesuaian dengan rasm Utsmani, mengenal lahajât (ragam dialek) Arab, memperkaya wawasan kebahasaan bagi yang mempelajarinya.

6. Keistimewaan (Fadhl) Ilmu Taujîh al-Qirâât

Dalam kitabnya, al-Burhân fî ʻUlûm al-Qur’ân, pada bab ke-23 tentang maʻrifah taujîh al-Qirâât wa Tabyîn Wajh mâ Dzahaba ilaih Kullu Qâri’, Az-Zarkasyi (w. 794 H) menyebutkan bahwa Ilmu Taujîh al-Qirâ’ât merupakan disiplin ilmu untuk mengetahui banyaknya ragam makna. Sehingga banyak ulama yang menulis karya khusus terkait ilmu ini.

Selengkapnya, akan dilanjutkan sambungan artikel berikutnya…..