Beranda blog Halaman 399

Tafsir Surat Al A’raf ayat 95-96

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Setelah bercerita tentang kaum Madyan dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 95-96 ini mengingatkan kembali bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang mendustai para Nabi, namun ketika orang tersebut bertobat dan memohon ampunan kepada Allah maka Allah akan memaafkan dan akan membalas dengan nikmat yang tak terkira. Akan tetapi dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 95-96, khususnya di ayat 96 ini disinggung Nabi-nabi terdahulu yang didustakan oleh kaumnya selain Nabi Syuaib.

Dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 95-96, khususnya dalam ayat 95 menerangkan bahwa siapa saja yang berusaha memperbaiki diri dan berdoa kepada Allah maka Allah akan memberi nikmat dan kelapangan hidup.


Baca Tafsir Sebelumnya: Tafsir Surat Al A’raf ayat 92-94


Ayat 95

Ayat ini menerangkan bahwa setelah mereka ditimpa kesusahan dan kesulitan hidup, dan mereka berusaha memperbaiki dan berdoa  kepada Allah, maka Allah memberikan kepada mereka nikmat dan kelapangan hidup sehingga mereka memperoleh kemakmuran dan harta benda yang cukup. Kemakmuran dan kecukupan harta benda ini memungkinkan mereka mengembangkan keturunan. Harta benda yang cukup dan keturunan yang banyak, adalah merupakan puncak kenikmatan bagi manusia.

Orang-orang yang beriman, jika memperoleh nikmat dari Allah, baik berupa harta benda maupun keturunan, tentu akan bertambah keimanan dan rasa syukurnya, dan akan melakukan kebajikan lebih banyak lagi. Akan tetapi orang-orang yang lemah iman, bila memperoleh kemakmuran dan kenikmatan yang banyak, ia lupa kepada Allah Yang memberikan nikmat tersebut, dan timbullah rasa sombong dan angkuhnya.

Mereka berkata: “Nenek moyang kami dahulu juga pernah merasakan kenikmatan dan kesusahan, demikian pula kami. Kesusahan yang pernah kami alami, dan kebahagiaan yang kami rasakan sekarang adalah sama saja dengan apa yang pernah dialami nenek moyang kami. Kesusahan yang menimpa kami bukanlah akibat dari dosa-dosa yang telah kami perbuat, dan kebahagiaan yang kami peroleh bukanlah hasil dari kebajikan yang kami lakukan. Pengakuan dan sikap ini jelas merupakan kezaliman yang bisa terjadi sepanjang masa.

Demikianlah, kekayaan dan kebahagiaan telah membuat mereka lupa kepada hubungan antara sebab-akibat, serta menyebabkan mereka lupa kepada kekuasaan, keadilan dan kasih sayang Allah. Hal ini disebabkan karena mereka tidak memahami Sunnah Allah yang berlaku di alam ini; mereka tidak memahami faktor-faktor yang menimbulkan kebahagiaan dan kesengsaraannya di bumi ini. Padahal Allah telah memberikan bimbingan dengan firman-Nya:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (ar-Ra’d/13: 11)

Oleh karena itu, keingkaran dan kesombongan mereka, timbul setelah memperoleh kemakmuran. Allah menimpakan kepada mereka azab yang datang secara tiba-tiba, sedang mereka tidak menyadari akan datangnya azab tersebut. Mereka tidak memenuhi Sunnatullah yang berlaku dalam urusan masyarakat, dan akal mereka tidak mampu memikirkan hal itu. Lagi pula mereka tidak mau mengikuti petunjuk dan nasihat serta peringatan rasul kepada mereka. Dalam hubungan ini Allah telah berfirman:

فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهٖ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ اَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍۗ حَتّٰٓى اِذَا فَرِحُوْا بِمَآ اُوْتُوْٓا اَخَذْنٰهُمْ بَغْتَةً فَاِذَا هُمْ مُّبْلِسُوْنَ

“Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa”. (al-An‘am/6: 44);

Sifat orang kafir adalah bila mereka memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan, mereka sombong dan takabur, tidak mensyukuri nikmat Allah. Sebaliknya bila mereka ditimpa musibah, mereka berputus asa dan berkeluh kesah, tidak memikirkan sebab-sebab yang ada pada diri mereka yang menimbulkan musibah itu. Firman Allah :

فَاِذَا مَسَّ الْاِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَانَاۖ  ثُمَّ اِذَا خَوَّلْنٰهُ نِعْمَةً مِّنَّاۙ قَالَ اِنَّمَآ اُوْتِيْتُهٗ عَلٰى عِلْمٍ ۗبَلْ هِيَ فِتْنَةٌ وَّلٰكِنَّ اَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

“Maka apabila manusia ditimpa bencana dia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan nikmat Kami kepadanya dia berkata, “Sesungguhnya aku diberi nikmat ini hanyalah karena kepintaranku.” Sebenarnya, itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (az-Zumar/39: 49);

Kesenangan yang diperoleh sesudah kesusahan yang kemudian disusul dengan azab yang menyengsarakan, tidak hanya dialami oleh kaum Nabi Syu’aib, bahkan umat nabi-nabi sebelumnya, yakni umat Nabi Nuh, Nabi Hud, dan Nabi Tsaleh. Nabi Hud telah memperingatkan kepada umatnya, yaitu kaum ‘Ad, sebagai berikut:

وَاذْكُرُوْٓا اِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاۤءَ مِنْۢ بَعْدِ قَوْمِ نُوْحٍ وَّزَادَكُمْ فِى الْخَلْقِ بَصْۣطَةً ۚفَاذْكُرُوْٓا اٰلَاۤءَ اللّٰهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Ingatlah ketika Dia menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah setelah kaum Nuh, dan Dia lebihkan kamu dalam kekuatan tubuh dan perawakan. Maka ingatlah akan nikmat-nikmat Allah agar kamu beruntung.”(al-A’raf/7: 69);

Selanjutnya Nabi Tsaleh telah memperingatkan pula kepada kaumnya, kaum Tsamud hal semacam itu:

وَاذْكُرُوْٓا اِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاۤءَ مِنْۢ بَعْدِ عَادٍ وَّبَوَّاَكُمْ فِى الْاَرْضِ تَتَّخِذُوْنَ مِنْ سُهُوْلِهَا قُصُوْرًا وَّتَنْحِتُوْنَ الْجِبَالَ بُيُوْتًا ۚفَاذْكُرُوْٓا اٰلَاۤءَ اللّٰهِ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ  ;

“Dan ingatlah ketika Dia menjadikan kamu khalifah-khalifah setelah kaum ‘Ad, dan menempatkan kamu di bumi. Di tempat yang datar kamu dirikan istana-istana dan di bukit-bukit kamu pahat menjadi rumah-rumah. Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi”. (al-A‘raf/7: 74)

Generasi yang hidup sekarang ini hendaklah betul-betul menyadari, agar  jangan mengalami nasib merana seperti yang dialami umat-umat terdahulu, karena keingkaran dan kesombongan mereka kepada Allah. Apabila umat sekarang ini dikarunia Allah nasib yang lebih baik, berupa kestabilan ekonomi dan kehidupan sosial, ilmu pengetahuan dan sebagainya, janganlah mereka lupa diri dan berbuat maksiat di bumi.

Hendaklah semua nikmat yang dilimpahkan Allah disyukuri dan dimanfaatkan menurut cara yang diridai-Nya dan dijauhkan dari segala macam kemaksiatan. Semoga Allah selalu menambah karunia dan nikmat-Nya kepada semua orang yang bersyukur.

Ayat 96

Dalam ayat ini diterangkan bahwa seandainya penduduk kota Mekah dan negeri-negeri yang berada di sekitarnya serta umat manusia seluruhnya, beriman kepada agama yang dibawa oleh nabi dan rasul terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw dan seandainya mereka bertakwa kepada Allah sehingga mereka menjauhkan diri dari segala yang dilarangnya, seperti kemusyrikan dan berbuat kerusakan di bumi, niscaya Allah akan melimpahkan kepada mereka kebaikan yang banyak, baik dari langit maupun dari bumi.

Nikmat yang datang dari langit, misalnya hujan yang menyirami dan menyuburkan bumi, sehingga tumbuhlah tanam-tanaman dan berkembang-biaklah hewan ternak yang kesemuanya sangat diperlukan oleh manusia. Di samping itu, mereka akan memperoleh ilmu pengetahuan yang banyak, serta kemampuan untuk memahami Sunnatullah yang berlaku di alam ini, sehingga mereka mampu menghubungkan antara sebab dan akibat. Dengan demikian mereka akan dapat membina kehidupan yang baik, serta menghindarkan malapetaka yang biasa menimpa umat yang ingkar kepada Alllah dan tidak mensyukuri nikmat dan karunia-Nya.

Apabila penduduk Mekah dan sekitarnya tidak beriman, mendustakan Rasul dan menolak agama yang dibawanya, kemusyrikan dan kemaksiatan yang mereka lakukan, maka Allah menimpakan siksa kepada mereka, walaupun siksa itu tidak sama dengan siksa yang telah ditimpakan kepada umat yang dahulu yang bersifat memusnahkan. Kepastian azab tersebut adalah sesuai dengan Sunnatullah yang telah ditetapkannya dan tak dapat diubah oleh siapa pun juga, selain Allah.


Baca Juga: Benarkah Musibah adalah Adzab dari Allah? Gus Baha: Bukan Hak Kita Menjudge!


Menelisik Pengertian, Sejarah dan Macam-Macam Qira’at

0
Pengertian, Sejarah dan Macam-Macam Qira'at
Pengertian, Sejarah dan Macam-Macam Qira'at

Dalam kajian ulumul Qur’an, ada salah satu konsep dan cabang ilmu yang perlu dibahas agar makna al-Quran bisa dipahami dengan tepat dan benar adalah ilmu Qira’at. Oleh karena itu dengan artikel sederhana ini penulis mencoba membahas mengenai pengertian, sejarah Qira’at, kualifikasi standar Qira’at dan macam-macam qira’at.

Pengertian Qira’at

Secara etimologis qira’at merupakan bentuk jama’ dari qiraah dan juga merupakan masdar dari qara-a yaqra-u qiraatan, menurut ar-Raghib dalam kitabnya Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an yang berarti dham al-huruf wa al-kalimat ba’dhihaa ila ba’dhin fi at-tartil (mengabungkan antara huruf dan kalimat satu sama lain dalam bacaan).

Dalam KBBI qiraah berarti bacaan atau membaca. Sedangkan secara terminologis  yang dimaksud qiraah adalah cara membaca al-Qur’an oleh seoranng imam ahli qiraah berbeda dengan cara baca imam yang lain. az-Zarqani dalam kitabnya Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an mendefinisikan qiraah sebagai berikut :

مذهب يدهب إليه إمام من أئمة القراء مخالفا به غيره في النطق بالقرالكريم مع اتفاق الروايات والطرق عنه سواء أكنت هذه المخالفة في النطق الحروف أم في نطق هيئاتها

“suatu cara membaca al-Qur’an al-Karim dari seoramg  Imam ahli qiraah yang berbeda dalam cara membaca dengan cara membaca imam yang lainnya, sekalipun riwayat dan jalur periwatannya sama, baik perbedaan itu dalam pengucapan hurf ataupun bentuknya.”

Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 60-61: Perintah Menaati Allah dan Mendurhakai Setan

Ash-Shabuni menambahkan dalam definisinya tentang qiraah dengan menyebutkan bahwa cara baca al-Qur’an itu harus mempunyai sanad yang sampai Rasulullah SAW.

مذهب من مذاهب النطق في القران يذهب به إمام من الأئمة القراء مذهبا يخالف غيره في النطق بالقرأن الكريم وهي ثابتة بأسانيد إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Cara membaca al-Qur’an dari seorang Imam ahli qiraah yang berbeda dengan cara membaca Imam yang lainnya berdasarkan sanad yang menyambung sampai kepada Rasulullah Saw.”

Dilihat dari kedua definisi di atas bahwa pengertian qiraah disini tidak sama seperti pengertian qiraah dalam percakapan sehari-hari yang sepadam dengan tilawah yaitu hanya sekedar dalam pengertian membaca atau bacaan. Atau dalam artian membaca al-Qur’an dengan irama atau lagu tertentu. Tapi yang dimaksud qiraah dalam kajian ulumul Qur’an adalah satu cara membaca al-Qur’an dengan madzhab yang dipilih oleh ahli qira’at dengan sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.

Baca juga: Apakah Sebenarnya Makna Jihad Menurut al-Quran? Begini Penjelasannya.

Sejarah singkat Qira’at

Meluasnya wilayah Islam dan menyebarnya para sahabat dan tabi’in mengajarkan al-Qur’an di berbagai kota menyebabkan timbulnya berbagai qira’at. Perbedaan pembacaan antara satu qira’at dengan lainnya bertambah besar pula sehingga sebagian riwayatnya tidak bisa lagi dipertanggungjawabkan.

Sehingga para ulama menulis qiraah-qiraah ini dan sebagaiannya menjadi masyhur, sehingga lahirlah istillah qiraah tujuh, qiraah sepuluh, dan qiraah empat belas. Adapun imam dan ahli qiraah yang di percaya dan diikuti kebanyakan orang.

As-Suyuthi dalam kitaabnya al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an, menjelaskan bahwa imam dan ahli qiraah itu tersebar kesemua penjuru pusat Islam, Mereka antara lain adalah

  • Di madinah : Abu ja’far yazid ibn al-Qa’qa’, Syaibah ibn Nafshah, dan Nafi’ ibn adirrahman.
  • Di makkah : Abdulllah ibn Katsir dan Humaid ibn Qais al-A;raj
  • Di kuffah : Yahya ibn watsab, ‘Ashim ibn abi an-Nujud
  • Di bashrah : Abdullah ibn abi Ishaq, ‘Isa ibn ‘aru
  • Di syam : Abdullah ibn ‘Amir, Athiyyah ibn qais al-Kilabi

Dan jibril membaca al-Qur’an kepada Nabi tidak hanya dalam satu logat atau lahjah saja yaitu logat Quraisy, akan tetapi juga dalam beberapa lahjah. Sebagaimana yang terlihat dalam kisah perbedaan bacaan antara Umar ibn Khathab dan Hisyam ibn Hakim.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28: Manfaat Ibadah Haji dalam Segi Sosial dan Ekonomi

Diriwayatkan    bahwa    ‘Umar    ibn    Khathâb    berkata:    Aku    mendengar Hisyâm ibn Hâkim membaca Surat Al-Furqân di masa hidup  Rasulullah  SAW.  Aku  perhatikan  bacaannya.  Tiba-tiba  ia  membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah  kepadaku,  sehingga  hampir  saja  aku  melabraknya  di  saat  ia  shalat,  tetapi  aku  berusaha  sabar  menunggunya  sampai  salam.

Begitu  salam  aku  tarik  sorbannya  dan  bertanya:  “Siapakah  yang  membacakan  (mengajarkan  bacaan)  surat  itu  kepadamu?”  Ia menjawab: “Rasulullah yang membacakannya kepadaku”. Lalu aku katakan kepadanya: “Dusta kau. Demi Allah, Rasulullah telah membacakan  juga  kepadaku  surat  yang  aku  dengar  tadi  engkau  membacanya (tapi tidak seperti bacaanmu).”

Kemudian aku bawa dia  menghadap  Rasulullah  dan  aku  ceritakan  kepadanya  bahwa  aku telah mendengar orang ini membaca Surat Al-Furqân dengan huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan Surat Al-Furqân kepadaku. Maka Rasulullah  berkata:  “Lepaskanlah  dia  wahai  ‘Umar.  Bacalah  Surat  tadi, wahai Hisyâm.” Hisyâm pun kemudian membacanya dengan bacaan  seperti  kudengar  tadi.  Maka  kata  Rasulullah:  “Begitulah  surat  itu  diturunkan.”  Ia  berkata  lagi:  “Bacalah  wahai  ‘Umar.”  Lalu   aku   membacanya   dengan   bacaan   sebagaimana   diajarkan   Rasulullah kepadaku. Maka kata Rasulullah SAW: “Begitulah surat itu  diturunkan.”  Dan  katanya  lagi:  “Sesungguhnya  Qur’an  itu  diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah  bagimu  di  antaranya”  (H.R.  Bukhâri  dan  Muslim  teksnya  dari Bukhâri

Kualifikasi Standar Qira’at.

Dengan adanya penyelewengan dalam qiraah. Maka para ulama membuat sejumlah syarat qiraat yang baku dan dapat diterima. Untuk membedakan antara qiraah yang benar dan yang salah, apara ulama telah menetapkan tiga syarat bagi qiraah yang benar.

Pertama, sesuai dengan bahasa Arab meskipun melalui salah satu cara atau segi (Nahwu). Kedua, sesuai dengan salah satu msuhaf-mushaf ‘Utsmani sekalipun secara potensial. Ketiga, keshahihan sanadnya dari periwayatan imam tujuh dan sepuluh, maupun dari imam-imam qiraah lainnya.

Setiap qira’at yang tidak sesuai dan tidak memenuhi syarat diatas di anggap qiraah yang tidak benar dan ditolak dan biasanya disebut dengan qiraah yang lemah sekalipun qiraah itu diriwayatkan oleh Imam tujuh. Ketika suatu qira’at yang sesuai dengan syarat diatas maka dianggap benar dan tidak tertolak, meskipun bukan dari golongan Imam tujuh.

Baca juga: Kajian Semantik Kata Membaca dan Konteksnya dalam Al-Quran

Macam-Macam Qira’at

Menurut Manna al-Qaththan dalam kitabnya Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, qiraah dilihat segi kualitas sanadnya, qirâât dapat dibagi menjadi qiraat mutawatirah,  masyhurah,  ahad,  syadzah,  maudhu’ah  dan  mudrajah. Sedangkan dari segi kuantias qiraat nya dapat dibagi menjadi qiraat sab’ah,  ‘asyarah  dan  arba’ata  ‘asyarah.  Di  bawah  ini  akan  diuraikan  secara ringkas macam-macam qiraat tersebut.

Qira’at mutawatirah adalah qiraat yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi pada setiao tingkata sanad yang mustahil untuk berdusta. Qira’at Masyhurah adalah sanadnya shahih tetapi tidak sampai derajat mutawatir. Qira’at Ahad adalah qiraat yang menyalahi msuhaf Ustmani dan kaidah bahasa arab. Qira’at Syadzah adalah  yang sanadnya tidak shahih. Qira’at Maudhu’ah adalah yang riwayatnya palsu. Sedangkan Qira’at Mudrajah adalah qiraah yang di tambahkan kedalam qiraah sebagai bentuk penafsiran. Wallahu a’lam []

Tafsir Surah Yasin Ayat 60-61: Perintah Menaati Allah dan Mendurhakai Setan

0
Surah Yasin ayat 60-61
Surah Yasin ayat 60-61

Dalam Tafsir surah Yasin ayat 58-59 telah dijelaskan mengenai ucapan salam untuk para penghuni surga serta hardik kepada penghuni neraka agar menjauh dari orang-orang mukmin yang telah mendapatkan nikmat dengan damai di surga. Adapun dalam artikel kali ini akan berbicara perihal sebab munculnya penghardikan tersebut.

Tentunya hardik tersebut merupakan kehendak Allah untuk segera memisahkan antara orang-orang yang beriman kepada Allah Swt ketika di dunia dan orang-orang yang ingkar. Hardik itupun merupakan bentuk siksa Allah akibat keingkaran mereka kepada utusan Allah ketika di dunia. Untuk lebih jelasnya mari kita simak lebih dulu redaksi lengkap surah Yasin ayat 60-61 berikut:

اَلَمْ اَعْهَدْ اِلَيْكُمْ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ اَنْ لَّا تَعْبُدُوا الشَّيْطٰنَۚ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

وَاَنِ اعْبُدُوْنِيْ ۗهٰذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيْمٌ

“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu,”

“dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.”

Berkenaan dengan terjemah versi Kemenag pada surah Yasin ayat 60-61 di atas, kata a’had (اَعْهَدْ) di terjemahkan dengan ‘aku memerintahkan’. Selain makna ini, beberapa mufasir berbeda-beda dalam mengemukakan penafsirannya. Misalnya penafsiran yang dilakukan oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, atau yang masyhur di sebut dengan Tafsir Thabari.

Baca Juga: Mengenal Jami’ al-Bayan, Pelopor Tafsir Al-Quran Dalam Islam Karya Ibnu Jarir At-Thabari

Dalam karyanya tersebut, al-Thabari menafsirkan kata a’had (اَعْهَدْ)  dengan kata ‘ushi (أوص) dan kata amur (أمر). Masing-masing kata tersebut bermakna aku mewasiatkan dan aku memerintahkan. Jika melihat dari kedua kata tersebut, Kemenag memilih menggunakan kata amur (أمر) untuk menafsirkan kata a’had (اَعْهَدْ) . Hal ini berbeda dengan makna yang digunakan oleh Quraish Shihab.

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah lebih memilih untuk menafsirkan kata a’had (اَعْهَدْ) dengan kata ‘ushi (أوص), yaitu “aku wasiatkan”. Secara bahasa kata a’had yang berasal dari kata ‘ahd (عهد) memang sinonim dengan kata washiyah (وصية). Hal ini sebagaimana tertera dalam kamus al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir li al-Rafi’i karya al-Fayyumi.

Adapun ulama lain yang menafsirkan kata a’had (اَعْهَدْ) dengan kata ‘ushi (أوص) atau amur (أمر) adalah Ibnu Katsir, al-Zamahksyari, Al-Shabuni, dan al-Bantani. Berbeda dengan pendapat dari Jalauddin al-Syuthi dalam al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur.

Dalam karyanya ini, al-Suyuti mengemukakan penafsiran terhadap kata a’had (اَعْهَدْ) dengan mengutip riwayat dari Abi Hatim. Abi Hatim mengatakan bahwa kata a’had (اَعْهَدْ) tersebut bermakna anha (أُنه) yang berarti aku melarang. Sedangkan gurunya, yaitu Jaluddin al-Mahalli dalam Tafsir al-Jalalain lebih memilih kata amur (أمر)  untuk menafsirkan kata a’had (اَعْهَدْ).

Dari perbedaan penafsiran antar para ulama di atas, hal yang bisa kita ambil kesimpulan kurang lebih begini; bukankah Allah telah mewasiatkan, memerintahkan serta mencegah melalui perantara RasulNya agar manusia tidak menyembah setan? Setan merupakan musuh yang nyata.

Kalimat dalam surah Yasin ayat 60 ini berbentuk istifham, yakni kalimat tanya. Namun pertanyaan di sini maknanya bukanlah untuk bertanya karena tidak tahu atau ingin mencari tahu, tapi dalam rangkan mencela dan mengecam. Sebagaimana telah disebut di atas bahwa Allah menghardik ahli neraka agar menjauh dari ahli surga. Hardikan ini akibat prilaku mereka ketika di dunia dengan menyembah setan.

Ungkapan ‘menyembah setan’ dalam konteks ini tidaklah sama dengan menyembah kepada Allah Swt. Berdasarkan riwayat dari Ibn Mudzir, al-Suyuti dalam al-Dur al-Mantsur menyatakan bahwa yang dimaksud dengan menyembah setan adalah mengikuti ajakan setan dengan mematuhi segala macam bisikan-bisikannya. Padahal jelas-jelas setan merupakan musuh yang nyata bagi manusia.

Al-Thabari menambahkan bahwa setan secara terang-terangan mendeklarasikan permusuhan terhadap manusia. Misalnya ketika ia menolak sujud kepada Nabi Adam As lalu dengan itu ia dilaknat dan menghasud Nabi Adam dan Siti Hawa sehingga keduanya dikeluarkan dari surga. Hal ini terungkap dalam surah al-A’raf ayat 16 berikut:

قَالَ فَبِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْمَۙ

ثُمَّ لَاٰتِيَنَّهُمْ مِّنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ اَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَاۤىِٕلِهِمْۗ وَلَا تَجِدُ اَكْثَرَهُمْ شٰكِرِيْنَ

“(Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus,”

“kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”

Dari ayat ini sudah sangat jelas bahwa setan merupakan musuh yang nyata bagi manusia. Namun kebanyakan manusia lebih memilih mengikuti bisikan setan daripada ajakan dari para utusan Allah Swt. Padahal para utusan itu membawa risalah dari Allah agar manusia menapaki jalan yang benar, sebagaimana diungkapkan secara ekplisit dalam ayat ke 61 dari surah Yasin ini.

Al-Thabari mengungkapkan bahwa surah Yasin ayat 61 ini mengandung arti bahwa; bukankah Allah juga telah mewasiatkan, memerintahkan serta mencegah melalui perantara RasulNya agar kalian menyembahKu karena hanya kepadaKu ketaatan itu pantas diajukan. Itulah jalan yang hak dan sejati. Hal senada juga disampaikan oleh Umar al-Zamakhsyari dalam tafsirnya.

Abu al-Qasim Muhammad bin ‘Umar al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamidh al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil mengatkan bahwa tidak ada jalan yang lebih baik daripada apa yang telah disampaikan oleh para utusan Allah Swt. Karena hanya itulah jalan yang terbaik untuk mencapai pintu keridhaannya.

Baca Juga: Biografi Al-Zamakhsyari: Sang Kreator Kitab Tafsir Al-Kasysyaf

Namun karena kebanyakan manusia lebih memilih menyembah setan akhirnya Allah menghardik mereka agar menjauh dari ahli surga. Mereka layak menempati neraka akibat keingkaran mereka ketika di dunia. Wahbah Zuhaili menutup ayat ini dengan satu pesan yang patut kita renungi bersama.

Dalam al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-manhaj, ia menyatakan bahwa Allah telah menghimbau secara tegas bahwa setan telah berhasil menyesatkan banyak manusia. Bukankan sudah kita ketahui bersama bahwa setan memang benar-benar mendeklarasikan permusuhan dengan kita. Harusnya kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran bahwa hanya Allah Swt yang pantas kita taati segala perintahnya.

Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allah menghendaki manusia menapaki jalan yang hak dan sejati. Semoga kita semua selalu berada dalam lindungannya, dijauhi dari hal-hal yang dapat menjerumuskan kita ke dalam api neraka. Sekian penjelasan singkat tafsir surah yasin ayat 60-61 tentang perintan untuk menaati Allah Swt dan mendurhakai setan. Tunggu artikel menarik selanjutnya. Wallahu A’lam.[]

Mengenal Muhammad Asad, Tokoh Dibalik Lahirnya The Message of the Qur’an

0
Muhammad Asad
Muhammad Asad

Muhammad Asad lahir pada 2 Juli 1900 di Lviv, Austria. Nama Muhammad Asad merupakan nama yang menggantikan nama kecilnya, Leopold Weiss, setelah mengonversi keyakinannya dari Yahudi Ortodoks ke Islam di tahun 1926.

Asad kecil lahir dan dibesarkan dalam keluarga rabi Yahudi Ortodoks dan saintis, sehingga sejak muda ia telah memiliki semangat akademik yang tinggi dan bahkan telah mempelajari ajaran Yahudi secara mendalam. Di usianya yang masih tiga belas tahun, Asad sudah mempelajari Alkitab dan Taragum beserta penafsirannya.

Asad muda digambarkan sebagai pengembara keilmuan yang membebaskan dirinya dari keterikatan apapun. Ia pernah mengenyam pendidikan Filsafat dan Seni di Universitas Wina pada tahun 1921 namun tidak dirampungkannya. Begitu juga dengan studinya di Akademi Geopolitik di tahun 1925 yang terkonsentrasi pada Studi Islam, juga tidak ia rampungkan.

Meskipun sejak belia ia dibesarkan oleh lingkungan keluarga rabi dan bahkan saat muda sudah mempunyai keilmuan setingkat rabi, ia tetap menjalani kehidupan keagamaannya dengan bebas. Ia dikatakan tertarik dengan Taoisme dan bahkan pernah mengalami masa kebosanan akan agama.

Pengembaraannya ke berbagai benua sebagai wartawan, telah membawanya mengunjungi dan tinggal di berbagai negara Timur Tengah sejak 1921. Perjalanannya itu telah memberikannya berbagai pengalaman dan kesan, hingga puncaknya di tahun 1926 ia mengakui Islam sebagai agamanya.

Dalam karyanya, Road to Mecca, ia menguraikan dengan lantang bahwa Islam adalah agama yang memiliki arsitektur sempurna dan setiap elemen di dalamnya berjalan begitu harmonis. Ia juga memperlihatkan pengalaman yang ia rasakan saat melihat perjuangan negara-negara Islam lepas dari zionisme dan penjajahan. Asad juga menuliskan beberapa perjumpaannya dengan beberapa pemuka negara Islam seperti Ibn Saud, Mustafa al-Maraghi dan Muhammad Iqbal. Bersama Iqbal, Asad turut membantu menyusun dasar-dasar kenegaraan Islam di Pakistan dan bahkan menjadi duta Pakistan pertama untuk PBB.

Selain mendapatkan hidayah dan semangat aktivisme yang tinggi, perjalanan Asad ke negeri-negeri Timur Tengah juga memberikan pengaruh bagi keilmuan akademiknya. Saat berada di Saudi Arabia, Asad mempelajari langsung bahasa Arab murni dari suku Badwi.

Hal itu memberikan penambahan yang begitu berharga bagi perbendaharaan bahasa semitik yang ia miliki, setelah sebelumnya ia menguasai bahasa Ibrani dan Aramaik. Atas dasar itulah Asad tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir, diplomat, penikmat seni dan filsafat, namun juga seorang linguis.

Di paruh penghujung usianya, Asad yang telah sampai pada puncak level kemapanan pemikiran (berkat berbagai pengembaraan yang ia lalui), berhasil menyelesaikan sebuah karya Tafsir al-Qur’an lengkap 30 Juz dalam bahasa Inggris dan diberi nama, The Message of the Qur’an.

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi Muhammad Asad menulis karya tafsirnya ini. Pertama, menghadirkan terjemahan al-Qur’an dengan bahasa yang mampu menjaga “semangat” bahasa al-Qur’an dan objektif. Alasan ini ditopang oleh penguasaannya terhadap beberapa bahasa Semitik. Kedua, menjembatani masyarakat Muslim dan non-Muslim (khususnya) pengguna bahasa Inggris yang ingin mengetahui Islam melalui al-Qur’an, khusunya mereka yang tidak kompeten dalam bahasa Arab. Ketiga, menghadirkan tafsir sebagai solusi bagi problema masyarakat. Keempat, menghadirkan terjemahan al-Qur’an yang dapat menginspirasi setiap pembacanya baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim.

Selain kitab tafsir yang menjadi karya di puncak intelektualitasnya, Muhammad Asad juga telah menulis beberapa karya lain sepanjang hidupnya. Karya fenomenal Islam at the Crossroad (Islam di Persimpangan Jalan), Road to Mecca (Perjalanan ke Mekkah), The Principles of the State and Government in Islam (Prinsip-prinsip Negara dan Pemerintahan dalam Islam) menjadi karya-karyanya yang telah mendapatkan perhatian besar dari cendekiawan-cendekiawan seluruh dunia.

Muhammad Asad berpulang ke pangkuan ilahi, di usianya yang ke 92 Tahun di Spanyol. Setelah ia melakoni pengembaraan terakhirnya di Maroko dan Portugal. Asad tidak hanya meninggalkan tinta emasnya namun juga mewariskan semangat intelektualnya pada anaknya Talal Asad, yang menjadi salah satu Antropolog Muslim terkemuka di dunia saat ini.

Apakah Sebenarnya Makna Jihad Menurut al-Quran? Begini Penjelasannya.

0
Makna Jihad Menurut al-Quran
Memahami makna jihad dalam ayat-ayat Alquran

Dewasa ini, kata jihad sangat menarik atensi masyarakat Indonesia. Terlebih di era pandemi Covid-19, teriakan “jihad” sangat keras sekali. Belum lupa ingatan kita akan fenomena suara azan “hayya alal jihad” tempo lalu yang diteriakkan oleh segelintir kelompok. Entah apa yang melatarinya, yang jelas term “jihad” nyaris nyaring bunyinya di bumi pertiwi. Maka dari itu kita butuh penjelasan makna jihad menurut al-Quran sesuai dengan penafsiran yang moderat.

David Cook dalam Understanding Jihad menyampaikan bahwa bagi non muslim, jihad dimaknai sebagai situasi yang tidak terkendali (unpredictable), irasional dan konotasinya perang total. Pendapat Cook ini bukanlah hal baru sebenarnya dalam wacana beberapa non-muslim yang antipati terhadap Islam. Jack Nelson-Pallmeyer misalnya, dalam Is Religion Killing Us? Violence in the Bible And the Quran, Ia menulis

“The problem of Islam and violence is not limited to incompatible texts but is rooted in the overwhelming preponderance of passages in the Qur’an that legitimate violence, warfare, and intolerance. Violence in service to Allah is both justified and mandated by Allah or Muhammad under the sanction of divine threat:”

“Masalah Islam dan kekerasan tidak terbatas pada teks yang tidak cocok tetapi berakar pada banyaknya ayat-ayat dalam Al-Quran yang melegitimasi kekerasan, peperangan, dan intoleransi. Kekerasan dalam melayani Allah dibenarkan dan diamanatkan oleh Allah atau Muhammad di bawah sanksi ancaman ilahi”.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28: Manfaat Ibadah Haji bagi Sosial dan Ekonomi

Lantas, benarkah tudingan Nelson dan Cook bahwa Al-Quran melegitimasi kekerasan, peperangan, penjarahan, pembunuhan, perbudakan, intoleransi, dsb? Sungguh statement yang sangat tendensius. Mari kita simak pembahasan berikut ini bagaimana klarifikasi makna jihad dalam Al-Quran.

Klarifikasi Makna Jihad

Secara literal, jihad berakar dari kata jahada-yujahidu, masdarnya adalah mujahadatan wa jihadan, artinya sungguh-sungguh, berupaya keras. Dalam Lisan al-Arab, Ibnu Manzur menerangkan jihad berasal dari kata al-juhd, ia bermakna al-taqah (kekuatan), al-wus’u (usaha) dan al-masyaqqah (kesulitan).

Senafas dengan Ibnu Manzur, Muhammad Murtadha al-Husni al-Zabidi dalam Taju al-‘Arus mengemukakan hal yang sama. Namun, lain halnya dengan Muhammad bin Abi Bakar bin ‘Abdi al-Qadir al-Razi dalam Mukhtar al-Shahah, ia mengurangi definisi Ibnu Manzur yaitu al-Wus’u (usaha). Jadi, praktis al-Razi hanya menyebut dua saja, yakni al-taqah dan al-masyaqqah.

Selanjutnya, kata al-juhdu bermetamorfosa menjadi jihad. Dalam kamus Taju al-‘Arus, secara istilah jihad dimaknai dengan dua pengertian, (1) al-qitalu ma’a al-‘aduwwi kal mujahadah (memerangi musuh seperti bermujahadah); (2) muharabatu al-a’da’ wahuwa al-mubalaghah wa istifraghu ma fi al-wus’i wa al-taqati min qaulin au fi’lin, wa al-muradu bi al-niyyah ikhlash al-‘amal lillahi ta’ala (memerangi musuh dengan penuh kesungguhan dan kekuatan baik berupa perkataan maupun perbuatan, dilandasi niat ikhlas karena Allah ta’ala).

Baca juga: 5 Fakta Tentang Bacaan Taawudz, ِApa Saja?

Sementara itu, definisi serupa dikemukakan dalam Lisan al-‘Arab, yakni al-jihadu huwa qatala wa jahada fi sabilillah (jihad adalah berperang dan berjuang di jalan Allah). Tidak jauh berbeda, Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi dalam Bada’i al-Shana’i fi Tartib al-Syara’i mendefinisikan jihad sebagai berikut,

وأما الجهاد فى اللغة فعبرة عن بذل الجهد بالضم وهو الوسع والطاقة أو عن المبالغة فى العمل من الجهد بالفتح

Jihad menurut bahasa adalah ungkapan yang bermakna mengerahkan segala upaya dan kekuatan, atau bersungguh-sungguh dalam melakukan perbuatan.

Sedangkan dalam perspektif syariat, jihad memiliki banyak rupa, tidak hanya terbatas pada peperangan saja, meski perang menjadi makna populer, melainkan jihad melawan hawa nafsur, jihad dengan belajar, jihad dengan berbakti kepada kedua orang tua, jihad dengan saling mencintai dan tidak saling mengafirkan sesama, dan jihad-jihad lainnya, sebagaimana yang diwartakan Mula Khusru Muhammad al-Hanafi dalam Durar al-Hukkam Syarh Ghurar al-Ahkam,

كتاب الجهاد هو أعم وغلب في عرف الفقهاء على جهاد الكفار

“Jihad memiliki makna yang umum dan makna populernya di kalangan ahli fikih adalah memerangi orang kafir”.

Lebih jauh, Lembaga Riset Bahasa Arab Republik Arab-Mesir (Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah) dalam al-Mu’jam al-Wasith, jihad adalah qitalun man laisa lahu dhammatun min al-kuffar (memerangi orang kafir yang tidak ada ikatan perjanjian damai). Sekilas makna ini terlihat mengkhususkan kepada makna jihad perang, namun ia menegaskan “yang tidak ada ikatan perjanjian damai”, maka jika terikat perjanjian damai, haram hukumnya melakukan peperangan.

Adapun penafsiran jihad lebih detail disampaikan Abdurrahman Abdul Mun’im dalam Mu’jam al-Musthalahat wa al-Fadz al-Fiqhiyyah, jihad diklasterisasi menjadi empat hal; pertama, mengerahkan segala daya upaya dalam memerangi orang kafir.

Kedua, berjuang dari rasa keragu-raguan (syakk) menuju yaqin dan godaan syahwat setan; ketiga, berjuang dengan keyakinan yang mantap diiringi dengan upaya sungguh-sungguh dalam mengajak amar ma’ruf nahi munkar; keempat, berjuang terhadap orang-orang kafir yang memerangi umat Islam.

Baca juga: 5 Hal yang Penting Diketahui tentang Bacaan Amin setelah Surah Al-Fatihah

Agaknya kalimat terakhir ini patut saya garisbawahi sebab selama ini segelintir kelompok memerangi orang non muslim yang sama sekali tidak mengusik orang Islam. Maka kalimat terakhir patut diperhatikan.

Dari paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jihad adalah upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan segenap kemampuan, daya, tenaga dan fikiran baik dalam arti berjuang melawan musuh di medan pertempuran maupun berjuang dalam konteks negara damai, yaitu jihad bil ‘ilmi (ilmu), jihad melawan kebodohan dan segala bentuk jihad lainnya yang membawa kemaslahatan bagi diri, agama, nusa dan bangsa. Dari sini dapat dipahami, bahwa pengertian jihad sangatlah luas, ia tidak hanya sekadar berperang atau memanggul senjata.

Penyebutan Jihad dalam Al-Quran

Jihad dan derivasinya dalam Al-Quran disebutkan sebanyak 41 kali dan terbagi dalam 19 surat sebagaimana disampaikan Fuad Abdul Baqi dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Al-fadh al-Quran. Operasionalisasi kata jihad sendiri memiliki bentuk yang variatif, adakalanya berwujud fi’il madhi, fi’il mudhari, ‘amar atau masdar.

Berikut cuplikan surat dalam Al-Quran yang mengandungi kata jihad dan derivasinya,

Al-Baqarah [2]: 218; Ali Imran [3]: 142; Al-Nisa [4]: 95; Al-Maidah [5]: 35, 53; Al-An’am [6]: 109; Al-Anfal [8]: 72, 74, 75; Al-Taubah [9]: 16, 19, 20, 24, 41, 44, 73, 79, 81, 86, 88; Al-Nahl [16]: 110; Al-Hajj [22]: 78; An-Nur [24]: 53; Al-Furqan [25]: 52; Al-‘Ankabut [29]: 6, 8, 69; Luqman [31]: 15; Fatir [35]: 42; Muhammad [47]: 31; Al-Hujurat [49]: 15; Al-Mumtahanah [60]: 1; Al-Shaff [61]: 11; Al-Tahrim [66]: 9.

Dalam versi yang lain, terdapat 36 ayat tentang jihad sebagaimana dijelaskan ‘Alami Zaidah Faidhullahi al-Hasani dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Kalimati al-Quran al-Musamma bi Fathi al-Rahman. Bahkan, Yusuf al-Qaradhawi justru “menyedikitkan” jumlah ayat tentang jihad, yaitu tidak lebih hanya disebut 34 kali dalam Al-Quran. Penjelasan ini ia sampaikan dalam Fiqih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad Menurut Al-Qur’an dan Sunnah.

Dari berbagai perspektif term jihad dalam Al-Quran, kita dapat mengetahui bahwasannya kata jihad dalam Al-Quran sangat luas dan kontekstual. Tidak hanya mengungkapkan ajaran jihad berperang, membunuh saja misalnya, melainkan menjelaskan masalah-masalah sosial yang membutuhkan kesungguhan.

Misalnya, kesungguhan bersumpah  (QS. al-Maidah (5): 53; QS. alAn’am (6): 109; QS. al-Nahl (16): QS. al-Nur (24): 53; QS. Fatir (35): 42); kesungguhan orang tua untuk mendidik anaknya agar berakidah Islam dan mempertahankannya (QS. al-‘Ankabut (29): 8; QS. Luqman (31): 15), serta memberi sesuatu atau beramal sesuai kemampuan (QS. al-Taubah (9): 79), dan masih banyak lainnya.

Maka sangat tidak dibenarkan jihad hanya dimaknai secara serampangan atau salah satu term saja, qital (berperang atau membunuh) misalnya atau mengebom, dan seterusnya. Ada banyak makna jihad dalam Islam, salah satu jihad dewasa ini adalah jihad bil ‘ilmi (belajar atau ngaji secara mendalam dan tuntas) dan jihad dengan menimbulkan rasa aman, teduh dan damai sesama saudara seiman, sebangsa dan manusia. Termasuk menjaga, merawat dan melestarikan lingkungan adalah bagian daripada jihad. Wallahu A’lam.

Muhsin al-Musawa, Ulama Nusantara Pengarang Kitab Nahj al-Taisir Syarh Mandzumah al-Tafsir

0
Muhsin al-Musawa
Muhsin al-Musawa

Pada masa abad ke-18 hingga abad ke-20 awal, genealogi ulama Nusantara mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada saat itu, Hijaz dikenal sebagai pusat utama belajar ilmu keislaman. Sehingga banyak ulama-ulama Nusantara yang mulai berbondong-bondong melanjutkan studinya di Hijaz. Salah satu ulama besar Nusantara jebolan Hijaz yang memiliki karangan di bidang ilmu tafsir adalah Muhsin al-Musawa.

Biografi Muhsin al-Musawa

Sosok ulama Nusantara yang memiliki darah keturunan Nabi ini memiliki nama lengkap Muhsin ibn Ali ibn Abdurrahman al-Musawa al-Hadhrami. Beliau lahir pada tanggal 18 Muharram 1323 H/22 Maret 1905 M di Pelembang. Semenjak usia belia, al-Musawa mendapat didikan ilmu-ilmu dasar agama dari ayahnya yaitu Ali ibn Abdurrahman al-Musawa.

Setelah menguasai dasar-dasar ilmu keislaman melalui tarbiyah ayahnya, al-Musawa kemudian melanjutkan studinya ke lembaga pendidikan Islam yang berada di Jambi yaitu Madrasah Nur al-Islam. Sembari belajar di lembaga tersebut, ia juga mondok di pesantren tertua di Jambi yaitu Pesantren Sa’adah al-Darain. Namun, sebelum masa studi selesai, al-Musawa muda diberi cobaan dengan wafatnya ayahnya pada tahun 1919. Hal tersebut mengakibatkan al-Musawa harus kembali ke Palembang untuk melanjutkan tugas dakwah sepeninggal ayahnya.

Baca juga: Mengenal Muhammad Abduh Pabbajah, Mufasir Nusantara Asal Sulawesi

Dalam buku Ulama-ulama Aswaja Nusantara yang Berpengaruh di Negeri Hijaz karya Amirul Ulum, ia menjelaskan bahwa meskipun sibuk dengan kegiatan dakwah, ia masih menyempatkan diri untuk menimba ilmu di sekolah milik Belanda, seperti Volk School (sekolah dasar), Vervolg (sekolah lanjutan) atau Meer Uietgebreid Leger Orderwijs (MULO). Selain itu, dalam hal ilmu keagamaan, ia belajar lagi kepada Kiai Idrus dan menghafalkan Al-Quran kepada Kiai Syamsudin.

Merasa masih haus akan ilmu agama, Muhsin al-Musawa pun meminta restu kepada ibunya agar diizinkan untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menimba ilmu kepada para ulama Haramain pada tahun 1922. Pada tahun 1923, setelah menunaikan ritual ibadah haji, al-Musawa kemudian masuk di sebuah lembaga pendidikan Islam yang rujukan para ulama Nusantara yaitu Madrasah al-Shaulatiyah. Proses studi di tempat tersebut ditempuh selama 5 tahun hingga tahun 1928.

Sayyid ‘Alawi dalam karyanya Faidh al-Khabir wa Khulashah al-Taqrir menjelaskan bahwa selama di Madrasah al-Shaulatiyah tersebut, al-Musawa belajar kepada ulama-ulama terkemuka di tanah Haramain, seperti Syaikh Hasan ibn Muhammad al-Masyath, Syaikh Dawud ad-Dahan al-Makki, Syaikh Abdullah ibn al-Hasan al-Kuhi, Syaikh Habibullah as-Syinqithi, Syaikh Mahmud ibn Abdurrahman Zuhdi al-Bankuki al-Makki.

Baca juga: Mufasir Indonesia: KH. Mustofa Bisri, Ulama Tafsir Nusantara

Tidak berhenti disitu, al-Musawa kembali ingin melanjutkan belajar agama kepada para ulama terkemuka dunia. Kali ini pelabuhan yang menjadi tujuan rihlah ilmiah al-Musawa adalah kampung halamanya sendiri yaitu tanah seribu wali Hadhramaut, Yaman.

Selama tiga bulan, al-Musawa sibuk mengunjungi halaqah-halaqah ilmiah yang mengkaji berbagai fan keilmuan Islam asuhan oleh para ulama Yaman, seperti halaqah yang ada di daerah Seiwun, dan lain sebagainya. Selain belajar, al-Musawa juga menjalin silaturrahim dengan saudara-saudaranya yang juga sama-sama keturunan Sadah ‘Alawiyyin.

Pada tahun 1929, setelah banyak melakukan pengembaraan ilmiah, al-Musawa kembali ke Makkah dan diminta untuk menjadi pengajar di Madrasah al-Shaulatiyah. Dalam proses mengajar, ia dikenal sebagai sosok pengajar yang dalam penyampaian materinya disampaikan dengan sederhana dan mudah dipahami. Oleh karena itu, tidak heran jika halaqah yang diasuh al-Musawa cukup banyak digemari dan ramai dihadiri oleh para pelajar.

Walaupun sudah menjadi seorang pengajar, al-Musawa tetap belajar dan menghadiri halaqah ilmiah yang diasuh oleh para ulama senior Hijaz, seperti Syaikh Umar ibn Abi Bakar Bajunaid al-Makki, Syaikh Said ibn Muhammad al-Yamani, Syaikh Muhammad Ali ibn Husain al-Maliki al-Makki, Syaikh Khalifah ibn Hamad an-Nabhani, Syaikh Umar Hamdan al-Mahrusi, Syaikh Abdullah ibn Muhammad al-Ghazi al-Makki, Syaikh Abdul Baqi al-Luknawi.

Baca juga: Muhammad al-Ghazali, Mufassir Penggerak Hermeneutika dari Timur Tengah

Pada tanggal 16 Syawwal 1353 H, akibat adanya konflik internal yang menimbulkan ketegangan antara pelajar Nusantara dengan non-Nusantara di Madrasah al-Shaulatiyah, maka para ulama Nusantara bermusyawarah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Para tokoh ulama Nusantara yang ikut bermusyawarah adalah Sayyid Muhsin al-Musawa, Syaikh Zubair ibn Ahmad al-Filfulani, Syaikh Muhaimin ibn Abdul Aziz al-Lasemi, Syaikh Ahmad Manshuri, dan tokoh-tokoh lainya.

Hasil dari musyawarah tersebut menghasilkan sebuah keputusan untuk mendirikan madrasah diniyyah tersendiri yang diberi nama Dar al-Ulum. Dalam hal ini, Muhsin al-Musawa ditunjuk oleh para ulama Nusantara sebagai pimpinan pertama madrasah yang baru berdiri tersebut. Penunjukkan tersebut dilakukan karena al-Musawa dipandang sebagai sosok ulama yang memiliki kapasitas keilmuan Islam yang ‘alim dan lebih menonjol dibanding ulama Nusantara yang lain.

Setelah banyak mengabdikan diri untuk kepentingan umat dan agama, al-Musawa akhirnya wafat pada 10 Jumadi al-Tsani 1354 H/28 September 1935. Ia wafat diusia yang masih cukup muda yaitu sekitar 31 tahun dalam hitungan Hijriyah. Jenazah Muhsin al-Musawa dishalatkan di Masjidil Haram, kemudian dikebumikan di pemakaman Ma’la, Makkah.

Karya tulis Muhsin al-Musawa

Dalam bidang kepenulisan, Muhsin al-Musawa dikenal sebagai sosok ulama yang tekun dalam menulis dan mencatat ilmu-ilmu yang disampaikan oleh guru-gurunya. Bahkan, tatkala ia ingin membeli suatu kitab, namun uang yang harus dibayarkan belum cukup, maka ia dengan senang hati akan menyalin kitab yang tidak mampu dibeli tersebut dengan tulisan tangan sendiri.

Beberapa kitab yang disalin oleh al-Musawa adalah Fath al-Fattah Syarh al-Idhah, Hulul Syarh Jam’ al-Jawami’, Syarh Khalid al-Azhari, dan Hasyiyah al-Syanwani ‘ala al-Minhaj. Kebiasaan dalam menulis tersebut mengakibatkan Muhsin al-Musawa memiliki beberapa karya karangan kitab, mulai dari bidang fikih, ushul fikih, tafsir, faraid, dan lain sebagainya. Beberapa karya tulis tersebut antara lain adalah:

  1. al-Nafhah al-Hasiniyah Syarh al-Tuhfah al-Tsaniyah
  2. Madkhal al-Wushul ila ‘Ilm al-Ushul
  3. Nahj al-Taisir Syarh Mandzumah al-Zamzami fi Ushul al-Tafsir
  4. Jam’ al-Tsamar Ta’liq ‘ala Mandzumah Manazil al-Qamar

Adapun kitab-kitab karya al-Musawa yang belum rampung diselesaikan dan belum dicetak antara lain adalah al-Judad Syarh Mandzumah al-Zubad, Zubdah al-Shalawah ‘ala Khair al-Bariyyat, al-Nushuh al-Jauhariyah fi Ta’arif al-Manthiqiyah, Adillah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah fi Daf’ al-Syubuhat al-Firaq al-Dhallah wa al-Mubtadi’ah, dan al-Rihlal al-’Aliyah ila al-Diyar al-Hadhramiyah li Ziyarah Aslafina al-’Alawiyyah.

Dengan hadirnya deretan karya itu, Muhsin al-Musawa pantas disebut ulama asal Nusantara yang mampu menguasai berbagai bidang keilmuan Islam. Termasuk satu di antaranya, bidang ilmu tafsir, yang terbukti dari bukunya yang berjudul Nahj al-Taisir Syarh Mandzumah al-Zamzami fi Ushul al-Tafsir. Buku yang secara khusus ia rancang untuk bahasan ushul tafsir. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28: Manfaat Ibadah Haji dalam Segi Sosial dan Ekonomi

0
Surah Al-Hajj ayat 28: manfaat haji bagi sosial dan ekonomi
Surah Al-Hajj ayat 28: manfaat haji bagi sosial dan ekonomi

Haji merupakan rukun kelima dalam agama Islam. Oleh sebab itu, setiap umat Islam pasti mengelu-elukan ingin bisa melangsungkan ibadah haji ke tanah suci guna menyempurnakan bangunan keislamannya. Fenomena berjuta-juta umat Islam yang memadati Masjidil Haram setiap tahunnya membuktikan ibadah ini mempunyai manfaat spiritual yang dalam hingga biaya semahal apapun pasti ditempuh. Namun, di balik manfaat spiritual yang bisa didapatkan, ibadah haji ternyata memiliki banyak manfaat lain sebagaimana yang disuratkan dalam Al-Quran Surah Al-Hajj ayat 28. Manfaat laten selain spiritual ditafsirkan oleh para mufassir seperti Sayyid Qutub, Buya Hamka, dan Quraish Shihab juga berkenaan dengan keduniaan seperti manfaat sosial dan ekonomi.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Syarat Wajib Haji dan Beberapa Ketentuannya

Tafsir Surah Al-Hajj ayat 28

Dalam Surah Al-Hajj ayat 28 memang tidak disebutkan secara eksplisit ibadah apa yang dikerjakan. Namun, ayat tersebut memiliki korelasi dengan ayat-ayat sebelumnya maupun setelahnya yang masih satu konteks penjelasan tema ibadah haji. Dalam rangkaian Surah Al-Hajj, perintah berhaji terdapat pada ayat 27 dan salah satu rukunnya thawaf dijelaskan di ayat 29. Sedang untuk ayat 28 ini Allah ingin menjelaskan manafaat bagi yang melaksanakan ibadah mulia tersebut. Adapun bunyi Surah Al-Hajj ayat 28 adalah sebagai berikut:

لِّيَشْهَدُوا مَنَٰفِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا ٱسْمَ ٱللَّهِ فِى أَيَّامٍ مَّعْلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا ٱلْبَائِسَ ٱلْفَقِيرَ

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.”

Mengenai interpretasi Surah Al-Hajj ayat 28 di atas, Sayyid Qutub dalam Tafsir Fi Zhilal al-Quran menguraikan bahwa haji merupakan ibadah fardhu dunia dan akhirat, sebagaimana kenangan tentang akidah lama dan jauh (akidah Nabi Ibrahim) dengan akidah yang baru (Nabi Muhammad) juga bertemu. Haji juga merupakan suatu momentum bersama yang mempunyai banyak manfaat dan mengikat persatuan umat, karena menurut Sayyid Qutub selain sebagai musim ibadah, haji juga merupakan musim muktamar dan musim perdagangan.

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah juga mengukuhkan pendapat Sayyid Qutub mengenai manfaat ibadah haji yang tidak hanya satu aspek saja, mengandung dua sekaligus, yaitu manfaat duniawi dan juga ukhrawi. Manfaat duniawi tersebut meliputi banyak hal seperti ekonomi dan sosial, namun tujuannya tetaplah satu yaitu untuk kemaslahatan bersama.

Baca juga: Keistimewaan Ka’bah dalam Al-Quran dan Pahala Memandangnya

Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa haji merupakan murni ibadah dan tidak bisa dicampur dengan kegiatan duniawi lain seperti jual beli, dan lain-lain. Namun, menurut Buya hamka dalam Tafsir Al-Azhar menganggap pendapat ini dianggap lemah seraya mengutip sebuah hadis riwayat Ibnu Umar yang menyatakan bahwa Rasulullah tetap menganggap sah haji seseorang setelah seluruh rangkaian tata cara dan rukun terpenuhi, meskipun setelah itu mereka melakukan jual beli.

Sepakat dengan hal tersebut, Quraish Shihab memberikan argumentasi bahwa selama kegiatan duniawi lain tidak merusak tujuan ibadah haji maka tidaklah apa-apa. Orang-orang yang berhaji di era hari ini pasti tidak bisa dilepaskan dengan aktivitas jual beli, karena mereka datang dari luar Kota Mekah dan pasti memerlukan perlengkapan yang bisa didapat dengan jual beli. Quraish Shihab juga menyempaikan pendapatnya bahwa seseorang yang telah selesai berhaji juga diperbolehkan membeli oleh-oleh untuk sanak keluarganya di rumah.

Manfaat ibadah haji dalam segi sosial dan ekonomi

Penjelasan para mufassir di atas mengenai interpretasi Surah Al-Hajj ayat 28 di atas cukup jelas menjadi acuan bahwa dalam perjalanan haji diperbolehkan juga melakukan aktivitas duniawi lain asalkan prioritas utamanya tetaplah ibadah tersebut. Pemaknaan tersebut pada akhirnya membawa implikasi pada kekayaan manfaat yang bisa dituai dari pergi haji. Manfaat tersebut tidak hanya pada ranah spiritual saja, tetapi juga manafaat dunia seperti pada aspek sosial ataupun ekonomi manusia.

Nilai-nilai dari ibadah haji secara sosial bisa kita telisik dalam amaliyah ihram, wukuf, dan kurban. Ketika ihram diwajibkan memakai pakaian yang sama. Hal ini diungkapkan Ibnu Mas’ud dalam Fikih Madzhab Syafi’i sebagai pendidikan bagi manusia bahwa di hadapan-Nya, semua makhluk dipandang sama, ia tidak dibeda-bedakan berdasar kaya dan miskin, atau apapun, sehingga timbullah rasa persaudaraan antar manusia.

Nilai sosial kedua dalam ibadah haji bisa kita saksikan ketika pelaksanaan wukuf. Ketika wukuf, umat Islam sedunia berkumpul dalam satu tempat mengheningkan cipta dalam rangka menyembah satu Tuhan yang sama. Peristiwa tersebut dinilai oleh Banani Adam dan Mustafa dalam Hikmah Rahasia Ibadah Haji dan Umrah sebagai persatuan umat, ukhuwah Islamiyah atau kongres umat Islam sedunia sebagaimana pula yang diucapkan di awal oleh Sayyid Qutub sebagai muktamar.

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Daud: dari Taubat hingga Manajemen Ibadah

Aspek sosial ketiga dalam ibadah haji adalah ketika penyembelihan kurban yang disebut Hasan Basri dalam bukunya, Haji dan Kurban sebagai bentuk sosiologis kemasyarakatan (ijtima’iyah). Dalam penyembelihan hewan kurban, daging-daging tersebut kemudian diserahkan untuk menyantuni dan menggembirakan fakir miskin atau mereka yang berkekurangan.

Sebagaimana yang dijelaskan di awal tentang bahwa jual beli diperbolehkan dalam perjalanan haji, hal tersebut hingga kurun waktu saat ini tidak lagi sebatas teori, namun telah menjadi praktik masyarakat dan telah menjadi fenomena sosial yang sangat lazim. Adanya haji memiliki manfaat ekonomi karena membuka banyak peluang bisnis dan menggerakkan roda perekonomian umat. Kita bisa saksikan bahwa hari ini usaha-usaha yang berkaitan dengan ibadah haji kian menjamur seperti industri layanan tour and travel, transportasi, food and baverages, penginapan, telekomunikasi, asuransi dan lain-lain.

Akhirnya, setiap ibadah yang disyariatkan oleh Allah ternyata memiliki dampak luar biasa tidak hanya sebatas individu namun juga kolektif manusia, sebagaimana ibadah haji bukan hanya membawa manfaat spiritual namun juga sosial dan ekonomi. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al A’raf ayat 92-94

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Tafsir surat Al A’raf ayat 92-94 memberi kita pelajaran bahwa akan binasa bagi orang-orang yang sewenang-wenang dan juga mendustakan Allah maka akan memperoleh kebinasaan hal ini tertuang dalam kisah kaum Madyan ketika mendustakan Nabi Syu’aib dalam Tafsir surat Al A’raf ayat 92-94.


Baca Juga: Kisah Nabi Syuaib dan Penduduk Madyan dalam Al Quran


Ayat 92

Pada ayat-ayat yang terdahulu telah disebutkan bahwa pemuka-pemuka kaum Nabi Syu’aib pernah mengeluarkan ancaman untuk mengusir Nabi Syu’aib bersama para pengikutnya dari negeri Madyan apabila mereka tidak mau kembali kepada agama nenek moyang mereka. Maka dalam ayat ini Allah memberikan penjelasan sebagai jawabannya. Allah menegaskan bahwa akibat yang akan diderita oleh orang-orang yang telah mengancam untuk mengusir Nabi Syu’aib dari Madyan, justru merekalah yang rusak binasa dan hilang lenyap, sehingga seakan-akan mereka tak pernah hidup dan mendiami negeri ini. Demikian juga orang-orang yang mendustakan Nabi Syu’aib dan mengatakan bahwa siapa yang mengikuti agamanya pasti akan merugi, justru merekalah yang benar-benar merugi, sedang orang-orang yang beriman dan mengikuti agama yang dibawa oleh Nabi Syu’aib mereka akan selamat dan memperoleh rida Allah.

Dari ayat ini dapat diambil pelajaran yang sangat berharga, yaitu bahwa orang yang sangat menginginkan tetap tinggal di negeri mereka dengan hidup senang dan berbuat sewenang-wenang terhadap pihak-pihak yang memegang teguh kebenaran, niscaya akan menemui akibat yang bertentangan dengan harapan mereka, yaitu kebinasaan. Demikian pula orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan jalan mengambil harta orang lain dengan cara yang batil seperti korupsi niscaya akan menemui nasib malang, yaitu: kehilangan harta benda dan harga diri untuk selama-lamanya.

Ayat 93

Ketika azab itu menimpa kaum Nabi Syu’aib, lalu dia pergi meninggalkan mereka, dengan penuh kesedihan ia berkata: “Wahai kaumku, aku telah menyampaikan risalah Tuhanku kepadamu, dan aku telah melaksanakan tugasku terhadapmu, dan aku telah memberikan nasihat yang cukup kepadamu, namun kamu membelakangi kesemuanya itu, maka mengapa aku harus bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir?”.

Nabi Syu’aib diutus Allah untuk menuntun kaumnya kepada agama yang benar untuk mencapai rida Allah serta kebahagiaan dunia dan akhirat, untuk itu Nabi Syu’aib telah mencurahkan segenap tenaganya, tetapi mereka telah memilih jalan kesesatan. Mereka bahkan mendustakannya, serta mengancam untuk mengusir dari tanah airnya. Mereka telah melemparkan diri mereka sendiri ke jurang kebinasaan, karena kekafiran mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya. Sungguh Allah tidak menzalimi mereka.

Ayat 94

Tafsir Surat Al Araf ayat 92-94 ini khususnya dalam ayat 94 menjelaskan bahwa salah satu dari ketetapan Allah yang berlaku ialah bahwa Dia mengutus rasul-Nya kepada suatu umat, kemudian apabila umat tersebut mendustakan rasul-Nya, maka Allah menimpakan cobaan kepada umat tersebut, berupa kesempitan rezeki dan penderitaan. Cobaan tersebut dimaksudkan untuk menyadarkan mereka sehingga menjadi umat yang tunduk dan rendah hati dengan ikhlas berdoa kehadirat Allah agar mereka dilepaskan dari azab tersebut.

Kemewahan dan kesenangan hidup menyebabkan manusia lupa kepada Tuhannya. Akan tetapi, bila suatu ketika ia ditimpa kesusahan dan kesempitan, maka hal itu akan menimbulkan kesadaran dalam hatinya, lalu kembali ke jalan yang ditunjukkan agamanya, dan berusaha untuk memperbaiki dirinya.

وَلَوْ بَسَطَ اللّٰهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهٖ لَبَغَوْا فِى الْاَرْضِ وَلٰكِنْ يُّنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَاۤءُ ۗاِنَّهٗ بِعِبَادِهٖ خَبِيْرٌۢ بَصِيْرٌ

“Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Mahateliti terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya, Maha Melihat. (asy-Syura/42: 27)

Seseorang baru dapat merasakan nikmatnya kekayaan bila suatu ketika ia pernah kehilangan kekayaan itu. Seseorang baru mengerti nikmat kesehatan bila suatu ketika ia pernah sakit. Demikian pula halnya dengan nikmat-nikmat lainnya yang telah dikaruniakan Allah kepada manusia.

Dengan demikian jelaslah, apabila suatu ketika Allah mencabut nikmat-Nya dari seseorang atau satu bangsa, maka tujuannya agar mereka sadar dan mau beriman dan taat kepada Allah, yakin akan sifat-sifat kekuasaan, keadilan dan kasih sayang Allah kepada makhluk. Sehingga mereka akan kembali merendahkan diri kepada Allah dan tunduk kepada peraturan-Nya, serta mengharapkan ampunan-Nya, untuk melepaskan mereka dari kesusahan yang menimpanya.


Baca Juga: Tafsir Surat Yunus Ayat 57: Pengaruh Akhlak Terhadap Kesehatan


5 Fakta Tentang Bacaan Taawudz, ِApa Saja?

0
Bacaan Taawudz
Bacaan Taawudz

Membaca Al-Quran tidak akan bisa dilepaskan dari bacaan taawudz. Sudah menjadi kebiasaan umum bahwa sebelum membaca Al-Quran, bahkan sebelum membaca basmalah, terlebih dahulu membaca taawudz. Namun tahukah anda bila bacaan taawudz ternyata memiliki ragam lafad? Tahukah anda bila ada yang menyatakan taawudz sebaiknya dibaca setelah membaca Al-Quran, bukan sebelumnya? Berikut ini adalah 5 fakta tentang bacaan taawudz yang dipaparkan para ulama’:

Baca Juga: Inilah Alasan Dianjurkan Bertaawudz Sebelum Membaca Basmalah

  1. Hukum Membaca Bacaan Taawudz

Hukum membaca taawudz sebelum membaca Al-Quran adalah Sunnah. Hal ini berdasarkan firman Allah:

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ (٩٨)

Apabila kamu membaca Al-Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk (QS. An-Nahl [16] 98).

Para ulama’ memahami ayat di atas sebagai perintah agar apabila hendak membaca Al-Quran, maka mintalah perlindungan (taawudz). Dan perintah ini merupakan perintah yang berupa anjuran (nadbi), bukan perintah wajib. Ibn Katsir mengutip pernyataan Ibn Jarir, bahwa para ulama’ bersepakat soal bahwa perintah dalam ayat di atas hanya bersifat anjuran saja. Meski begitu, Imam As-Suyuthi dalam Al-Itqan fi Ulum Al-Quran meriwayatkan bahwa ada sebagian ulama’ yang menyatakan bahwa perintah di atas adalah perintah wajib. Sehingga ulama’ tersebut berkesimpulan bahwa hukum taawudz adalah wajib

  1. Letak Bacaan Taawudz

Meletakkan taawudz sebelum memulai membaca Al-Quran ternyata adalah pendapat mayoritas ulama’ saja. Beberapa ulama’ menyatakan bahwa bacaan taawudz dibaca setelah membaca Al-Quran. Pendapat ini diceritakan oleh Imam As-Suyuthi di dalam Al-Itqan dan Ibn Katsir di dalam tafsirnya. Dasar yang dipakai oleh ulama’ yang meyakini pendapat ini adalah Surat An-Nahl ayat 98 di atas. Kata kerja di dalam ayat tersebut menunjukkan waktu lampau. Maka menurut mereka, hal itu menunjukkan bahwa membaca taawudz adalah setelah membaca Al-Quran, bukan sebelumnya.

Baca Juga: Makna Esoterik Yang terkandung dalam Kalimat Taawudz Menurut Fakhruddin Ar-Razi

  1. Ragam Bacaan Taawudz

Berikut ragam bacaan taawudz dari para ulama’, yang disebutkan Imam As-Suyuthi di dalam Al-Itqan:

  1. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيم

A’udzubillahi minasy syaithaanir rajiim

Aku meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk

  1. أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

A’udzubillahis samii’il ‘aliimi minasy syaithaanir rajiim

Aku meminta perlindungan kepada Allah yang maha mendengar dan mengetahui, dari syaitan yang terkutuk

  1. أَسْتَعِيْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Asta’iidzu billaahi minasy syaithaanir rajiim

Aku meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk

  1. أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

A’udzubillahil ‘adhiimi minasy syaithaanir rajiim

Aku meminta perlindungan kepada Allah yang Maha Agung dari syaitan yang terkutuk

  1. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ إِنَّ اللهَ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمِ

A’udzubillahi minasy syaithaanir rajiim. Innallaha huwas samii’ul ‘aliim

Aku meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui

Imam As-Suyuthi menyatakan, selain bentuk-bentuk di atas masih ada bentuk-bentuk lainnya. Bahkan ia mengutip Imam Al-Hulwani bahwa lafadz taawudz tidaklah bisa dipatenkan. Semua orang bebas menambah maupun mengurangi dari bentuk yang sudah ada. Hanya saja, Imam An-Nawawi memilih bentuk taawudz sebagaimana urutan pertama dari deretan beragam bentuk taawudz di atas (Al-Itqan/1/380).

  1. Mengeraskan Bacaan Taawudz

Terjadi perbedaan antara para ulama’ tentang hukum mengeraskan bacaan taawudz. Sebagian menyatakan taawudz dibaca keras secara mutlak, ada yang menyatakan dibaca lirih secara mutlak, dan adapula yang menyatakan dibaca keras saat ada orang yang mendengarnya saja (Al-Itqan/1/380).

  1. Taawudz Di Dalam Salat

Anjuran membaca taawudz tidak hanya saat hendak membaca Al-Quran di luar salat saja, tapi juga di dalam salat juga. Hal ini diungkapkan oleh Imam An-Nawawi di dalam At-Tibyan. Bahkan tidak hanya pada rakaat pertama saja, tapi pada setiap rakaat. Dan pada saat salat janazah, disunnahkan setelah takbir pertama.

Demikianlah 5 fakta terkait bacaan taawudz. Sebenarnya masih banyak lagi permasalahan penting tentang bacaan taawudz yang pernah diulas oleh para ulama’. Terutama dalam masalah fikih. Namun penulis hanya ingin menyuguhkan wawasan secara singkat saja. Wallahu a’lam.

Makkiy dan Madaniy dalam Pandangan Nashr Hamid Abu Zaid

0
Makkiyyah dan Madaniyyah
Makkiyyah dan Madaniyyah

Pembagian ayat atau surat al-Qur’an ke dalam Makkiy dan Madaniy oleh para ulama al-Qur’an secara umum mengacu pada tiga kriteria, yaitu waktu, tempat dan khitab. Pada kenyataannya ketiga kirteria ini tidak memberi penentuan yang pasti. Adakalanya suatu surat yang dianggap makkiyah berdasarkan waktu, di dalamnya terdapat ayat yang tidak masuk kritreria tersebut. Begitupun dengan kedua kriteria lainnya. Selalu ada ayat-ayat yang tidak sejalan dengan kriteria yang sudah ditetapkan.

Antara realitas dan teks

Lantaran ketidakpastian itu, dalam kitabnya Mafhum al-Nash, Nashr Hamid Abu Zaid menawarkan aspek realitas dan teks sebagai landasan untuk menentukan status suatu ayat apakah makiyyah atau madaniyah. Didasarkan pada realitas, karena gerak teks berbanding lurus dengan gerak realitas. Sedangkan pendasaran pada teks, disebabkan kandungan isi dan strukturnya.

Baca Juga: Mengenal Nasr Hamid Abu Zaid, Pengkaji Al-Quran Kontemporer Asal Tanta, Mesir

Bagi Abu Zaid, kajian makkiy dan madaniy adalah bentuk dialektika teks dengan realitas. Perubahan realitas yang dihadapi Rasul sebagai penerima wahyu pada dua konteks yang berbeda memengaruhi bentuk teks al-Qur’an pada saat itu. Menurutnya, teks adalah hasil dari interaksi dengan realitas yang bersifat dinamis-historis. Fase makkiy dan madaniy pada dasarnya bukan hanya persoalan tempat penurunan al-Qur’an, akan tetapi pembedaan dua fase tersebut memberikan efek yang berbeda pada kandungan maupun struktur teks, yang disesuaikan dengan sasaran penerima teks waktu itu.

Dari inzar menuju risalah

Hijrah Rasul dari Mekkah ke Madinah tidak sekadar perpindahan tempat.  Ketika di Mekkah, teks al-Qur’an berperan sebagai pemberi peringatan (inzar). Pada tahap ini al-Qur’an berupaya mengenalkan konsep baru. Ajaran paganistik dan realitas yang melekat pada masyarakat Arab jahili direspon oleh teks al-Qur’an yang mengarahkannya pada realitas ketauhidan dan perbaikan akhlak. Metode yang tepat untuk masa ini adalah suatu narasi yang dapat memberikan pengaruh kuat terhadap jiwa audience.

Sementara pada fase Madinah, teks al-Qur’an mempunyai peran sebagai risalah atau masa pembentukan yang bertujuan membangun ideologi masyarakat baru. Yakni masyarakat yang melengkapi dirinya dengan perangkat-perangkat hukum dan ikatan-ikatan sosial menuju tatanan masyarakat berperadaban. Metode yang tepat untuk fase ini adalah narasi yang mampu memberikan pemahaman akan suatu ajaran. Perbedaan fase Makkah atau Madinah menunjukkan gerak teks yang berubah dari inzar menuju risalah. Hal ini berimplikasi pada perubahan gaya bahasa dan materi teks.

Fase inzar mengandalkan sebuah upaya persuasif. Penggunaan gaya bahasa yang singkat, padat, dan memikat menjadi ciri khas dari surat makkiyah. Sementara pada fase risalah aspek transformasi informasi lebih ditekankan daripada aspek persuasi, meskipun aspek ini tidak hilang sama sekali. Dengan demikian, dalam ayat-ayat dan surat madaniy cenderung panjang sebab memerlukan penjelasan yang sempurna dan detail supaya perangkat hukum bisa terpahami dan terlaksana dengan baik.

Selain itu, gaya bahasa yang digunakan pada kedua fase di atas adalah berkaitan dengan fasilah. Abu Zaid berupaya membandingkan teks al-Qur’an dengan bentuk teks lain yang berkembang pada saat itu seperti puisi, sya’ir, sajak dan lainnya. Menurutnya, dengan mempertimbangkan teks-teks kebudayaan, al-Qur’an dapat dipahami dengan baik secara historis dan normatif.

Pandangan Abu Zaid di atas tidak lepas dari pemikirannya yang mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan produk budaya (al-muntaj al-saqafi). Dalam artian, konteks al-Qur’an mengalami fase keterbentukan dan kematangan, yang pertama adalah fase saat teks merepresentasikan realitas dan budaya melalui bahasa dan wacana yang diangkatnya. Sementara pada fase terakhir, teks berubah menjadi produsen budaya (al-muntij al-tsaqafah), karena ia menginspirasi realitas dan budaya melalui pembacaan dan penafsiran berulang-ulang terhadapnya.

Baca Juga: Status Makkiyah dan Madaniyah Mushaf Standar Indonesia, Apakah Berbeda dengan Mushaf Lain?

Kedua fase tersebut merupakan indikasi adanya dialektika teks dengan realitas secara dinamis penuh vitalitas. Kalau dalam kedua fase ini bisa dikatakan sebagai proses evolusi teks membentuk eksistensi dirinya, maka dalam studi makkiyah dan madaniyyah, teks lebih detil menunjukkan karakteristiknya yang unik saat ia menyapa realitas khususnya audiens yang ditemuinya

Kajian makkiyyah dan madaniyyah merupakan upaya kreatif ulama muta’akhkhirun yang didasarkan pada kebutuhan mereka dalam memahami al-Qur’an. Metode untuk menentukan makkiy madaniy yang berkembang hingga saat ini tidak bersifat final. Dengan demikian, kesempatan bagi ulama kini masih terbuka lebar untuk merekonstruksi studi makkiy madaniy ke arah yang lebih baik. Wa Allahu a’lam.