Beranda blog Halaman 407

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28: Manfaat Ibadah Haji dalam Segi Sosial dan Ekonomi

0
Surah Al-Hajj ayat 28: manfaat haji bagi sosial dan ekonomi
Surah Al-Hajj ayat 28: manfaat haji bagi sosial dan ekonomi

Haji merupakan rukun kelima dalam agama Islam. Oleh sebab itu, setiap umat Islam pasti mengelu-elukan ingin bisa melangsungkan ibadah haji ke tanah suci guna menyempurnakan bangunan keislamannya. Fenomena berjuta-juta umat Islam yang memadati Masjidil Haram setiap tahunnya membuktikan ibadah ini mempunyai manfaat spiritual yang dalam hingga biaya semahal apapun pasti ditempuh. Namun, di balik manfaat spiritual yang bisa didapatkan, ibadah haji ternyata memiliki banyak manfaat lain sebagaimana yang disuratkan dalam Al-Quran Surah Al-Hajj ayat 28. Manfaat laten selain spiritual ditafsirkan oleh para mufassir seperti Sayyid Qutub, Buya Hamka, dan Quraish Shihab juga berkenaan dengan keduniaan seperti manfaat sosial dan ekonomi.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Syarat Wajib Haji dan Beberapa Ketentuannya

Tafsir Surah Al-Hajj ayat 28

Dalam Surah Al-Hajj ayat 28 memang tidak disebutkan secara eksplisit ibadah apa yang dikerjakan. Namun, ayat tersebut memiliki korelasi dengan ayat-ayat sebelumnya maupun setelahnya yang masih satu konteks penjelasan tema ibadah haji. Dalam rangkaian Surah Al-Hajj, perintah berhaji terdapat pada ayat 27 dan salah satu rukunnya thawaf dijelaskan di ayat 29. Sedang untuk ayat 28 ini Allah ingin menjelaskan manafaat bagi yang melaksanakan ibadah mulia tersebut. Adapun bunyi Surah Al-Hajj ayat 28 adalah sebagai berikut:

لِّيَشْهَدُوا مَنَٰفِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا ٱسْمَ ٱللَّهِ فِى أَيَّامٍ مَّعْلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا ٱلْبَائِسَ ٱلْفَقِيرَ

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.”

Mengenai interpretasi Surah Al-Hajj ayat 28 di atas, Sayyid Qutub dalam Tafsir Fi Zhilal al-Quran menguraikan bahwa haji merupakan ibadah fardhu dunia dan akhirat, sebagaimana kenangan tentang akidah lama dan jauh (akidah Nabi Ibrahim) dengan akidah yang baru (Nabi Muhammad) juga bertemu. Haji juga merupakan suatu momentum bersama yang mempunyai banyak manfaat dan mengikat persatuan umat, karena menurut Sayyid Qutub selain sebagai musim ibadah, haji juga merupakan musim muktamar dan musim perdagangan.

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah juga mengukuhkan pendapat Sayyid Qutub mengenai manfaat ibadah haji yang tidak hanya satu aspek saja, mengandung dua sekaligus, yaitu manfaat duniawi dan juga ukhrawi. Manfaat duniawi tersebut meliputi banyak hal seperti ekonomi dan sosial, namun tujuannya tetaplah satu yaitu untuk kemaslahatan bersama.

Baca juga: Keistimewaan Ka’bah dalam Al-Quran dan Pahala Memandangnya

Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa haji merupakan murni ibadah dan tidak bisa dicampur dengan kegiatan duniawi lain seperti jual beli, dan lain-lain. Namun, menurut Buya hamka dalam Tafsir Al-Azhar menganggap pendapat ini dianggap lemah seraya mengutip sebuah hadis riwayat Ibnu Umar yang menyatakan bahwa Rasulullah tetap menganggap sah haji seseorang setelah seluruh rangkaian tata cara dan rukun terpenuhi, meskipun setelah itu mereka melakukan jual beli.

Sepakat dengan hal tersebut, Quraish Shihab memberikan argumentasi bahwa selama kegiatan duniawi lain tidak merusak tujuan ibadah haji maka tidaklah apa-apa. Orang-orang yang berhaji di era hari ini pasti tidak bisa dilepaskan dengan aktivitas jual beli, karena mereka datang dari luar Kota Mekah dan pasti memerlukan perlengkapan yang bisa didapat dengan jual beli. Quraish Shihab juga menyempaikan pendapatnya bahwa seseorang yang telah selesai berhaji juga diperbolehkan membeli oleh-oleh untuk sanak keluarganya di rumah.

Manfaat ibadah haji dalam segi sosial dan ekonomi

Penjelasan para mufassir di atas mengenai interpretasi Surah Al-Hajj ayat 28 di atas cukup jelas menjadi acuan bahwa dalam perjalanan haji diperbolehkan juga melakukan aktivitas duniawi lain asalkan prioritas utamanya tetaplah ibadah tersebut. Pemaknaan tersebut pada akhirnya membawa implikasi pada kekayaan manfaat yang bisa dituai dari pergi haji. Manfaat tersebut tidak hanya pada ranah spiritual saja, tetapi juga manafaat dunia seperti pada aspek sosial ataupun ekonomi manusia.

Nilai-nilai dari ibadah haji secara sosial bisa kita telisik dalam amaliyah ihram, wukuf, dan kurban. Ketika ihram diwajibkan memakai pakaian yang sama. Hal ini diungkapkan Ibnu Mas’ud dalam Fikih Madzhab Syafi’i sebagai pendidikan bagi manusia bahwa di hadapan-Nya, semua makhluk dipandang sama, ia tidak dibeda-bedakan berdasar kaya dan miskin, atau apapun, sehingga timbullah rasa persaudaraan antar manusia.

Nilai sosial kedua dalam ibadah haji bisa kita saksikan ketika pelaksanaan wukuf. Ketika wukuf, umat Islam sedunia berkumpul dalam satu tempat mengheningkan cipta dalam rangka menyembah satu Tuhan yang sama. Peristiwa tersebut dinilai oleh Banani Adam dan Mustafa dalam Hikmah Rahasia Ibadah Haji dan Umrah sebagai persatuan umat, ukhuwah Islamiyah atau kongres umat Islam sedunia sebagaimana pula yang diucapkan di awal oleh Sayyid Qutub sebagai muktamar.

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Daud: dari Taubat hingga Manajemen Ibadah

Aspek sosial ketiga dalam ibadah haji adalah ketika penyembelihan kurban yang disebut Hasan Basri dalam bukunya, Haji dan Kurban sebagai bentuk sosiologis kemasyarakatan (ijtima’iyah). Dalam penyembelihan hewan kurban, daging-daging tersebut kemudian diserahkan untuk menyantuni dan menggembirakan fakir miskin atau mereka yang berkekurangan.

Sebagaimana yang dijelaskan di awal tentang bahwa jual beli diperbolehkan dalam perjalanan haji, hal tersebut hingga kurun waktu saat ini tidak lagi sebatas teori, namun telah menjadi praktik masyarakat dan telah menjadi fenomena sosial yang sangat lazim. Adanya haji memiliki manfaat ekonomi karena membuka banyak peluang bisnis dan menggerakkan roda perekonomian umat. Kita bisa saksikan bahwa hari ini usaha-usaha yang berkaitan dengan ibadah haji kian menjamur seperti industri layanan tour and travel, transportasi, food and baverages, penginapan, telekomunikasi, asuransi dan lain-lain.

Akhirnya, setiap ibadah yang disyariatkan oleh Allah ternyata memiliki dampak luar biasa tidak hanya sebatas individu namun juga kolektif manusia, sebagaimana ibadah haji bukan hanya membawa manfaat spiritual namun juga sosial dan ekonomi. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al A’raf ayat 92-94

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Tafsir surat Al A’raf ayat 92-94 memberi kita pelajaran bahwa akan binasa bagi orang-orang yang sewenang-wenang dan juga mendustakan Allah maka akan memperoleh kebinasaan hal ini tertuang dalam kisah kaum Madyan ketika mendustakan Nabi Syu’aib dalam Tafsir surat Al A’raf ayat 92-94.


Baca Juga: Kisah Nabi Syuaib dan Penduduk Madyan dalam Al Quran


Ayat 92

Pada ayat-ayat yang terdahulu telah disebutkan bahwa pemuka-pemuka kaum Nabi Syu’aib pernah mengeluarkan ancaman untuk mengusir Nabi Syu’aib bersama para pengikutnya dari negeri Madyan apabila mereka tidak mau kembali kepada agama nenek moyang mereka. Maka dalam ayat ini Allah memberikan penjelasan sebagai jawabannya. Allah menegaskan bahwa akibat yang akan diderita oleh orang-orang yang telah mengancam untuk mengusir Nabi Syu’aib dari Madyan, justru merekalah yang rusak binasa dan hilang lenyap, sehingga seakan-akan mereka tak pernah hidup dan mendiami negeri ini. Demikian juga orang-orang yang mendustakan Nabi Syu’aib dan mengatakan bahwa siapa yang mengikuti agamanya pasti akan merugi, justru merekalah yang benar-benar merugi, sedang orang-orang yang beriman dan mengikuti agama yang dibawa oleh Nabi Syu’aib mereka akan selamat dan memperoleh rida Allah.

Dari ayat ini dapat diambil pelajaran yang sangat berharga, yaitu bahwa orang yang sangat menginginkan tetap tinggal di negeri mereka dengan hidup senang dan berbuat sewenang-wenang terhadap pihak-pihak yang memegang teguh kebenaran, niscaya akan menemui akibat yang bertentangan dengan harapan mereka, yaitu kebinasaan. Demikian pula orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan jalan mengambil harta orang lain dengan cara yang batil seperti korupsi niscaya akan menemui nasib malang, yaitu: kehilangan harta benda dan harga diri untuk selama-lamanya.

Ayat 93

Ketika azab itu menimpa kaum Nabi Syu’aib, lalu dia pergi meninggalkan mereka, dengan penuh kesedihan ia berkata: “Wahai kaumku, aku telah menyampaikan risalah Tuhanku kepadamu, dan aku telah melaksanakan tugasku terhadapmu, dan aku telah memberikan nasihat yang cukup kepadamu, namun kamu membelakangi kesemuanya itu, maka mengapa aku harus bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir?”.

Nabi Syu’aib diutus Allah untuk menuntun kaumnya kepada agama yang benar untuk mencapai rida Allah serta kebahagiaan dunia dan akhirat, untuk itu Nabi Syu’aib telah mencurahkan segenap tenaganya, tetapi mereka telah memilih jalan kesesatan. Mereka bahkan mendustakannya, serta mengancam untuk mengusir dari tanah airnya. Mereka telah melemparkan diri mereka sendiri ke jurang kebinasaan, karena kekafiran mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya. Sungguh Allah tidak menzalimi mereka.

Ayat 94

Tafsir Surat Al Araf ayat 92-94 ini khususnya dalam ayat 94 menjelaskan bahwa salah satu dari ketetapan Allah yang berlaku ialah bahwa Dia mengutus rasul-Nya kepada suatu umat, kemudian apabila umat tersebut mendustakan rasul-Nya, maka Allah menimpakan cobaan kepada umat tersebut, berupa kesempitan rezeki dan penderitaan. Cobaan tersebut dimaksudkan untuk menyadarkan mereka sehingga menjadi umat yang tunduk dan rendah hati dengan ikhlas berdoa kehadirat Allah agar mereka dilepaskan dari azab tersebut.

Kemewahan dan kesenangan hidup menyebabkan manusia lupa kepada Tuhannya. Akan tetapi, bila suatu ketika ia ditimpa kesusahan dan kesempitan, maka hal itu akan menimbulkan kesadaran dalam hatinya, lalu kembali ke jalan yang ditunjukkan agamanya, dan berusaha untuk memperbaiki dirinya.

وَلَوْ بَسَطَ اللّٰهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهٖ لَبَغَوْا فِى الْاَرْضِ وَلٰكِنْ يُّنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَاۤءُ ۗاِنَّهٗ بِعِبَادِهٖ خَبِيْرٌۢ بَصِيْرٌ

“Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Mahateliti terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya, Maha Melihat. (asy-Syura/42: 27)

Seseorang baru dapat merasakan nikmatnya kekayaan bila suatu ketika ia pernah kehilangan kekayaan itu. Seseorang baru mengerti nikmat kesehatan bila suatu ketika ia pernah sakit. Demikian pula halnya dengan nikmat-nikmat lainnya yang telah dikaruniakan Allah kepada manusia.

Dengan demikian jelaslah, apabila suatu ketika Allah mencabut nikmat-Nya dari seseorang atau satu bangsa, maka tujuannya agar mereka sadar dan mau beriman dan taat kepada Allah, yakin akan sifat-sifat kekuasaan, keadilan dan kasih sayang Allah kepada makhluk. Sehingga mereka akan kembali merendahkan diri kepada Allah dan tunduk kepada peraturan-Nya, serta mengharapkan ampunan-Nya, untuk melepaskan mereka dari kesusahan yang menimpanya.


Baca Juga: Tafsir Surat Yunus Ayat 57: Pengaruh Akhlak Terhadap Kesehatan


5 Fakta Tentang Bacaan Taawudz, ِApa Saja?

0
Bacaan Taawudz
Bacaan Taawudz

Membaca Al-Quran tidak akan bisa dilepaskan dari bacaan taawudz. Sudah menjadi kebiasaan umum bahwa sebelum membaca Al-Quran, bahkan sebelum membaca basmalah, terlebih dahulu membaca taawudz. Namun tahukah anda bila bacaan taawudz ternyata memiliki ragam lafad? Tahukah anda bila ada yang menyatakan taawudz sebaiknya dibaca setelah membaca Al-Quran, bukan sebelumnya? Berikut ini adalah 5 fakta tentang bacaan taawudz yang dipaparkan para ulama’:

Baca Juga: Inilah Alasan Dianjurkan Bertaawudz Sebelum Membaca Basmalah

  1. Hukum Membaca Bacaan Taawudz

Hukum membaca taawudz sebelum membaca Al-Quran adalah Sunnah. Hal ini berdasarkan firman Allah:

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ (٩٨)

Apabila kamu membaca Al-Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk (QS. An-Nahl [16] 98).

Para ulama’ memahami ayat di atas sebagai perintah agar apabila hendak membaca Al-Quran, maka mintalah perlindungan (taawudz). Dan perintah ini merupakan perintah yang berupa anjuran (nadbi), bukan perintah wajib. Ibn Katsir mengutip pernyataan Ibn Jarir, bahwa para ulama’ bersepakat soal bahwa perintah dalam ayat di atas hanya bersifat anjuran saja. Meski begitu, Imam As-Suyuthi dalam Al-Itqan fi Ulum Al-Quran meriwayatkan bahwa ada sebagian ulama’ yang menyatakan bahwa perintah di atas adalah perintah wajib. Sehingga ulama’ tersebut berkesimpulan bahwa hukum taawudz adalah wajib

  1. Letak Bacaan Taawudz

Meletakkan taawudz sebelum memulai membaca Al-Quran ternyata adalah pendapat mayoritas ulama’ saja. Beberapa ulama’ menyatakan bahwa bacaan taawudz dibaca setelah membaca Al-Quran. Pendapat ini diceritakan oleh Imam As-Suyuthi di dalam Al-Itqan dan Ibn Katsir di dalam tafsirnya. Dasar yang dipakai oleh ulama’ yang meyakini pendapat ini adalah Surat An-Nahl ayat 98 di atas. Kata kerja di dalam ayat tersebut menunjukkan waktu lampau. Maka menurut mereka, hal itu menunjukkan bahwa membaca taawudz adalah setelah membaca Al-Quran, bukan sebelumnya.

Baca Juga: Makna Esoterik Yang terkandung dalam Kalimat Taawudz Menurut Fakhruddin Ar-Razi

  1. Ragam Bacaan Taawudz

Berikut ragam bacaan taawudz dari para ulama’, yang disebutkan Imam As-Suyuthi di dalam Al-Itqan:

  1. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيم

A’udzubillahi minasy syaithaanir rajiim

Aku meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk

  1. أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

A’udzubillahis samii’il ‘aliimi minasy syaithaanir rajiim

Aku meminta perlindungan kepada Allah yang maha mendengar dan mengetahui, dari syaitan yang terkutuk

  1. أَسْتَعِيْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Asta’iidzu billaahi minasy syaithaanir rajiim

Aku meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk

  1. أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

A’udzubillahil ‘adhiimi minasy syaithaanir rajiim

Aku meminta perlindungan kepada Allah yang Maha Agung dari syaitan yang terkutuk

  1. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ إِنَّ اللهَ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمِ

A’udzubillahi minasy syaithaanir rajiim. Innallaha huwas samii’ul ‘aliim

Aku meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui

Imam As-Suyuthi menyatakan, selain bentuk-bentuk di atas masih ada bentuk-bentuk lainnya. Bahkan ia mengutip Imam Al-Hulwani bahwa lafadz taawudz tidaklah bisa dipatenkan. Semua orang bebas menambah maupun mengurangi dari bentuk yang sudah ada. Hanya saja, Imam An-Nawawi memilih bentuk taawudz sebagaimana urutan pertama dari deretan beragam bentuk taawudz di atas (Al-Itqan/1/380).

  1. Mengeraskan Bacaan Taawudz

Terjadi perbedaan antara para ulama’ tentang hukum mengeraskan bacaan taawudz. Sebagian menyatakan taawudz dibaca keras secara mutlak, ada yang menyatakan dibaca lirih secara mutlak, dan adapula yang menyatakan dibaca keras saat ada orang yang mendengarnya saja (Al-Itqan/1/380).

  1. Taawudz Di Dalam Salat

Anjuran membaca taawudz tidak hanya saat hendak membaca Al-Quran di luar salat saja, tapi juga di dalam salat juga. Hal ini diungkapkan oleh Imam An-Nawawi di dalam At-Tibyan. Bahkan tidak hanya pada rakaat pertama saja, tapi pada setiap rakaat. Dan pada saat salat janazah, disunnahkan setelah takbir pertama.

Demikianlah 5 fakta terkait bacaan taawudz. Sebenarnya masih banyak lagi permasalahan penting tentang bacaan taawudz yang pernah diulas oleh para ulama’. Terutama dalam masalah fikih. Namun penulis hanya ingin menyuguhkan wawasan secara singkat saja. Wallahu a’lam.

Makkiy dan Madaniy dalam Pandangan Nashr Hamid Abu Zaid

0
Makkiyyah dan Madaniyyah
Makkiyyah dan Madaniyyah

Pembagian ayat atau surat al-Qur’an ke dalam Makkiy dan Madaniy oleh para ulama al-Qur’an secara umum mengacu pada tiga kriteria, yaitu waktu, tempat dan khitab. Pada kenyataannya ketiga kirteria ini tidak memberi penentuan yang pasti. Adakalanya suatu surat yang dianggap makkiyah berdasarkan waktu, di dalamnya terdapat ayat yang tidak masuk kritreria tersebut. Begitupun dengan kedua kriteria lainnya. Selalu ada ayat-ayat yang tidak sejalan dengan kriteria yang sudah ditetapkan.

Antara realitas dan teks

Lantaran ketidakpastian itu, dalam kitabnya Mafhum al-Nash, Nashr Hamid Abu Zaid menawarkan aspek realitas dan teks sebagai landasan untuk menentukan status suatu ayat apakah makiyyah atau madaniyah. Didasarkan pada realitas, karena gerak teks berbanding lurus dengan gerak realitas. Sedangkan pendasaran pada teks, disebabkan kandungan isi dan strukturnya.

Baca Juga: Mengenal Nasr Hamid Abu Zaid, Pengkaji Al-Quran Kontemporer Asal Tanta, Mesir

Bagi Abu Zaid, kajian makkiy dan madaniy adalah bentuk dialektika teks dengan realitas. Perubahan realitas yang dihadapi Rasul sebagai penerima wahyu pada dua konteks yang berbeda memengaruhi bentuk teks al-Qur’an pada saat itu. Menurutnya, teks adalah hasil dari interaksi dengan realitas yang bersifat dinamis-historis. Fase makkiy dan madaniy pada dasarnya bukan hanya persoalan tempat penurunan al-Qur’an, akan tetapi pembedaan dua fase tersebut memberikan efek yang berbeda pada kandungan maupun struktur teks, yang disesuaikan dengan sasaran penerima teks waktu itu.

Dari inzar menuju risalah

Hijrah Rasul dari Mekkah ke Madinah tidak sekadar perpindahan tempat.  Ketika di Mekkah, teks al-Qur’an berperan sebagai pemberi peringatan (inzar). Pada tahap ini al-Qur’an berupaya mengenalkan konsep baru. Ajaran paganistik dan realitas yang melekat pada masyarakat Arab jahili direspon oleh teks al-Qur’an yang mengarahkannya pada realitas ketauhidan dan perbaikan akhlak. Metode yang tepat untuk masa ini adalah suatu narasi yang dapat memberikan pengaruh kuat terhadap jiwa audience.

Sementara pada fase Madinah, teks al-Qur’an mempunyai peran sebagai risalah atau masa pembentukan yang bertujuan membangun ideologi masyarakat baru. Yakni masyarakat yang melengkapi dirinya dengan perangkat-perangkat hukum dan ikatan-ikatan sosial menuju tatanan masyarakat berperadaban. Metode yang tepat untuk fase ini adalah narasi yang mampu memberikan pemahaman akan suatu ajaran. Perbedaan fase Makkah atau Madinah menunjukkan gerak teks yang berubah dari inzar menuju risalah. Hal ini berimplikasi pada perubahan gaya bahasa dan materi teks.

Fase inzar mengandalkan sebuah upaya persuasif. Penggunaan gaya bahasa yang singkat, padat, dan memikat menjadi ciri khas dari surat makkiyah. Sementara pada fase risalah aspek transformasi informasi lebih ditekankan daripada aspek persuasi, meskipun aspek ini tidak hilang sama sekali. Dengan demikian, dalam ayat-ayat dan surat madaniy cenderung panjang sebab memerlukan penjelasan yang sempurna dan detail supaya perangkat hukum bisa terpahami dan terlaksana dengan baik.

Selain itu, gaya bahasa yang digunakan pada kedua fase di atas adalah berkaitan dengan fasilah. Abu Zaid berupaya membandingkan teks al-Qur’an dengan bentuk teks lain yang berkembang pada saat itu seperti puisi, sya’ir, sajak dan lainnya. Menurutnya, dengan mempertimbangkan teks-teks kebudayaan, al-Qur’an dapat dipahami dengan baik secara historis dan normatif.

Pandangan Abu Zaid di atas tidak lepas dari pemikirannya yang mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan produk budaya (al-muntaj al-saqafi). Dalam artian, konteks al-Qur’an mengalami fase keterbentukan dan kematangan, yang pertama adalah fase saat teks merepresentasikan realitas dan budaya melalui bahasa dan wacana yang diangkatnya. Sementara pada fase terakhir, teks berubah menjadi produsen budaya (al-muntij al-tsaqafah), karena ia menginspirasi realitas dan budaya melalui pembacaan dan penafsiran berulang-ulang terhadapnya.

Baca Juga: Status Makkiyah dan Madaniyah Mushaf Standar Indonesia, Apakah Berbeda dengan Mushaf Lain?

Kedua fase tersebut merupakan indikasi adanya dialektika teks dengan realitas secara dinamis penuh vitalitas. Kalau dalam kedua fase ini bisa dikatakan sebagai proses evolusi teks membentuk eksistensi dirinya, maka dalam studi makkiyah dan madaniyyah, teks lebih detil menunjukkan karakteristiknya yang unik saat ia menyapa realitas khususnya audiens yang ditemuinya

Kajian makkiyyah dan madaniyyah merupakan upaya kreatif ulama muta’akhkhirun yang didasarkan pada kebutuhan mereka dalam memahami al-Qur’an. Metode untuk menentukan makkiy madaniy yang berkembang hingga saat ini tidak bersifat final. Dengan demikian, kesempatan bagi ulama kini masih terbuka lebar untuk merekonstruksi studi makkiy madaniy ke arah yang lebih baik. Wa Allahu a’lam.

Mengenal Corak Sufistik Tafsir Ruh Al-Ma’ani Karya Al-Alusi

0
Corak Sufistik
Corak Sufistik

Kita telah mengenal berbagai karya kitab tafsir dari waktu ke waktu baik dari segi ciri khas, metode, sumber hingga coraknya. Demikian pula beragamnya latar belakang historis dan sosio-kultural masing-masing mufasirnya. Di antara karya yang cermerlang adalah kitab tafsir Ruh al-Ma’ani karya Imam al-Alusi dengan corak sufistiknya.

Nama lengkap al-Alūsī adalah Abū Sana’ Syiḥāb al-Dīn al-Sayyid Maḣmūd Afandī al-Alūsī al-Bagdādī. Lahir pada tahun 1217 H / 1802 M Di Kurkh-Baghdad-Irak. Wafat pada hari Jum’at, 25 Dzulqa’dah 1270 H / 1854 M di pemakaman keluarga, Kurkh-Baghdad-Irak. Al-Alusi adalah seorang Mufti Baghdad, pendidik, pemikir, berpengetahuan luas, ulama besar (al-‘Allāmah) baik dalam bidang ilmu naqli maupun ilmu ‘aqli (Al-Alusi, 1983).

Sejak usia 13 tahun, al-Alusi mendalami ilmu dari para ulama yang mumpuni. Ia belajar kepada ayahnya yaitu Syaikh ‘Abdullāh Ṣalih al-Dīn. Ia juga belajar dari Syaikh ‘Alī Suwaidī dan Syaikh Khālid Naqsabandī yang ahli dalam bidang tasawuf (Mahmud, 2003).

Baca Juga: Mengenal Al-Alusi: Sang Arsitek Ruh al-Ma’ani

Al-Alūsī menganut akidah salaf dan bermazhab Syāfi’ī. Sekitar tahun 1248 H al-Alūsī mulai mengikuti fatwa-fatwa kalangan Mazhab Hanafī dan ia memiliki kecenderungan untuk berijtihad (Al-Alusi, 1983). Karena kecenderungan tersebut, al-Alūsī menggunakan rasionalitas (bi al-ra’yi) di samping menjelaskan dalil naql dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an (bi al-ma’ṡūr).

Metode yang digunakan al-Alūsī dalam penafsirannya adalah taḣlīlī. Ia banyak mengedepankan paradigma tafsir bercorak sufi isyari. Corak tafsir sufi lahir sebagai reaksi dari kecenderungan seseorang terhadap kehidupan materi dan duniawi menjadi sebab utama lahirnya tafsir bercorak ini yang membedakan dari corak tafsir lainnya.

Corak sufistik dalam tafsir dapat diklasifikasikan menjadi dua macam: pertama, tasawuf nadzari (teoritis) yaitu corak tafsir yang cenderung menafsirkan al-Qur’an berdasarkan teori atau paham tasawuf yang umumnya bertentangan dengan makna lahir ayat dan menyimpang dari pengertian bahasa. Kedua, Tasawuf ‘Amali (Isyari) yaitu menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh sufi dalam suluknya (Shihab, 2004).

Penafsiran bercorak sufistik menjadikan makna yang tersurat dan tersirat ibarat dua mata koin yang tidak dapat terpisahkan. Al-Alūsī menitikberatkan penafsirannya yang tersurat kemudian menelusuri makna yang tersirat yang samar dan tersembunyi di balik ayat secara kontekstual (Setyaningsih, 2017). Tafsir corak ini menjadi pilihannya karena dalam sufi, untuk mencapai ilmu hakikat, seseorang harus melalui ilmu syariat. Untuk mencapai makna tersirat/batin suatu ayat, harus terlebih dahulu menelusuri dan mengungkapkan makna tersurat/zahir ayat.

Sebagai contoh ringkas tafsir corak sufistik al-Alusi adalah ketika ia menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 50,

. وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَأَنجَيْنَاكُمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَأَنتُمْ تَنظُرُونَ

Ketika menafsirkan وانتم تنظرون, Al-Alusi menafsirkan kata نظر dengan علم . dan menjelaskan makna isyari;

وَالاِشَارَةُ فِى الآيَةِ أَنَّ البَحْرَهُوَ الدُّنْيَا وَمَاءُهُ شَهْوَاتُهَا وَلَذَاتُهَا وَ مُوْسَى هُوالقَلْبُ وَقَوْمُهُ صِفَاتُ الْقَلْبِ وَفِرْعَوْنُ هُوَ النَّفْسُ الاَمَارَةُ

“Ayat ini mengisyaratkan bahwa laut adalah dunia, air adalah syahwat dan kelezatan dunia, Musa adalah hati dan kaumnya adalah sifat hati, Fir’aun adalah nafsu amarah, dan kaumnya adalah sifat nafsu amarah” (al-Alusi, 1983, I: 256).

Baca Juga: Teladan Kisah Nabi Yusuf: Meminta Jabatan Boleh Asal Mampu Mendatangkan Kebaikan

Demikian pula ketika al-Alusi menafsirkan makanan yang halal dan thayyib sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah [2]: 178,

. يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Ia menjelaskan makna isyari ayat tersebut dalam tafsirnya;

وَالقَوْلُ بِاَنَّ فِى الآ يَةِ عَلَى هَذَا التَّفْسِيْرِاِلَى النَّهْيِ عَنِ الاَكْلِ عَلَى امْتِلاَءِ المَعْدَةِ وَالشَّهْوَةِ الكَا ذِ بَةِ لِاَنَّ ذَالِكَ لاَيَسْتَطِيْبُ

“Ayat tersebut dalam tafsir ini mengisyaratkan larangan makan hingga lambung/perut terisi penuh (kekenyangan) karena hal tersebut tidak akan mendatangkan kebaikan” (al-Alusi, 1983, II: 39).

Beberapa contoh di atas adalah penjelasan makna eksoterik/sufistik/bathin yang secara umum ia tampilkan pada bagian akhir penafsirannya. Adapun makna esoterik/zahir ia jelaskan pada bagian awal dengan mencantumkan berbagai pendapat para ulama salaf. Dengan adanya corak sufistik ini, pembaca dapat memahami makna ayat al-Qur’an secara mendalam dan luas. Wallahu a’lam bish-shawwab

Kisah Kesabaran Nabi Ya’kub : Tafsir Surat Yusuf ayat 18

0
Kisah Kesabaran Nabi Ya’kub
Kisah Kesabaran Nabi Ya’kub

Al-Quran memiliki dua cara untuk menyampaikan risalah dari Allah kepada hambanya. Ada kalanya Al-Quran menyampaikan risalah secara langsung dengan uslub yang jelas dan to the point. Namun ada kalanya pula Al-Quran menyampaikan risalahNya lewat ilustrasi kisah – kisah masa lampau, dengan harapan pembaca akan tertarik dengan materi sastra yang terkandung dalam penyampaian kisah, selain itu juga sembari membuka jalan pikiran tentang apa yang ada dibalik kisah tersebut. Misalnya yang terkandung dalam al-Qur’an adalah kisah kesabaran Nabi Ya’kub.

Salah satu kisah yang tercantum dalam Al-Quran adalah kisah Nabi Yusuf AS yang diabadikan Allah dalam satu surat khusus, yakni surat Yusuf. Kajian akan surat Yusuf hingga kini masih berkembang dan tak akan pernah berhenti. Hal ini disebabkan karena kisah nabi Yusuf adalah kisah terbaik diantara kisah – kisah yang ada di dalam Al-Quran. Klaim ini sudah terbukti pasti benar, karena statement nya datang langsung dari Allah SWT

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَذَا الْقُرْآنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ

Artinya : “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui” (QS. Yusuf : 3).

Predikat terbaik ini bukan omong kosong belaka. Dalam beberapa penelitian, terbukti surat Yusuf memang punya kelebihan dibanding kisah – kisah lain dalam Al-Quran. Diantaranya banyaknya simbolisme atau easter egg dibalik kisahnya, misalkan dalam penggunaan kata Qamish yang ternyata menjadi tanda pemunculan konflik, puncak konflik, hingga konklusi. Dan masih banyak lagi.

Baca juga: Kajian Semantik Kata Membaca dan Konteksnya dalam Al-Quran

Dalam surat ini, Nabi Yusuf bukanlah satu – satunya main character yang mengontrol jalannya cerita. Namun masih ada peran nabi Ya’kub, sang ayah yang turut membuat kisah ini semakin dramatis dan tersusun dengan rapi.

Nabi Ya’kub adalah nabi yang memiliki kesabaran seluas samudra. Bagaimana tidak? Kedua anak kesayangannya, Yusuf dan Bunyamin sudah 2 kali hampir direnggut darinya secara sengaja. Namun, daripada menyalahkan anak–anaknya yang lain beliau lebih memilih sabar, dengan term favoritnya “Fasabrun Jamil”.

Sikap Nabi Ya’kub Mengetahui Berita Rekayasa Kematian Yusuf

Tindakan Saudara – saudara Yusuf yang memalsukan kematian Yusuf bukannya tak diketahui oleh Nabi Ya’kub. beliau berkata

بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنْفُسُكُمْ أَمْرًا

Artinya : “….Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu….”

Darisana kita bisa mengetahui bahwa Nabi Ya’kub sebenarnya mengetahui bahwa kebenaran yang dibawa oleh saudara – saudara Yusuf itu palsu. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya :

{بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنْفُسُكُمْ أَمْرًا فَصَبْرٌ جَمِيلٌ} أَيْ: فَسَأَصْبِرُ صَبْرًا جَمِيلًا عَلَى هَذَا الْأَمْرِ الَّذِي قَدِ اتَّفَقْتُمْ عَلَيْهِ، حَتَّى يُفَرِّجَهُ اللَّهُ بِعَوْنِهِ وَلُطْفِهِ

“(Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu), maksudnya Aku akan bersabar dengan kesabaran yang indah atas apa yang telah kalian rencakana untuk Yusuf, sampai Allah ungkap sendiri ini semua dengan pertolongan dan kelemah lembutannya”

Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa : Pertama, Nabi Ya’kub sudah tau sejak awal bahwa saudara – saudaranya pasti akan mencelakai Yusuf. Oleh karena itu pada awalnya Nabi Ya’kub menolak mengizinkan mereka bermain di luar. Kedua, Nabi Ibrahim bersabar atas apa yang telah terjadi. Kehilangan anak, apalagi anak yang sangat disayanginya, apalagi di tangan saudara –saudaranya sendiri adalah kesedihan yang sangat memilukan.

Baca juga: Abu Manshur Al-Khayyat, Pendikte Al-Quran yang Masuk Surga sebab Mengajarkan Al-Fatihah

Karena sebenarnya yang dikhawatirkan Nabi Ya’kub bukanlah hidup atau matinya Yusuf, karena beliau sudah menyadari sejak mendapat cerita mimpi dari Yusuf, bahwa ia akan menjadi Nabi. Sehingga sudah pasti Yusuf masih hidup. Namun ketidak tahuan beliau akan keberadaan Nabi Yusuf itulah yang membuat beliau semakin khawatir, ia hidup namun tak tau dimana rimbanya. Apalagi usia beliau saat itu masih kecil. Dalam ayat sebelumnya dijelaskan bahwa saudara – saudara Yusuf akan mengajak Yarta’ wa yal’ab (bersenang – senang dan bermain).

 Dalam sebuah hadis yang dikutip dalam Tafsir Al-Khozin menyebutkan

الصبر الجميل الذي لا شكوى فيه إلى الخلق

“As-Shabr Al-Jamil (kesabaran yang hakiki) ialah tiada keluh kesah yang disampaikan kepada makhluk”

Orang yang punya kesabaran di level ini adalah orang – orang yang memiliki tingkat kepercayaan yang sangat tinggi kepada Allah secara teologis. Karena Nabi Ya’kub tahu, segala anugerah hanyalah titipan Allah semata. Oleh karenanya lah, di akhir ayat Nabi Ya’kub berkata Wallahu Al-Musta’an ‘ala maa tashifun (Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan). Nabi Ya’kub memilih Allah sebagai tempat berkeluh kesah, karena hanya Allah yang mampu memberikan solusi atas masalah terebut.

Wallahu A’lam

Abu Manshur Al-Khayyat, Pendikte Al-Quran yang Masuk Surga sebab Mengajarkan Al-Fatihah

0
Abu Manshur al-Khayyat
Abu Manshur al-Khayyat

Abu Manshur al-Khayyat memiliki nama asli Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abd al-Razzaq al-Syairazi al-Baghdadiy al-Khayyat. Ia merupakan seorang pendikte bacaan Al-Quran atau yang kita kenal sebagai muqri’, yang secara leksikal berarti orang yang membacakan Al-Quran. Selain seorang muqri’, ia juga zahid, seorang yang tak memiliki kecintaan kepada dunia sama sekali. Abu Manshur al-Khayyat juga merupakan pengikut Madzhab Hanbali.

Al-Khayyat lahir pada tahun 401 H dan belajar agama kepada Abu al-Qasim bin Basyran, lalu kepada Abd al-Ghaffar al-Muaddib, Muhammad bin Umar bin al-Akhdhar al-Faqih dan ulama-ulama besar lain waktu itu. Sedangkan pendidikan Al-Quran-nya, ia belajar kepada Abu Nashr bin Mashrur dan juga kepada ulama lainnya, seperti al-Hammamiy. Lalu, ia juga mengajari kedua cucunya yaitu Imam Abu Muhammad Abdullah dan Abu Abdillah al-Husain.

Baca juga: Kisah Abdullah bin Ummi Maktum: Penyandang Disabilitas Penyebab Turunnya Surah ‘Abasa

Muhyidin al-Thu’mi, dalam karyanya Takmilah Jami’ Karamah al-Auliya’ menceritakan bahwa ia merupakan seorang pengajar Al-Quran, yang berbeda dengan kebanyakan orang. Pasalnya ia mengampu kelas khusus bagi mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan atawa tuna netra, yang mencapai tujuh ribu murid, sebagaimana dicatat Ibn al-Najjar dalam tarikhnya. Semua ia gratiskan. Barangkali bisa diibaratkan dengan rumah tahfiz pada masa sekarang, dengan menanggung  semua biaya hidup para calon tahfiz itu.

Kemuliaan yang luhur

Satu kisah menarik diceritakan oleh al-Hafiz Ibn Nashir dalam kitabnya, Dzail Thabaqat al-Hanabilah. Ia berkata:

“Sekali malam aku bermimpi, seolah aku mendatangi masjid Syaikh Abu Manshur al-Khayyat. Kulihat banyak sekali orang-orang berdiri di depan pintu masjid itu.

Dan mereka berkata: “di dalam ada Nabi Muhammad dan Syaikh Abu Manshur. Mendengar itu, aku lantas masuk ke dalam masjid”

Benar saja, aku melihat Abu Manshur sedang duduk di samping seseorang yang, aduhai, parasnya sangat indah. Kupikir-pikir seperti sifat-sifat Nabi yang pernah kudengar disampaikan oleh para syaikh dulu; pakaiannya sangat putih, di atas kepalanya tergelung sebuah imamah, yang berwarna serupa.

Sementara Abu Manshur kulihat sedang mengecup wajah sosok indah itu. Aku mendekat, kulayangkan salam penghormatan. Segera saja salamku berbalas. Tapi aku tidak tahu siapa yang membalasnya. Aku terlalu terpana dengan sosok putih, yang kuyakin adalah Nabi Muhammad Saw.

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Adam Memakan Buah dan Bencana dari Kerusakan Alam

Aku semakin mendekat, duduk di hadapan mereka berdua. Kulemparkan pandanganku tertuju pada Nabi Muhammad. Tanpa ingin bercakap-cakap atau bahkan mengeluarkan sepatah kata pun. Tiba-tiba Nabi memandangku dan bersabda: ikutilah mazhab Syaikh ini, ikutilah mazhab Syaikh ini, ikutilah mazhab Syaikh ini. Ya, tiga kali Nabi mengulangi sabda beliau itu.

Aku bersumpah sekali, dua kali, dan tiga kali bahwa aku benar-benar bermimpi. Dan aku bersaksi kepada Allah, bahwa Rasulullah Saw bersabda seperti itu tiga kali. Beliau juga sambil menunjuk dengan jari telunjuk tangan kanan beliau kepada Syaikh Abu Manshur itu.”

Al-Khayyat wafat pada hari Rabu 16 Muharram tahun 499 H dalam usia 98 tahun. Diceritakan al-Silafy dari Ali bin al-Aisir al-‘Ukbariy, ia berkata; “banyak sekali orang yang mengiringi jenazahnya. Bolah dikata aku takpernah melihat kerumunan sebanyak itu sebelumnya. Ada seorang Yahudi melintas dan menyaksikan lautan manusia itu, seketika ia berucap: “tak ada agama yang dianut oleh umat sebanyak ini, kecuali ialah agama yang haq,” dan kemudian masuk Islam.

Belajar dan mengajarkan Al-Quran

Dari uraian di atas, kita diingatkan kembali tentang sebuah hadits yang diriwayatkan Sayyidina Utsman bin Affan r.a. bahwa Rasululllah Saw bersabda; “sebaik-baik di antara kalian adalah yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya.” Atau dalam riwayat lain disebutkan: “seutama-utama kalian adalah yang belajar Al-Quran dan kemudian mengajarkannya.”

Kisah al-Khayyat di atas merupakan salah satu dari jamaknya kisah-kisah sejenis, yang mengajarkan kepada kita tentang sifat-sifat menjadi seorang mukmin yang sejati, yang mengikuti Rasulullah Saw.

Kita juga telah menyimak, betapa tingginya etos dan dedikasi al-Khayyat dalam mengajarkan Al-Quran sekaligus sebagai candradimuka untuk menyucikan jiwa dari segala kotoran.

Al-Khayyat adalah satu contoh, di antara orang-orang yang sepantasnya mendapat pujian dari Allah sebagaimana dalam surah al-Fushilat: 33, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal salih, dan berkata: sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri.”

Baca juga: Variasi Qiraat Al-Quran dan Contohnya dalam Surat Al-Fatihah Ayat 4

Kita juga kembali diingatkan akan ungkapan Imam Syafii yang dikutip oleh murin kinasih beliau, al-Muzani, bahwa barangsiapa belajar Al-Quran maka ia memperoleh derajat yang luhur.” Fragmen ini dikutip al-Dzahabi dalam kitabnya, Siyar A’lam al-Nubala`.

Demikian juga ungkapan al-Hafiz Ibn Hajar dalam Fathul Bari-nya,  bahwa tidak bisa disangkal, bahwa seseorang yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya sekaligus, selain akan membawa kesempurnaan pada dirinya, juga membawa kesempurnaan pada orang lain. Sebab dengan begitu, ia mendapat manfaat pribadi, dan orang lain pun juga mendapat manfaat darinya. Di situlah keutamaannya.

Al-Khayyat adalah contoh bagaimana Allah benar-benar menjamin siapa di antara hamba-Nya yang menjaga Kalam-Nya. Satu kisah dituturkan Abu Sa’d al-Sam’ani dalam tarikhnya.

Ia berkata; “aku mendengar dari Ja’far Umar bin al-Mubarak bin Sahlan, ia mendengar dari al-Husain bin Khasr al-Balkhiy, ia berkata; “aku bermimpi bertemu dengan Syaikh Abu Manshur al-Khayyat, lalu kutanyakan kepadanya: “apa yang Allah lakukan kepadamu, wahai Syaikh?””

Abu Manshur al-Khayyat menjawab: “Dulu semasa di dunia, aku mengajari anak-anak kecil membaca surah al-Fatihah hingga tuntas. Sebab itulah Allah mengampuni segala dosaku dan menarimaku di sisiNya.” Wallahu a’lam.

Kajian Semantik Kata Membaca dan Konteksnya dalam Al-Quran

0
Membaca dalam al-Quran
Membaca dalam al-Quran

Membaca merupakan salah satu kegiatan yang tidak dapat terlepaskan bagi sebagian manusia. Setiap waktunya seseorang akan merangkai segala bentuk tulisan di hadapannya baik secara sengaja ataupun tidak untuk dibaca. Baik tulisan yang secara nyata berbentuk rangkaian huruf ataupun simbol-simbol yang hadir di mata. Hal itu menandakan bahwa membaca telah menjadi sebagian rutinitas setiap orang di muka bui ini.

Budaya baca kini pun telah digaungkan oleh sebagian para cendekia millennial. Salah satunya Najwa Shihab yang terkenal sebagai sosok Duta Baca Indonesia sejak tahun 2016 lalu. Semangatnya dalam memperjuangkan literasi menjadikannya seorang yang begitu perhatian dalam hal literasi. Sebagai bukti cintanya dalam membaca ia juga melakukan kampanye gemar membaca diberbagai daerah Indonesia.

Menapak tilas pada sejarah membaca, maka jauh sebelum masyarakat millennial melakukan tradisi membaca, Al-Qur’an telah lebih dulu menyebutkannya. Perintah membaca dalam Al-Quran adalah wahyu pertama sebelum adanya perintah lain yang diberikan oleh Allah kepada Nabi saw.

Kosa Kata Membaca dalam Al-Quran 

Menjadi sumber rujukan dalam hidup ini, maka Al-Quran selalu relevan untuk dikaji. Menurut Chirzin (2020) dalam bukunya Kamus Pintar Al-Qur’an kata membaca dalam Al-Quran dengan berbagai derivatifnya disebutkan sebanyak 11 kali dalam ayat dan surah yang berbeda-beda. Terjemahan kata “baca” ini diungkapkan dengan kata dasar qara’a (قرأ) dan tala (تلى).

Baca Juga: Ketahui Sembilan Adab Ketika Membaca Al-Quran

Adapun penyebutan dengan kata dasar qara’a (قرأ) terulang sebanyak 4 kali yakni dalam QS. 16: 98, QS. 26: 199, QS. 75: 18, dan QS. 96: 1. Sedangkan penyebutan dengan lafal kata dasar tala (تلى) terulang sebanyak 7 kali terdapat dalam QS. 29: 48, QS. 3: 58, QS. 27: 92, QS. 37: 3, QS. 23: 66, QS. 29: 45, dan QS. 18: 27.

Konteks Ayat terkait Membaca dalam Al-Quran

Turun dalam waktu dan situasi yang tidak sama membuat ayat Al-Qur’an memiliki konteks beragam. Dari beberapa cantuman daftar ayat yang di dalamnya terdapat kata baca, maka dapat kita temukan beberapa konteks ayat, diantaranya pada QS. 16: 98 berbicara mengenai konteks anjuran memohon perlindungan kepada Allah ketika akan melakukan segala hal termasuklah membaca Al-Qur’an, QS. 26: 199 (mudahnya membaca Al-Qur’an karena lafaz ayat Al-Qur’an mudah dilafalkan), QS. 75: 18 (peringatan kepada Nabi agar tidak tergsa-gesa dalam mengingat/menghafal wahyu yang turun), dan QS. 96: 1 (pengajaran dan penjelasan Allah kepada Nabi saw tentang sifat, perbuaatan-Nya serta Dia adalah sumber ilmu pengetahuan).

Penjabaran di atas merupakan penyebutan konteks ayat yang di dalamnya terdapat kata ‘baca’ dengan kata dasar qara’a. Selanjutnya, adalah penyebutan konteks ayat yang di dalamya terdapat kata dasar tala. Pada QS. 29: 48 (Al-Quran sebagai kemukjizatan Nabi yang ummi, tidak bisa baca dan tulis), QS. 3: 58 (Jibril membacakan Al-Quran kepada Nabi Isa yang di dalamnya berupa informasi mengenai azab akhir), QS. 27: 92 (dakwah rasul seraya menyerahkan kepada setiap orag untuk emilih jalanya sendiri).

Selanjutnya pada QS. 37: 3 (menjelaskan tentang malaikat yang bertugas membacakan wahyu kepada para nabi), QS. 23: 66 (tidak ada jaminan pertolongan Allah bagi orang kufur), QS. 29: 45 (membaca Al-Qur’an, shalat mencegah manusia dalam berbuat kemunkaran), dan QS. 18: 27 (berbicara tentang Al-Qur’an dan semua berita yang ada di dalamnya).

Ulasan Mufasir Mengenai Lafal Qara’a dan Tala

Dari beberapa ayat Al-Qur’an yang di dalamya terdapat kata ‘baca’ maka salah satu dalil perintah membaca itu terletak pada QS. 96: 1. Ayat tersebut termasuk pada wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi saw melalui malaikat Jibril

إقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ.

Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,

Pada ayat di atas dapat kita lihat adanya kata iqra’ yang secara terjemah diartikan dengan ‘bacalah!’. Perintah yang masih bersifat umum ini menimbulkan sebuah pertanyaan tentang hal apa yang harus dibaca oleh Nabi saw kala itu ketika Jibril memerintahkannya, hingga akhirnya perintah inlah yang juga harus disampaikan kepada umatnya.

Pemaknaan mengenai ayat di atas pun telah dilakukan oleh sejumlah mufassir. Salah satunya mufassir kontemporer Quraish Shihab yang telah merampungkan tafsirannya  30 juz Al-Qur’an secara utuh. Metode penafsiran analisis serta corak adab wa ijtima’i sebagai ciri dalam penulisannya membuat tafsir ini sebagai salah satu tafsir yang banyak dirujuk oleh sebagian peneliti Al-Qur’an.

Quraish Shihab memaparkan bahwasanya kata iqra’ terambil dari kata kerja qara’a yang pada mulanya bermakna menghimpun, dan ketika seseorang telah merangkai huruf atau kata lalu mengucapkan rangkaian tersebut maka sejatinya ia telah menghimpunnya yakni membacanya. Dengan demikian, realisasi perintah yang dimaksud tidaklah mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan dan tidak pula harus diucapkan oleh lisan.

Menyertai dari pemaparan di atas, Shihab juga mengutip sebuah kaidah kebahasaan yang berbunyi “Apabila suatu kata kerja yang mebutuhkan objek namun tidak disebutkan objeknya maka objek yang dimaksud bersifat umum dan mencakup segala sesuatu yang terjangkau oleh kata tersebut”.

Adanya kaidah tersebut memberikan kesimpulan bahwa objek yang diperintahkan untuk dibaca adalah sesuatu yang bersifat umum dapat bacaan yang suci (firman Allah) atau bukan, baik tertulis maupun tidak tertulis sehingga terrmasuklah alam raya, masyarakat dan diri sendiri serta bacaan tertulis baik suci maupun tidak.

Baca Juga: Lima Cara Membaca Awal Surah At-Taubah dalam Ilmu Tajwid

Setelah adanya penjelasan makna iqra’ lalu bagaimana dengan ungkapan tala yang juga bisa dimaknai dengan ‘baca’?. Adapun Shihab (2001:506) menyebutkan perbedaan antara keduanya. Lafal tala (تلى) berobyek pada bacaan yang agung dan suci atau benar, sedangkan qara’a (قرأ) berobyek pada bacaan yang sifatnya lebih umum, mencakup yang suci atau tidak suci, kandungannya boleh jadi positif atau negatif.

Penjelasan di atas memberikan sebuah pesan bagi para mukmin masa kini bahwasanya hakikat membaca sesungguhnya adalah tidak hanya beraspek pada sesuatu yang tertulis saja namun juga kondisi dan situasi yang sedang terjadi di sekelilingnya.

Oleh sebab itu, adanya kepekaan untuk membaca dan memahami segala objek yang bersiggungan dengan kehidupan dirasa penting untuk dilakukan karena dapat membantu untuk merespon setiap peristiwa yang hadir di tengah perjalanan menuju kematian. Wallahu A’lam.

Keistimewaan Ka’bah dalam Al-Quran dan Pahala Memandangnya

0
Keistimewaan Ka'bah dalam Al-Quran
Keistimewaan Ka'bah dalam Al-Quran

Ka’bah merupakan kiblat ibadah umat Islam. Ia merupakan sebuah bangunan berbentuk kubus berkiswah hitam yang terdapat pada sebuah masjid bernama Masjidil Haram, dan sebuah kota mulia bernama Makkah. Bangunan bernama Ka’bah ini begitu istimewa, karena ia bisa menyedot umat hingga berpuluh-puluh juta setiap tahun dan arah salat umat Islam yang satu titik dari berbagai belahan dunia. Al-Quran ternyata mempunyai banyak penjelasan tentang keistimewaan Ka’bah, bahkan sekedar memandangnya pun menuai pahala.

Keistimewaan Ka’bah dalam Al-Quran

Dalam era modern sebenarnya telah ditemukan penjelasan secara saintifik dan ilmiah mengenai alasan mengapa Ka’bah dan tempatnya, Masjidil Haram, begitu istimewa hingga dikunjungi puluhan juta manusia setiap tahunnya. Namun, penemuan tersebut pada hakikatnya melengkapi penjelasan yang lebih dahulu disuratkan oleh Al-Quran sejak diturunkannya. Adapun Al-Quran sendiri yang merupakan kalam Allah memberikan sejumlah penjelasan akan keistimewaan Ka’bah.

Pertama, Ka’bah adalah tempat ibadah pertama yang dibangun sebagaimana surah Ali Imran 96:

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِى بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَٰلَمِينَ

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”

Dalam menafsirkan lafadz inna awwala baytin pada ayat ini, Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalyn menjelaskan bahwa Ka’bah merupakan tempat ibadah pertama kali yang dibangun di muka bumi. Al-Mahalli dan As-Suyuthi juga mengutip sebuah hadis sahih bahwa, Masjidil Haram yang didalamnya terdapat Ka’bah ini telah dibina oleh para malaikat sebelum Nabi Adam diciptakan, baru setelah itu dibangunlah Masjidil Aqsa dengan jarak 40 tahun.

Baca juga: Kisah Pasukan Bergajah dan Burung Ababil dalam Surah Al-Fîl

Keterangan tersebut menyiratkan informasi bahwa pembangunan Ka’bah memang dilakukan sebelum Nabi Ibrahim, bahkan sebelum Nabi Adam, sebagaimana yang diungkapkan oleh Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah. Baru kemudian, di zaman Nabi Ibrahim dan Nabi Islamil, fondasi dan kerangka Ka’bah tersebut ditegakkan sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 127.

Kedua, masih merujuk pada surah Ali Imran ayat 96 di atas, Ka’bah berada di kota Makkah yang diberkahi (bibakkata mubaarakan). Dalam lisan Arab, penyebutan Makkah disebutkan dengan memakai huruf ba’ sehingga diucapkan Bakkah. Makkah adalah kota yang sejak awal diberikan banyak rahmah dan berkah oleh Allah dan banyak disebut oleh Al-Quran sebagai al-baladil amin. Makkah adalah tanah kelahiran Rasulullah yang sangat ia cintai. Makkah pula merupakan kota yang turun temurun ditinggali para nabi, hingga Nabi Ibrahim pun mendoakan akan keberkahannya sebagaimana dalam surah Ibrahim ayat 37.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Shalat Menghadap Ka’bah Atau Menghadap Kiblat?

Ketiga, Ka’bah disucikan dan dimuliakan Allah. Penjelasan ini bisa ditemukan dalam surah Al-Maidah 97:

جَعَلَ ٱللَّهُ ٱلْكَعْبَةَ ٱلْبَيْتَ ٱلْحَرَامَ قِيَٰمًا لِّلنَّاسِ وَٱلشَّهْرَ ٱلْحَرَامَ وَٱلْهَدْىَ وَٱلْقَلَٰٓئِدَ ۚ

“Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya, qalaid”

Kemuliaan Ka’bah sebagaimana yang tercantum dalam ayat tersebut disyarah oleh Wahbah Zuhayli dalam Tafsir Al-Wajiz bahwa dengan menunaikan ibadah ke Ka’bah dengan ikhlas dapat menghapuskan dosa-dosa yang lalu akan terhapuskan. Begitu pula tentang hadyu dan qalaid yang difirmankan Allah dalam surah tersebut dimaknai Zuhayli sebagai bentuk pengorbanan dan persembahan yang paling mulia di sisi Allah.

Keempat, Ka’bah dijadikan Allah sebagai pusat baik untuk urusan ibadah maupun urusan duniawi. Sebagai pusat ibadah Ka’bah bisa kita saksikan bahwa ia adalah kiblat ibadah, salat maupun haji, bahkan dari zaman ke zaman. Mengenai hal tersebut, Syaikh An-Nawawi Banten dalam Tafsir Munir menyatakan bahwa seluruh nabi telah melakukan sujud kepada Allah SWT dengan menghadap ke arah Ka’bah sebagai kiblatnya. Fenomena haji dan Masjidil Haram yang tak pernah sepi peziarah juga merupakan bukti nyata bahwa Ka’bah merupakan pusat magnet baik urusan ibadah maupun duniawi sebagaimana yang dijelaskan ayat di atas.

Memandang Ka’bah berpahala

Selain ayat-ayat yang disebutkan di atas, ayat yang menjelaskan Ka’bah sebagai kiblat bisa kita lihat dalam surah Al-Baqarah ayat 144:

…فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَىٰهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.”

Sebagaimana dalam Tafsir Jalalayn Al-Mahalli dan As-Suyuthi menyampaikan bahwa maksud Masjidil Haram pada ayat tersebut pada hakikatnya Ka’bah, di mana ia dijadikan kiblat salat oleh umat Islam dari berbagai penjuru dunia. Meskipun demikian, memandang Ka’bah di luar salatpun tetap mendapatkan pahala sebagaimana hadis Nabi “Setiap sehari semalam Allah menurunkan seratus dua puluh rahmat atas Baitullah. Enam puluh rahmat untuk yang melakukan tawaf, empat puluh untuk yang melakukan salat, dan yang dua puluh untuk yang memandang Ka’bah.” (HR. Thabrani). Hadis di atas juga menjadi rujukan pendapat al-Mawardi dan Ar-Rauyani bahwa orang yang sedang melakukan salat di Masjidil Haram disunahkan memandang Ka’bah, bukan memandang tempat sujudnya.

Baca juga: Para Tabi’in Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ubay Ibn Ka’ab di Kota Madinah

Begitu mulia dan istimewanya Ka’bah, sehingga ia dijadikan kiblat ibadah dari zaman ke zaman, pusat ritus spiritual umat Islam seluruh dunia seperti salat, haji, dan thawaf. Sekedar memandang Ka’bah dengan penuh penghayatanpun bernilai pahala. Dalam Islam bahkan terdapat larangan-larangan menghadap atau membelakangi arah Ka’bah ketika buang air, atau kesunnahan menghadap Ka’bah ketika melakukan ritus ibadah seperti membaca mushaf, yang ke semua itu dimaksudkan untuk memuliakan Ka’bah. Nampaknya Allah memang menghendaki Ka’bah sebagai pusat perhatian manusia yang harus selalu dimuliakan sebagai wasilah fokus menyembah Allah semata.

Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Yunus Ayat 57: Pengaruh Akhlak Terhadap Kesehatan

0
Pengaruh akhlak terhadap kesehatan
Pengaruh akhlak terhadap kesehatan

Sehat dalam Islam bukan hanya merupakan sesuatu yang berhubungan dengan fisik, melainkan secara psikis (jiwa). Maka, Islam memperkenalkan konsep “al-Shihah wa al-fiyat”. Jauh dari sebelum Islam memberikan konsep tersebut, Islam sangatlah memperhatikan terhadap akhlak. Sehingga pengaruh akhlak terhadap kesehatan pun sangatlah berdampak.

Keadaan ini telah terbukti dari sebuah misi Rasulullah SAW yaitu dalam haditsnya dari Abu Hurairah ra., Rasulullah bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُ تَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus menjadi Rasul hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR.Bukhari, al-Baihaqi, dan Hakim).

Akhlak dan Kesehatan

Banyak orang tidak menyadari indikator adanya sebuah ketimpangan akhlak pada diri manusia adalah sumber dari penyakit. Pada prinsipnya, semua penyakit muncul akibat dari perilaku yang disengaja maupun tidak disengaja oleh si pelaku.

Baca juga: Doa Nabi Ayyub as dalam Al-Quran untuk Kesembuhan Penyakit

Seperti halnya rumusan yang dipaparkan oleh Ustadz Danu, bahwasannya, semua penyakit muncul akibat seseorang sering mengumbar hawa nafsu sehingga Allah SWT menurunkan peringatan agar manusia kembali ke jalan yang benar, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.

Karena sebuah nafsu akan menyebabkan timbulnya penyakit hati maupun fisik. Allah SWT berfirman atas dasar hubungan akhlak (nafsu manusia) dengan kesehatan yang mana berkaitan dengan penyakit. Dalam QS.Yunus [10]:57

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Artinya; “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian dan penyembuh bagi penyakit (yang berbeda) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”

Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan Allah SWT menyebutkan karunia-Nya yang telah diberikan kepada makhluk-Nya dengan menurunkan Al-Qur’an dengan tiga fungsi, yakni Pertama, peringatan terhadap perbuatan-perbuatan yang keji. Maksudnya adalah dari kebimbangan dan keraguan, yaitu sebagai penyembuh penyakit yang bersumber di dalam dada.

Kedua, petunjuk dan yang Ketiga, sebagai rahmat. Dengan mengamalkan akan diperoleh petunjuk dan rahmat dari Allah SWT. dan sesungguhnya hal itu hanyalah diperoleh bagi or­ang-orang mukmin dan orang-orang yang percaya serta meyakini apa yang terkandung di dalam Al-Qur’an.

Baca juga: Kemuliaan Manusia dalam Al-Quran dan Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia

Allah SWT meletakkan dua hal dalam hati manusia, yaitu ruh dan nafsu. Disini ruh senantiasa cenderung membawa manusia tunduk dan patuh kepada firman-Nya, sedangkan nafsu akan cenderung membawa manusia mengikuti kesenangan duniawi tanpa memperhatikan firman-Nya.

 Karena hati merupakan pusatnya nafsu-nafsu yang ada dalam tubuh manusia. Hati akan memerintahkan otak dengan menggerakkan orang tubuh manusia sebagai penyalur keluarnya nafsu tersebut. Nafsu yang tidak baik bila dijalankan terus menerus akan menumpuk menjadi dosa di mata Allah SWT.

Sistem yang sempurna dalam kehidupan manusia dengan memaksa manusia tunduk dan patuh atas firman-firman-Nya, agar kembali ke jalan yang benar. Jalan yang benar itu tidak lain dan tidak bukan adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Paksaan Allah SWT berupa adzab atau musibah yang menimpa manusia, berupa penyakit, kecelakaan, dsb.

Sedangkan di dalam tafsir al-Misbah M. karya Prof. Quraish Shihab menerangkan dengan menyebutkan bahwa kata Syifa’ biasa diartikan kesembuhan atau obat, dan digunakan dalam arti keterbebasan dari kekurangan. Penyakit yang ada di dalam dada dan al-Qur’an merupakan rahmat bagi orang-orang yang beriman, yakni al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian selain kerugian disebabkan oleh kekufuran mereka sendiri.

Keistimewaan dan fungsi al-Qur’an dalam tafsirnya sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya, M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa para ulama’ memahami hal tersebut, bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat juga menyembuhkan penyakit-penyakit jasmani. Mereka merujuk kepada sekian riwayat yang diperselisihkan nilai dan maknanya.

Baca juga: Disimpan British Library, Beginilah Potret Empat Al-Qur’an Kuno dari Jawa

Masih pada Tafsir al-Misbah menuliskan ada riwayat Ibn Mardawih melalui sahabat Nabi SAW, Ibn Mas’ud ra, yang memberikan bahwa ada seseorang yang datang kepada Nabi SAW mengeluhkan dadanya, maka Rasulullah bersabda: “Hendaklah engkau membaca al-Qur’an.” 

Dengan itu, hidup menurut al-Qur’an pada dasarnya adalah hidup dengan cara mengekang atau melawan hawa nafsu yang selalu mengendalikan hati, pikiran dalam langkah manusia. Hidup dengan menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk akan berada di jalan yang lurus dan dapat mengangkat derajat manusia.

Sebagaimana, memohon kepada-Nya, maka Allah SWT akan menyembuhkan penyakit seseorang sebagaimana firman yang telah dipaparkan diatas sebagai penyembuh penyakit di dalam dada, petunjuk, dan rahmat bagi yang beriman. Menjadikan akhlak yang Qur’ani, tidak terbebani dengan menjalankan sepenuh hati, agar kesehatan terus membersamai.

Wallahu’alam