Beranda blog Halaman 406

Alam Semesta Juga Menyatakan Patuh Pada Allah: Tafsir Surat Fushilat Ayat 11

0
Tafsir Surat Fushilat Ayat 11
Tafsir Surat Fushilat Ayat 11

Tidak hanya manusia yang tunduk kepada Allah SWT, akan tetapi, alam semesta juga tunduk kepada Allah. Ketundukan alam semesta ini bisa dirasakan, bahkan dilihat kasap mata manusia ketika Allah melakukan sesuatu untuk hambaNya yang sedang membangun kemaslahatan dunia. Karena dengan begitu terjalin hubungan persahabatan antara manusia dengan alam semesta. Suka atau tidak, manusia itu harus bersahabat dengan alam karena alam raya adalah tempat manusia hidup untuk menjalankan apa yang diperintahkan Allah. Dalam konteks ini kita bisa meraba kembali kisah pembakaran Nabi Ibrahim yang tertera pada Surat al-Anbiya’ Ayat 68-69. Dan bukti bahwa Allah meminta alam untuk patuh kepadaNya adalah pada surat fushilat Ayat 11, berikut ayatnya:

ثُمَّ ٱسْتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ وَهِىَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ ٱئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَآ أَتَيْنَا طَآئِعِينَ

Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”. (surat Fushilat Ayat 11).

Pada tafsir al-Misbah karya Prof. Quraish Shihab, menuliskan penafsiran ayat di atas adalah, ketika itu kekuasaan Allah tertuju kepada penciptaan langit yang pada saat itu berujud asap, dan langit itu pun tercipta. Penciptaan langit dan bumi menurut kehendak-Nya itu adalah mudah, yaitu seperti orang yang mengatakan kepada sesuatu, “Datanglah, suka atau tidak suka!” Sesuatu itu pun kemudian menurut.”

Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 60-61: Perintah Menaati Allah dan Mendurhakai Setan

Atas kehendak Allah kemudian terbentuklah langit sebagaimana yang sesuai dengan kehendak Allah, hal ini membuktikan bahwa alam semesta berupa langitpun patuh kepada Allah. Dan masih ada bukti kekuasaan Allah lainnya tentang kepatuhan alam semesta kepada Allah SWT. Yakni ketika pada peristiwa pembakaran nabi Ibrahim as, api menyala-nyala, namun Nabi Ibrahim tetap terselamatkan.

Tidak Ada Keraguan, Bahwa Alam Semesta Memang Patuh Kepada Allah

Ayat yang menceritakan tentang peristiwa tragis pembakaran Nabi Ibrahim as,  sungguh benar adanya, dari kisah tersebut kita bisa mengambil benang merahnya bahwa api yang termasuk golongan alam, mampu bersahabat dengan manusia. Sehingga Nabi Ibrahim yang dibakar hidup selama seminggu tidak merasakan panasnya api yang membara. Semua ini terjadi atas kehendak Allah, yang mana api patuh dengan perintah Allah, untuk memberikan perlindungan kepada Nabi Ibrahim.

Berikut kisah pembakaran Nabi Ibrahim yang tertera pada surat al-Anbiya’ ayat 68-69:

قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ (68) قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ (69)

Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak”. Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”

Kitab Taisirul Karimir Rahmani fi Tafsiri Kalamil Manan atau Tafsir As Sa’di karangan Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di menceritakan, ketika itu, orang-orang mengumpulkan kayu bakar yang banyak sekali, sampai-sampai ada seorang wanita yang sakit, lalu ia bernazar bahwa jika ia sembuh dari penyakitnya, ia akan membawakan kayu bakar itu buat membakar Nabi Ibrahim.

Baca juga: Apakah Sebenarnya Makna Jihad Menurut al-Quran? Begini Penjelasannya.

Kayu-kayu bakar itu kemudian dikumpulkan di tanah yang legok dan mereka menyalakannya dengan api sehingga terjadilah api yang sangat besar yang belum pernah ada api sebesar itu. Nyala api itu mengeluarkan percikan-percikan yang sangat besar, dan nyalanya sangat tinggi. Ibrahim dimasukkan ke dalam sebuah alat pelontar batu besar atas saran seorang Badui dari kalangan penduduk negeri Persia berbangsa Kurdi. Menurut Syu’aib Al-Jiba’i, nama lelaki itu adalah Haizan; maka Allah membenamkannya ke dalam bumi, dan ia tenggelam terus ke dalam bumi sampai hari kiamat.

Setelah mereka melemparkan Nabi Ibrahim ke dalam nyala api itu, Nabi Ibrahim pun merasa gentar dan tak henti-hentinya mengucapkan dzikir:

 حسبي الله ونعم الوكيل

(hasbunallah wa nikmal wakiil)

Pada Tafsir Jalalain karya Syeckh Jalaluddin As-suyuti dan Jalaluddin Mahalli menuliskan, bahwa setelah Nabi Ibrahim dilemparkan pada api yang membara, Allah berfirman demikian:

(Kami berfirman, “Hai api! Menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”) maka api itu tidak membakarnya selain pada tali-tali pengikatnya saja dan lenyaplah panas api itu, yang tinggal hanyalah cahayanya saja, hal ini berkat perintah Allah, ‘Salaaman’ yakni menjadi keselamatan bagi Ibrahim, akhirnya Nabi Ibrahim selamat dari kematian karena api itu dingin.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28: Manfaat Ibadah Haji dalam Segi Sosial dan Ekonomi

Jadi seluruh benda alam semesta ini tunduk kepada Allah, patuh kepada kekuasaanNya, berjalan menurut kehendak dan perintahNya. Tidak satu pun makhluk yang mengingkariNya. Semua menjalankan tugas dan perannya masing-masing.

Jadi seluruh makhluk, baik yang berbicara maupun yang tidak, yang hidup maupun yang mati, semuanya tunduk kepada perintah Allah. Semuanya menyucikan Allah dari segala kekurangan dan kelemahan, baik secara keadaan maupun ucapan. Apalagi kita sebagai manusia yang diberikan keistimewaan oleh Allah berupa akal, maka ada baiknya kita bisa merenungkan atas segala fitrahNya, mensyukuri atas segala nikmat Allah, dan tentunya berusaha menjalani perintah Allah tanpa melibatkan keterpaksaan. Wallahu a’lam []

Tafsir Surat Al A’raf ayat 97-100

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Allah senantiasa mengingatkan manusia untuk tidak mengikari ajaran yang dibawa oleh para Nabi. Untuk itu Allah mengisahkan pula dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 97-100 ini terkait orang-orang yang ingkar dan tidak menggunakan akalnya. Dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 97-100 ini disebutkan orang-orang yang ingkar tersebut disebabkan oleh kenikmatan hidup sehingga lupa kepada Allah.

Peringatan ini tidak hanya ditujukan kepada kaum kafir saja akan tetapi berlaku juga untuk orang mukmin agar tidak terlena sebab sejatinya sifat orang beriman adalah pemaaf, pengasih dan juga ingat akan adzab Allah. Tak lupa dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 97-100, khususnya pada ayat 98 Allah juga mencela perbuatan orang-orang yang lalai.


Baca Tafsir Sebelumnya: Tafsir Surat Al A’raf ayat 95-96


Ayat 97

Dalam ayat ini Allah memberi peringatan kepada orang-orang yang ingkar, dalam bentuk suatu pertanyaan, “Apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman ketika siksaan Kami kepada mereka datang di malam hari pada waktu mereka tidur?” Maksudnya ialah bahwa azab Allah itu ditimpakan kepada mereka yang telah mendapatkan seruan para rasul tetapi mereka ingkar dan tidak menggunakan akalnya.

Sebab seandainya mereka itu mau berpikir dan mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa yang telah dialami oleh umat-umat yang terdahulu, akibat tenggelam dalam kenikmatan hidup sehingga mereka lupa kepada Allah yang memberikan nikmat, niscaya mereka akan merasa cemas tentang kemungkinan datangnya azab Allah kepada mereka. Kecemasan semacam itu, tentu akan mendorong mereka segera memperbaiki tingkah-laku, antara lain dengan menjauhkan diri dari segala macam kemusyrikan dan kemaksiatan, akan tetapi kenyataannya tidak demikian.

Mereka bahkan merasa aman dan tidak mempunyai kekhawatiran sedikitpun akan datangnya siksa Allah kepada mereka. Hal ini tampak dari tingkah-laku mereka, yang terus tenggelam dalam kenikmatan, serta tetap dalam kemusyrikan dan bermacam-macam kemaksiatan kepada Allah.

Ayat 98

Dalam ayat ini, sekali lagi Allah mencela tingkah-laku orang-orang yang ingkar, yaitu mereka tampak tidak mempunyai kekhawatiran tentang kemungkinan datangnya azab Allah ketika mereka dalam keadaan lalai.

Dengan firman ini Allah memperingatkan mereka bahwa azab-Nya mungkin saja menimpa mereka ketika mereka sedang lalai baik pada waktu tidur pagi hari, maupun pada waktu mereka asyik berfoya-foya, sehingga mereka tidak akan sempat lagi mempersiapkan diri untuk keselamatan mereka. Oleh sebab itu, sebaiknya mereka insaf dan waspada terhadap azab Allah, apalagi mereka telah mendengar seruan rasul dan nasihat-nasihat yang diberikan kepada mereka untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Ayat 99

Dalam ayat ini sekali lagi Allah mengulangi celaan-Nya terhadap tingkah-laku orang-orang kafir, “Apakah mereka aman terhadap azab Allah yang tidak terduga-duga?” Kemudian Allah menjelaskan bahwa orang-orang seperti merekalah yang akan merugi.

Dengan firman-Nya ini Allah menegaskan bahwa orang yang berakal sehat dan memegang teguh fitrah yang dikaruniakan-Nya kepada manusia serta memperhatikan peristiwa dan kejadian sejarah serta memperhatikan ayat-ayat Allah, tentu tidak akan merasa aman dari kedatangan azab-Nya.

Akan tetapi mereka yang ingkar ini benar-benar telah kehilangan akal  sehat serta fitrah yang dikaruniakan Allah kepada mereka dan tidak pula mau memperhatikan peristiwa-peristiwa sejarah serta ayat-ayat Allah, sehingga mereka betul-betul telah menjadi orang yang merugi. Mereka sudah kehilangan kekhawatiran terhadap datangnya azab Allah padahal mereka senantiasa berbuat kemaksiatan dan kemusyrikan.

Bagi orang yang beriman, sikap yang tepat ialah yakin tentang sifat pemaaf dan pengasih yang ada pada Allah, namun demikian ia harus senantiasa takut kepada azab-Nya yang mungkin datang menimpa dirinya tanpa diduga sebelumnya, sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Oleh sebab itu, mereka senantiasa berhati-hati dan menghindarkan diri dari hal-hal yang akan menyebabkan datangnya azab tersebut pada dirinya.

Dalam Al-Qur’an orang-orang kafir biasa disebut “orang-orang merugi?” Maka orang-orang yang kehilangan rasa kekhawatiran terhadap azab Allah, sama halnya dengan orang-orang yang berputus-asa terhadap ampunan dan rahmat Allah, kedua sifat tersebut adalah termasuk sifat-sifat orang kafir, yang disebut juga orang-orang yang merugi.

Ayat 100

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa umat yang mewarisi suatu negeri setelah lenyapnya penduduk negeri itu karena ditimpa siksaan Allah akibat keingkaran mereka kepada-Nya, memahami dan meyakini bahwa Allah kuasa untuk menimpakan azab tersebut kepada mereka karena dosa-dosa mereka apabila dikehendaki-Nya. Juga Allah kuasa untuk mengunci mati hati nurani mereka, sehingga mereka tak dapat lagi menerima pelajaran dan nasihat agama dan tidak mau beriman.

Sebagaimana telah disebutkan pada bagian terdahulu, Allah telah mengutus beberapa orang rasul kepada umat mereka sebelum diutusnya Nabi Syu’aib kepada umatnya. Umat-umat terdahulu telah ditimpa azab Allah karena dosa-dosa dan keingkaran mereka kepada Allah. Azab yang menimpa mereka adalah sedemikian hebatnya, memusnahkan mereka sedemikian rupa, sehingga mereka seolah-olah tidak pernah hidup di muka bumi ini.

Setelah mereka itu lenyap, Allah mendatangkan umat yang baru untuk menghuni negeri tersebut. Umat yang baru ini mengetahui sejarah umat terdahulu itu, karena buku-buku dan kitab-kitab suci mereka menyebutkan hal itu. Mereka mengetahui apa yang dialami umat tersebut, yaitu azab yang dahsyat. Dan mereka tahu hal-hal yang menyebabkan didatangkannya azab tersebut kepada mereka, yaitu lantaran dosa-dosa dari keingkaran mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.

Seharusnya mereka dapat mengambil pelajaran dari peristiwa sejarah,  dapat memahami bahwa Allah kuasa untuk menimpakan azab yang serupa itu kepada diri mereka bila mereka berbuat dosa dan kemaksiatan seperti umat yang terdahulu itu.

Ayat tersebut tidak hanya merupakan peringatan bagi orang-orang kafir, melainkan juga bagi orang-orang muslim. Setelah mengetahui sebab-sebab ditimpakan azab kepada umat para Rasul yang terdahulu  dan setelah mengetahui sunnatullah mengenai umat-umat yang berdosa, maka seharusnya kita menjauhkan diri dari kesalahan-kesalahan serupa itu, agar kita tidak ditimpa azab Allah yang akan menyebabkan kita kehilangan segala-galanya.


Baca Juga: Benarkah Musibah adalah Adzab dari Allah? Gus Baha: Bukan Hak Kita Menjudge!


Tafsir Surah At-Taubah Ayat 36: Menanam Amalan di Bulan Rajab

0
Amaliah Bulan Rajab
Amaliah Bulan Rajab

Hari ini kita telah memasuki Bulan Rajab, salah satu bulan dalam penanggalan Hijriyah. Bulan ini termasuk salah satu bulan mulia yang disebut Asyhurul Hurum, di samping tiga bulan berturut-turut Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram. Penyebutan Rajab sebagai bulan mulia ini disiratkan Allah dalam surah At-Taubah ayat 36, dan diperjelas penyebutannya oleh Rasulullah. Dalam melewati masa-masa di bulan mulia ini, kita sebagai umat Islam dianjurkan untuk mulai mengerjakan hal-hal baik dan sunnah, dan menghindari kemaksiatan. Anjuran-anjuran tersebut dimaksudkan dalam rangka menanam amaliah saat bulan Rajab untuk kemudian menuai hasilnya di bulan-bulan yang akan datang.

Baca juga: Meneladani Akhlak Nabi Muhammad saw di Akhir Bulan Maulid

Tafsir Surah at-Taubah ayat 36

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

Dalam menafsirkan ayat tersebut Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim merujuk sebuah hadis yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, yang kala itu disabdakan saat Rasulullah sedang menunaikan haji wada’ terakhir “Ingatlah, sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya sejak hari Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun terdiri atas dua belas bulan, empat bulan di antaranya adalah bulan-bulan haram (suci); tiga di antaranya berturut-turut, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram; yang lainnya ialah Rajab Mudar, yang terletak di antara bulan Jumada (Jumadil Akhir) dan Sya’ban”. Ibnu Katsir juga mengutip sebuah hadis riwayat Ibnu Umar yang sama persis hadis tersebut, namun secara redaksi, bulan pertama yang diucapkan Rasulullah adalah bulan Bulan Rajab.

Baca juga: Inilah Amalan Agar Mudah Bangun Untuk Ibadah Shalat Malam

Secara sederhana, keterangan di atas bisa kita ambil informasi penting bahwa dalam 12 yang biasa kita lewati, ada 4 bulan yang Allah muliakan (Asyhurul Hurum). 3 bulan yang berkesinambungan disebutkan berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian satu bulan lagi disebutkan secara terpisah yaitu Rajab. Karena kedudukannya yang mulia, pada bulan-bulan tersebut menurut Wahbah Zuhayli dalam Tafsir Al-Wajiz umat Islam dilarang melakukan perbuatan aniaya.

Rajab, bulan mulia dan bulan istighfar

Sebagaimana penafsiran surah At-Taubah ayat 36, salah satu bulan mulia atau yang disebut Asyhurul Hurum adalah Rajab. Ibnu Katsir menyampaikan bahwa pada Rajab, meninggalkan maksiat atau melakukan kebaikan-kebaikan akan mendapat pahala yang lebih dibanding bulan yang lain. Pendapat yang sepadan juga diungkapkan oleh Zuhayli bahwa memuliakan bulan Rajab adalah dengan tidak melakukan aniaya, seperti maksiat pada diri sendiri dan orang lain. Oleh karena alasan-alasan tersebut, bulan ini juga disebut-sebut oleh umat Islam sebagai bulan taubat atau syahr al-istighfar.

Mengenai kaitan Rajab dan bulan taubat, Syaikh Ali Sulthan al-Qari mengutip sebuah hadis riwayat Ibnu Abbas dalam kitab anggitannya Al-Adab fi Rajab tentang keutamaan istighfar yang dibaca di bulan Rajab dan Sya’ban sebanyak tujuh kali, maka dengannya Allah mengutus malaikat untuk membakar buku catatn amal buruknya. Adapun redaksi istighfar riwayat Ibnu Abbas tersebut sebagai berikut:

استغفر اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَاتُوْبُ إِلَيْهِ، تَوْبَةَ عَبْدٍ ظَالِمٍ لَا يَمْلِكُ لِنَفْسِهِ نَفْعًا وَلَا ضَرًّا وَلَا قُوَّةً وَلَا حَيَاةً وَلَا نُشُوْرًا

“Saya memohon ampun kepada Allah, yang tiada Tuhan selain Dia, yang Maha Hidup, yang Maha Berdiri Sendiri, dan saya bertaubat kepada-Nya dengan taubat hamba yang dzalim yang tidak memiliki pada dirinya sendiri manfaat, mudarat, kekuatan, kehidupan dan kematian.”

Istighfar dalam redaksi lain tentu juga diperbolehkan, termasuk juga pada bulan Rajab sebagaimana terdapat pada kitab Kanzun Najah wa Surur karangan Syaikh Abdul Hamid Muhammad al-Quds. Bacaan istighfar yang paling dianjurkan sepanjang Rajab menurut Syaikh Abdul Hamid adalah sayyidul istighfar yang dibaca setidaknya tiga kali di pagi dan sore hari.

Baca juga: Pentingnya Niat dan Keimanan dalam Mewujudkan Kebermaknaan Suatu Amalan

Menanam amalan di Bulan Rajab, memanen di Bulan Ramadhan

Penandaan Rajab sebagai bulan mulia dan dan bulan taubat jika ditelisik lebih jauh memiliki alasan yang cukup logis. Dalam menjalankan roda aktivitas kehidupannya, manusia tidak pernah terlepas dari yang namanya lupa, maksiat, dan kesalahan. Adanya ketentuan waktu oleh Allah, daur yang terus berulang, dan penandaan bulan taubat dimaksudkan agar manusia tidak berputus asa dari ampunan dan rahmat Allah.

Atas alasan tersebutlah mengapa Rajab dijadikan bulan mulia, manusia diwanti-wanti oleh Allah agar bersiap untuk membersihkan diri dan meraih rahmat pada waktu-waktu selanjutnya, sebagaimana yang pesan Syaikh Abdul Hamid dalam Kanzun Najah wa Surur “Rajab adalah bulan istighfar, Sya’ban adalah bulan shalawat, dan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an”. Mengenai pendapat tersebut, Dzun Nun al-Misri dalam Al-Ghunyah Li Tholib Thoriq al-Haq juga menyampaikan argumentasi senada “Bulan Rajab adalah bulan menanam, bulan Sya’ban adalah bulan untuk menyirami, dan bulan Ramadhan adalah bulan untuk memetik hasilnya”.

Menanam di Bulan Rajab sebagaimana yang dimaksud Dzun Nun al-Misri adalah menabur benih kebiasaan dan amalan. Penanaman kebiasaan dan amalan ini selaras dengan pemaknaan Rajab sebagai bulan taubat, karena tidak mungkin kita menanam jika ladang jiwa kita masih kotor dan amalan pasti tidak sempurna. Bentuk-bentuk penanaman kebiasaan ini bisa kita lakukan dengan memulainya dengan membersihkan diri, beristighfar, bersuci, melunasi hutang, mengqadha puasa, lalu kemudian mulai membiasakan amalan sunnah seperti shalat dan puasa sebagaimana yang dianjurkan.

Baca juga: Ikhwanus Shafa dan Tafsir Isyari tentang Tingkat Spiritualitas Manusia

Bulan Sya’ban adalah saat menyiram, di mana ketika Sya’ban kita bisa menyiram kebiasaan dan amaliah yang telah kita tanam pada Bulan rajab kemarin. Menurut Dzun Nun al-Misri, orang yang telah terbiasa melakukan amaliah sunnah di Bulan ini, ia akan semakin semangat di Bulan Sya’ban, dan makin giat di Bulan Ramadhan. Dan saat Ramadhan tiba, ia bisa memetik kebiasaan baik yang telah ia tanam di saat Rajab dan sirami ketika Sya’ban. Rahmat dan pahala besar yang diberikan Allah di bulan Ramadhan akan mudah saja dilakukan bagi orang-orang yang terbiasa pada 2 bulan sebelum ini.

Keterkaitan dan kesinambungan ketiga bulan tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh ulama di atas sejatinya memang memiliki alasan yang cukup logis, karena Rasulullah sendiri juga antusias dengan tiga bulan berturut-turut ini, di mana ketika masuk awal Rajab beliau berdoa:

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ، وَشَعْبَانَ، وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

“Ya Allah, berkahilah kami di Bulan Rajab dan Bulan Sya’ban, dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan.” (HR Ahmad, Thabrani, Baihaqi).

Wallahu a’lam.

Mengulas The Message of the Qur’an, Sebuah Karya Terjemah Sekaligus Tafsir

0
The Message of The Qur'an
The Message of The Qur'an

The Message of the Qur’an karya Muhammad Asad selain merupakan kitab Tafsir, juga dianggap sebagai kitab terjemah al-Qur’an. Hal ini didasari oleh adanya terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Inggris yang disajikan di dalamnya.

Berkat terjemahan yang dihadirkan oleh Asad, karya The Message of the Qur’an dinilai sebagai kitab terjemah al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris terbaik hingga saat ini. Penilaian tersebut tidaklah berlebihan, sebab dalam penerjemahannya, Asad tidak hanya mencari padanan kata namun berupaya untuk mempertahankan makna.

Maka menarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai  ciri khas serta metodologi yang diterapkan oleh Asad dalam menyusun terjemah serta tafsir dalam karyanya. Oleh karena itu, tulisan kali ini akan mengulas dua hal penting yakni metodologi terjemah dan tafsir dalam The Message of the Qur’an.

Metodologi Terjemah

Muhammad Asad, sebagai seorang cendekiawan yang menguasai beberapa bahasa Semitik, mengetahui bahwa al-Qur’an adalah sebuah kitab yang kompleks. Baginya, dalam konteks penerjemahan al-Qur’an tidak bisa disamakan dengan penerjemahan karya sastra seperti karya Shakespeare maupun Plato.

Karya-karya sastra karangan manusia dapat dinikmati dengan rasa yang sama apabila diterjemahkan ke dalam bahasa di luar bahasa aslinya, namun menurutnya itu jelas tidak berlaku bagi al-Qur’an. Sebab al-Qur’an memiliki berbagai keunikan mulai dari pemilihan kosa kata, ritme, keseimbangan bunyi akhir suku kata serta konstruksi sintaksis kalimat yang hanya bisa dinikmati keindahannya dalam bahasa al-Qur’an itu sendiri. Maka baginya, al-Qur’an adalah kitab yang untranslateable (sulit untuk diterjemahkan), sehingga mustahil menikmatinya jika hanya diterjemahkan secara harfiyah (Tarjamah Harfiyah).

Baca Juga: Uraian Lengkap Soal Terjemah Al-Quran dan Perbedaannya dengan Tafsir

Maka Asad, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, berupaya untuk melakukan transfer makna dan tidak hanya sekedar mencari padanan kata. Salah satu contohnya dapat ditemui di penerjemahannya terhadap term al-Kitab dan al-ghaib dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 2 dan 3.

Dalam penerjemahannya, Asad mengalihbahasakan al-Kitab dengan Divine Writ (Kalam Ilahi). Muhammad Chirzin menjelaskan bahwa alih bahasa Asad telah tepat, sebab jika dimaknai sebagai the book, maka tidak mungkin bisa dibayangkan bentuknya pada masa pewahyuan al-Qur’an sebab saat itu al-Qur’an belum terbukukan dan masih berupa hafalan (lisan) dan tulisan dalam lembaran-lembaran.

Selanjutnya pada term al-ghaib, Asad menerjemahkannya dengan that which is beyond the reach of human perception (hal-hal yang berada di luar persepsi atau nalar manusia). Berbeda dengan beberapa penerjemah yang mengalihbahasakannya dengan unseen, invisible, maupun hidden. Sebab al-Qur’an menggunakan kata al-ghaib untuk menunjukkan hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh nalar manusia maupun dibantah oleh Sains.

Dalam tataran metodologi ini, sangat pantas apabila The Message of the Qur’an disebut sebagai karya Tarjamah Tafsiriyah, selain juga disebut karya Tafsir karena memuat Tafsir di dalamnya, dan juga tidak mengherankan apabila dinilai sebagai karya Tarjamah Tafsiriyah berbahasa Inggris terbaik yang sampai saat ini masih sangat laris dijadikan rujukan dan perhatian dalam penelitian.

Metodologi Tafsir

The Message of the Qur’an menerapkan metode tafsir tahlili dalam sistematika tafsirnya. Artinya, pembahasan penafsiran dimulai dari awal surah hingga akhir surah berdasarkan susunan mushaf Utsmani (tartib mushafi).

Ada tiga bentuk penyajian penafsiran dalam The Message of the Qur’an, yaitu 1) aplikasi footnote; 2) ulasan umum mengenai surah yang akan ditafsirkan; 3) aplikasi Appendix atau lampiran.

Mari kita ulas ketiga bentuk tersebut satu persatu. Pertama, aplikasi footnote merupakan salah satu bentuk penyajian uraian pembahasan yang berkembang dewasa ini. Footnote ini diletakkan di bawah nash al-Qur’an/ayat dan terjemah.

Kedua, ulasan umum mengenai surah yang akan ditafsirkan. Ulasan umum ini disajikan sebelum nash al-Qur’an dan terjemah serta penafsiran. Di dalamnya terdapat ulasan tentang alasan penamaan surat, nama-nama lain dari surat tersebut (jika memilikinya), kategorisasi surat berdasarkan tempat turunnya (makiyyah atau madaniyah), tema-tema yang dikandung oleh surat tersebut secara ringkas, serta penyebutan beberapa ayat yang dianggap “menarik” dalam surat tersebut.

Ketiga, aplikasi Appendix atau lampiran. Dalam tafsirnya, Apendiks atau lampiran yang disajikan Asad cenderung memuat pembahasan hal-hal ghaib ataupun sirrul Qur’an sepeti halnya Symbolism And Allegory In The Qur’an, Al-Muqatta’at, On The Term And Concept Of Jinn. Menurut Muhammad Chirzin, bentuk penyajian ini mungkin ditujukan secara khusus pada masyarakat Barat yang tidak terbiasa pada hal-hal yang sifatnya abstrak dan tidak empiris.

Mengenai sumber penafsiran The Message of the Qur’an, Asad mengambil rujukan baik dari al-Quran sendiri (berupa munasabah atau cross reference), pendapat para mufassir baik klasik ataupun modern, Hadis nabi dan syarh-nya, kamus-kamus, kitab fikih, buku-buku sejarah, ensiklopedia, temuan-temuan ilmiah dari berbagai cabang ilmu pengetahuan, Bibel (kajian intertekstualitas), dan pemikirannya sendiri (ijtihad).

Baca Juga: Melihat Fungsi Interpretasi Jorge J E Gracia sebagai Teori Penafsiran Al-Quran

Sebagai ahli bahasa, Asad tetap menjadikan uraian aspek al-i’jaz al-balaghy (kebahasaan) al-Qur’an sebagai fokus tumpuan penafsirannya. Hal ini juga didukung oleh keinginannya untuk menjaga ketersampaian makna dalam al-Qur’an tetap terjaga.

Dalam kajiannya atas tafsir The Message of the Qur’an, Chirzin menyimpulkan bahwa berdasarkan pertimbangan metodologi, sumber serta perhatian pada aspek kebahasaan dan fokus pada penyampaian makna, tafsir The Message of the Qur’an dapat dikategorikan sebagai tafsir dengan corak Adabi al-Ijtima’i. Alasan kuat lain yang mendasari argumen ini ialah pernyataan Asad sendiri yang mengakui bahwa dirinya terpengaruh pada pemikiran tafsir Muhammad Abduh dengan Al-Manar-nya. Di mana Abduh sendiri merupakan pionir dari kehadiran corak tafsir Adabi al-Ijtima’i.

Sedikit ulasan atas The Message of the Qur’an setidaknya ingin memantik kajian-kajian lanjutan terhadapnya. Apalagi banyak hal-hal menarik yang mungkin bisa dieksplorasi lebih dalam sepeti kajian intertekstualitasnya maupun penggunaannya akan temuan-temuan ilmiah dalam menafsirkan ayat-ayat kauniah. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al A’raf ayat 95-96

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Setelah bercerita tentang kaum Madyan dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 95-96 ini mengingatkan kembali bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang mendustai para Nabi, namun ketika orang tersebut bertobat dan memohon ampunan kepada Allah maka Allah akan memaafkan dan akan membalas dengan nikmat yang tak terkira. Akan tetapi dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 95-96, khususnya di ayat 96 ini disinggung Nabi-nabi terdahulu yang didustakan oleh kaumnya selain Nabi Syuaib.

Dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 95-96, khususnya dalam ayat 95 menerangkan bahwa siapa saja yang berusaha memperbaiki diri dan berdoa kepada Allah maka Allah akan memberi nikmat dan kelapangan hidup.


Baca Tafsir Sebelumnya: Tafsir Surat Al A’raf ayat 92-94


Ayat 95

Ayat ini menerangkan bahwa setelah mereka ditimpa kesusahan dan kesulitan hidup, dan mereka berusaha memperbaiki dan berdoa  kepada Allah, maka Allah memberikan kepada mereka nikmat dan kelapangan hidup sehingga mereka memperoleh kemakmuran dan harta benda yang cukup. Kemakmuran dan kecukupan harta benda ini memungkinkan mereka mengembangkan keturunan. Harta benda yang cukup dan keturunan yang banyak, adalah merupakan puncak kenikmatan bagi manusia.

Orang-orang yang beriman, jika memperoleh nikmat dari Allah, baik berupa harta benda maupun keturunan, tentu akan bertambah keimanan dan rasa syukurnya, dan akan melakukan kebajikan lebih banyak lagi. Akan tetapi orang-orang yang lemah iman, bila memperoleh kemakmuran dan kenikmatan yang banyak, ia lupa kepada Allah Yang memberikan nikmat tersebut, dan timbullah rasa sombong dan angkuhnya.

Mereka berkata: “Nenek moyang kami dahulu juga pernah merasakan kenikmatan dan kesusahan, demikian pula kami. Kesusahan yang pernah kami alami, dan kebahagiaan yang kami rasakan sekarang adalah sama saja dengan apa yang pernah dialami nenek moyang kami. Kesusahan yang menimpa kami bukanlah akibat dari dosa-dosa yang telah kami perbuat, dan kebahagiaan yang kami peroleh bukanlah hasil dari kebajikan yang kami lakukan. Pengakuan dan sikap ini jelas merupakan kezaliman yang bisa terjadi sepanjang masa.

Demikianlah, kekayaan dan kebahagiaan telah membuat mereka lupa kepada hubungan antara sebab-akibat, serta menyebabkan mereka lupa kepada kekuasaan, keadilan dan kasih sayang Allah. Hal ini disebabkan karena mereka tidak memahami Sunnah Allah yang berlaku di alam ini; mereka tidak memahami faktor-faktor yang menimbulkan kebahagiaan dan kesengsaraannya di bumi ini. Padahal Allah telah memberikan bimbingan dengan firman-Nya:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (ar-Ra’d/13: 11)

Oleh karena itu, keingkaran dan kesombongan mereka, timbul setelah memperoleh kemakmuran. Allah menimpakan kepada mereka azab yang datang secara tiba-tiba, sedang mereka tidak menyadari akan datangnya azab tersebut. Mereka tidak memenuhi Sunnatullah yang berlaku dalam urusan masyarakat, dan akal mereka tidak mampu memikirkan hal itu. Lagi pula mereka tidak mau mengikuti petunjuk dan nasihat serta peringatan rasul kepada mereka. Dalam hubungan ini Allah telah berfirman:

فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهٖ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ اَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍۗ حَتّٰٓى اِذَا فَرِحُوْا بِمَآ اُوْتُوْٓا اَخَذْنٰهُمْ بَغْتَةً فَاِذَا هُمْ مُّبْلِسُوْنَ

“Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa”. (al-An‘am/6: 44);

Sifat orang kafir adalah bila mereka memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan, mereka sombong dan takabur, tidak mensyukuri nikmat Allah. Sebaliknya bila mereka ditimpa musibah, mereka berputus asa dan berkeluh kesah, tidak memikirkan sebab-sebab yang ada pada diri mereka yang menimbulkan musibah itu. Firman Allah :

فَاِذَا مَسَّ الْاِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَانَاۖ  ثُمَّ اِذَا خَوَّلْنٰهُ نِعْمَةً مِّنَّاۙ قَالَ اِنَّمَآ اُوْتِيْتُهٗ عَلٰى عِلْمٍ ۗبَلْ هِيَ فِتْنَةٌ وَّلٰكِنَّ اَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

“Maka apabila manusia ditimpa bencana dia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan nikmat Kami kepadanya dia berkata, “Sesungguhnya aku diberi nikmat ini hanyalah karena kepintaranku.” Sebenarnya, itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (az-Zumar/39: 49);

Kesenangan yang diperoleh sesudah kesusahan yang kemudian disusul dengan azab yang menyengsarakan, tidak hanya dialami oleh kaum Nabi Syu’aib, bahkan umat nabi-nabi sebelumnya, yakni umat Nabi Nuh, Nabi Hud, dan Nabi Tsaleh. Nabi Hud telah memperingatkan kepada umatnya, yaitu kaum ‘Ad, sebagai berikut:

وَاذْكُرُوْٓا اِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاۤءَ مِنْۢ بَعْدِ قَوْمِ نُوْحٍ وَّزَادَكُمْ فِى الْخَلْقِ بَصْۣطَةً ۚفَاذْكُرُوْٓا اٰلَاۤءَ اللّٰهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Ingatlah ketika Dia menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah setelah kaum Nuh, dan Dia lebihkan kamu dalam kekuatan tubuh dan perawakan. Maka ingatlah akan nikmat-nikmat Allah agar kamu beruntung.”(al-A’raf/7: 69);

Selanjutnya Nabi Tsaleh telah memperingatkan pula kepada kaumnya, kaum Tsamud hal semacam itu:

وَاذْكُرُوْٓا اِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاۤءَ مِنْۢ بَعْدِ عَادٍ وَّبَوَّاَكُمْ فِى الْاَرْضِ تَتَّخِذُوْنَ مِنْ سُهُوْلِهَا قُصُوْرًا وَّتَنْحِتُوْنَ الْجِبَالَ بُيُوْتًا ۚفَاذْكُرُوْٓا اٰلَاۤءَ اللّٰهِ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ  ;

“Dan ingatlah ketika Dia menjadikan kamu khalifah-khalifah setelah kaum ‘Ad, dan menempatkan kamu di bumi. Di tempat yang datar kamu dirikan istana-istana dan di bukit-bukit kamu pahat menjadi rumah-rumah. Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi”. (al-A‘raf/7: 74)

Generasi yang hidup sekarang ini hendaklah betul-betul menyadari, agar  jangan mengalami nasib merana seperti yang dialami umat-umat terdahulu, karena keingkaran dan kesombongan mereka kepada Allah. Apabila umat sekarang ini dikarunia Allah nasib yang lebih baik, berupa kestabilan ekonomi dan kehidupan sosial, ilmu pengetahuan dan sebagainya, janganlah mereka lupa diri dan berbuat maksiat di bumi.

Hendaklah semua nikmat yang dilimpahkan Allah disyukuri dan dimanfaatkan menurut cara yang diridai-Nya dan dijauhkan dari segala macam kemaksiatan. Semoga Allah selalu menambah karunia dan nikmat-Nya kepada semua orang yang bersyukur.

Ayat 96

Dalam ayat ini diterangkan bahwa seandainya penduduk kota Mekah dan negeri-negeri yang berada di sekitarnya serta umat manusia seluruhnya, beriman kepada agama yang dibawa oleh nabi dan rasul terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw dan seandainya mereka bertakwa kepada Allah sehingga mereka menjauhkan diri dari segala yang dilarangnya, seperti kemusyrikan dan berbuat kerusakan di bumi, niscaya Allah akan melimpahkan kepada mereka kebaikan yang banyak, baik dari langit maupun dari bumi.

Nikmat yang datang dari langit, misalnya hujan yang menyirami dan menyuburkan bumi, sehingga tumbuhlah tanam-tanaman dan berkembang-biaklah hewan ternak yang kesemuanya sangat diperlukan oleh manusia. Di samping itu, mereka akan memperoleh ilmu pengetahuan yang banyak, serta kemampuan untuk memahami Sunnatullah yang berlaku di alam ini, sehingga mereka mampu menghubungkan antara sebab dan akibat. Dengan demikian mereka akan dapat membina kehidupan yang baik, serta menghindarkan malapetaka yang biasa menimpa umat yang ingkar kepada Alllah dan tidak mensyukuri nikmat dan karunia-Nya.

Apabila penduduk Mekah dan sekitarnya tidak beriman, mendustakan Rasul dan menolak agama yang dibawanya, kemusyrikan dan kemaksiatan yang mereka lakukan, maka Allah menimpakan siksa kepada mereka, walaupun siksa itu tidak sama dengan siksa yang telah ditimpakan kepada umat yang dahulu yang bersifat memusnahkan. Kepastian azab tersebut adalah sesuai dengan Sunnatullah yang telah ditetapkannya dan tak dapat diubah oleh siapa pun juga, selain Allah.


Baca Juga: Benarkah Musibah adalah Adzab dari Allah? Gus Baha: Bukan Hak Kita Menjudge!


Menelisik Pengertian, Sejarah dan Macam-Macam Qira’at

0
Pengertian, Sejarah dan Macam-Macam Qira'at
Pengertian, Sejarah dan Macam-Macam Qira'at

Dalam kajian ulumul Qur’an, ada salah satu konsep dan cabang ilmu yang perlu dibahas agar makna al-Quran bisa dipahami dengan tepat dan benar adalah ilmu Qira’at. Oleh karena itu dengan artikel sederhana ini penulis mencoba membahas mengenai pengertian, sejarah Qira’at, kualifikasi standar Qira’at dan macam-macam qira’at.

Pengertian Qira’at

Secara etimologis qira’at merupakan bentuk jama’ dari qiraah dan juga merupakan masdar dari qara-a yaqra-u qiraatan, menurut ar-Raghib dalam kitabnya Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an yang berarti dham al-huruf wa al-kalimat ba’dhihaa ila ba’dhin fi at-tartil (mengabungkan antara huruf dan kalimat satu sama lain dalam bacaan).

Dalam KBBI qiraah berarti bacaan atau membaca. Sedangkan secara terminologis  yang dimaksud qiraah adalah cara membaca al-Qur’an oleh seoranng imam ahli qiraah berbeda dengan cara baca imam yang lain. az-Zarqani dalam kitabnya Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an mendefinisikan qiraah sebagai berikut :

مذهب يدهب إليه إمام من أئمة القراء مخالفا به غيره في النطق بالقرالكريم مع اتفاق الروايات والطرق عنه سواء أكنت هذه المخالفة في النطق الحروف أم في نطق هيئاتها

“suatu cara membaca al-Qur’an al-Karim dari seoramg  Imam ahli qiraah yang berbeda dalam cara membaca dengan cara membaca imam yang lainnya, sekalipun riwayat dan jalur periwatannya sama, baik perbedaan itu dalam pengucapan hurf ataupun bentuknya.”

Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 60-61: Perintah Menaati Allah dan Mendurhakai Setan

Ash-Shabuni menambahkan dalam definisinya tentang qiraah dengan menyebutkan bahwa cara baca al-Qur’an itu harus mempunyai sanad yang sampai Rasulullah SAW.

مذهب من مذاهب النطق في القران يذهب به إمام من الأئمة القراء مذهبا يخالف غيره في النطق بالقرأن الكريم وهي ثابتة بأسانيد إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Cara membaca al-Qur’an dari seorang Imam ahli qiraah yang berbeda dengan cara membaca Imam yang lainnya berdasarkan sanad yang menyambung sampai kepada Rasulullah Saw.”

Dilihat dari kedua definisi di atas bahwa pengertian qiraah disini tidak sama seperti pengertian qiraah dalam percakapan sehari-hari yang sepadam dengan tilawah yaitu hanya sekedar dalam pengertian membaca atau bacaan. Atau dalam artian membaca al-Qur’an dengan irama atau lagu tertentu. Tapi yang dimaksud qiraah dalam kajian ulumul Qur’an adalah satu cara membaca al-Qur’an dengan madzhab yang dipilih oleh ahli qira’at dengan sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.

Baca juga: Apakah Sebenarnya Makna Jihad Menurut al-Quran? Begini Penjelasannya.

Sejarah singkat Qira’at

Meluasnya wilayah Islam dan menyebarnya para sahabat dan tabi’in mengajarkan al-Qur’an di berbagai kota menyebabkan timbulnya berbagai qira’at. Perbedaan pembacaan antara satu qira’at dengan lainnya bertambah besar pula sehingga sebagian riwayatnya tidak bisa lagi dipertanggungjawabkan.

Sehingga para ulama menulis qiraah-qiraah ini dan sebagaiannya menjadi masyhur, sehingga lahirlah istillah qiraah tujuh, qiraah sepuluh, dan qiraah empat belas. Adapun imam dan ahli qiraah yang di percaya dan diikuti kebanyakan orang.

As-Suyuthi dalam kitaabnya al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an, menjelaskan bahwa imam dan ahli qiraah itu tersebar kesemua penjuru pusat Islam, Mereka antara lain adalah

  • Di madinah : Abu ja’far yazid ibn al-Qa’qa’, Syaibah ibn Nafshah, dan Nafi’ ibn adirrahman.
  • Di makkah : Abdulllah ibn Katsir dan Humaid ibn Qais al-A;raj
  • Di kuffah : Yahya ibn watsab, ‘Ashim ibn abi an-Nujud
  • Di bashrah : Abdullah ibn abi Ishaq, ‘Isa ibn ‘aru
  • Di syam : Abdullah ibn ‘Amir, Athiyyah ibn qais al-Kilabi

Dan jibril membaca al-Qur’an kepada Nabi tidak hanya dalam satu logat atau lahjah saja yaitu logat Quraisy, akan tetapi juga dalam beberapa lahjah. Sebagaimana yang terlihat dalam kisah perbedaan bacaan antara Umar ibn Khathab dan Hisyam ibn Hakim.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28: Manfaat Ibadah Haji dalam Segi Sosial dan Ekonomi

Diriwayatkan    bahwa    ‘Umar    ibn    Khathâb    berkata:    Aku    mendengar Hisyâm ibn Hâkim membaca Surat Al-Furqân di masa hidup  Rasulullah  SAW.  Aku  perhatikan  bacaannya.  Tiba-tiba  ia  membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah  kepadaku,  sehingga  hampir  saja  aku  melabraknya  di  saat  ia  shalat,  tetapi  aku  berusaha  sabar  menunggunya  sampai  salam.

Begitu  salam  aku  tarik  sorbannya  dan  bertanya:  “Siapakah  yang  membacakan  (mengajarkan  bacaan)  surat  itu  kepadamu?”  Ia menjawab: “Rasulullah yang membacakannya kepadaku”. Lalu aku katakan kepadanya: “Dusta kau. Demi Allah, Rasulullah telah membacakan  juga  kepadaku  surat  yang  aku  dengar  tadi  engkau  membacanya (tapi tidak seperti bacaanmu).”

Kemudian aku bawa dia  menghadap  Rasulullah  dan  aku  ceritakan  kepadanya  bahwa  aku telah mendengar orang ini membaca Surat Al-Furqân dengan huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan Surat Al-Furqân kepadaku. Maka Rasulullah  berkata:  “Lepaskanlah  dia  wahai  ‘Umar.  Bacalah  Surat  tadi, wahai Hisyâm.” Hisyâm pun kemudian membacanya dengan bacaan  seperti  kudengar  tadi.  Maka  kata  Rasulullah:  “Begitulah  surat  itu  diturunkan.”  Ia  berkata  lagi:  “Bacalah  wahai  ‘Umar.”  Lalu   aku   membacanya   dengan   bacaan   sebagaimana   diajarkan   Rasulullah kepadaku. Maka kata Rasulullah SAW: “Begitulah surat itu  diturunkan.”  Dan  katanya  lagi:  “Sesungguhnya  Qur’an  itu  diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah  bagimu  di  antaranya”  (H.R.  Bukhâri  dan  Muslim  teksnya  dari Bukhâri

Kualifikasi Standar Qira’at.

Dengan adanya penyelewengan dalam qiraah. Maka para ulama membuat sejumlah syarat qiraat yang baku dan dapat diterima. Untuk membedakan antara qiraah yang benar dan yang salah, apara ulama telah menetapkan tiga syarat bagi qiraah yang benar.

Pertama, sesuai dengan bahasa Arab meskipun melalui salah satu cara atau segi (Nahwu). Kedua, sesuai dengan salah satu msuhaf-mushaf ‘Utsmani sekalipun secara potensial. Ketiga, keshahihan sanadnya dari periwayatan imam tujuh dan sepuluh, maupun dari imam-imam qiraah lainnya.

Setiap qira’at yang tidak sesuai dan tidak memenuhi syarat diatas di anggap qiraah yang tidak benar dan ditolak dan biasanya disebut dengan qiraah yang lemah sekalipun qiraah itu diriwayatkan oleh Imam tujuh. Ketika suatu qira’at yang sesuai dengan syarat diatas maka dianggap benar dan tidak tertolak, meskipun bukan dari golongan Imam tujuh.

Baca juga: Kajian Semantik Kata Membaca dan Konteksnya dalam Al-Quran

Macam-Macam Qira’at

Menurut Manna al-Qaththan dalam kitabnya Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, qiraah dilihat segi kualitas sanadnya, qirâât dapat dibagi menjadi qiraat mutawatirah,  masyhurah,  ahad,  syadzah,  maudhu’ah  dan  mudrajah. Sedangkan dari segi kuantias qiraat nya dapat dibagi menjadi qiraat sab’ah,  ‘asyarah  dan  arba’ata  ‘asyarah.  Di  bawah  ini  akan  diuraikan  secara ringkas macam-macam qiraat tersebut.

Qira’at mutawatirah adalah qiraat yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi pada setiao tingkata sanad yang mustahil untuk berdusta. Qira’at Masyhurah adalah sanadnya shahih tetapi tidak sampai derajat mutawatir. Qira’at Ahad adalah qiraat yang menyalahi msuhaf Ustmani dan kaidah bahasa arab. Qira’at Syadzah adalah  yang sanadnya tidak shahih. Qira’at Maudhu’ah adalah yang riwayatnya palsu. Sedangkan Qira’at Mudrajah adalah qiraah yang di tambahkan kedalam qiraah sebagai bentuk penafsiran. Wallahu a’lam []

Tafsir Surah Yasin Ayat 60-61: Perintah Menaati Allah dan Mendurhakai Setan

0
Surah Yasin ayat 60-61
Surah Yasin ayat 60-61

Dalam Tafsir surah Yasin ayat 58-59 telah dijelaskan mengenai ucapan salam untuk para penghuni surga serta hardik kepada penghuni neraka agar menjauh dari orang-orang mukmin yang telah mendapatkan nikmat dengan damai di surga. Adapun dalam artikel kali ini akan berbicara perihal sebab munculnya penghardikan tersebut.

Tentunya hardik tersebut merupakan kehendak Allah untuk segera memisahkan antara orang-orang yang beriman kepada Allah Swt ketika di dunia dan orang-orang yang ingkar. Hardik itupun merupakan bentuk siksa Allah akibat keingkaran mereka kepada utusan Allah ketika di dunia. Untuk lebih jelasnya mari kita simak lebih dulu redaksi lengkap surah Yasin ayat 60-61 berikut:

اَلَمْ اَعْهَدْ اِلَيْكُمْ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ اَنْ لَّا تَعْبُدُوا الشَّيْطٰنَۚ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

وَاَنِ اعْبُدُوْنِيْ ۗهٰذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيْمٌ

“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu,”

“dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.”

Berkenaan dengan terjemah versi Kemenag pada surah Yasin ayat 60-61 di atas, kata a’had (اَعْهَدْ) di terjemahkan dengan ‘aku memerintahkan’. Selain makna ini, beberapa mufasir berbeda-beda dalam mengemukakan penafsirannya. Misalnya penafsiran yang dilakukan oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, atau yang masyhur di sebut dengan Tafsir Thabari.

Baca Juga: Mengenal Jami’ al-Bayan, Pelopor Tafsir Al-Quran Dalam Islam Karya Ibnu Jarir At-Thabari

Dalam karyanya tersebut, al-Thabari menafsirkan kata a’had (اَعْهَدْ)  dengan kata ‘ushi (أوص) dan kata amur (أمر). Masing-masing kata tersebut bermakna aku mewasiatkan dan aku memerintahkan. Jika melihat dari kedua kata tersebut, Kemenag memilih menggunakan kata amur (أمر) untuk menafsirkan kata a’had (اَعْهَدْ) . Hal ini berbeda dengan makna yang digunakan oleh Quraish Shihab.

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah lebih memilih untuk menafsirkan kata a’had (اَعْهَدْ) dengan kata ‘ushi (أوص), yaitu “aku wasiatkan”. Secara bahasa kata a’had yang berasal dari kata ‘ahd (عهد) memang sinonim dengan kata washiyah (وصية). Hal ini sebagaimana tertera dalam kamus al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir li al-Rafi’i karya al-Fayyumi.

Adapun ulama lain yang menafsirkan kata a’had (اَعْهَدْ) dengan kata ‘ushi (أوص) atau amur (أمر) adalah Ibnu Katsir, al-Zamahksyari, Al-Shabuni, dan al-Bantani. Berbeda dengan pendapat dari Jalauddin al-Syuthi dalam al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur.

Dalam karyanya ini, al-Suyuti mengemukakan penafsiran terhadap kata a’had (اَعْهَدْ) dengan mengutip riwayat dari Abi Hatim. Abi Hatim mengatakan bahwa kata a’had (اَعْهَدْ) tersebut bermakna anha (أُنه) yang berarti aku melarang. Sedangkan gurunya, yaitu Jaluddin al-Mahalli dalam Tafsir al-Jalalain lebih memilih kata amur (أمر)  untuk menafsirkan kata a’had (اَعْهَدْ).

Dari perbedaan penafsiran antar para ulama di atas, hal yang bisa kita ambil kesimpulan kurang lebih begini; bukankah Allah telah mewasiatkan, memerintahkan serta mencegah melalui perantara RasulNya agar manusia tidak menyembah setan? Setan merupakan musuh yang nyata.

Kalimat dalam surah Yasin ayat 60 ini berbentuk istifham, yakni kalimat tanya. Namun pertanyaan di sini maknanya bukanlah untuk bertanya karena tidak tahu atau ingin mencari tahu, tapi dalam rangkan mencela dan mengecam. Sebagaimana telah disebut di atas bahwa Allah menghardik ahli neraka agar menjauh dari ahli surga. Hardikan ini akibat prilaku mereka ketika di dunia dengan menyembah setan.

Ungkapan ‘menyembah setan’ dalam konteks ini tidaklah sama dengan menyembah kepada Allah Swt. Berdasarkan riwayat dari Ibn Mudzir, al-Suyuti dalam al-Dur al-Mantsur menyatakan bahwa yang dimaksud dengan menyembah setan adalah mengikuti ajakan setan dengan mematuhi segala macam bisikan-bisikannya. Padahal jelas-jelas setan merupakan musuh yang nyata bagi manusia.

Al-Thabari menambahkan bahwa setan secara terang-terangan mendeklarasikan permusuhan terhadap manusia. Misalnya ketika ia menolak sujud kepada Nabi Adam As lalu dengan itu ia dilaknat dan menghasud Nabi Adam dan Siti Hawa sehingga keduanya dikeluarkan dari surga. Hal ini terungkap dalam surah al-A’raf ayat 16 berikut:

قَالَ فَبِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْمَۙ

ثُمَّ لَاٰتِيَنَّهُمْ مِّنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ اَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَاۤىِٕلِهِمْۗ وَلَا تَجِدُ اَكْثَرَهُمْ شٰكِرِيْنَ

“(Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus,”

“kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”

Dari ayat ini sudah sangat jelas bahwa setan merupakan musuh yang nyata bagi manusia. Namun kebanyakan manusia lebih memilih mengikuti bisikan setan daripada ajakan dari para utusan Allah Swt. Padahal para utusan itu membawa risalah dari Allah agar manusia menapaki jalan yang benar, sebagaimana diungkapkan secara ekplisit dalam ayat ke 61 dari surah Yasin ini.

Al-Thabari mengungkapkan bahwa surah Yasin ayat 61 ini mengandung arti bahwa; bukankah Allah juga telah mewasiatkan, memerintahkan serta mencegah melalui perantara RasulNya agar kalian menyembahKu karena hanya kepadaKu ketaatan itu pantas diajukan. Itulah jalan yang hak dan sejati. Hal senada juga disampaikan oleh Umar al-Zamakhsyari dalam tafsirnya.

Abu al-Qasim Muhammad bin ‘Umar al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamidh al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil mengatkan bahwa tidak ada jalan yang lebih baik daripada apa yang telah disampaikan oleh para utusan Allah Swt. Karena hanya itulah jalan yang terbaik untuk mencapai pintu keridhaannya.

Baca Juga: Biografi Al-Zamakhsyari: Sang Kreator Kitab Tafsir Al-Kasysyaf

Namun karena kebanyakan manusia lebih memilih menyembah setan akhirnya Allah menghardik mereka agar menjauh dari ahli surga. Mereka layak menempati neraka akibat keingkaran mereka ketika di dunia. Wahbah Zuhaili menutup ayat ini dengan satu pesan yang patut kita renungi bersama.

Dalam al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-manhaj, ia menyatakan bahwa Allah telah menghimbau secara tegas bahwa setan telah berhasil menyesatkan banyak manusia. Bukankan sudah kita ketahui bersama bahwa setan memang benar-benar mendeklarasikan permusuhan dengan kita. Harusnya kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran bahwa hanya Allah Swt yang pantas kita taati segala perintahnya.

Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allah menghendaki manusia menapaki jalan yang hak dan sejati. Semoga kita semua selalu berada dalam lindungannya, dijauhi dari hal-hal yang dapat menjerumuskan kita ke dalam api neraka. Sekian penjelasan singkat tafsir surah yasin ayat 60-61 tentang perintan untuk menaati Allah Swt dan mendurhakai setan. Tunggu artikel menarik selanjutnya. Wallahu A’lam.[]

Mengenal Muhammad Asad, Tokoh Dibalik Lahirnya The Message of the Qur’an

0
Muhammad Asad
Muhammad Asad

Muhammad Asad lahir pada 2 Juli 1900 di Lviv, Austria. Nama Muhammad Asad merupakan nama yang menggantikan nama kecilnya, Leopold Weiss, setelah mengonversi keyakinannya dari Yahudi Ortodoks ke Islam di tahun 1926.

Asad kecil lahir dan dibesarkan dalam keluarga rabi Yahudi Ortodoks dan saintis, sehingga sejak muda ia telah memiliki semangat akademik yang tinggi dan bahkan telah mempelajari ajaran Yahudi secara mendalam. Di usianya yang masih tiga belas tahun, Asad sudah mempelajari Alkitab dan Taragum beserta penafsirannya.

Asad muda digambarkan sebagai pengembara keilmuan yang membebaskan dirinya dari keterikatan apapun. Ia pernah mengenyam pendidikan Filsafat dan Seni di Universitas Wina pada tahun 1921 namun tidak dirampungkannya. Begitu juga dengan studinya di Akademi Geopolitik di tahun 1925 yang terkonsentrasi pada Studi Islam, juga tidak ia rampungkan.

Meskipun sejak belia ia dibesarkan oleh lingkungan keluarga rabi dan bahkan saat muda sudah mempunyai keilmuan setingkat rabi, ia tetap menjalani kehidupan keagamaannya dengan bebas. Ia dikatakan tertarik dengan Taoisme dan bahkan pernah mengalami masa kebosanan akan agama.

Pengembaraannya ke berbagai benua sebagai wartawan, telah membawanya mengunjungi dan tinggal di berbagai negara Timur Tengah sejak 1921. Perjalanannya itu telah memberikannya berbagai pengalaman dan kesan, hingga puncaknya di tahun 1926 ia mengakui Islam sebagai agamanya.

Dalam karyanya, Road to Mecca, ia menguraikan dengan lantang bahwa Islam adalah agama yang memiliki arsitektur sempurna dan setiap elemen di dalamnya berjalan begitu harmonis. Ia juga memperlihatkan pengalaman yang ia rasakan saat melihat perjuangan negara-negara Islam lepas dari zionisme dan penjajahan. Asad juga menuliskan beberapa perjumpaannya dengan beberapa pemuka negara Islam seperti Ibn Saud, Mustafa al-Maraghi dan Muhammad Iqbal. Bersama Iqbal, Asad turut membantu menyusun dasar-dasar kenegaraan Islam di Pakistan dan bahkan menjadi duta Pakistan pertama untuk PBB.

Selain mendapatkan hidayah dan semangat aktivisme yang tinggi, perjalanan Asad ke negeri-negeri Timur Tengah juga memberikan pengaruh bagi keilmuan akademiknya. Saat berada di Saudi Arabia, Asad mempelajari langsung bahasa Arab murni dari suku Badwi.

Hal itu memberikan penambahan yang begitu berharga bagi perbendaharaan bahasa semitik yang ia miliki, setelah sebelumnya ia menguasai bahasa Ibrani dan Aramaik. Atas dasar itulah Asad tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir, diplomat, penikmat seni dan filsafat, namun juga seorang linguis.

Di paruh penghujung usianya, Asad yang telah sampai pada puncak level kemapanan pemikiran (berkat berbagai pengembaraan yang ia lalui), berhasil menyelesaikan sebuah karya Tafsir al-Qur’an lengkap 30 Juz dalam bahasa Inggris dan diberi nama, The Message of the Qur’an.

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi Muhammad Asad menulis karya tafsirnya ini. Pertama, menghadirkan terjemahan al-Qur’an dengan bahasa yang mampu menjaga “semangat” bahasa al-Qur’an dan objektif. Alasan ini ditopang oleh penguasaannya terhadap beberapa bahasa Semitik. Kedua, menjembatani masyarakat Muslim dan non-Muslim (khususnya) pengguna bahasa Inggris yang ingin mengetahui Islam melalui al-Qur’an, khusunya mereka yang tidak kompeten dalam bahasa Arab. Ketiga, menghadirkan tafsir sebagai solusi bagi problema masyarakat. Keempat, menghadirkan terjemahan al-Qur’an yang dapat menginspirasi setiap pembacanya baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim.

Selain kitab tafsir yang menjadi karya di puncak intelektualitasnya, Muhammad Asad juga telah menulis beberapa karya lain sepanjang hidupnya. Karya fenomenal Islam at the Crossroad (Islam di Persimpangan Jalan), Road to Mecca (Perjalanan ke Mekkah), The Principles of the State and Government in Islam (Prinsip-prinsip Negara dan Pemerintahan dalam Islam) menjadi karya-karyanya yang telah mendapatkan perhatian besar dari cendekiawan-cendekiawan seluruh dunia.

Muhammad Asad berpulang ke pangkuan ilahi, di usianya yang ke 92 Tahun di Spanyol. Setelah ia melakoni pengembaraan terakhirnya di Maroko dan Portugal. Asad tidak hanya meninggalkan tinta emasnya namun juga mewariskan semangat intelektualnya pada anaknya Talal Asad, yang menjadi salah satu Antropolog Muslim terkemuka di dunia saat ini.

Apakah Sebenarnya Makna Jihad Menurut al-Quran? Begini Penjelasannya.

0
Makna Jihad Menurut al-Quran
Memahami makna jihad dalam ayat-ayat Alquran

Dewasa ini, kata jihad sangat menarik atensi masyarakat Indonesia. Terlebih di era pandemi Covid-19, teriakan “jihad” sangat keras sekali. Belum lupa ingatan kita akan fenomena suara azan “hayya alal jihad” tempo lalu yang diteriakkan oleh segelintir kelompok. Entah apa yang melatarinya, yang jelas term “jihad” nyaris nyaring bunyinya di bumi pertiwi. Maka dari itu kita butuh penjelasan makna jihad menurut al-Quran sesuai dengan penafsiran yang moderat.

David Cook dalam Understanding Jihad menyampaikan bahwa bagi non muslim, jihad dimaknai sebagai situasi yang tidak terkendali (unpredictable), irasional dan konotasinya perang total. Pendapat Cook ini bukanlah hal baru sebenarnya dalam wacana beberapa non-muslim yang antipati terhadap Islam. Jack Nelson-Pallmeyer misalnya, dalam Is Religion Killing Us? Violence in the Bible And the Quran, Ia menulis

“The problem of Islam and violence is not limited to incompatible texts but is rooted in the overwhelming preponderance of passages in the Qur’an that legitimate violence, warfare, and intolerance. Violence in service to Allah is both justified and mandated by Allah or Muhammad under the sanction of divine threat:”

“Masalah Islam dan kekerasan tidak terbatas pada teks yang tidak cocok tetapi berakar pada banyaknya ayat-ayat dalam Al-Quran yang melegitimasi kekerasan, peperangan, dan intoleransi. Kekerasan dalam melayani Allah dibenarkan dan diamanatkan oleh Allah atau Muhammad di bawah sanksi ancaman ilahi”.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28: Manfaat Ibadah Haji bagi Sosial dan Ekonomi

Lantas, benarkah tudingan Nelson dan Cook bahwa Al-Quran melegitimasi kekerasan, peperangan, penjarahan, pembunuhan, perbudakan, intoleransi, dsb? Sungguh statement yang sangat tendensius. Mari kita simak pembahasan berikut ini bagaimana klarifikasi makna jihad dalam Al-Quran.

Klarifikasi Makna Jihad

Secara literal, jihad berakar dari kata jahada-yujahidu, masdarnya adalah mujahadatan wa jihadan, artinya sungguh-sungguh, berupaya keras. Dalam Lisan al-Arab, Ibnu Manzur menerangkan jihad berasal dari kata al-juhd, ia bermakna al-taqah (kekuatan), al-wus’u (usaha) dan al-masyaqqah (kesulitan).

Senafas dengan Ibnu Manzur, Muhammad Murtadha al-Husni al-Zabidi dalam Taju al-‘Arus mengemukakan hal yang sama. Namun, lain halnya dengan Muhammad bin Abi Bakar bin ‘Abdi al-Qadir al-Razi dalam Mukhtar al-Shahah, ia mengurangi definisi Ibnu Manzur yaitu al-Wus’u (usaha). Jadi, praktis al-Razi hanya menyebut dua saja, yakni al-taqah dan al-masyaqqah.

Selanjutnya, kata al-juhdu bermetamorfosa menjadi jihad. Dalam kamus Taju al-‘Arus, secara istilah jihad dimaknai dengan dua pengertian, (1) al-qitalu ma’a al-‘aduwwi kal mujahadah (memerangi musuh seperti bermujahadah); (2) muharabatu al-a’da’ wahuwa al-mubalaghah wa istifraghu ma fi al-wus’i wa al-taqati min qaulin au fi’lin, wa al-muradu bi al-niyyah ikhlash al-‘amal lillahi ta’ala (memerangi musuh dengan penuh kesungguhan dan kekuatan baik berupa perkataan maupun perbuatan, dilandasi niat ikhlas karena Allah ta’ala).

Baca juga: 5 Fakta Tentang Bacaan Taawudz, ِApa Saja?

Sementara itu, definisi serupa dikemukakan dalam Lisan al-‘Arab, yakni al-jihadu huwa qatala wa jahada fi sabilillah (jihad adalah berperang dan berjuang di jalan Allah). Tidak jauh berbeda, Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi dalam Bada’i al-Shana’i fi Tartib al-Syara’i mendefinisikan jihad sebagai berikut,

وأما الجهاد فى اللغة فعبرة عن بذل الجهد بالضم وهو الوسع والطاقة أو عن المبالغة فى العمل من الجهد بالفتح

Jihad menurut bahasa adalah ungkapan yang bermakna mengerahkan segala upaya dan kekuatan, atau bersungguh-sungguh dalam melakukan perbuatan.

Sedangkan dalam perspektif syariat, jihad memiliki banyak rupa, tidak hanya terbatas pada peperangan saja, meski perang menjadi makna populer, melainkan jihad melawan hawa nafsur, jihad dengan belajar, jihad dengan berbakti kepada kedua orang tua, jihad dengan saling mencintai dan tidak saling mengafirkan sesama, dan jihad-jihad lainnya, sebagaimana yang diwartakan Mula Khusru Muhammad al-Hanafi dalam Durar al-Hukkam Syarh Ghurar al-Ahkam,

كتاب الجهاد هو أعم وغلب في عرف الفقهاء على جهاد الكفار

“Jihad memiliki makna yang umum dan makna populernya di kalangan ahli fikih adalah memerangi orang kafir”.

Lebih jauh, Lembaga Riset Bahasa Arab Republik Arab-Mesir (Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah) dalam al-Mu’jam al-Wasith, jihad adalah qitalun man laisa lahu dhammatun min al-kuffar (memerangi orang kafir yang tidak ada ikatan perjanjian damai). Sekilas makna ini terlihat mengkhususkan kepada makna jihad perang, namun ia menegaskan “yang tidak ada ikatan perjanjian damai”, maka jika terikat perjanjian damai, haram hukumnya melakukan peperangan.

Adapun penafsiran jihad lebih detail disampaikan Abdurrahman Abdul Mun’im dalam Mu’jam al-Musthalahat wa al-Fadz al-Fiqhiyyah, jihad diklasterisasi menjadi empat hal; pertama, mengerahkan segala daya upaya dalam memerangi orang kafir.

Kedua, berjuang dari rasa keragu-raguan (syakk) menuju yaqin dan godaan syahwat setan; ketiga, berjuang dengan keyakinan yang mantap diiringi dengan upaya sungguh-sungguh dalam mengajak amar ma’ruf nahi munkar; keempat, berjuang terhadap orang-orang kafir yang memerangi umat Islam.

Baca juga: 5 Hal yang Penting Diketahui tentang Bacaan Amin setelah Surah Al-Fatihah

Agaknya kalimat terakhir ini patut saya garisbawahi sebab selama ini segelintir kelompok memerangi orang non muslim yang sama sekali tidak mengusik orang Islam. Maka kalimat terakhir patut diperhatikan.

Dari paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jihad adalah upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan segenap kemampuan, daya, tenaga dan fikiran baik dalam arti berjuang melawan musuh di medan pertempuran maupun berjuang dalam konteks negara damai, yaitu jihad bil ‘ilmi (ilmu), jihad melawan kebodohan dan segala bentuk jihad lainnya yang membawa kemaslahatan bagi diri, agama, nusa dan bangsa. Dari sini dapat dipahami, bahwa pengertian jihad sangatlah luas, ia tidak hanya sekadar berperang atau memanggul senjata.

Penyebutan Jihad dalam Al-Quran

Jihad dan derivasinya dalam Al-Quran disebutkan sebanyak 41 kali dan terbagi dalam 19 surat sebagaimana disampaikan Fuad Abdul Baqi dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Al-fadh al-Quran. Operasionalisasi kata jihad sendiri memiliki bentuk yang variatif, adakalanya berwujud fi’il madhi, fi’il mudhari, ‘amar atau masdar.

Berikut cuplikan surat dalam Al-Quran yang mengandungi kata jihad dan derivasinya,

Al-Baqarah [2]: 218; Ali Imran [3]: 142; Al-Nisa [4]: 95; Al-Maidah [5]: 35, 53; Al-An’am [6]: 109; Al-Anfal [8]: 72, 74, 75; Al-Taubah [9]: 16, 19, 20, 24, 41, 44, 73, 79, 81, 86, 88; Al-Nahl [16]: 110; Al-Hajj [22]: 78; An-Nur [24]: 53; Al-Furqan [25]: 52; Al-‘Ankabut [29]: 6, 8, 69; Luqman [31]: 15; Fatir [35]: 42; Muhammad [47]: 31; Al-Hujurat [49]: 15; Al-Mumtahanah [60]: 1; Al-Shaff [61]: 11; Al-Tahrim [66]: 9.

Dalam versi yang lain, terdapat 36 ayat tentang jihad sebagaimana dijelaskan ‘Alami Zaidah Faidhullahi al-Hasani dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Kalimati al-Quran al-Musamma bi Fathi al-Rahman. Bahkan, Yusuf al-Qaradhawi justru “menyedikitkan” jumlah ayat tentang jihad, yaitu tidak lebih hanya disebut 34 kali dalam Al-Quran. Penjelasan ini ia sampaikan dalam Fiqih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad Menurut Al-Qur’an dan Sunnah.

Dari berbagai perspektif term jihad dalam Al-Quran, kita dapat mengetahui bahwasannya kata jihad dalam Al-Quran sangat luas dan kontekstual. Tidak hanya mengungkapkan ajaran jihad berperang, membunuh saja misalnya, melainkan menjelaskan masalah-masalah sosial yang membutuhkan kesungguhan.

Misalnya, kesungguhan bersumpah  (QS. al-Maidah (5): 53; QS. alAn’am (6): 109; QS. al-Nahl (16): QS. al-Nur (24): 53; QS. Fatir (35): 42); kesungguhan orang tua untuk mendidik anaknya agar berakidah Islam dan mempertahankannya (QS. al-‘Ankabut (29): 8; QS. Luqman (31): 15), serta memberi sesuatu atau beramal sesuai kemampuan (QS. al-Taubah (9): 79), dan masih banyak lainnya.

Maka sangat tidak dibenarkan jihad hanya dimaknai secara serampangan atau salah satu term saja, qital (berperang atau membunuh) misalnya atau mengebom, dan seterusnya. Ada banyak makna jihad dalam Islam, salah satu jihad dewasa ini adalah jihad bil ‘ilmi (belajar atau ngaji secara mendalam dan tuntas) dan jihad dengan menimbulkan rasa aman, teduh dan damai sesama saudara seiman, sebangsa dan manusia. Termasuk menjaga, merawat dan melestarikan lingkungan adalah bagian daripada jihad. Wallahu A’lam.

Muhsin al-Musawa, Ulama Nusantara Pengarang Kitab Nahj al-Taisir Syarh Mandzumah al-Tafsir

0
Muhsin al-Musawa
Muhsin al-Musawa

Pada masa abad ke-18 hingga abad ke-20 awal, genealogi ulama Nusantara mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada saat itu, Hijaz dikenal sebagai pusat utama belajar ilmu keislaman. Sehingga banyak ulama-ulama Nusantara yang mulai berbondong-bondong melanjutkan studinya di Hijaz. Salah satu ulama besar Nusantara jebolan Hijaz yang memiliki karangan di bidang ilmu tafsir adalah Muhsin al-Musawa.

Biografi Muhsin al-Musawa

Sosok ulama Nusantara yang memiliki darah keturunan Nabi ini memiliki nama lengkap Muhsin ibn Ali ibn Abdurrahman al-Musawa al-Hadhrami. Beliau lahir pada tanggal 18 Muharram 1323 H/22 Maret 1905 M di Pelembang. Semenjak usia belia, al-Musawa mendapat didikan ilmu-ilmu dasar agama dari ayahnya yaitu Ali ibn Abdurrahman al-Musawa.

Setelah menguasai dasar-dasar ilmu keislaman melalui tarbiyah ayahnya, al-Musawa kemudian melanjutkan studinya ke lembaga pendidikan Islam yang berada di Jambi yaitu Madrasah Nur al-Islam. Sembari belajar di lembaga tersebut, ia juga mondok di pesantren tertua di Jambi yaitu Pesantren Sa’adah al-Darain. Namun, sebelum masa studi selesai, al-Musawa muda diberi cobaan dengan wafatnya ayahnya pada tahun 1919. Hal tersebut mengakibatkan al-Musawa harus kembali ke Palembang untuk melanjutkan tugas dakwah sepeninggal ayahnya.

Baca juga: Mengenal Muhammad Abduh Pabbajah, Mufasir Nusantara Asal Sulawesi

Dalam buku Ulama-ulama Aswaja Nusantara yang Berpengaruh di Negeri Hijaz karya Amirul Ulum, ia menjelaskan bahwa meskipun sibuk dengan kegiatan dakwah, ia masih menyempatkan diri untuk menimba ilmu di sekolah milik Belanda, seperti Volk School (sekolah dasar), Vervolg (sekolah lanjutan) atau Meer Uietgebreid Leger Orderwijs (MULO). Selain itu, dalam hal ilmu keagamaan, ia belajar lagi kepada Kiai Idrus dan menghafalkan Al-Quran kepada Kiai Syamsudin.

Merasa masih haus akan ilmu agama, Muhsin al-Musawa pun meminta restu kepada ibunya agar diizinkan untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menimba ilmu kepada para ulama Haramain pada tahun 1922. Pada tahun 1923, setelah menunaikan ritual ibadah haji, al-Musawa kemudian masuk di sebuah lembaga pendidikan Islam yang rujukan para ulama Nusantara yaitu Madrasah al-Shaulatiyah. Proses studi di tempat tersebut ditempuh selama 5 tahun hingga tahun 1928.

Sayyid ‘Alawi dalam karyanya Faidh al-Khabir wa Khulashah al-Taqrir menjelaskan bahwa selama di Madrasah al-Shaulatiyah tersebut, al-Musawa belajar kepada ulama-ulama terkemuka di tanah Haramain, seperti Syaikh Hasan ibn Muhammad al-Masyath, Syaikh Dawud ad-Dahan al-Makki, Syaikh Abdullah ibn al-Hasan al-Kuhi, Syaikh Habibullah as-Syinqithi, Syaikh Mahmud ibn Abdurrahman Zuhdi al-Bankuki al-Makki.

Baca juga: Mufasir Indonesia: KH. Mustofa Bisri, Ulama Tafsir Nusantara

Tidak berhenti disitu, al-Musawa kembali ingin melanjutkan belajar agama kepada para ulama terkemuka dunia. Kali ini pelabuhan yang menjadi tujuan rihlah ilmiah al-Musawa adalah kampung halamanya sendiri yaitu tanah seribu wali Hadhramaut, Yaman.

Selama tiga bulan, al-Musawa sibuk mengunjungi halaqah-halaqah ilmiah yang mengkaji berbagai fan keilmuan Islam asuhan oleh para ulama Yaman, seperti halaqah yang ada di daerah Seiwun, dan lain sebagainya. Selain belajar, al-Musawa juga menjalin silaturrahim dengan saudara-saudaranya yang juga sama-sama keturunan Sadah ‘Alawiyyin.

Pada tahun 1929, setelah banyak melakukan pengembaraan ilmiah, al-Musawa kembali ke Makkah dan diminta untuk menjadi pengajar di Madrasah al-Shaulatiyah. Dalam proses mengajar, ia dikenal sebagai sosok pengajar yang dalam penyampaian materinya disampaikan dengan sederhana dan mudah dipahami. Oleh karena itu, tidak heran jika halaqah yang diasuh al-Musawa cukup banyak digemari dan ramai dihadiri oleh para pelajar.

Walaupun sudah menjadi seorang pengajar, al-Musawa tetap belajar dan menghadiri halaqah ilmiah yang diasuh oleh para ulama senior Hijaz, seperti Syaikh Umar ibn Abi Bakar Bajunaid al-Makki, Syaikh Said ibn Muhammad al-Yamani, Syaikh Muhammad Ali ibn Husain al-Maliki al-Makki, Syaikh Khalifah ibn Hamad an-Nabhani, Syaikh Umar Hamdan al-Mahrusi, Syaikh Abdullah ibn Muhammad al-Ghazi al-Makki, Syaikh Abdul Baqi al-Luknawi.

Baca juga: Muhammad al-Ghazali, Mufassir Penggerak Hermeneutika dari Timur Tengah

Pada tanggal 16 Syawwal 1353 H, akibat adanya konflik internal yang menimbulkan ketegangan antara pelajar Nusantara dengan non-Nusantara di Madrasah al-Shaulatiyah, maka para ulama Nusantara bermusyawarah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Para tokoh ulama Nusantara yang ikut bermusyawarah adalah Sayyid Muhsin al-Musawa, Syaikh Zubair ibn Ahmad al-Filfulani, Syaikh Muhaimin ibn Abdul Aziz al-Lasemi, Syaikh Ahmad Manshuri, dan tokoh-tokoh lainya.

Hasil dari musyawarah tersebut menghasilkan sebuah keputusan untuk mendirikan madrasah diniyyah tersendiri yang diberi nama Dar al-Ulum. Dalam hal ini, Muhsin al-Musawa ditunjuk oleh para ulama Nusantara sebagai pimpinan pertama madrasah yang baru berdiri tersebut. Penunjukkan tersebut dilakukan karena al-Musawa dipandang sebagai sosok ulama yang memiliki kapasitas keilmuan Islam yang ‘alim dan lebih menonjol dibanding ulama Nusantara yang lain.

Setelah banyak mengabdikan diri untuk kepentingan umat dan agama, al-Musawa akhirnya wafat pada 10 Jumadi al-Tsani 1354 H/28 September 1935. Ia wafat diusia yang masih cukup muda yaitu sekitar 31 tahun dalam hitungan Hijriyah. Jenazah Muhsin al-Musawa dishalatkan di Masjidil Haram, kemudian dikebumikan di pemakaman Ma’la, Makkah.

Karya tulis Muhsin al-Musawa

Dalam bidang kepenulisan, Muhsin al-Musawa dikenal sebagai sosok ulama yang tekun dalam menulis dan mencatat ilmu-ilmu yang disampaikan oleh guru-gurunya. Bahkan, tatkala ia ingin membeli suatu kitab, namun uang yang harus dibayarkan belum cukup, maka ia dengan senang hati akan menyalin kitab yang tidak mampu dibeli tersebut dengan tulisan tangan sendiri.

Beberapa kitab yang disalin oleh al-Musawa adalah Fath al-Fattah Syarh al-Idhah, Hulul Syarh Jam’ al-Jawami’, Syarh Khalid al-Azhari, dan Hasyiyah al-Syanwani ‘ala al-Minhaj. Kebiasaan dalam menulis tersebut mengakibatkan Muhsin al-Musawa memiliki beberapa karya karangan kitab, mulai dari bidang fikih, ushul fikih, tafsir, faraid, dan lain sebagainya. Beberapa karya tulis tersebut antara lain adalah:

  1. al-Nafhah al-Hasiniyah Syarh al-Tuhfah al-Tsaniyah
  2. Madkhal al-Wushul ila ‘Ilm al-Ushul
  3. Nahj al-Taisir Syarh Mandzumah al-Zamzami fi Ushul al-Tafsir
  4. Jam’ al-Tsamar Ta’liq ‘ala Mandzumah Manazil al-Qamar

Adapun kitab-kitab karya al-Musawa yang belum rampung diselesaikan dan belum dicetak antara lain adalah al-Judad Syarh Mandzumah al-Zubad, Zubdah al-Shalawah ‘ala Khair al-Bariyyat, al-Nushuh al-Jauhariyah fi Ta’arif al-Manthiqiyah, Adillah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah fi Daf’ al-Syubuhat al-Firaq al-Dhallah wa al-Mubtadi’ah, dan al-Rihlal al-’Aliyah ila al-Diyar al-Hadhramiyah li Ziyarah Aslafina al-’Alawiyyah.

Dengan hadirnya deretan karya itu, Muhsin al-Musawa pantas disebut ulama asal Nusantara yang mampu menguasai berbagai bidang keilmuan Islam. Termasuk satu di antaranya, bidang ilmu tafsir, yang terbukti dari bukunya yang berjudul Nahj al-Taisir Syarh Mandzumah al-Zamzami fi Ushul al-Tafsir. Buku yang secara khusus ia rancang untuk bahasan ushul tafsir. Wallahu a’lam.