Beranda blog Halaman 404

Dinamika Tahfiz Al-Qur’an dari Masa Nabi saw Hingga Era Teknologi

0
Tahfiz Al-Qur'an
Tahfiz Al-Qur'an

Menghafal  Al-Qur’an atau sering disebut  tahfiz Al-Qur’an adalah tradisi yang mengakar kuat di kalangan umat Islam. Sejak diwahyukan pertama kali, Al-Qur’an senantiasa dihafal dan diamalkan oleh nabi Muhammad saw, para sahabat serta umat Islam. Oleh sebab itu, Nasr Hamid Abu Zaid menyebutkan bahwa Al-Qur’an hadir dalam ruang sosial dan menjadi pembentuk tradisi kaum muslimin (muntaj wa muntij al-tsaqafi).

Sepanjang sejarah, tradisi tahfiz Al-Qur’an ini senantiasa hadir mengiringi kehidupan umat Islam dan terus berkembang dari masa ke masa. Setidaknya ada dua faktor kenapa hal tersebut bisa terjadi, yakni: 1) kesakralan Al-Qur’an di mata umat Islam. Dalam konteks ini, Al-Qur’an menjadi pusat kehidupan mereka; 2) quranic cultures. Pada banyak kasus, para penghafal Al-Qur’an dipengaruhi oleh faktor sosial-kultural dalam upaya menghafal Al-Qur’an.

Dalam sejarah dan dinamika tradisi tahfiz Al-Qur’an, ada satu hal yang menarik untuk dikaji, yakni proses dan metode tahfiz Al-Qur’an yang memiliki tingkat adaptasi tinggi terhadap perkembangan sosial, budaya, serta teknologi masyarakat. Abdul Jalil dalam tulisannya, “Studi Historis Komparatif Tentang Metode Tahfiz Al-Qur’an”,  menjelaskan bagaimana metode tahfiz Al-Qur’an senantiasa membarengi teknologi yang ada.

Di sana ia menerangkan bahwa metode tahfiz Al-Qur’an menyesuaikan dengan peranti-peranti perekam wahyu Al-Qur’an pada masanya. Mulai dari hafalan dari mulut ke mulut (oral tradition), kodifikasi Al-Qur’an melalui tulisan, percetakan Al-Qur’an, hingga teknologi audio dan video ayat Al-Qur’an. Kehadiran peranti tersebut secara tidak langsung turut serta mengembangkan metode tahfiz Al-Qur’an.

Tahfiz Al-Qur’an Pada Masa Nabi Muhammad Saw dan Sahabat

Pada masa nabi Muhammad saw, setiap kali Al-Qur’an turun, beliau menerimanya, mengafalnya, dan menyampaikannya secara tartil kepada para sahabat, baik laki-laki maupun perempuan. Setelah para sahabat menghafalnya, maka mereka kemudian menyebarkan apa yang dihafal kepada pasangan, anak-anak dan sahabat lain yang tidak hadir pada saat itu. Dengan demikian, pasca beberapa hari ayat Al-Qur’an yang turun telah dihafal oleh sebagian besar sahabat.

Jadi, selain nabi Muhammad saw (al-mu’allim al-awwal), beberapa sahabat juga turut menjadi guru atau pengajar Al-Qur’an (muhaffiz). Diantara sahabat tersebut adalah Khabbab bin al-Arat (w. 37 H) yang sering mendatangi muridnya dari rumah ke rumah pada periode Makkah dan ‘Abdullah bin Mas’ud atau lebih dikenal Ibnu Mas’ud (w. 32 H), sahabat pertama yang secara terang-terangan membaca Al-Qur’an di hadapan orang kafir Makkah (al-Sirah al-Nabawiyyah).

Pada periode ini, ada tiga kunci proses atau metode tahfiz Al-Qur’an, yakni: 1) menerima hafalan dengan cara mendengarkan bacaan dari guru yakni nabi saw atau sahabat (al-sama’) dan membacakan hafalan di depan guru untuk dikoreksi; 2) setelah seseorang sahabat dianggap mumpuni, maka ia akan mengajarkan kepada sahabat yang lain; serta 3) upaya menjaga hafalan dalam segala kondisi.

Dalam proses tahfiz Al-Qur’an, para sahabat sangat memperhatikan sanad atau ketersambungan silsilah hafalan dengan nabi Muhammad saw.  Misalnya, pada suatu ketika Ibnu Mas’ud diminta untuk mengajari sekelompok sahabat mengenai surat al-Syu’ara. Ia memerintahkan mereka untuk  belajar dengan Khabbab bin al-Arat yang menghafal secara langsung di depan nabi saw (Hilyah al-Awliya wa Thabaqat al-Ashfiya).

Perhatian terhadap sanad ini juga dilakukan oleh para penghafal Al-Qur’an pasca sahabat hingga saat ini. Bisa dikatakan bahwa sanad memegang peranan penting dalam proses transmisi Al-Qur’an dari masa ke masa, terutama pada konteks tahfiz Al-Qur’an. Sangat sulit ditemukan – untuk tidak menyatakan tidak ada sama sekali – lembaga tahfiz Al-Qur’an atau individu penghafal Al-Qur’an yang tidak mementingkan sanad.

Tahfiz Al-Qur’an Pasca Kodifikasi Al-Qur’an

Setelah nabi Muhammad saw wafat, para sahabat berinisiatif untuk melakukan kodifikasi Al-Qur’an.  Hal ini diinisiasi oleh Abu Bakar atas saran Umar bin Khattab. Kemudian dilanjutkan oleh Utsman bin Affan dalam rangka membenarkan bacaan Al-Qur’an masyarakat. Sebab, kala itu kekuasaan Islam telah memasuki masyarakat non-Arab dan mereka membutuhkan rujukan Al-Qur’an secara tertulis (Rahiq al-Makhtum).

Pasca kodifikasi ini, metode tahfiz Al-Qur’an mulai berkembang. Jika sebelumnya – mayoritas – proses menghafal bertumpu pada talaqqi dan pendengaran dari nabi Muhammad saw atau sahabat, maka pada fase ini proses tersebut dibantu oleh mushaf Al-Qur’an. Bisa dikatakan bahwa Al-Qur’an tertulis menjadi rujukan atau sumber alternatif dalam mempelajari Al-Qur’an.

Meskipun demikian, kehadiran Al-Qur’an tertulis atau mushaf tidak serta merta menggantikan proses talaqqi atau mendengar dari guru. Ia hanya menjadi sarana pembantu proses pembelajaran Al-Qur’an agar lebih mudah. Para penghafal tetap mengandalkan bacaan guru (muhaffiz) sebagai rujukan utama. Mushaf kala itu berfungsi sebagai alat mnemonic sekaligus tolak ukur kesahihan suatu bacaan.

Pada fase ini muncul metode tahfiz Al-Qur’an dengan cara menulisnya terlebih dahulu. Tindakan ini sebenarnya juga telah dilakukan sebagian sahabat nabi saw, hanya saja tidak lumrah digunakan. Pasca kodifikasi Al-Qur’an, metode tahfiz dengan menuliskan ayat Al-Qur’an terlebih dahulu mulai merebak dan banyak dilakukan oleh lembaga tahfiz, terutama di daerah Maroko.

Tahfiz Al-Qur’an Era Percetakan dan Era Teknologi

Sejarah mencatat bahwa proses percetakan Al-Qur’an telah dimulai sejak tahun 1530 M oleh Paganino dan Paganini di Venice, Italia. Namun cetakan tersebut tidak diterima oleh Turki Utsmani. Menurut Jean Bodin dalam bukunya “Colloquium Heptaplomeres”, hal ini disebabkan oleh dua faktor: 1) secara teologis umat Islam tidak memperbolehkan kitab sucinya ditangani oleh orang kafir; dan 2) Mushaf cetakan Venice memiliki banyak kekurangan dan kesalahan.

Pasca percetakan Al-Qur’an di Venice, sebenarnya ada beberapa upaya percetakan Al-Qur’an yang dilakukan oleh barat, seperti Abraham Hinckelmann di Hamburg (1694 M), Ludovico Maracci (1698 M), Ludovisi Gustav Flugel (1834 M), Al-Qur’an terbitan St. Petersburg (1787 M), Al-Qur’an terbitan London (1833 M) dan lain-lain. Namun kesemua cetakan Al-Qur’an tersebut kurang disukai komunitas muslim.

Adapun mushaf Al-Qur’an yang banyak digemari umat Islam adalah cetakan India (1852 M), Turki (1872 M) dan Mesir (1864). Selain di negara-negara tersebut, di beberapa negara juga mulai ramai percetakan Al-Qur’an seperti di Iran (1828 M), Tibris (1833 M) dan percetakan lainnya termasuk di Indonesia yang diawasi oleh Kementerian Agama.

Seiring dengan hadirnya berbagai cetakan Al-Qur’an, maka aksesnya juga menjadi lebih mudah. Hal ini membuat Al-Qur’an dapat dinikmati oleh berbagai kalangan, baik pelajar maupun orang biasa. Selain itu, percetakan Al-Qur’an membawa perubahan signifikan dalam dunia tahfiz Al-Qur’an di mana peran mushaf menjadi lebih sentral dibandingkan sebelumnya.

Pada fase ini, mushaf yang tercetak menjadi patokan dan standar hafalan. Biasanya para penghafal Al-Qur’an menyetorkan hafalan kepada gurunya berdasarkan sebuah mushaf. Bacaan tersebut kemudian dikoreksi gurunya dan diberi catatan jika ada hal yang penting untuk diperhatikan. Dalam konteks ini, mushaf bersanding dengan guru sebagai rujukan utama, tidak lagi hanya sebatas alat bantu.

Kemudian, perkembangan teknologi audio dan video juga turut serta mengembangkan metode tahfiz Al-Qur’an di dunia muslim. Jika dulu pembelajaran Al-Qur’an dan proses tahfiz-nya hanya terbatas pada satu ruang tertentu, maka pada era ini keduanya dapat dilakukan oleh guru dan murid dalam ruang yang berbeda. Misalnya, tahfiz Al-Qur’an di masa pandemi Covid-19 dapat dilakukan melalui media online atau secara daring.

Terakhir,  satu hal yang harus kita ingat berkenaan dengan dinamika tahfiz Al-Qur’an dari masa ke masa, yakni peran sentral seorang guru terhadap muridnya (para penghafal). Mereklah yang – secara sosiologis – menjaga otentisitas Al-Qur’an sekalipun mushaf atau peranti perekam Al-Qur’an berbeda-beda pada setiap masa. Oleh karena itu, kehadiran seorang guru bersanad bagi para penghafal Al-Qur’an mutlak adanya. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al A’raf ayat 120-125

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Pada tafsir sebelumnya perjalanan hidup Nabi Musa hingga pertentangannya dengan Fir’aun. Dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 120-125 ini lebih menceritakan para penyihir yang akhirnya mengimani agama yang di bawa Musa. 

Meskipun Fir’aun mengancam untuk memotong silang tangan dan kaki mereka karena mengikuti Musa. Namun meskipun demikian dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 120-125 menjegaskan bahwa para penyihir tersebut tak gentar dan juga tak takut. Selengkapnya baca Tafsir Surat Al A’raf ayat 120-125 di bawah ini…


Baca Tafsir Sebelumnya: Tafsir Surat Al A’raf ayat 97-100


Ayat 120-122

Dalam ayat ini diterangkan bahwa setelah melihat kehebatan mukjizat Nabi Musa, maka para pesihir, serta merta bersujud kepada Allah, karena mereka yakin tentang kebenaran seruan Nabi Musa, dan ia bukan pesihir seperti yang mereka duga sebelumnya, sesuai dengan tuduhan Fir’aun dan para pembesarnya.

Selain itu, mereka menyadari bahwa sihir mereka yang dibangga-banggakan selama ini hanyalah kebatilan dan tidak berdaya bila berhadapan dengan kebenaran yang datang dari Allah Yang Maha Kuasa. Mereka sudah tidak mempunyai rasa hormat sedikit pun kepada Fir’aun dan para pembesarnya yang telah berusaha dengan segala daya upaya untuk mengingkari kekuasaan dan kebesaran Allah, Pencipta dan Penguasa alam semesta.

Mengenai bersujudnya para pesihir tersebut, Allah menerangkannya dalam ayat yang lain sebagai berikut:

فَاُلْقِيَ السَّحَرَةُ سُجَّدًا قَالُوْٓا اٰمَنَّا بِرَبِّ هٰرُوْنَ وَمُوْسٰى

Lalu para pesihir itu merunduk  bersujud, seraya berkata, “Kami telah percaya kepada Tuhannya Harun dan Musa.” (Taha/20:70)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

فَاُلْقِيَ السَّحَرَةُ سٰجِدِيْنَ ۙ   ٤٦  قَالُوْٓا اٰمَنَّا بِرَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ۙ   ٤٧

Maka menyungkurlah para pesihir itu, bersujud, mereka berkata, “Kami beriman kepada Tuhan seluruh alam”. (asy-Syu’ara’/26:46-47)

Ayat 123

Dalam ayat ini diceritakan bahwa Fir’aun dengan sangat murka berkata kepada pesihir yang telah menyatakan iman kepada Tuhan Nabi Musa, “Mengapa kamu beriman kepadanya sebelum aku izinkan?” Maksudnya mengapa mereka menyatakan iman kepada Musa dan kepada agama yang dibawanya yang berdasarkan kepercayaan tauhid kepada Allah, padahal ia belum memberi izin atau memerintahkan kepada mereka. Mengapa mereka tunduk menjadi pengikut Nabi Musa sebelum meminta izin kepada Fir’aun lebih dahulu.

Ucapan Fir’aun ini menunjukkan bahwa ia masih belum menyadari, bahwa apa yang diperlihatkan Nabi Musa di hadapannya adalah mukjizat pemberian Allah yang tidak akan dikalahkan oleh siapa pun. Dan ia belum menyadari bahwa orang-orang yang menyaksikan kemenangan Nabi Musa itu sudah tidak mempunyai rasa hormat lagi terhadap dirinya, dan bahwa dia tidak lagi merupakan orang yang dipertuan dan dipertuhan.

Di samping itu, ia menuduh ahli-pesihir itu sudah berkomplot dengan Nabi Musa lebih dahulu, sehingga kekalahan mereka ketika berhadapan dengan Nabi Musa telah direncanakan sebelumnya. Sebab itu ia melanjutkan ancamannya terhadap mereka dengan ucapannya sebagai berikut: “Sesungguhnya perbuatan ini adalah suatu tipu muslihat yang telah kamu rencanakan di dalam kota ini, untuk mengusir penduduk aslinya dari Mesir; maka kelak kamu akan mengetahui akibat dari perbuatan ini”.

 Dalam ayat yang lain Allah menyebutkan bahwa Fir’aun menuduh Nabi Musa sebagai guru sihir yang telah mengajarkan sihirnya kepada para pesihir tersebut, untuk bersama-sama memperdayakan Fir’aun untuk dan para pengikutnya untuk mengusirnya dari negeri Mesir, agar mereka kemudian dapat memegang kekuasaan di negeri Mesir, dan Fir’aun pun mengatakan:

اِنَّهٗ لَكَبِيْرُكُمُ الَّذِيْ عَلَّمَكُمُ السِّحْرَۚ

Sesungguhnya dia itu pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu. (Taha/20: 71)

Ayat 124

Dalam ayat ini diceritakan bahwa Fir’aun melanjutkan ancamannya kepada mereka; Pasti aku akan memotong tangan dan kakimu secara bersilang, kemudian sungguh aku akan menyalib kamu semua.

Demikianlah Fir’aun memandang para pesihir itu bersalah, akibat mereka beriman kepada Allah tanpa meminta izinnya lebih dahulu. Oleh sebab itu, ia merasa berhak dan berkuasa untuk menjatuhkan hukuman yang berat kepada mereka, dengan memotong tangan kanan dan kaki kiri atau sebaliknya. Sesudah itu masing-masing mereka akan disalibnya. Hukuman tersebut dimaksudkan juga untuk menakut-nakuti orang-orang lain yang berniat pula untuk melakukan tipu daya semacam itu terhadapnya atau bermaksud untuk memberontak dan membebaskan diri dari kekuasaannya.

Fir’aun sangat khawatir kalau rakyatnya, bangsa Mesir mengikuti pula jejak para pesihir itu untuk beriman kepada Musa a.s, karena hal itu akan mengakibatkan keruntuhan bagi kerajaan dan kekuasaannya sebagai tuhan bagi rakyatnya yang selama ini telah dipaksa untuk menyembahnya sebagai Tuhan. Di samping itu, ia mencoba pula untuk berbuat seolah-olah ia membela kepentingan rakyatnya yaitu memelihara kemerdekaan mereka serta melindungi agama mereka. Oleh sebab itu ia mengatakan bahwa para pesihir telah berkomplot dengan Musa untuk merebut kekuasaan Mesir dari negeri mereka sendiri.

Demikianlah umumnya sikap penguasa yang zalim dan angkara murka. Ia sangat khawatir apabila rakyatnya memalingkan muka kepada pemimpin yang lain. Namun bangsa yang punya harga diri dan ingin memelihara hak-hak azasinya, pasti akan bersatu padu menentang kekuasaan yang zalim itu, betapa pun hebatnya sang penguasa.

Ayat 125

Dalam ayat ini Allah menceritakan bahwa para pesihir sedikit pun tidak merasa gentar menghadapi ancaman Fir’aun kepada mereka. Bahkan dengan mantap dan penuh keyakinan, mereka berkata kepada Fir’aun, sesungguhnya hanya kepada Tuhan kami akan kembali.

Ucapan mereka ini menegaskan bahwa mereka sama sekali tidak peduli terhadap ancaman Fir’aun kepada mereka. Meskipun Fir’aun akan membunuh mereka, maka hal itu akan memberikan kemungkinan bagi mereka untuk segera bertemu dengan Tuhan, serta mendapatkan  ampunan dan rahmat-Nya yang sangat mereka dambakan. Mereka yakin, Fir’aun dan mereka semua akan kembali kepada Tuhan. Andaikan Fir’aun membunuh mereka, Fir’aun tidak akan hidup selama-lamanya di dunia ini. Dia akhirnya akan kembali kepada Tuhan Semesta alam, sehingga Tuhan akan mengadili mereka dan Fir’aun.

Dengan pengertian yang terakhir ini, dapat dipahami, bahwa ucapan mereka mengandung sindiran yang tajam, bahwa Fir’aun bukan Tuhan seperti yang diakuinya selama ini; bahkan dibalik kekuasaannya, ada kekuasaan yang lebih tinggi. Dan mereka lebih mengutamakan rahmat dan rida Allah dari pada memuaskan hawa nafsu keduniawian di samping Fir’aun dan para pembesarnya.

Di dalam kisah yang terdapat dalam Surah asy-Syu’ara, Allah menyebutkan ucapan para pesihir tersebut sebagai berikut :

قَالُوْا لَا ضَيْرَ ۖاِنَّآ اِلٰى رَبِّنَا مُنْقَلِبُوْنَ ۚ٥٠اِنَّا نَطْمَعُ اَنْ يَّغْفِرَ لَنَا رَبُّنَا خَطٰيٰنَآ اَنْ كُنَّآ اَوَّلَ الْمُؤْمِنِيْنَ ۗ ࣖ  ٥١ 

Mereka berkata, “Tidak ada yang kami takutkan, karena kami akan kembali kepada Tuhan kami. Sesungguhnya kami sangat menginginkan sekiranya Tuhan kami akan mengampuni kesalahan kami, karena kami menjadi orang-orang yang pertama-tama beriman.” (asy-Syu’ara/26: 50-51)

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Surat Ar-Rum [30] Ayat 30: Mengesakan Allah SWT adalah Fitrah Manusia


Tafsir Surat Al A’raf ayat 113-119

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Tafsir Surat Al A’raf ayat 113-119 melanjutkan kisah Nabi Musa dan Fir’aun. Fir’aun yang menyadari bahwa ramalan akan seorang bayi laki-laki dulu tersadar bahwa Nabi Musa lah orangnya. Oleh sebab itu dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 113-119 ini diceritakan bahwa Fir’aun membuat sayembara untuk menghabisi Nabi Musa. Selengkapnya baca lebih lanjut Tafsir Surat Al A’raf ayat 113-119 di bawah ini…..


Baca Tafsir Sebelumnya: Kisah Qarun Dalam Al-Quran: Orang Paling Kaya Pada Zaman Nabi Musa


Ayat 113

Setelah Fir’aun mengerahkan orang-orangnya untuk mengumpulkan para ahli sihir yang pandai dari berbagai pelosok wilayah kekuasaannya, ketika para ahli sihir tersebut datang kepada Fir’aun, dan mereka pun berkata kepadanya, “Apakah kami akan mendapatkan imbalan jasa, atas tugas yang berat ini, bila kami berhasil mengalahkan Musa?” Demikian motivasi para ahli sihir sama dengan latar belakang perjuangan para pembesar Fir’aun yaitu materi, kedudukan dan uang, tidak ada sama sekali idealisme, spiritualisme maupun moralitas yang luhur. Tujuan hidupnya hanya untuk sesaat yaitu uang. 

Ayat 114

Fir’aun menjawab pertanyaan mereka itu, “Ya kamu akan mendapat upah yang besar, dan di samping itu kamu akan menjadi orang-orang yang dekat dengan kami, sehingga kamu akan memperoleh pangkat dan harta benda yang akan memberikan kenikmatan dan kebahagiaan bagimu”.

Jawaban Fir’aun kepada para ahli sihir tersebut menunjukkan bahwa ia sangat memerlukan tenaga dan keahlian mereka, karena ia sangat khawatir akan kehilangan kedudukan dan kerajaannya, menurut pendapatnya akan timbul malapetaka baginya apabila ia tidak memenuhi permintaan mereka itu. Oleh sebab itu, imbalan jasa yang dijanjikan kepada mereka tidak hanya sekedar upah yang berwujud uang dan benda, melainkan ditambah pula dengan pangkat dan kedudukan sebagai orang yang dekat kepada raja. Ini adalah merupakan satu impian dan kebanggaan yang didambakan oleh banyak orang.

Ayat 115

Setelah mendapat jawaban dan janji yang menggembirakan dari Fir’aun tersebut, maka ahli-ahli sihir lalu menoleh kepada Nabi Musa dan mereka berkata kepadanya: “Siapakah yang akan memulai lebih dahulu, kamu atau kami?”

Tantangan mereka ini menunjukkan bahwa para ahli sihir Fir’aun sangat percaya diri dan sangat membanggakan keampuhan sihirnya. Mereka tidak memperdulikan akibat yang akan menimpa diri mereka, seandainya mereka tidak mampu membuktikan keampuhan sihirnya, kalau tidak karena percaya diri yang berlebihan ini pastilah mereka tidak akan memberikan kesempatan lebih dahulu kepada musuhnya.

Ayat 116

Nabi Musa mempersilakan mereka untuk mendahului, tanpa merasa khawatir terhadap kekuatan dan keampuhan sihir mereka, karena ia yakin akan pertolongan Allah, dan ia yakin bahwa mukjizat tidak akan terkalahkan oleh sihir manusia.

Ahli-ahli sihir itu lalu menjatuhkan tali-tali dan tongkat-tongkat mereka ke tanah, dan mereka menyihir penglihatan orang banyak yang menyaksikan peristiwa tersebut, termasuk Nabi Musa sendiri, orang banyak terpengaruh oleh sihir mereka melihat semua tali dan tongkat tersebut telah berubah menjadi ular sehingga mereka merasa takut, karena mereka menyangka itu ular sebenarnya. Firman Allah :

فَاِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ اِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ اَنَّهَا تَسْعٰى

Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka terbayang olehnya  (Musa) seakan-akan ia merayap cepat, karena sihir mereka. (Taha/20: 66);

Mereka itu tampaknya berhasil melakukan sihir yang dahsyat dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap orang-orang yang menyaksikannya. Bahkan Nabi Musa sendiri pun pada mulanya merasa gentar juga. Hal ini disebutkan Allah pada ayat-ayat lain dengan firman-Nya:

Dan firman-Nya dalam ayat berikut:

فَاَوْجَسَ فِيْ نَفْسِهٖ خِيْفَةً مُّوْسٰى   ٦٧  قُلْنَا لَا تَخَفْ اِنَّكَ اَنْتَ الْاَعْلٰى   ٦٨ 

Maka Musa merasa takut dalam hatinya. Kami berfirman: Jangan takut! Sungguh engkaulah yang unggul (menang). (Taha/20: 67-68)

Ayat 117

Setelah Allah menenangkan Nabi Musa, Allah berfirman kepadanya, “Jatuhkanlah tongkatmu itu (ke tanah).” Maka sekonyong-konyong tongkat itu berubah menjadi ular yang sebenarnya, dan menelan semua ular hasil sihir mereka. Karena mukjizat tongkat Nabi Musa menjadi ular yang sebenarnya, dan kemudian makan tali dan tongkat kecil yang disihir menjadi ular, maka hal ini menjadi peristiwa luar biasa yang pantas menjadi mukjizat Nabi utusan Allah.

Ayat 118

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa dengan lenyapnya semua ular ciptaan ahli-ahli sihir Fir’aun dari pandangan orang-orang yang menyaksikannya, berarti kemenangan bagi mukjizat Nabi Musa atas perbuatan ahli-ahli sihir yang penuh kebatilan dan kepalsuan itu. Sihir mereka menjadi tidak berdaya menghadapi mukjizat utusan Allah.

 Dalam kisah Nabi Musa yang terdapat dalam Surah Taha, sehubungan dengan masalah ini Allah berfirman:

اِنَّمَا صَنَعُوْا كَيْدُ سٰحِرٍۗ وَلَا يُفْلِحُ السّٰحِرُ حَيْثُ اَتٰى

Apa yang mereka buat itu hanyalah tipu daya pesihir (belaka). Dan tidak akan menang pesihir itu, dari mana pun ia datang. (Taha/20: 69);Sedang dalam kisahnya yang terdapat dalam surah Yunus, Allah berfirman sebagai berikut:

فَلَمَّآ اَلْقَوْا قَالَ مُوْسٰى مَا جِئْتُمْ بِهِ ۙالسِّحْرُۗ اِنَّ اللّٰهَ سَيُبْطِلُهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُصْلِحُ عَمَلَ الْمُفْسِدِيْنَ ࣖ  

Setelah mereka melemparkan, Musa berkata, “Apa yang kamu lakukan itu, itulah sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan kepalsuan sihir itu. Sungguh, Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang  yang berbuat kerusakan.” (Yunus/10: 81)

Ayat 119

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa pesihir itu telah dikalahkan di tempat itu, dan jadilah mereka orang-orang yang hina dina. Artinya bila sebelum peristiwa itu, para pesihir merasa bangga percaya diri secara berlebihan, maka setelah kekalahan itu tersingkaplah kebohongan dan kepalsuan mereka, karena sihir mereka tidak mempunyai kekuatan sama sekali. Di samping itu, karena kekalahan tersebut, sirnalah sudah harapan mereka untuk mendapatkan harta benda, pangkat dan kekayaan yang tadinya telah dijanjikan Fir’aun kepada mereka.

Kekalahan para pesihir tersebut berarti kekalahan Fir’aun dan para pembesarnya. Pada mulanya mereka percaya bahwa  para pesihir yang terpandai yang mereka kumpulkan dari berbagai tempat dalam wilayah kekuasaannya, dengan mudah dapat mengalahkan Nabi Musa.

Karena itu ia mengobral janji, tetapi ternyata para pesihirnya itu mengalami kekalahan, dan Nabi Musa mendapat kemenangan, maka pudarlah harapan Fir’aun dan pemuka-pemukanya untuk dapat mempertahankan kebesaran dan kekuasaannya. Hilanglah kehebatan mereka di mata orang banyak, dan jadilah mereka orang-orang yang hina. Apalagi peristiwa tersebut terjadi pada salah satu hari raya mereka dan tidak disaksikan orang banyak. Mengenai ini Allah berfirman dalam ayat lain:

قَالَ مَوْعِدُكُمْ يَوْمُ الزِّيْنَةِ وَاَنْ يُّحْشَرَ النَّاسُ ضُحًى

Dia (Musa) berkata, “(Perjanjian) waktu (untuk pertemuan kami dengan kamu itu) ialah pada hari raya dan hendaklah orang-orang dikumpulkan pada pagi hari (dhuha).” (Taha/20: 59)

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Kisah Nabi Musa dan Doa-Doa yang Dipanjatkannya dalam Surat al-Qashash


Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 52: Jihad itu Memerangi Hawa Nafsu

0
Jihad memerangi hawa nafsu
Jihad memerangi hawa nafsu

Satu dari sekian bentuk jihad yang menurut saya paling relevan sepanjang masa adalah jihad memerangi hawa nafsu. Problematika yang terjadi di segala lini kehidupan tidak lain penyebab utamanya karena manusia diperbudak oleh hawa nafsunya sendiri. Padahal Islam mengajarkan kepada manusia untuk piawai dan lihai memerangi hawa nafsu.

Emha Ainun Nadjib atau kerap disapa Cak Nun, ia mengatakan “hidup itu harus tahu kapan nge-gas dan nge-rem”. Manusia, kata Cak Nun, harus tahu kapan saat mempercepat lajunya dan kapan mengurangi. Ringkasnya, manusia dituntut untuk mengendalikan – jika tidak berlebihan memerangi – hawa nafsu. Seperti firman Allah swt terhadap Nabi Muhammad saw dalam Q.S. al-Furqan [25]: 52,

فَلَا تُطِعِ الْكٰفِرِيْنَ وَجَاهِدْهُمْ بِهٖ جِهَادًا كَبِيْرًا

Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al-Qur’an) dengan (semangat) perjuangan yang besar. (Q.S. al-Furqan [25]: 52)

Tafsir Surat Al-Furqan ayat 52

Ayat di atas berisi larangan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw mengikuti orang-orang kafir yang mengajak beliau kompromi terkait masalah keagamaan. Lantas, Allah swt memerintahkan kepada-Nya untuk bersikap tegas dan konsisten dalam mensyiarkan Islam dan berjihad dengan mendakwahkan Al-Quran.

Selain itu, ayat ini juga menyiratkan untuk berupaya semaksimal mungkin dalam melakukan perjuangan li i’lai kalimatiillah (untuk menegakkan kalimat Allah) dengan penuh kearifan, kesabaran dan tiada gentar sedikitpun terhadap musuh. Upaya demikian Allah swt lukiskan dalam redaksi “wa jahidhum bihi jihadan kabiran”.

Tafsir Kemenag mengatakan ayat ini termasuk dalam rumpun ayat Makkiyah, diturunkan dalam keadaan damai. Maka, dalam konteks ini, kata jihad lebih ditekankan pada upaya sungguh-sungguh dalam melaksanakan dakwah. Sebab dengan sungguh-sungguh, Allah swt pasti memberikan petunjuk dan keberhasilan bagi mereka sebagaimana firman-Nya Q.S. al-‘Ankabut [29]: 69,

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.(Q.S. al-‘Ankabut [29]: 69)

Sedangkan Muhammad Thantawi dalam alTafsir al-Wasit li alQuran alKarim menafsiri redaksi fala tuthi’il kafirina dengan perkara yang batil dan rusak (bathilah fasidah). Wa jahidhum, selain Thantawi, Imam al-Tabary, al-Baghawy, Ibnu Katsir, Ibnu Asyur, al-Qurtubi, dan al-Wahidi sepakat menafsirkan redaksi tersebut dengan Al-Quran.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Anbiya’ Ayat 7, Mengapa Menuntut Ilmu Setara dengan Jihad?

Thantawi mendefinisikan jihad bil Quran dengan,

عن طريق قراءته والعمل بما فيه، وبيان ما اشتمل عليه من دلائل وبراهين على صحة دعوتك

“Dengan membaca dan mengamalkan kandungan Al-Quran, menjelaskan petunjuk-petunjuk dan bukti validnya secara benar”

Semakna dengan Thantawi, al-Baghawy dalam tafsirnya menafsirkan redaksi fala tuthi’il kafirina dengan janganlah Rasul saw menyetujui dan turut dalam tipu muslihat mereka (kaum kafir). Dalam Tafsir Ibnu Katsir, ia menukil perkataan sahabat Ibnu Abbas dengan menganalogikan konteks ayat di atas dengan firman Allah Ta’ala dalam Surat At-Taubah: 73, dan Surat At-Tahrim ayat 9.

Lebih jauh, at-Tabary juga menukil hal yang sama dengan Ibnu Katsir, yakni diceritakan al-Qasim, berkatalah al-Husain, Hujjaj, dari Ibnu Juraih, berkata: Ibnu Abbas berkata, “fala tuthi’il kafirina”, dimaknai dengan Al-Quran. Namun demikian, pada waktu yang bersamaan, al-Tabary juga mengutip riwayat dari Yunus, yaitu diceritakan dari Yunus, ia berkata: dikabarkan dari Ibnu Wahab, Ibn Zaid, berkata: wa jahidhum bihi jihadan kabiran dengan Islam. Jadi yang dimaksud upaya sungguh-sungguh itu harus berlandaskan Islam.

Baca juga: Tinjauan Tafsir terhadap Jihad, Perang dan Teror dalam Al-Quran

Selanjutnya, Ibnu Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir ayat di atas bermakna sabar. Sabar ini ditunjukkan kepada Nabi Muhammad saw untuk tetap terus berjihad di jalan-Nya. Ibnu Asyur juga memberikan penafsiran yang agak berbeda, yaitu meskipun berjihad dengan tetap berpijak syariat Islam dan Al-Quran, ia juga mengutip sabda Nabi saw:

وهذا كقول النبي صلى الله عليه وسلم لأصحابه عند قفوله من بعض غزواته ” رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر ” قالوا : «وما الجهاد الأكبر»؟ قال : ” مُجاهدة العبد هَواه ” رواه البيهقي بسند ضعيف

Sebagaimana perkataan Rasul saw kepada sahabat-Nya ketika sekembali dari perang Badar, “kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar”. Mereka menimpali, “Apa itu jihad yang lebih besar Ya Rasulallah?” Lantas beliau saw menjawab, “berjihad atau memerangi hawa nafsu”. H.R. Baihaqi dengan sanad dha’if.

Penafsiran serupa juga disampaikan al-Wahidi dalam Al-Wajiz Fi Tafsiril Qur’an Al-Aziz, ia memaknainya dengan bahwasannya Nabi Muhammad saw jangan mengikuti hawa nafsu dan tipu daya muslihat orang kafir serta tetap berpegang teguh dengan Al-Quran.

Jihad memerangi hawa nafsu

Ayat di atas mengandung pesan untuk berjihad memerangi hawa nafsu. Sebagaimana dalam pembahasan jihad sebelumnya, makna jihad sangatlah luas. Salah satu dari makna yang luas itu yang “paling relevan” menurut saya adalah jihad memerangi hawa nafsu. Jihad ini pada hakikatnya merupakan pondasi utama bagi bentuk-bentuk jihad lain yang harus diprioritaskan, sebab seseorang yang tidak bisa melawan hawa nafsunya sendiri, tidak mungkin bisa menjalankan perintah jihad.

Sungguhpun demikian, jihad memerangi hawa nafsu menjadi faktor determinan (penentu) keabsahan suatu perjuangan dapat disebut sebagai jihad. Peperangan, pekikan kalimat thayyibah (lafadz takbir misalnya) dengan tujuan “politis”, demi  meraup kekuasaan atau kalkulasi untung-rugi semata, bukan karena tujuan memuliakan agama Allah tidak bisa disebut jihad. Begitulah kata Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah-nya.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 144: Cinta Tanah Air Itu Fitrah Manusia

Sebagai penutup, saya ingin mengutip pernyataan Al-Ghazali sebagai berikut:

وأشد أنواع الجهاد الصبر على مفارقة ماهواه الإنسان

“Macam-macam jihad yang paling berat dilaksanakan adalah bersabar tidak menuruti hasrat dan syahwat hawa nafsu”.

Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Ali Imran Ayat 92: Anjuran untuk Wakaf

0
Anjuran untuk wakaf
Anjuran untuk wakaf

Dalam kehidupan orang muslim istilah wakaf sudah tidak asing lagi. Dalam Islam pun wakaf merupakan anjuran. Seringkali sepetak tanah atau bangunan dijadikan bentuk wakaf oleh seseorang yang diberikan kepada pihak yang dirasa pantas menerima wakaf tersebut. Anjuran untuk wakaf antara lain terdapat dalam Surah Ali Imran ayat 92.

Term wakaf

Adapun wakaf sendiri secara terminologi berasal dari bahasa Arab, bentuk asalnya adalah waqafa-yafiqu-waqfan, berarti berdiri, abadi, dan menahan. Sedangkan secara epistimologi adalah memberikan harta kekayaan dengan suka rela, atau suatu pemberian yang berlaku abadi, untuk kemaslahatan keagamaan atau untuk kemaslahatan umum.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Dalil Larangan Riba dan Ancamannya

Ali as-Shabuni dalam kitabnya Shafwah at-Tafasir, mengatakan bahwa menurut para mufassirin mereka memaknainya dengan kata infak, shadaqah, dan bentuk pengorbanan dijalan Allah atau melakukan kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Adapun Dalil dianjurkannya wakaf memang tidak disebutkan secara tegas di dalam al-Qur’an sebagaimana penyebutan perintah-perintah zakat atau pun yang lainnya, namun ahli fiqih mengambil dalil dianjurkannya berwakaf didasarkan pada QS. Ali Imran/3: 92.

Tafsir Surah Ali Imran ayat 92

لَن تَنَالُواْ الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui

Quraish Shihab mengatakan, ayat ini menegaskan bahwa tidak akan meraih kebaikan sebelum kalian menginfakkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian infakkan, maka sesungguhnya Allah pasti megetahuinya. Anjuran untuk bernafkah di jalan Allah swt. apa yang disukai. Mencampurkan yang disukai atau yang tidak disukai  pun dapat ditoleransi, tetapi itu bukan cara terbaik untuk meraih kebajikan yang sempurna.

Dalam kitab Tanwir al-Miqbas, dijelaskan makna lan tanâlul birra (sekali-kali kalian tidak akan meraih kebaikan), yakni segala yang ada di sisi Allah swt. berupa pahala, kemuliaan, dan surga hanya dapat diraih manakala kalian menginfakkan harta yang kalian cintai. Menurut pendapat yang lain, lan tanâlul birra berarti, kalian tidak akan sampai pada ketawakalan dan ketakwaan. Hattâ tunfiqû min mâ tuhibbûn, wa mâ tuηfiqû min syai`in (sebelum kalian menginfakkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian infakkan), yakni harta benda. Fa innallâha bihî (maka sesungguhnya Allah kepadanya) dan kepada niat kalian.‘Alîm (pasti mengetahui), apakah bertujuan untuk mengharap ridha Allah swt. atau demi mendapat pujian orang lain.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Pengampunan Hukuman dalam Islam

Dalam kitab Tafsir al-Misbah, Kata al-Birr di atas, pada mulanya berarti “keluasan dalam kebajikan” dan dari akar kata yang sama dengan kata “daratan” dinamai al-barr karena luasnya kebajikan mencakup segala bidang, serta tentu saja termasuk menginfakkan harta di jalan Allah (berwakaf).

Pada ayat sebelumnya, disebutkan bahwa siapa yang meninggal dalam kekufuran maka tidak akan diterima atau berguna nafkahnya untuk menampik siksa yang akan menimpanya. Maka disini dikemukakan kapan dan bagaimana sehingga nafkah seseorang dapat bermanfaat. Yakni bahwa yang dinafkahkan hendaknya  harta yang disukai, karena kamu sekali-kali tidak meraih kebajikan  (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian dari harta benda yang kamu sukai dengan cara yang baik  dan tujuan yang baik serta motivasi yang benar..

Thabathaba’i dalam tafsirnya, Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, menyebutkan setelah terlebih dahulu  mengemukakan ketidakjelasan hubungan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya. Ia menduga boleh jadi ayat ini ditujkan kepada Bani Isra’il. Yakni setelah dalam ayat-ayat yang lalu mereka dikecam akibat perhatian dan kecintaan yang demikian besar terhadap kehidupan dunia dan harta dengan mengabaikan tuntunan agama, di sini mereka sekali lagi dikecam bahwa ”kalian berbohong ketika berkata bahwa kalian adalah kekasih Allah dan pengikut para Nabi. Atau orang-orang yang bertakwa dan berbuat kebaikan, karena kalian sangat mencintai  harta-harta kalian yang baik dan kikir menafkahkannya, padahal kalian tidak akan meraih kesempurnaan dalam kebajikan jika  tidak menafkahkan apa yang kalian sukai”.

Baca juga: Tafsir Fiqh (4): Al-Qurthubi dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an

Ayat di atas, memang tidak secara tegas menyinggung tentang wakaf. Namun, ayat di atas lah yang dijadikan para ahli fiqih sebagai dalil dianjurkannya berwakaf didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran tentang perintah lakukanlah kebaikan, yang mana kata kebaikan itu mengandung arti yang umum yang termasuk pula di dalamnya perintah untuk berwakaf, karena dengan wakaf akan mendekatkan hubungan seorang hamba dengan tuhannya dan dengan sesama manusia.

Ulama berpendapat bahwa perintah wakaf merupakan bagian dari perintah untuk melakukan al-Birr (secara harfiah berarti kebaikan). Imam Al-Baghawi menafsirkan bahwa perintah untuk melakukan al-Birr berarti perintah untuk melakukan silaturrahmi, dan berakhlak yang baik. Sementara Taqiy al-Din Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini al-Dimasqi, menafsirkan bahwa perintah untuk melakukan al-Birr berarti perintah untuk melakukan wakaf.

Bertitik tolak dari ayat al-Quran yang menyinggung tentang akaf tersebut nampak tidak terlalu tegas. Karena itu sedikit sekali hukum-hukum wakaf yang diterapkan berdasarkan ayat diatas. Sehingga anjuran untuk wakaf ini diletakan pada wilayah yang bersifat ijtihadi, bukan ta’abbudi, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis wakaf, syarat, peruntukan dan lain-lain.

Meskipun demikian, ayat al-Quran yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para ahli fikih Islam. Sejak masa Khulafa`ur Rasyidin sampai sekarang, dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf dengan menggunakan metode penggalian hukum (ijtihad) mereka sendiri. Sebab itu sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad mereka masing-masing, dengan menggunakan metode ijtihad seperti qiyas, mashlahah mursalah,urf dan lain-lain.

Hikmah dan manfaat wakaf dalam kehidupan

Manfaat adanya wakaf dalam kehidupan dapat dilihat dari sisi hikmahnya. Setiap peraturan yang disyariatkan Allah swt. kepada makhluknya baik berupa perintah atau larangan pasti mempunyai hikmah dan manfaat bagi kehidupan manusia, khususnya bagi umat islam. Adapun ibadah wakaf ini bersifat sunnah banyak sekali hikmah yang terkandung didalam wakaf ini :

Pertama, harta benda yang kita wakafkan dapat tetap terpelihara dan terjamin kelangsungannya. Tidak perlu khawatir atas apa yang diwakafkan, karena secara prinsip barang wakaf tidak boleh ditassarufkan. Kedua, pahala dan keuntungan bagi si pewakaf akan tetap mengalir, sekalipun si pewakaf sudah meninggal dunia. Ketiga, wakaf merupakan salah satu sumber dana yang sangat penting manfaatnya bagi kehidupan agama dan umat.

Adapun wakaf disamping mempunyai nilai ibadah, sebagai tanda rasa syukur seorang hamba atas nikmat yang telah di anugerahkan Allah, juga mempunyai nilai sosial yang cukup tinggi.  Wallahu a’lam[]

Argumentasi Kekuasaan dan KeEsaan Allah Swt: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 164

0
alam raya sebagai argumentasi kekuasaan dan ke-Esaan Allah
alam raya sebagai argumentasi kekuasaan dan ke-Esaan Allah

Di dalam Al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang menerangkan bukti ke-Esaan Allah Swt. di antaranya adalah QS. Al-Baqarah [2]: 164, QS. Al-Hasyr [54]: 24, QS. Ar-Rum [30]: 27, dan masih banyak lagi. Salah satu ayat yang penulis jadikan rujukan yakni QS. Al-Baqarah: 164 yang berbunyi,

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (164)

Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”, (QS. Al-Baqarah [2]:164).

Baca Juga: Enam Ayat Kauniyah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 164 dan Hikmahnya

Alam raya sebagai bukti keKuasaan dan ke-EsaanNya

Dalam magnum opusnya yang berjudul Tafsir Marah Labid, Imam Nawawi memberikan penjelasan bahwa dari ayat di atas terdapat delapan dalil atau argumen keberadaan kekuasaan dan ke-Esaan Allah Swt:

Pertama, adanya langit dan bumi. Imam Nawawi kemudian merinci bukti ke-Esaan dan kekuasaan Allah yang ada di langit dan juga di bumi. Tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di langit berupa ketinggian dan instrument-instrumen tata surya yang tersusun tanpa adanya sesuatu penggantung, semisal matahari, bulan dan bintang. Sedangkan tanda-tanda yang ada di Bumi berupa bentangan dan hamparannya yang di tempati oleh gunung, lautan, tambang, mutiara, sungai serta ditumbuhi dengan pohon-pohon dan buah-buahan.

Pendapat senada juga diutarakan oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya mengenai penafsiran kata “khalqi as-Samawati wal Ard”. Bagian ini menunjukkan bahwa Allah dapat diketahui keberadaanNya dengan merenungkan penciptaan langit dan bumi. Dalam penciptaan langit misalnya berupa ketinggian dan keluasannya, serta bintang-bintang yang bergerak dan yang diam, juga peredaran benda-benda langit pada garis edarnya. Kemudian dalam penciptaan bumi, berupa dataran rendah dan tingginya, gunung, lautan, gurun pasir, kesunyian, keramaian, dan segala manfaat yang terdapat di dalamnya.

Argumen kedua Syekh Nawawi menjelaskan bukti ke-Esaan Allah Swt. yaitu dengan adanya malam dan siang yang silih berganti; satu pergi dan yang lain datang, serta perbedaan jangka waktu antara siang dan malam yang terkadang lebih lama dan terkadang relatif lebih pendek. Bukti lain yakni adanya cahaya, gelap, dan teraturnya waktu bagi seseorang, malam dikhususkan untuk istirahat sedang di siang hari dikhususkan untuk bekerja.

Sebagaimana juga disampaikan dalam Al-Quran, surah al-Naba ayat 9-11,
yang artinya “9. Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, 10. dan Kami jadikan malam sebagai pakaian, 11. dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan”

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 1-2: Bukti Kuasa Allah dan Barometer Pribadi Berkualitas

Argumen bukti ke-Esaan Allah Swt yang ketiga yaitu firman-Nya “Dan bahtera yang berlayar di laut”. Hal ini menegaskan bahwa bahtera-bahtera yang melintasi dan berlayar sekalipun membawa beban berat, dengan kuasa Allah Swt. bahtera-bahtera tersebut tidak tenggelam. Terkadang juga di tengah lautan bahtera-bahtera tersebut dijalankan oleh angin, terkadang juga bahtera-bahtera tersebut menghadapi kerasnya ombak di laut tetapi karena kuasa Allah bahtera-bahtera tersebut terselamatkan.

Bukti ke-Esaan Allah yang keempat, yakni berlayarnya bahtera-bahtera yang membawa apa yang berguna bagi manusia. Artinya, Allah Swt. memberikan kuasanya kepada seseorang yang menaiki bahtera-bahtera itu, agar dapat memenuhi tujuan mereka, bisa dengan berdagang atau hal-hal bermanfaat lainnya. Laut bisa dijadikan sebagai media untuk bisa menghubungkan lintas wilayah.

Bukti ke-Esaan Allah berikutnya adalah turunnya air hujan. Allah Swt. menjadikan air hujan sebagai sumber kehidupan bagi semua makhluk yang adan di bumi, hewan dan tumbuhan. Allah Swt. menurunkan air hujan sesuai dengan kebutuhan, dan manfaatnya. Terkadang Allah Swt juga menurunkan hujan tatkala manusia merasa kekeringan dan membutuhkan air seraya melakukan sholat minta hujan (istisqa’).

Argumentasi yang keenam adalah tersebarnya hewan melata di bumi. Imam Nawawi mengartikan “dabbah” di sini dengan manusia, karena menurutnya ada karakter yang sama antara manusia dan hewan. Oleh karenanya kita sering mendengar maqolah yang mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berakal “al-insan hayawan an-nathiq”.

Baca Juga: Penjelasan Al-Quran tentang Fenomena Alam Semesta Bertasbih kepada Allah

Bukti Ke-Esaan Allah berikutnya adalah adanya angin yang memiliki ciri yang lembut, tidak dapat disentuh dan dilihat, namun adapula angin yang bisa membawa malapetaka, semisal merobohkan pohon, dan bangunan. Meskipun demikian angin sejatinya adalah sumber kehidupan, seandainya sekejap saja angin tidak berhembus maka niscaya akan mati segala sesuatu yang memiliki ruh dan menjadi busuk.

Di dalam kitab Fath al-Qadir karangan Muhammad Ali al-Syaukani dijelaskan mengenai maksud dari kata “rih”, yaitu sesuatu yang memiliki sifat membinasakan, mendinginkan, menolong, membunuh serta berhembus kencang.

Tanda ke-Esaan Allah Swt. yang terakhir adalah adanya awan. Awan dapat menampung air yang banyak guna mengairi lembah-lembah di muka bumi. Ia bekerja sama dengan angin untuk kemudian terjadi turun hujan. Kekuasaan Allah terlihat di awan ini, ia bergantung di antara langit dan bumi tanpa adanya cantolan dan tiang.

Pada akhir ayat Allah menutup dengan kata-kata “sungguh terdapat tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berfikir”. Ini dapat juga diartikan dengan perintah, yaitu ‘berpikirlah! Sistem alam raya yang sangat teratur ini tidak terjadi begitu saja, ada Dzat yang Maha Esa dan Maha Kuasa yang mengatur dan mengendalikan semuanya. Namun sayang sekali, hanya sedikit dari kita yang mau untuk berpikir. Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang berpikir. Amin

Wafatnya Ulama Itu Musibah Terbesar: Tafsir Surah Ar-Ra’d Ayat 41

0
wafatnya ulama itu musibah terbesar
wafatnya ulama itu musibah terbesar

Akhir-akhir ini banyak sekali terjadi bencana, mulai dari bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, puting beliung, gempa bumi, gunung meletus dsb. Dilansir dari situs resmi BNPB, sepanjang 1 hingga 21 Januari 2021 terjadi sebanyak 185 bencana alam. Namun, ada yang lebih besar dari semua tadi. Tahukah apa itu? Yaitu wafatnya ulama.

Belakangan ini banyak sekali ulama kita yang wafat. Detik.com mengutip Abdul Ghaffar Rozin (Ketua Umum Pimpinan Pusat RMI Nahdlatul Ulama), ada 333 ulama yang wafat dalam kurun waktu antara Februari 2020-Januari 2021 minggu ketiga. Tentu saat anda membaca tulisan ini data tersebut terus bertambah.

Mengenai wafatnya ulama dalam Al-Qur’an tergambarkan pada potongan ayat berikut ini:

اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّا نَأْتِى الْاَرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ اَطْرَافِهَاۗ

Dan apakah mereka tidak melihat bahwa Kami mendatangi daerah-daerah, lalu Kami kurangi itu dari tepi-tepinya? (QS. Ar-Ra’d [13]: 41).

Ditemukan beragam penafsiran terhadap ayat tersebut. Salah satunya adalah dengan wafatnya para ulama. Penafsiran seperti ini sangat sesuai dengan situasi dan kondisi terkini. Berkaitan dengan itu, Ibnu Abbas dan Mujahid menafsirkan نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا dengan wafatnya para ulama. Penafsiran seperti ini dapat kita temukan diantaranya dalam Tafsir Ma’alim At-Tanzil (4/327) karya Al-Baghowi, Tafsir Ibnu Katsir (2/492) dan Tafsir Al-Munir (7/208) karya Wahbah Az-Zuhaili dsb.

Habib Zain ibn Sumaith dalam Al-Manhaj As-Sawi (414) juga mengutip dari Atho’ dan sekelompok ulama perihal penafsiran ini. Beliau juga mengutip An-Nasafi (710 H) mengenai Firman Allah SWT QS. An-Najm [53]: 1 yaitu: وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى (demi bintang ketika terbenam). Dia berkata: Allah bersumpah dengan orang alim ketika orang alim tersebut wafat.

Selain itu, beliau juga mengutip pernyataan Umar: Wafatnya seorang ahli ibadah yang selalu terjaga di malam hari, berpuasa di siang hari itu lebih ringan daripada wafatnya seorang ulama yang mengetahui halal dan haram.

Baca Juga: Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam Al-Quran: Refleksi Kepatuhan Terhadap Guru

Wafatnya Ulama Itu Musibah Terbesar

Dengan wafatnya ulama pasti ada ilmu yang hilang, sebagaimana penjelasan dalam beberapa riwayat hadis. Semua aspek kehidupan butuh ilmu. Orang yang tak berilmu hanya akan melahirkan kerusakan di muka bumi. Hakikat ilmu akan menunjukkan jalan yang benar. Jika ada orang yang “katanya berilmu” tetapi justru melakukan kerusakan, itu tanda dia bukan “orang yang berilmu”.

Maka tak berlebihan dalam Majma’ Zawaid Wa manba’ Al-Fawaid (2/400) disebutkan sebuah hadits dari Abu Darda’ berikut ini:

مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ وَهُوَ نَجْمٌ طُمِسَ وَمَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ

“Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, sebuah kebocoran yang tak dapat ditambal, dan itu bagai bintang yang dipadamkan. Meninggalnya satu suku lebih ringan daripada meninggalnya satu orang alim”

Hadis di atas menjelaskan wafatnya satu orang alim, bagaimana dengan kita yang saat ini ditinggal oleh banyak sekali ulama? Tentu ini musibah terbesar yang bertubi-tubi.

Baca Juga: Pengertian dan Penyebab Datangnya Musibah Menurut Al-Quran

Kriteria Ulama Dalam Al-Qur’an

Kata ulama dalam Al-Qur’an diulang 2 kali, yaitu dalam QS. Asy-Syu’aro [26]: 197 dan QS. Fathir [35]: 28. Mereka sebagai pewaris para Nabi sangat dibutuhkan perannya di tengah-tengah masyarakat. Tidak hanya terbatas urusan keagamaan, lebih jauh, peran mereka dalam keilmuan sosial dan pengetahuan alam juga sangat dibutuhkan. Maka tak heran banyak ditemukan ulama yang paham ilmu agama, sekaligus paham ilmu umum. Dalam dunia tafsir sendiri dikenal dengan corak tafsir ilmi, Tafsir Al-Jawahir misalnya.

Toh, pada hakikatnya tidak dikenal adanya dikotomi keilmuan, antara ilmu agama dan umum. Yang ada hanyalah skala prioritas keilmuan semata. Seorang yang mengerti “ilmu agama” secara umum tentu tanpa disadari mereka juga mempelajari “ilmu umum”, walaupun mungkin kurang mendetail.

Kata ulama sendiri dalam dua ayat di atas menggambarkan nuansa yang berbeda. Yang pertama, surah Asy-Syu’aro ayat 127 menjelaskan tentang ulama Bani Israil yang mengerti permasalahan keagamaan yang ada dalam kitab mereka.

Adapun yang kedua, surah Fathir ayat 28 menjelaskan kriteria ulama. Satu ayat sebelumnya, yakni pada ayat ke 27, Allah menyinggung buah-buahan, gunung, manusia, binatang melata, binatang ternak dan macam-macam warna. Seakan Allah SWT menyuruh kita supaya merenungi alam raya (Ayat Kauniyah). Sedangkan ayat setelahnya menyebutkan karakter ulama, yaitu mempunyai khasyyah (perasaan takut pada Allah) dan berbagai macam ibadah, seperti membaca Al-Qur’an, mendirikan salat dan berinfak.  

Bagaimanapun juga, dua ayat yang berurutan dalam surat Fathir ini mempunyai keterkaitan, penyebutan berbagai macam fenomena alam dinilai dapat lebih mengenalkan kepada Allah, Sang Maha Pencipta, dan tugas itu diemban oleh ulama. Sebagaimana Firman-Nya QS. Fusshilat [41]: 53 berikut ini:

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar

Baca Juga: Siapa yang Disebut Ulama? Simak Penafsiran Surat Fathir Ayat 28

3 Solusi Menyikapi Bencana Terbesar Ini

Dengan banyaknya ulama yang wafat, sudah sepatutnya hati kita sedih, tetapi apalah artinya kesedihan jika sebatas menangis merasa kehilangan dan upload rutin di media sosial saat ada ulama kita yang wafat, tanpa ada aksi nyata sebagai bentuk kesadaran. Aksi nyata tersebut antara lain:

  1. Serius Tafaqquh Fiddin

Kita sebagai umat Islam harus lebih semangat dan serius tafaqquh fiddin (mempelajari agama) kepada para ulama yang tersisa sebelum mereka dipanggil juga oleh-Nya. Sebagaimana pesan Abdullah bin Mas’ud:

عَلَيْكُمْ بِالْعِلْمِ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضَ وَقَبْضُهُ ذَهَابُ أَهْلِهِ

Kalian wajib mencari ilmu sebelum ilmu diambil. Diambilnya ilmu dengan wafatnya pemilik ilmu.

  1. Regenerasi Ulama

Regenerasi ulama juga harus lebih diperhatikan, supaya ada generasi yang dapat melanjutkan perjuangan ulama terdahulu. Walaupun mungkin secara kualitas tak sama, bahkan terkadang jauh di bawahnya. Dalam Al-Manhaj As-Sawi (136) disebutkan, diantara perkataan Sayyidina Umar adalah:

تَفَقَّهُوْا قَبْلَ أَنْ تُسَوَّدُوْا

 Belajarlah kalian, sebelum kalian diangkat menjadi pemimpin.

  1. Mulai Menulis Sebuah Karya

Menyampaikan ilmu bisa melalui sebuah karya tulis, baik karya tersebut berupa tulisan baru atau penerjemahan. Terkadang bagi sebagian orang kitab karya ulama terdahulu perlu penjelasan. Oleh karena itu, banyak ditemukan kitab syarah karya generasi setelahnya.

Selain itu, melihat kebutuhan masyarakat Indonesia umumnya tidak bisa berbahasa Arab, bahkan arab pegon pun terkadang merasa kesulitan. Maka, bagi para ahli harus lebih aktif menerjemahkan kitab-kitab dasar ke dalam Bahasa Indonesia, sekaligus sebagai bentuk implementasi dari Firman-Nya:

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهٖ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۗ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka.

Menerjemahkan ke dalam bahasa setempat sudah dilakukan oleh ulama-ulama kita terdahulu. Sehingga ditemukan banyak sekali kitab berbahasa Jawa, Sunda, Madura dsb. Meskipun dalam waktu yang bersamaan kajian kitab berbahasa arab dan arab pegon harus tetap dilestarikan.

Berkaitan dengan menyusun karya tulis, hadis terputusnya amal bagi yang telah wafat kecuali tiga hal yang salah satunya “ilmu bermanfaat” ditafsirkan oleh para ulama dengan mengarang, mengajar, dan berfatwa. Bahkan dalam Al-Manhaj As-Sawi (122) disebutkan bahwa mengarang kitab itu lebih dhahir, karena karangan kitab lebih lama berlakunya (lintas waktu). 

Lahum Al-Fatihah

Tafsir Surat Al A’raf ayat 106-112

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Tafsir Surat Al A’raf ayat 106-112 melanjutkan kisah Nabi Musa dan Fir’aun. Salah satu mukjizat Nabi Musa adalah ketika dijatuhkan tongkatnya berubahlah menjadi ular. Diperingatkan dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 106-112 ini untuk berhati-hati pada mukjizat ini karena banyak riwayat yang telah tercampur dengan kisah Israiliyat. Selengkapnya baca lebih lanut Tafsir Surat Al A’raf ayat 106-112 di bawah ini…..


Baca Tafsir Sebelumnya: Tafsir Surat Al A’raf ayat 103-105


Ayat 106

Pada ayat ini disebutkan jawaban Fir’aun kepada Nabi Musa, bahwa jika benar Nabi Musa datang menunjukkan kerasulannya hendaklah ia membuktikan kebenaran ucapannya, bahwa ia adalah utusan Allah, dan ia memperoleh mukjizat dari pada-Nya. Semula Fir’aun menduga bahwa Musa hanya berbohong mengaku menjadi utusan Allah. Oleh karena itu, Fir’aun minta ditunjukkan bukti kerasulan dan mukjizat tersebut bukan hanya dihadapannya tetapi juga di depan umum agar banyak orang yang mengetahuinya.

Ayat 107

Tantangan Fir’aun itu segera dijawab oleh Nabi Musa dengan memperlihatkan dua macam mukjizatnya. Pertama Musa menjatuhkan tongkatnya ke tanah, tiba-tiba tongkat tersebut menjadi seekor ular besar yang mempunyai sifat-sifat ular secara biologis, dapat bergerak dan berjalan dengan sesungguhnya, berbeda dengan ular yang diciptakan para pesihir pada masa itu, yang hanya nampak seolah-olah seperti ular yang bergerak, padahal tidak demikian.

Orang-orang melihat benda itu seperti bergerak, karena pikiran mereka telah dipengaruhi terlebih dahulu oleh  para pesihir tersebut. Berbeda halnya ular yang menjelma dari tongkat Nabi Musa itu.

Ayat 108

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Nabi Musa memperlihatkan mukjizat yang kedua, yaitu tangannya kelihatan bercahaya, memancarkan sinar yang terang.

Setelah ia melemparkan tongkatnya, dan orang-orang yang hadir menyaksikan ular yang menjelma dari tongkat tersebut, maka Nabi Musa memasukkan tangannya ke ketiaknya melalui leher bajunya, kemudian dikeluarkannya. Ternyata tangannya itu menjadi putih cemerlang dan berkilauan, dan dapat dilihat dengan nyata oleh yang menyaksikannya, termasuk Fir‘aun dan pengikutnya.

Dalam kisah Nabi Musa yang terdapat dalam surah Taha, surah an-Naml dan surah al-Qashash ditegaskan bahwa warna putih berkilauan yang kelihatan pada tangan Nabi Musa ketika itu adalah warna putih yang sehat, bukan warna putih yang disebabkan oleh penyakit sopak dan sebagainya.

Perlu diingat, bahwa dalam kitab-kitab tafsir yang mendasarkan penafsirannya kepada riwayat-riwayat yang diterima dari orang-orang dahulu, sering terdapat kisah-kisah yang berlebih-lebihan dan sangat aneh, mengenai ular yang menjelma dari tongkat Nabi Musa tersebut. Kita harus waspada dan berhati-hati dalam menerima riwayat-riwayat semacam itu, karena tidak mempunyai dasar yang kuat.

Bahkan sebagian berasal dari riwayat Israiliyat, yaitu dongeng-dongeng yang datang dari orang Yahudi, yang menyusup ke dalam kalangan kaum Muslimin yang bertujuan untuk merusak agama Islam dari dalam. Kenyataan sejarah menunjukkan, bahwa fitnah dan kekacauan yang terjadi dalam kalangan umat Islam, bahkan pembunuhan-pembunuhan terhadap khalifah-khalifah, biang keladinya adalah para penyusup itu, seperti Abdullah Ibnu Saba’ dari bangsa Yahudi yang berpura-pura masuk agama Islam. Lalu mengadakan pengacauan dalam bidang akidah, politik dan sebagainya, pada masa-masa permulaan Islam.

Syukurlah bahwa di kalangan ulama-ulama Islam telah muncul para cendekiawan yang waspada, lalu mengadakan penyelidikan mengenai riwayat-riwayat tersebut dan lebih memilih riwayat-riwayat yang mempunyai dasar yang kuat, yang tidak diragukan kebenarannya.

Ayat 109

Dalam ayat ini diterangkan bahwa setelah para pembesar kaum Fir’aun menyaksikan mukjizat yang diperlihatkan Nabi Musa kepada mereka, hati nurani mereka tidak beriman, bahkan mereka menuduh Nabi Musa telah melakukan sihir. Mereka menganggap bahwa perubahan tongkat Nabi Musa menjadi ular besar yang mereka saksikan, sama halnya dengan apa yang dapat diperbuat oleh ahli-ahli sihir yang terkenal di masa itu.

Sihir dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

  1. Sihir yang menggunakan benda-benda alam tertentu, yang diperlakukan sedemikian rupa dengan cara-cara tertentu pula, yang hanya diketahui oleh ahli-ahli sihir sendiri, sehingga menghasilkan efek (kesan) yang sangat menakjubkan bagi masyarakat yang alam pikirnya masih primitif (bersahaja).
  2. Sihir yang didasarkan pada kecepatan tangan, dalam menyembunyikan dan menampakkan benda-benda tertentu, sehingga kelihatan lain bentuk dan rupanya dari keadaan yang sebenarnya. Hal ini sama dengan permainan sulap pada masa kita sekarang.
  3. Sihir yang berdasarkan ilmu hipnotis, yaitu mempengaruhi jiwa yang lemah oleh orang-orang yang memiliki jiwa yang kuat. Dan kadang-kadang mereka mempergunakan pengaruh jin, sehingga membuahkan perbuatan yang manakutkan dan membuat orang histeris, seperti permainan jailangkung, dan sebagainya.

Ayat 110

Dalam ayat ini diterangkan bahwa para pembesar Fir’aun menghasut Fir’aun dengan menyatakan kepadanya, bahwa Musa adalah orang yang mempunyai pengetahuan dan bermaksud jahat, yaitu hendak merebut kekuasaan dari tangan Fir’aun dan mengusirnya bersama pengikutnya dari negeri Mesir. Hasutan ini berhasil, sehingga Fir’aun bertanya kepada mereka tentang apa yang akan mereka lakukan kepada Musa.

Di dalam kisah Nabi Musa yang terdapat dalam Surah Yunus diterangkan pula ucapan pemesar-pembesar Fir’aun kepada Nabi Musa sebagai berikut:

قَالُوْٓا اَجِئْتَنَا لِتَلْفِتَنَا عَمَّا وَجَدْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَا وَتَكُوْنَ لَكُمَا الْكِبْرِيَاۤءُ فِى الْاَرْضِۗ وَمَا نَحْنُ لَكُمَا بِمُؤْمِنِيْنَ 

“Mereka berkata: “Apakah engkau datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa (kepercayaan) yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya (menyembah berhala), dan agar kamu berdua mempunyai kekuasaan di bumi (negeri Mesir)? Kami tidak akan mempercayai kamu berdua”. (Yunus/10:78)

Ayat 111-112

Oleh karena Fir’aun meminta saran kepada para pembesarnya, maka mereka mengajukan saran agar Musa dan saudaranya (yaitu Nabi Harun) ditahan, dan penyelesaian masalahnya ditangguhkan buat sementara. Di samping itu, Para pembesar Fir’aun itu mengatakan bahwa Fir’aun harus segera mengirim utusan, ke semua pelosok negeri, untuk mengumpulkan ahli-ahli sihir yang sangat mahir, yang diharapkan akan dapat mengalahkan mukjizat Nabi Musa yang telah diperlihatkan kepada mereka.

Adanya saran mereka untuk menangguhkan persoalan Nabi Musa, menunjukkan bahwa Fir’aun telah berniat untuk membunuh Nabi Musa dan saudaranya Harun. Lalu para pembesar menyarankan, agar Fir’aun tidak tergesa-gesa melaksanakan pembunuhan itu, sebelum diuji kebenarannya dengan dihadapkan kepada ahli-ahli sihir yang pandai, sehingga persoalan menjadi jelas bagi orang banyak.

Dari ayat ini dapat dipahami, bahwa adanya saran untuk mengumpulkan semua ahli sihir yang paling mahir yang ada di negeri Mesir pada masa itu, menunjukkan betapa hebatnya mukjizat yang dikaruniakan Allah kepada Nabi Musa, sehingga mereka merasa perlu untuk mengumpulkan semua ahli sihir yang pandai untuk melawannya. Di samping menunjukkan kebodohan Fir’aun dan para pengikutnya, yang tidak bisa memahami bahwa yang diperlihatkan oleh Nabi Musa kepada mereka adalah anugerah Allah Yang Mahakuasa.

Karena ketidakfahaman mereka, maka mereka mengira sama dengan sihir. Selain itu peristiwa ini juga menunjukkan, bahwa salah satu dari sifat manusia ialah suka menentang meskipun ia melihat sesuatu yang benar. Sifat inilah yang mendorong Fir’aun dan para pengikutnya untuk mengumpulkan ahli-ahli sihirnya untuk menentang Nabi Musa as.

Bila diselidiki motif yang mendorong mereka untuk menentang rasul dan agama yang dibawanya, tak lain adalah kekhawatiran mereka akan kehilangan pengaruh, dan keinginan mereka untuk mempertahankan kedudukan, kekuasaan, kewibawaan, dan harta benda. Maka para pemuka Fir’aun itu menghasut Fir’aun dengan menyatakan, bahwa Musa bermaksud untuk merebut kekuasaan dari tangan Fir’aun, dan mengusirnya dari negerinya. Sikap menjilat semacam itu senantiasa dijumpai sepanjang masa.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Kisah Nabi Musa dan Doa-Doa yang Dipanjatkannya dalam Surat al-Qashash


Inilah 3 Kiat-Kiat Agar Kita Selalu Bersyukur dalam Menjalani Kehidupan

0
Kiat-Kiat Agar Kita Selalu Bersyukur
Kiat-Kiat Agar Kita Selalu Bersyukur

Artikel ini akan menguraikan tiga kiat-kiat agar kita selalu bersyukur. Dimulai dengan kutipan singkat dari Surah Ibrahim Ayat 7. Allah Swt berfirman:

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ…

….Sungguh jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (Q.S. Ibrahim: 7)

Syukur adalah sikap batin seseorang yang merasa cukup dengan apa yang telah dimilikinya. Namun demikian, menerima dan mensyukuri segala karunia yang kita dapatkan bukan berarti berhenti untuk mencita-citakan tujuan yang lebih tinggi, kita tetap terus berusaha untuk mencapai kehidupan yang jauh lebih baik lagi dari yang kita capai saat ini.

Baca Juga: Pengertian Kata Syukur dan Penggunaannya dalam Kehidupan Sehari-hari

Rasa syukur mampu menghadirkan perasaan tenang dan damai dalam menjalani hidup. Seseorang yang selalu bersyukur atas segala karunia nikmat yang Allah berikan kepadanya, sekecil apa pun nikmat itu, maka orang itu akan selalu merasa kaya, tidak pernah kekurangan. Sebaliknya, seseorang yang tidak pernah bersyukur atas nikmat Allah yang diberikan kepadanya, sebanyak apa pun nikmat tersebut, maka orang itu akan selalu merasa miskin, serba kekurangan.

Ada sebuah ungkapan yang menyebutkan: “Semakin banyak yang kita dapatkan, semakin banyak pula yang kita inginkan.” Ketika kita menginginkan sesuatu kemudian berhasil kita dapatkan, maka kita pun akan menginginkan sesuatu yang lain. Ketika itu pun sudah kita dapatkan, kita terus akan menginginkan sesuatu yang lain. Itulah siklus keinginan manusia yang tanpa ujung. Selalu saja ada sesuatu yang kita butuhkan untuk memuaskan hasrat serta keinginan kita.

Pertanyaannya kemudian, pernahkah kita meluangkan waktu sejenak untuk menerima dan mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada kita?

Berikut penulis uraikan kiat-kiat agar kita selalu bersyukur dalam segala kondisi.

  1. Lihat Semua yang Kita Miliki, Bukan yang Kita Inginkan

Jika kita melihat semua yang kita miliki, kemudian menyadari sepenuhnya bahwa semua itu adalah anugerah yang telah Allah limpahkan kepada kita, maka kita akan selalu bersyukur, dan tidak akan lagi terbuai dengan anga-angan kosong berupa khayalan tentang semua yang kita inginkan.

  1. Gali Kelebihan Kita, Bukan Menyesali Kekurangan Kita

Seseorang yang mampu memfokuskan diri pada apa yang menjadi kelebihannya, bukan meratapi kekurangannya, akan dapat mencapai cita-cita yang diinginkan. Dia selalu melihat sisi positif dirinya. Dia tidak terpengaruh dengan omongan orang tentang kekurangan yang ada pada dirinya. Alih-alih meratapi kekurangan, dia justru akan mengembangkan kelebihannya dan terus berusaha untuk menunjukkan kemampuan terbaiknya.

Dengan demikian, di antara wujud syukur kita kepada Allah adalah dengan menggali seluruh potensi yang ada di dalam diri kita, berusaha keras mengembangkan dan memanfaatkan kelebihan yang kita miliki.

  1. Yakin, Masih Banyak Orang yang Lebih Menderita dibanding Kita

Setiap manusia memiliki persoalan hidup masing-masing yang sedang dihadapinya. Jika kita tengah terbaring sakit beberapa hari ini, pikirkanlah orang lain yang saat ini berada di ruang ICU/UGD di sebuah rumah sakit. Jika kita mendapat pekerjaan dengan gaji kecil. Lihatlah berapa banyak para pengangguran yang ada di sekeliling kita. Jika kita saat ini masih tinggal di rumah kontrakan, lihatlah betapa banyak orang yang tinggal di kolong jembatan.

Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 10 -13: Syukurilah Nikmat Allah SWT, Jangan Sampai Mendustakannya

Jika kita mengalami masalah dalam penglihatan karena menderita minus, maka lihatlah orang yang benar-benar tidak dapat melihat karena buta. Dan jika kita ke mana-mana masih jalan kaki, karena tidak memiliki kendaraan pribadi, seperti sepeda motor atau mobil misalnya, lihatlah mereka yang saat ini tengah lumpuh dan tidak bisa bisa berjalan ke mana-mana, hanya terbaring lemah di atas tempat tidur.

Intinya, setiap kita merasa ada kekurangan dalam diri yang membuat kita menderita, lihatlah orang lain yang jauh lebih menderita dibanding kita. Dengan cara seperti ini, maka kita akan dapat selalu bersyukur setiap saat dalam segala kondisi.

Tafsir Surah Yusuf Ayat 5: Ketika Ya’qub Melarang Yusuf Menceritakan Mimpinya

0
Kisah Ya'qub melarang Yusuf menceritakan mimpinya
Kisah Ya'qub melarang Yusuf menceritakan mimpinya

Alasan Ya’qub melarang Yusuf menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya adalah karena mereka akan mencelakai dan membuat tipu daya untuk kebinasaannya. Mereka akan mencelakai Yusuf karena mereka mengetahui arti dari mimpi Yusuf yang telah dicerikatan kepada ayahnya. Peringatan dari Ya’qub ini kemudian menjadi dasar bagi setiap orang agar merahasiakan nikmatnya dari orang-orang yang ditakuti akan mencelakainya.

Tafsir Surah Yusuf ayat 5

Penjelasan surah Yusuf ayat 5 ialah tentang bagaimana Ya’qub melarang Yusuf menceritakan mimpinya kepada saudara-saudara. Tak hanya itu, ayat ini juga berisi perintah kepada Yusuf untuk merahasiakan nikmat dari orang yang ditakuti akan mencelakainya. Inilah ayat dan penjelasannya.

قَالَ يَابُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Dia (ayahnya) berkata, “wahai anakku! Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu. Sungguh, setan itu musuh yang jelas bagi manusia”

Baca juga: Kisah Kesabaran Nabi Ya’kub : Tafsir Surat Yusuf ayat 18

Ketika Ya’qub melarang Yusuf untuk menceritakan mimpinya

Pada ayat sebelumnya, telah dijelaskan mimpi Yusuf melihat sebelas Bintang, Matahari dan Bulan bersujud kepadanya. Pada saat itu, Yusuf masih anak kecil yang berumur dua belas tahun dan kemudian Dia mencitakan kepada ayahnya (Ya’qub).

Ketika Yusuf bercerita kepada ayahnya, ayahnya yang tak lain ialah Nabi Ya’qub melarang Yusuf untuk menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya. Ya’qub memberi peringatan dan mencegah agar Ia tidak menceritakan kepada saudara-saudaranya. Kemudian, Ya’qub berkata kepada Yusuf dengan pelan: jika kamu bermimpi sebuah mimpi, jangan ceritakan kepada saudara-saudaramu. sebagaimana Allah telah berfirman:

فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا

“Mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu”

al-Samarqandy dalam Bahr al-Ulum li al-Samarqandy (2/179) mengatakan bahwa  saudara-sauadara Yusuf akan melakukan suatu pekerjaan untuk Yusuf dan mereka akan membuat tipu daya untuk kebinasaanya.

Ya’qub telah mengetahui petunjuk mimpi Yusuf bahwa Allah akan menyampaikan Yusuf pada tingkat hikmah. Allah akan memilihnya untuk tugas kenabian dan Allah akan memberikan nikmat dengan nikmat terbaik seperti yang terjadi pada kedua kakeknya. Maka Ya’qub takut pada kedengkian dan kedzaliman saudara-saudaranya. (al-Zamakhsyary, al-Kasysyaf an Haqaiq Ghawamidh al-Tanzil, 2/444)

Menurut al-Tsa’laby dalam Tafsir al-Tsa’laby (5/198), Saudara-saudara Yusuf akan zalim kepada Yusuf dengan kejahatan-kejahatan serta mereka akan mengelabui Yusuf untuk kebinasaannya karena mereka mengetahui arti dari mimpi Yusuf. Berbeda dengan al-Tsa’laby, menurut al-Baghawy dalam Tafsir al-Baghawy (2/475), alasan saudara-saudara Yusuf mengelabui dan dengki kepadanya karena mereka tidak mengetahui arti dari mimpi Yusuf tersebut.

Baca juga: Anjuran Menjaga Diri Dari Orang Yang Berpikir Buruk: Surat Yusuf Ayat 67

Tipu daya yang dilakukan oleh saudara-saudara Yusuf terjadi karena Yusuf menentang wasiat ayahnya mengenai mimpinya. Yusuf menampakkan mimpinya kepada mereka. Seandainya Yusuf tidak menampakkan mimpinya, maka saudara-saudaranya dekat kepadanya. Sudah pasti bahwa sebab Yusuf menentang wasiat ayahnya Yusuf tidak selamat dari berbagai musibah itu. Pendapat tersebut disampaikan al-Qusyairy dalam tafsirnya Lathaif al-Isyarat (2/66).

Dalil kebolehan menyembunyikan nikmat

Menurut al-Jashshash dalam Ahkam al-Qu’an, tafsir dari surah Yusuf ayat 5 ini adalah asal/dasar bolehnya tidak menampakkan nikmat atau meyimpannya dari orang yang ditakuti kedengkian dan tipu dayanya. adapun perintah Allah untuk menampakkan nikmat adalah:

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hemdaklah engkau nyatakan” (Q.S al-Dhuha: 11)

Baca juga: Teladan Kisah Nabi Yusuf: Meminta Jabatan Boleh Asal Mampu Mendatangkan Kebaikan

Ya’qub melarang Yusuf menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya. Sebab Ya’qub mengetahui arti dari mimpi tersebut dan Ya’qub takut akan kedengkian dan tipu daya yang akan dilakukan oleh saudara-saudanya. Menurut al-Baghawy mereka dengki kepada Yusuf disebabkan mereka mengetahui mimpi Yusuf. Namun menurut al-Tsa’laby justru mereka mengetahui arti dari mimpi Yusuf, maka mereka mencelakainya. Pendapat al-Tsa’laby ini didukung oleh pendapat al-Qusyairy bahwa Yusuf melanggar wasiat ayahnya, sehingga Ia menampakkan mimpinya kepada para saudaranya. Ayat 5 dari surah Yusuf ini juga menjadi dasar kebolehan menyimpan nikmat dari orang-orang yang punya niat dengki dan aniaya. Wallahu a’lam[]