Beranda blog Halaman 401

Mengenal Ilmu Taujih Al-Qira’at (2)

0
Mengenal Ilmu Taujih Al-Qira'at (2)
Mengenal Ilmu Taujih Al-Qira'at (2)

Pada artikel sebelumnya sudah dijelaskan tentang  beberapa poin yang mengenalkan kita dengan ilmu taujih al-qira’at. Dan berikut adalah lanjutan dari artikel sebelumnya.

7. Posisi (Nisbah) Ilmu Taujih Qira’at

Ilmu Taujîh al-Qirâ’ât berada pada posisi bagian dari Ulum Al-Quran dan bagian dari ilmu bahasa Arab. Namun porsi posisinya dalam Ulum Al-Quran lebih banyak. Di antara disiplin ilmu yang bertalian erat dengan ilmu taujîh al-qirâât –selain bahasa Arab- adalah: tafsir; akidah; fikih dan; Rasm al-Mashâhif.

Baca juga: Hukum Menulis Ayat Al-Quran dengan Bahasa Selain Arab

8. Nama Sebutan (Ism) Ilmu Taujih Qira’at

Ditemukan sejumlah padanan nama yang digunakan para ulama untuk menyebut ilmu taujîh al-qirâât yaitu: maʻânî al-qirâât, taʻlîl al-qirâât, hujjah atau ihtijâj al-qirâât,ʻilal atau taʻlîl al-qirâât, iʻrâb al-qirâât, takhrîj al-qirâât, wujûh al-qirâât, al-intishâr li al-qirâât dan nukât al-qirâ’ât.

Dari sekian nama di atas, taujîh al-qirâât merupakan nama yang paling populer. Sejatinya istilah taujîh digunakan untuk disiplin ilmu al-qirâât baru muncul pada awal abad keenam yang diawali oleh Abu al-Hasan Syuraih ar-Ruʻainî (w. 539 H) dengan kitabnya yang berjudul al-jamʻ wa at-taujîh limâ infarada bih al-imâm Yaʻqûb bin Ishâq al-Hadhramî. Penggunaan istilah taujîh sejatinya tidak hanya pada ilmu qiraat namun juga digunakan pada disiplin ilmu lainnya seperti hadis dan ulum Al-Quran.

Hal ini bisa dilihat dari literatur yang berjudul Taujîh Ahâdîts al-Muwaththa’ ditulis oleh Muhammad Abasyun (w. 341 H) dan juga kitab bernama al-Burhân fî Taujîh Mutasyâbih al-Qur’ân limâ fîh min al-Hujjah wa al-Bayân karya al-Kirmani (w. 500 H).

9. Hukum Mempelajari Ilmu Taujih Qira’at

Dari ulasan sebelumnya bisa dipastikan bahwa ilmu taujîh al-qirâât bukan merupakan ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap Muslim. Menurut para ulama mempelajarinya termasuk fardu kifayah. Sehingga cukup beberapa orang saja yang mempelajarinya. Namun bagi para huffâzh Al-Quran mempelajari ilmu ini sangat dianjurkan terlebih lagi yang sedang memperdalam ilmu qirâât sab’ah atau ʻasyrah.

Baca juga: Mengenal Ilmu Taujih Al-Qira’at (1)

10. Permasalahan (Masâil) Ilmu Taujih Qira’at

Salah satu contoh permasalah ilmu taujîh al-qirâât adalah kata –((عَلَيْهِمْ))- bagi yang mengkasrahkan hâberargumen beratnya melafalkan dhammah setelah kasrah atau yâmati. Namun bagi yang men-dhammah-kan hâberalasan cara baca tersebut apa adanya sebagaimana sebelum kemasukan kata ʻalâ.

11. Perbedaan Ilmu Taujîh al-Qirâât dengan Tarjîh al-Qirâât

Sebagaimana diketahui bahwa dari segi kualitasnya qiraat terbagi menjadi dua yaitu qiraat mutawatir dan qiraat syâdzdzah. Qirâât mutawatir terdiri dari sepuluh ragam qirâât. Sementara qirâât syâdzdzah selain sepuluh ragam tersebut. Diperbolehkan men-tarjîh qirâât mutawatir dibanding qirâât syâdzdzah. Akan tetapi tidak sebaliknya, dilarang men-tarjîh qirâât syâdzdzah dibanding qirâât mutawatir. Sebab qirâât mutawatir tidak bisa dieliminasi begitu saja. Sebab semua qirâât mutawatir transmisinya valid (sanadnya sahih) hingga Nabi saw. Wallâhu A’lam []

Menelisik Makna Hukman wa ‘Ilman, Sepasang Diksi dalam Al-Quran

0
Makna Hukman wa 'Ilman dalam Al-Quran
Makna Hukman wa 'Ilman dalam Al-Quran

Ada 2 diksi yang menarik untuk dibahas dalam Al-Quran. Diksi ini adalah Hukman wa ‘Ilman. Keduanya memang bisa berdiri sendiri–sendiri, atau bisa dipasangkan dengan diksi yang lain. Namun menariknya, ada banyak momen dua diksi ini berpasangan, alias beriringan. Dan kesemuanya berada dalam satu payung tema besar, yakni kisah hidup para Nabi.

Dengan bentuk yang sama (dalam format mashdar), i’rab dan kedudukan yang sama, kuantitas yang sama (sama–sama selalu berbentuk tunggal), serta didahului oleh Fi’il yang sama, yakni atainahu.

Baca juga: 4 Hikmah Keberadaan Kata Ajam (Non Arab) Di Dalam Al-Qur’an

Pasangan kedua diksi ini disebutkan sebanyak 4 kali dalam Al-Quran. Diksi ini pertama kali muncul di surat Yusuf ayat 22. Kemudian di surat Al-Anbiya ayat 74 dan 79. Serta di surat Al-Qasas ayat 44. Ketiga surat tersebut adalah surat – surat kisah, surat – surat yang model penyampaiannya adalah cerita dari masa lalu. Misalkan pada surat Yusuf, berikut bunyi ayatnya :

وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ

Artinya : “Dan tatkala dia cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik” (QS. Yusuf : 22)

Fakhr ad-Din Ar-Razi dalam Mafatihul Ghayb menyebutkan bahwa ayat ini adalah pertanda diangkatnya Nabi Yusuf sebagai seorang Rasul. Setelah sebelumnya sudah diangkat sebagai nabi pasca curhatan beliau soal mimpinya kepada Nabi Ya’kub, ayahnya.

إِنَّهُ كَانَ نَبِيًّا مِنَ الْوَقْتِ الَّذِي قَالَ اللَّه تَعَالَى فِي حَقِّهِ: وَأَوْحَيْنا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَا [يُوسُفَ: 15] وَمَا كَانَ رَسُولًا، ثُمَّ إِنَّهُ صَارَ رَسُولًا مِنْ هَذَا الْوَقْتِ أَعْنِي قَوْلَهُ: وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ آتَيْناهُ حُكْماً وَعِلْماً [يوسف: 22] وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: إِنَّهُ كَانَ رَسُولًا مِنَ الْوَقْتِ الَّذِي أُلْقِيَ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ

“Sungguh beliau (Yusuf) telah diangkat menjadi nabi ketika ayat ke 10 dari surat Yusuf diturunkan (Wa Auhaina Ilaihi Latunabbiannahum bi amrihim hadza), namun belum diangkat menjadi seorang Rasul. Kemudian beliau diangkat menjadi Rasul ketika ayat ke 22 dari Surat Yusuf diturunkan (Wa lamma balagha Asyuddahu Atainahu hukman wa ‘ilman). Sedangkan yang lain berpendapat bahwa Yusuf diangkat menjadi Rausl ketika ia dilemparkan di titik buta sumur”.

Baca juga: Kisah Mimpi Yusuf Bukan Wahyu: Tafsir Surah Yusuf Ayat 4

Makna Hukman wa ‘Ilman serta urgensinya terhadap risalah kenabian

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Tafsir Zaad Al-Masir mengutip pendapat para linguis Arab terhadap semantik kedua makna tersebut, sebagai berikut :

قال اللغويون: الحكم عند العرب ما يصرف عن الجهل والخطأ، ويمنع منهما، ويردُّ النفس عما يشينها ويعود عليها بالضرر، ومنه: حكمَة الدابة. وأصل أحكمت في اللغة: منعت، وسمي الحاكم حاكماً، لأنه يمنع من الظلم والزّيغ. وفي المراد بالعلم ها هنا قولان: أحدهما: الفقه. والثاني: علم الرؤيا

“Para Linguis berpendapat : Al-Hukm menurut orang Arab adalah apa – apa yang mengubah haluan kebodohan dan kesalahan, dan mencegah keduanya terjadi, lalu menjauhkan diri dari tindakan yang memalukan, serta menyelamatkan diri dari hal – hal berbahaya. Misalkan kata : Hikmat Ad-Daabah. Sedangkan asal kata Ahkamat dalam bahasa adalah Mana’at (mencegah). Hakim dinamai Hakim, karena ia mencegak kedzaliman dan penyimpangan. Sedangkan yang dimaksud Al-‘Ilm disini ada2 pendapat, yakni antara kemampuan nalar fiqh atau argumentasi”.

Dari paparan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa Hukm adalah naluri natural para Rasul untuk menjauhi kemaksiatan, sedangkan ‘Ilm adalah porsi intelektualitas yang dimilikinya.

Baca juga: Kajian Semantik Kata Nikmat dalam Al-Quran: Perbedaan Kata An-Ni’mah dan An-Na’im

Sedangkan, menurut Ar-Razi ada banyak pendapat soal tafsiran Hukman wa ‘Ilman. Beberapa diantaranya menyatakan bahwa Hukm adalah menahan diri atas apa yang ia inginkan, serta mencegahnya dari tindakan bodoh yang memalukan. Hal ini disebut pula dengan Al-Hikmah Al-‘Amaliyah. Sedangkan ilmu adalah kemampuan intelektual yang tinggi, kecerdasan akal, dan kekuatan menghafal. Hal ini disebut juga dengan Al-Hikmah Al-Nadzariyah. Oleh karena itu dalam Al-Quran, lafadz Hukm didahulukan (Taqdim) daripada lafadz ‘ilm. Menurut beberapa ahli, hal ini dikarenakan Al-Hikmah Al-‘Amaliyah punya posisi dan urgensi yang lebih kuat disbanding Al-Hikmah Al-Nadzariyah bagi seorang Rasul.

Allah menganugerahi para Rasul Hukman wa ‘Ilman sebagai bekal untuk menghadapi umat mereka yang beragam. Keluasan pengetahuan digunakan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang akan ditanyakan pada mereka, karena Rasul adalah pelayan umat yang harus siap sedia diserbu pertanyaan setiap waktu. Sedangkan Hukm digunakan untuk menonjolkan sisi tauladan di hadapan umatnya, karena seorang Rasul adalah role model umat. Tindak lakunya lah yang akan diwariskan dari generasi ke generasi. Jika dari awal saja tidak terjaga, mungkin degradasi akhlak terjadi lebih cepat dan luas.

Wallahu a’lam[]

Al-Quran dalam Pandangan Orientalis dan 3 Ajaran Islam yang Diadopsi dari Yahudi menurut Geiger

0
Tokoh Orientalis: Abraham Geiger
Tokoh Orientalis: Abraham Geiger

Al-Quran selain sebagai kitab suci Umat Islam, juga menjadi objek riset baik dari sarjana Barat, atau yang diistilahkan dengan orientalis. Para orientalis juga menjadikan Al-Quran sebagai objek penelitian. Secara umum kajian mereka terpetakan menjadi tiga bidang kajian: pertama, kajian tentang teks Al-Quran; kedua, studi mengenai alih bahasa Al-Quran; ketiga, adalah kajian yang mengarah pada bagaimana kaum muslim memahami Al-Quran.

Menurut Nur Kholis Setiawan dalam bukunya Orientalisme Al-Quran dan Hadis, sejarah teks Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari ciri khas kesarjanaan Barat yang melakukan penelitian melalui telaah filologis. Telaah filologis ini dipakai sebagai sebuah disiplin yang banyak berhubungan dengan ortohrafi dan sejarah muncul dan berkembangnya sebuah teks.

Baca juga: Robert of Ketton dan Dinamika Penerjemahan Al-Quran, Menjawab Kesimpulan Keliru Soal Kontribusi Orientalis dalam Studi Al-Quran

Pendekatan Orientalis dalam Studi Al-Quran

Adapun orientalis yang kita kenal saat ini sebagai tradisi kajian Islam secara ilmiah, dimulai atas beberapa tuduhan yang dilancarkan para penentang Muhammad. Khususnya, mengenai asal-usul Al-Quran yang memiliki kemiripan dengan konsepsi tuduhan yang disangkakan para orientalis Barat sejak abad pertengahan.

Menurut Sahiron Syamsuddin dalam Islam, Agama-agama, dan Nilai Kemanusiaan, pendekatan orientalis dalam studi Al-Quran di bagi 3 pendekatan. Pertama, Historis-Kritis, yaitu mengkaji sebuah teks dengan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Kritik historis ini meliputi bentuk, teks, dan sumber. Kedua, interpretatif penafsiran, yaitu memandang Al-Quran sebagai teks yang final dan memerlukan penafsiran. Dalam melakukan penafsiran para sarjana menerapkan metode-metode yang bervariasi, antara lain linguistik, filologi, dan sastra. Ketiga, deskriptif antropologis sosial, yaitu menjadikan Al-Quran sebagai resepsi masyarakat atau komunal tertentu.

Baca juga: Al-Quran dan Orientalis: Penerjemahan Al-Quran dalam Bahasa Latin

Fokus pemikiran Geiger

Kajian orientalis tentang Al-Quran sudah berlangsung lama. Namun, yang bernuansa akademik, menurut sebagian peneliti, dimulai semenjak Abraham Geiger. Melalui karyanya, Was hat Mohammed aus dem Judenthum aufgenommen? (Apa yang telah diadopsi Muhammad dari Agama Yahudi). Geiger dalam karyanya, memusatkan perhatian pada anasir Yahudi terhadap Al-Quran. Buku tersebut menyimpulkan bahwa tidak sebagaian besar kisah para Nabi terdahlu yang merupakan  hasil duplikasi dari Yahudi, ajaran-ajaran yang terkandung dalam Al-Quran juga meniru tradisi agama terdahulu.

Dalam kata lain, Geiger memposisikan Yahudi sebagai otoritas yang lebih tinggi untuk menilai islam. Sehingga, ia menganggap bahwa islam hanya mengadopsi tradisi budaya yang sebelumya sudah tersebar di Arab. Kesimpulan yang diambil Gieger ini didapatkan setelah ia melakukan kajian historis-kritis terhadap Al-Quran dengan analisis komporatif antara Yahudi dan Islam.

Baca juga: Massimo Campanini; Pengkaji Al-Quran Kontemporer dari Italia

Abraham Geiger dalam karyanya Judaism and Islam, menjelaskan bahwa Al-Quran terpengaruh oleh agama Yahudi dalam beberapa hal-hal berikut : Pertama, Linguistik, keimanan dan doktrin. Kedua, peraturan-peraturan dalam hukum dan moral. Ketiga, pendangan tentang kehidupan. Keempat, cerita cerita dalam Al-Quran.

Untuk membuktikan Nabi Muhammad mengadopsi ajaran Yahudi, Geiger menyatakan dua fakta; pertama, adalah fakta tentang adanya unsur-unsur agama lain yang telah diambil dan dipadukan ke dalam Islam. Karena sebuah budaya relatif terbuka bagi masuknya konsep budaya lain. Kedua, fakta bahwa unsur-unsur agama lain dalam Islam berasal daro tradisi Yahudi, bukan Kristen atau Jahiliyyah.

3 hal yang diadopsi Nabi Muhammad dari Yahudi

Abraham Geiger menyebutkan ada 3 hal pokok yang diadopsi Nabi Muhammad dari tradisi Yahudi, Yaitu:

Pertama, kosakata Al-Quran berasal dari bahasa Ibrani. Menurutnya, ada sejumlah kata Al-Quran yang diadopsi dari bahasa Ibrani, diantaranya; Tabut, Jannatu ‘Adn, Jahannam dan sebagainya.

Kedua, konsep keimanan, menurut Geiger Nabi Muhammad beberapa konsep keimanan Yahudi, seperti : tentang konsep penciptaam langit dan bumi dan isinya ada enam hari, surga memiliki tujuh tingkat, dan pembalasan di hari akhir. Bahwasanya ketiga kosep di atas itu ada dalam Islam.

Ketiga, aturan hukum dan moral, menurut Geiger, cara sholat yang diajarkan Nabi Muhammad dengam cara berdiri dan duduk, dan ketentuan ‘iddah bagi perempuan yang bercerai adalah bagaian dari tradsisi Yahudi yang sengaja dijiplak oleh Nabi Muhammad.

Respons sarjana Muslim atas Geiger

Sebagai umat Islam, jika membaca karya Abraham Geiger tersebut pasti akan geram dan tidak terima atas pernyataan tersebut. Oleh sebab itu perlu adanya respon positif yang dilakukan untuk mengcounter pernyataan Abraham Geiger ini, salah satunya yakni menggunakan analisis kritis secara metodologis.

Syed Muhammad Naquin al-Atthas mengkritik keras terhadap pernyataan Abraham Geiger, yang berpendapat bahwa kosa kata Al-Quran berasal dari bahasa lain. Dengan anggapan seperti itu bukan berarti Islam mengalami ketergantungan pada bahasa Yahudi dan Kristen. al-Atthas juga menyatakan bahwa makna dari kosakata Al-Quran tidak harus dikembalikan kepada makna dari sumber asalnya.

Baca juga: Fazlur Rahman: Sarjana Muslim Pencetus Teori Double Movement

Hal ini disebabkan Islam telah mengisi makna kosakata tersebut dari makna yang baru dan meluruskan ajaran yang salah dari Agama Yahudi, Kristen dan Jahiliiyah. Oleh sebab itu al-Atthas berpendapat bahwa bahasa Arab dalam Al-Quran adalah bahasa Arab dalam bentuk baru. Meskipun dari segi kata yang sama dalam Al-Quran telah digunakan pada zaman sebelum islam, tidak serta merta memiliki peran dan konsep yang sama.

Dengan demikian hal yang perlu di ketahui yaitu Al-Quran tidak semata-mata diturunkan dengan begitu saja, akan tetapi ia menyesuaikan diri dengan kondisi sosio-kultur masyarakat Arab pada saat itu dengan tujuan agar diterima dan dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat setempat. Namun bukan berarti Al-Quran itu hanya kitab suci yang dikhususkan kepada orang Arab saja, tetapi Al-Quran adala kitab suci yang shalih li kulli makan wa zaman.

Wallahu a’lam[]

Kisah Pasukan Bergajah dan Burung Ababil dalam Surah Al-Fîl

0
Kisah pasukan bergajah dan Burung Ababil
Kisah pasukan bergajah dan Burung Ababil

Surah al-Fîl merupakan salah satu surah makiyyah, yaitu surah yang diturunkan di Makkah. Kata al-Fîl secara umum berarti Gajah. Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, Juz 15: 523-524, kata al-Fîl dalam Surah al-Fîl merupakan bentuk tunggal. Oleh karena itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa pasukan Abrahah hanya membawa seekor gajah. Namun, ada juga yang memahami kata al-Fîl tersebut dengan banyak gajah. Hal ini dikarenakan kata al (ال) yang disusun dengan kata fîl (فيل) memiliki arti banyak. Para ulama berpendapat bahwa Abrahah membawa pasukan dengan banyak gajah, ada yang berpendapat delapan ekor. Adapula yang berpendapat dua belas ekor, salah satu diantaranya sangat besar. Surah Al-Fil sendiri menceritakan tentang pasukan bergajah dengan Abrahah sebagai pemimpinnya, yang diserang Burung Ababil. Berikut ini kisahnya.

Baca juga: 7 Keluh Kesah Manusia yang Tertera dalam Al-Quran

Abrahah dan Pasukan Bergajah

Dalam Kitab Tafsir al-Misbah, Juz 15: 522-523 disebutkan bahwa Abrahah merupakan seorang penguasa di Yaman di bawah kekuasan Negus di Ethiopia, yang memiliki sebuah gereja di San’a yang dinamainya al-Qullais. Kemudian, Abrahah mengirim surat kepada Negus di Ethopia. Ia menyampaikan bahwa dirinya telah membangun sebuah gereja yang indah dan megah yang belum pernah dibangun sebelumnya oleh siapapun. Gereja tersebut dipersembahkan untuk Negus. Ia terus berusaha agar orang-orang Arab mengunjungi gereja tersebut untuk melakukan ibadah haji.

Hal ini terdengar oleh penduduk Mekkah. Pada akhirnya, salah satu orang dari suku Kinanah mengunjungi gereja tersebut, kemudian buang air besar dengan tujuan untuk menghina Abrahah. Perbuatan tersebut membuat Abrahah sangat marah, maka ia pun bersama pasukannya pergi ke arah Hijaz dan mendirikan sebuah perkemahan di wilayah al-Maghmis. Abrahah dengan orang-orang Arab melakukan perundingan di wilayah tersebut, namun tidak berhasil. Pada akhirnya, Abrahah dan pasukannya menyerang Mekkah tetapi mengalami kegagalan. Hal ini terekam dalam Q.S. al-Fîl [105]:1-2:

اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِاَصْحٰبِ الْفِيْلِۗ اَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِيْ تَضْلِيْلٍۙ

Artinya: “Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?. Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia?”

Ibnu Katsir dalam kitab Lubâbut Tafsir Min Ibni Katsir, Juz 8: 540-541 menjelaskan bahwa, peristiwa tersebut selain merupakan salah ujian dari Allah untuk kaum Quraisy, juga merupakan nikmat. Mereka berhasil menghindar dari pasukan bergajah yang telah berupaya dengan kuat untuk menghancurkan Ka’bah serta menghilangkan keberadaannya. Namun, niat tersebut digagalkan oleh Allah dengan membinasakan dan menghinakan mereka, menyesatkan mereka, serta berhasil mengembalikan mereka ke asalnya. Mereka itu adalah kaum Nasrani yang mana agama mereka lebih dekat dengan kaum Quraisy, yaitu menyembah berhala.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30: Kecaman terhadap Kaum Musyrikin Mekah

Ibnu Asyur menyatakan bahwa kebinasaan Abrahah dan pasukan bergajah itu semata-mata terjadi karena Allah, Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad saw. Tidak ada keterkaitannya dengan berhala-berhala yang disembah oleh kaum musyrikin. Hal demikian merupakan pembelaan Allah terhadap rumah-Nya, terlebih lagi pembelaan Allah terhadap rasul-Nya.

Allah membinasakan Abrahah dan pasukan bergajah karena mereka memiliki tipu daya atau upaya negatif yang tersembunyi guna menggapai tujuan tertentu. Quraish Shihab dalam kitab Tafsir al-Misbah, Juz 15: 524 menjelaskan bahwa tipu daya dimaksud bermula dari mengalihkan manusia dari Baitullah di Makkah yang dibangun atas dasar ketaatan kepada Allah. Kemudian mengalihkan ke gereja yang dibangunnya untuk mendapat kedudukan duniawi di mata Negus, serta upaya mereka untuk meruntuhkan Ka’bah.

Pertolongan Allah melalui Burung Ababil

Pada saat Abrahah dan pasukan bergajah berupaya untuk menyerang Ka’bah, Allah mengirim pasukan burung ababil guna menolong penduduk Makkah dan menyelamatkan rumah-Nya. Peristiwa ini terekam dalam Q.S. al-Fîl [105]: 3-5:

وَّاَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا اَبَابِيْلَۙ تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّنْ سِجِّيْلٍۙ فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُوْلٍ ࣖ

Artinya: “dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat).”

Dalam kitab Tafsir al-Qurthubi, Juz 20: 744-745 dijelaskan bahwa pada saat Abrahah dan pasukan bergajah menyerang Ka’bah, Allah mengutus segerombolan burung dari arah laut yang memiliki kemiripan dengan burung-burung laut dan burung tiung. Tiap-tiap burung membawa tiga buah batu, satu batu dibawa dengan menggunakan paruhnya, sementara dua batu lainnya dibawa dengan menggunakan cakar yang ada pada kedua kakinya. Adapun ukuran batu yang dibawa oleh segerombolan burung tersebut seperti ukuran kacang humush dan kacang ‘adas.

Baca juga: Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 80-81: Benarkah Kaum Nabi Luth Homoseksual?

Batu yang mengenai Abrahah dan pasukannya pasti menjadikan mereka mati terkapar. Tetapi, tidak semua batu yang dilemparkan oleh segerombolan burung tersebut mengenai pasukan bergajah. Diantara mereka ada yang keluar dan melarikan diri ke arah jalan yang mereka lewati sebelumnya.

Abrahah dan pasukannya yang terlihat perkasa pada awalnya, mereka hancur lebur karena lemparan batu dari segerombolan burung. Mereka berjatuhan di jalan-jalan, potongan dari bagian tubuh mereka berserakan disetiap penjuru tempat tersebut. Begitu pula Abrahah, ia terkena lemparan batu dibagian tubuhnya, yang pada akhirnya Abrahah pun mati setelah jantungnya keluar dari dadanya. Segerombolan burung tersebut yang kini populer dikenal dengan burung ababil.

Peristiwa tersebut sebagai bukti adanya kekuasaan Allah. Terkadang, sebagai seorang makhluk sudah melakukan prediksi yang diyakini sangat tepat. Akan tetapi, prediksi tersebut bisa saja melesat dan tidak sesuai harapan. Allah dapat melakukan apa saja guna menghalagi setiap langkah makhluk-Nya yang hendak berupaya untuk menandingi kebesaran-Nya dan menghalangi tujuan serta kehendak-Nya.

Wallahu a’lam[]

Epidemiologi Al-Quran (1): Wabah dalam Kisah Raja Thalut dan Pasukanya

0
Raja Thalut
Epidemologi Al-Quran dan Kisah Raja Thalut

Saat ini, seluruh masyarakat di Dunia sedang mengalami ujian musibah berupa penyakit menular yang disebabkan oleh virus Covid-19. Berkaitan dengan hal tersebut, Islam sangat responsif dan memberikan solusi dalam menghadapi sebuah wabah penyakit. Hal ini dibuktikan dengan adanya ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis yang membicarakan tentang wabah (Tha’un). Salah satu kisah wabah yang direkam dalam Al-Qur’an adalah kisah Raja Thalut dan pasukanya.

Semenjak ditinggal Nabi Musa, Bani Israil mengalami kekosongan pemimpin selama 356 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, Bani Israil mendapat beberapa kali serangan dari bangsa-bangsa yang berdekatan dengan mereka, seperti bangsa Amalek (Arab kuno), Madyan, Palestina, Aram, dan lain sebagainya. (al-Zuhaili, 2013: 626)

Menurut al-Tsa’labi, silsilah nasab Raja Thalut bersambung hingga Nabi Ya’qub. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan silsilah nama lengkapnya yaitu Thalut ibn Qaisy ibn Afil ibn Sharu ibn Tahurt ibn Afih ibn Anis ibn Benyamin ibn Ya’qub ibn Ishaq ibn Ibrahim.

Baca Juga: Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya

Raja Thalut diangkat menjadi raja oleh Nabi Samuel atas perintah dari Allah. Namun, sebagaimana umumnya sifat dari Bani Israil yang suka membangkang, mereka menolak pengangkatan Thalut sebagai raja dikarenakan ia bukan berasal dari keluarga bangsawan, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Baqarah [2]: 247. Namun, berkat telah kembalinya Tabut, maka Bani Israil mulai mengakuinya sebagai raja.

Ujian Allah Bagi Pasukan Raja Thalut

Suatu ketika, Raja Thalut membawa para pasukanya untuk berperang melawan bangsa Amalek (‘amaliqah). Pada saat perjalanan menuju medan perang, cuaca saat itu sangat panas, sehingga mengakibatkan banyak pasukan mengalami kehausan dan dehidrasi. Pada saat kondisi tersebut, untuk mengetahui tingkat loyalitas pasukanya, Raja Thalut pun menguji para pasukanya dengan sebuah sungai. Namun, mereka tidak diperbolehkan untuk meminum air sungai tersebut, kecuali hanya seciduk tangan, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Baqarah [2] ayat 249:

فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوْتُ بِالْجُنُوْدِ قَالَ اِنَّ اللّٰهَ مُبْتَلِيْكُمْ بِنَهَرٍۚ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّيْۚ وَمَنْ لَّمْ يَطْعَمْهُ فَاِنَّهٗ مِنِّيْٓ اِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً ۢبِيَدِهٖ ۚ فَشَرِبُوْا مِنْهُ اِلَّا قَلِيْلًا مِّنْهُمْ ۗ فَلَمَّا جَاوَزَهٗ هُوَ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗۙ قَالُوْا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوْتَ وَجُنُوْدِهٖ ۗ قَالَ الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ اَنَّهُمْ مُّلٰقُوا اللّٰهِ ۙ كَمْ مِّنْ فِئَةٍ قَلِيْلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيْرَةً ۢبِاِذْنِ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ – ٢٤٩

“Maka ketika Thalut membawa bala tentaranya, dia berkata, “Allah akan menguji kamu dengan sebuah sungai. Maka barangsiapa meminum (airnya), dia bukanlah pengikutku. Dan barangsiapa tidak meminumnya, maka dia adalah pengikutku kecuali menciduk seciduk dengan tangan.” Tetapi mereka meminumnya kecuali sebagian kecil di antara mereka. Ketika dia (Thalut) dan orang-orang yang beriman bersamanya menyeberangi sungai itu, mereka berkata, “Kami tidak kuat lagi pada hari ini melawan Jalut dan bala tentaranya.” Mereka yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata. “Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.” Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”

Kata syariba dalam kalimat faman syariba minhu falaisa minni dimaknai al-Qurthubi sebagai kara’a (كَرَعَ), yaitu minum air secara langsung menggunakan mulut tanpa perantara tangan atau wadah dengan cara membungkukkan badan ke arah sungai. Mungkin dikarenakan rasa haus yang sangat dahsyat menyebabkan para pasukan langsung minum menggunakan mulut. Kemudian, kalimat illa man ightarafa ghurfah bi yadih dimaknai sebagai minum air sungai melalui perantara tadahan dua tangan.

Qatadah dan al-Rabi’ menjelaskan bahwa sungai tersebut terletak di antara Palestina dan Yordania. Sedangkan dalam pandangan Ibnu Abbas dan as-Suddi, sungai tersebut berada di Palestina (al-Thabari: 340-341). Kemudian terkait namanya, Ibnu Katsir menyebut sungai tersebut dengan nama nahr al-syari’ah al-masyhur. (Ibnu Katsir, 2000: 424)

Menurut as-Suddi, jumlah total pasukan Raja Thalut berjumlah 80.000 orang. Dari total pasukan tersebut, sebanyak 76.000 pasukan meminum air sungai. Sehingga tersisa hanya 4.000 pasukan yang patuh atas perintah Raja Thalut untuk tidak minum dan yang minum air sungai tersebut sebatas cidukan tangan. Namun, tatkala sisa pasukan tersebut melihat jumlah pasukan Jalut yang mencapai 100.000, maka sebanyak 3.680 pasukan Thalut mengundurkan diri dan kembali. (al-Qurthubi, 2006: 243-244)

Dengan demikian pasukan Thalut tersisa hanya 320 orang. Dalam pendapat lain, al-Razi menyampaikan bahwa jumlah pasukan yang dimaksud dalam kalimat illa qalil adalah sebanyak jumlah pasukan perang Badar, yaitu 313 pasukan saja. Argumentasi al-Razi tersebut dibangun atas dasar sabda Nabi Muhammad yang disampaikan kepada para pasukan Badar, berikut:

أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ لِأَصْحَابِهِ يَوْمَ بَدْرٍ: أَنْتُمُ اليَوْمَ عَلَى عِدَّةِ أَصْحَابِ طَالُوْت حِيْنَ عَبَّرُوْا النَّهْرَ وَمَا جَازَ مَعَهُ إِلَّا مُؤْمِنٌ

Sesungguhnya Nabi bersabda kepada para sahabat pada hari perang Badar: jumlah kalian saat ini adalah sebanyak jumlah pasukan Thalut ketika mereka melewati sungai, dan tidak diperkenankan menyertai (Raja Thalut) kecuali orang mukmin.

Malapetaka Air Sungai

Ibnu Jarir al-Thabari menyebutkan bahwa para pasukan yang banyak meminum air sungai dengan mulut tersebut justru semakin mengalami kehausan. Berbeda dengan yang meminumnya sebatas cidukan tangan, mereka tidak lagi mengalami kehausan. Selain itu, efek samping dari banyak meminum air sungai tersebut adalah berubahnya bibir mereka menjadi hitam.

Dari hasil penelusuran penulis terhadap sepuluh kitab tafsir karya ulama salaf maupun khalaf, hanya terdapat tiga kitab tafsir yang secara eksplisit menceritakan peristiwa hitamnya bibir pasukan Raja Thalut tersebut, yaitu kitab tafsir al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari, tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, dan tafsir Ma’alim al-Tanzil karya Abu Muhammad Husain ibn Mas’ud al-Baghawi.

Dalam hal ini, penulis akan menukil redaksi penyampaian yang digunakan oleh al-Razi dalam tafsirnya, sebagaimana berikut:

وَأَمَّا الَّذِيْنَ شَرَبُوْا وَخَالَفُوْا أَمْرَ اللهِ فَاسْوَدَّتْ شِفَاهُهُمْ وَغَلَبَهُمْ الْعَطَشُ وَلَمْ يَرْوُوْا، وَبَقَوْا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ، وَجَبَنُوْا عَلَى لِقَاءِ العَدُوِّ

Adapun orang-orang yang meminum (air sungai) dan melanggar perintah Allah, maka bibir mereka langsung berubah menjadi hitam, semakin dipenuhi rasa haus dan (dahaga) mereka tidak puas. Mereka tertinggal di sungai dan tubuh mereka menjadi lemah tatkala hendak menemui musuh”

Menurut Nasaruddin Umar dalam karyanya Islam Fungsional, ia mengutip pendapat Ahmad Ramali, bahwasanya hitamnya bibir para pasukan tersebut disebabkan oleh lintah air yang berjenis limmatis nilotica. Hal ini dikarenakan di musim panas dan musim semi, daerah sekitar Palestina Utara sering ditemukan lintah air, sehingga tidak heran jika banyak hewan di daerah tersebut yang mulutnya sering berdarah ketika meminum air sungai. (N. Umar, 2014: 323)

Terjadinya kehausan yang dahsyat dan dibarengi dengan perubahan warna hitam terhadap bibir pasukan tersebut semakin memperkuat dugaan bahwa mereka terkena penyakit dyspnea (sesak nafas) yang disebabkan oleh oedema glottides, yaitu akumulasi cairan yang abnormal di jaringan yang melibatkan daerah supraglotis (anatomi tubuh bagian dalam terletak di kerongkongan) dan subglotis (suatu daerah saluran pernapasan pada rongga laring/pita suara). (Husnul Hakim, “Epidemi dalam Al-Quran Kajian Tafsir Maudhu’i dengan Corak IlmiJurnal Kordinat, 2018).

Baca Juga: Empat Tipologi Bencana dalam Perspektif al-Quran

Oleh karena itu, diizinkanya meminum air sungai sebatas dengan cidukan tangan adalah untuk mengetahui keberadaan lintah air jenis limnatis nilotica tersebut, sehingga sebelum meminum air tersebut para pasukan bisa menyingkirkan lintah-lintah tersebut. Selain itu, air sungai akan cukup steril apabila diambil menggunakan cidukan tangan. Hal ini sejalan dengan hadis yang dikutip oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya, sebagaimana berikut:

حدثنا ابن فضيل، عن ليث، عن سعيد بن عامر قَالَ: مَرَرْنَا عَلَى بِرْكَةٍ فَجَعَلْنَا نَكْرَعُ فِيْهَا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: لَا تَكْرَعُوْا، وَلَكِنْ اغْسِلُوْا أَيْدِيَكُمْ، ثُمَّ اشْرَبُوْا فِيهَا، فَإِنَّهُ لَيْسَ إِنَاءٌ أَطْيَبَ مِنَ اليَدِ

Diceritakan kepada kami oleh Ibnu Fudhail, dari Laits, dari Sa’id ibn ‘Amir, ia berkata: kami melewati sebuah kolam, maka kami pun meminum (secara langsung dengan mulut) air kolam tersebut. Lantas kemudian Nabi bersabda: janganlah kamu meminum air secara langsung dengan mulut, namun cucilah tanganmu, kemudian minumlah dengan tanganmu itu. Hal ini dikarenakan tidak ada suatu wadah untuk minum yang lebih baik dari pada tangan

Dari paparan hadis di atas dapat diketahui bahwa Islam sangat memperhatikan akan pola hidup sehat dan bersih. Oleh karena itu, sudah sepatutnya di era wabah saat ini, kita harus terus menerapkan protokol kesehatan dengan memulai dari mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak. Karena itu semua merupakan juga ajaran ajaran dari agama Islam. Wallahu A’lam

Mengenal Ilmu Taujih Al-Qira’at (1)

0
Mengenal Ilmu Taujih Al-Qira'at
Mengenal Ilmu Taujih Al-Qira'at

Mengenal cabangan disiplin ilmu ke-Al-Quran-an (‘ulûm Al-Quran) merupakan keniscayaan bagi para pecinta Al-Quran. Ilmu taujîh al-Qirâât tergolong ilmu yang langka. Perlu digarisbawahi bahwa ilmu taujîh al-Qirâât berbeda dengan ilmu qiraat. Ilmu qiraat merupakan ilmu riwâyah yang tidak ada celah untuk berijtihad. Sementara ilmu taujih al-qira’at merupakan ilmu dirâyah yang memungkinkan adanya ijtihad dan pengembangan. Berikut beberapa poin yang mengenalkan kita dengan ilmu taujih al-qira’at .

1. Definisi Ilmu Taujih al-Qira’at 

Kata taujîh merupakan bentuk mashdar (kata benda abstrak) dari kata wajjaha yuwajjihu taujîh yang disebutkan Al-Quran sebanyak dua kali (Q.S. al-Anʻâm [6]: 79 dan Q.S. an-Nahl [16]: 76. Kata taujîh di sini artinya lebih kepada bayyana wajhahu (menerangkan) atau jaʻalahu dzâ wajh (memberikannya hujjah/argumen) sebagaimana QS al-Fajr [89]: 15 dalam kata naʻʻamahu diartikan dengan jaʻalahu dzâ niʻmah.

Baca juga: Pemuliaan Al-Quran Terhadap Hak Asasi Manusia

Pada hakikatnya taujîh di semua disiplin ilmumenurut ad-Dahlawî dalam al-fauz al-kabîr– merupakan sebuah sebutan untuk mengurai kerumitan memahami sebuah teks baik itu Al-Quran, hadis, syair dan lainnya yang dirasa ganjil dan memungkinkan kesalahfahaman.    

Ada beberapa definisi ilmu Taujih al-Qira’at secara istilah. Dalam buku Muqaddimât fî ‘Ilm al-Qirâât diartikan dengan ilmu yang bertujuan untuk menjelaskan ragam qiraat dan kesesuaiannya dengan kaedah nahwu. Kemudian landasannya secara bahasa sebagai upaya mewujudkan syarat kesesuaian qiraat dengan bahasa Arab meskipun hanya satu wajh (sisi).

Definisi ini hanya mengarah pada penjelasan kebahasaan saja dan dinilai masih belum memuat uraian makna qiraatnya. Sementara al-Harbi melalui Taujîh Musykil al-Qirâ’ât-nya memaknai ilmu taujîh al-Qirâât dengan ilmu yang membahas terkait makna-makna qiraat disertai uraian ragam kebahasaan (Arab).

Definisi ini dinilai lebih luas cakupannya karena mencantumkan pengulasan ragam makna qiraat. Ada juga definisi yang cenderung kaku seperti yang ditulis dalam artikel jurnalnya berjudul Nazhariyyah al-Wahdah al-Maʻnawiyyah li al-Qirâ’ât oleh ad-Daqur dan ar-Rababiah yaitu ilmu yang bertujuan untuk mengarahkan ragam qiraat pada satu makna yang mengakomodir, sehingga tidak ada lagi kontradiksi makna maupun kemungkinan mengunggulkan makna dari bacaan tertentu. Definisi ini kurang menerima adanya ragam pemaknaan dan pen-tarjîh-annya.

Sehingga terkesan sempit dan kaku. Barangkali definisi tersebut sebagai upaya agar tidak terjadi pengeliminasian terhadap qiraat tertentu. Ringkasnya ilmu taujîh al-Qirâât adalah ilmu yang membahas qiraat dari sisi makna dan bahasa, demikian dalam al-Mausûʻah al-Qur’âniyyah al-Mutakhashshishah.

2. Sasaran (Maudhûʻ) Ilmu Taujîh al-Qirâât

Sasaran pembahasan ilmu taujîh al-Qirâât adalah kata dalam Al-Quran yang dibaca lebih dari satu qiraat. Sehingga cakupannya meliputi berbagai varian bacaan. Literatur ilmu taujîh al-Qirâât memiliki objek pembahasan beragam di antaranya: ada yang mencakup qiraat mutawatir dan syâdzdzah tanpa batas; ada yang menghimpun qiraat mutawatir plus qiraat empat yang syâdzdzah; ada yang hanya qiraat ʻasyrah saja; ada yang qiraat sabʻah saja; ada yang qiraat syâdzdzah saja; ada yang qiraat secara mutlak dsb. Menurut az-Zarkasyi (w. 794 H) dalam al-Burhân, objek taujîh al-Qirâât yang paling urgen adalah qiraat syâdzdzah.

Baca juga: Abu Bakar RA dan Penafsiran Sufistik Terhadap Surah Ar-Rum Ayat 41

3. Pencetus (Wâdhiʻ) dan Sejarah Ilmu Taujîh al-Qirâât

Merujuk Fann Taujîh al-Qirâ’ât al-Qur’âniyyah karya Faiz Muhammad al-Gharazi, sejarah ilmu taujîh al-Qirâât sudah berkembang sejak era klasik. Pada periode pertama taujîh al-Qirâât dimulai dengan tradisi lisan yang dipelopori oleh Ibnu Abbas (w. 68 H) saat men-taujîh al-Qirâ’ât Q.S. al-Baqarah [2]: 259:

 قَرَأَ ابْنُ عَبَّاسٍ نُنْشِرُهَا بِالرَّاءِ بَدْلًا عَنِ الزَّايِ وَقَالَ إِنْشَارُهَا إِحْيَاؤُهَا وَاحْتَجَّ بِقَوْلِهِ تَعَالَى ((ثُمَّ إِذَا شَاءَ أَنْشَرَهُ))

Ibnu ‘Abbâs membaca kata “nunsyiruhâ”, huruf zây diganti dengan râ’, yang maknanya adalah menghidupkannya. Ibnu ‘Abbâs berargumen dengan potongan Q.S. ‘Abbasa [80]: 22, “kemudian saat berkehendak, Dia menghidupkannya”.   

Begitu juga Abu ʻAmr al-Bashrî (w. 154 H) pernah men-taujîh al-Qirâât pada Q.S. al-Baqarah [2]: 9:

قَرَأَ أَبُوْ عَمْرٍو بِإِثْبَاتِ الأَلِفِ: (وَمَا يُخَادِعُوْنَ) وَقَالَ مُوَجِّهًا قِرَاءَتَهُ: إِنَّ الرَّجُلَ يُخَادِعُ نَفْسَهُ وَلَا يَخْدَعُهَا

Abû ‘Amr membaca kata “wa mâ yukhâdi’ûna” dengan tetap adanya alif setelah huruf khâ’. Abû ‘Amr men-taujîh-nya bacaan tersebut dengan contoh kalimat; seseorang sangat bisa menipu dirinya sendiri. Menipu diri sendiri menggunakan kata yukhâdi’u (dengan alif) bukan yakhda’u (tanpa alif).

Juga pada surat yang sama QS al-Baqarah [2]: 85:

 قَرَأَ أَبُوْ عَمْرٍو بِإِثْبَاتِ الأَلِفِ: (أُسَارَى) وَقَالَ مُوَجِّهًا قِرَاءَتَهُ: إِذَا أُخِذُوْا فَهُمْ عِنْدَ الأَخْذِ أُسَارَى وَمَا لَمْ يُؤْسَرْ بَعْدُ فَهُمْ أَسْرَى لِقَوْلِهِ تَعَالَى ﴿مَاكَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ أَسْرَى) سورة الأنفال: 67

Abû ‘Amr membaca kata “usârâ” dengan huruf alif setelah sîn. Sebab menurutnya, kata “usârâ” digunakan untuk orang-orang yang sudah dalam penyanderaan. Sementara yang belum disandera disebut dengan kata “asrâ” sebagaimana Q.S. al-Anfâl [8]: 67.

Periode kedua berawal pada abad ketiga Hijriah yang digawangi oleh al-Farrâ’ (w. 207 H) lewat maʻânî al-Qur’ân-nya dan al-Akhfasy (w. 215 H) maʻânî al-Qur’ân melalui kitabnya serta az-Zajjâj (w. 311 H) dengan kitabnya, maʻânî al-Qur’ân wa Iʻrâbuh. Periode ini disebut sebagai fase kodifikasi ilmu taujîh al-qirâ’ât sebab pada masa itulah penulisan taujih al-Qira’at mulai tumbuh. Meskipun pembukuan tersebut tidak khusus konsentrasi pada taujih al-Qira’at. Sejatinya 27 tahun sebelum meninggalnya al-Farrâ’ (w. 207 H), ada Sibawaih (w. 180 H) yang mencantumkan sejumlah pendapat taujîh al-qirâ’ât-nya pada Kitab Sibawaih.

Baca juga: Kematian dalam Al-Quran dan Penggunaannya Menurut Hamza Yusuf

Fase ketiga adalah fase kodifikasi kedua bagi ilmu taujîh al-qirâ’ât yang mana secara khusus menghimpun taujîh al-qirâ’ât dalam sebuah karya tersendiri. Setidaknya tidak kurang dari 70 judul sebagaimana dicatat oleh Hazim Said dalam Syarh al-Hidâyah.

Berkembangnya ilmu taujîh al-qirâât juga berpengaruh pada literatur disiplin ilmu yang berkaitan dengan ilmu qiraat. Sehingga permasalahan qiraat yang berserakan di kitab-kitab ulama baik bahasa, tafsir hingga makna kosa kata Al-Quran mulai menggunakan taujîh al-qirâât. Salah satunya dalam literatur tafsir adalah ath-Thabari (w. 310 H) melalui karya tafsirnya, Jâmiʻ al-Bayân ʻan Ta’wîl Ây al-Qur’ân. Di sana ath-Thabari (w. 310 H) menguraikan ragam perbedaan qiraat disertai catatan penjelasan secara bahasa disertai argumen kebahasaan baik syair maupun prosa.

Namun ath-Thabari (w. 310 H) terkadang juga mengkritik sebagian ragam qiraat yang sahih karena dinilainya telah menyalahi kaedah nahwu (kebahasaan). Padahal qiraat yang mutawatir tidak bisa ditolak begitu saja. Terlebih lagi kaedah yang telah dirumuskan oleh para pakar bahasa Arab belum mampu mencakup keseluruhan ragam bahasa seluruh suku Arab. Dalam menguraikan taujîh qiraat, terkadang ath-Thabari (w. 310 H) lebih memilih salah satu qiraat dibanding lainnya yang dinilainya lebih sesuai dengan tatanan kebahasaan. Selain ath-Thabari (w. 310 H) ada sejumlah nama mufasirin lain seperti Abu al-Abbas al-Mahdawi dengan at-Tahshîl, al-Qurthubî (w. 671 H) dengan al-Jâmiʻ li Ahkâm Al-Qur’ân, Abu Hayyân (w. 745 H) dengan al-Bahr al-Muhîth-nya dan lain-lainnya.

4. Sumber (Istimdâd) Ilmu Taujîh al-Qirâât

Ilmu taujîh al-Qirâ’ât menggunakan banyak sumber data; 1). Al-Quran seperti Q.S. ath-Thûr [52]: 21 ﴿وَمَا اْلِتْنَاهُمْ﴾ (tidaklah kami mengurangi (amal) mereka) berhujjah dengan Q.S. al-Hujurat [49]: 14 ﴿لاَ يَلِتْكُمْ﴾ (dia tidak mengurangi (amal) kalian); 2). Hadis seperti pen-taujîh-an kata –((نِعْمَّا))- pada Q.S. al-Baqarah [2]: 271 dan Q.S. an-Nisâ’ [4]: 58 ber-hujjah dengan hadis riwayat Ahmad: ((نِعِمَّا المَالُ الصَالِحُ مَعَ الرَّجُلِ الصَّالِحِ)) (sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki oleh orang saleh); 3). Ilmu sharf seperti kata يَحْسَبُ (menghitung) dengan يَحْسِبُ (menduga); 4). Mufradât/Matn al-Lughah (kosa kata) seperti kata فتثبتوا (maka telitilah kalian) dan فتبينوا (maka klarifikasilah kalian) dalam Q.S. al-Hujurât [49]: 6 atau تتلوا (kamu membaca) dan تبلو (kamu menguji); 5). Al-Lahajât al-ʻArabiyyah (dialek Arab) seperti bab Hamzah, Idghâm dan kaedah ushul lainya;  6). syair Arab; 7). Nahwu; dan 8). Balaghah.

5. Kegunaan dan Manfaat (Tsamrah) Ilmu Taujîh al-Qirâât

Di antara tujuan ilmu taujîh al-Qirâ’ât adalah membantah sanggahan dan kritikan para ahli bahasa, nahwu, para mufassir terhadap sebagian ragam qiraat, yakni sebagai bantahan terhadap para orientalis yang menyangsikan kemutawatiran dan validitas qiraat Al-Quran.

Kemudian sebagai pembelaan atas validitas bahasa Arab dengan berbagai ragam bahasa suku-suku yang ada di semenanjung Arab, menjadi bukti kemukjizatan Al-Quran, mempengaruhi penafsiran Al-Quran, mengukuhkan tiga rukun validitas qiraat Al-Quran yang diriwayatkan dari Nabi terutama kesesuaian qiraat dengan salah satu wajh bahasa Arab dan kesesuaian dengan rasm Utsmani, mengenal lahajât (ragam dialek) Arab, memperkaya wawasan kebahasaan bagi yang mempelajarinya.

6. Keistimewaan (Fadhl) Ilmu Taujîh al-Qirâât

Dalam kitabnya, al-Burhân fî ʻUlûm al-Qur’ân, pada bab ke-23 tentang maʻrifah taujîh al-Qirâât wa Tabyîn Wajh mâ Dzahaba ilaih Kullu Qâri’, Az-Zarkasyi (w. 794 H) menyebutkan bahwa Ilmu Taujîh al-Qirâ’ât merupakan disiplin ilmu untuk mengetahui banyaknya ragam makna. Sehingga banyak ulama yang menulis karya khusus terkait ilmu ini.

Selengkapnya, akan dilanjutkan sambungan artikel berikutnya…..

Doa Nabi Ayyub as dalam Al-Quran untuk Kesembuhan Penyakit

0
Doa Nabi Ayyub
Doa Nabi Ayyub

Dalam Al-Qur’an, terdapat banyak ayat yang berbicara mengenai kesembuhan penyakit. Salah satunya adalah doa nabi Ayyub ketika meminta kesembuhan penyakit kepada Allah swt pada surat al-Anbiya’ [21] ayat 83. Doa ini beliau lantunkan setelah mengalami sakit menahun yang membuat dirinya dijauhi dan ditinggalkan oleh orang-orang terdekat. Namun beliau tetap sabar, taat kepada Allah swt dan senantiasa mengusahakan kesembuhan.

Doa nabi Ayyub tersebut diabadikan Allah swt dalam firman-Nya:

۞ وَاَيُّوْبَ اِذْ نَادٰى رَبَّهٗٓ اَنِّيْ مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَاَنْتَ اَرْحَمُ الرّٰحِمِيْنَ ۚ ٨٣

Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, “(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: ayat 83).

Menurut Quraish Shihab,  konteks surat al-Anbiya’ [21] ayat 83 merupakan informasi dari Allah swt bahwa setiap manusia pasti akan mendapatkan ujian dan anugerah. Dalam hal ini Dia menceritakan nabi Ayyub yang begitu sabar menghadapi ujian dari-Nya, yakni kemusnahan harta dan kehadiran penyakit menahun (Tafsir Al-Misbah [8]: 494).

Baca Juga: Doa Al-Quran: Surat Ali Imran Ayat 8 untuk Ketetapan Hati dalam Iman

Pada ayat ini, Allah swt memerintah nabi Muhammad saw untuk mengingat kisah kesabaran Ayyub tersebut. Beliau tidak pernah menggerutu, marah maupun menyalahkan  Allah swt. Sebab beliau sadar bahwa kehidupan akan senantiasa disi oleh cobaan dan ujian. Dalam doanya di atas, nabi Ayyub bahkan tidak memaksa Allah untuk memberikan kesembuhan penyakit baginya.

Meskipun pada surat al-Anbiya’ [21] ayat 83 tidak ada doa secara eksplisit dari nabi Ayyub kepada Allah swt, namun sebenarnya di sana ada permohonan secara implisit. Beliau seakan berkata, “Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa kesulitan, sedang Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang, maka Wahai Tuhan perlakukanlah aku sesuai kebesaran dan keagunan rahmat-Mu.”

Al-Sa’adi menyebutkan dalam tafsirnya, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Mannan, surat al-Anbiya’ [21] ayat 83 merupakan perintah Allah swt untuk mengingat kesabaran nabi Ayyub yang ditimpa penyakit menahun. Beliau senantiasa bersyukur dan tidak pernah mengeluh di dalam penderitaannya tersebut. Nabi Ayyub hanya meminta kepada Allah yang Maha Penyayang untuk memberikan yang terbaik bagi masalahnya tersebut.

Permohonan yang tulus ini kemudian – menurut Quraish Shihab – disambut oleh Allah swt, “Kami mendengar permohonannya, maka Kami pun tidak mengecewakannya. Kami memperkenankan untuknya apa yang ia harapkan, kemudian kami lenyapkan apa yang ada padanya dari kesulitan.” Allah swt lalu memerintahkan, “Hentakkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.” (QS. Shad [38] 42).

Melalui kisah nabi Ayyub ayat di atas, setidaknya kita dapat belajar bahwa setiap cobaan dan ujian hidup adalah sebuah keniscayaan yang harus dihadapi. Ujian tersebut pada hakikatnya ditujukan untuk menguji kesabaran dan keimanan kita. Meskipun demikian, bukan berarti kita harus berpangku tangan dan diam atas keadaan yang terjadi. Kita sebaiknya berusaha, berdoa dan bertawakal kepada Allah swt secara proporsional.

Surat al-Anbiya’ [21] ayat 83 juga dapat kita jadikan sebagai doa untuk memohon kesembuhan penyakit kepada Allah swt sebagaimana doa nabi Ayyub as. Melalui doa ini kita mengadu kepada Allah swt dengan kondisi yang dihadapi dan berharap semoga Dia mencurahkan rahmat serta kasih sayang-Nya kepada kita. Sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Maha Mengetahui kebutuhan dan keinginan hamba-Nya.

Selain doa di atas, kita juga dapat menambah doa lain berdasarkan riwayat hadis Nabi Muhammad saw. Beliau pernah mengajarkan sahabat sebuah doa bagi siapa saja yang mengalami sakit agar Allah swt segera mengangkat penyakitnya dan memberikan kesembuhan. Doa ini dapat ditemukan dalam Sahih al-Bukhari nomor 5309. Berikut doa yang dipanjatkan Rasulullah:

اللّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذهِبِ البَأسَ اشفِ أَنتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاوءُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا.

Allahumma Rabban nasi, adzhibil ba’sa isyfi anta asy-syafi la syifa’a illa syifauka syifaan la yughadiru saqman.”

Artinya: “Ya Allah Tuhannya manusia, hilangkanlah rasa sakit ini sembuhkan lah, Engkau Dzat Yang Maha Penyembuhan, tak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, yaitu kesembuhan yang tak meninggalkan rasa sakit.”

Baca Juga: Kisah Nabi Musa dan Doa-Doa yang Dipanjatkannya dalam Surat al-Qashash

Terakhir – sebagai catatan bagi pembaca – seyogyanya kita menjaga kesehatan sebelum sakit. Adapun jika seseorang mengalami sakit, maka sebaiknya ia bersabar, berdoa, dan berusaha menyebuhkannya, tidak berputus asa serta berpangku tangan. Kita – sebagai seorang muslim – juga harus meyakini bahwa segala penyakit datang dan sembuh atas izin Allah swt. Wallahu a’lam.

Kemuliaan Manusia dalam Al-Quran dan Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia

0
Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur'an
Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur'an

Hak asasi manusia yang telah melekat pada diri manusia sejak lahir merupakan diskursus yang penting untuk dibicarakan. Baik yang mempertahankannya, mempertanyakan ulang, ataupun bagi yang ingin meratifikasi substansinya, agar bisa diaktualisasikan dalam kehidupan.

Diakui atau tidak, masalah ini bukan hanya karena kelatahan terhadap prinsip dan konsep HAM sekuler—yang notebene diadopsi hampir mayoritas negara Barat—tetapi juga karena adanya sikap skeptis dan “gagal paham” sebagian kalangan atas eksistensi ajaran HAM yang termaktub dalam Alquran

Andai berkenan menengok kembali pada Alquran—terutama konstitusi Madinah dalam konteks hak asasi manusia yang bisa dibincangkan—tidak sedikit ayat-ayat Alquran yang tanpa melalui sebuah interpretasi saja sudah sangat memihak pada HAM, baik berbentuk individual maupun komunal. Beberapa hak-hak asasi tersebut antara lain adalah: 1.Hak memilih agama 2.Hak hidup 3.Hak kebutuhan hidup/hak ekonomi 4.Hak kemerdekaan/kebebasan 5.Kebebasan berpendapat dan berekpresi 6.Hak keadilan 7.Hak tempat tinggal. Kesemuanya akan dijelaskan secara bertahap dalam artikel ini. Namun sebelumnya perlu kiranya untuk menampilkan definisi dari Hak asasi manusia itu sendiri dan relevansinya dalam Islam.

Baca juga: Abu Bakar RA dan Penafsiran Sufistik Terhadap Surah Ar-Rum Ayat 41

HAM diistilahkan dengan al-Huquq al-Insaniyyah menurut Manfred Nowak pada Introduction to the International Human Rights Regime. Ditinjau dari aspek kosakata Arab, kata al-Huquq diambil dari bentuk mufrad haqq yang memiliki arti milik, ketetapan atau kepastian.

Di dalam al-Qur’an, term al-haqq dengan berbagai bentuknya dimuat sebanyak 287 kali, yakni oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqi, pada karyanya al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim. Kemudian yang paling banyak adalah term al-haqq dengan makna kebenaran yakni kisaran 227 kali. Selanjutnya Aisyah pada karyanya Hak Asasi Manusia dalam Al-Qur’an, kata al-haqq memiliki konotasi kepemilikan atau kewajiban yang umumnya diungkapkan dalam bentuk isim tafdhil.

Jika melacak term al-haqq dalam al-Qur’an maka akan ditemukan beberapa makna yang digunakan antara lain adalah makna menetapkan sesuatu dan membenarkannya seperti tang termaktub pada QS. Yasin (36): 7, “Sesungguhnya telah pasti Berlaku Perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, kerena mereka tidak beriman”.  Ada yang berarti menetapkan dan menjelaskan seperti dalam QS. al-Anfal: (8): 8 “Agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya”.

Baca juga: Kematian dalam Al-Quran dan Penggunaannya Menurut Hamza Yusuf

Ketika menelusuri term al-haqq dalam Alquran, sulit kiranya mengatakan dan menyimpulkan bahwa itulah yang dimaksud dengan HAM. Sebab, kebanyakan dari term al-haqq itu sendiri memiliki arti kebenaran petunjuk. Minyikapi masalah ini, Abdul Muin Salim, seorang pemikir Muslim yang aktif menyoroti masalah HAM menawarkan metode identifikasi partikel untuk melacak keberadaan ayat-ayat Alquran yang berbicara soal HAM.

Satu metode ini cukup unik dan memudahkan untuk menangkap pesan-pesan tertentu dalam Alquran. Karena itu, pengidentifikasian ayat-ayat HAM melalui partikel kata atau lafal yang menunjukkan kepemilikan atau martabat manusia salah satu cara untuk menemukan konsep HAM dalam Alquran. Salah satu ayat yang dapat menunjukkan makna HAM adalah ayat-ayat Alquran yang menjelaskan tentang kemuliaan manusia seperti QS. al-Isra’ (17):70:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.

Pada ayat ini, Allah SWT hendak menjelaskan tentang 4 hal yang diberikan kepada manusia, yakni kemuliaan anak cucu Adam, kendaraan darat dan laut, rezki yang baik dan kelebihan-kelebihan di atas makhluk lain. Sebagaimana ungkapan Ibnu Asyur, bahwa ayat di atas mengandung lima anugerah yang diberikan kepada manusia, yaitu kemuliaan dari Allah swt, pemakaian transportasi darat, pemakian transportasi laut, penghasilan atau rezki dari hasil yang baik dan keunggulan dari makhluk yang lain.

Baca juga: 5 Ayat yang Berbahaya bila Difahami Tanpa Tahu Sabab Nuzulnya

Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, bahwa sosok manusia dalam perspektif Islam, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial, mempunyai hak asasi pokok, semata-mata diistimewakan memang karena dirinya sebagai hamba Allah SWT. Hak-hak ini pada jenjang selanjutnya—jika diterapkan secara maksimal—akan menciptakan tatanan kehidupan sosial yang apik dan sejahteta. Beberapa hak-hak asasi tersebut antara lain adalah:

Hak Memilih Agama (Keyakinan)

Perlindungan terhadap agama dan keyakinan yang dianut oleh masing-masing individu mendapatkan posisi dan perhatian yang sangat tinggi dari ajaran Islam. Secara universal, Islam memberikan kepada setiap individu untuk memilih dan memilah agama yang akan dianutnya.

Walaupun, Islam memang menawarkan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk dipahami, dikaji, dan dianalisa. Sehingga pemahaman dan kesadaran dari masing-masing individulah yang sangat diutamakan dengan melihat konsep untuk memeluk agama Islam dengan penuh ketulusan, dan nilai-nilai positif yang akan didapatkan. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah SWT pada QS. al-Baqarah (2): 256, yaitu:

آ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Ayat tersebut merupakan larangan pemaksaan dalam memeluk suatu agama, terutama Islam. Kebebasan beragama merupakan kehormatan bagi manusia dari Allah, karena Allah mengakui hak manusia untuk memilih sendiri jalan hidupnya (Departemen Agama RI, Tafsir al-Qur‟an Tematik: Hubungan antar-Umat Beragama,2008).

Nurcholish Madjid pada karyanya Pintu-Pintu Menuju Tuhan menuliskan bahwa tentu tidak perlu lagi ditegaskan bahwa semua resiko pilihan itu adalah tanggung jawab sepenuhnya manusia sendiri. Adapun tidak dibolehkannya memaksa suatu agama karena manusia mampu dan harus diberi kebebasan untuk membedakan serta memilih sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Dengan kata lain, manusia telah diberi petunjuk untuk menentukan sendiri jalan hidupnya yang benar, dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya.

Baca juga: Annabel Gallop, Pakar Mushaf Kuno Nusantara dari Inggris

Masih banyak lagi ayat Alquran yang kandungannya menunjukkan adanya kebebasan beragama seperti Dalam QS. al-Kahfi (18):29 tentang Kebebasan beragama dalam Islam dan jaminan Allah atas konsekuensi pilihannya.

Begitu juga dalam QS. Yunus (10): 99, Ayat ini pun bermakna tidak ada paksaan dalam agama Islam karena manusia sudah memiliki akal dan pikiran untuk memilih yang mana yang benar. Serta bermakna satu-satunya agama yang benar ialah Islam. Manusia memiliki fitrah dan akal.

Allah memberikan kebebasan karena Allah ingin menguji manusia apakah hambaNya ini dapat mendengarkan kata hatinya yang paling dalam atau mengikuti pengaruh ruang dan waktu yang ada di sekitarnya. Kalau seseorang mendapatkan ilmu atau keterangan yang sesuai dengan batinnya, bebas dari paksaan atau tekanan yang ada di lingkungannya, ia akan mengikuti hal tersebut, dikutip pada tulisan al-Suyuthi, al-Jami’ al-Saghir.

Ayat ini diperjelas lagi dengan Tafsir Ibnu Katsir yang mana Allah adalah yang Maha Adil dalam segala sesuatu, dalam memberi petunjuk kepada siapa yang berhak ditunjuki dan menyesatkan siapa yang patut disesatkan. Dengan kata lain, andai saja Allah SWT berkehendak agar semua makhluknya beriman kepadaNya, hal itu pasti bisa saja dilakukan dengan mudah oleh Allah. Ia telah menghendaki seluruh alam semesta beserta isinya secara seimbang, ada yang hak dan bathil, baik dan buruk, dan lain sebagainya.

Beberapa hak hak manusia lainya dalam perspektif Alquran akan disampaikan di sesi berikutnya.

Tafsir Tarbawi: Jangan Bandingkan Kemampuan Murid!

0
Larangan membandingkan kemampuan murid
Larangan membandingkan kemampuan murid

Tidak ada satupun orang di dunia mau untuk dibanding-bandingkan, termasuk membandingkan kemampuan murid. Bahkan, Allah swt sekalipun sangat mengutuk dan melabeli syirik akbar bagi hamba-Nya yang menyekutukan-Nya. Membandingkan pun termasuk dalam kategori ini. Karenanya, Allah swt mengingatkan persoalan ini dalam firman-Nya Q.S. An-Nur [24]: 41 di bawah ini,

اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يُسَبِّحُ لَهٗ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالطَّيْرُ صٰۤفّٰتٍۗ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهٗ وَتَسْبِيْحَهٗۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌۢ بِمَا يَفْعَلُوْنَ

“Tidakkah engkau (Muhammad) tahu bahwa kepada Allah-lah bertasbih apa yang di langit dan di bumi, dan juga burung yang mengembangkan sayapnya. Masing-masing sungguh, telah mengetahui (cara) berdoa dan bertasbih. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan” (Q.S. An-Nur [24]: 41)

Tafsir surat An-Nur ayat 41

Al-Tabari dalam Jami’ul Bayan, menafsirkan ayat di atas dengan Allah swt berfirman kepada Nabi Muhammad saw. Tidakkah Engkau Muhammad melihat dengan mata hatimu bahwa sesungguhnya Aku telah mengetahui cara makhluk-Ku memuji nama-Ku. Sedangkan wa thairu shaffat bermakna yushalli (mereka berdoa) dan tasbih (memuji), yaitu semua yang ada di langit dan bumi baik raja, manusia maupun jin semuanya berdoa dan memuji namanya.

Adapun redaksi kullun qad ‘alima shalatahu wa tasbihah bermakna klasifikasi ibadah masing-masing makhluk. Jika manusia maka dengan shalat atau berdoa, sedangkan makhluk selain manusia seperti malaikat, hewan, jin, tumbuhan, air, dan sebagainya dengan bertasbih.

Penafsiran al-Tabary kemudian diperkuat dengan qaul sahabat, yaitu diceritakan dari Muhammad bin ‘Amr berkata Abu ‘Ashim, ‘Isa dan al-Harits, al-Hasan, Waraqa’ dan semuanya dari Ibn Abi Najih, dari Mujahid berkata, bahwa shalat hanya untuk manusia, sedangkan selain manusia dengan bertasbih kepada-Nya.

Baca juga: Meramahkan Metode Hikmah Kepada Peserta Didik

Tidak jauh berbeda, Ibnu Katsir menafsirkan redaksi wa thairu shaffat dengan tatkala burung-burung itu mengepakkan sayapnya, itulah caranya bertasbih kepada Allah swt, sebagaimana yang telah diilhamkan kepadanya serta dibimbing oleh Allah swt kepadanya, dan hanya Allah swt sajalah yang mengetahui apa yang sedang dilakukannya.

Sedangkan kullun qad ‘alima shalatahu wa tasbihah, artinya masing-masing makhluk telah mendapat bimbingan dari Allah swt tentang bagaimana caranya berdzikir, beribadah kepada Allah swt. Selama makhluk itu berpegang teguh kepada Allah swt dan beribadah kepada-Nya, maka ia tidak akan sesat. Selain itu, ayat ini menyiratkan bentuk ta’dzim (pengagungan) kepada Allah swt atas yang dilakukan oleh bumi dan langit seisinya.

Di lain itu, al-Baghawy misalnya, menafsirkan redaksi alam tara-anna… wa thairu shaffat bahwa rentangan sayap burung-burung itu adalah bagian dari salah satu bentuk memuji nama Allah swt. Sedangkan lafadz kullun qad ‘alima, bermakna كل مصل ومسبح علم الله  صلاته وتسبيحه  (setiap ciptaannya telah mengetahui bagaimana cara berdoa dan memuji nama Allah swt).

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Inilah Tujuan Pendidikan Islam

Lebih jauh, Muhammad Jamaluddin al-Qasimy dalam Mahasin at-Ta’wil mengartikan lafal alam tara annallaha dengan bentuk penyucian dan pengagungan kepada Allah swt bahwa Ia telah menetapkan tiap-tiap makhluk-Nya untuk beribadah sesuai cara mereka masing-masing, seperti burung yang mengembangkan sayapnya juga bagian dari bentuk ibadah kepada-Nya. Berkatalah al-Zamakhsyari,

ولا يبعد أن يلهم الله الطير دعاءه وتسبيحه، كما ألهمها سائر العلوم الدقيقة التي لا يكاد العقلاء يهتدون إليها

“Dan tidaklah terlalu berlebihan bagi Allah swt untuk mengilhamkan burung itu untuk berdoa dan memujinya, sama seperti Allah swt menganugerahkan semua ilmu kepada burung itu yang di mana sulit ditemukan rasionalisasinya”

Artinya, perkataan al-Zamakshyari menegaskan bahwa Allah swt telah menetapkan masing-masing ciptaan-Nya untuk berdzikir, beribadah, dan bertasbih sesuai cara yang dikehendaki-Nya.

Jangan bandingkan kemampuan murid!

Ayat di atas memberi satu pesan kepada kita, hendaknya tidak membandingkan kemampuan murid atau siapapun dengan yang lain. Setiap manusia mempunyai keunikannya sendiri. Tidak mungkin kita membandingkan kemampuan terbang burung dengan burung yang lain, atau kemampuan berlari macan dengan singa. Begitupun, sangat tidak etis apabila membandingkan kemampuan matematika murid misalnya, dengan keahlian keagamaan murid yang lain.

Sungguh, Allah swt telah menetapkan masing-masing makhluk untuk berdoa dan bertasbih kepada-Nya. Karena itu, kewajiban seorang pendidik hanyalah mengembangkan dan mengoptimalkan kemampuan murid sesuai fitrahnya. Bukan malah membanding-bandingkan. Adanya pendidikan tidak untuk membanding-membandingkan, saling mengalahkan, saling pandai-pandaian, saling benar-benaran, melainkan pendidikan ada untuk mengembangkan potensi manusia menuju taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah).

Sebagai penutup, kami mengutip dawuh Gus Mus, kiranya dapat menjadi refleksi kita bersama,

“Tidak ada amal shalih yang lebih baik bagi orang tua melebihi mengasihi dan mengasuh anak-anaknya dengan keteladanan. Tidak ada amal yang lebih baik bagi pelajar/ santri melebihi belajar dengan rajin dan sungguh-sungguh. Tidak ada amal yang lebih baik bagi pengajar melebihi mengajar dengan tulus dan ikhlas”

Baca juga: Hari Guru Sedunia: Inilah 3 Artikel Serial Tafsir Tarbawi Tentang Guru dan Pendidik

Tidak ada amal yang lebih baik bagi pendidik melebihi mendidik dengan penuh kasih sayang. Tidak ada amal yang lebih baik bagi pekerja melebihi bekerja dengan kesungguhan dan tanggungjawab. Tidak ada amal yang lebih baik bagi petani melebihi bertani dengan giat dan tekun.

Tidak ada amal yang lebih baik bagi pejabat melebihi melaksanakan amanat dengan amanah. Tidak ada amal yang lebih baik bagi pemimpin melebihi memimpin dengan cinta dan kepedulian. Tidak ada amal yang lebih baik bagi hamba Allah melebihi menghamba (beribadah) semata-mata kepada-Nya.”

Wallahu a’lam.

5 Ayat yang Berbahaya bila Difahami Tanpa Tahu Sabab Nuzulnya

0
Sabab nuzul Al-Quran
Sabab nuzul Al-Quran

Sikap keras kepala sebagian muslim yang nekat belajar Islam hanya lewat Al-Quran saja, perlu dikikis dengan menunjukkan bukti-bukti bahaya mempelajari Al-Quran tanpa menggunakan referensi lain. Salah satunya adalah referensi riwayat hadis yang menjelaskan sabab nuzul atau sebab turunnya suatu ayat. Berikut ini adalah 5 ayat yang berbahaya bila difahami tanpa tahu sabab nuzulnya. Penjelasan 5 ayat ini berdasarkan pendapat Imam As-Suyuthi di dalam kitab Al-Itqan (Al-Itqan/1/31):

  1. Permasalahan orang yang senang dipuji atas hal yang tidak ia lakukan

Allah berfirman:

لا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa. Dan bagi mereka siksa yang pedih (QS: Ali-Imran [3] 188).

Saat mengetahui ayat di atas, seorang pemimpin bernama Marwan ibn Hakam sempat memiliki kesimpulan hendak menghukum setiap orang yang gembira dengan apa yang mereka lakukan, dan senang dipuji dengan apa yang tidak mereka perbuat. Namun kemudian Ibn ‘Abbas meluruskan pemahamannya, bahwa ayat itu turun berkenaan ahli kitab yang menyembuyikan kabar diutusnya Nabi Muhammad di kitab mereka. Bisa dibayangkan bila Ibn Abbas tidak memberitahukan sebab turunnya ayat di atas, mungkin akan banyak muslim disiksa tanpa ada kesalahan yang mereka lakukan.

Baca juga: Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!

  1. Permasalahan keharaman meminum khamar

Allah berfirman:

لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا

Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang soleh dalam memakan makanan yang dahulu telah mereka makan, apabila mereka bertakwa serta beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh. Kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan (QS: Al-Maidah [5] 93).

Sekilas ayat di atas seakan menyatakan bahwa makanan yang haram dikonsumsi akan tidak menjadi haram, bila orang yang mengkonsumsinya adalah orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh. Oleh Karena itu, tabi’in bernama ‘Utsman ibn Madh’un dan ‘Amr ibn Ma’di Yakrib pernah menyatakan khamr boleh dikosumsi berdasar ayat di atas.

Baca juga: Sabab Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 62 dan Ragam Makna Umat Beragama

Padahal ayat di atas turun berkenaan orang-orang yang berjihad dan mati syahid, sementara mereka pernah meminum khamr sebelum turunnya ayat yang menyatakan keharaman khamr. Tanpa memahami sebab turunnya ayat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan yang salah mengenai hukum minum khamr.

  1. Permasalahan iddah perempuan menopause

Allah berfirman:

وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan (QS: Ath-Thalaq [65] 4).

Para ulama sempat kebingungan dengan arti kata “jika kamu ragu-ragu”. Bahkan sampai ada yang menyimpulkan bila perempuan menopause tidak memiliki iddah apabila mereka tidak ragu-ragu atas status mereka. Padahal ayat di atas turun berkenaan surat Al-Baqarah yang menerangkan masa iddah dan tidak menyinggung perempuan yang belum haidl dan sudah menopause, sehingga membuat pembacanya ragu-ragu dalam menentukan hukum.

Sehingga sebenarnya maksud dari kata “jika kamu ragu-ragu” adalah, jika orang yang hendak menentukan hukum iddah merasa ragu-ragu dalam menentukan hukum iddah. Bukannya jika si pelaku iddah merasa ragu-ragu atas status dirinya. Memahami ayat di atas tanpa mengetahui sebab turunnya akan membuat kita kebingungan akan maknanya.

Baca juga: Ketahui 4 Hal Ini saat Belajar Islam dari Al-Quran Terjemah!

  1. Permasalahan keharusan salat menghadap Kiblat

Allah berfirman:

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ

Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat. Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah (QS: Al-Baqarah [2] 115).

Orang yang membaca ayat di atas dan tidak mengerti sebab turunnya bisa saja menyatakan bahwa menghadap kiblat pada waktu salat wajib lima waktu tidaklah wajib. Ayat di atas memang turun berkenaan tentang kiblat salat. Namun salat yang dimaksud adalah salat Sunnah saat diperjalanan.

  1. Permasalahan kewajiban ibadah Sa’i

Allah berfirman:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا

Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya (QS: Al-Baqarah [2] 158).

Beberapa sahabat mengambil kesimpulan bahwa ibadah sa’i tidaklah wajib. Hal ini dikarenakan sebagaimana di dalam ayat di atas, Allah menyatakan bahwa “orang yang mengerjakan sa’i tidaklah berdosa”. Hal itu menyiratkan bahwa sa’i bukanlah sesuatu hal yang dianggap penting. Padahal berdasar riwayat ‘Aisyah, ayat di atas turun berkenaan beberapa sahabat yang merasa kurang enak hati dalam melakukan sa’i, sebab ibadah itu juga dilakukan kaum jahiliyah sebelum datangnya Islam. Sehingga ayat di atas dalam rangka memberi tanggapan, bukan menyatakan suatu hukum tanpa adanya rentetan sebelumnya.

Baca juga: Sababun Nuzul Mikro dan Makro: Pengertian dan Aplikasinya

5 ayat di atas menunjukkan bagaimana berbahayanya mengambil kesimpulan dari satu ayat, tanpa disertai mempelajari referensi lain. Diantaranya tentang sabab nuzul dari ayat tersebut. Bahaya yang ditimbulkan bahkan bisa berupa bertindak dzalim pada orang yang tidak bersalah, menghalalkan sesuatu yang haram, sampai melanggar suatu hukum yang sudah disepakati ulama sebagaimana dalam permasalahan menghadap kiblat saat salat. Wallahu a’lam.