Beranda blog Halaman 89

Popularitas Tafsir al-Baghawi di Masa Lalu

0
Popularitas Tafsir al-Baghawi di Masa Lalu
Kutipan teks Tafsir al-Baghawi dalam naskah Tafsir Jalalain.

Popularitas sebuah teks dalam perspektif filologi dapat dilihat dari seberapa sering ia disalin. Dalam konteks tafsir misalnya, Jalalain menjadi salah satu teks yang cukup populer. Hal ini dapat dibuktikan dengan temuan teks Jalalain bertarikh 1000 hijriah atau kurang lebih setara dengan 1600-an masehi. Popularitas teks ini bahkan dapat dirasakan hingga kini melalui berbagai lembaga yang aktif mengkajinya, baik di lingkungan pesantren maupun kampus oleh mahasiswa.

Berpijak pada tesis tersebut, penulis mendapati hal yang menarik berkaitan dengan Tafsir al-Baghawi, bahwa keberadaan teks tersebut di masa lalu boleh dikatakan cukup populer meskipun tidak sepopuler teks Jalalain. Bagaimana ulasannya? Mari kita simak bersama.

Deskripsi Teks Tafsir al-Baghawi

Tafsir al-Baghawi atau bernama asli Ma‘alim al-Tanzil merupakan tafsir yang ditulis oleh Abu Muhammad al-Husain bin Mahmud al-Baghawi (436-510 H.). Secara umum tafsir ini ditulis dengan menganut mazhab bi al-ma’tsur, yakni penjelasan di dalamnya lebih banyak mengacu nash Alquran dan hadis serta atsar-atsar sahabat. Adapun pendekatan yang digunakan adalah fikih secara dominan.

Sementara teks Tafsir al-Baghawi sebagaimana dimaksud dalam tulisan ini adalah teks yang termuat dalam bundel naskah Tafsir Jalalain yang menjadi koleksi Museum Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Pembaca dapat membaca deskripsi lengkap bundel naskah tersebut pada Naskah Tafsir Jalalain di Museum Masjid Agung Jawa Tengah.

Baca juga: Naskah Tafsir Jalalain di Museum Masjid Agung Jawa Tengah

Lebih detailnya, teks Tafsir al-Baghawi tersebut terletak di antara teks kitab Fath al-Mu‘in dan teks tafsir Jalalain. Teks tersebut berisi tafsir dari surah An-Nisa’ [4] ayat 43 yang menjelaskan ibadah salat dan bersuci sebelum mendirikannya serta tafsir surah Al-Hujurat [49] ayat 9 yang menjelaskan perselisihan di antara mukmin berikut solusi pemecahannya.

Kutipan kedua teks Tafsir al-Baghawi pada naskah Tafsir Jalalain di museum MAJT.

Besar kemungkinan teks tersebut merupakan kutipan yang diberikan sebagai syarah atau pembanding atas teks primer yang tengah dijelaskan. Artinya bahwa teks tersebut bukan menjadi teks primer dalam bundel naskah tersebut. Hal ini didasarkan pada penggunaan pola ta‘liq dengan menyematkan simbol tertentu sebagai tanda rujukan terhadap teks primer serta penambahan huruf ha’ (هـ) diikuti penyebutan kata al-Baghawiy dan surah yang dikutip di setiap akhir kutipan.

Sebagai informasi, huruf ha’ di akhir sebuah kutipan merupakan akronim dari kata intaha dalam bahasa Arab yang berarti akhir dari kutipan (secara literal berarti selesai). Terkadang, huruf yang ditambahkan adalah alif dan ha’ (اهـ) yang merupakan akronim dari kata yang sama. Santri-santri di pesantren terkadang membaca simbol tersebut dengan nada sarkastis, “ah”.

Baca juga: Al-Raghib al-Asfahani dan Kontribusinya di Bidang Kajian Alquran

Apabila diamati isi kutipan teks yang diberikan serta terlihat eksistensi Tafsir al-Baghawi sebagai tafsir yang dominan menggunakan pendekatan fikih, agaknya teks dalam bundel naskah tersebut cenderung menjadi bagian dari teks kitab Fath al-Mu‘in, bukan teks Jalalain. Hal ini sebagaimana jamak diketahui bahwa Fath al-Mu‘in merupakan teks kitab fikih.

Jika dugaan penulis benar, bahwa teks Tafsir al-Baghawi tersebut merupakan bagian dari teks kitab Fath al-Mu‘in, maka menjadi sangat menarik dikarenakan setidaknya tiga hal. Pertama, teks Tafsir al-Baghawi tergolong teks yang cukup populer di masa itu, yakni sekitar abad 19. Hal ini didukung dengan catatan yang diberikan Pak Anasom terkait penemuan naskah Tafsir al-Baghawi yang lain dalam koleksi yang sama (Museum MAJT). Sebuah naskah milik salah seorang sultan Surakarta yang berisi Tafsir al-Baghawi juz 2.

Baca juga: Mengenal Corak Tafsir Fiqhi dan Kitab-kitabnya

Kedua, kajian tafsir menjadi kajian yang cukup berkembang dan diminati. Ketiga, kajian fikih yang dikomparasikan dengan tafsir dapat dijadikan bukti adanya pendekatan interdisipliner atau multidisipliner di masa lalu. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Tafsir Al Quran dan Keteladanan Nabi

0

Tafsir Alquran dan Keteladanan Nabi adalah dua hal yang sangat dekat. Teladan Nabi dalam kesehariannya dapat dikatakan sebagai tafsir pertama terhadap Alquran.

Dikisahkan bahwa seorang sahabat bernama Adi bin Hatim sedang memperhatikan dua benang, yang satu berwarna hitam dan satu lagi putih. Ia terus memperhatikan dengan seksama, seraya berharap ada perubahan atau suatu peristiwa akan terjadi terhadap benang itu. Hingga menjelang tidur, disimpanlah kedua benang tadi di bawah bantalnya. Sampai fajar menyingsing dan Adi bangun dari tidur, ternyata tetap saja tidak ada perubahan.

Pagi harinya, Adi bin Hatim menemui Nabi Muhammad saw diceritakanlah apa yang dialaminya itu. Nabi kemudian merespon, “Wahai Adi, apa yang kamu lakukan itu tidak tepat, yang dimaksud dengan benang hitam dan benang putih adalah siang dan malam (innama dzalika al-lail wa al-nahar).”

Riwayat di atas dapat kita temui dalam kitab-kitab tafsir ketika sampai pada Q.S al-Baqarah ayat 187 yang penggalan ayatnya berbunyi

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْر

… Dan makanlah dan minumlah hingga jelas bagimu antara benang putih dan benang hitam dari fajar…

Melalui cerita di atas tergambar bagaimana Nabi Muhammad memberikan penjelasan kepada Adi bin Hatim tatkala ia kurang tepat memahami ayat al-Quran. Inilah salah satu contoh penafsiran Nabi Muhammad terhadap al-Quran.

Contoh lain yang cukup masyhur adalah ketika para sahabat bertanya kepada Nabi mengenai Q.S al-An’am ayat 82, “siapakah di antara kita yang tidak zalim kepada dirinya sendiri?” Nabi saw menjawab, “penjelasan ayat itu bukan seperti yang kalian sangkakan, penafsirannya adalah sama seperti ketika Luqman menasihati putranya: wahai putraku janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya syirik adalah perbuatan dzalim yang amat besar.”

Contoh-contoh lain mengenai penafsiran Nabi atas ayat Alquran dapat kita temukan dalam riwayat hadis yang banyak bertebaran dalam kitab tafsir maupun kitab hadis.

Namun, perlu diketahui pula bahwa tidak seluruh ayat Alquran mendapat penjelasan dari Nabi Muhammad saw. Hal ini dikarenakan banyak ayat Alquran yang dapat dipahami secara langsung, tanpa perlu mendapatkan penjelasan dari Nabi Saw.

Pertanyaannya kemudian bagaimana semestinya kita memahami Alquran? Jawabannya adalah dengan melihat keagungan akhlak Nabi Muhammad saw. Ummul Mukminin Aisyah R.A pernah berkata: “akhlak Nabi Muhammad adalah cerminan dari Alquran (Kana Khuluquhu al-Quran).” Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa esensi al-Quran adalah akhlak Nabi.

Kita ambil contoh bagaimana akhlak Nabi harus menjadi naungan ketika memahami Alquran. Dalam kasus rumah tangga misalnya, bagi sebagian laki-laki Q.S al-Nisa ayat 34 yang di dalamnya terdapat kalimat pukullah (wadhribuhunna), seolah menjadi legitimasi kebolehan suami memukul istri. Padahal jika kita memahami Alquran dalam naungan akhlak Nabi, Aisyah R.A mengatakan bahwa Nabi tidak pernah sekali pun memukul istri maupun pembantunya.

Bukankah Nabi saw sebagai penerima wahyu mempunyai hak untuk mengamalkan ayat tersebut tetapi tidak ia lakukan? Disinilah kita harus senantiasa meneladani akhlak Nabi Muhammad saw. Wallahu A’lam.

Perilaku Konsumtif Masyarakat Jahiliah

0

Masyarakat Arab jahiliah pra-Islam di kota Makkah kerap melakukan perbuatan menyimpang, di antaranya yaitu perjudian, meminum khamar, suka bermewah-mewahan, berfoya-foya dan pemborosan. Sikap bermewah-mewahan, foya-foya dan pemboros sejatinya merupakan perilaku konsumtif.  

Perilaku konsumtif merupakan suatu perilaku atau kecenderungan seseorang berperilaku berlebihan dalam membeli sesuatu atau membeli secara tidak berencana. Sebagai akibatnya, mereka membelanjakan uangnya secara membabi buta dan tidak rasional, sekedar untuk mendapatkan barang-barang yang menurut anggapan mereka dapat menjadi simbol keistimewaan. Perilaku konsumtif memiliki dua indikator, yaitu: pola konsumtif yang berlebihan dan pemborosan. Pola konsumtif yang berlebihan adalah suatu kecenderungan individu untuk menghabiskan uang tanpa batas (berfoya-foya) dan lebih mementingkan keinginan daripada kebutuhan.

Mereka kerap kali berfoya-foya ketika meminum khamar yang terbuat dari gandum halus, gandum kasar, kurma, anggur, dan madu. Mereka menganggap bahwa minum khamar merupakan cara untuk menunjukkan kedermawanan dan cara paling mudah menunjukkan pemborosan. Hal tersebut diabadikan dalam syair-syair yang mereka buat.

Seperti syair dari ‘Antarah bin Shaddad al-Absi yang berbunyi:

Telah kuminum regukan-regukan arak setelah terlewati siang hari yang terik di dalam gelas kaca berwarna kuning kemilau bertabur bunga-bunga indah yang memukau. Kehormatanku juga tak terhirau. Kurelakan harta kan musnah jika minum arak. Kehormatanku yang tinggi tiada kusimak jika tak mabuk tiada kusia-siakan undangan karena kutahu sifatku yang dermawan”.

Masyarakat Arab di masa jahiliah ini gemar meminum khamar dan berkumpul untuk membanggakan diri karena khamar adalah minuman yang paling mahal. Kebiasaan ini dilakukan oleh orang-orang kaya di kota, para pembesar, bangsawan, para sastrawan, dan para penyair. Semakin banyak meminum khamar maka semakin menunjukkan kekayaannya.

Orang-orang kaya Arab jahiliah menghabiskan semua simpanan minuman kerasnya untuk menjamu tamunya agar dia dikagumi, dimuliakan, dan dianggap dermawan. Jadi, kedermawanan mereka berpijak pada dasar bermegah-megah diri untuk memperoleh nama dan kemasyhuran.

Baca juga: Marak e-commerce, Antara Kemudahan dan Keborosan: Refleksi Surah Al-Furqan Ayat 67

Perilaku Konsumtif dalam Surah Alisra’ Ayat 26-27

Alquran menyebutkan perilaku konsumtif dengan kata melampaui batas, menghambur-hamburkan, dan boros. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa lafal yakni tabdzir, israf, i‘tada, tagha, dan bagha. Dalam hal ini, penulis fokus mengkaji pada lafal tabdzir (boros) yang terdapat dalam surah Alisra’ ayat 26-27, yang berbunyi:

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا  ۲٦ إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا ۲۷

Artinya: “Dan berikanlah haknya kepada kerabat yang dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”.

Baca juga: Self Reward Berujung Pemborosan, Begini Manajemen Harta ala Al-Qur’an

Asababun Nuzul Surah Alisra’ Ayat 26-27

Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini diturunkan untuk menjelaskan kebiasaan orang Arab yang mengumpulkan hartanya dari cara merampok dan merampas, kemudian mempergunakannya untuk membanggakan diri. Begitu juga, orang musyrik Quraish mempergunakan hartanya untuk mencegah masyarakat masuk agama Islam, memperlemah keluarganya, dan mendukung musuh Islam. Maka, turunlah ayat ini sebagai peringatan atas buruknya perilaku mereka dalam konteks ini.( Tafsir al-Maraghi,Jilid 15, 37)

Selain itu, asbabun nuzulnya juga menjelaskan tentang perilaku tabdzir masyarakat jahiliah yang menyembelih unta dan menghambur-hamburkan hartanya hanya untuk mencari kebanggaan, ketenaran dan kemasyhuran atas dirinya. (Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir, Jilid 3, 20)

Perilaku Konsumtif dalam Tafsir Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir karya Ibn al-Jawzi

Secara etimologis, kata tabdzir berasal dari badzdzara-yubadzdziru-tabdziran yang artinya membuang-buang, mubazir. Dalam tafsir ini, ada dua pendapat terkait pengertian tabdzir (boros), yaitu:

Pertama, tabdzir (boros) adalah membelanjakan harta untuk sesuatu yang tidak benar, hal ini berdasarkan pendapat Ibn Mas’ud dan Ibn ‘Abbas. Sedangkan Mujahid mengatakan bahwa jika seseorang membelanjakan seluruh hartanya untuk kebenaran, maka dia bukan orang yang mubazir, akan tetapi jika membelanjakan satu mud saja dari hartanya untuk ketidakbenaran, maka dia adalah orang yang mubazir.

Al-Zajjaj juga berpendapat bahwa tabdzir adalah membelanjakan harta untuk hal ketidaktaatan kepada Allah swt., seperti halnya masyarakat jahiliah yang menyembelih unta dan menghambur-hamburkan hartanya hanya untuk mencari kebanggaan, ketenaran dan kemasyhuran atas dirinya. Kemudian, Allah swt., memerintahkan agar harta itu dibelanjakan hanya semata-mata untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah swt.

Kedua, tabdzir (boros) adalah perbuatan israf atau berlebih-lebihan yang sampai merugikan atau merusak harta, pendapat ini dikemukakan oleh al-Mawardi. Begitu juga, Abu ‘Ubaidah berpendapat bahwa mubazir adalah perbuatan israf yang cenderung kepada merusak sesuatu. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya para mubazir adalah saudara-saudara setan karena mereka mempunyai kesamaan dengan setan yaitu mengajak kepada perbuatan boros (tabdzir) dan mempunyai kesamaan dalam hal bermaksiat kepada Allah swt.”. (Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir, Jilid 3, 20)

Baca juga: Tafsir Surah Al Isra Ayat 29: Etika Menggunakan Harta

Perilaku Konsumtif dalam Tafsir al-Kasysyaf  Karya al-Zamakhshari

Sedangkan menurut tafsir al-Kashshaf karya al-Zamakhshari, tabdzir adalah membelanjakan harta pada sesuatu yang tidak seharusnya dan membelanjakannya secara berlebih-lebihan (israf). Orang-orang jahiliah menyembelih untanya dan berjudi dengan untanya, serta membagi-bagikan hartanya secara berlebih-lebihan untuk suatu kehormatan dan popularitas. Perilaku-perilaku tersebut disebutkan dalam syair-syair mereka. Maka, Allah swt. memerintahkan membelanjakan hartanya di jalan ketaatan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Abdullah mengatakan bahwa tabdzir adalah membelanjakan harta pada sesuatu yang tidak benar. Mujahid juga berkata, barangsiapa yang membelanjakan satu mud hartanya dalam hal kebatilan maka itu dikatakan perbuatan tabdzir.

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amru, dia berkata, “Suatu ketika Rasulullah saw. dalam perjalanan bersama Sa‘d. Kemudian Sa‘d berwudu, kemudian Rasulullah saw. berkata, “Apa ini perilaku berlebih-lebihan wahai Sa‘d?”, Sa‘d menjawab, “Apakah dalam wudu itu terdapat wahai Rasul?”, Rasulullah saw. menjawab, “Iya, sekalipun engkau wudu di sungai yang mengalir”. (Tafsir al-Kashshaf, Jilid 2, 661)

Wallah a’lam

Teladan Nabi Ibrahim dan Ismail tentang Etika ketika Berdoa

0
Teladan Nabi Ibrahim dan Ismail tentang Etika ketika Berdoa
Image by iqbal nuril anwar from Pixabay

Doa menjadi permintaan seorang hamba pada Allah Swt. Doa berada dalam nuansa dialogis antara hamba dengan dengan-Nya. Lantunan di dalamnya mengisyaratkan keinginan hamba agar sesuatu yang diharapkan dikabulkan oleh-Nya. Sebab, Allah Swt. yang telah menciptakannya. Dia yang mengatur segalanya. Hanya kepada-Nya setiap insan memohon, bukan pada yang lainnya. Seperti halnya ia tunduk dan patuh pada-Nya, begitu pun permohonan hanya ditujukan kepada-Nya.

Setiap hamba ingin doanya diterima dan dipenuhi oleh-Nya. Hampir setiap lantunan doa pasti dalam relung hati yang paling dalam tidak terlepas dari harapan pemenuhan oleh-Nya terhadap permintaan. Terkait hal ini, telah banyak informasi keagamaan yang mengajarkan etika ketika berdoa agar doa dipenuhi oleh-Nya. Lalu, bagaimana Alquran mengisyaratkan hal ini?

Salah satu ayat yang berhubungan dengan hal ini adalah Q.S. Albaqarah ayat 127. Ayat ini berkaitan dengan usaha Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. ketika meninggikan fondasi Ka’bah.

وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۗ اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

“(Ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), ‘Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Baca juga: Alasan Doa Belum Dikabulkan Menurut Fakhruddin al-Razi

Informasi doa terdapat pada redaksi رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۗ اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْم (Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui). Doa ini dilantunkan pada oleh keduanya setelah menyelesaikan peninggian fondasi Baitullah. Keduanya berharap agar seluruh perbuatan untuk ketundukan kepada-Nya diterima oleh-Nya.

Baitullah menurut satu riwayat, misalnya dalam Tafsir al-Shawi, sudah ada sejak Nabi Adam a.s. Bahkan, Adam a.s. melakukan tawaf di sekitarnya atau berhaji. Bangunannya hancur setelah peristiwa banjir bandang ketika zaman Nabi Nuh a.s. Dasar bangunannya tetap ada. Namun, tembok dan dindingnya hancur. Letaknya pun masih di sana. Meskipun bangunannya sudah tidak ada, Nabi Ibrahim a.s. mengetahui letaknya tetap sama seperti sebelumnya berkat informasi dari Jibril a.s. Peristiwa ini terjadi ketika Nabi Ibrahim a.s. menempatkan Nabi Ismail a.s. (kecil) dengan Hajar di sebuah lembah yang tandus; tidak ada pepohonan sama sekali di hadapan Baitullah (‘inda baitik al-muharram).

Kisah tentang peninggian fondasi menjadi penting dikenang. Prosesnya memerlukan upaya yang kuat dan penuh kesungguhan. Meskipun tidak seperti teknik sipil modern, tentunya meninggikan itu perlu pengukuran, pengaturan bahan, teknik menempelkan, dan merapikan bangunan. Proses ini tentu menunjukkan kesungguhan dalam melakukan sesuatu. Keduanya, Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s., bersama-sama dalam proses ini. Hal ini diwakili pemaknaan dari redaksi وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ.

Baca juga: Nabi Musa a.s. yang Ringan Tangan dan Doa ketika Lapar

Redaksi ini mengisahkan kedua hamba Allah Swt. yang melaksanakan perintah-Nya untuk membangun kembali Baitullah. Bahkan, menurut riwayat yang dikutip dalam Tafsir al-Shawi, ukuran batu yang diletakkan di atas fondasinya berukuran seperti besarnya unta (qadr al-ba’ir). Batu seukuran itu sungguh berat dan memerlukan landasan yang kokoh dan tenaga angkut yang kuat. Ukuran dan beratnya batu harus sebanding dengan kesungguhan pelaksanaannya.

Setelah pelaksanaan selesai dengan penuh upaya, keduanya berdoa: “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami.” Frase ini menunjukkan bahwa apa yang diusahakan diterima oleh Allah Swt. Sebab, Allah Swt. telah memberikan perintah dan keduanya melaksanakan dengan sepenuh hati dan perjuangan yang keras. Keduanya meyakini bahwa apa yang dikatakan dan diperbuat didengar dan diketahui oleh-Nya, sebagaimana maksud dari frase “Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Tiga etika ketika berdoa supaya diterima

Kisah dua orang hamba Allah yang ingin diterima amalnya melalui berdoa kepada-Nya memberikan isyarat penting bagi pembaca Alquran. Dari kisah ini setidaknya terdapat beberapa makna yang dapat dipetik ketika doa ingin diterima oleh Allah Swt.

Pertama, amal yang dikerjakan harus diperjuangkan dan dilaksanakan sesuai dengan perintah. Seolah, Allah Swt. hanya akan menerima amal perbuatan ketika hamba melaksanakan semua apa yang diperintahkan dengan tuntas, penuh pengabdian, dan upaya yang keras. Ikhtiar yang kuat menjadi penguat akan diterimanya doa. Antara apa yang dilantunkan melalui harapan doa dengan apa yang dikerjakan harus menunjukkan ketuntasan dan keyakinan. Pekerjaan dituntaskan dengan sempurna dan keyakinan dipupuk ketika menyerahkan hasil amal kepada-Nya.

Kedua, doa dihaturkan dengan penuh harapan diterima. Keyakinan bahwa Allah Swt. akan menerima doa menjadi landasan yang kuat dalam kalbu. Tidak sedikit pun muncul perasaan ragu atau bahkan mengingkari Allah Swt. akan menerima doa hambanya. Hal ini bisa dilihat dari frase رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا. Redaksinya tidak menunjukkan objek (maf’ul) secara eksplisit (sharih). Yang Nampak adalah “dari kami”, meskipun ulama tafsir mengaitkan pada makna yang tersimpan, yaitu amal; “terimalah (amal) dari kami”.

Baca juga: Keistimewaan Doa Nabi Yunus yang Dibaca Masyarakat Banjar pada Arba Musta’mir

Penyebutan objek tidak secara sharih bisa dimungkinkan menunjukkan bahwa Allah Swt. telah mengetahui apa mereka perbuat (amalnya), atau ketidakkuasaan diri menyebutkan amal dari subyek yang berawal dari perasaan merasa rendah di hadapan-Nya atau diri tidak ada apa-apanya di hadapan-Nya, sehingga mereka dikisahkan menggunakan redaksi jar dan majrur (مِنَّا), sehingga malu kalau disebutkan adalah amalnya, dibandingkan dengan sungguh banyaknya karunia Allah Swt. kepada keduanya.

Ketiga, apa yang diharapkan ingin diterima didasari oleh keyakinan bahwa Allah Swt. Maha Mendengar pada setiap ucapan hamba-Nya (doa), dan Dia Maha Mengetahui pada apa yang dikerjakan oleh hamba-Nya. Apa yang diucapkan pasti didengar oleh-Nya, juga dikuatkan keyakinan bahwa seluruh perbuatan akan diketahui oleh-Nya, sehingga setiap apa yang menjadi perintah-Nya harus dilaksanakan dengan tuntas.

Ayat ini memaparkan tentang kisah Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. Bukan hanya kisah tentang peninggian bangunan Baitullah. Ayat ini menyimpan makna terdalam mengenai harapan agar apa yang diperbuat diterima oleh-Nya. Wallahu a’lam.

Pandangan Mahmûd Muḥammad Thahâ tentang Makiyah Dan Madaniyah

0
Mahmûd Muḥammad Thahâ
Mahmûd Muḥammad Thahâ

Kebenaran Alquran sebagai kitab yang relevan untuk semua kondisi zaman dan tempat (Shâliḥ li kulli zamân wa makân), menjadikan para ulama klasik hingga cendekiawan kontemporer senantiasa menggali kandungannya dan memunculkan pandangan yang segar untuk merespons tantangan zaman. Salah satu tokoh yang turut ambil bagian dalam hal ini adalah Mahmûd Muḥammad Thahâ, seorang pemikir muslim asal Sudan dengan pemikirannya yang mencoba merekonstruksi kategorisasi dan pemaknaan Makki dan Madani. Selama hidupnya, dia aktif dalam dunia politik, menyerukan berbagai gagasannya yang terkadang kontroversial sehingga tak jarang dia harus berseberangan dengan penguasa. Puncak karier politiknya berakhir pada tahun 1985 di tiang gantungan.

Menarik untuk dicermati, meski merupakan pemikir kontemporer, Mahmûd Muḥammad Thahâ menggunakan metodologi yang mirip dengan pemikiran kaum sufi. Hal ini tentunya agak nyeleneh, mengingat para pemikir kontemporer justru lebih banyak menekankan rasionalitas dibandingkan intuisi, bahkan cenderung mengkritiknya.

Baca juga: Delapan Tema Pokok Al-Quran menurut Fazlur Rahman (2)

Di sisi lain, keunikan metodologi pemikiran Mahmûd Muḥammad Thaha juga menjadi kelemahannya. Metodologi intuisi atau ilham kerap kali menjadi sasaran kritik beberapa pihak karena sulit untuk dipertanggungjawabkan dan diverifikasi kebenarannya. Oleh karena itu, tak mengherankan jika pemikirannya selain mendapat respons negatif, juga minim mendapat sambutan positif dari pemikir lain dan masyarakat luas. Hal ini tentunya berbeda dengan pemikiran kontemporer lain seperti Syahrur, Farid Esack, Amina Wadud, dan beberapa tokoh lainnya yang masih menerima sambutan positif meskipun juga mendapatkan kritikan tajam dari pihak lain.

Dasar Konseptual Makki dan Madani

Khâlid ‘Ustman ats-Tsabt dalam kitab Qawâ’id al-Tafsîr mendefinisikan bahwa yang dimaksud Makki adalah ayat-ayat Alquran yang turun sebelum hijrah. Sebaliknya, Madani adalah ayat-ayat Alquran yang diturunkan sesudah hijrah. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah penentuan Makki dan Madani-nya suatu ayat bukan pada tempat, melainkan waktu, yakni sebelum atau sesudah hijrah. Jika ada ayat Alquran yang diturunkan sesudah hijrah, meskipun ayat tersebut diturunkan di Mekah, maka ayat tersebut termasuk dalam kategori ayat-ayat Madaniyah. (Qawâ’id alTafsîr: 76)

Makki dan Madani Menurut Thahâ

Berbeda dengan ulama ulûm al-Qur’ân lain, Mahmûd Muḥammad Thahâ tidak memiliki definisi yang jelas mengenai konsep Makki dan Madani. Perbedaan hanya terletak pada bagaimana dia memaknai esensi dari ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah.

Meskipun demikian, dalam hal inilah muncul perbedaan yang cukup tajam antara dia dengan ulama lain. Thahâ mengklaim memiliki pandangan yang berbeda dengan mayoritas ulama dalam memaknai apa itu ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah. Menurutnya, ayat-ayat Makiyah berisi ajaran Alquran yang esensial (ushul), yang di dalamnya terdapat nilai-nilai fundamental dan universal Islam, yakni keadilan, egaliter, toleransi, nilai dasar demokrasi, dan hak-hak asasi manusia. Adapun  ayat-ayat Madaniyah merupakan ajaran Alquran yang furu’, yang berisi ajaran yang kurang toleran, kurang menimbang keadilan, bias gender dan kurang menghormati dan bertoleransi terhadap pluralisme agama.

Baca juga: Status Makkiyah dan Madaniyah Mushaf Standar Indonesia, Apakah Berbeda dengan Mushaf Lain?

Pemaknaannya terhadap ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah ini kemudian berimplikasi pada konsep nasakh. Menurutnya, selama ini para ulama dan pemikir muslim klasik telah keliru dalam memahami bahwa ayat-ayat Makiyah telah di-nasakh oleh ayat-ayat Madaniyah. Sebaliknya, dia memiliki penilaian yang 180 derajat berbeda, bahwa ayat Madaniyah-lah yang di-nasakh oleh ayat-ayat Mekah, bukan sebaliknya. Hal ini didasarkan pada perbedaan pesan yang dibawa serta watak universalitas antara keduanya.

Berbeda dengan jumhur ulama yang mempertimbangkan waktu penutupan ayat dalam menetapkan nasakh, Mahmûd Muḥammad Thahâ lebih mengedepankan aspek kebutuhan umat menghadapi tantangan zaman sebagai pertimbangan dalam menetapkan nasakh. Bisa saja ayat yang datang lebih awal yang me-nasakh ayat-ayat yang diturunkan lebih akhir.

Mahmûd Muḥammad Thahâ menganggap ayat-ayat Madaniyah hanya bersifat sementara. Sedangkan ayat yang bersifat sepanjang zaman adalah ayat Makiyah. Ayat-ayat Madaniyah hanya dianggap sebagai ayat pengganti sementara ketika umat Islam pada saat itu belum bisa menerapkan ajaran-ajaran yang terkandung dalam ayat Makiyah.

Baca juga: Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir Nuzuli Karya Quraish Shihab

Bisa dikatakan bahwa ajaran dalam ayat-ayat Makiyah dianggap terlalu maju untuk masyarakat Arab pada saat itu. Akibat ketidaksiapan mereka, Allah Swt. menunda penerapan ayat-ayat Makiyah, dan sebagai gantinya diturunkanlah ayat-ayat Madaniyah. (Muhammad Al-Fikri dan Ahamd Mustaniruddin, “Studi Kritis Terhadap Pemikiran Mahmud Muhammad Thaha tentang Konsep Nasakh Al-Qur’an”, Tajdid,  Vol. 20, No. 2, 2021, 440-453)

Sejatinya, pemikiran-pemikiran apa pun dan dari tokoh mana pun layak diberi apresiasi, bahkan perlu dipertimbangkan selama pemikiran tersebut memiliki rujukan dan metodologi yang tepat. Mengenai ini, Mahmûd Muḥammad Thahâ tidak memiliki metodologi yang cukup kuat untuk merekonstruksi bangunan klasik teori Makiyah dan Madaniyah yang dibangun oleh ulama selama ini.

Selain itu, banyak ditemukan miskonsepsi yang dilakukan Mahmûd Muḥammad Thahâ mengenai pemikiran ulama terdahulu, salah satunya tentang kategorisasi Makiyah dan Madaniyah serta definisi mengenai nâsikh dan mansûkh. Sehingga, pada tahap pra-wacana sudah ditemukan cacat dalam pemikirannya

Terlepas dari hal tersebut, Mahmûd Muḥammad Thahâ telah memberikan kontribusi terhadap khazanah pemikiran keislaman, khususnya mengenai ulûm al-Qur’an dan Tafsir. Wallâhu a’lam.

Naskah Tafsir Jalalain di Museum Masjid Agung Jawa Tengah

0
Halaman awal tafsir Jalalain museum MAJT.

Tahun lalu, penulis bergabung dengan proyek digitalisasi naskah-naskah keislaman kuno yang tersimpan di museum Masjid Agung Demak (MAD) dan Museum Perkembangan Islam Jawa Tengah, Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Bersama Pak Anasom, peneliti senior bidang naskah kuno dan Walisongo dari UIN Walisongo, proyek tersebut berhasil mendigitalisasi 50 naskah lebih dari berbagai genre yang berbeda.

Di antara naskah-naskah tersebut, ada dua naskah tafsir Jalalain yang menjadi koleksi masing-masing museum. Naskah koleksi MAD telah penulis berikan sedikit ulasannya pada Temuan Tafsir Jalalain Tertua di Museum Masjid Agung Demak. Kali ini giliran naskah koleksi MAJT. Ulasan ini penulis berikan mengacu hasil digitalisasi yang ada berikut dengan catatan yang ditulis Pak Anasom.

Deskripsi Bundel Naskah Jalalain

Naskah Jalalain MAJT ini bisa dikatakan sebagai sebuah bundel naskah dikarenakan isinya yang tidak hanya mencakup teks Jalalain saja. Pembacaan yang penulis lakukan mendapati keberadaan teks lain di dalamnya. Di antaranya adalah teks Fath al-Mu‘in bi Syarh Qurrah ‘Ain bi Muhimmah al-Din karya Ahmad bin ‘Abd al-‘Azin bin Zain al-Din al-Malibariy (938-1028 H.), tepatnya pada bagian Mukadimah dan Bab Sunat (Al-Khitan).

Baca juga: Tafsir Jalalain dan Sederet Fakta Penting Tentangnya

Selain itu, penulis juga mendapati kutipan catatan yang merujuk pada teks kitab Ma‘alim al-Tanzil atau Tafsir Baghawiy karya Abu Muhammad al-Husain bin Mahmud al-Baghawiy (436-510 H.) pada penafsiran surah An-Nisa’ [4] ayat 43 serta teks kitab Fath al-Wahab bi Syarh Manhaj al-Thullab karya Syaikh Zakariyya al-Anshariy (824-926 H.) pada bab hadas (Bab al-Ahdats). Kutipan catatan tersebut mengacu pada pola penulisan yang digunakan keduanya yang cukup berbeda dengan penulisan teks induknya, yakni Jalalain dan Fath al-Mu‘in.

Yang menarik adalah bahwa dalam bundel naskah Jalalain tersebut juga ditemukan catatan-catatan lain seperti perhitungan kalender abajadun, konversi perhitungan hijrah Nabi saw. terhadap tahun ha’ dan tahun dal, perhitungan panatamangsa Jawa lengkap dengan ilustrasi dan keterangannya, dan catatan lain menggunakan aksara hanacaraka.

Ilustrasi pada catatan panatamangsa.

Temuan catatan ini menguatkan tesis yang diberikan oleh Prof. Oman Fathurahman bahwa dalam kajian naskah kuno, peneliti harus memahami perbedaan naskah dan teks serta melakukan pembedaan terhadap keduanya. Hal ini karena besarnya kemungkinan adanya dua teks atau lebih dalam satu bundel naskah mengingat keterbatasan media tulis di masa lalu.

Baca juga: Alasan Tafsir Jalalain Jadi Tafsir Favorit di Pesantren

Secara keseluruhan, bundel naskah ini terdiri dari 168 halaman menggunakan kertas berbahan daluwang. Pada peralihan setiap teks atau catatan terdapat satu atau dua halaman kosong. Tinta yang digunakan adalah hitam dan merah. Tidak ditemukan penomoran halaman atau kata alihan (catchword) dan iluminasi.

Penulis tidak menjumpai adanya catatan kolofon yang memberikan penjelasan tentang penulis atau waktu kepenulisan. Namun demikian, berdasar catatan Pak Anasom, ada kemungkinan bahwa naskah tersebut berasal dari abad ke-19. Penulis sendiri agaknya setuju dengan dugaan Pak Anasom melihat catatan konversi tahun hijrah Nabi saw. sebelumnya menunjuk pada angka 1230-1270 hijriah. Bahkan ada satu angka tahun yang menunjuk pada 1865 yang diduga sebagai tahun masehi.

Deskripsi Teks Jalalain

Teks tafsir Jalalain dimulai dari surah Al-Kahfi [18] sampai dengan surah Al-Ikhlas [114]. Tinta yang digunakan adalah hitam dan merah. Tinta hitam digunakan untuk menuliskan tafsir dan tinta merah digunakan untuk Alquran-nya. Seperti telah disebutkan sebelumnya, tidak ditemukan nomor halaman, kata alihan, dan iluminasi.

Tidak juga ditemukan pembatas antara tafsir satu surah dengan yang lainnya. Namun, satu hal yang cukup menarik adalah bahwa teks Jalalain tersebut ditulis dengan mempertimbangkan fungsi Alquran sebagai teks yang bisa dibaca secara individual. Hal ini berdasar pada keberadaan tanda maqra’ (huruf ‘ain) dan penanda juz di setiap hizb-nya. Satu hal yang jarang ditemukan pada teks Jalalain saat ini jika memang tidak disiapkan untuk dualitas fungsi, fungsi tafsir dan fungsi Alquran.

Baca juga: Hizb Mushaf Alquran, Apakah Sama dengan Hizb Wirid? Begini Penjelasannya!

Hasil pembacaan sementara penulis menyimpulkan bahwa teks Jalalain tersebut dimiliki oleh santri yang mahir berbahasa Arab. Kesimpulan ini didasarkan pada catatan yang diberikan pada kolom antarbarisnya banyak yang menggunakan bahasa Arab murni sehingga lebih terkesan mirip dengan ta‘liq atau mini syarah, alih-alih makna antarbaris. Meskipun demikian, penulis juga mendapati pemaknaan dengan sistem aksara Jawi atau pegon-gandhul (interlinear translation) di beberapa kata.

Sayangnya, hasil digitalisasi naskah Jalalain ini belum dapat pembaca sekalian nikmati karena masih dalam tahap penyusunan dan penyuntingan. Semoga saja bisa segera dan mari kita tunggu bersama-sama. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Corak Tafsir Lughawi: Menilik Penafsiran Al-Quran Quraish Shihab

0
Tafsir Lughawi
Tafsir Lughawi M. Quraish Shihab (src: Narasi TV)

Sebagai sumber primer ajaran Islam, Al-Quran menyimpan segudang multi tafsir tergantung bagaimana cara kita meresepsi dan memperlakukan Al-Quran. Di sinilah letak keragaman, kompleksitas sekaligus universalitas Al-Quran sehingga tidak ada tafsir tunggal atas Al-Quran itu sendiri. Bahwa kebenaran Al-Quran itu absolut sudah barang tentu, namun ada banyak sekian ragam penafsiran Al-Quran dan itu semua dibenarkan sepanjang tidak melanggar ketentuan syariat.

Berkaitan dengan itu, kiranya corak tafsir lughawi dan tafsir waqf adalah dua corak tafsir yang menurut Ulama kenamaan Indonesia, KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha, seringkali digunakan oleh pakar tafsir sebagai landasan dalam menafsirkan Al-Quran. Ambil contoh, mufasir yang menjadikan lughawi (kosakata) ayat Al-Quran sebagai bagian integral dalam penafsirannya adalah Quraish Shihab.

Pola Khas Corak Tafsir Lughawi ala Quraish Shihab

Gus Baha mencontohkan penafsiran Quraish Shihab, misalnya, dalam Surat Al-Isra’ ayat 24,

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ

“Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang.” (Q.S. Al-Isra’ [17]: 24)

Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas dengan pola lughat, yaitu dengan membahas arti dasar perkata. Kata janaha (جَنَاحَ), pada ayat di atas oleh Quraish Shihab diartikan sayap. Lalu ia menganalogikannya dengan burung. Seekor burung, kata Shihab dalam Tafsir al-Misbah, merendahkan sayapnya pada saat ia hendak mendekat dan bercumbu kepada betinanya, demikian juga bila ia melindungi anak-anaknya. Sayapnya terus dikembangkan dengan merendah dan merangkul, serta tidak beranjak meninggalkan tempat dalam keadaan demikian sampai berlalunya bahaya. Dari sini ungkapan itu dipahami dalam arti kerendahan hati, hubungan harmonis serta perlindungan dan ketabahan.

Baca Juga: Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir Nuzuli Karya Quraish Shihab

Inilah penafsiran khas dari Quraish Shihab dalam amatan Gus Baha. Menurutnya, Pak Quraish, sapaan Gus Baha kepada beliau, itu dengan mudah mengatakan bahwa janaha itu artinya sayap. Sayap itu berfungsi untuk melindungi, seperti halnya ayam melindungi anaknya dengan kedua sayapnya. Dengan orang tua juga harus seperti itu. Lindungi orang tuamu dengan sayapmu. “Pokoknya beliau itu bisa mencocokkan, othak athik gathuk kalau istilah Jawanya”, ujar Gus Baha.

Hal ini cukup beralasan mengingat Quraish Shihab dalam Kosakata Keagamaan, mengatakan satu kata bisa menimbulkan multi interpretasi. Ia lalu mengibaratkannya dengan sebuah wadah. Setiap wadah mestinya menampung semua isi dan menyingkirkan selain isinya. Di sisi lain, bisa jadi satu kata telah berisi penuh semua muatannya sebagaimana yang dikehendaki oleh penutur bahasa, tapi bisa jadi juga hanya sebagian lalu diisi yang bukan muatannya. Bahkan, bisa jadi tidak terisi sama sekali.

Pengguna bahasa, demikian juga yang mendengarnya, kata Shihab, seyogyanya menangkap semua muatannya dan mengesampingkan yang bukan muatannya. Di sinilah, menurut Shihab, letak kepelikan dan kerumitan dalam memilih kata-kata/ kalimat yang ditulis dalam bahasa diplomasi atau perjanjian apalagi bahasa agama. Faktanya, hampir sekian banyak kata yang digunakan hanya dipahami/ diterjemahkan/ ditafsirkan sebagian dari kandungannya.

Tak heran, jikalau Quraish Shihab menjadikan lughat sebagai landasan dalam menguak kandungan Al-Quran. Karena dengan begitu ia mampu obyektif dalam menafsirkan Al-Quran, tidak hanya mengandalkan rasionalitas sebab acapkali rasio tercampuri nafsu dalam melakukan pekerjaannya. Dalam kerangka demikian, Quraish Shihab banyak merujuk ke kamus-kamus bahasa Arab klasik yang menjelaskan makna dasar satu kata, terkhusus buku Mu’jam Maqayis al-Lughah karya Abu Al-Husain Ahmad bin Faris (941-1004 H), al-Mufradat fi Gharib Al-Quran karya al-Raghib al-Asfahani (w. 1108 M) dan juga Kitab al-Ta’rifat karya Ali bin Muhammad al-Jurjani (w. 1413 M) yang memang mereka tulis untuk menjelaskan makna dasar kosakata dan istilah-istilah keagamaan.

Kaidah Tafsir Lughawi

Quraish Shihab menggarisbawahi, para pakar dan ulama Islam, sejak semula menekankan bahwa kalimat harus menghasilkan manfaat, bukan sekadar manfaat dalam arti mengungkap pikiran yang utuh sebagaimana dijelaskan para pakar bahasa tersebut, melainkan makna yang dikandungnya harus bermanfaat bagi pengucap dan pendengarnya sehingga bisa diresapi dan direnungi.

Baca Juga: Surah Al-Nisa’ Ayat 3: Poligami Perspektif Quraish Shihab dan Amina Wadud

Lebih lanjut, Shihab menekankan semestinya satu kalimat yang ditafsiri idealnya melahirkan kekuatan yang mampu menggerakkan manusia untuk berbuat kebaikan secara konkrit, tak sekadar informasi belaka. Ambil contoh, ketika Al-Quran berbicara tentang berhala-hala yang disembah kaum musyrikin yang mereka namai “Tuhan”; Latta, Manat, Uzza, Allah melukiskannya sesembahan mereka itu dengan firman-Nya, “Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu buat sendiri, Allah tidak menurunkan suatu sultan (kekuatan baginya).” (Q.S. al-Najm [53]: 23).

Artinya, berhala-berhala itu tidak lebih hanyalah nama-nama belaka, sekadar tulisan atau kata-kata belaka yang tidak memiliki kekuatan apapun, tetapi hakikatnya tidak ada. Inilah yang kami maksud bahwa kalimat harus menghasilkan kandungan yang bermanfaat, tak sekadar informatif. Karena itu, penting bagi penafsir Al-Quran di era kontemporer ini untuk bisa dan mampu menguak makna suatu kalimat dari sisi kebahasaannya terlebih dahulu (lughat), baru kemudian beranjak kepada pemaknaan yang utuh dari berbagai sudut pandang. Wallahu a’lam.

Kriteria Amal yang Makbul

0
Kriteria amal yang makbul
Kriteria amal yang makbul

Rasulullah saw. mengajarkan kita untuk selalu memohon 3 hal di pagi hari; ilmu yang bermanfaat, rezeki yang tayib, dan amal yang makbul (lihat HR Ibnu Majah no. 925). Hal ini menjadi isyarat bahwa terdapat ilmu yang tidak bermanfaat, rezeki yang tidak tayib, serta amal yang tidak makbul, sehingga kita patut berlindung diri kepada Allah dari tiga hal itu.

Mengenai indikasi amal yang makbul, kita tidak pernah tahu amal saleh mana yang Allah terima. Meski demikian, kita tetap harus mengusahakan agar amalan kita diterima dengan cara menjauhi hal-hal yang dapat merusaknya dan memenuhi kriteria diterimanya suatu amalan.

Dalam Alquran surah Almulk ayat 2, Allah Swt. berfirman:

 الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Di dalam tafsir Ibnu Katsir,  Allah tidak menggunakan kata “paling banyak” amalan, melainkan kata “paling baik” amalan. Suatu amal dikatakan baik apabila dilakukan dengan ikhlas karena Allah Swt. dan sesuai dengan prinsip dasar Islam dan tuntunan Nabi. Maka, ketika satu dari dua hal ini tidak terpenuhi, amalan tersebut batal dan terhapus. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/30)

Senada dengan itu, Fudhail bin ‘Iyadh menafsirkan ahsanu ‘amala pada ayat tersebut, dengan amal amal yang dilakukan dengan ikhlas dan shawab (sesuai tuntunan Rasulullah). Apabila ikhlas tanpa shawab, maka amal tidak akan diterima. Begitu pula, amal yang shawab tanpa ikhlas pun tidak akan diterima. (Tafsir al-Baghawi: 4/369)

Baca juga: Amalan Alquran sebelum Tidur dan Dalilnya

Oleh karena itulah, suatu amal harus memenuhi dua kriteria; ikhlas dan shawab. Yang dimaksud ikhlas adalah beramal karena Allah, sedangkan shawab adalah beramal sesuai ajaran Rasulullah saw. (Madarij al-Salikin, 2/93)

Pemaparan di atas menjadi catatan penting tentang dua kriteria yang harus dipenuhi seorang hamba dalam setiap amal ibadahnya selama hidup. Banyak beramal namun tidak ikhlas dan tidak mengikuti sunah, hanya akan menjadikan amalnya sia-sia.

Ikhlas saja tapi tidak shawab, batal. Shawab saja tapi tidak ikhlas pun tidak sempurna. Oleh karena itu, setiap kali hendak beramal, pastikan agar selalu dalam keadaan niat yang ikhlas dan sesuai dengan syariat yang diajarkan Rasulullah saw.

Keikhlasan adalah harga mutlak diterimanya suatu amalan. Hadis innama al-a’malu bi al-niyyat mungkin sangat masyhur . Hadis itu menunjukkan dengan jelas bahwa perbuatan kita tergantung apa yang kita niatkan, dan hanya niat yang ikhlas yang dapat menjadikan amal diterima oleh Allah. Dalam hadis lain pun -sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim- dari Abu Hurairah dijelaskan bahwa ada orang yang berjihad, berilmu, bersedekah, mereka semua masuk neraka karena amalan mereka tidak dilandasi keikhlasan.

Adapun kriteria shawab atau mengikuti ajaran Nabi adalah sebagaimana dalam kaidah ushul fikih:

الأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ الْبُطْلَان حَتَّى يَقُوْمَ الدَّلِيْلُ عَلَى أَمْرِهِ

“Asal dalam ibadah itu batal, sampai ada dalil yang memerintahkan.”

Artinya, dalam perkara ibadah, harus ada dan jelas dalil yang memerintahkan. Ada tidak dalil yang memerintahnya? Prinsip itulah yang harus menjadi prioritas dalam hal ibadah.  Berbeda dengan adat dan perkara muamalah, yang harus lebih diprioritaskan adalah boleh selama tidak ada dalil larangan.

Baca juga: Asal Muasal Amalan Baca Surah Alkausar Tujuh Kali saat Sahur

Contoh dalam hal ibadah, perintah salat, puasa, sudah jelas ada dalilnya. Misalnya, kita ingin menambah salat Shubuh menjadi empat rakaat, maka ini termasuk batal, karena tidak ada dalil yang memerintahkannya meskipun dianggap bagus.

Contoh dalam hal muamalah, dalam hal jual beli. Pada dasarnya dihukumi mubah. Ketika kita ingin mengurangi timbangan misalnya, ada tidak dalil yang melarang. Jelas ada. Maka jika kita mengurangi timbangan, jual beli kita menjadi batal karena ada dalil yang melarang.

Munasabah ayat

Terdapat ayat yang semakna dengan ayat di atas, yakni dalam surah Alkahfi ayat 7 dengan redaksi:

 لنبلوهم ايهم أحسن عملا

“Supaya kami menguji mereka, siapa diantara mereka yang lebih baik amalnya.”

Penggalan ayat tersebut meneguhkan bahwa tujuan Allah menjadikan bumi sebagai perhiasan adalah untuk menguji amal seseorang, apakah tetap baik atau tidak. Sudah berapa banyak amalan kita yang ikhlas dan sesuai sunah? Karena hanya dua syarat itu yang diterima di sisi Allah. Dan hanya amal dengan dua syarat itu yang akan menyelamatkan kita kelak di Akhirat.

Jangan sampai meninggalkan kedua syarat itu, karena amal kita tidak akan diterima. Begitupun bila hanya satu syarat saja, amalan tetap tidak akan diterima. Jangan sampai amalan kita seperti debu yang bertebaran karena kesia-siaan. Gambaran ini berdasarkan penjelasan para mufassir dalam menafsirkan debu yang bertebaran sebagai amal yang batil dan tidak memenuhi kedua kriteria di atas. Sebagaimana firman Allah:

وَقَدِمْنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَٰهُ هَبَآءً مَّنثُورًا

“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan ayat 23). Na’udzubillah min dzalik.”

Godaan “Promo” Dunia: Tafsir Surah At-Takatsur Ayat 1

0
surah At-Takatsur Ayat 1
surah At-Takatsur Ayat 1

Hedonisme merupakan gaya hidup yang fokus pada pencarian kesenangan dan kepuasan tanpa batas. Dalam arti lain, hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kebahagiaan harus dicari sebanyak mungkin dan menghindar dari perasaan yang bisa menyebabkan sakit, dengan cara apapun itu. Dengan itu, manusia hanya akan fokus mencapai kebahagiaan itu, karena itulah tujuan hidup mereka.

Seiring dengan laju perkembangan zaman, hedonisme seakan-akan sudah menjadi hal yang berdampingan dengan manusia modern. Salah satu ciri hedonisme adalah gemar belanja. Hal ini dipermudah dengan adanya aplikasi pasar online yang sangat marak dengan berbagai macam pelayanannya. Masing-masing aplikasi tersebut mempunyai strategi pemasaran yang bisa menggaet konsumen untuk terus membeli, seperti promo beli 1 gratis 1, flash sale, diskon dan berbagai macam strategi lainnya. Semakin lengkaplah akses kemudahan tersebut.

Gaya hidup hedonisme –dalam jangka panjang- bisa menyebabkan manusia lupa akan kehidupan akhirat. Mereka lupa untuk mempersiapkan bekal kehidupan akhiratnya kelak, karena sibuk memenuhi keinginan duniawi mereka. Alquran menyinggung gaya hidup tersebut dalam surah At-Takatsur ayat 1

اَلْهَىٰكُمُ التَّكَاثُرُ

Saling memperbanyak telah melengahkan kamu

Baca Juga: Tafsir Surat at-Takatsur: Kritik Al Quran Kepada Mereka yang Bermegah-Megahan

Al-Maraghi (w. 1364 H) menjelaskan kandungan ayat di atas dengan kesibukan manusia yang berlomba-lomba memperbanyak pengikut dan berbagai kenikmatan duniawi. Hal itu kemudian menyebabkan manusia abai dengan kewajibannya masing-masing. Banyak kewajiban yang terbengkalai, baik kewajiban kepada dirinya sendiri, kepada keluarga maupun kepada orang-orang sekitar. (Tafsir al-Maraghi, jilid 30, 229)

Mufasir Nusantara, M. Quraish Shihab mengurai kata اَلْهَىٰكُمْ pada ayat di atas. Kata اَلْهَىٰكُمْ berasal dari kata لَهَى-يَلْهَى yang mempunyai arti meyibukkan diri dengan sesuatu yang akhirnya berakibat pada pengabaian sesuatu yang lebih penting. (Tafsir al-Mishbah, jilid 15, 486)

Sedangkan al-Mawardi (w. 450 H) menjelaskan tentang makna yang terkandung dalam kata اَلْهَىٰكُمْ dengan 2 pendapat, yakni menyibukkan dan melupakan. Maksudnya, melalaikan dan menyibukkan dari taat dan beribadah kepada Tuhan. (al-Nukat wa al-‘Uyun, jilid 6, 330)

Adapun kata التَّكَاثُرُ merupakan bentukan kata dari كَثْرَةٌ yang berarti banyak. Kata al-Takatsur dalam ayat di atas menunjukkan adanya dua pihak atau lebih yang saling bersaing. Mereka bersaing untuk memperbanyak dan sama-sama mengaku memiliki lebih banyak dari pihak yang lain. (Tafsir al-Mishbah, jilid 15, 486)

Al-Mawardi dalam tafsirnya memaparkan 3 penafsiran tokoh terkait kata التَّكَاثُرُ dalam ayat di atas. Pertama berlomba-lomba memperbanyak harta dan anak sebagaimana dikemukakan oleh al-Hasan. Kedua berbangga-bangga dengan kerabat dan golongan, pendapat ini diutarakan oleh Qatadah. Sedangkan yang ketiga  mengutip penafsiran al-Dhahhak, yakni bersibuk ria dengan mata pencaharian dan perdagangan. (al-Nukat wa al-‘Uyun, jilid 6, 330)

Baca Juga: Tafsir Surat At Takatsur Ayat 4-8

Ayat di atas memberikan peringatan kepada kita untuk berhati-hati dengan sikap suka menumpuk atau memperbanyak harta duniawi. Sebab hal itu, kita akan lupa bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara, sebagaimana yang tertera dalam Q.S Ghafir [40] ayat 39

يٰقَوْمِ اِنَّمَا هٰذِهِ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ ۖوَّاِنَّ الْاٰخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ

Wahai kaumku! Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.

Kehidupan di dunia tak ubahnya seumpama bunga yang bermekaran, penuh dengan keindahan. Hal itu merupakan kekhawatiran Rasulullah Saw., sebagaimana termaktub dalam salah satu haditsnya.

وَعَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِي – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: جَلَسَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى الْمِنْبَرِ، وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ، فَقَالَ: «‌إنَّ ‌مِمَّا ‌أَخَافُ ‌عَلَيْكُمْ ‌مِنْ ‌بَعْدِي ‌مَا ‌يُفْتَحُ ‌عَلَيْكُمْ ‌مِنْ ‌زَهْرَةِ ‌الدُّنْيَا وَزِينَتِهَا». متفقٌ عَلَيْهِ

Dari Abi Sa’id al-Khudzri r.a., beliau berkata: Rasulullah Saw. duduk di atas mimbar dan kami duduk di sekelilingnya, beliau bersabda: Sesungguhnya di antara yang aku khawatirkan pada diri kalian setelah peninggalanku ialah dibukakannya bunga dunia dan pernak-perniknya untuk kalian. (Riyadh al-Shalihin, 162)

Sebab kehidupan dunia seperti bunga yang bermekaran, maka kita diwanti-wanti untuk tidak terlena dengan kehidupan tersebut. Sebagaimana bunga, di awal ia cantik, indah dengan aneka macam warna dan aroma, namun akhirnya akan layu dan kering. Begitulah kehidupan dunia.

Lantas bagaimana dengan kebiasaan sebagian orang saat ini yang suka belanja lantaran adanya banyak promo dan diskon dari berbagai macam e-commerce? Jawaban untuk hal ini masih diperinci, dilihat dari kebutuhannya. Jika berbelanja sesuai kebutuhan –bukan keinginan- maka boleh saja. Namun, apabila berbelanja hanya untuk menumpuk barang, mengejar diskon dan promo, menuruti keinginan yang menjelma kebutuhan, maka mungkin saja untuk dimasukkan pada hal yang jadi pembahasan ayat di atas. Hal itu dikarenakan adanya kebiasaan menumpuk harta dan gemar berbelanja sehingga kemudian abai dan lalai terhadap kewajibannya. Pun apa yang dibeli tidak sesuai dengan kebutuhan, hanya sebatas keinginan nafsu belaka.

Ada baiknya kita untuk merenungkan bekal apa yang sudah kita kumpulkan di dunia untuk kehidupan di akhirat kelak. Sebagaimana sudah maklum, bekal ketakwaan dan amal baik adalah hal yang sangat dibutuhkan ketika sudah pulang ke akhirat yang kekal. Harta dan segala apa yang kita miliki hanya akan menjadi barang warisan yang mungkin saja menjadi rebutan anak cucu –naudzu billahi min dzalik-.

Sesuatu yang sering dibeli dan ditumpuk, hanya akan menjadi barang yang diambil alih oleh orang yang masih hidup. Sedangkan takwa dan amal baik akan menjadi teman di akhirat. Punya harta lebih, sedekahkan saja, karena sebenarnya harta kita hanya sebatas pada sesuatu yang kita makan, yang kita pakai dan bukan apa yang kita tumpuk. Sebagaimana termaktub dalam hadis Rasulullah saw.

أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ، عَنْ، مُوَرِّقٍ الْعِجْلِي، قَالَ: قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ} [التكاثر: 2]، قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «‌لَيْسَ ‌لَكَ ‌مِنْ ‌مَالِكِ ‌إِلَّا ‌مَا ‌أَكَلْتَ ‌فَأَفْنَيْتَ ، أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ»

Abu Khalid al-Ahmar dari Muwarriq al-‘Ijli, berkata: Rasulullah saw. membaca surah al-Takatsur ayat 1-2. Dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: tiada dari hartamu kecuali apa yang engkau makan, lalu engkau menghabiskan, atau apa yang engkau pakai lalu engkau menjadikannya usang dan apa yang engkau sedekahkan, lalu engkau melewatkannya. (Al-Kitab al-Mushannaf fi al-Ahadits wa al-Atsar, Jilid 7, 80).

Wallah a’lam

Makna Preposisi Lam dalam Surah at-Taubah ayat 51

0
preposisi lam
makna preposisi lam

Dari Alquran lahir berbagai cabang ilmu seperti ilmu tafsir, nahwu sharaf, balaghah, dan masih banyak lagi. Bahkan uniknya, satu huruf dari Alquran saja memuat makna yang keindahannya tak pernah bisa dijangkau oleh syair terhebat versi manusia. Siapapun tak ada yang dapat membuat sebuah ayat dengan faidah huruf demi huruf yang sempurna, jauh dari kekeliruan. Contohnya saja makna preposisi lam yang akan dibahas pada tulisan ini.

Allah Ta’ala berfirman dalam surah at-Taubah ayat 51:

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.”

Makna preposisi lam

Beberapa ulama mengomentari bahwa ada rahasia di balik penggunaan preposisi lam di surah at-Taubah ayat 51 ini. Menurut mereka, ada alasan kenapa Allah menggunakan kata lanā (لنا) dan bukan ‘alainā (علينا). Ibnu Hajar Rahimahullah berpendapat, Allah menyampaikan ayat ini dengan kata (لنا) dan bukan ( علينا) sebagai peringatan bahwa hendaklah kita memandang setiap apa yang menimpa dan terjadi pada kita sebagai ni’mah (anugerah) dan bukan nikmah (kesengsaraan). [Fathul Bari: 11/626].

Baca Juga: Tafsir Surah Ad-Duha Ayat 11 dan Surah Yusuf Ayat 5

Dalam Tafsir Ibnu Rajab al-Hanbali, Ibnu Jauzi berkata di dalam al-Muqtabas: aku mendengar menteri (Ibnu Hubairah) berkata tentang ayat ini. Allah tidak mengatakan dengan mā kataba ‘alainā (ما كتب علينا) karena menyangkut urusan seorang mukmin. Setiap kali ia ditimpa sesuatu, maka sesungguhnya sesuatu itu adalah tetap baik untuknya. Apabila ditimpa kebaikan, maka itulah kebaikan yang ia peroleh di dunia. Dan apabila ditimpa keburukan, maka kebaikannya adalah nanti berupa pahala di Akhirat.

Untuk lebih memahami perbedaan makna tersebut, mari kita perdalam pada gaya bahasa ath-thibaq dalam surah al-Baqarah ayat 286:

لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ

Ayat di atas diterjemahkan dengan redaksi: “Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”

Sebagaimana dalam tafsir Jalalain yang menafsirkan  لها ما كسبت:  berupa kebaikan yakni pahala; sedangakn عليها ماكتسبت: berupa keburukan yakni siksaan.

Maka dapat disimpulkan bahwa ayat ini menggunakan lafadz lanā, sebab preposisi ini dalam bahasa Arab selalu menggambarkan kebaikan, bertolak belakang dengan lafadz ‘alā yang melambangkan hal buruk.

Contoh lain ialah doa untuk pengantin yang Rasulullah ajarkan. Terdapat kata bārakallah laka dan kata bārakallah ‘alaika. Laka di sini adalah mendoakan keberkahan pada hal-hal baik dan manis selama menjalani biduk rumah tangga. Disempurnakan oleh lafadz ‘alaika, sebagai doa agar tetap dalam keberkahan pula selama menjalani masa-masa sulit dan pahit di dalam berumah tangga.

Makna lam dalam ayat

Surah at-Taubah ayat 51 ini diperuntukan untuk orang mukmin sebagai manifestasi lafadz lanā. Karena hanya orang mukmin yang seluruh kehidupannya dikaruniai nikmat. Adapun nikmat yang diberikan kepada orang kafir dalam pandangan Allah adalah hal yang sebaliknya. Mereka mungkin saja diberi nikmat di dunia, tapi mereka tidak akan merasakan nikmat akhirat. Sedangkan orang mukmin, dunia akhiratnya, suka dukanya, lahir batinnya, semuanya bernilai kebaikan.

Baca Juga: Ketika Allah Mengajarkan Nabi Daud tentang Kepemimpinan

Semestinya setiap mukmin berprasangka baik terhadap setiap hal yang menimpa karena semuanya adalah untuk kebaikannya. Apapun yang menimpa hidup seorang mukmin, semuanya adalah ni’mah dan bukan nikmah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw dalam hadis berikut.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلممَا يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِى نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ

“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ujian selalu bersama dengan orang beriman lelaki dan perempuan, baik di dalam diri, anak dan hartanya, sampai dia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai satu kesalahanpun.” (H.R. Tirmidzi :2687).

Demikianlah makna huruf dalam Alquran yang selalu memuat rahasia indah, hingga penggunaan preposisi lam saja dapat menjadi bahan telaah para ulama dengan segala rahasia maknanya. Wallah a’lam.