Beranda blog Halaman 398

Pembacaan Zaghlul An-Najjar terhadap Ayat-ayat Kematian

0
Ayat-ayat kematian menurut Zaghlul An-Najjar
Ayat-ayat kematian menurut Zaghlul An-Najjar

Al-Quran selain menyajikan ayat-ayat pedoman kehidupan, juga menginformasikan ayat-ayat tentang kematian. Ayat-ayat kematian yang disampaikan Al-Quran tidak lain bertujuan agar manusia semakin mempertebal keimanannya. Penafsiran ayat-ayat kematian tersebut lazimnya diterangkan mufassir dengan pendekatan teologis atau filosofis. Namun, berbeda dengan Zaghlul An-Najjar, mufassir yang seringkali menginterpretasikan ayat-ayat Al-Quran dengan corak penafsiran bil ‘ilmi (saintifik). Di tangan An-Najjar, ayat-ayat kematian dalam Al-Quran menjadi sesuatu yang bisa dicerna secara rasional dan ilmiah.

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 19-21: Fenomena Pertemuan Dua Lautan

Tafsir Zaghlul An-Najjar tentang ayat-ayat kematian

Zaghlul An-Najjar memang dikenal sebagai seorang mufassir dengan corak penafsiran bil ‘ilmi atau saintifik. Dalam karya tafsirnya Tafsir al-Ayat al-Kauniyah Zaghlul menggunakan pendekatan yang sama dengan pendahulunya Tanthawi Jauhari, namun lebih ringkas dan padat dari segi penjelasannya. Terhadap ayat-ayat Al-Quran yang membahas kematian, Zaghlul hanya memilih beberapa ayat saja yang diterangkan secara panjang lebar, barangkali agar tidak terjadi pengulangan pembahasan. Dalam hal ini, Zaghlul lebih menekankan pada surah Al-Waqi’ah ayat 60:

نَحْنُ قَدَّرْنَا بَيْنَكُمُ ٱلْمَوْتَ وَمَا نَحْنُ بِمَسْبُوقِينَ

“Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-sekali tidak akan dapat dikalahkan,”

Dalam Tafsir al-Ayat al-Kauniyah Zaghlul percaya kematian setiap makhluk digenggaman Allah dengan waktu ajal yang telah ditentukan sebagaimana yang dijelaskan ayat di atas. Namun, mengenai cara kematiannya, Ia menjabarkannya secara ilmiah. Dimulai dengan penjelasan bahwa setiap sel hidup terdapat mekanisme khusus yang mengatur usia sel tersebut, dengan bentuk tutup ujung pada setiap kromosom di batasnya. Panjang tutup tersebut akan terus berkurang seirirng dengan setiap pembelahan, hingga sampai pada batas tertentu proses pembelahan berhenti dan sel-sel itupun lalu mati.

Secara konteks, ayat di atas menurut Zaghlul juga tidak bisa dipisahkan dari ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya. Konteks pembahasan yang masih satu tema, tepatnya adalah rangkaian surah Al-Waqi’ah ayat 58-62. Rangkaian ayat dalam surah tersebut diungkapkan Zaghlul sebagai sebuah korelasi bahwa penentuan kematian sangat erat kaitannya dengan awal penciptaan manusia. Hal tersebut merupakan suatu proses yang terprogram pada kode genetika yang terbentuk ketika mani laki-laki dan mani perempuan bertemu.

Baca juga: Ketahui Manfaat Gunung Sebagai Pasak Bumi, Ini Penjelasannya dalam Al Quran

Faktor struktur kuantitas kromosom menurut Zaghlul juga ikut berperan di sini. Kromosom yang jumlahnya mencapai 46 buah, akan menuju jumlah kelengkapan dan keutuhannya, di mana pada satu sperma tersebut membawa setengah dari jumlah tersebut, yaitu 23 buah. Keutuhan jumlah kromosom yang dominan akan memunculkan sifat dan pembentukan fisik manusia, dan yang tersembunyi akan disimpan dan diturunkan pada generasi setelahnya. Hingga pada saat sel-se tersebut sampai ajal mekanismenya berhenti, sel-sel termasuk kromosom tersebut akan tersingkir dan mati.

Ada satu ayat kematian lagi yang ditafsirkan Zaghlul secara santifik, yaitu surah Ar-Rum ayat 19. Namun, tafsiran surah Ar-Rum ayat 19 itu hanya dijelaskan Zaghlul sebagai sebuah pemisahan bentuk materi, yaitu materi hidup maupun materi mati. Sebagaimana yang disebutkan di awal, bahwa Zaghlul memang lebih menekankan penjabaran saintifik ayat-ayat kematian secara panjang lebar dengan menekankan di rangkaian surah Al-Waqi’ah ayat 58-62. Nampaknya, hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi pengulangan pembahasan serta memperpadat karya tafsirnya.

Uraian saintifik penafsiran Zaghlul An-Najjar

Syarat penting yang harus dipenuhi dalam penafsiran bil ‘ilmi adalah aspek penemuan ilmiah yang telah terbukti dan terverifikasi, di samping ketentuan-ketentuan lain yang juga harus dipenuhi. Namun, aspek penemuan ilmiah tersebut menjadi kunci inti dari penafsiran tersebut, karena ia merupakan elan vitalnya. Begitu pula dengan Zaghlul, ia benar-benar memperhatikan bagian tersebut. Dalam pemaknaan ayat-ayat tentang kematian, Zaghlul merujuk sejumlah penemuan ilmuwan pakar bilogi dan sains dalam karya tafsirnya.

Penafsirannya tentang teori pembelahan sel-sel organisme ia rujuk dari penemuan seorang pakar bilogi Rusia bernama Alexey Matveyevich Olonikov tahun 1971. Penemuan tersebut menyingkap adanya mekanisme tertentu sehingga bisa menjadikan sel-sel kangker terus membelah dan menggandakan diri dari dominasi. Mekanisme pembelahan diri sel-sel tersebut dinamakan telomerase.

Selain itu, Zaghlul juga menampilkan penelitian yang dilakukan oleh Carol W. Greider, dan Elizabeth H. Blackburn tahun 1985. Dalam penelitian tersebut diterangkan senyawa enzim yang terdapat dalam tubuh organisme bernama enzim telomerase. Enzim tersebut berfungsi meremajakan sel-sel tubuh, serta mengurangi kerusakan DNA yang berakibat pada penuaan. Namun, seiring bertambah tuanya usia manusia, produksi enzim telomerase ini semakin menurun, dan akhirnya telomer memendek menyebabkan DNA tidak bisa lagi melindungi diri dari kerusakan.

Baca juga: Tafsir Surah Yasin ayat 39-40: Semua Makhluk Langit Adalah Ciptaan Allah Swt

Terkait pemendekan sel, Zaghlul menyebutkan penemuan terbaru yang membenarkannya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Howard Cooke tahun 1986. Peneitian Howard menyebutkan bahwa panjang telomer kromosom terus berkurang bersamaan dengan pembelahan sel hidup. Ini artinya keduanya saling terkait. Masing-masing telomer kromosom yang terprogram pada jumlah tertentu dari pembelahan dinamakan replico meter (penghitung kelipatan), dan juga longevity meter (penghitung batas waktu). Penemuan mekanisme ini membuktikan bahwa kematian sebenarnya ditentukan di dalam setiap sel hidup karena batasan jumlah pembelahan yang bisa menghentikan proses pembelahan berikutnya, akibatnya meluaskan ruang untuk perusakan sel sampai sel tersebut mati.

Penelitian-penelitian ilmiah tersebut disimpulkan oleh Zaghlul, bahwa kematian telah terprogram di dalam setiap makhluk hidup yang mana memiliki sel-sel hidup, dengan begitu akurat. Keakuratan waktu ajal dalam setiap makhluk hidup ini tentunya hanya bisa diberikan oleh Allah Yang Maha Kuasa. Di sini, kebenaran saintifik dan agama menemukan bulan madunya. Saintifik menjelaskan bahwa setiap sel-sel hidup sejak lahirnya telah terprogram dengan sel-sel matinya. Begitu pula, agama menjelaskan setiap yang bernyawa pasti akan mati sebagaimana bunyi surah Al-‘Ankabut ayat 57.

Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Yasin Ayat 66-67: Kuasa Allah atas Para Pendosa

0
Surah Yasin
Surah Yasin Ayat 66-67

Artikel ini merupakan rentetan dari kejadian-kejadian pada beberapa artikel sebelumnya, yakni berawal dari pembahasan ayat 59 dan ayat-ayat setelahnya hingga ayat ke 68. Wahbah Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir mengelompokkannya di bawah tajuk jaza’ al-mujrimin (جزاء المجرمين)) ‘balasan bagi para pendosa’.

Khusus pembahasan artikel surah yasin persis sebelum ini, telah dijelaskan mengenai kesaksian anggota tubuh manusia di akhirat. Mereka tidak bisa mengelak lagi atas apa yang pernah dilakukan ketika di dunia. Tafsir Surah Yasin ayat 66-67 ini lebih lanjut menjelaskan mengenai kuasa Allah Swt kepada mereka ketika di dunia.

Andai Allah Swt berkehendak untuk memberikan siksa secara langsung atas kekafiran dan kemusyrikan yang mereka buat, niscaya siksa itu mudah sekali menimpa mereka. Untuk lebih jelasnya mari kita simak lebih dulu penggalan surah yasin ayat 66-67 yang berbicara mengenai hal tersebut:

وَلَوْ نَشَاۤءُ لَطَمَسْنَا عَلٰٓى اَعْيُنِهِمْ فَاسْتَبَقُوا الصِّرَاطَ فَاَنّٰى يُبْصِرُوْنَ

وَلَوْ نَشَاۤءُ لَمَسَخْنٰهُمْ عَلٰى مَكَانَتِهِمْ فَمَا اسْتَطَاعُوْا مُضِيًّا وَّلَا يَرْجِعُوْنَ ࣖ

“Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami hapuskan penglihatan mata mereka; sehingga mereka berlomba-lomba (mencari) jalan. Maka bagaimana mungkin mereka dapat melihat?”

“Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami ubah bentuk mereka di tempat mereka berada; sehingga mereka tidak sanggup berjalan lagi dan juga tidak sanggup kembali.”

Berdasarkan pengaitan yang dilakukan Ibnu ‘Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir terhadap ayat sebelumnya, yakni terkait dengan keadaan para pendosa yang sama sekali tidak memiliki kontrol atas dirinya sediri karena anggota tubuh mereka memberikan kesaksian murni atas perbuatannya di dunia, lalu ada sebagian orang mukmin yang mengharapkan sesuatu dari kejadian itu.

Baca Juga: Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur dan Empat Prinsip Penafsirannya

Sebagian dari orang-orang mukmin itu berharap mengapa keadaan semacam itu tidak langsung saja diberikan ketika di dinia agar mereka segera menyadari kebenaran. Tentunya Allah sangat bisa untuk melakukannya. Namun, tambah Ibnu ‘Asyur, hal itu tidak terjadi karena Allah mempunyai perhitungan lain berdasarkan pengetahuanNya dan hikmah di baliknya.

Mengenai arti kata menghapus yang terdapat dalam kata thamasna (طَمَسْنَا) ini mufasir berbeda pendapat. Setidak-tidaknya ada tiga penafsiran yang diungkapkan oleh al-Thabari. Pertama membutakan, kedua menyesatkan, dan ketiga membiarkan. Untuk yang terakhir ini maksudnya adalah membiarkan dalam kebutaan.

Makna pertama dan kedua menurut riwayat dari Ibnu Abbas. Sedangkan makna yang ketiga menurut riwayat dari al-Hasan dan Qatadah. Bila ketiganya digabung kira-kira begini: jika Allah berkehendak untuk menghapus penglihatan mereka sehingga menjadikan mereka buta dan dalam kebutaannya itu mereka tersesat.

Menilik dari segi bahasa, al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf memaknai kata thamasa (طمَس) yang berakar kata thams (طمْس) arti leksikalnya adalah hilangnya sayatan pada mata -yang membuat mata mengelopak- sehingga bola mata menjadi tertutup. Allah menghapusnya sama sekali sehingga para pendosa itu buta tidak dapat menemukan arah karena tersesat.

Selain itu, jika Allah berkehendak untuk mengubah bentuk fisik mereka maka hal itu akan sangat mudah terjadi. Mengubah bentuk di sini menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah adalah merubah bentuk sesuatu kepada bentuk lain yang sama sekali berbeda dengan bentuk sebelumnya.

Mengenai pengubahan bentuk ini, Quraish Shihab mencotohkannya dengan ayat ke 65 dalam surah al-Baqarah berikut:

 وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِيْنَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِى السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُوْنُوْا قِرَدَةً خٰسِـِٕيْنَ

“Dan sungguh, kamu telah mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari Sabat,  lalu Kami katakan kepada mereka, “Jadilah kamu kera yang hina!”.”

Ayat di atas berbicara mengenai orang-orang yang melanggar perintah Allah. Karena perilakunya yang melewati batas akhirnya Allah swt menyiksa mereka secara langsung dengan merubah bentuk mereka menjadi seperti kera. Perubahan bentuk ini adalah sama sekali berbeda dengan sebelumnya dari manusia menjadi kera. Dan sekali lagi, Allah sangat kuasa untuk itu.

Menghilangkan penglihatan dan merubah bentuk fisik tentunya merupakan hal sangat mudah bagi Allah Swt. al-Zamakhasyari dalam al-Kasysyaf menuturkan bahwa bila Allah berkehendak menghapus penglihatan mereka tentunya akan terjadi begitu saja. Tapi apakah dengan ini segala urusan akan selesai?

Baca Juga: Biografi Al-Zamakhsyari: Sang Kreator Kitab Tafsir Al-Kasysyaf

Tentunya tidak, karena kita meyakini bahwa sunnatullah berjalan sebagaimana mestinya. Allah Maha Adil sehingga tidak akan menyalahi hal-hal yang sudah menjadi jalannya. Allah Swt benar-benar memberikan kebebasan memilih kepada manusia. Sejalan dengan anugerah itu Allah memberi akal agar manusia mampu membedakan antara yang hak dan batil.

Adanya pengandaian dalam dua ayat di atas menurut Ibnu ‘Asyur adalah sebagai bentuk motivasi kepada orang-orang mukmin agar senantiasa sabar dan tabah menghadapi perilaku orang-orang musyrik sampai tiba datangnya pertolongan Allah Swt. Sekian penjelasan singkat tafsir Surah Yasin ayat 60-61 tentang kuasa Allah atas para pendosa. Tunggu artikel menarik selanjutnya. Wallahu A’lam.[]

Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia dalam Diskursus Rasm Mushaf Indonesia

0
Rasm Mushaf Indonesia
Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia

Salah satu dari empat variabel yang menjadi fokus utama penyusunan Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia (selanjutnya disebut MASI) adalah rasm, menurut tulisan Muchlis M. pada karyanya yang berjudul Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2017: 6-7). Kata ‘standar’ dalam MASI sendiri tidak dimaksudkan penafian mushaf Indonesia dari standar internasional, melainkan kata definitif yang menunjukkan pilihan baku umat Islam Indonesia.

E. Badri Yunardi, menuliskan pada karyanya Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia, bahwa pilihan baku umat Islam Indonesia ini muncul seiring dengan adanya kebutuhan pedoman pentashihan mushaf Al-Qur’an. Yang mana menginisiasi terlaksananya Musyawarah Kerja (Muker) Ulama Ahli Al-Qur’an sebanyak sembilan kali dari tahun 1974 hingga tahun 1983.

Memang jika mengamati sejarah permushafan di Indonesia, banyak dijumpai varian mushaf yang beredar di masyarakat. Diantaranya adalah mushaf edisi Bombay India, Pakistan dan Bahriah terbitan Turki. Ragam varian ini juga yang kemudian membentuk kecenderungan habit masyarakat terhadap salah satu produk mushaf tertentu.

Baca juga: Sedang Cari Menantu? Ini Anjuran Memilih Menantu Saleh dalam Al-Quran

Diskursus Rasm Mushaf Indonesia

Pada penelitian Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani: Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah menuslikan bahwa perjalanan Muker (Musyawarah Kerja) ternyata membawa pada keputusan bahwa MASI mengikuti rasm para imam, sepanjang hal itu memungkinkan, serta tanpa melakukan tarjih (pengunggulan) terhadap salah satu pendapat. Sisanya, mengikuti rasm mushaf yang sudah ‘terlanjur’ beredar, dengan mengacu pendapat para ulama yang memperbolehkan.

Dalam pandangan Foucault, wacana yang telah penulis sebutkan merupakan wacana utama yang berkembang dalam rasm mushaf Indonesia. Hal ini memungkinkan adanya wacana kecil yang ‘terpinggirkan’, seperti yang digulirkan oleh KH. Maftuhd Bastrul Birri, yang menolak penyusunan MASI karena tidak didasarkan pada teori rasm yang kredibel.

Maka, begitu menarik jika mengetahui lebih lanjut, terkait landasan munculnya wacana di atas, yakni terkait variabel dan motif penyebab terjadinya perbedaan serta episteme (nalar, logika, way of thing) yang dipakai dalam setiap wacana yang ada. Untuk menjelaskan pertanyaan-pertanyaan itu, tulisan singkat ini menggunakan arkeologi dan genealogi pengetahuan Michel Foucault.

Dasar dari arkeologi dan genealogi pengetahuan adalah episteme-episteme yang digunakan dalam rentang peristiwa sejarah tertentu. Itu lah mengapa, sejarah merupakan rangkaian peristiwa yang terpisah satu sama lain, karena masing-masing memiliki episteme yang berbeda. Foucault menyebutnya sebagai diskontinuitas sejarah.

Baca juga: Pola Asuh Anak Ala Istri Imran: Tafsir Surat Ali-Imran Ayat 35-37

Sehingga Episteme mencuat dalam wacana atau diskursus yang berkembang. Wacana atau diskursus sendiri merupakan seperangkat pernyataan-pernyataan yang menyediakan topik pembahasan tertentu dalam potongan momen sejarah tertentu, yang di dalamnya terjadi pemilahan terhadap subyek yang dinyatakan, berikut penafian subyek lain yang dikecualikan.

Diskursus rasm Indonesia menguat begitu Muker Ulama Ahli Al-Qur’an yang berlangsung dari tahun 1974 sampai 1983 bergulir. Kajian historisitas, penjelasan teori dan kajian aplikatif lainnya secara perlahan mulai bermunculan. Perihal edukasi mungkin menjadi unsur terpenting dalam kajian ini.

Hal ini mengingat rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat terhadap diskursus rasm, terbukti dari kecenderungan pilihan dan kebiasaan pembacaan masyarakat terhadap mushaf non-rasm. Sehingga boleh dikatakan bahwa masa ini merupakan masa edukasi dan awal transisi mushaf non-rasm kepada mushaf ber-rasm.

Atas dasar ini penulis memahami bahwa episteme yang digunakan adalah comparison atau perbandingan. Yang mana dalam bahasa kaidah fikih dikenal dengan maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu. Pijakannya adalah rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap rasm serta penjagaan dari kesalahan pembacaan Al-Qur’an.

Sehingga, narasi pengetahuan yang dimunculkan akan selalu dipahami dengan episteme ini. Sebagai contoh, dalam diskusi rasm terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum penerapannya dalam penulisan Al-Qur’an, yakni wajib, haram, diperinci (tafsil) dan boleh (jawaz).  (‘Abd al-Hayy al-Farmawi, Rasm al-Mushaf wa Naqtuhu (Mekah: Al-Maktabah al-Makkiyah, 2004), 377-385.).

Mestinya, jika konsisten dengan esensi rasm dan acuannya terhadap sejarah penulisan Al-Qur’an di masa Nabi Saw., hukum penerapannya adalah wajib. Namun dalam konteks ke-Indonesia-an, dengan episteme yang dimilikinya, yang diunggulkan justru boleh dan bahkan haram.

Contah lainnya adalah kritik Zainal Arifin Madzkur dalam Legalisasi Rasm ‘Uthmani dalam Penulisan al-Qur’an, terhadap validitas jalur transmisi (sanad) yang menyatakan bahwa rasm ‘usmani merupakan ajaran tauqifi dari Nabi Saw. Sehingga wacana yang terbangun adalah tidak mengabaikan kaidah rasm dalam Al-Qur’an.

Baca juga: Pengaruh Jawa dalam Tradisi Penyalinan Mushaf di Lombok

Narasi-narasi ini yang kemudian ‘menyingkirkan’ wacana lain yang tidak sepaham. Seperti wacana KH. Maftuh sebelumnya yang dengan keras mengkritik penyusunan MASI. Atau wacana lain yang dikemukakan Ahmad Fathoni dalam tesisnya berjudul Sejarah Perkembangan Rasm Utsmani: Studi Kasus Penulisan Al-Qur’an Standar Utsmani Indonesia.

Apabila mengamati pemikiran yang disampaikan Kyai Maftuh dalam bukunya, Mari Memakai A-Qur’an Rasm ‘Usmaniy (RU), memang episteme yang digunakan sama sekali berbeda. Ia cenderung pada tauqifi-sentris, dimana rasm adalah satu kemutlakan cara penulisan Al-Qur’an yang tidak dapat ditentang.

Tak pelak, narasi-narasi yang mendukung kebijakan penyusunan MASI ditolak Kyai Maftuh dengan beragam argumentasi. Hal ini sebagaimana tampak dalam beberapa judul bab dan narasi ‘pedas’ yang digunakan seperti Membikin Bodoh Manusia dan Ketidakahlian Mengelola Mushaf dan Kekeliruan Pemikiran Kita.

Dua narasi berbeda yang ditampilkan sejatinya memiliki basis yang sama. Namun kesamaan basis ini dipahami secara berbeda karena episteme yang berbeda pula. Dalam bahasa Foucault, hal ini disebabkan karena adanya relasi yang erat dengan kuasa. Narasi pertama sebagai pendukung kebijakan kekuasaan sementara narasi kedua tidak sebagai kebijakan kekuasaan

Mengenal Asma Barlas Sebagai Tokoh Tafsir Feminis

0
Asma Barlas
Asma Barlas

Asma Barlas dikenal sebagai salah seorang tokoh feminis yang berasal dari Pakistan. Lahir tahun 1950, Asma Barlas mengawali karirnya di Pakistan. Pada tahun 1976 menjabat sebagai Diplomat Departemen Luar Negeri. Namun, pada akhirnya Asma Barlas dipecat karena mengkritik kediktatoran Presiden Pakistan, Ziaul Haq.

Selanjutnya Asma Barlas bekerja sebagai asisten editor sebuah surat kabar oposisi dan sederet pekerjaan lainnya. Terkait pendidikan, di Pakistan Asma Barlas mendapatkan gelar B.A. dalam bidang Sastra Inggris dan Filsafat dari Kinnair College Pakistan. Kemudian gelar MA didapatkan dari University of Punjab dalam bidang Jurnalisme. Barlas kembali menempuh S2 dan S3 sekaligus di University of Denver Amerika Serikat dalam bidang Studi Internasional.

Baca Juga: Argumen Kesetaraan Gender, Referensi Pengantar Tafsir Feminis

Wacana feminis al-Quran yang ditawarkan Asma Barlas adalah upaya dalam menjunjung tinggi egalitarianisme (pandangan yang menyatakan bahwa manusia ditakdirkan sama atau sederajat). Ada dua hal yang sangat ia tekankan:

  1. Menentang pembacaan yang menindas perempuan
  2. Menawarkan pembacaan yang mendukung bahwa perempuan mampu berjuang untuk kesetaraan di dalam kerangka ajaran Al-Qur’an

Untuk menunjukkan wajah Islam yang egaliter maka yang perlu dilakukan ialah melakukan pembacaan kembali terhadap Al-Qur’an. Dalam pembacaan tersebut memungkinkan banyaknya hasil pembacaan. Ketika membacanya dengan kacamata patriarki tentulah hasilnya akan terlihat sangat patriarkis.

Asma Barlas menggunakan dua argumen dalam menunjukkan bagaimana Islam berbicara mengenai perempuan: sejarah dan hermeneutik. Argumen sejarah yang dimaksud adalah mengungkapkan karakter-karakter politik tekstual dan seksual yang berkembang dalam masyarakat, terutama yang telah mengahasilkan tafsir yang memiliki kecenderungan patriarki. Adapun argumen hermeneutik dimaksudkan untuk menemukan apistemologi egalitarianism dan antipatriarkalisme dalam al-Qur’an.

Tiga langkah yang ditawarkan:

  1. Menjelaskan karakter teks Al-Qur’an yang polisemik (bentuk bahasa yang mempunyai makna lebih dari satu) dan membuka berbagai kemungkinan pemaknaan.
  2. Menolak relativisme penafsiran (yang ingin ditolak adalah pandangan yang menyatakan bahwa semua model bacaan pada dasarnya benar)
  3. Meletakkan kunci-kunci hermeneutik untuk membaca Al-Qur’an dalam karakter divine ontology

Pendapat Asma Barlas terkait Al-Qur’an tetaplah sama dengan pendapat ulama klasik dan modern. Mereka berpendapat bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci tetaplah tidak dapat ditiru, diperdebatkan serta diganggu. Namun, pemahaman terhadap Al-Qur’an (baca: tafsir), terhadap Al-Qur’an, sah-sah saja diperdebatkan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Abdul Karim Soroush, bahwa agama dan kebenarannya tidak bisa diperdebatkan. Sedangkan pengetahuan tentang agama sangat relatif kebenarannya, dan memungkinkan perdebatan yang panjang.

Asma Barlas menekankan bahwa Al-Qur’an sebagai teks tentang sifatnya yang tidak berbeda dari teks-teks lainnya. Dalam hal keterbukaan berbagai macam pembacaan pada setiap ayatnya. Ia mengatakan bahwa Al-Qur’an sebagai teks yang utama di dalam Islam tidak bisa terlepas dari pluralisme pembacaan, kepentingan penafsir dan hal lainnya.

Hal tersebut menjadi munculnya pembacaan terhadap Al-Qur’an yang bias patriarki. Asma Barlas yang menyuarakan Agalitarianisme berangkat dari asumsi dasar sebagaimana kaum feminis yang lainnya, bahwa Al-Qur’an mendudukkan laki-laki dan perempuan setara di hadapan Allah, yang membedakan hanyalah ketakwaannya.

Baca Juga: Husein Muhammad dan Pembacaan Al-Quran Berperspektif Gender

Contoh pemahaman Asma Barlas dalam QS. An-Nisa ayat 34

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا ٣٤

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah maha tinggi lagi maha besar.

Asma Barlas lebih condong menafsirkan قَوَّٰمُونَ (qawwāmūna) sebagai laki-laki pencari nafkah, lebih lanjut menurutnya pencari nafkah tidak otomatis menjadi kepala keluarga. Sehingga pendapat Asma Barlas ini menyampaikan ketidaksetujuannya dengan pendapat yang mengatakan qawwāmūna sebagai pemimpin. Selanjutnya وَٱضۡرِبُوهُنَّ kata ضرب (dharaba) dalam ayat tersebut tidak selalu dimaknai dengan memukul akan tetapi juga bisa dimaknai dengan makna yang lain, seperti memberikan contoh.

Menurut Asma Barlas tindakan pemukulan bertentangan dengan pandangan serta ajaran mengenai kesetaraan yang terkandung dalam Al-Qur’an. Pada dasarnya ajaran tersebut mengatakan bahwa pernikahan harus didasarkan pada cinta, pemaafan, keharmonisan dan ketenangan. Wallahu A’lam

Misteri Kata “Dzalika” dalam Surah Al-Baqarah Ayat 2

0
Kata
Kata "dzalika" dalam Surah Al-Baqarah ayat 2

Sebagai Isim Isyarah alias kata tunjuk, kata “Dzalika” dan “Hadza” (termasuk dalam format feminimnya, “Tilka” dan “Hadzihi”) sangat sering kita jumpai dalam Al-Quran. Musthafa Al-Ghalayini dalam karyanya Jami’ Ad-Durus Al-‘Arabiyah menyatakan bahwa pada dasarnya, Isim Isyarah adalah Dza-nya saja

وَأَسْمَاءُ الإِشَارَةِ هَيَ “ذَا” لِلْمُفْرَدِ المُذَكَّرِ، وَ”ذَانِ وَتْينِ” َللْمُثَنَّى، المُذَكَّرِ، و”ذِهْ وتِهْ” لِلْمُفْرَدِ الْمُؤَنَّثَةِ، و”تانِ وتَيْنِ” للمثنى المؤنث و”أُولاءِ واولى” (بالمدِّ والقَصر، والمدُّ أفصحُ) للجمع المذكر والمؤنث

“Isim–isim Isyarah adalah (Dza) untuk bentuk tunggal maskulin. Dan (Dzaani & _Tyni) untuk bentuk ganda maskulin. Serta (Dzih dan Tih) untuk bentuk tunggal feminim. Serta (Taani dan Tayni) untuk bentuk ganda feminim. Serta (Ulaa’ dan Ulii) –dengan dibaca panjang maupun pendek, lebih fasih dipanjangkan- untuk bentuk plural, baik Maskulin maupun feminim”

Baca juga: Kajian Semantik Kata Membaca dan Konteksnya dalam Al-Quran

Isim Isyarah sendiri dalam standar kaidah bahasa Arab dibedakan menjadi 3 format berdasarkan jarak tunjuk. Ada yang khusus digunakan untuk jarak tunjuk dekat, jarak tunjuk menengah, hingga jarak tunjuk jauh. Jarak tunjuk dekat ditandai dengan penambahan Ha’ Tanbih sebelum Dza, sehingga menjadi Hadza. Jarak tunjuk menengah mengharuskan penambahan Kaf Mukhatab setelah Dza, menjadi Dzaka. Sedangkan jarak tunjuk jauh mengharuskan penambahan Lam li At-Tab’id setelah Kaf Mukhatab, menjadi Dzalikaa. Aturan ini sudah dimuat Musthafa Al-Ghalayini dalam kitabnya :

لِلْمُشَارِ إليه ثلاثُ مَراتِبَ قريبةٌ وبعيدةٌ ومتوسطةٌ. فيُشار لذي القُربى بما ليس فيه كافٌ ولا لامٌ كأكرمْ هذا الرجلَ أو هذه المرأةَ ولِذي الوسطى بما فيه الكافُ وحدها كاركبْ ذاك الحصانَ، أو تِيكَ الناقةَ، ولِذي البُعدى بما فيه الكافُ واللام معاً، كخُذْ ذلكَ القلمَ، أو تلك الدَّواةَ

“Musyar Ilaih memiliki tiga jarak tunjuk, yakni jarak tunjuk dekat, jarak tunjuk menengah, dan jarak tunjuk jauh. Menunjuk sesuatu yang dekat tidak perlu menggunakan Kaf maupun Lam seperti lafadz : Akrim Hadza Ar-Rajul (hormatilah orang ini !) atau Hadzihi Al-Mar’ah (Wanita ini). Sedangkan untuk menunjuk sesuatu dalam jangka menengah, perlu menambahkan Kaf saja, seperti lafadz : Irkab Dzaka Al-Hishan (Tunggangilah kuda itu), atau Tiika An-Naqah (Unta itu). Sedangkan untuk menunjuk sesuatu dalam jarak jauh, maka perlu menggunakan Kaf dan Lam. Seperti lafadz : Khudz Dzalika Al-Qalam (Ambilkan pena itu), atau Tilka Ad-Dawah (tinta itu !).

Baca juga: Kitab Al-Mutawakkili Karya As-Suyuthi: Mengenal Kosakata Serapan dalam Al-Quran

Yang ganjil adalah, dalam Surah Al-Baqarah ayat kedua, Allah menggunakan kata tunjuk jarak jauh untuk sesuatu yang sifatnya dekat, Yakni Al-Quran

ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

Bahkan Kementerian Agama RI menerjemahkan kata Dzalika pada ayat tersebut dengan kata “ini” :

“Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”

Lalu bagaimanakah eksistensi kata dzalika tersebut yang sebenarnya. Mengapa Allah memilih diksi Dzalika untuk sesuatu yang dekat?. Abu Zakariya Yahya Al-Farra’ dalam Tafsirnya Ma’aniya Al-Quran menjelaskan sebagai berikut :

يَصْلُحُ فِيْهِ “ذلِكَ” مِنْ جِهَتَيْنِ، وَتَصْلُحُ فِيْهِ “هَذَا” مِنْ جِهَةٍ فَأَمَّا أَحَدُ الْوَجْهَيْنِ مِنْ “ذَلِكَ” فَعَلَى مَعْنَى: هَذِهَ الْحُرُوْفُ يَا أَحمد، ذَلِكَ اْلْكِتَابُ اَّلذِيْ وَعَدْتُكَ أَنْ أُوْحِيْه إليك. والآخَرُ أنْ يكونَ “ذلِكَ” على معنًى يَصلُح فِيهِ “هَذَا” لِأَنَّ قولَه “هَذَا” و “ذلِكَ” يَصلُحَانِ في كلِّ كلامٍ إذا ذُكِرَ ثُمَّ أَتْبَعَتْهُ بِأحدِهما بِالأَخبارِ عنْه

“dalam kasus tersebut, kata “Dzalika” sudah relevan digunakan dalam 2 sudut pandang, sedangkan kata “Hadza” relevan dalam 1 sudut pandangnya. Adapun salah satu sudut pandang terhadap “Dzalika” adalah kata tersebut mengandung makna : Hadzihi Al-Huruf Ya Ahmad, Dzalika Al-Kitab Al-Ladzi Wa’adtuka An Uhihi Ilaik ( Wahai Ahmad Rasulullah, huruf – huruf ini adalah kitab yang pernah aku janjikan akan kuturunkan padamu). Sedangkan dari sudut pandang lain, kata “Dzalika”punya makna yang relevan dengan “Hadza”. Karena keduanya sesuai digunakan dalam setiap pola kalam, jika seletah penuturan 2 kata tersebut diikuti dengan informasi tentangnya (salah satu keduanya”

Dari keterangan Al-Farra’ tadi, dapat disimpulkan bahwa ada dua potensi penafsiran dalam kata Dzalika pada ayat tersebut. potensi pertama mengungkapkan bahwa yang dimaksud Dzalika bukanlah huruf – huruf yang tertulis dalam ayat tersebut, namun proses pewahyuan Al-Quran yang saat itu sedang terjadi. Sangat bisa dimaklumi bila ada potensi pemahaman seperti itu, karena pada saat itu Al-Quran belum turun secara sempurna, tentu proses turunnya Al-Quran dapat digolongkan sesuatu yang masih jauh sehingga wajar menggunakan kata tunjuk Dzalika.

Baca juga: Makna Kata Hidayah dalam Al-Quran dan Macamnya Menurut Al-Maraghi

Sedangkan potensi penafsiran kedua, adalah bahwa lafadz Dzalika maupun Hadza bisa dipakai dalam semua kondisi kata. Asalkan, diikuti oleh informasi (Akhbar) yang menggambarkan Musyar ilaih (sesuatu yang ditunjuk). Hal ini tentu juga saat masuk akal, karena penunjukannya menjadi lebih konkrit. Tujuan dari pembagian Isim Isyarah menjadi 3 level jarak tunjuk adalah upaya untuk menghindari ambiguitas makna. Misalkan, seorang menunjuk sesuatu tanpa menyebutkan informasi bendanya dengan kata : Maa Hadza ?, tentu pembicara harus setidaknaya memberi clue tentang benda terebut, minimal dari jarak tunjuknya. Atau yang disebut bukan informasi, tapi sekedar sifat. Seperti ucapan : hadzihi Jamilah.Tentu, ambiguitas tersebut akan hilang dengan sendirinya jika benda yang ditunjuk sudah jelas.

Dari keterangan diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa Allah selalu tepat dalam memilih kosa kata. Al-Quran adalah mukjizat literasi dan penantang sastra terbesar sepanjang zaman. Peletakan kata, pemilihan diksi, dan segala detail kebahasaan dalam Al-Quran selalu dibuat dengan maksud dan tujuan tertentu. Jika melihat dari potensi penafsiran pertama menurut Al-Farra’, tentu pilihan diksi tersebut sangat tepat. Karena, Ayat tersebut turun pada zaman Rasul. Kita menganggapnya ganjil karena kita mendapati Al-Quran sudah dalam kondisi turun dengan sempurna. Wallahu a’lam.

Jajang A Rohmana: Penguak Ekspresi Lokalitas Tafsir Al-Quran di Sunda

0
Jajang A Rohmana penguak lokalitas Tafsir Al-Quran di Sunda
Jajang A Rohmana penguak lokalitas Tafsir Al-Quran di Sunda

Jajang A Rohmana merupakan salah satu peneliti yang berperan penting di tengah penggalian khazanah Islam di Nusantara. Konsistensinya dalam memopulerkan kajian tafsir Al-Quran di tatar sunda berdampak pada temuan yang menarik dan otentik. Beberapa kali ia menunjukkan ekspresi lokalitas tafsir Sunda sebagai warisan Islam Nusantara. Dalam artikel ini, kita akan fokus pada biografi dan kontribusi Jajang A Rohmana terhadap kajian tafsir di Nusantara.

Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini lahir di Subang Jawa Barat pada 9 Juni 1976. Singkatnya, Jajang menempuh pendidikan sarjana di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta di jurusan Tafsir Hadis dan meneruskan di UIN Sunan Gunung Djati hingga jejang doktoral. Ia kemudian dikenal sebagai peneliti yang ahli di bidang tafsir Al-Qur’an dan kesundaan. Persinggungannya dengan tema kearifan lokal, membuatnya tak lepas dari naskah kuno. Maka ia pernah mengikuti pelatihan metodologi penelitian filologi yang digawangi oleh Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) pada tahun 2012.

Baca juga: Mufasir Indonesia: KH. Mustofa Bisri, Ulama Tafsir Nusantara

Pelatihan yang diikuti Jajang itu nampaknya membuahkan hasil. Ia semakin produktif menggali khzanah Sunda dan pada tahun 2015 mendapatkan penghargaan dari Menteri Agama RI sebagai juara 1 Dosen Teladan Nasional bidang kajian Islam. Usai mendapatkan penghargaan, ia tidak mengendorkan konsistensinya. Bahkan hingga kini ia telah menerbitkan sebanyak 66 karya baik berupa buku maupun artikel jurnal (menurut hitungan Google Cendikia).

Kitab Tafsir Sunda yang Dikaji Jajang A Rohmana

Disebutkan di awal, bahwa bidang keahlian Jajang adalah tafsir Al-Qur’an dan kesundaan. Maka kita perlu melihat karya-karya yang sudah dikajinya itu. Dalam bukunya Sejarah Tafsir Al-Qur’an di Tatar Sunda,  ia membahas tujuh kitab tafsir diihat dari metodologi dan wacana ideologisnya.

Pertama, kitab Qur’anul Adhimi karya Haji Hasan Mustapa (1852-1930 M/1268-1348 H). Kedua, Raudhatul Irfan karya KH. Ahmad Sanusi (1888-1950 M). Ketiga, Malja’ut Thalibin karya KH. Ahmad Sanusi lagi. Keempat, Nurul Bajan karya KH. Mhd. Romli (1889-1981) dan H.N.S Midjaja (1903-1975). Kelima, Alkitabul Mubin Tafsir Basa Sunda karya KH. Mhd. Romli (1889-1981). Keenam, Tafsir Al-Qur’an Bahasa Sunda oleh Tim Panitia Pemprov-Kanwil Depag Jawab Barat. Dan ketujuh, Ayat Suci Lenyepanueun karya Moh. E. Hasim (1916-2009).

Selain di buku Sejarah Tafsir Al-Qur’an di Tatar Sunda, Jajang juga pernah menghimpun beberapa kitab tafsir dan terjemah Al-Qur’an dengan bahasa Sunda hingga 27 karya. Daftar kitab-kitab itu ia  lampirkan dalam artikel Warisan Islam Lokal untuk Peradaban Islam Nusantara: Kontribusi Penafsiran Al-Qur’an di Tatar Sunda di Jurnal Refleksi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2014). 27 kitab itu, ia tuliskan runtut dari Qur’anul Adhimi karya Haji Hasan Mustapa pada tahun 1921 hingga Tafsir Al-Razi, Tafsir Juz ‘Amma Basa Sunda karya Uus Suhendar pada tahun 2011.

Sejarah Awal Tafsir Sunda dan Ekspresi Lokalitasnya

Jajang menduga, perhatian orang Sunda terhadap kajian Al-Quran sudah berkembang sejak abad ke-18. Dugaan ini merujuk pada Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara dan kajian Puslitbang Lektur Keagamaan Kemenag yang mencakup naskah-naskah pada abad ke-18 dan 19 di Cianjur. Dalam kajian itu, terdapat lima naskah yang bersinggungan dengan kajian Al-Quran.

Baca juga: Pengaruh Sumpah Pemuda terhadap Tafsir Al-Quran di Nusantara

Kemudian kajian Al-Qur’an menguat seiring maraknya penggunaan mesin cetak. Kepala penghulu Limbangan (Garut) R.H. Muhamad Musa (1822-1886) disebutkan pernah menerjemahkan Al-Quran dari bahasa Belanda. Namun Jajang menilai tokoh mufasir yang paling populer adalah Haji Hasan Mustapa. Kepala penghulu Bandung itu pada awalnya dikenal sebagai sastrawan Sunda dan ahli tasawuf. Namun karena kemampuan intelektualnya yang mumpuni, ia juga melahirkan karya tafsir Al-Quran. Karya yang lahir pada awal abad ke-20 inilah yang kemudian diteliti Jajang. Selanjutnya, kajian Al-Quran di tatar Sunda mulai berkembang dan semarak hingga kini.

Dalam artikel “Warisan Islam Lokal untuk Peradaban Islam Nusantara: Kontribusi Penafsiran Al-Qur’an di Tatar Sunda”, Jajang menyebut ada tiga ekspresi lokalitas di tafsir bahasa Sunda. Pertama adalah tatakrama bahasa. Kedua, ungkapan tradisional, dan ketiga nuansa alam kesundaan. Menurutnya, tiga ekspresi ini sering kali muncul dalam beberapa kitab tafsir di Sunda dan mengukuhkan identitas Islam lokal dalam warisan peradaban Islam Nusantara.

Tentu uraian ini hanyalah potongan puzzle dari lanskap khazanah yang sudah Jajang gambarkan melalui karya-karyanya. Peran penting Jajang turut menghiasi semangat para sarjana baru untuk menggali khazanah dan kearifan lokal di berbagai daerah lainnya. Alangkah indahnya jika kajian lokal yang semula terbatas itu mampu diracik dan disajikan secara menarik oleh para sarjana. Kiranya, karya-karya itu mampu dinikmati oleh semua masyrakat.

Wallahu a’lam[]

 

Peringatan An-Nawawi terhadap Pengajar Al-Quran yang Berebut Pengaruh

0
Peringatan An-Nawawi terhadap pengajar Al-Quran
Peringatan An-Nawawi terhadap pengajar Al-Quran

Salah satu problem yang terjadi di masyarakat mulai dari desa terpencil sampai kota yang dihuni oleh kaum terpelajar, adalah adanya oknum pengajar Al-Quran yang gemar berebut pengaruh dengan pengajar Al-Quran yang lain. Hal ini ditandai dengan tindakan sebagian orang yang gemar mencela pengajar lain yang berbeda metode mengajar maupun tempat mengajar. Ujung-ujungnya yang ia harapkan dari tindakannya adalah semakin banyak murid yang otomatis berdampak pendapatan materi yang cukup banyak.

Ratusan tahun lalu, Imam An-Nawawi sudah memperingatkan tentang keberadaan fenomena ini. Hal ini dapat disimak di dalam At-Tibyan fi Adabi Hamlatil Qur’an. Imam An-Nawawi mengulas fenomena ini disela-sela membahas tata krama yang sebaiknya dilakukan oleh para pengajar Al-Quran, dan bagaimana niat yang benar dalam mengajar.

Baca juga: Bolehkah Membaca Al-Qur’an Sembari Berdiri Atau Berbaring?

Ciri pengajar Al-Quran yang salah niat

Di dalam At-Tibyan Imam An-Nawawi memperingatkan tentang dua ciri pengajar Al-Quran yang niatnya salah dalam menjadi pengajar Al-Quran. Imam An-Nawawi mendorong untuk menjahuinya sekuat tenaga, dimana hal itu menunjukkan betapa sulitnya menghindari dua ciri tersebut. Yaitu 1) Mengajar dengan tujuan bersaing dengan banyaknya murid yang mengaji padanya serta banyaknya orang yang tidak sependapat dengannya; 2) Tidak suka bila muridnya belajar kepada guru lain yang juga alim.

Imam An-Nawawi menyatakan bahwa dengan adanya ciri ini, bisa dipastikan pelakunya mengajar tidak demi Allah semata. Sebab bila tujuannya dalam mengajar hanya demi Allah semata, tentu ia tidak akan berkeberatan bila murid yang mengaji padanya, juga mengaji kepada guru lain. Sebab entah apakah si murid belajar kepada guru lain atau tidak, minimal si pengajar sudah mengetahui bahwa saat ia mengajar si murid, tujuannya mengajar semata demi Allah sudah tercapai.

Baca juga: Dinamika Tahfiz Al-Qur’an dari Masa Nabi saw Hingga Era Teknologi

Keberadaan pengajar Al-Quran yang salah niat dengan ciri-ciri di atas, sudah jauh-jauh hari disinggung oleh Nabi Muhammad dan para sahabat. Dalam hadis yang diriwayatkan Ubay ibn Ka’ab dari ayahnya disebutkan sabda Nabi:

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِىَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ

Barangsiapa yang mencari ilmu agar dapat bergaul di antara para ulama’, agar dapat mencemooh orang-orang bodoh, atau menarik perhatian orang banyak, maka Allah akan memasukkannya ke neraka (HR. At-Tirmidzi).

Komentar Sahabat Ali

Sahabat Ali ibn Abi Thalib secara lebih spesifik menyinggung perihal pengajar yang tak suka bila muridnya belajar pada pengajar lain. Imam Ad-Darimi meriwayatkan ucapan sahabat Ali:

Wahai pemegang ilmu, praktikkan ilmu kalian! Sesungguhnya orang yang berilmu hanyalah orang yang mau mengamalkan apa yang ia ketahui, dan ilmunya berkesesuaian dengan amalnya. Akan datang sekelompok orang yang memiliki ilmu, tapi ilmu itu tidak sampai melewati kerongkongan mereka. Tindakan mereka tidak sesuai dengan ilmu mereka. Apa yang tidak tampak dari diri mereka berbeda dengan apa yang tampak dari diri mereka. Mereka duduk di sebuah lingkaran orang lalu saling membanggakan diri satu sama lain. Sampai-sampai ada pengajar yang marah pada orang di dekatnya sebab ia belajar pada orang lain kemudian si pengajar mengucilkannya. Mereka adalah orang-orang yang amal-amal mereka di majlis mereka, tidak bisa naik kepada Allah (Sunan Ad-Darimi/1/135).

Baca juga: Ketahui Sembilan Adab Ketika Membaca Al-Quran

Berbagai penjelasan di atas memberi tahu kita, bahwa menjadi pengajar Al-Quran di TPQ dan selainnya haruslah membiasakan diri merasa cukup dengan tindakan mengajar saja, tanpa perlu berlebihan menginginkan banyaknya murid sehingga mengganggu TPQ pengajar lain. Jangan sampai niat mengajar karena Allah, tercemari niat menyaingi jumlah murid atau pengaruh pengajar lain. Wallahu a’lam.

Respon-Respon yang Muncul Terhadap Doktrin Universalisme al-Qur’an

0
Universalisme Al-Qur'an
Universalisme Al-Qur'an

Universalisme al-Qur’an merupakan sebuah doktrin yang lahir sebagai respon atas pandangan yang  mengklaim bahwa al-Qur’an telah usang dan tidak relevan dengan dinamika sejarah. Doktrin universalisme al-Qur’an atau dalam bahasa Arab diistilahkan dengan al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan, pada intinya menekankan dan meyakinkan bahwa al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan (kalamullah) akan senantiasa relevan di semua masa dan tempat.

Pada realitanya, doktrin ini diterima dengan baik di kalangan umat Islam namun disertai beberapa respon dan catatan. Setidaknya ada tiga respon utama  terhadap persoalan ini yang pada akhirnya melahirkan tiga golongan pemikiran yang berbeda.

Pertama, golongan Konservatif atau juga disebut sebagai aliran Salafi. Golongan ini merumuskan doktrin universalisme (trans-historisitas) dengan justru mendehistorisasi al-Qur’an atau sederhananya, memandang ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an dengan cara pandangan yang ahistoris.

Cara pandang kelompok ini didasari dengan keyakinan bahwa historisasi terhadap konteks al-Qur’an juga berarti historisasi kandungannya. Hal itu dianggapnya justru sebagai upaya desakralisasi al-Qur’an dan sisi universalitasnya.

Baca Juga: Ragam Penyebutan Manusia dalam Al-Quran, dari Ins sampai Anam

Mudahnya, universalisme bagi mereka ialah berlakunya pemahaman al-Qur’an sebagaimana yang dipahami oleh umat Islam awal sepanjang masa sehingga tidak lagi membutuhkan apa yang biasa diistilahkan oleh para cendekiawan modern dengan reinterpretasi ataupun kontekstualisasi. Dinamisasi ruang dan waktu hanya dijadikan alat bagi mereka untuk membentengi keyakinannya bahwa tafsir klasik atau pemahaman umat Islam awal adalah sakral dan relevan di setiap masa dan tempat.

Sebab bagi mereka dinamisasi ruang dan waktu yang semakin menjauh dari masa Nabi akan semakin mengurangi orisinalitas ajaran Islam. Maka pemahaman maupun penafsiran umat Islam awal adalah pemahaman yang paling mendekati pemahaman orisinil dari ajaran Nabi Muhammad, sang pembawa dan penyampai wahyu, sehingga sangat pantas (atau bahkan wajib bagi mereka) untuk dipertahankan.

Sikap semacam itu dapat dinilai sebagai sikap yang menduakan sakralitas al-Qur’an dengan pemahaman umat Islam awal. Sebab bagaimanapun sakralitas al-Qur’an dibangun atas dasar definisi al-Qur’an itu sendiri, kalamullah, sehingga pemahaman terhadapnya ialah upaya manusiawi yang tidak pantas disakralisasi atau bahkan dijadikan legitimasi sebagai kebenaran mutlak.

Kedua, golongan Liberal. Golongan ini merupakan lawan yang berseberangan secara pemikiran dengan golongan Konservatisme. Mereka membangun doktrin universalisme al-Qur’an dengan juga melakukan dehistorisasi al-Qur’an. Perbedaannya dengan aliran sebelumnya terletak pada usaha mereka yang mengenyampingkan sisi historisitas al-Qur’an yang lahir sepanjang al-Qur’an diwahyukan.

Universalisme bagi mereka ialah mehamami dan menafsirakan al-Qur’an sesuai dengan konteks yang mereka hadapi. Maksudnya pada zaman mereka hidup tanpa perlu menoleh kembali pada sisi historisitas yang telah terbangun secara beriringan selama al-Qur’an diwahyukan. Implikasinya, akan terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang menurut mereka sudah “kadarluarsa” baik secara teks maupun kandungannya. Sebab sudah tidak relevan dengan konteks ruang dan waktu yang mereka hadapi.

Sikap seperti ini bisa dianggap sebagai salah satu sikap yang berupaya mendesakralisasi al-Qur’an. Sebab teks al-Qur’an bersifat tsubut (absolut) sehingga menghilangkannya atas dasar nalar manusiawi ialah sebuah kesalahan fatal. Bagaimana mungkin sesuatu sifatnya hadits (temporer) mampu menghapus sesuatu yang sifatnya qadim (absolut)?

Impikasi lainnya al-Qur’an seakan dimaknai sebagai wahyu yang hadir di tengah kehidupan mereka, tanpa membawa embel-embel historis atau kesejarahan. Dengan begitu al-Qur’an akan bebas untuk dimaknai sesuai keinginan mereka, sebab pertimbangan mereka hanyalah konteks ruang dan waktu yang sedang mereka hadapi. Maka istilah re-interpretasi maupun kontekstualisasi juga tidak terdapat dalam kamus aliran ini.

Ketiga, golongan Moderat atau disebut juga sebagai aliran Kontekstual. Sesuai dengan namanya, golongan ini merupakan golongan yang berada di antara kutub pemikiran yang telah dibahas sebelumnya. Sederhananya golongan ini menjadi model pemikiran yang mengompromikan dan mengadopsi kedua kutub pemikiran yang saling berseberangan.

Maka bagi golongan Moderat, doktrin universalisme al-Qur’an ialah keyakinan bahwa al-Qur’an dan konteks kesejarahannya selalu memiliki ruh atau spirit ideal-universal. Ruh atau spirit ideal-universal al-Qur’an ini, oleh Fazlur Rahman diistilahkan dengan ideal moral dan oleh al-Syatibi diistilahkan dengan illat, yang kemudian menjadi poin utama dari universalisme al-Qur’an sekaligus modal dalam melakukan apa yang disebut sebagai aktivitas re-interpretasi maupun kontekstualisasi.

Baca Juga: Fazlur Rahman: Sarjana Muslim Pencetus Teori Double Movement

Prinsip universalisme yang dipegang oleh golongan terakhir ini memberikan implikasi yang berbeda dari dua aliran sebelumnya. Pertama, golongan Moderat selalu menganggap bahwa sakralitas mutlak milik al-Qur’an dan penafsiran ataupun pemahaman terhadapnya merupakan sesuatu yang sifatnya hadits dan manusiawi sehingga tidak layak disakralkan. Kedua, golongan Moderat tidak mendiskreditkan pemahaman ataupun penafsiran umat Islam awal, sebab bagi mereka umat Islam awal memberikan kontribusi besar bagi penelusuran terhadap ideal moral/ illat.

Ketiga, dalam upaya menjadikan al-Qur’an sebagai inspirasi dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi di masanya, golongan ini tidak menafsirkan al-Qur’an secara “bebas”. Sebab mereka mendasarkan upayanya dengan melakukan re-interpretasi maupun kontekstualisasi yang sederhananya merupakan aktivitas memaknai ulang ideal moral/ illat yang terkandung dalam al-Qur’an sehingga cita-cita ideal yang disampaikan oleh al-Qur’an dapat terus diusahakan dan diwujudkan dalam setiap ruang dan waktu yang dilewatinya.

Dalam hemat penulis, memahami sistem pemetaan pemikiran tafsir adalah suatu hal yang penting, mengingat pergulatan idealisme penafsiran yang semakin kompleks dewasa ini. Pemetaan seperti ini juga dapat membantu para pengkaji al-Qur’an dan Tafsir untuk dapat memilah dan mengkategorisasi penafsiran berdasarkan idealisme yang dianut oleh mufassir yang dikaji, khususnya dalam ranah kajian akademik. Wallahu a’lam.

Sedang Cari Menantu? Ini Anjuran Memilih Menantu Saleh dalam Al-Quran

0
Anjuran memilih menantu saleh dalam Al-Quran
Anjuran memilih menantu saleh dalam Al-Quran

Anjuran memilih menantu saleh dalam Al-Quran salah satunya dapat kita temukan dalam rangkaian kisah Nabi Syuaib As. episode mencarikan menantu saleh untuk anak perempuannya, yang terekam dalam surah Al-Qashash [28] ayat 27. Sebagaimana diketahui, menantu saleh yang dimaksud dalam ayat ini adalah Nabi Musa As.

Orang tua atau wali dari seorang anak perempuan mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan pasangan atau suami anaknya. Bahkan disampaikan dalam satu riwayat, bahwa satu di antara tiga kewajiban orang tua terhadap anaknya, khususnya anak perempuan adalah menikahkannya ketika sudah baligh. Hal ini yang dicontohkan oleh Nabi Syuaib As.

Baca juga: Ingin Dikenang Baik di Dunia dan Akhirat? Amalkan Doa Nabi Ibrahim Ini!

Berikut bunyi Surah Al-Qashash ayat 27.

 قَالَ إِنِّىٓ أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ٱبْنَتَىَّ هَٰتَيْنِ عَلَىٰٓ أَن تَأْجُرَنِى ثَمَٰنِىَ حِجَجٍ ۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَ ۖ وَمَآ أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ ۚ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ

Artinya: “Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik” (QS. Al-Qashash [28]: 27)

Al-Imam Al-Qurtubi berkata dalam tafsirnya: “dalam ayat ini, orang tua/wali perempuan menawarkan putrinya kepada lelaki. Yakni, seorang sholih dari tanah madyan (Nabi Syu’aib As) menawarkan putrinya kepada seorang saleh dari Bani Israel (Nabi Musa As).

Baca juga: Keluarga Ideal Menurut al-Quran dan Perannya Demi Keutuhan Bangsa

Ternyata, sahabat Umar RA pernah melakukan yang hal serupa dengan Nabi Syu’aib AS. Yakni, menawarkan putri beliau Hafshah yang saat itu menjanda lantaran suaminya Khunais bin Hudzafah Assahmi wafat di Madinah. Adapun sebab kematianya, ulama berbeda pendapat terkait luka yang mengakibatkan kematianya. Ada yang mengatakan luka diperoleh saat perang Uhud, ada pula yang mengatakan luka didapat saat perang Badar. Beliau termasuk sahabat Rasullullah.

Sahabat Umar RA menawarkan Hafshah kepada Abu Bakar RA kemudian kepada Utsman RA. Namun keduanya tidak memberikan respon tawaran tersebut lantaran keduanya telah mengetahui bahwa Rosulullah pernah menuturkan Hafshah dengan kebaikan. Keduanya faham bahwa Rosulullah menghendaki menikahi Hafshah. Namun, kedunya enggan menyebarkan rahasia rosulullah. Demikin hadis yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan An-Nasa’i dari Ibnu Umar yang kemudian dinuqil oleh syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsirnya, Tafsir al-Munir, juz 13, halaman. 281.

Selanjutnya, Az-Zuhaili menjelaskan, kalimat أُنْكِحَكَ dalam ayat diatas menunjukan bahwa yang menikahkan adalah wali bukan wanita itu sendiri. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Dari kalimat itu juga, meberikan pengertian bolehnya wali menikahkan putrinya yang sudah baligh dengan tanpa berkonsultasi terlebih dahulu.

Baca juga: Ikutilah Nabi Muhammad Saw Niscaya Allah Mencintai Dirimu

Ayat إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ dijadikan dalil oleh Syafi’iyah bahwa dalam sighat pernikahan hanya sah jika mengunakan kalimat tazwij atau inkah saja. Berbeda dengan Hanafiyah yang mengatakan aqad nikah sah dengan semua lafadz memberikan kepemilikan selamanya semisal kata hibah atau selainnya.

Dari ayat di atas, Syariat kita menetapkan kebolehan menjadikan manfaat sebagai mahar. Dalam hadits disebutkan bahwa ada seseorang yang tidak memiliki apapun kecuali sesuatu dari al-Qur’an. Hadis ini diriwayatkan oleh banyak imam dalam salah saru riwayatnya disebutkan,

فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:” مَا تَحْفَظُ مِنَ الْقُرْآنِ” فَقَالَ: سُورَةُ الْبَقَرَةِ وَالَّتِي تَلِيهَا، قَالَ: فَعَلِّمْهَا عِشْرِينَ آيَةً وَهِيَ امْرَأَتُكَ

Artinya: “Rosulullah berkata kepada laki-laki itu: “Apa yang engkau hafal dari Al-Quran?” Laki-laki tersebut menjawab “Surah al-Baqarah dan Surah berikutnya”. Nabi berkata: “Ajarkanlah dia 20 ayat maka dia menjadi istrimu”.

Dalam permasalahan ini, ulama berbeda pendapat menjadi tiga pendapat. Pertama,  Imam Malik menganggapnya makruh. Kedua, Ibnu Qasim dan Madzhab Hanafi tidak memperbolehkan. Ketiga, Ibnu Habib, Madzhab Syafi’i dan Hanabilah memperbolehkan manfaat ijarah dijadikan sebagai mahar. (Tafsir Qurtubi, juz 13, halaman. 273)

Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al Insyiqaq Ayat 10-25

0
tafsir surah al insyiqaq
Tafsiralquran.id

Tafsir Surah Al Insyiqaq Ayat 10-25 ini menuturkan tentang golongan kedua, yaitu orang-orang yang tidak beruntung, setelah sebelumnya sempat disinggung mengenai golongan yang mendapatkan hisab yang mudah dan ringan.


Baca juga: Tafsir Surah Al Insyiqaq Ayat 1-9


Dalam Tafsir Surah Al Insyiqaq Ayat 10-25 ini dikatakan bahwa golongan kedua tersebut adalah orang-orang yang berprilaku buruk ketika di dunia. Salah satunya adalah mendustakan ayat-ayat Allah dan utusan Allah Swt.

Ayat 10-12

Dalam ayat-ayat ini, Allah menerangkan bahwa golongan kedua adalah mereka yang banyak mengerjakan perbuatan maksiat, durhaka, dan tidak diridai Allah. Mereka akan menerima catatan perbuatan mereka dengan tangan kiri, dan dari belakang, kemudian mereka dimasukkan ke dalam neraka.

وَاَمَّا مَنْ اُوْتِيَ كِتٰبَهٗ بِشِمَالِهٖ ەۙ فَيَقُوْلُ يٰلَيْتَنِيْ لَمْ اُوْتَ كِتٰبِيَهْۚ  ٢٥  وَلَمْ اَدْرِ مَا حِسَابِيَهْۚ  ٢٦  يٰلَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَۚ  ٢٧  مَآ اَغْنٰى عَنِّيْ مَالِيَهْۚ   ٢٨  هَلَكَ عَنِّيْ سُلْطٰنِيَهْۚ  ٢٩

Dan adapun orang yang kitabnya diberikan di tangan kirinya, maka dia berkata, “Alangkah baiknya jika kitabku (ini) tidak diberikan kepadaku. Sehingga aku tidak mengetahui bagaimana perhitunganku. Wahai, kiranya (kematian) itulah yang menyudahi segala sesuatu. Hartaku sama sekali tidak berguna bagiku. Kekuasaanku telah hilang dariku.” (al-Haqqah/69: 25-29)

Ayat 13-14

Dalam ayat-ayat ini, Allah menjelaskan bahwa ada dua hal yang menjadi sebab mengapa mereka menerima catatan amalnya dengan tangan kiri, yaitu: pertama, mereka berbuat sekehendak hatinya, mengerjakan kejahatan dan kemaksiatan dengan tidak memikirkan akibat buruk yang akan menimpa mereka di akhirat kelak.

Kedua, mereka menyangka bahwa mereka tidak akan kembali kepada Tuhannya dan tidak akan dibangkitkan kembali untuk dihisab dan menerima hasil perbuatan mereka di dunia.

Ayat 15

Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa mereka sesungguhnya akan kembali kepada-Nya dan akan menerima hasil perbuatan mereka di dunia. Orang yang saleh dan patuh mengerjakan perintah-Nya akan dimasukkan ke dalam surga, sedang orang yang durhaka dan banyak berbuat maksiat akan dimasukkan ke dalam neraka.

Ayat 16-19

Dalam ayat-ayat ini, Allah bersumpah dengan cahaya merah pada waktu senja, dengan malam dan apa-apa yang diselubunginya dan dengan bulan apabila jadi purnama bahwa sesungguhnya manusia melalui tahap demi tahap dalam kehidupan, dari setetes air mani sampai dilahirkan.

Kemudian melalui masa kanak-kanak, remaja dan dewasa sampai tua. Kemudian dari hidup sampai mati, lalu dibangkitkan kembali, hidup kembali di surga atau neraka setelah melalui ujian dan perhitungan yang sangat teliti.

Ayat 20

Dalam ayat ini, Allah mencela sikap dan perbuatan mereka, “Mengapa mereka masih tidak mau beriman, sedangkan bukti telah nyata menunjukkan adanya hari kebangkitan itu?” Firman Allah:

زَعَمَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَنْ لَّنْ يُّبْعَثُوْاۗ قُلْ بَلٰى وَرَبِّيْ لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْۗ وَذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌ   ٧

Orang-orang yang kafir mengira, bahwa mereka tidak akan dibangkitkan. Katakanlah (Muhammad), “Tidak demikian, demi Tuhanku, kamu pasti dibangkitkan, kemudian diberitakan semua yang telah kamu kerjakan.” Dan yang demikian itu mudah bagi Allah. (at-Tagabun/64: 7)

Ayat 21-22

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa mereka tidak mau mengakui bahwa Alquran itu kalam Ilahi yang harus dimuliakan dan dipatuhi serta tidak mengakui bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw utusan Allah.


Baca juga: Kajian Semantik Kata Membaca dan Konteksnya dalam Al-Quran


Ayat 23-24

Dalam ayat-ayat berikut ini, Allah menerangkan sebab mereka tidak mau mengakuinya, yaitu:

  1. Mereka dengki kepada Nabi Muhammad atas kelebihan yang telah dikaruniakan Allah kepadanya.
  2. Mereka takut kehilangan pengaruh dan kedudukan sebagai pemimpin bangsanya.
  3. Mereka tidak mau mengganti kepercayaan yang telah dianut oleh nenek moyang mereka dengan kepercayaan yang lain. Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dalam hati mereka. Oleh karena itu, Allah mengejek mereka dengan kata-kata, “Berilah kabar gembira kepada mereka dengan azab yang pedih di hari Kiamat nanti.”

Ayat 25

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, percaya kepada Alquran, serta mengerjakan ajarannya dengan sebaik-baiknya, akan mendapat ganjaran dari Allah yang tidak ada putus-putusnya, abadi selama-lamanya.


Baca setelahnya: Surah Al Buruj Ayat 11-22


(Tafsir Kemenag)