Beranda blog Halaman 408

Menelisik Sejarah Tradisi Seni Tilawah Al-Qur’an

0
Sejarah Tradisi Seni Tilawah Al-Qur’an
Sejarah Tradisi Seni Tilawah Al-Qur’an

Dalam teori living qur’an – studi tentang berbagai peristiwa sosial terkait dengan kehadiran al-Qur’an atau keberadaan al-Qur’an di dalam sebuah kelompok masyarakat – disebutkan bahwa al-Qur’an mempunyai dua fungsi yang dominan, di antaranya ialah fungsi informatif (informative function) dan fungsi performatif (performative function). Fungsi informatif pada Al-Qur’an biasanya dipahami sebagai pendekatan interpretatif, yakni untuk memahami apa yang tersurat di dalam sebuah teks. Sedangkan fungsi performatif adalah apa yang dilakukan khalayak ramai terhadap teks itu sendiri. Misalnya, ilmu Nagham Al-Qur’an atau yang familiar dengan tradisi seni tilawah Al-Qur’an, merupakan salah satu bentuk dari fungsi performatif terhadap Al-Qur’an.

Seni tilawah merupakan Al-Qur’an dibaca dengan dilagukan beragam note lagu yang sudah distandarisasi. Bahkan, di Indonesia, tradisi melagukan Al-Qur’an sudah banyak diperlombakan secara berjenjang mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga nasional.

Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Anna K Rasmussen seorang profesor dibidang musik dalam penelitiannya yang berjudul Women, the Recited Qur’an, and Islamic Music in Indonesia pada tulisan tersebut dijelaskan “Di Indonesia, ada tradisi unik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat, di mana mereka berlomba-lomba melagukan Al-Qur’an dalam sebuah event yang disebut dengan MTQ. Bahkan, uniknya lagi seni tilawah ini diajarkan di hampir semua lembaga-lembaga pendidikan Al-Qur’an yang ada di Indonesia”.

Baca juga: Ikhwanus Shafa dan Tafsir Isyari tentang Tingkat Spiritualitas Manusia

Latar Belakang Kemunculan Lagu-Lagu Al-Quran

Tulisan ini tidak akan membahas mengenai bagaimana hukum melagukan Al-Qur’an, karena tentu saja sudah banyak sekali tulisan-tulisan yang membahas hal tersebut. Namun, melalui tulisan ini setidaknya penulis akan mencoba menelusuri bagaimana latar belakang kemunculan lagu-lagu Al-Qur’an, apa faktor-faktor yang membuat hal ini terjadi, serta bagaimana perkembangan seni tilawah Al-Qur’an tersebut.

Jauh sebelum Al-Qur’an berbentuk mushaf seperti sekarang ini, Al-Qur’an terlebih dahulu diajarkan melalui sebuah sistem yang disebut dengan talaqqi, yaitu Nabi membacakan langsung Al-Qur’an di depan para sahabat atau sebaliknya para sahabat menyetorkan bacaan yang telah dihafalkan kepada Nabi untuk dikoreksi. Hal tersebut dilakukan dengan tanpa perantara mushaf atau apapun yang berbentuk tulisan. Fakta tersebut terjadi karena Al-Qur’an turun di lingkungan masyarakat Arab yang sangat kental dengan budaya oral, sehingga wajar-wajar saja jika proses belajar mengajar pada saat itu berbasis oral (lisan) dan aural (bunyi).

Di sisi lain kita mengetahui bahwa salah satu mukjizat Al-Qur’an adalah ‘ijaz lughawi (mukjizat kebahasaan). Bahasa yang indah ini di satu sisi merupakan bukti kesempurnaan Al-Qur’an, tapi di sisi lain juga merupakan dampak pengaruh budaya Arab yang pada saat itu sangat dekat dengan seni sastra sampai suatu waktu Al-Qur’an hadir untuk mendominasi budaya sastra tersebut. Keindahan sastra yang ada pada Al-Qur’an ternyata tidak berhenti hanya pada pilihan kata, tetapi juga termasuk dalam bunyi, ketika dibaca dan diperdengarkan. Bahkan, tidak jarang kita menemukan kesamaan bunyi akhir pada ayat-ayat Al-Qur’an.

Baca juga: Surah Al-Baqarah Ayat 201: Doa Memohon Kebaikan di Dunia dan di Akhirat

Fakta-fakta di atas sementara ini setidaknya sudah cukup untuk mengaitkan hubungan antara Al-Qur’an dan suara (aspek bunyi). Fakta -fakta di atas juga menjadi salah satu faktor yang membuat Al-Qur’an dilantunkan secara indah. Jika dilihat melalui bingkai sejarah, ada beberapa riwayat yang menampilkan hal ini. Salah satunya ialah riwayat dari Abdullah bin Mughaffal yang menginformasikan bahwa Nabi pernah melantunkan surah Al-Fath ketika sedang menunggangi unta, karena keindahan bacaan Nabi unta tersebut terperanjat dan secara spontan menghentikan Langkah kakinya.

Riwayat lain misalnya, dari kalangan sahabat ada seseorang yang langsung mendapat pengakuan dari Nabi Muhammad akan kemerduan suaranya ketika sedang membaca Al-Qur’an, yaitu Abdullah bin Mas’ud yang nantinya menjadi salah satu rujukan pengajar Al-Qur’an dan sanad dalam ilmu Qiraat Al-Qur’an. Dalam sebuah riwayat lain juga dikisahkan, Rasulullah pernah lewat ketika Abu Musa sedang membaca Al-Quran. Nabi pun berhenti untuk mendengarkan bacaan sahabatnya itu. Beliau lalu bersabda, “Sungguh ia (Abu Musa) telah diberi keindahan suara sebagaimana keindahan suara keturunan Nabi Daud.” (HR Bukhari 5048, Muslim 793).

Riwayat-riwayat inilah yang kemudian menjadi cantolan epistimologis pembacaan Al-Qur’an dengan indah yang nantinya berkembang menjadi seni-seni tilawah yang terangkum dalam ilmu Nagham Al-Qur’an.

Baca juga: Surah Al-Baqarah Ayat 129: 3 Harapan Nabi Ibrahim Untuk Figur Nabi Muhammad SAW

Ibnu Manzur, seperti dinukilkan oleh Dr. Basyar Awad Ma’ruf, Al-Bayan fi Hukm At-Taghanni bi Al-Quran, ada dua teori tentang asal mula munculnya nagham Al-Quran. Pertama, nagham Al-Quran berasal dari nyanyian nenek moyang bangsa Arab. Kedua, nagham terinspirasi dari nyanyian budak-budak kafir yang menjadi tawanan perang. Kedua teori tersebut menegaskan bahwa lagu-lagu Al-Quran pada mulanya memang berasal dari khazanah tradisional Arab. Sehingga tidak heran tradisi ini terus berlanjut hingga ke masa Nabi, sahabat, bahkan hingga sampai saat ini.

Secara detail memang tidak ada riwayat atau catatan historis yang membahas mengenai perkembangan nagham Al-Qur’an yang pada saat ini sudah mempunyai delapan maqamat qur’aniyyah (delapan irama lagu Al-Qur’an). Namun, kalangan akademisi Islam meyakini bahwa, transformasi seni baca Al-Qur’an berlangsung secara sederhana dan diwariskan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kedelapan varian nagham tersebut ialah Bayyati (Husaini), Sika, Shoba (Maya), Rasta alan nawa, Hijazi (Hijaz), Jiharkah, Nahawand (Iraqi), dan Banjaka (Rakbi).

Data teraktual saat ini mengenai maqamat qur’aniyyah sebagaimana hasil penelitian M. Husni Thamrin dalam tesisnya yang berjudul “Nagham Al-Qur’an: Telaah atas Kemunculan dan Perkembangannya di Indonesia” menyebutkan bahwa maqamat qur’aniyyah yang ada pada hari ini diindikasikan terinspirasi dari wilayah Mesir. Qari-qari yang lahir di Mesir, seperti Syeikh Muhammad Rif’at, Syeikh Mustafa Ismail. Dan Syeikh Abdul Basith Samad mampu menunjukkan kepada dunia bahwa nagham adalah nyawa dari bacaan Al-Qur’an.

Surah Al-Baqarah Ayat 129: 3 Harapan Nabi Ibrahim Untuk Figur Nabi Muhammad saw

0
Al-Baqarah Ayat 129
Ilustrasi Doa Nabi Ibrahim dalam Surah Al-Baqarah Ayat 129

Rasul merupakan manusia-manusia pilihan yang ditugaskan oleh Allah SWT untuk menjadi penuntun umat manusia ke jalanNya. Bila diibaratkan jalan menuju Allah adalah sebuah produk, maka kitab suci adalah buku panduannya dan rasul adalah pemandunya. Terkait dengan rasul ini, Allah Swt berfirman dalam al-Quran Surah al-Baqarah Ayat 129:

رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Artinya : Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S Al-Baqarah ayat 129)

Kalimat dalam surah al-Baqarah ayat 129 ini merupakan doa nabi Ibrahim terhadap putranya, Ismail. Setelah bersama-sama membangun Ka’bah. Kata Rasul disini dapat dimaknai secara global, maupun tertentu. Al-Khazin berpendapat bahwa yang dimaksud Rasul adalah Nabi Muhammad saw. Hal ini dikarenakan kata “mereka” yang dimaksud nabi Ibrahim adalah keturunan nabi Ismail, dan posisi nabi Ibrahim saat memanjatkan doa adalah di Makkah, sedangkan satu-satunya keturunan Nabi Ibrahim yang diutus di tanah Makkah hanyalah Nabi Muhammad SAW.

Baca Juga: Perintah dan Teladan Kasih Sayang Rasulullah saw Kepada Semua Makhluk

Dalam ayat tersebut, Nabi Ibrahim berdoa agar keturunannya diberikan seorang Rasul. Dalam doa tersebut, Nabi Ibrahim menyebutkan 3 kriteria Rasul yang beliau harapkan lahir dari keturunan beliau, alias 3 kriteria Rasul yang diharapkan akan melekat pada Nabi Muhammad saw.

Membacakan ayat – ayat Allah

Harapan pertama nabi Ibrahim, adalah agar Rasulullah Muhammad SAW menjadi Rasul yang membacakan ayat –  ayat Allah (Al-Quran) kepada umatnya. Membaca yang dimaksud disini bukan sekedar melantunkan ayat – ayatnya. Namun juga mengajarkan kandungan – kandungannya. Syaikh Nawawi Al-Bantani menuturkan dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud membacakan ayat – ayat disini, bukan sekedar membaca Al-Quran secara tartil saja, namun menggunakannya pula untuk sarana berdakwah, mengajak manusia untuk menggunakannya sebagai petunjuk, serta mengimaninya setulus hati.

يَتْلُوا عَلَيْهِمْ آياتِكَ أي يذكرهم بالآيات ويدعوهم إليها ويحملهم على الإيمان بها

“Membacakan Ayat-ayat pada mereka, maksudnya adalah memperingatkan mereka dengan ayat – ayatNya, mengajak mereka kepadanya, serta mengampunya dengan segenap keimanan”

Mengajarkan Al-Quran dan Hikmah

Harapan kedua nabi Ibrahim, terhadap Nabi Muhammad kelak, adalah agar umatnya dikaruniai seorang Rasul yang mampu mengajarkan Al-Quran dan hikmah pada keturunan Ismail. Syaikh Nawawi Al-Bantani berpendapat bahwa membacakan Al-Quran tidak sama dengan mengajarkan Al-Quran. Mengajarkan Al-Quran berarti mengajarkan tata baca Al-Quran, mengajarkan makna – makna yang terkandung didalamnya, serta hakikat-hakikat yang terpatri darinya.

 وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتابَ أي يأمرهم بتلاوة الكتاب ويعلمهم معاني الكتاب وحقائقه

“Mengajarkan Al-Kitab (Al-Quran) berarti memerintahkan untuk  membaca Al-Quran, mengajarkan makna – maknanya, serta hakikat-hakikatnya”

Sedangkan untuk Hikmah, Para Mufassir ada perbedaan pendapat dalam menafsirkan kata “Hikmah” disini. As-Syaukani berpendapat bahwa yang dimaksud Hikmah adalah pengetahuan akan agama, kemampuan dalam takwil, serta pemahaman terhadap Syariat.

وَالْمُرَادُ بِالْحِكْمَةِ: الْمَعْرِفَةُ بِالدِّينِ، وَالْفِقْهُ فِي التَّأْوِيلِ، وَالْفَهْمُ لِلشَّرِيعَةِ

“Yang dimaksud Hikmah adalah : mengerti agama, mahir dalam menafsir, serta faham terhadap syariat”

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 21: Dakwah Rasulullah itu Menyampaikan Kebenaran dengan Cara yang Benar

Sedangkan Imam Syafi’i menyatakan bahwa kata “hikmah” yang dimaksud ayat tersebut adalah Sunnah atau hadis nabi.

الحكمة سنّة رسول الله صلّى الله عليه وسلّم وهو قول قتادة

“ Hikmah adalah sunnah (hadis) Rasulullah SAW, menurut Abu Qatadah”

Sehingga hikmah menurut Imam Syafii adalah cara nabi untuk mendakwahkan Al-Quran itu sendiri, yang mana isinya adalah pengetahuan akan agama dan syariat Islam. Sehingga dua pendapat ini sebenarnya tidak jauh berbeda hasil akhirnya.

Menyucikan umat

Ismail dan keturunannya memang mengikuti Millah Ibrahim. Namun Nabi Ibrahim menyadari, bahwa keimanan adalah sesuatu yang sangat mudah naik-turun, sehingga potensi keturunan Ismail untuk terkontaminasi kegiatan Syirik tentu masih ada. Sehingga Ibrahim juga memasukkan “menyucikan umat” sebagai salah satu harapannya terhadap figur Rasul yang akan datang tersebut. Ibnu Asyur menyebutkan dalam tafsirnya :

وَالتَّزْكِيَةُ التَّطْهِيرُ مِنَ النَّقَائِصِ وَأَكْبَرُ النَّقَائِصِ الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَفِي هَذَا تَعْرِيضٌ بِالَّذِينَ أَعْرَضُوا عَنْ مُتَابَعَةِ الْقُرْآنِ وَأَبَوْا إِلَّا الْبَقَاءَ عَلَى الشِّرْكِ

“yang dimaksud menyucikan, adalah membersikan (diri) dari kesalahan – kesalahan. Sedangkan kesalahan terbesar adalah kemusyrikan terhadap Allah. Didalamnya juga termasuk orang – orang yang menolak untuk mengikuti Al-Quran, dan lebih memilih menetap pada kemusyrikan”

Ternyata sesuai dugaan. Beberapa masa setelah nabi Ismail bangsa Arab di Hijaz terjerumus pada kemusyrikan yang dibawa oleh Amr bin Luhay. Rasulullah Muhammad SAW datang untuk memperbaiki kerusakan tersebut, dan menyucikan kembali anak cucu nabi Ismail dari kemusyrikan menuju Millah Ibrahim Hanifah.

Demikianlah 3 harapan Nabi Ibrahim terhadap figur Rasulullah Muhammad SAW kelak. Dan sejarah juga telah membuktikan, bahwa harapan Nabi Ibrahim terhadap cucunya yang satu ini sama sekali tidak meleset. Bahkan bukan hanya untuk bangsa Arab, tapi untuk seluruh dunia, karena beliauilah Rasul yang Rahmatan Lil ‘Alamin.

Ikhwanus Shafa dan Tafsir Isyari tentang Tingkat Spiritualitas Manusia

0
Ikhwanus Shafa
Ikhwanus Shafa

Ikhwanus Shafa merupakan organisasi tersembunyi yang bergerak dibidang tasawuf, ilmiah, dan filsafat, yang muncul di Baghdad saat masa keemasan Islam. Mengutip M Arrafie Abduh dalam Nuansa Sufistik dalam Gerakan Pemikiran Ikhwanus Shafa, organisasi ini bermisi untuk mereformasi kondisi umat Islam kala itu, yakni mensucikan moral, spiritual, sosial, ekonomi, dan politik. Organisasi ini dipelopori oleh Abu Hayyan al-Tauhidi, seorang tokoh sufi dan filsafat asal Baghdad.

Satu hal menarik dari Ikhwanus Shafa ada pada penafsirannya tentang tingkat Spiritualitas manusia. Hal ini karena nuansa isyari yang identik dalam tafsiran mereka. Tafsir isyari sendiri menurut Adz-Dzahabi dalam at-Tafsir wal-Mufassirun didefinisikan dengan corak penafsiran yang bersumber dari isyarat-isyarat tersembunyi yang dapat ditemukan oleh ahli suluk, meskipun isyarat itu berbenturan dengan makna lahiriyah ayat. Corak ini diistilahkan juga oleh al-Farmawi dengan tasawwuf ‘amali.

4 tingkatan orang yang hidup di alam spiritual utama

Ikhwanus Shafa menyebutkan dalam Rasail Ikhwanus Shafa wa Khullanul Wafa bahwa ada 4 tingkatan orang yang dapat menghidupi alam spiritual utama, yang disebut dengan madinah fadilah ruhaniyah. Keempat tingkatan itu harus hidup berdampingan dan saling tolong-menolong. Keempat tingkatan itu adalah kelompok produktif, kelompok pemimpin, kelompok penguasa yang berwenang memerintah dan melarang, dan kelompok yang memiliki kualitas ketuhanan. Kerjasama keempat kelompok ini akan membawa negeri tersebut dalam kemakmuran baik lahir mau pun batin.

Baca Juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (1): Definisi, Klasifikasi dan Prasyarat yang Harus Dipenuhi

 Kesetiakawanan ini dialegorikan oleh Ikhwan dengan cukup rumit, yakni:

“Hendaknya pengaturan kelompok produktif bekerja terhadap orang-orang yang dipimpin laksana bekerjanya cahaya di udara, laksana potensi yang tumbuh di dalam empat hal pokok yakni api, udara, air, dan tanah. Bekerjanya kelompok pemimpin terhadap kelompok produktif laksana warna-warna di dalam cahaya, atau laksana bekerjanya potensi hayawi dalam potensi pertumbuhan. Kelompok penguasa yang memiliki wewenang bekerja terhadap pemimpin laksana bekerjanya potensi penglihatan dalam menangkap warna, laksana bekerjanya potensi berpikir dalam potensi hayawi, bekerjanya kelompok yang memiliki kualitas ketuhanan terhadap penguasa yang memiliki kekuasaan laksana bekerjanya akal terhadap ide-ide, atau laksana bekerjanya potensi malakiyah dalam potensi berpikir”

Alegori yang telah dipaparkan oleh Ikhwan di atas sulit dipahami bagi orang awam karena kental dengan term-term filsafat, misalnya hayawaniyah, malakiyah, dan lain sebagainya. Akan tetapi, secara umum, yang dikehendaki Ikhwan di atas dapat dipahami bahwa kerjasama di antara keempat kelompok itu begitu kokoh, saling terkait guna tegaknya negeri utama yang bersifat spiritual itu.

Setelah itu, Ikhwan menerangkan secara detail, masing-masing tingkatan tersebut. Pertama, Dhawi al-Thana’i (kelompok produktif). Mereka adalah kelompok yang mampu berpikir dan bisa membedakan makna-makna yang materi-fisik, mereka mampu berpikir setelah berumur 15 tahun. Mereka disebut dengan yang baik dan tersayang dalam Rasa’il Ikhwanus Shafa.

Tentang mereka, Ikhwan mendapat isyarat dari Surat An-Nur ayat 59:

وإذا بلغ الأطفال منكم الحلم فليستأذنوا كما استذن الذين من قبلهم…الآية

Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa, maka hedaklah mereka (juga) meminta izin, seperti orang-orang yang lebih deasa meminta izin.

Kedua, para pemimpin. Di atas martabat ini adalah para pemimpin yang memiliki kepemimpinan, mereka mampu memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan siap berkorban demi persaudaraan. Mereka berumur 30 tahun ke atas dan sudah memiliki kemampuan hikmah di atas kemampuan berpikir.

Tentang mereka, Ikwanus Shafa menyatakan bahwa Allah telah mengisyaratkan dalam surat Al-Qasas ayat 14:

ولما بلغ أشده واستوى آتيناه حكما وعلما وكذلك نجزى المحسنين

Dan setelah Dia (Musa) dewasa dan sempurna akalnya, Kami anugerahkan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

Mereka ini lah yang disebut-sebut Ikhwan dalam risalahnya sebagai saudara-saudara yang terpilih dan istimewa.

Ketiga, Para penguasa yang memiliki kekuasaan untuk memerintah dan melarang, mencegah perselisihan dan pertentangan ketika muncul kelompok yang menentang perintah ini, tentunya dengan cara lemah lebut dan penuh kasih sayang. Mereka berumur 40-an tahun ke atass dan memiliki kemampuan memahami undang-undang Tuhan. Mereka lah yang disebut dengan saudara yang istimewa dan mulia. Tentang isyarat atas kelompok ini, Ikhwan merujuk pada Surat al-Ahqaf ayat 15:

…حتى إذا بلغ أشده وبلغ أربعين سنة قال رب أوزعني أن أشكر نعمتك التى أنعمت علي وعلى والدي وأن أعمل صالحا ترضاه وأصلح لي في ذريتي إني تبت إليك وإني من المسلمين.

Sehingga, apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa: “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmatMu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau rid}ai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim.”

Keempat, kelompok yang memiliki kualitas ketuhanan (para filsuf): di atas martabat ini ialah yang selalu Ikhwan seru saudara-saudaranya di dalam martabat manapun mereka berada. Untuk mencapai martabat ini, yakni penyerahan diri dan penerimaan secara total, mampu melihat hakikat dengan mata kepala.

Baca Juga: Jangan Pernah Berputus Asa: Tafsir Surat Az-Zumar Ayat 53

Inilah potensi malaikat yang dicapai setelah umur 50 tahun, mereka sudah siap menghadapi hari akhir, berpisah dengan materi. Mereka juga memilki kemampuan mi’raj, naik ke alam malaikat langit dan menyaksikan keadaan kiamat, masuk ke dalam surga dan berjumpa dengan Tuhan. Terhadap hal ini Ikhwan mengisyaratkan pada surat al-Fajr ayat 27-28:

يا أيتها النفس المطمئنة. إرجعي إلى ربك راضية مرضية

Wahai jiwa yang tenang!, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridla dan diridlaiNya.

Tafsiran di atas menggambarkan nuansa tafsir sufi isyari dalam penafsiran Ikhwan tentang tingkatan spiritualitas manusia. Penafsiran Nuansa sufi isyari ini tampak saat mereka mentakwil ayat-ayat dengan mengalihkan dari makna hakikat, berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh para pemimpin/pakar suluk, namun tetap dapat dikompromikan dengan makna hakikatnya. Dengan nuansa isyari tersebut, Ikhwanus Shafa berhasil menjelaskan secara detil tingkatan-tingkatan yang seharusnya dilalui manusia untuk mencapai hakikat segala sesuatu. Wallahu a’lam[]

Tiga Fokus Cabang Ilmu Tajwid Menurut Isham Muflih al-Qudhat

0
Perbedaan Qiraah, Riwayah, dan Thariq
Perbedaan Qiraah, Riwayah, dan Thariq

Sebagian orang menganggap bahwa belajar ilmu tajwid merupakan hal yang rumit karena banyaknya hukum-hukum bacaan di dalamnya. Namun, sebagian yang lain mengatakan belajar ilmu Tajwid itu mudah karena singkatnya pembahasan serta memiliki ringkasan berbentuk cabang ilmu tajwid.

Sedangkan menurut penulis, ilmu Tajwid yang ada di buku-buku tajwid (terutama yang berbahasa Indonesia) merupakan penyederhanaan dan versi ringan dari ilmu Tajwid yang bercabang-cabang, sehingga seharusnya belajar ilmu tajwid itu mudah.

Artikel ini mengulas seberapa luas pembahasan Ilmu Tajwid beserta pemetaan keilmuan yang ada dalam tubuh Ilmu Tajwid itu sendiri. Pemetaan ilmu Tajwid ini bersumber dari kitab al-Wadhih fi Ahkam at-Tajwid karya Isham Muflih al-Qudhat. Pemetaan ini diuraikan dalam bentuk cabang ilmu tajwid.

Baca juga: Surah Al-Baqarah Ayat 201: Doa Memohon Kebaikan di Dunia dan di Akhirat

Menurut Isham Muflih al-Qudhat, ilmu Tajwid bercabang menjadi 3 fokus yaitu ilmu makhraj atau tempat keluarnya huruf (مَخَارِجُ الْحُرُوْفِ), ilmu sifat-sifat huruf (صِفَاتُ الْحُرُوْفِ), dan ilmu al-waqf wa al-ibtida’ (الْوَقْفُ وَالْإِبْتِدَاءُ). Berikut uraian penjelasan ketiga cabang ilmu tajwid tersebut.

Tempat Keluarnya Huruf (Makharijul Huruf)

Dalam pembahasan makhraj huruf, masing-masing huruf diuraikan letak atau tempat keluarnya huruf yang ada pada 5 (lima) anggota tubuh yaitu rongga mulut (al-jauf), tenggorokan (al-halq), lidah (al-lisan), dua bibir (as-syafatan), dan rongga hidung (al-khaisyum).

Masing-masing dari kelima anggota tubuh itu diuraikan lagi sesuai dengan makhraj huruf. Ada huruf yang memiliki makhraj sendiri misalnya kaf. Ada juga huruf yang mempunyai makhraj yang sama dengan huruf lainnya misanya ta, dal, dan tho.

Sifat-sifat huruf (Shifatul Huruf)

Dalam kajian sifat huruf, dijelaskan masing-masing sifat yang dimiliki oleh setiap hurufnya. Sifat huruf terbagi menjadi 2 macam, yaitu lazimah dan aridhah. Sifat lazimah adalah sifat tetap atau sifat asal yang dimiliki huruf. Sifat lazimah terbagi lagi menjadi dua, yaitu sifat yang berlawanan dan sifat yang tidak berlawanan.

Baca juga: Tafsir Surah Yasin ayat 51-52: Penyesalan di Hari Kebangkitan

Sedangkan sifat aridhah adalah sifat tambahan atau sifat yang tidak tetap pada huruf. Sifat aridhah terbagi lagi menjadi 5 pembahasan, yaitu hubungan antar huruf, hukum nun sukun dan tanwin, hukum mim sukun, bacaan mad, dan tafkhim serta tarqiq.

Hubungan antar huruf terurai menjadi 4 macam, yaitu mutamatsilain (dua huruf yang sama), mutajanisain (dua huruf yang sejenis), mutaqaribain (dua huruf yang berdekatan), dan mutaba’idain (dua huruf yang berjauhan).

Untuk pembahasan tafkhim (tebal) dan tarqiq (tipis), disinggung juga pembahasan khusus huruf ro yang memiliki 3 kondisi yaitu ro dibaca tafkhim, ro dibaca tarqiq, dan ro yang bisa dibaca keduanya.

Baca juga: Mengenal Tafsir Maqashidi: Penafsiran Berbasis Pendekatan Maqashid Syariah

Berhenti dan Memulai Bacaan (Al-Waqf wa al-Ibtida’)

Selain membahas makhraj dan sifat huruf, ilmu Tajwid juga membahas perihal cara berhenti dan memulai bacaan. Sesuai namanya (al-waqf wa al-ibtida’), keduanya memiliki uraian terpisah yaitu waqf (berhenti membaca) dan ibtida’ (mulai membaca).

Uraian waqaf dibagi menjadi dua yaitu cara waqaf dan kapan waqaf. Cara waqaf membahas kondisi huruf akhir suatu kata yang akan dijeda atau berhenti membacanya misalnya waqaf pada kata yang berakhiran harakat fathatain. Sedangkan kajian kapan waqaf berisi uraian-uraian yang biasanya dibahas tanda-tanda waqaf seperti waqaf aula dan washal aula.

Begitu juga dengan uraian ibtida yang dibagi menjadi dua yaitu cara ibtida dan ibtida jaiz (memulai bacaan). Cara ibtida membahas tata cara memulai bacaan yang benar dari segi perubahan kata misalnya hamzah washal. Sedangkan pembahasan ibtida jaiz menjelaskan uraian bagaimana memulai bacaan yang boleh dan tidak boleh dari segi kesempurnaan makna.

Surah Al-Baqarah Ayat 201: Doa Memohon Kebaikan di Dunia dan di Akhirat

0
Al-Baqarah Ayat 201
Al-Baqarah Ayat 201 Doa Sapu Jagat

Artikel ini menjelaskan surah al-Baqarah ayat 201 tentang doa bagi kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Allah Swt berfirman:

وَمِنۡهُم مَّن یَقُولُ رَبَّنَاۤ ءَاتِنَا فِی ٱلدُّنۡیَا حَسَنَةࣰ وَفِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ حَسَنَةࣰ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan Kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (Q.S. Al-Baqarah: 201)

Doa di atas, yang biasa kita panjatkan setiap usai shalat, sering juga disebut dengan “Doa Sapu Jagat”. Doa Sapu jagat tersebut menempati posisi yang sangat spesial dan istimewa di kalangan umat Islam. Selain kalimatnya sangat mudah untuk dihafal, kandungan maknanya pun begitu luar biasa.

Mari kita kaji uraian makna yang terkandung dalam rangkaian doa Surah al-Baqarah ayat 201 di atas.

“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”.

Ibn Katsir ketika menafsirkan ayat yang berisi doa tersebut menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan kebaikan di dunia adalah segala hal yang menjadi harapan setiap manusia yang hidup di dunia ini, berupa kesehatan yang prima, rezeki yang melimpah, ilmu yang bermanfaat, pasangan hidup yang baik, rumah yang penuh kenyamanan dan kedamaian, serta kehidupan yang berkah.

Baca Juga: Doa Untuk Orang Tua dalam Al-Quran dan Tafsir Surat Al-Isra’ [17]: 24

Adapun kebaikan di akhirat adalah dimudahkan pada hari perhitungan (yaum al-hisab), diberikan catatan kebaikan, serta menjadi penghuni surga. Sedangkan dipelihara dari siksa (api) neraka adalah dihindarkan dari segala perbuatan dosa dan maksiat kepada Allah, serta dijauhkan dari perkara yang haram dan syubhat ketika di dunia.

Rangkaian kalimat yang terangkum indah dalam doa ini mencakup seluruh hajat, keinginan, harapan, serta cita-cita setiap manusia. Ya, adakah cita-cita yang lebih tinggi selain berharap kebaikan (hasanah) dunia-akhirat, serta mohon dijaga dari siksa (api) neraka?

Setiap manusia menginginkan kehidupan yang baik. Dalam bahasa agama, kehidupan yang baik adalah kehidupan yang berkah. Ya, berkah yang melingkupi seluruh aspek kehidupan. Berkah rezekinya, berkah ilmunya, berkah keluarganya, berkah segala-galanya.

Kata berkah adalah kata serapan dari bahasa Arab, Al-barakah. Dalam Mu’jam Ma’ani al-Asma (Kamus tentang makna dari nama-nama/kata-kata) dijelaskan bahwa kata barakah mengandung arti: kebahagiaan, berkembang, tumbuh, bertambah, dan kebaikan.

Masih menurut kamus tersebut, kata barakah selalu dikaitkan dengan konteks agama. Al-Qur’an menyebut kata ini sebanyak dua kali dan selalu dalam bentuk jamak, barakaat, tidak dalam bentuk mufrad (tunggal), barakat, seperti terdapat pada Q.S. 7: 96, dan Q.S. 11: 48, yang kemudian diterjemahkan menjadi berkah (dalam jumlah yang besar/banyak).

Dalam Kamus Lisan al-‘Arab dijelaskan bahwa kata ‘barakah’ bersal dari gambaran tentang unta yang mendekam. Orang Arab biasa mengatakan baraka al-ba’ir, unta itu mendekam. Biasanya, ketika unta kekenyangan setelah makan, ia segera menekuk lututnya untuk kemudian mendekam dalam waktu yang lama.

Pengertian ini kemudian berkembang, bahwa setiap yang “mendekam” dan “menetap” dalam waktu lama diungkapkan dengan kata ba-ra-ka. Sehingga kata al-barakah kemudian diartikan dengan khairat tsabitah, kebaikan (nikmat) yang “menetap”.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘berkah’ didefinisikan dengan “karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia”.

Para ulama mendefinisikan makna al-barakah dengan kalimat yang berbeda, tetapi memiliki hakekat makna yang sama. Ibnu Abbas, misalnya, menjelaskan makna al-barakah sebagai al-katsrah fi kulli khair, keberlimpahan pada setiap nikmat yang baik. Ar-Raghib Al-Asfahany mendefinisikan berkah dengan tetapnya kebaikan Allah terhadap sesuatu. Sedangkan Ibn al-Qayyim Al-Jauziyah mendefinisikan berkah sebagai kenikmatan atau kebaikan yang banyak dan terus menerus. Al-Zarqani juga mengutip pandangan ulama-ulama bahwa ¬al-barakah adalah al-ziyadah min al-khair wa al-karamah, kenikmatan dan kemurahan yang bertambah-tambah.

Dari beragam makna tentang berkah tersebut, dapat disimpulkan bahwa berkah adalah sebuah anugerah karunia nikmat berlimpah yang datang dari Allah dan bersifat menetap dalam waktu yang lama.

Hidup berkah adalah sebuah kondisi kehidupan seseorang yang diliputi kebaikan dalam waktu yang lama, hingga akhir hayatnya. Kebaikan yang dimaksud tidak sekedar ketika hidup di dunia ini saja, tetapi juga hingga kelak ketika hidup di akhirat.

Dengan demikian, keberkahan hidup itu meliputi segala aspek kehidupan ketika di dunia, yang pada akhirnya menghadirkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Hukum Lam Sukun dalam Ilmu Tajwid

0
hukum lam sukun
hukum lam sukun

Setelah mempelajari hukum nun sukun dan tanwin serta hukum mim sukun dalam ilmu Tajwid, masih terdapat hukum lam sukun yang jarang diketahui secara komprehensif. Biasanya pembahasan lam sukun disederhanakan menjadi hukum lam ta’rif (تَعْرِيْف) saja.

Artikel ini mengulas macam-macam lam sukun dan hukum-hukumnya dalam ilmu Tajwid yang bersumber dari kitab Ghayat al-Murid fi Ilm at-Tajwid. Lam sukun terbagi menjadi 5 macam, yaitu lam ta’rif, lam isim, lam fi’il, lam huruf, dan lam amr. Berikut masing-masing uraiannya.

Baca Juga: 3 Macam Nun Sukun yang Dibaca Idzhar dalam Ilmu Tajwid

Lam Ta’rif

Lam ta’rif adalah lam sukun tambahan yang berfungsi me-ma’rifat-kan (bermakna khusus) kata benda (isim). Selain lam ta’rif, dikenal juga dengan sebutan al atau al ta’rif. Hukum lam ta’rif terbagi menjadi dua yaitu Idzhar dan Idgham.

Lam ta’rif dibaca idzhar apabila bertemu salah satu dari 14 huruf Qamari. Sebaliknya, lam ta’rif dibaca idgham apabila bertemu salah satu dari 14 huruf Syamsi. Dengan kata lain, dibaca idgham jika bertemu huruf selain huruf Qamari. Keempat belas huruf Qamari adalah

ء ب ج ح خ ع غ ف ق ك م و ه ي

Berikut masing-masing contoh lam ta’rif yang dibaca idzhar dan idgham secara berurutan dalam Q.S. Al-Falaq [113]: 1 dan Q.S. An-Nas [114]: 1.

بِرَبِّ الْفَلَقِ

بِرَبِّ النَّاسِ

Baca Juga: Mengenal 7 Cara Membaca Alif dalam Al-Quran Sesuai Ilmu Tajwid

Lam Isim

Lam isim adalah lam sukun asli yang terdapat pada kata yang di dalamnya sudah terdapat tanda-tanda isim (benda) dan terletak di tengah kata. Semua lam sukun yang ada pada isim dibaca idzhar. Salah satu contoh lam sukun pada isim terdapat dalam Q.S. Al-Qadr [97]: 3.

مِنْ اَلْفِ شَهْرٍ

Lam Fi’il

Lam fi’il adalah lam sukun yang ada pada kata kerja (fi’il) baik masa lampau (fi’il madhi), masa kini (fi’il mudhari’), dan perintah (fi’il amr). Lam fi’il dapat berada di tengah atau akhir kata. Sedangkan yang dibahas di sini adalah lam sukun di akhir kata kerja.

Hukum lam sukun yang ada pada fi’il terbagi menjadi dua yaitu dibaca idgham dan idzhar. Lam fi’il dibaca idgham apabila bertemu huruf lam dan ro. Sebalinya, lam fi’’il dibaca idzhar apabila bertemu huruf selain lam dan ro. Berikut masing-masing contoh lam fi’il yang dibaca idgham dan idzhar secara berurutan dalam Q.S. Ali Imran [3]: 12 dan Q.S. An-Nas [114]: 1.

قُلْ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا

قُلْ اَعُوْذُ

Baca Juga: 10 Pertanyaan Dasar Seputar Ilmu Tajwid yang Harus Kamu Tahu

Lam Huruf

Lam huruf adalah lam sukun yang ada pada huruf. Lam huruf hanya terdapat pada dua kata saja yaitu kata (بَلْ) dan kata (هَلْ). Hukum lam huruf pada kata (بَلْ) terbagi menjadi dua yaitu idgham dan idzhar. Dibaca idgham apabila bertemu huruf lam dan ro. Sebaliknya dibaca idzhar apabila bertemu huruf selain lam dan ro. Berikut masing-masing contoh lam huruf pada kata (بَلْ) yang dibaca idgham dan idzhar secara berurutan dalam Q.S. An-Nisa [4]: 158 dan Q.S. Ali Imran [3]: 180.

بَلْ رَفَعَهُ الله

بَلْ هُوَ شَرٌّ

Hukum lam huruf pada kata (هَلْ) juga terbagi menjadi dua yaitu idgham dan idzhar. Dibaca idgham apabila bertemu huruf lam. Sebaliknya dibaca idzhar apabila bertemu huruf selain lam. Berikut masing-masing contoh lam huruf pada kata (هَلْ) yang dibaca idgham dan idzhar secara berurutan dalam Q.S. Al-A’raf [7]: 53 dan Q.S Thaha [20]: 40.

فَهَلْ لَنَا مِنْ شُفَعَاءَ

هَلْ اَدُلُّكُمْ

Lam Amr

Lam amr adalah lam sukun tambahan (bukan asli struktur kata) yang masuk pada fi’il mudhari’ (kata kerja makna sekarang) lalu merubahnya menjadi bentuk amr (perintah). Selain itu, sebelum lam amr didahului oleh kata tsumma (ثُمَّ), huruf wawu (و), dan fa (ف).

Hukum lam sukun yang ada pada amr adalah dibaca idzhar atau jelas, sebagaimana hukum lam sukun pada isim (kata benda). Berikut contoh lam sukun pada amr yang terdapat pada Q.S. Al-Hajj [22]: 15

فَلْيَمْدُدْ بِسَبَبٍ

Demikian beberapa macam lam sukun dalam Al-Quran yang telah diklasifikasi oleh ilmu tajwid. Selain sebagai bagian dari khazanah kajian ke-Al-Quran-an, kategorisasi ini juga mempermudah pencinta Al-Quran dalam mengenali lafad Al-Quran berikut maknanya.

Mengenal Tafsir Maqashidi: Penafsiran Berbasis Pendekatan Maqashid Syariah

0
Maqashid Syariah
Maqashid Syariah dan Tafsir Maqashidi

Istilah Tafsir Maqashidi berasal dari gabungan dua kata yaitu tafsir dan maqashidi. Tafsir sebagaimana para ulama memaknainya secara etimologis dengan al-bayan wa al-idhah (menjelaskan) atau kasyf al-mugaththa (menyingkap sesuatu yang tertutup). Adapun kata maqashid dalam susunan frasa tersebut berposisi sebagai nisbat kepada pendekatan Maqashid Syariah. Maka kemudian frasa tafsir maqashidi dimaknai sebagai aktivitas penafsiran yang menggunakan pendekatan Maqashid Syariah.

Maqashid Syariah sendiri lahir sebagai sebuah keilmuan yang independen (ilm mustaqil) sejak secara epistemik diorbitkan oleh Imam al-Syatibi. Magnum opusnya, al-Muwafaqat menjadi tonggak kehadiran Maqashid Syariah, meskipun sebelumnya banyak ulama yang telah menyinggungnya namun secara spesifik dan mendalam baru dilakukan oleh al-Syatibi.

Meskipun begitu, Ahmad al-Raisuni—seorang tokoh maqashid asal Maroko—menyatakan bahwa sejatinya al-Syatibi mengembangkan beberapa gagasan para pendahulunya. Semisal melalui al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa-nya, al-Syatibi mengadopsi pembagian tingkat kemashlahatan ke dalam tiga tingkatan yaitu dharuriyah (primer), hajiyah (sekunder), tahsiniyah (tersier).

Begitu juga dengan lima hal pokok tujuan syari’at yang utama (dharuriyah): hifz al-din, hifz al-nafs, hifz al-‘aql, hifz al-nasl dan hifz al-mal, al-Syatibi mengadopsinya dari Imam al-Juwaini dalam kitabnya al-Burhan. Beberapa terminologi yang telah diadopsi dan diadaptasi oleh al-Syatibi ini, menurut al-Raisuni, telah berhasil dikembang sedemikian rupa oleh al-Syatibi sehingga layak ia digelari sebagai Bapaknya Maqashid Syariah atau founding fathers kajian ini.

Selama perkembangannya hingga saat ini, Maqashid Syariah selain menjadi keilmuan yang independen juga diaplikasikan sebagai pendekatan dalam aktivitas penafsiran. Demi menekankan pentingnya keilmuan ini dalam aktivitas penafsiran, Thahir ibn ‘Asyur—seorang ulama asal Tunisia dan dijuluki al-Syatibi junior—bahkan mengemukakan dengan tegas bahwa mengabaikan aspek maqashid dapat menjadi penyebab stagnasi, bukan saja pada pemikiran ahli fikih namun juga pada kalangan mufassir.

Baca Juga: Radikalisme dan Upaya Deradikalisasi: Inspirasi Metode Ishlah dari Ibn ‘Asyur

Apa yang disampaikan oleh ibn ‘Asyur dapat dikatakan tepat, sebab mengabaikan maqashid sama artinya dengan mengabaikan tujuan di balik makna teks dan implikasinya terkesan “mematikan” teks itu sendiri. Istilah “mematikan” di sini maksudnya adalah menghilangkan dimensi shalil li kulli zaman wa makan yang di miliki teks (teks yang dimaksud di sini adalah teks syari’at yaitu al-Qur’an dan Hadis). Maka mufassir yang menerapkan metodologi penafsiran ini tidak akan terperosok dalam jurang tekstualisme dan justru mampu menjadikan teks lebih hidup dan dinamis.

Dalam penerapannya tafsir maqashidi mempertimbangkan tiga hal pokok yaitu teks, konteks (khitab) dan maqshad atau maqashid. Asumsi teoritis dari pendekatan ini ialah bahwa teks selalu terbentuk dalam ruang-ruang sosial dan diskursus/ wacana (khitab) yang kompleks, sehingga makna teks selalu memiliki pesan yang melampaui apa yang dikatakan teks dan inilah yang disebut maqashid. Temuan akan maqashid inilah yang dapat dikontekstualisasikan atau didialogkan dengan zaman sang mufassir.

Tafsir maqashidi juga mempertimbangkan mashlahat sebagai tujuan dari syari’at itu sendiri. Dalam kaitannya dengan maslahat, tafsir maqashidi dapat masuk dalam ranah diskusi dan pengembangan mengenai upaya menjaga dan melestarikan maslahat yang diinginkan dari teks syari’at. Sebab ada dua hal yang dipertimbangkan oleh tafsir maqashidi mengenai hal wacana tersebut yaitu min haitsu al-wujud (developmental) dan min haitsu al-‘adam (protektif).

Sebagai contoh dalam menjelaskan Q.S. al-Maidah [5]: 91:

اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاۤءَ فِى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَعَنِ الصَّلٰوةِ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ

Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?

Ayat ini merupakan ayat yang secara susunan mushafi berada setelah ayat pengharaman khamr. Jika dilihat dari sisi khitab-nya, ayat ini hadir sebagai penegas sikap Islam terhadap budaya konsumsi khamr di kalangan bangsa Arab waktu itu. Maka jika ditilik pengharaman khamr dalam ayat sebelumnya, ayat ini seakan memberikan gambaran fungsi atas pengharaman tersebut.

Fungsi pengharaman itu berkaitan erat dengan maslahah yang ingin dicapai. Pertama, lafaz (اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاۤءَ فِى الْخَمْرِ) menunjukkan bahwa khamr dapat menyebabkan permusuhan dan kebencian di antara sesama manusia dan ini merupakan keinginan setan. Perkelahian dan permusuhan memang sudah menjadi suatu hal yang lazim dalam bangsa Arab yang memang secara tradisi begitu gemar meminum khamr. Dan sampai di masa saat ini pun, khamr juga tidak jarang menjadi penyebab terjadinya perkelahian, tawuran bahkan pembunuhan.

Dalam dunia kedokteran, khamr diidentifikasi dapat menjadi penyebab rusaknya kemampuan manusia untuk berpikir secara jernih. Oleh karena dari sini terlihat bahwa pelarangan khamr dari penggalan ayat ini merupakan bentuk protektif syari’at terhadap jiwa manusia dari akibat yang ditimbulkan oleh kebencian dan permusuhan (hifz al-nas), dan juga bentuk protektif dari hilangnya akal sehal (hifz al-‘aql) serta bentuk penjagaan terhadap keyakinan (hifz al-din) dari khamr yang merupakan wasilah setan untuk menggelincirkan manusia.

Baca Juga: Aplikasi Pendekatan Tafsir Maqashidi Atas Surat al-Mujadilah: Perlawanan Perempuan Terhadap Diskriminasi

Maka dari poin pertama ini didapati bahwa syari’at menginginkan agar manusia selalu menjunjung perdamaian dan mencegah dirinya dari hal-hal yang dapat menjerumuskannya dalam permusuhan. Syari’at juga menginginkan manusia untuk senantiasa menjaga akal sehatnya dan menghindari diri dari hal-hal yang dapat membuat akal tidak mampu berpikir maksimal. Syariat juga menginginkan manusia agar menjaga diri dari hal-hal yang merupakan tipu daya setan yang akan menggugurkan akidah.

Kedua, lafaz (وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَعَنِ الصَّلٰوةِ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ) mengisyaratkan bahwa syari’at ingin dengan adanya pengharaman khamr, umat Islam mampu menjalankan ibadahnya dengan baik sebagai bentuk dari eksistensi hifz al-din dari sisi min haitsu al-wujud. Kemudian, kalimat istifham pada akhir ayat bukan bermakna pertanyaan melainkan perintah, jadi maksudnya syari’at menginginkan umat Islam meninggalkan budaya jahiliyahnya dan memulai budaya baik sebagaimana yang dikehendaki syari’at.

Dari poin kedua ini didapati bahwa Islam datang dengan pelarangan bagi manusia bukan hanya dalam tujuan yang sifatnya vertikal, melainkan demi kemaslahatan manusia sendiri. Hal ini dibuktikan bahwa dari sekian banyak hal yang didapat dari khamr, keburukannya begitu banyak dan justru membahayakan eksistensi manusia itu sendiri. Maka di sini terlihat betapa Islam adalah agama yang begitu menyayangi pemeluknya. Wallahu a’lam.

Ketahui 4 Hal Ini saat Belajar Islam dari Al-Quran Terjemah!

0
Al-Quran Terjemah
Al-Quran Terjemah

Tidak bisa dipungkiri, keterbatasan kemampuan sebagian muslim dalam memahami Al-Quran maupun tafsirnya dalam bahasa aslinya, telah memaksa mereka mempelajari firman-firman Allah lewat Al-Quran terjemah. Hal ini bukanlah sesuatu yang “memalukan”, sebab Allah memerintahkan hambanya untuk mempelajari Islam sesuai dengan kemampuan mereka.

Hanya saja, apa yang diperoleh dari Al-Quran terjemah tetaplah tidak sama dengan mempelajari Al-Quran lewat bahasa aslinya. Terlebih saat membaca Al-Quran terjemah, kita kurang mengetahui tentang seluk-beluk Ilmu Al-Quran yang penting diketahui tatkala mengartikan satu persatu kata di dalam Al-Quran. Tulisan ini akan merangkum 4 hal yang wajib kita ketahui saat belajar Islam dari Al-Quran terjemah.

4 hal yang wajib kita ketahui saat belajar Islam dari Al-Quran terjemah

Pertama, banyak ajaran Islam yang disampaikan di dalam Al-Quran, masihlah berupa keterangan-keterangan umum. Dimana detail-detailnya memerlukan penjelasan dari ayat lain maupun dari hadis Nabi. Salah satu contohnya adalah kewajiban salat lima waktu yang disampaikan di dalam Surat An-Nisa’ ayat 103:

فَإِذَا قَضَيۡتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمۡۚ فَإِذَا ٱطۡمَأۡنَنتُمۡ فَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَۚ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتۡ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ كِتَٰبٗا مَّوۡقُوتٗا

Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (QS. An-Nisa [4] 103).

Baca juga: Mengenal Terjemahan Al-Quran Bersajak dalam Bahasa Aceh Karya Tengku Mahjiddin Jusuf

Detail-detail dari salat yang diwajibkan di dalam ayat di atas, seperti gerakan diawali takbir dengan posisi berdiri dan berlanjut ruku’, i’tidal serta selainnya, tidak dijelaskan secara detail di ayat yang sama bahkan di dalam Al-Quran. Hal ini tidak hanya berlaku pada ayat-ayat yang menyinggung ibadah sehari-hari seperti halnya salat, tapi juga dalam permasalahan aqidah, akhlak-akhlak terpuji yang dianjurkan oleh Al-Quran, serta kisah-kisah di dalam Al-Quran yang dapat kita jadikan suri tauladan (Kifayatul Ahyar/1/152).

Kedua, terjemahan yang ada di dalam Al-Quran terjemah, tidaklah semuanya berdasar pemahaman yang disepakati oleh ahli tafsir Al-Quran. Ada yang disepakati, ada yang tidak disepakati, dan adapula yang disepakati tapi memberikan syarat yang berbeda-beda. Salah satu contohnya adalah, jumlah masa tunggu (iddah) yang diwajib dilalui perempuan yang dicerai tatkala haid, yang disampaikan oleh Allah di dalam Surat Al-Baqarah ayat 228:

وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكۡتُمۡنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِيٓ أَرۡحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤۡمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat (QS. Al-Baqarah [2] 228).

Para ulama’ tidak sepakat mengenai arti lafad quru’ di ayat di atas. Ada yang mengatakan, artinya adalah masa suci. Ada yang mengatakan artinya adalah masa haidl. Di dalam Al-Quran terjemah, ada yang memilih mengartikan lafadz quru’ lewat pendapat sebagian ulama’. Dan ada pula yang memilih tidak mengartikannya, dan menuliskannya lewat bahasa aslinya sebagaimana di dalam terjemahan di atas (Tafsir Ibn Katsir/1/607).

Baca juga: Hukum Menyentuh Al-Quran dalam Keadaan Hadas bagi Anak Kecil yang Sedang Belajar

Ketiga, banyak ayat-ayat di dalam Al-Quran memiliki kronologi atau sebab diturunkannya ayat tersebut. Dimana hal ini akan membatasi maksud dari ayat tersebut. salah satu contohnya adalah, ayat yang menyatakan bahwa orang yang tidak memakai hukum Allah maka ia dihukumi sebagai orang kafir. Hal ini terdapat di dalam Surat Al-Maidah ayat 44:

وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS. Al-Maidah [5] 44).

Ibn Katsir menyatakan bahwa surat al-Maidah ayat 44 turun berkenaan dengan orang Yahudi atau orang non muslim. Sehingga maksud ayat di atas dibatasi pada non muslim yang enggan memakai hukum Allah. sehingga tidak boleh sembarang menuduh orang muslim yang enggan memakai hukum Allah, sebagai orang kafir (Tafsir Ibn Katsir/3/120).

Keempat, terjemahan Bahasa Indonesia kadang tidak bisa memberi gambaran secara lengkap, maksud dari ayat yang diartikannya. Contoh kecilnya adalah arti dari basmallah. Beberapa terjemah mengartikan ar-rahman ar-rahim sebagai maha pengasih dan penyayang. Ar-rahman dan ar-rahim adalah kata yang memiliki makna mirip tapi tak sepenuhnya sama. Dan terjemahan ini tidak bisa menunjukkan perbedaan dari keduanya (Tafsir Ibn Katsir/1/125).

Baca juga: Inilah 2 Cara Menjaga Ketenteraman Hati Menurut Al-Quran

Berhati-hati dalam mengambil kesimpulan dari Al-Quran terjemah

Melalui 4 hal di atas kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa  meski Al-Quran terjemah memberikan banyak bantuan kepada orang yang hendak mempelajari Al-Quran tidak melalui bahasa aslinya, tapi pembacanya tidak boleh terlalu gegabah dalam mengambil kesimpulan darinya. Apalagi bila kesimpulan tersebut bertentangan dengan pandangan umum umat Islam, atau tampak bertentangan dengan nalar sehat manusia.

Berbagai uraian di atas menunjukkan kepada kita, bahwa saat kita belajar Islam melalui Al-Quran terjemahan dan mendapati kesimpulan-kesimpulan yang bertabrakan dengan pandangan umum manusia, maka kesimpulan tersebut haruslah didialogkan dengan ahli agama yang mumpuni di bidang tafsir dan Ilmu Al-Quran. Jangan sampai kemampuan mempelajari Al-Quran lewat terjemah, membuat kita merasa sudah memperoleh kewenangan dapat dengan bebas mengambil kesimpulan, meski itu bertabrakan dengan pandangan umum umat Islam. Wallahu a’lam[]

Mungkinkah Terdapat Bahasa non-Arab Dalam Al-Quran? Ini Penjelasan Para Ulama

0
Pendapat ulama tentang bahasa non-Arab dalam Al-Quran
Pendapat ulama tentang bahasa non-Arab dalam Al-Quran

Diskursus keberadaan bahasa non-Arab (‘ajam) dalam Al-Quran menjadi satu kajian yang cukup banyak dibahas dan diperdebatkan oleh para pengkaji Al-Quran. Dalam literatur-literatur Ulum Al-Quran, diskursus tersebut dikaji secara mendalam dalam subbab pembahasan ma waqa’a fihi bi ghair lughah al-’Arab. Oleh karena itu, menarik kiranya bagi penulis untuk mengungkap ragam pendapat para ulama mengenai kemungkinan keberadaan bahasa non-Arab dalam Al-Quran.

Sebelum memasuki pembahasan kata non-Arab dalam Al-Quran, dalam lingkup bahasa Arab sendiri, Al-Quran tidak hanya turun menggunakan bahasa suku Quraisy, namun juga mencakup bahasa-bahasa suku Arab lain. Hal tersebut didukung dengan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas yang dikutip oleh az-Zarkasyi berikut:

نَزَلَ بِلُغَةِ الْكَعْبَيْنِ كَعْبُ قُرَيْشٍ وَكَعْبُ خُزَاعَةَ، قِيْلَ: وَكَيْفَ ذَاكَ؟ قَالَ: لِأَنَّ الدَّارَ وَاحِدَةٌ

(Al-Quran) diturunkan dengan bahasa dua Ka’b, yaitu Ka’b Quraisy dan Ka’b Khuza’ah. Dikatakan: bagaimana hal tersebut terjadi?, (Ibnu Abbas) berkata: karena dua suku tersebut menempati tempat yang sama” (az-Zarkasyi, 2006:199)

Lebih jauh, Jalaluddin as-Suyuthi menyebutkan bahwa dalam lingkup Arab sendiri, ditemukan kurang lebih sebanyak 30 bahasa suku Arab dalam Al-Quran, yaitu bahasa Arab suku Kinanah, Hudzail, Himyar, Jurhum, Azad Syanu’ah, Madzahij, Khasy’am, Qais ‘Ailan, Saad al-’Asyirah, Kindah, ‘Adzrah, Hadhramaut, Ghassan, Muzainah, Lakhm, Judzam, Bani Hanifah, Bani al-Yamamah, Saba’, Salim, Imarah, Thayy, Khuza’ah, Amman, Tamim, Anmar, al-Asy’ariyyin, Aus, Khazraj, dan Madyan. (as-Suyuthi, 2012: 266-269)

Baca juga: Balaghah Al-Quran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Al-Quran

Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa dalam Al-Quran, terkumpul bahasa dari berbagai suku Arab. Namun demikian, mayoritas bahasa Al-Quran tetap didominasi oleh bahasa suku Quraisy.

Kemudian, terkait keberadaan kosakata atau bahasa non-Arab dalam Al-Quran, para ulama masih berselisih pendapat soal ada tidaknya bahasa non-Arab dalam Al-Quran. Dalam tulisan yang berjudul Al-Quran wa Lughah al-Suryan karya Ahmad Muhammad Ali al-Jamal, perdebatan tersebut terpolarisasi menjadi tiga kelompok, yaitu:

  1. Tidak terdapat kosakata non-Arab dalam Al-Quran

Pandangan kelompok yang pertama ini didasarkan pada beberapa dalil ayat Al-Quran yang memang secara jelas menggunakan redaksi ‘arabiy ketika menjelaskan bahasa Al-Quran, seperti Q.S. Fussilat [41] ayat 44, dan Q.S. Yusuf [12] ayat 2:

وَلَوْ جَعَلْنٰهُ قُرْاٰنًا اَعْجَمِيًّا لَّقَالُوْا لَوْلَا فُصِّلَتْ اٰيٰتُهٗ ۗ ءَاَ۬عْجَمِيٌّ وَّعَرَبِيٌّ ۗ قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا هُدًى وَّشِفَاۤءٌ ۗوَالَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ فِيْٓ اٰذَانِهِمْ وَقْرٌ وَّهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًىۗ اُولٰۤىِٕكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَّكَانٍۢ بَعِيْدٍ ࣖ – ٤٤

Dan sekiranya Al-Quran Kami jadikan sebagai bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab niscaya mereka mengatakan, “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah patut (Al-Quran) dalam bahasa selain bahasa Arab sedang (rasul), orang Arab? Katakanlah, “Al-Quran adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Quran) itu merupakan kegelapan bagi mereka. Mereka itu (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ قُرْاٰنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ – ٢

Sesungguhnya Kami menurunkannya sebagai Qur’an berbahasa Arab, agar kamu mengerti

Dengan berbasis dalil Al-Quran tersebut, maka Imam Syafi’i berpendapat bahwa seluruh Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab. Adapun apabila terdapat pendapat yang mengatakan ada bahasa Al-Quran selain bahasa Arab, maka pendapat tersebut tidaklah benar. Hal ini dikarenakan ditemukan sebagian orang Arab yang tidak tahu akan keluasan cakupan bahasa Arab. Sehingga menganggap apa yang tidak diketahuinya dalam bahasa Arab sebagai bahasa ‘ajam.

Argumen lain juga diutarakan oleh Ibnu Faris. Menurutnya, andaikan Al-Quran mengandung bahasa atau kosakata non-Arab, maka pastilah terdapat sebagian orang yang akan menyangka bahwa ketidakmampuan bangsa Arab dalam membuat semisal Al-Quran dikarenakan di dalam Al-Quran ditemukan bahasa yang tidak diketahui oleh orang Arab sendiri. (as-Suyuthi, 2012: 271)

Para ulama yang memiliki pandangan yang demikian ini antara lain adalah Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w. 204 H), Abu ‘Ubaidah (w. 210 H), Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H), Ibnu Faris (w. 395 H) dan Abu Bakar al-Baqillani (w. 403 H).

Baca juga: Sumbu Kesalahpahaman dalam Ilmu Qiraah

  1. Terdapat sebagian kosakata non-Arab dalam Al-Quran

Bertolak belakang dengan kelompok pertama, kelompok kedua ini cenderung mengakui akan keberadaan bahasa non-Arab dalam Al-Quran. Argumentasi kelompok kedua ini didasarkan pada beberapa kata Al-Quran yang ditemukan berasal dari non-Arab (‘ajam), seperti kata Abariq (Persia) dalam Q.S. al-Waqi’ah [56]: 18, al-Araik (Habasyah) dalam Q.S. al-Kahfi [18]: 31, Asfar (Nabatean) dalam Q.S. Saba’ [34]: 19, Ba’ir (Ibrani) Q.S. Yusuf [12]: 25, dan Tatbir (Nabatean) dalam Q.S. al-Isra’ [17]: 7. (al-Suyuthi, 2012: 273-275)

Abu Bakar al-Wasithiy menyatakan bahwa terdapat delapan bahasa non-Arab dalam Al-Quran, yaitu bahasa Persia, Roma, Nabatean, Habasyah, Barbar, Suryani, Ibrani, dan Qibthi. Dalam pendapat lain, ditemukan juga bahasa Yunani, dan bahasa Turki.

Baca juga: Kosa Kata Bahasa Asing dalam Al-Quran

Hikmah dari adanya bahasa ‘ajam dalam Al-Quran adalah menjadikan Al-Quran sebagai kitab suci yang mencakup ilmu-ilmu terdahulu dan ilmu-ilmu yang akan datang. Karena cakupanya yang luas tersebut, maka menjadi sebuah keniscayaan apabila bahasa Al-Quran terdiri dari berbagai ragam bahasa dari lisan manusia. (al-Suyuthi, 2012: 272)

Beberapa ulama yang mengikuti pandangan kelompok kedua ini adalah Abu Musa al-Asy’ari (w. 42 H), Ibnu ‘Abbas (w. 68 H), Sa’id ibn Jubair (w. 95 H), Mujahid (w. 104 H), ‘Ikrimah (w. 105 H), Atha’ ibn Abi Rabbah (w. 114 H), Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H), al-Khuwayyi, Ibn al-Naqib, dan as-Syaukani

  1. Terjadi proses Arabisasi (Ta’rib) terhadap kosakata non-Arab dalam Al-Quran

Ibnu Athiyah mengungkapkan bahwa telah terjadi proses interaksi dan pencampuran bahasa antara bahasa Arab dari suku Arab asli yaitu Arab ‘Aribah dengan bahasa selain Arab. Terjadinya interaksi tersebut diakibatkan oleh interaksi perdagangan dengan pedagang-pedagang asal Habasyah, Persia, Syam, dan lain-lain. Namun, ketika bahasa non-Arab (‘ajam) tersebut berinteraksi dengan masyarakat Arab, maka terjadi proses arabisasi bahasa sehingga bahasa tersebut telah berubah menjadi mu’arrab.

Pandangan dari kelompok ketiga ini merupakan sikap yang menengahi perdebatan antara kelompok yang pertama dan kedua. Oleh karena itu, Abu Ubaidah ibn Salam mengatakan bahwa apabila terdapat kelompok yang berpendapat bahwa terdapat bahasa non-Arab maka itu benar adanya. Karena sebagian kata memang berasal dari bahasa ‘ajam.

Baca juga: Kompleksitas Bahasa Arab Sebagai Bahasa Al-Quran

Begitu juga sama benarnya dengan pendapat yang mengatakan tidak ada bahasa ‘ajam dalam Al-Quran, karena memang telah terjadi proses arabisasi bahasa terhadap kata-kata ‘ajam tersebut, sehingga berubah menjadi bahasa Arab. Para ulama yang berpandangan demikian antara lain adalah Abu ‘Ubaidah al-Qasim ibn Salam (w. 224 H), al-Jawaliqiy (w. 539 H), Ibnu ‘Athiyah (w. 546 H) dan Ibnu al-Jauzi (w. 597 H).

Dengan demikian, dari paparan tersebut, dapat dipahami bahwa para ulama masih berdebat dan berbeda pendapat terkait kemungkinan keberadaan kosakata atau bahasa non-Arab dalam Al-Quran. Sehingga, hal ini menunjukkan bahwa belum ada keputusan atau kesepakatan final dari para ulama tentang keabsahan kosakata atau bahasa non-Arab dalam Al-Quran. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surah Yasin ayat 51-52: Penyesalan di Hari Kebangkitan

0
Yasin ayat 51-52
Yasin ayat 51-52

Tafsir Yasin ayat 48-50 menjelaskan tentang keingkaran mereka terhadap datangnya hari kiamat dan dahsyatnya fenomena tersebut. Gambaran awal yang diceritakan al-Qur’an adalah pemusnahan masal atas semua mahluk hidup hanya dengan satu teriakan. Adapun tulisan kali ini melanjutkan proses kejadian setelah itu, yakni Tafsir Yasin ayat 51-52 tentang kebangkitan mahluk hidup dari tempat peristirahatan mereka. Allah berfiman:

وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَاِذَا هُمْ مِّنَ الْاَجْدَاثِ اِلٰى رَبِّهِمْ يَنْسِلُوْنَ

قَالُوْا يٰوَيْلَنَا مَنْۢ بَعَثَنَا مِنْ مَّرْقَدِنَا ۜهٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمٰنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُوْنَ

  1. Lalu ditiuplah sangkakala, maka seketika itu mereka keluar dari kuburnya (dalam keadaan hidup), menuju kepada Tuhannya.
  2. Mereka berkata, “Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih dan benarlah rasul-rasul(-Nya).

Jika ayat sebelumnya mengisahkan bagaimana proses mematikan adalah perkara mudah bagi Allah Swt, maka begitupun pada surah Yasin ayat 51-52 ini dijelaskan bahwa mudah bagi Allah Swt. untuk membangkitkan mereka kembali.

Menurut Qurthubi secara bahasa kata نَفَخَ dalam bermakna tiupan. Konteks ayat ini menerangkan bahwa proses tiupan ada dua, tiupan pertama adalah untuk mematikan/memusnahkan sebagaimana dalam QS. az-Zumar [39]: 68, Allah berfirman:

وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَصَعِقَ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَمَنْ فِى الْاَرْضِ اِلَّا مَنْ شَاۤءَ اللّٰهُ ۗ ثُمَّ نُفِخَ فِيْهِ اُخْرٰى فَاِذَا هُمْ قِيَامٌ يَّنْظُرُوْنَ

Dan sangkakala pun ditiup, maka matilah semua (makhluk) yang di langit dan di bumi kecuali mereka yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sekali lagi (sangkakala itu) maka seketika itu mereka bangun (dari kuburnya) menunggu (keputusan Allah).

Sedangkan tiupan kedua adalah untuk menghidupakan, seperti yang diterangkan dalam ayat 51 ini, dan dalam surah an-Naml [27] :87. Jarak antara dua tiupan tersebut 40 tahun lamanya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qatadah yang dikutip oleh Qurthubi dalam tafsinya Jami’ al-Ahkam.

Quraish menceritakan kalau kondisi umat yang ingkar ketika itu kalang-kabut bercampur heran dan cemas. Bagaimana tidak, sebelumnya mereka mati, dan seketika mereka kembali hidup. Sama halnya dengan umat-umat terdahulu yang sudah lama mati, mereka semua dibangkitkan kembali dari peristirahatan (kubur-kubur) tanpa terkecuali. Lalu kemanakah tujuan mereka?

Menurut Ath-Thabari dan Ibnu ‘Asyur, mereka dibangkitkan dari kuburan mereka, kemudian menuju Allah Swt untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka selama di dunia. Kata يَنْسِلوْن sama dengan kata النَّسَلاَن yang berarti berjalan dengan sangat cepat. Yang berarti mereka berjalan menghadap Allah dengan tergesa-gesa.

Sambil berjalan, mereka masih terheran-heran berbicara satu sama lain, bahkan menurut Zuhaili mereka seakan sedang bermimpi. Ekspresi tersebut tampak pada redaksi yang digunakan yakni, “yaa wailanaa” (يَا وَيْلَنَا) “celakalah kami”.

Menruut Quraish, kata ini diucap sebagai ekspresi seseorang yang telah bertemu peristiwa besar/hebat, baik yang sifanya menggembirakan atau menyedihkan. Seperti kata yang diucapkan oleh siti Hajar (Istri Ibrahim) untuk melukis kegembiraan atas kelahiran anak, padahal ia dan suami sudah amat tua. Redaksi yang digunakan Hajar adalah (يَاوَيْلَتَى) sebagimana dalam QS. Hud [11]:72:

قَالَتْ يٰوَيْلَتٰىٓ ءَاَلِدُ وَاَنَا۠ عَجُوْزٌ وَّهٰذَا بَعْلِيْ شَيْخًا ۗاِنَّ هٰذَا لَشَيْءٌ عَجِيْبٌ

Dia (istrinya) berkata, “Sungguh ajaib, mungkinkah aku akan melahirkan anak padahal aku sudah tua, dan suamiku ini sudah sangat tua? Ini benar-benar sesuatu yang ajaib.”

Selanjutnya, kondisi orang-orang yang ingkar itu tidak lagi pada zona nyaman karena mereka sudah dibangkitakn dari marqad (مَرْقَد) “tempat tidur/tempat peristirahatan”. Menurut Ishfahani, kata tersebut berasal dari kata raqada  (رَقَدَ) yang berarti “tidur nyenyak tapi sebentar”.

Jadi, wajar jika mereka begitu kaget, analoginya seperti kita lagi pulas-pulasnya tidur, dibangunin, trus disuruh lari. Yang demikian mirip di film-film pelatihan militer, kiranya  begitulah kondisi saat itu.

Pertanyaannya, apakah mereka sadar dengan kondisi tersebut? dan sadarkah mereka akan apa yang terjadi? Ini terjawab pada redaksi kata setelahnya.

Bahwa kalimat هٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمٰنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُوْنَ terjemahannya inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih dan benarlah rasul-rasul(-Nya), mengisyaratkan bahwa mereka sudah sadar sekaligus menyesal atas keingkaran, serta membenarkan kebenaran dari para Rasul yang diutus kepada mereka.

Kata tersebut diucap oleh para malaikat untuk mengecapm kebodohan mereka ketika didunia. Sedangkan penggunaan kata ar-Rahman menurut Quraish, agaknya megisyaratkan harapan mereka akan adanya curahan rahmat Allah swt, sekaligus bentuk pengakuan dan sesal mereka yang telah ingkar dan enggan bersujud pada-Nya, sebagaimana dalam QS. al-Furqan [25]: 60:

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اسْجُدُوْا لِلرَّحْمٰنِ قَالُوْا وَمَا الرَّحْمٰنُ اَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُوْرًا

Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Sujudlah kepada Yang Maha Pengasih”, mereka menjawab, “Siapakah yang Maha Pengasih itu? Apakah kami harus sujud kepada Allah yang engkau (Muhammad) perintahkan kepada kami (bersujud kepada-Nya)?” Dan mereka makin jauh lari (dari kebenaran).

Demikianlah penjelasan ringkas tafsir surat Yasin ayat 51-52, silahkan tunggu series tafsir surat Yasin selanjutnya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis showab.