Beranda blog Halaman 402

Kematian dalam Al-Quran dan Penggunaannya Menurut Hamza Yusuf

0
Kematian dalam Al-Quran
Kematian dalam Al-Quran

Kematian adalah muara akhir dari kehidupan seluruh makhluk yang bernyawa, yakni makhluk yang memiliki ruh dalam jasad (fisik). Ia merupakan peristiwa yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari. Kematian dalam Al-Quran disebut sebagai ajal, tawaffa atau istifa’. Istilah ini terdapat pada empat belas tempat dalam Al-Quran yang kesemuanya mengandung makna yang sama, yaitu kematian.

Kematian dalam perspektif Al-Quran merupakan putusnya keterikatan ruh dengan badan dalam bentuk yang telah diketahui, disertai pergantian keadaan, serta perpindahan dari satu alam ke alam yang lain (Mafatih al-Ghaib). Tidak ada yang mengetahui secara pasti bagaimana kematian terjadi. Namun yang jelas perpisahan antara ruh dan jasad ini adalah pintu gerbang untuk memasuki kehidupan yang baru (after life).

Para mufasir seperti Ibnu Katsir, Sayyid Quthb, Buya Hamka, dan Quraish Shihab sependapat bahwa kematian menurut Al-Quran adalah sesuatu yang pasti. Akan tetapi, tidak ada yang manusia yang dapat mengetahui kapan kematian akan terjadi. Allah swt – dalam Al-Quran – hanya menjelaskan tentang adanya sebab-sebab seseorang akan mengalami kematian, seperti terbunuh, sakit, kecelakaan dan sebagainya.

kata yang dipakai untuk menyebut kematian dalam Al-Quran yang paling lumrah adalah al-maut. Kata ini digunakan untuk menunjukkan kematian secara umum, baik untuk manusia, tumbuhan maupun bumi.  Al-Rāghib al-Iṣfahānī (w. 502/1108) menjelaskan perbedaan penggunaan istilah kematian dalam Al-Quran sebagai berikut (al-Mufradat fi Gharib al-Quran):

Jenis-jenis kematian sesuai dengan jenis kehidupan. Yang pertama berkaitan dengan kekuatan regenerasi yang ada pada tumbuhan, hewan, dan manusia dan disebut dalam Surat al-Rum [30] ayat 19, “..Dia (Allah) menghidupkan bumi setelah mati (kering).” Yang kedua adalah kondisi mati rasa dan dimaksudkan dalam permohonan Maria, “Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan” ( QS. Maryam [19]: 23).

Yang ketiga adalah hilangnya kemampuan kecerdasan, yakni kebodohan yang tercermin dalam surat al-An’am [6] ayat 122, “Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana?…

Tipe keempat adalah keadaan depresi dimana hidup menjadi tidak tertahankan. Kondisi ini bisa dikatakan sebagai keadaan antara hidup dan mati sebagaimana dimaksud dalam surat Ibrahim [14] ayat 17, “Diteguk-teguknya (air nanah itu) dan dia hampir tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi dia tidak juga mati; dan di hadapannya (masih ada) azab yang berat.”

Tipe kelima adalah kematian yang artinya tidur. Makna ini ditunjukkan dalam surat al-An’am [6] ayat 60, “Dan Dialah yang menidurkan kamu pada malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari…” dan surat az-Zumar [39] ayat 42, “Allah memegang nyawa (seseorang) pada saat kematiannya dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika dia tidur…”

Dari pemaparan al-Rāghib al-Iṣfahānī (w. 502/1108) di atas, Hamza Yusuf, co-pendiri Zaytuna College, kemudian membuat klasifikasi kematian dalam Al-Quran. Ini ia tuangkan dalam sebuah artikel yang berjudul, “Death, Dying, And The Afterlife In The Quran.” Pada artikel ini ia menjelaskan tentang kematian, sakaratul maut, dan kehidupan akhirat menurut pandangan Al-Quran secara tematik, yakni:

Jenis kematian pertama berkaitan dengan pertumbuhan dan kekuatan regenerasi setelah kematian (regeneration after death). Al-Quran menyampaikan gagasan tentang kehidupan sebagai pertumbuhan dan kematian sebagai pembusukan, penurunan, dan pengeringan. Banyak ayat menggunakan gambaran bumi yang mati dihidupkan kembali sebagai analogi untuk kebangkitan.

Dalam surat al-Ḥajj [22] ayat 5, terdapat dua analogi untuk kebangkitan. Yang pertama bersifat embriologis dan yang kedua adalah agricultural. Tahapan embrio manusia disorot dalam ayat 5 ini, mengingatkan kita bahwa manusia berasal dari debu dan diciptakan dari materi tak bernyawa. Fakta ini sendiri seharusnya menjadi bukti bahwa kebangkitan itu mungkin, mengingat Dia yang menciptakan kita sekali pasti bisa melakukannya lagi.

Analogi kedua yang Al-Quran berikan pada ayat 5 lebih mudah dipahami oleh orang-orang Arab gurun pada masa Nabi Muhammad saw, karena topografi gurun yang tandus dan minim kehidupan mengungkapkan kepada mereka regenerasi tiba-tiba setiap tahun. Melalui contoh tersebut Allah swt ingin menggambarkan bagaimana manusia dibangkitkan kembali pada Hari Kemudian.

Jenis kematian kedua adalah kematian perasaan atau empati hati manusia (satient death). Banyak ayat dalam Al-Quran yang mencaci-maki orang yang berhati keras, yang tidak menunjukkan belas kasihan, dan menyebut orang-orang kafir sebagai tidak sadar dan tidak berperasaan. Dalam beberapa ayat Al-Quran menyebutkan perlunya “pertumbuhan spiritual” melalui pemurnian (tazkiyah).

Allah berfirman, “Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams [91]: 9-10). Pertumbuhan spiritual ini mengikuti jalur dan stasiun yang dipetakan dalam Al-Quran. Dengan demikian, kematian menjadi metafora untuk kematian jiwa yang lebih rendah dan kemungkinan pemulihannya untuk hidup dan tumbuh dalam keadaan yang lebih sempurna.

Jenis ketiga adalah kematian kecerdasan (intellectual death) yang dipahami sebagai kebodohan. Al-Quran mengkategorikan beberapa orang sebagai tuli, bisu, buta, dan dengan hati yang keras (hati adalah pusat kecerdasan) atau dengan kata lain, tidak peka secara intelektual. Dalam ayat-ayat lain, keadaan ini disamakan dengan jenis kematian (lihat surat al-An’am [6] ayat 122).

Banyak hadis merujuk pada kematian spiritual hati yang mencegahnya berfungsi sebagai pusat kecerdasan, sehingga membutuhkan terapi spiritual agar dapat dihidupkan kembali. Namun, kematian spiritual pada kondisi tertentu juga merupakan langkah awal untuk mendapatkan kehidupan spiritual baru. Nabi sebenarnya menganjurkan kepada para pengikutnya, “Matilah sebelum kamu mati.”

Jenis kematian keempat adalah bentuk keputusasaan dan kesengsaraan psikologis (despair and psychological death) di mana kehidupan dialami tanpa makna dan bahkan kesenangan. “Diteguk-teguknya (air nanah itu) dan dia hampir tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi dia tidak juga mati; dan di hadapannya (masih ada) azab yang berat.” (QS. al-An’am [6] 122).

Terakhir, jenis kematian kelima yang disebutkan oleh al-Rāghib al-Iṣfahānī adalah tidur (death as sleep). Al-Quran mengatakan dalam surat al-An’am [6] ayat 60, “Dan Dialah yang menidurkan kamu pada malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari…” dan surat az-Zumar [39] ayat 42, “Allah memegang nyawa (seseorang) pada saat kematiannya dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika dia tidur…”

Salah satu tanda yang menghubungkan tidur dan mati adalah dalam kedua kasus kita tidak berdaya untuk menjalankan keinginan kita. Tidur adalah “diktator kecil” yang menguasai kita seperti kematian. Di malam hari, tidur menaklukkan manusia dan membuat mereka tak bernyawa. Tidur dianggap sebagai kematian kecil, dan kematian, jika dibandingkan dengan realitas kehidupan duniawi, dapat dianggap sebagai tidur yang nyenyak. Wallahu a’lam.

Mushaf Al-Quran Pojok Menara Kudus sebagai Simbol Lokalitas

0
Mushaf Al-Quran Pojok Kudus
Mushaf Al-Quran Pojok Kudus

Era digital serba canggih seperti sekarang ini, banyak sekali mushaf Al-Quran yang terlahir dengan berbagai fitur yang sangat lengkap. Berbagai sajian dengan varian mulai kreativitas ragam sampul, tanda tajwid, atau berupa audio. Terlebih adanya Al-Quran digital memberikan warna baru dalam perindustrian Al-Quran. Tak kalah dengan berbagai kreativitas yang ada, beberapa kurun waktu yang lalu tepatnya tahun 1947 M lahirlah Mushaf Al-Quran Pojok Menara Kudus. Tentu hal ini menarik sekali untuk dikaji sebagai sebuah simbol lokalitas khususnya daerah di Kudus.

Sejarah penulisan Mushaf Pojok Menara Kudus

Masyarakat Kudus mempunyai ciri khas mushaf yang dikenal dengan Mushaf Pojok Menara Kudus. Kata Pojok merupakan bahasa Jawa yang berarti sudut. Mushaf pojok adalah mushaf yang setiap sudut/pojok lembarnya berupa akhir sebuah ayat tertentu dan dilanjutkan dengan ayat selanjutnya pada sudut atas lembar berikutnya.

Dari penelitian Ali Akbar bahwa Mushaf Al-Quran Pojok Menara Kudus adalah hasil kopi ulang dari Mushaf Bahriyyah terbitan Percetakan Usman Bik di Turki tahun 1370 H yang ditulis seorang kaligrafer Mustafa Nazif. Sebagaimana dikutip oleh gus Nashiih dalam bukunya. (Sejarah & Karakteristik Mushaf Pojok Menara Kudus (2019, hlm.100))

Mushaf ini sebuah mushaf Al-Quran yang dicetak dan diterbitkan oleh percetakan dan penerbit Menara Kudus Jawa Tengah dengan menggunakan sistem pojok (mengakhiri setiap sudut lembarnya dengan akhiran sebuah ayat dan berjumlah 15 baris pada setiap lembarnya, kecuali pada beberapa lembar).

Baca juga: Annabel Gallop, Pakar Mushaf Kuno Nusantara dari Inggris

Tercatat dalam buku gus Nashih (Sejarah & Karakteristik Mushaf Pojok Menara Kudus (2019, hlm.102)), pada mulanya naskah Mushaf Al-Quran Pojok Menara dicetak dengan satu ukuran dan menggunakan karakter tulisan dari Mustafa Nazif, seorang kaligrafer terkenal pada masa itu yang berkebangsaan Turki.

Namun, dalam perkembangannya kemudian dicetak dalam tiga bentuk ukuran, yaitu kecil, sedang dan besar. Sehingga sampai saat ini terus mengalami cetak ulang pada tiap tahunnya yang mencapai sekitar kurang lebih 40.000 eksempler.

Berdasarkan informasi yang didapatkan dari KH. M. Ulil Albab Arwani, pada awalnya Mushaf Al-Quran Pojok Menara Kudus adalah milik KH. M. Arwani Amin yang diperoleh ketika beliau melaksanakan ibadah haji. Mushaf tersebut yang merupakan terbitan dari Bahariyyah Turki ini, kemudian oleh KH. Arwani diberikan kepada H.Zjainuri untuk dicetak ulang dan disebarluaskan di tengah masyarakat.

Baca juga: Pengaruh Jawa dalam Tradisi Penyalinan Mushaf di Lombok

  1. Arwani pun berpesan agar tidak merubah apapun yang ada di dalam mushaf tersebut, jika ada yang kurang paham silahkan ditanyakan langsung. Adapun alasan, mengapa KH. M. Arwani Amin menyerahkan mushafnya untuk dicetak ulang.

Pertama, untuk membantu dan memudahkan para santri yang sedang mengahfal Al-Quran. Kedua, para santri yang sedang menghafal Al-Quran agar berkiblat dengan mushaf terbitan Bahriyyah Turki. Gagasan KH. M. Arwani tersebut kemudian mendapat respon dan dukungan dari masyarakat sekitar Kudus. Setelah itu mushaf dicetak oleh PT. Menara Kudus dan disebarluaskan di tengah masyarakat Kudus.

Namun hal ini sangat disayangkan, naskah asli yang diberikan KH. M. Arwani kepada pihak PT. Menara Kudus diduga ikut terbakar pada saat terjadi musibah kebakaran pada bagian reproduksi PT. Menara Kudus yang terjadi sekitar tahun 2000-an.

Meskipun naskah aslinya sudah tidak ada, akan tetapi K.H. M. Ulil Albab Arwani masih menyimpan mushaf K.H. M Arwani Amin terbitan al-Maktab al-‘Arabi Syria. Lanjut pemaparan dari K.H. M. Ulil Albab dalam memberikan informasinya. (Wawancara bersama KH. M. Ulil Albab Arwani pada 20 Maret 2020, 10.30 WIB.)

Baca juga: Digitalisasi Mushaf Nusantara dan Masa Depan Kajiannya

Percetakan PT. Menara Kudus yang didirikan Alm. Zjainuri Noor menorehkan sejarah dalam proses percetakan Mushaf Al-Quran Pojok menara. Sebab PT. Menara Kudus yang pada awal beroperasinya dengan hanya tujuh orang karyawan dapat berkembang dengan pesat.

Sampai sekarang ini, PT. Menara Kudus yang bergerak di bidang penerbitan pun masih eksis dengan berbagai cetakannya sampai tercatat sudah 57 varian mushaf yang dicetak oleh PT Menara Kudus.

Mushaf Pojok Menara Kudus pertama kali terbit pada tahun 1974 M, kemudian ditashih oleh beberapa ulama’, antara lain: Syekh Arwani Amin, KH. Hisyam Hidayat, dan K.H Sya’roni Ahmadi. Mushaf ini telah mendapatkan tanda tashih dari Lajnah Pentashih pada tanggal 23 Rabi’ul Akhir 1394 H / 6 Mei 1974 M dan ditanda tangani oleh Drs. Sujono selaku ketua dan Hamdani Ali selaku sekretaris.

Simbol lokalitas daerah Kudus

Mushaf Al-Quran Pojok Menara adalah salah satu mushaf yang lahir sebagai simbol lokalitas daerah Kudus. Bagi masayarakat Kudus, mushaf ini sangat familiar sehingga tidak asing ketika menyebut mushaf Pojok (sudut) terutama di kalangan para santri yang sedang mengahafal Al-Quran. Sebab mushaf tersebut dijadikan pegangan hampir semua pesantren tahfiz{ yang ada di Indonesia.

Salah satu yang menarik dari mushaf pojok adalah dicetak oleh sebuah percetakan yang selama ±25 tahun merupakan satu-satunya pencetak mushaf pojok dari dalam negeri. Perannya sebagai satu satunya penerbit Mushaf Pojok selama dua setengah dasawarsa telah menjadikan Mushaf Pojok sangat melekat di hati masyarakat Kudus, sehingga mereka menyebutnya sebagai Qur’an Kudus.

Adapun hal yang menarik dari Mushaf Al-Quran Pojok Menara Kudus yang memiliki ciri khas berbeda dengan mushaf lainnya, yaitu setiap juz mempunyai 20 halaman. Setiap halaman terdiri dari 15 baris. Setiap baris terdiri dari sekitar 8-10 kata.

Baca juga: Utsman Thaha: Penulis Mushaf Al-Qur’an yang Karyanya Dibaca Muslim Seantero Dunia

Berkaitan dengan seseorang yang menghafal Al-Quran, hal ini sangat membantu dalam menghafal Al-Quran berdasarkan hitungan halaman. Maka. jika satu hari bisa menghafalkan 1 halaman, berarti ia akan khatam Al-Quran selama 600 hari atau 2 tahun kurang.

Berawal dari pemilik PT. Menara Kudus (H.Zjainuri) yang ingin menerbitkan mushaf Al-Quran untuk didistribusikan. Ketika akan menerbitkan, H.Zjainuri berniat dan menyarankan agar yang dicetak adalah Mushaf Pojok Menara Kudus. Karena pada saat itu, di Indonesia belum banyak dijumpai dan masih langka mushaf yang menggunakan sistem pojok.

Sebagaimana yang dipaparkan oleh KH. M. Ulil Albab Arwani dalam wawancara bersama beliau melalui via Whatssapp putrinya pada 23 Juni 2020. Bahwasannya, Al-Quran yang telah dicetak ulang kemudian beredar di tengah-tengah masyarakat sehingga dikonsumsi oleh masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi santri yang sedang menghafal Al-Quran bukanlah suatu kebanggaan bagi kami.

Baca juga: Potret Iluminasi Mushaf Al-Quran Nusantara Dulu dan Kini

Akan tetapi ini adalah suatu keberkahan bagi siapa saja yang memakainya sehingga tidak ada kesulitan dalam membaca maupun menghafal Al-Quran. Meski Mushaf Al-Quran Pojok Menara sudah menjadi ikon di Kudus sebagai mushaf yang terlahir dari sebuah lokalitas, itu semua karena atas fadal Allah SWT.

Mushaf Al-Quran Pojok yang terlahir dari sebuah lokalitas ini, tentunya harus senantiasa dilestarikan dan disapa dengan disuarakan di setiap lembaran-lembarannya dan mempraktekkan nilai-nilai moral yang ada di dalamnya. Dengan demikian Al-Quran akan terus hidup di tengah-tengah umat manusia.

Sebab Al-Quran tanpa dipahami dan dipraktekkan pesan-pesan moralnya dalam bentuk tindakan, maka Al-Quran adalah ibarat ruh bagi jasad manusia, dengan ruh manusia bisa hidup dalam menjalani kehidupan dengan segala aktifitasnya. Sebaliknya, manusia tanpa ruh, maka ibarat benda mati yang tidak bisa apa-apa.

Wallahu’alam.

Mengenang Sang Maestro Akademik Dr. AlFatih Suryadilaga

0
Sang Maestro Akademik Dr. AlFatih Suryadilaga
Sang Maestro Akademik Dr. AlFatih Suryadilaga

Tepat pukul 23.37 WIB beberapa waktu lalu (Selasa, 02/02/2021), kami tersontak kaget membaca berita duka di salah satu grup WhatsApp, salah satu dosen prodi Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Muhammad Alfatih Suryadilaga, S.Ag., M.Ag. dikabarkan telah menghembuskan nafas terakhirnya, setelah beberapa waktu lalu memang beliau dikabarkan sakit dan dirawat inap selama beberapa hari hingga menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Hermina Yogyakarta.

Mengenal dan Mengenang Pribadi Pak Fatih

Pak Fatih atau Gus Muh, adalah seorang yang sangat aktif dalam organisasi. Dosen yang ahli dalam bidang hadis ini, hingga saat ini memegang jabatan penting di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yakni menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (2020-2024). Beliau juga menjabat sebagai Ketua Asosasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA), Ketua Yayasan Pondok Pesantren al-Amin serta Ketua Pengelola PBSB UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Baca juga: 7 Keluh Kesah Manusia yang Tertera dalam Al-Quran

Tidak hanya tersohor di lingkungan civitas academica Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga saja, hampir semua kalangan akademisi di pelbagai kampus manapun mengenal beliau. Sebab semasa hidupnya beliau dikenal sebagai pribadi yang humble, mudah berbaur, serta tidak pandang bulu ketika bergaul. Semua kalangan mengakui ihwal kepribadian beliau tersebut.

Bagi kami sebagai mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam serta alumni Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) Univeristas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta yang pernah menimba ilmu kepada beliau tentu merasa sangat kehilangan. “Beliau adalah bapak akademik kami, ada saat kami membutuhkan, menjadi tempat curhat dalam hal apa saja termasuk permasalahan percintaan, hingga masalah dompet menipis” ungkap Mushawwir mahasiswa alumni Ilmu Hadis angakatan 2016 yang merupakan asisten beliau ketika di kampus.

Dalam mengajar beliau memiliki ciri khas yang unik, ketika memulai pelajaran beliau selalu mengawalinya dengan guyonan-guyonan yang cukup mengocok perut, sehingga materi yang dirasa berat menjadi ringan karena dibumbui dengan guyonan tersebut.

Baca juga: Tafsir Surah Yasin ayat 58-59: Ucapan Salam Untuk Para Penghuni Surga

Disamping beliau adalah pribadi yang loyal ke semua kalangan, beliau juga paling dikenal dengan keproduktifannya dalam menulis hampir di semua website, jurnal internasional maupun nasional. Dikutip dari google scholar jumlah tulisan beliau mencapai ratusan yang dikutip sebanyak 822 kali oleh para penulis mulai tahun 2006 sampai sekarang.

Selain itu Pak Fatih juga menjadi reviewer, editor di beberapa jurnal seperti Musawa, Esensia dan masih banyak lagi. Bahkan menurut informasi dari Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Al Makin, Pak Fatih juga menjadi Ketua rumah jurnal UIN Sunan Kalijaga.

Semua sepakat mengatakan bahwa beliau adalah pribadi yang super sibuk, mulai menjadi Dosen, Ketua Yayasan, Dekan Fakultas, dan sebelumnya pernah menjadi Kepala Prodi Ilmu Hadis. Meskipun beliau tergolong orang yang super sibuk tetapi beliau selalu menyela-nyela kegiatan beliau dengan menulis. Bahkan sebelum wafat, tepatnya dua hari sebelumnya beliau sempat mengirim dua artikel di website Artikula.id. Masya Allah.

Memang diakui beliau sangat lihai dalam menulis, salah satu metode beliau yang pernah diceritakan ke pada mahasiswanya bahwa, kita menulis bisa menggunakan media apapun, kapanpun, dan di manapun. “Saya mas, ketika diundang kemana-mana biasanya kan naik kereta atau pesawat, itu kan lama biasanya sampai ke tujuan. Jadi, di sela-sela itu saya biasanya menulis artikel apa saja di whatsapp”, ungkap beliau dengan nada semangat untuk memotivasi para mahasiswa.

Mendengar ungkapan beliau tersebut, kami tertegun dan saat itu saya mencoba trik jitu dari beliau tersebut dengan menuangkan gagasan dan ide di whatsapp (meskipun nggak sekeren tulisan beliau). Tak hanya itu, terkadang beliau memberikan tips-tips menulis karya tulis ilmiah, artikel ataupun essai via japri di whatsapp.

Sisi Lain Pak Fatih Di Balik Layar

Banyak hal lain yang belum diketahui dari beliau, termasuk sisi religius beliau. Dikutip dari status kolega beliau Bapak Muntaha Artalim di facebook beliau menceritakan bahwa pak Fatih adalah seorang hafiz Al-Qur’an, beliau hanya satu tahun mengkhatamkan hafalannya di salah satu ma’had di Jombang, bahkan ada yang mengatakan beliau mengkhatamkannya dalam waktu 4 bulan.

Baca juga: Hukum Membuka Lembaran Al-Quran dengan Ludah, Berikut Penjelasan Para Ulama

Gus Muh kata beliau, memang lahir dari keluarga ahli Qur’an, ayah beliau adalah KH. Miftah terkenal sebagai ulama yang hafiz mutqin.  Dalam sebuah riwayat bahwa KH. Miftah, mampu menghafal Al-Qur’an dalam kurun waktu 3 bulan, dan kakek beliau KH. Amin mampu menghafal al-Qur’an hanya dalam waktu satu bulan. Tulis Muntaha Artalim dalam kanal facebook-nya.

Muntaha Artalim yang juga merupakan dosen di IIUM Kuala Lumpur, menggambarkan sosok Gus Muh/Pak Fatih, “berulang kali saya tinggal di rumahnya saat masih di Surabaya dan di Yogyakarta, Gus Muh adalah sosok yang ahli tahajjud, selalu dawamul wudhu’, dan yang paling menonjol dari beliau adalah tampilan yang apa adanya”. Tulis beliau.

Masih banyak sisi-sisi lain dari beliau yang sangat melekat dalam ingatan kami. Salah satunya motivasi yang beliau sampaikan ketika kami berada di penghujung semester, “luluslah cepat, lanjut S2 dan S3 jangan langsung is-tri” (dibumbui dengan tawa yang khas dari beliau).

Terimakasih dan selamat jalan Pak Fatih, jasa-jasamu akan selalu kami kenang dan ilmu-ilmu yang engkau ajarkan kelak akan menjadi nilai berharga bagi kami meskipun jasadmu telah tiada, kami yakin kau akan selalu abadi dengan karya-karyamu. Alllahummagfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu, khususon ila (Bapak Fatih) al-faatihah….

7 Keluh Kesah Manusia yang Tertera dalam Al-Quran

0
keluh kesah manusia
keluh kesah manusia

Dalam realita kehidupan, kita sering sekali mempertanyakan atau mengeluhkan apa yang diberikan oleh Allah kepada kita. Terkadang, kita sering menyatakan keluh kesah dengan apa yang menimpa kita, yang mana sebenarnya allah SWT telah menjelaskannya dengan gamblang di dalam firman-Nya. Oleh karena itu, marilah kita merenungi sebagian ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang realita kehidupan kita, supaya kita tidak selalu mengeluh dan dapat menjadi manusia yang lebih ikhlas dan syukur. Berikut ini 7 keluh kesah manusia yang terdapat dalam Al-Quran.

Baca juga: 3 Macam Sikap Sabar yang Digambarkan dalam Al-Quran

  1. Kenapa aku diuji?

Allah SWT menjelaskan dalam Al-Quran Surah : Al-‘Ankabuut ayat 2-3.

اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْٓا اَنْ يَّقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ

وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللّٰهُ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكٰذِبِيْنَ

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:”Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-Ankabut: 2-3)

Syaikh Abdul Qodir Jaelani –rahimahullah-  beliau berkata: “Wahai anak kecilku, sesungguhnya musibah itu datang bukan untuk membinasakanmu, namun musibah itu datang untuk menguji kesabaran dan imankalian. Wahai anak kecilku, cobaan itu diibaratkan seperti hewan buas, dan hewan buas itu tidak akan memangsa bangkai”.

Oleh karena itu, semakin tinggi agama kita, semakin kita butuh berdoa untuk keteguhan iman kita. Ingat saja orang baik bukan berarti jauh dari cobaan.

  1. Kenapa aku tidak mendapatkan apa yang aku idam-idamkan?

Allah SWT menjelaskan dalam Al-Quran Surah Al-Baaqarah ayat 216 :

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ

”Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu bencoi. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 216)

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir di jelaskan bahwa Ayat ini bersifat umum dalam segala hal. Bisa saja seseorang menyukai sesuatu, padahal sesuatu itu tidak mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan baginya. Di antaranya adalah penolakan ikut berperang yang akan berakibat jatuhnya negeri dan pemerintahan ke tangan musuh. Maksudnya, Allah Ta’ala lebih mengetahui akibat dari segala sesuatu. Dan Dia memberitahukan bahwa dalam peperangan itu terdapat kebaikan bagi kalian di dunia maupun di akhirat. Karena itu, sambut dan bersegeralah memenuhi perintah-Nya supaya kalian mendapat petunjuk.

  1. Kenapa ujian seberat ini?

Allah SWT menjelaskan dalam Al-Quran Surah Al-Baaqarah ayat 286:

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ

”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”…. (QS. Al-Baqarah: 286)

Di dalam kitab Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir karya  Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar beliau menjelaskan : “Agama Allah adalah mudah, tidak ada kesulitan di dalamnya. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta’aala tidak membebani sesuatu yang mereka tidak sanggup memikulnya. Pada asalnya perintah dan larangan tidaklah memberatkan seseorang, bahkan hal itu merupakan makanan bagi ruh dan obat bagi badan serta menjaganya dari bahaya. Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan hamba-hamba-Nya sebagai rahmat dan ihsan-Nya. oleh karena itu, apabila ada udzur yang mengakibatkan berat melaksanakan perintah itu, maka ada keringanan dan kemudahan, baik dengan digugurkan kewajiban itu atau digugurkan sebagiannya sebagaimana pada keringanan-keringanan bagi musafir dan orang yang sakit. Oleh karena itu, seseorang tidaklah dihukum karena dosa orang lain dan tidak dihukum karena was-was yang menimpa hatinya selama tidak diucapkan atau dikerjakan”.

Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 18-19: Menjadi Sial Akibat Berperilaku Buruk

  1. Rasa frustasi

Allah SWT menjelaskan dalam Al-Quran Surah Al-‘Imraan ayat 139 :

وَلَا تَهِنُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَنْتُمُ الْاَعْلَوْنَ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ

”Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. Al-‘Imran:139)

Dalam Tafsir Al-Wajiz,  Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili beliau adalah pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah, beliau menjelaskan: “Dan janganlah kamu lemah dan janganlah kamu berduka-cita, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi jika kamu (memang) orang-orang yang beriman”.

  1. Bagaimana aku harus menghadapinya?

Allah SWT menjelaskan dalam Al-Quran Surah Al-‘Imran ayat 200:

ٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اصْبِرُوْا وَصَابِرُوْا وَرَابِطُوْاۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ࣖ

”Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung”.( QS Al-‘Imran: 200)

Di dalam Tafsir Al-Muyassar dijelaskan “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengikuti rasul-Nya, bersabarlah kalian terhadap beban-beban syariat (agama) serta musibah-musibah dunia yang menimpa kalian. Dan kalahkanlah orang-orang kafir dalam hal kesabaran. Jangan sampai mereka lebih sabar dari kalian. Tegakkanlah jihad di jalan Allah. Dan takutlah kalian kepada Allah dengan cara menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, supaya kalian mendapatkan apa yang kalian harapkan. Yaitu selamat dari Neraka dan masuk ke dalam Surga”.

  1. Apa yang aku dapat dari semua ini?

Allah SWT menjelaskan dalam Al-Quran surah At-Taubah ayat 111 :

اِنَّ اللّٰهَ اشْتَرٰى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اَنْفُسَهُمْ وَاَمْوَالَهُمْ بِاَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَۗ

”Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka”. (QS. At-Taubah: 111)

Di dalam kitab Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir karya Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar beliau menjelaskan Hamba yang berakal tidak melihat pada dirinya sesuatu yang berharga kecuali hanya jannah yang akan menantinya. Sesungguhnya telah merugi orang yang menjual rumah mereka dari surga dengan sesuatu yang lebih murah dan hina, sedangkan orang-orang beriman menjual diri dan harta mereka yang merupakan titipan dari Allah dan mereka menjadikannya jaminan untuk surga; dan sesungguhnya mereka itu akan menggapai kemenangan yang besar.

Baca juga: Surah Al-Qalam Ayat 17-29: Kisah Pemilik Kebun dan Sebuah Penyesalan

  1. Aku tak dapat bertahan lagi

Allah SWT menjelaskan dalam Al-Quran surah Yusuf ayat 87 :

.وَلَا تَا۟يْـَٔسُوْا مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يَا۟يْـَٔسُ مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْكٰفِرُوْنَ

”dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (QS. Yusuf: 87).

Di dalam kitab Aisarut Tafasir karya Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di Masjid Nabawi beliau menjelaskan bahwa Yang demikian adalah karena sikap harap menghendaki seseorang untuk terus berusaha dan bersunguh-sungguh terhadap harapannya. Sedangkan sikap putus asa menghendaki seseorang berat untuk maju dan berlambat-lambatan, dan hal yang paling patut diharap seorang hamba adalah karunia Allah, ihsan-Nya, dan rahmat-Nya.

Mulai saat ini, mari kita terus berbenah untuk memepersembahkan yang terbaik dalam hidup ini, dengan torehan kemuliaan dan semangat pantang menyerah. Dimanapun, Kapanpun dan dengan siapapun. Selama Allah swt menjadi tujuan utama kita, Insya Allah kita akan menjadi hamba yang Dia cintai dan meraih kata bahagia sebagaimana doa yang sering terlantun “untuk kebahagiaan dunia dan akhirat”. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surah Yasin ayat 58-59: Ucapan Salam Untuk Para Penghuni Surga

0
Yasin Ayat 58-59
Yasin Ayat 58-59

Sebelumnya telah diterangkan bagaimana gambaran kenikmatan yang diperoleh penghuni surga. Adapun pembahasan kali ini tentang tafsir surah Yasin ayat 58-59 adalah kelanjutan peristiwa tesebut, yakni sambutan Allah untuk penguni surga sekaligus respon-Nya terhadap penghuni neraka. Berikut firman-Nya:

سَلٰمٌۗ قَوْلًا مِّنْ رَّبٍّ رَّحِيْمٍ

وَامْتَازُوا الْيَوْمَ اَيُّهَا الْمُجْرِمُوْنَ

  1. (Kepada mereka dikatakan), “Salam,” sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.
  2. Dan (dikatakan kepada orang-orang kafir), “Berpisahlah kamu (dari orang-orang mukmin) pada hari ini, wahai orang-orang yang berdosa!

Setelah para penghuni surga bersibuk ria menikmati fasilitas syurga yang beragam tanpa kekurangan, mereka juga mendapat tambahan nikmat utama berupa kata Salamun sebagai ucapan  dari Allah. Tuhan yang maha Agung lagi maha Penyayang.

Setidaknya ada dua versi pendapat terkait kata Salamun tersebut. Pertama, ucapan tersebut disampaikan lansung oleh Allah Swt dengan menampakkan wujud-Nya, sebagaimana yang diterangkan oleh Qurthubi dalam al-Jami’al-Ahkam al-Quran mengikuti pendapat Qusyairi dan Tsa’labi yang menukil hadis riwayat Jabir bin Abdullah, bahwasanya Nabi bersabda:

“Allah telah menggambarkan kepada kita bagaimana kenikmatan yang diperoleh penduduk syurga, wajah mereka yang berbinar-binar (karena bahagia), dan ketika mereka mengangkat kepala, seketika itu Allah hadir, dan berucap salam kepada mereka. Nabi kemudian membaca ayat 58 dari surat Yasin. Peristiwa tersebut adalah pertemuan antara Allah dengan penghuni syurga, dimana mereka dapat melihat Allah tanpa hijab. Dan saking besarnya nikmat tersebut, mereka terpaku dan tidak bisa berpaling, disaat yang sama mengalirlah cahaya Allah dan keberkahna-Nya kepada mereka.”

Baca Juga: Tafsir Fiqh (4): Al-Qurthubi dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an

Kedua, ucapan tersebut disampaikan oleh Allah akan tetapi tidak secara lansung, bisa melalui perantara malaikat, atau berupa suara Allah saja tanpa memperlihatkan wujud-Nya. Seperti yang pernah dialami oleh Nabi Musa ketika berada di Bukit Tursina.

Menurut Quraish kata Salam (سلام) terambil dari kata salima (سَلِمَ), dan memiliki dua model pemaknaan, yakni aktif dan pasif. Makna aktif misalnya ketika memperoleh sesuatu yang disenangi dan diidamkan, termasuk ucapan Salam pada ayat ini. Sedangkan makna pasif yakni Salam sebagai bentuk doa agar terselamatkan atau terhindar dari sesuatu yang tidak menyenangkan. Salam yang demikian mirip dengan apa yang sering diucapkan ketika didunia yakni Assalamu’alaikum.

Ini sekaligus menegaskan bahwa ucapan Salam ketika di dunia berbeda dengan di syurga, adapun ucapan Salam yang berbentuk doa seperti Assalamu’alaikum tidak diperlukan lagi di syurga karena mereka sudah berada dalam negeri yang damai nan kekal yakni Dar al-Salam.

Berbanding terbalik dengan kondisi orang kafir ketika itu, mereka justru diusir dan diacuhkan oleh Allah Swt. Menurut Ibnu ‘Asyur, kata imtazu (امتازوا)  terambil dari kata mazah (مَازَه) yakni memisahkan sesuatu yang bercampur dengannya.

Beberapa mufassir menggambarkan kondisi saat itu dimana orang kafir dan mukmin berada pada suatu tempat yang sama, namun kaum Mukminin diperintahkan masuk kedalam syurga sedangkan mereka yang Kafir dijerumuskan kedalam neraka.

Menurut ad-Dhahak para penghuni neraka pun dipisah kembali menjadi beberapa firqah (golongan), seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabi’un, dan penyembah berhala. Setiap golongan memiliki rumah khusus di neraka. Adapun orang muslim yang masih memikul dosa, menurut Daud bin Jarrah mereka juga mendapat tempat tersendiri di neraka.

Terkait kata imtaz, Ar-Razi berpandangan bahwa ada lima urutan imtaz yang dimaksud ayat 59 ini. Pertama, memisahkan dan membedakan antar masing-masing individu. Kedua, memisahkan kauf Kafir dengan kaum Mukmin. Ketiga, memisahkan mereka berdasarakn golongan. Keempat, memisahkan mereka berdasarakn generasi. Kelima, memisahkan mereka yang berdosa dan menarik diri dari kebaikan.

Baca Juga: Fakhruddin Ar-Razi: Sosok di Balik Lahirnya Tafsir Mafatih Al-Ghayb

Adapun perintah imtaz ini bersifat takwin, yakni perintah Allah atas kehendak-Nya yang mutlak untuk mewujudkan sesuatu. Perintah semacam ini, sekaligus menunjukkan begitu cepatnya proses pemisahan itu terjadi. Sebagaimana firmannya:

اِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ اِذَآ اَرَدْنٰهُ اَنْ نَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ

Sesungguhnya firman Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. (QS. al-Nahl [16]: 40)

Demikian kiranya penjelasan ringkas tafsir surat Yasin ayat 58-59. Tunggu series tafsir yasin selanjunya, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam

Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 14-15: Tragedi Pembunuhan Juru Masak Fir’aun

0
Surah Al-Qasas ayat 14-15: awal mula kehancuran Firaun
Surah Al-Qasas ayat 14-15: awal mula kehancuran Firaun

Nabi Musa adalah satu dari beberapa nabi yang kisahnya banyak diabadikan dalam Al-Quran. Nabi Musa lahir ditengah krisis kemanusiaan yang sedang melanda Mesir pada saat itu, dimana Firaun akan membunuh semua bayi laki–laki di zaman tersebut. Namun Allah selalu punya cara untuk menjalankan takdir sesuai kehendakNya. Hingga akhirnya Nabi Musa hidup di “kandang singa”, Firaun tidak menyadari bahwa bocah yang ditemukan istrinya di aliran sungai itu kelak akan menghancurukan kerajaannya. Kehancuran Firaun dan seluruh bala tentaranya dimulai dari sebuah peristiwa yang diceritakan dalam Al-Quran Surah Al-Qasas ayat 14-15:

وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (14) وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلَانِ هَذَا مِنْ شِيعَتِهِ وَهَذَا مِنْ عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُضِلٌّ مُبِينٌ  (15)

Artinya : “Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (14) Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: “Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya) (15)” (Q.S Al-Qasas ayat 14-15)

Baca juga: Kisah Nabi Musa dan Doa-Doa yang Dipanjatkannya dalam Surat al-Qashash

Titik kecurigaan Fir’aun terhadap Musa

Peristiwa yang ada pada Surah Al-Qasas ayat 14-15 tersebut adalah titik tolak kecurigaan Firaun dan bala tentaranya terhadap Musa yang telah ada sejak sebelumnya. Musa semakin yakin bahwa Firaun ada di pihak yang salah, Risalah Allah yang berupa hikmah dan ilmu menuntun Nabi Musa pada kebenaran tauhid yang sesungguhnya. Peristiwa tersebut terjadi saat Nabi Musa telah mencapai 2 pencapaian fisik yang disebutkan melalui kata “Balagha Asyuddah” (diterjemahkan dengan “cukup umur”) dan “Istawa” (diterjemahkan dengan “sempurna akal”). Konsep cukup umur sendiri banyak terjadi perbedaan pendapat di kalangan mufassir, menurut Az-Zamhasyari dalam al-Kasysyaf, usia nabi  Musa saat itu adalah 40 tahun, usia yang sangat matang untuk bersiap menerima wahyu. sedangkan Al-‘Iz bin Abdussalam dalam Tafsir-nya, mengemukakan konsep Istawa dengan beberapa alternatif karakteristik seperti stabilnya kekuatan, tumbuh jenggot, maupun berakhirnya masa remaja.

Baca juga: Kisah Pengkhianatan Samiri dalam Al-Quran

Dengan gambaran fisik yang cukup realistis tadi, Nabi Musa sedang memasuki kota Memphis, sebuah kota yang berjarak sekitar 2 farsakh atau sekitar 11 kilometer dari kediaman nabi Musa. An-Nakhjuni dalam Tafsirnya memperkirakan bahwa kedatangan nabi Musa di kota tersebut adalah ketika waktu – waktu tidur siang atau malam hari.

حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِها لأنهم لا يترقبونه في تلك الوقت قيل هو وقت القيلولة وقيل وقت العشا

“ketika penduduk lemah, karena saat itu para penduduk tidak mengawasi keberadaan Nabi Musa, ada yang mengatakan itu di waktu – waktu Qailulah (tidur siang), ada pula yang berpendapat pada waktu isya”

Tragedi pembunuhan

Pada saat kunjungannya itu, nabi Musa menyaksikan perkelahian antara 2 orang, yang satu dari Bani Israel, sedangkan yang satunya bangsa Qibty (Mesir). Dalam Tafsir Al-Bahr Al-Madid disebutkan bahwa dari pihak Bani Israel bernama Samiry, sedangkan dari Qibty adalah juru masak istana.

As-Syaukani dalam Fathul Qadir menafsirkan bahwa penyebab perkelahian tersebut adalah karena Orang Qibthy yang ternyata adalah juru masak istana tersebut memaksa orang Bani Israil tadi untuk mengangkut kayu bakar ke dapur kerajaan. Melihat hal itu, nabi Musa tentu tak mau diam. Beliau membela dan menolong orang Bani Israil. bukan karena ia masih sedarah, namun karena si Bani Israil ini sedang terdzalimi.

طلب أَنْ يَنْصُرَهُ وَيُعِينَهُ عَلَى خَصْمِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَأَغَاثَهُ لِأَنَّ نَصْرَ الْمَظْلُومِ وَاجِبٌ فِي جَمِيعِ الْمِلَلِ

“Nabi Musa berniat menolong dan membantu orang bani Israil tersebut untuk menghadapi musuhnya (orang Qibthy), maka beliau berusaha membebaskan si bani Israil, karena menolong orang yang teraniaya itu wajib dalam setiap agama”.

Nabi Musa berniat melindungi orang Bani Israil ini, dengan cara memukul si Koki Qibthy tersebut. Menurut As-Syaukani, Pukulan yang disebut “Al-Wakz” ini adalah pukulan yang dilakukan dengan keseluruhan telapak tangan, entah itu yang bagian luar maupun yang dalam. Kementerian Agama dalam Tafsir-nya menerjemahkannya dengan “meninju”.

Baca juga: Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam Al-Quran: Refleksi Kepatuhan Terhadap Guru

Entah seberapa kuat pukulan Nabi Musa, Si Qibthy  mati seketika. Tapi kematian si Qibthy ini di luar dugaan nabi Musa, karena beliau hanya berniat melindungi si Bani Israil.

لَمْ يَقْصِدْ مُوسَى قَتْلَ الْقِبْطِيِّ، وَإِنَّمَا قَصَدَ دَفْعَهُ، فَأَتَى ذَلِكَ عَلَى نَفْسِهِ

“Nabi Musa tak bermaksud  membuntuh si Qibthy, ia hanya berniat menahannya. Maka datanglah (ajal) padanya”

Ayat ini dilanjutkan dengan peringatan Allah terhadap nabi Musa akan perbuatannya yang dinilai seperti perbuatan setan. Padahal nabi Musa punya alibi yang kuat untuk dianggap tidak bersalah. Yang dibunuh adalah seorang Kafir, yang melakukan perbuatan dzalim pada seorang Muslim. Nabi Musa memohon ampun, kemudian melarikan diri ke arah Madyan. Sejak saat itu Nabi Musa secara resmi dijadikan buronan oleh Firaun. Mulailah takdir membawa nabi Musa pada perselisihan sengit dengan ayah angkatnya, antara tauhid dan kesyirikan.

Wallahu a’lam[]

Hikmah Kisah-kisah dalam Al-Quran menurut Manna’ Al-Qaththan

0
Hikmah kisah Al-Quran menurut Manna' al-Qaththan
Hikmah kisah Al-Quran menurut Manna' al-Qaththan

Menurut Syaikh Manna’ al-Qaththan, dalam kitabnya Mabahits fi Ulum Al-Quran, ada tiga macam kisah dalam Al-Quran. Pertama, kisah-kisah Nabi terdahulu, mencakup tentang sepak terjang dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat yang Allah berikan kepada mereka, para penentang dakwahnya, serta perjalanan dan perkembanga dakwah mereka. Kedua, kisah-kisah yang menceritakan peristiwa-peristiwa terdahulu serta sosok-sosok yang tidak termasuk nabi. Seperti, perawan suci Maryam yang melahirkan Nabi Isa as. Ketiga, kisah-kisah yang terkait peristiwa pada zaman Nabi saw. Seperti, perang Badar, dan perang Uhud dalam Surah Ali Imran, dan lain-lain.

Masih Menurut Syaikh Manna’ al-Qaththan, adanya cerita-cerita yang ada dalam Al-Quran itu mempunya beberapa tujuan atau hikmah. Berikut ini penjelasannya.

Bukti kesamaan Al-Quran dengan dakwah nabi terdahulu

Hikmah pertama dari adanya kisah Al-Quran ialah sebagai bukti kesamaan misi dakwah Al-Quran dengan Nabi terdahulu. Didalam kitab-kitab Nabi terdahulu itu tertulis informasi tentang datangnya Nabi Terakhir. Tetapi sangat disayangkan, fakta ini sengaja disembunyikan, bahkan hal ini dilakukan oleh para pemuka agamanya sendiri. Penceritaan kisah kisah adalah sebagai bentuk untuk memperlihatkan bahwa apa yang dibawa Nabi saw. Dan nabi-nabi sebelumnya sama. Yakni, mengajak umat manusia untuk menyembah Tuhan yang Esa. Jika kisah-kisah nabi sebelumnya tidak disebutkan dalam Al-Quran, bagaimana bisa para pembaca mengetahui kesamaan misi dakwahnya.

Baca juga: Kisah Mimpi Yusuf Bukan Wahyu: Tafsir Surah Yusuf Ayat 4

Memantapkan hati Nabi dan umatnya

Hikmah kedua menurut Manna’ al-Qaththan ialah bahwa kisah Al-Quran memantapkan hati Nabi saw. dan umatnya atas agama. Hal ini digambarkan dengan perjuangan Nabi dan umat Islam dalam berdakwah dan menyebarkan agama Allah ini dengan berbagai penolakan bahkan siksaan yang dialami mereka. Maka untuk menghadapi itu dibutuhkan keimanan yang kuat dan spirit (semangat) yang dapat menjadikan hati mereka untuk mengobarkan cahaya keimanan.

Beratnya medan juang juga dirasakan oleh para utusan terdahalu. Intimidasi terhadap umat yang beriman juga pernah dialami oleh umat terdahulu juga. Namun, hal itu hanya sebagai cobaan saja, karena kemenangan akan tercapai cepat atau lambat dan kebathilan akan segera sirna.

Membenarkan dakwah nabi terdahulu dan Nabi Saw.

Hikmah selanjutnya ialah bahwa kisah Al-Quran membenarkan kenabian sekaligus mengenang jasa Nabi terdahulu. Ini dapat kita amati dari hadis yang menyebutkan bahwa kelak di hari kiamat Allah akan mengumpulkan hamba-hamba-Nya dan meminta pertanggung jawaban masing-masing mereka.

Di lain sisi, kisah Al-Quran juga membuktikan kebenarkan Dakwah Nabi saw.  Keberadan kisah-kisah dapat menjadi bukti kebenaran Nabi karena melihat faktor bahwa Nabi tidak pernah belajar sejarah dari seorang pun. Namun demikian, kevalidan cerita-cerita yang disampaikannya dapat dibuktikan secara ilmiah di mas-masa modern walaupun orang-orang tidak percaya kepada beliau, menganggap apa yang dibawa oleh nabi sebagai sesuatu yang mengada-ada, bahkan menuduh Nabi sebagai orang yang tidak waras (gila).

Baca juga: Surah Al-Qalam Ayat 17-29: Kisah Pemilik Kebun dan Sebuah Penyesalan

Bantahan terhadap Ahli Kitab dan sarana pembelajaran efektif

Kisah Al-Quran juga dapat menjadi bantahan bagi ahli kitab yang menghilangkan fakta-fakta kebenaran. Hal ini berangkat dari klaim-klaim ahli kitab yang kebanyakan mengada-ada, ataupun merekayasa suatu hal. Seperti, halnya mengharamnkan apa yang dihalalkan oleh Allah, begitupun sebaliknya.

Tidak hanya itu, kisah Al-Quran juga dapat berfungsi sebagai sarana pembelajaran yang efektif. Seperti diungkap sebelumnya, bahwa sebuah kisah itu merupakan salah satu bentuk kesusastraan yang dapat memancinf perhatian pendengar dan lebih efektif menanamkan sebuah ajaran kedalam hati. Berkisah ini telah menjadi salah satu sarana dan metode dalam pendidikan yang efektif dalam pembelajaran.

Baca juga: Pembukaan Awal Tafsir Surah al-Kahfi: Kisah dan Keutamaan Membaca Surah al-Kahfi

Dengan demikian, penjelasan tentang hikmah-hikmah adanya kisah-kisah dalam Al-Quran. Mungkin sebagai orang belum pernah mengetahui tentanf adanya hikmah dalam kisah-kisah yang termuat dalam Al-Quran. Semoga Bermanfaat. Wallahu a’lam[]

Emansipasi Tiga Sahabat Perempuan dan Asbab Nuzul Turunnya Ayat-Ayat Kesetaraan

0
Sahabat Perempuan
Sahabat Perempuan

Jauh sebelum aktivis kesetaraan gender lantang disuarakan di zaman modern, keresahan terhadap diskriminasi berbasis gender pernah disuarakan oleh beberapa sahabat perempuan. Mereka mempertanyakan eksistensi perempuan yang tidak disinggung oleh al-Qur’an sebagai sosok yang mempunyai andil dalam dakwah Islam.

Keresahan ini disampaikan langsung kepada Nabi saw dan kemudian mendapatkan respon dari Allah Swt yang tertuang dalam beberapa ayat al-Qur’an mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Artikel ini akan mengulas andil 3 sahabat perempuan yang mempunyai peran penting sebagai latar turunnya beberapa ayat tentang kesetaraan.

Ummu Salamah

Bernama asli Hindun binti Abi Umayah, Ummu Salamah merupakan sosok perempuan yang memiliki paras cantik, nasab baik, perangai santun, dan seorang intelektual. Ummu Salamah termasuk sahabat perempuan yang pertama kali ikut hijrah ke Habasyah dan Madinah. Ia merupakan istri Rasulullah yang sebelumnya pernah menikah dengan Abi Salamah bin Abdul Asad al-Makhzumi. Pada tahun 61 H Ummu Salamah menghembuskan nafas terakhirnya dan menjadi istri Rasulullah yang paling akhir wafat.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 19: Perempuan Adalah Sosok Istimewa

Ummu Salamah mempunyai peran penting dalam penyebaran Islam. Bersama sahabat perempuan lainnya ia aktif membantu menyiapkan logistik dan pengobatan bagi para mujahidin yang berjuang di medan perang.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, al-Hakim, dan Ibn Abi Hatim dikisahkan suatu ketika Ummu Salamah bertanya “Ya Rasulullah! Saya tidak mendengar Allah menyebut-nyebut perempuan sedikit pun yang berkenaan dengan hijrah.” Respon pertanyaan di atas, maka turunlah ayat Q.S. Ali Imran (3): 195 yang berbunyi:

فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ اَنِّيْ لَآ اُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنْكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى ۚ بَعْضُكُمْ مِّنْۢ بَعْضٍ ۚ فَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا وَاُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ وَاُوْذُوْا فِيْ سَبِيْلِيْ وَقٰتَلُوْا وَقُتِلُوْا لَاُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّاٰتِهِمْ وَلَاُدْخِلَنَّهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۚ ثَوَابًا مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الثَّوَابِ ١٩٥

Maka, Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan perbuatan orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. Maka, orang-orang yang berhijrah, diusir dari kampung halamannya, disakiti pada jalan-Ku, berperang, dan terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka dan pasti Aku masukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai sebagai pahala dari Allah. Di sisi Allahlah ada pahala yang baik.”

Kisah tersebut direkam dalam kitab Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul karya Imam al-Suyuthi. Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam hal pahala. Secara eksplisit ayat di atas menyebut kata perempuan dan laki-laki dengan beriringan. Hal ini memberi ajaran kepada kita bahwa keutamaan seseorang bukan dilihat dari atribut sosial, termasuk jenis kelamin, tapi dari amal yang dilakukannya.

Nusaibah binti Ka’ab

Nusaibah binti Ka’ab, biasa disebut dengan Ummu Ammarah adalah sahabat perempuan dari kalangan Anshar yang dikenal pemberani. Puncak keberaniannya terlihat ketika ia mengikuti perang Uhud. Saat itu, terjadi kekacauan pasukan muslim karena tidak mengikuti instruksi Rasulullah. Hal tersebut mengakibatkan posisi Rasulullah dapat diserang dengan mudah oleh pihak musuh. Melihat Rasulullah dalam keadaan terancam, Nusaibah bergegas mempersenjatai diri untuk memberi perlindungan Rasul. Beberapa riwayat mengatakan akibat aksi heroiknya itu, ia mengalami 12 luka di sekujur tubuhnya.

Selain terkenal dengan keberaniannya, Ummu Ammarah juga bisa kita anggap sebagai sosok pembela hak asasi perempuan. Asumsi ini berdasar kepada suatu riwayat dalam Sunan At-Tirmidzi dan Musnad Ahmad bin Hanbal sebagaimana dikutip pada buku Qiraah Mubadalah.

Riwayat tersebut tentang pertanyaan Ummu Ammarah kepada Rasulullah, “Sepertinya, segala sesuatu hanya untuk laki-laki, saya tidak melihat perempuan disinggung (al-Qur’an) sama sekali.” Sebab aduan itu kemudian Allah berfirman Q.S. al-Ahzab (33): 5 sebagai berikut:

اِنَّ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمٰتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ وَالْقٰنِتِيْنَ وَالْقٰنِتٰتِ وَالصّٰدِقِيْنَ وَالصّٰدِقٰتِ وَالصّٰبِرِيْنَ وَالصّٰبِرٰتِ وَالْخٰشِعِيْنَ وَالْخٰشِعٰتِ وَالْمُتَصَدِّقِيْنَ وَالْمُتَصَدِّقٰتِ وَالصَّاۤىِٕمِيْنَ وَالصّٰۤىِٕمٰتِ وَالْحٰفِظِيْنَ فُرُوْجَهُمْ وَالْحٰفِظٰتِ وَالذّٰكِرِيْنَ اللّٰهَ كَثِيْرًا وَّالذّٰكِرٰتِ اَعَدَّ اللّٰهُ لَهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا ٣٥

Sesungguhnya muslim dan muslimat, mukmin dan mukminat, laki-laki dan perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan penyabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kemaluannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, untuk mereka Allah telah menyiapkan ampunan dan pahala yang besar.

Ayat ini menjelaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan di hadapan Allah dalam hal mendapat balasan amal perbuatan sesuai apa yang masing-masing individu kerjakan. Dengan demikian kualitas diri seorang manusia tidak terpaku pada aspek biologis semata. Setiap individu baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak untuk mengembangkan kreativitas yang dimilikinya. Masing-masing dari mereka memiliki konsekwensi logis atas apa yang dilakukannya.

Asma binti Umais

Selain dua nama di atas, riwayat lain menyebut Asma binti Umais sebagai salah satu sahabat perempuan yang dianggap sebagai pejuang emansipasi. Sebagaimana dinukil dalam buku Qiraah Mubadalah yang disadur dari Imam al-Baghawi menceritakan bahwa Asma binti Umais suatu ketika pernah bertanya kepada Rasul mengenai kedudukan perempuan. Ia mengatakan bahwa posisi perempuan sangat merugi karena peran mereka tidak disinggung al-Qur’an.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 33: Perempuan sebagai Pemeran Domestik dan Publik

Dikisahkan Asma binti Umais datang ke dzuriyah Rasulullah kemudian bertanya, “Apakah ada ayat al-Qur’an yang turun menyebut dan mengapresiasi perempuan?” Saat dijawab tidak ada, ia langsung menemui Rasulullah, mengadu, “Wahai Rasullah, sungguh para perempuan itu merugi. Sangat merugi.” “Memang kenapa?” tanya Rasulullah, “Karena kerja dan kiprah mereka tidak disinggung al-Qur’an, sebagaimana kerja laki-laki yang selalu diapresiasi al-Qur’an.

Dari kisah di atas, terlihat Asma memprotes fenomena laki-laki yang selalu disebutkan oleh al-Qur’an. Pernyataan Asma semacam bentuk keresahan yang mewakili perasaan perempuan pada saat itu yang tidak ingin dibeda-bedakan dengan laki-laki. Menurut sementara ulama kisah ini juga menjadi asbab al-nuzul ayat-ayat kesetaraan yang disebutkan sebelumnya.

Demikian sepenggal kisah sahabat perempuan yang berupaya meraih kesetaraan dengan laki-laki. Riwayat-riwayat di atas menunjukkan apresiasi Allah terhadap perempuan. Al-Qur’an berupaya merefleksikan ajaran Islam yang berupaya mengubah tradisi patriarki menuju kesetaraan laki-laki dan perempuan. Wa Allahu A’lam

Tafsir Tarbawi: Pentingnya Nalar Induktif bagi Kemajuan Pendidikan Islam

0
Pentingnya nalar induktif dalam pendidikan Islam
Pentingnya nalar induktif dalam pendidikan Islam

Reorientasi dan reformulasi dalam tubuh pendidikan Islam di era pandemi dan disrupsi adalah keniscayaan. Mau tidak mau, pendidikan Islam harus memformat ulang baik kurikulum, sistem, strategi dan model pembelajaran, maupun kelembagaannya agar mampu adaptif sesuai dinamika zaman. Salah satu reorientasi dan reformulasi itu adalah penggunaan nalar induktif.

Kita tahu bahwa kegemilangan Islam di era Abbasiyah adalah klimaks daripada penggunaan nalar induktif. Temuan besar di segala bidang oleh ilmuwan muslim, katakanlah Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Al-Farabi, Ar-Razi, dan sebagainya tidak terlepas dari pengarusutamaan (mainstreaming) nalar tersebut. Mereka, para ilmuwan muslim, tidak hanya pakar di satu bidang, namun hampir semua bidang. Ini menunjukkan keampuhan nalar induktif bagi pengembangan ilmu pengetahuan kala itu.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Dasar Pendekatan Saintifik dalam Pendidikan Islam

Allah swt sendiri telah menyiratkan kepada manusia untuk menggunakan nalar induktif dalam proses pembelajarannya sebagaimana tertera dalam QS. Al-Baqarah [2]: 164,

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ مَّاۤءٍ فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍ ۖ وَّتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ

“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh, merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti” (Q.S. al-Baqarah [2]: 164)

Tafsir Surah al-Baqarah ayat 164

Al-Wahidi dalam Asbabun Nuzul-nya memaparkan latar belakang turunnya ayat ini disebabkan oleh pertanyaan dari kaum kafir Quraisy sebagai berikut:

“Telah mengabarkan kepada kami Abdul Aziz bin Tahir al-Taimi, Abu ‘Amr bin Mathar, Abu Abdullah al-Zayadi, diceritakan kepada kami Syibli dari Ibn Abi Najih, dari Atha; berkata, “ayat ini turun di Madinah kepada Rasulullah saw yaitu وَإِلَـٰهُكُمْ إِلَـٰهٌ وَاحِدٌ لاَّ إِلَـٰهَ إِلاَّ هُوَ ٱلرَّحْمَـٰنُ ٱلرَّحِيمُ lalu berkatalah kaum kafir Quraisy Makkah, “bagaimana mungkin Tuhan yang tunggal mampu mendengar atau meliputi semua urusan manusia?”

Maka turunlah ayat ini.

Baca juga: Kunci Kemajuan Pendidikan Islam Terletak pada Learning by Doing

Ayat ini, sebagaimana penjelasan Tafsir Kemenag, mengisyaratkan kepada manusia untuk mengambil hikmah dari semua penciptaan alam semesta dan seisinya. Dalam ayat ini Allah swt menuntunt kepada manusia untuk melihat, memperhatikan dan tafakur atas segala ciptaan-Nya dan kejadian di lingkungan sekitarnya agar semakin kaya keilmuan kita dan semakin mendekat kepada Allah swt.

Lebih jauh, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah mengemukakan bahwa Allah swt telah menjadikan bukti kebesaran-Nya melalui alam semesta dan seisinya sebagai pertanda wujud dan ketuhanan-Nya bagi hamba-Nya yang mau menggunakan akal fikirannya. Di antara bukti itu, kata Quraish Shihab, adalah langit yang tampak, gemerlap cahaya bintang yang berkilauan pada malam hari, peredaran bumi dan bulan yang teratur tidak saling menyalip atau bahkan bertabrakan, semilir angin yang menyegarkan, dan air yang menjadi nukleus kehidupan manusia.

Tidak jauh berbeda, Ibnu Abbas misalnya, menjelaskan bahwa pergantian siang dan malam dengan segala keutamannya, air, angin, awan dan berbagai macam binatang semua untuk menopang kehidupan manusia di muka bumi.

Pentingnya nalar induktif bagi kemajuan pendidikan Islam

Ayat di atas mengakomodasi betapa pentingnya nalar induktif dalam pendidikan Islam kita. Jika dikontekstualisasikan dengan realitas pendidikan Islam, maka struktur kurikulum dan materi pembelajaran harus mengapresiasi pengembangan nalar burhani atau induktif yang menjadi basis pengetahuan inquiry di segala aspek. Harus diakui, kurikulum dan model pembelajaran pendidikan Islam sementara ini lebih banyak menggunakan nalar deduktif atau dalam istilah Abid al-Jabiri disebut bayani dan irfani.

Jika nalar burhani atau induktif lebih banyak melatih peserta didik untuk berpikir secara induktif dan berbasis pada pengalaman empiris, maka nalar bayani dan irfani lebih mengedepankan kemampuan berpikir deduktif dengan cara indoktrinasi atau berangkat dari keimanan dulu baru dicari legitimasinya. Bahkan parahnya, peserta didik diasumsikan tak ubahnya tong kosong sehingga mau tidak mau mereka harus menerima materi secara terpaksa dan tidak bahagia.

Hal-hal semacam inilah menunjukkan ayat di atas semakin menemukan titik signifikansinya. Terlebih wabah pandemi Covid-19 adalah momentum yang “pas” untuk para pendidik, dosen, guru, kiai, dan seterusnya untuk mengawali pembelajarannya dengan berbasis pada nalar induktif sehingga peserta didik diajak berlatih untuk berpikir dan mengamati terlebih dahulu, tanpa harus indoktrinasi dan mengalpakan potensinya.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Membudayakan Mauidzah Hasanah dalam Pendidikan Islam

Sir Muhammad Iqbal dalam maha karyanya yang sudah menjadi klasik, The Reconstruction of Religious Thought in Islam menandaskan bahwa Islam memberikan  ruang yang sangat luas bagi spirit induktif dalam proses pencarian kebenaran ilmiah. Menurutnya, “the birth of Islam is the birth of inductive intellect” (kelahiran Islam adalah kelahiran nalar induktif).

Dengan demikian, langkah konkrit berikutnya adalah  bagaimana kita mengaplikasikan nalar induktif dalam proses belajar mengajar (PBM) atau paling tidak membumikannya kepada diri kita sendiri. Wallahu a’lam[]

Lima Pedoman Hidup Bermasyarakat: Refleksi Surah Al-Hujurat Ayat 11-13

0
pedoman hidup bermasyarakat dalam surah al-hujurat
pedoman hidup bermasyarakat dalam surah al-hujurat

Manusia itu makhluk sosial, ia tidak bisa hidup sendiri. Ia pasti dan butuh berinteraksi dengan orang lain dalam banyak hal. Untuk memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, seseorang harus memiliki adab dan akhlak yang baik. Adab dan akhlak itu merupakan pedoman hidup bermasyarakat dan aturan berinteraksi dengan sesama yang harus diperhatikan. Al-Quran pun turut menjelaskan beberapa aturan dan pedoman ini, khususnya dalam surah Al-Hujurat ayat 11-13.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Baca Juga: Krisis Kemanusiaan, Gus Mus Serukan Para Kyai Memviralkan Kandungan Surat Al-Hujurat

Lima Pedoman Hidup Bermasyarakat dalam Surah Al-Hujurat

Berikut aturan-aturan, pedoman hidup bermasyarakat dan adab berinteraksi antar sesama manusia yang termaktub dalam firman Allah surah Al-Hujurat [49]: 11-13

  1. Menjaga harga diri orang lain dengan tidak merendahkan, menghina dan mengejeknya.

Pada ayat 11 surah Al-Hujurat Allah melarang kepada orang-orang yang merasa punya iman agar jangan mengejek orang lain, karena bisa jadi orang yang dihina itu kelak di hadapan Allah justru lebih baik daripada yang menghina. Ini pedoman hidup bermasyarakat yang pertama.

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab al-Tafsir al-Munir menyebutkan ada beberapa sabab nuzul terkait ayat ini. Ada riwayat yang menyatakan ayat ini terkait dengan utusan dari Bani Tamim yang mengolok-olok sahabat yang kekurangan secara materi, ada juga riwayat yang mengatakan bahwa ayat ini turun ketika Ikrimah masuk Islam dan kaum muslim saat itu memanggilnya dengan sebutan ‘anaknya firaun’ umat ini (Ikrimah adalah anak Abu Jahal).

Masih ada lagi beberapa riwayat lain terkait sabab nuzul ayat ini, namun itu tidak menjadi masalah, karena ‘ibrah itu diambil dari keumuman lafaz bukan dari kekhususan sebab (al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzh la bikhushush al-sabab), sesuai dengan kaidah tafsir yang disepakati oleh jumhur ulama.

  1. Mengutamakan prasangka baik dan menghindari prasangka buruk

Imam al-Qurthubi dalam kitab al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an membawakan sebuah hadis yang diriwayatkan dalam shahihain dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah bersabda,

إياكم والظن, فإن الظن أكذب الحديث

Jauhilah prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu adalah sedusta-dustanya perkataan…’ (HR. Bukhari & Muslim).

Prasangka di sini adalah apa yang jamak disebut oleh masyarakat Indonesia dengan suuzhan, yakni prasangka buruk kepada orang yang zhahirnya baik ataupun tuduhan buruk kepada orang lain hanya berdasarkan prasangka tanpa adanya bukti nyata yang mendukung.

Surah Al-Hujurat ayat 12 ini bahkan menegaskan bahwa setiap orang harus berhati-hati dengan prasangka buruk yang bisa muncul kapan saja dalam pikirannya, karena sebagian besar dari prasangka itu terdapat dosa yang mengintai.

Baca Juga: Jangan Menggunjing! Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12 Untuk Menjaga Tali Persaudaraan

  1. Tidak mencari-cari keburukan atau aib orang lain.

Pedoman hidup bermasyarakat berikutnya erat kaitannya dengan adanya prasangka buruk, karena biasanya setelah itu seseorang akan terdorong untuk mencari-cari aib, cela dan kekurangan orang lain. Dalam surah Al-Hujurat ayat 12 disebut dengan istilah tajassus, sesuatu yang sangat tercela dalam Islam. Dalam satu hadis Rasulullah pernah bersabda,

…وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Terjemahnya, ‘…Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya kelak di hari kiamat’. (HR. Bukhari & Muslim).

Perbuatan tajassus merupakan perilaku yang kontradiktif dengan spirit hadis tersebut, maka orang yang senang mencari keburukan orang lain sejatinya bertentangan dengan ajaran Rasulullah dan telah melakukan perbuatan yang tiada manfaatnya, sungguh lebih berfaedah jika ia mencari cela dirinya sendiri lalu memperbaikinya.

  1. Tidak julid, gosip atau membicarakan aib kekurangan orang lain.

Jika sudah diawali dengan prasangka buruk, kemudian diiringi dengan mencari-cari aib cela orang lain, maka biasanya akan berujung dengan ghibah, dalam bahasa gaul sering disebut julid. Ada satu untaian nasihat indah berbungkus bait yang dinisbatkan kepada imam al-Syafi’i,

لِسَانُكَ لَا تَذْكُرْ بِهِ عَوْرَةَ امْرِئٍ # فَكُلُّكَ عَوْرَاتٌ وَلِلنَّاسِ أَلْسُنُ

lisanmu jangan kau gunakan untuk menyebut aib cela orang lain # karena setiap kalian memiliki cela dan orang lain juga masing-masing memiliki lisan

Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menyebutkan bahwa pada kalimat “la yaghtab ba’dhukum ba’dha” mengandung makna larangan syariat terhadap aktivitas ghibah. Kalau yang dibicarakan itu benar maka itu termasuk ghibah, namun jika tak benar maka jatuhnya memfitnah saudara sendiri.

Perumpamaan pelaku ghibah seperti sedang memakan bangkai saudara sendiri menunjukkan bahwa perilaku ini sangat menjijikkan dan sangat berbahaya jika terus dilakukan, baik bagi diri sendiri maupun masyarakat. Di Indonesia sendiri ‘congorna tetangga’ adalah satu senjata yang paling berbisa dan terbukti ampuh dalam menyemai benih-benih permusuhan dalam masyarakat.

Baca Juga: Al-Hujurat Ayat 13: Pentingnya Silaturahmi Sebagai Bagian dari Ajaran Islam

  1. Menghargai perbedaan yang ada.

Pedoman hidup bermasyarakat yang diterangkan dalam Qs. Al-Hujurat [49]: 13 adalah dalam bermasyarakat kita harus bisa menghormati perbedaan. Tidak semua yang berbeda dengan kita otomatis keliru, mungkin saja itulah warna kehidupan yang bisa diterima.

Pelangi yang tersusun dari warna yang berbeda-beda itu tetap nampak indah jika diatur dengan sedemikian rupa. Demikian juga dengan manusia, mungkin ada yang bekerja sebagai guru, manajer, buruh, petani, dll, semuanya sejatinya saling membutuhkan.

Seandainya tidak ada buruh, maka bagaimana seorang bos perusahaan bisa menjalankan bisnisnya?. Jika hal ini dipahami, maka hal yang harus dilakukan adalah bersikap adil, saling menghargai satu sama lain dan menjalankan peran yang digeluti dengan adil serta serius sepenuh hati.

Terlebih lagi jika hanya soal perbedaan fisik, hal ini sudah menjadi hukum alam. Maka dalam Islam, tiada mengenal istilahnya rasisme akibat warna kulit ataupun suku.

Dalam ajaran Islam kuncinya adalah takwa, inilah yang membedakan antara satu orang dengan orang yang lain, semakin takwa dan baik seseorang maka akan semakin berharga diri dan hidupnya, baik dihadapan manusia maupun dihadapan Allah.

Demikianlah sedikit dari hikmah pengajaran Allah dalam Al-Quran yang bisa dipetik dari surah Al-Hujurat ayat 11-13. Beberapa pondasi hidup bersosial ini tidak lain dan tidak bukan untuk mewujudkan keadilan, kenyamanan dan keharmonisan hubungan antar sesama, baik dalam tataran keluarga, bermasyarakat hingga bernegara. Wallahu a’lam.