Beranda blog Halaman 407

Ayat An-Najwa: Hanya Satu Orang yang Pernah Mengamalkan Ayat Ini, Siapa Dia?

0
ayat an-najwa (surah al-mujadilah ayat 12)
ayat an-najwa (surah al-mujadilah ayat 12)

Dalam Al-Quran ada satu ayat yang dikenal dengan ayat an-najwa. Dalam beberapa penafsirannya, dijelaskan bahwa hanya satu orang yang pernah mengamalkan ayat ini. Siapakah dia? Namun sebelumnya, kita perlu mengetahui terlebih dahulu ayat an-najwa itu sendiri.

Ayat an-najwa adalah sebutan lain untuk surah Al-Mujadilah [58]: 12

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُوْلَ فَقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰىكُمْ صَدَقَةً ۗذٰلِكَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَاَطْهَرُۗ فَاِنْ لَّمْ تَجِدُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum (melakukan) pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih. Tetapi jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Baca Juga: Agar Semangat Mencari Ilmu: Tafsir Surat al-Mujadilah Ayat 11

Mengenai ayat tersebut As-Suyuthi di dalam kitab At-Tahbir Fi Ilmi At-Tafsir (261) membuat bab khusus yaitu مَا عَمِلَ بِهِ وَاحِدٌ ثُمَّ نُسِخَ (ayat yang hanya satu orang saja yang pernah mengamalkannya, kemudian dinaskh).

Ayat tersebut hukumnya dinaskh (direvisi) dengan Firman Allah surah Al-Mujadilah [58]: 13 yaitu:

ءَاَشْفَقْتُمْ اَنْ تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰىكُمْ صَدَقٰتٍۗ فَاِذْ لَمْ تَفْعَلُوْا وَتَابَ اللّٰهُ عَلَيْكُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗوَاللّٰهُ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ ࣖ

Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum (melakukan) pembicaraan dengan Rasul? Tetapi jika kamu tidak melakukannya dan Allah telah memberi ampun kepadamu, maka laksanakanlah salat, dan tunaikanlah zakat serta taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya! Dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.

Dua ayat di atas, walaupun secara tilawah (bacaan) bersambung, tetapi secara nuzul (turunnya) tidak bersambung. Hal ini sebagaimana yang dicatat oleh Al-Fadani dalam Faidh al-Khobir Wa Khulashotu at-Taqrir (153). Dia juga mencatat perbedaan pendapat mengenai hukum memberikan sedekah dalam ayat tersebut. Ada yang mengatakan wujub (harus) dan ada juga yang mengatakan nadb (sunnah).

Baca Juga: Keutamaan Ilmu Menurut Al-Quran: Tafsir QS. Al-Mujadilah [58] Ayat 11

Hanya satu sahabat yang pernah mengamalkan perintah ayat

Sebelum Ayat An-Najwa itu dinaskh hukumnya, para sahabat belum ada yang mengamalkannya, kecuali satu orang. Tahukah siapa dia? Dia adalah Ali bin Abi Thalib. Bagaimana kisahnya, mari kita simak berikut ini. Diantaranya riwayat yang ada dalam Lubab An-Nuqul Fi Asbab An-Nuzul (256).

Dari Ibnu Abbas RA, dia berkata: “Kaum Muslimin terlalu banyak bertanya kepada Rasulullah SAW, sehingga mereka memberatkan Nabi. Kemudian Allah SWT ingin meringankan beban itu dari Nabi-Nya, maka Allah SWT menurunkan ayat “Apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul…” Ketika ayat tersebut turun, kebanyakan orang menahan diri dan tidak lagi bertanya kepada Rasulullah SAW. Lalu setelah itu Allah SWT menurunkan ayat Apakah kamu takut akan (menjadi miskin)…”

Dari Ali RA, dia berkata, “Ketika turun ayat Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul… Rasulullah SAW berkata kepadaku, “Bagaimana menurutmu, apakah satu dinar?” Saya jawab. “Mereka tak mampu” Beliau berkata, “Setengah dinar?” Saya jawab, “Mereka tak mampu” Beliau berkata, “Lalu berapa?” Saya jawab, “Emas seberat biji sawi” Beliau berkata, “Sungguh, kamu itu orang yang sedikit harta” Lalu turunlah ayat Apakah kamu takut akan (menjadi miskin)…” Ali RA berkata, “Maka, sebab dirikulah Allah SWT meringankan umat ini”. At-Tirmidzi berkata hadits ini adalah hadits hasan.

Al-Fadani dalam Faiydh al-Khobir mengutip riwayat dari Ali RA yang berkata, “Sesungguhnya dalam Kitabullah terdapat ayat yang belum pernah diamalkan sebelumku dan tidak akan diamalkan oleh seorang pun setelahku, yaitu Ayat An-Najwa: “Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul…” Aku memiliki satu dinar yang harganya sama dengan sepuluh dirham. Bila aku ingin berkonsultasi dengan Nabi SAW, maka sebelum itu aku bersedekah satu dirham. Lalu ayat ini pun dinaskh, maka tak ada satu orang pun yang mengamalkannya. Lalu turun ayat Apakah kamu takut akan (menjadi miskin)…”

Dalam Tafsir Al-Munir (14/419) Az-Zuhaili mengutip riwayat dari Ali RA yang redaksinya hampir sama. Hanya ada sedikit perbedaan yaitu disebutkan di sana Ali memiliki satu dinar, lalu dijualnya (ditukar dirham) dan setiap melakukan pembicaraan khusus atau berkonsultasi bersedekah satu dirham sehingga semua dirhamnya habis.

Baca Juga: Jangan Ragu Untuk Bersedekah! Inilah 4 keutamaan Sedekah Menurut Al-Quran

Hanya Ali atau dinaskh sebelum diamalkan sama sekali?

Selain pendapat yang menyatakan bahwa hanya Ali bin Abi Tholib yang mengamalkannya, ada juga pendapat lain yaitu ayat tersebut dinaskh sebelum ada seorang pun yang mengamalkannya. Sebagaimana disampaikan dalam At-Tahbir.

Ash-Shobuni dalam Shofwah At-Tafasir (3/342) mengutip Al-Qurthubi bahwa riwayat dari Ali RA yang berkaitan dengan pernyataannya ada ayat di Kitabullah yang belum pernah diamalkan oleh seorang pun sebelum dan setelahnya adalah dhoif (lemah), dengan alasan karena Allah SWT berfirman: فَإِذۡ لَمۡ تَفۡعَلُواْ “Tetapi jika kamu tidak melakukannya”. Ini menunjukkan belum ada satu orang pun yang bersedekah dengan sesuatu apapun.

Mengenai pendapat terakhir ini Al-Fadani dalam Faidh al-Khobir justru menegaskan bahwa pendapat ini merupakan pendapat yang tidak benar, berdasarkan riwayat At-Tirmidzi dan sekelompok ulama yang lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Baca Juga: Perbedaan Pandangan Ulama tentang Nasikh dan Mansukh

Lama berlakunya hukum ayat an-najwa

Adapun mengenai berapa lama hukum ayat ini berlaku, ada perbedaan pendapat. Sebagian mengatakan hanya berlaku selama sepuluh hari, seperti yang dikatakan oleh Muqatil. Sedangkan menurut Qatadah hanya sesaat di siang hari (سَاعَةً مِنَ النَّهَارِ).

Dari dua pendapat ini As-Suyuthi berkomentar bahwa yang dhohir itu pendapat yang kedua. Dalam Itmamut Diroyah (43) As-Suyuthi memberikan alasan, bahwa mustahil kalau para sahabat berdiam selama itu (sepuluh hari) dengan tidak berbicara kepada Nabi Muhammad SAW.

Riwayat yang dikutip oleh Al-Fadani dalam Faidh al-Khobir di atas, yaitu perkataan كَانَ عِنْدِيْ دِيْنَارٌ قِيْمَتُهُ بِعَشْرَةِ دَرَاهِمَ (Aku memiliki satu dinar yang harganya sama dengan sepuluh dirham,). Menurut penulis bisa jadi sepuluh dirham itu habis dalam sepuluh hari. Setiap harinya berkonsultasi satu kali selama sepuluh hari, dan sebelum itu bersedekah dengan satu dirham. Ini bisa menjadi salah satu argumentasi untuk memperkuat pendapat pertama (sepuluh hari).

Namun, bisa juga diarahkan untuk mendukung pendapat kedua (sesaat di siang hari). Sepuluh dirham itu mungkin saja habis dalam waktu sesaat, karena setiap berkonsultasi setiap pertanyaan yang menjadi pembicaraan saat itu harus sedekah satu dirham terlebih dahulu.

Al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid (2/503) menyebutkan perihal setiap kalimat (pertanyaan) yang akan dibicarakan dengan Nabi, sebelumnya diperintahkan untuk bersedekah satu dirham, sebagaimana berikut ini:

وَأَمَرَهُمْ بِالصَّدَقَةِ قَبْلَ أَنْ يَتَنَاجَوْا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِدِرْهَمٍ عَلَى الْفُقَرَاءِ بِكُلِّ كَلِمَةٍ

Allah mengutus mereka (orang-orang kaya) untuk bersedekah kepada orang-orang fakir sebelum melakukan pembicaraan khusus dengan Nabi SAW, setiap kalimat (pertanyaan) satu dirham.

Hal ini bisa dikuatkan dengan riwayat yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim (4/301) saat membahas permasalahan Ayat An-Najwa ini, yaitu sebuah riwayat yang dikatakan oleh Ibnu Najih dari Mujahid. Dalam riwayat tersebut disebutkan Ali bersedekah satu dinar dan menanyakan sepuluh perkara. Seperti dijelaskan dalam riwayat yang lain, satu dinar tadi ditukar dengan sepuluh dirham, maka bisa jadi kejadian itu memang hanya sesaat di siang hari. Wallahu a’lam.

Nalar Sufistik dan 3 Ragam Konteks Interaksinya dengan al-Quran

0
Nalar Sufistik
Nalar Sufistik

Nalar sufistik menjadi salah satu epistemologi yang diakui oleh para cendekiawan Islam sebagai basis dalam menafsirkan al-Qur’an. Istilah bagi produk tafsir yang lahir dari epistemologi sufisme ini disebut sebagai tafsir Isyari. Produk tafsir yang masuk kategori ini tidak lahir hanya dari satu pola interaksi sufi dengan al-Qur’an, melainkan melalui beberapa macam bentuk interaksi.

Muhammad Abid al-Jabiri dalam karyanya Takwin Aql al-Araby mengkategorisasikan nalar sufistik sebagai bagian dari epistemologi irfani. Namun dalam praktiknya nalar sufistik tetap bersinggungan dengan kedua nalar lainnya yaitu bayani dan burhani. Masing-masing ketersinggungan ini akan menimbulkan ragam nalar sufistik yang berbeda-beda.

Secara umum nalar sufistik atau irfani dimaknai sebagai nalar ilahiyah, sebab nalar sufistik menggunakan metode riyadhah (tirakat dan penyucian diri) sebagai bekal untuk menggapai al-faydl al-ilahiyyah (ilmu ladunni atau ilham) melalui fenomena kasyaf. Jika merujuk pada definisi umum tersebut, maka ada tiga tahapan yang harus ditempuh seorang sufi dalam mencapai posisi puncak selama riyadhah-nya yaitu takhalli (membersihkan jiwa), tahalli (memperindah jiwa) dan tajalli (mengisi hati hanya dengan Tuhan).

Baca Juga: Ikhwanus Shafa dan Tafsir Isyari tentang Tingkat Spiritualitas Manusia

Secara spesifik ajaran sufisme memiliki setidaknya dua orientasi. Pertama, moderatisme (mu’tadilin) yang melandasi doktrinnya dengan melakukan konfirmasi kepada teks al-Qur’an dan Sunnah. Aliran ini juga disebut sebagai tasawuf sunni, sebab sebagian besar golongan yang menggunakan metode ini ialah golongan sunni. Serta disebut juga dengan istilah tasawuf akhlaqi karena orientasinya ditujukan pada ranah karakteristik dan moralitas.

Kedua, falsafi yang terkenal dengan berbagai istilah-istilah filsafatnya yang berasal dari masuknya ajaran neo-platonisme. Konsep fana’(annahilation), hulul, israqiyyah (illuminasi), wahdah al-wujud dan ragam terminologi filsafat lainnya merupakan ciri khas dari aliran ini. Ragam terminologi filsafat yang digunakan oleh aliran ini bertujuan untuk mewujudkan visinya yaitu merasionalisasi fenomena mistisme.

Meskipun para sufi dalam rangka menumbuhkan nalar sufistiknya memiliki metode riyadhah yang berbeda-beda serta orientasi yang juga berbeda. Namun dalam konteks penafsiran atau interaksinya dengan al-Qur’an, para sufi digolongkan setidaknya kepada tiga jenis interaksi.

Pertama, interaksi eisegesis (dari gagasan ke teks). Model interaksi ini dikemukakan oleh Ignaz Goldziher yang menganggap bahwa sumber rujukan dari ajaran sufisme bukanlah al-Qur’an melainkan paham emanasi neo-platonisme. Maka munculnya tafsir-tafsir al-Qur’an yang bercorak sufistik merupakan bentuk upaya para sufi untuk melegitimasi paham sufistik yang digelutinya.

Kedua, exegesis (dari teks ke gagasan). Model interkasi ini diuraikan oleh Massignon seorang pengkaji al-Qur’an asal Perancis yang menegaskan bahwa sumber utama tafsir sufi ialah pengetahuan ilahiyah yang didapatkannya melalui suluk atau riyadhah. Maka tafsir sufi menurutnya bukanlah produk yang bertujuan untuk melegitimasi paham sufistik para sufi melainkan ungkapan ekspresi serta sintesa antara pembacaan para sufi terhadap al-Qur’an dengan pengetahuan ilahiyah yang dimilikinya.

Ketiga, sintesa antara eisegesis dan exegesis. Pendapat ini dipegang oleh Husain al-Dzahabi yang menjelaskan bahwa pola interaksi antara sufi dan al-Qur’an mencakup dua interaksi sekaligus. Sebab sebagaimana tasawuf dibagi ke dalam dua ragam yakni nazhari dan amali, maka keduanya saling berkelindan. Sufi selain memunculkan ajaran yang sifatnya teoritis, juga menghadirkan laku-laku suluk atau riyadhah yang dijadikan sebagai amalannya.

Masing-masing interaksi antara sufi dengan nalar sufinya terhadap al-Qur’an, akan menghasilkan variasi dalam produk tafsir isyari. Hal itu akan sangat menarik jika dibahas ke dalam ranah penelitian.

Baca Juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (1): Definisi, Klasifikasi dan Prasyarat yang Harus Dipenuhi

Namun dalam ranah teologis, tentu ada batasan-batasan yang harus ditetapkan terhadap standar validitas tafsir isyari yang bisa dijadikan sebagai rujukan. Poin ini begitu penting, sebab tak jarang ditemui fenomena di masyarakat yang mempertentangkan dan bahkan berupaya menghapus dimensi syariat yang normatif.

Semisal shalat dianggap cukup hanya dengan berzikir dalam hati, hal ini dianggap sebagai kebenaran dan sesuai dengan pemahaman terhadap Q.S. Thaha [20]: 14:

اِنَّنِيْٓ اَنَا اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدْنِيْۙ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ

Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah salat untuk mengingat Aku.

Maka untuk menghindari kesalahpahaman tersebut, salah satu standar yang diberikan oleh Quraish Shihab dapat menjadi rujukan terbaik untuk mempertimbangkan validitas tafsir isyari. Ia berpendapat bahwa tafsir isyari dapat diterima dengan beberapa syarat antara lain: maknanya lurus, tidak bertentangan dengan hakikat-hakikat keagamaan, tidak juga dengan lafal ayat, tidak menyatakan bahwa itulah satusatunya makna untuk ayat yang ditafsirkan, terdapat korelasi antara makna isyari yang ditarik oleh sufi dari tesk al-Qur’an dengan zahir ayat al-Qur’an, dan ada dukungan dari sumber ajaran agama yang mendukung makna isyari tersebut. Wallahu a’lam.

Ketahui Sembilan Adab Ketika Membaca Al-Quran

0
adab ketika membaca Al-Quran
adab ketika membaca Al-Quran

Ada beberapa tatakrama saat berinteraksi dengan Al-Quran telah dijelaskan oleh para ulama. Ada yang menjelaskannya dengan panjang lebar, ada pula yang menerangkannya dengan singkat, bahkan  kadang disebutkan tanpa menjelaskan dasarnya dengan detail. Tatakrama yang singkat ini setidaknya dapat dilist dalam sembilan adab ketika membaca Al-Quran.

Di antara adab yang secara singkat dijelaskan oleh para ulama tersebut, adalah anjuran berhenti sebentar dalam membaca Al-Quran tatkala sedang kentut. Adab ini disampaikan secara singkat oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu Syarah Muhadzab. Penulis akan mencoba merangkum adab-adab yang disampaikan secara singkat oleh ulama, yang penulis istilahkan dengan “adab ringan” seperti dalam penjelasan berikut:

Baca Juga: Mengaplikasikan Metode Tadabbur Saat Membaca Al-Quran dan Langkah-Langkahnya

Sembilan Adab Ketika Membaca Al-Quran

Pertama, apabila kita sedang membaca Al-Quran dan hendak kentut, maka dianjurkan berhenti membaca terlebih dahulu dan kentut sampai selesai, baru kemudian meneruskan membaca Al-Quran. Perlulah dipahami bahwa maksud dari membaca disini bukanlah membaca Al-Quran disertai menyentuh mushaf. Sebab menyentuh mushaf bagi orang yang hadas hukumnya haram (Al-Majmu’/2/164).

Anjuran di atas berlaku tatkala kita hendak membaca Al-Quran tanpa menyentuh mushaf. Entah itu berdasarkan ingatan, maupun berdasar mushaf yang terlebih dahulu sudah dibuka dan dapat dibaca tanpa perlu menyentuhnya. Tidak seperti menyentuh mushaf, membaca Al-Quran dalam keadaan hadas hukumnya boleh.

Kedua, dimakruhkan membaca Al-Quran bagi orang yang keadaan mulutnya terkena najis. Sebenarnya terjadi perbedaan di antara para ulama terkait hukum membaca Al-Quran dalam keadaan mulut najis. Ada yang menyatakan haram. Namun pendapat yang sahih adalah yang menyatakan makruh saja, dan tidak sampai haram. Oleh karena itu, bagi yang mulutnya terkena najis, entah itu berupa darah atau selainnya, sebaiknya dicuci dahulu sebelum membaca Al-Quran (Al-Majmu’/2/163).

Ketiga, ketika membaca Al-Quran dan hendak menguap (jawa: angop), dianjurkan berhenti membaca terlebih dahulu. Baru kemudian setelah selesai menguap dapat meneruskan bacaan. Imam An-Nawawi mengaitkan adab tersebut dengan hadis yang secara umum menganjurkan agar saat menguap, hendaknya menutup mulut (At-Tibyan/58).

Baca Juga: Hukum Membaca Al-Quran dalam Keadaan Hadas

Keempat, dianjurkan melirihkan bacaan Al-Quran saat membaca ayat-ayat berikut ini dan ayat-ayat lain yang berbunyi sama:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ

Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: “Al masih itu putra Allah” (QS. At-Taubah [9] 30).

وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ

Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu” (QS. Al-Maidah [5] 64).

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا

Dan mereka berkata: “Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak” (QS. Maryam [19] 88).

Kelima, hukumnya makruh membaca Al-Quran saat ruku’, sujud dan tasyahud di dalam salat. Dan pada saat berdiri bagi makmum selain dari bacaan Al-Fatihah. Juga pada saat mengantuk dan tatkala mendengar khutbah (Al-Majmu’/2/167).

Keenam, hukumnya makruh tertawa serta bercakap-cakap di sela-sela membaca Al-Quran.

Ketujuh, hukumnya makruh berbincang-bincang di hadapan Al-Quran kecuali membahas sesuatu yang berguna.

Kedelapan, hukumnya makruh memainkan tangan atau melihat sesuatu yang membuat hati lalai dari menghayati Al-Quran, tatkala membaca Al-Quran (Ittihafu Fudhalaul Basyar/26).

Baca Juga: Inilah Keutamaan Membaca Al-Quran dengan Tartil

Kesembilan, hukumnya makruh membaca Al-Quran tatkala sedang di perjalanan. Sebab keadaan di perjalanan tersebut nantinya akan membuat bacaan Al-Qurannya menjadi tidak karu-karuan (Al-Majmu’/2/167).

Cukup banyak adab-adab ringan lain yang belum di sebutkan di atas, bahkan tidak pula disebutkan di dalam kitab-kitab adab berinteraksi dengan Al-Quran semacam kitab At-Tibyan. Tatakrama yang lain ini dapat disimak dalam kitab-kitab hadis maupun riwayat hidup para ulama. Meski begitu, sembilan adab ketika membaca Al-Quran di atas tidak sepatutnya diremehkan, justru yang lebih penting adalah terus belajar agar lebih mengetahui, bagaimana para ulama’ berinteraksi dengan Al-Quran, sehingga dapat menjadi teladan bagi kita.

Bagaimanapun juga, Al-Quran adalah kalamullah, perkataan yang suci dan mulia. Mushafnya pun akhirnya ketularan suci dan mulia. Membacanya, menyentuhnya dan membawanya adalah bentuk interaksi kita dengan Kalam yang suci dan mulia itu, sudah sepatutnya kita bergaul dengannya dengan penuh adab dan tatakrama. Wallahu A’lam

Ekspresi dan Intonasi Dalam Bacaan Saktah

0
Intonasi Dalam Bacaan Saktah
Intonasi Dalam Bacaan Saktah

Sebagai pembuka, sebelum masuk pada intonasi dalam bacaan saktah, penulis tampilkan terlebih dahulu, sebuah gubahan syair yang menyebutkan tempat-tempatnya saktah pada kitab Mustholah at-Tajwid (29) karya KH. Abdullah Umar Fadhlullah .

سَكْتَةُ حَفْصٍ فِي الْكِتَابِ اَرْبَعُ # فِي عِوَاجًا أَوَّلَ كَهْفٍ يَقَعُ

مَرْقَدِنَا عَلَى يَسِيْنٍ عُلِمَتْ # مَنْ رَاقِ نِ الْقِيَامَةِ السَّكْتُ ثَبَتْ

بَلْ رَانَ فِي التَّطْفِيْفِ كُلَّ مَا تَرَى # مِنْ سَكْتَةٍ سِوَاهَا فَاتْرُكْ وَاهْجُرَا

Saktahnya riwayat Hafsh dalam Al-Kitab ada empat, terdapat pada kata عِوَاجًا dipermulaan surat Al-Kahfi. Kata مَرْقَدِنَا pada surat Yasin yang telah diketahui. Kata مَنْ رَاقٍ pada surat Al-Qiyamah telah ditetapkan. Kata بَلْ رَانَ dalam surat Ath-Thathfif. Setiap kamu melihat tanda saktah di selain empat di atas, maka tinggalkanlah!

Tulisan ini tidak akan membahas mengenai bacaan saktah dari tinjauan ilmu tajwid, tapi pada artikel ini penulis ingin melihat hubungan saktah dengan intonasi dan ekspresi. Dalam sebuah perkataan, baik lisan maupun tulisan tentu akan lebih menghayati isi pembahasannya, jika disertai intonasi dan ekspresi yang sesuai konteksnya. Karena dengan demikian seakan Al-Qur’an hidup dan mengajak kita berbicara.

Baca juga: Surah Al-Qalam Ayat 17-29: Kisah Pemilik Kebun dan Sebuah Penyesalan

Begitu halnya dengan bacaan saktah, seakan mengajak pembacanya untuk lebih menyelami makna Al-Qur’an yang sedang dibaca. Sebagaimana dalam Thalai’ Al-Bisyr Fi Taujihi Al-Qira’at Al-‘Asyr (11) dikatakan bahwa saktah lebih menjelaskan makna-maknanya daripada mewasholkan. Karena terkadang dengan diwasholkan akan diasumsikan makna selain makna yang dikehendaki dari ayat tersebut.

Macam-Macam  Ekspresi dan Intonasi Saktah

Untuk lebih jelasnya mari kita telaah satu persatu pada beberapa ayat al-Quran. Pada saktah pertama QS. Al-Kahfi [18]: 1-2, yang berbunyi:

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلٰى عَبْدِهِ الْكِتٰبَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَّهٗ عِوَجًا ۜ  ١ قَيِّمًا لِّيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيْدًا مِّنْ لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ اَجْرًا حَسَنًاۙ  ٢

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok; sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik.

Pada kata عِوَاجًا berhenti tanpa bernafas dan dilanjutkan kata قَيِّمًا seakan mengajak pembaca untuk menegaskan bahwa Al-Qur’an itu sungguh tidak ada kebengkokan atau cacat di dalamnya, baik secara lafadz maupun maknanya.

Sebagaimana ketika kita menyatakan sesuatu, kemudian yang diajak bicara terlihat meragukan apa yang kita katakan, maka dibutuhkan penegas biar lawan bicara kita percaya. Oleh karena itu, munculnya قَيِّمًا sebagai penegas tentu ada jeda dengan yang ditegaskan sebelumnya. Jeda ini sangat sesuai dengan pola bacaan saktah.

Sebagai penegas kata قَيِّمًا sangat tepat jika intonasinya tinggi. Apalagi melihat kelanjutan ayatnya yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an berfungsi لِّيُنْذِرَ (untuk memperingatkan) dan يُبَشِّرَ (memberikan kabar gembira). Saat kita memberi peringatan tentu intonasi yang sesuai itu tinggi dengan ekspresi yang meyakinkan dan tegas. Begitu pula saat kita memberikan kabar gembira, saking gembiranya tidak jarang intonasinya juga tinggi.

Baca juga: Kritik Al-Quran Terhadap Fenomena Pembunuhan Anak Di Masa Jahiliyah

Penegasan sebagaimana pernyataan di atas setidaknya bisa kita temukan penguatnya dalam Al-Munir (8/219), Syekh Wahbah Az-Zuhaili menyatakan وَفَائِدَةُ الْجَمْعِ بَيْنَ نَفْيِ الْعِوَجِ وَإِثْبَاتِ الْإِسْتِقَامَةِ هُوَ التَّأْكِيْدُ (Faidah berkumpulnya antara peniadaan kebengkokan dan penetapan kelurusan Al-Qur’an merupakan sebuah ta’kid atau penegasan).

Demikian halnya dengan saktah pada QS. Yasin [36]: 52 sebagai berikut:

قَالُوْا يٰوَيْلَنَا مَنْۢ بَعَثَنَا مِنْ مَّرْقَدِنَا ۜهٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمٰنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُوْنَ ٥٢

Mereka berkata, “Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih dan benarlah rasul-rasul(-Nya).

Saktah pada ayat ini memperjelas bahwa qail-nya (orang yang berkata) itu berbeda. Orang-orang kafir yang dulunya mengingkari adanya hari kebangkitan dari kubur akhirnya tersadar juga. Lantas mereka berkata يَٰوَيۡلَنَا مَنۢ بَعَثَنَا مِن مَّرۡقَدِنَا Sedangkan Firman-Nya هَٰذَا مَا وَعَدَ ٱلرَّحۡمَٰنُ ini menghikayatkan perkataan malaikat. Intonasi yang tinggi akan lebih menggambarkan ekspresi kegemasan malaikat kepada orang-orang yang tidak percaya hari kebangkitan sebagaimana Allah janjikan.

Syekh Nawawi Al-Bantani mengamini penafsiran dua qail yang berbeda tersebut. Selain itu, beliau juga menyebutkan pendapat yang lain, berhenti pada kata هَٰذَا yang menjadi badal dari مِن مَّرۡقَدِنَا. Artinya kata هَٰذَا dan seterusnya masih kelanjutan dari perkataan orang-orang kafir.

Kemudian pada Marah Labid (2/292) beliau menyebutkan,حَيْثُ يَتَذَكَّرُوْنَ مَا سَمِعُوْهُ مِنَ الرُّسُلِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ فَيُجِيْبُوْنَ بِهِ أَنْفُسُهُمْ  (ketika mereka (orang-orang kafir) teringat dengan apa yang telah mereka dengar dari para rasul ‘alaihimussalam (dulu ketika di dunia), maka mereka sendiri menjawab pertanyaan dengannya (kelanjutan ayat tersebut)).

Selain itu Beliau juga berkata أَوْ يَجِبُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا atau sebagian dari mereka menjawab yang lainnya. Menurut penafsiran yang kedua ini qail-nya berbeda, tapi masih sesama orang kafir. Sebagaimana penjelasan di atas, dengan saktah bedanya qail akan semakin jelas. Walaupun Syekh Nawawi Al-Bantani sendiri tidak menjelaskan pendapat yang mengatakan berhenti pada kata هَٰذَا ini disertai saktah sebelumnya ataukah tidak.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Mengqadha Puasa Sunnah

Dua penafsiran terakhir ini lebih tampak kesesuaiannya dengan cara baca model saktah. Karena keterkejutan yang bercampur ketakutan dan kebingungan itu seringkali membuat seseorang terdiam sesaat. Bahkan tidak jarang nafasnya pun ikut terhenti walau hanya sesaat, seperti orang yang bengong terkaget-kaget, terperangah, dan ketakutan.

Ini menjadi gambaran ekspresi mereka (orang-orang kafir) yang tidak percaya adanya hari kebangkitan dan ternyata tidak seperti yang mereka sangka. Sehingga mereka bergumam sendiri atau bertanya kepada temannya yang sama-sama tidak percaya. Apalagi disertai dengan intonasi sedih penuh penyesalan. Karena pada akhirnya mereka tersadar dan mengakui adanya kebangkikan dari kematian, namun pengakuannya tersebut sudah tidak berguna lagi.

Begitu pula dengan saktah pada QS. Al-Qiyamah [75]: 27. Untuk lebih jelasnya kita tampilkan dari mulai ayat sebelumnya sebagai berikut:

كَلَّآ اِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَۙ  ٢٦ وَقِيْلَ مَنْ ۜرَاقٍۙ  ٢٧

Tidak! Apabila (nyawa) telah sampai ke kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya), “Siapa yang dapat menyembuhkan?”

Saktah di sini sangat menggambarkan ekspresi orang-orang yang merasa berada di sekitarnya. Dengan saktah pada kata مَنْ (siapa) dan dilanjutkan dengan kata رَاقٍ (yang dapat menyembuhkan?), terjeda tanpa bernafas menggambarkan sebuah ekspresi kepanikan dan ketegangan, terlebih biasanya sambil menangis terisak-isak. Layaknya dalam keadaan menegangkan ketika melihat saudara atau orang lain yang sakarat.

Syekh Ali Ash-Shobuni dalam Shofwah At-Tafasir (3/487) menggambarkan suasana saat itu dengan berkata: وَقَالَ أَهْلُهُ وَأَقْرِبَاؤُهُ: مَنْ يَرْقِيْهِ وَيَشْفِيْهِ مِمَّا هُوَ فِيْهِ ؟ keluarga dan sanak saudaranya berkata: “Siapa yang dapat menyembuhkan dan mengobatinya dari penyakit yang ada padanya?. Ekspresi itu akan semakin terlihat dengan menggunakan intonasi yang sendu penuh harap.

Selanjutnya saktah terakhir terdapat pada QS. Al-Muthaffifin [83]: 14 sebagai berikut ini:

كَلَّا بَلْ ۜرَانَ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ ١٤

Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.

Pada ayat ini membantah ungkapan dari orang-orang kafir bahwa Al-Qur’an adalah dongeng orang-orang terdahulu (اَسَاطِيْرُ الْاَوَّلِيْنَ). Kemudian saktah pada kata بَلْ yang mana setelahnya dijelaskan penyebab kedurhakaan mereka pada hari kebangkitan dan kebenaran Al-Qur’an. Dalam konteks membantah dan menjelaskan penyebab kedurhakaan tersebut sangat sesuai jika disertai intonasi tinggi. Tingginya intonasi ini sudah mewakili ekspresi pembelaan terhadap tuduhan nyleneh dari orang-orang kafir tersebut.

Baca juga: Fatimah Mernissi dan Inspirasi Bergelut di Bidang Tafsir Feminis, Ada Kisah Memilukan

Sebetulnya intonasi dalam dunia seni tilawah Al-Qur’an sudah dikenal. Setidaknya ada tujuh jenis maqam, yaitu bayati, shoba, hijaz, nahawand, rast, sikah, dan jiharkah. Maqamat tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, seperti tegas, semangat menggelora, riang gembira, mendayu-dayu, sendu, sedih, dan sebagainya.

Kalaupun tidak menggunakan tujuh tingkatan nada seperti di atas, asalkan sesuai konteks ayat yang dibaca, tetap akan mendapatkan gambaran ekspresinya. Dengan demikian, adanya bacaan saktah dan ditambah intonasi yang sesuai dengan konteks ayatnya, akan lebih menyempurnakan tergambarnya ekspresi dari ayat tersebut. Sehingga membuat pembaca Al-Qur’an akan lebih merasakan asyiknya memahami dan menghayati keindahan surat abadi dari-Nya untuk dirinya. Wallahu Ta’ala A’lam[]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Surah Al-Qalam Ayat 17-29: Kisah Pemilik Kebun dan Sebuah Penyesalan

0
Pemilik Kebun
Kisah Pemilik Kebun dalam Surah Al-Qalam

Di dalam Al-Qur’an terdapat kisah yang jarang diungkap padahal penting bagi kehidupan manusia. Kisah tersebut terdapat pada Surah Al-Qalam: 17-29, yang akan penulis beri judul Kisah Pemilik Kebun. Berkenaan kisah ini, para penafsir Al-Qur’an terbagi menjadi dua, ada yang memahaminya sebagai kisah nyata, ada juga yang memahaminya sebagai kisah simbolik Al-Qur’an. Terlepas dari perdebatan para penafsir tersebut, yang jelas kisah dalam Al-Qur’an selalu membawa pelajaran dan hikmah bagi pembacanya, terutama umat Islam.

Dalam kisah Surah Al-Qalam: 17-29, digambarkan bahwa kebun tersebut sangat subur, luas dan buahnya banyak. Semula ia dimiliki oleh seorang yang kaya raya yang dermawan kepada para fakir miskin. Orang itu berharap agar sifat kedermawaannya tersebut diikuti oleh anak-cucunya, termasuk dalam hal kepemilikan kebun ini. Tetapi, ternyata akhlak anak-anaknya tak sesuai harapannya. Hingga akhirnya orang itu meninggal dan anak-anaknya hanya memikirkan bagaimana caranya menguasai kebun tersebut tanpa ada yang ikut campur.

Pemilik Kebun yang Sombong dan Melupakan Allah Swt

Pada Surah Al-Qalam Ayat 17-18 yang terjemahnya, “…Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah pasti akan memetik (hasil)nya pada pagi hari, tetapi mereka tidak menyisihkan,” terlihat para pemilik kebun tersebut sangat yakin untuk dapat melakukan kegiatannya besok tanpa mempedulikan bahwa apa yang menjadi rencananya tersebut senantiasa di bawah pengamatan dan kuasa Allah SWT.

Baca Juga: Keistimewaan Pohon Kurma (Nakhl) yang Disebutkan dalam Al-Qur’an

Keesokan harinya, para pemilik kebun tersebut berangkat dengan keyakinan bahwa mereka akan mendapati kebunnya berbuah di atas tanah yang subur. Surah Al-Qalam: 21-22 menceritakan “lalu pada pagi hari mereka saling memanggil “Pergilah pagi-pagi ke kebunmu jika kamu hendak memetik hasil”.

Sayangnya pemilik kebun  ini juga meninggalkan kebiasaan sifat dermawan yang menjadi karakter Ayah mereka. Surah Al-Qalam: 23-25 dikatakan “Maka mereka pun berangkat sambil berbisik-bisik. Pada hari ini jangan sampai ada orang miskin masuk ke dalam kebunmu. Dan berangkatlah mereka pada pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya).”

Penyesalan Para Pemilik Kebun

Dalam Surah A-Qalam: 19-20 dikatakan “Lalu kebun itu ditimpa bencana (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur. Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita”. Bencana ini terjadi ketika para pemilik kebun tersebut masih berniat dan bertekad akan mengambil hasil perkebunannya. Ketika mereka sedang tertidur lelap, seketika Allah SWT menggagalkan hasil panen mereka hingga kebun tersebut menjadi hitam.

Kesenangan, kebanggaan, dan usaha untuk menguasai hasil panen buah perkebunan para pemilik kebun seketika buyar tatkalah mereka menyaksikan kebunnya telah rusak dan hitam dikena bencana. Al-Qur’an menggambarkan keadaan mereka yang menyesal dan menyadari kesesatannya. “Maka ketika mereka melihat kebun itu, mereka berkata, “Sungguh, kita ini benar-benar orang-orang yang sesat, bahkan kita tidak memperoleh apa pun,” (QS. Al-Qalam: 26-27).

“Berkatalah seorang yang paling bijak di antara mereka, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, mengapa kamu tidak bertasbih (kepada Tuhanmu)” Mereka mengucapkan, “Mahasuci Tuhan kami, sungguh, kami adalah orang-orang yang zalim”. Demikian QS. Al-Qalam: 28-29 memperlihatkan para pemilik kebun tersebut menyadari kesalahan mereka hingga bertaubat karena lalai mengingat Allah SWT.

Kisah Pemilik Kebun sebagai Pengingat tentang Kuasa Manusia

Kisah di atas memperlihatkan bahwa sikap rendah hati dan berserah diri kepada Allah Swt sangat berdampak pada kehidupan manusia. Salah satunya dengan ungkapan Insya Allah sebagai tanda berserah diri, bukan hanya sebagai zikir dalam rangka mengingat Tuhan, tetapi sebagai pengakuan bahwa banyak hal yang manusia tidak dapat lakukan dan kuasai.

Muhammad Quraish Shihab mengomentari kisah dalam QS. Al-Qalam tersebut dengan mengatakan bahwa “Ada sangat banyak faktor yang harus terhimpun untuk terjadinya rencana yang diinginkan. Semua faktor tersebut hanya dapat dihimpun oleh Allah SWT. Karena itu, sangat dianjurkan berucap Insya Allah, yakni jika Allah menghendaki

Dengan segala keterbatasannya, manusia menjadi makhluk yang penuh keterikatan dan ketergantungan. Manusia bergantung kepada Allah SWT, pada Alam, pada manusia lainnya, termasuk bergantung pada makhluk mati sekalipun. Dan segala tempat bergantung tersebut, hanya Allah SWT yang dapat mengendalikannya. Hal ini mengindikasikan bahwa segala usaha manusia senantiasa berujung pada penyerahan usahanya kepada Allah SWT, sebagaimana banyak perintah bertawakkal Allah SWT dalam Al-Qur’an:

“Dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman itu bertawakkal” (QS. Ali ‘Imran: 122); “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS. Ali ‘Imran: 159); “Dan kepada-Nya dikembalikan segala persoalan, maka sembahlah Dia dan bertawakkallah kepada-Nya”; dan masih sangat banyak lagi ayat lainnya yang memerintahkan manusia bertawakkal kepada Allah.

Baca Juga: Inilah 8 Manfaat Buah Zaitun, Buah yang Disebut dalam Al-Quran

Dalam konteks ini, Hamka dalam Tafsir Al-Azhar-nya mengatakan bahwa orang yang bertawakkal kepada Allah SWT akan lebih mudah menghadapi kenyataan rencana yang akan dilakukannya. Jika terjadinya sesuatu yang mengecewakan, orang tersebut tidak mudah kehilangan ide untuk melakukan yang lainnya. Jika usahanya berhasil, orang tersebut tidak akan bersikap sombong karena menyadari kehadiran Allah SWT dalam usahanya.

Bertawakal kepada Allah Swt dengan salah satunya mengucapkan insya Allah dapat membangun kesadaran manusia untuk berusaha sembari mengingatkan diri tentang apa yang diusahakannya senantiasa dalam pengamatan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa. Pengalaman para pemilik kebun yang dikisahkan QS. Al-Qalam: 17-29 mengajarkan tentang hadirnya Allah SWT dalam setiap kegiatan, bahkan dalam niat manusia sekalipun. Wallahu A’lam []

Semangat Filantropi dalam Al-Quran dan Keadilan Ekonomi

0
Semangat filantropi dalam Al-Quran
Semangat filantropi dalam Al-Quran

Al-Quran diturunkan kepada manusia, bertujuan agar mereka menjalankan kehidupan di muka bumi dengan tertib, damai, dan sejahtera. Al-Quran dengan perintah filantropinya memiliki muatan untuk mencegah ketimpangan ekonomi dan distribusi pendapatan yang tidak merata di kalangan umat Islam. Instrumen-instrumen tersebut ditekankan oleh Al-Quran dalam rangka mewujudkan keadilan ekonomi yang serasi dengan tujuan awal Islam yaitu membentuk masyarakat yang sejahtera. Tulisan ini akan mengulas suratan Al-Quran yang sarat akan semangat filantropi dan kaitannya dengan keadilan ekonomi.

Semangat filantropi dalam Al-Quran

Al-Quran banyak menyuratkan perintah filantropi dalam berbagai bentuk, baik itu zakat, infak, sedakah, maupun turunan bentuk yang lain. Contoh dalil Al-Quran mengenai filantropi tersebut bisa kita temukan dalam surah Al-Baqarah ayat 177:

لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّائِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَاءِ وَٱلضَّرَّاءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ أُولَٰئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَٰئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

Sebagaimana yang dikemukakan oleh At-Thabary dalam Jami’ al Bayan fi Ta’wil Al-Quran bahwa yang dimaksud kebajikan pada ayat di atas bukan hanya ibadah mahdhah yang sifatnya individual semata, tetapi juga menyangkut kewajiban seorang manusia untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan peraturan lain semisal, melaksankan kebajikan pada masyarakat melalui perbuatan amal ibadah sosial, zakat, infak, dan sedekah.

Baca juga: Bentuk-bentuk Filantropi yang Diperintahkan dalam Al-Quran

At-Thabary juga menafsirkan potongan lafadz wa atal mala ‘ala hubbihi pada ayat tersebut bermakna memberikan harta ketika dalam kondisi sehat, harta tersebut sangat dicintai oleh pemiliknya. At-Thabary juga mengungkapkan bahwa perintah pembelanjaan harta pada ayat di atas bukan saja dengan zakat yang merupakan kewajiban, namun dengan bentuk filantropi yang lain. Karena menurut At-Thabary ayat tersebut merupakan perkataan iman, dan hakikatnya adalah perbuatan.

Selain ayat di atas, di dalam Al-Quran sebenarnya banyak sekali ditemukan perintah filantropi. Jika dirinci, ada sebanyak 71 kata infak, 24 kali kata sedekah, serta 30 kali kata zakat tentunya dengan berbagai derivasinya di dalam Al-Quran. Hal tersebut mengindikasikan semangat Al-Quran tampak begitu nyata dan kentara tentang kedermawanan sosial. Pendek kata, Al-Quran begitu menekankan perihal filantropi pada umatnya.

Baca juga: Tafsir Surah Yasin ayat 47: Kemanusiaan Sebagai Tanggung Jawab Bersama

Relasi filantropi dalam Islam dan keadilan ekonomi

Ada penjelasan yang kuat mengapa Al-Quran banyak menyebutkan perintah tentang filantropi. Semangat Al-Quran untuk itu ternyata berfungsi untuk mencegah ketimpangan-ketimpangan ekonomi yang terus menjadi momok bagi masyarakat hingga hari ini. Masyarakat yang sejahtera tidak akan bisa dicapai jika jurang pemisah antara yang kaya dan miskin masih begitu tinggi. Sedang, filantropi dalam Islam berupaya agar distribusi surplus pendapatan umat tersalur kepada defisit pendapatan umat. Terbukti ketika Al-Quran sendiri juga menjelaskan mengenai siapa-siapa saja yang berhak menerima filantropi tersebut misal dalam bentuk zakat, sebagaimana firman Allah surah At-Taubah ayat 60:

إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلْفُقَرَاءِ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْعَٰمِلِينَ عَلَيْهَا وَٱلْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَٱلْغَٰرِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ  وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Baca juga: Surat Al-Baqarah [2] Ayat 264: Jangan Merusak Pahala Sedekah

Baik mufassir mutaqaddimin (klasik) seperti At-Thabary dalam Jami’ al Bayan fi Ta’wil Al-Quran atau mufassir mutaakhhirin (kontemporer) seperti Wahbah Zuhayli dalam Tafsir Al-Wajiz menyatakan bahwa penerima zakat sesuai ayat di atas adalah fakir, miskin, amil, zakat, mu’allaf, riqab, gharim, ibn sabil, dan sabilillah. Mayoritas yang terdaftar sebagai penerima zakat ini adalah mereka dalam kategori miskin perekonomian. Dan dengan adanya kewajiban zakat bagi muzakki, distribusi harta bisa merata dan tidak ada lagi penumpukan harta berlebih bagi sekelompok orang saja.

Filantropi dalam Islam memiliki dampak cukup besar terhadap pemerataan ekonomi umat. Dampak signifikan oleh salah satu bentuk filantropi Islam, yaitu zakat yang dikelola maksimal oleh BAZNAS, menurut jurnal LIPI oleh Firmansyah tahun 2013, mampu mampu menaikkan kurva kesetaraan pendapatan masyarakat. Kewajiban berzakat ini memang secara tegas ditekankan oleh Al-Quran. Kedudukan amaliyah ini bahkan disetarakan dengan ibadah shalat, sebagaimana banyak perintah shalat yang diiringi perintah berzakat, karena mengingat begitu besar implikasi yang diberikan kepada umat.

Islam merupakan agama yang menghendaki kesejahteraan seluruh umat. Dalam rangka mencapai tujuan luhur tersebut, keadilan ekonomi merupakan hal krusial harus yang diwujudkan. Oleh karena itu, gencarnya semangat filantropi dalam Islam memiliki relasi yang kuat dengan keadilan ekonomi, sebagaimana prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin yang tertera dalam Al-Quran. Wallahu a’lam[]

Kritik Al-Quran Terhadap Fenomena Pembunuhan Anak Di Masa Jahiliyah

0
Pembunuhan Anak
Kritik Al-Qutan terhadap Fenomena Pembunuhan Anak

Dalam al-Qur’an ada ayat-ayat yang menunjukkan kritik sekaligus kecaman terhadap fenomena pembunuhan anak. Fenomena pembunuhan terhadap anak itu lahir dan tidak bisa dilepaskan dari adanya anggapan yang terkonstruksi dan diamini secara sosial di era Jahiliyah (era sebelum Islam). Konstruksi sosial tersebut perlu diurai sehingga di temukan motif di baliknya sehingga jelas faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya fenomena pembunuhan anak.

Term “anak” dalam al-Qur’an disebutkan dalam beberapa macam ungkapan seperti walad, maulud, ibn, thifl maupun dzurriyah. Namun dalam diskursus yang dikaitkan dengan fenomena pembunuhan anak, al-Qur’an menggunakan kata walad dalam bentuk jama’ taktsir-nya awlad.

Kata walad atau awlad sendiri dalam bahasa Arab dimaknai sebagai anak biologis baik berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan, baik sudah besar maupun masih kecil. Maka dapat diketahui jika term walad ataupun awlad digunakan sebagai penjelas informasi bahwa anak yang dibicarakan adalah anak kandung atau anak biologis.

Dalam al-Qur’an fenomena pembunuhan anak dinyatakan sebagai tindakan yang diharamkan apapun alasannya (termasuk miskin dalam ayat ini). Sebagaimana terdapat dalam Q.S. al-An’am: 151:

۞ قُلْ تَعَالَوْا اَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ اَلَّا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًاۚ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ مِّنْ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَاِيَّاهُمْ ۚوَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَۚ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ

Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti.

Dalam ayat lain, al-Qur’an menyatakan bahwa tindakan membunuh anak merupakan tindakan kaum Musyrik yang telah dibutakan mata dan hatinya oleh setan. Q.S. al-An’am: 137:

وَكَذٰلِكَ زَيَّنَ لِكَثِيْرٍ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ قَتْلَ اَوْلَادِهِمْ شُرَكَاۤؤُهُمْ لِيُرْدُوْهُمْ وَلِيَلْبِسُوْا عَلَيْهِمْ دِيْنَهُمْۗ وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ مَا فَعَلُوْهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُوْنَ

Dan demikianlah berhala-berhala mereka (setan) menjadikan terasa indah bagi banyak orang-orang musyrik membunuh anak-anak mereka, untuk membinasakan mereka dan mengacaukan agama mereka sendiri. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak akan mengerjakannya. Biarkanlah mereka bersama apa (kebohongan) yang mereka ada-adakan.

Di ayat yang lain juga al-Qur’an menyatakan bahwa tindakan membunuh anak adalah tindakan bodoh yang lahir dari kebodohan orang tua. Q.S. al-An’am: 140:

قَدْ خَسِرَ الَّذِيْنَ قَتَلُوْٓا اَوْلَادَهُمْ سَفَهًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَّحَرَّمُوْا مَا رَزَقَهُمُ اللّٰهُ افْتِرَاۤءً عَلَى اللّٰهِ ۗقَدْ ضَلُّوْا وَمَا كَانُوْا مُهْتَدِيْنَ ࣖ

Sungguh rugi mereka yang membunuh anak-anaknya karena kebodohan tanpa pengetahuan, dan mengharamkan rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka dengan semata-mata membuat-buat kebohongan terhadap Allah. Sungguh, mereka telah sesat dan tidak mendapat petunjuk.

Berdasarkan ayat-ayat yang telah dikutip, didapati bahwa ada beberapa hal yang melatarbelakangi orang tua melakukan tindakan keji yaitu membunuh anaknya: 1) kemiskinan; 2) tidak memiliki akidah yang baik; 3) kebodohan.

Ketiga alasan yang melatarbelakangi fenomena pembunuhan anak, sebagaimana yang telah direspon oleh al-Qur’an, tidak dapat dilepaskan dari konteks masyarakat Arab sebagai responden al-Qur’an pertama. Masyarakat Arab Jahiliyah dahulu memang kerapkali membunuh anaknya khususnya anak perempuan (wa’du al-banat). Sebab anak perempuan dianggap sebagai beban keluarga dan tidak dapat diikutsertakan dalam peperangan.

Hal itu terjadi sebab adanya konstruksi sosial bahwa hanya anak laki-laki saja yang mampu menanggung beban ekonomi dan perempuan hanya bisa bergantung pada kaum laki-laki. Maka penambahan jumlah perempuan dianggap sebagai penambahan beban keluarga. Konstruksi ini juga menyebabkan laki-laki menganggap dirinya sebagai penguasa tunggal sehingga sikap despotik laki-laki terhadap perempuan menjadi sesuatu yang wajar.

Belum lagi adanya celaan di masyarakat yang menganggap bahwa kelahiran anak perempuan merupakan berita buruk. Maka tanpa pikir panjang, orang tua pada saat itu akan lebih memilih menguburkan bayi perempuannya daripada menanggung malu akibat adanya sentimen sosial yang telah mendarah daging. Hal ini sebagaimana juga digambarkan oleh Q.S. al-Nahl: 58-59:

وَاِذَا بُشِّرَ اَحَدُهُمْ بِالْاُنْثٰى ظَلَّ وَجْهُهٗ مُسْوَدًّا وَّهُوَ كَظِيْمٌۚ يَتَوٰرٰى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْۤءِ مَا بُشِّرَ بِهٖۗ اَيُمْسِكُهٗ عَلٰى هُوْنٍ اَمْ يَدُسُّهٗ فِى التُّرَابِۗ اَلَا سَاۤءَ مَا يَحْكُمُوْنَ

Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu.

Maka tidak heran umumnya mufassir menafsirkan kata qatl awlad sebagi wa’du al-banat atau mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Sebab secara historis, fenomena pembunuhan anak yang dilakukan oleh masyarakat Arab Jahiliyahlah yang direspon oleh al-Qur’an. Lalu pertanyaannya, apa fungsi ayat-ayat yang telah dibahas tadi terhadap kehidupan manusia saat ini?

Sampai saat ini saja, fenomena pembunuhan anak masih kerap terjadi di berbagai tempat di belahan dunia. Motif di baliknya pun tidak jauh-jauh dari tiga motif yang telah disebutkan sebelumnya. Bahkan jika seandainya makna pembunuhan itu diperluas dan tidak hanya dimaknai sebagai pembunuhan fisik maka akan ditemukan berbagai fenomena pembunuhan lainnya kepada anak perempuan khususnya.

Masih sering dijumpai masyarakat yang lebih mengunggulkan anak laki-lakinya dari pada anak perempuannya. Akibatnya anak perempuan sering tidak mendapat perlakuan yang adil dari orang tua terutama dalam ranah pendidikan. Fenomena ini memang tidak membunuh anak secara fisik, namun sejatinya telah “membunuh” masa depan mereka. Apapun jenis kelamin anak, ia merupakan permata yang diamanahkan Tuhan kepada manusia.

Dalam ranah pendidikan pra-nikah, uraian-uraian di atas dapat menjadi pelajaran berharga yang patut disiapkan sebelum menjadi orang tua. Maka mulai dari kesiapan finansial, spiritual hingga intelektual atau pemikiran harus benar-benar dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk menikah. Sebab jika ketiga aspek tersebut diabaikan begitu saja, bukan tidak mungkin “pembunuhan anak” akan terjadi. Wallahu a’lam.

Surah al-Maidah [5] Ayat 35: Perintah Mencari Wasilah Menuju Allah swt

0
Wasilah Menuju Allah
Ilustrasi Wasilah Menuju Allah Swt

Setiap manusia membutuhkan perantara/wasilah menuju Allah swt. Sebab alam semesta yang manusia huni berpijak di atas mekanisme sebab dan akibat (causes dan effects), serta hukum kausalitas yang diciptakan dan diadakan sebagai sunnatullah. Karena itu, sangat sulit bagi seseorang berjalan menuju Allah swt tanpa wasilah atau perantara khusus.

Sebagai contoh, Allah swt menggunakan perantara Jibril dan nabi Muhammad saw untuk mentransmisikan wahyu-Nya. Begitu pula sebaliknya, manusia membutuhkan wasilah (perantara) untuk menuju Allah swt. Tanpa adanya perantara ini, sangat sulit – untuk tidak menyebutkan mustahil – bagi manusia untuk sampai pada emanasi-emanasi Ilahiah dan menggapai derajat taqarrub kepada Tuhan.

Mungkin akan muncul pertanyaan, apakah wasilah itu wajib? Lantas apa yang dimaksud dari wasilah (perantara) itu? Berkenaan dengan pertanyaan ini, mari kita simak firman Allah swt dalam surat al-Maidah [5] ayat 35 yang memerintah manusia (orang yang beriman) untuk mencari wasilah menuju diri-Nya.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهٖ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ٣٥

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung.” (QS. Al-Maidah [5]: 35).

Menurut as-Sa’adi dalam Tafsir al-Sa’adi, surat al-Maidah [5] ayat 35 merupakan perintah Allah swt kepada orang mukmin agar secara sungguh-sungguh berusaha bertakwa kepada-Nya, menjauhi hal-hal yang dapat mendatangkan murka-Nya seperti maksiat hati, lisan dan badan. Dalam menjalankan itu semua, seorang mukmin harus meminta pertolongan Allah swt karena Dia adalah Sanga Penentu.

Baca Juga: Termasuk Ajaran Islam, Ini Dalil Tawasul dalam Al-Quran

Di samping itu, ayat ini juga memerintahkan orang mukmin untuk mencari wasilah yang mendekatkan dirinya kepada Allah swt. Wasilah di sini – menurut as-Sa’adi – adalah kewajiban yang diberikan Allah swt. Kewajiban ini terdiri dari dua bentuk, yakni amaliah hati seperti cinta, khauf dan raja’ kepada-Nya serta amaliah raga seperti shalat, zakat, puasa dan naik haji. Setiap kewajiban tersebut dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah swt.

Sedangkan menurut Syekh Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid, surat al-Maidah [5] ayat 35 memuat dua hal, yakni perintah menjauhi larangan dan perintah melaksanakan kewajiban. Dalam pandangannya, perintah bertakwa kepada Allah swt merupakan perintah meninggalkan segala hal yang diharamkan (dilarang). Sedangkan perintah mencari wasilah menuju Allah swt artinya titah untuk melaksanakan hal yang diperintahkan seperti ibadah dan berbagai ketaatan.

Melalui wasilah ketaatan dan menjauhi larangan,  seseorang akan mampu menggapai keridaan Allah swt. Karena pada dasarnya – secara umum – hukum taklif meliputi dua hal utama, yakni menjauhi larangan dan melaksanakan perintah Allah swt.  Dalam hal ini, K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih dikenal dengan Gus Baha pernah menerangkan bahwa pada hakikatnya tidak ada sesuatu yang mubah kecuali hal tersebut merupakan bagian dari menjauhi kemaksiatan.

Kata wasilah pada surat al-Maidah [5] ayat 35 mirip maknanya dengan washilah, yakni sesuatu yang menjadi perantara terhadap sesuatu yang lain. Dengan demikian, wasilah adalah sesuatu yang menyambung dan mendekatkan sesuatu dengan sesuatu yang lain atas dasar keinginan yang kuat untuk mendekat. Dalam konteks seorang hamba, wasilah berarti sesuatu yang menghubungkannya dengan Tuhan dalam rangka mendekatkan diri.

Pandangan serupa disampaikan oleh al-Qasimi. Menurutnya – mengutip Ibnu Abbas, Imam Mujahid, Atha’, dan Sufyan al-Tsausri – wasilah pada ayat ini bermakna kedekatan. Artinya, Allah swt memerintahkan orang-orang mukmin untuk mencari (thalab) kedekatan dengan Allah swt melalui ketaatan dana mal-amal yang dapat menghantarkan kepada keridaan Allah swt di dunia maupun akhirat (Mahasin al-Takwil [4] 125).

Menurut Quraish Shihab – mengutip Ibnu Abbas – ada banyak cara yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada rida Allah swt, namun kesemuanya haruslah dibenarkan oleh-Nya berdasarkan Al-Qur’an dan hadis. Dengan demikian, ketika seseorang merasakan kebutuhan kepada Allah swt, ia boleh berjalan menuju kepada-Nya dengan segala cara selama itu tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam.

Bagi sebagian ulama, surat al-Maidah [5] ayat 35 merupakan dalil dibolehkannya tawassul, yakni meminta pertolongan kepada Allah swt dengan menggunakan perantara (mediator) agar terpenuhi hajatnya dalam mendapatkan manfaat atau menolak mudarat. Misalnya, seseorang berdoa memohon kepada Allah swt mengenai kesuksesan atau nikmat dengan perantara nabi Muhammad saw atau para wali (Tafsir Al-Misbah [3]: 93).

Baca Juga: Baca Ayat Ini Sebagai Doa Agar Orang Mendapatkan Hidayah Islam

Imam al-Alusi – salah satu ulama yang membolehkan tawassul – menjelaskan bahwa tidak mengapa berdoa kepada Allah swt seraya ber-tawassul atas nama nabi Muhammad saw baik ketika beliau hidup atau wafat. Ini dilakukan dalam arti si pemohon berdoa kepada Allah demi kecintaan-Nya kepada nabi Muhammad saw, bukan meminta kepada beliau. Melalui perantara nabi saw, kiranya Allah akan mengabulkan permintaan tersebut.

Bertolak belakang dengan al-Alusi, sebagian ulama lain mengharamkan tawassul baik dengan nabi Muhammad saw atau para wali. Larangan ini disebabkan karena mereka khawatir hal tersebut (tawassul) disalahartikan masyarakat awam atau boleh jadi mereka menduga bahwa yang mengabulkan permintaan mereka adalah nabi Muhammad saw atau para wali dan bukan Allah swt. Padahal pada hakikatnya Allahlah yang Maha Pengabul Doa hamba-hamba-Nya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa surat al-Maidah [5] ayat 35 memerintahkan orang-orang mukmin untuk bertakwa kepada Allah swt dengan mengerjakan semua perintah-Nya dan menjauhi setiap larangan-Nya. Selain itu, ayat ini juga menyuruh orang-orang mukmin untuk mencari wasilah yang mampu mendekatkan mereka kepada Allah swt sesuai dengan ajaran Islam seperti berjihad di jalan-Nya. Wallahu a’lam.

Teladan Nabi dalam Memberi Tanggapan atas Beberapa Ayat Al-Quran

0
tanggapan atas beberapa ayat Al-Quran
tanggapan atas beberapa ayat Al-Quran

Sebagian kesunnahan saat membaca Al-Quran adalah menghayati setiap ayat yang dibaca. Sebagai bentuk penghayatan, antara lain yaitu memberi tanggapan atas beberapa ayat Al-Quran yang ditemui atau sedang dibaca. Tatkala melewati ayat yang yang menerangkan adzab hendaknya meminta ampun, tatkala membaca ayat yang menerangkan rahmat hendaknya meminta rahmat, dan bentuk-bentuk tanggapan lainnya sebagai bentuk respon pembaca terhadap ayat yang sedang ia baca. Sehingga kita seperti benar-benar sedang berbicara dengan Al-Quran.

Tidak ada ketentuan khusus dari Nabi tentang bunyi tanggapan atas beberapa ayat yang kita baca. Hal terpenting adalah tanggapan tersebut sesuai dengan ayat yang dibaca. Namun demikian ada beberapa hadis yang mendokumentasikan beberapa tanggapan Nabi atas beberapa ayat Al-Quran. Ini kemudian bisa kita pelajari dan kita praktikkan. Berikut bunyi tanggapan Nabi tersebut (Al-Itqan fi Ulumil Quran/127):

Baca Juga: Inilah Keutamaan Membaca Al-Quran dengan Tartil

  1. Usai membaca ayat

أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ

Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya? (QS. At-Tiin [95] 8)

Hendaknya membaca:

 بَلٰى وَأَنَا عَلٰى ذٰلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ

Ya, dan kami menjadi saksi atas hal itu

  1. Usai membaca ayat

أَلَيْسَ ذَلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِيَ الْمَوْتَى

Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati? (QS. Al-Qiyamah [75] 40).

Hendaknya membaca:

بَلٰى

Ya.

Baca Juga: Mengaplikasikan Metode Tadabbur Saat Membaca Al-Quran dan Langkah-Langkahnya

  1. Usai membaca ayat

فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ

Maka kepada perkataan manakah sesudah Al-Quran ini mereka akan beriman? (QS. AL-Mursilat [77] 50).

Hendaknya membaca:

آمَنَّا بِاللهِ

Kami beriman kepada Allah

  1. Usai membaca ayat

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأعْلَى

Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tingi (QS. Al-A’la [87] 8).

Hendaknya membaca:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلٰى

Maha suci Tuhanku yang maha tinggi.

  1. Usai membaca setiap ayat dari Surah Ar-Rahman yang berbunyi:

فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Hendaknya membaca:

وَلَا بِشَيْءٍ مِنْ نِعَمِكَ رَبَّنَا نُكَذِّبُ فَلَكَ الْحَمْدُ

Dan tidak pada sedikitpun nikmat-nikmat-Mu, wahai Tuhan kami, kami mendustakan. Engkau pemilik puja dan puji.

Baca Juga: Hukum Membaca Al-Quran dengan Ilmu Tajwid dan Objek Pembahasannya

  1. Usai membaca ayat

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ

(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (QS. Al-Fatihah [1] 7).

Hendaknya membaca:

آمِيْنْ

Ya Allah, kabulkan doa kami.

  1. Usai membaca ayat

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلا تُحَمِّلْنَا مَا لا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami berbuat salah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’af kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami. Maka tolonglah kami dari kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah [2] 286).

Hendaknya membaca:

آمِيْنْ

Ya Allah, kabulkan doa kami.

Berbagai tanggapan di atas dapat kita praktikkan dan kita pelajari agar kita dapat dengan tepat memberi tanggapan terhadap ayat yang kebetulan di baca. Meski sebenarnya bentuk tanggapan atas beberapa ayat tersebut bebas dan dapat dibuat sesuka hati, namun alangkah baiknya tidak jauh dari doa yang pernah disampaikan Nabi. Wallahu A’lam

Tafsir Ahkam: Hukum Mengqadha Puasa Sunnah

0
mengqadha puasa sunnah
mengqadha puasa sunnah

Seseorang yang melaksanakan ibadah puasa sunnah kemudian membatalkannya karena suatu sebab sebelum waktu berbuka, maka hukum mengqadha puasa sunnah tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, menurut golongan Hanafiyah, wajib mengqadha puasa sunnah tersebut karena terdapat perintah untuk menyempurnakannya. (as-Shawkani, Fath al-Qadir, II: 85) Dalilnya adalah sebagai berikut:

  1. Firman Allah surah Al-Baqarah ayat 187: ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ, “sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”. Ulama Hanafiyah berkata bahwa ayat ini bersifat umum tentang puasa apa saja, maka setiap puasa diperintahkan harus disempurnakan. (Muhammad ‘Ali as-Shabuni, Rawai’ al-Bayan, I: 165)
  2. Firman Allah surah Muhammad ayat 33: وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ, “dan janganlah engkau membatalkan amal-amalmu.” Puasa sunnah merupakan amal, jika dibatalkan berarti meninggalkan kewajiban dan tanggungan tersebut tidak dapat bebas kecuali dengan mengulanginya kembali (mengqadha’). (Muhammad ‘Ali as-Shabuni, Rawai’ al-Bayan, I: 165)
  3. Hadis yang diriwayatkan Sayyidah ‘Aisyah R.A, beliau berkata:

أَصْبَحَتُ اَنا وَحَفْصَةَ صَائِمَتَيْنِ مُتَطَوِّعَتَيْنِ فَأُهْدِيَ اِلَيْناَ فَاَعْجَبَناَ فَأَفْطَرْنَا فَلَمَّا جَاءَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَدَرَتْنِي، حَفْصَةُ فَسَئَلَتْهُ وَهِيَ اِبْنَةُ اَبِيْهاَ فَقَالَ عليه السلام: صَوْماً يَوْمًا مَكَانَهُ

“Aku dan Hafshah pernah berpuasa sunnah, tiba-tiba dikirimkan kepada kami hadiah makanan, kamipun menginginkannya, dan kamipun berbuka. Setelah Nabi SAW datang, Hafshah cepat-cepat (menemui) aku, lalu ia bertanya kepada Nabi, Nabipun menjawab: “Berpuasalah di hari lain sebagai gantinya.” (al-Jashash: Ahkam al-Qur’an, I: 278).

Baca Juga: Hikmah Puasa Dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 183

Kedua, golongan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat tidak wajib mengqadha puasa sunnah yang batal, karena orang yang mengerjakan ibadah sunnah itu menjadi penguasa atas dirinya.

Menurut kelompok ini, siapapun yang memulai ibadah sunnah selain haji dan umrah, maka dia tidak harus menyelesaikannya. Dia boleh menghentikannya di tengah jalan, tanpa disertai kewajiban untuk mengqadha’nya. Namun tetap dianjurkan untuk mengerjakan ibadah meskipun sunnah sampai selesai, sebab itu terhitung penyempurnaan ibadah yang diperintahkan syariat.

Bila memutuskan puasa itu karena adanya udzur, maka ini tidak makruh bahkan dianjurkan dalam beberapa kondisi, semisal menemani makan tamu yang berkunjung. Sedangkan bila tanpa udzur hukumnya makruh. (as-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, I: 437). Dalil dari golongan ini adalah sebagai berikut:

  1. Firman Allah QS. At-Taubah ayat 91: مَا عَلَى الۡمُحۡسِنِيۡنَ مِنۡ سَبِيۡلٍ,”Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik.” Orang yang mengerjakan puasa adalah orang yang berbuat baik, maka tidak ada dosa baginya jika ia membatalkan puasanya tersebut.
  2. Hadis Nabi yang berbunyi:

 اَلصَّائِمُ المُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ

”Orang yang berpuasa sunnah itu merupakan penguasa bagi dirinya, jika ia mau (meneruskan) berpuasa, jika ia tidak mau maka boleh berbuka.” Karena puasa sunnah sendiri hukumnya adalah sunnah (tidak wajib), tentu mengqadha’nya juga tidak wajib, sehingga perintah di situ bersifat anjuran.

3. Dari Ummu Hani A, pada saat terbukanya kota Makkah Rasulullah  menawari minuman kepada Ummu Hani’. Kemudian Ummu Hani berkata “saya sedang berpuasa sunnah, Rasulullah bersabda, “Ibadah sunnah adalah anjuran yang datang dari diri sendiri, jika niat untuk melakukannya, maka berpuasalah. Akan tetapi jika ingin berbuka, maka berbukalah.” (HR. Ahmad dan Daruquthni)

Baca Juga: Puasa Asyura: Bentuk Rasa Syukur atas Nikmat Allah

Ketiga, golongan Malikiyah berpendapat jika ia sengaja membatalkannya, maka wajib mengqadha puasa sunnah tersebut, dan jika karena ada sebab yang membatalkan puasa, maka tidak wajib mengqadha’nya.

Imam Malik berkata, “Tidak selayaknya orang yang berpuasa sunnah membatalkan puasanya kecuali dalam kondisi darurat. Aku pernah mendengar berita bahwa Ibn Umar pernah berkata: Barangsiapa yang membatalkan puasa meskipun sunnah di luar kondisi darurat, maka itulah orang yang termasuk kelompok manusia yang mempermainkan agamanya.” (Wahbah az-Zuhayli, Fiqh al-Islam wa Adillatuh, III: 31).