Beranda blog Halaman 400

Mengenal Corak Sufistik Tafsir Ruh Al-Ma’ani Karya Al-Alusi

0
Corak Sufistik
Corak Sufistik

Kita telah mengenal berbagai karya kitab tafsir dari waktu ke waktu baik dari segi ciri khas, metode, sumber hingga coraknya. Demikian pula beragamnya latar belakang historis dan sosio-kultural masing-masing mufasirnya. Di antara karya yang cermerlang adalah kitab tafsir Ruh al-Ma’ani karya Imam al-Alusi dengan corak sufistiknya.

Nama lengkap al-Alūsī adalah Abū Sana’ Syiḥāb al-Dīn al-Sayyid Maḣmūd Afandī al-Alūsī al-Bagdādī. Lahir pada tahun 1217 H / 1802 M Di Kurkh-Baghdad-Irak. Wafat pada hari Jum’at, 25 Dzulqa’dah 1270 H / 1854 M di pemakaman keluarga, Kurkh-Baghdad-Irak. Al-Alusi adalah seorang Mufti Baghdad, pendidik, pemikir, berpengetahuan luas, ulama besar (al-‘Allāmah) baik dalam bidang ilmu naqli maupun ilmu ‘aqli (Al-Alusi, 1983).

Sejak usia 13 tahun, al-Alusi mendalami ilmu dari para ulama yang mumpuni. Ia belajar kepada ayahnya yaitu Syaikh ‘Abdullāh Ṣalih al-Dīn. Ia juga belajar dari Syaikh ‘Alī Suwaidī dan Syaikh Khālid Naqsabandī yang ahli dalam bidang tasawuf (Mahmud, 2003).

Baca Juga: Mengenal Al-Alusi: Sang Arsitek Ruh al-Ma’ani

Al-Alūsī menganut akidah salaf dan bermazhab Syāfi’ī. Sekitar tahun 1248 H al-Alūsī mulai mengikuti fatwa-fatwa kalangan Mazhab Hanafī dan ia memiliki kecenderungan untuk berijtihad (Al-Alusi, 1983). Karena kecenderungan tersebut, al-Alūsī menggunakan rasionalitas (bi al-ra’yi) di samping menjelaskan dalil naql dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an (bi al-ma’ṡūr).

Metode yang digunakan al-Alūsī dalam penafsirannya adalah taḣlīlī. Ia banyak mengedepankan paradigma tafsir bercorak sufi isyari. Corak tafsir sufi lahir sebagai reaksi dari kecenderungan seseorang terhadap kehidupan materi dan duniawi menjadi sebab utama lahirnya tafsir bercorak ini yang membedakan dari corak tafsir lainnya.

Corak sufistik dalam tafsir dapat diklasifikasikan menjadi dua macam: pertama, tasawuf nadzari (teoritis) yaitu corak tafsir yang cenderung menafsirkan al-Qur’an berdasarkan teori atau paham tasawuf yang umumnya bertentangan dengan makna lahir ayat dan menyimpang dari pengertian bahasa. Kedua, Tasawuf ‘Amali (Isyari) yaitu menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh sufi dalam suluknya (Shihab, 2004).

Penafsiran bercorak sufistik menjadikan makna yang tersurat dan tersirat ibarat dua mata koin yang tidak dapat terpisahkan. Al-Alūsī menitikberatkan penafsirannya yang tersurat kemudian menelusuri makna yang tersirat yang samar dan tersembunyi di balik ayat secara kontekstual (Setyaningsih, 2017). Tafsir corak ini menjadi pilihannya karena dalam sufi, untuk mencapai ilmu hakikat, seseorang harus melalui ilmu syariat. Untuk mencapai makna tersirat/batin suatu ayat, harus terlebih dahulu menelusuri dan mengungkapkan makna tersurat/zahir ayat.

Sebagai contoh ringkas tafsir corak sufistik al-Alusi adalah ketika ia menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 50,

. وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَأَنجَيْنَاكُمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَأَنتُمْ تَنظُرُونَ

Ketika menafsirkan وانتم تنظرون, Al-Alusi menafsirkan kata نظر dengan علم . dan menjelaskan makna isyari;

وَالاِشَارَةُ فِى الآيَةِ أَنَّ البَحْرَهُوَ الدُّنْيَا وَمَاءُهُ شَهْوَاتُهَا وَلَذَاتُهَا وَ مُوْسَى هُوالقَلْبُ وَقَوْمُهُ صِفَاتُ الْقَلْبِ وَفِرْعَوْنُ هُوَ النَّفْسُ الاَمَارَةُ

“Ayat ini mengisyaratkan bahwa laut adalah dunia, air adalah syahwat dan kelezatan dunia, Musa adalah hati dan kaumnya adalah sifat hati, Fir’aun adalah nafsu amarah, dan kaumnya adalah sifat nafsu amarah” (al-Alusi, 1983, I: 256).

Baca Juga: Teladan Kisah Nabi Yusuf: Meminta Jabatan Boleh Asal Mampu Mendatangkan Kebaikan

Demikian pula ketika al-Alusi menafsirkan makanan yang halal dan thayyib sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah [2]: 178,

. يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Ia menjelaskan makna isyari ayat tersebut dalam tafsirnya;

وَالقَوْلُ بِاَنَّ فِى الآ يَةِ عَلَى هَذَا التَّفْسِيْرِاِلَى النَّهْيِ عَنِ الاَكْلِ عَلَى امْتِلاَءِ المَعْدَةِ وَالشَّهْوَةِ الكَا ذِ بَةِ لِاَنَّ ذَالِكَ لاَيَسْتَطِيْبُ

“Ayat tersebut dalam tafsir ini mengisyaratkan larangan makan hingga lambung/perut terisi penuh (kekenyangan) karena hal tersebut tidak akan mendatangkan kebaikan” (al-Alusi, 1983, II: 39).

Beberapa contoh di atas adalah penjelasan makna eksoterik/sufistik/bathin yang secara umum ia tampilkan pada bagian akhir penafsirannya. Adapun makna esoterik/zahir ia jelaskan pada bagian awal dengan mencantumkan berbagai pendapat para ulama salaf. Dengan adanya corak sufistik ini, pembaca dapat memahami makna ayat al-Qur’an secara mendalam dan luas. Wallahu a’lam bish-shawwab

Kisah Kesabaran Nabi Ya’kub : Tafsir Surat Yusuf ayat 18

0
Kisah Kesabaran Nabi Ya’kub
Kisah Kesabaran Nabi Ya’kub

Al-Quran memiliki dua cara untuk menyampaikan risalah dari Allah kepada hambanya. Ada kalanya Al-Quran menyampaikan risalah secara langsung dengan uslub yang jelas dan to the point. Namun ada kalanya pula Al-Quran menyampaikan risalahNya lewat ilustrasi kisah – kisah masa lampau, dengan harapan pembaca akan tertarik dengan materi sastra yang terkandung dalam penyampaian kisah, selain itu juga sembari membuka jalan pikiran tentang apa yang ada dibalik kisah tersebut. Misalnya yang terkandung dalam al-Qur’an adalah kisah kesabaran Nabi Ya’kub.

Salah satu kisah yang tercantum dalam Al-Quran adalah kisah Nabi Yusuf AS yang diabadikan Allah dalam satu surat khusus, yakni surat Yusuf. Kajian akan surat Yusuf hingga kini masih berkembang dan tak akan pernah berhenti. Hal ini disebabkan karena kisah nabi Yusuf adalah kisah terbaik diantara kisah – kisah yang ada di dalam Al-Quran. Klaim ini sudah terbukti pasti benar, karena statement nya datang langsung dari Allah SWT

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَذَا الْقُرْآنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ

Artinya : “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui” (QS. Yusuf : 3).

Predikat terbaik ini bukan omong kosong belaka. Dalam beberapa penelitian, terbukti surat Yusuf memang punya kelebihan dibanding kisah – kisah lain dalam Al-Quran. Diantaranya banyaknya simbolisme atau easter egg dibalik kisahnya, misalkan dalam penggunaan kata Qamish yang ternyata menjadi tanda pemunculan konflik, puncak konflik, hingga konklusi. Dan masih banyak lagi.

Baca juga: Kajian Semantik Kata Membaca dan Konteksnya dalam Al-Quran

Dalam surat ini, Nabi Yusuf bukanlah satu – satunya main character yang mengontrol jalannya cerita. Namun masih ada peran nabi Ya’kub, sang ayah yang turut membuat kisah ini semakin dramatis dan tersusun dengan rapi.

Nabi Ya’kub adalah nabi yang memiliki kesabaran seluas samudra. Bagaimana tidak? Kedua anak kesayangannya, Yusuf dan Bunyamin sudah 2 kali hampir direnggut darinya secara sengaja. Namun, daripada menyalahkan anak–anaknya yang lain beliau lebih memilih sabar, dengan term favoritnya “Fasabrun Jamil”.

Sikap Nabi Ya’kub Mengetahui Berita Rekayasa Kematian Yusuf

Tindakan Saudara – saudara Yusuf yang memalsukan kematian Yusuf bukannya tak diketahui oleh Nabi Ya’kub. beliau berkata

بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنْفُسُكُمْ أَمْرًا

Artinya : “….Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu….”

Darisana kita bisa mengetahui bahwa Nabi Ya’kub sebenarnya mengetahui bahwa kebenaran yang dibawa oleh saudara – saudara Yusuf itu palsu. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya :

{بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنْفُسُكُمْ أَمْرًا فَصَبْرٌ جَمِيلٌ} أَيْ: فَسَأَصْبِرُ صَبْرًا جَمِيلًا عَلَى هَذَا الْأَمْرِ الَّذِي قَدِ اتَّفَقْتُمْ عَلَيْهِ، حَتَّى يُفَرِّجَهُ اللَّهُ بِعَوْنِهِ وَلُطْفِهِ

“(Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu), maksudnya Aku akan bersabar dengan kesabaran yang indah atas apa yang telah kalian rencakana untuk Yusuf, sampai Allah ungkap sendiri ini semua dengan pertolongan dan kelemah lembutannya”

Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa : Pertama, Nabi Ya’kub sudah tau sejak awal bahwa saudara – saudaranya pasti akan mencelakai Yusuf. Oleh karena itu pada awalnya Nabi Ya’kub menolak mengizinkan mereka bermain di luar. Kedua, Nabi Ibrahim bersabar atas apa yang telah terjadi. Kehilangan anak, apalagi anak yang sangat disayanginya, apalagi di tangan saudara –saudaranya sendiri adalah kesedihan yang sangat memilukan.

Baca juga: Abu Manshur Al-Khayyat, Pendikte Al-Quran yang Masuk Surga sebab Mengajarkan Al-Fatihah

Karena sebenarnya yang dikhawatirkan Nabi Ya’kub bukanlah hidup atau matinya Yusuf, karena beliau sudah menyadari sejak mendapat cerita mimpi dari Yusuf, bahwa ia akan menjadi Nabi. Sehingga sudah pasti Yusuf masih hidup. Namun ketidak tahuan beliau akan keberadaan Nabi Yusuf itulah yang membuat beliau semakin khawatir, ia hidup namun tak tau dimana rimbanya. Apalagi usia beliau saat itu masih kecil. Dalam ayat sebelumnya dijelaskan bahwa saudara – saudara Yusuf akan mengajak Yarta’ wa yal’ab (bersenang – senang dan bermain).

 Dalam sebuah hadis yang dikutip dalam Tafsir Al-Khozin menyebutkan

الصبر الجميل الذي لا شكوى فيه إلى الخلق

“As-Shabr Al-Jamil (kesabaran yang hakiki) ialah tiada keluh kesah yang disampaikan kepada makhluk”

Orang yang punya kesabaran di level ini adalah orang – orang yang memiliki tingkat kepercayaan yang sangat tinggi kepada Allah secara teologis. Karena Nabi Ya’kub tahu, segala anugerah hanyalah titipan Allah semata. Oleh karenanya lah, di akhir ayat Nabi Ya’kub berkata Wallahu Al-Musta’an ‘ala maa tashifun (Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan). Nabi Ya’kub memilih Allah sebagai tempat berkeluh kesah, karena hanya Allah yang mampu memberikan solusi atas masalah terebut.

Wallahu A’lam

Abu Manshur Al-Khayyat, Pendikte Al-Quran yang Masuk Surga sebab Mengajarkan Al-Fatihah

0
Abu Manshur al-Khayyat
Abu Manshur al-Khayyat

Abu Manshur al-Khayyat memiliki nama asli Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abd al-Razzaq al-Syairazi al-Baghdadiy al-Khayyat. Ia merupakan seorang pendikte bacaan Al-Quran atau yang kita kenal sebagai muqri’, yang secara leksikal berarti orang yang membacakan Al-Quran. Selain seorang muqri’, ia juga zahid, seorang yang tak memiliki kecintaan kepada dunia sama sekali. Abu Manshur al-Khayyat juga merupakan pengikut Madzhab Hanbali.

Al-Khayyat lahir pada tahun 401 H dan belajar agama kepada Abu al-Qasim bin Basyran, lalu kepada Abd al-Ghaffar al-Muaddib, Muhammad bin Umar bin al-Akhdhar al-Faqih dan ulama-ulama besar lain waktu itu. Sedangkan pendidikan Al-Quran-nya, ia belajar kepada Abu Nashr bin Mashrur dan juga kepada ulama lainnya, seperti al-Hammamiy. Lalu, ia juga mengajari kedua cucunya yaitu Imam Abu Muhammad Abdullah dan Abu Abdillah al-Husain.

Baca juga: Kisah Abdullah bin Ummi Maktum: Penyandang Disabilitas Penyebab Turunnya Surah ‘Abasa

Muhyidin al-Thu’mi, dalam karyanya Takmilah Jami’ Karamah al-Auliya’ menceritakan bahwa ia merupakan seorang pengajar Al-Quran, yang berbeda dengan kebanyakan orang. Pasalnya ia mengampu kelas khusus bagi mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan atawa tuna netra, yang mencapai tujuh ribu murid, sebagaimana dicatat Ibn al-Najjar dalam tarikhnya. Semua ia gratiskan. Barangkali bisa diibaratkan dengan rumah tahfiz pada masa sekarang, dengan menanggung  semua biaya hidup para calon tahfiz itu.

Kemuliaan yang luhur

Satu kisah menarik diceritakan oleh al-Hafiz Ibn Nashir dalam kitabnya, Dzail Thabaqat al-Hanabilah. Ia berkata:

“Sekali malam aku bermimpi, seolah aku mendatangi masjid Syaikh Abu Manshur al-Khayyat. Kulihat banyak sekali orang-orang berdiri di depan pintu masjid itu.

Dan mereka berkata: “di dalam ada Nabi Muhammad dan Syaikh Abu Manshur. Mendengar itu, aku lantas masuk ke dalam masjid”

Benar saja, aku melihat Abu Manshur sedang duduk di samping seseorang yang, aduhai, parasnya sangat indah. Kupikir-pikir seperti sifat-sifat Nabi yang pernah kudengar disampaikan oleh para syaikh dulu; pakaiannya sangat putih, di atas kepalanya tergelung sebuah imamah, yang berwarna serupa.

Sementara Abu Manshur kulihat sedang mengecup wajah sosok indah itu. Aku mendekat, kulayangkan salam penghormatan. Segera saja salamku berbalas. Tapi aku tidak tahu siapa yang membalasnya. Aku terlalu terpana dengan sosok putih, yang kuyakin adalah Nabi Muhammad Saw.

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Adam Memakan Buah dan Bencana dari Kerusakan Alam

Aku semakin mendekat, duduk di hadapan mereka berdua. Kulemparkan pandanganku tertuju pada Nabi Muhammad. Tanpa ingin bercakap-cakap atau bahkan mengeluarkan sepatah kata pun. Tiba-tiba Nabi memandangku dan bersabda: ikutilah mazhab Syaikh ini, ikutilah mazhab Syaikh ini, ikutilah mazhab Syaikh ini. Ya, tiga kali Nabi mengulangi sabda beliau itu.

Aku bersumpah sekali, dua kali, dan tiga kali bahwa aku benar-benar bermimpi. Dan aku bersaksi kepada Allah, bahwa Rasulullah Saw bersabda seperti itu tiga kali. Beliau juga sambil menunjuk dengan jari telunjuk tangan kanan beliau kepada Syaikh Abu Manshur itu.”

Al-Khayyat wafat pada hari Rabu 16 Muharram tahun 499 H dalam usia 98 tahun. Diceritakan al-Silafy dari Ali bin al-Aisir al-‘Ukbariy, ia berkata; “banyak sekali orang yang mengiringi jenazahnya. Bolah dikata aku takpernah melihat kerumunan sebanyak itu sebelumnya. Ada seorang Yahudi melintas dan menyaksikan lautan manusia itu, seketika ia berucap: “tak ada agama yang dianut oleh umat sebanyak ini, kecuali ialah agama yang haq,” dan kemudian masuk Islam.

Belajar dan mengajarkan Al-Quran

Dari uraian di atas, kita diingatkan kembali tentang sebuah hadits yang diriwayatkan Sayyidina Utsman bin Affan r.a. bahwa Rasululllah Saw bersabda; “sebaik-baik di antara kalian adalah yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya.” Atau dalam riwayat lain disebutkan: “seutama-utama kalian adalah yang belajar Al-Quran dan kemudian mengajarkannya.”

Kisah al-Khayyat di atas merupakan salah satu dari jamaknya kisah-kisah sejenis, yang mengajarkan kepada kita tentang sifat-sifat menjadi seorang mukmin yang sejati, yang mengikuti Rasulullah Saw.

Kita juga telah menyimak, betapa tingginya etos dan dedikasi al-Khayyat dalam mengajarkan Al-Quran sekaligus sebagai candradimuka untuk menyucikan jiwa dari segala kotoran.

Al-Khayyat adalah satu contoh, di antara orang-orang yang sepantasnya mendapat pujian dari Allah sebagaimana dalam surah al-Fushilat: 33, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal salih, dan berkata: sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri.”

Baca juga: Variasi Qiraat Al-Quran dan Contohnya dalam Surat Al-Fatihah Ayat 4

Kita juga kembali diingatkan akan ungkapan Imam Syafii yang dikutip oleh murin kinasih beliau, al-Muzani, bahwa barangsiapa belajar Al-Quran maka ia memperoleh derajat yang luhur.” Fragmen ini dikutip al-Dzahabi dalam kitabnya, Siyar A’lam al-Nubala`.

Demikian juga ungkapan al-Hafiz Ibn Hajar dalam Fathul Bari-nya,  bahwa tidak bisa disangkal, bahwa seseorang yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya sekaligus, selain akan membawa kesempurnaan pada dirinya, juga membawa kesempurnaan pada orang lain. Sebab dengan begitu, ia mendapat manfaat pribadi, dan orang lain pun juga mendapat manfaat darinya. Di situlah keutamaannya.

Al-Khayyat adalah contoh bagaimana Allah benar-benar menjamin siapa di antara hamba-Nya yang menjaga Kalam-Nya. Satu kisah dituturkan Abu Sa’d al-Sam’ani dalam tarikhnya.

Ia berkata; “aku mendengar dari Ja’far Umar bin al-Mubarak bin Sahlan, ia mendengar dari al-Husain bin Khasr al-Balkhiy, ia berkata; “aku bermimpi bertemu dengan Syaikh Abu Manshur al-Khayyat, lalu kutanyakan kepadanya: “apa yang Allah lakukan kepadamu, wahai Syaikh?””

Abu Manshur al-Khayyat menjawab: “Dulu semasa di dunia, aku mengajari anak-anak kecil membaca surah al-Fatihah hingga tuntas. Sebab itulah Allah mengampuni segala dosaku dan menarimaku di sisiNya.” Wallahu a’lam.

Kajian Semantik Kata Membaca dan Konteksnya dalam Al-Quran

0
Membaca dalam al-Quran
Membaca dalam al-Quran

Membaca merupakan salah satu kegiatan yang tidak dapat terlepaskan bagi sebagian manusia. Setiap waktunya seseorang akan merangkai segala bentuk tulisan di hadapannya baik secara sengaja ataupun tidak untuk dibaca. Baik tulisan yang secara nyata berbentuk rangkaian huruf ataupun simbol-simbol yang hadir di mata. Hal itu menandakan bahwa membaca telah menjadi sebagian rutinitas setiap orang di muka bui ini.

Budaya baca kini pun telah digaungkan oleh sebagian para cendekia millennial. Salah satunya Najwa Shihab yang terkenal sebagai sosok Duta Baca Indonesia sejak tahun 2016 lalu. Semangatnya dalam memperjuangkan literasi menjadikannya seorang yang begitu perhatian dalam hal literasi. Sebagai bukti cintanya dalam membaca ia juga melakukan kampanye gemar membaca diberbagai daerah Indonesia.

Menapak tilas pada sejarah membaca, maka jauh sebelum masyarakat millennial melakukan tradisi membaca, Al-Qur’an telah lebih dulu menyebutkannya. Perintah membaca dalam Al-Quran adalah wahyu pertama sebelum adanya perintah lain yang diberikan oleh Allah kepada Nabi saw.

Kosa Kata Membaca dalam Al-Quran 

Menjadi sumber rujukan dalam hidup ini, maka Al-Quran selalu relevan untuk dikaji. Menurut Chirzin (2020) dalam bukunya Kamus Pintar Al-Qur’an kata membaca dalam Al-Quran dengan berbagai derivatifnya disebutkan sebanyak 11 kali dalam ayat dan surah yang berbeda-beda. Terjemahan kata “baca” ini diungkapkan dengan kata dasar qara’a (قرأ) dan tala (تلى).

Baca Juga: Ketahui Sembilan Adab Ketika Membaca Al-Quran

Adapun penyebutan dengan kata dasar qara’a (قرأ) terulang sebanyak 4 kali yakni dalam QS. 16: 98, QS. 26: 199, QS. 75: 18, dan QS. 96: 1. Sedangkan penyebutan dengan lafal kata dasar tala (تلى) terulang sebanyak 7 kali terdapat dalam QS. 29: 48, QS. 3: 58, QS. 27: 92, QS. 37: 3, QS. 23: 66, QS. 29: 45, dan QS. 18: 27.

Konteks Ayat terkait Membaca dalam Al-Quran

Turun dalam waktu dan situasi yang tidak sama membuat ayat Al-Qur’an memiliki konteks beragam. Dari beberapa cantuman daftar ayat yang di dalamnya terdapat kata baca, maka dapat kita temukan beberapa konteks ayat, diantaranya pada QS. 16: 98 berbicara mengenai konteks anjuran memohon perlindungan kepada Allah ketika akan melakukan segala hal termasuklah membaca Al-Qur’an, QS. 26: 199 (mudahnya membaca Al-Qur’an karena lafaz ayat Al-Qur’an mudah dilafalkan), QS. 75: 18 (peringatan kepada Nabi agar tidak tergsa-gesa dalam mengingat/menghafal wahyu yang turun), dan QS. 96: 1 (pengajaran dan penjelasan Allah kepada Nabi saw tentang sifat, perbuaatan-Nya serta Dia adalah sumber ilmu pengetahuan).

Penjabaran di atas merupakan penyebutan konteks ayat yang di dalamnya terdapat kata ‘baca’ dengan kata dasar qara’a. Selanjutnya, adalah penyebutan konteks ayat yang di dalamya terdapat kata dasar tala. Pada QS. 29: 48 (Al-Quran sebagai kemukjizatan Nabi yang ummi, tidak bisa baca dan tulis), QS. 3: 58 (Jibril membacakan Al-Quran kepada Nabi Isa yang di dalamnya berupa informasi mengenai azab akhir), QS. 27: 92 (dakwah rasul seraya menyerahkan kepada setiap orag untuk emilih jalanya sendiri).

Selanjutnya pada QS. 37: 3 (menjelaskan tentang malaikat yang bertugas membacakan wahyu kepada para nabi), QS. 23: 66 (tidak ada jaminan pertolongan Allah bagi orang kufur), QS. 29: 45 (membaca Al-Qur’an, shalat mencegah manusia dalam berbuat kemunkaran), dan QS. 18: 27 (berbicara tentang Al-Qur’an dan semua berita yang ada di dalamnya).

Ulasan Mufasir Mengenai Lafal Qara’a dan Tala

Dari beberapa ayat Al-Qur’an yang di dalamya terdapat kata ‘baca’ maka salah satu dalil perintah membaca itu terletak pada QS. 96: 1. Ayat tersebut termasuk pada wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi saw melalui malaikat Jibril

إقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ.

Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,

Pada ayat di atas dapat kita lihat adanya kata iqra’ yang secara terjemah diartikan dengan ‘bacalah!’. Perintah yang masih bersifat umum ini menimbulkan sebuah pertanyaan tentang hal apa yang harus dibaca oleh Nabi saw kala itu ketika Jibril memerintahkannya, hingga akhirnya perintah inlah yang juga harus disampaikan kepada umatnya.

Pemaknaan mengenai ayat di atas pun telah dilakukan oleh sejumlah mufassir. Salah satunya mufassir kontemporer Quraish Shihab yang telah merampungkan tafsirannya  30 juz Al-Qur’an secara utuh. Metode penafsiran analisis serta corak adab wa ijtima’i sebagai ciri dalam penulisannya membuat tafsir ini sebagai salah satu tafsir yang banyak dirujuk oleh sebagian peneliti Al-Qur’an.

Quraish Shihab memaparkan bahwasanya kata iqra’ terambil dari kata kerja qara’a yang pada mulanya bermakna menghimpun, dan ketika seseorang telah merangkai huruf atau kata lalu mengucapkan rangkaian tersebut maka sejatinya ia telah menghimpunnya yakni membacanya. Dengan demikian, realisasi perintah yang dimaksud tidaklah mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan dan tidak pula harus diucapkan oleh lisan.

Menyertai dari pemaparan di atas, Shihab juga mengutip sebuah kaidah kebahasaan yang berbunyi “Apabila suatu kata kerja yang mebutuhkan objek namun tidak disebutkan objeknya maka objek yang dimaksud bersifat umum dan mencakup segala sesuatu yang terjangkau oleh kata tersebut”.

Adanya kaidah tersebut memberikan kesimpulan bahwa objek yang diperintahkan untuk dibaca adalah sesuatu yang bersifat umum dapat bacaan yang suci (firman Allah) atau bukan, baik tertulis maupun tidak tertulis sehingga terrmasuklah alam raya, masyarakat dan diri sendiri serta bacaan tertulis baik suci maupun tidak.

Baca Juga: Lima Cara Membaca Awal Surah At-Taubah dalam Ilmu Tajwid

Setelah adanya penjelasan makna iqra’ lalu bagaimana dengan ungkapan tala yang juga bisa dimaknai dengan ‘baca’?. Adapun Shihab (2001:506) menyebutkan perbedaan antara keduanya. Lafal tala (تلى) berobyek pada bacaan yang agung dan suci atau benar, sedangkan qara’a (قرأ) berobyek pada bacaan yang sifatnya lebih umum, mencakup yang suci atau tidak suci, kandungannya boleh jadi positif atau negatif.

Penjelasan di atas memberikan sebuah pesan bagi para mukmin masa kini bahwasanya hakikat membaca sesungguhnya adalah tidak hanya beraspek pada sesuatu yang tertulis saja namun juga kondisi dan situasi yang sedang terjadi di sekelilingnya.

Oleh sebab itu, adanya kepekaan untuk membaca dan memahami segala objek yang bersiggungan dengan kehidupan dirasa penting untuk dilakukan karena dapat membantu untuk merespon setiap peristiwa yang hadir di tengah perjalanan menuju kematian. Wallahu A’lam.

Keistimewaan Ka’bah dalam Al-Quran dan Pahala Memandangnya

0
Keistimewaan Ka'bah dalam Al-Quran
Keistimewaan Ka'bah dalam Al-Quran

Ka’bah merupakan kiblat ibadah umat Islam. Ia merupakan sebuah bangunan berbentuk kubus berkiswah hitam yang terdapat pada sebuah masjid bernama Masjidil Haram, dan sebuah kota mulia bernama Makkah. Bangunan bernama Ka’bah ini begitu istimewa, karena ia bisa menyedot umat hingga berpuluh-puluh juta setiap tahun dan arah salat umat Islam yang satu titik dari berbagai belahan dunia. Al-Quran ternyata mempunyai banyak penjelasan tentang keistimewaan Ka’bah, bahkan sekedar memandangnya pun menuai pahala.

Keistimewaan Ka’bah dalam Al-Quran

Dalam era modern sebenarnya telah ditemukan penjelasan secara saintifik dan ilmiah mengenai alasan mengapa Ka’bah dan tempatnya, Masjidil Haram, begitu istimewa hingga dikunjungi puluhan juta manusia setiap tahunnya. Namun, penemuan tersebut pada hakikatnya melengkapi penjelasan yang lebih dahulu disuratkan oleh Al-Quran sejak diturunkannya. Adapun Al-Quran sendiri yang merupakan kalam Allah memberikan sejumlah penjelasan akan keistimewaan Ka’bah.

Pertama, Ka’bah adalah tempat ibadah pertama yang dibangun sebagaimana surah Ali Imran 96:

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِى بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَٰلَمِينَ

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”

Dalam menafsirkan lafadz inna awwala baytin pada ayat ini, Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalyn menjelaskan bahwa Ka’bah merupakan tempat ibadah pertama kali yang dibangun di muka bumi. Al-Mahalli dan As-Suyuthi juga mengutip sebuah hadis sahih bahwa, Masjidil Haram yang didalamnya terdapat Ka’bah ini telah dibina oleh para malaikat sebelum Nabi Adam diciptakan, baru setelah itu dibangunlah Masjidil Aqsa dengan jarak 40 tahun.

Baca juga: Kisah Pasukan Bergajah dan Burung Ababil dalam Surah Al-Fîl

Keterangan tersebut menyiratkan informasi bahwa pembangunan Ka’bah memang dilakukan sebelum Nabi Ibrahim, bahkan sebelum Nabi Adam, sebagaimana yang diungkapkan oleh Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah. Baru kemudian, di zaman Nabi Ibrahim dan Nabi Islamil, fondasi dan kerangka Ka’bah tersebut ditegakkan sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 127.

Kedua, masih merujuk pada surah Ali Imran ayat 96 di atas, Ka’bah berada di kota Makkah yang diberkahi (bibakkata mubaarakan). Dalam lisan Arab, penyebutan Makkah disebutkan dengan memakai huruf ba’ sehingga diucapkan Bakkah. Makkah adalah kota yang sejak awal diberikan banyak rahmah dan berkah oleh Allah dan banyak disebut oleh Al-Quran sebagai al-baladil amin. Makkah adalah tanah kelahiran Rasulullah yang sangat ia cintai. Makkah pula merupakan kota yang turun temurun ditinggali para nabi, hingga Nabi Ibrahim pun mendoakan akan keberkahannya sebagaimana dalam surah Ibrahim ayat 37.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Shalat Menghadap Ka’bah Atau Menghadap Kiblat?

Ketiga, Ka’bah disucikan dan dimuliakan Allah. Penjelasan ini bisa ditemukan dalam surah Al-Maidah 97:

جَعَلَ ٱللَّهُ ٱلْكَعْبَةَ ٱلْبَيْتَ ٱلْحَرَامَ قِيَٰمًا لِّلنَّاسِ وَٱلشَّهْرَ ٱلْحَرَامَ وَٱلْهَدْىَ وَٱلْقَلَٰٓئِدَ ۚ

“Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya, qalaid”

Kemuliaan Ka’bah sebagaimana yang tercantum dalam ayat tersebut disyarah oleh Wahbah Zuhayli dalam Tafsir Al-Wajiz bahwa dengan menunaikan ibadah ke Ka’bah dengan ikhlas dapat menghapuskan dosa-dosa yang lalu akan terhapuskan. Begitu pula tentang hadyu dan qalaid yang difirmankan Allah dalam surah tersebut dimaknai Zuhayli sebagai bentuk pengorbanan dan persembahan yang paling mulia di sisi Allah.

Keempat, Ka’bah dijadikan Allah sebagai pusat baik untuk urusan ibadah maupun urusan duniawi. Sebagai pusat ibadah Ka’bah bisa kita saksikan bahwa ia adalah kiblat ibadah, salat maupun haji, bahkan dari zaman ke zaman. Mengenai hal tersebut, Syaikh An-Nawawi Banten dalam Tafsir Munir menyatakan bahwa seluruh nabi telah melakukan sujud kepada Allah SWT dengan menghadap ke arah Ka’bah sebagai kiblatnya. Fenomena haji dan Masjidil Haram yang tak pernah sepi peziarah juga merupakan bukti nyata bahwa Ka’bah merupakan pusat magnet baik urusan ibadah maupun duniawi sebagaimana yang dijelaskan ayat di atas.

Memandang Ka’bah berpahala

Selain ayat-ayat yang disebutkan di atas, ayat yang menjelaskan Ka’bah sebagai kiblat bisa kita lihat dalam surah Al-Baqarah ayat 144:

…فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَىٰهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.”

Sebagaimana dalam Tafsir Jalalayn Al-Mahalli dan As-Suyuthi menyampaikan bahwa maksud Masjidil Haram pada ayat tersebut pada hakikatnya Ka’bah, di mana ia dijadikan kiblat salat oleh umat Islam dari berbagai penjuru dunia. Meskipun demikian, memandang Ka’bah di luar salatpun tetap mendapatkan pahala sebagaimana hadis Nabi “Setiap sehari semalam Allah menurunkan seratus dua puluh rahmat atas Baitullah. Enam puluh rahmat untuk yang melakukan tawaf, empat puluh untuk yang melakukan salat, dan yang dua puluh untuk yang memandang Ka’bah.” (HR. Thabrani). Hadis di atas juga menjadi rujukan pendapat al-Mawardi dan Ar-Rauyani bahwa orang yang sedang melakukan salat di Masjidil Haram disunahkan memandang Ka’bah, bukan memandang tempat sujudnya.

Baca juga: Para Tabi’in Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ubay Ibn Ka’ab di Kota Madinah

Begitu mulia dan istimewanya Ka’bah, sehingga ia dijadikan kiblat ibadah dari zaman ke zaman, pusat ritus spiritual umat Islam seluruh dunia seperti salat, haji, dan thawaf. Sekedar memandang Ka’bah dengan penuh penghayatanpun bernilai pahala. Dalam Islam bahkan terdapat larangan-larangan menghadap atau membelakangi arah Ka’bah ketika buang air, atau kesunnahan menghadap Ka’bah ketika melakukan ritus ibadah seperti membaca mushaf, yang ke semua itu dimaksudkan untuk memuliakan Ka’bah. Nampaknya Allah memang menghendaki Ka’bah sebagai pusat perhatian manusia yang harus selalu dimuliakan sebagai wasilah fokus menyembah Allah semata.

Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Yunus Ayat 57: Pengaruh Akhlak Terhadap Kesehatan

0
Pengaruh akhlak terhadap kesehatan
Pengaruh akhlak terhadap kesehatan

Sehat dalam Islam bukan hanya merupakan sesuatu yang berhubungan dengan fisik, melainkan secara psikis (jiwa). Maka, Islam memperkenalkan konsep “al-Shihah wa al-fiyat”. Jauh dari sebelum Islam memberikan konsep tersebut, Islam sangatlah memperhatikan terhadap akhlak. Sehingga pengaruh akhlak terhadap kesehatan pun sangatlah berdampak.

Keadaan ini telah terbukti dari sebuah misi Rasulullah SAW yaitu dalam haditsnya dari Abu Hurairah ra., Rasulullah bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُ تَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus menjadi Rasul hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR.Bukhari, al-Baihaqi, dan Hakim).

Akhlak dan Kesehatan

Banyak orang tidak menyadari indikator adanya sebuah ketimpangan akhlak pada diri manusia adalah sumber dari penyakit. Pada prinsipnya, semua penyakit muncul akibat dari perilaku yang disengaja maupun tidak disengaja oleh si pelaku.

Baca juga: Doa Nabi Ayyub as dalam Al-Quran untuk Kesembuhan Penyakit

Seperti halnya rumusan yang dipaparkan oleh Ustadz Danu, bahwasannya, semua penyakit muncul akibat seseorang sering mengumbar hawa nafsu sehingga Allah SWT menurunkan peringatan agar manusia kembali ke jalan yang benar, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.

Karena sebuah nafsu akan menyebabkan timbulnya penyakit hati maupun fisik. Allah SWT berfirman atas dasar hubungan akhlak (nafsu manusia) dengan kesehatan yang mana berkaitan dengan penyakit. Dalam QS.Yunus [10]:57

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Artinya; “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian dan penyembuh bagi penyakit (yang berbeda) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”

Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan Allah SWT menyebutkan karunia-Nya yang telah diberikan kepada makhluk-Nya dengan menurunkan Al-Qur’an dengan tiga fungsi, yakni Pertama, peringatan terhadap perbuatan-perbuatan yang keji. Maksudnya adalah dari kebimbangan dan keraguan, yaitu sebagai penyembuh penyakit yang bersumber di dalam dada.

Kedua, petunjuk dan yang Ketiga, sebagai rahmat. Dengan mengamalkan akan diperoleh petunjuk dan rahmat dari Allah SWT. dan sesungguhnya hal itu hanyalah diperoleh bagi or­ang-orang mukmin dan orang-orang yang percaya serta meyakini apa yang terkandung di dalam Al-Qur’an.

Baca juga: Kemuliaan Manusia dalam Al-Quran dan Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia

Allah SWT meletakkan dua hal dalam hati manusia, yaitu ruh dan nafsu. Disini ruh senantiasa cenderung membawa manusia tunduk dan patuh kepada firman-Nya, sedangkan nafsu akan cenderung membawa manusia mengikuti kesenangan duniawi tanpa memperhatikan firman-Nya.

 Karena hati merupakan pusatnya nafsu-nafsu yang ada dalam tubuh manusia. Hati akan memerintahkan otak dengan menggerakkan orang tubuh manusia sebagai penyalur keluarnya nafsu tersebut. Nafsu yang tidak baik bila dijalankan terus menerus akan menumpuk menjadi dosa di mata Allah SWT.

Sistem yang sempurna dalam kehidupan manusia dengan memaksa manusia tunduk dan patuh atas firman-firman-Nya, agar kembali ke jalan yang benar. Jalan yang benar itu tidak lain dan tidak bukan adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Paksaan Allah SWT berupa adzab atau musibah yang menimpa manusia, berupa penyakit, kecelakaan, dsb.

Sedangkan di dalam tafsir al-Misbah M. karya Prof. Quraish Shihab menerangkan dengan menyebutkan bahwa kata Syifa’ biasa diartikan kesembuhan atau obat, dan digunakan dalam arti keterbebasan dari kekurangan. Penyakit yang ada di dalam dada dan al-Qur’an merupakan rahmat bagi orang-orang yang beriman, yakni al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian selain kerugian disebabkan oleh kekufuran mereka sendiri.

Keistimewaan dan fungsi al-Qur’an dalam tafsirnya sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya, M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa para ulama’ memahami hal tersebut, bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat juga menyembuhkan penyakit-penyakit jasmani. Mereka merujuk kepada sekian riwayat yang diperselisihkan nilai dan maknanya.

Baca juga: Disimpan British Library, Beginilah Potret Empat Al-Qur’an Kuno dari Jawa

Masih pada Tafsir al-Misbah menuliskan ada riwayat Ibn Mardawih melalui sahabat Nabi SAW, Ibn Mas’ud ra, yang memberikan bahwa ada seseorang yang datang kepada Nabi SAW mengeluhkan dadanya, maka Rasulullah bersabda: “Hendaklah engkau membaca al-Qur’an.” 

Dengan itu, hidup menurut al-Qur’an pada dasarnya adalah hidup dengan cara mengekang atau melawan hawa nafsu yang selalu mengendalikan hati, pikiran dalam langkah manusia. Hidup dengan menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk akan berada di jalan yang lurus dan dapat mengangkat derajat manusia.

Sebagaimana, memohon kepada-Nya, maka Allah SWT akan menyembuhkan penyakit seseorang sebagaimana firman yang telah dipaparkan diatas sebagai penyembuh penyakit di dalam dada, petunjuk, dan rahmat bagi yang beriman. Menjadikan akhlak yang Qur’ani, tidak terbebani dengan menjalankan sepenuh hati, agar kesehatan terus membersamai.

Wallahu’alam

Inilah Beberapa Perempuan yang Disinggung dalam Al-Quran

0
Perempuan yang disinggung dalam al-Quran
Perempuan yang disinggung dalam al-Quran

Terdapat beberapa perempuan yang disinggung dalam Al-Quran. Di antara para perempuan ini ada pengaruh dalam sejarah peradaban di antaranya Maryam dan Ratu Balqis. Artikel ini akan mengulas beberapa nama yang berkaitan erat dengan ayat-ayat al-Quran.

Asiyah Bint Muhazim dan Hawa

Satu dari sekian perempuan yang disinggung dalam Al-Quran adalah Asiyah Bint Muhazim, wanita ini tidak disebutkan namanya secara implisit oleh Al-Quran, hanya menggunakan ungkapan “istri fir’aun” (QS. Al-Qashash [28]: ayat 9, QS. Al-Tahrim [66] ayat 11). Asiyah adalah salah satu wanita yang dijanjikan surga oleh Allah Swt. sebagaimana dalam riwayat Aisyah Ra. Bahwa “Pemuka wanita ahli surga ada empat: Maryam binti Imran, Fatimah Binti Rasulullah, Khadijah Binti Khuwailid, dan Asiyah”.

Mengapa Asiyah menjadi perempuan yang disinggung dalam al-Quran dan dijamin masuk surga? Dalam sebuah keterangan dikatakan bahwa Asiyah adalah sosok perempuan yang sangat setia, terutama terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Musa As.  Meskipun ia menjadi istri fir’aun. Bahkan sampai ia wafat karena disiksa oleh Fir’aun yang memaksa Asiyah untuk mengakui Fir’aun sebagai Tuhan.

Perempuan yang disinggung dalam Al-Quran selain Asiyah adalah  Hawa (QS. Al-Nisa: [4] ayat 1).  Ia adalah sosok yang sangat setia menemani Nabi Adam. Saat mereka merasakan kebahagian ketika mereka berada di Surga, hingga merasakan penderitaan saat mereka diturunkan ke muka Bumi oleh Allah Swt.

Usai diusir dari surga Nabi Adam (QS. Al-A’raf: [7] 18) terpisah dengan Siti Hawa, terdapat perbedaan riwayat terkait daerah diturunkannya Adam dan Hawa. Dalam sebuah riwayat Ibnu Haitam dari Al-Saddi, ia berkata Adam turun di India, sedangkan Hawa di Jeddah. Dalam waktu yang lama mereka akhirnya dipertemukan kembali di Jabal Rahmah (bukit cinta) yang berada di padang Arafah. Akhirnya mereka berdua hidup bahagia dengan dikaruniai keturunan yang banyak.

Maryam Bint Imran

Maryam adalah keturunan Imran, salah satu keluarga terbaik yang pernah ada dalam sejarah kehidupan manusia. Kemulian Maryam digambarkan dalam Al-Qur’an Surah al-Tahrim ayat 12 dan Surah Ali-Imran ayat 42.

وَإِذْ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاكِ وَطَهَّرَكِ وَاصْطَفَاكِ عَلَى نِسَاءِ الْعَالَمِينَ

Dan (ingatlah) ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah telah memilihmu, menyucikanmu, dan melebihkanmu di atas segala perempuan di seluruh alam (pada masa itu).

Dalam tafsir Marah Labid dijelaskan bahwa ayat ini (QS. Ali Imran: [3] 42) menggambarkan kepribadian Maryam yang dikatakan oleh Malaikat Jibril, bahwa Ia adalah wanita yang taat dalam beribadah, memiliki sifat lemah-lembut, terbebas dari akhlak tercela (maksiat) serta gangguan para lelaki.

Oleh karena itu, namanya dicatat sebagai wanita yang mulia di sisi Allah Swt. bahkan dalam Shahih Bukhari dikatakan dari Ali Bin Abi Thalib bahwa Rasulullah bersada “sebai-baik wanita adalah Maryam dan Siti Khadijah”. Dari rahim Maryam-lah kemudian melahirkan Nabi Isa as.

Ratu Balqis    

Ratu Balqis atau Ratu Syeba merupakan sosok pemimpin wanita yang tangguh (QS. Al-Naml [27] ayat 23). Hal ini digambarkan dari kondisi kerajaan dan masyarakat yang di pimpinnya, mereka semua hidup makmur dan sejahtera. Keterangan ini dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir, bahwa negeri Saba Allah sebutkan dalam Al-Qur’an sebagai negeri yang “baldatun tayyibatun wa rabbun ghofur” yaitu negeri yang makmur dan mendapatkan ampunan dari Tuhan.

Maula Sari dalam artikelnya yang berjudul Tafsir QS. Al-Naml Ayat 23 memberikan catatan bahwa Ratu Balqis dan rakyatnya tidak menutup dirinya dengan kebenaran dakwah yang dibawa oleh Nabi Sulaiman. Menunjukkan bahwa ia merupakan sosok pemimpin yang mengantarkan rakyatnya menuju jalan kebenaran agar menyembah Allah Swt.

Istri Nabi Nuh dan Istri Nabi Luth

Dalam tafsir Al-Qurthubi dijelaskan bahwa Istri Nabi Nuh bernama walihah, sedangkan Istri Luth bernama wali’ah. (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li ahkamil Qur’an)

Istri Nabi Luth dan Nabi Nuh ini, melakukan pengkhianatan terhadap agama. Dikisahkan bahwa istri Nabi Luth menyerukan maksiat kepada para tamu Nabi Luth, sedangkan Istri Nabi Nuh menyebarkan propaganda kepada masyarakat bahwa suaminya gila. Dari sini kita bisa mengetahui bahwa mereka adalah dua orang yang munafik, di depan suaminya bersikap baik tetapi di belakang suaminya mereka menyebarkan fitnah, selain mengkhianati Nabi Luth dan Nabi Nuh, mereka juga mengkhianati Allah Swt.

Dari kisah para perempuan yang disinggung dalam Al-Quran, kita dapat mengambil ibrah (pelajaran) sebagaimana dijelaskan dalam QS. Yusuf ayat 111

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” Wallahu A’lam.

Tafsir Tarbawi: Pentingnya Pendidikan Ekologi bagi Peserta Didik

0
Pendidikan ekologi
Pendidikan ekologi

Dewasa ini, marak terjadi bencana alam di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Pada awal tahun 2021 saja, berbagai bencana alam menerpa Indonesia misalnya banjir, tanah longsor, dan sebagainya. Menurut data Word Widelife Fund (WWF) 2020, 75% kebakaran hutan dan bencana alam disebabkan langsung oleh manusia. Ini artinya, sudah waktunya manusia dibekali pendidikan ekologi.

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 41: Menyoal Manusia dan Krisis Ekologis

Allah swt menganugerahkan bumi dan alam semesta isinya kepada manusia tidak lain adalah untuk keperluan hidup manusia. Karenanya, menjaga dan merawatnya merupakan bagian daripada mensyukuri nikmat-Nya. Dalam konteks inilah, pendidikan ekologi sangat penting untuk dibumikan dalam sanubari peserta didik. Mereka harus dilatih dan dibiasakan sejak dini untuk peduli terhadap lingkungan alam sekitar sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. al-A’raf [7]: 56 berikut ini:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan. (Q.S. Al-A’raf [7]: 56)

Tafsir Surah Al-A’raf ayat 56

Dalam Jami’ul Bayan, at-Tabary menafsirkan ayat di atas bahwa kalian wahai manusia, apabila engkau tidak menaati Allah swt dan menyekutukan-Nya itu adalah bagian daripada kerusakan (al-fasad). Redaksi berikutnya ba’da islahiha, bermakna setelah bumi ini diciptakan dengan baik. Islah di sini bermakna bahwa Allah swt telah mengutus sejumlah rasul untuk mengajak manusia kepada kebenaran dan menyampaikan dakwahnya kepada mereka.

Adapun redaksi wad’uhu khaufan wa thama’an, al-Thabary menafsirkannya dengan ikhlashu lahu al-du’a wa al-‘amal wa la tusyriku fi amalikum syai-an (berdoa dan beramallah kalian dengan penuh keikhlasan dan jangan menyekutkan-Nya dengan sesuatu apapun).

Baca juga: Epidemiologi Al-Quran (1): Wabah dalam Kisah Raja Thalut dan Pasukanya

Lebih lanjut, al-Zamakhsyari dalam Al-Kasyaf menjelaskan kata qarib dengan sesungguhnya rahmat Allah berbentuk kasih sayang atau ampunan Allah swt. Jadi rahmat Allah swt teramat dekat kepada manusia yang berbuat kebaikan. Di samping itu, Ar-Razi dalam Tafsir al-Kabir merincikan makna wa la tufsidu sebagai berikut,

 ولا تفسدوا شيئاً في الأرض، فيدخل فيه المنع من إفساد النفوس بالقتل وبقطع الأعضاء، وإفساد الأموال بالغصب والسرقة ووجوه الحيل، وإفساد الأديان بالكفر والبدعة، وإفساد الأنساب بسبب الإقدام على الزنا واللواطة وسبب القذف، وإفساد العقول بسبب شرب المسكرات، وذلك لأن المصالح المعتبرة في الدنيا هي هذه الخمسة: النفوس والأموال والأنساب والأديان والعقول

Janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi. Termasuk bagian dari merusaknya ialah merusak jiwa dengan membunuh, dan merusak sendi-sendi bumi. Selain itu, merusak harta dengan mencuri, merampok dan tipudaya muslihat. Merusak agama dengan saling mengafirkan dan berbuat bid’ah. Merusak nasab dengan rutin berbuat zina, liwath serta qadzaf (menuduh zina padahal tidak). Merusak akal dengan minum-minuman yang memabukkan. Semua hal itu merupakan bagian daripada menjaga lima hal pokok, yaitu menjaga jiwa, harta, nasab, agama dan akal.

Masih tentang al-Razi, ia menafsirkan lafal ba’da islahiha, dengan Allah swt telah membuat bumi ini baik dengan mengutus nabi, menurunkan kitab dan menurunkan syariat sebagai pedoman hidup umat manusia. Maka, kalian wahai manusia jangan merusaknya.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Dasar Pendekatan Saintifik dalam Pendidikan Islam

Tidak jauh berbeda, Al-Syaukani misalnya, dalam Fathul Qadir ia lebih menafsirkan ayat di atas dengan penafsiran filosofis yakni jangan merusak bumi karena ia merupakan bagian dari perwujudan Tuhan. Merusak bumi atau bagian-bagiannya baik skala kecil maupun besar sama halnya merusak Allah swt.

Penafsiran yang lain datang dari Ibnu Athiyyah dalam al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz, ia mengecam seseorang yang berbuat kerusakan di muka bumi baik sedikit maupun banyak, disengaja atau tidak, sebab itu sama halnya merusak kehidupan seluruh umat manusia, bumi dan alam semesta isinya, serta membuat Allah swt murka. Al-Dhahhak berkata, “janganlah kalian mencemari air atau menyumbat sumber mata air, dan jangan pula menebang pohon termasuk buahnya kecuali dalam keadaan darurat, janganlah kalian lakukan hal tersebut hanya demi mendatangkan dinar dan dirham, sebab dapat membuat bumi rusak.”

Pentingnya pendidikan ekologi bagi peserta didik

Ayat di atas menyiratkan pentingnya pendidikan ekologi bagi peserta didik. Islam merupakan agama yang sangat menaruh perhatian besar dalam pelestarian alam lingkungan. Oleh karenanya, Islam mengatur bagaimana hubungan manusia dengan alam sekitar. Tanpa menjaga alam, mustahil manusia mampu hidup nyaman dan aman.

Istilah ekologi jika merujuk pada KBBI adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan kondisi lingkungan alam sekitar. Dalam bahasa Arab, istilah ekologi atau lingkungan hidup disebut bi’ah atau fiqhul bi’ah. Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya, Ri’ayah al-Bi’ah fi Syariah al-Islam menjelaskan bahwa Islam melalui fikihnya sangat menaruh perhatian besar terhadap lingkungan hidup.

Hal tersebut tercermin dari literatur fiqih klasik, misalnya pembahasan bersuci (thaharah), menghidupkan lingkungan hidup (ihya al-mawat), pemanfaatan lahan baik untuk perkebunan atau persawahan (al-musaqah, al-muzara’rah, dsb). Itu semua bukti bahwa Islam mengajarkan untuk menjaga lingkungan alam sekitar, agar alam pun bersahabat kepada kita.

Maka tak heran jika dalam filosofi Jawa mengatakan alam kuwi dulur tuomu, ojo dirusak, yen dirusak rasakne dewe (alam adalah saudara tua kita, jangan dirusak, kalau dirusak rasakan sendiri akibatnya). Jauh sebelum manusia ada, alam sudah ada. Kitalah yang harus menjaga alam, bukan sebaliknya menuntut alam menjaga kita.

Baca juga: Reformasi Lingkungan Perspektif Yusuf al-Qaradhawi: Membentuk Manusia Ber-mindset Eko-Teologis

Maka jangan heran dan menyalahkan alam, jika daerah yang seharusnya menjadi resapan air berubah jadi lahan perumahan, perindustrian, pertambangan, lalu kemudian terjadi banjir. Itu adalah kodrat air yang pada dasarnya mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah.

Berkaitan hal ini, dikenal tujuh gatra dalam literatur Jawa yaitu: (1) Hamemayu Hanyuning Tirto (air); (2) Hamemayu Hayuning Wono (hutan); (3) Hamemayu Hayuning Samodro (samudera); (4)  Hamemayu Hayuning Howo (udara); (5) Hamemayu Hayuning Bantolo (tanah); (6) Hamemayu Hayuning Budoyo (budaya); dan (7) Hamemayu Hayuning Manungso (manusia). Atau dalam bahasa Islam dikenal maqasidus syariah, yaitu menjaga jiwa (hifz an-nafs), agama (hifz ad-din), akal (hifz al-‘aql), nasab (hifz an-nasb) dan harta (hifz al-mal).

Oleh karenanya, bagi para pendidik dan para orang tua mari bersama-sama membudayakan pendidikan ekologi dalam setiap jengkal proses pembelajaran. Peserta didik harus sedini mungkin ditanamkan cinta dan peduli akan lingkungannya dan cinta akan kebaikan. Misalnya dengan cara tidak membuang sampah sembarangan, menanam tanaman di lingkungan sekitar, dan lain sebagainya. Dengan demikian, secara tidak langsung mereka telah mengamalkan kandungan ayat di atas. Wallahu a’lam.

Disimpan British Library, Beginilah Potret Empat Al-Qur’an Kuno dari Jawa

0
Empat Al-Qur’an Kuno dari Jawa di British Library
Empat Al-Qur’an Kuno dari Jawa di British Library

Koleksi Al-Qur’an kuno Nusantara tercecer di berbagai belahan dunia. Selain di wilayah Asia Tenggara, Al-Qur’an kuno juga disimpan di benua Australia, Eropa, hingga Amerika. Di British Library (Perpustakaan Britania Raya) misalnya. Di sana terdapat delapan Al-Qur’an kuno Nusantara yang terdiri dari satu mushaf dari Patani/Kelantan, tiga mushaf dari Aceh, dan empat mushaf dari Jawa. Dari delapan mushaf itu, kita akan melihat potret empat Al-Qur’an kuno dari Jawa.

Dalam sejarahnya, naskah Al-Qur’an kuno jarang dikoleksi oleh peminat manuskrip di negeri Barat. Menurut Kepala Koleksi Asia Tenggara di British Library Annabel The Gallop, sejak abad ke-17 para sarjana Barat hanya terfokus pada naskah-naskah sastra dan sejarah. Maka tak heran jika sebelum tahun 1995 hanya ada empat buah mushaf Nusantara di seluruh Inggris raya. Tentu jumlah ini hanya sedikit jika dibandingkan dengan naskah lainnya yang mencapai ratusan naskah (tahun 2014 dilansir dari liputan6 menyebut ada 500 manuskrip Indonesia di British Library, di sini link tersebut.)

Baca juga: Doa Nabi Ayyub as dalam Al-Quran untuk Kesembuhan Penyakit

Singkat cerita, pada tahun 1996 koleksi mushaf kuno Nusantara di British Library bertambah dan mencapai delapan buah. Pertama mushaf dari jawa dengan kode Add 12312. Kedua mushaf dari jawa dengan kode Add 12343. Ketiga mushaf dari Patani atau Kelantan dengan kode Or 15227. Keempat mushaf dari Aceh dengan kode Or 15406. Kelima mushaf dari Madura (disebut termasuk Jawa) dengan kode Or 15877. Keenam mushaf dari Aceh dengan kode Or 16034. Ketujuh mushaf dari Jawa dengan kode Or 16877. Terakhir mushaf dari Aceh dengan kode Or 16915.

Seperti yang di awal sampaikan, kita akan melihat potret empat mushaf kuno dari Jawa.

  1. Mushaf Jawa Add 12312

    Digitised Manuskrip (Add MS 12312)

Mushaf pertama ini berukuran 30 x 21 cm dengan bahan dluwang. Kondisinya masih bagus dan tiap halaman terdiri dari 17 baris. Adapun total halamannya mencapai 400 halaman. Mushaf Jawa ini dibeli dari John Crawfud, seorang dokter berkebangsaan Inggris pada tahun 1842. Tercatat, Crawfud pernah tinggal di Melayu-Jawa dan pernah menulis buku berjudul “History of the East Indian Archipelago”.

Mushaf ini terlihat sederhana namun ditulis dengan dua tinta, yakni hitam dan merah. Tinta hitam untuk ayat-ayat biasa, sedangkan tinta merah untuk nama surat. Di awal surat juga terdapat iluminasi yang unik, karena hanya menampilkan setengah lingkaran dan dedauanan belaka (seperti di gambar). Sayangnya kolofon mushaf ini hanya singkat, yakni menyebutkan harinya saja tanpa disebutkan penulis, tarikh, dan daerah penulisannya. Namun British Library mencantumkan kisaran waktu yakni abad ke-18 sampai awal abad 19.

  1. Mushaf Jawa Add 12343

    Digitised Manuscripts (Add MS 12343)

Mushaf ini hampir sama dengan mushaf sebelumnya, terlebih dari jumlah halaman, bahan yang digunakan dan tinta yang digunakan. Mushaf ini juga didapatkan dari John Crawfud. Selain itu, terdapat keunikan berkaitan dengan kolofon.  Mushaf ini justru memiliki keterangan di awal, bukan di akhir mushaf sebagaimana lazimnya. Kolofon itu berbunyi “punika syerat nipun abdi dalem paulu sila”, mungkin saja maknanya “(Al-Qur’an ini) tulisan seorang abdi dalem penghulu sila”.  Mushaf ini juga dikisarkan pada abad ke-18 hingga awal 19.

Baca juga: Annabel Gallop, Pakar Mushaf Kuno Nusantara dari Inggris

  1. Mushaf Madura Or 15877

    Digitised Manuscripts (Or 15877)

Mushaf ini berdimensi 295 x 195 mm dan bejumlah 594 halaman. Ditulis di atas dluwang, tapi memiliki iluminasi yang meriah. Mushaf ini didapatkan dari balai lelang Christie’s South Kensington pada tahun 2001. Pelelangan ini juga pernah menjual mushaf dari Bone Sulawesi Selatan yang kini disimpan di Museum Aga Khan Kanada.

Di awal halaman mushaf kuno dari Madura ini terdapat iluminasi yang megah dengan warna hijau merah dan kuning. Iluminasi itu mencantumkan keterangan bertuliskan “Pangeran Pakuningrat Keraton 1793 Sumeneb” dengan tulisan Arab pegon. Selain itu, ada juga kolofon yang menghimpun banyak informasi. Saya mencoba membaca namun masih banyak sekali kekurangan, begitu juga dengan guru besar Filologi UI Titik Pujiastuti. Ia mencoba membaca dan menerjemahkan sebagai berikut.

“kala tahun ja.s.ra.nga wulan eni tanggal? 22 dinten soma panca wala kumala, ‘ pada tahun? jasranga bulan eni, pada? 22, pada hari Senin, [wuku] panca wala kumala ‘, dengan nama’ Abd al-Latif, ing dusun Larangan kampung Puri wastanipun maù.rh makarim kala tahun ja. s.ra.nga, ‘di dusun Larangan, di desa bernama Puri..”

Dari pemaparan di atas, nampaknya perlu dibedah lebih lanjut. Pasalnya Annabel Gallop justru menyebut iluminasi yang terdapat di mushaf ini baru dibubuhkan sebelum dijual di pasar pelelangan. Beberapa indikasi yang mengarah ke asumsi tersebut berkaitan dengan kaligrafi yang digores dan warna yang masih mencolok. Memang, penulisan “Pangeran Pakuningrat Keraton 1793 Sumeneb” itu terlihat rapi dan ditulis dengan khat tsulus serta naskhi. Mushaf ini menurut British Library ditulis pada abad ke-19 namun dibubuhi iluminasi pada akhir abad 20.

Terkait analisa penambahan iluminasi itu, silahkan buka artikel Annabel Gallop berjudul Fakes or fancies? Some ‘problematic’ Islamic manuscripts from Southeast Asia”.

  1. Mushaf Jawa Or 16877

    Digitised Manuscripts ( Or 16877)

Mushaf ini berdimensi 320 x 20 mm, dan memiliki 644 halaman. Mushaf ini ditulis di atas kertas Belanda yang digunakan pada kisaran tahun 1852-1860. Mushaf ini didapatkan dari peneliti naskah Melayu berkebangsaan Inggris, Russell Jones pada tahun 2012. Namun dalam catatannya, Jones mencantumkan tarikh saat mendapatkan naskah ini, tepatnya pada tahun 1971 di Yogyakarta. Sementara di bagian belakang mushaf, terdapat kolofon yang menyebut bahwa mushaf ini merupakan waqaf dari Encik Musa bin Yahya untuk Masjid Sunan Giri.

Baca juga: Hukum Membuka Lembaran Al-Quran dengan Ludah, Berikut Penjelasan Para Ulama

Terkait gaya penulisan, mushaf ini justru yang paling sederhana di antara lainnya dan tidak ada iluminasi apapun. Nampaknya, juru tulisnya juga bukan dari kalangan kaligrafer, sehingga tulisannya pun tidak rapi. Adapun tinta yang digunakan hampir sama dengan mushaf sebelumnya, yakni hitam dan merah.

Sebagai tambahan keterangan, empat mushaf yang disampaikan tadi ternyata menggunakan rasm imla’i, bukan usmani. Kesimpulan sederhana ini dilihat dari penulisan lafadz maaliki yang mencantumkan huruf alif. Padahal dalam konsep rasm usmani, kalimat itu berlaku kaidah pembuangan alif. Biasanya diganti dengan fathah berdiri untuk tetap menunjukkan bacaan yang panjang.

Demikian, uraian singkat terkait Al-Qur’an kuno di Jawa yang tersimpan di British Library. Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam bi al-shawab[]

5 Hal yang Penting Diketahui tentang Bacaan Amin setelah Surah Al-Fatihah

0
Bacaan Amin
Bacaan Amin

Bacaan amin lekat dengan Surah Al-Fatihah. Meski amin bukan bagian dari Surah Al-Fatihah, amin merupakan salah satu bacaan yang disunnahkan dibaca sebagai tanggapan atas kandungan Surah Al-Fatihah. Memang, setiap muslim hampir setiap hari tidak lepas dari bacaan amin, tapi jarang ada yang mengenal informasi tentang bacaan ini. Mulai dari ragam cara bacanya, maknanya, serta hukum fikih yang berkaitan dengannya. Tulisan ini akan mengulas 5 hal penting untuk diketahui tentang bacaan amin.

  1. Tanggapan atas ayat Al-Quran yang diajarkan langsung oleh Nabi

Salah satu hal yang sunnah dilakukan tatkala membaca Al-Quran adalah memberi tanggapan atas ayat yang sedang dibaca. Apabila ayat tersebut berisi adzab, maka memberi tanggapan dengan meminta perlindungan. Apabila berbicara tentang dosa, maka memberi tanggapan dengan memohon ampunan, dan lain sebagainya. Termasuk dari tanggapan atas ayat Al-Quran adalah bacaan amin (At-Tibyan/91).

Namun, berbeda dengan tanggapan lain yang bisa berupa bacaan yang dikarang oleh pembacanya, amin merupakan tanggapan yang diajarkan langsung oleh Nabi Muhammad. Amin termasuk sunnah dibaca usai Al-Fatihah berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Wa`il ibn Hujr:

قَالَ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ ، فَقَالَ : آمِينَ ، مَدَّ بِهَا صَوْتَهُ

Berkata Wa`il ibn Hujr: “Aku mendengar Nabi membaca ghairil maghdubi ‘alaihim waladhdhaalliin dan membaca aamiin dengan memanjangkan suara beliau” (HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Baca juga: Bacaan Al-Qur’an Untuk Menghilangkan Khayalan Yang berlebihan

  1. 4 ragam cara baca amin

Imam An-Nawawi di dalam At-Tibyan mendokumentasikan 4 ragam cara baca amin sebagai berikut:

  1. آمِينَ (aamiin) dengan memanjangkan alif dan tanpa mentasydid mim.
  2. اَمِينَ (amiin) dengan tanpa memanjangkan alif dan tanpa mentasydid mim. Dua cara ini adalah yang mashur dipakai.
  3. آمِينَ (aameen) dengan memanjangkan alif, tanpa mentasydid mim, dan membaca imalah. Cara baca ini adalah satu cara baca yang diriwayatkan Imam Al-Wahidi dari Imam Hamzah dan Al-Kisa’i.

Baca juga: Menelisik Makna Hukman wa ‘Ilman, Sepasang Diksi dalam Al-Quran

  1. آمِّينَ (aammiin) dengan memanjangkan alif dan mentasydid mim. Cara baca keempat ini diriwayatkan Imam Al-Wahidi dari Al-Hasan dan Al-Husain ibn Al-Fadl. Hanya saja, menurut Imam An-Nawawi, cara ini termasuk tidak dikenal dan tergolong dari kesalahan yang dilakukan kebanyakan orang awam. Bahkan beberapa ulama menyatakan bahwa orang yang mempraktikkan cara baca ini di dalam salat, salatnya menjadi batal (At-Tibyan/134).

Baca juga: Bacaan Ayat Al-Quran Agar Hubungan Suami Istri Harmonis

  1. Makna amin

Imam An-Nawawi di dalam At-Tibyan mendokumentasikan bahwa ada 11 lebih perbedaan di antara para ulama di dalam memaknai amin. Sedang Ibn Katsir di dalam tafsirnya menyatakan, kebanyakan ulama menyatakan bahwa makna amin adalah:

اللهم استجب لنا

Ya Allah, kabulkanlah permintaan kami (Tafsir Ibn Katsir/1/145).

  1. Anjuran membaca amin secara bersamaan antara imam dan makmum di dalam salat

Tidak seperti tanggapan atas ayat Al-Quran lainnya, amin mempunyai cara khusus dalam mempraktikkannya di dalam salat. Yaitu tatkala imam selesai membaca Al-Fatihah dan memberi jeda sebentar, disunnahkan bagi imam dan makmum untuk membaca amin secara bersamaan. Kesunnahan ini berdasarkan beberapa hadis sahih yang salah satunya diriwayatkan Abi Hurairah bahwa Nabi Muhammad bersabda:

« إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »

Ketika imam membaca amin, maka bacalah amin! Sesungguhnya siapa yang yang amin malaikat menyertai aminnya, maka dosa-dosa yang telah dilakukan orang tersebut akan diampuni (HR. Bukhari dan Muslim).

  1. Bacaan amin hanya ada di masa Nabi Muhammad

Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya menyatakan, bacaan amin tidak ada sebelum diutusnya Nabi Muhammad, kecuali di masa Nabi Musa dan Harun. Beberapa riwayat juga menyatakan, kaum ahli kitab tidak pernah merasa iri kepada umat muslim melebihi rasa iri terhadap keberadaan amin dan salam di antara mereka (Tafsir Jamiul Ahkam/1/169).

Demikianlah 5 hal penting terkait bacaan amin usai Al-Fatihah. Sebenarnya masih banyak lagi permasalah penting tentang amin yang pernah diulas oleh para ulama. Terutama dalam masalah fikih. Namun, penulis hanya ingin menyuguhkan wawasan bacaan amin secara singkat. Wallahu a’lam bisshawab.