Beranda blog Halaman 405

Tafsir Surah Yusuf Ayat 5: Ketika Ya’qub Melarang Yusuf Menceritakan Mimpinya

0
Kisah Ya'qub melarang Yusuf menceritakan mimpinya
Kisah Ya'qub melarang Yusuf menceritakan mimpinya

Alasan Ya’qub melarang Yusuf menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya adalah karena mereka akan mencelakai dan membuat tipu daya untuk kebinasaannya. Mereka akan mencelakai Yusuf karena mereka mengetahui arti dari mimpi Yusuf yang telah dicerikatan kepada ayahnya. Peringatan dari Ya’qub ini kemudian menjadi dasar bagi setiap orang agar merahasiakan nikmatnya dari orang-orang yang ditakuti akan mencelakainya.

Tafsir Surah Yusuf ayat 5

Penjelasan surah Yusuf ayat 5 ialah tentang bagaimana Ya’qub melarang Yusuf menceritakan mimpinya kepada saudara-saudara. Tak hanya itu, ayat ini juga berisi perintah kepada Yusuf untuk merahasiakan nikmat dari orang yang ditakuti akan mencelakainya. Inilah ayat dan penjelasannya.

قَالَ يَابُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Dia (ayahnya) berkata, “wahai anakku! Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu. Sungguh, setan itu musuh yang jelas bagi manusia”

Baca juga: Kisah Kesabaran Nabi Ya’kub : Tafsir Surat Yusuf ayat 18

Ketika Ya’qub melarang Yusuf untuk menceritakan mimpinya

Pada ayat sebelumnya, telah dijelaskan mimpi Yusuf melihat sebelas Bintang, Matahari dan Bulan bersujud kepadanya. Pada saat itu, Yusuf masih anak kecil yang berumur dua belas tahun dan kemudian Dia mencitakan kepada ayahnya (Ya’qub).

Ketika Yusuf bercerita kepada ayahnya, ayahnya yang tak lain ialah Nabi Ya’qub melarang Yusuf untuk menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya. Ya’qub memberi peringatan dan mencegah agar Ia tidak menceritakan kepada saudara-saudaranya. Kemudian, Ya’qub berkata kepada Yusuf dengan pelan: jika kamu bermimpi sebuah mimpi, jangan ceritakan kepada saudara-saudaramu. sebagaimana Allah telah berfirman:

فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا

“Mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu”

al-Samarqandy dalam Bahr al-Ulum li al-Samarqandy (2/179) mengatakan bahwa  saudara-sauadara Yusuf akan melakukan suatu pekerjaan untuk Yusuf dan mereka akan membuat tipu daya untuk kebinasaanya.

Ya’qub telah mengetahui petunjuk mimpi Yusuf bahwa Allah akan menyampaikan Yusuf pada tingkat hikmah. Allah akan memilihnya untuk tugas kenabian dan Allah akan memberikan nikmat dengan nikmat terbaik seperti yang terjadi pada kedua kakeknya. Maka Ya’qub takut pada kedengkian dan kedzaliman saudara-saudaranya. (al-Zamakhsyary, al-Kasysyaf an Haqaiq Ghawamidh al-Tanzil, 2/444)

Menurut al-Tsa’laby dalam Tafsir al-Tsa’laby (5/198), Saudara-saudara Yusuf akan zalim kepada Yusuf dengan kejahatan-kejahatan serta mereka akan mengelabui Yusuf untuk kebinasaannya karena mereka mengetahui arti dari mimpi Yusuf. Berbeda dengan al-Tsa’laby, menurut al-Baghawy dalam Tafsir al-Baghawy (2/475), alasan saudara-saudara Yusuf mengelabui dan dengki kepadanya karena mereka tidak mengetahui arti dari mimpi Yusuf tersebut.

Baca juga: Anjuran Menjaga Diri Dari Orang Yang Berpikir Buruk: Surat Yusuf Ayat 67

Tipu daya yang dilakukan oleh saudara-saudara Yusuf terjadi karena Yusuf menentang wasiat ayahnya mengenai mimpinya. Yusuf menampakkan mimpinya kepada mereka. Seandainya Yusuf tidak menampakkan mimpinya, maka saudara-saudaranya dekat kepadanya. Sudah pasti bahwa sebab Yusuf menentang wasiat ayahnya Yusuf tidak selamat dari berbagai musibah itu. Pendapat tersebut disampaikan al-Qusyairy dalam tafsirnya Lathaif al-Isyarat (2/66).

Dalil kebolehan menyembunyikan nikmat

Menurut al-Jashshash dalam Ahkam al-Qu’an, tafsir dari surah Yusuf ayat 5 ini adalah asal/dasar bolehnya tidak menampakkan nikmat atau meyimpannya dari orang yang ditakuti kedengkian dan tipu dayanya. adapun perintah Allah untuk menampakkan nikmat adalah:

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hemdaklah engkau nyatakan” (Q.S al-Dhuha: 11)

Baca juga: Teladan Kisah Nabi Yusuf: Meminta Jabatan Boleh Asal Mampu Mendatangkan Kebaikan

Ya’qub melarang Yusuf menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya. Sebab Ya’qub mengetahui arti dari mimpi tersebut dan Ya’qub takut akan kedengkian dan tipu daya yang akan dilakukan oleh saudara-saudanya. Menurut al-Baghawy mereka dengki kepada Yusuf disebabkan mereka mengetahui mimpi Yusuf. Namun menurut al-Tsa’laby justru mereka mengetahui arti dari mimpi Yusuf, maka mereka mencelakainya. Pendapat al-Tsa’laby ini didukung oleh pendapat al-Qusyairy bahwa Yusuf melanggar wasiat ayahnya, sehingga Ia menampakkan mimpinya kepada para saudaranya. Ayat 5 dari surah Yusuf ini juga menjadi dasar kebolehan menyimpan nikmat dari orang-orang yang punya niat dengki dan aniaya. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat Al A’raf ayat 103-105

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Hingga saat ini kita masih akrab dengan kisah Fir’aun yakni seorang raja yang mengaku sebagai Tuhan. Fir’aun hidup pada masa Nabi Musa dan di dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 103-105 ini akan mengisahkan tentang Nabi Musa dan Fir’aun.

Tafsir Surat Al A’raf ayat 103-105, khususnya pada ayat 103 disebutkan bahwa sebanyak 130 kali penyebutan nama Nabi Musa dalam Alquran yang mana tidak ada seorang raja atau nabi pun yang disebut sebanyak itu melainkan hanya Nabi Musa. Kisah tentang Nabi Musa ini kebanyakan terdapat dalam surat Makiyah dan Tafsir Surat Al A’raf ayat 103-105 merupakan surat Makiyah.


Baca Tafsir Sebelumnya: Tafsir Surat Al A’raf ayat 101-102


Ayat 103

Kisah Nabi Musa as dalam Al-Qur’an kebanyakan terdapat dalam surah Makiyah, baik Surah-Surah yang panjang maupun yang pendek, dimulai dari Surah al-A’raf yang merupakan Surah Makiyah pertama menurut susunan surah-surah Al-Qur’an, dimana terdapat kisah Nabi Musa as. Kemudian terdapat pula Surah Taha, Asy-Syu’ara, An-Naml, Al-Qashash, Yunus, Hud dan Al-Mu’minun.

Nama Nabi Musa as seringkali disebut dalam Al-Qur’an lebih dari 130 kali, tidak ada seorang pun Nabi lainnya, ataupun raja-raja yang namanya disebut sebanyak itu dalam Al-Qur’an. Hal ini disebabkan antara lain karena kisah Nabi Musa sangat mirip dengan kisah Nabi Muhammad. Selain itu, kedua Nabi ini mempunyai umat yang besar jumlahnya, yang memiliki kekuasaan dan kemajuan peradaban yang tinggi.

Nabi Musa as adalah putera Imran. Ia berkebangsaan Israil, dilahirkan di Mesir, ketika Bani Israil menetap di negeri Mesir, dimasa kekuasaan raja-raja Fir’aun.

Dalam ayat ini, Allah menceritakan bahwa setelah mengutus rasul-rasul-Nya yang tersebut dalam ayat-ayat terdahulu, maka Dia mengutus Nabi Musa as dengan membawa ayat-ayat-Nya kepada Fir’aun  dan pemuka-pemukanya. Fir’aun  adalah gelar yang dipakai oleh raja-raja di Mesir, pada masa dahulu kala, sebagaimana gelar “Kisra” bagi raja-raja Persia dan gelar “Kaisar” bagi raja-raja Romawi.

Fir’aun  yang memerintah di Mesir pada masa Nabi Musa, bernama Minepthah  Ramses II. Ia seorang penguasa dinasti kesembilan belas, sekitar tahun 1491 SM. Mumi (mayat) Minepthah masih ada sampai sekarang dan disimpan di Museum Nasional Mesir, Kairo.

Disebutkan dalam ayat ini, bahwa Fir’aun  bersama pemuka-pemukanya telah kafir terhadap ayat-ayat Allah yang dibawa oleh Nabi Musa as kepada mereka. Ayat-ayat atau mukjizat yang dibawa Musa as kepada mereka, tetap mereka tolak dengan sikap angkuh dan sombong. Fir’aun  dan para pemuka kaumnya telah memperbudak rakyatnya.

Lebih-lebih terhadap Bani Israil yang merupakan orang asing yang tinggal di Mesir ketika itu, dibawah cengkeraman kekuasaan yang zalim dari Fir’aun  dan para pemukanya.

Andaikata Fir’aun  dan para pemukanya itu beriman kepada Nabi Musa dan agama yang dibawanya, niscaya seluruh penduduk negeri Mesir ketika itu tentulah beriman pula, sebab mereka itu semuanya berada dalam genggaman kekuasaan Fir’aun  dan para pembesarnya.

Karena keingkaran Fir’aun  dan para pembesarnya, maka pada akhir ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad beserta umatnya untuk memperhatikan bagaimana akibat orang-orang yang ingkar kepada rasul-rasul-Nya, serta berbuat kerusakan di bumi, yaitu dengan berbuat kezaliman serta memperbudak sesama manusia.

Allah akan menceritakan dalam ayat selanjutnya bagaimana Nabi Musa sebagai salah seorang dari Bani Israil yang tertindas dan akhirnya dapat mengalahkan ahli-pesihir Fir’aun serta meyakinkan para ulamanya tentang kebenaran risalah yang dibawanya.

Bani Israil adalah keturunan Nabi Ya’qub yang bernama Israil. Nabi Ya’qub berasal dari Kan’an (Palestina). Dia pindah ke Mesir bersama keluarga dan putera-puteranya setelah diajak oleh puteranya, yaitu Nabi Yusuf untuk pindah ke negeri Mesir. Nabi Yusuf pada waktu itu diangkat oleh Raja Mesir menjadi penguasa yang mengurus perbekalan negara. Keturunan Nabi Ya’qub kemudian berkembang biak di Mesir, hingga akhirnya menjadi satu bangsa yang besar yang disebut Bani Israil.

Fir’aun  berusaha agar Bani Israil itu tidak terus berkembang-biak, dengan membunuh setiap anak lelaki mereka yang lahir dan membiarkan hidup anak-anak perempuannya. Mereka diwajibkan membayar pajak yang sangat tinggi dan dijadikan sebagai pekerja-pekerja paksa dan berbagai bentuk penindasan dan perbudakan yang lain.

Oleh karena itu, Allah mengutus Nabi Musa untuk membebaskan mereka dari perbudakan Fir’aun  dan membawa mereka keluar dari negeri Mesir. Pertolongan Allah kepada Nabi Musa as selanjutnya, ialah menimpakan azab kepada Fir’aun  dan menyelamatkan kaum Nabi Musa, serta tenggelamnya Fir’aun  dan para pengikutnya dan bala tentaranya di Laut Merah ketika mereka mengejar Nabi Musa dan kaumnya.

Kisah ini mengandung pelajaran yang amat berharga, bahwa hanya dengan kekuatan materiil (kebendaan) tidak menjamin kemenangan bagi seseorang atau satu bangsa. Sebaliknya, umat yang mempunyai keimanan yang teguh kepada Allah, niscaya akan memperoleh pertolongan dari pada-Nya, sehingga umat tersebut akan dapat mengalahkan orang-orang yang hanya bersandar kepada kekuatan materiil saja.

Ayat 104 dan 105

Dalam ayat ini dikisahkan ucapan Musa yang pertama kali disampaikan kepada Fir’aun setelah Allah mengangkatnya sebagai Rasul. Nabi Musa memberitahukan kepada Fir’aun, bahwa dia adalah utusan Allah, Tuhan semesta alam. Pemberitahuan ini berarti bahwa: Musa telah menjalankan tugasnya sebagai nabi Allah, Pencipta dan Penguasa seluruh alam. Karena itu hendaknya Fir’aun menerima keterangan Nabi Musa tersebut dan tidak akan menghalang-halangi tugasnya sebagai Rasul.

Selanjutnya Nabi Musa menambahkan keterangannya, bahwa dia mengatakan yang hak mengenai Allah. Artinya: apa yang dikatakannya bahwa Allah adalah Tuhan Semesta Alam, dan bahwa Dia telah mengutusnya sebagai Rasul adalah hal yang sebenarnya. Ia tidak mengatakan sesuatu yang tidak benar, karena mustahil Allah mengutus orang yang suka berdusta.

Kemudian ditegaskan lagi, bahwa Musa membawa bukti-bukti yang dikaruniakan Allah kepadanya, untuk membuktikan kebenarannya dalam dakwahnya. Dalam ucapan itu, Nabi Musa memakai ungkapan: “Sesungguhnya aku datang kepadamu membawa bukti dari Tuhanmu”. Ini adalah untuk menunjukkan bahwa Fir’aun bukanlah Tuhan, melainkan hanya sekedar hamba Tuhan. Sedang Tuhan yang sebenarnya adalah Allah swt.

Keterangan ini sangat penting artinya, karena Fir’aun yang angkuh itu telah mengaku sebagai Tuhan dan menyuruh rakyatnya menyembah kepadanya. Maka penegasan Nabi Musa ini telah menyangkal kebohongan dan kesombongan Fir’aun, yang telah memposisikan dirinya sebagai Tuhan. selain itu, ungkapan Nabi Musa, juga mengandung arti, bahwa bukti-bukti yang dibawanya adalah karunia Allah bukan dari dirinya sendiri.

Pada akhir ayat ini disebutkan, bahwa setelah mengemukakan keterangan-keterangan tersebut di atas, dan setelah melalui perjuangan yang melelahkan Musa as menuntut kepada Fir’aun agar ia membebaskan Bani Israil dari cengkeraman kekuasaan dan perbudakannya, dan membiarkan mereka pergi bersama Nabi Musa meninggalkan negeri Mesir, kembali ke tanah air mereka di Palestina, agar mereka bebas dan merdeka untuk menyembah Tuhan mereka dan melaksanakan ajarannya.

Tuntutan Nabi Musa tersebut mengandung arti bahwa perbudakan oleh manusia terhadap sesama manusia harus dilenyapkan dan seorang penguasa hendaklah memberikan kebebasan kepada orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya, untuk memeluk agama serta melakukan ibadah menurut kepercayaan masing-masing. Oleh sebab itu, kalau Fir’aun tidak mau beriman kepada Allah janganlah ia menghalangi orang lain untuk beriman dan beribadah menurut keyakinan mereka.

Adalah menarik untuk diperhatikan bahwa ucapan pertama kali dari Nabi Musa as dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai Rasul adalah berbeda dengan ucapan Nabi dan Rasul-rasul sebelumnya, ketika mereka mulai berdakwah, misalnya:

  1. Ucapan pertama dari Nabi Nuh as kepada kaumnya adalah sebagai berikut:

لَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا اِلٰى قَوْمِهٖ فَقَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ اِنِّيْٓ اَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيْمٍ   

“Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia”. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang dahsyat (kiamat). (al-A’raf/7:59);

Ucapan Nabi Hud kepada kaum ‘Ad adalah :

وَاِلٰى عَادٍ اَخَاهُمْ هُوْدًاۗ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ اَفَلَا تَتَّقُوْنَ  

“Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus) Hud, saudara mereka. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa?” (al-A’raf/7: 65)

Dan ucapan Nabi Saleh kepada kaum Tsamud adalah:

وَاِلٰى ثَمُوْدَ اَخَاهُمْ صٰلِحًاۘ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْۗ هٰذِهٖ نَاقَةُ اللّٰهِ لَكُمْ اٰيَةً فَذَرُوْهَا تَأْكُلْ فِيْٓ اَرْضِ اللّٰهِ وَلَا تَمَسُّوْهَا بِسُوْۤءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ    ;

“Dan kepada kaum Samud (Kami utus) saudara mereka Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Ini (seekor) unta betina dari Allah sebagai tanda untukmu. Biarkan ia makan di bumi Allah, janganlah disakiti, nanti akibatnya kamu akan mendapatkan siksaan yang pedih”. ( al-A‘raf/7: 73);

ucapan Nabi Syu’aib kepada kaumnya, penduduk Madyan, adalah:

وَاِلٰى مَدْيَنَ اَخَاهُمْ شُعَيْبًاۗ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ فَاَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيْزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاۤءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَاۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَۚ 

“Dan kepada penduduk Madyan, (Kami utus) Syu’aib, saudara mereka sendiri. Dia berkata,” “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah kamu merugikan sedikit pun. Janganlah kamu berbuat kerusakan  di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu orang beriman”. ( al-A‘raf/7: 85)

Sedang ucapan pertama dari Nabi Musa yang ditujukan kepada Fir’aun adalah:

يٰفِرْعَوْنُ اِنِّيْ رَسُوْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

“Wahai Fir’aun! Sungguh, aku adalah seorang utusan dari Tuhan seluruh  alam.” (al-A’raf/7: 104)

Bila kita bandingkan antara ayat-ayat tersebut nampak perbedaan diantaranya yaitu bahwa: ucapan pertama dari Rasul-rasul sebelum Nabi Musa as yang ditujukan kepada kaum mereka masing-masing adalah berisi seruan kepada agama tauhid, yaitu menyembah Allah semata, dengan alasan bahwa tidak ada tuhan bagi manusia selain Allah.

Sedang ucapan pertama dari Nabi Musa yang  ditujukan kepada Fir’aun adalah berisi pemberitahuan kepadanya bahwa Musa adalah utusan Allah. Dengan demikian, dalam ucapan itu tidak ada seruan yang nyata kepada Fir’aun agar ia menyembah Allah.

Dari sini, dapat diambil kesimpulan atau pengertian sebagai berikut:

  1. Obyek (sasaran) yang utama dari dakwah Musa bukan hanya Fir’aun tetapi termasuk kaumnya sendiri, yaitu Bani Israil. Musa bertugas untuk melepaskan Bani Israil dari perbudakan Fir’aun dan membimbing kaumnya kepada agama yang benar.
  2. Nabi Musa mengenal watak dan kelakuan Fir’aun, Fir’aun tidak saja ingkar kepada Allah, bahkan juga ia menganggap dirinya sebagai tuhan dan menyuruh orang lain untuk menyembahnya. Oleh sebab itu Fir’aun hanya diberi peringatan bahwa tuhan yang sebenarnya bukanlah dia, melainkan Allah Pencipta alam semesta. Karena tidak ada faedahnya untuk mengajak Fir’aun menyembah Allah, ajakan ini pasti tidak akan dihiraukan dan tidak akan diindahkannya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 14-15: Tragedi Pembunuhan Juru Masak Fir’aun


Mengenal Nama-nama Lain Surah Al-Fatihah dan Penjelasan Hadisnya

0
nama lain surah al-fatihah
nama lain surah al-fatihah

Selain Al-Fatihah, surah pertama Al-Quran ini juga memiliki sejumlah nama lain yang penting Anda ketahui. Setidaknya terdapat sebelas nama lain surah Al-Fatihah yang semuanya didasarkan pada penjelasan beberapa riwayat hadis.

Al-Hafizh Abu al-Faraj ‘Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Baghdadi ad-Dimasyqi (w. 795 H), atau yang lebih popular dengan sebutan al-Hafizh Ibnu Rajab, menguraikan kesebelas nama tersebut dalam kitabnya berjudul Tafsir al-Fatihah (h. 33-44). Berikut ini penjelasan ringkas tentang nama-nama itu selengkapnya.

Baca Juga: Inilah Tiga Keutamaan Surat Al Fatihah

Fatihatul-kitab (Pembuka Kitab)

Nama lain surah Al-Fatihah yang pertama yaitu Fatihatul Kitab (Pembuka Kitab). Seorang sahabat bernama ‘Ubadah bin Shamit meriwayatkan hadis yang termaktub dalam kitab Shahihain, yakni Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Bahwa Rasulullah saw. bersabda,

لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Tidak ada salat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul-kitab (surah Alfatihah). (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Hadis ini menjadi dasar pewajiban membaca surah Al-Fatihah ketika salat, sekaligus validasi atas penamaan surah ini dengan Fatihatul-kitab atau al-fatihah. Dalam hal ini, al-Hafizh Ibnu Rajab menyebutkan tiga motif di balik penyematan nama ini.

Pertama, karena surah ini sebagai pembuka bagi surah-surah Al-Quran. Hal itu ditinjau dari aspek urutan penyusunan surah dalam Al-Quran dan juga dari aspek urutan surah Al-Quran yang dibaca dalam salat.

Kedua, karena ungkapan tahmid (alhamdulillahi rabbil-‘aalamiin) pada bagian awal surah ini, menjadi ungkapan pembuka setiap kalam atau perkataan. Terakhir, karena surah Alfatihah merupakan surah yang pertama kali turun dari langit.

Lalu, Imam ats-Tsa’labi (w. 429 H) menambahkan, bahwa alasan dinamakan Faatihatul-kitab lantaran surah ini dimulai dengan ayat pertama berupa basmalah, yang notabene dijadikan pembuka segala perkara baik yang diharap-harap keberkahannya.

Ummul-kitab (Induk/Pokok Kitab)

Nama lain surah Al-Fatihah berikutnya adalah Ummul-kitab (Induk/Pokok Kitab). Dalam Musnad Ahmad dan Sunan Ibnu Majah, disebutkan hadis dari Siti ‘Asiyah;

قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّ صَلَاةٍ لَا يُقْرَأُ فِيهَا بِأُمِّ الْكِتَابِ فَهِيَ خِدَاجٌ

Siti ‘Aisyah berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Setiap salat yang di dalamnya tidak dibacakan Ummul-kitab (surah Alfatihah), maka salat tersebut terbilang minus/kurang’.” (HR. Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah).

Sedangkan dalam Sunan Abu Daud disebutkan hadis lain riwayat Abu Hurairah;

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي

Rasulullah saw. bersabda, “Al-Hamdulillaahi rabbil ‘aalamiin (surah Alfatihah) adalah Ummul-qur’an, Ummul-kitab, dan as-Sab’ul-matsani.” (HR. Imam Abu Daud).

Kedua hadis di atas termasuk di antara hadis-hadis yang mendasari penyematan nama Ummul-kitab terhadap surah ini. Meski menurut Ibnu Rajab, masih ada perdebatan di kalangan para ulama menyangkut penyematan nama ini. Begitu pula dengan alasan yang melatarinya, para ulama juga tidak satu pendapat.

Satu pendapat menengarai alasannya karena surah ini mendahului surah-surah yang lain, sehingga seluruh surah Al-Quran menginduk kepadanya. Sementara pendapat lain mengklaimnya sebagai pangkal kitab suci Al-Quran, karena ayat-ayatnya tergolong muhkamat (jelas kandungan maknanya) yang terbebas dari nasakh.

Pendapat yang kedua tadi berdalil dengan penggalan QS. Ali ‘Imran [3]: 7,

مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ

Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Quran).

Baca Juga: Mengenal Penamaan Surat dalam Al-Quran, Begini Penjelasannya

Ummul-qur’an (Induk/Pokok Al-Quran)

Banyak sekali hadis yang menyebut nama lain surah Al-Fatihah yang satu ini. Antara lain hadis riwayat Abu Hurairah dalam Shahih Muslim (h. 395), dan hadis riwayat ‘Ubadah dalam Shahih Muslim (h. 394).

Ibnu Rajab mengungkapkan banyak ulama yang menyebutkan surah Al-Fatihah dengan nama ini. Namun demikian, ada pula ulama yang kurang suka menyematkan nama ini atas surah Al-Fatihah. Sebut saja contohnya Ibnu Sirin (w. 110 H).

As-Sab’ul-matsani (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang)

Sebetulnya Ibnu Rajab membeberkan penjelasan lumayan panjang perihal nama lain surah Al-Fatihah kali ini. Akan tetapi, pada intinya penggunaan nama ini sebagai sebentuk kekhususan atau keistimewaan surah Alfatihah dibandingkan dengan surah-surah lain.

Sebagaimana potongan akhir hadis riwayat Abu Hurairah yang terhimpun di kitab antologi hadis berjudul al-Jami’ at-Tirmidzi atau lebih kesohor disebut Sunan at-Tirmidzi;

وَإِنَّهَا سَبْعٌ مِنْ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُعْطِيتُهُ

Sesungguhnya dia adalah tujuh (ayat) yang diulang-ulang dan Al-Quran nan agung, yang diberikan padaku. (HR. Imam Tirmidzi).

Al-Qur’anul-‘azhim (Al-Quran yang Agung)

Hadis riwayat Imam Tirmidzi tadi sekaligus menjadi dalil penggunaan nama ini untuk surah Al-Fatihah. Memang Ibnu Rajab menjelaskan nama lain surah Al-Fatihah yang ini secara lebih mendetail pada bagian sub-bab berikutnya.

Tepatnya, pada bahasan tersendiri tentang “berbagai keutamaan dan keistimewaan surah Alfatihah”. Ini mengisyaratkan bahwa penamaan al-Qur’anul-‘azhim terhadap surah Alfatihah adalah representasi akan keunggulan dan keistimewaannya.

Baca Juga: Abu Manshur Al-Khayyat, Pendikte Al-Quran yang Masuk Surga sebab Mengajarkan Al-Fatihah

Ash-Shalat (Salat)

Lagi-lagi Abu Hurairah merawikan hadis qudsi yang tercatat dalam Shahih Muslim;

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

Allah swt. berfirman, “Aku membagi salat (surah Alfatihah) antara Aku dengan hamba-Ku jadi dua bagian, dan hamba-Ku mendapatkan apa yang ia minta. (HR. Imam Muslim).

Surah Alfatihah juga dinamakan salat karena surah ini bertautan erat dengan salat, dan lagi salat menjadi tidak sah jika tanpa disertai bacaan Alfatihah.

Ruqyatul-haqq (Jampi/Mantra yang Benar)

Penamaan lain surah Al-Fatihah dengan ruqyatul-haqq berdasarkan pada dua hadis. Hadis pertama terdapat dalam Shahih Al-Bukhari (h. 2276) dan Shahih Muslim (h. 2201). Sedangkan hadis kedua terdapat dalam Musnad Ahmad (h. 21835, 21836), Sunan Abu Daud (h. 3422, 3898, 3903), al-Kubra an-Nasa’i (h. 7492, 10804), Shahih Ibnu Hibban (h. 6111), dan dalam kitab al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain (I/559).

Suratul-hamdi (Surah al-Hamdu)

Nama ini merupakan penisbatan kepada penggalan awalnya, yaitu ayatnya yang berbunyi alhamdulillahi rabbil-‘aalamiin. Sebagai contohnya hadis dari Siti ‘Aisyah,

قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيرِ وَيَفْتَتِحُ الْقِرَاءَةَ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَيَخْتِمُهَا بِالتَّسْلِيمِ

Siti ‘Aisyah berkata, “Rasulullah saw. mengawali salat dengan takbir (takbiratul ihram), membuka bacaan dengan membaca alhamdulillaahi rabbil-‘aalamiin (surah Alfatihah), dan mengakhirinya dengan salam”. (HR. Imam ad-Darimi).

Asy-Syifa’ (Obat)

Di antara hadis yang menyinggung nama ini adalah yang terdapat pada Sunan ad-Darimi (2/445) dan kitab al-Jaami’ li-Ahkaam al-Qur’an karya Imam al-Qurthubi (1/80).

Al-Wafiyah (Penyempurna)

Penyematan nama ini salah satu dasarnya bersumber dari keterangan salah seorang ahli hadis bernama Sufyan bin ‘Uyainah (w. 198 H). Sebagaimana keterangan Imam ats-Tsa’labi dalam kitabnya, al-Kasyaf wa al-Bayan (1/127).

Al-Asas (Asal/Dasar Segala Sesuatu)

Keterangan tentang nama ini juga disebutkan oleh Imam ats-Tsa’labi dalam al-Kasyaf wa al-Bayan (1/128), yang bersumber dari sahabat bernama Ibnu ‘Abbas.

Demikianlah nama-nama lain surah Al-Fatihah yang disebutkan dalam sejumlah riwayat hadis. Untuk menelaah lebih lanjut mengenai hal ini dan hal lain terkait surah Al-Fatihah, Anda dapat mengakses langsung kitab Ibnu Rajab tersebut.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Tafsir Surat Yasin Ayat 62: Akal Sebagai Tameng dari Godaan Setan

0
Yasin ayat 62
Tafsir Yasin ayat 62

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Allah Swt memerintahkan manusia untuk menyembahnya dan menjauhi setan. Disebutkan pula bahwa setan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Mengapa setan disebut sebagai musuh nyata manusia? Ini alasannya. Berikut tafsir surat Yasin ayat 62:

وَلَقَدْ أَضَلَّ مِنكُمْ جِبِلًّا كَثِيرًا ۖ أَفَلَمْ تَكُونُوا تَعْقِلُونَ

Artinya:

(62) Sesungguhnya setan itu telah menyesatkan sebagian besar di antara kamu, Maka apakah kamu tidak memikirkan?

Disebutkan dalam Tafsir Marah Labid bahwa secara global ayat di atas bermakna, “Sungguh setan telah menyesatkan sebagian besar orang-orang terdahulu dari jalan lurus yang Aku perintahkanmu untuk teguh padanya. Kesesatan  yang diakibatkan setan ini menyebabkan mereka ditimpakan berbagai musibah, maka apakah kamu tidak memikirkannya?”

Ibn ‘Asyur menjelaskan, awal surat Yasin ayat 62 ini terhubung (ma’tuf) dengan ujung dari ayat 60 yang menyatakan bahwa setan adalah musuh nyata manusia. Pada ayat ini diterangkan alasannya, yaitu karena usaha setan menyesatkan manusia dari jalan lurus menuju Allah Swt. Jejak penyesatan yang dilakukan setan terekam jelas dalam sejarah umat terdahulu untuk direnungi generasi berikutnya.

Baca Juga: Mengenal Tafsir Marah Labid, Tafsir Pertama Berbahasa Arab Karya Ulama Nusantara, Syekh Nawawi Al-Bantany

Kata jibillan di sini sebagaimana disebutkan at-Tabari, memiliki tiga varian bacaan. Mayoritas ulama qiraat Madinah dan sebagian ulama Kufah membaca kasrah jim dan ba’ (jibillan). Adapun sebagian ulama Mekah dan mayoritas qari Kufah men-dammah-kan jim dan mematikan ba’ (jublan). Sementara sebagian qari Basrah men-dammah-kan jim dan ba’ tanpa tasydid pada huruf lam (jubulan). At-Tabari sendiri lebih condong pada dua bacaan pertama karena yang paling populer.

At-Tabataba’i menafsirkan kata jibillan dengan jamaah atau sekumpulan orang yang banyak. Sementara menurut Quraish Shihab, jibillan seakar dengan kata jabal yang berarti gunung. Ini mengesankan makna kasar, keras, agung dan mantap. Kata jibillan sendiri di sini menurutnya berarti sekelompok orang yang kuat.

Adapun kata ta’qilun (تعقلون), masih menurut Quraish, berasal dari akar kata ‘aqala (عقل) yang berarti mengikat dan kata ‘iqal (عقال) yang berarti tali. Akal dinamakan demikian karena memiliki potensi mengikat dan menghalangi manusia dari melakukan sesuatu yang buruk atau salah. Ini mengisyaratkan pendayagunaan akal sepatutnya dalam rangka kebaikan dan ketakwaan, bukan untuk kejahatan dan kemaksiatan.

Menurut Hamka, melalui ayat ini Allah seakan-akan hendak mengatakan, “Pernahkan kamu pikirkan bahwa perbuatanmu itu salah? Allah yang memberimu makan lalu setan yang kamu sembah? Allah yang menunjukimu jalan yang lurus, lengkap dengan beratus-ratus rasul dan beribu-ribu nabi, lalu kamu tinggalkan jalan itu dan pergi ke jalan yang masuk semak, rimba, gelap-gulita dan tidak tentu arah?”

Hamka melanjutkan, “Tidakkah kamu pikirkan seruan Allah adalah untuk keselamatanmu, sedangkan ajakan setan semata-mata adalah untuk menyesatkanmu? Tidakkah kamu merenungkan bahwa Allah menyediakan dua tempat; surga dan neraka, lalu Ia memanggilmu supaya masuk ke dalam surga, sementara setan menggeretmu ke dalam neraka? La haula wala quwwata illa billah.

Setan dalam sejarahnya memang mahir dalam menyesatkan manusia. Sejak ia berhasil menyesatkan manusia pertama, yaitu Nabi Adam dan istrinya, ia bersumpah untuk menghabiskan masa hidupnya hanya demi tujuan menjadikan manusia sesat sebagaimana dirinya. Setan hendak mengumpulkan sebanyak mungkin orang yang akan menemaninya kelak di neraka. Nau’zu billah min dzalik.

Baca Juga: Buya Hamka, Mufasir Reformis Indonesia Asal Minangkabau

Oleh karen itu Allah Swt mengajak manusia untuk berpikir dan merenung di ayat ini sebagaimana yang Dia firmankan di banyak ayat dengan beragam diksi. Antara lain, أَفَلَا يَنْظُرُونَ (apakah tidak melihat?), أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ (apakah tidak bertadabbur?), أَفَلَا تَعْقِلُونَ (apakah tidak menggunakan akalnya?), أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ (apakah tidak berpikir?), أَفَلَا تُبْصِرُونَ (apakah tidak melihat?), لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ (supaya mereka paham) dan فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ (adakah yang mau mengambil pelajaran?).

Sekian penjelasan singkat tafsir surat Yasin ayat 62. Pesan utama kiranya yang dapat diambil ialah bahwa hendaknya kita mawas diri dengan bujuk rayu setan. Setan adalah musuh nyata manusia yang selalu berusaha mencelakakannya. Dan bahwa salah satu tameng dari bujuk rayu setan ialah dengan mendayagunakan akal sebaik mungkin. Wallahu a’lam.

Gus Baha dan Dahsyatnya Ayat Kursi yang Tidak Banyak Orang Tahu

0
Dahsyatnya Ayat Kursi
Dahsyatnya Ayat Kursi

Ayat kursi merupakan ayat ke 255 surah Al-Baqarah, termasuk golongan surah Madaniyah. Ayat kursi ini sangat populer di kalangan masyarakat luas karena mengandung suatu hal yang sangat agung. Channel youtube Santri Gayeng dalam salah satu kontennya mengunggah Penjelasan Gus Baha’ tentang Dahsyatnya Ayat Kursi.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip riwayat dari Imam Ahmad tentang keagungan ayat ini yang juga menunjukkan tentang dahsyatnya ayat kursi. Di situ diceritakan bahwa Ubai bin Ka’ab pernah ditanya oleh Rasulullah Saw,Apakah ayat yang paling agung dalam kitab Allah?” “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui,” ujar Ubay bin Ka’ab. Maka Nabi mengulang-ulang pertanyaan tersebut, hingga Ubay bin Ka’ab menjawab “ayat kursi” lalu Rasul berkomentar “Engkau akan dilelahkan oleh ilmu, hai Abu Mundzir. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya ayat kursi itu mempunyai satu lidah dan dua bibir yang senantiasa menyucikan al-Malik (Allah) di sisi tiang ‘Arsy”.

Tafsir Ayat Kursi:

اَللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ اَلْحَيُّ الْقَيُّوْمُ ەۚ لَا تَأْخُذُهٗ سِنَةٌ وَّلَا نَوْمٌۗ  لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهٗٓ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْۚ وَلَا يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهٖٓ اِلَّا بِمَا شَاۤءَۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَۚ وَلَا يَـُٔوْدُهٗ حِفْظُهُمَاۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ

Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Maha hidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Mahatinggi, Mahabesar.

Ayat yang juga disebut dengan Sayyidat Ay Al-Qur’an ini terdiri dari 10 kalimat dahsyat, semuanya berbicara tentang sifat Allah. Ini juga yang membuat dahsyatnya ayat kursi.

Gus Baha’ dalam pengajiannya tersebut mengulas sepuluh kalimat ini. Pertama, اَللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُو (Allah, tidak ada Tuhan kecuali Dia), hanya Allah Tuhan Tunggal bagi makhlukNya. Hal ini meniadakan siapapun selain Allah yang mengaku atau diaku sebagai Tuhan semesta alam.

Kedua, اَلْحَيُّ الْقَيُّوْمُ (Yang Maha hidup, Yang Berdiri Sendiri). Dua sifat ini yang membedakan Allah dengan tuhan lainnya. Jika tuhan yang lain itu bisa mati, maka tidak dengan Allah, Ia Maham Hidup dan Kekal. Bayangkan jika sampai Allah mati, ini yang ditakutkan seorang mukmin. Dua sifat ini menjadi penegasan sekaligus penenang bagi orang mukmin bahwa Tuhan selalu Hidup dan tidak bergantung ke dzat lainnya, percuma hidup jika masih bergantung pada lainnya, Ia berdiri sendiri.

Ketiga, لَا تَأْخُذُهٗ سِنَةٌ وَّلَا نَوْمٌۗ (tidak mengantuk dan tidak tidur). Ini menunjukkan kepedulian Tuhan kepada hambaNya, akhirnya manusia itu nyaman mempunyai Tuhan yang spesial selalu menjaga dan mempedulikan manusia karena tidak mengantuk apalagi tidur.

Keempat,  لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ(Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi) Ini sangat keren, luar biasa karena alam raya milik Dzat yang tidak membutuhkan apapun, Ia yang menciptakan, memiliki, namun tidak ikut menggunakan, bahkan butuh pun tidak, seumpama milik manusia tentu sudah menjadi bisnis semuanya. Allah membuat semuanya untuk digunakan oleh makhlukNya, padahal sebagai manusia kita tidak membantu (membuatnya) apalagi memiliki.

Kelima, مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهٗٓ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ (Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya) ketika Allah itu adalah segalanya maka ini merupakan bagian dari keagungan, keesaan dan keperkasaan Allah, sebab otoritas yang ada di langit maupun di bumi itu hanyalah Allah yang memiliki, tidak ada yang dapat memberikan syafa’at kepada orang lain kecuali atas izinNya.

Keenam, يَعْلَمُ مَا بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْۚ (Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka) dan Allah mengetahui apa yang ada disekitar kita untuk membantu dan memperhatikan kita. Sebagai manusia kita senang bermain di bawah pengawasan Allah dan nyaman diperhatikan oleh Allah.

Ketujuh, وَلَا يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهٖٓ اِلَّا بِمَا شَاۤءَۚ (dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki), tidak ada yang diketahui oleh makhluk-Nya kecuali atas kehendaknya. Segala apapun yang berada pada diri kita itu adalah pemberian Allah, termasuk juga ilmu sebab status kita makhluk dan statusnya Allah adalah khaliq. Manusia sebagai penerima dan Allah sebagai pemberi.

Kedelapan, وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَۚ (Kursi-Nya meliputi langit dan bumi) kursinya Allah itu menduduki langit dan bumi. Kesembilan,وَلَا يَـُٔوْدُهٗ حِفْظُهُمَاۚ  (Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya), Allah tidak pernah lelah mengurus besarnya alam semesta ini hal ini berbeda dengan ciptaan-Nya yang sedikit saja, sudah merasakan lelah. Kesepuluh,وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ dan Allah Maha Tinggi dan Maha Besar.

Bacaan sebelum tidur hingga doa agar merasa aman

Dalam pengajiannya tersebut, kiai yang bernama lengkap KH. Bahaudin Nursalim ini juga mengisahkan bahwa setiap sebelum tidur beliau harus membaca ayat kursi, jika tidak maka beliau akan kesulitan untuk tidur dan tidak merasa tenang. Seperti ini ia contoh dari rutinitas Rasul ketika sebelum tidur.

Selain itu, ketika perjalanan kemudian saat beristirahat, makan sejenak di warung makan yang di situ ada tulisan ayat kursinya, maka Gus Baha’ juga akan merasa aman karena insha Allah dengan barakah ayat kursi tersebut pemilik warung terjaga dari perbuatan yang dilarang oleh Allah, seperti mengolah makanan yang haram untuk dikonsumsi oleh umat Islam dan semacamnya.

Keistimewaan lain dari ayat kursi yang juga disinggung adalah kandungannya, mulai dari awal hingga akhir ayat semuanya menerangkan tentang Dzat Allah, sementara hal ini tidak ditemukan dalam ayat-ayat yang lain yang menerangkan hak kita sebagai manusia. Oleh sebab itu, Nabi selalu membaca ayat ini dimana-mana. Inilah dahsyatnya ayat kursi

Sebagian kiai di Indonesia mencoba menyontohnya dengan membuat metode menghafal ayat kursi, salah satunya dengan diselipkan ke dalam bacaan tahlil yang kemudian membacanya bersama-sama. Tujuannya tidak lain untuk memasyarakatkan dan membiasakan ayat kursi untuk dibaca, namun sayangnya terdapat kelompok yang membid’ahkan bacaan tahlil, bahkan mengkafirkan pembacanya. Meskipun demikian ayat kursi akan tetap mulia dan tetap dahsyat dengan caranya sendiri. Wallahu a’lam

Tafsir Surat Al A’raf ayat 101-102

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Sebagaimana logam yang ketika panas diukir sehingga setelah kering ukirannya itu tak akan dapat dirubah kembali begitulah perumpamaan hati orang-orang kafir dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 101-102.

selain itu Tafsir Surat Al A’raf ayat 101-102 ini juga ditegaskan bahwa umat terdahulu itu merupakan orang yang tidak suka menepati janji dan juga fasik. Sedangkan sejatinya janji tersebut ialah fitrah asli yang diberikan Allah kepada setiap manusia untuk kembali menghadap Allah ketika dalam masa sulitnya.

Sehingga dari tafsir Surat Al A’raf ayat 101-102 dapat disimpulkan bahwa tidak semua umat terdahulu merupakan orang yang fasik. Karena ada sebagian dari mereka ketika datang utusan Allah kepadanya maka mereka pun memenuhi fitrahnya sebagai seorang manusia yang membutuhkan Allah. 


Baca Tafsir Sebelumnya: Tafsir Surat Al A’raf ayat 97-100


Ayat 101

Dalam ayat ini Allah mengatakan kepada Nabi Muhammad bahwa Allah menceritakan kepadanya sebagian dari berita-berita mengenai negeri-negeri yang telah dibinasakan-Nya karena tingkah laku penduduknya yang ingkar dan suka berbuat kemaksiatan. Dengan mengetahui kisah tersebut maka Nabi Muhammad tidak akan merasa sedih melihat tingkah laku, keingkaran dan kesombongan umatnya, karena apa yang dialaminya itu telah dialami oleh pada rasul terdahulu. Pola tingkah laku orang-orang kafir dan musyrik itu  sama sepanjang masa, dan Sunnatullah yang berlaku atas mereka juga tidak berubah.

Peristiwa yang menimpa negeri-negeri yang disebutkan itu terjadi pada masa silam, berabad-abad sebelum lahirnya Nabi Muhammad, sehingga baik beliau maupun umatnya tidak mengetahui peristiwa tersebut. Maka Allah mengungkapkan kembali peristiwa-peristiwa tersebut kepada Nabi Muhammad melalui Al-Qur’an agar dapat menjadi pelajaran bagi umatnya.

Selanjutnya dalam ayat ini Allah mengungkapkan bahwa para rasul telah diutus kepada umat-umat yang terdahulu, membawa keterangan-keterangan dan bukti-bukti yang nyata tentang kemahaesaan Allah namun mereka tidak juga mau beriman kepada Allah dan agama-Nya. Mereka tetap ingkar, dan senantiasa dalam kemusyrikan serta melakukan berbagai kemaksiatan.

Sebagian dari mereka mengetahui akan kebenaran yang dibawa oleh para rasul tersebut, namun mereka tetap ingkar. Keingkaran itu memang telah menjadi watak dan tabiat mereka, sedang sebagiannya lagi ingkar karena semata-mata taklid kepada apa yang mereka warisi dari nenek-moyang mereka, tanpa dipikirkan dan diteliti lebih dahulu.

Dalam ayat lain yang senada dengan ayat ini, Allah berfirman:

ثُمَّ بَعَثْنَا مِنْۢ بَعْدِهٖ رُسُلًا اِلٰى قَوْمِهِمْ فَجَاۤءُوْهُمْ بِالْبَيِّنٰتِ فَمَا كَانُوْا لِيُؤْمِنُوْا بِمَا كَذَّبُوْا بِهٖ مِنْ قَبْلُ ۗ كَذٰلِكَ نَطْبَعُ عَلٰى قُلُوْبِ الْمُعْتَدِيْنَ

Kemudian setelah (Nuh), Kami utus beberapa rasul kepada kaum mereka (masing-masing), maka rasul-rasul itu datang kepada mereka dengan membawa keterangan yang jelas, tetapi mereka tidak mau beriman karena mereka dahulu telah (biasa) mendustakannya. Demikianlah Kami mengunci hati orang-orang yaang melampaui batas. (Yunus/10: 74)

Firman Allah selanjutnya menerangkan bahwa Allah mencap hati orang-orang kafir. Kata-kata “mencap” mengingatkan kita pada pembuatan mata uang dan bahan-bahan lainnya dari logam. Barang tersebut dibentuk dan diukir ketika logam sedang dipanaskan, kemudian setelah logam itu dingin dan membeku, tidak bisa lagi dibentuk dan diukir.

Demikianlah perumpamaan hati nurani orang-orang kafir, sudah membeku dan tertutup mati, sehingga mereka tidak bisa lagi menerima pelajaran dan nasihat apa pun yang dikemukakan kepada mereka. Mereka tidak mau menerima agama yang dibawa para rasul, yang menyeru kepada akidah tauhid dan menyembah Allah semata-mata, betapa pun jelasnya keterangan dan bukti-bukti serta alasan dan dalil-dalil yang diberikan kepada mereka.

Ayat 102

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah mendapati kebanyakan umat-umat terdahulu tidak suka menepati janji, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.

Mengenai “janji” yang dimaksud dalam ayat ini, ada beberapa penafsiran para ulama. Di antaranya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan janji tersebut ialah fitrah asli yang diberikan Allah kepada setiap insan, yaitu kecenderungan yang mendorong manusia untuk kembali kepada Tuhannya pada waktu ia menghadapi kesulitan; atau bersyukur kepada-Nya pada waktu terhindar dari kesulitan atau memperoleh kesenangan hidup.

Akan tetapi mereka tetap dalam keingkaran dan kemaksiatan. Sebaliknya, kenikmatan dan kelapangan hidup tidak pula mendorong mereka untuk bersyukur kepada Allah, bahkan mereka tidak mengakui nikmat tersebut sebagai karunia dan rahmat daripada-Nya.

Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “janji” dalam ayat tersebut ialah sifat yang asli atau fitrah yang diberikan Allah kepada setiap manusia, yaitu kecenderungan kepada kepercayaan tauhid, iman kepada kemahaesaan-Nya dan hanya menyembah kepada-Nya, serta tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun juga. Akan tetapi kenyataannya, mereka telah meninggalkan fitrah, dan melemparkan kepercayaan tauhid, bahkan mempersekutukan Allah, tanpa menghiraukan seruan-seruan para rasul serta keterangan-keterangan dan bukti-bukti yang dikemukakan.

Mereka hanya menuruti kehendak hawa nafsu, serta bisikan setan belaka, bertentangan dengan fitrahnya yang suci. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda:

َيقُوْلُ اللهُ ِانِّى خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ فَجَاءَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ َوحَرَّمْتُ عَلَيْهِمْ مَا اَحْلَلْتُ لَهُمْ (رواه مسلم)

Allah swt berfirman: “Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku beragama tauhid; kemudian datanglah setan lalu memalingkan mereka dari agama semula, serta mengharamkan kepada mereka apa-apa yang telah dihalalkan bagi mereka”. (Riwayat Muslim);

Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, Rasulullaah saw bersabda:

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَوْيُنَصِّرَانِهِ اَوْيُمَجِّسَانِهِ (رواه البخارى ومسلم)

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kemudian ibu-bapaknyalah yang menjadikan ia seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian jelas apabila manusia telah menyimpang dari kepercayaan tauhid, maka hal itu adalah disebabkan pengaruh dari luar, bukan fitrah yang dibawa dari kandungan ibunya, yang dikaruniakan Allah pada setiap insan.

Adapun sifat fasik yang disebut dalam ayat ini ialah seseorang melakukan berbagai maksiat secara berulang-ulang, tanpa menghiraukan nasihat dan ajaran agama serta hukum dan ancamannya.

Perlu diperhatikan bahwa firman Allah dalam ayat ini mengatakan bahwa kebanyakan mereka itu fasik. Ini memberi pengertian bahwa umat-umat yang terdahulu itu tidak semuanya fasik dan meninggalkan kepercayaan tauhid yang merupakan fitrah suci yang dikaruniakan Allah kepada setiap hamba-Nya.

Bahkan sebagian dari mereka tetap dalam fitrah sucinya, sehingga kedatangan para rasul yang membawa agama tauhid segera mereka sambut dengan baik, dan mereka senantiasa menjauhkan diri dari segala macam kemaksiatan dan kemusyrikan. Mereka inilah yang senantiasa mendampingi para rasul dalam menghadapi ancaman dan gangguan dari orang-orang kafir, dan mereka pulalah yang selalu diselamatkan Allah bersama Rasul-Nya dari azab dan malapetaka yang ditimpakan kepada kaum yang fasik itu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Surat Ar-Rum [30] Ayat 30: Mengesakan Allah SWT adalah Fitrah Manusia


 

5 Keutamaan Surah Ad-Dukhan Menurut Riwayat Hadis dan Tafsir

0
Surah Ad-Dukhan
Surah Ad-Dukhan

Al-Qur’an mencatat Surah Ad-Dukhan merupakan surat urutan ke 44 yang berisi 59 ayat dan tergolong surat Makkiyah. Surah yang mempunyai arti asap ini berisi tentang ancaman kaum musyrikin di masa lalu dengan tanah yang tandus membuat mereka kelaparan. Sehingga seakan-akan seperti ruang terbuka dan terlihat asap keluar.

Dukhan (Asap) Sebagai Tanda Kiamat Besar

Kata Dukhan yang bermakna asap itu ada dalam nyata bukan khayalan semata. Telah tertuang dalam QS. Ad-Dukhon [44]: 10

فَٱرۡتَقِبۡ يَوۡمَ تَأۡتِي ٱلسَّمَآءُ بِدُخَانٖ مُّبِينٖ

Artinya: “Maka tunggulah pada hari ketika langit membawa kabut yang tampak jelas.”

Telah dijelaskan oleh Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya mengenai ayat tersebut, bahwa Ad-Dukhan diklasifikasikan menjadi 3 bagian; Pertama, Ad-Dukhan adalah salah satu tanda hari kiamat yang belum terjadi, pendapat demikian sejalan dengan Ali, Ibnu Abbas, Ibnu ‘Amr, Abu Hurairah, Zaid bin Ali, Al-Hasan, dan Ibnu Abi Mulaikah.

Baca Juga: Inilah Empat Keutamaan Surat Al Ikhlas

Kedua, Ad-Dukhan adalah khayalan yang menimpa kaum Quraisy ketika mereka mengalami kelaparan ekstrim atas do’a Rasulullah. Sehingga orang-orang ketika itu seperti melihat dukhon (asap) di antara langit dan bumi, pendapat Ibnu Mas’ud.

Ketiga, Ad-Dukhan adalah debu yang mengepul di hari Fathu Mekkah, sehingga menutupi langit, sejalan dengan pendapat Abdurrahman Al-A’raj. Dan keterangan ini pun dilanjutkan dalam ayat berikutnya QS. Ad-Dukhon [44]: 11 sebagaimana keterangan dari Ibnu Katsir,

Kabut itu meliputi manusia.” Maksudnya, meliputi dari keseluruhan mereka dan menimpa manusia pada umumnya. Jika seandainya yang dimaksud  dukhan itu hanyalah asap khayalan yang menimpa kaum musyrikin, maka tentu tidak akan disebut dengan meliputi manusia. (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7, hlm. 249-250)

Dibalik Keutamaan Surah Ad-Dukhan

Beberapa ulama’ menerangkan perihal keutamaan dan keistimewaan yang terdapat dalam Surah Ad-Dukhon dimana tercantum dari berbagai hadits yang memuatnya, diantaranya sebagai berikut,

Pertama, dinikahkan dengan bidadari surga yang bagus matanya bagi yang membaca Surah Ad-Dukhon, sebagaimana dalam hadits. Dari Abi Rafi’, ia berkata, “Siapa yang membaca Surah Ad-Dukhan pada malam jum’at, maka pada waktu subuh ia telah diampuni segala dosanya, dan dinikahkan dengan salah satu bidadari-bidadari yang bermata indah.” (HR. Ad-Daraimi)

Kedua, tujuh puluh ribu malaikat memintakan ampunan bagi yang membaca Surah Ad-Dukhan. Sebagaimana hadits Nabi menerangkan, dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang membaca Hamim Ad-Dukhon di malam hari, maka di pagi harinya tujuh puluh ribu malaikat memintakan ampun untuknya.” (HR. At-Tirmidzi)

Ketiga, dibangunkan rumah di surga. Dari Abu Umamah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Siapa yang membaca Hamim Ad-Dukhan di malam jum’at atau di hari jum’at, maka Allah akan membangunkannya rumah di surga.” (HR. At-Thabrani)

Keempat, membaca Surah Ad-Dukhan dapat membawa seseorang terlihat semakin bercahaya dan penuh wibawa. Kondisi ini dapat membuat seseorang menjadi lebih dihormati dan disegani oleh setiap kalangan sekitarnya. Dalam sebuah hadits disebutkan,

“Tergolong orang-orang yang hebat dalam membaca Surah Ad-Dukhan akan selalu ditemani para malaikat pencatat yang paling dimuliakan dan taat kepada Allah SWT, dan adapaun orang yang terbata-bata membaca Surah Ad-Dukhon lalu bersusah payah untuk mempelajarinya maka dia akan mendapatkan dua kali pahala” (HR. Bukhari).

Baca Juga: Keutamaan Surat Yasin Dalam Tradisi Masyarakat Muslim Indonesia

Kelima, malam yang dimaksud dalam firman Allah SWT. Seperti halnya Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirannya berkaitan dengan QS. Ad-Dukhan [44]: 3-4 bahwa ahli tafsir berbeda pendapat tentang malam ini. Sebagian berkata malam yang dimaksud itu adalah Lailatul Qodar. Qatadah berkata bahwa itu adalah Lailatul Qadar. Sedangkan ulama’ lainnya berpendapat bahwa malam itu adalah malam Nisfhu Sya’ban. Lalu at-Thabari berkata, “ Yang benar adalah pendapat yang mengatakan bahwa malam itu adalah Lailatul Qadar, karena Allah ta’ala mengabarkan bahwa Lailatul Qadar seperti demikian.” (Tafsir Ath-Thabari Juz 11, hlm. 221)

Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, perlu ditelaah dan diterapkan dalam kehidpuan, sebagiamana melihat sisi Surah Ad-Dukhan yang mana berisi sebagai peringatan maupun jika diterapkan dalam kehidupan akan mendapatkan keberkahan dari setiap huruf yang dapat dibaca dan direnungkan. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al-Anbiya’ Ayat 7, Mengapa Menuntut Ilmu Setara dengan Jihad?

0
Tafsir Surat Al-Anbiya’ Ayat 7, Jihad Menuntut Ilmu
Tafsir Surat Al-Anbiya’ Ayat 7, Jihad Menuntut Ilmu

Menuntut ilmu dan mempelajarinya adalah seutama-utamanya jihad. Inilah jihad terbesar dari sekian bentuk term jihad yang ada. Dalam Ta’lim Muta’alim dijelaskan, “satu orang yang berilmu lagi wara’ itu lebih ditakuti syaitan ketimbang seribu orang ahli ibadah tanpa dilandasi ilmu” (fa inna faqihan wa hidan mutawarri’an asyaddu ala syaithani min alfi ‘abidi). Jihad menuntut ilmu sangat penting sampai-sampai Allah swt melukiskannya dalam firman-Nya surat al-Anbiya’ ayat 7:

وَمَآ اَرْسَلْنَا قَبْلَكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

Dan Kami tidak mengutus (rasul-rasul) sebelum engkau (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui. (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 7)

Tafsir Surat Al-Anbiya Ayat 7

Pada penafsiran ayat ini, saya akan memfokuskan pada redaksi kedua yaitu fas-alu ahl al-dzikri in kuntum la ta’lamun, terutama kalimat ahl al-dzikri.

Al-Tabary dalam Jami’ul Bayan menafsirkan ayat tersebut dengan menukil riwayat berikut, “diceritakan Basyar, Yazid, Sa’id dari Qatadah, berkata: “fas-alu ahla dzikri in kuntum la ta’lamun” makna ahl dzikri di sini adalah ahl kitab taurat dan injil” sebagaimana perkataan Abu Ja’far, “Aku telah melihatnya berkata, “mereka mengabarkan bahwa para rasul adalah orang laki-laki yang memakan makanan dan berjalan di pasar.” Dikatakan ahl dzikir yaitu Ahl al-Quran”.

Baca juga: Jejak Manuskrip Al-Qur’an Nusantara dan Problem Penulisan Rasm Imla’i

Senada dengan al-Tabary, Al-Qurtuby juga menafsirkannya demikian. Bahwa ahl dzikri yaitu mereka para ahl taurat dan injil yang beriman kepada Nabi saw. Ibn Zaid berkata, “makna al-dzikri adalah mereka para ahl al-Quran. Jabir al-Ja’fy mengatakan ayat ini turun dimaksudkan kepada ahl dzikr yaitu ahl al-Quran.

Masih tentang al-Qurtuby, ia menampilkan satu fenomena sosial yaitu para ulama seringkali berbeda pendapat dalam fatwanya. Namun, jumhur ulama sepakat bahwa bagi mereka yang tidak memiliki kapasitas untuk menggali hukum atau katakanlah orang awam, sebaiknya mengikuti pendapat (taklid) kepada ulama dan tidak memperbolehkan membuat fatwa sendiri tanpa dilandasi pengetahuan yang mendalam, termasuk juga tentang kehalalan dan keharaman sesuatu.

Lebih dari itu, penafsiran bercorak sufistik juga disumbangkan Al-Qusyairi yakni khitab (obyek yang dimaksud atau tujuan) ayat ini ditujukan kepada seluruh umat, tidak terbatas kaum tertentu. Ahl dzikri dalam konteks ini adalah ulama yang beriman kepada Nabi Muhammad saw. Selain itu, mereka yang paham betul seluk-beluk keilmuan baik agama maupun sains atau boleh dibilang pakar di bidang keilmuannya.

Baca juga: Alam Semesta Juga Menyatakan Patuh Pada Allah: Tafsir Surat Fushilat Ayat 11

Agak berlainan dengan yang lain, bahwa ahl dzikri yaitu mereka para ahli Al-Quran plus ulama khash lagi ma’rifat. Merekalah termasuk ahl dzikri yang disebut dalam ayat ini, demikian penuturan Ismail Haqqi dalam Ruh al-Bayan. Tak mau kalah, al-Razi dalam Tafsir al-Kabir-nya memaknai ahl dzikri yaitu mereka ahl al-kitab yang mengetahui kerasulan Rasul saw.

Jihad Menuntut Ilmu

Mempelajari dan menuntut ilmu merupakan bagian dari jihad. Bahkan bentuk jihad ini mendapat legitimasi dari Al-Quran dan al-Hadits.

من خرج في طلب العلم فهو في سبيل الله هوحتى يرجع

“Barang siapa keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali.” (H.R. Tirmidzi).

Hadits di atas bermakna bagi mereka yang tengah menuntut ilmu, maka status whatsapp-nya on the way surga alias dalam naungan ridha-Nya. Sungguh begitu berartinya jihad dengan ilmu. Di Al-Quran juga terdapat isyarat bahwa kesungguhan dalam melaksanakan kebaikan, termasuk menuntut ilmu termasuk bagian dari jihad sebagaimana dilukiskan oleh-Nya dalam Q.S. al-‘Ankabut [29]: 69, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan-Ku) benar-benar dan pasti akan aku tunjukkan kepada mereka jalan-jalan-Ku”.

Tidak hanya itu, Al-Ghazali melukiskan bahwa jihad atau perjuangan membela agama tanpa didasari ilmu sehingga dilakukan cara-cara yang salah justru mendatangkan kerusakan yang sangat besar bagi agama Islam,

وضرر الشرع ممن ينصره لا بطريقه أكثر من ضرره ممن يطعن فيه بطريقه وهو كما قيل عدووعاقل خير من صديق جاهل

“Bahaya bagi agama yang ditimbulkan dari para pembelanya yang menggunakan cara-cara yang salah lebih besar dibandingkan bahaya yang datang dari pencela agama yang menggunakan cara-cara benar. Ini seperti yang dikatakan, “Musuh yang berakal lebih baik ketimbang teman yang bodoh”.

Ibnu Qayyim al-Jauzi dalam Zad al-Ma’ad justru menempatkan jihad menuntut ilmu sebagai tingkatan pertama jihad melawan hawa nafsu. Bahkan mayoritas ulama, bepergian untuk menuntut ilmu lebih utama ketimbang memanggul senjata atau terlibat peperangan, sebagaimana diturukan Syekh Az-Zarnuji dalam Ta’lim Muta’allim,

ليعلم أن سفر العلم لا يخلوا عن التعب لأن طلب العلم أمر عظيم وهو أفضل من الغزاوة عند أكثر العلماء والأجر على قدر التعب والنصب

“ketahuilah bahwa nyantri (menuntut ilmu) tidak terlepas dari kesulitan, sebab menuntut ilmu merupakan perkara yang agung, ia lebih utama daripada berperang menurut mayoritas ulama, di mana pahala sebanding dengan tingkatan kesulitan dan ketekunan”.

Baca juga: Tafsir Surah At-Taubah Ayat 36: Menanam Amalan di Bulan Rajab

Karenanya, sangat tidak elok apabila sebagian golongan menganggap menuntut ilmu bukanlah bagian dari jihad, kata sahabat Abu Darda’ mereka itu termasuk golongan yang kurang akal dan pikirannya,

من رأى أن الغدو إلى طلب العلم ليس بجهاد فقد نقص في رأيه وعقله

“Barang siapa yang meyakini bahwa berangkat pagi untuk menuntut ilmu bukanlah bagian dari jihad, berarti akal dan pikirannya kurang”.

Dengan demikian, jihad menuntut ilmu menempati posisi yang sangat sentral dalam nomenklatur peradaban. Di era disrupsi dan pandemi, ilmu amatlah dibutuhkan, ilmu keagamaan dalam menyikapi Covid-19, ilmu kesehatan tentang vaksin misalnya, ilmu sains terkait mitigasi bencana, menjaga alam dan menemukan peradaban baru, semua itu sangat penting dalam menjaga keseimbangan dan menopang kehidupan manusia. Wallahu A’lam.

Jejak Manuskrip Al-Qur’an Nusantara dan Problem Penulisan Rasm Imla’i

0
Jejak Manuskrip Al-Qur’an Nusantara dan Problem Penulisan Rasm Imla’i
Jejak Manuskrip Al-Qur’an Nusantara dan Problem Penulisan Rasm Imla’i

Manuskrip Al-Qur’an Nusantara memiliki karakter yang khas, salah satunya dari sisi rasm yang digunakan. Mayoritas manuskrip Al-Qur’an itu ditulis dengan rasm imla’i, bukan rasm usmani. Penerapan rasm ini bisa kita telusuri dari naskah mushaf kuno Nusantara yang tertua dan kini disimpan di Belanda. Mushaf dengan kode MS 96 D 16 dan bertahun 1606 itu ditulis dengan rasm imla’i yang mengedepankan kaidah bahasa Arab, dari pada mengikuti penulisan era Utsman bin Affan.

Perihal penulisan rasm imla’i, mudah sekali kita menilai bahwa mushaf itu tidaklah sempurna. Hal ini didasari pada persepsi bahwa rasm usmani bersifat tawqifi yakni berdasarkan petunjuk Allah dan Rasulullah. Maka, jika tidak ditulis dengan rasm usmani, otomatis mushaf itu dianggap menyalahi ketentuan. Hal ini juga yang kita temui sekarang, nyaris semua mushaf Al-Qur’an yang kita gunakan  bertuliskan bil rasmi al-utsmani (dengan rasm utsmani). Dari persepsi ini kita perlu menggali lagi pendapat para ulama, bagaimana jika mushaf ditulis bukan dengan rasm usmani?

Pertanyaan ini memiliki tiga pendapat, ada yang membolehkan, ada yang melarang, dan ada yang menggunakan keduanya. Ini yang akan kita ulas beserta alasan-alasan yang menyertainya.

Boleh Menggunakan Rasm Imla’i

Pendapat pertama membolehkan penulisan Al-Qur’an dengan rasm imla’i. Hal ini bertujuan agar pembaca Al-Qur’an tidak salah membaca, karena penulisan dengan kaidah bahasa Arab sesuai dengan cara bacanya. Misalnya kata Al-sholaata, rasm imla’i ditulis الصلاة , sementara rasm usmani ditulis الصلوة . Dengan penulisan yang sesuai bacaan itu, penulisan rasm imla’i tidak membingungkan orang awam. Adapun salah satu ulama yang membolehkan penulisan dengan rasm imla’I adalah Syekh Izuddin bin Abd as-Salam dan Ibn Khaldun.

Baca juga: Alam Semesta Juga Menyatakan Patuh Pada Allah: Tafsir Surat Fushilat Ayat 11

Para ulama yang berpendapat ini juga memiliki alasan terkait dalil yang digunakan. Mengutip Kiai Ahsin Sakho Muhammad dalam Membumikan Ulumul Qur’an”, bahwa tidak ada dalil sharih dari Nabi tentang keharusan penulisan rasm tertentu. Pendapat ini dikuatkan oleh Abu Bakar al-Baqillani yang mengatakan, “Siapa saja yang mengharuskan cara penulisan Al-Qur’an rasm tertentu, dia harus mengemukakan dalilnya. Tidak ada dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadis, bahkan ijma’ sahabat untuk itu”.

Harus Ditulis dengan Rasm Usmani

Pendapat kedua mengharuskan penulisan mushaf Al-Qur’an dengan rasm usmani. Seperti yang di awal paparkan, pendapat ini kuat akan persepsi tawqifi. Di antara ulama-ulama yang mengikuti pendapat ini adalah jumhur ulama salaf, dan imam empat (Hambali, Malik, Syafi’i, Hanafi). Mereka menyebut bahwa penulisan mushaf Al-Qur’an harus sesuai dengan al-katbah ula atau tulisan pertama. Kemudian mereka meyakini syarat diterimanya bacaan (qiraat) adalah dengan penulisan rasm usmani.

Mengenai syarat qiraat ini, Kiai Ahsin mengutip ungkapan Ibn Al-Jazari dalam kitab Thayyibat an-Nasyr. “Setiap bacaan (qiraat quraniyah) yang memenuhi tiga rukun, yaitu sesuai dengan kaidah nahwu, sesuai dengan rasm usmani walau mirip, dan sanadnya sahih serta masyhur di kalangan ulama qiraat. Maka bacaan itu dinamakan Al-Qur’an,” tulisnya.

Selain itu, ulama yang berpendapat mushaf harus ditulis dengan rasm usmani berkeinginan untu menjaga keutuhan dan keaslian Al-Qur’an.

Baca juga: Tafsir Surah At-Taubah Ayat 36: Menanam Amalan di Bulan Rajab

Menggunakan Rasm Usmani dan Rasm Imla’i

Pendapat ketiga adalah sikap ulama yang ingin mengakomodir keduanya. Kiai Ahsin cenderung memilih ini. Menurutnya, dalam penulisan mushaf Al-Qur’an harus ditulis dengan rasm usmani. Sementara untuk selain mushaf Al-Qur’an, misalnya kitab, buku pembelajaran atau yang lainnya boleh menuliskan ayat Al-Qur’an dengan rasm imla’i.

Pendapat ini memiliki alasan bahwa untuk menjaga keaslian Al-Qur’an, maka mushaf yang dibaca masyarakat harus ditulis dengan rasm usmani. Selain itu, karena tidak ada dalil yang mengharuskan penulisan rasm usmani, maka penulisan ayat Al-Qur’an di kitab-kitab, atau buku pelajaran lebih cocok ditulis dengan rasm imla’i, karena lebih mudah.

Baca juga: Annabel Gallop, Pakar Mushaf Kuno Nusantara dari Inggris

Dari keragaman pendapat ini, kita kembali pada jejak manuskrip Al-Qur’an Nusantara. Kenyataannya, banyak sekali mushaf kuno yang ditulis dengan rasm imla’i. Masa silam memang belum menggunakan mesin cetak dan mengharuskan penyalinan satu per satu, maka sangat logis jika penulisan rasm yang digunakan adalah rasm imla’i.

Kondisi berbeda setelah Indonesia merdeka. Mushaf kenegaraan pertama yang dibuat di masa Soekarno sudah mulai menggunakan rasm usmani. Saat itu memang mushaf Mesir dengan rasm usmani sudah dicetak dan disebarluaskan di negara-negara muslim lainnya. Lanjut pada tahun 1984 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an telah menetapkan tiga mushaf Standar. Salah satu mushaf inilah yang kemudian menjadi acuan penulisan dengan rasm usmani di Indonesia.

Uraian di atas menunjukkan dialektika ulama tentang penulisan mushaf Al-Qur’an. Adanya pendapat yang beragam menunjukkan semua keputusan memiliki dasar, alasan dan tujuan. Bukan atas dasar kebencian.

Wallahu a’lam[]

Alam Semesta Juga Menyatakan Patuh Pada Allah: Tafsir Surat Fushilat Ayat 11

0
Tafsir Surat Fushilat Ayat 11
Tafsir Surat Fushilat Ayat 11

Tidak hanya manusia yang tunduk kepada Allah SWT, akan tetapi, alam semesta juga tunduk kepada Allah. Ketundukan alam semesta ini bisa dirasakan, bahkan dilihat kasap mata manusia ketika Allah melakukan sesuatu untuk hambaNya yang sedang membangun kemaslahatan dunia. Karena dengan begitu terjalin hubungan persahabatan antara manusia dengan alam semesta. Suka atau tidak, manusia itu harus bersahabat dengan alam karena alam raya adalah tempat manusia hidup untuk menjalankan apa yang diperintahkan Allah. Dalam konteks ini kita bisa meraba kembali kisah pembakaran Nabi Ibrahim yang tertera pada Surat al-Anbiya’ Ayat 68-69. Dan bukti bahwa Allah meminta alam untuk patuh kepadaNya adalah pada surat fushilat Ayat 11, berikut ayatnya:

ثُمَّ ٱسْتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ وَهِىَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ ٱئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَآ أَتَيْنَا طَآئِعِينَ

Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”. (surat Fushilat Ayat 11).

Pada tafsir al-Misbah karya Prof. Quraish Shihab, menuliskan penafsiran ayat di atas adalah, ketika itu kekuasaan Allah tertuju kepada penciptaan langit yang pada saat itu berujud asap, dan langit itu pun tercipta. Penciptaan langit dan bumi menurut kehendak-Nya itu adalah mudah, yaitu seperti orang yang mengatakan kepada sesuatu, “Datanglah, suka atau tidak suka!” Sesuatu itu pun kemudian menurut.”

Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 60-61: Perintah Menaati Allah dan Mendurhakai Setan

Atas kehendak Allah kemudian terbentuklah langit sebagaimana yang sesuai dengan kehendak Allah, hal ini membuktikan bahwa alam semesta berupa langitpun patuh kepada Allah. Dan masih ada bukti kekuasaan Allah lainnya tentang kepatuhan alam semesta kepada Allah SWT. Yakni ketika pada peristiwa pembakaran nabi Ibrahim as, api menyala-nyala, namun Nabi Ibrahim tetap terselamatkan.

Tidak Ada Keraguan, Bahwa Alam Semesta Memang Patuh Kepada Allah

Ayat yang menceritakan tentang peristiwa tragis pembakaran Nabi Ibrahim as,  sungguh benar adanya, dari kisah tersebut kita bisa mengambil benang merahnya bahwa api yang termasuk golongan alam, mampu bersahabat dengan manusia. Sehingga Nabi Ibrahim yang dibakar hidup selama seminggu tidak merasakan panasnya api yang membara. Semua ini terjadi atas kehendak Allah, yang mana api patuh dengan perintah Allah, untuk memberikan perlindungan kepada Nabi Ibrahim.

Berikut kisah pembakaran Nabi Ibrahim yang tertera pada surat al-Anbiya’ ayat 68-69:

قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ (68) قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ (69)

Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak”. Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”

Kitab Taisirul Karimir Rahmani fi Tafsiri Kalamil Manan atau Tafsir As Sa’di karangan Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di menceritakan, ketika itu, orang-orang mengumpulkan kayu bakar yang banyak sekali, sampai-sampai ada seorang wanita yang sakit, lalu ia bernazar bahwa jika ia sembuh dari penyakitnya, ia akan membawakan kayu bakar itu buat membakar Nabi Ibrahim.

Baca juga: Apakah Sebenarnya Makna Jihad Menurut al-Quran? Begini Penjelasannya.

Kayu-kayu bakar itu kemudian dikumpulkan di tanah yang legok dan mereka menyalakannya dengan api sehingga terjadilah api yang sangat besar yang belum pernah ada api sebesar itu. Nyala api itu mengeluarkan percikan-percikan yang sangat besar, dan nyalanya sangat tinggi. Ibrahim dimasukkan ke dalam sebuah alat pelontar batu besar atas saran seorang Badui dari kalangan penduduk negeri Persia berbangsa Kurdi. Menurut Syu’aib Al-Jiba’i, nama lelaki itu adalah Haizan; maka Allah membenamkannya ke dalam bumi, dan ia tenggelam terus ke dalam bumi sampai hari kiamat.

Setelah mereka melemparkan Nabi Ibrahim ke dalam nyala api itu, Nabi Ibrahim pun merasa gentar dan tak henti-hentinya mengucapkan dzikir:

 حسبي الله ونعم الوكيل

(hasbunallah wa nikmal wakiil)

Pada Tafsir Jalalain karya Syeckh Jalaluddin As-suyuti dan Jalaluddin Mahalli menuliskan, bahwa setelah Nabi Ibrahim dilemparkan pada api yang membara, Allah berfirman demikian:

(Kami berfirman, “Hai api! Menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”) maka api itu tidak membakarnya selain pada tali-tali pengikatnya saja dan lenyaplah panas api itu, yang tinggal hanyalah cahayanya saja, hal ini berkat perintah Allah, ‘Salaaman’ yakni menjadi keselamatan bagi Ibrahim, akhirnya Nabi Ibrahim selamat dari kematian karena api itu dingin.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28: Manfaat Ibadah Haji dalam Segi Sosial dan Ekonomi

Jadi seluruh benda alam semesta ini tunduk kepada Allah, patuh kepada kekuasaanNya, berjalan menurut kehendak dan perintahNya. Tidak satu pun makhluk yang mengingkariNya. Semua menjalankan tugas dan perannya masing-masing.

Jadi seluruh makhluk, baik yang berbicara maupun yang tidak, yang hidup maupun yang mati, semuanya tunduk kepada perintah Allah. Semuanya menyucikan Allah dari segala kekurangan dan kelemahan, baik secara keadaan maupun ucapan. Apalagi kita sebagai manusia yang diberikan keistimewaan oleh Allah berupa akal, maka ada baiknya kita bisa merenungkan atas segala fitrahNya, mensyukuri atas segala nikmat Allah, dan tentunya berusaha menjalani perintah Allah tanpa melibatkan keterpaksaan. Wallahu a’lam []