Beranda blog Halaman 88

Tafsir Kebangsaan dan Etika terhadap Kitab Suci Agama Lain

0
Tafsir Kebangsaan dan Etika terhadap Kitab Suci Agama Lain
Alquran

Pembakaran Alquran menjadi topik yang mencuat di berbagai pemberitaan media daring (website dan media sosial) akhir-akhir ini. Hal ini terkait dengan aksi membakar Alquran oleh salah satu politisi sayap kanan, hard line Denmark di depan kantor kedutaan Turki, Swedia.

Peristiwa ini pada akhirnya menyisakan problem etis di kalangan umat beragama, terutama umat Islam. Walaupun tindakan tersebut memiliki landasan politik yang diartikan sebagai “kebebasan berekspresi”, pada kenyataannya malah menampilkan sikap seorang politisi dengan logika dan nalar politik yang sempit.

Terlepas dari kitab suci agama manapun, setiap umat beragama memiliki hubungan mendalam dengan ajaran-ajaran kitab sucinya di kehidupan sehari-hari (Filsafat Agama, 3-4).

Musyawarah

Setiap kitab suci agama-agama boleh jadi memuat ajaran moral spiritual individu terhadap Tuhan dan sosial hingga urusan politik. Dalam konteks ini terdapat ayat Alquran yang menjelaskan pandangan berpolitik Islam, yaitu Q.S. Ali Imran (3): 159.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.

Baca juga: Viral Aksi Meludahi Alquran, Ini Cara Pilih Sikap menurut Alquran!

Di dalam Tafsir Al-Kasysyaf (Juz 4, 202) dijelaskan keutamaan musyawarah dalam memutuskan suatu perkara yang tidak ada wahyu terkait turun guna menyelesaikan masalah tersebut. Dalam konteks ini penjelasan ayat di atas dapat dikaitkan dengan watak elegan seorang politisi dalam berpolitik. Kebebasan berekspresi dan berpendapat menjadi nilai utama apabila dilakukan dalam forum yang bertanggung jawab, bukan secara sporadis dan egois.

Menghormati kitab suci

Realitas di dunia ini begitu kompleks. Itulah mengapa Indonesia memiliki slogan khusus yang merepresentasikan pluralitas kebudayaan masyarakatnya, yaitu “Bhineka Tungal Ika”. Dari slogan tersebut dapat ditarik hikmah penting bahwa menyikapi perbedaan yang ada membutuhkan pandangan yang melahirkan persatuan, serta menghormati pihak yang berbeda dan sesuatu yang dianggap penting oleh kelompok tertentu.

Salah satu ayat Alquran yang menjadi landasan utama dalam menghormati lian yaitu Q.S. Al-An’am (6): 108.

وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

“Janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setip umat menganggap baik perbuatan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dulu mereka kerjakan.”

Al-Qurtubi (Tafsir Al-Qurtubi, juz 4, 491) menjelaskan bahwa Allah melarang orang-orang beriman memaki berhala orang-orang musyrik dikarenakan apabila berhala tersebut menjadi objek makian orang beriman, malah justru akan menambah kekufuran dalam diri mereka.

Baca juga: Ayat-Ayat Konflik yang Dipahami Keliru dan Kemunculan Kafirphobia di Kalangan Umat

Lebih lanjut dijelaskan bahwa larangan ini bersifat abadi dalam segala situasi dan kondisi umat Islam. Makna sembahan dalam tafsir ini mencakup salib (simbol), ajaran agama, dan gereja (tempat ibadah) umat agama lain.

Sementara itu diterangkan dalam Tafsir Al-Azhar (jilid 3, 2134-2136) bahwa perbuatan memaki, menghina, dan mencerca unsur-unsur agama lain termasuk dalam kategori dosa besar. Kandungan ayat di atas memuat larangan keras yang apabila dilakukan oleh umat beragama terhadap umat lain akan melahirkan pertengkaran dan perselisihan yang tidak kunjung usai. Hamka menengarai sebaiknya dakwah Islam dilakukan dengan menunjukkan keburukan menyembah berhala dengan alasan yang masuk akal.

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (vol. 4, 242) juga menjelaskan perincian maksud khusus yang terkandung dalam ayat ini. Menurutnya, perbuatan mencaci tuhan-tuhan orang-orang musyrik dikhususkan kepada pengikut Nabi Muhammad. Dengan demikian, redaksi ayat ini menyatakan kemuliaan akhlak Nabi sebagai rahmat, bukan pemaki dan pencerca. Tugas utamanya tidak lain adalah menyampaikan risalah Allah kepada umat manusia, bukan memaksa hingga memaki keyakinan yang berbeda dengan risalah yang diserukannya.

Penutup

Dari penjelasan di atas dapat ditarik benang merah bahwa agama Islam melalui kitab suci Alquran menghendaki manusia, terutama umat Islam berpolitik dengan baik; bijak dan bertanggung jawab. Kebebasan berekspresi dalam bentuk apapun lebih utama diutarakan dalam musyawarah dengan saling menghormati satu sama lain.

Dalam konteks menghormati kitab suci agama-agama, Alquran secara eksplisit melarang seorang muslim mencaci agama lain. Hal ini juga dijelaskan oleh beberapa ulama tafsir ketika menjelaskan Q.S. Al-An’am (6): 108.

Baca juga: Muhammad Nabi Cinta; Nabi Muhammad di Mata Seorang Penganut Katolik

Aksi kontroversial pembakaran Alquran dalam hal ini terkategori dalam perbuatan mencaci salah satu unsur fundamental agama Islam. Namun demikian, upaya alternatif umat Islam supaya tidak terjerembab dalam emosi adalah dengan mendalami keterangan-keterangan para ulama dari masa ke masa, sehingga umat Islam dapat mendalami tuntunan Alquran secara mendalam dan mengkhidmati pesan kenabian sebagai teladan utama sepanjang hayat.

Empat Kitab Tafsir yang Tak Terselesaikan oleh Penulisnya

0

Melimpahnya literatur tafsir di abad ini tak lepas dari keseriusan para mufasir terdahulu dalam menyusun karya tafsir. Mereka rela mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk menyelesaikan tafsir 30 juz. Beberapa mufasir bahkan lebih dulu wafat sebelum merampungkan karya tafsirnya, sehingga karyanya tak pernah terselesaikan oleh penulis aslinya, di antaranya; Ar-Razi dalam menulis Mafatih al-Ghaib, Rasyid Ridha dalam menulis Tafsir al-Manar, Jalaluddin al-Mahaly dalam menulis Tafsir Jalalain dan Abu Zahrah dalam menulis Zahrat al-Tafasir.

Mafatih al-Ghaib (Tafsir al-Kabir)

            Tafsir karya Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H/ 1210 M) ini terdiri dari 32 jilid dengan model penafsiran ensiklopedis/muthawwalat. Tafsir ini pernah menjadi sandaran utama kitab-kitab tafsir lain pada masanya. (Walid Saleh, Preliminary Remarks on the Historiography of tafsir in Arabic: A History of the Book Approach, 20). Namun, Ar-Razi ternyata tak sempat untuk menyelesaikan penulisan Mafatih al-Ghaib.

            Ar-Razi menulisnya hanya sampai Surah Al-Anbiya’ [21] sebagaimana dikutip Sayyid Murtadha dalam Syarah Asy-Syifa li Syihab. Akan tetapi, klaim tersebut ditampik oleh Adz-Dzahabi yang mendasarkan argumennya pada teks Tafsir Mafatih al-Ghaib, tepatnya saat menjelaskan Surah Al-Waqi’ah [56] ayat 24 yang bertuliskan:

المَسْأَلَةُ الأُوْلَى: أُصُوْلِيَّةٌ ذَكَرَهَا الإِمَامُ فَخْرُ الدِّيْن رَحِمَهُ اللهُ فِيْ مَوْضِعٍ كَثِيْرَةٍ وَنَحْنُ نَذْكُرُ بَعْضَهَا

“Persoalan pertama: persoalan pokok, sebagaimana disebutkan oleh Imam Fakhruddin -semoga Allah merahmatinya- pada banyak kesempatan. Kami (penulis) hanya menyebutkannya sebagian (Fakhruddin Ar-Razi, Mafaatih al-Ghaib, Juz 29, 398).

            Penggunaan sudut pandang orang ketiga dalam pernyataan di atas diduga kuat mengindikasikan bahwa bukan Ar-Razi sendiri yang menulisnya, melainkan penulis lain. Mengenai hal ini, Ibnu Hajar Al-Asqalani menilai pernyataan itu adalah dari Syihabuddin al-Khubi (w. 639 H). Sedangkan Haji Khalifah (pengarang kitab Kasy al-Dzunun), mengklaim bahwa tulisan tersebut berasal dari Najmuddin Al-Makhzumi Al-Qamuli (w. 727 H).

            Adz-Dzahabi menyimpulkan, penulisan Mafatih al-Ghaib dilanjutkan oleh dua tokoh; Al-Khubi (w. 639 H) dan disempurnakan oleh Al-Qamuly (w. 727 H). Sayangnya, seberapa porsi penulisan dari kedua tokoh ini sukar terlacak. Sebab, tak ditemuinya riwayat atau petunjuk yang secara tegas menjelaskan hal ini. (Husain Adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz 1, 207-208).

Baca Juga: Simpang Siur Penyempurna Tafsir Mafatih al-Ghaib Setelah al-Razi 

Tafsir Jalalain

            Penyusunan Tafsir Jalalain diinisiasi oleh Jalaluddin Al-Mahali (w. 864 H/1495 M) yang mengawali penulisannya dengan paruh akhir dari Alquran, yakni dari Surah Alkahfi [18] sampai Surah Annas [114]. Kemudian melanjutkannya dengan bagian paruh awal. Sayangnya, ajal lebih dulu menjemputnya seusai menafsirkan Surah Alfatihah [1].

            Penafsiran kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Jalaluddin As-Suyuti (w. 911 H/1505 M). As-Suyuthi melengkapi penafsiran Al-Mahali dengan menafsirkan Surah Albaqarah [2] hingga Surah Alisra’[17]. Sehingga, penamaan karya tafsir ini menjadi Jalalain (dua Jalal), terambil dari kesamaan nama penyusunnya, yakni Jalaluddin. Di sisi lain, As-Suyuthi secara mandiri juga memiliki karya tafsir, diantaranya Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur dan Al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil. (Husain Adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 1, 238).

Baca Juga: Tafsir Jalalain dan Sederet Fakta Penting Tentangnya

Tafsir Al-Manar

            Tafsir al-Manar ditulis oleh Rasyid Ridha (w. 1354 H/1935 M) yang merupakan hasil pembukuannya dari ceramah Muhammad Abduh (w. 1323 H/1905 M) saat memberikan kuliah tafsir di Universitas Al-Azhar (Kairo, Mesir). Abduh sendiri adalah tokoh pembaru Islam, murid dari Jamaluddin Al-Afghani (w. 1314 H/1897 M). Abduh juga aktif mengisi halaqah dan kajian tafsir di berbagai tempat, seperti di Beirut dan Masjid Basyurah (Masjid Agung Aljazair).

            Perjumpaan pertama Ridha dengan Abduh terjadi di Mesir, delapan tahun sebelum wafatnya Abduh (tahun 1315 H). Ridha memutuskan untuk berguru padanya dan mendorongnya agar menulis tafsir 30 juz dengan format penulisan sebagaimana dalam majalah al-‘Urwat al-Wutsqa yang pernah ditulis Abduh bersama Jamaluddin Al-Afghani.

            Awalnya, Abduh menolak dengan alasan bahwa Alquran tak perlu ditafsirkan seluruhnya secara sempurna dari segala sisinya, sebab penafsirannya bisa sangat luas sedang umur manusia terbatas. Prinsip ini juga mendasari Abduh dalam menulis Tafsir Juz ‘Amma (1321 H) yang relatif singkat. Namun, akhirnya Abduh memenuhi usulan Ridha dengan mulai menyampaikan penafsiran-penafsiran ayat dalam perkuliahan di Universitas Al-Azhar. Sayangnya, perkuliahan hanya berjalan enam tahun dan penafsirannya sampai pada Surah Alnisa’[4] ayat 126 karena Abduh lebih dulu tutup usia.

            Penafsiran Abduh kemudian dihimpun, dilanjutkan dan diterbitkan Rasyid Ridha di majalah al-Manar yang didirikannya sendiri. Namun, Ridha meninggal dunia saat penafsirannya sampai pada Surah Yusuf [12] ayat 101. Tafsir Al-Manar akhirnya terbit sebanyak 12 jilid dan hanya sampai pada Surah Yusuf [12] ayat ke 51. Adapun 50 ayat sisanya terbit secara terpisah dalam kitab berjudul Tafsir Surah Yusuf. (Rasyid Ridha dan Bahjat al-Biythar, Tafsir Surah Yusuf, 6).  

            Selanjutnya, karya tafsirnya disempurnakan oleh Bahjat al-Biythar (w. 1396 H/1976 M) dengan menambah penafsiran 10 ayat terakhir Surah Yusuf (dari ayat 102 hingga ayat 111). Hasil penyempurnaan ini secara terpisah tertuang dalam Tafsir Surah Yusuf karya Bahjat Al-Biythar yang tetap dinisbatkan pada Rasyid Ridha. Selain menulis Tafsir Al-Manar, Rasyid Ridha juga menulis tafsir singkat Surah Al-Kautsar, Al-Kafirun, Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas. (Husain Adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz 2, 423).

Baca Juga: Muhammad Abduh: Mufasir Pelopor Pembaharuan Pemikiran di Dunia Islam

Zahrat at-Tafasir

            Tafsir ini ditulis oleh Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M), seorang ahli fiqih dari Mesir yang terinspirasi dari tawaran yang pernah ia terima untuk mengisi rubrik dalam majalah Liwa’ al-Islam. Kemudian, ia menulis tafsir, namun hanya sampai pada Surah Alnaml [27] ayat 73. Pada Hari Jum’at, 12 April 1974 M, Abu Zahrah wafat dalam kondisi tersungkur di atas lembaran naskah (draft) tafsirnya yang masih terbuka. Tafsir ini belum ada yang melanjutkannya hingga sekarang. (Fadhal Hasan Abbas, al-Tafsir wa al-Mufassirun fi ‘Ashr al-Hadis, Juz 3, 373).

            Uraian di atas paling tidak menjadi pelajaran betapa berartinya sebuah karya tulis sebagai media dokumentasi pemikiran penulisnya. Andai praktik tulis menulis tak jadi bagian dari jalan hidup para mufasir tersebut, sanad penafsiran tak akan sampai pada generasi sekarang. Para mufasir mutaqaddimin (terdahulu) sudah sepatutnya menjadi role model (teladan) dalam berliterasi.

Analisis Makna Pegon pada Naskah Tafsir Jalalain

0
Analisis Makna Pegon pada Naskah Jalalain
Analisis Makna Pegon pada Naskah Jalalain

Tak hanya melalui kolofon dan kertas yang digunakan, usia sebuah naskah kuno juga dapat diketahui dengan melakukan analisis terhadap isi teks yang tertulis di dalamnya. Analisis yang cukup sederhana seperti yang telah penulis lakukan beberapa waktu yang lalu terhadap naskah tafsir Jalalain koleksi museum Masjid Agung Jawa Tengah. Dari analisis  (MAJT)tersebut, penulis memperkirakan usia naskah berdasar pada catatan konversi tahun hijrah Nabi saw. yang menunjuk pada rentang waktu 1230 sampai 1270 hijriah atau setara 1865-an masehi.

Dalam tulisan kali ini, penulis hendak melakukan analisis yang lebih kompleks pada naskah yang sama. Analisis yang didasarkan pada teori linguistik, yang secara spesifik merupakan hasil kajian terhadap perkembangan makna pegon dalam naskah-naskah kuno Nusantara. Tujuannya adalah untuk mendapatkan validitas klaim usia yang sebelumnya telah disebutkan.

Teori Perkembangan Pegon

Merujuk pada penjelasan yang diberikan Saiful Umam, Ph.D pada acara Dreamsea Colloquium 2022 bertajuk Manuskrip & Keragaman Tradisi Nusantara, model pemaknaan gandhul dengan pegon dapat diklasifikasikan karakternya berdasar usianya. Klasifiksi tersebut terbagi berdasar pada abad penulisannya yang secara umum meliputi abad 17, 18, 19, dan 20 (Selengkapnya lihat pada klik di sini.

Penjelasan yang sama sebenarnya juga pernah diberikan Nur Ahmad pada tahun 2018 melalui tulisannya yang berjudul Sejarah Makna Kitab Gandul dalam Tradisi Pesantren. Di sana, Ahmad bahkan memberikan penjelasan yang lebih lengkap, mencakup abad 18 yang tidak disebutkan oleh Saiful.

Pegon abad 17 memiliki bentuknya yang paling dasar, dimana ia hanya difungsikan sebagai alat bantu penerjemahan teks kata per kata. Pegon di masa ini juga belum disertai dengan unsur-unsur yang menjelaskan kedudukan kata (tarkib) dalam gramatika Arab. Pada kalimat al-hamd lillah misalnya, kata al-hamd cukup diterjemahkan dengan sekehing puji tanpa menambahkan atribut tarkib.

Baca juga: Mengenal Tafsir Anom, Tafsir Al-Quran Bahasa Jawa Aksara Arab Pegon Karya Mohammad Adnan

Perkembangan yang lebih kompleks terjadi pada abad 18 dan 19 ketika pegon yang diberikan telah dilengkapi dengan tarkib. Di dua abad ini, kata al-hamd pada contoh sebelumnya selain diberikan terjemah literalnya juga ditambahkan atribut tarkib, yakni kata utawi yang merupakan simbol literal dari mubtada. Demikian juga pada kata lillah, terdapat kata iku sebagai simbol literal dari khabar.

Perkembangan paling kompleks terjadi pada abad 20. Pegon di masa ini dapat dikatakan telah mengalami puncak pada struktur tarkib-nya. Hal tersebut ditandai dengan kompleksitas makna yang diberikan mencakup aspek terkecil. Contohnya seperti penambahan makna yang mengisyaratkan adanya ta‘alluq dari huruf jer. Pada frasa lillah sebelumnya misalnya, isyarat tersebut muncul pada kata iku tetep keduwe. Di masa ini pula, menurut Mas Ahmad, telah diperkenalkan beberapa rumus simbolik yang menjadi penanda gramatikal Arab, seperti mim untuk mubtada yang dibaca utawi, kha’ untuk khabar dibaca iku, dan lain sebagainya.

Lantas, bagaiamana dengan pegon dalam naskah Jalalain MAJT?

Analisis Pegon Naskah Jalalain

Hasil pembacaan yang penulis lakukan mendapati setidaknya enam kata yang menjadi simbol literal tarkib. Enam kata tersebut adalah utawi yang menjadi simbol mubtada, iku yang menjadi simbol khabar, ing yang menjadi simbol maf‘ul bih, hale yang menjadi simbol hal, apane yang menjadi simbol dari tamyiz, dan kerono yang menjadi simbol dari ta‘lil atau maf‘ul li ajlih.

Keenam kata tersebut ditulis dengan mengikuti pola yang umum digunakan pada penulisan pegon, yakni tepat sebelum memberikan terjemahan literal kata. Pada kata qayyiman misalnya, makna yang diberikan adalah hale bener. Kata hale berfungsi menjelaskan tarkib dan kata bener berfungsi menjelaskan terjemahan literal.

Baca juga: Faktor Terjadinya Inkonsistensi Penggunaan Kaidah Rasm dalam Manuskrip Mushaf Al-Qur’an di Nusantara

Namun demikian, model penulisan yang juga cukup banyak ditemukan adalah penggunaan keenam kata tersebut sebagai makna tunggal, tanpa disertai terjemahan literalnya, seperti pada kata tsabitun dengan kata iku, al-kafirin (dalam bentuk jamak) dengan kata ing, kalimatan dengan kata apane, dan lain sebagainya.

Hal ini seolah menyiratkan bahwa penulis naskah hendak memberikan tekanan terhadap tarkib kata tersebut dalam gramatika Arabnya. Meskipun ada kemungkinan lain dimana penulis naskah telah mengetahui terjemahan kata yang dikehendaki karena dianggap cukup familiar sehingga tidak perlu menuliskannya kembali.

Hasil pembacaan penulis juga tidak menjumpai adanya penggunaan rumus simbolik yang menjadi penanda gramatikal Arab atau pun pemaknaan kompleks lainnya. Beberapa rumus simbolik yang penulis temukan merupakan rumus marji‘ yang lazim digunakan untuk memberikan rujukan kepada makna yang sama sebelumnya.

Baca juga: Mengenal Tafsir Anom, Tafsir Al-Quran Bahasa Jawa Aksara Arab Pegon Karya Mohammad Adnan

Oleh karenanya, berdasar teori dan temuan yang ada, pegon yang digunakan dalam naskah Jalalain MAJT ini memiliki karakter yang sama dengan pegon abad 18 atau 19. Hasil ini agaknya dapat dijadikan penguat klaim bahwa naskah tersebut berasal dari abad 19, mengacu catatan lain yang ditemukan di dalam naskah. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Larangan Memuji Berlebihan

0
larangan memuji berlebihan
larangan memuji berlebihan

Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Oleh karena itu, Islam melarang melakukan sesuatu dengan berlebihan, makan  berlebihan, minum berlebihan, tidur berlebihan, tertawa berlebihan, cinta berlebihan, bahkan juga benci berlebihan. Dalam hal ini juga, termasuk larangan memuji berlebihan.

Dalam surah An-Najm ayat 32 Allah swt. berfirman,

فَلَا تُزَكُّوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ

“Maka janganlah menganggap diri kalian suci.” (QS. an-Najm ayat 32).

Dalam Tafsi at-Tahrir wa at-Tanwir, Ibn Asyur menafsirkan ayat tersebut dengan dua makna, yaitu larangan menyucikan diri sendiri dan larangan menyucikan orang lain. (at-Tahrir wa at-Tanwir, 27/125). Menyucikan diri sendiri artinya merasa diri sendiri lebih baik dan merendahkan yang lain. Menyucikan orang lain berarti memujinya.

Baca Juga: Maksud Larangan Berlebihan Memuji Rasulullah SAW, Tafsir Surah an-Nisa 49

Bagaimana konteks memuji yang dimaksud oleh ayat ini?

Dalil tentang pujian

Perihal bahaya pujian, terdapat sebuah hadis dari Abu Bakrah, dia menceritakan bahwa ada seorang sahabat sedang memuji sahabat yang lain di hadapan Rasulullah saw., Mendengar hal tersebut, lantas Rasulullah saw. bersabda,

“Celaka engkau, engkau telah memotong leher temanmu (berulang kali beliau mengucapkan perkataan itu). Jika salah seorang di antara kalian terpaksa/harus memuji, maka ucapkanlah, ‘Sebatas yang saya tahu si fulan demikian kondisinya.’ Jika dia menganggap seseorang yang dipuji itu demikian adanya. Adapun yang mengetahui kondisi sebenarnya adalah Allah dan janganlah menyucikan seseorang di hadapan Allah.” (H.R. Bukhari)

Dalam hadis lain, dari Miqdad bin al-Aswad, Rasulullah saw. bersabda, “jika engkau melihat orang yang memuji, maka taburkanlah debu di wajahnya.” (HR. Muslim).

Dua hadis tersebut sering digunakan sebagai dalil larangan memuji seseorang, namun di saat yang sama bisa saja dapat dipahami sebagai pembolehan memuji orang lain dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Rasulullah saw. bukannya tidak pernah memuji para sahabatnya. Beliau memuji para sahabat yang dikaguminya, seperti dalam hadis berikut,

“Pria terbaik adalah Abu Bakr, ‘Umar, Abu ‘Ubaidah, Usaid bin Hudhair, Tsabit bin Qais bin Syammas, Mu’adz bin Amru ibnul Jamuh dan Mu’adz bin Jabal.” Kemudian beliau mengatakan, “Pria terburuk adalah fulan dan fulan.” Beliau menyebutkan tujuh nama. (Ash Shahihah, 875)

Imam Nawawi mencoba mengetengahi dua hadis sebelumnya (larangan Rasulullah dan pujian Rasulullah kepada para sahabatnya). Beliau berpendapat bahwa hadis yang melarang itu dimaksudkan untuk orang yang memuji berlebihan, atau pujian yang lebih dari sifat yang sebenarnya, atau pujian yang ditujukan kepada orang yang dikhawatirkan tertimpa fitnah berupa sifat ujub dan semacamnya ketika dia mendengar pujian.

Adapun orang yang dikhawatirkan tidak tertimpa fitnah, baik karena bagusnya ketakwaannya dan kokohnya akal dan ilmunya, maka tidak ada larangan memuji di hadapannya, itu pun jika pujian tersebut bukan pujian yang berlebihan. Bahkan, jika pujian tersebut mengandung maslahat, misalnya membuat seseorang semakin semangat dalam berbuat baik, serta ada unsur supaya orang lain pun meneladani orang yang dipuji tersebut, maka hukumnya dianjurkan.” (Syarh Shahih Muslim, 9/382)

Penjelasan Imam Nawawi tersebut setidaknya bisa dipahami bahwa pujian itu boleh, bahkan sangat dianjurkan bila sebuah pujian mengandung maslahat. Namun apabila pujian itu dilakukan dengan berlebihan, maka akan menjadi berbahaya.

Termasuk ketentuan larangan dalam memuji yaitu pujian yang tidak benar, seseorang memuji atas suatu hal yang tidak dimiliki orang yang dipuji. Sebagaimana ditulis oleh Ibnu Hajar, ‘jika memuji orang dengan hal yang benar-benar ada pada dirinya, maka seperti itu tidak terlarang. Rasulullah saw. pernah dipuji dalam hal sya’ir dan khutbah beliau, namun beliau tidak menyiram pasir di hadapan orang yang memuji.” (Fath Al-Bari, 10/477)

Baca Juga: Walid bin Mughirah, Tokoh Kafir Quraish yang Memuji Al-Quran

Cara bijak memuji dan dipuji

Seringkali kita mendengar pujian yang bisa membuat seseorang terkena ‘ain (kondisi mental yang bangga berlebihan terhadap diri sendiri). Itulah mengapa ketika memuji, kita dianjurkan oleh Rasulullah saw. untuk mengingat keagungan Allah dengan ungkapan MasyaAllah atau Barakallah. Ini juga merupakan tips agar seseorang tidak memuji berlebihan. Sahabat Abdullah bin Amir meriwayatkan hadis yang berkaitan dengan hal ini,

“Jika salah seorang di antara kalian melihat sesuatu yang menakjubkan dari saudaranya atau dirinya atau hartanya, maka hendaklah dia mendoakannya agar diberikan keberkahan kepadanya. Sebab ‘ain itu nyata adanya.” (HR. Ahmad, 15700). Adapun ucapan MasyaAllah dilandaskan pada surat Al-Kahfi ayat 39.

Anjuran sebelumnya berlaku pada orang yang memuji. Lantas, bagaimana sikap yang baik dari orang dipuji? Ada riwayat dari Aisyah dalam hal ini. Ketika istri Rasulullah saw. itu ditanya, “Kapan seseorang dikatakan buruk? beliau menjawab, “Jika dia menyangka bahwa dia adalah orang baik.” (At-Taisir bisyarh Al-Jami’ ash-Shaghir, 2/606)

Dalam riwayat lain, ada seseorang melihat ibadah Bisyr Al-Hafi yang khusyu’, lalu tokoh sufi tersebut berkomentar, “Janganlah engkau terperdaya dengan apa yang kau lihat dariku, sesungguhnya Iblis beribadah kepada Allah ribuan tahun kemudian dia menjadi kafir kepada Allah” (At-Taisir bisyarh Al-Jami’ as-Shaghir, 2/606)

Betapa dua riwayat yang luar biasa tentang sikap orang yang dipuji. Berdasarkan dua riwayat itu pula dapat dipahami bahwa pujian adalah ujian. Cara seseorang menyikapi sebuah pujian akan menentukan nasibnya. Bila pujian menjadikan seseorang sombong, maka dia telah terperangkap dalam bahaya pujian. Semoga Allah melindungi kita dari pujian yang membahayakan.

Mari meneladani doa Abu Bakr as-Siddiq r.a. ketika beliau dipuji:

اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ

“Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku dari pada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku dari pada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka.” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4/228).

Wallah a’lam

Julukan Buruk Yang Dilarang Alquran

0

Menanggapi berita viral yang beredar tentang Presiden Jokowi yang dijuluki Fir’aun, Alquran sudah terlebih dahulu mengatur tentang tradisi memberi julukan. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi memberi julukan kepada orang lain bukanlah sesuatu yang “baru” dalam Islam. Kebiasaan memberi julukan sudah ada sebelum Islam dan hukumnya diatur dalam Alquran.

Perihal memberi julukan di dalam Alquran

Persoalan menyangkut memberi julukan dibahas secara khusus oleh Allah Swt. dalam ayat:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk” (Al-Hujurat ayat 11).

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 11: Larangan Saling Menghina Dan Merendahkan dalam Al-Quran 

Ayat ini secara umum membicarakan tentang larangan mengejek orang lain. Dan secara khusus menunjukkan bahwa salah satu bentuk tindakan mengejek yang dilarang, adalah memanggil dengan julukan yang buruk.  Imam al-Jashshash mendokumentasikan ada 3 riwayat yang menunjukkan latar belakang turunnya redaksi ayat tentang larangan memanggil dengan julukan yang buruk.

Pertama, dikisahkan Abi Dzar mendapati Nabi Saw. sedang berselisih dengan seseorang. Lalu, Abu Dzar memanggil orang tersebut dengan panggilan “Hai anak Yahudi!”. Mendengar hal itu, Nabi Saw. pun menegur Abu Dzar. Beliau juga menerangkan bahwa yang menjadi pembeda di antara mereka adalah persoalan takwa saja, bukan yang lainnya.

Kedua, ada orang Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam. Kemudian, ada yang memanggil mereka dengan sebutan “Hai orang Yahudi!” dan “Hai orang Nasrani!”

Ketiga, berkaitan dengan kedatangan Nabi Saw. pada kelompok Bani Salamah. Pada saat itu, tidak ada anggota kelompok tersebut kecuali memiliki dua atau tiga nama (julukan). Lalu, Nabi Saw. memanggil salah seorang dari mereka dengan salah satu namanya. Seketika itu, ada orang lain yang mencegah Nabi Saw. mengucapkan panggilan tersebut. Sebab, pemiliknya tidak menyukai panggilan tersebut. Dan, turunlah ayat larangan memanggil dengan julukan yang buruk (Ahkamul Quran lil Jashshash, 8, 453).

Baca Juga: Berikut 3 Tips Al-Quran Untuk Merespon Perkataan yang Buruk

Mengapa persoalan memilih julukan dibahas secara khusus dan dibedakan dari persoalan prilaku mengejek? Jawabannya mungkin bisa kita temukan dari keterangan Syaikh Wahbah al-Zuhaili yang menjelaskan, bahwa orang lebih mudah saling memanggil dengan julukan yang buruk, daripada dengan saling mengejek sembari menyebutkan aib satu sama lain. Dengan menjuluki, orang cukup menyamakan lawan bicaranya dengan sesuatu atau sosok buruk. Sedang untuk mengejek, perlu untuk mencari bahan ejekan yang kadang perlu waktu untuk mencarinya (Tafsir al-Munir, 26, 273).

Imam al-Qurthubi menjelaskan, rata-rata orang Arab, baik di masa jahiliyah maupun setelah datangnya Islam, mereka memiliki nama julukan. Imam al-Qurthubi juga menjelaskan bahwa hukum memanggil nama julukan dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan julukan yang dipakai:

Pertama, bila julukan yang dipakai merupakan julukan buruk dan dapat menyakiti orang lain, maka tidak boleh menggunakannya; Kedua, bila julukan yang dipakai merupakan julukan sebenarnya masuk kategori buruk, tapi pemiliknya tidak tersinggung bila dipanggil dengan julukan tersebut, sebab sudah terbiasa, atau dia tidak dapat dikenali orang lain kecuali dengan julukan tersebut, maka boleh menggunakannya; Ketiga, bila julukan yang dipakai adalah julukan yang bagus, maka boleh memakainya (Tafsir al-Qurthubi, 16, 329).

Ibnul ‘Arabi mencontohkan julukan yang sebenarnya buruk, tapi karena beberapa alasan, para ulama tetap menggunakannya untuk menunjuk pemiliknya. Dan pemiliknya dikenal sebagai ulama juga. Di antaranya al-a’raj (orang yang pincang), al-ahdab (orang bongkok), jazarah (tukang jagal), dan mutayyan (orang yang kena lumpur). (Ahkamul Qur’an, 7, 178)

Baca Juga: Lima Pedoman Hidup Bermasyarakat: Refleksi Surah Al-Hujurat Ayat 11-13

Kesimpulan

Dari berbagai keterangan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan, inti dari larangan menjuluki seseorang dengan julukan yang buruk, adalah persoalan hal itu dapat menyakiti hati si penerima julukan. Tidak murni karena julukan tersebut berkonotasi buruk.

Maka, geger tentang Presiden yang dijuluki dengan Fir’aun perlulah disikapi dengan kepala dingin. Atas dasar apa si pemberi julukan melontarkan julukan tersebut? Dan, bagaimana sikap si penerima julukan? Jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebut dapat menjadi pertimbangan kita untuk memberikan sikap yang bijak.

Wallahu a’lam.

Penjelasan Gus Baha tentang Implikasi Wakaf pada Penafsiran Alquran

0
Implikasi wakaf pada penafsiran Alquran
Implikasi wakaf pada penafsiran Alquran

Di antara solusi dalam menyikapi berbagai persoalan terkait penafsiran Alquran adalah wakaf (penghentian sebentar di pertengahan bacaan ayat Alquran). Wakaf ini tidak hanya tentang jeda pembacaan ayat Alquran, ia juga berperan penting dalam penfasiran Alquran. Implikasi wakaf pada penafsiran Alquran juga perlu diperhatikan. Kurang lebih demikian penjelasan Gus Baha’ dalam salah satu pengajiannya.

Sebagai contoh yaitu wakaf di surah Yasin ayat 76,

فَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ ۘاِنَّا نَعْلَمُ مَا يُسِرُّوْنَ وَمَا يُعْلِنُوْنَ

Maka, jangan sampai ucapan mereka membuat engkau (Nabi Muhammad) bersedih hati. Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan. (Q.S. Yasin [36]: 76)

Menurut penjelasan Gus Baha yang mengutip pendapat orang alim, pada ayat tersebut harusnya terdapat tanda wakaf, tepatnya setelah frasa fala yahzunka qauluhum. Ini karena frasa setelahnya bukan perkataan orang kafir, tidak seperti frasa sebelumnya. Untuk bisa membedakan ini, adanya tanda wakaf kemungkinan besar akan sangat membantu.

“Jika kamu (para peserta pengajian) washal-kan (melanjutkan mebaca) frasa inna na’lamu maka itu kesannya ucapan orang kafir. Padahal inna na’lamu itu sudah firman Allah”, Demikian penjelasan Gus Baha tentang penafsiran ayat tersebut.

Pemahaman tersebut sejalan dengan penafsiran Ibn Katsir dalam Tafsir Ibn Katsir. Ibn Katsir juga membedakan antara frasa fala yahzunka qauluhum (frasa pertama) dengan frasa sesudahnya. Pada frasa pertama, beliau memahami bahwa itu ungkapan atas perkataan dan sikap kelompok Kafir Quraisy yang mendustakan Nabi, sedangkan frasa selnjutnya sudah berbeda konteks.

Baca Juga: Pesan Dakwah Gus Baha’ Tentang Syarat yang Harus Dimiliki Seorang Mufassir

Pengertian Wakaf

Secara bahasa, Ibn Mandzur dalam Lisan al-‘Arab menjelaskan wakaf berasal dari kata waqafa-yaqifu-wakafan, memiliki beberapa makna, di antaranya berdiri (khilāf al-julūs), menahan (al-ḥabsu) dan diam (as-sukūt). Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat terutama ulama ahli qiraat yang nanti akan kami ketengahkan dalam penjelasan berikutnya.

Di dalam Al-Quran, kata wakaf dan berbagai derivasinya terulang sebanyak empat kali; Q.S. Al-An’ām [6]: 30 dan 37; Q.S. Sabaʹ [34]: 31; dan QS. Al-Ṣaffāt [37]: 24. Semua ayat tersebut, sebagaimana dijelaskan Abd al-Rasūl ‘Abaʹī, al-Wakaf wa al-Ibtidāʹ fī al-Qurʹān al-Karīm Dirāsatan wa Taṭbīqan yang dikutip Istiqomah dalam Wakaf dan Ibtidā’ dalam Mushaf Al-Qur’an, menunjuk pada makna al-ḥabs wa sukūn al-ḥarakah, yaitu menahan dan berhenti dari melakukan suatu perbuatan.

Dalam pendapat yang lain disebutkan, Al-Asymunī, misalnya, dalam Manār al-Hudā fī al-Wakaf wa al-Ibtidā beliau menjelaskan bahwa al-wakaf bermakna al-kaff, yaitu menahan. Dalam arti, menahan dari segala perbuatan maupun ucapan. Adapun secara istilah wakaf adalah

“menghentikan suara pada suatu kata (ketika membaca Al-Qur’an) sekedar untuk menarik nafas dengan niat meneruskan bacaan-langsung pada kata berikutnya atau dengan mengulang kata sebelumnya- bukan untuk menghentikannya. Hal ini boleh dilakukan pada akhir ayat dan pada pertengahannya, namun tidak boleh dilakukan di pertengahan kata dan kata yang bersambung tulisannya, juga harus disertai dengan menarik nafas.” (Ibn al-Jazarīy, an-Nashr fī al-Qirā’āt al-‘Ashr, juz I, hal 189.

Ringkasnya, Ibn al-Jazarīy menganggap wakaf sebagai salah satu aktivitas yang diperbolehkan dalam membaca Alquran, yaitu berhenti membaca –pada akhir ayat atau pertengahannya – dengan syarat dilakukan pada huruf terakhir dari suatu kata, disertai dengan menarik nafas.

Baca Juga: Tafsir Pop Gus Baha’: Fenomena Pengajian Tafsir Al-Quran di New Media

Implikasi Wakaf pada Penafsiran Alquran

Contoh lain mengenai implikasi wakaf pada penafsiran Alquran yaitu surah Yusuf ayat 24,

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهٖۙ وَهَمَّ بِهَا ۚ لَوْلَآ اَنْ رَّاٰ بُرْهَانَ رَبِّهٖۗ كَذٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوْۤءَ وَالْفَحْشَاۤءَۗ اِنَّهٗ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِيْنَ

Sungguh, perempuan itu benar-benar telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Yusuf pun berkehendak kepadanya sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, Kami memalingkan darinya keburukan dan kekejian. Sesungguhnya dia (Yusuf) termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (Q.S. Yusuf [12]: 24)

Ayat ini tidak menunjukkan bahwa Nabi Yusuf a.s. mempunyai keinginan yang buruk terhadap seorang perempuan, tetapi godaan itu demikian besar sehingga sekiranya beliau tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah Swt., tentu beliau bisa jatuh ke dalam kemaksiatan.

Menurut Gus Baha, ayat tersebut justru menunjukkan keduanya saling tertarik. Zulaikha sangat tertarik dengan ketampanan Nabi Yusuf sehingga menarik bajunya dari arah depan, namun karena Nabi Yusuf dikuatkan imannya oleh Allah, maka beliau tidak sampai melakukan perbuatan zina. Lalu Gus Baha mengomentari hal tersebut dengan sifat laki-laki. Laki-laki pada umumnya jika melihat perempuan cantik setengah telanjang, pasti agak “kepikiran”.

Untuk ayat yang pemahamannya masih kontroversi seperti ayat kisah Nabi Yusuf ini, Gus Baha menawarkan salah satu solusinya, yaitu wakaf. Oleh karena demikian, ulama ada yang membacanya wakaf untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran. Tempat wakaf yang dimaksud yaitu setelah frasa walaqad hammat bihi (dan zulaikha sungguh sangat menginginkan Yusuf). Baru setelah itu lanjut membaca wa hamma biha laula an ra burhana rabbihi.

“Berarti pemahamannya adalah, Yusuf itu juga mempunyai ‘keinginan’ jika beliau tidak tahu tanda dari Allah. Berhubung beliau tahu, maka beliau tidak bersyahwat.” Namun karena seringkali orang-orang membaca ayat ini tidak mengindahkan hal tersebut, langsung diteruskan, akan sangat mungkin menyebabkan pada kesalahan penafsiran. Untuk pembaca Alquran yang seperti ini, Gus Baha berkomentar, “Aduh kacau ini!”

Terkait dengan wakaf, Ibn Abbas menjelaskan bahwa sekurangnya ada enam ayat Alquran yang apabila dibaca wakaf dengan benar, maka pembacanya akan masuk surga. Di antaranya adalah ayat tentang ketertarikan Zulaikha kepada Nabi Yusuf.

Sebagai penutup, pemilihan jeda (wakaf) yang tepat dalam membaca Alquran akan sangat memungkinkan untuk menghindar dari salah penafsiran dan salah pemahaman. Sebaliknya, jika pemilihan wakaf tidak tepat, maka akan sangat mungkin untuk menyebabkan salah pemahaman.

Oleh sebab itu, wajar al-Ashmūnīy dalam Manār al-Hudā fī al-Wakaf wa al-Ibtidā mewanti-wanti pembaca Alquran untuk selalu mempehatikan wakaf dan ibtida’ (mumulai bacaan) setiap ayat. Wallahu a’lam.

Kisah Khuzaimah bin Tsabit dalam Penulisan Surah Alahzab Ayat 23

0
Kisah Khuzaimah bin Tsabit dalam Penulisan Surah Alahzab Ayat 23
Kisah Khuzaimah bin Tsabit dalam Penulisan Surah Alahzab Ayat 23

Tidak ada satu ayat Alquran pun di masa Rasulullah saw. yang terlewatkan dari tulisan dan hafalan para sahabat, meski tulisan tersebut belum terkumpulkan dalam satu mushaf. Pembukuan (kodifikasi) Alquran dalam satu mushaf baru dimulai pada saat Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq atas usulan Umar bin Khattab.

Paling tidak, sebagai langkah ihtiyath (kehati-hatian), dalam proses Jam’ al-Qur’an (kodifikasi Alquran) ini, pencatat wahyu di zaman Rasulullah saw. menetapkan bahwa selain berdasarkan pada bukti tulisan, juga harus ada dua penghafal ayat yang bersaksi bahwa ayat tersebut telah ditulis di hadapan Rasulullah saw.

Baca juga: Hikmah dalam Polemik Rumah Tangga Zayd bin Haritsah dan Zainab binti Jahsyi

Sikap kehati-hatian ini juga dikisahkan oleh al-Suyuti dalam al-Itqan. Dia meriwayatkan bahwa Zaid bin Tsabit, salah satu pencatat wahyu dalam menghimpun Alquran tidak cukup hanya berdasarkan dengan apa yang ditemuinya secara tertulis, melainkan harus benar-benar disaksikan oleh orang yang menerima dan mendengarkannya secara langsung dari Rasulullah saw.  Meskipun, sebenarnya Zaid sendiri hafal ayat tersebut.

Keharusan terdapat dua sahabat yang hafal sebagai saksi ini tidak berlaku pada Surah Alahzab ayat 23 berikut ini:

مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوْا مَا عَاهَدُوا اللّٰهَ عَلَيْهِ ۚ فَمِنْهُمْ مَّنْ قَضٰى نَحْبَهٗۙ وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّنْتَظِرُ ۖوَمَا بَدَّلُوْا تَبْدِيْلًاۙ

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu (menang atau mati syahid). Mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya).”

Pasalnya, ayat di atas hanya ditemukan pada hafalan seorang sahabat yang bernama Khuzaimah bin Tsabit. Zaid sebagai salah satu tim pencatat wahyu yang juga diberi tugas untuk menulis ulang dan mengumpulkan Alquran mengisahkan bahwa ketika para sahabat sedang menyalin mushaf ada satu ayat dari surat Alahzab yang hilang. Padahal, dia yakin pernah mendengar Rasulullah saw. membaca ayat itu. Kami berusaha mencarinya, lalu kami menemukannya pada Khuzaimah bin Tsabit, yaitu Surah Alahzab ayat 23. Lalu, ayat tersebut kami masukkan ke dalam Mushaf. (al-Itqan, hlm. 133)

Baca juga: Tafsir Surat Yasin ayat 63-65: Ketika Seluruh Tubuh Bersaksi di hadapan Allah Swt

Uniknya, jauh-jauh hari, Rasulullah saw. telah menegaskan bahwa kesaksian Khuzaimah sudah mencukupi. Rasulullah saw. memberikan keistimewaan ini kepada Khuzaimah lantaran suatu ketika Rasulullah saw. membeli seekor kuda dari seorang Badui. Setelah melangsungkan jual beli, Nabi saw. segera berjalan. Tetapi orang Badui itu memperlambat jalannya. Hingga datang beberapa orang yang tidak mengerti kalau kuda itu telah dibeli oleh Nabi saw., menemui si Badui dan menawar kudanya.

Si Badui tadi berteriak memanggil Nabi saw.:“Hai Muhammad jika memang kamu serius membeli kudaku ini bayarlah segera, kalau tidak akan aku jual kepada orang lain!”

Rasulullah saw. menjawab: “Bukankah aku telah membelinya darimu?”

Si Badui membantah: “Tidak, Demi Tuhan aku belum menjual kepadamu.”

Nabi saw. menegaskannya kembali: “Sungguh, aku telah membelinya darimu!”

Badui itu menimpali:“Kalau begitu datangkanlah seorang saksi!”

Lalu, khuzaimah bin Tsabit maju memberikan kesaksiannya dengan mengatakan “Sungguh aku menyaksikan bahwa engkau telah membelinya Ya Rasulullah.”

Setelah kerumunan itu bubar, Rasulullah saw. bertanya kepada Khuzaimah, “Atas dasar apa kamu bersaksi, sedangkan kamu tidak hadir ketika berlangsungnya transaksi antara aku dan si badui itu?” Khuzaimah menjawab “Atas dasar keyakinanku akan kebenaranmu, Ya Rasulullah. Mungkinkah aku mempercayaimu terkait segala berita dari langit yang engkau bawa lalu aku mendustakanmu dalam masalah ini?”

Baca juga: Mengenal Tiga Istilah Manusia dalam Alquran: Nas, Insan, dan Basyar

Setelah kejadian ini, Rasulullah saw. menetapkan bahwa kesaksian Khuzaimah sebanding dengan kesaksian dua orang laki-laki. Sejak itulah, Khuzaimah mendapat julukan Dzu Syahadatain (orang yang memiliki dua kesaksian). Kisah ini bisa dibaca dalam buku Kedudukan Muhammad saw. karya Mutawalli al-Sya’rawi.

Dengan demikian, ketika pembukaan Surah Alahzab ayat 23 hanya ditemukan dalam hafalan Khuzaimah bin Tsabit, para sahabat langsung menerimanya karena kesaksian Khuzaimah sama dengan kesaksian dua orang laki-laki berdasarkan penetapan dari Nabi Muhammad saw. Itulah satu-satunya ayat yang menyimpang dari kaidah keharusan adanya minimal dua orang saksi yang menghafal ayat, yang akan ditulis ulang dan dikumpulkan dalam satu mushaf.

Wallahu a’lam.

Polemik Short Selling dalam Perspektif Legal Islam

0
Polemik Short Selling dalam Perspektif Legal Islam
Photo by Marga Santoso on Unsplash

Short selling sebagai salah satu transaksi jual beli di zaman modern menuai polemik di kalangan umat Islam. Hal ini lantaran konsep yang dibawanya dinilai baru dan berbeda dengan konsep transaksi yang sudah pernah dibahas para ulama sebelumnya. Namun, sebagai fenomena umum masa kini, keabsahan short selling mesti dikaji dan diputuskan hukumnya.

Short selling sendiri adalah transaksi yang dilakukan di bursa saham dengan cara investor akan menjual saham kepada pihak lain, di mana investor akan meminjam aset. Dalam artian, investor tidak memiliki aset tersebut. Kemudian, investor akan menunggu harga saham itu menurun, kemudian ia akan membelinya kembali.

Gambarannya adalah, seorang investor menjual saham dari perusahaan X—dengan cara dia meminjam, dengan memberikan jaminan sebesar 200 juta. Ketika aset atau saham tadi menurun, dia akan membelinya kembali, dengan catatan, yang dia terima adalah selisih dari harga jual dan beli. Misal, dia menjual saham yang perlembarnya adalah 12.000 Rupiah. Kemudian ketika menurun di harga 10.000 Rupiah, ia akan untung 2000 Rupiah per-lembarnya.

Dalil tentang Jual beli dan yang Berkenaan dengan Short Selling

Dengan melihat fenomena di atas, bagaimana Islam merespon fenomena semacam itu? Mari bahas firman Allah dalam Q.S. An-Nisa ayat 29,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”.

Ayat di atas berbicara mengenai prinsip dalam melakukan jual beli, yakni saling ridla atau rela satu sama lain. Jika dalam sebuah transaksi tidak ada kebatilan dan  kezaliman, bahkan dilakukan dengan sikap adil, jujur, maka transaksi tersebut dinilai sah. Sementara, dalam sebuah hadis disebutkan bagaimana Nabi merespons salah satu sahabat mengenai transaksinya,

“Dari Hakim bin Hizam; ia berkata, ‘Aku datang menemui Rasulullah, lalu aku katakan; ada seorang laki-laki yang datang kepadaku dan memintaku untuk menjual sesuatu yang tidak ada padaku, bolehkah aku membeli untuknya dari pasar kemudian aku menjual kepadanya?’ Beliau bersabda, ‘Jangan kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu” (H.R. At-Tirmidzi no. 1232).

Baca juga: Tafsir Surah An-Nisa’ ayat 29: Prinsip Jual Beli dalam Islam

Mayoritas ulama memahami ‘laa tabi’ maa laisa indak’ (Jangan kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu) dengan lafaz ‘’inda’ dipahami sebagai ‘milik’. Maka, konsekuensinya ada pada larangan di dalamnya, yakni pada ‘larangan menjual sesuatu yang bukan milikmu (sang penjual)’.

Sementara, Luqman Hakim memahami kata ‘’indazaraf, yakni ‘di saat’. Menurutnya, jika lafaz tersebut dipahami sebagai ‘di sisi’—sebagai zaraf, maka ada celah kebolehan melakukan transaksi model short selling (Pendekatan Ma’na-Cum-Maghza atas Al-Qur’an dan Hadis, hal. 125). Ini dipahami bahwa ‘selama barang atau aset tersebut ada di sisi penjual—walau tidak atau belum nampak’.

Polemik Short Selling dan Prinsip-prinsip Jual beli dalam Islam

Imam Syafi’I berpendapat jika dalam transaksi jual beli barang tidak nampak oleh pembeli atau barang belum ada, maka transaksi tersebut tertolak atau tidak sah. Hal ini disebabkan adanya kemungkinan unsur gharar (penipuan). Wahbah az-Zuhaili menguraikan, bahwa model transaksi semacam itu mengandung gharar yang besar (Az-Zuhaili 2011: 130).

Sementara Imam Syafii juga berpendapat, jika jual beli dengan barang yang masih ghaib atau belum ada adalah batal, begitu juga dengan barang yang belum ada walau dirinci jenis atau bentuk barang itu, misal: “aku jual gandum 1Kg kepadamu”, maka itu tetap batal. Namun, jika barang nampak, dan belum dirinci, maka tetap sah, kecuali misal, adanya tanah tidak rata yang memungkinkan barang yang dilihat tidak sesuai dengan kenyataannya.

Baca juga: Kandungan Alquran Perspektif Ilmu Fikih

Imam Malik memahami, bahwa menjual barang ghaib (belum nampak) ada beberapa kemungkinan: Pertama, jika barang belum nampak atau tidak bisa dilihat pembeli, semisal gula dalam karung, jual beli itu akan menjadi sah jika pembeli melihat gula tersebut. Kedua, jika barang ada di luar daerah atau tempat yang tidak terjangkau—pembeli tidak dapat melihatnya secara langsung—maka transaksi itu batal atau tidak sah.

Sementara menurut Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim, menjual barang yang tidak dimiliki selain salam (akad pemesanan) adalah sah. Berbeda dengan mayoritas fuqaha’ (ahli fikih) yang cenderung melarangnya, karena menganggap adanya indikasi gharar (penipuan) di dalamnya.

Sementara, dalam perbincangan ‘short selling’, Muhammad As-Sulaiman memahami jika model transaksi semacam ini sah. Hal ini berkaitan dengan adanya apek pinjam-meminjam di dalamnya. Di mana, dalam short selling sendiri terdapat dua akad, yakni akad pinjam-meminjam dan akad jual beli. Dalam perihal saham, saham dapat menjadi subjek akad pinjaman. Barang ada yang dapat dipinjam atau dipertukarkan (misli) dan ada yang tidak (qimi).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Jual Beli dengan Label Harga, Sah kah?

Namun, menurut jumhur fuqaha’ baik yang misli maupun qimi dapat dipertukarkan, begitu juga dengan short selling. Di mana, akadnya adalah investor yang meminjam akan mengembalikan asetnya, dan keuntungan bersihnya ada pada selisih harga jual dan belinya.

Lantas, bagaimana dengan short selling yang dia tidak ada barangnya? Hal ini dianggap oleh Luqman Hakim adalah hal yang sama dengan kasus salam (pemesanan). Di mana, pemesan barang—di mana saat pesan barang belum nampak atau belum jadi—dianggap sah. Hal inilah yang mendasari ia membukakkan celah kebolehan short selling dengan menyamakannya dengan akad pemesanan.

Positioning Hadis dalam Konteks Kekinian (al-Maghza al-Mutaharrik)

Luqman Hakim menguraikan, bahwa hadis di atas berbicara perihal batasan atau jaminan hukum yang diberikan kepada baik investor atau pemilik saham yang dipinjam. Hal ini dilandaskan pada pengamatan dari sisi sejarah mikro dan makro. Hadis di atas muncul ketika ada pembeli yang mendatangi Hakim Ibn Hizam. Pembeli tersebut membeli barang yang langka. Dengan maksud menerima itu, Hakim ibn Hizam ragu dan bertanya kepada Nabi saw. Kemudian Nabi saw. Mengatakan bahwa hal itu dilarang.

Ibn Qayyim menguraikan, bahwa hal ini ada pada dua asumsi, yakni ketiadaan barang dan ketidakmampuan penjual untuk menyerahkan barangnya atau benar-benar tidak ada. Sementara, dalam model Forex, investor mendapatkan barang itu—langsung diterima pembeli. Di mana, penekanan yang dilakukan Luqman ada pada kata ‘’inda’ yang tidak diartikan sebagai milik, tetapi ketidaktersediaan penjual menyerahkan barang. Sementara dalam kasus short selling dalam bursa saham, barang dapat diterima atau diserahkan.

Dalam konteks makro, Luqman menguraikan keadaan atau kondisi sosio-psikologis masyarakat Arab masa itu. Penjual ataupun pembeli yang terzalimi kala itu kerap kali tidak mendapatkan haknya atau tidak mendapat keadilan. Misalnya adalah kasus yang dialami oleh kabilah Zabid dari Yaman, yang menjual dagangannya ke Al-Ash bin Wa’il al-Sahmi yang enggan membayarnya. Tidak ada pedagang atau tokoh-tokoh Quraisy yang membantu masalah tersebut hingga terjadi perjanjian Hilf al-Fudul. Melalui perjanjian itu akhirnya penjual mendapatkan haknya kembali dengan dagangannya dibayarkan.

Baca juga: Larangan Menimbun Barang dalam Surah Hud Ayat 85

Nah, dari uraian yang coba penulis paparkan, kita akan dapati prinsip utama atau ideal moral yang coba Luqman Hakim sampaikan: pertama, short selling bukan ‘titip membeli barang’ yang tidak bisa atau ada kemungkinan penjual tidak menemukannya, maka larangan Nabi ada pada aspek ini. Hal ini tentu untuk menjaga atau melindungi pembeli dari gharar atau penipuan yang disebabkan penjual. Saham dan forex sistemnya dibayar kontan, tidak menunggu atau bahkan seperti salam atau akad pemesanan. Tentu, ideal moralnya untuk melindungi hak pembeli.

Kedua, adalah untuk melindungi penjual dari mendapatkan kerugian. Sebagai contoh kasus penjual membelikan barang A, ternyata barang tersebut lebih mahal, tentu penjual mengalami kerugian. Sementara dalam sistem saham dan Forex, fluktuasi harga adalah real-time yang dapat dilihat langsung oleh penjual dan pembeli.

Banyak Tertawa Dapat Mematikan Hati?

0

Segala sesuatu yang berlebihan memang tidak baik. Bahkan dalam syariat Islam mengenai perkara yang semula baik bahkan fitrah, berubah maknanya menjadi lain. Pun dalam hal mengenai persoalan tertawa. Pada dasarnya tertawa adalah fitrah. Allah Swt. berfirman:

 وَاَنَّهٗ هُوَ اَضْحَكَ وَاَبْكٰى

 “Dialah (Allah) yang telah menjadikan orang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm ayat 43).

Betapa ayat ini menunjukan bahwa Allah yang menciptakan tawa, dan tertawa adalah fitrah setiap manusia. Tidak sepantasnya mencela tawa, karena tidak mungkin kita mencela sesuatu yang menjadi ciptaan-Nya.

Baca Juga: Tafsir Surah An-Najm Ayat 40-46

Bila tertawa pada tempatnya tidaklah mengapa. Rasulullah dan para sahabat pun tertawa. Bahkan ada beberapa hadits yang menggambarkan tawa mereka. Diceritakan bahwa usai salat subuh, Nabi Saw. berzikir sampai terbitnya matahari. Sementara para sahabat berbincang tentang masa jahiliyah mereka sambil tertawa, dan ketika Nabi Saw.  Lewat, beliau hanya tersenyum dan tidak menegur. (HR. Muslim no. 670).

Tertawa yang Dilarang

Memang pada hakikatnya tidak ada larangan tertawa. Lantas, mengapa Rasul Saw. bersabda, tertawa dapat mematikan hati? Sabda Rasulullah Saw. dari Abu Hurairah r.a: “Dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah).

Kata kunci dari hadis di atas yang perlu kita pahami adalah bahwa tertawa yang dimaksud adalah tertawa secara berlebihan. Efek daripada tawa yang berlebihan tersebut menjadi pemicu hati yang keras.

Para ulama yang mengemukakan adanya keterkaitan antara berlebihan tertawa dengan kerasnya hati. Di antaranya yaitu Ibnu Rajab. Beliau mengatakan bahwa penyebab kerasnya hati antara lain banyak berbicara tanpa dzikrullah, melanggar perjanjian dengan Allah, banyak tertawa, banyak makan, banyak dosa. (Majmu’ ar-Rasail, 260).

Baca Juga: Etika Humor dalam Alquran

Jelas sekali di sini bahwa tertawa berlebihan itu terdapat efek melalaikan. Sama seperti penyebab kerasnya hati yang lain, seperti banyak makan, banyak bicara, dan banyak dosa yang kesemuanya itu berpotensi mematikan hati.

Syaikh as-Sa’di menerangkan bahwa ciri orang yang berhati keras itu adalah tidak lagi merespon larangan dan peringatan, tidak mau memahami apa maksud Allah dan rasul-Nya karena saking kerasnya hati.

Bayangkan, faktor banyak tertawa digandengkan dengan banyak dosa sebagai penyebab hati yang keras, itu artinya, banyak tertawa itu benar-benar dilarang dalam agama Islam.

Tertawa bisa mengakibatkan hati keras, menyibukkan hati, sehingga lupa kepada Allah dan lupa memikirkan urusan agama yang penting. Ia berpotensi menyakiti orang lain dan menyebabkan kedengkian serta menghilangkan kewibawaan. (Al-Adzkar an-Nawawiyah, 326)

Suatu ketika Ibnu Umar pernah ditanya tentang apakah para sahabat Nabi Saw. tertawa? “Ya, akan tetapi iman mereka,  demi Allah, lebih tegar dari pada gunung-gunung yang kokoh.” (Tafsir al-Qurthubi, 17/116). Semua itu menunjukan bahwa ada tawa yang berbahaya, yaitu tawa yang dilakukan berlebihan hingga berimbas pada kelalaian kepada Allah, hingga matinya hati.

Dengan demikian, tertawa itu adalah fitrah, agama kita tidak melarangnya. Rasulullah dan para sahabat pun dalam beberapa hadits digambarkan tengah tertawa. Namun, tertawa ada batasnya. Bila dilakukan secara berlebihan, maka ini menjadi hal yang berbahaya, karena dapat mematikan hati.

Baca Juga: Tertawa dalam Salat Menurut Abu Hanifah Dapat Membatalkan Wudu

Faktor banyak tertawa digandengkan dengan faktor lainnya seperti banyak makan, banyak tidur, banyak bicara, dan banyak dosa. Padahal makan dan tidur pun adalah hal yang wajar, namun menjadi kesalahan saat dilakukan berlebihan. Artinya, perbuatan yang berlebihan memang tidak baik bahkan bisa berakibat fatal, termasuk dalam hal ini mematikan hati.

Tertawalah pada tempatnya dan tertawalah sewajarnya. Sebab, berlebihan dalam tertawa memberi celah dosa yang dapat berakibat pada matinya hati.

Wallaahu a’lam

Hukum Memotong Bacaan di Pertengahan Ayat Alquran

0
hukum memotong bacaan di pertengahan ayat
hukum memotong bacaan di pertengahan ayat

Memotong bacaan di pertengahan ayat (Qat’u) tidaklah sama dengan berhenti di tengah ayat (Waqaf). Memotong artinya berhenti secara tiba-tiba tanpa ada persiapan meneruskan bacaan setelahnya. Seperti berhenti karena bersin, batuk, atau selainnya. Orang yang memotong bacaan di tengah ayat seakan-akan tidak peduli terhadap kesempurnaan bacaan Alquran. Ini disebabkan akan berpengaruh pada makna ayat Alquran yang sedang dibaca. Lalu bagaimana para ulama memandang hukum memotong bacaan di tengah ayat? Apakah hal itu termasuk tidak menjaga adab dalam membaca Alquran? Berikut keterangan selengkapnya:

Antara memotong dan berhenti di tengah ayat

Di dalam literatur tentang etika membaca Alquran, memotong bacaan di pertengahan ayat biasanya terjadi secara tiba-tiba, karena pembaca Alquran dalam kondisi seperti bersin, batuk atau lainnya, yakni keadaan yang terjadi secara tiba-tiba, tidak ada persiapan.

Orang yang berlaku demikian (memotong bacaan ayat Alquran) statusnya tidak sama dengan orang yang membaca Alquran dengan waqaf (sengaja jeda dalam pertengahan membaca ayat karena ada tanda waqaf atau kehabisan nafas, kemudian mengulangi bacaannya dari kata sebelumnya untuk menyempurnakan bacaan).

Syaikh Abdul Fattah di dalam Hidayatul Qari menjelaskan, orang yang memotong bacaan tidaklah sama dengan orang yang waqaf atau berhenti membaca. Orang yang memotong bacaan Alquran seakan-akan telah selesai (membaca Alquran), tidak akan meneruskan bacaan, dan beralih ke kegiatan lain (Hidayatul Qari/1/1).

Orang yang memotong bacaan di pertengahan ayat biasanya akan berhenti tanpa menggunakan tata cara yang baik seperti aturan dalam waqaf. Seperti berhenti di tengah kalimat. Berbeda dengan orang yang waqaf, yang akan memilih bagian ayat yang mana yang pantas sebagai tempat berhenti tanpa mengacaukan makna, serta memperhatikan aturan tajwid yang berlaku seperti mengubah ta’ Marbuthah menjadi ha’ serta mempraktikkan Mad Arid Lissukun.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Seputar Aturan Waqaf dalam Surah Al-Fatihah Ketika Salat

Memotong bacaan di pertengahan ayat

Memotong bacaan di tengah ayat apabila disebabkan suatu uzur atau keadaan terpaksa, maka hukumnya boleh-boleh saja. Dasar yang digunakan ulama adalah hadis yang diriwayatkan dari Abdullah ibn Saib:

صَلَّى لَنَا النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- الصُّبْحَ بِمَكَّةَ فَاسْتَفْتَحَ سُورَةَ الْمُؤْمِنِينَ حَتَّى جَاءَ ذِكْرُ مُوسَى وَهَارُونَ أَخَذَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- سَعْلَةٌ فَحَذَفَ فَرَكَعَ

Nabi melaksanakan salat subuh bersama kami di Makkah. Beliau lalu mulai membaca surat al-Mu’minin. Saat sampai ayat yang menyebutkan Nabi Musa serta Harun, beliau lantas batuk. Beliau lalu meninggalkan bacaannya dan melakukan ruku’ (HR. Bukhari Muslim).

Ibn Hajar menjelaskan, memotong bacaan Alquran hukumnya boleh. Baik itu tepat di akhir ayat atau di tengah ayat. Hadis ini menjadi dasar mengenai kebolehannya. Dan tidak ada hukum makruh di dalamnya apabila disebabkan suatu uzur atau keadaan yang memaksa. Bahkan memotong bacaan lebih utama daripada terus membaca disertai batuk atau berdehem (Fathul Bari/3/150).

Termasuk yang diperbolehkan dalam memotong bacaan adalah memotong bacaan sebab orang yang mendengarkannya sedang mengalami batuk atau disibukkan oleh sesuatu. Hal ini sebagaimana Ibn Mas’ud memotong bacaannya saat Nabi yang mendengarkan bacaannya, memintanya berhenti membaca sebab merasakan kesedihan tatkala meresapi ayat yang dibaca Ibn Mas’ud (Syarah Ibn Baththal/19/365).

Lalu bagaimana apabila memotong bacaan tanpa adanya uzur? Misalnya diajak bicara oleh orang lain tatkala sedang membaca Alquran, lalu kita memotong bacaan demi membalas ucapannya. Apakah hal itu diharamkan sebab seakan-akan mengacuhkan pentingnya berkonsentrasi atas bacaan Alquran?

Imam al-Nawawi menjelaskan, memotong bacaan sebab adanya uzur hukumnya boleh dan tidak makruh. Ini adalah kesepakatan para ulama. Dan apabila tanpa uzur, maka menurut mayoritas ulama hukumnya tidak sampai makruh melainkan hanya khilaful aula (menyalahi hal yang lebih utama). Artinya jangan sampai memotong bacaan apabila tanpa ada uzur semisal batuk dan selainnya. Imam Malik bahkan menyatakan bahwa memotong bacaan tanpa uzur hukumnya makruh (Syarah Sahih Muslim/2/208).

Baca Juga: Mengenal Empat Waqaf dalam Membaca Al-Quran

Kesimpulan

Dari berbagai keterangan di atas kita dapat mengambil kesimpulan, tatkala membaca Alquran hendaknya kita fokus membaca dan meresapi maknannya. Jangan sampai kita memotong bacaan dengan alasan yang tak penting sehingga terkesan mengabaikan ayat Alquran yang dibaca. Wallahu a’lam.