Beranda blog Halaman 397

Mengaplikasikan Ilmu Isytiqaq pada Lafadz Salat dalam Al-Quran

0
Ilmu Isytiqaq pada Lafaz Salat
Ilmu Isytiqaq pada Lafaz Salat

Pada tahun 2019, penulis menyelesaikan tugas akhir di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan melakukan penelitian tentang pembacaan lafadz Salat (صلاة) yang sudah pahami secara umum dan pakem. Hanya saja, ketika wacana ini dibaca melalui Ilmu Isytiqaq akan memunculkan banyak ruang kosong, di antaranya ialah munculnya derivasi yang tidak familiar untuk dikaji.

derivasi lafad salat
derivasi lafad salat

Makna keseluruhan dari tasrîf-an di atas mayoritas menunjukkan makna ibadah shalat dan derivasi makna lain yang masih dalam ranah jenis ibadah. Sedangkan bentuk masdar-nya menunjukkan makna yang berbeda, yakni makna terbakar.

Jika wazan tsulasî mazid itu dikembalikan kepada wazan yang asal (tidak ada tambahan, tsulasî mujarrad), maka keseluruhan maknanya menunjukkan makna terbakar, baik bentuk fi’il-nya, fâ’il-nya, masdar-nya, dan sebagainya.

derivasi lafad salat 2
derivasi lafad salat 2

Tashrif tersebut menunjukkan bahwasanya ada hubungan antara derivasi-derivasi kelas makna shalat dan ayat-ayat tasliyah (terbakar) yang muncul melalui pendekatan teori isytiqâq saghîr terhadap kosa kata sad-lam-wawu.

Baca juga: Sihir itu Nyata ataukah Hayalan? Inilah Tafsir Ayat tentang Sihir

Akan tetapi, meskipun derivasi tashliyah disebutkan sebanyak 25 kali dalam al-Quran, sayangnya dari beberapa kamus dan tafsir, belum ada penjelasan dengan jelas mengenai hubungan antara keduanya dari sekian banyak ayat yang mempunyai kosa kata yang berasal dari sad-lam-wawu, kecuali Raghib Al-Ashfahani dalam Mu’jam-nya. Al-Ashfahani memaknai shalat sebagai bentuk penegasian (al-salb) dari tashliyah.

Pembacaan Umum Mengenai Shalat

Shalat menurut ulama Fikih dimaknai sebagai suatu ibadah yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Tidak hanya dilakukan oleh umat muslim, shalat juga dilakukan oleh umat-umat agama lain dengan bentuk shalat yang berbeda-beda.

Meski berbeda cara dan bentuk, shalat bagi tiap-tiap agama mempunyai esensi yang sama, yakni suatu tindakan yang merepresentasikan praktik ritual keagamaan agar mendekatkan diri dan berdoa kepada Tuhan untuk mendapatkan kebaikan-Nya. Hal ini sesuai dengan wacana Islam, di mana shalat secara etimologi ialah doa, pujian, pengagungan, permohonan ampunan, dan hubungan makhluk dengan Allah. Di mana kesemuanya tercakup dalam ruang lingkup jenis ibadah.

Pecahan-pecahan (Musytaqat) Shalat dalam al-Quran

Berdasarkan Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim, penyebutan kosa kata bermateri sad-lam-wawu ada sebanyak 124 kali dalam 22 bentuk musytaq (pecahan)-nya. Secara garis besar, terbagi menjadi 2 kelas makna: 1) Kelas makna jenis ibadah, sebanyak 99 kali penyebutan, dan 2) Kelas makna terbakar, sebanyak 25 kali penyebutan.

Pembacaan Isytiqaq Tashliyah dalam Al-Qur`an

Pada kelas makna kedua, kata tasliyyah dan segala pecahannya mempunyai kesan makna terhadap suatu proses atau aktivitas yang berkaitan dengan unsur panas api untuk merasakan dampaknya, entah metodenya sekedar mendekatkan saja, menyentuhnya atau bahkan memasukkan ke dalam tengah-tengahnya. Dampak panas api yang dikehendaki juga berbeda-beda, entah bertujuan untuk sekedar membuat sesuatu menjadi hangat, masak dan matang, atau bahkan menghanguskannya.

Wacana yang digunakan secara umum terbagi menjadi dua dimensi: 1). Aktivitas masyarakat yang memanfaatkan api, seperti memanggang, menyate dan membakar, juga 2). Proses penyiksaan, yang dibawa ke dalam wacana eskatologi. Sehingga kata “membakar” sebagai makna leksem dari kata salâ ini, mempunyai dua sisi kesan sekaligus: Pertama, kesan positif seperti membersihkan dan membunuh kuman (dengan panasnya api), dan kedua, kesan negatif yang mengarah kepada hangus, hilang, binasa, dan kerugian.

Baca juga: Melihat Al-Quran sebagai Pembungkam Nalar Sastra Arab

Ada beberapa poin menarik dalam sintagma kelas makna ini dalam al-Qur`an: 1). ketika membicarakan isytiqâq tasliyah dalam inter-strukturnya, al-Qur`an juga menampilkan ayat-ayat oposisi (pembanding) untuk membantu pemaknaan melalui mafhûm mukhâlafah. 2). Kebanyakan ayat-ayat yang berbicara mengenai balasan surga atau neraka ber-qarinah dengan frase khâlidîna fîhâ, fîhâ khâlidûn, (kekal di dalamnya) dan sejenisnya.

Akan tetapi sintagma tasliyyah dalam al-Qur`an sama sekali tidak menggunakan frase tersebut. Hal ini menunjukkan bahwasanya bisa jadi aktivitas tasliyyah (membakar) tidak bersifat kekal, atau hanya tidak ada sangkut pautnya dengan kekal tidaknya balasan tersebut.

Poin terakhir aktivitas tasliyyah dalam sintagma al-Qur`an senantiasa ber-qarinah dengan suatu kasus atau perilaku yang dilakukan oleh agensi tertentu yang melatarbelakangi adanya “pembakaran” sebagai hasil yang didapat. Hal yang melatarbelakangi hukuman “pembakaran” tersebut ialah buruknya hubungan spiritual, sehingga hubungan kepada Tuhan tidak dijadikan prioritas bahkan tujuan, disebabkan mereka terjebak dengan kenikmatan duniawi. Karenanya, berbagai cara mereka lakukan untuk mendapatkan kenikmatan duniawi tersebut, bahkan itu jika bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai agama. Kesemuanya itu mengarahkannya kepada kebinasaan, kerugian, dan kehancuran.

Relasi Makna Shalat dan Tashliyah

Secara strukturalnya, kata salâh dan pecahannya merujuk kepada suatu tindakan yang menjaga dan memelihara hubungan spiritual antara manusia sebagai hamba dengan Penciptanya secara baik.

Hubungan spiritual tersebut merepresentasikan nilai penyerahan, kerendahan diri dan kekaguman terhadap Allah swt. Selain itu, hubungan tersebut merupakan ekspresi religiusitas pada level sosial.

Sebaliknya, kata tasliyyah dan pecahannya merujuk kepada kerugian dan kehancuran yang dihasilkan dari suatu tindakan yang merusak dan memutuskan hubungan spiritual. Tindakan negatif pada dasarnya bersifat seperti api, yaitu membakar segala sesuatu yang tersentuhnya. Akibat dari persentuhan tersebut dapat berupa kerusakan sampai pada pemutusan hubungan spiritual antara makhluk dan Penciptanya.

Baca juga: Sejarah Lembaga Tahfiz Al-Qur’an di Indonesia

Kaitan makna antara salâh dan tasliyyah terletak pada perbedaan ekspresi dan amaliyah keberagamaan seseorang. Struktur sad-lam-wawu pada pecahan kata makna salâh terhadap keberagamaan seseorang diilustrasikan sebagai mukmin yang menjaga hubungan spiritual. Pada posisi ini kehidupan dunia didudukkan sebagai salah satu media untuk memelihara hubungan spiritual tersebut. Alhasil, dia menjadi berorientasi pada kebaikan di dunia dan akhirat.

Sebaliknya, struktur sad-lam-wawu pada pecahan kata makna tasliyyah terhadap keberagamaan seseorang diilustrasikan sebagai manusia secara umum yang tidak menjaga hubungan spiritual secara baik. Konsekuensi dari sikap seperti ini, kehidupan dunia didudukkan sebagai tujuan hidup itu sendiri.  Sehingga akibatnya dapat memutuskan tali hubungan spiritual tersebut. Alhasil, dia bisa celaka di dunia maupun di akhirat.

Adapun relasi kedua kategori makna dari pecahan sad-lam-wawu ini, penulis memahami bahwa pendapat al-Râghîb al-Asfahânî tentang fungsi pencegahan tasliyyah dengan salâh, terkonfirmasi.

Bentuk relasi ini disebut dengan relasi oposisi direksional konversal menurut Cruse, yakni hubungan antar bentuk yang beroposisi makna berdasarkan hubungan arah. Bentuk penegasian ini meliputi: 1). Aspek spiritual seperti menumbuhkan rasa taat dan tunduk kepada Tuhan yang didasari kerendahan hati dan kekaguman kepada-Nya, 2). Aspek psikis seperti memunculkan rasa optimisme dan ketenangan diri, juga melatih dan mengubah kesadaran berpikir atau mind control terhadap tujuan hidup dan kebahagiaan hakiki, dan 3). Aspek fisik seperti menjaga cekatan, kelenturan, kesigapan dan selalu muda dan kuat.

Insecure dengan Potensi Diri? Perhatikan Tafsir Surah Al-Isra Ayat 84!

0
Insecure dengan potensi diri
Insecure dengan potensi diri

Pada era milenial ini, kata insecure sering kita dengar di dunia maya maupun pada circle pertemanan. Akan tetapi bisa jadi kata insecure muncul dari dan untuk diri kita sendiri. Insecure diartikan dengan perasaan tidak aman dan tidak nyaman yang membuat seseorang menjadi merasa takut, gelisah, galau, malu hingga tidak percaya diri. Sebenarnya, banyak faktor yang dapat menyebabkan seseorang merasa insecure, baik insecure dengan potensi diri sendiri maupun lingkungannya. Merasa rendah dari orang lain, merasa gagal, banyak kekurangan atau merasa tidak mempunyai potensi apapun merupakan salah satu penyebab hadirnya perasaan insecure dari diri sendiri. Sementara itu, pandangan orang lain yang meremehkan, mencemooh juga memandang sebelah mata bisa jadi penyebab muncul perasaan insecure.

Baca juga: Kegundahan Nabi Muhammad Saw Dibalik Turunnya Surah Ad-Dhuha

Jika tidak diatasi, kondisi tersebut dikhawatirkan membuat potensi seseorang tidak berkembang. Dilansir dari laman Alodokter, rasa insecure bisa diatasi di antaranya dengan berusaha untuk selalu berfikir positif, berhenti menyalahkan diri sendiri, tidak membandingkan diri dengan orang lain, menghindari orang-orang yang membuat insecure, dan melakukan hal-hal yang membuat diri kita bahagia.

Dalam Al-Quran pun, Allah menyangkal sikap-sikap yang mengakibatkan insecure, misalnya dengan mengajarkan selalu bersyukur (Q.S Ibrahim [14]: 7), larangan bersikap lemah dan bersedih hati (Q.S Ali Imran [3]: 139), menumbuhkan percaya diri (Q.S Fussilat [41]: 30) dan memahami akan potensi manusia yang berbeda-beda (Q.S Al-Isra [17]: 84).

Mentadabburi ayat-ayat di atas merupakan salah satu bentuk usaha kita untuk menghindari perasaan insecure. Terkait dengan insecure dalam hal potensi diri, kali ini mari kita perhatikan surah Al-Isra ayat 84, bagaimana para mufassir mengungkap makna dan pesan di dalamnya.

Tafsir Surah Al-Isra ayat 84

قُلْ كُلٌّ يَّعْمَلُ عَلٰى شَاكِلَتِهٖۗ فَرَبُّكُمْ اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ اَهْدٰى سَبِيْلًا

Katakanlah (Muhammad), “Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaanya masing-masing.”Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.

Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar Juz 15, 4108 memaknai ayat ini dengan potensi manusia bekerja menurut bakatnya masing masing.  Lafad syakilatihi diartikan dengan bawaan atau bakat. Menurut Hamka, setiap orang dilahirkan bersama dengan pembawaanya, bahkan sudah ditentukan sejak dalam rahim. Pembawaan tersebut bermacam-macam seperti dalam hal warna kulit, rupa, ataupun perangai. Hal tersebut mengindikasikan seseorang tidak serupa dengan yang lain. Setiap manusia membuat syakilah-nya masing-masing. Syakilah tersebut di antaranya dibentuk dengan daerah tempat ia dilahirkan, pergaulan di waktu kecil, lingkungan orang tua, pendidikan, pengalaman, perantauan, maupun perlawatan. Semua hal tersebut membentuk jiwa setiap manusia.

Menurut Hamka, melalui ayat ini Allah memerintahkan manusia bekerja sesuai dengan bakat (bawaan) nya masing-masing. Sebab itu, sudah seharusnya manusia mengenal siapa dirinya dan memaksimalkan potensi di dalam dirinya. Dengan demikian, siapapun bisa mencapai amal kebaikan di hadapan Allah dengan potensinya masing-masing. Oleh sebab itu dalam rangka mengenal diri sendiri menjadi syarat mutlak dalam mendekati Allah swt.

Baca juga: Dua Potensi Manusia yang Dijelaskan dalam Al-Quran: Tafsir Surat Asy-Syams Ayat 7 – 10

Sementara itu, mufasir lain seperti al-Quthubi memaknai lafad syakilatihi dengan ‘keadaanya’. Menurutnya, tiap-tiap orang berbuat atas keadaanya masing-masing. Qurthubi dalam kitabnya, al-Jami’ li Ahkam Al-Quran (Tafsir Al-Qurthubi), juga menghimpun beberapa pendapat mufasir lain terkait makna syakilatihi. Di antaranya Mujahid “Menurut tabi’at dan kemampuannya”, al-Farra’, “sesuai dengan cara dan jalan yang telah diciptakan sebagai bawaan dirinya”. Ada juga yang berpendapat, “Katakanlah, masing-masing tetap mengerjakan apa-apa yang sulit baginya dengan cara yang dia yakini paling tepat baginya”, “Engkau tidak seperti bentukku dan tidak pula seperti keadaanku” Setiap orang sesuai dengan pekerjaanya, seseorang tidak melakukkan selain keahliannya.

Berdasar pada berbagai penjelasan di atas, setidaknya memberikan penjelasan kepada kita bahwa potensi diri setiap orang itu berbeda-beda, jadi sepantasnya kita tidak merasa insecure perihal potensi diri. Kita harus menyadari bahwa Allah menghendaki setiap orang berbeda dan memiliki potensi yang berbeda pula.

Baca juga: Misteri Kata “Dzalika” dalam Surah Al-Baqarah Ayat 2

Setiap orang, dari pada mengeluh atau sangat senang ketika keadaan sangat baik dan tertekan apabila keadaan buruk, kenyataanya adalah setiap orang memiliki jatah keadaan baik dan buruk. Kita semua perlu melewati semua itu sesuai dengan syakilah masing-masing. Hal tersebut juga berkolerasi dengan bagaimana hubungan kita dengan menjalankan perintah Allah, karena Allah mengetahui siapa yang lebih benar jalannya (ujung ayat 84).

Setiap manusia mempunyai kapasitas yang berbeda-beda untuk beribadah dan menjalankan semua perintah Allah sesuai dengan porsi dan posisi masing-masing. Sebagaimana menurut Hamka di awal, yang perlu kita lakukan adalah mengenal diri sendiri dan memaksimalkan potensi yang ada. Dan yang paling penting adalah bagaimana potensi yang kita miliki menjadi sebuah amal kebaikan yang bisa memberikan kemanfaatan buat diri sendiri dan orang lain. Sehingga pada akhirnya diharapkan kita bisa merubah  sikap insecure menjadi secure. Wallahu’alam.

Mengenal Vernakularisasi Tafsir Al-Quran di Bugis

0
Tafsir Al-Munir karya AG H Daud Ismail, jilid IV/ vernakularisasi tafsir Al-Quran di Bugis
Tafsir Al-Munir karya AG H Daud Ismail, jilid IV/ vernakularisasi tafsir Al-Quran di Bugis

Vernakularisasi atau secara sederhana disebut proses pem-bahasa-lokal-an sudah bukan lagi barang baru dalam tradisi keilmuan masyarakat kita. Vernakularisasi tafsir Al-Quran di Bugis sendiri baru terjadi sekitar tahun 1940-an. Ini ditandai dengan penggunaan aksara Bugis (lontara) oleh ulama Sulawesi Selatan dalam tafsirnya.

Tentang vernakularisasi tafsir Al-Quran di Nusantara

Untuk vernakularisasi sendiri, dijelaskan lebih lanjut oleh Anthony H. Johns, bahwa vernakularisasi mulanya berkaitan dengan ajaran agama yang awalnya menggunakan bahasa Arab. Kemudian diganti dengan penerjemahan atau ditulis menggunakan aksara yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Hal ini kemudian senada dengan apa yang dikatakan oleh Azyumardi Azra bahwa vernakularisasi yakni proses pembahasaan kata-kata atau konsep kunci dari bahasa Arab ke bahasa lokal di Nusantara.

Di berbagai wilayah Nusantara terjadi vernakularisasi keilmuan Islam secara umum. Setidaknya perkembangan tersebut bisa dilihat pada paruh abad ke-17, tidak terkecuali dengan perkembangan tafsir Al-Quran. Nur Kholis Setiawan dalam Tafsir Mazhab Indonesia menyebut bahwa beberapa karya di Nusantara, telah banyak melakukan enkulturasi budaya lokal dalam memahami Al-Quran.

Hal ini menjadi salah upaya pemeliharaan Al-Quran dengan memberikan penafsiran yang sesuai dengan keadaan masyarakat setempat, tanpa mengorbankan teks dan juga tanpa mengorbankan bagian penting dari masyarakat seperti, budaya bangsa dan kepribadian.

Kemudian lahirlah beragam tafsir di Nusantara dengan kondisi sosial-budaya yang beraneka macam. Proses yang sangat panjang inilah yang kemudian pada perkembangan berikutnya memunculkan banyak karya tafsir dengan aksara lokal. Diawali oleh era Abd. Rauf Sinkili (1615-1693) di abad 17 sampai kepada era Quraish Shihab pada awal abad 21. Rentang waktu sekian tahun tersebut, banyak bermunculan tafsir-tafsir di Nusantara termasuk di wilayah Sulawesi. Tahun 1940-an aksara Bugis yang biasa disebut lontara dipakai oleh ulama di Sulawesi Selatan dalam menulis tafsir.

Baca Juga: Manuskrip Al-Qur’an Bone: Mushaf Kuno dengan Fitur Terbanyak yang Kini Disimpan di Kanada

Tafsir Al-Quran beraksara Bugis (lontara)

Vernakularisasi tafsir Al-Quran di Bugis salah satunya dapat dilihat dari penggunaan aksara Bugis. Aksara Bugis (lontara) sendiri memiliki istilah lama yaitu Sure’ Ugi yakni jenis bentuk tulisan huruf kuno yang memberikan gambaran budaya di masa lalu. Orang Bugis menyebutnya dengan Hurufu Sulapa Eppa (Huruf Segi Empat). Kesusasteraan Bugis yang ditulis dengan lontara telah dimulai sekitar abad ke-XVI, sebelum agama Islam dianut secara umum oleh masyarakat di Sulawesi Selatan.

Pada mulanya kesusasteraan Bugis yang dituliskan adalah kesusasteraan suci berupa mantra-mantra dan kepercayaan mitologis. Lambat laun mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan lontara dan sikap hidup masyarakat dan kebudayaannya. Termasuk  dalam hal ini juga yakni dipakai menulis tafsir. Lontara sendiri pun menurut penamaannya diambil dari fungsi daun lontar yang dulu dipakai sebagai tempat menulis.

aksara lontara
aksara lontara

Berikut beberapa karya tafsir yang ditulis menggunakan aksara lontara. Tafsir Bahasa Boegisnja Soerah Amma menjadi karya tafsir pertama yang ada di Bugis. Tafsir ini ditulis oleh AG.H. Muhammad As’ad pada tahun 1948. (AG merupakan akronim dari Anrégurutta, sebutan khusus untuk ulama atau maha guru dalam tradisi pesantren di Bugis).

Baca Juga: Mushaf Al-Quran Pojok Menara Kudus sebagai Simbol Lokalitas

Di tahun 1961 terbit Tafsir al-Qur’an bi al-Lughat al-Bugisiyah, Tafsere Akorang Bettuwang Bicara Ugi yang ditulis oleh AG.H. M. Yunus Martan. Karya ini menafsirkan tiga juz pertama dari Al-Qur’an. Selanjutnya karya yang ditulis oleh AG. H. Abduh Pabbajah adalah Tafsir al-Qur’an al-Karim bi Lughah al-Buqisiyah. Di sini ia menafsirkan enam surah pendek (al-Fātihah, an-Nas, al-Falaq, al-Lahab, an-Naşr). Baru kemudian, di tahun 1985 terbit tafsir pertama yang lengkap 30 juz, yakni Tafsir al-Munir yang ditulis  oleh AG. H. Daud Ismail.

Disusul beberapa tahun setelahnya muncul tafsir yang juga lengkap 30 juz yaitu Tafsir al-Qur’an al-Karim (Tafséré Akorang Mabbasa Ugi). Tafsir yang mulai ditulis 1988-2006 merupakan karya tim dari MUI Sulawesi Selatan yang biasa juga disebut karya AG. H. Muin Yusuf.

Pada dasarnya unsur penting dalam vernakularisasi adalah bahasa yang tidak hanya berfungsi sebagai ciri etnik, tetapi juga sebagai representasi sebuah budaya. Sebagai upaya dalam mengekspresikan budaya, membentuk budaya dan juga  menyimbolkan realitas budaya.

Selanjutnya vernakularisasi menjadi upaya menyerap bahasa lokal ke dalam kitab-kitab tafsir ataupun ajaran Islam yang diterjemah atau ditulis menggunakan aksara lokal. Proses vernakularisasi tidak hanya mengalihkan dari segi bahasa, sekadar terjemahan atau menjelaskan makna di balik teks, tetapi juga melakukan penyelarasan konsep dan nilai ajaran ke dalam alam budaya penafsir.

Konsep dan nilai keislaman didialogkan dan diselaraskan dengan kearifan pandangan hidup yang melingkupi penafsir. Termasuk juga pengolahan berbagai gagasan dalam bentuk bahasa, tradisi dan juga budaya masyarakat lokal.

Paling tidak urgensi signifikan dari keberadaan vernakularisasi tafsir Al-Quran di Bugis yang ditulis dengan aksara lontara atau secara umum yang dilakukan oleh ulama di Nusantara tidak lain sebagai bentuk pembumian kitab suci Al-Qur’an. Untuk selanjutnya sebagai proses transmisi keilmuan, dan juga sebagai upaya untuk melestarikan budaya lokal yakni penjagaan budaya melalui bahasa, maupun sikap hidup yang terkandung di dalam tafsir.

Pada akhirnya tidak berlebihan ketika mengatakan bahwa adanya vernakularisasi memberikan kekhasan tersendiri pada karya tafsir. Hal ini tentu bisa disandingkan dengan apa yang dikatakan oleh Andreas Gorke tentang pendefinisian ulang batasan tafsir, bahwa dalam kategori RegionalParticularities Exegesis; kekhasan sebuah teks dari ruang lokal yang mempengaruhi isi tafsir.

Melihat Al-Quran sebagai Pembungkam Nalar Sastra Arab

0
Al-Quran membungkam nalar Sastra Arab
Al-Quran membungkam nalar Sastra Arab

Mukjizat hadir sebagai kompetitor mutlak atas kondisi umat pada satu masa. di masa Rasulullah SAW. Bangsa Arab dikenal memiliki peradaban sastra yang sangat tinggi (Ahlul Fasahah wal Bayan). Sastra Arab bahkan mengungguli Yunani pada saat itu. Maka, Mukjizat yang diturunkan Allah pada Nabi Muhammad SAW, adalah mukjizat yang “membungkam” insting sastra pada masa itu. Tantangan untuk membuat teks yang mengungguli Al-Quran dari segi ekspresi, bahasa, dan kandungan masih terbuka hingga saat ini bagi bangsa Arab, dan bahkan seluruh manusia. Dr. Ahmad Darwish, pakar linguistik Al-Quran Cairo University dalam bukunya Al-Balaghah Al-Quraniyah : Dirasah Fi Jamaliyyat An-Nash Al-Qur’any menyebutkan:

وَكَانَ الْمُعْجِزَةَ الْبَيَانِيَّةَ وَالْخَالِدَةَ عَلَى صَفَحَاتِ التَّارِيْخِ الْإِنْسَانِيِّ الدَّالَّةِ عَلَى صِدْقِ رِسَالَةِ مُحَمَّدِ الْأَمِيْنِ، وَأَنَّهُ جَاءَ بِكِتَابٍ مِنْ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ يُمَثَّلُ غَايَةَ التَّحَدِّي وَالْإِعْجَازِ لِلْعَرَبِ، بَلْ لِلْبَشَرِيَّةِ جُمَعَاءِ أَنْ يَأْتُوْا بِمِثْلِ قُرْآنِهِ لَفْظاً وَفِكْراً وَتَعْبِيْراً.  وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ سِوَى الْعُجْزِ وَالْاِسْتِسْلَامِ أمَامَ بَلَاغَةِ الْقُرْآنِ.

“Al-Quran adalah Mukjizat yang verbal nan abadi dalam lembaran sejarah peradaban manusia. Bukti atas kebenaran Risalah Muhammad Al-Amin. Beliau (Rasulullah) datang dengan membawa kitab suci dari Tuhan semesta alam, memainkan peran sebagai tantangan tertinggi, serta melumpuhkan (kehebatan sastra) bangsa Arab, bahkan seluruh umat manusia, agar membuat sesuatu yang mampu menyamai Al-Quran Rasulullah baik secara lafadz, ide, maupun ekspresi. Akhirnya, mereka (bangsa Arab) hanya bisa tunduk dan menyerah di hadapan (kekuatan)  Balaghah Al-Quran”

Baca juga: Mengenal Mustansir Mir dan Unsur-Unsur Sastra Dalam Al-Quran

Al-Quran memang diturunkan menggunakan Bahasa Arab, namun level kesustraannya secara substansial telah melampaui Bangsa Arab pada saat itu. Dr. Shalahuddin Abdut Tawwab dalam bukunya As-Shurah Al-Adabiyah Fi Al-Quran Al-Karim menyatakan :

وَمَعَ أَنَّ الْقُرْآنَ جَاءَ بِهَذَا اللِّسَانِ الْعَرَبِيِّ الْمُبِيْنِ، وَعَلَى طَرِيْقَةِ الْعَرَبِ فِيْ اْلأَدَاءِ وَالتَّعْبِيْرِ، لَكِنْ هَيْهَاتَ أَنْ تُرَقِّيَ أَسَالِيْبِهِمْ إِلَى أُسْلُوْبِهِ مَعَ كَثْرَةِ مَا جَائُوْا مِنْ مَحَاسِنِ الشِّعْرِ وَعُيُوْنِ النَّثْرِ. إِذْ إِنَّ لُغَةَ القرآنِ تَدَفَّقَتْ بِأسلوبِ مُبْدِعٍ لَا عَهْدَ لِلأَسماعِ بِمثلهِ، فَلَا هُوَ مَوْزوْنٌ مُقَفَّى، وَلَا هُوَ مُرَصَّعٍ مُسَجَّعٍ يَتَجَزَّأَ فِيْه الْمَعْنَى فِي عَدَدٍ مِن الفَقْرِ وَلَا هُوَ مُرْسَلٌ يَطْرَدُ أسلوبُهُ دُونَ تَقْطِيْعٍ أَوْ تَسْجِيْعٍ.

“dan karena bahswasanya Al-Quran  diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas, serta teknik – teknik bangsa Arab dalam penggunaan dan ekspresinya. Namun sangat mustahil gaya bahasa bangsa Arab yang digunakan dalam Syair- syair yang indah, serta prosa – prosa yang elok mampu melampaui gaya bahasa Al-Quran. Sehingga bahasa Al-Quran meluap dengan menggunakan uslub – uslub yang inovatif, tak pernah terdengar ada yang menyamainya.  Al-Quran tidak berwazan maupun berqafiyah, tidak pula punya rima dan sajak yang terbagi – bagi maknanya dalam beberapa alinea. Al-Quran tidak pula hilang ke-khasan stilistiknya tanpa menggunakan pola arudh dan sajak”

Baca juga: Misteri Kata “Dzalika” dalam Surah Al-Baqarah Ayat 2

Kekuatan sastra Al-Quran sendiri telah terbukti punya validasi yang kuat dan cukup untuk membuat Abna’ Al-Lughah (Penutur bahasa aslinya) menjadi takjub dan kagum dengan pola sastranya. Salah satu buktinya, adalah kisah mengenai Abu Jahal yang seringkali curi-curi waktu untuk mendengarkan syahdunya Al-Quran. Ini menunjukkan bahwa porsi sastra dalam Al-Quran mampu membuat orang yang bahkan tak mau mengimaninya menjadi terlena dengannya. Al-Quran seakan menyihir akal dan hati mereka untuk terus mendengarkan lantunannya. Inilah yang dinamakan I’jaz atau kehebatan Al-Quran, kemampuan Al-Quran untuk mendorong seseorang melakukan sesuatu yang bersifat out of ordinary behaviour.

Dalam lingkup keilmuan bahasa dan Sastra Arab, Al-Quran adalah genre sastra tersendiri. Di satu sisi, ia memiliki rasa syair yang sangat kuat. Namun ia bukanlah syair. Syair mewajibkan adanya wazan ‘arudhi (Pola puisi Arab) atau setidaknya Qafiyah (rima). Di sisi lain, ia memiliki pola yang mirip dengan prosa, namun kandungan dasarnya bukanlah sastra. Al-Quran adalah kitab serius paling santai. Kandungannya adalah syariat, namun disampaikan melalui bahasa yang sastrawi. Namun bukan berarti Al-Quran hanya indah “kulit”nya saja, nilai sastra Al-Quran sangat komperhensif, mulai dari tataran lafadz hingga maknanya.

Baca juga: Amin Al-Khuli: Mufasir Modern Yang Mengusung Tafsir Sastrawi

Dalam banyak kesempatan kita akan menjumpai betapa Allah sangat piawai dalam meletakkan diksi–diksi pada tempatnya. Salah satu contohnya adalah diksi Al-Qamish (baju). Ada tiga ayat dalam surat Yusuf yang sama – sama menggunakan diksi ini. Yakni di ayat 18, ayat 26-28, dan ayat 96. Ketiganya merupakan titik plot dari cerita nabi Yusuf. Az-Zamkhasyari dalam Tafsirسnya mengatakan :

وَقِيْلَ كَانَ فِيْ قَمِيْصِ يُوسُفَ ثَلَاثَ آياتٍ: كَانَ دَلِيْلًا لِيَعْقُوْبَ عَلَى كِذْبِهِمْ، وَأَلْقَاهُ عَلَى وَجْهِهِ فَارْتَدَّ بَصِيْراً، وَدَلِيْلًا عَلَى بَرَاءَةِ يُوسفِ حِيْنَ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ

“dan dikatakan bahwa ada tiga kejadian dalam (lingkup) pakaian Nabi Yusuf. Pertama, sebagai barang bukti bagi Nabi Ya’kub atas kebohongan saudara – saudara Nabi Yusuf. Kedua, diusapkannya pakaian tersebut pada wajah Nabi Ya’kub, sehingga pengelihatannya pulih. Ketiga, sebagao bukti bebasnya Yusuf (dari tuduhan) ketika (terlihat) pakaiannya koyak dari belakang”

Tiga titik ini adala poin cerita. Qamish palsu Nabi Yusuf yang berlumuran darah adalah tanda pemunculan konflik (rising action). Koyaknya Qamish Nabi Yusuf di bagian belakang adalah tanda klimaks atau puncak konflik (Turning Point). Sedangkan diusapkannya Qamish ke wajah Nabi Ya’kub hingga pengelihatannya pulih adalah tanda penyelesaian konflik cerita (Resolution).

Nilai sastra yang dikandung Al-Quran punya peran yang sangat besar dalam dakwah Islam di tengah masyarakat Arab yang “gila” sastra pada saat itu. Tak hanya itu, nilai sastrawi Al-Quran juga membawa pengaruh yang baik bagi pertumbuhan sastra Arab di masa mendatang. Al-Quran lah yang mengilhami lahirnya disiplin – disiplin ilmu dalam bahasa dan Sastra Arab. Tanpa Al-Quran, mungkin sastra Arab tak akan berkembang hingga pada titik saat ini.

Wallahu a’lam.

Pendidikan Moral dan Etika Sosial dalam Kisah Nabi Musa as. Dalam Q.S. al-Qashshash: 23-28

0
Moral dan Etika Sosial
Pendidikan Moral dan Etika Sosial dalam Kisah Nabi Musa as

Kisah Nabi Musa as. merupakan salah satu kisah yang tidak ada habisnya untuk dibahas dan dijadikan sebagai inspirasi dalam kehidupan. Salah satu penggalan kisahnya dalam Q.S. al-Qashshash: 23-28 memberikan poin-poin menarik yang berkaitan dengan diskursus pendidikan moral dan etika sosial. Diskursus yang begitu hangat khususnya sebagai respon terhadap laju dekadensi moral yang kian menjadi dewasa ini.

Setidaknya ada tiga poin pendidikan moral dan etika sosial yang bisa diambil dari kisah Nabi Musa as dan dapat direfleksikan dalam kehidupan saat ini. Pertama, peka tehadap ketimpangan sosial dan berusaha menolong subjek yang terdampak. Nabi Musa as. memperlihatkan bahwa dirinya adalah seseorang yang peka dengan adanya ketimpangan sosial. Kisah ini diabadikan di ayat ke-23:

وَلَمَّا وَرَدَ مَاۤءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ اُمَّةً مِّنَ النَّاسِ يَسْقُوْنَ ەۖ وَوَجَدَ مِنْ دُوْنِهِمُ امْرَاَتَيْنِ تَذُوْدٰنِۚ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا ۗقَالَتَا لَا نَسْقِيْ حَتّٰى يُصْدِرَ الرِّعَاۤءُ وَاَبُوْنَا شَيْخٌ كَبِيْرٌ

Saat tiba di negeri Madyan, Musa menjumpai mata air dan ia pun menuju kesana. Ia pun menjumpai banyak orang disana yang tengah memberikan minum binatang ternaknya. Masih di tempat yang sama namun dibelakang keramaian orang, ia juga menjumpai dua orang gadis yang menambat hewan ternaknya.

Baca Juga: Kisah Nabi Musa dan Doa-Doa yang Dipanjatkannya dalam Surat al-Qashash

Musa yang merasa heran dan kasihan pun menanyakan kepada keduanya maksud dari sikap keduanya. مَا خَطْبُكُمَا “apa maksud kalian berdua (menambatkan hewan ternak)?. Dua gadis itu pun menjawab لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ “Kami tidak bisa memberi minum (ternak kami), sampai para pengembala yang lain mengembalikan (hewan ternaknya) sedangkan ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usia”.

Selanjutnya pada ayat ke-24, dijelaskan bahwa Musa membantu kedua gadis itu.

فَسَقٰى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلّٰىٓ اِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ اِنِّيْ لِمَآ اَنْزَلْتَ اِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيْرٌ

Dalam Tafsir al-Munir karya Wahabah al-Zuhaili dijelaskan jika Musa menyadari bahwa di sana terjadi ketimpangan dimana yang kuat akan mendapatkan air yang jernih sedangkan yang lemah akan mendapatkan sisa-sisa air yang ada. Inilah yang menjadi alasan bagi Musa untuk segera membantu kedua gadis dan ayahnya itu. Karena memang keadaan ayahnya sudah tidak memungkinkan lagi untuk melakukan hal yang demikian dan ini yang semakin membuat Musa berempati.

Kepekaan Musa as. pada ketimpangan sosial menunjukkan bahwa Musa as. memiliki rasa keadilan sosial yang tinggi dan sikap mengayomi terhadap subjek yang tertindas. Keadilan serta jiwa sosial seyogyanya dimiliki oleh seluruh anak muda dan diupayakan untuk diajarkan sejak dini. Sebab dewasa ini keduanya seakan mulai dilupakan, dengan banyaknya kasus-kasus bullying yang terjadi terutama di media sosial.

Ketiadaan kedua sikap ini dalam diri pemuda juga akan membahayakan stabilitas bangsa di masa depan. Sebab bangsa ini akan dipenuhi oleh anak-anak muda yang acuh tak acuh pada permasalahan yang terjadi di bangsanya, serta akan meniadakan kesempatan untuk menyukseskan era bonus Demografi dan berbenah menjadi negara maju.

Kedua, menjaga etika ketika berinteraksi dengan lawan jenis (mahram). Musa memberikan teladan seorang pemuda yang begitu menghormati dan memuliakan lawan jenisnya tatkala berinteraksi dengan menampilkan adab Islami. Adegan kisah ini termaktub di ayat ke-25:

فَجَاۤءَتْهُ اِحْدٰىهُمَا تَمْشِيْ عَلَى اسْتِحْيَاۤءٍ ۖقَالَتْ اِنَّ اَبِيْ يَدْعُوْكَ لِيَجْزِيَكَ اَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَاۗ فَلَمَّا جَاۤءَهٗ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَۙ قَالَ لَا تَخَفْۗ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَ

Al-Zuhaili menceritakan bahwa kedua gadis yang telah ditolong Musa as. tadi menceritakan kepada ayahnya segala kebaikan Musa. Setelah mendengar cerita kedua putrinya, ia pun mengutus salah satu dari putrinya untuk menemui Musa seraya menyampaikan undangan.

Maka berjalanlah salah satu dari putrinya dengan gerogi dan malu-malu menemui Musa as. Kemudian, tatkala bersua dengan Musa, ia pun berucap dengan penuh adab dan malu-malu: “Sesungguhnya ayahku memintamu datang ke rumah, karena ia ingin memberikanmu balasan atas kebaikan yang kamu perbuat kepada kami serta atas jasamu yang telah memberi minum ternak kami”.

Maka Musa pun memenuhi undangan itu untuk bertabarruk kepada sang syeikh, bukan maksudnya pamrih. Kemudian Musa pun mengikuti gadis itu sampai ke rumah ayahnya. Musa pun meminta gadis itu untuk berjalan di belakangnya supaya ia tidak melihatnya. Gadis itu tetap menunjukkan jalan menuju rumahnya meskipun ia berlajan di belakang. Begitulah Musa as. memperlihatkan moral dan etika seorang pemuda Islami dalam berinteraksi dengan lawan jenis.

Moral dan etika sosial saat berinteraksi dengan lawan jenis yang diperlihatkan oleh Musa as. pada esensinya, menurut penulis, ialah menunjukkan bahwa ada batas-batas tertentu yang harus dihiraukan oleh umat Islam tatkala berinteraksi dengan lawan jenisnya. Moral dan etika sosial ini juga dapat ditemukan dalam Q.S. al-Nur: 30-31 yang pada intinya mengharapkan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan saat terjadi interaksi antar lawan jenis.

Baca Juga: Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam Al-Quran: Refleksi Kepatuhan Terhadap Guru

Ketiga, menunaikan amanah yang dibebankan dengan seoptimal dan semaksimal mungkin. Setelah memenuhi undangan ayah dari kedua gadis tersebut (Nabi Syuaib as.), lantas salah satu gadis merekomendasikan Musa as. kepada ayahnya untuk dipekerjakan sebab Musa as. memiliki kompetensi yang baik dan sesuai dengan pegawai yang dibutuhkan. (Ayat ke-26).

قَالَتْ اِحْدٰىهُمَا يٰٓاَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖاِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْاَمِيْنُ

Pada ayat selanjutnya (ayat ke-27), dijelaskan bahwa Syuaib membenarkan bahwa Musa adalah seorang yang kuat dan dapat dipercaya. Lalu Syuaib pun berkata kepada Musa bahwasanya ia ingin menjadikan Musa sebagai menantunya dengan mempersilahkannya memilih salah satu dari putrinya.

Namun dengan catatan maharnya adalah Musa harus bekerja (menggembala ternak) dengannya selama delapan tahun. “Apabila kau ingin menambahkannya lagi selama dua tahun, maka bertambah kebaikan bagimu. Sedangkan jika engkau tidak menghendaki maka delapan tahun saja cukup (tidak papa)”.

Maka Musa as. menjawab sebagaimana pada ayat ke-28:

قَالَ ذٰلِكَ بَيْنِيْ وَبَيْنَكَۗ اَيَّمَا الْاَجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلَا عُدْوَانَ عَلَيَّ ۗوَاللّٰهُ عَلٰى مَا نَقُوْلُ وَكِيْلٌ ࣖ

Dia (Musa) berkata, “Itu (perjanjian) antara aku dan engkau. Yang mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu yang aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan (tambahan) atas diriku (lagi). Dan Allah menjadi saksi atas apa yang kita ucapkan.”

Diriwayatkan dari Ibn Jarir dari Ibn Abbas bahwasanya Rasulullah saw. bertanya kepada Jibril tentang kedua tawaran rentang waktu tersebut mana yang dipenuhi oleh Musa as. Maka Jibril pun menjawab bahwa Musa menyempurnkan keduanya. Manapun dari keduanya (rentang waktu) yang dipilih, Musa as. telah menjalankan amanah yang dibebankan kepadanya secara optimal dan semaksimal mungkin.

Moral dan etika sosial dalam urusan amanah yang telah dipertunjukkan oleh Nabi Musa as. sangat penting untuk diteladani dan diaktualisasikan dewasa ini. Mengingat begitu banyaknya kasus-kasus yang memperlihatkan ketidakamanahan seseorang pada amanah yang diberikan kepadanya, seperti halnya korupsi yang semakin membabi buta di negeri ini.

Terakhir, sudah seyogyanya bagi umat Islam untuk membekali dirinya dengan ibrah dari kisah-kisah yang diabadikan dalam al-Qur’an. Sebab kisah-kisah dalam al-Qur’an bukan hadir sebagai sejarah yang tercatat semata, namun juga memiliki moral values yang harus dieksplorasi, dipelajari dan diamalkan demi kehidupan manusia yang lebih baik. Wallahu a’lam.

Sihir itu Nyata ataukah Hayalan? Inilah Tafsir Ayat tentang Sihir

0
tafsir ayat tentang sihir
tafsir ayat tentang sihir

Salah atu ayat Al-Quran yang menyinggung tentang sihir adalah surah Al-Baqarah ayat 102. Bagaimana penafsiran ulama tentang ayat ini? Dapatkah kemudian ayat ini dijadikan sebagai dasar teologis bahwa sihir itu nyata adanya. Berikut penjelasan singkat tafsir ayat tentang sihir.

Fenomena sihir masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Perdebatan tentang sihir biasanya terkait dengan apakah sihir itu nyata, hayalan atau hanya sulapan belaka. Mayoritas Ulama berpendapat bahwa sihir itu nyata dan memberikan pengaruh (kepada orang yang terkena sihir). Sementara itu, beberapa ulama yang lain mengatakan sebaliknya, sihir itu tidak nyata, sihir tidak lain hanyalah penipuan, dan penyesatan. Menurut mereka, sihir sebagaimana sulapan saja.

Berikut salah satu ayat yang menyinggung tentang sihir, yaitu surah Al-Baqarah [2]: 102.

وَاتَّبَعُوْا مَا تَتْلُوا الشَّيٰطِيْنُ عَلٰى مُلْكِ سُلَيْمٰنَ ۚ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمٰنُ وَلٰكِنَّ الشَّيٰطِيْنَ كَفَرُوْا يُعَلِّمُوْنَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَآ اُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوْتَ وَمَارُوْتَ ۗ وَمَا يُعَلِّمٰنِ مِنْ اَحَدٍ حَتّٰى يَقُوْلَآ اِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ ۗ فَيَتَعَلَّمُوْنَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُوْنَ بِهٖ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهٖ ۗ وَمَا هُمْ بِضَاۤرِّيْنَ بِهٖ مِنْ اَحَدٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗ وَيَتَعَلَّمُوْنَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ ۗ وَلَقَدْ عَلِمُوْا لَمَنِ اشْتَرٰىهُ مَا لَهٗ فِى الْاٰخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۗ وَلَبِئْسَ مَاشَرَوْا بِهٖٓ اَنْفُسَهُمْ ۗ  لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ

“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. Sulaiman itu tidak kafir tetapi setan-setan itulah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babilonia yaitu Harut dan Marut. Padahal keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seseorang sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kafir.” Maka mereka mempelajari dari keduanya (malaikat itu) apa yang (dapat) memisahkan antara seorang (suami) dengan istrinya. Mereka tidak akan dapat mencelakakan seseorang dengan sihirnya kecuali dengan izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan, dan tidak memberi manfaat kepada mereka. Dan sungguh, mereka sudah tahu, barangsiapa membeli (menggunakan sihir) itu, niscaya tidak akan mendapat keuntungan di akhirat. Dan sungguh, sangatlah buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka tahu.”

Baca Juga: Surat Al-Mu’awwidzatain Dan Memahami Kisah Disihirnya Nabi Muhammad

Sihir itu nyata

Diceritakan dalam Tafsir Munir 1/243 karya Az-Zuhaili bahwa ayat ini awal mulanya menceritakan bahwa sebagian pendeta-pendeta Yahudi meninggalkan Taurat, beralih mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. Setan membuat pemalsuan dan kebohongan besar atas Nabi Sulaiman As.

Setan menuduh Nabi Sulaiman menghimpun kitab sihir, dan menyimpan dibawah tempat sholatnya. Padahal yang sebenarnya, setan sendiri yang menulis kitab sihir tersebut dengan mencatut nama Ashif Bin Barkhoya, sekertaris Nabi Sulaiman sebagai penulisnya. Setan kemudian menyembunyikan buku tersebut di bawah tempat salat Nabi Sulaiman As. tanpa disadari oleh Nabi. Setelah Nabi Sulaiman wafat setan mengeluarkan kitab tersebut kemudian menyiarkan kepada manusia “inilah ilmu sulaiman, Raja kalian semua”. Fitnah dan celaan terhadap nabi sulaiman semakin meluas dan keadaan ini sampai diutusnya Nabi Muhammad Saw”.

Tafsir ayat tentang sihir juga disampaikan oleh Imam Syamsuddin Al-Qurtubi (w 671 M). Dalam kitabnya, Al-Jami’ Li Ahkami Al-Qur’an. Berdasar pada ayat di atas, ia mengatakan bahwa sihir itu nyata adanya, terutama pada bagian “mereka mengajarkan sihir kepada manusia”. Menurut Al-Qurthubi, jika sihir tidak nyata, maka tidak bisa diajarkan dan Allah tidak mengabarkan “sesunggunya mereka mengajarkan sihir kepada manusia”. Ini, menunjukan bahwa sihir itu nyata.

Baca Juga: Inilah 3 Keutamaan Surah Al-Muawwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas)

Untuk meyakinkan argumennya, ia mengutip riwayat tentang sabab nuzul surah Al-Falaq yang populer, yaitu disihirnya Nabi oleh Labid Bin al-Asom.

وَهُوَ مِمَّا خَرَّجَهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ وَغَيْرُهُمَا عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ :سَحَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَهُودِيٌّ مِنْ يَهُودِ بَنِي زُرَيْقٍ يُقَالُ لَهُ لَبِيَدُ بْنُ الْأَعْصَمِ، الْحَدِيثَ. وَفِيهِ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَمَّا حُلَّ السِّحْرِ: (إِنَّ اللَّهَ شَفَانِي). وَالشِّفَاءُ إِنَّمَا يَكُونُ بِرَفْعِ الْعِلَّةِ وَزَوَالِ الْمَرَضِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ لَهُ حَقًّا وَحَقِيقَةً، فَهُوَ مَقْطُوعٌ بِهِ بِإِخْبَارِ اللَّهِ تَعَالَى وَرَسُولُهُ عَلَى وُجُودِهِ وَوُقُوعِهِ.

“Imam Bukhori, Muslim dan lainnya meriwayatkan hadits ini dari A’isyah Ra, berkata bahwa Nabi disihir oleh seorang yahudi dari bani Zuraiq. Ia dikenal dengan Labid Bin al-Asom. Dan didalam hadis dijelaskan bahwa saat Nabi terbebas dari sihir beliau berkata (إِنَّ اللَّهَ شَفَانِي) “sesungguhnya Allah telah menyembuhkanku”. Adanya Syifa/sembuh sebab hilangnya penyakit dan rasa sakit. Ini, menunjukan bahwa sihir itu nyata. maka dengan demikian nyatanya sihir telah ditetapkan oleh kabar dari allah dan Rasulullah atas eksistensi dan kejadian nyatanya.”

Alasan lain bahwa sihir itu memang nyata adalah penyebutan Al-Quran tentang sihir pada kisah Firaun, وَجاؤُ بِسِحْرٍ عَظِيم (mereka mendatangkan sihir yang besar atau menakjubkan). Dengan demikian, Al-Quran tidak hanya sekali menyinggung dan menyebut secara jelas tentang sihir. -Masih menurut Al-Qurthubi- hal ini semakin menguatkan bahwa sihir itu memang ada.

Senada dengan penjelasan al-Qurtubi diatas, Ali Asshabuni dalam Rowai’ul Bayan 1/57 juga mennjelaskan tafsir ayat tentang sihir ini. Menurutnuya, ayat di atas sangat jelas menetapkan bahwa sihir itu nyata, sehingga memungkinkan mereka (pengguna sihir) dengan perantara sihir dapat menceraikan seorang suami dengan isterinya, selain itu sihir juga dapat mendatangkan permusuhan dan kebencian di antara pasutri.

Baca Juga: Kisah Nabi Sulaiman Dalam Al-Quran: Kepribadiannya Sebelum Menjadi Raja

Ayat 102 surah Al-Baqarah ini memberi petunjuk bahwa sihir adalah nyata dan dapat memberikan pengaruh. Ayat ini pula menetapkan kemudharatan sihir. Meskipun demikian, sihir itu berhubungan dengan masyiatullah (kehendak Allah), sihir itu hanya perantara, Allah lah yang Maha Kuasa atas segalanya.

Tafsir ayat tentang sihir di atas setidaknya menyimpulkan bahwa sihir itu ada, nyata dan dapat memberikan pengaruh yang nyata. Namun, dalam keyakinan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah sihir tidak akan sampai kepada seseorang kecuali atas kehendah Allah Swt. Sihir hanyalah sebab dari beberapa sebab dzahir yang tergantung pada kehendak Allah. Allah menciptakan sesuatu saat ada wujudnya sihir bukan tukang sihir yang mampu secara independen untuk menciptakan sesuatu. seperti halnya rasa kenyang ketika makan dan merasa segar saat meneguk air. Wallahu ‘alam bissowab.

Sejarah Lembaga Tahfiz Al-Qur’an di Indonesia

0
Lembaga Tahfiz
Lembaga Tahfiz

Pada artikel sebelumnya telah dijelaskan bahwa tradisi menghafal Al-Qur’an di kalangan umat Islam terjadi sejak masa nabi Muhammad saw hingga era teknologi (baca: sekarang). Dalam proses terebut, ada beberapa pihak yang berperan signifikan dalam perkembangan tradisi menghafal Al-Qur’an seperti guru (muhaffiz), murid dan lembaga tahfiz Al-Qur’an.

Sepanjang sejarah, banyak dari umat Islam di dunia berbondong-bondong untuk menghafalkan Al-Qur’an secara menyeluruh, termasuk masyarakat muslim Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan melalui jejaring penyebaran mushaf di Nusantara. Pada artikel ini akan dijelaskan mengenai sejarah lembaga tahfiz Al-Qur’an di Indonesia yang menjadi tulang punggung tradisi menghafal Al-Qur’an.

Sejarah tradisi tahfiz Al-Qur’an di Indonesia sangat sulit untuk ditelusuri – untuk tidak mengatakan mustahil – karena minimnya catatan-catatan sejarah. Namun menurut hipotesis Mahmud Yunus dalam bukunya, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, pembelajaran Al-Qur’an di Indonesia telah lama ada seiring kedatangan Islam ke Nusantara (Abad 12 M).

Pandangan serupa disampaikan oleh Kafrawi dalam bukunya, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren. Menurutnya, secara historis pembelajaran Al-Qur’an tumbuh dan tersebar beriringan dengan tersebarnya Islam. Sebab, di mana pun umat Islam berada – hampir pasti – di sana terdapat  masjid yang digunakan untuk ibadah sekaligus sebagai sentral pembelajaran Al-Qur’an.

Dari dua pendapat ini, kita dapat mengilustrasikan bahwa pembelajaran Al-Qur’an hadir bersamaan dengan penyebaran Islam di Indonesia. Kendati demikian, bagi penulis hal ini masih perlu ditelaah lebih jauh. Misalnya, ada kemungkinan besar ruang lingkup pembelajaran Al-Qur’an pada masa itu masih sangat terbatas di kalangan elite, baik politik maupun tokoh keagamaan.

Tahfiz Al-Qur’an di Indonesia pada mulanya merupakan usaha individual untuk menghafal Al-Qur’an melalui guru tertentu yang hafal Al-Qur’an, tidak melalui lembaga khusus, dan biasanya terkonsentrasi di surau atau Masjid. Sekalipun ada lembaga yang mempunyai program pembelajaran Al-Qur’an, mayoritas lembaga tersebut tidak hanya dikhususkan untuk proses tahfiz Al-Qur’an (Pasai Dalam Perjalanan Sejarah).

Perintis Lembaga Tahfiz Al-Qur’an di Nusantara

Pada abad ke 15, Syekh Ahmad Rahmatillah atau dikenal sebagai Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel, Surabaya, dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Padepokan ini merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerah mereka masing-masing.

Kemudian pada abad ke 16 muncullah beberapa pesantren besar yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman dan menjadi pusat penyebaran Islam. Diantaranya adalah Syamsu Huda di Jembrana (Bali), Tebu Ireng di Jombang, Al-Kariyah di Banten, Tengku Haji Hasan di Aceh, Tanjung Singgayang di Medan, Nahdatul Watan di Lombok, Asadiyah di Wajo (Sulawesi) dan Syekh Muhamad Arsyad Al-Banjar di Martapura (Kalimantan Selatan) dan banyak lainnya.

Pesantren-pesantren tersebut mengajarkan tentang berbagai kitab klasik di bidang fikih, tauhid, teologi, dan tasawuf. Selain itu, di dalamnya juga terdapat pembelajaran Al-Qur’an dan tafsir yang dipimpin oleh seorang muqri sekaligus ahli tafsir. Meskipun tidak ada embel-embel terkait tahfiz Al-Qur’an – menurut penulis – inilah yang menjadi cikal-bakal penggerak tradisi menghafal Al-Qur’an di Nusantara (Sejarah Pendidikan Islam).

Sedangkan perintis pertama lembaga khusus tahfiz Al-Qur’an di Indonesia adalah KH. Muhammad Munawwir. Beliau mendirikan sebuah lembaga, yakni Pesantren Krapyak, setelah belajar di Mekah dan Madinah kurang lebih selama 21 tahun. Pesantren yang berlokasi di Yogyakarta tersebut membuka kelas khusus santri hafizul Quran pada 1900-an, yaitu era sebelum merdeka.

Sejak munculnya kelas tahfiz Al-Qur’an di Pesantren Krapyak Yogyakarta, masyarakat sekitar kemudian mulai tertarik untuk menghafal Al-Qur’an. Lalu muncullah pesantren-pesantren lain yang membuka kelas tahfiz Al-Qur’an. Bisa dikatakan bahwa KH. Muhammad Munawwir memiliki peran yang amat besar dalam sejarah lembaga tahfiz Al-Qur’an di Indonesia.

Menurut Ahmad Fathoni dalam artikelnya, “Sejarah dan Perkembangan Pengajaran Tahfidz Alquran di Indonesia,” eksistensi pesantren tahfiz semaki marak ketika memasuki era kemerdekaan tahun 1945 hingga MTQ tahun 1981. Pada rentan waktu itu,  muncul beberapa lembaga tahfiz Al-Qur’an seperti Pesantren Al-Asy’ariyah Wonosobo, Jawa Tengah, milik KH. Muntaha dan Pesantren Yanbu’ul Quran yang didirikan oleh KH. M. Arwani Amin Said.

Hingga saat ini pesantren tahfiz tetap eksis bahkan jumlahnya tak terhitung. Namun dari sekian banyak pesantren itu, setidaknya ada beberapa aspek kesamaan yang bisa kita lihat, yakni: Pertama, dari segi kelembagaan biasanya pesantren tahfiz dikelola oleh Kiai berserta keluarga atau bagian dari pesantren salafiyah seperti PTIQ dan IIQ yang dikelola oleh badan yang berbentuk yayasan.

Kedua, masing-masing pesantren memiliki sanad yang tersambung hingga nabi Muhammad saw. Dari penelitian yang dilakukan di Jawa, Madura, dan Bali, ditemukan lima sanad bersumber dari Mekah. Mereka adalah KH. Muhammad Sa’id bin Ismail, Sampang, Madura; KH. Munawwar, Sidayu, Gresik; KH. Muhammad Mahfuz at-Tarmasi, Termas, Pacitan; KH. Muhammad Munawwir, Krapyak Yogyakarta; dan KH. M. Dahlan Khalil, Rejoso, Jombang.

Ketiga, metode tahfiz Al-Qur’an biasanya terdiri dari dua cara, yaitu bin-nazar (dengan melihat) dan bil-gaib (dengan menghafal). Selain itu, juga terdapat istilah-istilah lain yang lazim digunakan dan merupakan bagian dari cara atau metode dalam proses tahfiz Al-Qur’an, diantaranya: nyetor, muraja’ah, mudarasah, sima’an, takraran (takrir), talaqqi, musyafahah, bin-nazar, bil-gaib.

Keempat, kurikulum utama yang lumrah digunakan terfokus pada upaya menghafal Al-Qur’an. Program-program lain biasanya dilakukan pasca santri mengusai Al-Qur’an secara bil-ghaib. Kendati demikian, terdapat beberapa pesantren atau lembaga tahfiz Al-Qur’an yang memberikan program tahfiz beriringan dengan pembelajaran ilmu-ilmu agama lainnya (Memelihara Kemurnian Al-Qur’an: Profil Lembaga Tahfidz Al-Qur’an di Nusantara). Wallahu a’lam.

Plagiarisme dan Relevansinya dalam Al-Quran: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 188

0
Plagiarisme dan Relevansi dalam Al-Qur'an
Plagiarisme dan Relevansi dalam Al-Qur'an

Plagiarisme atau plagiat merupakan tindakan kejahatan dengan cara mengklaim sebagian atau keseluruhan ide, gagasan, pendapat atau kekayaan intelektual orang lain sebagai miliknya baik dalam bentuk offline maupun online. Plagiarisme ini bukan istilah baru lagi di telinga kita, karena plagiarisme telah berlansung sejak abad ke-19 hingga sekarang. Bahkan saat ini, plagiarisme semakin berjamuran dan mudah dilakukan seiring berkembang pesatnya dunia digital (internet). Lantas pertanyaannya, bagaimana plagiarisme dan relevansi dalam al-Quran?

Faktanya, secara teks al-Qur’an tidak menjelaskan apapun tentang plagiarisme. Maka jawabannya dapat dikemukakan beberapa hal. Pertama, secara substansi tindakan plagiarisme sama dengan konsep al-Gasab (الغَصَبُ). Dalam kamus al-Mu’jam al-Wasit berarti menguasai hak orang lain dengan cara tidak benar atau zalim baik hak tersebut dalam bentuk materi atau bukan.

Baca juga: Pembacaan Zaghlul An-Najjar terhadap Ayat-ayat Kematian

Penafsiran al-Gasab dalam Surat al-Baqarah Ayat 188

Tindakan al-Gasab ini dilarang keras oleh Allah swt. seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Baqarah/2:188.

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil (tidak benar), dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”

Menurut Jalaluddin al-Suyuti dalam Lubaab al-Nuquul Fii Asbaab al-Nuzul menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa sengketa tanah antara Al-Qays bin Abis dan ‘Abdan bin ‘Asywa Al-Hadrami. ‘Abdan di situ mengakui sebagai pemilik tanah tersebut namun al-Qays bersumpah sebagai penolakan pengakuan sepihak dari ‘Abdan. Sehingga turunlah ayat ini. Kemudian ‘Abdan menyadari bahwa ia salah karena telah mengakui milik orang lain dengan cara yang tidak benar (batil).

Kata الْبَاطِلُ dalam ayat ini menurut M.Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah berarti pelanggaran terhadap ketentuan agama dan syariat. Dalam konteks ini, tindakan plagiarisme merupakan tindakan melanggar syariat karena tidak menghargai jerih payah orang lain melainkan memakan harta orang dengan tidak adanya izin pemilik (tidak benar). Memakan harta di sini bukan hanya diartikan sebagai bentuk kepemilikan benda atau barang namun mencakup dari segala aspek kehidupan termasuk kepemilikan intelektual.

Baca juga: Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia dalam Diskursus Rasm Mushaf Indonesia

Selain itu, pelanggaran syariat pada plagiarisme, juga terdapat adanya unsur kebohongan dengan pengakuan bahwa harta tersebut adalah miliknya. Diriwayatkan dari Asma binti Abu Bakar, Rasulullah saw. bersabda:

الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ، كَلَابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ

“Orang-orang yang mengaku memiliki sesuatu padahal ia tidak memilikinya bagaikan orang yang memakai dua pakaian dusta (HR. Muslim Juz 3 No. 127)

Senada dengan lembaga fatwa mesir, Darul iftah Al-Misriyyah, mengatakan bahwa plagiarisme terhadap hak intelektual merupakan tindakan yang diharamkan oleh syarak karena termasuk dalam penyalahgunaan hak, berlaku zalim terhadap hak orang lain, berdusta, pemalsuan, penggelapan, serta terdapat praktik penelantaran terhadap hak orang lain dan praktik memakan harta orang lain dengan cara batil.

Majelis Ulama Indonesia pun dalam fatwanya No.1/MunasVII/MUI/5/2005 menetapkan ketentuan hukum bahwa setiap bentuk pelanggaran hak kekayaan intelektual jika tanpa izin hukumnya haram karena telah berbuat zalim.

Kedua, tindakan pencurian (السَّارِقُ) dikategorikan sebagai tindakan plagiarisme karena mencuri ide, gagasan atau karya orang lain. Padahal dalam QS. al-Maidah/5:38, Allah swt. mengancam orang yang melakukan pencurian dengan hukuman yang berat.

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan siksaan Allah swt. sungguh Allah Maha pengapun, Maha Penyayang.”

Baca juga: Ingin Menjadi Dai? Ini Kriteria Ketat menurut Al-Quran

Menurut Mustafa al-Maragi dalam Tafsir Al-Maragi menjelaskan bahwa setelah Allah swt. pada ayat sebelumnya menjelaskan hukuman terhadap mereka yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan merusak di muka bumi dengan memakan harta orang lain secara batil dan terang-terangan.

Kemudian Allah swt. memerintahkan untuk melakukan pekerjaan (karya-karya) yang dapat menyempurnakan iman dan mendidik jiwa agar terhindar dari perbuatan maksiat. Maka pada ayat ini, Allah swt. menjelaskan hukuman terhadap tindakan pencurian yakni mengambil, memakan dan menggunakan harta yang bukan miliknya dengan sembunyi-sembunyi yakni hukuman potong tangan.

Perlu digaris bawahi bahwa ayat di atas tidak bisa hanya dipahami secara tekstual. Dikarenakan ada ulama yang berpendapat bahwa tindakan pencurian tidak selalu dikategorikan al-Hudud (hukum syariat) akan tetapi boleh dengan hukuman ta’zir yang dikembalikan pada kebijakan pemerintah atau aparat hukum.

Sehingga dalam hukum positif Indonesia menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bahwa tindakan plagiarisme akan mendapatkan sanksi penjara paling lama dua tahun dan denda uang paling banyak Rp. 200.000.000. Kemudian diatur juga dalam pasal 113 UU No. 28 Tahun 2004 tentang hak cipta dengan ancaman hukuman paling lama 4 tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).

Dengan demikian, perlunya menghindari tindakan plagiarisme. Sanksi hukuman dunianya sangat berat apalagi sanksi hukuman akhiratnya. Semoga penulis maupun pembaca terhindar dari tindakan tersebut. Wallahu A’lam[]

Penafsiran Hamka terhadap Larangan Memilih Pemimpin Non-Muslim

0
Penafsiran Hamka terhadap larangan memilih pemimpin non-muslim
Penafsiran Hamka terhadap larangan memilih pemimpin non-muslim

Legalitas memilih pemimpin non-muslim di Indonesia masih terus mengalami pro dan kontra di kalangan agamawan dan pemerintahan. Hal ini karena adanya pemahaman yang beragam di masyarakat terhadap teks-teks keagamaan yang melarangnya seperti surat al-Maidah ayat 51. Mengenai ayat ini para mufasir memiliki pemahaman yang beragam.

Quraish Shihab menilai bahwa larangan memilih non-muslim sebagai pemimpin pada ayat ini tidaklah mutlak. Pendapat yang sama juga diamini oleh Sayyid Thantawi dalam tafsir Al-Wasit, Thantawi menjelaskan bahwa non-muslim yang hidup damai dengan kaum muslim, tidak melakukan perlawanan terhadap Islam dan tidak ada tanda-tanda yang mencurigai terhadap mereka, maka mereka memiliki hak dan kewajiban sosial yang sama dengan kaum muslim.

Baca juga: Sabar dan Tekad Kuat, Kunci Sukses Menjadi Pemimpin

Salah satu mufasir yang menolak legalitas memilih pemimpin non-muslim adalah Buya Hamka atau dikenal dengan Haji Abdul Malik Karim Amrullah, penulis kitab tafsir Al-Azhar. Tulisan ini tidak menjudge salah satu pihak karena perbedaan hasil penafsiran. Akan tetapi, tulisan ini akan menelisik keterpengaruhan penafsiran Hamka sebagai mufasir dalam menafsirkan ayat ini, sebagaimana yang dijelaskan oleh Arkoun bahwa hasil pemikiran merupakan cerminan dari dinamika pergumulan realitas sosio-historis.

Penafsiran Hamka terhadap Surah Al-Maidah ayat 51

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ ٱلۡیَهُودَ وَٱلنَّصَـٰرَىٰۤ أَوۡلِیَاۤءَۘ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِیَاۤءُ بَعۡضࣲۚ وَمَن یَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا یَهۡدِی ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّـٰلِمِینَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”

Dalam menafsirkan ayat ini Hamka tidak membahas term aulia secara khusus, akan tetapi maksud dari aulia adalah ‘pemimpin non-muslim’ tampak sangat jelas ketika Hamka menafsirkan kalimat sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Dalam menafsirkan kalimat ini Hamka menggiring pembaca untuk membayangkan sejarah pahit yang menimpa kaum muslim ketika dipimpin oleh non-muslim.

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Yusuf: Menjadi Pejabat di Bawah Kepemimpinan Non-Muslim

Seperti persekongkolan partai non-muslim di Indonesia untuk menggagalkan Undang-Undang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi bagi pemeluknya dan persekongkolan negara-negara komunis untuk menyerahkan Baitul al-Madis ke tangan PBB pada tahun 1967. Menurut Hamka, Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka, adalah bentuk perpindahan agama tapi, tidak secara resmi.

Ketika menafsirkan penggalan ayat tersebut Hamka juga menceritakan kembali sebuah tragedi penipuan yang dilakukan Belanda untuk mengalahkan masayarakat Aceh dengan mengirim seorang jaksa beragama Islam dari luar Aceh untuk mencari tahu rahasia-rahasia masyarakat Aceh sehingga mudah untuk dikalahkan. Dan konon katanya jaksa tersebut adalah muslim yang taat.

Dapat dikatakan bahwa hampir semua penggalan ayat yang ditafsirkan Hamka selalu menggirirng pembaca kepada masa kelam dimana muslim ditindas oleh non-muslim dan penafsirannya juga sangat kental dengan nuansa penjajahan di Indonesia.

Kondisi sosio-historis Hamka

Hasil penafsiran Hamka terhadap Al-Maidah ayat 51 yang diwarnai oleh sejarah kelam umat muslim tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosio-historis pada saai itu. Tafsir Al-Azhar ditulis sejak tahun 1958 pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, di mana kondisi politik di Indonesia belum stabil karena adanya agitasi dari kelompok Partai Komunis Indonesia. Masa ini dikenal dengan masa “Demokrasi Terpimpin” yang tercatat sebagai masa yang penuh ketegangan.

Partai Komunis akan menangkap orang-orang yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka, bahkan menendang dan menangkap para tokoh politik muslim yang dianggap mengancam keadaan mereka. Hamka juga ikut ditangkap atas tuduhan melakukan rapat-rapat gelap, menjadi anggota gerakan gelap untuk menentang Presiden Soekarno dan Pemerintahan Republik Indonesia yang sah. Selama dua tahun di dalam tahanan Hamka terus melanjutkan penafsirannnya terhadap Al-Quran.

Baca juga: Larangan Memaki Sesembahan Non-Muslim: Salah Satu Ajaran Toleransi Dalam al-Quran

Melihat keadaan sosio-histori Hamka maka sangat wajar jika Hamka memahami ayat ini sebagai larangan memilih non-muslim sebagai pemimipin karena Hamka hidup di saat non-muslim tidak berdamai dengan muslim dan melakukan perlawanan terhadap Islam. Inilah yang dimaksud oleh Arkoun bahwa hasil pemikiran merupakan cerminan dari dinamika pergumulan realitas sosio-historis.

Di era sekarang sangat susah untuk tidak menjalin hubungan dengan non-muslim (jika aulia dipahami sebagai teman dekat) karena keadaan sosial yang saling membutuhkan. Dan menjadikan non-muslim sebagai pemimpin (jika aulia dipahami sebagai pemimpin) karena umat Islam yang berstatus minoritas, seperti di Bali dan Papua.

Maka menurut hemat penulis diperbolehkan menjadikan non-muslim sebagai pemimpin dan teman dekat selama dia dikenal adil dan tidak melakukan perlawanan terhadap Islam, sebagaiman yang telah dijelaskan oleh Thantawi. Dalam menyikapi perbedaan produk penafsiran seseorang harus bersikap bijaksana karena Al-Quran merupakn teks suci yang secara historis sudah mapan, sementara penafsiran merupakan produk ijtihad manusia dalam memahami dan memberikan interpretasi.

Pendek kata dengan asumsi tersebut, Al-Quran perlu ditafsirkan terus-menerus agar tidak kehilangan relavansinya dengan perkembangan zaman. Tidak perlu adanya sakralisasi terhadap hasil penafsiran karena dapat menyebabkan dinamika pemikiran umat Islam mengalami stagnasi (jumud). Wallahu a‘lam.

Ingin Menjadi Dai? Ini Kriteria Ketat menurut Al-Quran

0
Kriteria ketat menjadi dai menurut Al-Quran
Kriteria ketat menjadi dai menurut Al-Quran

“Negeri penuh dai” mungkin kalimat singkat ini tepat untuk menggambarkan kondisi terkini fenomena dai atau muballigh di tanah air. Jika berbicara soal dakwah Islam, kriteria tentu amat penting peranannya. Ia memberi bobot tersendiri bagi dai selaku pelaku utama dan aktor dakwah. Sebetulnya, Al-Quran (atau secara umum, Islam) sudah memberikan kriteria ketat yang harus dipenuhi oleh para muballigh atau dai. Paling tidak, kriteria ketat  tersebut mencakup tiga dimensi; kekuatan intelektual, kekuatan spiritual dan kekuatan moral.

Matang ilmu agamanya (kekuatan intelektual)

Sebelum terjun bebas di tengah-tengah umat, kata al-Qahthani dalam Menjadi Dai yang Sukses, seorang dai wajib mematangkan ilmu agamanya terlebih dulu. Allah SWT berfirman dalam QS. Muhammad [47]: 19:

فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لِذَنۢبِكَ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مُتَقَلَّبَكُمۡ وَمَثۡوَىٰكُمۡ

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.”

Ayat ini menurut Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, menuntut seseorang untuk mengetahui Allah SWT dengan segala kemamampuannya, mengenal-Nya dari dekat dengan mendekatkan diri kepada-Nya, serta mempelajari pengenalan diri-Nya yang disampaikan melalui firman-firman-Nya, baik qawliyyah ataupun kauniyyah. Ilmu bukan sekedar pengetahuan tentang sesuatu. Lebih dari itu, ilmu adalah cahaya yang menghiasi kalbu seseorang dan mendorongnya untuk terus melakukan aktifitas positif. Jika ilmu tidak mengantarkan pada amal salih, maka ia sama saja dengan kebodohan. Dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan rasul-Nya akan dua hal; mendalami ilmu dan beramal. Posisi ilmu lebih didahulukan daripada beramal. Artinya—kalau boleh disederhanakan, “dalamilah ilmu agama sebelum kalian beramal dengan berdakwah kepada umat.”

Baca juga: Tafsir Surat Thaha Ayat 44: Nilai Kelembutan dalam Berdakwah

Dalam bukunya Menjadi Dai yang Sukses, Al-Qahthani melanjutkan, ayat ini menunjukkan kedudukan ilmu itu lebih diutamakan daripada amal perbuatan. Ilmu menjadi syarat sah atau tidaknya suatu perbuatan. Perbuatan akan sia-sia sekiranya tidak diiringi dengan ilmu. Keutamaan ilmu daripada beramal di sini juga sebagai pembenaran atas niat dan amal.

Bisa dipastikan, jika langkah seorang dai tidak dibarengi dengan ilmu, berarti ia telah melangkah di jalan yang salah. Dai yang pengetahuan agamanya sudah dalam tidak akan mudah menghakimi orang lain, apalagi pada hal-hal yang rawan terjadi perbedaan pendapat (ikhtilaf). Semua sepakat, tanpa ilmu, dakwah-dakwah seorang dai akan tercerabut dari akarnya, yakni Al-Quran, hadis dan para salafuna al-salih.

Iman dan takwa yang kokoh (kekuatan spiritual)

Kriteria seorang dai yang tak kalah penting adalah iman dan takwa kepada Allah. Dua sifat ini merupakan dasar utama pada dai. Iman dan takwa yang kokoh akan mengantarkan dai menjadi pribadi yang konsisten (baca: istiqomah); ilmunya sesuai dengan apa yang diperbuat. Sifat ini dijelaskan dalam QS. Al Baqarah [2]: 44:

أَتَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبِرِّ وَتَنسَوۡنَ أَنفُسَكُمۡ وَأَنتُمۡ تَتۡلُونَ ٱلۡكِتَٰبَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat), maka tidakkah kamu berfikir?”

Dalam Tafsir al-Misbah Shihab menjelaskan, ayat ini mengandung kecaman kepada setiap penganjur agama (baca: dai) yang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan apa yang dianjurkannya. Sekalipun ayat ini diturunkan dalam konteks kecaman kepada para pemuka Bani Israil, tetapi ia juga tertuju pula kepada setiap orang terutama muballigh dan para pemuka agama.

Iman yang kokoh akan meluruskan niat dan keikhlasan seorang dai. Membuatnya “tahan banting” dari berbagai intervensi, kesulitan dan tantangan yang ia alami; internal ataupun eksternal. Mereka tidak akan tertarik pada popularitas. Toh apa yang mereka harapkan adalah ridha Allah SWT, bukan like, komen, subscriber, followers dan lain-lain. Seperti yang disinggung Al-Maududi dalam Tadzkirah Du’at al-Islam, bahwa dai harus berkemampuan memerangi “musuh” yang ada di dalam dirinya sendiri demi ketaan kepada Allah SWT dan rasul-Nya jauh sebelum ia memainkan peran sebagai pelaku dakwah.

Baca juga:Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 44: Sebuah Pengingat Bagi Para Dai dan Mubalig

Berperangai mulia (kekuatan moral)

Sungguh berapa banyak orang-orang yang memeluk Islam karena akhlak mulia Nabi Muhammad SAW? Di antara budi pekerti Nabi yang berhasil menuntun umat jahiliyah waktu itu adalah murah hati, pemaaf, sabar, lemah lembut, tawaddu’, bijaksana, adil, penyayang, suka memberi, mengayomi dan pemberani. Dalam QS. Al Ahzab [33]: 21 Allah SWT berfirman:

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhir, dan dia banyak menyebut Allah.”

Sosok Nabi SAW adalah figur abadi yang mesti diteladani oleh para dai. Kana khuluquhu Al-Qur’an, akhlak Nabi SAW tercermin dalam Al-Quran. Semua suri tauladan yang telah diwariskan oleh beliau, menjadi kriteria ketat yang mau tidak mau harus dimiliki oleh dai, muballigh dan para ustadz. Jika belum siap, maka sebaiknya “nanti dulu” jangan terburu-buru berdakwah.

Baca juga: Kisah Dialog Harun Ar-Rasyid dengan Seorang Ustadz dan Seni Berdakwah Qur’ani

Dengan meneladani pribadi Rasul SAW sebagai sosok dai agung, Mustafa al-Siba’i sebagaimana dikutip Aziz dalam Ilmu Dakwah menganjurkan sebaiknya dai adalah keturunan yang terhormat dan mulia. Sebab, kemuliaan nasab dai adalah daya tarik tersendiri bagi umat. Selain itu, nasap itu semacam “pengikat” bagi para dai untuk terus mengikuti manhaj dakwah para leluhurnya. Nasab yang jelas, ditambah sanad yang jelas pula. Dai seperti ini yang harusnya menjadi idaman umat.

Ketiga dimensi yang telah dijelaskan diatas adalah satu kesatuan yang tak boleh ditinggalkan, meskipun hanya satu saja. Kekuatan intelektual, kekuatan spiritual dan kekuatan moral, ketiga-tiganya merupakan paket “utuh” sebagai bekal bagi para juru dakwah atau dai.

Wallahu a’lam[]