Beranda blog Halaman 396

Saudara-Saudara Yusuf Adalah Para Nabi: Tafsir Surah Yusuf Ayat 6

0
Saudara-Saudara Yusuf Adalah Para Nabi: Tafsir Surah Yusuf Ayat 6
Saudara-Saudara Yusuf Adalah Para Nabi: Tafsir Surah Yusuf Ayat 6

Kisah Yusuf begitu populer, mulai dari mimpinya, Allah memilihnya sebagai Nabi dan mengajarkan ta’wil mimpi. Namun yang masih asing di telinga kita adalah tentang saudara-saudara Yusuf adalah para Nabi. Ada banyak mufassir yang berpendapat mengenai status kenabian saudara-saudara Yusuf. Mungkin yang membuat perihal ini asing adalah perbuatan aniaya dan tipu daya mereka untuk kebinasaan Yusuf.

Tafsir Surah Yusuf Ayat 6

Bahasan dalam tafsir surah Yusuf ayat 6 ini meliputi: Allah memilih Yusuf sebagai Nabi, mengajakarkan ta’wil mimpi dan sebuah penafsiran bahwa saudara-saudara Yusuf adalah para Nabi. Inilah surah Yusuf ayat 6 berikut penafsirannya:

وَكَذَلِكَ يَجْتَبِيكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ وَيُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَعَلَى آلِ يَعْقُوبَ كَمَا أَتَمَّهَا عَلَى أَبَوَيْكَ مِنْ قَبْلُ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبَّكَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (6)

Dan demikianlah, Tuhan memilih engkau (untuk menjadi Nabi) dan mengajarkan kepadamu sebagian dari takwil mimpi dan menyempurnakan (nikmatNya) kepadamu dan kepada keluarga Yaqub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikma-Nya kepada kedua orang kakekmu sebelum itu, yaitu Ibrahim dan Ishaq. Sungguh, Tuhan itu Maha Mengetahui, Mahabijaksana.[6]

Menurut al-Tsa’laby dalam Tafsir al-Tsa’laby (5/198), Allah menyeleksi dan memilih Yusuf, Allah mengajarinya tafsir mimpi, dan Allah menyempurnakan nikmatnya dan keluarga Ya’qub. Allah menyempurkan nikmatNya pada Yusuf sebagaimana sebelumnya Allah menyempurnakan pada kedua kakeknya, Nabi Ibrahim dengan persahabatan dan keselamatannya dari api. Menurut Ikrimah keselamatan Ibrahim dari sembelihan dan menebusnya dengan penyembelihan yang agung. Ulama yang lain berpendapat mengenai hal ini yaitu keselamatan Nabi Ya’qub dan keturunanya dari penyaliban.

al-Tsa’laby mengutip sebuah pendapat mengenai penafsiran akhir dari Yusuf ayat 6 yaitu

إِنَّ رَبَّكَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sungguh, Tuhan itu Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

Awal masalah ini (cerita Yusuf dan saudaranya) adalah perdebatan dan awalnya tidak salah. Ketika mimpi Yusuf sampai kepada saudara-saudaranya, maka mereka berbuat dengki kepadanya. Menurut Ibn Zaid: mereka adalah para Nabi dan mereka berkata: tidak rela bersujud kepada Yusuf sampai kedua orang tuanya bersujud kepada Yusuf dan kemudian mereka menghendaki atau mendzalimi dengan permusuhan.

Baca juga: Jalaluddin Rakhmat, Tokoh Tafsir Indonesia Meninggal Dunia

Tafsir Bahr al-Ulum li al-Samarqandy (2/180) mengutip pendapat al-Zujjaj bahwa Ya’qub sendiri menafsirkan mimpi Yusuf, ketika Yusuf bekata saya bermimpi melihat sebelas Bintang. Ya’qub menafsirkannya sebelas orang yang mempunyai keutamaan dan sesungguhnya mereka akan mendapatkan cahaya, karena sesungguhnya Bintang tidak memiliki cahaya. Menafsirkan Matahari dan Bulan dengan kedua orang tuanya, Matahari adalah bapaknya dan Bulan adalah ibunya serta bintang-bintang adalah saudara-saudaranya.

Ya’qub juga menafsirkan Yusuf seorang Nabi dan saudara-saudaranya adalah para Nabi. Sebab Yusuf yang paling mengetahui bahwa Allah akan menyempurnakan nikmatnya dan saudara-saudarnya, sebagaimana Allah menyempurnakan nikmat kedua kakeknya Ibrahim dan Ishaq. Ada ulama yang berpendapat bahwa ketika Nabi Ibrahim bermimpi menyembelih anaknya dan Allah memerintahkan untuk menebusnya. Maksud Allah Maha megetahui ialah pada apa yang dilakukan saudara-saudara Yusuf dan Maha bijaksana dalam menyempurnakan nikmatnya.

Maksud Dari Ta’wil al-Hadis

al-Tsa’laby juga berpendapat dalam ayat tersebut Allah menggunakan kata ta’wil karena akan menakwilkan atau mengartikan apa yang dilihat Yusuf dalam mimpinya. Fakhruddin al-Razy menyampaikan tiga pendapat.

Baca juga: Penjelasan tentang Kebaikan di Akhirat dalam Surah al-Baqarah Ayat 201

Pertama, mengartikan berbagai kejadian manusia yang ada dalam mimpinya. Kedua, mengartikan kejadian yang terdapat dalam kitab Allah dan kabar yang diriwayatkan oleh para Nabi sebelumnya. Seperti salah satu ulama pada zaman kita yang sibuk dengan penafsiran dan pentakwilan Alquran dan mengartikan hadis-hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw.

Ketiga, Allah mengajarkan Yusuf maksud dari kejadian-kejadian, sedangkan maksud dari kejadian itu pada kekuasaan, penciptaan dan hikmah Allah swt. Jadi maksud dari ta’wil al-ahadis adalah sebuah metode pembuktian pada kekuasaan, hikmah serta keagungan Allah dengan berbagai jenis makhluk ruhani dan jasmani.

Saudara-Saudara Yusuf Adalah Para Nabi

Fakhruddin al-Razy dalam Mafatih al-Ghaib 18/92 membahas dengan detail tentang kenabian saudara-saudara Yusuf. Pengakuan al-Razy bahwa Ia telah susah payah dan menafsirkan mengenai hal ini. Pembahasannya berawal dari pemilihan Yusuf untuk memperoleh derajat yang tinggi, maka al-Razy menafsirkan kesempurnaan nikmat dengan kenabian. al-Razy menguatkan pendapatnya dengan dua argumen.

Pertama, kesempurnaan nikmat adalah terkandung dalam sesuatu yang menjadikannya sempurna dan tidak ada kekurangannya. Kenyataannya pada Manusia tidak ada kesempurnaan ini kecuali kenabian, karena sesusungguhnya semua derajat makhluk selain derajat kerasulan adalah sesuatu yang kurang dengan perbandingan pada kesempurnaan kenabian. Maka kesempurnaan mutlak pada manusia dalam hak manusia tidak ada kecuali kenabian.

Kedua, firman Allah Swt

كَمَا أَتَمَّهَا عَلَى أَبَوَيْكَ مِنْ قَبْلُ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ

Sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikma-Nya kepada kedua orang kakekmu sebelum itu, yaitu Ibrahim dan Ishaq.

Sudah diketahui bahwa kesempurnaan nikmat yang menjadi keistimewaan Ya’qub dan Ishaq dalam hak manusia adalah kenabian. Maka maksud kesempurnaan nikmat adalah dengan kenabian. Kemudian al-Razy memberikan perhatian bahwa Ia menafsirkan ayat ini dengan kenabian maka hal yang sama berlaku pada keluarga Ya’qub, mereka adalah para Nabi. Sebagaimana firman Allah swt: Dan Allah menyempurnakan nikmatNya kepadamu dan kepada keluarga Yaqub.

Yusuf juga berkata melihat sebelas Bintang yang berarti sebelas orang yang mempunyai keutamaan dan kesempurnaan. Penduduk bumi akan mendapatkan sinar dari ilmu dan agama mereka. Sejatinya Bintang tidak memiliki cahaya sedangkan para penduduk bumi mendapatkan petunjuk darinya. Maka dengan begitu seluruh anak Ya’qub dihukumi sebagai para Nabi.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Dasar Hukum Kewajiban Suami Memberi Mutah Kepada Istri yang Diceraikannya

Mungkin beberapa orang akan bertanya, bukankah saudara-saudara Yusuf telah berbuat dengki dan tipu daya kepadanya? al-Rary sudah menjawab pertayaan ini bahwa kejadian itu terjadi sebelum kenabian, sedangkan menurutnya terpelihara dari dosa (al-‘ishmah) terdapat pada masa kenabian, bukan sebelumnya.

Kesimpulannya, Allah memilih Yusuf untuk menjadi seorang Nabi tetapi menurut Fakhruddin al-Razy Allah memilih Yusuf untuk mendapatkan derajat yang tinggi, maka kesempurnaan nikmat menurut al-Razy adalah kenabian.  Sedangkan al-Samarqandy menafsirkan bahwa saudara-saudara Yusuf adalah para Nabi. Al-Samarqandy mengutip pendapat ini dari penafsiran Ya’qub terhadap mimpi Yusuf.

Fakhruddin al-Razy membahas dengan detail status kenabian saudara-saudara Yusuf dengan dua alasan. Pertama, tidak ada kesempurnaan nikmat bagi hak manusia kecuali kenabian. Kedua, Allah menyempurnakan nikmat Yusuf dan keluarga Ya’qub sebagaimana kedua kakeknya Ibrahim dan Ishaq. Sedangkan keistimewaan Ibrahim dan Ishaq dari yang manusia lainnya adalah kenabian. Argumen kedua al-Razy ini sebagaimana terdapat dalam ayat ini. Wallahu a’lam.[]

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 88: Inilah Makna Jihad Sosial

0
Makna jihad sosial
Makna jihad sosial

Salah satu bentuk jihad yang sangat dianjurkan oleh Islam adalah jihad sosial. Jihad sosial bermakna jihad yang menitikberatkan pada kemajuan dan pemberdayaan masyarakat, memberikan edukasi, bantuan dan segala hal lainnya demi kemaslahatan bersama. Jihad seperti inilah menemukan momentumnya di era pandemi Covid-19.

Di masa awal Islam, jihad inilah yang paling utama. Jihad dengan harta dan jiwa adalah dua hal yang dilakukan oleh Nabi saw dan para sahabatnya untuk mensyiarkan ajaran Islam. Realitas masyarakat kala itu yang serba kekurangan menjadi perhatian sendiri bagi Nabi saw dan para sahabat.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Furqan Ayat 52: Jihad itu Memerangi Hawa Nafsu

Karenanya, dalam konteks ini Allah swt memerintahkan jihad sosial sebagaimana dilukiskan dalam Q.S. al-Taubah [9]: 88,

لٰكِنِ الرَّسُوْلُ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗ جَاهَدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْۗ وَاُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْخَيْرٰتُ ۖوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, (mereka) berjihad dengan harta dan jiwa. Mereka itu memperoleh kebaikan. Mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. al-Taubah [9]: 88)

Tafsir Surah  at-Taubah ayat 88

Muhammad Thantawi dalam Tafsir al-Wasith menjelaskan bahwa ayat di atas mengandung faedah istidrak yang berarti menyusul perkataan. Artinya, ayat di atas menyambungkan dari ayat sebelummya (ayat 87) yang merespons sekelompok orang kaya dan berpengaruh lagi munafik yang enggan berjihad dan lebih memilih berdiam diri di rumah, bersantai ria dibanding memilih berperang. Maka, ayat ini turun sebagai bentuk istidrak atas mereka.

Thantawy menuturkan:

أى: إذا كان حال المنافقين كما وصفنا من جبن وتخاذل وهوان … فإن حال المؤمنين ليس كذلك، فإنهم قد وقفوا إلى جانب رسولهم صلى الله عليه وسلم فجاهدوا معه بأموالهم وأنفسهم من أجل إعلاء كلمة الله، وأطاعوه في السر والعلن، وآثروا ما عند الله على كل شيء في هذه الحياة

“Jika keadaan orang munafik seperti yang telah kami sampaikan, pengecut, pengkhianat, dan hina, maka sebaliknya orang-orang mukmin tidak seperti itu. Mereka (orang mukmin) berdiri di sisi Allah swt dan Rasul-Nya, mereka berjihad dengan hartanya, dirinya demi meng-alifkan kalimat Allah swt. Mereka taat dalam keadaan sembunyi-sembunyi maupun khalayak ramai, dan lebih menyukai dan mengutamakan sesuatu di sisi Allah swt dalam segala aspek kehidupan ini”.

Lebih dari itu, redaksi ula-ika humul khairat, Thantawy menafsirkannya dengan mereka kaum mukmin dan ornag jujur termasuk golongan yang meraih kebaikan. Mereka mulia, beruntung baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat (sa’adah al-darain).

Mufasir klasik kenamaan Ibnu Jarir al-Thabary, lebih jauh menjabarkan ayat ini dengan menukil perkataan Abu Ja’far, “mereka kaum munafik yang enggan berjihad terkategori dalam perilaku kaum musyrikin. Kendati demikian Rasul saw beserta orang-orang yang benar senantiasa (shiddiqun)  bersama-Nya”

Baca juga: Tinjauan Tafsir terhadap Jihad, Perang dan Teror dalam Al-Quran

Merekalah yang memerangi kaum musyrikin dengan harta dan jiwanya, mereka menginfakkan, mewakafkan, mendarmabatikan demi berjihad karena Allah swt. Harta dan jiwa mereka (orang-orang yang beriman dan shiddiq) hanya untuk Allah swt. Baginya adalah bidadari surga, kenikamatan abadi, dan surga yang tinggi.

Tidak jauh berbeda, Ibnu Katsir dalam tafsirnya lebih menafsiri ayat di atas dengan makna jihad tidak terbatas pada harta dan jiwa, melainkan segala keadaan dan materi yang dimilikinya baik finansial fisik maupun non fisik. Ganjaran mereka di sisi Tuhannya tidak lain adalah surga firdaus dan derajat yang tinggi (fi jannat al-firdaus wa al-darajat al-‘ula).

Penafsiran yang lain juga disampaikan oleh Ibnu Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir, ia menafsirkan ayat di atas dengan metode tafsir al-quran bi al-quran. Misalnya redaksi bi amwalihim wa anfusihim dikontraskan dengan fenomena kaum munafik yang meminta izin untuk tidak berjihad pada ayat 86, ista’dzanaka ulu thauli minhum. Redaksi berikutnya, wa ula-ika humul khairat wa ula-ika humul muflihun dikontraskan dengan makna ayat 87, “hati mereka telah tertutup sehingga mereka tidak memahami kebahagiaan beriman dan berjihad”.

Baca juga: Inilah Perilaku Toleran Yang Harus Muslim Tunjukkan Menurut Al-Qur’an

Ibnu Asyur juga menyitirnya dalam Q.S. al-Taubah: 41 terkait jihad bil amwal (jihad dengan harta), infiru khifafan wa tsiqalan wa jahidu bi-amwalihim wa anfusihim (Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Alla. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui).

Adapun al-Syaukani dalam Fathul Qadir-nya menjelaskan bahwa mereka yang tergolong sebagai khairat (memperoleh kebaikan) ialah mereka yang senantiasa dalam naungan kebaikan sekaligus sebagai bentuk kemanfaatan hidup di dunia dan agama sebagaimana dalam fiman-Nya yang lain Q.S. Ar-Rahman ayat 70, “fihinna khairatun hisan”.

Selanjutnya penafsiran sufistik datang dari Abdul Qadir al-Jilani dalam tafsir-nya, ia mengemukakan makna ma’ahu adalah mereka yang senantiasa tunduk patuh kepada Allah dan mengikatkan dirinya pada hukum Allah dan taat kepada-Nya.

Lalu redaksi, jahadu biamwalihim wa anfusihim, oleh al-Jilani ditafsiri dengan di jalan Allah yang penuh keridhaan-Nya. Jalan itu, kata al-Jilani, terbentang luas bagi orang-orang mukmin dan orang-orang yang berjihad di jalan-Nya. Merekalah orang-orang yang dimuliakan dan ditinggikan derajatnya di sisi-Nya.

Jihad sosial

Ayat di atas menyiratkan adanya jihad sosial dalam kehidupan manusia. Dalam kesehariannya, manusia tidak dapat hidup sendirian atau mengasingkan diri, melainkan berinteraksi dan bersosialisasi antar sesama. Jihad sosial yaitu jihad antar sesama dengan memajukan, menyejahterakan dan memenuhi kebutuhan masyarakat.Jihad ini bersifat menyeluruh bagi kehidupan manusia dan sesuai porsinya. Misalnya, bagi para birokrat, jihadnya adalah mempermudah jalannya administrasi dan tidak mempersulit.

Bagi para ASN jihadnya adalah melaksanakan kewajiban dengan sepenuh hati dan totalitas serta mengabdi untuk agama nusa dan bangsa; bagi para guru, jihadnya adalah mendidik peserta didik dengan penuh riang gembira dan mengoptimalkan potensinya; bagi para dai’ dan muballigh, jihadnya adalah dengan menyiarkan dan mendakwahkan agama dengan penuh kesejukan dan kedamaian, tidak memprovokasi apalagi politisasi ayat guna melegitimasi kepentingannya, dan lain sebagainya.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 8: Dalil Sila Kelima Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Berbagai pekerjaan, profesi atau kompetensi yang dimiliki sekaligus dapat memenuhi kebutuhan dan mendukung keberlangsungan kehidupan masyarakat merupakan lahan jihad yang menjadi kewajiban kolektif seluruh masyarakat sebagaimana disampaikan Syekh Al-Nawawi al-Bantani dalam Nihayah az-Zain Syarh Qurrah al-‘Ain.

Lebih dari itu, menurut Imam Nawawi al-Bantani, termasuk jihad sosial adalah menciptakan kemandirian umat Islam untuk memproduksi sendiri segala kebutuhannya, sehingga mampu berdikari baik secara finansial maupun spiritual guna sebagai sarana taqaqarrub kepada-Nya. Wallahu a’lam.

Jalaluddin Rakhmat, Tokoh Tafsir Indonesia Meninggal Dunia

0
Jalaluddin Rakhmat
Jalaluddin Rakhmat

Kabar duka kembali datang dari cendekiawan Muslim Indonesia. Ia adalah Jalaluddin Rakhmat, penulis Tafsir Kebahagiaan sekaligus pakar Ilmu Komunikasi. Rakhmat menghembuskan napas terakhir pada Senin (15/2) pukul 15:45 WIB di Rumah Sakit Santosa, Bandung. Melansir kompas.com (15/2), ketua majelis syura IJABI ini sebelumnya sempat dirawat selama 10 hari karena mengidap diabetes.

Tokoh tafsir asal Bandung ini menunjukkan dedikasinya di berbagai bidang. Di kancah perpolitikan, ia pernah menjabat sebagai anggota komisi VIII DPR-RI periode 2014-2019. Sejak tahun 2013, ia juga telah bergabung dengan partai PDI-P.

Kepakarannya di bidang komunikasi dan kiprahnya di sektor politik tidak lepas dari rekam jejak pendidikannya. Ia lulusan Master Komunikasi di Lowa State University, Amerika Serikat. Ia juga berhasil menyandang gelar doktoralnya di Australian National University, dengan konsentrasi Ilmu Politik. Selain menjadi politikus, Rakhmat juga mengajar di Universitas Padjadjaran sejak 1978 sampai 2013.

Baca juga: Jalaluddin As-Suyuthi: Pemuka Tafsir yang Multitalenta dan Sangat Produktif

Tokoh yang lahir pada 29 Agustus 1949 ini juga memiliki pemikiran penting dalam tafsir Al-Quran. Ia menjabarkan kandungan Al-Quran dengan pendekatan psikologi, yang kemudian ia tuangkan dalam buku yang berjudul Tafsir Kebahagiaan: Pesan Al-Quran Menyikapi Kesulitan Hidup. Dalam bukunya itu, ia menganalisis faktor penunjang dan penghambat kebahagiaan yang ia dapat dari ayat-ayat tentang kebahagiaan itu sendiri.

Secara lebih ekstensif, pendekatan psikologis dalam khazanah keagamaan ia garap dalam Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. Kang Jalal (sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat) menggunakan pendekatan psikologis ala Sigmund Freud, BF Skinner, W Alport, dan William James dalam mengkaji agama. Tentu saja dengan bahasa sederhana sehingga mudah dimengerti. Dalam bukunya itu, ia bermaksud menggali sisi lain agama yang jarang diperhatikan. Yakni sisi-sisi manusiawinya. Karena, mayoritas orang mendekati agama dari sisi langitnya yang bersifat transenden, sehingga menimbulkan kekaburan, dan sulit bagi manusia untuk menjadikannya pedoman yang manusiawi, karena akan timbul pemahaman yang eksklusif. Dengan pendekatan psikologi ini, pemahaman akan agama jadi lebih sehat dan manusiawi.

Baca juga: Tafsir Surat Hud Ayat 3: Raih Kebahagiaan dengan Beristighfar

Jalaluddin Rakhmat pun berkata dalam bukunya bahwa tanpa pendekatan psikologis, para tokoh agama akan salah mendiagnosis, dan oleh karena itu akan kesulitan membantu umatnya.

Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran ini juga dikenal sebagai tokoh pluralisme. Salah satunya, pada konflik Sunni-Syi’i di Sampang 2012 silam, ia menentang dengan keras. Mengutip bbc.com (20/8), Rakhmat menyatakan bahwa kejadian itu membuktikan masih ada diskriminasi terhadap aliran tertentu di Indonesia.

Terlepas dari kecenderungannya pada salah satu aliran, Kang Jalal telah mengajarkan pluralisme sebagai cara pandang kita terhadap orang yang tak sepaham. Bahkan, dengan hadirnya Tafsir Kebahagiaan, kita diajak untuk menyadari pentingnya melibatkan perspektif kemanusiaan, yang meliputi moral-etis, dan kejiwaan dalam memahami Al-Quran. Sehingga, agama tidak hanya dipahami secara eksklusif, tapi juga inklusif, yang kemudian memunculkan rasa hormat pada yang tidak sejalan.

Baca juga: Mengenang Sang Maestro Akademik Dr. AlFatih Suryadilaga

Jalaluddin Rakhmat memang lahir di tengah tradisi NU, lalu ikut Muhammadiyyah ketika menginjak dewasa, dan memutuskan untuk mengikuti Syiah sejak tahun 90-an. Tapi bukan itu poinnya, melainkan pada jalan tasawuf atau perspektif psikologi yang ia gunakan dalam memahami agama. Jalan itu harusnya kita teladani saat membaca Al-Quran, agar kitab pedoman itu dapat mengantarkan kita pada kesalehan yang tidak hanya ritual, tapi juga sosial. Semoga pemikiran-pemikian beliau, khususnya tentang perspektif psikologi dalam tafsir dapat terus berlanjut dengan kita meneladaninya.

Penjelasan tentang Kebaikan di Akhirat dalam Surah al-Baqarah Ayat 201

0
Kebaikan di Akhirat
Kebaikan di Akhirat

Artikel ini akan menguraikan tentang kebaikan di akhirat yang diambil dari Surah al-Baqarah ayat 201. Berikut adalah bunyi ayatnya:

 وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Dan di antara mereka ada yang berkata: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat ‎dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (Q.S. Al-Baqarah: 201)‎

Ibn Katsir dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa makna kebaikan di ‎akhirat pada ayat di atas adalah diselamatkan dari siksa dan penderitaan di ‎alam kubur, dimudahkan pada saaat perhitungan (hisab), rasa aman pada ‎saat pengadilan di padang mahsyar, dan yang tertinggi adalah masuk surga ‎dan mendapat ridla Allah Swt.‎

Baca Juga: Ingin Dikenang Baik di Dunia dan Akhirat? Amalkan Doa Nabi Ibrahim Ini!

Tahapan pertama, sebelum kita menjalani perhitungan di akhirat, ‎kemudian ditentukan tempat yang paling layak buat kita nanti, apakah surga ‎atau neraka, adalah kehidupan kita di alam barzakh atau alam kubur, setelah ‎Allah mencabut nyawa kita. ‎

Sesaat setelah jenazah kita kelak dimasukkan ke dalam liang kubur, ‎tidak lama kemudian akan datang dua malaikat yang akan menanyakan ‎beberapa hal kepada kita. Ketika kita mampu menjawab beberapa pertanyaan ‎tersebut dengan baik, maka saat itulah kebaikan akhirat (baca: nikmat kubur) ‎akan kita dapatkan.

Tetapi sebaliknya, jika kita tidak mampu menjawab ‎sejumlah pertanyaan yang diajukan oleh kedua malaikat tersebut, maka ‎kemalangan dan kesengsaran (baca: azab kubur) yang akan kita peroleh. ‎Na’udzu billahi min dzalik.‎

Dalam sebuah hadis dijelaskan, “Ketika seorang mayit telah selesai ‎dikuburkan dan dihadapkan pada alam akhirat, maka akan datang padanya ‎dua malaikat (yaitu Munkar-Nakir) yang akan bertanya kepada sang mayit tiga ‎pertanyaan. Pertama, “Man Rabbuka?” (Siapakah Tuhanmu)? Kedua, “Wa ma ‎dinuka?” (Apa agamamu)? Ketiga, “Wa ma hadza al-rajul alladzii bu’itsa ‎fikum?” (Siapakah orang yang telah diutus di antara kalian ini)?” (H.R. Bukhari ‎dan Muslim)‎

Tiga pertanyaan ini merupakan awal dari nikmat atau azab di alam ‎kubur. Orang-orang yang bisa menjawab pertanyaan tersebut adalah mereka ‎yang paham, yakin dan mengamalkannya selama hidup hingga akhir hayat ‎mereka tetap dalam keimanan. Mereka inilah yang kelak akan mendapatkan ‎nikmat kubur, dan selanjutnya insya Allah mendapat kebahagiaan dan kebaikan di akhirat.‎

Sebaliknya, orang-orang yang tidak mampu menjawab ketiga ‎pertanyaan tersebut, karena semasa hidupnya bergelimang dengan ‎kemaksiatan dan dosa, mereka inilah yang akan mendapatkan siksa kubur, ‎dan tentu pada gilirannya akan mendapatkan kesengsaraan dan penderitaan ‎di akhirat nanti.‎

Dalam Q.S. Ibrahim: 27 Allah Swt menyatakan, “Allah meneguhkan ‎‎(iman) orang-orang yang beriman dgn ucapan yang teguh itu dlm kehidupan ‎di dunia dan di akhirat, dan Allah akan menyesatkan orang-orang yang dzalim ‎dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.”‎

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa maksud “ucapan yang teguh” adalah ‎seorang mukmin akan teguh di atas keimanan dan terjaga dari syubhat. ‎Sedangkan di akhirat, ia akan meninggal dalam keadaan husnul hatimah serta ‎bisa menjawab tiga pertanyaan dari malaikat munkar dan nakir.‎

Baca Juga: Ibn Katsir: Sosok di Balik Lahirnya Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim

Setelah melewati alam barzakh, tahap selanjutnya adalah hari ‎kebangkitan (yaum al-ba’ts), dimana pada hari itu seluruh manusia akan ‎dibangkitkan dari kuburnya kemudian dikumpulkan di padang mahsyar, untuk ‎selanjutnya dihadapkan di pengadilan Allah Swt. untuk dihisab, dihitung ‎amalnya ketika hidup di dunia. ‎

Pada saat itu, ada orang-orang yang akan menerima buku catatan ‎amalnya dari sebelah kanan. Mereka (orang mukmin) inilah yang akan ‎menjalani perhitungan (hisab) dengan mudah. Dan akan kembali berkumpul ‎dengan mukmin lainnya penuh suka cita. Sedangkan orang-orang yang ‎menerima catatan amalnya dari balik punggungnya, mereka akan berteriak, ‎‎“celaka aku”, dan akan dimasukkan ke dalam api yang menyala-nyala. ‎Demikian dijelaskan dalam Q.S. al-Insyiqaq: 7-12.‎

Tahap selanjutnya, orang-orang mukmin akan ditempatkan di dalam ‎surga yang penuh dengan kenikmatan serta diridali Allah. Sementara orang-‎orang kafir akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. Na’udzu ‎billahi min dzalik.‎

Betapa indahnya hidup ini, jika kebaikan di dunia sudah kita raih, ‎kebaikan dan kebahagiaan hidup di akhirat pun kita dapatkan. Tentu, ini ‎merupakan harapan setiap orang yang beriman kepada Allah Swt. Semoga kita ‎termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang beriman, yang kelak akan ‎mendapatkan kebahagiaan dan kebaikan di akhirat. Amiin. ‎

Tafsir Ahkam: Dasar Hukum Kewajiban Suami Memberi Mutah Kepada Istri yang Diceraikannya

0
kewajiban suami memberi mutah
kewajiban suami memberi mutah

Islam merupakan agama yang kaffah (sempurna), agama yang sangat memperhatikan segala aspek yang berhubungan dengan penganutnya. Salah satu contohnya adalah dalam hal pernikahan juga perceraian, kewajiban dan hak kedua belah pihak (suami-istri) sama-sama diperhatikan. Kali ini akan khusus mengulas tentang kewajiban suami memberi mutah terhadap istri yang diceraikannya, baik berupa uang atau benda.

Apa mutah itu?

Syekh Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di dalam Tafsir As-Sa’di menyebutkan mutah adalah suatu pemberian suami untuk menyenangkan hati istri yang diceraikannya sebelum melakukan hubungan badan, dan suami juga belum menyebutkan maharnya. Jika suami sudah menyebutkan maharnya, maka hak istri adalah setengah dari mahar yang telah disebutkan.

Imam Taqiyuddin dalam kitabnya, Kifayah Al-Akhyar juga memberikan pengertian tentang mutah yang tidak jauh berbeda dengan  suatu pemberian mantan suami kepada istri yang telah diceraikan sebelum melakukan hubungan badan.

Pemberian mutah oleh suami terhadap mantan istri yang belum didukhul (berhubungan badan), secara jelas telah tertera dalam beberapa ayat dalam kitab suci Al-Quran, sebagaimana berikut ini.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Macam-Macam Hukum Talak

Tafsir Al-Quran tentang kewajiban suami memberi mutah

Pertama, surah Al-Ahzab ayat 49

 يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنٰتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّوْنَهَاۚ فَمَتِّعُوْهُنَّ وَسَرِّحُوْهُنَّ سَرَاحًا جَمِيْلًا

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi  perempuan-perempuan mukminat, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, tidak ada masa idah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan. Maka, berilah mereka mutah (pemberian) dan lepaskanlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya”

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Al-Tafsir Al-Wajiz memberikan penjelasan perihal ayat di atas yaitu apabila laki-laki dan perempuan memiliki ikatan pernikahan, kemudian sang suami tersebut mentalak istrinya sebelum melakukan hubungan badan, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

Pertama, istri yang dicerai tersebut tidak ada masa iddah. Kedua, mantan istri tersebut memiliki hak untuk melanjutkan hidupnya, termasuk menikah dengan laki-laki selain mantan suaminya. Ketiga, mantan suami harus memberikan sebagian hartanya kepada mantan istri yang dicerai untuk menyenangkannya, karena bagaimanapun juga perceraian itu adalah sesuatu yang menyakitkan. Keempat, menceraikan istrinya dengan cara yang baik, tidak dzalim.

Selain itu, Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitab Rawai’ Al-Bayan juga mempertegas hukum mutah dalam ayat di atas. Memberi mutah kepada mantan istri yang belum didukhul (berhubungan badan), baik sudah ditentukan maharnya ataupun belum hukumnya adalah wajib.

Baca Juga: Pernikahan; Tujuan dan Hukumnya, Tafsir Surat An-Nahl Ayat 72

Dalil kedua tentang kewajiban suami memberi mutah kepada istri yang diceraikannya yaitu surah Al-Baqarah ayat 236-237

 لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ مَا لَمْ تَمَسُّوْهُنَّ اَوْ تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً ۖ وَّمَتِّعُوْهُنَّ عَلَى الْمُوْسِعِ قَدَرُهٗ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهٗ ۚ مَتَاعًا ۢبِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ

“Tidak ada dosa bagimu (untuk tidak membayar mahar) jika kamu menceraikan istri-istrimu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Berilah mereka mutah, bagi yang kaya sesuai dengan kemampuannya dan bagi yang miskin sesuai dengan kemampuannya pula, sebagai pemberian dengan cara yang patut dan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat ihsan”

وَاِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ

“Jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (berhubungan badan), padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah) separuh dari apa yang telah kamu tentukan,…”

Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab At-Tafsir Al-Munir menyebutkan bahwa Asbab Al-Nuzul ayat ini yaitu berkenaan tentang peristiwa yang menimpa seorang sahabat Anshar yang menikahi seorang perempuan. Dalam akad nikahnya, tidak ditentukan jumlah maharnya, dan sebelum mereka melakukan hubungan badan, sang istri telah ditalaknya. Setelah turun ayat ini, Nabi SAW memerintahkan kepada pemuda tersebut untuk memberikan mutah kepada mantan istrinya tersebut meskipun hanya berupa pakaian tutup kepala.

Di dalam kitab Rawai Al-Bayan, Muhammad Ali As-Shabuni menjelaskan secara eksplisit tentang kewajiban suami memberi mutah dalam tiga ayat diatas. Pada surah Al-Ahzab ayat 49, kewajiban memberikan mut;ah itu bersifat mutlak. SEdang untuk surah Al-Baqarah ayat 236 bersifat Muqayyad (terikat) dengan dua persyaratan. Pertama, belum melakukan hubungan badan. kedua, belum ditentukan maharnya. Sementara pada surah Al-Baqarah ayat 237, redaksi ayat hanya menetapkan setengah mahar tanpa menyebut mutah.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dasar Hukum Rujuk dan Syarat-Syaratnya

Oleh karena itu, diantara para ulama ada yang menetapkan bahwa ayat 236 surah Al-Baqarah itu mentakhsis ayat 49 surah Al-Ahzab, sehingga menimbulkan beberapa pendapat dari para ulama, di antaranya:

Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa mutah itu hukumnya wajib, baik untuk perempuan yang sudah ditentukan maharnya ataupun yang belum ditentukan maharnya. Berdasar dari zhahir ayat tersebut. Pendapat ini dikemukakan Hasan Al-Basri.

Kedua, ada yang berpendapat bahwa, mutah itu hukumnya wajib untuk perempuan yang dicerai dan belum melakukan hubungan badan dan belum ditentukan maharnya. Pendapat tersebut dikemukakan oleh mazhab Hanafi  dan mazhab Syafii.

Ketiga, ada pula yang menyampaikan bahwa mutah itu hukumnya sekedar sunnah secara mutlak, untuk semua perempuan yang dicerai. Demikian itu adalah pendapat mazhab Maliki.

Ditinjau dari Argumen yang telah diutarakan oleh semua ulama mazhab di atas, sebenarnya semuanya memiliki titik nilai yang sama, yaitu sama-sama mengutarakan bahwa mutah itu haruslah ditunaikan oleh mantan suami (sebagai orang yang menceraikan) kepada mantan istrinya supaya tidak membuat sang istri susah setelah mengalami perceraian dan sebagai bekal dalam melanjutkan hidupnya. Wallahu A’lam

Tafsir Surat Al A’raf ayat 126-127

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Pada tafsir sebelumnya perjalanan hidup Nabi Musa hingga pertentangannya dengan Fir’aun. Dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 126-127 ini lebih menceritakan para penyihir yang akhirnya mengimani agama yang di bawa Musa. 

Meskipun Fir’aun mengancam untuk memotong silang tangan dan kaki mereka karena mengikuti Musa. Namun meskipun demikian dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 120-125 menjelaskan bahwa para penyihir tersebut tak gentar dan juga tak takut. Selengkapnya baca Tafsir Surat Al A’raf ayat 120-125 di bawah ini.


Baca Tafsir Sebelumnya: Tafsir Surat Al A’raf ayat 97-100


Ayat 126

Dalam ayat ini Allah menceritakan ucapan selanjutnya dari para pesihir kepada Fir’aun. Mereka menyingkapkan kejahatan Fir’aun terhadap mereka, yaitu bahwa Fir’aun ingin membalas dendam kepada mereka dengan menyiksa mereka secara kejam. Dan semuanya itu hanyalah karena mereka telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan ketika ayat-ayat tersebut datang kepada mereka.

Ucapan mereka ini mengandung arti bahwa Fir’aun tidak akan mempengaruhi mereka, karena keimanan kepada Allah adalah suatu yang amat berharga dan sesuai dengan fitrah manusia yang asli, dan menjadi pokok bagi kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat kelak.

Fir’aun mencela para pesihir sebab mereka telah sujud dan beriman kepada Allah tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Fir’aun. Di samping itu, Fir’aun telah menuduh mereka berkomplot dengan Nabi Musa untuk merebut kekuasaan dari tangannya, dan untuk mengusir bangsa Mesir dari tanah air mereka. Akhirnya Fir’aun mengancam untuk memotong tangan dan kaki mereka. ditambah dengan siksaan berupa penyaliban.

Semua itu pada hakikatnya merupakan kemurkaan Fir’aun terhadap mereka. Sesudah itu Fir’aun berusaha melakukan balas dendam dengan perbuatan mereka dan siapa saja yang beriman kepada Allah serta memenuhi seruan Nabi Musa. Usaha apapun yang dilakukan oleh Fir’aun  tetap tidak mendatangkan hasil baginya. Bahkan sebaliknya, Fir’aun  bersama para pembesarnya akan menemui nasib yang amat buruk.

Dalam ayat lain disebutkan firman Allah kepada Nabi Musa dan Harun sebagai berikut:

اَنْتُمَا وَمَنِ اتَّبَعَكُمَا الْغٰلِبُوْنَ

“Kamu berdua dan orang yang mengikuti kamu yang akan menang.” (al-Qashash/28: 35)

Selanjutnya Allah menceritakan tentang para pesihir tersebut, bahwa setelah mereka memberikan jawaban yang tegas seperti di atas, mereka lalu berdoa kehadirat Allah, semoga mereka diberi kesabaran, dan apabila Allah mewafatkan mereka hendaklah dalam keadaan berserah diri kepada-Nya. Doa mereka kepada Allah agar diberi kesabaran menunjukkan betapa pentingnya kesabaran dalam setiap perjuangan, terutama perjuangan melawan kezaliman.

Kesabaran tidak hanya berarti kemampuan menahan diri mereka dari kemarahan, akan tetapi juga berarti mawas diri, mengendalikan hawa nafsu, serta tangguh menghadapi segala rintangan dan penderitaan.

Orang yang sabar, tidak akan membalas dendam, walaupun ia mampu untuk melakukannya. Orang yang sabar senantiasa dapat memelihara pertimbangan akal yang sehat, sehingga ia tidak akan terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang dapat merugikan dirinya dan perjuangan umatnya.

Jalan untuk mencapai kesabaran ialah iman yang kokoh kepada Allah dan hari akhirat. Hal ini telah dibuktikan oleh kenyataan sejarah umat manusia, yaitu bahwa umat yang kuat imannya adalah merupakan umat yang paling sabar dan tangguh dalam perjuangan dan mempunyai keberanian yang tinggi. Karena kesabaran serta keberanian itu, timbullah ide dan usaha-usaha pada sementara pimpinan angkatan perang pada beberapa negara, untuk menggalakkan pendidikan agama dan binaan rohani bagi para prajurit dan perwira angkatan perang, agar mereka memiliki iman yang kokoh yang akan membuahkan sifat kesabaran dan keberanian.

Dalam pada itu, Allah berulang kali dalam firman-Nya menjanjikan pertolongan-Nya bagi orang-orang yang sabar, dan ia memberikan petunjuk agar manusia senantiasa bersabar dan menganjurkan orang lain untuk bersabar. Allah berfirman:

الَّذِيْنَ صَبَرُوْا وَعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ

(Yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal. (an-Nahl/16: 42)

Firman-Nya lagi:

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ 

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran, dan menasihati untuk kesabaran. (al-‘Ashr/103: 3)

Ajaran tentang kesabaran ini sangat dipentingkan agama Islam, sehingga dalam Al-Qur’an terdapat sekitar 100 kali disebutkan, baik berupa perintah tentang bersabar, maupun berupa pujian bagi orang-orang yang bersabar, ataupun janji kemenangan, keberuntungan dan pertolongan Allah bagi orang-orang yang bersabar. Dan seringkali kata-kata sabar itu digandengkan dengan kata-kata iman, takwa, tawakal, kebenaran, perjuangan, kekuatan tekad dan sebagainya.

Dalam hadis-hadis Rasulullah pun banyak terdapat ajaran tentang kesabaran. Mengenai hubungan antara kesabaran dan keberanian beliau bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُرَعَةِ وَاِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ (رواه البخارى عن ابى هريرة)

“Orang yang kuat bukanlah orang yang dapat membanting orang, tetapi orang kuat adalah orang yang sanggup menguasai dirinya ketika dia sedang marah”. (Riwayat Imam al-Bukhar³, dari Abu Hurairah ra)

Orang yang sabar senantiasa tenang dan mempunyai pikiran terang, sehingga segala ucapan dan tindak tanduknya dapat dikendalikan dengan baik. Pendiriannya tidak tergoyahkan oleh ancaman dan bujukan bagaimana pun juga. Oleh sebab itu, dalam suatu hadis yang lain Rasulullah saw bersabda:

 َالصَّبْرُ ِضَياء ٌ (رواه مسلم والترمذي وغيره) 

 “Kesabaran itu adalah sinar yang terang.” (Riwayat Muslim, at-Tirmidzi, dan lain-lain)

Sebaliknya orang yang tidak sabar tentu akan kehilangan akal sehat, serta mudah dipengaruhi setan, sehingga ucapan dan tindakannya tidak dapat dikendalikannya. Hal ini akan membawa kepada akibat yang jelek dan akan menimbulkan kerugian dan penyesalan. Oleh sebab itu Rasulullah saw memperingatkan dengan sabdanya :

اَلْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ (رواه الترمذي)

“Sifat tergesa-gesa itu perbuatan setan.” (Riwayat at-Tirmidzi)

Karena pentingnya sifat kesabaran itu, maka tidaklah mengherankan mengapa orang-orang yang telah beriman kepada Nabi Musa as dalam kisah tersebut memohon kepada Allah agar dilimpahi kesabaran yang banyak, sehingga iman mereka tidak akan digoyahkan oleh ancaman Fir’aun dan pembesar-pembesarnya.

Ayat 127

Dalam ayat ini diceritakan bahwa orang-orang terkemuka dari kaum Fir’aun berkata kepadanya, “Hai Fir’aun apakah kamu akan membiarkan Musa dan kaumnya berbuat kerusakan di negeri ini? Serta meninggalkan kamu dan Tuhan-tuhanmu?”

Fitnahan ini untuk kesekian kalinya memperlihatkan kecemasan mereka akan kehilangan kekuasaan, pengaruh dan harta benda, karena mereka telah melihat gejala-gejala bahwa rakyat telah mulai memalingkan muka dari Fir’aun kepada Nabi Musa a.s, setelah menyaksikan kemenangan mukjizatnya. Apalagi setelah melihat para pesihir sudah bersujud menyatakan iman, dan tidak memperdulikan lagi ancaman Fir’aun terhadap mereka.

Dalam melancarkan fitnahan ini, para pembesar ini menggunakan unsur politik dan unsur agama. Mereka menuduh bahwa Musa akan meruntuhkan kedudukan Fir’aun sebagai penguasa tunggal di Mesir. Di samping itu, kedudukan Fir’aun sebagai orang yang dipertuhan selama ini dengan sendirinya akan lenyap pula.

Lebih dari itu, tuhan-tuhan yang menjadi sesembahan bangsa Mesir pada masa itupun akan ditinggalkan pula, misalnya Tuhan “Osiris” yang menurut anggapan mereka rohnya menjelma pada seekor sapi yang mereka sebut “Apis”, selain itu, mereka juga menyembah “segala macam hewan”. Demikian pula mereka menyembah kegelapan, serta patung Akron yang mereka anggap sebagai pengusir lalat.

Pendek kata rakyat Fir’aun pada masa itu telah berada di puncak kesesatan, karena mereka menyembah matahari, bulan dan bintang-bintang, serta manusia dan hewan, baik hewan yang besar maupun serangga yang paling kecil.

Fir’aun sendiri adalah penganut kepercayaan penyembah binatang, kemudian ditinggalkannya kepercayaan tersebut, lalu ia mengaku menjadi tuhan dan menyuruh rakyatnya untuk menyembah kepadanya. Ini setelah ia melihat dirinya mempunyai kekuasaan yang begitu besar di kalangan rakyatnya. (Keterangan ini terdapat dalam buku Al-Milal wan-Nihal oleh asy-Syahrastany)

Fitnah para pembesar Fir’aun telah berhasil mengenai sasarannya, yaitu mempengaruhi Fir’aun yang telah kehilangan keseimbangannya, sehingga membangkitkan emosi dan amarahnya. Oleh sebab itu, ia menjawab: “Baiklah, akan kita bunuh anak-anak laki-laki mereka, dan kita biarkan hidup anak-anak perempuan mereka, dan kita berkuasa penuh di atas mereka.

Maksudnya, bahwa dalam rangka untuk mencegah berkuasanya Nabi Musa as di Mesir, maka Fir’aun akan melakukan berbagai tindakan, antara lain ialah membunuh setiap anak laki-laki yang dilahirkan oleh perempuan-perempuan Bani Israil, yaitu kaum yang sebangsa dengan Nabi Musa yang berdiam di Mesir waktu itu. Sedang anak-anak perempuan yang mereka lahirkan akan dibiarkan hidup untuk kemudian dapat dimanfaatkan oleh Fir’aun dan para pembesarnya sebagai budak.

Dengan tindakan ini Fir’aun mengharapkan dapat membendung tumbuhnya kekuasaan Nabi Musa di Mesir, karena ia akan tetap mempunyai tenaga laki-laki yang lebih banyak dan kekuasaan yang lebih besar, sedang sebaliknya, Nabi Musa dan Bani Israil umumnya semakin kekurangan tenaga laki-laki, sehingga mereka tidak akan menentang kekuasaan Fir’aun, dan membebaskan diri dari rantai perbudakannya.

Rencana jahat ini benar-benar dilaksanakan oleh Fir’aun dan para pembesarnya, sehingga Bani Israil yang berdiam di Mesir pada masa itu sangat menderita, lahir dan batin.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Surat Ar-Rum [30] Ayat 30: Mengesakan Allah SWT adalah Fitrah Manusia


Tafsir Surah Al-Fatihah Ayat 2: Mengulik Makna Hamdalah dan Mengamalkannya

0
Makna hamdalah
Makna hamdalah

Kalimat الحمد لله artinya segala jenis puji bagi Allah. Alif dan lam (ال) di awal lafaz ini berfungsi lil istigraq, maksudnya mencakup segala macam pujian. Itu sebabnya ayat ini selalu diterjemahkan dengan segala puji bagi Allah. Dalam Al-Quran, hamdalah merupakan Surah Al-Fatihah ayat 2.

Kalimat ini bentuknya kalimat berita, namun bertujuan untuk memerintahkan hambanya untuk memuji Allah ( خبرية لفظا إنشائية معنى). Hamdu (حمد) menurut Quraish Shihab adalah pujian yang ditujukan kepada yang dipuji atas sikap atau perbuatannya yang baik, walaupun ia tidak memberi sesuatu kepada yang memuji. Maka segala pujian sangat wajar ditujukan kepada Allah swt karena zat Nya memang terpuji. Bebeda jika kita memuji seseorang karena kebaikan yang pernah dia lakukan kepada kita, maka ungkapan yang kita jadikan sebagai pujian atas kebaikannya kepada kita disebut syukur. Maka ada hadis yang berbunyi:

من لم يشكر الناس لم يشكر الله

Siapa saja yang tidak bersyukur kepada manusia maka dia tidak bersyukur kepada Allah.

Kalimat رب العالمين adalah keterangan lebih lanjut tentang layaknya segala pujian hanya diperuntukkan kepada Allah. Betapa tidak, Dia adalah Rabb seluruh alam. Dengan penegasan bahwa Allah adalah Rabb seluruh alam maka kita sebagai makhluknya seharusnya merasa tenang, sebab makna rabb dalam kalimat ini bisa berarti bahwa Allah adalah pemilik (مالك) seluruh alam. Kita, manusia dan segalanya adalah milik Allah. Harta kita juga milik Allah. Kita punya hak pakai harta kita tapi kita tidak punya hak milik. Maka tidak selayaknya kita berbangga diri dengan apa yang Allah berikan kepada kita.

Baca juga: Tafsir Surat Hud Ayat 3: Raih Kebahagiaan dengan Beristighfar

Rabb juga bisa bermakna bahwa Allah sebagai pengatur (مدبر) seluruh alam. Manusia, jin, malaikat dan setan adalah bagian dari seluruh alam yang Allah adalah pengaturnya. Maka tidak perlu khawatir mengenai rizki dan sebagainya karena sudah ada Allah yang mengatur.

Allah swt berfirman:

 وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا وَلَا حَبَّةٖ فِي ظُلُمَٰتِ ٱلۡأَرۡضِ وَلَا رَطۡبٖ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٖ

Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Al-An’am: 59)

Jika hal-hal kecil seperti gugurnya daun dari pepohonan dan biji-bijian di dalam kegelapan tanah saja sudah diatur dan tertulis dalam lauhil mahfuz apalagi hal-hal yang lebih besar seperti nasib manusia termasuk rezekinya terlebih lagi jagat raya ini.

Lafaz العالمين adalah bentuk plural dari kata عالم (alam). Alam adalah كل موجود سوى الله  yaitu setiap eksistensi selain Allah. Kata alam (عالم) satu akar kata dengan علامة (tanda). Maka adanya alam ini menjadi tanda akan adanya sang pencipta yaitu Allah swt.

Baca juga: Tafsir Surah At-Taubah Ayat 36: Menanam Amalan di Bulan Rajab

Ayat ini mengajarkan bagaimana cara kita memuji dan berdoa kepada Allah. Sebagaimana al-Quran yang diawali dengan basmalah dan hamdalah dalam Al-Fatihah yang berisi doa, demikian juga kita berdoa hendaknya dengan cara demikian. Yaitu mengawalinya dengan basmalah dan hamdalah.

Lafaz الحمد لله juga kita gunakan untuk menutup doa, dalam ayat lain dikabarkan bahwa penutup doa para ahli surga itu adalah hamdalah. Allah berfirman:

 وَءَاخِرُ دَعۡوَىٰهُمۡ أَنِ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ

Dan penutup doa mereka ialah, “Al-Hamdu lillahi Rabbil ‘alamin” (segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam). (QS. Yunus: 60)

Bahkan dalam surat as-Shaffat, Allah mencontohkan dengan menutup ayat tersebut dengan kalimat

 ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ

Redaksi yang paling utama menurut as-Suyuthi dalam berdoa adalah  الحمد لله رب العلمين karena inilah yang menjadi pembuka al-Quran dan akhir doa para ahli surga. Berbeda dengan anjuran dalam kitab ar-Raudlah yaitu menggunakan

الحمد لله حمدا يوافي نعمه ويكافي مزيده

Para mufasir mengutip beberapa hadis terkait keutamaan kalimat ini, diantaranya:

-لو أن الدنيا بحذافيرها في يد رجل من أمتي ثم قال الحمد لله لكان الحمد لله أفضل من ذلك. الحديث

Al-Qurthubi mengomentari hadis ini, bahwa ilham yang Allah berikan kepada hambanya untuk mengucap الحمد لله itu lebih besar dari nikmat dunia, karena pahalanya tidak akan lenyap dan kenikmatan duniawi itu tidak akan kekal.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Anbiya’ Ayat 105: Manusia Sebagai Khalifah fil Ardh dan Makna Saleh Total

Dalam al-Adzkar, Imam Nawawi mengutip hadis

 كلُّ أمر ذي بالٍ لا يُبدَأُ بالحمد للَّهِ فَهوَ أقطعُ، وفي روايةٍ: بالحمدِ فَهوَ أقطعُ، وفي روايةٍ: كل كلامٍ لا يُبدَأُ فيهِ بالحمد للَّهِ فَهوَ أجذَمُ، وفي رواية: كلُّ أمرٍ ذي بالٍ لا يبدأُ فيهِ ببسمِ اللَّهِ الرَّحمنِ الرَّحيمِ فَهوَ أقطعُ

Setiap urusan penting yang tidak dimulai dengan hamdalah maka dia terputus, dalam riwayat lain: setiap ucapan yang tidak dimulai dengan hamdalah maka terputus, riwayat lain: setiap urusan penting yang tidak dimulai di dalamnya dengan basmalah maka dia terputus

Para ulama pun selalu mengutip hadis ini di awal kitabnya. Karena menurut mereka mengawali tulisannya dengan basmalah dan hamdalah sebagai cara mengambil barokah dari surat al-fatihah (تبركا بفاتحة الكتاب).

Intinya setiap sesuatu yang baik yg tidak diawali dengan basmalah dan hamdalah maka akan terputus barokahnya, ada yang mengatakan akan sedikit barokahnya. Maka hendaknya dalam setiap perbuatan atau pekerjaan kita yang ada kepentingan atau kebaikan di dalamnya (ذي بال) kita sertakan nama Allah minimal dengan memulai dengan basmalah dan hamdalah.

Wallahu a’lam.

Peran Ilmu Isytiqaq dalam Kajian Al-Qur’an

0
Peran Ilmu Isytiqaq dalam Kajian Al-Qur'an
Peran Ilmu Isytiqaq dalam Kajian Al-Qur'an

Berdasarkan historisnya, beberapa ulama klasik telah melakukan konstruksi terhadap kualifikasi intelektual Mufassir. Semua keilmuan yang masuk ke dalam kualifikasi tersebut kemudian menjadi tema-tema pokok dalam kajian yang disebut sebagai Ulumul Qur`an. Hanya saja, ada satu kajian yang minim mendapatkan perhatian dalam perkembangan kajian Ulumul Qur`an, yaitu Ilmu Isytiqaq.

Ilmu Isytiqaq ialah cabang studi Bahasa Arab yang berfokus pada akar kata dan pengembangannya. Ada beberapa ulama yang menjadikan ilmu ini sebagai syarat khusus dalam mengkaji al-Qur`an, diantaranya ialah Jalaluddin Al-Suyuthi dalam Al-Itqan fī ‘Ulūm al-Qur`an, Manna’ Khalil al-Qattan dalam Mabāḥīṡ fī ‘Ulūm al-Qur`an, dan Ibn Taimiyyah dalam Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr. Namun dalam perkembangannya, ilmu ini kurang mendapat “wadah” dalam kajian Ulumul Qur`an.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Furqan Ayat 52: Jihad itu Memerangi Hawa Nafsu

Saat ini, Isytiqaq dan Tafsir seakan merupakan dua hal yang berbeda. Kajian isytiqaq di Indonesia dewasa ini lebih banyak dikembangkan dalam kajian bidang Bahasa dan Sastra Arab, juga kajian Pendidikan Bahasa Arab, sedangkan sedikit sekali digunakan dalam kajian al-Qur`an dan Tafsir.

Padahal dalam sejarah literatur Tafsir al-Qur`an, metode Isytiqaq masih digunakan seperti dalam Tafsīr Rāghib al-Aṣfahānī karya Rāghib Al-Aṣfahānī, Tafsīr al-Baiḍāwī karya Muḥammad al-Syirāzī al-Syāfi’ī al-Baiḍāwī, bahkan Tafsir Al-Mishbah karya seorang mufassir populer Indonesia, M. Quraish Shihab.

Penerapan Metode Istyqaq dalam kata Abrar

Salah satu model penafsiran M. Quraish Shihab yang menggunakan metode Isytiqaq ialah  ketika menafsirkan kata Abrār dalam QS. Al-Infiṭār [82]: 13:

“Kata al-abrâr adalah bentuk jamak dari kata al-bârr (البارّ). Menurut para pakar bahasa, ada beberapa makna yang dirangkum oleh kata yang terdiri dari 3 huruf; ba’-ra’-ra’, antara lain berarti kebenaran. Dari sini, lahir ketaatan karena yang taat membenarkan siapa yang memerintahnya dengan tingkah laku, juga bermakna menepati janji karena yang menepati janjinya membenarkan ucapannya, berarti juga kejujuran dalam cinta. Makna lainnya adalah daratan, dari sinilah lahir kata bariyyah (بريّة) yang berarti padang pasir, luas, dan masyarakat manusia, karena daratan atau padang pasir sedemikian luas, dan karena masyarakat manusia pada umumnya hidup di daratan… ”

Dari sini, diketahui bahwasanya dalam sejarahnya sudah ada beberapa literatur tafsir yang menggunakan metode isytiqaq sebagai pendekatan kebahasan al-Qur`an.

Baca juga: Jejak Manuskrip Al-Qur’an Nusantara dan Problem Penulisan Rasm Imla’i

Kajian Isytiqaq mempunyai peran penting dalam memahami teks al-Qur`an, karena ia merupakan ilmu fundamental dalam memahami teks-teks Arab, termasuk al-Qur`an, melalui pengamatan struktur huruf-huruf asal (root) dan pengembangan-pengembangan kosa katanya. Ṣadīq ibn Ḥasan al-Qanūjī dalam kitab Abjad al-‘Ulūm menegaskan bahwasanya ilmu isytiqaq bertujuan untuk menghindari kesalahan seseorang dalam mengafiliasikan kosa kata-kosa kata al-Qur`an.

Sebagaimana kasus yang melatarbelakangi kemunculan kitab Mu’jam Mufahras li Alfāẓ al-Qur`an yang dilakukan oleh Fu`ad Abd al-Bāqī dalam mengkoreksi 39 kesalahan kosa kata yang dilakukan oleh Orientalis Jerman abad ke-19, Gustav Leberecht Flügel.

Dalam Ilmu bahasa Arab Klasik, ilmu ini disebut dengan istilah Maqāyīs al-Lughah. Maqāyīs merupakan istilah pembentukan kosa kata baru dari kosa kata yang sudah ada. Istilah tersebut juga  digunakan oleh Ahmad Ibn Fāris sebagai judul kamusnya, karena ia memperhatikan keterkaitan makna antara satu kata dengan kata lain yang mempunyai akar kata yang sama.

Keistimewaan Mempelajari Metode Ilmu Isytiqaq

Isytiqaq kemudian dikembangkan oleh Abu al-Fatḥ ‘Utsmān ibn Jinnī sebagai kajian yang dapat pengetahui perbedaan bahasa (Furūq al-Lughawiyah). Muḥammad Ḥasan Ḥasan Jabal dalam kitabnya, ‘Ilm al-Isytiqaq: Naẓariyyan wa Taṭbiqiyyan menemukan banyak keistimewaan dalam mempelajari Isytiqaq, di antaranya ialah:

  1. Sebagai media untuk mengungkap makna dari kata-kata asing dengan menentukan signifikansi dari suatu kata, seperti kata ism (nama) yang terambil dari kata sumuw (naik, tinggi), karena nama ialah simbol atau tanda dari sesuatu yang kemudian diangkat masuk ke dalam ingatan;
  2. Memberikan pemahaman makna kata secara komprehensif, seperti kata insan (manusia) yang menunjukkan sisi manusia yang uns (jinak) untuk menunjukkan sifat sosialis dan nisyān (lupa) untuk menunjukkan sisi kekurangannya, berupa lalai.
  3. Mengetahui makna generik kosa kata, seperti kata ṣabr (sabar) yang berderivasi dengan kata ṣabir (sejenis tanaman yang sangat keras dan dikenal mampu menjaga air), ṣubrah (batu yang keras), ṣabīr (gunung), ṣabbār (sikap berjalan dengan tidak berlagak sombong). Titik temu derivasi tersebut ialah ṡabāt (tetap), ṣumūd (kekal), tamāsaka (bertahan) dan konsisten menunjukkan pada makna positif.

Baca juga: 5 Keutamaan Surah Ad-Dukhan Menurut Riwayat Hadis dan Tafsir

Melihat cara kerjanya, Ilmu Isytiqaq merupakan ilmu yang berfokus pada tataran etomologi, dengan melalui pelacakan titik temu (konvergensi) dan titik pisah (divergensi) antar kosa kata yang berkaitan. Kajian ini dirasa dapat menjadi ruang segar dalam kajian kebahasaan al-Qur`an dewasa ini, selain stilistika al-Qur`an, juga semantik al-Qur`an. Wallahu a’lam[]

Dinamika Tahfiz Al-Qur’an dari Masa Nabi saw Hingga Era Teknologi

0
Tahfiz Al-Qur'an
Tahfiz Al-Qur'an

Menghafal  Al-Qur’an atau sering disebut  tahfiz Al-Qur’an adalah tradisi yang mengakar kuat di kalangan umat Islam. Sejak diwahyukan pertama kali, Al-Qur’an senantiasa dihafal dan diamalkan oleh nabi Muhammad saw, para sahabat serta umat Islam. Oleh sebab itu, Nasr Hamid Abu Zaid menyebutkan bahwa Al-Qur’an hadir dalam ruang sosial dan menjadi pembentuk tradisi kaum muslimin (muntaj wa muntij al-tsaqafi).

Sepanjang sejarah, tradisi tahfiz Al-Qur’an ini senantiasa hadir mengiringi kehidupan umat Islam dan terus berkembang dari masa ke masa. Setidaknya ada dua faktor kenapa hal tersebut bisa terjadi, yakni: 1) kesakralan Al-Qur’an di mata umat Islam. Dalam konteks ini, Al-Qur’an menjadi pusat kehidupan mereka; 2) quranic cultures. Pada banyak kasus, para penghafal Al-Qur’an dipengaruhi oleh faktor sosial-kultural dalam upaya menghafal Al-Qur’an.

Dalam sejarah dan dinamika tradisi tahfiz Al-Qur’an, ada satu hal yang menarik untuk dikaji, yakni proses dan metode tahfiz Al-Qur’an yang memiliki tingkat adaptasi tinggi terhadap perkembangan sosial, budaya, serta teknologi masyarakat. Abdul Jalil dalam tulisannya, “Studi Historis Komparatif Tentang Metode Tahfiz Al-Qur’an”,  menjelaskan bagaimana metode tahfiz Al-Qur’an senantiasa membarengi teknologi yang ada.

Di sana ia menerangkan bahwa metode tahfiz Al-Qur’an menyesuaikan dengan peranti-peranti perekam wahyu Al-Qur’an pada masanya. Mulai dari hafalan dari mulut ke mulut (oral tradition), kodifikasi Al-Qur’an melalui tulisan, percetakan Al-Qur’an, hingga teknologi audio dan video ayat Al-Qur’an. Kehadiran peranti tersebut secara tidak langsung turut serta mengembangkan metode tahfiz Al-Qur’an.

Tahfiz Al-Qur’an Pada Masa Nabi Muhammad Saw dan Sahabat

Pada masa nabi Muhammad saw, setiap kali Al-Qur’an turun, beliau menerimanya, mengafalnya, dan menyampaikannya secara tartil kepada para sahabat, baik laki-laki maupun perempuan. Setelah para sahabat menghafalnya, maka mereka kemudian menyebarkan apa yang dihafal kepada pasangan, anak-anak dan sahabat lain yang tidak hadir pada saat itu. Dengan demikian, pasca beberapa hari ayat Al-Qur’an yang turun telah dihafal oleh sebagian besar sahabat.

Jadi, selain nabi Muhammad saw (al-mu’allim al-awwal), beberapa sahabat juga turut menjadi guru atau pengajar Al-Qur’an (muhaffiz). Diantara sahabat tersebut adalah Khabbab bin al-Arat (w. 37 H) yang sering mendatangi muridnya dari rumah ke rumah pada periode Makkah dan ‘Abdullah bin Mas’ud atau lebih dikenal Ibnu Mas’ud (w. 32 H), sahabat pertama yang secara terang-terangan membaca Al-Qur’an di hadapan orang kafir Makkah (al-Sirah al-Nabawiyyah).

Pada periode ini, ada tiga kunci proses atau metode tahfiz Al-Qur’an, yakni: 1) menerima hafalan dengan cara mendengarkan bacaan dari guru yakni nabi saw atau sahabat (al-sama’) dan membacakan hafalan di depan guru untuk dikoreksi; 2) setelah seseorang sahabat dianggap mumpuni, maka ia akan mengajarkan kepada sahabat yang lain; serta 3) upaya menjaga hafalan dalam segala kondisi.

Dalam proses tahfiz Al-Qur’an, para sahabat sangat memperhatikan sanad atau ketersambungan silsilah hafalan dengan nabi Muhammad saw.  Misalnya, pada suatu ketika Ibnu Mas’ud diminta untuk mengajari sekelompok sahabat mengenai surat al-Syu’ara. Ia memerintahkan mereka untuk  belajar dengan Khabbab bin al-Arat yang menghafal secara langsung di depan nabi saw (Hilyah al-Awliya wa Thabaqat al-Ashfiya).

Perhatian terhadap sanad ini juga dilakukan oleh para penghafal Al-Qur’an pasca sahabat hingga saat ini. Bisa dikatakan bahwa sanad memegang peranan penting dalam proses transmisi Al-Qur’an dari masa ke masa, terutama pada konteks tahfiz Al-Qur’an. Sangat sulit ditemukan – untuk tidak menyatakan tidak ada sama sekali – lembaga tahfiz Al-Qur’an atau individu penghafal Al-Qur’an yang tidak mementingkan sanad.

Tahfiz Al-Qur’an Pasca Kodifikasi Al-Qur’an

Setelah nabi Muhammad saw wafat, para sahabat berinisiatif untuk melakukan kodifikasi Al-Qur’an.  Hal ini diinisiasi oleh Abu Bakar atas saran Umar bin Khattab. Kemudian dilanjutkan oleh Utsman bin Affan dalam rangka membenarkan bacaan Al-Qur’an masyarakat. Sebab, kala itu kekuasaan Islam telah memasuki masyarakat non-Arab dan mereka membutuhkan rujukan Al-Qur’an secara tertulis (Rahiq al-Makhtum).

Pasca kodifikasi ini, metode tahfiz Al-Qur’an mulai berkembang. Jika sebelumnya – mayoritas – proses menghafal bertumpu pada talaqqi dan pendengaran dari nabi Muhammad saw atau sahabat, maka pada fase ini proses tersebut dibantu oleh mushaf Al-Qur’an. Bisa dikatakan bahwa Al-Qur’an tertulis menjadi rujukan atau sumber alternatif dalam mempelajari Al-Qur’an.

Meskipun demikian, kehadiran Al-Qur’an tertulis atau mushaf tidak serta merta menggantikan proses talaqqi atau mendengar dari guru. Ia hanya menjadi sarana pembantu proses pembelajaran Al-Qur’an agar lebih mudah. Para penghafal tetap mengandalkan bacaan guru (muhaffiz) sebagai rujukan utama. Mushaf kala itu berfungsi sebagai alat mnemonic sekaligus tolak ukur kesahihan suatu bacaan.

Pada fase ini muncul metode tahfiz Al-Qur’an dengan cara menulisnya terlebih dahulu. Tindakan ini sebenarnya juga telah dilakukan sebagian sahabat nabi saw, hanya saja tidak lumrah digunakan. Pasca kodifikasi Al-Qur’an, metode tahfiz dengan menuliskan ayat Al-Qur’an terlebih dahulu mulai merebak dan banyak dilakukan oleh lembaga tahfiz, terutama di daerah Maroko.

Tahfiz Al-Qur’an Era Percetakan dan Era Teknologi

Sejarah mencatat bahwa proses percetakan Al-Qur’an telah dimulai sejak tahun 1530 M oleh Paganino dan Paganini di Venice, Italia. Namun cetakan tersebut tidak diterima oleh Turki Utsmani. Menurut Jean Bodin dalam bukunya “Colloquium Heptaplomeres”, hal ini disebabkan oleh dua faktor: 1) secara teologis umat Islam tidak memperbolehkan kitab sucinya ditangani oleh orang kafir; dan 2) Mushaf cetakan Venice memiliki banyak kekurangan dan kesalahan.

Pasca percetakan Al-Qur’an di Venice, sebenarnya ada beberapa upaya percetakan Al-Qur’an yang dilakukan oleh barat, seperti Abraham Hinckelmann di Hamburg (1694 M), Ludovico Maracci (1698 M), Ludovisi Gustav Flugel (1834 M), Al-Qur’an terbitan St. Petersburg (1787 M), Al-Qur’an terbitan London (1833 M) dan lain-lain. Namun kesemua cetakan Al-Qur’an tersebut kurang disukai komunitas muslim.

Adapun mushaf Al-Qur’an yang banyak digemari umat Islam adalah cetakan India (1852 M), Turki (1872 M) dan Mesir (1864). Selain di negara-negara tersebut, di beberapa negara juga mulai ramai percetakan Al-Qur’an seperti di Iran (1828 M), Tibris (1833 M) dan percetakan lainnya termasuk di Indonesia yang diawasi oleh Kementerian Agama.

Seiring dengan hadirnya berbagai cetakan Al-Qur’an, maka aksesnya juga menjadi lebih mudah. Hal ini membuat Al-Qur’an dapat dinikmati oleh berbagai kalangan, baik pelajar maupun orang biasa. Selain itu, percetakan Al-Qur’an membawa perubahan signifikan dalam dunia tahfiz Al-Qur’an di mana peran mushaf menjadi lebih sentral dibandingkan sebelumnya.

Pada fase ini, mushaf yang tercetak menjadi patokan dan standar hafalan. Biasanya para penghafal Al-Qur’an menyetorkan hafalan kepada gurunya berdasarkan sebuah mushaf. Bacaan tersebut kemudian dikoreksi gurunya dan diberi catatan jika ada hal yang penting untuk diperhatikan. Dalam konteks ini, mushaf bersanding dengan guru sebagai rujukan utama, tidak lagi hanya sebatas alat bantu.

Kemudian, perkembangan teknologi audio dan video juga turut serta mengembangkan metode tahfiz Al-Qur’an di dunia muslim. Jika dulu pembelajaran Al-Qur’an dan proses tahfiz-nya hanya terbatas pada satu ruang tertentu, maka pada era ini keduanya dapat dilakukan oleh guru dan murid dalam ruang yang berbeda. Misalnya, tahfiz Al-Qur’an di masa pandemi Covid-19 dapat dilakukan melalui media online atau secara daring.

Terakhir,  satu hal yang harus kita ingat berkenaan dengan dinamika tahfiz Al-Qur’an dari masa ke masa, yakni peran sentral seorang guru terhadap muridnya (para penghafal). Mereklah yang – secara sosiologis – menjaga otentisitas Al-Qur’an sekalipun mushaf atau peranti perekam Al-Qur’an berbeda-beda pada setiap masa. Oleh karena itu, kehadiran seorang guru bersanad bagi para penghafal Al-Qur’an mutlak adanya. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al A’raf ayat 120-125

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Pada tafsir sebelumnya perjalanan hidup Nabi Musa hingga pertentangannya dengan Fir’aun. Dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 120-125 ini lebih menceritakan para penyihir yang akhirnya mengimani agama yang di bawa Musa. 

Meskipun Fir’aun mengancam untuk memotong silang tangan dan kaki mereka karena mengikuti Musa. Namun meskipun demikian dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 120-125 menjegaskan bahwa para penyihir tersebut tak gentar dan juga tak takut. Selengkapnya baca Tafsir Surat Al A’raf ayat 120-125 di bawah ini…


Baca Tafsir Sebelumnya: Tafsir Surat Al A’raf ayat 97-100


Ayat 120-122

Dalam ayat ini diterangkan bahwa setelah melihat kehebatan mukjizat Nabi Musa, maka para pesihir, serta merta bersujud kepada Allah, karena mereka yakin tentang kebenaran seruan Nabi Musa, dan ia bukan pesihir seperti yang mereka duga sebelumnya, sesuai dengan tuduhan Fir’aun dan para pembesarnya.

Selain itu, mereka menyadari bahwa sihir mereka yang dibangga-banggakan selama ini hanyalah kebatilan dan tidak berdaya bila berhadapan dengan kebenaran yang datang dari Allah Yang Maha Kuasa. Mereka sudah tidak mempunyai rasa hormat sedikit pun kepada Fir’aun dan para pembesarnya yang telah berusaha dengan segala daya upaya untuk mengingkari kekuasaan dan kebesaran Allah, Pencipta dan Penguasa alam semesta.

Mengenai bersujudnya para pesihir tersebut, Allah menerangkannya dalam ayat yang lain sebagai berikut:

فَاُلْقِيَ السَّحَرَةُ سُجَّدًا قَالُوْٓا اٰمَنَّا بِرَبِّ هٰرُوْنَ وَمُوْسٰى

Lalu para pesihir itu merunduk  bersujud, seraya berkata, “Kami telah percaya kepada Tuhannya Harun dan Musa.” (Taha/20:70)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

فَاُلْقِيَ السَّحَرَةُ سٰجِدِيْنَ ۙ   ٤٦  قَالُوْٓا اٰمَنَّا بِرَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ۙ   ٤٧

Maka menyungkurlah para pesihir itu, bersujud, mereka berkata, “Kami beriman kepada Tuhan seluruh alam”. (asy-Syu’ara’/26:46-47)

Ayat 123

Dalam ayat ini diceritakan bahwa Fir’aun dengan sangat murka berkata kepada pesihir yang telah menyatakan iman kepada Tuhan Nabi Musa, “Mengapa kamu beriman kepadanya sebelum aku izinkan?” Maksudnya mengapa mereka menyatakan iman kepada Musa dan kepada agama yang dibawanya yang berdasarkan kepercayaan tauhid kepada Allah, padahal ia belum memberi izin atau memerintahkan kepada mereka. Mengapa mereka tunduk menjadi pengikut Nabi Musa sebelum meminta izin kepada Fir’aun lebih dahulu.

Ucapan Fir’aun ini menunjukkan bahwa ia masih belum menyadari, bahwa apa yang diperlihatkan Nabi Musa di hadapannya adalah mukjizat pemberian Allah yang tidak akan dikalahkan oleh siapa pun. Dan ia belum menyadari bahwa orang-orang yang menyaksikan kemenangan Nabi Musa itu sudah tidak mempunyai rasa hormat lagi terhadap dirinya, dan bahwa dia tidak lagi merupakan orang yang dipertuan dan dipertuhan.

Di samping itu, ia menuduh ahli-pesihir itu sudah berkomplot dengan Nabi Musa lebih dahulu, sehingga kekalahan mereka ketika berhadapan dengan Nabi Musa telah direncanakan sebelumnya. Sebab itu ia melanjutkan ancamannya terhadap mereka dengan ucapannya sebagai berikut: “Sesungguhnya perbuatan ini adalah suatu tipu muslihat yang telah kamu rencanakan di dalam kota ini, untuk mengusir penduduk aslinya dari Mesir; maka kelak kamu akan mengetahui akibat dari perbuatan ini”.

 Dalam ayat yang lain Allah menyebutkan bahwa Fir’aun menuduh Nabi Musa sebagai guru sihir yang telah mengajarkan sihirnya kepada para pesihir tersebut, untuk bersama-sama memperdayakan Fir’aun untuk dan para pengikutnya untuk mengusirnya dari negeri Mesir, agar mereka kemudian dapat memegang kekuasaan di negeri Mesir, dan Fir’aun pun mengatakan:

اِنَّهٗ لَكَبِيْرُكُمُ الَّذِيْ عَلَّمَكُمُ السِّحْرَۚ

Sesungguhnya dia itu pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu. (Taha/20: 71)

Ayat 124

Dalam ayat ini diceritakan bahwa Fir’aun melanjutkan ancamannya kepada mereka; Pasti aku akan memotong tangan dan kakimu secara bersilang, kemudian sungguh aku akan menyalib kamu semua.

Demikianlah Fir’aun memandang para pesihir itu bersalah, akibat mereka beriman kepada Allah tanpa meminta izinnya lebih dahulu. Oleh sebab itu, ia merasa berhak dan berkuasa untuk menjatuhkan hukuman yang berat kepada mereka, dengan memotong tangan kanan dan kaki kiri atau sebaliknya. Sesudah itu masing-masing mereka akan disalibnya. Hukuman tersebut dimaksudkan juga untuk menakut-nakuti orang-orang lain yang berniat pula untuk melakukan tipu daya semacam itu terhadapnya atau bermaksud untuk memberontak dan membebaskan diri dari kekuasaannya.

Fir’aun sangat khawatir kalau rakyatnya, bangsa Mesir mengikuti pula jejak para pesihir itu untuk beriman kepada Musa a.s, karena hal itu akan mengakibatkan keruntuhan bagi kerajaan dan kekuasaannya sebagai tuhan bagi rakyatnya yang selama ini telah dipaksa untuk menyembahnya sebagai Tuhan. Di samping itu, ia mencoba pula untuk berbuat seolah-olah ia membela kepentingan rakyatnya yaitu memelihara kemerdekaan mereka serta melindungi agama mereka. Oleh sebab itu ia mengatakan bahwa para pesihir telah berkomplot dengan Musa untuk merebut kekuasaan Mesir dari negeri mereka sendiri.

Demikianlah umumnya sikap penguasa yang zalim dan angkara murka. Ia sangat khawatir apabila rakyatnya memalingkan muka kepada pemimpin yang lain. Namun bangsa yang punya harga diri dan ingin memelihara hak-hak azasinya, pasti akan bersatu padu menentang kekuasaan yang zalim itu, betapa pun hebatnya sang penguasa.

Ayat 125

Dalam ayat ini Allah menceritakan bahwa para pesihir sedikit pun tidak merasa gentar menghadapi ancaman Fir’aun kepada mereka. Bahkan dengan mantap dan penuh keyakinan, mereka berkata kepada Fir’aun, sesungguhnya hanya kepada Tuhan kami akan kembali.

Ucapan mereka ini menegaskan bahwa mereka sama sekali tidak peduli terhadap ancaman Fir’aun kepada mereka. Meskipun Fir’aun akan membunuh mereka, maka hal itu akan memberikan kemungkinan bagi mereka untuk segera bertemu dengan Tuhan, serta mendapatkan  ampunan dan rahmat-Nya yang sangat mereka dambakan. Mereka yakin, Fir’aun dan mereka semua akan kembali kepada Tuhan. Andaikan Fir’aun membunuh mereka, Fir’aun tidak akan hidup selama-lamanya di dunia ini. Dia akhirnya akan kembali kepada Tuhan Semesta alam, sehingga Tuhan akan mengadili mereka dan Fir’aun.

Dengan pengertian yang terakhir ini, dapat dipahami, bahwa ucapan mereka mengandung sindiran yang tajam, bahwa Fir’aun bukan Tuhan seperti yang diakuinya selama ini; bahkan dibalik kekuasaannya, ada kekuasaan yang lebih tinggi. Dan mereka lebih mengutamakan rahmat dan rida Allah dari pada memuaskan hawa nafsu keduniawian di samping Fir’aun dan para pembesarnya.

Di dalam kisah yang terdapat dalam Surah asy-Syu’ara, Allah menyebutkan ucapan para pesihir tersebut sebagai berikut :

قَالُوْا لَا ضَيْرَ ۖاِنَّآ اِلٰى رَبِّنَا مُنْقَلِبُوْنَ ۚ٥٠اِنَّا نَطْمَعُ اَنْ يَّغْفِرَ لَنَا رَبُّنَا خَطٰيٰنَآ اَنْ كُنَّآ اَوَّلَ الْمُؤْمِنِيْنَ ۗ ࣖ  ٥١ 

Mereka berkata, “Tidak ada yang kami takutkan, karena kami akan kembali kepada Tuhan kami. Sesungguhnya kami sangat menginginkan sekiranya Tuhan kami akan mengampuni kesalahan kami, karena kami menjadi orang-orang yang pertama-tama beriman.” (asy-Syu’ara/26: 50-51)

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Surat Ar-Rum [30] Ayat 30: Mengesakan Allah SWT adalah Fitrah Manusia