Beranda blog Halaman 404

Surah Al-Ahzab [33] Ayat 4-5: Hukum Mengadopsi Anak Menurut Al-Quran

0
Mengadopsi Anak
Hukum Mengadopsi Anak (strongnation.org)

Mengadopsi anak adalah salah satu tindakan yang sering diambil oleh pasangan yang tidak bisa memiliki keturunan. Karena anak – bagi sebagian pasangan – adalah tanda atau simbol kesempurnaan sebuah keluarga. Maka tak heran, banyak pasangan yang berbondong-bondong ingin segera memiliki keturunan. Bahkan, kadangkala pasangan yang tidak atau belum memiliki anak dicap sebagai keluarga tak sempurna.

Sebagian orang mungkin bertanya berbagai hal mengenai hukum adopsi anak, seperti apakah mengadopsi anak orang lain sebagai anak angkat dibolehkan dalam Islam? Haram atau boleh? Seandainya boleh, lantas apa konsekuensi hukum yang harus dilakukan oleh orang yang mengadopsi dan yang diadopsi? serta berbagai pertanyaan lain yang tak bisa disebutkan satu persatu.

Dalam sejarah Islam, mengadopsi anak bukanlah perkara yang baru. Masyarakat muslim sejak dahulu telah mengenai istilah tabbani atau mengangkat anak. Nabi Muhammad saw bahkan pernah mempraktikkannya secara langsung, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak angkatnya. Namun, tindakan nabi tersebut nantinya akan dikoreksi oleh Al-Qur’an.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Jual Beli dengan Label Harga, Sah kah?

Jauh sebelum nabi Muhammad saw, tindakan mengadopsi anak sebenarnya telah ada sebagai bagian dari budaya Arab pra-Islam. Orang-orang jahiliyah dahulu biasa mengadopsi anak, kemudian anak angkat itu dianggap sebagaimana anak kandung. Anak angkat tersebut dinasabkan kepada bapak angkatnya, tidak dinasabkan kepada bapak kandungnya dan juga dianggap sebagai mahramnya (Sejarah Arab Sebelum Islam).

Surat Al-Ahzab [33] Ayat 4-5: Nasabkan Anak Angkat Pada Ayah Kandungnya

Tradisi adopsi anak pada masa jahiliyah hingga awal Islam memiliki berbagai problem seperti ketidakjelasan nasab, hak waris, mahram, hingga perwalian. Karena itulah Al-Qur’an – kitab suci umat Islam – melalui surat Al-Ahzab [33] ayat 4-5 secara tegas menyebutkan bahwa anak angkat tidak boleh dinasabkan kepada ayah angkatnya.

Firman Allah swt:

مَا جَعَلَ اللّٰهُ لِرَجُلٍ مِّنْ قَلْبَيْنِ فِيْ جَوْفِهٖ ۚوَمَا جَعَلَ اَزْوَاجَكُمُ الّٰـِٕۤيْ تُظٰهِرُوْنَ مِنْهُنَّ اُمَّهٰتِكُمْ ۚوَمَا جَعَلَ اَدْعِيَاۤءَكُمْ اَبْنَاۤءَكُمْۗ ذٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِاَفْوَاهِكُمْ ۗوَاللّٰهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ ٤

Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (QS. Al-Ahzab [33]: 5).

اُدْعُوْهُمْ لِاٰبَاۤىِٕهِمْ هُوَ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ ۚ فَاِنْ لَّمْ تَعْلَمُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ فَاِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِ وَمَوَالِيْكُمْ ۗوَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيْمَآ اَخْطَأْتُمْ بِهٖ وَلٰكِنْ مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوْبُكُمْ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ٥

Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab [33]: 5).

Dua ayat di atas turun berkenaan dengan peristiwa pengangkatan Zaid bin Haritsah yang diadopsi oleh nabi Muhammad saw. Disahkan bahwa ketika muda Zaid diculik oleh rombongan berkuda dari suku Tihamah. Ia dibawa ke Mekah dan dibeli oleh Hakim bin Hiza, keponakan Khadijah binti Khuwailid. Zaid kemudian diserahkan  kepada Khadijah lalu diberikan kepada nabi saw sebagai hadiah (Mahasin al-Takwil [8] 47).

Setelah sekian lama tinggal bersama nabi saw, Zaid ditemukan oleh kakeknya yang ingin membawanya kembali ke rumah dan ia bersedia membayar tebusan kepada nabi saw seandainya itu dibolehkan. Nabi Muhammad saw kemudian mengatakan bahwa ia tidak meminta imbalan, akan tetapi serahkan saja semua keputusan kepada Zaid, apakah ia mau kembali atau tetap bersamanya (Tafsir Marah Labid [2] 246).

Alkisah, Zaid memilih tinggal bersama nabi saw di Mekah dan enggan kembali kepada keluarganya. Nah, ketika itulah Rasulullah saw mengumumkan kepada masyarakat mekah bahwa Zaid adalah putranya. Beliau berkata, “Wahai orang-orang Quraisy! Saksikanlah bahwasanya ia (Zaid) adalah anakku yang akan mewarisiku dan aku akan mewarisinya.” Sejak itulah Zaid dikenal sebagai Zaid bin Muhammad.

Panggilan tersebut terus melekat pada Zaid hingga turun surat Al-Ahzab [33] ayat 4-5. Hal ini diterangkan oleh Ibnu Umar, “Sesungguhnya Zaid bin Haritsah, budak Rasulullah saw, dulu tidaklah kami memanggilnya kecuali dengan nama Zaid bin Muhammad, sampai turun Al-Qur’an (yang artinya), “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah.” (HR. Bukhari no. 4782).

Menurut Quraish Shihab, surat Al-Ahzab [33] ayat 4 berfungsi untuk membatalkan adopsi nabi dan semua adopsi yang dilakukan masyarakat muslim. Setelah itu, nabi Muhammad saw memperingatkan semua agar tidak mengaku mempunyai keturunan dengan satu pihak padahal sebenarnya tidak. Beliau bahkan bersabda, “Siapa yang mengakui seseorang yang bukan bapaknya sebagai bapaknya, maka surga baginya haram.” (HR. Bukhari dari Sa’id bin Abi Waqqas).

Ayat inilah yang kemudian dijadikan mayoritas ulama sebagai dalil bahwa mengadopsi anak dalam arti menasabkan kepada orang tua angkatnya dilarang dalam Islam. Gus Baha dalam sebuah kesempatan menyebutkan bahwa mengadopsi anak itu dibatalkan oleh Al-Qur’an dan hadis. Karena memiliki sisi kemudaratan seperti ketidakjelasan nasab dan pewarisan. Selain itu, menurutnya jikalau memang ingin membantu si anak, maka bisa dilakukan dengan cara yang lebih efektif.

Kemudian, pembatalan anak angkat juga ditegaskan melalui perintah memanggilnya dengan nasab ayah kandung (surat Al-Ahzab [33] ayat 5), bukan ayah angkat sebagaimana yang terjadi pada kasus Zaid bin Haritsah. Menurut Quraish Shihab, ayat ini merupakan penegasan Allah swt kepada umat Islam untuk mengikis tradisi adopsi anak yang telah mengakar sejak masa jahiliyah (Tafsir Al-Misbah [11]: 221).

Lantas bagaimana praktik adopsi yang dilakukan saat ini?

Menurut fatwa MUI, mengadopsi anak dalam arti mengubah nasab dari ayah dan ibu kandungnya memang dilarang. Sedangkan adopsi anak tanpa mengubah nasab yang dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara, mengasuh dan mendidik mereka dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal saleh yang dianjurkan oleh agama Islam.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukuman Zina dan Alasan Perempuan Disebutkan Lebih Dulu

Mahmud Syaltut dalam bukunya Al-Fatawa menerangkan bahwa seseorang boleh mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri dalam rangka memberi kasih sayang, nafkah pendidikan, dan keperluan lainnya. Namun secara hukum anak tersebut bukanlah anaknya. Ia masih memiliki nasab dan identitas yang disandarkan kepada ayah kandungnya sesuai perintah Al-Qur’an.

Jadi, tidak mengapa seandainya pasangan suami istri ingin merawat seorang anak seperti anaknya mereka sendiri. Hanya saja – sebagai catatan – nasab dan identitas anak tersebut tidak boleh dirubah. Selain itu, berbagai konsekuensi hukum juga tetap harus dipatuhi sebagaimana adanya, seperti tidak ada waris mewaris, tidak ada mahram, tidak ada perwalian dan sebagainya. Wallahu a’lam.

Pedoman dan Prinsip Utama dalam Al-Quran Bagi Seorang Hakim

0
Seorang Hakim
Prinsip Utama Al-Quran Bagi Seorang Hakim

Hukum tidak pernah bisa dilepaskan dari sebuah tatanan pemerintahan, karena ia merupakan tonggak bagi keadilan dan ketertiban masyarakat. Sedang, demi tegaknya sebuah hukum diperlukan peran dari seorang hakim.

Seorang hakim yang adil tidak akan tebang pilih dalam menjalankan hukum, dan juga tidak akan membuat hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas dalam. Konsep hakim yang adil ini ternyata telah dijelaskan secara gamblang oleh Al-Quran, dengan memberikan rambu-rambu bagi para hakim dalam menjalankan hukum. Tulisan ini akan mengulas konsep tersebut dengan setidaknya menjabarkan tiga prinsip utama di dalamnya.

Berlaku Adil dan Tidak Mengikuti Hawa Nafsu

Prinsip pertama yang harus dilakukan oleh seorang hakim adalah berlaku adil dan tidak mengikuti hawa nafsunya belaka. Prinsip ini disebutkan Al-Quran dalam surah Shad ayat 26:

إِذْ دَخَلُوا۟ عَلَىٰ دَاوُۥدَ فَفَزِعَ مِنْهُمْ ۖ قَالُوا۟ لَا تَخَفْ ۖ خَصْمَانِ بَغَىٰ بَعْضُنَا عَلَىٰ بَعْضٍ فَٱحْكُم بَيْنَنَا بِٱلْحَقِّ وَلَا تُشْطِطْ وَٱهْدِنَآ إِلَىٰ سَوَآءِ ٱلصِّرَٰطِ

“Ketika mereka masuk (menemui) Daud lalu ia terkejut karena kedatangan) mereka. Mereka berkata: “Janganlah kamu merasa takut; (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain; maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus.”

Baca Juga: Hukum Memperdengarkan Al-Quran Kepada Non Muslim: Tafsir Surat At-Taubah Ayat 6

Dalam Al-Wajiz karangan Wahbah Zuhayli dijelaskan bahwa ayat ini sebenarnya ditujukan kepada Nabi Daud yang kala itu bukan hanya sebagai raja, namun dipercaya rakyatnya untuk memutus perkara atau sebagai hakim. Turunnya ayat ini memberikan pengingat kepada Nabi Daud yang ternyata secara tidak sadar pernah berbuat tidak adil kepada salah seorang rakyatnya, lalu kemudian ia bertaubat dan kembali berlaku bijaksana. Zuhayli juga menafsirkan bahwa yang dimaksud lafadz “tunjukilah kami” dalam ayat ini bermakna agar tidak berlaku berat sebelah, dan  lafadz “jalan yang lurus” adalah adalah memberikan keputusan dengan jalan pertengahan.

Masih dalam konteks yang sama, yaitu dengan khitab Nabi Daud, Al-Quran juga menunjukkan pedoman bagi hakim agar tidak menuruti hawa nafsunya. Rambu-rambu tersebut bisa kita temukan dalam surah Shad ayat 26:

يَٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلْنَٰكَ خَلِيفَةً فِى ٱلْأَرْضِ فَٱحْكُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِٱلْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌۢ بِمَا نَسُوا۟ يَوْمَ ٱلْحِسَابِ

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Meskipun khitab pertama ayat ini adalah kepada Nabi Daud, namun hal ini juga menjadi pedoman bagi seorang hakim di masa sekarang. As-Syawi dalam tafsirnya, An-Nafahat Al-Makiyyah mengungkapkan bahwa ayat dalam mengatur siyasah atau pemerintahan tidak akan terlaksana kecuali dengan dengan mengetahui syariat dan mewujudkan yang hak. Seorang hakim tidak boleh mengikuti hawa nafsunya seperti memihak karena hubungan kerabat, teman, atau mengutamakan rasa suka dan benci kepada yang lain. Ayat ini juga mengancam dengan azab-Nya yang pedih bagi mereka yang yang memberikan putusan dengan hawa nafsunya semata.

Menjauhi Suap-Menyuap

Hal kedua yang benar-benar harus digarisbawahi untuk dihindari bagi seorang hakim adalah suap-menyuap sebagaimana dalam surah Al-Baqarah 188:

وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَآ إِلَى ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

Dalam ayat ini ditegaskan larangan memakan harta yang diperoleh dengan bathil, apalagi harta tersebut dibawa kepada hakim, atau yang biasa disebut perilaku suap-menyuap. Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al’Adhim menjelaskan bahwa keputusan hakim tidak dapat merubah sedikitpun hukum sesuatu, dan juga tidak membuat sesuatu yang sebenarnya haram menjadi halal atau yang halal menjadi haram. Artinya meskipun sang hakim melakukan tindakan tersebut dan membelot dari hukum yang sebenarnya, tetap saja hukum Allah di akhirat tetap berlaku sesuai hukum yang aslinya benar.

Tidak Bertentangan dengan Hukum Agama

Prinsip ketiga yang diberikan Al-Quran untuk sang hakim, adalah mengambil keputusan apapun dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum agama. Prinsip ini bisa kita lihat dalam rangkaian surah Al-Maidah ayat 49-50:

وَأَنِ ٱحْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ وَٱحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَنۢ بَعْضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَٱعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ ٱلنَّاسِ لَفَٰسِقُونَ . أَفَحُكْمَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”

Baca Juga: Ibn Katsir: Sosok di Balik Lahirnya Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menceritakan asbabun nuzul ayat ini yang berkaitan dengan tindakan suap orang Yahudi Madinah kepada Nabi Muhammad. Kaum Yahudi tersebut mensyaratkan diri memeluk Islam jika mereka Rasulullah mau mengikuti hukum mereka yang keliru, yaitu memenangkan perkara mereka dengan cara yang salah. Namun, Rasulullah dengan sikap tegasnya menolak negosiasi mereka, karena buat apa memeluk Islam namun dengan cara yang salah. Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi mengungkapkan hikmah diturunkan ayat ini adalah bahwa Allah mengakui kebenaran sikap Rasulullah tersebut, tetap teguh pada rambu-rambu hukum agama.

Tindakan Rasulullah yang kemudian diperkuat Al-Quran, merupakan satu teladan dan uswah yang baik untuk para hakim di masa sekarang. Teguh pada hukum agama bukan berarti harus selalu dimaknai leksikal hukum Islam, karena hukum agama pada prinsipnya adalah jalbul mashalih wa dar’ul mafasid, yang seringkali dimaknai pakar fiqih kontemporer sebagai maqasidus syari’ah.  Oleh sebab itu, mau apapun sistem pemerintahannya, prinsip untuk tidak bertentangan dengan hukum agama harus selalu teguh dipegang oleh hakim yang adil. Wallahu a’lam.

Menelisik Epistemologi Tafsir Susfistik Abu Hamid al-Ghazali

0
Abu Hamid Al-Ghazali
Ilustrasi Gambar Abu Hamid Al-Ghazali (noonpost.com)

Sebagai salah satu tokoh Sufi Abu Hamid al-Ghazali memiliki epistemologi yang khas sebagaimana sufi lainnya dalam memandang al-Qur’an. Pada umumnya para sufi dengan nalar sufistiknya meyakini bahwa untuk mendapatkan pemahaman akan al-Qur’an yang utuh, seseorang harus mengetahui dua dimensi dalam al-Qur’an yaitu sisi zahiri/ eksoteris dan sisi bathini/ esoteris.

Kerangka pemahaman para sufi ini dilandasi oleh sebuah hadis yang memang populer di kalangan mereka. Hadis tersebut mengemukakan:

لكل آية ظهر وبطن ولكل حرف حد ولكل حد مطلع

Setiap ayat memiliki sisi zahir dan bathin, dan setiap huruf memiliki had, dan setiap had memiliki matla’

al-Muhasibi memberikan syarah atas hadis ini dengan menjelaskan bahwa makna zahir dan bathin ialah literal meaning (makna literal) dan the hidden meaning (tafsir/ ta’wil). Keduanya masih berada di bawah level had atau batas penafsiran (maksudnya penafsiran yang paling mendekati kehendak Tuhan). Level had ini baru bisa dicapai oleh orang yang masuk dalam kategori al-shiddiqun yaitu sufi yang telah berada pada titik matla’ atau transendensi atau kasyf.

Baca Juga: Nalar Sufistik dan 3 Ragam Konteks Interaksinya dengan al-Quran

Artinya bagi sufi, pemahaman akan al-Qur’an yang tertinggi akan didapatkan jika seorang sufi telah mendapatkan pengalaman intuitif (kasyf). Maka atas dasar inilah, seorang sufi pada umumnya meyakini bahwa makna dalam al-Qur’an itu bertingkat-tingkat atau berlevel-level, sehingga abolutisme serta pembatasan epistemologi dalam menafsirkan al-Qur’an merupakan suatu kesalahan.

Epistemologi al-Ghazali

Dalam karyanya, Jawahir al-Qur’an, ِAbu Hamid al-Ghazali menuturkan bahwa ada dua kategorisasi ilmu al-Qur’an yang harus dikuasai untuk mencapai penafsiran yang baik yaitu ilmu kulit (ilm al-sadaf) dan ilmu inti (ilm al-lubab). Istilah yang digunakan al-Ghazali bisa dibilang serupa dengan teori sisi zahir dan bathin. Namun al-Ghazali akan terlihat lebih rinci dalam menjelaskannya.

Ia membagi masing-masing ilmu tersebut ke dalam beberapa level. Pada ilmu kulit, ia menjelaskan ada lima tingkatan (dari yang paling luar ke dalam). Pertama, makharij al-huruf atau ilmu mengenai bunyi huruf (fonologi). Kedua, ilmu bahasa al-Qur’an atau ilmu yang berkaitan dengan aspek kebahasaan. Ketiga, I’rab al-Qur’an atau ilmu mengenai struktur kalimat dalam al-Qur’an. Keempat, Qira’at atau ilmu mengenai ragam dialek dalam membaca al-Qur’an. Terakhir, tafsir zahir atau tafsir berdasarkan makna leksikal teks.

Selanjutnya pada ilmu inti, ia membaginya kembali ke dalam thabaqah sufla (tingkatan terendah) dan thabaqah al-ulya (tingkatan tertinggi). Pada thabaqat sufla, al-Ghazali memasukka tiga keilmuan yakni Fiqh, Kalam dan Qasasul Qur’an (Kisah al-Qur’an). Fungsi ketiga ilmu ini menurut al-Ghazali adalah sebagai wasilah menuju thabaqa ulya.

Sebab Fiqh merupakan pondasi dasar yang harus dipahami dan dikuasai oleh manusia untuk menjalani kehidupan duniawi. Selanjutnya Kalam diperuntukkan sebagai penguat pondasi Tauhid dan Kisah menjadi sarana untuk mendapatkan kemantapan dalam merasakan pengalaman suluk para tokoh yang dikisahkan.

Ketiga ilmu dalam thabaqat sufla beserta keilmuan dalam ilm sadaf yang akan mengantarkan seorang hamba kepada thabaqat ulya yakni ma’rifatullah. Artinya pemahaman akan teks al-Qur’an oleh orang yang telah ma’rifat tentu sangat berbeda dengan orang yang masih dalam level ilmu kulit maupun thabaqat sufla, sebab mereka sudah mendapati langsung haqiqah dari apa yang dibaca dan dipahaminya.

Pandangan epistemologisnya inilah yang membawa Abu Hamid al-Ghazali pada penolakannya terhadap epistemologi lain yang hanya berpegang pada sumber kebenaran tunggal. Di antara beberapa golongan yang menjadi objek kritikan al-Ghazali ialah golongan yang hanya berpegang pada sisi zahiri al-Qur’an (zahiriyah), kemudian golongan yang hanya berpegang pada sisi batini al-Qur’an (bathiniyah) serta golongan yang terpaku pada model tafsir bi al-riwayah.

Menurut al-Ghazali ketiga golongan tersebut justru memonopoli kebenaran al-Qur’an dengan fanatisme subjektivitas kelompok. Absolutisme dalam epistemologi penafsiran al-Qur’an akan membawa pada sempitnya perspektif serta penafsiran yang sangat subjektif. Sederhananya tafsir, bagi ketiga kelompok tersebut menurut al-Ghazali, hanya dijadikan sebagai alat “pembenaran” dan bukan sarana untuk mencapai “kebenaran”.

Baca Juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (1): Definisi, Klasifikasi dan Prasyarat yang Harus Dipenuhi

Dalam kasus tafsir bi al-riwayah, al-Ghazali menuturkan bahwa alasan di balik ketidaktepatan tafsir bi al-riwayah dijadikan sebagai standar “kebenaran” ialah 1) tidak dapat diberlakukan ke semua ayat sebab hadis maupun atsar hanya mampu men-cover beberapa ayat saja; 2) di masa Sahabat, penggunaan rasio bukanlah hal tabu dan terlarang sebab fakta adanya perbedaan penafsiran di masa sahabat membuktikan adanya penggunaan rasio dala menafsirkan al-Qur’an; 3) doa Nabi Muhammad kepada Ibn Abbas menunjukkan adanya keistimewaan yang diberikan kepada Ibn Abbas, sehingga jika ta’wil dalam doa tersebut dimaknai “riwayat” maka tidak ada keistimewaan yang ditunjukkan.

Seluruh uraian ringkas atas epistemologi tafsir Abu Hamid al-Ghazali setidaknya memberikan satu pesan penting bagi para pengkaji al-Qur’an. Pesan pentingnya adalah sebagai pengkaji al-Qur’an, kita harus terus mempelajari dan menguasai keilmuan-keilmuan pendukung dalam memahami al-Qur’an namun kita juga harus membersamainya dengan suluk atau tirakat sebagai wasilah sekaligus penyempurna usaha kita menuju haqiqah al-ma’na atau makna yang dikehendaki Allah. Wallahu a’lam.

Sekolah Hadis El-Bukhari Institute Buka Kelas Musthalah Periode Februari 2021

0
Sekolah Hadis
Sekolah Hadis

Beberapa tahun lalu, beredar video wawancara Dian Yuliana, terduga pelaku bom panci yang akan melakukan aksinya pada 11 Desember 2016. Ketika diwawancarai, ia mengaku bahwa paham keagamaan yang dianutnya adalah perkara asing yang dilandasi oleh Hadis Nabi berbunyi :

بدأ الإسلام غريبا وسيعود غريبا فطوبى للغرباء.

Islam itu awalnya asing dan akan kembali menjadi asing, maka berbahagialah mereka orang-orang yang asing. (H.R. Muslim).

Merujuk kepada sanadnya, hadis tersebut bernilai shahih karena diriwayatkan oleh para periwayat yang tsiqah dan bersambung (muttashil) hingga ke Rasulullah Saw. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana hal tersebut bisa diketahui.? Apa pengertian sanad, shahih, rawi, tsiqah, dan muttashil itu.? Dan bagaimana pemahaman di atas (seperti yang disampaikan oleh terduga pelaku bom panci) bisa disimpulkan.?

Nah untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, setidaknya ada tiga cabang Ilmu Hadis yang harus kita miliki, yaitu pengetahuan tentang istilah-istilah Ilmu Hadis (Musthalah al-Hadits), cara melacak sumber keberadaan hadis dan mengkaji kualitas mata rantainya (Ilmu Takhrij al-Hadits wa Dirasah al-Asanid), serta Ilmu tentang cara memahami Hadis (Thuruq Fahm al-Hadits).

Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan istilah hadits shahih, hasan dan dhaif serta syarat dan pengaruhnya terhadap hukum, maka kita harus belajar Ilmu Musthalah al-Hadits. Kemudian, untuk menarik kesimpulan tersebut kita perlu melakukan penelitian secara komprehensif, apakah hadis tersebut hanya mempunyai satu ragam redaksi saja atau ada hadis lain yang semakna dengannya.?

Untuk itu, perlu adanya proses jam’u al-riwayah dan dirasah al-asanid, yaitu pengumpulan hadis-hadis yang semakna dengan hadis tersebut dan analisis kualitas perawi serta ketersambungan sanadnya. Tahapan ini dilakukan melalui ilmu khusus yang disebut dengan Ilmu Takhrij al-Hadits wa Dirasah al-Asanid.

Setelah itu, baru kita dapat menarik kesimpulan berupa pemahaman dari hadis-hadis yang telah diteliti tadi. Namun untuk menarik kesimpulan tersebut tidak bisa dilakukan begitu saja. Ada banyak alat bantu serta metode khusus yang diperlukan dalam memahaminya. Hadis-hadis tersebut harus dipahami secara komprehensif dari berbagai perspektif yang ada.

Kita harus mengkaji aspek kebahasaannya, maqashidnya, sababul wurudnya, konteks serta dalalahnya serta banyak hal lainnya. Nah, untuk menguasai itu semua, kita harus matang dalam kajian khusus yang disebut dengan Ilmu Thuruq Fahm al-Hadits.

Tampaknya apa yang dikemukakan terduga pelaku bom panci tersebut belum melalui tahap penelitian panjang seperti yang disampaikan di atas. Padahal, kalau kita mengkaji hadis tersebut lebih jauh, akan dijumpai riwayat lain yang lebih utuh yang dapat menjelaskan siapa sebenarnya orang asing (ghuraba) yang dimaksud oleh Rasulullah pada hadis tersebut. Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda :

إن الإسلام بدأ غريبا وسيعود غريبا قالوا: ومن الغرباء يا رسول الله؟ الذين يصلحون إذا فسد الناس.

“Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing sebagaimana awal mula kedatangannya. Para sahabat bertanya, “Siapakah orang asing yang engkau maksud wahai Rasulullah?” Rasul pun menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang berbuat kebajikan di saat yang lain merusak (muka bumi).” (H.R. al-Thabarani).

Berdasarkan riwayat ini, kita dapat memahami bahwa yang dimaksud ghuraba (orang asing) tersebut adalah mereka yang berbuat kebaikan di saat yang lain melakukan kerusakan. Bukan malah berbuat kerusakan semisal pengeboman sebagaimana yang hendak dilakukan oleh Dian Yuliana tersebut.

Karena pentingnya ilmu ini, maka sejak tahun 2016 yang lalu, el-Bukhari Institute telah membuka Program Sekolah Hadis dalam tiga jenjang. Berikut informasi pembukaan kelas terbaru periode Februari 2021 :

Menu Program Sekolah Hadis:
1⃣. Kelas Ilmu Hadis Dasar.
2⃣. Kelas Takhrij.
3⃣. Kelas Metode Memahami Sunnah.

Output Program Sekolah Hadis:
Menguasai materi-materi dasar terkait Ilmu Musthalah, Ilmu Takhrij Hadis dan Dirasah Sanad, serta Metode Pemahaman Hadis.

Mulai Belajar :
Senin, 8 Februari 2021.

Jadwal Belajar :
1⃣. Ilmu Hadis Dasar.
👉 Senin & Selasa, Jam 16.00 Wib.
2⃣. Ilmu Takhrij.
👉 Rabu & Kamis, Jam 16.00 Wib.
3⃣. Metode Memahami Sunnah.
👉 Sabtu & Ahad, Jam 16.00 Wib.

Kuota Maksimal Kelas :
Hanya 20 Orang/Kelas.

Total Pertemuan :
8x Pertemuan/Program.

Fasilitas Program :
1⃣. Buku Panduan.
2⃣. Materi (PPT/Word).
3⃣. E-Sertifikat.
4⃣. Tutor Berpengalaman.
5⃣. Daurah Bulanan Lembaga.

Media Pengajaran :
Aplikasi Zoom Cloud Meeting

Investasi Pendidikan :
350K/Program (Diskon 50K/Program kalau mengambil 3 program sekaligus)

Info Pendaftaran :
http://bit.ly/SekolahHadisEl-Bukhari

Perintah Mencetak Generasi Tangguh: Tafsir surat An-Nisa’ Ayat 9

0
Mencetak Generasi Tangguh: Tafsir surat An-Nisa’ Ayat 9
Mencetak Generasi Tangguh: Tafsir surat An-Nisa’ Ayat 9

Salah satu anugerah Allah yang perlu kita syukuri adalah diberinya kita kemampuan yaitu dapat memiliki keturunan. Pada suatu riwayat, Rasulullah pernah bersabda bahwasanya salah satu tujuan dari pernikahan adalah agar umatnya beranak pinak, lebih-lebih mampu mencetak generasi yang tangguh.

Oleh karena itu, selain bereproduksi secara biologis, manusia juga dituntut untuk mendidik keturunannya. Baik itu dididik untuk agamanya, Rasulnya, negaranya, dan untuk kedua orang tuanya. Hal ini disampaikan Allah dalam firmanNya :

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (Q.S An-Nisa : 9)

Baca juga: Hukum Menulis Ayat Al-Quran dengan Bahasa Selain Arab

Ayat ini pada awalnya adalah peringatan atas kelakuan masyarakat Arab Pra- Islam yang menggunakan hukum rimba sebagai acuan, sehingga pada saat itu masyarakat Arab menjadi lemah dan takut. Sayyid Qutub dalam Tafsir Fi Dzilal Al-Quran menyatakan sebagaimana berikut:

وتشي هذه التوصيات المشددة- كما قلنا- بما كان واقعاً في الجاهلية العربية من تضييع لحقوق الضعاف بصفة عامة. والأيتام والنساء بصفة خاصة.. هذه الرواسب التي ظلت باقية في المجتمع المسلم- المقتطع أصلاً من المجتمع الجاهلي- حتى جاء القرآن يذيبها ويزيلها، وينشئ في الجماعة المسلمة تصورات جديدة، ومشاعر جديدة، وعرفاً جديداً، وملامح جديد

“wasiat keras ini ditujukam terhadap realita yang terjadi di Arab Jahiliyah, yakni penelantaran hak – hak orang lemah, pada umumnya. Khususnya terhadap anak yatim dan wanita. Kebobrokan ini masih terjadi di beberapa circle masyarakat muslim (yang merupakan pecahan asli dari masyarakat jahiliyah) saat itu, hingga akhirnya Al-Quran menjelaskannya, menghapusnya. Kemudian menumbukan semangat, perasaan, pengetahuan, dan kisah yang baru dalam kelompok muslim”

Penafsiran Surat an-Nisa Ayat 9

Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan kita untuk mempersiapkan generasi setelah kita. Jangan sampai generasi–generasi di bawah kita jadi generasi yang lemah. Lemah di sini maknanya sangat luas, karena memang yang dikehendaki Al-Quran dalam ayat tersebut adalah univeralisasi makna. Baik kelemahan dalam aqidah, syariat, psikis, sosial, maupun ekonomi, dan lain sebagainya.

Tindakan preventif ini diperlukan, mengingat kita sebagai manusia tidak seharusnya meninggalkan legacy kepada bumi sebagai planet, maupun sebagai ruang bersosial untuk diisi dengan orang – orang yang tidak kompeten.

Baca juga: Anjuran Menjaga Diri Dari Orang Yang Berpikir Buruk: Surat Yusuf Ayat 67

Kelemahan sebuah generasi, tak lepas dari tanggung jawab generasi sebelumnya untuk mengentaskan penerusnya dari jurang kegelapan dan kegagalan. Karena hidup sejatinya adalah kematian, maka salah satu usaha untuk mempersiapkan kematian tersebut adalah dengan mempersiapkan pengganti yang tangguh. Abdul Lathif Al-Khatib dalam Audhah Al-tafasir menyebutkan :

نزلت هذه الآية في الأوصياء والمعنى: تذكر أيها الوصي ذريتك الضعاف من بعدك؛ وكيف يكون حالهم بعد موتك؛ وعامل اليتامى الذين وكل إليك أمرهم وتربوا في حجرك؛ بمثل ما تريد أن يعامل أبناؤك بعد فقدك

“Ayat ini diturunkan untuk para pewasiat, makna dibaliknya adalah : wahai pemberi wasiat, ingatlah akan anak turunmu yang lemah. Bagimana keadaan mereka selepas kepergianmu? Pergaulilah pula anak – anak yatim, mereka yang dititpkan padamu. Didiklah mereka di ruanganmu. Sebagaimana kamu ingin bergaul dengan anak – anakmu selepas kepergianmu”

Dari sini kita dapat menyimpulkan, bahwa kehidupan kita tidak hanya selesai pada kita. Namun akan berlanjut ke generasi yang berikutnya. Maka mendidik mereka agar mampu menjadi khalifatullah fil Ard dan kebanggaan Rasulullah kelak di hari kiamat adalah tanggung jawab kita sebagai pendahulu. Apabila mereka menebar manfaat dan kebaikan, kitalah yang akan memanennya di akhirat kelak. Demikian pula, jika kita gagal mendidik mereka, maka kerusakan yang mereka timbulkan akan membawa bencana bagi dunia, bahkan hingga di akhirat kelak. Wallahu a’lam[]

 

Hukum Menulis Ayat Al-Quran dengan Bahasa Selain Arab

0
Hukum Menulis Ayat Al-Quran dengan Bahasa Selain Arab
Hukum Menulis Ayat Al-Quran dengan Bahasa Selain Arab

Saat ini sudah banyak kita jumpai tulisan ayat Al-Quran yang ditulis dengan menggunakan bahasa Arab serta bahasa Indonesia atau bahasa latin. Umumnya yang sering kita jumpai, surah yang ditulis dengan bahasa Arab serta bahasa Indonesianya adalah surah Yasin. Sebenarnya, bagaimana hukum menulis ayat Al-Quran dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab, misalnya dengan bahasa Indonesia, apakah boleh?

Pendapat Hukum Menggunakan Bahasa Selain Arab

Dalam masalah hukum penulisan Al-Quran menggunakan bahasa selain arab ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Setidaknya, ada dua pendapat dalam masalah ini:

Pertama, menulis al-Quran dengan selain bahasa Arab tidak diperbolehkan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syeh Yasin bin Isa Al-padangi dalam  kitabnya Faidul khobir yaitu, “At-tarjamah adalah melafadzkan al-qur’an atau bahasa dengan bahasa yang lain. Syeh Yasin menyebutkan bahwa merubah Al-Qur’an dengan bahasa selain bahasa arab dengan tanpa mengurangi makna dan maksud dari ayat tersebut, baik terjemahan yang berupa harfiyah atau tafsiriyah itu diharamkan”.

Baca juga: Anjuran Menjaga Diri Dari Orang Yang Berpikir Buruk: Surat Yusuf Ayat 67

Pendapat tentang keharaman menulis Al-Quran dengan menggunakan bahasa selain arab juga dikemukakan oleh Syekh Ibnu Hajar al-Haitsami yg ditulis Sayyid Al-Bakri dalam kitabnya I’anatut Thalibin : “menulis Al-Quran dengan menggunakan huruf selain huruf hijaiyah itu diharamkan.

Sayyid Al-Bakri pernah menemukan pendapat Imam Ibnu Hajar  di dalam kitab Fatawi Ibnu Hajar, bahwa beliau (Imam Ibnu Hajar) pernah ditanyakan perihal menulis Al-Qur’an dengan ajamiyah (bahasa selain arab), apakah hal tersebut termasuk perkara yang di haramkan? “Dan Imam Ibnu Hajar menjawab, bahwasanya Imam An-Nawawi di dalam kitab Ai-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab menyimpullkan tentang keharaman menulis Al-Quran dengan bahasa selain arab sesuai dengan pendapat As-Habussyafi’iyah.

Kedua, menulis Al-Quran dengan menggunakan bahasa Arab hukumnya diperbolehkan. Hukum tidak diperbolehkannya adalah membaca Al-Quran dengan bacaan selain bahasa Arab atau huruf hijaiyah. Karena itu, menulis Al-Quran dengan menggunakan bahasa Indonesia diperbolehkan selama tetap dibaca dengan menggunakan ejaan bahasa arab atau huruf hijaiyah. Hal ini agar orang yang tidak mengerti huruf hijaiyah juga bisa terbantu untuk membaca al-Quran.

Baca juga: Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya

Pendapat yang mengemukakan bolehnya menulis Al-Quran dengan menggunakan bahasa selain arab diantaranya disebutkan didalam kitab al-bujairimi dan kitab Jamal Alal Mnhaj, sebagai berikut:

Didalam kitab al bujairimi karangan al khotib bahwa beliau menyebutkan menulis al qur’an dengan huruf selain arab itu diperbolehkan, lain halnya apabila membaca Al-Quran dengan menggunakan bahasa selain arab maka hal tersebut dilarang. Beliau juga menerangkan bahwa menulis Al-Quran dengan bahasa selain arab dengan menjaga kehormatan atau kemulian Al-Qur’an adalah sama baiknya dengan Al-Qur’an dengan tulisan bahasa arab. Maka haram juga menyentuh dan membawanya tanpa wudhu.

Baca juga: Jawaz al-Amrain: 5 Kondisi Huruf Ra Khusus dalam Ilmu Tajwid

Dan selanjutnya penjelasan didalam kitab jamal alal manhaj  :

Bahwasanya menulis Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain arab hukumnya diperbolehkan, akan tetapi tidak diperbolehkan dalam hal membacanya dan untuk kitab yang ditulis Al-Quran dengan menggunakan bahasa selain arab sama hukumnya dengan mushhaf (Al-Quran) dalam hal menyentuhnya dan membawanya, yaitu haram menyentuh dan mambawa kitab tersebut tanpa adanya wudhu atau dalam keadaan suci.

Dengan demikian, dari penjelasan para ulama di atas dapat kita ketahui bahwa menulis al-Quran dengan bahasa Indonesia masih diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian mengatakan tidak boleh, dan sebagian lagi membolehkan. Menurut Imam Zarkasyi, yang paling kuat dari pendapat tersebut adalah pendapat kedua, yaitu menulis al-Quran dengan menggunakan bahasa selain Arab adalah diperbolehkan. Wallahu a’lam[]

Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun, Doktor Muhamamd Alfatih Suryadilaga Meninggal Dunia

0
Alfatih Suryadilaga
Alfatih Suryadilaga

Berita duka cita datang dari keluarga besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia (Asilha), pasalnya dosen sekaligus ketua Asilha Dr Muhammad Alfatih Suryadilaga dikabarkan wafat pada Selasa (02/02) pukul 23.37 di Rumah Sakit Hermina Yogyakarta.

Kabar meninggal dosen yang akrab disapa Pak Fatih ini tersebar di berbagai kanal media sosial jaringan UIN Sunan Kalijaga, jaringan media Islam, dan jaringan pesantren. 

Alfatih Suryadilaga adalah sosok yang terkenal low profile dan akrab dengan semua sahabat, kolega, mahasiswa dan murid-muridnya. Banyak kesaksian dari sahabat maupun orang-orang yang pernah kenal dengannya.  Kemas Muhammad Intizham, salah satu muridnya, memberi kesaksian kepada redaksi.

“Kami kenal sejak 2010. Selain di kampus, Pak Fatih membimbing hafalan Quran di pondok. Setiap subuh, beliau berangkat dari dari rumahnya, membangunkan kami salat subuh berjamaah dan setoran hafalan. Meski setiap hari yang bangun untuk setoran hafalan hanya beberapa saja, beliau tidak pernah marah. Tetap menunggu.”

“Pada tahun 2019 ketika kuliah saya mandeg, pak Fatih menghubungi saya, menanyakan kabar tesis, dan meminta datang ke ruangan kerjanya. Ternyata tema tesis saya sudah dicarikan dan didownlodkan oleh beliau. Di ruangan itu juga saya diajari menggunakan aplikasi Zotero, yang sampai sekarang saya belum paham betul kerjanya. Padahal beliau bukan pembimbing saya dan selama S2 tidak diajar beliau karena konsentrasi ke Ilmu Tafsir.” 

“Kemudian ketika ada seleksi CPNS beliau inbox saya, kasih saya info dan meminta untuk mencoba di IAIN Curup, sebab peluangnya besar. Semua informasinya beliau kirim lewat WA saya. Saya benar-benar merasa diistemawakan oleh beliau, dianakemaskan. Padahal tidak. Beliau begitu kepada semua orang. Semua murid yang beliau kenal,” jelas Kemas yang saat ini ada di Jambi bercerita panjang lebar kepada kami.

Kesaksian juga datang dari kolega Alfatih sesama dosen di UIN Sunan Kalijaga, Ahmad Rafiq. Dalam status di media sosialnya tertulis bahwa sejak mengenal sosok Alfatih 20 tahun lalu di Yogyakarta, selama berproses dengan tanggung jawab masing-masing, tidak pernah tampak raut muka amarah keluar dari sosok Alfatih. 

Ketika redaksi tafsiralquran.id mengadakan pelatihan menulis SEO untuk pemula, Alfatih Suryadilaga sebagai sosok dosen sekaligus guru bagi kami, hadir mendengarkan sebagai peserta. Bagi kami, beliau adalah sosok yang humble dan tidak sungkan untuk belajar dan diskusi kepada murid-muridnya, termasuk kami di keredaksian. 

Segenap redaksi tafsiralquran.id berbela sungkawa atas wafatnya Dr Alfatih Suryadilaga. Semoga amal ibadahnya diterima dan mendapat tempat terbaik di sisi Allah Swt. Amin.  

Anjuran Menjaga Diri Dari Orang Yang Berpikir Buruk: Surat Yusuf Ayat 67

0
Menjaga Diri Dari Orang Yang Berpikir Buruk: Surat Yusuf Ayat 67
Menjaga Diri Dari Orang Yang Berpikir Buruk: Surat Yusuf Ayat 67

Salah satu hal unik yang dapat kita temukan pada kisah Nabi Yusuf di dalam Al-Qur’an, adalah saat ke-9 anak Nabi Ya’qub hendak memasuki Mesir, Nabi Ya’qub meminta mereka masuk dari pintu yang berbeda-beda. Kebanyakan ahli tafsir menyatakan, hal ini disebabkan Nabi Ya’qub takut anak-anaknya akan terkena sesuatu hal buruk yang diistilahkan sebagai Al-‘Ain, yang mana dijelaskan pada surat Yusuf ayat 67.

Al-‘Ain dapat diartikan sebagai pandangan mata dari orang yang memiliki pikiran buruk. Anak-anak Nabi Ya’qub memiliki perawakan yang rupawan dan berwibawa. Hal ini membuat Nabi Ya’qub khawatir bila sosok mereka akan mengundang perhatian orang yang melihat mereka dan kebetulan memiliki pikiran yang buruk. Tindakan Nabi Ya’qub ini dapat menjadi pelajaran bagi kita untuk berusaha menjaga diri dari pandangan orang yang berpikiran buruk.

Sabda Nabi Muhammad Tentang Al-‘Ain

Allah berfirman di dalam surat yusuf ayat 67:

وَقَالَ يَا بَنِيَّ لا تَدْخُلُوا مِنْ بَابٍ وَاحِدٍ وَادْخُلُوا مِنْ أَبْوَابٍ مُتَفَرِّقَةٍ وَمَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَعَلَيْهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ

Dan Ya’qub berkata: “Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; Namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah. Kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri”(QS: Yusuf [12] 67).

Baca juga: Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya

Imam Ar-Razi menyatakan bahwa berdasar pendapat mayoritas ahli tafsir, alasan Nabi Ya’qub meminta anak-anaknya memasuki Mesir dari pintu yang berbeda-beda, adalah Nabi Ya’qub khawatir anak-anaknya terkena Al-‘Ain. Imam Ar-Razi kemudian menyebutkan beberapa hadis yang membuktikan terhadap keberadaan Al-’Ain pada kitab Mafatihul Ghaib.

Diantara hadis yang Imam Ar-Razi sebutkan adalah:

قَالَ كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعَوِّذُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ وَيَقُولُ « إِنَّ أَبَاكُمَا كَانَ يُعَوِّذُ بِهَا إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ ، أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ »

Berkata Ibn ‘Abbas: “Suatu kali Nabi pernah meminta perlindungan dengan sebuah kalimat, untuk Hasan dan Husain. Nabi bersabda: ‘Sesungguhnya ayah kalian, yaitu Isma’il dan Ishaq, meminta perlindungan dengan kalimat tersebut. Yaitu kalimat: ‘Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari tiap-tiap setan, hewan berbisa, dan penyakit yang mengenai manusia (HR. Imam Bukhari)

Pengertian Serta Cara Kerja Al-‘Ain

Al-‘Ain menurut Ibn Hajar Al-‘Asqalani adalah pandangan kagum bercampur dengan rasa iri, yang muncul dari watak buruk seseorang dan memunculkan dampak buruk pada orang yang dipandang. Dampak buruk yang muncul dari Al’-‘Ain bukanlah semacam tindakan buruk yang kasat mata. Namun lebih kepada rasa tidak nyaman pada tubuh meski si orang yang berwatak buruk tersebut sekedar memandang orang yang ia pandang, tanpa melakukan tindakan lain.

Baca juga: Potret Persaudaraan Muhajirin dan Anshar Yang Diabadikan Al-Quran

Memang bila dicerna akal pikiran agak tidak masuk akal. Bagaimana bisa hanya sekedar pandangan mata bisa memberi pengaruh kepada orang yang dipandang. Namun menurut banyak ulama’, Al-‘Ain benar-benar ada dan berulangkali disinggung oleh Nabi muhammad. Pada Fathul Bari Ibn Hajar mencontohkan pengaruh Al-‘Ain sebagaimana orang yang memiliki mata sehat bisa menjadi belekan sebab memandang mata orang yang belekan. Dan bagaimana saat satu orang menguap di samping yang lain, maka yang lain ikut menguap.

Sebagai penutup, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsirnya menyatakan, menurut mayoritas ahli tafsir, Surat Yusuf ayat 67 adalah dasar anjuran berlindung dari Al-‘Ain. Al-‘Ain adalah benar ada. Namun pada hakikatnya yang memunculkan dampak buruk di dalam Al-‘Ain adalah Allah semata, dan mata manusia hanya sebagai lantaran semata.  wallahu a’lam bisshowab.

Tafsir Surah Al-Insan Ayat 17: Jahe dalam Tinjauan Al-Quran

0
Jahe dalam Tinjauan Al-Quran
Jahe dalam Tinjauan Al-Quran

Jahe termasuk bahan rempah-rempah yang biasa kita temui sehari-hari di dapur rumah. Selain digunakan sebagai bumbu masakan, jahe juga sering dibuat minuman yang memiliki manfaat penyembuhan. Nama jahe ternyata juga disebutkan oleh Al-Quran dengan makna konotasi positif, yaitu dalam surah Al-Insan ayat 17. Lalu, bagaimanakah tinjauan Al-Quran tersebut mengenai tumbuhan yang dalam bahasa Arab disebut dengan “zanjabil” alias jahe tersebut? Simak penjelasan berikut ini!

Baca juga: Inilah 8 Manfaat Buah Zaitun, Buah yang Disebut dalam Al-Quran

Tafsir surah Al-Insan ayat 17

وَيُسْقَوْنَ فِيهَا كَأْسًا كَانَ مِزَاجُهَا زَنجَبِيلًا

“Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe.”

Thantawi Jauhari menyebutkan dalam kitab tafsirnya Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim bahwa Surah Al-Insan ini adalah Surah madaniyyah, jumlah ayatnya 31, dan diturunkan setelah Surah Ar-Rahman. Jauhari mengungkapkan bahwa maksud diturunkannya Surah ini menjelaskan al-aktsa al-maqsud, as-tsani al-maqsud, dan as-tsalits al-maqsud. Dari ketiga tujuan tersebut, potongan ayat 17 terletak pada bagian kedua, yakni balasan orang-orang yang bersyukur, orang-orang afir, dan sifat surga-neraka.

Masih dalam Tafsir Jawahir, Jauhari selanjutnya menginterpretasi ayat ini secara lafdziyahnya. Lafadz ويسقون oleh Thantawi diartikan dengan kata al-abrar adalah bentuk jamak dari kata barr dan baarr yang bermakna kebenaran. Kemudian kata ini melahirkan turunan kkata taat, dan kata-kata bermakna baik lainnya seperti kejujuran, menepati janji dan lain-lain. Seseorang yang disifati dengan kata barr atau baarr berarti dia yang meluas lagi banyak kebaikan serta kebaktiannya. Jadi dalam hal ini kata al-abrar bisa dimaknai dengan kalimat orang-orang yang taat atau berbuat kebaikan. Dalam artian, ayat tersebut memang ditujukan untuk orang-orang yang saleh dan taat.

Baca juga: Keistimewaan Buah Delima (Ar-Rumman) yang Disebut dalam Al-Quran

Mengenai maksud ayat ini apa yang diberikan, Jauhari juga memberikan penjelasan bahwa di sana (dalam surga) mereka disuguhi (segelas) khamr, karena lafadz ka’s dimaknainya sebagai khamr. Pemaknaan segelas khamr oleh Jauhari ini serasi dengan Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah bahwa jika wadah tersebut kosong maka penyebutan biasanya menggunakan ina’. Sedangkan penyebutan kata ka’s sendiri memang sering digunakan untuk menyebut wadah yang berisi khamr. Satu hal pasti yang telah dijanjikan Allah bahwa memang para ahli surga tersebut mendapatkan fasilitas mewah, termasuk suguhan yang mereka minum sebagaimana dijelaskan di awal.

At-Thabari dalam Tafsir Jami’ul Bayan mengungkapkan mengenai asbabun nuzul ayat ini yang ternyata berkenaan dengan tawanan kaum musyrikin yang diperlakukan buruk oleh kaum muslimin. Kemudian turunlah ayat ini dan Rasulullah memerintahkan kaum muslim agar memperlakukan mereka dengan baik. Karena jika menelisik teks siyakul kalam dari ayat-ayat sebelumnya yang berbicara balasan untuk orang-orang kufur, ayat ini adalah penjelasan lanjutan mengenai balasan bagi mereka yang bersyukur dan taat. Hal ini memberikan satu isyarat yang jelas tentang kebaikan dan orang-orang saleh, serta menunjukkan bahwa mereka diselamatkan dari siksa buruk dan menyakitkan di akhirat. Mereka diliputi cahaya keindahan Ilahiah dan dipenuhi rasa bahagia.

Baca juga: Surah Al-Qalam Ayat 17-29: Kisah Pemilik Kebun dan Sebuah Penyesalan

Jahe, minuman ahli surga

Surah Al-Insan ayat 17 menunjukkan suatu balasan yang baik bagi penduduk surga, yaitu berupa minuman yang campurannya adalah jahe, atau yang disebut Al-Quran dengan lafzd zanjabil. Kata zanjabil ini ternyata dimaknai beragam oleh mufassir. Namun, dari kebanyakan pendapat mufassir Jauhari menyimpulkan bahwa zanjabil adalah sebuah tanaman tropis yang tumbuh dengan akar beraroma yang digunakan untuk menyedapkan makanan dan minuman. Dalam tafsirnya pula, Jauhari menceritakan bahwa seorang penyair dari Arab yang bernama A’sya berkata “seolah-olah cengkeh dan jahe itu aryan”. Aryan adalah madu, larutan yang dikeluarkan dari sarang-sarang lebah.

Minuman ahli surga yang terdapat campuran zanjabil yang tertera dalam surah Al-Insan ayat 17, ternyata memiliki penjelasan lanjutan pada ayat 18:

عَيْنًا فِيهَا تُسَمَّىٰ سَلْسَبِيلًا

“(Yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil.”

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menafsirkan ayat ini satu paket dengan ayat sebelumnya yang menyatakan bahwa orang-orang yang baik itu didalam surga, mereka akan disuguhi disana gelas minuman yang campurannya adalah jahe tapi bukan seperti jahe duniawi. Jahe itu dari sebuah mata air surga yang dinamai atau ciri sifatnya adalah salsabil. Minuman terebut menurut Hasbi As-Siddiqi dalam Tafsir An-Nuur merupakan minuman yang memang paling digemari olehmereka.

Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al’Adhim turut menafsirkan beberapa tambahan pandangan bahwa di dalam surga itu mereka diberi minum segelas yang campurannya adalah jahe. Minuman ini terkdang berasal dari air kapur yang dingin. Namun, di lain waktu minuman terseut bercampur jahe zanjabil (rempah-rempah) agar seimbang. Pendapat Ibnu Katsir ini selaras dengan Jauhari dalam Tafsir Jawahir yang menyebutkan bahwa jahe sebagai minuman penghuni surga, yang adakalanya dicampur kafur dingin, adakalanya dicampur jahe, dan baunya harum.

Baca juga: Inilah Keutamaan dan Manfaat Buah dalam Al Quran

Jahe atau yang disebut Al-Quran sebagai zanjabil  ini jika di dunia sering dikonsumsi manusia. Ia dimanfaatkan sebagai minuman sehari-hari, dan umumnya disukai banyak orang, karena selain untuk penyembuhan, rasanya juga begitu nikmat. Ia juga bisa dijumpai di surga sebagai campuran suguhan minuman, namun tentunya secara rasa jauh lebih lezat daripada jahe yang di dunia. Wallahu a’lam.

Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya

0
Makna kiamat sudah dekat
Makna kiamat sudah dekat

Secara metaforis, Al-Quran menyinggung masalah kiamat ini sebanyak 97 ayat yang tersebar dalam 49 surah. Akal manusia akan menerima bahwa kiamat merupakan peristiwa hancurnya dunia. Sudah banyak data yang dilampirkan perihal  kiamat, tanda tandanya, bagaimana dahsyatnya. Tetapi, tidak ada “bocoran” kapan waktu terjadinya. Kita hanya mendapat informasi tentang proses yg dilaluinya. Allah telah memberikan tanda-tanda akan terjadinya peristiwa itu. Adanya Fenomena alam yang terjadi diluar kendali seperti gempa, tsunami, tanah longsor, wabah penyakit dan lain-lain mejadikan stimulus otak untuk berbicara tentang kiamat. Karena itu, tak jarang manusia ada yang merasa ketakutan, apalagi ditambah dengan banyak angka kematian terutama dari kalangan ulama. Jadi wajar jika hal ini kemudian menggiring akal manusia pada satu kesimpulan bahwa kiamat akan segera terjadi, atau “kiamat sudah dekat”.

Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 48-50: Hari Kiamat Datang dengan Tiba-Tiba

Disisi lain, sebagian manusia justru memandang kiamat sebatas fenomena alam biasa. Parahnya lagi jika disandingkan dengan stetemen ulama yang mengatakan bahwa peristiwa kiamat “sudah dekat”, yang sudah disampaikan berabad abad lalu dan buktinya hingga kini belum terjadi.  Pernyataan ini sebetulnya bersumber dari Al-Quran dan hadis, maupun dari lisan dan tulisan para ulama. Dalam QS. Al-Ahzab ayat 63 disebutkan:

يَسْـَٔلُكَ ٱلنَّاسُ عَنِ ٱلسَّاعَةِ . قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِندَ ٱللَّهِ . وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ ٱلسَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا

“Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah”. Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya.

Juga hadis yang berbunyi:

بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ، وَيُشِيْرُ بِإِصْبَعَيْهِ فَيَمُدُّ بِهِمَا

Jarak diutusnya aku dan hari Kiamat seperti dua (jari) ini.” Beliau berisyarat dengan kedua jarinya (jari telunjuk dan jari tengah), lalu merenggangkannya

Para ulama memahami hadis ini dan memberi kesimpulan dengan statemant “kiamat sudah dekat” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Wabilus Shayyib minal Kalamit Thayyib, 1995M).

Diakui atau tidak, pikiran “kiamat sudah dekat”  sering terlintas dalam benak manusia, namun hanya afirmasi saja tanpa ada tabayyun secara logis dalam menyikapinya. Padahal ini bisa menjadi bumerang bagi Islam jika tidak ada penjelasan secara kompherensif perihal “kiamat sudah dekat” ini. Boleh jadi, para muallaf akan ragu terhadap kejadian hari kiamat, padahal hari kiamat meupakan salah stau rukun iman bagi muslim.

Problem yg riskan terhadap keimanan seseorang yakni kenapa hari kiamat sampai detik ini belum terjadi padahal pernyataan kiamat sudah dekat telah disampaikan beberapa abad silam, apakah ini hanya berita hoax atau hanya sekedar menakut-nakuti saja?

Baca juga: Tafsir Surat Al-Waqiah Ayat 1-6: Hari Kiamat itu Pasti, Inilah Visualisasinya

Dengan demikian, penulis ingin menampilkan  argumentasi rasional dan ilimiah untuk mengungkapkan makna dibalik kiamat “sudah dekat” yang sedikit banyak telah menghantui kehidupan sebagian besar umat Islam.

Ada 3 argumentasi sebagai pengejewantahan problematika tersebut, diantaranya:

1.Kata dekat menunjukkan bahwa peristiwa kiamat itu pasti terjadi, sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Ma’arij ayat 6-7. Mayoritas mufassir menafsiri dekat dengan makna pasti terjadi sedangkan jauh bermakna mustahil. Kepastian terjadinya hari kiamat dijelaskan dalam QS Thaha ayat 15 yang artinya: Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang, aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. (QS. Thaha: 15)

Ayat ini mempertegas bahwa datangnya hari kiamat merupakan sebuah kepastian. Seperti pastinya kematian bagi sesuatu yang bernyawa. Begitu pula langit dan bumi yang menanti masa sirnanya. Allah ‘Azza wa Jalla benar-benar merahasiakan waktunya agar manusia dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan apa yang mereka usahakan. Dengan dirahasiakannya waktu kedatangannya, tentunya menutup kesempatan manusia untuk merakayasa amal perbuatannya.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 8-11: Penyesalan Orang yang Ingkar di Hari Kiamat

2.Berdasarkan data ilmiah bahwa usia alam raya ini, menurut disiplin keilmuan astronomi dan fisika sangatlah tua, kira-kira 13 miliar tahun (Jurnal ilmiah Pendidikan Fisika, “Ketidakpastian Usia Dunia,”116). Maka, kiamat bisa dikatakan dekat karena ditinjau dari lamanya keberadaan dunia sebelum nabi Muhammad yang mana beliau merupakan nabi terahir yang diutus oleh Allah. Sejarah telah mencatat bahwa terdapat 24 Nabi sebelumnya  dan masing-masing mempunyai umur berbeda bahkan ada yang berumur diluar kebiasaan manusia sekarang, seper Nabi Nuh dan Nabi Idris berumur lebih dari ratusan tahun. Berbeda halnya dengan Nabi Muhammad dan ummatnya yang rata rata umurnya 60-70 tahun (Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah).

Sehingga, tidak ada kejelasan berapa usia dunia yang sudah dihuni. Di sisi lain, jika dikaji dari sisi retorika kebahasaan, maka telah mengenal bahasa awal dunia dalam mitos Mesopotamia, Mesir, India, Nordik, Israel, Jepang, Afrika. Dengan demikian Bisa jadi manusia sudah hidup hampir mendekati 13 miliyar tahun, jika memang demikian maka tidak salah hal itu dikatakan dekat.

Baca juga: Mengulik Makna Kiamat dalam Al-Quran

3.Secara teologis, kata dekat membuktikan bahwa Allah Maha Kuasa dan mampu atas segalanya. Jika dianalogikan seeekor semut yang akan merusak (memakan) gula akan memerlukan durasi waktu lama, bisa sehari bahkan seminggu, berbeda halnya jika posisi semut digantikan kepada manusia, maka dalam proses menghancurkan gula hanya butuh sekian detik. Apalagi Allah Maha segalanya sangatlah mudah dan tidak membutuhkan durasi waktu untuk menghancurkan isi alam jagat raya alam ini.

Dengan demikian letak perbedaanya ada pada presepsi manusia dalam memandang sesuatu yg sangat besar. Yang tidak kalah penting adalah bahwa kepastian akan datangnya hari kiamat harus disikapi dengan terus memperbaiki diri dan menaruh harapan penuh terhadap limpahan rahmat-Nya yang tidak berujung serta akan selalu melimpah. Wallahu a’lam[]