Beranda blog Halaman 405

Tafsir Tarbawi: Inilah Tujuan Pendidikan Islam

0
Tujuan pendidikan Isalm
Tujuan pendidikan Isalm

Salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan Islam adalah tujuannya. Kita tahu bahwa pendidikan Islam hari-hari ini mengalami dentuman keras akibat pandemi Covid-19. Pembelajaran daring pun terpaksa dilakukan agar transfer of knowledge kepada peserta didik tetap berjalan optimal. Padahal, ini bukan karakteristik dari pendidikan Islam. Sebab pendidikan Islam mengandaikan satu pertemuan antara guru dan murid sehingga keduanya memiliki ketersambungan (sanad) ilmu. Sungguh pun demikian, mari kita simak firman Allah dalam Q.S. Taha [20]: 2-4,

مَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لِتَشْقٰٓى ۙ اِلَّا تَذْكِرَةً لِّمَنْ يَّخْشٰى ۙ تَنْزِيْلًا مِّمَّنْ خَلَقَ الْاَرْضَ وَالسَّمٰوٰتِ الْعُلٰى ۗ اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى

“Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah; melainkan sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), diturunkan dari (Allah) yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi” (Q.S. Taha [20]: 2-4)

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Semangat Menuntut Ilmu dari Nabi Musa AS

Tafsir surah Taha ayat 2-5

At-Tabary dalam tafsirnya menafsirkan ayat ini dengan mengutip riwayat sebagai berikut; kami telah mengabarkan kepada Ibnu Wahab dan Ibnu Zaid bahwa yang dimaksud dengan ma anzalna ‘alaikal qur’ana litasyqa ialah bahwa Allah swt telah menurunkan Al-Quran kepada Nabi Muhammad saw beserta sahabat dan pengikutnya agar melainkan sebagai tadzkirah (peringatan) bagi orang yang takut (bertakwa) kepada Allah swt.

Lebih dari itu, para ulama Arab berbeda pendapat terkait penisbatan kata “tadzkirah”. Ulama bahasa dari Basrah berpendapat bahwa tadzkirah merupakan badal dari kata litasyqa, sehingga bermakna tidakkah Kami turunkan Al-Quran melainkan sebagai tadzkirah (peringatan). Berbeda dengan Ulama Basrah, Ulama bahasa Kufah menafsirkan lebih menafsirkan litasyqa ketimbang tadzkirah, dengan tiga term penafsiran, yaitu (1) al-jahd (mengingkari, mendustakan), (2) al-tahqiq (memeriksa, menguji, mempertanyakan), akan tetapi yang tepat adalah takrir (penguatan).

Di samping itu, sebagian ulama memaknainya dengan ‘tidakkah kami menurunkan Al-Quran kepadamu melainkan sebagai peringatan bagi orang yang khusyu’ (bertakwa), bukan untuk kesengsaraan, menderita, dst (li tasyqa)’.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Debat Kompetitif, Metode Efektif dalam Pembelajaran

Senada dengan at-Tabary, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa asbabun nuzul ayat ini yakni Juwaibir telah meriwayatkan dari al-Dhahhak bahwa ketika Allah swt menurunkan Al-Quran ini kepada Nabi saw beserta sahabat dan pengikutnya tidak lain adalah bertujuan agar tidak menjadi susah, alias bahagia hidupnya. Maka turunlah ayat ini sebagai penegasan akan hal tersebut. Karena itu, menurut Ibnu Katsir, melainkan tujuan Al-Quran diturunkan sebagai rahmat sebagaimana lanjutan Surat Taha ayat 3.

Lebih jauh, Ibnu Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir memaknai ayat 2-3 di atas, Sesungguhnya Allah swt tidak menginginkan risalah-Nya dan turunnya Al-Quran untuk menjadikan menderita atau susah. Makna susah di sini adalah tushibuhu al-masyaqqag wa yasyudduhu al-ta’b (tertimpa kesengsaraan dan keletihan yang berarti). Masih menurut Ibnu Asyur, melainkan Al-Quran diturunkan sebagai peringatan bagi orang yang takut kepada Allah swt. Dan makna takut ditujukan kepada orang-orang mukmin yang khusyu’ dan senantiasa berdzikir atau mengingat Al-Quran dalam kehidupannya.

Adapun dalam Tafsir Jalalain ditafsiri dengan Kami tidak menurunkan Al-Quran ini kepadamu wahai Muhammad supaya engkau tidak letih dan payah dikarenakan apa yang engkau kerjalan setelah Al-Quran diturunkan, sehingga mengharuskan engkau mendirikan shalat sepanjang malam tanpa berhenti. Artinya, Nabi Muhammad diminta untuk mengistirahakan dirinya dan segala kegundahannya agar Rasul saw tetap bahagia dan Al-Quran menjadi rahmat untuknya.

Baca juga: Hari Guru Sedunia: Inilah 3 Artikel Serial Tafsir Tarbawi Tentang Guru dan Pendidik

Adapun Ibnu Asyur menafsirkan kata yakhsya dengan shihhah al-din (sehat agamanya). Yang  dimaksud sehat secara agamanya ialah kullu man yufakkiru linnajah fil ‘aqibah (setiap orang yang berpikir sebelum bertindak dan berkata agar selamat dari bencana atau akibat keburukan yang tidak tersadari)

Tujuan pendidikan Islam

Ayat di atas menunjukkan bahwa Al-Quran diturunkan bukan untuk membuat manusia menderita, melainkan rahmat dan kebahagiaan untuk seluruh umat manusia, tak terkecuali umat Islam. Sama halnya pendidikan dapat ditafsirkan dalam konteks ini, yaitu tujuan adanya pendidikan Islam adalah untuk mengoptimalkan potensi peserta didik agar menjadi pribadi yang shalih dan akram. Persoalannya, masih ditemui pendidikan Islam yang berbagai pengajarannya masih konservatif dan monoton apa adanya sehingga peserta didik menjadi bosan.

Jika demikian, tentu ini menyalahi tujuan diturunkannya Al-Quran bahwa Al-Quran – termasuk tujuan pendidikan Islam – diturunkan untuk memberi rahmat dan kebahagiaan bagi manusia. Kurikulum 2013 misalnya, paling tidak tujuan pendidikan Islam tergambar dalam empat kompetensi inti (KI), yaitu spiritual (KI-1), sosial (Ki-2), pengetahuan (KI-3) dan keterampilan (KI-4). Semua aspek itu bertujuan untuk mengimplementasikan pesan ayat di atas. Pendek kata, tujuan pendidikan Islam adalah mengasah ketajaman berpikir, bersikap, memperindah akhlak manusia, serta mampu mendekat kepada Allah swt dengan sedekat-dekat-Nya. Wallahu a’lam[]

Potret Persaudaraan Muhajirin dan Anshar Yang Diabadikan Al-Quran

0
Muhajirin dan Anshar
Ilustrasi Persaudaraan Muhajirin dan Anshar

Ketika hijrah ke Madinah, nabi Muhammad saw melakukan beberapa langkah strategis untuk menstabilkan posisi umat Islam di sana. Beliau memulai dakwahnya dengan mendirikan masjid sebagai pusat peradaban (center of activities), membangun persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar (ukhuwah islamiyah), serta menyatukan masyarakat Madinah yang majemuk (Ar-Rahiq Al-Makhtum).

Dalam upayanya tersebut, Rasulullah saw membuat kontrak sosial dengan segenap masyarakat Madinah atau dikenal sebagai Piagam Madinah (Constitution of Medina). Norma inilah yang nanti menjadi aturan yang harus ditaati oleh setiap penduduk Madinah dalam rangka membangun masyarakat madani. Dengannya, Rasulullah berhasil mempersatukan masyarakat Madinah yang selama itu – dianggap – tidak mungkin dipersatukan.

Tiga fondasi dasar di atas bisa dikatakan sukses, sebab pasca kedatangan nabi Muhammad saw kota Madinah berkembang pesat. Sebagai contoh, persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar juga memperkuat solidaritas dan kohesivitas sosial antar sesama umat Islam. Sehingga, mereka tidak mudah bertikai dan berperang sebagaimana watak Arab Jahiliyah (Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah dan Teladan Muhammad SAW).

Selain itu, kedatangan nabi saw ke Madinah juga membawa dampak positif terhadap ekonomi. Umat Islam bisa membangun kekuatan ekonomi melalui pasar yang dikelola oleh Abdurahman bin Auf dan mampu bersaing dengan pasar-pasar yang sudah ada. Praktik dagang umat Islam yang sesuai dengan anjuran nabi saw sedikit-demi sedikit menghapuskan monopoli dan kecurangan perdagangan yang selama ini terjadi.

Baca Juga: Inilah Alasan Mengapa Umat Islam Harus Mengenal Rasulullah SAW

Bagi umat Islam – mungkin – usaha mempersatukan antara Muhajirin dan Anshar adalah langkah signifikan nabi Muhammad saw yang paling dirasakan oleh mereka. Sebab ini adalah langkah yang berpengaruh terhadap setiap perkembangan dan kemajuan umat Islam di Madinah. Dengan itu, umat Islam menjadi satu kelompok masyarakat yang satu padu dan siap bergerak di bawah komando nabi saw.

Umat Islam saat itu bisa dibaratkan sebagai sebuah bangunan yang terdiri dari berbagai komponen. Setiap komponen menutupi dan menguatkan komponen lainnya. Kaum Muhajirin yang tidak membawa harta sama sekali dibantu oleh kaum Anshar. Sebaliknya, kaum Anshar yang baru mengenal Islam dibantu oleh kaum Muhajirin. Persaudaraan bahkan dikatakan lebih dari persaudaraan yang didasarkan pada ikatan darah.

Surah Al-Hasyr [59] Ayat 9: Kuatnya Persaudaraan Muhajirin dan Anshar

Potret Persaudaraan Muhajirin dan Anshar yang begitu romantis ini diabadikan oleh Allah swt dalam surat al-Hasyr [59] ayat 9 yang berbunyi:

وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُو الدَّارَ وَالْاِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ اِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ اُوْتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۗوَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ ٩

Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr [59]: 9).

Menurut Quraish Shihab, surat al-Hasyr [59] ayat 9 merupakan pujian Allah swt terhadap persaudaraan dan perlakukan Anshar terhadap Muhajirin. Mereka senantiasa mencintai  dan membantu kaum Muhajirin dengan setulus hati, tanpa menginginkan balasan apapun.  Tindakan mereka itu murni karena kecintaan terhadap saudara mereka dan semata-mata mengharap rida Allah swt.

Pada hampir setiap situasi dan kondisi, mereka mengutamakan kepentingan saudara kaum Muhajirin dibandingkan kepentingan mereka sendiri sekalipun mereka memiliki keperluan mendesak. Mereka itulah mukmin sejati dan terpelihara dari kekikiran dirinya dan kekikiran yang melekat pada naluri setiap Insan. Pada akhir ayat ini Allah swt menegaskan bahwa mereka itulah orang-orang beruntung yang akan memperoleh segala yang didambakan (Tafsir Al-Misbah [14]: 115).

Pendapat serupa disampaikan oleh al-Sa’adi. Menurutnya, ayat ini berbicara mengenai kaum Anshar yang mencintai dan senantiasa menolong kaum Muhajirin sebagai bentuk cinta terhadap Allah dan rasul-Nya. Mereka tidak pernah iri dengan apa yang diberikan Allah swt kepada kaum Muhajirin. Mereka juga selalu mendahulukan kepentingan Muhajirin dibandingkan kepentingan mereka. Karena cinta Allah swt – bagi mereka – lebih utama dari keinginan diri (syahwat).

Menurut syekh Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid, surat al-Hasyr [59] ayat 9 turun berkenaan dengan seorang sahabat nabi saw. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa pada suatu malam ada seorang laki-laki yang sedang menerima tamu dan ia ingin menjamunya. Namun ia sama sekali tidak memiliki makanan untuk menjamu tamu tersebut kecuali beberapa makanan yang diperuntukkan bagi anaknya.

Melihat kondisi tersebut, si laki-laki kemudian berkata kepada istrinya, “Tidurkanlah anak kita! lalu ketika hendak menyantap makanan, maka matikanlah lampu dan temanilah tamu kita seraya berpura-pura ikut menikmati hidangan.” Allah swt kemudian menurunkan ayat ini sebagai pujian bagi orang yang mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan dirinya. Dia menyifati orang tersebut sebagai orang yang berhasil atau sukses.

Tingginya solidaritas dan rasa persaudaraan kaum Anshar terhadap Muhajirin membuat mereka tidak segan-segan untuk berbagi, sampai-sampai ada di antara mereka yang bersedia membagi hartanya kepada kaum Muhajirin atau memberi makanan yang semestinya disiapkan untuk anak-anak mereka demi menjamu kaum Muhajirin yang kekurangan dan membutuhkan bahan pangan.

Baca Juga: Pemeliharaan Al-Quran Pada Masa Nabi Muhammad Saw

Sikap kaum Anshar ini Allah swt gambarkan dengan frasa walau kana bihim khashasah, yakni meskipun mereka juga memerlukan. Pada mulanya, Khashasah berarti khashasah al-bayt yakni lubang yang terapat pada satu rumah atau bangunan. Kata ini kemudian juga diartikan sebagai kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi, persis seperti lubang yang tidak berhasil ditutup (kekurangan) (Tafsir Al-Misbah [14]: 118).

Dalam konteks surat al-Hasyr [59] ayat 9, Allah swt memberitahukan kepada kita tentang begitu mulianya tindakan kaum Anshar yang siap sedia memberikan pertolongan kepada Muhajirin berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal meskipun pada saat yang bersamaan mereka kekurangan dan membutuhkan itu semua. Mereka memberi bukan karena memiliki kelebihan, tetapi semata-mata karena mereka mencintai Allah swt dan rasul-Nya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Allah swt memuji mereka – tidak hanya kaum Anshar – yang mau membantu sesama dengan tulus dan ikhlas, tidak mengharapkan apapun kecuali rida Allah swt semata. Ini adalah sikap yang harus dimiliki setiap mukmin, yakni sikap berani berkorban demi kepentingan orang lain secara proporsional. Mereka yang memiliki sikap ini, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Wallahu a’lam.

Menilik Akar Tradisi Tadarus Al-Quran dalam Al-Quran dan Hadis

0
tadarus al-quran
tadarus al-quran

Secara umum, tadarusan biasa diartikan dengan membaca Al-Quran secara bergiliran yang melibatkan dua  pihak (pembaca dan penyimak) dengan mengeraskan suara. Untuk masyarakat sekarang, praktik tadarus Al-Quran sudah tidak asing lagi bagi kita, hal tersebut sudah menjamur di desa-desa, terutama di daerah yang dikenal dengan nuansa pesantrennya. Namun, adakah tradisi ini bersambung hingga Nabi? ataukah memang tradisi ini baru ada setelah Nabi?

Kegiatan berkumpul dalam rangka tadarusan ini merupakan tradisi yang bagus dan mulia. Tradisi ini perlu dijaga dan dilestarikan. Sebab, adanya tradisi ini bisa memperkenalkan Al-Quran kepada masyarakat luas. Terlebih lagi bagi orang yang jarang membacanya. Kegiatan ini biasa dilakukan ketika ada hajatan, dan hampir terdengar setiap hari ketika sudah memasuki bulan Ramadhan.

Baca Juga: Inilah Keutamaan Membaca Al-Quran dengan Tartil

Tadarus Al-Quran dalam referensi teologis

Sebenarnya, tradisi tadarus Al-Quran yang diselenggarakan masyarakat saat ini bukanlah tradisi yang baru. Pada zaman Rasulullah saw dan sahabat, tradisi ini sudah berlangsung. Bahkan, majelis khatmil Qur’an biasa dijadikan sebagai sarana dakwah. Mereka mengisinya dengan doa, wejangan dan nasihat agama.

Imam An-Nawawi, dalam kitabnya, at-Tibyan fi adab hamalat Al-Quran menjelaskannya dalam bab al-idarah bi al-Qur’an (membaca Al-Quran sambung menyambung secara bergantian). Di kitabnya ini ia mendeskripsikan tadarus Al-Quran meski tidak mengistilahkannya dengan sebutan tersebut.

“Yaitu sejumlah orang berkumpul, sebagian dari mereka membaca sepuluh ayat, kemudian diam (menyimak) dan yang lain meneruskan pembacaan, kemudian (ganti) yang lain membaca. Ini adalah boleh dan baik. Imam Malik RA. telah ditanya (perihal tersebut) dan beliau menjawab: ”Tidak ada masalah dengan hal seperti ini” Begitulah Imam An-Nawawi menjelaskan perihal kebaikan dalam tadarusan ini.

Baca Juga: Riwayat Hadis Tentang Perumpamaan Orang yang Membaca Al-Quran

Jika ditelusuri dalam Al-Quran, tradisi tadarus Al-Quran semacam ini terinspirasi dari firman Allah SWT surah Al-A’raf: 204. Semangat membaca dan menyimak Al-Quran (ketika dibaca) dalam ayat ini erat kaitannya dengan kegiatan tadarusan.

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ﴿ ٢٠٤

Artinya: “Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”. (Q. S. Al-A’raf : 204)

Sejalan dengan firman Allah SWT tersebut, Nabi Muhammad SAW juga menjelaskan dalam hadisnya sebagai berikut:

ﻗَﺎﻝَ اﺑْﻦُ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺭَﺿِﻲَ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ “ ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ اﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃَﺟْﻮَﺩَ اﻟﻨَّﺎﺱِ ﺑِﺎﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺃَﺟْﻮَﺩَ ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﻓِﻲ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺣِﻴﻦَ ﻳَﻠْﻘَﺎﻩُ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞُ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ اﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻳَﻠْﻘَﺎﻩُ ﻓِﻲ ﻛُﻞِّ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ ﻣِﻦْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﻓَﻴُﺪَاﺭِﺳُﻪُ اﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻓَﻠَﺮَﺳُﻮﻝُ اﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺣِﻴﻦَ ﻳَﻠْﻘَﺎﻩُ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞُ ﺃَﺟْﻮَﺩُ ﺑِﺎﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻣِﻦْ اﻟﺮِّﻳﺢِ اﻟْﻤُﺮْﺳَﻠَﺔِ “ ﺭﻭاﻩ اﻟﺒﺨﺎﺭﻱ

Artinya : “Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah Saw. adalah paling dermawannya manusia. Kedermawanan beliau paling terlihat ketika Ramadhan saat didatangi oleh Jibril. Ia datang kepada Nabi tiap malam di bulan Ramadhan, kemudian Jibril membacakan (mudarasah) Al-Quran kepada Nabi. Sungguh kedermawanan Nabi dengan kebaikan seperti angin yang berhembus” (HR. Al-Bukhari)

Apa maksud mudarasah dalam hadis diatas? (lagi-lagi) Imam An-Nawawi, ahli hadis dan ahli Fikih Syafiiyah dalam kitabnya yang lain, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab menjelaskan bahwa Ulama Syafi’iyah menganjurkan memperbanyak membaca dan mudarasah Al-Quran di bulan Ramadhan, yaitu seseorang membaca Al-Quran kepada orang lain dan orang lain tersebut membacakan Al-Quran untuknya.

Baca Juga: Mengaplikasikan Metode Tadabbur Saat Membaca Al-Quran dan Langkah-Langkahnya

Gambaran mudarasah dari An-Nawawi ini sangat dekat dengan tradisi tadarus Al-Quran. Saat tadarusan seseorang membaca Al-Quran sekian ayat sementara yang lain mendengarkan dan menyimaknya, setelah itu bergantian seorang yang lain yang membacakan dan yang lainnya juga mendengarkan, begitu seterusnya secara bergantian.

Tadarus Al-Quran, terlebih di bulan Ramadhan merupakan salah satu media menghidupkan bulan Ramadhan, bulan yang mulia dan penuh ampunan, banyak keutamaan dan pahala di bulan tersebut. Sementara dari segi sosial, tadarusan dapat mempererat silaturahim masyarakat. Tentu ini adalah hal baik yang sudah semestinya kita teruskan.

Selain itu, para peserta tadarusan akan dibangga-banggakan Allah SWT kelak di kalangan penduduk langit. Biasanya, setelah tadarusan, hati kita merasakan ketenangan dan ketentraman. Bisa jadi, ketentraman dan kedamaian yang dirasakan ini hasil  hembusan yang ditiupkan para malaikat ke dalam hati-hati kita. Wallahu A’lam

Kisah Mimpi Yusuf Bukan Wahyu: Tafsir Surah Yusuf Ayat 4

0
Kisah Mimpi Yusuf
Kisah Mimpi Yusuf

Kisah mimpi Yusuf bukan wahyu karena waktu itu Yusuf masih kecil belum menjadi seorang Nabi, meskipun mimpi Yusuf benar dan terbukti. Mimpi tidak hanya bunga tidur yang tidak ada artinya bagi sebagian orang. Keabsahan sebuah mimpi juga dialami oleh orang-orang shaleh meskipun bukan seorang Nabi, yakni mimpi itu bukan sebagai wahyu.

Dalam tafsir surah Yusuf ayat 4 ini membahas dua hal. Pertama, mimpi Yusuf bukan wahyu. Kedua, pembagian dan kebenaran sebuah mimpi menurut Rasulullah Saw. Berikut ini penafsiran surah Yusuf ayat 4:

إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَاأَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ (4)

Ingatlah! Ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, wahai ayahku! Sungguh, aku melihat (bermimpi) sebelas Bintang, Matahari dan Bulan: kulihat semuanya sujud kepadaku.

Para mufassir memulai menjelaskan mimpi Yusuf dengan mengawali penjelasan tentang nama Yusuf secara detail. Menurut Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyaf, Yusuf adalah nama yang berasal dari bahasa Ibarani. Menurutnya tidak benar karena kata Yusuf sesungguhnya berasal dari bahasa Arab, dan jika berasal dari bahasa Arab, maka nama tersebut ada bentuk perubahan. Sedangkan kata Yusuf tidak dapat berubah, karena tidak adanya sebab akhir selain bentuk ma’rifah.

Baca juga: Surah Al-Ashr Ayat 1-3: Empat Prinsip Hidup Bagi Orang-Orang Mukmin

Dikutip dari Tafsir al-Tsa’laby bahwa sebagian ulama yang mengatakan bahwa kata Yusuf berasal dari bahasa Arab adalah Abu al-Hasan al-Aqtha’. Menurutnya penamaan Yusuf merupakan persatuan dari al-aasif dan al-asiif. Jika al-aasif memiliki arti sedih, sedangkan al-asiif berarti ‘abd atau hamba sahaya.

Kemudian ada juga ulama yang membaca Yusuf dengan Yusif dan Yusaf. Lantas apakah perubahan bacaan itu, kata Yusuf bisa dikatakan berasal bahasa Arab? Dengan alasan berasal dari bentuk kedua (fi’il mudhari’) dalam bentuk pasif (mabni fa’il atau majhul), apakah tidak dibaca tanwin karena ma’rifah dan wazan al-fi’il?

Al-Zamakhsyary menjawab tidak, karena qira’ah yang masyhur berdasarkan kesaksian (Syahadah), bahwa kata Yusuf adalah a’jamiyah, maka tidak bisa dalam satu waktu bahasa Arab dan a’jamiyah (bukan bahasa Arab) dalam waktu yang lain.

Baca juga: Jawaz al-Amrain: 5 Kondisi Huruf Ra Khusus dalam Ilmu Tajwid

Mimpi Nabi Yusuf Datang Sebelum Menjadi Nabi

Ayat empat dari surah Yusuf ini menjelaskan tentang kebenaran sebuah mimpi meskipun bukan  mimpi seorang Nabi. Al-Jashshas, Ahkam al-Quran li al-Jashshas menjelaskan pada waktu itu Yusuf masih anak kecil, belum menjadi seorang Nabi. Meskipun jamak mufassir yang menafsirkan ayat ini dengan mengutip riwayat Ibn ‘Abbas berikut:

إن رؤيا الأنبياء كانت وحيًا.

Sesungguhnya mimpi para Nabi adalah wahyu. (Abu Ja’far al-Thabary, Jami’ al-Bayan fii Ta’wil al-Quran, 15/554).

Pada kitab Bahr al-Ulum li al-Samarqandy riwayat al-Kaliby, Yusuf bermimpi pada umur 12 tahun, malam Jum’at bertepatan malam seribu malam (laila al-qadr). Dia bermimpi melihat bintang-bintang, Matahari dan rembulan turun dari langit dan bersujud kepada Yusuf.

Selanjutnya Abu Ja’far al-Thabary dalam Jami’ al-Bayan fii Ta’wil al-Quran dari Qatadah: Bintang-bintang adalah saudaranya, Matahari dan Rembulan kedua orang tuanya. Qatadah: pendapat sebagian ahli ilmu menyatakan bahwa Matahari dan Rembulan adalah bapak beserta bibinya.

Riwayat dari Qotadah: Bintang-bintang adalah saudaranya, Matahari dan Rembulan adalah kedua orang tuangnya. Dari riwayat Ibn ‘Abbas: Matahari adalah bapak Yusuf. Bulan melambangkan bibinya dan bintang-gemintang adalah saudaranya.

Ada yang berpendapat Matahari dan Rembulan adalah bapak dan bibi Yusuf, bukan bapak ibunya? Menurut Fakhruddin al-Razy pada Mafatih al-Ghaib sebab pada saat itu ibunda Yusuf telah meninggal. Namun, ada juga ulama yang menafsirkan Matahari dan Rembulan adalah bapak ibu Yusuf, dengan dalil mimpi seorang Nabi adalah wahyu. Akan tetapi pendapat tersebut tidak kuat, sebab pada saat itu Yusuf bukan seorang Nabi.

Baca juga: Mabadi’ Asyrah: Sepuluh Dasar Ilmu Qiraat yang Perlu Diketahui

Tiga Jenis Mimpi Menurut Rasulullah SAW

Rasulullah Saw membagi mimpi menjadi tiga, bisikan jiwa, ketakutan yang bersumber dari setan dan kabar gembira dari Allah Swt. Pembagian mimpi ini ada dalam riwayat Abu Hurairah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الرُّؤْيَا ثَلَاثٌ: فَرُؤْيَا حَقٍّ، وَرُؤْيَا يُحَدِّثُ بِهَا الرَّجُلُ نَفْسَهُ، وَرُؤْيَا تَحْزِينٍ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَمَنْ رَأَى مَا يَكْرَهُ فَلْيَقُمْ فَلْيُصَلِّ

Dari Abu Hurairah, Ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: mimpi itu ada tiga, mimpi yang benar, mimpi yang merupakan bisikan diri sendiri dan mimpi yang merupakan kesedihan dari setan. Maka barang siapa yang bermimpi sesuatu yang tidak dia sukai, bangun dan shalatlah. (H.R. al-Nasa’i dan al-Tirmidzi).

Pertama, mimpi dari bisikan jiwa berasal dari angan-angan, pikiran dan cita-cita yang dialami seseorang sebelum tidur dan memenuhi pikirannya sehingga terbawa tidur. Mimpi pada kategori ini sama dengan teori pemadatan (condensation) dan pemindahan (displacement) yang disampaikan oleh Sigmund Freud. Dalam teori tersebut mimpi merupakan pemenuhan keinginan (wish-fulfillment) yang berasal dari alam bawah sadar yang telah diresepsi.

Kedua, mimpi yang bersumber dari setan. Hal ini mampu menumbuhkan ketakutan dan sedih pada diri manusia. Sehingga mengakibatkan murung, lesu dan kekhawatiran yang terbawa pada saat terjaga. Adapun jenis mimpi mimpi yang terakhir yaitu mimpi yang benar dan memiliki arti yang berasal dari Allah. (Muhamad Arphah Nurhayat, Mimpi Dalam Pandangan Islam, Juni 2006, Th.17, Nomor.1, 65-66).

Mimpi kategori ketiga ini mempunyai banyak istilah di beberapa riwayat hadis, seperti dalam dalam riwayat Ibn Umar berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ جُزْءٌ مِنْ سَبْعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ»

Ibn Umar berkata: Rasulullah Saw bersabda: Mimpi yang benar adalah bagian dari tujuh puluh bagian dari kenabian. (H.R. Muslim)

Banyak ulama menjelaskan bahwa mimpi yang benar (ru’ya al-shalihah) harus mimpi seorang Nabi karena termasuk wahyu sebagaimana penyampaian wahyu saat terjada. Namun menurut al-Marizy bisa saja mempunyai maksud bahwa mimpi itu kabar ghaib, salah satu manfaat kenabian,  tidak hanya sebatas pada kenabian.

Sebab Allah boleh saja mengutus seorang Nabi untuk menjelaskan syariah dan hukumNya, tidak selalu mengabarkan perkara ghaib. Dan hal ini tidak mencederai kenabian  serta tidak mempengaruhi pada tujuan kenabian. Bagian dari kenabian ini merupakan kabar ghaib sehingga apabila terjadi, maka ia adalah benar. (Nawawi, al-Minhaj Syarah Muslim bin al-Hajjaj, 15/22).

Baca juga: 

Kesimpulannya seperti pendapat Fakruddin al-Razy bahwa mimpi Yusuf bukan wahyu, sebab saat itu Yusuf masih umur 12 tahun dan belum menjadi seorang Nabi. Namun mimpi Yusuf benar dan terbukti. Hal ini yang mendukung bahwa seseorang juga bisa bermimpi seperti Yusuf meskipun bukan seorang Nabi. Terlebih Rasulullah Saw telah menyampaikan ada juga mimpi  yang benar, yaitu dengan istilah ru’yah al-shalihah dan ru’yah al-haq.[]

Surah Al-Ashr Ayat 1-3: Empat Prinsip Hidup Bagi Orang-Orang Mukmin

0
Prinsip Hidup
Prinsip Hidup dalam surah al-Ashr

Artikel ini akan menguraikan tentang Surah al-Ashr ayat 1-3 tentang pentingnya waktu. Bagi seorang mukmin waktu adalah modal utama dalam meningkatkan kebaikan dari hari ke hari. Dalam surat ini disebutan beberapa prinsip hidup yang perlu dijadikan pedoman orang-orang mukmin. Allah Swt berfirman:

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, ‎kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan ‎nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat ‎menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S. Al-‘Ashr: 1-3)‎

Nabi Muhammad Saw. mengingatkan, ada dua nikmat besar yang ‎sering diabaikan oleh manusia, yaitu: nikmat sehat, dan nikmat waktu luang. ‎Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim ini ‎menunjukkan betapa pentingnya kedua nikmat tersebut dalam kehidupan ‎kita, yaitu kesehatan dan waktu luang. ‎

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Tata Cara Itikaf, Waktu, Tempat dan Hukumnya

Kita seringkali merasakan betapa nikmatnya kesehatan justru ketika ‎tengah terbaring sakit. Kita juga kerap menganggap betapa pentingnya waktu, ‎justru ketika kita dalam kondisi sempit atau usia telah uzur.‎

Dengan demikian, tepat sekali pesan al-Qur’an dalam surat al-‘Ashr di ‎atas, bahwa demi waktu, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, ‎kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, serta saling menasehati ‎untuk kebenaran dan juga saling menasehati untuk kesabaran.‎

Syekh Nawawi al-Bantani, dalam kitab tafsirnya, Marah Labid ‎menjelaskan bahwa maksud dari kalimat wa al-‘Ashri, adalah bahwa Allah Swt. ‎bersumpah dengan masa atau zaman, di mana di dalamnya terdapat ‎rangkaian peristiwa kehidupan, seperti: lapang dan sempit, sehat dan sakit, ‎kaya dan fakir, senang dan sedih serta beragam kisah kehidupan yang ‎melingkupi setiap manusia. ‎

Dalam menjalani beragam peristiwa dan kisah hidup tersebut, manusia ‎selalu berada dalam kerugian, kecuali mereka yang memegang teguh empat ‎prinsip hidup yang diajarkan al-Qur’an. ‎

Keempat prinsip hidup tersebut adalah: 1) Iman; 2) Amal saleh; 3) ‎Saling menasehati untuk kebenaran; 4) Saling menasehati untuk kesabaran.‎

Ketika menafsirkan makna ‘kerugian’ dalam Q.S. Al-‘Ashr tersebut, ‘Abd ‎al-Karim al-Khathib dalam karyanya Al-Tafsir al-Qur’ani li al-Qur’an ‎menjelaskan bahwa kerugian yang dimaksud adalah kesesatan. Hal ini ‎disebabkan karena ketidaktahuan manusia akan kualitas dirinya (qudrat) ‎yang sesungguhnya, serta keengganannya untuk mencapai posisi (maqam) ‎yang mulia di sisi Allah. Padahal, Allah Swt. sudah menciptakannya dalam ‎bentuk terbaik di antara ciptaan Allah lainnya. ‎

Ironisnya, manusia justru tidak menyadari kualitas serta potensi ‎dirinya. Dia tidak menempuh jalan menuju kemuliaan, malah justru ‎memperturutkan hawa nafsunya, menyejajarkan dirinya dengan binatang, ‎yang hanya mengejar kenikmatan jasmani semata, seperti makan, minum, ‎dan berhubungan seks. Hanya sedikit saja di antara manusia yang memahami ‎hakekat kemanusiaannya, yang mau menempuh jalan untuk menjadi manusia ‎mulia yang tinggi derajatnya di sisi Allah Swt.‎

Untuk mencapai posisi mulia, yaitu manusia dengan derajat yang ‎tinggi di sisi Allah, maka empat prinsip yang sudah disebutkan di atas, yaitu: ‎iman, amal saleh, saling menasehati untuk kebenaran dan kesabaran harus ‎selalu kita pegang teguh.‎

Dua prinsip pertama, yaitu iman dan amal saleh ibarat dua sisi mata ‎uang yang tidak bisa dipisahkan, saling terkait erat satu sama lain. Bukti iman ‎seseorang harus mewujud dalam tindakan nyata sehari-hari. Pun demikian, ‎tindakan serta aktivitas sehari-hari harus selalu didasari oleh keimanan.‎

Adalah omong kosong belaka ketika seseorang mengaku beriman, ‎tetapi tidak ada dampak apa pun dari keimanannya yang tampak dalam ‎aktivitas sehari-harinya. Tidak ada aktivitas positif (amal saleh) yang ‎dilakukannya, serta perilakunya jauh dari nilai-nilai keimanan. ‎

Demikian halnya, kebaikan yang dilakukan seseorang, yang hanya ‎ditujukan untuk mengharap sanjung puji dari orang lain, bukan karena ‎ketulusan hati yang didasari keimanan, maka hal ini juga tidak disebut ‎dengan amal saleh.‎

Intinya, antara iman dan amal harus saling berkait kelindan satu sama ‎lain. Jika keduanya bersinergi dengan baik, maka itulah yang akan ‎menghindarkan seseorang dari kerugian, sebagaimana disebutkan dalam ayat ‎di atas.‎

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat 18:  Intropeksi Diri, Manajemen Waktu, dan Tabungan Kebaikan

Dua prinsip berikutnya adalah saling menasehati untuk kebenaran dan ‎kesabaran. Az-Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kasysyaf menjelaskan bahwa ‎makna wa tawashaw bi al-haqq (menasehati untuk kebenaran) adalah saling ‎menasehati untuk tetap dalam bertauhid kepada Allah, taat kepada-Nya, ‎mengikuti kitab-Nya, meneladani rasul-Nya, zuhud dalam urusan dunia serta ‎semangat dalam urusan akhirat. Sedangkan wa tawashaw bi al-shabr ‎‎(menasehati untuk kesabaran) adalah saling menasehati untuk tetap sabar ‎dalam ketaatan kepada Allah dan dalam menjauhi maksiat kepada-Nya.‎

Keempat prinsip hidup yang dijelaskan Q.S. Al-‘Ashr itulah yang akan ‎menyelamatkan umat manusia dari kerugian.‎ Wallahu A’lam.

Jawaz al-Amrain: 5 Kondisi Huruf Ra Khusus dalam Ilmu Tajwid

0
Jawaz al-Amrain
Jawaz al-Amrain

Setelah mempelajari bacaan tafkhim dan tarqiq dalam ilmu Tajwid, perlu dibahas lebih lanjut dan lebih rinci terkait huruf ra (ر) itu sendiri. Hal ini wajar mengingat huruf r memiliki kondisi-kondisi yang lebih banyak dibandingkan huruf lainnya. Salah satunya adalah Jawaz al-Amrain.

Artikel ini menjelaskan jawaz al-amran atau 5 kondisi khusus huruf ra dalam ilmu Tajwid yang bersumber dari kitab al-Wadhih fi Ahkam at-Tajwid karya Muhammad Isham Muflih al-Qudhat. Selain itu, ditambahkan pula hikmah atau alasan dibalik adanya jawaz al-amrain.

Kondisi huruf ra dalam al-Quran terbagi menjadi 3 macam, yaitu tafkhim, tarqiq, dan jawaz al-amrain. Sebelum membahas secara rinci, perlu dipahami bahwa tafkhim itu adalah bacaan tebal, sedangkan tarqiq adalah bacaan tipis. Hukum ro yang dibahas di sini merupakan bacaan riwayah Hafsh dari Ashim.

Jawaz al-Amrain

Secara bahasa, jawaz al-amrain (جَوَازُ الْاَمْرَيْنِ) terdiri dari dua kata yaitu jawaz yang artinya boleh dan al-amrain yang artinya dua perkara. Yang dimaksud ra dibaca jawaz al-amrain adalah huruf ro boleh dibaca tafkhim atau tarqiq.

Berbeda dengan ro tafkhim yang hanya bisa dibaca tafkhim, maupun ra tarqiq yang dibaca tarqiq saja, ra jawaz al-amrain bisa membaca dengan tafkhim dan tarqiq. Artinya pembaca al-Quran dapat memilih antara keduanya karena sama-sama diperbolehkan.

Ada 5 (lima) ra yang termasuk jawaz al-amrain. Sebagian darinya, ada yang hanya satu saja ditemukan dalam al-Quran dan ada pula yang berulang. Ra nomor 1 dapat dibaca washal maupun waqaf, sedangkan ra lainnya harus dibaca waqaf agar dapat memenuhi syarat jawaz al-amrain.

  1. Ra dalam (فِرْقٍ)

Ra pertama berada pada kata (فِرْقٍ). Ra dalam kata itu bisa dibaca tafkhim karena setelah ra sukun terdapat huruf isti’la. Sedangkan bisa dibaca tarqiq karena huruf isti’la-nya berharakat kasrah dalam keadaan washal sehingga menjadikannya lemah. Kata (فِرْقٍ) hanya ada satu dalam al-Quran, tepatnya Q.S. As-Syu’ara [26]: 63.

فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيْمِ

  1. Ra dalam (مِصْرْ)

Selanjutnya terdapat pada kata (مِصْرْ) tanpa tanwin dimanapun ia berada dalam al-Quran. Ra dalam kata itu bisa dibaca tafkhim dan tarqiq karena adanya huruf isti’la antara ro sukun (sebab waqaf) dan kasrah. Bagi yang menguatkan isti’la-nya, maka ra dibaca tafkhim. Sedangkan bagi yang menguatkan kasrahnya, maka ro dibaca tarqiq. Salah satu contohnya terdapat dalam Q.S. Yusuf [12]: 99.

فَلَمَّا دَخَلُوْا ….. اُدْخُلُوْا مِصْرَ اِنْ شَاءَ اللهُ ءَامِنِيْنَ

  1. Ra dalam (الْقِطْرْ)

Sama seperti sebelumnya, ra dalam kata itu bisa dibaca jawaz al-amrain karena adanya huruf isti’la antara ra sukun (sebab waqaf) dan kasrah. Bagi yang menguatkan isti’la-nya, maka ra dibaca tafkhim. Sebaliknya, bagi yang menguatkan kasrahnya, maka ro dibaca tarqiq. Kata (الْقِطْرْ) hanya ada satu dalam al-Quran yaitu Q.S. Saba [34]: 12.

وَاَسَلْنَالَهُ عَيْنَ الْقِطْرِ

  1. Ra dalam (نُذُرْ)

Kata (نُذُرْ) di dalam al-Quran dapat ditemukan sebanyak 6 kali dan semuanya berada dalam surat al-Qamar. Ra dalam kata itu bisa dibaca tafkhim karena melihat harakat dhammah yang ada sebelum ra sukun (sebab waqaf). Sedangkan ra bisa dibaca tarqiq karena mempertimbangkan huruf ya (ي) yang dibuang karena kata asalnya (ونذري). Berikut salah satu contohnya Q.S. Al-Qamar [54]: 16.

فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِيْ وَنُذُرِ

  1. Ra dalam (يَسْرْ)

Ra dalam kata (يَسْرْ) dan sejenisnya, termasuk (اَسْرْ). Ro dalam kata tersebut dibaca tafkhim karena adanya harakat fathah dan sukun sebelum ro sukun (sebab waqaf). Sedangkan ro bisa dibaca tarqiq karena asal kata itu memiliki huruf ya (ي) yang dibuang. Asal katanya adalah  (يسري). Salah satu contohnya dalam Q.S. Al-Fajr [89]: 4

وَاللَّيْلِ اِذَا يَسْرِ

Demikian penjelasan tentang Jawaz al-Amrain bagi huruf Ro dalam 5 kondisi dalam al-Quran. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Abasa Ayat 33-42

0
tafsir surah abasa
Tafsiralquran.id

Pada pembahasan sebelumnya telah berbicara mengenai aneka nikmat bagi manusia, dalam Tafsir Surah Abasa Ayat 33-42 ini berbicara mengenai hari kiamat. Diawali dengan tiupan yang kedua. Pada hari itu manusia hanya mementingkan dirinya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Abasa Ayat 27-31


Ayat 33

Dalam ayat ini dijelaskan apabila datang hari Kiamat, ketika terdengar suara yang sangat dahsyat yang memekakkan telinga, yaitu tiupan Malaikat Israfil yang kedua kalinya, maka pada hari tersebut terasa kesedihan dan penyesalan bagi seluruh orang-orang yang kafir. Dalam ayat berikutnya diperinci kedahsyatan hari Kiamat itu.

Ayat 34-36

Pada ayat-ayat ini diterangkan bahwa pada hari Kiamat, manusia lari dari saudara, ibu, dan bapaknya, bahkan dari istri dan anak-anaknya. Hal itu disebabkan seluruh pikiran hanya tertuju pada penyelamatan diri dari bencana yang sangat menakutkan, sehingga lupa pada orang tua, saudara, istri, dan anak-anak. Firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَّا يَجْزِيْ وَالِدٌ عَنْ وَّلَدِهٖۖ وَلَا مَوْلُوْدٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَّالِدِهٖ شَيْـًٔاۗ اِنَّ وَعْدَ اللّٰهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَاۗ وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللّٰهِ الْغَرُوْرُ  ٣٣

Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutlah pada hari yang (ketika itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya, dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun. Sungguh, janji Allah pasti benar, maka janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kehidupan dunia, dan jangan sampai kamu terpedaya oleh penipu dalam (menaati) Allah. (Luqman/31: 33)

Ayat 37

Setiap manusia pada hari Kiamat yang dahsyat itu mempunyai urusan masing-masing yang cukup menyibukkannya sehingga tidak sempat memperhatikan orang lain.

Ketika masih di dunia, mereka saling memberikan pertolongan sampai menebus dengan harta bilamana diperlukan, apalagi jika bersangkutan dengan keselamatan anak-anaknya sendiri yang akan meneruskan generasinya yang akan datang atau mengenai kehormatan istrinya, orang yang paling dekat dan paling setia kepadanya.

Akan tetapi pada hari akhirat nanti, tidak ada kesempatan lagi untuk memperhatikan anggota-anggota keluarganya itu karena kedahsyatan pada hari Kiamat yang sangat menyibukkan itu.

Pada hari itu manusia terbagi dua golongan: yang bahagia dan yang celaka, dan terhadap golongan yang pertama dinyatakan dalam ayat berikut ini.


Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 53-54: Hari Penggiringan dan Pengadilan 


Ayat 38-39

Banyak muka orang-orang mukmin pada hari itu berseri-seri dengan penuh kegembiraan karena mereka dapat menyaksikan sendiri apa yang dijanjikan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman ternyata semuanya dapat terlaksana dengan penuh kebahagiaan. Mereka tertawa dan bergembira.

Ayat 40-42

Sebaliknya terhadap golongan kedua dinyatakan bahwa banyak pula muka orang-orang kafir pada hari itu tertutup debu penuh dengan sesal dan kesedihan. Mereka itu ditutup lagi oleh kegelapan karena ditimpa oleh kehinaan dan kesusahan. Mereka itulah orang-orang kafir yang amat durhaka.


Baca setelahnya: Tafsir Surah At Takwir Ayat 1-5

(Tafsir Kemenag)

Mabadi’ Asyrah: Sepuluh Dasar Ilmu Qiraat yang Perlu Diketahui

0
Sepuluh Dasar Ilmu Qiraat
Sepuluh Dasar Ilmu Qiraat

Anjuran mengenal terlebih dahulu mabâdi ‘asyrah yakni sepuluh dasar ilmu qiraat, ilmu yang hendak dipelajari pernah disampaikan oleh seorang sejarawan sekaligus sastrawan bernama Abû al-‘Abbâs Ahmad al-Maqrî at-Tilmisânî (w. 1040 H) penulis kitab Nafh ath-Thayyib fî Ghushn al-Andalus ar-Rathîb melalui gubahan syair dalam sebuah risalahnya, idhâah ad-Dujnah fî I’tiqâd Ahl as-Sunnah:

مَنْ رَامَ فَنًّا فَلْيُقَدِّمْ أَوَّلَا    #    عِلْماً بِحَدِّهِ وَمَوْضُوْعٍ تَلَا

وَوَاضِعٍ وَنِسْبَةٍ وَمَا اسْتَمَدّْ   #   مِنْهُ وَفَضْلِهِ وَحُكْمٍ يُعْتَمَدْ

وَاسْمٌ وَمَا أَفَادَ وَالمَسَائِلِ   #   فَتِلْكَ عَشْرٌ لِلمُنَى وَالسَّائِلِ

وَبَعْضُهُمْ مِنْهَا عَلَى البَعْضِ اقْتَصَرْ # وَمَنْ يَكُنْ يَدْرِي جَمِيْعَهَا انْتَصَرْ

Siapapun yang ingin belajar satu (fann) disiplin ilmu, hendaknya ia mengerti terlebih dahulu definisi dan objek pembahasannya. Pun juga kenal dengan pencetus ilmu itu, sumber dan juga keterkaitannya dengan ilmu lain. Keistimewaan serta hukum mempelajari dan mengajarkannya juga patut diketahui. Sebutan nama dan materi pembahasannya juga tak boleh diabaikan begitu saja. Sepuluh dasar tersebut akan memudahkan tercapainya keinginan menguasai ilmu itu serta memberi gambaran singkat bagi siapapun yang penasaran maupun bertanya. Namun sejumlah pelajar hanya tahu sebagiannya saja. Padahal mengetahui keseluruhan sepuluh itu sangat membantu.        

Baca juga: Ragam Penyebutan Manusia dalam Al-Quran, dari Ins sampai Anam

1. Definisi (Hadd)

Ibnu al-Jazarî (w. 833 H) dalam bukunya Munjid al-Muqriîn mendefinisikan ilmu qirâât dengan ilmu yang mempelajari tata cara mengucapkan lafadz-lafadz Al-Quran serta ragam perbedaannya yang disandarkan kepada perawinya. Definisi ini kemudian dilengkapi oleh Abdul Fattah al-Qâdhî (w. 1403 H/1982 M) dalam bukunya al-Budûr az-Zâhirah, sebagai ilmu untuk mengetahui tata cara pelafalan kalimat Al-Quran serta cara bacanya baik yang disepakati maupun ragam perbedaannya disertai penisbatan setiap varian (wajh) tersebut kepada perawinya.

2. Sasaran atau Objek Pembahasan (Maudhû)

Abdul Fattah al-Qâdhî (w. 1403 H/1982 M) menerangkan bahwa dalam ilmu qirâât objek yang dibahas adalah kata-kata (kalimât) dalam Al-Quran baik secara cara bacanya (adâan) maupun pelafalannya (nuthqan). Lalu objek pembahasan tersebut diperjelas oleh Qadari Muhammad Abdul Wahab dalam kitabnya al-Âdâb wa al-Minah ar-Rabbâniyyah fî Ushûl asy-Syâthibiyyah wa ad-Durrah al-Mudhiyyah dengan menyebutkan beberapa teori. Objek pembahasan ilmu menyasar pada kalimat Al-Quran dari segi cara bacanya seperti qashr, ibdâl dsb.

3. Pencetusnya (Wâdhi’)

Pencetus sebuah disiplin ilmu berarti mereka yang memiliki saham dalam lahirnya ilmu tersebut. Baik yang punya peran meletakkan pondasi maupun yang mengenalkannya secara massif. Para penggagas disiplin ilmu qirâât ini adalah para ulama (imâm-imâm) qirâât yang memiliki jalur tranmisi (riwayat) dari Nabi Muhammad saw.

Sementara ulama yang paling pertama melakukan pengkodifikasian (tadwîn) ilmu qirâât adalah Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Salâm (w. 224 H). Demikian dalam al-Busyrâ fî Taisîr al-Qirâât al-‘Asyr al-Kubrâ karya Muhammad Nabhân bin Husain Mishrî (w. 2015 M). Ada yang berpendapat –disebutkan oleh Muhammad Salim Muhaisin (w. 2001 M) dalam bukunya al-Irsyâdât al-Jaliyyah fî al-Qirâât as-Sab’ min Tharîq asy-Syâthibiyyah– bahwa pencetus ilmu qirâât adalah Hafsh bin ‘Umar ad-Dûrî (w. 246 H).

Baca juga: Warisan Intelektual dari Aljazair: Tafsir Ibnu Badis dan Wacana Reformisme

4. Sebutan Nama (Ism)

Penamaan sebuah disiplin ilmu terkadang memiliki dinamika tersendiri. Terlebih lagi para ulama terdahulu (mutaqaddimîn) pandangannya tak semuanya dan selalu diikuti oleh para generasi penerusnya. Salah satu ilmu yang tidak memiliki banyak nama adalah ilmu Qirâât.

Merujuk kitab al-Âdâb wa al-Minah ar-Rabbâniyyah karya Qadari Muhammad Abdul Wahab, para ulama terdahulu (mutaqaddimîn) ada yang menyebutnya dengan harf seperti mereka katakan qaraa bi harf ‘Âshim (dia membaca dengan qirâah ‘Âshim). Namun saat ini sudah tidak digunakan lagi.

Kata qirâât sendiri merupakan bentuk plural dari kata tunggal qirâah yang artinya satu wajah (varian) cara baca (wajh maqrû bih). Demikian jelas Muhammad Salim Muhaisin (w. 2001 M) dalam kitab al-Irsyâdât al-Jaliyyah. Pemilihan bentuk kata plural (jam’) dalam penamaan disiplin ilmu ini mengindikasikan cara baca (qirâât) Al-Quran itu tidak hanya satu. Namun ada banyak ragam cara baca Al-Quran yang kesemuanya bersumber dari Nabi saw.

5. Hubungan (Nisbah)

Mengetahui hubungan (nisbah) ilmu qirâât ini dengan ilmu lain bertujuan untuk mengerti kedudukan dan urgensi disiplin ilmu ini secara spesifik. Keterkaitannya dengan ilmu-ilmu ke-Al-Quran-an yang lain begitu erat. Varian cara bacanya diakomodasi dalam bentuk tulisan dalam ilmu rasm utsmânî.

Kaitannya dengan ilmu tafsir, ragam cara bacanya yang memberikan banyak opsi makna dalam penafsiran ayat. Kesemua itu disatukan dalam khidmah li alfâzh Al-Qurân (berkhidmah pada Al-Quran) atau dalam bahasa Qadari Muhammad Abdul Wahab min al-‘ulûm asy-syarî’ah. Meski demikian ilmu qirâât mempunyai tabâyun (perbedaan spesifik) dengan ilmu-ilmu lainya.

6. Sumber (Istimdâd)

Merujuk kitab al-Budûr az-Zâhirah karya Abdul Fattah al-Qâdhî (w. 1403 H/1982 M) ilmu qirâât bersumber dari riwayat sahih mutawâtir para perawi Qirâât yang menyambung hingga Nabi Muhammad saw. Kemudian dalam buku kitab al-Âdâb wa al-Minah ar-Rabbâniyyah sumber disiplin ini disederhanakan bahasanya dengan as-sunnah (berbasis riwayat dari Nabi saw) dan al-ijmâ(konsesus ulama).

Baca juga: Menanti Riset Manuskrip Al-Qur’an Nusantara Koleksi Prancis

7. Keistimewaan (Fadhl)

Ilmu Qirâât merupakan satu dari sekian ilmu-ilmu ke-Al-Quran-an (‘ulûm Al-Qurân). Keistimewaan yang dimiliki disiplin ilmu ini tentu secara otomatis mengikuti pada keistimewaan dan keutamaan yang dimiliki kitab samawi yaitu Al-Qurân.

Tidak berlebihan jika ilmu qirâât disebut sebagai ilmu syariat yang paling luhur nan mulia. Setidaknya orang yang mempelajarinya bisa mendekatkan diri kepada Allah dan mendapat pahala lebih melalui membaca Al-Quran dengan berbagai riwayat yang banyak.

8. Kegunaan (Tsamrah)

Merujuk Abdul Fattah al-Qâdhî (w. 1403 H/1982 M) dalam bukunya al-Budûr az-Zâhirah, di antara kegunaan ilmu qirâât adalah: menjaga kesalahan baca maupun pelafalan setiap kata dalam ayat, melindungi keotentikan teks-teks Al-Quran dari pemalsuan, mengetahui cara baca setiap imam dan para perawinya, dan untuk memilah mana qirâât yang boleh dibaca dalam shalat (qirâât mutawâtir) dan qirâât yang tidak diperkenankan menjadi bacaan dalam shalat (qirâât syâdzdzah).

Selain itu ilmu ini juga berguna untuk mengetahui kemukjizatannya dengan perbedaan gaya bahasa (uslub) dan menjadi khazanah dan referensi ilmu kebahasaan bagi suku-suku di Arab.

9. Hukum Menekuni Ilmu Qirâât (Hukm asy-Syâri’ fîh)

Mempelajari dan mengajarkan Ilmu Qirâât hukumnya fardhu kifayah. Sehingga akan berdosa seluruh penduduk suatu wilayah jika tidak ada yang menggeluti ilmu ini.

10. Materi Pembahasan (Masâil)

Dalam kitab al-Busyrâ bahwa materi pembahasan (masâil) dalam ilmu qirâât meliputi kaedah umum (Qawâ’id Kulliyyah) bagi setiap imam qirâât serta para perawinya. Muhaisin (w. 2001 M) memberikan sedikit gambaran. Misal seperti setiap huruf alif yang perubahannya berasal dari huruf yâmaka oleh Hamzah (w. H) dibaca imâlah. Sementara al-Kisa’î, dan salah satu riwayat Warsy membacanya dengan taqlîl. Sedangkan yang lainnya membacanya dengan fath. Dalam kitab Faidh al-Asânî ‘alâ Hirz al-Amânî, KH. Sya’rani Ahmadi Kudus, menambahkan catatan pada masâil ilmu qirâât, Warsy membaca tarqîq setiap huruf râberharakat fathah atau dhammah yang didahului oleh harakat kasrah ashliyyah atau huruf yâberharakat sukûn. Wallahu A’lam. []

Fazlur Rahman: Sarjana Muslim Pencetus Teori Double Movement

0
Fazlur Rahman
Fazlur Rahman

Di akhir abad ke-20 mulai bermunculan pemikir-pemikir muslim progresif yang mulai melakukan analisis lebih mendalam terhadap Al-Quran sebagai sumber kajian Islam. Kemunculan pemikir-pemikir progresif ini tidak terlepas dari dua keresahan: tafsir yang ada dinilai  belum banyak menyentuh isu sosial kontemporer dan tafsir klasik perlu diperbaharui karena dianggap tidak relevan dengan perkembangan kondisi umat di masa kini. Salah satu pemikir muslim yang merasakan keresahan tersebut adalah Fazlur Rahman.

Fazlur Rahman adalah pemikir muslim kontemporer yang cukup terkemuka. Ia lahir di Hazara, India (sebelum terpecah menjadi Pakistan) Pada 21 September 1919. Ayahnya adalah Maulana Syahab Al-Din, seorang ulama klasik yang punya pemikiran progresif. Di saat banyak ulama di masa tersebut yang menolak pemikiran kontemporer, Maulana Syahab malah menganggap perpaduan Islam dengan kehidupan modern adalah sebuah keniscayaan. Sehingga anaknya, diizinkan untuk menempuh pendidikan tinggi formal-modern.

Fazlur Rahman menyelesaikan S1 nya di Universitas Punjab, Jurusan Bahasa Arab pada tahun 1940. Kemudian menyelesaikan program magister di jurusan dan universitas yang sama pada tahun 1946. Hingga pada tahun 1949 Rahman berhasil menyelesaikan program doktornya di Oxford University, Jurusan Filsafat Islam.

Baca Juga: Melihat Fungsi Interpretasi Jorge J E Gracia sebagai Teori Penafsiran Al-Quran

Atas ketertarikannya di bidang filsafat, dan bekal keilmuan bahasa Arabnya, Fazlur Rahman melakukan studi kritis terhadap epistemologi tafsir dan mengupayakan reinterpretasi Al-Quran. Rahman mengemukakan, bahwa Al-Quran memiliki 2 subyek penting dalam peristiwa pewahyuan. Yakni Allah sebagai pengarang. dan Rasulullah Muhammad SAW sebagai penerima dan pembicara. Sehingga menurut Rahman, psikologi Rasulullah turut serta berpartisipasi baik secara mental maupun intelektual dalam proses pewahyuan.

Kritik Fazlur Rahman terhadap metodologi tafsir klasik, adalah penggunaan pendekatan dan intepretasi yang terkesan terpisah–pisah. Sehingga muncul keresahan, bahwa tafsir tidak dapat memberikan jawaban atas persoalan–persoalan sosio-kultural masyarakat. Bagi Rahman, tafsir klasik terlalu lama bergulat pada kata–kata, sehingga membuat para mufassirnya terjebak pada model penafsiran literal-tekstual.  Namun di sisi lain, Rahman juga mengkritisi kaum modernis yang belum mampu memberikan solusi metode penafsiran yang lebih komperhensif guna menghadapi problem–problem kontemporer.

Selain itu, Rahman secara tegas menyatakan bahwa ia mendasarkan bangunan metode hermenutikanya pada sebuah konsep teoritik, bahwa yang paling penting dari Al-Quran adalah konsepesi pandangan dunianya. Oleh akrena itu, Rahman memisahkan konsep ideal moral Al-Quran dengan legal spesifiknya.

Ideal Moral Al-Quran merupakan ide dasar diturunkannya Al-Quran sebagai rahmat bagi alam semesta, dengan membawa nilai – nilai keadilan, persaudaraan, dan kesetaraan. Sedangkan legal spesifik Al-Quran merupakan konsep memunculkan aturan, norma, dan hukum akibat pemaknaan literal Al-Quran. Menurut Rahman, mengedepankan nilai moral Al-Quran memiliki urgensi yang penting, agar penafsiran tidak diintervensi oleh kepentingan, baik sosial, ekonomi, maupun politik.

Berdasarkan konsep diferensiasi konsep ideal moral dan legal spesifik diatas, serta kritik yang beliau tujukan pada pemikir – pemikir Islam kiri maupun kanan, Rahman merekomendasikan sebuah metode tafsir yang lebih fresh. Rahman dalam bukunya Islam and Modernity: Transformation of An Intellectual Tradition menyebutkan bahwa Metode ini disebut hermeneutika double movement, sebuah metode yang memandang Al-Quran sebagai korpus data yang selalu relevan dan komperhensif, namun juga sistematis. metode double movement ini adalah metode yang membawa para mufassir kembali ke masa lalu, saat Al-Quran diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Proses yang harus ditempuh dalam model penafsiran ini adalah melacak keadaan sosio-historis sebuah ayat, untuk kemudian disesuaikan dengan kondisi sosial-kultural masyarakat di era sekarang.

Menurutnya Al-Quran adalah respon ilahi melalui ingatan dan pemikiran nabi. Kepada situasi moral-sosial masyarakat Arab di masa Nabi. Artinya,  Al-Quran punya unsur setting-social yang sangat kuat. Sehingga tidak adil rasanya, apabila setting-social masyarakat modern tidak dilibatkan dalam proses penafsiran. Namun tentu, Asbab Nuzul  tak bisa pula ditinggalkan, karena unsur kontekstualitas muncul dari sana.

Sebagai contoh dalam Major Themes of The Al-Quran, Rahman mengulas surat An-Nisa’ ayat 34. Ayat tersebut menjelaskan bahwa ada 2 poin penting, mengapa seorang lelaki lebih berhak menjadi pemimpin dalam kehidupan rumah tangga. Pertama, Anugerah yang diberikan Allah secara alami. Jiwa maskulinitas laki–laki yang tercipta secara natural memiliki potensi untuk digunakan sebagai bekal skill kepemimpinan.

Kedua, kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada istri. Ayat tersebut turun dengan setting-social masyarakat Arab, yang kala itu bertindak semena – mena terhadap perempuan. Ayat ini turun sebagai peringatan kepada para laki–laki agar mengayomi dan membimbing istri mereka.

Baca Juga: Menilik Konsep Hermeneutika Otoritatif Khaled Abou El-Fadl dalam Perkembangan Tafsir Al-Quran

Ayat ini kemudian diterjemahkan sebagai alasan yang kuat untuk melarang wanita untuk menjadi pemimpin. Padahal, tidak demikian adanya.  Secara sosio-kultural, wanita masa kini jauh lebih maju dibanding jaman dahulu. Kini wanita banyak yang mandiri secara finansial, dan punya kesempatan untuk mempelajari skill leadership  yang sama dengan laki-laki.

Lagipula, jika wanita dilarang menjadi pemimpin akan melanggar ideal moral Al-Quran yang menjunjung tinggi nilai musawah (kesetaraan). Sehingga, jika dilihat dari sudut pandang double movement ayat ini sudah jelas-jelas tidak mendukung diskriminasi terhadap wanita yang ingin tampil di panggung pemimpin.

Dengan demikian, tawaran dan sumbangsih Fazlur Rahman terhadap dunia tafsir menjadi alternatif baru untuk menjadikan tafsir Al-Quran lebih solutif dan dinamis di mata umat Islam khususnya, dan dunia pada umumnya. Sudah tercatat 5 bukunya mewarnai khazanah ilmu Tafsir, dan 50 artikelnya dimuat dalam berbagai jurnal Internasional. Ia meninggal di Chicago Amerika Serikat pada tanggal 26 Juli 1988 sebagai profesor yang cukup berpengaruh di bidang studi Islam di Universitas Chicago. Wallahu A’lam.

Ragam Penyebutan Manusia dalam Al-Quran, dari Ins sampai Anam

0
Sepuluh Dasar Ilmu Qiraat
Sepuluh Dasar Ilmu Qiraat

Dengan segala karakteristik dan aspek yang dimilikinya, manusia merupakan mahluk yang sukar dipahami tapi menarik untuk dikaji. Beragam definisi ditawarkan oleh para cendekiawan dari berbagai perspektif keilmuan yang digelutinya. Sementara dari mereka mengatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial. Pendapat lain menyebut jika manusia merupakan hayawan natiq, hewan yang berfikir. Setidaknya dua definisi tersebut yang paling sering terdengar atau kita baca dari beberapa referensi. Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, manusia berarti mahluk yang berakal budi (menguasai mahluk lain).  Dalam Al-Quran pun, penyebutan manusia juga terdapat di beberapa tempat dan tulisan ini akan mengulasnya.

Baca juga: Reformasi Lingkungan Perspektif Yusuf al-Qaradhawi: Membentuk Manusia Ber-mindset Eko-Teologis

Al-Quran tidak luput untuk membicarakan eksistensi dari mahluk Tuhan yang dianggap sebagai mahluk ahsan taqwim itu. Penyebutan manusia di dalam Al-Quran diungkapkan dengan beberapa istilah. Ragam penyebutan manusia tersebut merujuk kepada aspek kualitas dan karakteristik tertentu yang terdapat di dalam diri manusia. Beberapa istilah dalam Al-Quran yang secara harfiah bermakna manusia diantaranya ins, insan, naas, basyar dan anam. Sekilas, semua istilah ini merujuk pada pengertian tunggal sebagai manusia. Akan tetapi, jika kita telaah kepada kamus-kamus Bahasa Arab yang otoritataif serta siyaq al-kalamnya dapat dipahami perbedaan unsur pada setiap istilah yang digunakan.

Ins

Istilah ins disebutkan Al-Quran sebanyak 18 kali yang tersebar dalam 9 surat. Secara etimologis, ins bermakna tidak biadab, ramah, jinak, dinamis, bersahabat, dan menyenangkan. Raghib al-Ashfahani mengatakan bahwa ins berlawan kata dengan jinn yang berarti tertutup atau tersembunyi. Al-Quran seringkali menyebut ins dan jinn beriringan dalam suatu ayat. Selain itu, nufur, yang bermakna lari menjauh, juga merupakan lawan kata dari kata ins. Kata ins yang melekat pada manusia menggambarkan jika mereka selalu hidup berdampingan dengan yang lainnya. Manusia tidak bisa mempertahankan hidupnya sendiri. Mereka harus saling tolong menolong. Manusia sebagai ins mencerminkan makhluk sosial yang cenderung hidup berkelompok, bermasyarakat, berkeluarga, bekerjasama, dan perilaku sosial lainnya. Karakter tersebut menjadi fitrah bagi manusia pada umumnya.

Insan

Istilah berikutnya yang bermakna manusia adalah insan. Insan berasal dari akar kata yang sama dengan dengan ins. Istilah ini disebutkan sebanyak 65 kali menurut Fuad Abu Baqi. Meskipun berasal dari kata yang sama, istilah insan lebih menunjukkan karakter manusia yang lebih khusus. Dalam ilmu psikologi manusia mempuyai dua kecenderungan untuk melakukan hal yang positif dan melakukan hal negatif. Manusia dianugerahi potensi rohani seperti qalb dan akal. Potensi ini menempatkan manusia sebagai mahluk yang memiliki posisi martabat tertinggi. Artinya apabila potensi ini tidak digunakan secara maksimal, maka kedudukan manusia tak ubahnya seperti mahluk lain bahkan bisa lebih hina. Adapun manusia yang mampu mengelola kedua kecenderungan tersebut disebut dengan insan kamil. Menurut sementara ulama, predikat ini merujuk kepada sosok Nabi Muhammad. Dengan demikian, penyebutan manusia dengan insan menunjukkan potensi kualitas spesifik serta konsekuensi yang dimilikinya.

Baca juga: Memahami Makna Setan dan Kejahatan Dalam Al-Quran

An-Naas

Adapun istilah an-naas disebutkan sekitar 240 kali dalam Al-Quran. Secara umum, istilah ini digunakan untuk menunjukkan manusia sebagai spesies yang universal. Sementara ulama mengatakan istilah ini terbentuk dari akar kata yang bermakna tidak stagnan atau selalu bergerak.  Dalam pandangan Bint Syati, penyebutan manusia dengan istilah naas menggambarkan karakter manusia yang dinamis. Mahluk yang mempunyai kecenderungan untuk berjuang dan berkembang demi kehidupan yang lebih baik.

Basyar

Istilah basyar berdasarkan al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faz Al-Quran dengan berbagai derivasinya disebutkan sebanyak 37 kali. Asal kata dari istilah ini menurut kitab Al-Mufradat Fi Gharib Al-Quran adalah al-basyarah yang bermakna permukaan kulit. Penggunaan istilah basyar sebagai manusia dapat dipahami karena permukaan anggota tubuh manusia yang paling tampak adalah kulitnya. Hal tersebut berbeda dengan hewan yang lebih terlihat bulu atau rambut yang menutupi permukaan anggota tubuhnya. Kata bisyarah dan busyra yang bermakna kabar gembira merupakan kata turunan dari kata basyar. Bisa dipahami karena saat kondisi gembira, darah yang terdapat dalam tubuh manusia akan menyebar ke seluruh kulit yang mengakibatkan perubahan pada raut wajahnya. Selain itu, istilah mubasyarah yang dikiaskan sebagai hubungan suami istri, secara bahasa diartikan dengan persentuhan kulit juga berasal dari kata basyar. Penjelasan di atas mengarahkan bahwa ketika manusia disebut Al-Quran dengan kata basyar menunjukkan manusia dari segi biologis. Hal ini diperkuat dengan ayat-ayat yang menggunakan istilah basyar lebih banyak menjelaskan aspek yang menunjukkan persamaan fisik antara rasul dengan manusia lainnya.

Baca juga: Menelisik Jin dalam Al-Quran, Makhluk yang Juga Dibebani Syariat

Anam

Satu istilah lagi yang secara harfiah bermakna manusia adalah anam. Anam disebutkan satu kali dalam surat al-Rahman (55): 10. Dalam Lisanul Arab dijelaskan bahwa istilah anam digunakan oleh kalangan Arab untuk merujuk semua mahluk hidup di bumi ini termasuk juga manusia. Dengan demikian, istilah tersebut secara hakikatnya tidak hanya merujuk kepada pengertian manusia.

Demikian penjelasan singkat tentang ragam penyebutan istilah bermakna manusia di dalam Al-Quran. Dapat dipahami bahwa istilah-istilah di atas mewakili berbagai karakteristik serta hakikat diri manusia. Di sisi lain, penjelasan tersebut menunjukkan sisi keunikan gaya bahasa Al-Quran berupa kekayaan kosakata yang dikandungya. Wallahu a’lam[]