Beranda blog Halaman 406

Tafsir Surah Abasa Ayat 27-31

0
tafsir surah abasa
Tafsiralquran.id

Sebelumnya telah membicarakan mengenai perintah untuk memikirkan nikmat-nikmat yang telah dianugerahi oleh Allah, yakni adanya tumbuhan dan hujan, Tafsir Surah Abasa Ayat 27-31 ini kurang lebih masih dalam pembicaraan tersebut.


Baca juga: Tafsir Surah Abasa Ayat 19-26


Pembicaran dalam Tafsir Surah Abasa Ayat 27-31 ini diawali dengan penyebutan beberapa contoh tumbuhan yang bermanfaat bagi manusia, yakni biji-bijian, sayur-sayuran, buah-buahan.

Selain itu dalam Tafsir Surah Abasa Ayat 27-31 ini juga dijelaskan mengenai peran dan proses air hujan yang dapat menghidupkan tanah yang mati, bagaimana bumi terbelah, serta dijelaskan pula mengenai tingkatan perkembangan tumbuh-tumbuhan.

Ayat 27-31

Dalam ayat ini dan selanjutnya Allah menyebutkan beberapa macam tumbuh-tumbuhan: pertama, Allah menumbuhkan di bumi biji-bijian seperti gandum, padi, dan lain-lainnya yang menjadi makanan pokok.

Kedua dan ketiga, Allah menumbuhkan pula buah anggur dan bermacam sayuran yang dapat dimakan secara langsung.

Keempat dan kelima, buah zaitun dan pohon kurma.

Keenam, kebun-kebun yang besar, tinggi, dan lebat buahnya. Tidak hanya buahnya yang dapat dimanfaatkan, tetapi pohonnya pun dapat dijadikan bahan bangunan dan alat-alat perumahan.

Ketujuh, bermacam-macam buah-buahan yang lain, seperti buah pir, apel, mangga, dan sebagainya.

Kedelapan, berbagai macam rumput-rumputan.

Air yang turun dari langit dan perannya dalam “menghidupkan tanah yang mati” secara jelas diuraikan pada Surah al-Furqan/25: 48-49. Apa kandungan dari air hujan sehingga dapat digunakan untuk tumbuhnya tumbuhan ada pada Surah Qaf/50: 9.

Sedangkan uraian bagaimana bumi “terbelah”, di samping ayat di atas, juga terdapat pada Surah Fussilat/41: 39, sebagaimana pada penggalannya: ”Dan di antara ayat-ayat-Nya adalah engkau melihat bumi kering tandus maka apabila telah Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan mengembang.”

Ayat tersebut menerangkan apa yang akan terjadi pada tanah yang kering apabila butiran hujan jatuh di atasnya. Ayat tersebut juga menjelaskan adanya tiga tahap bagaimana perkembangan tumbuhan sampai dengan menghasilkan buah.

Tingkat-tingkat perkembangan tumbuhan yang dijelaskan oleh ayat di atas adalah demikian:

Pertama: Bergeraknya tanah. Apa yang dimaksud dengan bergeraknya tanah adalah gerakan partikel tanah. Partikel ini terdiri dari lapisan-lapisan yang terdiri atas bahan silika dan alumina. Ketika air masuk ke lapisan-lapisan partikel, maka akan terjadi pembengkakan dari partikel-partikel pembentuk lumpur. Hal ini dapat dijelaskan demikian:

A).Muatan listrik elektrostatis yang ada di permukaan partikel (yang terjadi setelah kehadiran air) akan mengakibatkan terganggunya stabilitas. Partikel ini akan bergerak terus, sebelum ada stabilisator yang berupa partikel yang bermuatan listrik yang berlawanan.

Di sini kita seharusnya bersyukur, tentang bagaimana Allah telah menciptakan semuanya dalam pasangan-pasangan, sehingga mendatangkan suasana yang stabil dan sentosa. Termasuk dalam hal ini adalah muatan listrik.


Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 53-54: Hari Penggiringan dan Pengadilan


b).Pergerakan partikel tanah juga disebabkan karena adanya tabrakan dengan partikel air. Pergerakan partikel air yang tidak teratur menyebabkan partikel tanah bergerak ke semua arah. Gerakan yang demikian ini ditemukan oleh seorang ahli tumbuhan bernama Robert Brown pada tahun 1828.

Pergerakannya sangat tergantung pada kecepatan dan jumlah partikel air. Dengan demikian, pergerakan yang terjadi adalah interaksi langsung antara partikel tanah dan partikel air.

Kedua: Mengembangnya tanah. Apa yang dimaksud dengan mengem-bangnya tanah adalah mengembangnya partikel tanah. Partikel tanah akan bertambah tebal. Dengan demikian, tanah akan mengembang, sejalan dengan mengembangnya partikel tanah.

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa partikel tanah terdiri atas lapisan-lapisan yang berhubungan satu sama lain. Antara lapisan satu dan lainnya terdapat pori-pori. Ke dalam pori-pori inilah air dan ion-ion yang terlarut akan masuk.

Dengan bentuk pori-pori yang sangat sempit dan adanya medan elektrostatis di permukaan lapisan, maka air seperti di taruh dalam botol, dan tidak mengalir ke luar. Dengan kata lain, air akan disimpan di pori-pori di setiap lapisan.

Ketiga: Tahap Perkecambahan. Tahap perkecambahan biji terjadi saat air sudah tersedia. Saat air sudah pada tahap cukup, maka embrio yang ada di dalam biji akan menjadi aktif dan menyerap matrial nutrisi yang sederhana (material nutrisi kompleks dipecah menjadi sederhana dengan bantuan enzim).

Pada tahap ini, bakal akar tumbuh ke bawah, bergerak di antara partikel tanah untuk mencari kawasan yang memenuhi syarat dan memperoleh nutrisi yang diperlukannya. Kemudian bakal daun akan berkembang ke atas, menembus permukaan tanah, dan mengarahkan pada sumber sinar matahari.

Jadi, secara singkat, tahapan-tahapan di atas dapat dijelaskan demikian. Kata “bergerak” jelas mengindikasikan efek dari air terhadap partikel tanah. Efek ini dapat terjadi sebagai akibat adanya muatan listrik elektrostatis atau benturan langsung antara partikel-partikel air dan tanah.


Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 41: Menyoal Manusia dan Krisis Ekologis


Sedangkan kata “membengkak” mengacu pada menebalnya partikel tanah karena terperangkapnya air di antara lapisan-lapisan pembentuk partikel tanah. Dengan demikian, partikel tanah berfungsi sebagai reservoar air, tempat menyimpan air. Ini sesuai dengan ayat berikut:

وَاَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءًۢ بِقَدَرٍ فَاَسْكَنّٰهُ فِى الْاَرْضِۖ وَاِنَّا عَلٰى ذَهَابٍۢ بِهٖ لَقٰدِرُوْنَ ۚ  ١٨

Dan Kami turunkan air dari langit dengan suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan pasti Kami berkuasa melenyapkannya. (al-Mu’minµn/23: 18)

Kemudian bakal akar, dan disusul bakal daun, mulai tumbuh. Anak pohon akan muncul, terus tumbuh dan memberikan hasil untuk keperluan manusia. Apakah manusia masih tidak bersyukur?

فَانْظُرْ اِلٰٓى اٰثٰرِ رَحْمَتِ اللّٰهِ كَيْفَ يُحْيِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَاۗ اِنَّ ذٰلِكَ لَمُحْيِ الْمَوْتٰىۚ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ  ٥٠

Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi setelah mati (kering). Sungguh, itu berarti Dia pasti (berkuasa) menghidupkan yang telah mati. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. (ar-Rµm/30: 50)

(32) Semua itu merupakan harta benda untuk kesenangan hidup manusia, dan merupakan makanan baginya dan bagi ternaknya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Abasa Ayat 33-42


(Tafsir Kemenag)

Warisan Intelektual dari Aljazair: Tafsir Ibnu Badis dan Wacana Reformisme

0
Ibnu Badis
Ibnu Badis

Aljazair secara geografis, merupakan daerah yang berada di kawasan Afrika Utara. Negara terbesar di Afrika itu memiliki  sejarah  panjang  karena  pernah  diduduki berbagai  suku dan  bangsa  luar. Salah satu yang sukses memberikan pengaruh paling besar terhadap kehidupan sosial keagamaan bumi Aljazair adalah pemerintahan Usmani. Di bawah daulah Usmani, banyak penduduk Aljazair memeluk agama Islam. Namun, kehadiran bangsa Prancis yang menggeser daulah Usmani telah membawa perubahan signifikan di hampir semua lini. Dalam lingkup keagamaan, Aljazair yang mulanya mayoritas muslim, membuat Perancis mencari celah untuk menelanjangi keimanan penduduk setempat demi menyuburkan ajaran Kristen. Keadaan yang memprihatinkan itu menyentuh hati Ibnu Badis untuk melakukan reformasi.

Dalam kaitan ini, gagasan pergerakan reformisme seorang Ibnu Badis banyak dituangkan dalam karya monumentalnya, Tafsir Ibn Badis fi Majalis al-Tadzkir min Kalam al-Khabir. Karya ini tampak “sengaja” ditulis untuk meng-counter kebijakan-kebijakan kolonial Perancis di satu sisi, dan mengokohkan pemahaman keislaman melalui Al-Quran dan hadis di sisi lain. Bahwa Al-Quran bukan sekedar “mutiara” turun-temurun. Lebih dari itu, Al-Quran merupakan kitab petunjuk bagi manusia yang berisi norma-norma, akidah dan segala aturan dalam hidup.

Ibnu Badis sendiri bernama lengkapnya Abdul Hamid bin Muhammad al-Mustafa bin Makki bin Badis ash-Shanhaj. Ia dilahirkan di Konstantain, Aljazair pada tahun 1308 H/1889 M. Keluarga besar Ibn Badis tergolongan elit agamawan. Dengan “kasta” sosial seperti ini, menjadi wajar jika Ibn Badis memiliki latar pendidikan yang kuat dan boleh dikata mapan (Ibnu Badis, Tafsir Ibn Badis, 1981: 705).

Baca juga: Tafsir Ibnu Abbas: Mengenal Dua Kitab yang Menghimpun Penafsiran Ibnu Abbas

Salah satu langkah yang ditempuh Ibn Badis dalam penulisan tafsirnya adalah dengan memilih surah (atau bab) tertentu dari Al-Quran (dan terkadang ayat-ayat tertentu), kemudian dikontekstualisasikan untuk memecah persoalan yang sedang hangat di masyarakat. Dengan melakukan itu, ia bermaksud untuk menyampaikan kepada orang-orang ketika itu tentang relevansi wahyu Al-Quran sebagai panduan untuk masalah sosial, ekonomi, dan politik. Dia menjadikan Al-Quran untuk melawan asimilasi, feminis, dan terutama terhadap sufi.

Bagi Ibn Badis, tafsir tidak hanya merupakan wahana penting untuk memajukan ide tetapi juga dapat membawa reformasi dan kebangkitan. Dia seolah mencoba menawarkan interpretasi dari perspektif baru terhadap seluruh Al-Quran. Ibn Badis, tidak seperti modernis muslim (Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 1982: 5-7), menerima dan menghargai nilai tradisi sejarah tafsir, namun sangat disayangkan hasil ceramah-ceramahanya tidak dibukukan secara baik, sehingga yang tersisa hanya dalam majalah Syihab. Diantara gerakan reformis Ibnu hadis adalah sebagai berikut:

  1. Larangan taat kepada orang kafir dan perintah jihad dengan Al-Quran

Ibn Badis menjelaskan bahwa adanya larangan patuh kepada orang kafir karena mereka termasuk golongan musuh Allah, prilaku yang dilakukannya akan membawa pada kekufuran. Namun, secara garis besar, larangan ini mencakup semua yang bertentangan dengan Islam seperti menjauhi maksiat, bahkan juga termasuk didalamnya adalah diam ketika melihat kekufuran yang terjadi, sehingga muncullah perintah untuk berjihad yang kemudian diperjelas dengan nash Al-Quran dalam surat Alfurqan ayat 52:

فَلَا تُطِعِ ٱلْكَٰفِرِينَ وَجَٰهِدْهُم بِهِۦ جِهَادًا كَبِيرًا

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar”

Ibnu Badis melanjutkan penafsirannya, bahwa maksud jihad dengan Al-Quran bukan berarti menafikan hadis Nabi, melainkan untuk memahami ayat Al-Quran diperlukan hadis Nabi. Artinya, segala risalah yang dibawa oleh Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, sifat serta pengakuan Nabi tidak lain adalah cerminan dari Al-Quran itu sendiri (Ibnu Badis, Tafsir Ibnu Badis, 1981: 189). Seruan Ibn Badis ini, sudah termasuk jihad bi al-hikmah terhadap praktek kekukufuran dan sikap kolonial Prancis yang sudah meninabokkan masyarakat Aljazair.

Baca juga: Sejarah Penomoran Ayat Mushaf Al-Quran dari Jerman hingga Turki

2.Urgensitas akademik berdasar budi

Ibnu Badis juga menyerukan pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan yang didasari dengan akhlak yang mulia. Ilmu yang benar dan akhlak yang kuat merupakan dua pondasi dasar tercapainya kesempurnaan manusia. Akal adalah salah satu keistimewaan manusia sekaligus sarana untuk menyerap ilmu pengetahuan. Karena itu, keyakinan, perkataan serta perbuatan manusia harus dilandasi ilmu. Al-Quran memuat dalil-dalil akidah dan dasar-dasar hukum yang diperjelas dengan penjelasan hadis Nabi. Para ahl al-ilm harus menjelaskan dalil-dalil Al-Quran dan sunnah Nabi dalam dakwah dan fatwa mereka dengan tujuan mendekatkan masyarakat awam pada dasar dan pondasi agama demi tercapainya kebaikan bersama (Ibnu Badis, Tafsir Ibn Badis, 1981: 94-99).

Urgensi peran akal dalam memahami dalil-dalil agama juga harus diimbangi dengan akhlak yang mulia. Setiap muslim harus mengaplikasikan ajaran agama di setiap sendi kehidupannya dengan membiasakan bertutur kata yang santun dan prilaku mulia, baik dengan sesama muslim ataupun non muslim. Di antara etika muslim yaitu menghindari ujaran-ujaran kebencian yang dapat memicu perpecahan agar kedekatan antar sesama dapat terjalin dan rasa kasih sayang dapat tertancap dalam jiwa masing-masing, maka stabilitas keamanan dan bangunan peradaban dapat terwujud.

Baca juga: Buya Hamka, Mufasir Reformis Indonesia Asal Minangkabau

3.Kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan

Dakwah Islam telah membebaskan perempuan dari “kebrutalan” laki-laki. Penafsiran Ibn Badis tentang Islam menyatakan bahwa seorang wanita, baik lajang atau menikah, adalah seorang individu dalam haknya sendiri. Perempuan memiliki hak, misalnya, untuk memiliki dan mengatur harta benda dan penghasilan. Ini adalah pandangan yang dianut oleh hampir semua reformis Islam, dan ini dibagikan atau kadang-kadang diulangi secara keseluruhan oleh Ibn Badis. Dalam banyak kesempatan, Al-Quran mengingatkan orang-orang bahwa Tuhan tidak membedakan manusia, baik mereka laki-laki atau perempuan, kecuali antara mereka yang berbuat baik dan mereka yang berbuat salah.

Posisi di mana syariah menempatkan kaum perempuan diatur oleh Tuhan, yang alasannya tidak dapat diapresiasi atau dipahami oleh semua orang. Ibn Badis melihat sedikit kebutuhan untuk membela hukum ketuhanan yang menegaskan prinsip abadi persamaan di hadapan Tuhan. Al-Quran menyatakan bahwa pria dan wanita diciptakan dari satu makhluk, sedangkan martabat hanyalah berbeda dari segi fungsinya. Selanjutnya Ibn badis menamahkan pemaparannya bahwa laki-laki dan perempuan saling melengkapi (Ibnu Badis, Tafsir Ibn Badis, 1981). Wallahu a’lam[]

Menanti Riset Manuskrip Al-Qur’an Nusantara Koleksi Prancis

0
Riset Manuskrip Al-Qur’an Nusantara Koleksi Prancis
Riset Manuskrip Al-Qur’an Nusantara Koleksi Prancis

Manuskrip Al-Qur’an Nusantara selalu menarik untuk diulas dan dianalisa keadaannya. Riset seperti ini untuk menunjukkan interaksi muslim Nusantara di masa silam terhadap kitab suci pedomannya. Seperti yang mafhum dipahami, Manuskrip Al-Qur’an Nusantara tidak hanya disimpan di Indonesia saja. Di luar negeri, mushaf kuno Nusantara itu bisa juga ditemukan di museum, perpustakaan, atau kolektor yang ada di Belanda, Prancis, Malaysia, Singapura, Kanada, Brunei atau negara lainnya.

Riset-riset tentang mushaf kuno itu sebagian telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Annabel Teh Gallop misalnya, Pustakawan British Library ini banyak meriset mushaf-mushaf Nusantara yang tersebar di belahan dunia, baik di Inggris, Belgia, Kanada hingga Amerika Serikat. Tentu ini hanya contoh kecil saja. Di luar sana banyak juga peneliti yang fokus mengkaji manuskrip Nusantara, meskipun jumlah peneliti mushaf lebih kecil ketimbang teks lainnya.

Baca juga: Ayat An-Najwa: Hanya Satu Orang yang Pernah Mengamalkan Ayat Ini, Siapa Dia?

Ali Akbar kerap kali menuliskan pengantar mushaf-mushaf Nusantara di blog pribadinya quran-nusantara.blogspot.com. Salah satu yang diulas secara ringan adalah mushaf Nusantara koleksi Prancis. Dalam deskripsi ringan itu, Ali Akbar mengutip dari katalog Francois Deroche dari Bibliotheque nationale Paris yang menyimpan lima buah Al-Qur’an Jawa. Ia juga mencantumkan laman untuk menelusuri mushaf kuno yang sudah didigitalisasi itu. Untuk lebih jelasnya, bisa kunjungi laman ini.

Sebagai tambahan informasi, Francois Deroche merupakan seorang pakar kodikologi dan paleografi di College de France. Ia pernah menulis Islamic codicology: an introduction to the study of manuscripts in Arabic script, dan Qurʾans of the Umayyads: A First Overview. Selain mencantumkan lima mushaf Jawa di katalognya, Deroche juga pernah mengungkap penelitian penting tentang manuskrip Al-Qur’an Sana’a Yaman. Penelitiannya itu dengan metode radiokarbon dan menunjukkan bahwa bahan perkamennya (kertas dari kulit) berusia sangat tua. Disebut perkamen itu sudah ada di tahun 543-643 M dan juga 433-599 M (sezaman atau sebelum Nabi Muhammad ada).

Mushaf Jawa Koleksi Prancis

Di antara lima mushaf, hanya ada satu mushaf yang memiliki informasi lengkap mushaf ini kita sebut sebagai mushaf kelima. Mushaf kelima ini memiliki kolofon dan bisa dilacak lebih lanjut. Untuk keterangan empat mushaf lainnya, kira-kira informasi singkatnya seperti ini.

Mushaf yang pertama tidak ada informasi apapun, kecuali keterangan kemungkinan ada di Jawa. Mushaf ini didigitalkan dalam bentuk hitam putih dan dalam keadaan utuh. Penulisannya rapi dan terdapat gaya khas di hurufnya dipanjangkan, seperti huruf mim dan huruf lainnya.

Baca juga: Pengaruh Jawa dalam Tradisi Penyalinan Mushaf di Lombok

Sementara mushaf yang kedua juga tidak ada informasi apapun, mushaf ini didigitalkan berwarna sehingga jelas bahan kertasnya.  Mushaf ini ditulis di atas ketas dluwang dan tidak lengkap. Sebagian sudah hilang dan hanya berjumlah 155 halaman saja.

Mushaf yang ketiga, tidak ada keterangan juga. Mushaf ini ditulis di atas kertas dluwang dan gaya penulisannya lebih bagus dari yang mushaf kedua. hanya 95 halaman. Mushaf keempat juga tidak ada keterangan yang llengkap. Mushaf ini hanya 81 halaman.

Mushaf kelima ditulis di atas kertas Eropa dan di dluwang dengan dua tinta. Tinta merah untuk menulis nama surat dan tanda waqaf. Sementara tinta hitam untuk menulis ayat Al-Qur’annya. Mushaf ini berhalaman 597. Setelah surat An-Nas terdapat surat Al Fatihah dan terdapat kolofon tentang mushaf ini. Berikut bunyi kolofon tersebut.

“Hadzal Qur’an al Adzim Shohib al-Qur’an Yahi Temenggung Anggadirja ing sepuran ing keduwe ashale negarane ki()ta akan dining kiyahi Muhammad Hasan ing ru()m asale ing lit()r negerine”

Dari kolofon ini mungkin saja milik Kyai Temenggung Anggadirja yang akan dikasihkan ke Kyai Muhammad Hasan. Namun dalam katalog digital ini terdapat keterangan yang menarik dan tidak menyinggung dari kolofon tersebut. Deskripsi ini saya terjemahkan secara literal dengan google translate dari bahasa Prancis. Berikut potongan terjemahannya.

Judul:  Alquran.

Judul:  القرآن.

Tanggal Publikasi : 1701-1800

Kontributor:  Yāhya (sic). Mantan pemilik

Jenis:  manuskrip

Bahasa:  Arab

Format:  Teks dengan vokalisasi dan tanda ortoepik. Lingkaran merah memisahkan ayat-ayatnya. Di kepala surat adalah judul dan nomor syairnya, dengan tinta merah dalam bingkai. Awal teks ditempatkan dalam bingkai geometris (ff ° 4 v ° dan 5 r °); sisanya ditulis dalam …Teks dilanjutkan

Keterangan:  Al-Qur’ān

Deskripsi:  Pemindaian dilakukan dari dokumen asli.

Deskripsi:  Tanda kepemilikan Yāhya (sic) tertentu (f ° 282 r °). Pemberitahuan anonim dalam bahasa Prancis menunjukkan bahwa “naskah ini [pasti] telah disalin di Madagaskar atau pulau lain di mana bahasa Malai digunakan”.

 Salin lokasi: Jawa

Dari potongan keterangan yang diposting tahun 2012 itu, ada banyak informasi yang bisa diteliti lebih lanjut.  Tentu ada banyak kode-kode yang perlu dipecahkan. Sebagaimana pesan Oman Fathurahman, perihal manuskrip riset adalah kata kuncinya. Dalam artikel ringan ini hanya terbatas mendeskripsikan secara ringkas yang bertujuan memantik para pemerhati manuskrip mushaf Nusantara. Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam[]

 

Tafsir Surah Abasa Ayat 19-26

0
tafsir surah abasa
Tafsiralquran.id

Sebelumnya telah sedikit disinggung mengenai tiga fase kehidupan manusia, sedangkan Tafsir Surah Abasa Ayat 19-26 ini membicarakan lebih lanjut tiga fase tersebut. Pertama penciptaan manusia dari sesuait yang hina.


Baca juga: Tafsir Surah Abasa Ayat 3-18


Fase kedua yang dijelaskan dalam  Tafsir Surah Abasa Ayat 19-26 ini adalah fase dunia yang sekarang kita jalani. Sedangkan fase ketiga adalah fase alam kubur. Selain itu Allah juga mengingatkan manusia agar memikirkan terntang nikmat-nikmat yang telah Allah anugerahkan.

Ayat 19

Sebagai jawaban dari pertanyaan di atas, Allah menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari setetes mani yang hina. Allah lalu menentukan tahap-tahap kejadian, umur, rezeki, dan nasibnya.

Ayat 20

Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Dia telah memudahkan jalan manusia pada bagian pertengahan yaitu memberi kesempatan kepadanya untuk menempuh jalan yang benar atau jalan yang sesat. Sebenarnya manusia tidak pantas menyombongkan diri, apabila ia mengerti asal kejadiannya, sebagaimana firman Allah:

الَّذِيْٓ اَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهٗ وَبَدَاَ خَلْقَ الْاِنْسَانِ مِنْ طِيْنٍ  ٧

ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهٗ مِنْ سُلٰلَةٍ مِّنْ مَّاۤءٍ مَّهِيْنٍ ۚ   ٨

Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina (air mani). (as-Sajdah/32: 7-8)

Ayat 21-22

Dalam dua ayat ini dijelaskan bahwa dalam tahap terakhir (penghabisan), Allah mematikan dan memasukkan manusia ke dalam kubur. Sampai saatnya nanti pada hari Kiamat, Allah membangkitkannya kembali dari kubur-kubur mereka. Firman Allah menjelaskan:

مِنْهَا خَلَقْنٰكُمْ وَفِيْهَا نُعِيْدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً اُخْرٰى   ٥٥

Darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu dan kepadanyalah Kami akan mengembalikan kamu dan dari sanalah Kami akan mengeluarkan kamu pada waktu yang lain. (Taha/20: 55)


Baca juga: Tafsir Surah Yasin ayat 51-52: Penyesalan di Hari Kebangkitan


Ayat 23

Dalam ayat ini, Allah mengulangi lagi peringatan-Nya akan kekafiran manusia terhadap nikmat-Nya dengan menyatakan bahwa setiap orang kafir itu sangat aneh.

Semestinya mereka beriman dan mengagungkan Allah setelah merasakan nikmat yang dianugerahkan kepada mereka, tetapi mereka bersikap sebaliknya. Mereka mengingkari nikmat itu seakan-akan hanya hasil usaha mereka sendiri.

Ayat 24

Dalam ayat ini, Allah menyuruh manusia untuk memperhatikan makanannya, bagaimana Ia telah menyiapkan makanan yang bergizi yang mengandung protein, karbohidrat, dan lain-lain sehingga memenuhi kebutuhan hidupnya.

Manusia dapat merasakan kelezatan makanan dan minumannya yang juga menjadi pendorong bagi pemeliharaan tubuhnya sehingga tetap dalam keadaan sehat dan mampu menunaikan tugas yang dibebankan kepadanya.

Ayat 25

Pada ayat ini dijelaskan bahwa sesungguhnya Allah telah mencurahkan air hujan dari langit dengan curahan yang cukup besar sehingga memenuhi kebutuhan semua makhluk-Nya, baik manusia, binatang, maupun tumbuh-tumbuhan.

Ayat 26

Kemudian Allah membukakan permukaan bumi dengan sebaik-baiknya agar supaya udara dan sinar matahari dapat masuk ke dalam bagian bumi, sehingga tanahnya menjadi subur untuk menumbuhkan berbagai tanaman.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Abasa Ayat 27-31


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Abasa Ayat 3-18

0
tafsir surah abasa
Tafsiralquran.id

Sebelumnya, telah disinggung sedikit mengenai Abdullah bin Ummi Maktum yang kurang mendapatkan respon dari Nabi Muhammad dan karena itu Nabi mendapat teguran keras dari Allah, dalam Tafsir Surah Abasa Ayat 3-18 ini teguran tersebut lebih ditegaskan lagi.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Abasa Ayat 1-2


Salah satu teguran Allah yang tertera dalam Tafsir Surah Abasa Ayat 3-18 ini adalah mengapa Nabi malah bersikap terlalu condong kepada orang-orang Quraisy yang keimanannya belum pasti. Sedangkan orang-orang seperti Abdullah bin Ummi Maktum sudah jelas keimanannya sangat tulus dan ingin meminta petunjuk.

Ayat 3-4

Dalam ayat-ayat ini, Allah menegur Rasul-Nya, “Apa yang memberitahukan kepadamu tentang keadaan orang buta ini? Boleh jadi ia ingin membersihkan dirinya dengan ajaran yang kamu berikan kepadanya atau ingin bermanfaat bagi dirinya dan ia mendapat keridaan Allah, sedangkan pengajaran itu belum tentu bermanfaat bagi orang-orang kafir Quraisy yang sedang kamu hadapi itu.”

Ayat 5-7

Dalam ayat-ayat ini, Allah melanjutkan teguran-Nya, “Adapun orang-orang kafir Mekah yang merasa dirinya serba cukup dan mampu, mereka tidak tertarik untuk beriman padamu, mengapa engkau bersikap terlalu condong pada mereka dan ingin sekali supaya mereka masuk Islam.”

Ayat 8-10

Dalam ayat-ayat ini, Allah mengingatkan Nabi Muhammad, “Dan adapun orang seperti Abdullah bin Ummi Maktµm yang datang kepadamu dengan bersegera untuk mendapat petunjuk dan rahmat dari Tuhannya, sedang ia takut kepada Allah jika ia jatuh ke dalam lembah kesesatan, maka kamu bersikap acuh tak acuh dan tidak memperhatikan permintaannya.”


Baca juga: Hari Disabilitas Internasional: Ini 4 Artikel tentang Disabilitas dalam Tafsir Al-Quran


Ayat 11-12

Dalam ayat ini, Allah menegur Nabi-Nya agar tidak lagi mengulangi tindakan-tindakan seperti itu yaitu ketika ia menghadapi Ibnu Ummi Maktµm dan al-Walid bin al-Mugirah beserta kawan-kawannya.

Sesungguhnya pengajaran Allah itu adalah suatu peringatan dan nasihat untuk menyadarkan orang-orang yang lupa atau tidak memperhatikan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Tuhannya.

Barang siapa yang menghendaki peringatan yang jelas dan gamblang, tentu ia memperhatikan dan beramal sesuai dengan kehendak hidayah itu. Apalagi jika diperhatikan bahwa hidayah itu berasal dari kitab-kitab yang mulia seperti diterangkan dalam ayat-ayat berikutnya.

Ayat 13-16

Alquran adalah salah satu dari kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi. Ia merupakan kitab yang mulia dan tinggi nilai ajarannya dan disucikan dari segala macam bentuk pengaruh setan. Alquran diturunkan dengan perantaraan para penulis yaitu para malaikat yang sangat mulia lagi berbakti, sebagaimana dalam firman Allah:

لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

Yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (at-Tahrim/66: 6)

Ayat 17-18

Dalam ayat-ayat ini, Allah memberi peringatan keras kepada manusia dengan kalimat-kalimat yang tegas, yaitu: binasalah manusia! Alangkah besar keingkarannya kepada nikmat-nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepadanya sejak mulai lahir sampai matinya.

Allah mengemukakan pertanyaan supaya dijadikan renungan oleh manusia untuk dapat menimbulkan kesadaran, yaitu dari apakah Allah menciptakannya?

Allah memberi perincian tentang macam-macam nikmat yang telah diberikan kepada manusia dalam tiga masa, yaitu permulaan, pertengahan dan bagian akhir. Allah memberi isyarat kepada yang pertama dengan pertanyaan berikut ini: “Dari apakah manusia diciptakan Allah?”


Baca setelahnya: Tafsir Surah Abasa Ayat 19-26


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Ahkam: Dalil Larangan Riba dan Ancamannya

0
Dalil larangan riba dan ancamannya
Dalil larangan riba dan ancamannya

Riba merupakan satu praktik transaksi yang diharamkan oleh Islam. Secara linguistik, riba berasal dari Bahasa Arab yang berarti tumbuh berkembang atau berbunga. Terminologi riba seringkali digunakan dalam proses muamalah yang memunculkan bertambahnya keuntungan yang sangat berlebihan dan tidak wajar. Praktik ini dilarang keras oleh Al-Quran karena tatanan ekonomi dan kemaslahatan bersama, terutama fakir dan miskin. Ayat-ayat yang berkaitan dengan riba ini cukup banyak disebutkan dalam Al-Quran seperti dalam surah Ali Imran ayat 130, Ar-Rum ayat 39, dan An-Nisa 161. Dengan lebih rinci dan tegas, Al-Quran juga menguraikan ancaman-ancaman bagi berbagai jenis transaksi riba dan orang-orang yang bersangkutan menjalankannya. Berikut ini tulisan tentang Larangan riba dan ancamannya dalam Al-Quran.

Tafsir ayat-ayat larangan praktik riba

Haramnya transaksi dan praktik riba terdapat dalam ayat pada surah-surah Makkiyyah. Salah satu ayat Makkiyyah ayat Makkiyyah yang bisa dirujuk mengenai hal tersebut adalah surah Ali Imran ayat 130:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوا۟ ٱلرِّبَوٰٓا۟ أَضْعَٰفًا مُّضَٰعَفَةً ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

Baca juga: Tafsir Ahkam: Jual Beli dengan Label Harga, Sah kah?

Ayat ini memiliki korelasi dengan ayat-ayat tentang perang Uhud. Sabab nuzul ayat ini dilatarbelakangi oleh umat Islam yang mengetahui bahwa dalam pembiayaan perang Uhud, kaum musyrikin memungutnya dari hasil-hasil riba. Sempat terlintas dalam benak kaum muslimin menggunakan cara tersebut, namun kemudian ayat ini turun untuk mengingatkan kaum muslimin agar jangan melangkah dengan cara tersebut.

Mengutip Al-Biqa’i, Quraish Shihab mengungkapkan bahwa sebab utama dari kekalahan yang terjadi dalam perang Uhud adalah langkah para pemanah yang meninggalkan posisi atas bukit, untuk turun mengambil harta rampasan perang, padahal sebelumnya Rasulullah telah melarang mereka. Harta yang mereka ambil itu serupa dengan riba yang sudah marak dilakukan masyarakat Jahiliyah sebagaimana harta tersebut diperoleh dari hasil yang juga riba.

Ayat lain tentang pelarangan riba juga bida kita temukan dalam surah An-Nisa ayat 161 dan Ar-Rum ayat 39. Khusus mengenai surah Ar-Rum ayat 39, sebagian mufassir seperti Al-Qurtubi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al’Adhim, dan juga Sayyid Qutub dalam Tafsir fi Zilal al-Qur’an berpendapat bahwa yang dimaksud dalam surah tersebut merupakan riba yang halal, karena dimaknai sebagai hadiah. Namun, mufassir dan juga ahli hukum seperti Ibn Asyur dalam Al-Tahrir wa al-Tanwir memaknainya dari segi hukum yakni haram. Thabathaba’i dalam Tafsir Al-Mizan memahaminya sebagai hadiah, namun dengan catatan jika ayat ini turun sebelum hijrah, dan riba yang haram apabila ia turun setelah hijrah.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Mengqadha Puasa Sunnah

Dalam menguraikan persoalan riba, menurut Quraish Shihab, Al-Quran memang menurunkan ihwal hukumnya secara bertahap mirip dengan tahapan pengharaman khamar. Tahap pertama hanya mengisarkan adanya unsure negatif, yaitu penjelasan surah Ar-Rum ayat 39 dengan kalimat “tidak bertambah di sisi Allah”. Kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya, yaitu pada surah An Nisa’ ayat 161. Selanjutnya secara tegas dinyatakan keharaman salah satu bentuk praktiknya dalam surah Ali Imran ayat 130. Dan sebagai penutup ayat riba, diturunkanlah rangkaian surah Al-Baqarah ayat 275-279 yang mengharamkannya secara total, dalam berbagai bentuk, hingga kecaman para pelakunya.

Ancaman para pelaku riba: tafsir surah Al-Baqarah 275-279

Rangkaian surah Al-Baqarah ayat 275-279 merupakan larangan tegas Al-Quran terhadap berbagai jenis praktik riba, lebih khususnya ditujukan juga bagi para pelakunya. Adapun bunyi ayatnya adalah sebagai berikut:

ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا۟ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا۟ ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ . يَمْحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰا۟ وَيُرْبِى ٱلصَّدَقَٰتِ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ . إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ . يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ . فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا۟ فَأْذَنُوا۟ بِحَرْبٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَٰلِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ .

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”

Baca juga: Semangat Filantropi dalam Al-Quran dan Keadilan Ekonomi

Ketika membahas penafsiran rangkaian ayat-ayat tersebut, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari pembahasan ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan masalah infak (nafaqah) dan sedekah dengan berbagai aspeknya. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa pada ayat-ayat sebelumnya menjelaskan dalam anjuran bernafkah tersirat anjuran bekerja dan meraih apa saja yang akan dinafkahkan. Karena bagaimana mungkin dapat memberi kalau tidak ada yang dimiliki. Untuk itu, rangkaian surah Al-Baqarah 275-278 ini memberikan peringatan mengenai cara-cara yang keliru dalam proses pencarian harta tersebut, yang berlawanan dengan sedekah. Ayat-ayat tersebut secara tegas mencela para pelaku riba dengan berbagai jenisnya.

Menurut riwayat Umar bin Khattab, hingga akhir wafatnya pun Rasulullah juga masih belum secara tuntas menafsirkan masalah riba ini. Namun yang pasti, dalam berbagai jenisnya riba diharamkan, baik itu riba nasi’ah sebagaimana yang populer dilakukan masyarakat Jahiliyah yang disebutkan dalam ayat di atas, yaitu dengan melipatgandakan hutang, maupun riba fadhl, yakni menukar barang dengan barang yang sama namun dengan kadar yang berbeda.

Secara historisitas turunnya ayat, persoalan riba telah dijelaskan Al-Quran pada ayat-ayat kategori Makkiyyah sebagaimana disebutkan di awal. Rangkaian surah Al-Baqarah ayat 275-279 tersebut menurut Quraish Shihab merupakan penutup ayat-ayat hukum mengenai riba, bahkan rangkaian ayat tersebut dinilai sebagai ayat-ayat ahkam terakhir yang diterima Rasulullah. Sebagai ayat-ayat penutup tidak heran apabila rangkaian ayat tersebut tidak hanya mengharamkan praktek riba, tetapi juga mengancam orang-orang yang terlibat dalam praktik tersebut.

Wallahu a’lam.

Surah Al-Balad Ayat 12-17: Demi Mencapai Kesuksesan Ukhrawi

0
Surah Al-Balad
Surah Al-Balad (Kesuksesan Akhirat)

Artikel ini akan mengulas tentang surah al-Balad ayat 12-17 tentang jalan terjal yang harus dilalui seorang mukmin. Allah Swt berfirman:

وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ (12) فَكُّ رَقَبَةٍ (13) أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ (14) يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ (15) أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ (16) ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ (17)

“Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) ‎melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari ‎kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau ‎kepada orang miskin yang sangat fakir. Kemudian dia termasuk orang-‎orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling ‎berpesan untuk berkasih sayang.” (Surah Al-Balad Ayat 12-17)‎

Jika untuk mencapai kesuksesan di dunia yang bersifat sementara ‎saja, kita harus membayarnya dengan kerja keras, ketekunan, kesabaran dan semangat pantang menyerah, maka lebih-‎lebih jika kita bercita-cita untuk dapat mencapai kesuksesan di akhirat yang ‎bersifat kekal-abadi. Tentu, usaha yang kita lakukan harus jauh melebihi ‎usaha yang kita lakukan untuk mencapai kesuksesan di dunia.‎

Jika kita rela berlelah-lelah demi meraih sukses duniawi, maka sudah ‎sepatutnya kita lebih rela berlelah-lelah demi mencapai sukses ukhrawi. Ya, ‎jalan menuju sukses itu memang tidak mudah, terjal dan mendaki, kadang ‎juga berliku dan licin.

Sukses duniawi hanya akan diperoleh ketika kita mampu ‎menaklukkan jalan terjal dan mendaki itu. Pun demikian dengan sukses ‎ukhrawi. Ia hanya bisa didapatkan dengan perjuangan (jihad) yang luar biasa. ‎Perjuangan di jalan Allah (jihad fi sabilillah), dengan mengerahkan seluruh ‎daya dan upaya, mengeluarkan kemampuan terbaik yang kita miliki, disertai ‎kesabaran, keikhlasan serta kepasrahan (tawakkal) yang total kepada Allah ‎Swt.‎

Jalan itu memang mendaki dan sukar. Tahukah kamu apakah jalan ‎yang mendaki dan sukar itu? Di dalam Surah Al-Balad ayat 13-17 dijelaskan ‎bahwa jalan yang mendaki dan sukar itu adalah sebagai berikut: Pertama, ‎melepaskan budak dari perbudakan; Kedua, Memberi makan pada hari ‎kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada ‎orang miskin yang sangat fakir. Kemudian dia termasuk orang-orang yang ‎beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk ‎berkasih sayang.‎

Dari keterangan ayat di atas, dapat dipahami bahwa jalan terjal yang ‎mendaki dan sukar itu adalah jalan Tuhan (Ilahi) yang termanifestasi pada ‎nilai-nilai kemanusiaan (insani). Membebaskan budak dari perbudakan (pada ‎masa jahiliyah dulu), artinya membebaskan manusia dari diskriminasi strata ‎sosial.

Karena, pada hakekatnya setiap manusia sama di hadapan Allah, hanya ‎tingkat ketakwaan yang membedakan mereka. Dengan demikian, ‎membebaskan budak artinya mengakui eksistensi setiap manusia. Tidak ada ‎superioritas ataupun inferioritas, yang ada adalah kesetaraan, kesejajaran dan ‎kebersamaan.‎

Memberi makan kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat, ‎artinya berusaha mengurangi beban penderitaan yang dialami dan dirasakan ‎oleh anak-anak, yang notabene masih sangat membutuhkan belaian kasih ‎sayang orang tua, tetapi takdir berkehendak lain, yaitu salah satu orang ‎tuanya, yakni ayahnya sudah meninggalkannya untuk selama-lamanya, ‎dengan memberikan kebutuhan pokok untuk mereka.

Dalam ayat tersebut ‎ditegaskan bahwa yang lebih diutamakan adalah anak yatim yang masih ada ‎hubungan kekerabatan atau persaudaraan. Hal ini dimaksudkan agar tali ‎persaudaraan sedarah semakin erat dan kuat. Jika hubungan persaudaraan ‎terjalin erat, maka akan menghadirkan keharmonisan dalam keluarga.‎

Memberi makan kepada orang miskin yang sangat fakir, artinya ‎meringankan beban hidup mereka dengan memberikan santunan berupa ‎makanan agar bisa tetap bertahan hidup, untuk kemudian mampu berusaha ‎menghidupi diri mereka sendiri.‎

Mereka termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan ‎untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.‎

Jalan mendaki itu memang sukar dan melelahkan. Tetapi, ketika jalan ‎itu mampu kita lewati, maka kebahagiaan akan kita dapatkan. Lihatlah, betapa ‎payah dan kelelahannya para pendaki gunung itu.

Tetapi, ketika mereka ‎sampai di puncak gunung, setelah melewati beragam hambatan dan ‎rintangan, kebahagiaan dan kepuasan batin pun mereka rasakan. Sirna sudah ‎segala lelah. Hilang sudah segenap penat. Yang tersisa hanyalah kebahagiaan ‎menikmati indahnya pemandangan alam dari puncak gunung. ‎

Demikian juga halnya ketika kita mampu melewati segala aral yang ‎melintang, ujian dan cobaan yang menghadang perjalanan kita menuju ‎kebahagiaan ukhrawi. Kelak, setelah kita berlelah-lelah di dunia fana ini ‎dengan segenap perjuangan mengalahkan keinginan duniawi, kita akan ‎dapati nikmatnya kebahagiaan ukhrawi yang tiada henti.‎

Ya, jalan terjal itu harus kita daki, hingga akhirnya kita berjumpa ‎dengan Sang Ilahi. ‎

Tafsir Surah Abasa Ayat 1-2

0
tafsir surah abasa
Tafsiralquran.id

Artikel ini membahas tentang tafsir surah Abasa, khususnya dari ayat 1-2. Surah Abasa merupakan surah ke 80 dalam urutan mushaf. Surah ini termasuk dalam ketergori makiyah dan berjumlah 42 ayat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah an-Nazi’at Ayat 43-46


Dalam Tafsir Surah Abasa Ayat 1-2 ini berbicara mengenai kisah Abdullah bin Ummu Maktum yang tidak mendapatkan respons semesetinya dari Nabi Muhammad saw. Nabi melakukan hal tersebut tentunya dengan pertimbangan-pertimbangan. Namun ternyata Nabi mendapat teguran keras atas sifatnya tersebut.

Ayat 1-2

Pada permulaan Surah Abasa ini, Allah menegur Nabi Muhammad yang bermuka masam dan berpaling dari Abdullah bin Ummi Maktµm yang buta, ketika sahabat ini menyela pembicaraan Nabi dengan beberapa tokoh Quraisy.

Saat itu Abdullah bin Ummi Maktµm bertanya dan meminta Nabi saw untuk membacakan dan mengajarkan beberapa wahyu yang telah diterima Nabi. Permintaan itu diulanginya beberapa kali karena ia tidak tahu Nabi sedang sibuk menghadapi beberapa pembesar Quraisy.

Sebetulnya Nabi saw sesuai dengan skala prioritas sedang menghadapi tokoh-tokoh penting yang diharapkan dapat masuk Islam karena hal ini akan mempunyai pengaruh besar pada perkembangan dakwah selanjutnya.

Maka adalah manusiawi jika Nabi saw tidak memperhatikan pertanyaan ‘Abdullah bin Ummi Maktµm, apalagi telah ada porsi waktu yang telah disediakan untuk pembicaraan Nabi dengan para sahabat.

Tetapi Nabi Muhammad sebagai manusia terbaik dan contoh teladan utama bagi setiap orang mukmin (uswah hasanah), maka Nabi tidak boleh membeda-bedakan derajat manusia.

Dalam menetapkan skala prioritas juga harus lebih memberi perhatian kepada orang kecil apalagi memiliki kelemahan seperti Abdullah bin Ummi Maktµm yang buta dan tidak dapat melihat.

Maka seharusnya Nabi lebih mendahulukan pembicaraan dengan Abdullah bin Ummi Maktµm daripada dengan para tokoh Quraisy.


Baca juga: Tafsir Surat Al-Fath Ayat 17: Islam Memberi Kemudahan Bagi Penyandang Difabel


Dalam peristiwa ini Nabi saw tidak mengatakan sepatah katapun kepada Abdullah bin Ummi Maktµm yang menyebabkan hatinya terluka, tetapi Allah melihat raut muka Nabi Muhammad saw yang masam itu dan tidak mengindahakan Ummi Maktµm yang menyebabkan dia tersinggung.

Hikmah adanya teguran Allah kepada Nabi Muhammad juga memberi bukti bahwa Alqur’an bukanlah karangan Nabi, tetapi betul-betul firman Allah. Teguran yang sangat keras ini tidak mungkin dikarang sendiri oleh Nabi.

Abdullah bin Ummi Maktµm adalah seorang yang bersih dan cerdas. Apabila mendengarkan hikmah, ia dapat memeliharanya dan membersihkan diri dari kebusukan kemusyrikan.

Adapun para pembesar Quraisy itu sebagian besar adalah orang-orang yang kaya dan angkuh sehingga tidak sepatutnya Nabi terlalu serius menghadapi mereka untuk diislamkan. Tugas Nabi hanya sekadar menyampaikan risalah dan persoalan hidayah semata-mata berada di bawah kekuasaan Allah.

Kekuatan manusia itu harus dipandang dari segi kecerdasan pikiran dan keteguhan hatinya serta kesediaan untuk menerima dan melaksanakan kebenaran. Adapun harta, kedudukan, dan pengaruh kepemimpinan bersifat tidak tetap, suatu ketika ada dan pada saat yang lain hilang sehingga tidak bisa diandalkan.

Nabi sendiri setelah ayat ini turun selalu menghormati Abdullah bin Ummi Maktµm dan sering memuliakannya melalui sabda beliau, “Selamat datang kepada orang yang menyebabkan aku ditegur oleh Allah. Apakah engkau mempunyai keperluan?”


Baca setelahnya: Tafsir Surah Abasa Ayat 3-18


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Yasin Ayat 53-54: Hari Penggiringan dan Pengadilan

0
Yasin Ayat 53-54
Yasin Ayat 53-54

Tafsir surah Yasin ayat 53-54 ini termasuk dalam kelompok ayat yang membicarakan tentang keingkaran orang-orang kafir terhadap hari kebangkitan serta peneguhan kebenaran hari kebangkitan tersebut.

Pengelompokan dimulai dari ayat 48 sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya, yaitu artikel tafsir surah Yasin ayat 48-50 dan artikel tafsir surah Yasin ayat 51-52. Adapun artikel ini merupakan penutup dari rentetan kejadian yang telah dibahas oleh atikel sebelumnya. Sebelum itu mari kita simak firman Allah berikut:

اِنْ كَانَتْ اِلَّا صَيْحَةً وَّاحِدَةً فَاِذَا هُمْ جَمِيْعٌ لَّدَيْنَا مُحْضَرُوْنَ

فَالْيَوْمَ لَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔا وَّلَا تُجْزَوْنَ اِلَّا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“Teriakan itu hanya sekali saja, maka seketika itu mereka semua dihadapkan kepada Kami (untuk dihisab). Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan kamu tidak akan diberi balasan, kecuali sesuai dengan apa yang telah kamu kerjakan.” (Surah Yasin Ayat 53-54).

Sebagaimana ayat yang telah tertera di atas, pembahasan kali ini terfokus pada dua pembahasan. Pertama membahas tentang kejadian setelah tiupan atau teriakan yang kedua dari Malaikat Israfil dan kedua membahas tentang proses pengadilan di hadapan Allah Swt.

Tiupan pertama dari Malaikat Israfil membuat seluruh manusia mati tanpa tersisa, dan pada tiupan kedua itu seluruh manusia dari awal hingga akhir kembali hidup. Al-Shawi dalam Hasyiyah al-Shawi menafsirkan kata illa shaihah wahidah (اِلَّا صَيْحَةً وَّاحِدَةً) seakan-akan malaikat Israfil berkata:

“Wahai tulang-belulang yang hancur-lebur, persendian yang lepas bebas, tulang belulang yang terpecah belah, serta rambut-rambut yang tercerai berai. Allah memerintahkan kalian untuk kembali menyatu menjadi jasad yang utuh untuk menghadap pengadilan Allah Swt.”

Ketika itu manusia digiring bersama-sama untuk menghadap kepada Allah Swt. Terkait dengan adanya indikasi penggiringan secara masal itu, Quraish Shihab merujuk pada kata jamiun (جَمِيْعٌ). Menurutnya selain bermakna seluruhnya, kata tersebut juga bermakna bersama-sama. Oleh karena itu, tambahnya, penghadiran itu dilakukan secara serentak tanpa terkecuali.

Al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an menyatakan bahwa pada hari itu seluruh manusia dihadapkan pada prosesi pengadilan Tuhan Swt tanpa terkecuali. Pengadilan ini merupakan sebaik-baik pengadilan karena tidak ada seorang pun yang akan dicurangi, sebagaimana telah ditegaskan dalam ayat ke 54 di atas.

Kata al-yaum (الْيَوْمَ) menurut Ibnu ‘Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir bermakna hari pembalasan atau dalam istilah lain adalah hari pengadilan. Konteks pengadilan di sini, tambah Ibnu ‘Asyur, merupakan orang-orang yang durhaka ketika di dunia, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa surah Yasin ayat 53-54 ini merupakan penutup bagi kisah keingkaran orang-orang kafir.

Pembalasan bagi orang-orang kafir tersebut disesuaikan dengan keburukan yang pernah mereka lakukan semasa hidup. Quraish Shihab menegaskan bahwa pada hari itu tidak akan akan ada penganiayaan. Penganiayaan merupakan hal tercela dan tidak patut terjadi pada hari pengadilan ini.

Abu Ja’far bin Muhammad bin Jarir al-Thabari mengatakan bahwa pada hari pengadilan itu tidak ada seorang pun yang menanggung dosa orang lain. Semua individu di balas sesuai dengan kadar perilakunya. Hal ini juga diamini oleh Muhammad Ali al-Shabuni.

Al-Shabuni menambahkan bahwa cerita ini merupakan hal yang kelak akan dirasakan oleh orang-orang yang ingkar terhadap risalah Tuhan yang dibawa oleh para utusan Allah swt. Jauh-jauh hari Allah Swt berulangkali menyampaikan bahwa manusia sendiri yang selalu berbuat kezaliman. Sebagaimana tertera dalam surat al-‘Ankabut ayat 40:

فَكُلًّا اَخَذْنَا بِذَنْۢبِهٖۙ فَمِنْهُمْ مَّنْ اَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا ۚوَمِنْهُمْ مَّنْ اَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ ۚوَمِنْهُمْ مَّنْ خَسَفْنَا بِهِ الْاَرْضَۚ وَمِنْهُمْ مَّنْ اَغْرَقْنَاۚ وَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلٰكِنْ كَانُوْٓا اَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ

“Maka masing-masing (mereka itu) Kami azab karena dosa-dosanya, di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil, ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan ada pula yang Kami tenggelamkan. Allah sama sekali tidak hendak menzalimi mereka, akan tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri.”

Atau dalam surah yang lain, yakni dalam surah al-Taubah ayat 70:

اَلَمْ يَأْتِهِمْ نَبَاُ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ قَوْمِ نُوْحٍ وَّعَادٍ وَّثَمُوْدَ ەۙ وَقَوْمِ اِبْرٰهِيْمَ وَاَصْحٰبِ مَدْيَنَ وَالْمُؤْتَفِكٰتِۗ اَتَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنٰتِۚ فَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلٰكِنْ كَانُوْٓا اَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ

“Apakah tidak sampai kepada mereka berita (tentang) orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, samud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan, dan (penduduk) negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa bukti-bukti yang nyata; Allah tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri.”

Ayat-ayat tersebut secara tidak langsung menyampaikan bahwa perilaku zalim telah dilakukan manusia sejak hidup di dunia. Kelak ketika menghadapi pengadilan di hadapan Allah Swt tidak ada yang bisa mereka perbuat lagi dan Allah Maha Adil kepada seluruh hambanya. Nasi sudah menjadi bubur. Tinggal menuggu waktu untuk mendapat siksa yang pedihnya sepanjang masa.

Demikian kiranya tafsir singkat dari surah Yasin ayat 53-54 yang membicarakan tentang hari penggiringan dan pengadilan. Nantikan lanjutan tafsir Yasin lainnya. Kurang lebihnya mohon maaf dan semoga kita senantiasa dikumpulkan bersama orang-orang salih. Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam. []

Perbedaan Qiraah, Riwayah, dan Thariq Serta Contohnya dalam Ilmu Tajwid

0
Perbedaan Qiraah, Riwayah, dan Thariq
Perbedaan Qiraah, Riwayah, dan Thariq

Dalam era teknologi yang semakin modern ini, para pembaca al-Quran dapat membaca, mengikuti, dan mendengarkan bacaan orang lain dari belahan dunia manapun. Hal ini menjadi suatu keunggulan dan menjadi metode baru dalam belajar membaca al-Quran. Sehingga para pembaca al-Quran dapat menerapkan berbagai metode. Akan tetapi, alangkah baiknya, sebelum para pembaca menerapkan metode pembacaan al-Quran, perlu untuk memahami perbedaan qiraah, riwayah, dan thariq dalam ilmu tajwid.

Karena jika tidak memahami perbedaan tersebut, problem muncul ketika bacaan yang didengar tidak sama dengan bacaan yang pernah dipelajari oleh si pendengar sehingga terjadi miskonsepsi dan mispersepsi. Padahal bacaan al-Quran yang menurutnya berbeda, itu juga bersumber dan diajarkan oleh Nabi Muhammad.

Perbedaan bacaan al-Quran itu disebabkan adanya klasifikasi bacaan yaitu qiraah, riwayah, dan thariq. Bacaan al-Quran yang populer di dunia Islam serta menjadi role model di Indonesia saat ini, jika diklasifikasikan maka ia adalah qiraah Ashim, riwayah Hafsh, dan thariq Syathibi.

Baca juga: Ketahui Sembilan Adab Ketika Membaca Al-Quran

Artikel ini memaparkan definisi dari masing-masing qiraah, riwayah, dan thariq dalam ilmu Tajwid yang bersumber dari kitab Ghayat al-Murid fi Ilm at-Tajwid. Selain itu, diberikan contoh untuk memudahkan pemahaman serta mengetahui perbedaan yang dimaksud sehingga masalah yang timbul dapat teratasi.

Qiraah

Qiraah atau al-Qiraah (الْقِرَاءَةُ) secara bahasa berarti bacaan. Yang dimaksud dengan qiraah di sini adalah bacaan yang disandarkan pada kesepuluh Imam Qiraat. Kesepuluh Imam Qiraat itu adalah Nafi’, Ibnu Katsir, Abu Amr, Ibnu Amir, Ashim, Hamzah, al-Kisa’i, Abu Ja’far, Ya’qub, dan Khalaf.

Kesepuluh imam qiraat itu dijadikan pedoman tentang kayfiyyah atau tata cara bacaan al-Quran secara musyafahah serta bersambung sanadnya dari sahabat ke Rasulullah. Apabila pembaca al-Quran ingin membaca dengan qiraah yang berbeda, maka cukup menyebutkan “qiraah Nafi” atau “qiraah Ibnu Katsir”.

Salah satu contoh perbedaan antar qiraah dalam ilmu Tajwid misalnya qiraah Ibnu Katsir dan Ashim dalam ha’ kinayah atau ha dhamir. Apabila sebelum ha dhamir terdapat huruf mati dan sesudahnya terdapat huruf hidup, Ibnu Katsir membaca panjang (shilah) ha dhamir. Sedangkan Ashim, tidak.

Baca juga: Sumbu Kesalahpahaman dalam Ilmu Qiraah

Riwayah

Riwayah atau ar-Riwayah (الْرِّوَايَةُ) secara bahasa berarti riwayat atau versi. Yang dimaksud dengan riwayah di sini adalah bacaan yang disandarkan pada orang yang meriwayatkan bacaan dari  kesepuluh Imam Qiraat. Mereka itu disebut rawi atau perawi.

Selanjutnya, dari sekian banyak rawi disederhanakan dan dipopulerkan menjadi masing-masing Imam Qiraat memiliki 2 perawi. Misalnya perawi Nafi’ adalah Qalun dan Warsy, perawi Ibnu Katsir adalah al-Bazzi dan Qunbul, sedangkan perawi Ashim adalah Syu’bah dan Hafsh. Apabila pembaca al-Quran ingin membaca dengan riwayah yang berbeda, maka bisa menyebutkan “riwayah Warsy dari Nafi” atau “riwayah Hafsh dari Ashim”.

Salah satu contoh perbedaan antar riwayah dalam ilmu Tajwid misalnya riwayah Syu’bah dan Hafsh adalah bacaan nun sukun yang ada pada fawatihus suwar (pembuka-pembuka surat) surat Yasin. Syu’bah membaca nun sukun dengan Idgham, sedangkan Hafsh membacanya dengan Idzhar.

Baca juga: Tiga Fokus Cabang Ilmu Tajwid Menurut Isham Muflih al-Qudhat

Thariq

Thariq atau at-Thariq (الْطَّرِيْقُ) secara bahasa berarti jalan. Yang dimaksud dengan thariq di sini adalah sesuatu yang disandarkan pada orang yang mengutip (menukil) dari perawi. Dalam penyebutannya, biasanya dikatakan “ini riwayah Warsy dari thariq al-Azraq” atau “riwayah Hafsh dari thariq Syathibi”.

Salah satu contoh perbedaan antar thariq dalam ilmu Tajwid misalnya riwayah Hafsh thariq Syathibi dan thariq Thayyibah adalah panjang bacaan Mad Jaiz Munfashil. Bacaan riwayah Hafsh thariq Syathibi membaca mad Jaiz Munfashi dengan madd atau panjang 4 atau 5 harakat. Sedangkan riwayah Hafsh thariq Thayyibah membacanya dengan qashr atau panjang 2 harakat.

Baca juga: 3 Macam Nun Sukun yang Dibaca Idzhar dalam Ilmu Tajwid

Dari penjelasan di atas, akhirnya kita dapat mengenal siapa saja imam qiraah dan dapat memahami perbedaan dari qiraah, riwayah dan thariq. Seluruh imam qiraah, riwayah dan thariq ini sebenarnya mempunyai ratusan bahkan sampai ribuan murid, akan tetapi di antara mereka kemudian dipilih masing-masing murid yang paling kuat riwayatnya dan dijadikan sandaran imam pilihan. Dari mereka inilah ilmu bacaan Al-Qur’an kemudian tersebar ke seluruh penjuru dunia hingga masuk ke Indonesia.