Beranda blog Halaman 403

Annabel Gallop, Pakar Mushaf Kuno Nusantara dari Inggris

0
Annabel Gallop, Pakar Mushaf Kuno Nusantara dari Inggris
Annabel Gallop, Pakar Mushaf Kuno Nusantara dari Inggris

Annabel Teh Gallop Kamis kemarin (05/02), mengunggah status tentang digitalisasi mushaf Kuno Nusantara di akun facebook-nya. Ia menuliskan ada delapan mushaf Kuno Asia Tenggara di British Library yang telah didigitalisasi dan bisa diakses secara gratis. Delapan mushaf itu terdiri dari satu mushaf dari Patani/Kelantan, tiga dari Aceh, dan empat dari Jawa. Mushaf-mushaf ini tentu sangat layak untuk diulas, namun artikel ringan ini akan membahas figur Annabel Gallop pakar mushaf terlebih dahulu. Siapakah ia?

Annabel sangat dikenal di kalangan pemerhati naskah kuno Nusantara sebagai pakar manuskrip Melayu. Tentu, istilah Nusantara ini mencakup wilayah yang kini berupa Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand, hingga Filipina. Kepala Koleksi Asia Tenggara di British Library London Inggris ini meneliti banyak sekali manuskrip yang ada di wilayah tersebut. Berbagai manuskrip baik berbentuk korespondensi, sastra hingga mushaf Al-Qur’an ia tekuni. Namun, ia sangat fokus terhadap manuskrip yang berbentuk dokumen, atau yang memiliki stempel, dan iluminasi.

Baca juga: Teologi Memahami Bahasa Asing: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 22

Annabel sebenarnya menghabiskan pendidikan strata satu di jurusan Matematika. Namun ia justru mengambil masternya di Indonesian and Malay Studies, SOAS London. Keputusan ini membawanya untuk terus konsisten di bidang Melayu, dan pada studi doktoralnya ia menulis tentang inskripsi stempel Melayu. Konsistensi Annabel semakin kuat karena pada tahun 1986 ia mendapat tugas sebagai Curator for Maritime Southeast Asia. Dan sejak 2002 ia bertugas sebagai Kepala Koleksi Asia Tenggara di British Library.

Kontribusi Annabel Gallop terhadap Kajian Mushaf Nusantara

Dalam kajian Mushaf Nusantara, Annabel banyak bersinggungan dengan mushaf-mushaf Nusantara yang tersimpan di luar negeri. Contoh beberapa penelitiannya itu berjudul An Acehnese Qur’an manuscript in Belgium (Sebuah Manuskrip Al-Qur’an Aceh di Belgia). From Caucasia to Southeast Asia: Daghistani Qur’ans and the Islamic manuscript tradition in Brunei and the southern Philippines (Dari Kaukasia ke Asia Tenggara: Al-Qur’an Dagestan dan Tradisi Manuskrip Keislaman di Brunei dan Filipina Selatan).

Kemudian, The spirit of Langkasuka? Illuminated manuscripts from the East Coast of the Malay Peninsula (Semangat Langkasuka? Naskah Beriluminasi dari Pantai Timur Semenanjung Malaya).  Qur’an manuscripts from Mindanao in U.S. collections (Manuskrip Al-Qur’an dari Minadanau Koleksi Amerika Serikat). Lalu ada juga mushaf yang kini di Kanada di Museum Aga Khan dengan judul The Bone Qur’an from South Sulawesi (Al-Qur’an Bone dari Sulawesi Selatan).

Selain bersinggungan dengan mushaf-mushaf Nusantara yang ada di luar negeri, ia juga fokus pada karakteristik fisik mushaf. Terlebih yang bersinggungan dengan iluminasi. Adapun beberapa penelitiannya itu berjudul The Art of the Malay Qur’an (Seni Al-Qur’an Melayu). The Art of the Qur’an in Southeast Asia (Seni Al-Qur’an di Asia Tenggara). The Art of the Qur’an in Java (Seni Al-Qur’an di Jawa).

Baca juga: Menanti Riset Manuskrip Al-Qur’an Nusantara Koleksi Prancis

Kemudian ia juga menganalisa perkembangan kajian manuskrip Al-Qur’an di wilayah Nusantara. Sehingga tulisannya pun lahir The appreciation and study of Qur’an manuscripts from Southeast Asia: past, present, and future (Apresiasi dan Kajian Manuskrip Al-Qur’an dari Asia Tenggara: Dulu, Kini, dan Nanti).

Sosok yang pernah menerima Anugerah Kebudayaan Indonesia tahun 2017 kategori Perorangan Asing ini memang sangat inspiratif. Ia juga mengapresiasi upaya lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an yang menerbitkan database mushaf Nusantara.

“Database ini akan membuka mata semua orang di seluruh dunia akan kekayaan khazanah mushaf Nusantara. Saya sendiri sangat tertegun dan kagum dengan mushaf dari misalnya Madura, Sumbawa, dan Kalimantan Timur yang masing-masing memperlihatkan kekhasan kedaerahan, tetapi juga ada benang merah yang mengikat semuanya, yaitu gaya kenusantaraan,” ujar Annabel, mengutip dari lama Mushaf Nusantara.

Selama menekuni kajian mushaf Nusantara, Annabel juga sering kolaborasi dengan pemerhati mushaf lainnya. Misalnya Ali Akbar, peneliti Lajnah ini acap kali berkolaborasi dan penelitiannya telah dipublikasikan. Beberapa hasil penelitiannya itu The Art of The Qur’an in Banten (Seni Al-Qur’an di Banten). Kemudian  karya Ali Akbar berjudul Pengaruh Qur’an [Turki] Usmaniyah di Asia Tenggara dari Masa ke Masa juga diterjemahkan Annabel dengan judul “The Influence of Ottoman Qur’ans in Southeast Asia through the Ages”. Karya ini lantas dimasukkan dalam buku From Anatolia to Aceh: Ottomans Turks and Southeast Asia terbitan Oxford Universit Press, tahun 2015.

Baca juga: Hukum Menulis Ayat Al-Quran dengan Bahasa Selain Arab

Melihat dari uraian karya tersebut, kompetensi Annabel Gallop tentu patut untuk dilanjutkan. Ia sangat berkontribusi pada seni yang ada di mushaf kuno Nusantara. Tentu masih ada banyak bagian yang belum disinggungnya, khususnya bagian ulumul Qur’an baik berupa rasm, qiraat, dhabt, atau lainnya. Alangkah indahnya jika puzzle peradaban dari mushaf kuno itu tersusun rapi dan penuh. Bukankah kita akan mengenal siapa nenek moyang kita dan bagaimana interaksinya dengan keyakinan beragama?

Hingga kini masih banyak manuskrip Al-Qur’an yang belum diungkap. Kita sebagai anak bangsa turut bertanggung jawab untuk melestarikan khazanah itu. Karena pada prinspinya, bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai sejarah dan peradabannya.

Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam[]

Kegundahan Nabi Muhammad Saw Dibalik Turunnya Surah Ad-Dhuha

0
Surah Ad-Dhuha
Surah Ad-Dhuha

Surah Ad-Dhuha merupakan surat yang ke-93 dari 114 surat dalam Al-Qur’an dan terdiri dari 11 ayat. Surat ini diturunkan di Mekkah – tepatnya sesudah surat Al-Fajr – atau lebih dikenal dengan istilah surat Makkiyah. Nama ad-Dhuha diambil dari kata yang terdapat pada ayat pertama, yang artinya “waktu matahari sepenggalahan naik (Safwat al-Tafasir).”

Secara umum, surah Ad-Dhuha menerangkan tentang pemeliharaan Allah swt terhadap nabi Muhammad saw yang tidak pernah terhenti walaupun sekejap, menepis anggapan kaum kafir Quraisy yang menuduh beliau telah ditinggalkan Tuhannya, larangan berbuat buruk terhadap anak yatim dan orang yang meminta-minta serta perintah Allah swt kepada nabi saw supaya mensyukuri segala nikmat.

Sebagaimana mayoritas surat Al-Qur’an, surah Ad-Dhuha juga memiliki peristiwa yang melatarbelakangi turunnya (asbabun nuzul). Ada banyak riwayat yang menyebutkan tentang peristiwa-peristiwa tersebut. Semua riwayat itu mengerucut pada satu kondisi, yakni kegundahan nabi Muhammad saw akibat terhentinya wahyu dari Allah swt dalam beberapa waktu.

Disebutkan bahwa setelah sepuluh kali menerima wahyu – yakni 1. Iqra’, 2. al-Qalam, 3. Al-Muzzammil, 4. al-Muddatstsir, 5. al-Lahab, 6. at-Takwir, 7. Sabbihisma, 8. Alam Nasyrah, 9. al-Ashr, dan 10. al-Fajr – nabi Muhammad saw dalam beberapa waktu tidak lagi menerima wahyu. Hal ini membuat beliau sedikit khawatir dan gelisah (Tafsir Al-Misbah [15]: 323).

Baca Juga: Maksud Larangan Berlebihan Memuji Rasulullah SAW, Tafsir Surah an-Nisa 49

Ketidakhadiran wahyu Al-Qur’an tersebut melahirkan berbagai tanggapan masyarakat Arab. Bahkan – menurut Quraish Sihab – ini memberi dampak negatif dalam jiwa nabi saw (gejolak psikologis). Beliau menjadi gelisah dan memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi. Diriwayatkan bahwa beliau sampai bolak-balik pergi ke gua Hira karena sangat menginginkan wahyu datang.

Di tengah kegundahan nabi Muhammad saw, seorang perempuan berkata kepada beliau – dikatakan itu adalah Ummu Jamil istri Abu Lahab – “Wahai Muhammad, setanmu benar-benar telah meninggalkanmu.” Lantas turunlah firman Allah swt dalam surah Ad-Dhuha (HR. Bukhari, no. 4983). Identitas tokoh yang mengatakan hal itu memang simpang siur, namun melalui riwayat tersebut kita dapat memahami bahwa nabi sedang dalam kondisi gejolak jiwa.

Pandangan di atas ditolak oleh Muhammad Abduh, sang pembaharu tafsir modern. Menurutnya, kecil kemungkinan  kaum musyrikin mengetahui ketidakhadiran wahyu. Baginya,  yang sebenarnya terjadi adalah nabi Muhammad saw begitu merindukan wahyu setelah merasakan manisnya keterhubungan dengan Allah swt. Akibatnya, beliau takut, gelisah, khawatir jikalau itu terjadi secara permanen (Tafsir al-Manar).

Ketidakhadiran wahyu Al-Qur’an ini berlangsung dalam beberapa waktu. Ada riwayat yang menyebutkan 2 atau 3 hari, ada yang menyebutkan 12 hari yakni al-Thabari, dan ada pula yang menyatakan selama 15 hingga 40 hari. Namun jika kita berkaca pada besarnya kegundahan nabi Muhammad saw – hingga dikatakan al-Maraghi beliau hampir frustasi – maka dapat disimpulkan bahwa itu terjadi dalam waktu yang cukup lama.

Orang-orang mungkin bertanya, sebenarnya apa yang menyebabkan wahyu terhenti? Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa penyebabnya adalah seekor anjing, tetapi pendapat ini ditolak oleh Ibnu Hajar. Menurutnya, Kisah lambatnya turun yang disebabkan anak anjing itu mahsyur, akan tetapi itu sangat gharib bahkan ganjil dan terbantahkan oleh hadis dalam kitab Shahih Bukhri.

Terlepas dari apa penyebab terhentinya wahyu, menurut sebagian ulama peristiwa ini – baik fatratul wahyi sebelum turunnya al-Muddatstsir atau ad-Dhuha – menunjukkan bahwa otoritas pewahyuan sepenuhnya berada di tangan Allah swt, bukan atas kehendak nabi Muhammad saw sebagaimana yang dituduhkan oleh orang-orang kafir bahwa beliau memanipulasi wahyu. Allah swt adalah pemilik wahyu dan Dialah yang mengaturnya.

Ketika kegundahan nabi Muhammad saw berada pada puncaknya, Allah swt kemudian menurunkan surah Ad-Dhuha sebagai jawaban atas pertanyaan dan hinaan yang dilontarkan oleh kaum kafir Mekah yang menganggap bahwa Rasulullah saw sudah tidak dipedulikan lagi oleh Tuhannya, karena beliau sudah lama tidak menerima wahyu kenabian.

Menurut Quraish Shihab, ketika surah Ad-Dhuha turun dikisahkan bahwa nabi saw bertakbir karena senang dan gembira. Dari pengamalan beliau inilah, para ulama menganjurkan agar setiap selesai membaca surat ini dan surat-surat yang tercantum dalam Mushaf sesudah ad-Dhuha agar bertakbir pula, baik pembacaan tersebut dalam shalat, maupun di luar shalat (Tafsir Al-Misbah [15]: 325).

Namun riwayat nabi saw bertakbir tersebut tidak bisa dikatakan sahih, karena hadisnya dhaif. Hal ini telah disampaikan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Azim dan Imam asy-Syaukani dalam Fath al-Qadir.  Meskipun demikian, jika kita merujuk pada peristiwa kegundahan nabi Muhammad saw, maka suatu hal yang wajar seandainya beliau bertakbir ketika wahyu kembali datang sebagai bentuk kegembiraan.

Menurut penulis, surah Ad-Dhuha merupakan kabar gembira dari Allah swt kepada nabi Muhammad saw yang begitu merindukan kedatangan wahyu, bahwa segala kegelisahan dan kegundahannya selama ini tidaklah benar. Melalui surat ini Allah swt ingin menegaskan bahwa diri-Nya tidak pernah membenci, melupakan, atau meninggalkan nabi saw. Dia senantiasa membersamainya tanpa henti.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 59: Bentuk Dukungan Rasulullah Terhadap Pemimpin dan Ulama

Melalui surah Ad-Dhuha, hati Rasulullah menjadi tenteram dan semakin semangat berdakwah. Dalam ayat-ayat ini Allah swt bersumpah dengan dua macam tanda-tanda kebesaran-Nya, yaitu dhuha bersama cahayanya dan dengan malam beserta kegelapannya; bahwa Dia tidak meninggalkan Rasul-Nya Muhammad dan tidak pula memarahinya, sebagaimana orang-orang kafir Quraisy mengatakannya atau perasaan Rasulullah sendiri.

Menurut Sahiron Syamsuddin – mengutip Bint al-Syati’ – sumpah  Allah swt dengan waktu dhuha dan kegelapan malam merupakan sebuah perumpamaan kondisi psikologis nabi Muhammad saw. Ketika wahyu terhenti, beliau seakan berada dalam gelapnya malam. Sebaliknya, ketika wahyu datang, beliau berada dalam pancaran cahaya yang sepenuhnya mampu melenyapkan kegelapan malam. Wallahu a’lam.

Teologi Memahami Bahasa Asing: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 22

0
Memahami Bahasa Asing
Memahami Bahasa Asing

Setidaknya berdasarkan survey UNESCO yang terakhir digelar di tahun 2018 yang terlampir di sini, bahwa jumlah bahasa di dunia mencapai 6.700 dengan penutur kurang lebih 7 miliar penduduk dunia. Bahasa mempunyai kekuatan lokalitas yang luar biasa, dalam satu negara bisa ditemukan ratusan bahasa, bahkan Indonesia saja memiliki hampir 400-an bahasa yang berbeda – beda di tiap daerah. Bahkan, memahami bahasa asing dalam satu rumpun bahasa bisa memiliki varian yang sangat beragam.

Namun pernahkah kita berfikir bahwa keragaman bahasa adalah karunia Allah SWT yang seharusnya kita syukuri?. Dari berbagai teori kemunculan bahasa yang populer dalam literatur Islam klasik adalah teori tauqifiyah. Teori ini menyatakan bahwa bahasa adalah murni wahyu dari Allah SWT. Tidak ada inisiasi maupun improviasasi dari makhluk dalam bentuk apapun, ibarat kata Allah menciptakan kita manusia sudah satu paket dengan kemampuan berbahasa. Salah satu yang dijadikan landasan teori ini adalah surat Al-Baqarah ayat 31

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Artinya : “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!” ( QS. Al-Baqarah 31).

Dalam ayat diatas, Allah berfirman bahwa Allah-lah yang mengajarkan Nabi Adam nama – nama benda di surga, sedangkan nama adalah salah satu produk turunan dari bahasa. Termasuk dari nama – nama yang diajarkan Allah, menurut Ibnu Abi Najih adalah nama – nama hewan melata, hewan – hewan yang terbang, dan semua hal.

Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 55-57: Kenikmatan Penduduk Surga

Diantara linguis yang mempercaya akan teori ini adalah Ibnu Faris, dalam bukunya As-Shahiby fi Fiqh Al-Lughah wa Sunan Al-‘Arab fi Kalamiha. Dan Ibnu Jinny, dalam karyanya Al-Khasais dan Sirr Shina’at Al-I’rab. Keragaman bahasa merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT. Seperti yang telah disinggung tadi, Allah menciptkan miliaran manusia mulai dari nabi Adam hingga saat ini, dengan segala kemampuan berbahasa mereka yang sangat beragam dari suku bangsa yang bermacam – macam. Allah berfirman:

وَمِنْ آياتِهِ خَلْقُ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوانِكُمْ إِنَّ فِي ذلِكَ لَآياتٍ لِلْعالِمِينَ

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan lisan dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui” ( QS. Ar-rum : 22 )

Diksi “lisan” disini bukanlah lisan secara fisiologis. Karena perbedaan manusia secara fisiologis telah diwakili oleh kata “Alwan” yang ada setelahnya. Sebagaimana yang Imam Abu Mansur cantumkan dalam Tafsir Al-Maturidy :

لأن الألسن بحيث خلقة الألسن غير مختلفة، ولكن إنما تختلف بحيث النطق والتكلم حتى لا يقع في التكلم بها والنطق والصوت تشابه بحال، وخروجه عما يقدرون من الكلام، وإن كانت بحيث خلقتها واحدة غير مختلف

“Karena lisan dari segi penciptaan (fisiologis) itu tidak ada perbedaan. Namun, yang membedakan adalah ucapan dan perkataan. bahkan tidak ada perkataan, ucapan, dan suara yang memiliki persamaan sempurna dan keluar dari kemampuan masyarakat dalam bertutur. Walaupun secara penciptaan sama, tak ada perbedaan”.

Baca juga: Menanti Riset Manuskrip Al-Qur’an Nusantara Koleksi Prancis

Az-Zamhasyari dalam Al-Kussyaf menyatakan secara eksplisit bahwa yang dimaksud “lisan” bukanlah produk abstrak seperti perkataan dan ucapan sebagaimana dituturkan Al-Maturidy. Beliau memastikan bahwa yang dimaksud dalam ayat itu adalah bahasa, secara khusus.

الألسنة: اللغات. أو أجناس النطق وأشكاله. خالف عزّ وعلا بين هذه الأشياء حتى لا تكاد تسمع منطقين متفقين في همس واحد، ولا جهارة، ولا حدّة، ولا رخاوة، ولا فصاحة، ولا لكنة، ولا نظم، ولا أسلوب، ولا غير ذلك من صفات النطق وأحواله

“yang dimaksud Al-Alsinat adalah Al-Lughaat (Bahasa-Bahasa), atau genre – genre serta format – format sebuah ucapan. Allah’Azza wa Jalla meletakkan perbedaan disini, sampai – sampai hampir tidak ada 2 buah wilayah yang bersepakat dalam satu ucapan baik berbisik, nyaring, ketajaman, kelembutan, retorika, aksen, aturan, gaya bahasa, dan lain-lain dalam hal sifat dan kondisi pengucapan”

Seharusnya perbedaan bahasa bukan membuat kita makin ter-diferensiasi, justru harusnya makin bersatu. Dengan cara belajar bahasa asing untuk saling memahami antar sesama manusia dari berbagai penjuru dunia. Belajar bahasa asing adalah cara untuk semakin menekan poin perbedaan antara satu dengan yang lain. sebagaimana ulama Syeh Nawawi katakan dalam Marah Labid :

وَاخْتِلافُ أَلْسِنَتِكُمْ أي لغاتكم العربية، والفارسية، وغير ذلك. والأصح أنه اختلاف كلامكم، فإن الأخوين إذا تكلما بلغة واحدة يعرف أحدهما من الآخر

“Perbedaan lisan kalian, maksudnya adalah bahasa Arab, Persia, dsb. yang paling absah adalah perbedaan tuturan. Maka jika ada 2 oang berbicara menggunakan bahasa yang sama, maka mereka akan saling kenal”

Baca juga: Surah Al-Ahzab [33] Ayat 4-5: Hukum Mengadopsi Anak Menurut Al-Quran

Dengan demikian dari berbagai keterangan diatas dapat disimpulkan, bahwa perbedaan bahasa adalah salah satu tanda kekuasaan Allah yang harusnya membuat iman kita terhadap-Nya semakin bertambah. Salah satu cara untuk mengimaninya adalah dengan belajar bahasa Asing sebagai wujud representasi kita sebagai hamba yang ingin menitih jalan menuju-Nya

Wallahu A’lam

Hukum Membuka Lembaran Al-Quran dengan Ludah, Berikut Penjelasan Para Ulama

0
hukum membuka lembaran Al-Quran dengan ludah
hukum membuka lembaran Al-Quran dengan ludah

Pernahkah kita melihat seseorang membaca Al-Quran dan ketika ia membuka lembaran mushafnya, ia menggunakan bantuan ludahnya? Sudah sering kita melihat pemandangan di atas. Lantas, bagaimana menurut para ulama hukum membuka lembaran Al-Quran dengan ludah tersebut, mengingat mushaf Al-Quran itu dimuliakan, sedangkan ludah adalah sebaliknya?

Setidaknya ada dua kelompok pendapat ulama mengenai hukum membuka lembaran Al-Quran dengan menggunakan ludah. Ada yang tidak membolehkan, bahkan cenderung mengharamkan, ada pula yang membolehkan dengan alasan tertentu. Berikut penjelasannya.

Baca Juga: Hukum Membaca Al-Quran dalam Keadaan Hadas

Antara yang Mengharamkan dan yang Membolehkan

Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh Al Imam Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Hawasyi Al-Madaniyah beliau menjelaskan tentang keharaman membuka lembaran Al-Quran dengan air ludah. Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan:

“Menyentuh mushaf atau lembaran Al-Quran dengan tangan yang ada air ludahnya itu diharamkan, karena air ludah tidaklah diperbolehkan mengenai dari bagian-bagian mushaf atau lembaran Al-Quran. Hukum keharaman di atas yaitu apabila tangan tersebut masih basah dengan air ludah sehingga dapat membasahi mushaf. Namun, jika air ludah yang di tangan tersebut sudah kering dan tidak membasahi mushaf, maka menyentuh mushaf dengan menggunakan tangan tersebut tidaklah diharamkan”.

Hukum keharamannya juga sebagaimana diutarakan oleh Imam Ad-Dusuki Al-Maliki dalam kitab Hasyiyahnya terhadap kitab Mukhtashar Khalil. Beliau mengomentari perkataan imam Khalil, tepatnya pada bagian “menyentuh mushaf dengan sesuatu yang kotor”.

Ad-Dusuki mencoba memperjelas pernyataan di atas dengan, “membasahi ujung jari dengan menggunakan ludah untuk membuka lembaran-lembaran Al Quran, meski perbuatan ini hukumnya haram, tetapi tidak semestinya kita berani mengatakan bahwa membuka Al-Quran dengan ludah adalah termasuk perbuatan kufur dan murtad, karena pelaku tidak bermaksud menghina Al-Quran. Pada permasalahan semacam ini, adanya unsur penghinaanlah yang bisa menyebabkan kekufuran”.

Komentar Ad-Dusuki Di atas bahkan sampai menyinggung bahwa membuka Al-Quran dengan ludah itu ada yang menjadikannya sebagai penyebab murtad, karena dianggap mengandung penghinaan terhadap Al-Quran. Di sinilah kita dapat melihat bagaimana ketat dan sensitifnya ulama dalam memuliakan Al-Quran.

Baca Juga: Ketahui Sembilan Adab Ketika Membaca Al-Quran

Kitab lain yang juga memuat tentang hokum keharaman membuka Al-Quran dengan ludah adalah kitab Tarsyih Al-Mustafidayn karya ‘Alawi bin Ahmad As-Saqqaf dan Busyra Al-Karim bi Syarh Masa’il At-Ta’lim karya Said bin Muhammad Ba’ali.

Pendapat yang kedua sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Romli didalam kitab Tuhfah Al-Muhtaj. Di sini dinyatakan bahwa hukum membuka lembaran Al-Quran dengan ludah itu boleh asalkan bertujuan untuk mempermudah membuka Al-Quran tersebut dan tidak ada maksud untuk menghinanya. Kesimpulan ini ia kutip dari beberapa penjelasan ulama sebelumnya, seperti terbaca dalam keterangan berikut,

وَفِي الْقَلْيُوبِيِّ عَلَى الْمَحَلِّيِّ يَجُوزُ مَا لَا يُشْعِرُ بِالْإِهَانَةِ كَالْبُصَاقِ عَلَى اللَّوْحِ لِمَحْوِهِ ؛ لِأَنَّهُ إعَانَةٌ ا هـ

وَفِي فَتَاوَى الْجَمَالِ الرَّمْلِيِّ جَوَازُ ذَلِكَ حَيْثُ قُصِدَ بِهِ الْإِعَانَةُ عَلَى مَحْوِ الْكِتَابَةِ وَفِي فَتَاوَى الشَّارِحِ يَحْرُمُ مَسُّ الْمُصْحَفِ بِإِصْبَعٍ عَلَيْهِ رِيقٌ إذْ يَحْرُمُ إيصَالُ شَيْءٍ مِنْ الْبُصَاقِ إلَى شَيْءٍ مِنْ أَجْزَاءِ الْمُصْحَفِ

Di dalam Kitab Qolyubi ala Almahalli dikatakan bahwa “Boleh membuka Al-Quran dengan menggunakan jari yang diberi ludah asalkan tidak menimbulkan penghinaan terhadap Al-Quran karena dapat mempermudah membukanya.

Sedangkan dalam kitab Fatawa Al-Jamal Ar-Romli, hukum kebolehan membuka Al-Quran dengan menggunakan jari yang diberi air ludah tersebut yaitu apabila bertujuan untuk mempermudah membukanya.

Namun demikian, dalam Fatawa As-syarih kembali menjelaskan tentang sebab keharamannya, yaitu “hukum keharaman memegang mushaf dengan menggunakan jari yang dibasahi air ludah yaitu tidak lain karena berarti mencampurkan sesuatu yang ada di air ludah itu dengan mushaf.

Selanjutnya, sebagian ulama Syafi’iyah kontemporer juga tidak absen berpendapat. Dalam hal ini, bolehnya menggunakan air ludah untuk menghapus ayat-ayat Al Quran yang tertulis di atas papan dan membuka Al-Quran dengan air ludah, karena pelaku tidak bermaksud untuk merendahkan Al-Quran.

Imam Al-Bujairimi rahimahullah mengatakan dalam Hasyiyahnya yang terkenal dengan judul At-Tajrid li Naf’i Al-‘Abid bahwa kebiasaan (membuka lembaran Al-Quran dengan ludah dan menghapus tulisan ayat Al-Quran di atas papan dengan ludah) yang sering dilakukan kaum muslimin bukanlah perbuatan kufur, juga tidak semestinya perbuatan tersebut dihukumi haram.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Membaca Al-Quran Ketika Haid, Bolehkah?

Demikian sekilas dua pendapat tentang hukum membuka lembaran Al-Quran dengan ludah. Jika dikaji lebih lanjut, dua pendapat di atas sebenarnya mempunyai substansi yang sama, yaitu sama-sama memuliakan Al-Quran dan sangat tidak setuju dengan adanya unsur penghinaan terhadap Al-Quran.

Hal ini terlihat dari alasan yang dikemukakan sebelumnya. Pendapat yang mengharamkan beralasan karena kawatir kebiasaan tersebut mengandung unsur penghinaan terhadap Al-Quran, sedang yang membolehkannya pun bukan karena tidak menjauhi unsur penghinaan terhadap Al-Quran, tetapi lebih pada unsur kemudahan dalam belajar dan membaca Al-Quran.

Silahkan anda mengikuti pendapat yang sudah ada tersebut. Selain itu ikuti pula kearifan dan keterbukaan yang diperlihatkan oleh para ulama dengan saling menerima perbedaan pemikiran tanpa menghakimi, menyalahkan pemikiran orang lain yang berbeda dan membenarkan pendapatnya sendiri. Wallahu A’lam

Tafsir Ahkam: Pengampunan Hukuman dalam Islam

0
Pengampunan hukuman dalam Islam
Pengampunan hukuman dalam Islam

Hukuman harus diberikan terhadap para pelanggar aturan sebagai balasan dan efek jera. Hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam sebuah pemerintahan berdaulat hukum. Namun terkadang, dalam suatu keadan dan kondisi, para pelaku kesalahan mendapatkan pengampunan hukuman atau tidak dihukum dikarenakan satu dan lain hal.

Dalam Islam, hal-hal tersebut ternyata juga dikenal dengan istilah ampunan (al-‘afwu) dan pertolongan (as-syafa’ah) yang digali dari Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 178 dan surah An-Nisa ayat 85. Lebih jauh, terminologi al-‘afwu dan as-syafa’ah ini ditarik secara teoritis maupun praktis hukum Islam sebagai pengampunan hukuman bagi pelanggar kesalahan di beberapa keadaan, tentunya diiringi syarat-syarat yang berlaku.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukuman Zina dan Alasan Perempuan Disebutkan Lebih Dulu

Tafsir ayat-ayat al’afwu dan as-syafa’ah

Al-‘afwu atau ampunan, adalah suatu sikap atau keadaan memaafkan perbuatan maupun pelaku yang membuat kesalahan. Sebagai umat Islam, dalil mengenai al-‘afwu ini bisa kita petik dalam surah Al-Baqarah ayat 178:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَى ۖ ٱلْحُرُّ بِٱلْحُرِّ وَٱلْعَبْدُ بِٱلْعَبْدِ وَٱلْأُنثَىٰ بِٱلْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِىَ لَهُۥ مِنْ أَخِيهِ شَىْءٌ فَٱتِّبَاعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَٰنٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”

Qurasih Shihab dalam Tafsir Al-Missbah memaparkan konteks hukuman qisas dan diat pada ayat tersebut. Menurutnya, zaman jahiliyah seringkali membunuh orang merdeka tidak bersalah untuk membalas budak mereka yang terbunuh. Lantas maksud dari diturunkannya ayat ini adalah memberi kelurusan bahwa hukuman qisas diberlakukan bagi yang bersalah atau si pembunuh. Namun, kemudian Quraish Shihab memberikan penjelasan lagi mengenai maaf dari sang ahli korban atau al-‘afwu, apakah ia menghendaki hukuman qisas atau diyat.

baca juga: Inilah Makna Qishash Menurut Al-Quran, Berikut Penjelasannya

Istilah yang serupa dengan al-‘afwu adalah as-syafa’ah. Lafadz as-syafa’ah yang berarti pertolongan ini ternyata diangkat dari Al-Quran surah An-Nisa’ ayat 58:

مَّن يَشْفَعْ شَفَٰعَةً حَسَنَةً يَكُن لَّهُۥ نَصِيبٌ مِّنْهَا ۖ وَمَن يَشْفَعْ شَفَٰعَةً سَيِّئَةً يَكُن لَّهُۥ كِفْلٌ مِّنْهَا ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ مُّقِيتًا

“Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa memberi syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Merujuk Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, ada dua kategori yang dinamakan syafa’ah dalam ayat tersebut, yaitu syafa’ah baik dan syafa’ah buruk. Nampaknya, klasifikasi tersebut lebih didasarkan atas kegunaan syafa’ah itu diberikan. Mengenai syafa’ah yang baik, Hamka menyebutkan tindakan-tindakan seperti memenuhi panggilan Tuhannya, menolong Rasul dalam perjuangan dakwahnya akan mendatangkan keuntungan yang baik akibat syafa’ah baik yang ia berikan tersebut. Kemudian beberapa tindakan syafa’ah yang buruk adalah tidak jujur, setengah hati, mundur di tengah jalan, dan mau enaknya sendiri. Jika seseorang melakukan tindakan-tindakan tersebut, ia pasti akan menanggung dosa dan menderita akibat syafa’ah buruk yang ia berikan.

Jarullah Az-Zamakhsyari dalam Tafsir Al-Kasysyaf juga menafsirkan definisi as-syafa’ah yang dimaksud dalam ayat tersebut. Menurutnya, syafa’ah yang baik itu digunakan untuk memelihara dan menjaga sessama muslim, menolak kejahatan menuju kebaikan, dan dalam semua sikap mengenai syafa’ah atau pertolongan yang ia berikan hanya mengharap ridho dari Allah, bukan mengharap suap (risywah). Oleh karena itu, syafa’ah yang hukum mulanya adalah terpuji jangan sampai dinodai dan disalahgunakan untuk hal-hal yang dilarang syara’ dan merugikan sesama muslim.

Pengampunan hukuman dalam Islam

Sejarah mencatat, bahwa term al-‘afwu dan as-syafa’ah ini telah digunakan dalam hukum Islam baik secara praktis maupun teoritis. Mengutip buku Al-Faruq ‘Umar karya seorang sejarawan Mesir, Husein Haikal, di mana diceritakan suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab tidak menghukum seorang wanita yang telah mengakui perbuatan zinanya. Wanita tersebut mengungkapkan alasan bahwa ia hampir mati kehausan dalam perjalanan, dan hanya ada satu temannya yang mau menolong dengan mengajukan syarat tersebut. Usai dilakukan musayawarah dengan para sahabat, dalam keputusan akhirnya khalifah Umar tidak menghukum wanita tersebut. Ampunan hukuman juga pernah diberikan Khalifah Umar bin Khattab kepada seorang pencuri dengan tidak dipotong tangannya karena kesulitan ekonomi dan sedang musim-musimnya paceklik.

Dalam perkembangan hukum Islam, konsep pengampunan hukuman bagi tindak pidana juga telah dimasukkan secara teoritis oleh pakar fiqih. Satu contoh bisa kita temukan dalam istinbath hukum Imam Syafi’i dari surah Al-Baqarah ayat 178 yang telah disebut di awal. Dalam kasus pembunuhan, hukuman dikembalikan kepada keluarga korban apakah mau menghendaki qisas atau diat. Sedangkan ketika seorang pembunuh tersebut dibunuh, maka hukumannya adalah diat karena gugurnya qisas sebelum hukuman dijalankan. Intinya, menurut Imam Syafi’i semua ketentuan hukuman bagi pelaku pembunuhan maka sanksinya adalah dikembalikan kepada ahli waris atau korban apakah mereka menghendaki qisas atau memaafkan dengan diat.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukuman Bagi Pencuri dan Beberapa Ketentuannya

Al-Mawardi dalam Ahkamus Sulthaniyah juga turut memberikan konsep mengenai al-‘afwu dan as-syafa’ah yang dapat digunakan sebagai pengampunan hukuman. al-‘afwu dimaknai Al-Mawardi dalam pencabutan tuntutan hukum atas terpidana. Sedangkan as-syafa’ah ia artikan sebagai pengurangan, perubahan atau peniadaan pidana baik dari keluarga korban atau dari hakim dan pemerintah, namun Al-Mawardi sebenarnya lebih condong kewenangan tersebut oleh pemerintah atau hakim.

Konsep as-syafa’ah Al-Mawardi tersebut sebetulnya memiliki relevansi dengan istilah grasi dan keringanan hukuman yang ada di pemerintah sekarang. Istilah grasi atau pengampunan hukuman menurut Quraish Shihab bertujuan agar seseorang ataupun sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana dapat kembali memperoleh hak-haknya sebagai seorang warga negara, karena syafa’ah diberikan untuk berbuat kebaikan.

Wallahu a’lam[]

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 68-69: Fakta Menarik di Balik Pembakaran Nabi Ibrahim

0
Tafsir Surah Al-Anbiya ayat 68-69 tentang fakta menarik pembakaran Nabi Ibrahim
Tafsir Surah Al-Anbiya ayat 68-69 tentang fakta menarik pembakaran Nabi Ibrahim

Salah satu hal yang dianugerahkan Allah SWT kepada para Rasul adalah mukjizat. Sebuah fenomena di luar nalar akal manusia  yang secara eksklusif hanya ditakdirkan kepada para manusia pilihan Allah. Mukjizat sudah ada sejak zaman Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Tujuan dianugerahkannya mukjizat adalah sebagai tanda kekuasaan Allah yang secara langsung dapat dilihat oleh umat Rasul tertentu. Mukjizat bisa menjadi salah satu perantara diterimanya hidayah oleh seseorang. Salah satu mukjizat yang dinilai paling epic adalah mukjizat Nabi Ibrahim yang tak mempan dibakar api. Kejadiaannya adalah selepas nabi Ibrahim dinilai menghancurkan sesembahan Raja Namrud, dan menggunakannya untuk mengacak–acak logika berpikir Namrud dan pengikutnya akan konsep ketuhanan. Hingga akhirnya Raja Namrud memerintahkan pasukannya untuk membakar Nabi Ibrahim. Tak hanya itu, Namrud juga menantang Ibrahim untuk menunjukkan kuasa Tuhannya, setelah sebelumnya mempertanyakan kekuasaan Tuhan mereka pula.  Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Quran Surah Al-Anbiya’ ayat 68:

قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ

Artinya : Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak” (QS. Al-Anbiya’ ayat 68).

Baca juga: Surah Al-Baqarah Ayat 129: 3 Harapan Nabi Ibrahim Untuk Figur Nabi Muhammad saw

Namun, pembakaran yang dinarasikan dalam Surah Al-Anbiya’ ayat 68 tersebut tidak berdampak apapun terhadap kondisi fisik Nabi Ibrahim. Hal ini dikarenakan api yang membakar nabi Ibrahim diperintahkan Allah untuk menjadi dingin. Sesuatu yang tak lazim, dan diluar nalar manusia. Tapi inilah mukjizat Nabi Ibrahim. Allah memerintahkan langsung sang api untuk memainkan peran panasnya saat menyentuh kulit nabi Ibrahim. Sebagaimana firman Allah di ayat berikutnya :

قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ

Artinya : Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim” (QS. Al-Anbiya’ ayat 69).

Peristiwa ajaib di atas ternyata menyimpan beberapa fakta menarik yang disebutkan oleh beberapa mufassir dalam karya tafsirnya, yang akan dijelaskan berikut ini.

Kelengkapan diksi ayat

Di ayat 69, dikisahkan bahwa Allah memerintahkan api untuk melakukan 2 hal. Yakni dingin (Bardan) dan menyelamatkan (salaman). Kedua diksi ini memainkan peran penting dalam kejadian ini. Sebab, apabila diksi Salaman  ditiadakan, maka api hanya menjadi dingin, namun kobarannya yang dingin tetap dapat menyelakai nabi Ibrahim. Sebagaimana tafsiran Ibnu Abbas, yang dikutip dalam Tafsir Ibnu Abi Hatim:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: لو لَمْ يقل وسلاماً لقتله البرد

Artinya : “Ibnu Abbas berkata : jika Allah tidak berkata “Wa Salama”, niscaya Nabi Ibrahim akan dibunuh kedinginan”

Baca juga: Kisah Al-Quran: Beberapa Gelar Yang Disandang Nabi Ibrahim a.s.

Didoakan malaikat pengirim hujan

Dalam riwayat Syamir bin Athiyya yang dikutip Ibn Hatim dalam Tafsirnya, disebutkan bahwa sebelum Allah memerintahkan Api untuk menjadi dingin, ada malaikat yang mendoakan agar turun hujan kala itu, sehingga proses pembakaran akan terganggu. Namun rupanya Allah memberikan anugerah yang lebih ajaib lagi.

عَنْ شمر بن عطية قَالَ: لما أرادوا إِنَّ يلقوا إبراهيم في النَّار نادى الملك الّذِي يرسل المطر: رب خليلك رجا إِنَّ يؤذن لَهُ فيرسل المطر فقال الله: يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ فلم يبق في الأَرْض يومئذ نار إلا بردت

Artinya : “Dari Syamir bin Athiyya, ia berkata : ketika pasukan Namrudz hendak melemparkan Ibrahim ke dalam Api. Malaikat pengirim hujan berdoa : Wahai Tuhanku ! kekasihMu akan disakiti, kirimkanlah hujan (untuknya). Kemudian Allah berfirman : wahai api, jadilah dingin dan selamatkan Ibrahim. Maka pada hari itu tak satupun ada api kecuali ia mendingin”

Baca juga: Kisah Nabi Yahya dalam Al-Quran: Dapat Hikmah dan Maksum Sejak Kecil

Nabi Ibrahim Berdzikir sebelum masuk api

Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim berdzikir sebelum dijebloskan ke dalam bara api, kendati lafadz dzikirnya berbeda  – beda menurut riwayat. Dalam Tafsir Al-Mawardi disebutkan :

وقيل إن إبراهيم حين أوثق ليلقى في النار فقال: لا إله إلا أنت سبحانك رب العالمين , لك الحمد ولك الملك لا شريك لك. وقال عبد الله بن عمر: كانت كلمة إبراهيم حين أُلقي في النار: حسبي الله ونعم الوكيل

Artinya : ”dan dikatakan, bahwa ketika Nabi Ibrahim diikat untuk kemudian dijebloskan ke dalam api, beliau berkata “Laa Ilaha Illa Anta Subhanaka Rabbi Al-‘Alamin, laka al-hamd wa laka al-mulk, la syarika lak. Sedangkan menurut Abdullah bin Umar, kata – kata nabi Ibrahim sebelum dijebloskan kedalam api adala : Hasbiyallah wa ni’mal wakil”

Bahkan di beberapa daerah di Indonesia, ada kepercayaan bahwa bershalwat kepada nabi Ibrahim akan membuat kita kebal api. Inilah yang menjadi tradisi rutin sebelum melakukan kegiatan budaya “sepak bola api”, semua pemain dianjurkan bershalawat kepada Nabi Ibrahim.

Dibakar 7 hari lamanya

Jika kita pernah menyaksikan proses kremasi mayat yang menghabiskan waktu beberapa jam saja, tidak demikiannya dengan Namrudz. Ia merasa tidak puas jika hanya membakar Nabi Ibrahim dalam hitungan jam. Beliau menyalakan api hingga 7 hari lamanya. Dalam Tafsir Al-Mawardi disebutkan :

قال الكلبي: بنواْ له أتوناً ألقوه فيه , وأوقدوا عليه النار سبعة أيام , ثم أطبقوه عليه وفتحوه من الغد , فإذا هو عرق أبيض لم يحترق , وبردت نار الأرض فما أنضجت يومئذ كراعاً

Artinya : “Al-Kalbi berkata : mereka membangun tungku sebagai tempat melemparkan Ibrahim, lalu menyalakan api selama 7 hari lamanya, mengunci Ibrahim di dalam, lalu membukanya esok hari, jika namun beliau bagi kayu putih yang tak mempan dibakar, api bumi mendingin, tak ada daging yang matang hari itu.

Selama proses pembakaran itu, tak ada sedikitpun tubuh nabi Ibrahim yang tergores, hanya tali – tali pengikatnya yang lepas karena terbakar. Selain itu, di atas tungku, ada wazagh (tokek) yang meniup – niup api agar semakin besar, walaupun tak membuahkan hasil apa – apa. Inilah awal disyariatkannya sunnah membunuh cicak.

Demikian fakta menarik dibalik pembakaran nabi Ibrahim. Intinya, kejadian menakjubkan ini adalah kuasa Allah yang tiada bandingnya. Mukjizat ini juga merupakan jawaban langsung dari Allah atas tantangan Namrudz. Selepas kejadian ini, berangsur–angsur penduduk Babilonia menyatakan diri beriman kepada Allah dan nabi Ibrahim.

Wallahu a’lam[]

Tafsir Tarbawi: Dasar Pendekatan Saintifik dalam Pendidikan Islam

0
Dasar pendekatan saintifik
Dasar pendekatan saintifik

Dewasa ini, pendidikan Indonesia menganut pendekatan saintifik mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Sungguhpun demikian, elaborasi pendekatan saintifik tampak kentara pada kurikulum 2013 dan kurikulum merdeka belajar yang tengah digodok oleh pemerintah.

Secara sederhana, kata “saintifik” merupakan pengetahuan yang direkonstruksi dari pengalaman empiris dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Atau berlandaskan ilmu pengetahuan, tidak asbun (asal bunyi) bahkan opini tak berdasar. Nah, fakta menunjukkan jauh sebelum menggemanya istilah “ilmiah atau saintifik” sekarang ini, pendidikan Islam telah menjadi milestone (tonggak sejarah) dan role model bagi peradaban Barat yang tengah diselimuti kabut hitam kala itu. Hal ini terbukti dalam sumber Islam yaitu firman Allah swt Q.S. al-Isra [17]: 36.

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya” (Q.S. al-Isra [17]: 36)

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Inilah Tujuan Pendidikan Islam

Tafsir Surat Al-Isra Ayat 36

Para ulama ahli takwil terjadi ikhtilaf (berbeda pendapat) terkait menafsirkan ayat di atas apakah lafadz la taqfu bermakna qaul, hal atau mengharuskan menimba ilmu dulu. Sebut saja, al-Tabary dalam tafsirnya, ia mengemukakan perbedaan tersebut di antaranya, sebagian ulama memaknainya sama dengan redaksi ayat di atas (wa la taqfu ma laisa laka bihi ‘ilm). Sebagian yang lain mengartikan,

لا تقل رأيت ولـم تر، وسمعت ولـم تسمع، فإن الله تبـارك وتعالـى سائلك عن ذلك كله

“Jangan berujar jika kamu tidak melihat atau tidak mendengarnya, sungguh Allah swt memberkati orang yang demikian”

Masih menurut al-Tabary, ulama mutaakhirin justru memaknainya dengan la tarama (jangan membuang). Artinya, jangan membuang tenaga kalian secara sia-sia tanpa didasari dengan ilmu.

Senafas dengan al-Tabary, Al-Zamakhsyari dalam Tafsir Kasyaf-nya, menafsiri redaksi “la taqfu” dengan la tattabi’u (jangan mengikuti). Jangan mengikuti jejaknya, yaitu janganlah kalian mengikuti perkataan atau perbuatan seseorang yang tidak berlandaskan ilmu atau pengetahuan. Seperti halnya seorang salik yang tidak tahu arah sehingga tersesat jalannya karena mengikuti seorang mursyid yang rusak agamanya (la ya’lamu shihhatihi min fasadihi).

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Semangat Menuntut Ilmu dari Nabi Musa AS

Sedangkan al-Razi dalam Tafsir al-Kabir menyitir pernyataan Qatadah, “jangan katakan kamu telah mendengar sebelum kamu mendengar, jangan katakan kamu telah melihat sebelum kamu melihat, dan jangan katakan kamu telah mengetahui sebelum kamu mengetahuinya”. Tidak jauh berbeda, Al-Qurthuby mem-warning kepada kita agar tidak gumun (takjub) terhadap seseorang sehingga taklid buta alias membabi buta mengikutinya tanpa mengetahui track record-nya atau bahkan justru ia menyesatkan.

Pendekatan saintifik dalam pendidikan Islam

Ayat di atas menyiratkan akan pentingnya pendekatan saintifik dalam pendidikan Islam. Dari beberapa penafsiran di atas menunjukkan betapa pentingnya untuk tidak berargumen sebelum kita mengetahui duduk permasalahannya. Sebelum membahas lebih jauh, sedikit kami ulas definisi saintifik.

Kata “saintifik” berasal dari bahasa Latin, scientia yang berarti pengetahuan. Sedangkan dalam dictionary.cambridge.org, scientific diartikan dengan relating to science or using ythe organized methods of science (berkaitan dengan sains atau menggunakan metode kerangka berpikir sains yang terstruktur). Tidak jauh berbeda, merriam-webster.com mengartikan scientific dengan conducted in the manner of science or according to results of investigation by science : practicing or using thorough or systematic methods (berbasis pengetahuan atau penyelidikan mendalam; menggunakan langkah-langkah yang ilmiah).

Berpijak dari definisi di atas, maka tak heran jika pendidikan Islam sebagai mercusuar akademik sudah seharusnya menggunakan pendekatan saintifik di segala lini. Kalau sedikit menengok ke belakang, di awal-awal sejarah sains dalam Islam, aktualisasi konsep saintifik terejawantahkan dalam dua hal, yaitu obersvasi dan eksperimen.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Mewarisi Pekerti Adiluhung Rasulullah SAW

Sebagaimana catatan Muammad Dizer dalam Observatories and Astronomical Instruments mengatakan bahwa warisan intelektual Islam ditunjukkan oleh sejumlah institusi sentral untuk pengembangan sains seperti rumah sakit, sekolah atau universitas (madrasah), perpustakaan umum, dan observatorium.

Yang disebutkan terakhir merupakan institusi yang merepresentasikan tradisi riset saintifik tingkat tinggi – atau dalam terminologi modern dikenal istilah High Order Thinking Skill (HOTS) – berdasarkan pada observasi yang terstruktur, sistematis dan masif dan penuh kalkulasi yang matang. Tidak dapat dipungkiri, Dizer juga menggambarkan semua bidang kajian dilahap habis oleh ilmuwan muslim. Tidak diragukan lagi, Islam dengan segala kemajuannya telah menyinari peradaban Barat dan dunia di era kita saat ini.

Maka, untuk memperkuat pendekatan saintifik, ada beberapa hal yang harus diterapkan dan tentu merujuk pada keterangan di atas, yaitu tematik terpadu (tematik antar mata pelajaran) dan tematik dalam suatu pelajaran. Kedua hal ini dapat dielaborasi dengan menggunakan metode pembelajaran berbasis penelitian, discovery atau inquiry learning (pembelajaran berbasis inquiry), dan problem based learning (pembelajaran berbasis masalah).

Dengan demikian, pendekatan saintifik sangat penting guna menghasilkan peserta didik dan manusia Indonesia yang kreatif, kontekstual, dan berakhlakul karimah baik individu maupun kolektif sehingga mampu membawa bangsa Indonesia menuju Indonesia Emas selamanya. Aamiin. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surah Yasin Ayat 55-57: Kenikmatan Penduduk Surga

0
Yasin Ayat 55-57
Yasin Ayat 55-57

Setelah sebelumnya dinyatakan bahwa Hari Pengadilan itu ada, pada tafsir Surah Yasin Ayat 55-57 ini akan diuraikan bagaimana gambaran kenikmatan yang dirasakan penduduk surga. Berikut tafsir surah Yasin ayat 55-57:

إِنَّ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِي شُغُلٍ فَاكِهُونَ

هُمْ وَأَزْوَاجُهُمْ فِي ظِلَالٍ عَلَى الْأَرَائِكِ مُتَّكِئُونَ

لَهُمْ فِيهَا فَاكِهَةٌ وَلَهُم مَّا يَدَّعُونَ

Artinya:

(55)   Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka).

(56)   Mereka dan pasangan-pasangan mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan.

(57)   Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa yang mereka minta.

Pada Hari Kiamat, para penduduk surga sibuk dengan kesenangan mereka. Maksud dari sibuk dengan kesenangan atau bersenang-senang dalam kesibukan ini para ulama berbeda pendapat. Ar-Razi mengemukakan tiga penafsirannya. Yang pertama, bahwa para penghuni surga disibukkan dengan berbagai kenikmatan surga, sehingga tidak merasakan huru-hara kiamat berupa hisab maupun azab.

Kedua, bahwa mereka sibuk beraktivitas, namun bukan aktivitas yang menyusahkan, melainkan aktivitas yang disukai lagi menyenangkan. Ketiga, bisa jadi mereka sibuk menerka-nerka kenikmatan seperti apa lagi yang akan mereka dapatkan, sebab kenikmatan surgawi yang datang selalu melebihi gambaran imajinasi mereka.

Selain tiga penafsiran tersebut, Nawawi al-Bantani menyebutkan dua penafsiran lain. Menurutnya, kenikmatan yang menyibukkan itu ialah saling berkunjung antarsesama penghuni surga. Bisa pula berarti mereka sibuk bertamu kepada Allah Swt. Melihat Allah Swt bagi ahlus sunnah wal jama’ah merupakan kenikmatan terbesar di akhirat kelak.

Para penduduk surga itu bersama pasangannya berada di tempat yang teduh sambil bertelekan di atas dipan-dipan. Hamka menjelaskan, mereka nyaman, aman dan tentram di sana, tidak terkena terik panasnya matahari. Sebagai catatan, berdasarkan hadis sahih riwayat Muslim no. 5108, pada hari kiamat kelak matahari hanya berjarak satu mil dari kepala manusia.

Ilustrasi ini dipilih bisa jadi dengan mempertimbangkan konteks masyarakat Arab abad 7 ketika ayat al-Qur’an ini turun. Dahulu kondisi Arabia identik dengan gurun pasir yang panas lagi gersang. Ketika sedang dalam perjalanan di gurun pasir, tempat berteduh tentu merupakan suatu kenikmatan tersendiri.

Adapun yang dimaksud dengan azwajuhum (pasangan-pasangan mereka) menurut At-Thabathaba’i adalah istri atau suami mereka ketika di kehidupan dunia. Mereka yang diperkenankan menyertai pasangannya di surga tentulah yang juga sama-sama beriman dan ikut masuk surga. Sementara bagi yang pasangannya tidak senasib dengan mereka, para bidadarilah yang menggantikannya.

Baca Juga: Sayyid Muhammad Husain Al-Thabathaba’i: Arsitek Tafsir Al-Mizan

Di surga kelak, mereka memperoleh berbagai buah-buahan dan memperoleh apa pun yang mereka minta. Al-Bantani menjelaskan,  Segala macam buah-buahan tersedia di surga. Al-Bantani juga mengutip az-Zajaj yang mengatakan bahwa apa yang penghuni surga inginkan akan langsung datang menghampiri mereka, tanpa perlu usaha dan menunggu lagi.

Terkait redaksi ayat, At-Thabari meriwayatkan perbedaan bacaan pada kata شغل di bagian akhir QS. Yasin: 55 di atas. Mayoritas qurra (ahli qiraat) membaca fi syughulin. Sedangkan sebagian ulama qiraat Basrah membaca fi syughlin.

Demikian pula pada kata فاكهون (fakihun). Ada yang membaca pendek fa’-nya, yaitu riwayat dari Abu Ja’far. Ada pula yang memanjangkannya, yaitu bacaan mayoritas ulama qiraat dan yang tepat menurut at-Tabari.

Demikianlah penjelasan singkat dari tafsir surat Yasin ayat 55-57 mengenai gambaran kenikmatan yang dirasakan penduduk surga. Tentunya ini hanya sebagian gambaran yang diilustrasikan Allah Swt melalui al-Qur’an untuk kita renungi bersama. Semoga kita termasuk dalam kelompok yang beruntung ini. Amin ya mujibas sailin. Sekian, Wallahu a’lam.

4 Hikmah Keberadaan Kata Ajam (Non Arab) Di Dalam Al-Qur’an

0
Hikmah Keberadaan Kata Ajam (Non Arab)
Hikmah Keberadaan Kata Ajam (Non Arab)

Sebagian ulama’ meyakini keberadaan kata ajam atau non arab di dalam Al-Qur’an. Salah satu contohnya adalah kata sundusin yang ada di dalam Surat Al-Insan ayat 21. Dimana kata ini dinyatakan oleh Imam Al-Laits sebagai kata yang telah disepakati oleh ahli bahasa dan ahli tafsir, sebagai kata mu’arrab atau yang asalnya non arab dan kemudian diserap ke dalam Bahasa Arab (Al-Itqan/1/401).

Salah satu ulama’ yang mendukung keberadaan kata non Arab di dalam Al-Qur’an adalah Imam As-Suyuthi. Imam As-Suyuthi di dalam Al-Itqan mencantumkan kajian khusus tentang permasalahan keberadaan kata non Arab di dalam Al-Qur’an. Ia juga menyusun sebuah kitab khusus tentang permasalahan tersebut. Tulisan ini akan mencoba mengulas beberapa hikmah di balik keberadaan kata non Arab di dalam Al-Qur’an.

Baca juga: Benarkah Musibah adalah Adzab dari Allah? Gus Baha: Bukan Hak Kita Menjudge!

Hikmah Keberadaan Kata Non Arab Di Dalam Al-Qur’an

Imam As-Suyuthi menyusun sebuah kitab khusus yang mengkaji kata-kata non Arab di dalam Al-Qur’an dan diberi judul: Al-Muhadzdzab; Fiimaa Waqa’a Fiilqur’ani Minal Mu’arrab. Di dalam kitab ini, Imam As-Suyuthi menguraikan berbagai hikmah tentang keberadaan kata ajam (non Arab) di dalam Al-Qur’an. Baik yang ditemukan oleh dirinya sendiri, maupun secara tidak langsung dinyatakan oleh ulama’ lain. Berikut hikmah-hikmah tersebut (Al-Muhadzdzab/1):

Pertama, Al-Qur’an adalah kitab suci yang memiliki sifat memuat pengetahuan milik orang-orang yang telah lampau, dan yang akan datang. Al-Qur’an juga menceritakan tentang berbagai macam hal. Maka sudah sepatutnya di dalamnya ada petunjuk tentang ragam bahasa manusia untuk lebih menyempurnakan sifat Al-Qur’an tersebut. Maka dipilihlah kata-kata non Arab yang paling indah, paling ringan, dan paling sering dipakai, untuk dimuat di dalam Al-Qur’an.

Hikmah ini diambil oleh Imam As-Suyuthi diantaranya dari perkataan sahabat Sa’id ibn Jubair yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir, bahwa suatu kali orang-orang Quraish berkata: “Kenapa Al-Qur’an tidak diturunkan dengan bahasa Arab dan non Arab saja?” Lalu turunlah Surat Fushshilat ayat 44 yang mengejek ucapan mereka itu.

Sa’id ibn Jubair menyatakan, setelah turunnya ayat ini, Allah menurunkan Al-Qur’an dengan setiap bahasa yang ada. Salah satu contohnya adalah kata sijjil di dalam Surat Hud ayat 82 yang menggunakan Bahasa Persia.

Baca juga: Surah Al-Ahzab [33] Ayat 4-5: Hukum Mengadopsi Anak Menurut Al-Quran

Kedua, keberadaan Al-Qur’an yang memuat kata non Arab menunjukkan keistimewaan Al-Qur’an dibanding kitab-kitab suci samawi lain. Sebab kitab suci samawi lain diturunkan kepada suatu kaum dengan bahasa mereka, dan sama sekali tidak memuat bahasa selain mereka. Berbeda dengan Al-Qur’an. Hikmah ini dikutip Imam As-Suyuthi dari Ibn Naqib.

Ketiga, Nabi Muhammad diutus kepada semua umat manusia. Sementara Allah telah berfirman bahwa tidak mengutus seorang utusan kecuali dengan bahasa kaumnya. Maka sudah sepatutnya di dalam Al-Qur’an yang diperuntukkan kepada semua manusia, ada bahasa dari tiap-tiap mereka. Hal ini difahami Imam As-Suyuthi sendiri dari Surat Ibrahim ayat 4.

Keempat, kata-kata non arab yang dimuat adalah kata-kata pilihan. Dimana di dalam Bahasa Arab sendiri tidak ditemukan satu kata yang bisa menunjukkan makna yang dikandung oleh kata non Arab tersebut. Bisa saja menggantikan kata non Arab tersebut dengan kata Arab yang terdiri lebih dari satu kata. Namun hal itu akan mengurangi kadar keindahan Al-Qur’an. Hikmah ini dikutip Imam As-Suyuthi dari Al-Juwaini (Al-Muhadzdzab/2).

Baca juga: Perintah Mencetak Generasi Tangguh: Tafsir surat An-Nisa’ Ayat 9

Meski keberadaan kata-kata non arab di dalam al-qur’an masih diperselisihkan oleh ulama’, tapi hikmah-hikmah ini tetap penting untuk diketahui. Hal ini agar memberi wawasan bahwa ulama’ yang setuju dengan keberadaan kata non Arab di dalam Al-Qur’an, tidak serta merta telah merendahkan Al-Qur’an dengan pendapat mereka. Keberadaan kata non Arab di dalam Al-Qur’an justru bisa berpotensi menunjukkan keistimewaan Al-Qur’an dalam banyak hal. wallahu a’lam bisshowab.

Benarkah Musibah adalah Adzab dari Allah? Gus Baha: Bukan Hak Kita Menjudge!

0
apakah musibah adalah adzab dari Allah?
apakah musibah adalah adzab dari Allah?

Akhir-akhir ini bumi Indonesia kembali dirundung duka dengan datangnya bencana alam yang silih berganti. Sebagaimana dilansir oleh kompas.com, di tengah pandemi Covid-19 yang masih berjalan, setidaknya ada lima bencana di awal tahun 2021, gempa bumi di Sulawesi Barat, banjir di beberapa kabuapaten di Kalimantan selatan, longsor di Sumedang, banjir dan longsor di Manado, Sulawesi Selatan, dan erupsi gunung Semeru. Jika bencana ini adalah musibah, lantas apakah musibah adalah adzab dari Allah? Gus Baha ikut mengomentari pertanyaan ini.

Al-Ayid dalam kitabnya, Al-Mu’jam Al-‘Arabi Al-Asasi mengatakan bahwa di dalam Al-Quran bencana alam erat dikaitkan dengan musibah yang diartikan sebagai segala hal yang tidak disukai yang menimpa seseorang.

Musibah dengan derivasinya diulang sebanyak 77 kali di dalam Al-Quran. Terkhusus kata “musibah” sendiri disebutkan sebanyak 10 kali. Hanya saja kata musibah dan derivasinya tidak selamanya mengarah kepada peristiwa atau kejadian yang berkenaan dengan bencana alam, sebab konsepnya lebih luas daripada bencana alam, kejadian buruk apapun meskipun skala dan efeknya kecil tetap saja disebut musibah.

Hal umum di masyarakat, ketika terjadi bencana alam yaitu muncul asumsi sepihak yang mengatakan bahwa bencana alam terjadi disebabkan karena kemurkaan Allah Swt. kepada manusia karena perbuatan maksiat mereka, semua musibah adalah adzab dari Allah karena pelanggaran hambaNya. Lantas benarkah asumsi demikian? Bolehkah kita menjudge demikian?

Baca Juga: Pengertian dan Penyebab Datangnya Musibah Menurut Al-Quran

Pandangan Gus Baha Terkait Musibah

Dalam salah satu kajiannya, “Musibah Awal Tahun 2021, Apakah Azab?” yang diupload di channel youtube Online Berbagi, Gus Baha memberikan penjelasan terkait esensi suatu musibah. Beliau mengatakan bahwa “musibah adalah ketentuan Allah Swt. yang sifatnya potensial (berdasarkan siklusnya) bukan murni karena kemurkaan Allah.”

“Hal ini berbeda konteks ketika berbicara musibah yang ditujukan kepada umat-umat terdahulu yang membangkang terhadap ajaran para Nabi, yang terdapat di dalam Al-Quran maupun Hadis (manshush), terkait dengan itu semua musibah yang menimpa mereka murni karena kemurkaan Allah Swt”. Lanjut pengasuh pesantren tahfidz Al-Quran, Sawah, Narukan, Rembang ini

Kiai yang juga hafidz Al-Quran ini menganalisis secara mendalam surah Al-Isra ayat 68-69. Ayat tersebut menjelaskan berbagai macam musibah, tetapi dengan redaksi yang bermakna sesuatu yang potensial. Mengapa potensial? karena tegas beliau ayat-ayat tersebut kebanyakan menggunakan redaksi berupa kalimat-kalimat pertanyaan “sudah merasa amankah kamu, jika kami guncangkan bumi dan lain sebagainya?” Hal ini berbeda dengan term rahmat yang redaksinya selalu menggunakan shigatul jasmi yang berarti sebuah kepastian, sebagaimana pada surah Al-An’am:12 dan di surah-surah lainnya.

Lantas, pantaskah kita berasumsi bahwa gempa, tsunami dan banjir yang terjadi di Indonesia ini karena adzab Allah yang disebabkan oleh maksiat? Terkait hal tersebut Gus Baha menerangkan bahwa “menjustifikasi bahwa musibah adalah adzab dari Allah yang ditimpakan kepada manusia bukanlah wilayah kita, cukup berhenti dengan mengatakan ini adalah kuasa Allah Swt. sebab Allah memiliki sifat qadir (kuasa) atas segalanya, apalagi sampai kita mengatakan itu karena maksiat yang dilakukan oleh manusia”.

Baca Juga: Inilah 3 Macam Musibah Yang Digambarkan dalam Al-Quran

Beliau kemudian menganalogikan, “andaikan musibah ini terjadi karena satu alasan yakni karena penduduknya banyak melakukan kemaksiatan, misal di Kalimantan Selatan penduduknya melakukan kemaksiatan sehingga turunlah banjir, jika pertimbangannya demikian, lalu bagaimana dengan daerah Bali yang katanya tempat maksiat para wisatawan asing dan lain sebagainya, mengapa tidak pernah diazab oleh Allah Swt.?”

Kiai yang khas dengan bahasa Jawa-nya ini memberikan pernyataan yang sangat bijak terkait sikap kita terhadap para korban yang tertimpa musibah, “Oleh karenanya, tidaklah pantas kita mengatakan bahwa musibah ini adalah adzab dari Allah, hukuman dan murka Allah yang ditimpakan kepada manusia karena kemaksiatannya, karena itu bukanlah hak kita. Perlu diketahui juga bahwa adzab Allah kebanyakan ditujukan untuk orang-orang yang kafir (bukan untuk orang mukmin)”

Baca Juga: Ketika Ditimpa Musibah, Terus Ngapain? Ini Seharusnya Sikap Seorang Muslim

Statemen-statemen Gus Baha di atas merupakan sebuah teguran yang harusnya menampar kita sebagai sesama manusia untuk tidak serta merta melakukan blamming the victim (menyalahkan korban) sebagaimana yang rentan kita temui di media masa, yang sedikit-sedikit mengutip ayat dan hadis untuk membenarkan bahwa musibah adalah adzab dari Allah karena maksiat yang terjadi di sana-sini. Kita lupa bahwa hadirnya bencana alam juga bermakna sebagai ujian (bala’) dan bisa juga rahmat (kasih sayang) yang diberikan Allah Swt. kepada umat manusia.

Sebagai sesama mukmin, hendaknya kita saling mendoakan, memotivasi, bukan saling menjatuhkan dan menyalahkan orang lain seolah diri kita benar-benar suci. Sadarlah, kita juga manusia yang masih penuh dengan dosa. Jikalau kita mencerca mereka dengan cacian dan prasangka buruk kita, maka penulis menganalogikan para korban bencana tersebut dengan kalimat “sudah jatuh (sakit), tertimpa tangga lagi”. Mari kita sama-sama mengintrospeksi diri dan saling mendo’akan agar bumi kita selalu dilindungi dan dilimpahkan rahmat oleh Allah Swt. Amin