Beranda blog Halaman 90

Makna Preposisi Lam dalam Surah at-Taubah ayat 51

0
preposisi lam
makna preposisi lam

Dari Alquran lahir berbagai cabang ilmu seperti ilmu tafsir, nahwu sharaf, balaghah, dan masih banyak lagi. Bahkan uniknya, satu huruf dari Alquran saja memuat makna yang keindahannya tak pernah bisa dijangkau oleh syair terhebat versi manusia. Siapapun tak ada yang dapat membuat sebuah ayat dengan faidah huruf demi huruf yang sempurna, jauh dari kekeliruan. Contohnya saja makna preposisi lam yang akan dibahas pada tulisan ini.

Allah Ta’ala berfirman dalam surah at-Taubah ayat 51:

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.”

Makna preposisi lam

Beberapa ulama mengomentari bahwa ada rahasia di balik penggunaan preposisi lam di surah at-Taubah ayat 51 ini. Menurut mereka, ada alasan kenapa Allah menggunakan kata lanā (لنا) dan bukan ‘alainā (علينا). Ibnu Hajar Rahimahullah berpendapat, Allah menyampaikan ayat ini dengan kata (لنا) dan bukan ( علينا) sebagai peringatan bahwa hendaklah kita memandang setiap apa yang menimpa dan terjadi pada kita sebagai ni’mah (anugerah) dan bukan nikmah (kesengsaraan). [Fathul Bari: 11/626].

Baca Juga: Tafsir Surah Ad-Duha Ayat 11 dan Surah Yusuf Ayat 5

Dalam Tafsir Ibnu Rajab al-Hanbali, Ibnu Jauzi berkata di dalam al-Muqtabas: aku mendengar menteri (Ibnu Hubairah) berkata tentang ayat ini. Allah tidak mengatakan dengan mā kataba ‘alainā (ما كتب علينا) karena menyangkut urusan seorang mukmin. Setiap kali ia ditimpa sesuatu, maka sesungguhnya sesuatu itu adalah tetap baik untuknya. Apabila ditimpa kebaikan, maka itulah kebaikan yang ia peroleh di dunia. Dan apabila ditimpa keburukan, maka kebaikannya adalah nanti berupa pahala di Akhirat.

Untuk lebih memahami perbedaan makna tersebut, mari kita perdalam pada gaya bahasa ath-thibaq dalam surah al-Baqarah ayat 286:

لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ

Ayat di atas diterjemahkan dengan redaksi: “Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”

Sebagaimana dalam tafsir Jalalain yang menafsirkan  لها ما كسبت:  berupa kebaikan yakni pahala; sedangakn عليها ماكتسبت: berupa keburukan yakni siksaan.

Maka dapat disimpulkan bahwa ayat ini menggunakan lafadz lanā, sebab preposisi ini dalam bahasa Arab selalu menggambarkan kebaikan, bertolak belakang dengan lafadz ‘alā yang melambangkan hal buruk.

Contoh lain ialah doa untuk pengantin yang Rasulullah ajarkan. Terdapat kata bārakallah laka dan kata bārakallah ‘alaika. Laka di sini adalah mendoakan keberkahan pada hal-hal baik dan manis selama menjalani biduk rumah tangga. Disempurnakan oleh lafadz ‘alaika, sebagai doa agar tetap dalam keberkahan pula selama menjalani masa-masa sulit dan pahit di dalam berumah tangga.

Makna lam dalam ayat

Surah at-Taubah ayat 51 ini diperuntukan untuk orang mukmin sebagai manifestasi lafadz lanā. Karena hanya orang mukmin yang seluruh kehidupannya dikaruniai nikmat. Adapun nikmat yang diberikan kepada orang kafir dalam pandangan Allah adalah hal yang sebaliknya. Mereka mungkin saja diberi nikmat di dunia, tapi mereka tidak akan merasakan nikmat akhirat. Sedangkan orang mukmin, dunia akhiratnya, suka dukanya, lahir batinnya, semuanya bernilai kebaikan.

Baca Juga: Ketika Allah Mengajarkan Nabi Daud tentang Kepemimpinan

Semestinya setiap mukmin berprasangka baik terhadap setiap hal yang menimpa karena semuanya adalah untuk kebaikannya. Apapun yang menimpa hidup seorang mukmin, semuanya adalah ni’mah dan bukan nikmah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw dalam hadis berikut.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلممَا يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِى نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ

“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ujian selalu bersama dengan orang beriman lelaki dan perempuan, baik di dalam diri, anak dan hartanya, sampai dia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai satu kesalahanpun.” (H.R. Tirmidzi :2687).

Demikianlah makna huruf dalam Alquran yang selalu memuat rahasia indah, hingga penggunaan preposisi lam saja dapat menjadi bahan telaah para ulama dengan segala rahasia maknanya. Wallah a’lam.

Habib Luthfi bin Yahya: Surah Alfatihah Ajarkan Persatuan dan Kerukunan

0
Habib Luthfi bin Yahya: Surah Alfatihah Ajarkan Persatuan dan Kerukunan
Surah Alfatihah

“Keukhuahan (persaudaraan), persatuan, dan kesatuan telah diwariskan bahkan sejak zaman Walisongo. Jangan sampai kita mengecewakan warisan leluhur bangsa kita. Oleh karenanya, sebagai sesama anak bangsa yang hidup dalam keberagaman, kita harus saling menjaga hal itu agar tidak terpecah-belah. Tidak hanya melalui perbuatan. Namun, juga dalam berdoa,” terang Habib Muhammad Luthfi bin Yahya dalam beberapa kali kesempatan ceramahnya.

Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya, bahwa menjaga persatuan dan kerukunan telah dibimbing dan diajarkan Allah melalui surah Alfatihah. Pada ayat-ayat terakhir dari surah tersebut, seorang muslim membuat pengakuan bahwa hanya kepada Allah ia menyembah, berdoa, dan memohon pertolongan. Yang menarik adalah kata ganti yang digunakan bukan untuk individu meskipun ayat tersebut sedang dibaca oleh satu orang (mufrad), melainkan menggunakan kata ganti “kami” (jamak). Jelas itu bukan tanpa alasan, melainkan ada maksud indah di balik penggunaan kata ganti tersebut dalam redaksi ayat 5-6 Q.S. Alfatihah. Salah satunya ialah mengajarkan tentang persatuan dan kerukunan.

Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 103: Dalil Sila Ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia

Makna kata ganti “kami”  dalam Q.S. Alfatihah menurut para mufasir

Imam Mahmud al-Alusi berpendapat dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani, bahwa ketika seorang hamba berdiri di hadapan Allah, berkomunikasi dengan-Nya (seperti dalam keadaan salat), lalu merendahkan diri di hadapan-Nya, hamba tersebut hakikatnya tak lagi berbicara sebagai individu, tetapi sebagai perwakilan dari keseluruhan manusia.

Penggunaan kata ganti “kami” bertujuan untuk mengungkapkan kekurangan, kelemahan, dan kebutuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Dalam hal ini, seakan-akan seorang hamba sedang berkata, “Ya Allah, ibadahku belum mampu mencapai tingkatan yang layak karena dalam setiap ibadahku masih dipenuhi berbagai macam kekurangan. Oleh sebab itu, aku akan menggabungkannya dengan ibadah seluruh hamba lainnya lewat sebutan “kami”. Dengan harapan dari sekian banyak hamba-Mu yang ada di muka bumi, terdapat satu atau lebih di antara hamba-Mu yang beribadah dengan tulus.”

Selain itu, menurut ar-Razi, kata ganti “kami” juga menunjukkan simbol jamaah dan kebersamaan, sebab “saya” berarti sendiri dan “kami” berarti bersama. Dengan demikian saling berkumpul (jamaah) antar sesama muslim dapat menjadi jalan persatuan dan kerukunan.

Penggunaan kata ganti “kami” menafikan paham diskriminasi berdasarkan warna kulit, suku, ras, jenis kelamin, maupun tanah asal. Semuanya telah utuh menjadi “Kami adalah hamba Allah yang hanya menyembah-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya”. Kata ganti “kami” adalah refleksi dari rasa saling menghargai, peduli satu sama lain, saling mengasihi, dan menyayangi antarsesama. Penyebutan “kami” adalah lambang bahwa seluruh umat muslim di belahan bumi bagian manapun adalah saudara.

Baca juga: Potret Persaudaraan Muhajirin dan Anshar yang Diabadikan Alquran

Pesan kepedulian terhadap sesama

Selanjutnya redaksi ayat “Ihdina al-shirat almustaqim”, menurut Habib Luthfi, menunjukkan bahwa Allah mengajarkan kepedulian seorang muslim terhadap saudaranya yang lain. Lafaz “Ihdina” menyimbolkan al-mu’min akhul mu’min dan al-muslim akhul muslim (seorang mukmin-muslim saudara mukmin-muslim yang lain). Seraya beliau berkata, “(Maknanya) tunjukkanlah kami jalan yang lurus, bukan hanya urusan akhirat saja. Mungkin yang mengalami problem dalam hidup, dagangan sepi, ketahanan pangan. Tujukkanlah kami ekonomi kami jalan yang beruntung, jangan sampai menempuh kerugian dalam perekonomian umat muslim khususnya, juga saudara sebangsa dan tanah air pada umumnya. Dengan demikian kita bukan hanya action saja. Namun, turut serta mendasari ikhtiar tersebut dengan ketauhidan kepada Allah.”

Karenanya, jika seorang hamba memahami betul makna ayat tersebut, tidak mungkin antarmuslim saling ribut atau mempersoalkan ikhtilaf-ikhtilaf kecil. Akan tetapi akan saling rukun, menjaga satu sama lain, saling menghormati, dan saling peduli satu sama lain. Sebab, setiap melafalkan Alfatihah, terutama dalam salat, ia benar-benar menyadari bahwa satu sama lain saling mendoakan untuk kebaikan bersama, bukan sekadar berdoa untuk dirinya sendiri. Wallahu a’lam.[]

Baca juga: Serba-serbi Seputar Surah Alfatihah

Bencana Alam dan Misi Dasar Islam: Refleksi Surah Alanbiya’ Ayat 107

0
Bencana alam dan misi dasar Islam
Bencana alam dan misi dasar Islam

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 3.350 becana alam terjadi sepanjang tahun 2022 di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Hal ini mengakibatkan kekhawatiran dan juga kegelisahan tentang sebab serta cara mengatasi bencana alam tersebut. Pada saat bersamaan, banyaknya bencana alam ini juga menjadi momen introspeksi mendalam terkait pola beragama, khususnya dalam Islam yang memiliki misi dasar dalam membangun keseimbangan kehidupan di dunia dan juga akhirat.

Baca juga: Ada Isyarat Mitigasi Bencana dalam Mimpi Sang Raja di Kisah Nabi Yusuf

Jika melihat Alquran, kita akan menemukan bahwa misi dasar risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. adalah menjadi rahmat bagi seluruh alam. Hal ini tertuang di dalam Alanbiya’ [21]:107.

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

“Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”

Ayat ini secara fundamental menjelaskan bahwa kerisalahan Nabi Muhammad sejatinya membawa misi kerahmatan yang sangat fundamental. Dan rahmat itu tidak lain ditujukan bagi kelesatarian alam semesta.

Pandangan mufassir

al-Thabari (w. 310 H) mendiskusikan ayat ini dengan mengajukan pertanyaan tentang alam di mana Nabi Muhammad diturunkan bagi mereka. Apakah ia mencakup setiap orang (yang ada di alam ini), baik mukmin atau kafir? Atau hanya dikhususkan bagi mereka yang beriman saja? Sebagian ulama berpandangan bahwa kata al-‘alamin dalam ayat ini adalah setiap orang tanpa memandang status iman dan kafirnya. Mereka bertolak dari dua riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa rahmat tersebut bagi seluruh manusia secara mutlak tanpa memandang status keimanannya.

Sedangkan, pendapat kedua mengatakan bahwa rahmat tersebut hanya dikhususkan bagi orang-orang beriman saja. Hal ini berangkat dari riwayat yang sampai kepada Ibnu Wahb dan Ibnu Zaid. al-Thabari sendiri lebih menguatkan pandangan Ibnu Abbas, di mana rahmat bagi orang beriman berupa hidayah dan keimanan, sedangkan bagi orang-orang yang tidak beriman rahmat tersebut berupa keselamatan dari berbagai petaka yang dapat turun secara spontan kepada mereka. (Tafsir al-Thabari, jilid 16, 439-441)

Baca juga: Spirit Peduli Lingkungan dalam Penafsiran Alquran

Penguatan al-Thabari ini kemudian dipertegas oleh Abi al-Su’ud (w. 982 H) yang menjelaskan bahwa ayat ini berbicara mengenai pengutusan Nabi Muhammad sebagai rahmat bagi seluruh alam tanpa terkecuali. Hal ini karena segala misi yang dibawa Nabi saw. adalah penyebab bagi lahirnya kemaslahatan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Ini adalah rahmat yang diperuntukkan bagi mereka yang beriman dan mengikuti ajarannya. Namun, bagi mereka yang mendustakan ajarannya, akan tetap memperoleh rahmat tersebut berupa keamanan dari berbagai malapetaka dan pemusnahan sebagaimana halnya kaum-kaum terdahulu. (Abi al-Su’ud, jilid 6, 89).

Dalam surah Alanfal ayat 33 disebutkan:

وَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَاَنْتَ فِيْهِمْۚ وَمَا كَانَ اللّٰهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ

“Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka selama engkau (Nabi Muhammad) berada di antara mereka dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka selama mereka memohon ampunan.”

Mufassir modern asal Tunisia, Ibnu ‘Asyur (w. 1393 H) menegaskan bahwa kata al-‘alamin di dalam ayat ini memiliki dua kemungkinan cakupan makna; boleh jadi merujuk kepada manusia yang secara khusus dianugerahi pengetahuan, atau kepada setiap entitas di alam semesta yang diberikan kehidupan. Untuk manusia, rahmat tersebut mencakup bagi setiap dari mereka, baik yang beriman maupun tidak. Sedangkan bagi entitas yang diberikan anugerah hidup, Ibnu ‘Asyur hanya mencontohkan rahmat bagi binatang-binatang yang dalam banyak tempat dalam al-Quran dijelaskan kemanfaatannya bagi manusia. (al-Tahrir wa al-Tanwir, jilid 17, 169-170).

Signifikansi ayat bagi lingkungan sekitar

Dengan memerhatikan penafsiran tiga mufassir beda masa di atas, kita dapat melihat bahwa secara umum ayat ini menegaskan tentang rahmat Allah yang ada di balik pengutusan Rasul-Nya ke alam semesta. Kata al-‘alamin yang dimaksud dalam ayat ini juga memiliki cakupan yang begitu luas, tidak hanya manusia dengan potensi keimanan dan kekafiran di baliknya, tapi juga seluruh makhluk yang masuk ke dalam kategori kata al-‘alam.

Dalam analisis di atas, terlihat pula bahwa rahmat yang dibawa oleh Nabi saw. di balik ajaran-ajarannya juga menjadi antisipasi bagi turunnya sebuah bencana yang dapat menimpa siapapun. Dan Alquran memerintahkan kepada setiap orang untuk takut terhadap bencana tersebut, sebagaimana tersirat di dalam Q.S. Alanfal [8]: 25:

وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاۤصَّةً ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

“Peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah Mahakeras hukuman-Nya.”

Maraknya bencana alam di Indonesia belakangan ini dapat menjadi momen refleksi bagi umat Islam untuk melihat kembali  fungsi sejati ajaran agamanya. Sebagai negara yang mayoritas Muslim, maraknya bencana yang sebagian besar disebabkan oleh krisis lingkungan agaknya mengindikasikan spirit penjagaan alam dari sisi keberagamaan pemeluknya mulai luntur. Padahal, alam menjadi tempat bagi rahmat Allah yang dibawa oleh Nabi saw. ke dunia.

Tafsir Surah Alinsyiqaq Ayat 8: Hisab yang Mudah

0
Tafsir surah Alinsyiqaq ayat 8: hisab yang mudah
Tafsir surah Alinsyiqaq ayat 8: hisab yang mudah

Ada banyak sekali lafaz hisab dalam Alquran. Salah satunya, hisab yang berhubungan dengan peristiwa hari kiamat. Dalam kaitannya dengan itu, hisab diartikan dengan penghitungan secara terperinci atas amalan-amalan hamba yang baik dan yang buruk sebelum beranjak dari padang Mahsyar, kecuali hamba-hamba tertentu. (Lawami’ al-Anwar, 2/165)

Yaum al-hisab (hari penghitungan amal) merupakan salah satu peristiwa yang akan terjadi dan wajib kita imani di hari kiamat kelak. Alquran mengabarkan kepada kita semua tentang adanya hisab yang mudah. Allah ta’ala berfirman dalam surah Alinsyiqaq ayat 8:

فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَّسِيْرًاۙ

“Maka, dia akan dihisab dengan hisab yang mudah.”

Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir mengatakan, maksud dari surah Alinsyiqaq ayat 8 di atas adalah janji Allah kepada orang yang diberikan catatan amalnya dari sebelah kanan, sebagaimana yang disebutkan di ayat sebelumnya. Adapun orang yang diberikan catatan amal dari sebalah kanan adalah orang-orang yang beriman. Artinya, orang-orang yang beriman akan dihisab kelak di hari kiamat dengan perhitungan yang mudah, yaitu dengan memperlihatkan amalan buruknya, lalu Allah akan mengampuninya tanpa mempersoalkannya.

Baca juga: Benarkah Kata Hisab dalam Al-Quran Hanya Bermakna Perhitungan Amal?

Dalam tafsir Ibnu Katsir, hisaban yasira diartikan dengan perhitungan yang mudah dan tiada kesulitan. Dengan kata lain, semua amal perbuatannya tidak diperhitungkan secara detail, karena sesungguhnya orang yang diperiksa dengan pemeriksaan yang teliti dan ketat pasti akan binasa. Sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari Muslim berikut:

مَنْ حُوسِبَ عُذِّبَ. قَالَتْ عَائِشَةُ: فَقُلْتُ أَوَلَيْسَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: {فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا} [الانشقاق: 8] قَالَتْ: فَقَالَ إِنَّمَا ذَلِكِ العَرْضُ، وَلَكِنْ: مَنْ نُوقِشَ الحِسَابَ يَهْلِكْ

“Barangsiapa yang dihisab, maka ia tersiksa.” ‘Aisyah bertanya: ”Bukankah Allah telah berfirman ‘maka dia akan dihisab dengan hisab yang mudah?’” Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Hal itu adalah al-‘ardh (pemaparan). Namun barangsiapa yang diperinci dan detail saat dihisab, maka dia akan binasa.” (HR Bukhari no. 103 dan Muslim no. 276)

Doa agar dimudahkan hisab

Rasulullah senantiasa berdoa agar dimudahkan hisabnya, sebagaimana dalam hadis berikut.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَمِعْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ فِى بَعْضِ صَلاَتِهِ « اللَّهُمَّ حَاسِبْنِى حِسَاباً يَسِيرًا ». فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْتُ يَا نَبِىَّ اللَّهِ مَا الْحِسَابُ الْيَسِيرُ قَالَ « أَنْ يَنْظُرَ فِى كِتَابِهِ فَيَتَجَاوَزَ عَنْهُ إِنَّهُ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَوْمَئِذٍ يَا عَائِشَةُ هَلَكَ وَكُلُّ مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ يُكَفِّرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةُ تَشُوكُهُ

Dari Aisyah, dia berkata, saya telah mendengar Nabi saw. pada sebagian salatnya membaca: “Ya Allah hisablah aku dengan hisab yang mudah.” Ketika beliau berpaling saya bekata: “Wahai Nabi Allah, apa yang dimaksud dengan hisab yang mudah?” Beliau bersabda: “Seseorang yang Allah melihat catatan amalnya lalu memaafkannya. Karena orang yang diperdebatkan hisabnya pada hari itu, pasti celaka, wahai Aisyah. Dan setiap musibah yang menimpa orang beriman, Allah akan menghapus (dosanya) karena musibah tersebut, bahkan sampai duri yang menusuknya.” (HR. Ahmad, 6/48)

Hadis ini sekaligus menunjukan keistimewaan orang beriman, hingga duri yang menusuk pun sebagai penggugur dosa-dosanya. Tak hanya musibah di dunia yang menghapus dosanya, bahkan ketika di hisab pun Allah memaafkannya.

Baca juga: Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya

Sebagaimana penjelasan sebelumnya, bahwa yang dimaksud hisab yang mudah adalah perhitungan amal secara tidak detail. Lawan dari hisab yang mudah adalah hisab yang ketat (disebut dengan hisaban syadidan dalam surah Aththalaq ayat 8), yakni hisab yang Allah tidak akan melewatkan sekecil apapun suatu amalan yang dikerjakan oleh orang yang durhaka kepada Allah dan kepada rasul-rasul-Nya.

Oleh karena itulah, hendaknya kita mengamalkan doa yang diajarkan Rasulullah:

 اللَّهُمَّ حَاسِبْنِى حِسَاباً يَسِيرًا

“Ya Allah, hisablah aku dengan hisab yang mudah.”

Betapa beruntungnya mereka yang dikaruniai hisab yang mudah. Allah perlihatkan dosa-dosanya, Allah tutup aibnya di dunia, bahkan Allah mengampuni dosanya ketika dihisab kelak hingga dia pun menerima kitab amal kebaikan. Dan itu hanya dirasakan oleh orang yang beriman. Dalam Sahih Bukhari dijelaskan, karunia tersebut tidak diperoleh orang munafik dan kafir, sebab mereka telah mendustakan Tuhan mereka, dan Allah melaknat kezaliman mereka. (HR Bukhari no. 2441)

Wallah a’lam.

Menyoal Fenomena Nyawer Qariah

0
Menyoal Fenomena Nyawer Qariah
Photo by Ashkan Forouzani on Unsplash

Miris. Satu kata yang terucap tatkala menyaksikan tingkah laku aneh masyarakat saat ini. Terbaru yang viral di kalangan pemerhati Alquran adalah peristiwa nyawer qariah. Penulis sendiri mengetahui hal ini melalui feed Twitter Prof. Oman Fathurahman, “Selain tdk patut, nyawer pembaca al-Qur’an, qoriah/qori, bertentangan dg perintah-Nya agar pendengar diam dan menyimak bacaan”.

Penulis kemudian melakukan penelusuran atas postingan tersebut melalui berbagai laman media dan  mendapati satu kasus di Pandeglang, Banten. Seorang qariah bernama Hj. Nadia Hawasyi yang disawer salah seorang “jamaah”. Pembaca sekalian dapat melihat peristiwa selengkapnya pada (1) Full Video❗ Qoriah Hj. Nadia Hawasyi disawer jama’ah di Pandeglang – Banten | Dikecam Ketua MUI❓ – YouTube.

Hingga tulisan ini dibuat, penulis mendapati satu tulisan pada portal tafsiralquran.id berjudul Hukum Membacakan Alquran di Hadapan Orang Banyak yang ditulis oleh Muhammad Nasif. Secara spesifik, tulisan Nasif tersebut lebih menyorot aspek legal formal publikasi bacaan Alquran berikut dengan landasan yang digunakan.

Berbeda dari Nasif, penulis memandang ada masalah lain yang seharusnya menjadi sorotan. Alih-alih hukum publikasi bacaannya, etika berinteraksi dengan Alquran agaknya lebih urgen untuk dibicarakan. Pertimbangannya karena aspek yang “dirusak” dalam peristiwa ini condong pada arah etika, bukan legal formalnya.

Kendati tulisan mengenai etika interaksi Alquran telah banyak dituliskan. Namun, menyuarakannya kembali perlu dilakukan. Hal ini berfungsi sebagai edukasi sekaligus pencegahan terhadap munculnya tindakan serupa mengingat polah tingkah masyarakat saat ini yang gampang memburu “berkah” viral.

Baca juga: Hukum Membacakan Alquran di Hadapan Orang Banyak

Etika interaksi dengan Alquran

Imam Syaraf al-Nawawi dalam Al-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an dan Jalal al-Din al-Suyuthiy dalam Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an menyebutkan begitu banyak etika yang harus dijaga ketika berinteraksi dengan Alquran. Etika-etika tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian besar, etika sebagai pembaca dan etika sebagai pendengar.

Etika bagi pembaca di antaranya menghadap kiblat, kekhusyukan dan ketenangan diri, membaca dengan tadabur dan memahami kandungan yang dibaca, serta menangis atau berpura-pura menangis bagi mereka yang tidak mampu. Sedangkan etika bagi pendengar adalah mendengarkan, tidak berbicara atau pun melakukan sesuatu yang menimbulkan kegaduhan.

Landasan yang digunakan acuan dalam etika-etika tersebut di antaranya adalah surah Shad [38] ayat 29, surah Muhammad [47] ayat 24, dan surah Al-A‘raf [7] ayat 204.

كِتابٌ أَنْزَلْناهُ إِلَيْكَ مُبارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آياتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُوا الْأَلْبابِ

“(Alquran ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Nabi Muhammad) yang penuh berkah supaya mereka menghayati ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.”

أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلى قُلُوبٍ أَقْفالُها

“Tidakkah mereka merenungkan Alquran ataukah hati mereka sudah terkunci?”

وَإِذا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Jika dibacakan Alquran, dengarkanlah (dengan saksama) dan diamlah agar kamu dirahmati.”

Baca juga: Anjuran Menghayati Bacaan Alquran hingga Menangis

Apabila ketiga ayat beserta poin-poin yang disebutkan Imam Nawawi dan Al-Suyuthiy di atas dicermati, agaknya yang menjadi spirit dari keseluruhannya adalah perintah perenungan (tadabbur) Alquran. Perintah (amr) ini kendati tidak berimplikasi pada kewajiban (wujub), tetapi harus dilaksanakan mengingat tujuan yang ingin diraih adalah pemahaman terhadap kandungan di dalam Alquran.

Urgensi pemahaman kandungan ini, menurut penulis, salah satunya dikarenakan efektifitas fungsi hudan (petunjuk) dalam Alquran. Fungsi ini menjadi terhalang hingga tidak dapat diraih secara maksimal manakala proses mendengarkan bacaan Alquran tidak disertai dengan pemahaman yang berdasarkan pada perenungan.

Berpijak pada ulasan ini, peristiwa “nyawer qariahsebagaimana terjadi di Banten tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk perilaku mencederai landasan utama dan dasar pijakan tadabur Alquran. Apakah sampai pada taraf penistaan terhadap Alquran? Penulis belum mampu menjawab sampai pada pertanyaan tersebut. Akan tetapi, melihat redaksi istinbath (penarikan hukum) yang dilakukan Al-Suyuthiy, misalnya, tindakan nyawer qariah tersebut setidaknya diganjar hukum makruh dan atau khilaf al-sunnah (menyalahi sunah). Hal ini mengacu pada redaksi yang digunakan seperti wa yustahabb (dianjurkan), wa tusann (disunahkan), dan yukrah (dimakruhkan).

Oleh karenanya, seperti disebutkan di awal, penulis miris melihat tingkah laku masyarakat saat ini. Jika merujuk pada twit Prof. Oman, menghormati tradisi dan budaya boleh saja dilakukan dengan catatan tidak mengabaikan norma pokok agama yang ada. Apalagi jika hal tersebut dilakukan sekadar demi mendapat “berkah’ viral, na‘udzu billah min syarr dzalik. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Baca juga: Tradisi Membaca Ayat Alquran secara Berulang-ulang

Hukum Membacakan Al-Quran di Hadapan Orang Banyak

0
membacakan al-quran
membacakan al-quran

Baru-baru ini cukup viral berita seorang qariah yang membacakan al-Quran di hadapan orang banyak, kemudian ada 2 orang peserta yang maju memberikan saweran. Tulisan ini akan mengulas tentang hukum meminta orang lain membacakan al-Quran, terutama di hadapan orang banyak. Apakah hal itu ada tuntunannya? Bukankah lebih baik membaca al-Quran sendirian dan meresapi maknanya, daripada membacakan kepada orang lain yang berpeluang pamer? Berikut keterangan selengkapnya:

Meminta orang lain membacakan al-Quran bukanlah sesuatu hal yang baru di dalam sejarah perkembangan Islam. Nabi Muhammad sendiri gemar meminta para sahabat membacakannya al-Quran. Sahabat Ibn Mas’ud bercerita:

قَالَ لِى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « اقْرَأْ عَلَىَّ » . قُلْتُ آقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ قَالَ « فَإِنِّى أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِى » . فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ سُورَةَ النِّسَاءِ حَتَّى بَلَغْتُ ( فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيدًا ) قَالَ « أَمْسِكْ » . فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ

Nabi Muhammad berkata padaku: “Bacakan al-Quran padaku!” “Aku membacakannya pada Engkau padahal dia diturunkan padamu?” balasaku. Nabi kemudian berkata: “Aku senang mendengarkan bacaan al-Qur’an dari selain diriku”. Lalu aku membacakan Surat an-Nisa’ pada beliau. Sampai pada ayat:

فَكَيْفَ اِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ اُمَّةٍۢ بِشَهِيْدٍ وَّجِئْنَا بِكَ عَلٰى هٰٓؤُلَاۤءِ شَهِيْدًاۗ

Bagaimanakah (keadaan manusia kelak pada hari Kiamat) jika Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Nabi Muhammad) sebagai saksi atas mereka?  (QS. An-Nisa’/41).

Baca Juga: Tradisi Santri Pesantren Zainul Hasan Menyambut Nuzul Al Quran

Nabi Muhammad berkata “Berhentilah!”. Lalu aku melihat air mata bercucuran dari kedua mata beliau (HR. Bukhari).

Imam Ibn Bathal menjelaskan, ada dua kemungkinan tentang alasan Nabi meminta orang lain membacakan al-Qur’an padanya. Pertama, agar memperdengarkan al-Qur’an menjadi sebuah kebiasaan; kedua, agar lebih mudah memahami dan meresapi ayat yang dibacakan. Sebab memahami ayat yang dibacakan orang lain akan lebih mudah daripada memahami bacaan sendiri (Syarah Ibn Bathal/19/365).

Prilaku meminta orang lain membacakan al-Quran kemudian berkembang diantara para sahabat, dengan tidak hanya membacakannya di hadapan satu orang, tapi pada beberapa orang. Sahabat Umar ibn Khatab kadang meminta salah satu sahabat membacakan al-Quran di hadapan beliau dan beberapa sahabat yang lain. Sahabat yang membacakan kadang Abu Musa, terkadang ‘Uqbah ibn Amr (Jamiul Ulum/1/344).

Tradisi ini kemudian berkembang lagi di antara para ulama. Dimana mereka gemar membuka setiap majlis pertemuan dengan membacakan hadis Nabi, dan menutupnya dengan mengumandangkan bacaan al-Quran dari qari yang bersuara indah. Di Indonesia sendiri, pembacaan al-Quran dalam majlis pertemuan biasa dilakukan di awal pertemuan (At-Tibyan/91).

Baca Juga: Ruwah: Momentum Pembersihan Hati

Dari berbagai keterangan di atas kita bisa mengambil kesimpulan, membacakan al-Quran di hadapan banyak orang bukanlah sesuatu yang tercela. Bahkan kebiasaan tersebut juga diamalkan oleh para sahabat dan ulama.

Hanya saja yang perlu diperhatikan, tujuan membacakan al-Qur’an di hadapan orang banyak bukanlah sekedar pamer keindahan suara yang menjurus ke hiburan bagi telinga semata, tapi agar al-Qur’an dapat di dengar orang banyak dan diresapi maknanya. Minimal andai masyarakat awam kurang bisa meresapi arti ayat yang dibacakan, mereka akan akrab dengan bacaan al-Qur’an dan tidak merasa asing dengan kitab sucinya sendiri. Wallahu A’lam.

Hamzah Washal dan Hamzah Qatha’

0
Hamzah Qatha' dan Hamzah Washal
Hamzah Qatha' dan Hamzah Washal

Salah satu huruf hijaiyah yang terbagi menjadi dua macam adalah hamzah. Satu bernama hamzah washal, yang lainnya disebut hamzah qatha’. Banyak perbedaan dari keduanya, mulai dari cara bacanya, penulisannya hingga karakter lainnya.

Perbedaan dari kedua hamzah ini yang kemudian menjadi alasan utama untuk mempelajarinya. Perbedaan ini nantinya akan mempengaruhi kebenaran dan kesalahan membaca Alquran.

Sebagai contoh yaitu kesalahan yang sering terjadi saat membaca awal surah Al-Fatihah. Jika sang qari’ (orang yang membaca Alquran) menyambung bacaan ayat pertama ke ayat kedua, membaca:

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ١اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ٢

Bismillahirrahmanirrahimialhamdulillahirabbil‘alamin, maka itu kurang tepat bacaannya. Bacaan yang lebih tepat adalah Bismillahirrahmanirrahimilhamdulillahi rabbil ‘alamin. Ini karena hamzah pada lafaz (alhamdu) adalah hamzah washal.

Penjelasan lebih detail dan contoh-contoh lain tentang kedua macam hamzah ini sebagaikan dijelaskan berikut.

Baca Juga: Mengenal 8 Huruf HijaiyahTambahan dalam Ilmu Tajwid

Hamzah Qatha’ (هَمْزَةُ الْقَطْعِ)

Hamzah qatha’ adalah huruf hamzah yang ditetapkan/dibaca pada saat memulai bacaan (ibtida), menyambung bacaan (washal) dan penulisannya (khat). (Ghayatul Murid fi ‘ilmit-Tajwid/278). Penamaan hamzah qatha karena memutus huruf satu dengan lainnya saat ia diucapkan.

Jadi, Hamzah qatha’ adalah hamzah yang selamanya dibaca (berharakat). Penulisannya juga dapat ditulis di awal, di tengah maupun di akhir sebuah kata.

Namun demikian, ada perbedaan penulisan hamzah qatha’ pada mushaf terbitan Timur Tengah dan mushaf terbitan Indonesia. Ciri-ciri penulisan pada mushaf Timur Tengah tercetak dengan ada tanda baca kepala ain’ kecil (ء أ إ), sedangkan pada mushaf terbitan Indonesia tercetak dengan ada harakat (  ُ ِ َ) fathah/kasrah/dammah di atas atau di bawah alif (اَ  اِ اُ). (Metode Maisura/43).

Berikut ini beberapa contoh hamzah qatha’ dalam potongan ayat Alquran, termasuk juga bentuk penulisannya di berbagai tempat (di awal, di tengah dan di akhir) kata.

  1. Hamzah Qatha’ di awal kata
No Harakat Contoh Surah dan Ayat
1. Fathah اَلْهٰىكُمُ التَّكَاثُرُ At-Takasur: 1
2. Kasrah إِنَّا Al-Kautsar: 1
3. Dhammah أُوتُوا Al-Baqarah: 101

2. Hamzah qatha’ di tengah kata

No Harakat Contoh Surah dan Ayat
1. Fathah قُرْءَاناً Yusuf: 2
2. Kasrah سُئِلَتْ At-Takwir: 7
3. Dhammah الْمَوْءُودَةُ At- Takwir: 7
4. Sukun بِئْرٍ Al-Hajj: 45

3. Hamzah qatha’ di akhir kata

No Harakat Contoh Surah dan Ayat
1. Fathah  مَنْ جَاءَ Al-An’am: 160
2. Kasrah قُرُوءٍ Al-Baqarah: 228
3. Dhammah يَسْتَهْزِئُ Al-Baqarah: 15
4. Sukun إنْ نَشَأْ Asy-Syu’ara: 3

Baca Juga: Pengertian dan Macam-Macam Shifatul Huruf dalam Ilmu Tajwid

Hamzah Washal (هَمْزَةُ الْوَصْلِ)

Hamzah washal adalah Hamzah tambahan pada awal kata yang tetap dibaca (berharakat) ketika ibtida (memulai bacaan) dan gugur (tidak dibaca, secara bacaan dianggap tidak ada) saat ada di tengah kata. (at-Tajwidul-Muyassar/145)

Jadi, hamzah washal hanya berada di awal kata, bentuknya seperti alif, terbaca ketika ada di permulaan kata, namun lebur (tidak dibaca) ketika berada di tengah kalimat.

Untuk mengetahui hamzah washal pada mushaf terbitan Timur Tengah, ia tercetak dengan tanda baca kepala huruf sad kecil berekor (ٱ), misalnya pada lafadz:

ٱلْحَمْدُ لِلَّٰهِ رَبِّ ٱلْعَالَمِينَ

Sedangkan pada mushaf terbitan Indonesia tercetak dengan ada harakat fathah/kasrah/dammah ( اَ اِ اُ ) , sebagai contoh:

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ

Setelah mengetahui kedua jenis hamzah di atas dapat disimpulkan bahwa keduanya memiliki perbedaan. Adapun perbedaan hamzah qatha’ dan hamzah washal adalah sebagai berikut:

  • Hamzah washal hanya berada di awal kata, dan hanya dibaca ketika berada di awal kalimat.
  • Hamzah qatha’ bisa berada didepan, tengah, maupun akhir kata, dan bisa juga dibaca di mana pun ia berada.
  • Penulisan hamzah washal dan qatha’ pada mushaf terbitan Indonesia tercetak dengan harakat
  • Adapun pada mushaf terbitan Timur Tengah, tercetak dengan tanda kepala ain kecil untuk hamzah qatha’, dan kepala sad berekor untuk hamzah washal. Wallahu a’lam

Tafsir Surah Ad-Duha Ayat 11 dan Surah Yusuf Ayat 5

0
tafsir surah ad-Duha ayat 11 dan surah Yusuf ayat 5
tafsir surah ad-Duha ayat 11 dan surah Yusuf ayat 5

Tahadduts bi an-ni’mah (menceritakan nikmat yang Allah berikan) sepertinya sudah dianggap sebagai anjuran dalam bersosial yang berlaku umum di masyarakat. Menariknya, dalam Alquran ada perintah lain berkaitan dengan nikmat yang secara sekilas bertentangan dengan anjuran tersebut. Di surah Ad-Duha ayat 11, Alquran memerintahkan tahadduts bi an-ni’mah. Di sisi lain, surah Yusuf ayat 5, Alquran seakan melarang untuk menceritakan nikmat.

Perintah menceritakan nikmat

Perintah menceritakan nikmat atau lebih masyhur dengan sebutan tahadduts bi an-ni’mah terdapat dalam surah ad-Duha ayat 11:

وأمّا بِنِعْمَةِ رَبّكَ فَحَدّثْ

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu sebutkan”. (QS. ad-Dhuha: 11)

Al-Qurthubi menjelaskan, pihak yang menjadi obyek pembicaraan (mukhathab) dalam ayat ini adalah Nabi Muhammad, namun hukumnya menyasar manusia secara umum. (Tafsir al-Qurthubi, 20/102)

Kisah tentang Abu Firas Abdullah bin Ghalib menegaskan tentang contoh tahadduts bin ni’mah ini. Syahdan di suatu pagi, dia berkata, “Semalam Allah telah memberikan karunia-Nya kepadaku. Aku membaca (al-Qur’an), Shalat sekian rakaat, berdzikir kepada Allah sekian waktu, dan aku melakukan ini itu.”

Mendengar itu, seorang sahabatnya mengatakan, “Wahai Abu Firas, orang seperti Anda seharusnya tidak mengatakan itu.” Abu Firas menjawab, “Allah memerintahkan agar manusia ber-tahadduts bin-ni’mah, sedangkan kamu melarangnya.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/102).

Akan tetapi, Syaikh Wahbah az-Zuhaily dalam at-Tafsir al-Munir saat menafsirkan surah ad-Dhuha ayat 11, beliau menyampaikan kekhawatirannya tentang fitnah dan ‘ujub (memuji diri sendiri sendiri) yang akan timbul dari tahadduts bi an-ni’mah. Oleh karena itu, menurutnya nikmat yang diperoleh oleh seseorang itu lebih baik tidak perlu diceritakan ke orang lain.

Mufasir yang lain, sebut saja Syaikh Abdurrahman As-Sa’di. Dalam tafsirnya beliau menulis, “Pujilah Allah atas kenikmatan agama dan kenikmatan dunia. Sebutlah jenis kenikmatan itu jika di dalamnya terdapat maslahat. Jika tidak, maka sebutlah nikmat-nikmat Allah secara umum.”

Baca Juga: Tahadduts bi al-Ni’mah sebagai Ekspresi Rasa Syukur

Perintah untu tidak menceritakan nikmat

Adapun perintah untuk tidak menceritakan nikmat terdapat dalam surah Yusuf ayat 5,

قَالَ يٰبُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُءْيَاكَ عَلٰٓى اِخْوَتِكَ فَيَكِيْدُوْا لَكَ كَيْدًا ۗاِنَّ الشَّيْطٰنَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Dia (ayahnya) berkata, “Wahai anakku! Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu. Sungguh, setan itu musuh yang jelas bagi manusia.” (Q.S. Yusuf ayat 5)

Imam al-Razi dalam tafsirnya menjelaskan, sebelum Nabi Yusuf menceritakan perihal mimpi tersebut, Nabi Ya’qub sudah mengetahui adanya gelagat rasa iri dari anak-anaknya yang lain terhadap Nabi Yusuf. Oleh karena itu Nabi Ya’qub mengetahui, hal terbaik yang bisa beliau sarankan kepada Nabi Yusuf adalah dengan menyembunyikan mimpi tersebut.

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa firman Allah di atas mengisyaratkan kebolehan menyembunyikan nikmat. Hal ini dikhawatirkan memicu dengki dan kebencian seseorang. Cara paling aman agar terhindar dari kedengkian seseorang adalah menyembunyikan nikmat yang diperolehnya. (Fatawa Ibnu Taimiyah: 18/15).

Penjelasan

Tahadduts bi an-ni’mah (menceritakan nikmat) dalam kitab Firdaus an-Na’im harus memenuhi tiga syarat, yaitu (1) apabila bertujuan untuk bersyukur, (2) apabila bertujuan agar ditiru oleh orang lain, dan (3) apabila selamat dari rasa sombong.

Dalam Tafsir Mujahid, yang dimaksud tahadduts bi an-ni’mah yaitu sebuah amal yang dilakukan seseorang kemudian dia menceritakannya terhadap saudara yang dipercaya dengan tujuan dia mampu meniru dan melakukan hal serupa.

Tentunya, tahadduts bi an-ni’mah ini memiliki batasan. Ia tidak sama dengan riya’. Apabila ingin dipuji manusia, maka termasuk riya’, kalau ingin bersyukur pada Allah dan ingin ditambah nikmatnya, maka termasuk tahaduts bi an-ni’mah.

Artinya, inti dari menceritakan nikmat di sini adalah manifestasi dari rasa syukur. Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum ad-Din, tujuan menceritakan nikmat tidak lain adalah untuk menunjukan rasa syukur dan memotivasi orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Lantas apa hubungannya tahadduts bin ni’mah dalam surah adh-Dhuha dengan surah Yusuf ayat 5? Surah Yusuf ayat 5 mengingatkan bahaya hasad (dengki), yang faktornya dilatarbelakangi oleh menampakan nikmat dan menceritakannya yang dikhawatirkan menumbuhkan hasad.

Satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dan Abu Nu’aim juga berkaitan dengan kehati-hatian dalam menceritakan pencapaian seseorang. Hadis ini juga dikutip oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya.

اِسْتَعِيْنُوْا عَلَى قَضَاءِ الْحَوَائِجِ بِكِتْمَانِهَا، فَإِنَّ كُلَّ ذِيْ نِعْمَةٍ مَحْسُوْدٌ

“Berusahalah memperoleh kebutuhanmu dengan cara menyembunyikannya. Sesungguhnya setiap nikmat memiliki pendengkinya tersendiri.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir No. 183)

Membaca dua pendapat dan argumen yang berbeda seperti disinggung di awal, barangkali tidak ada pertentangan antara pesan keduanya. Yang pertama, perintah menceritakan nikmat tentu sebagai wujud syukur dengan syarat tanpa ada rasa kesombongan. Artinya, menampakan nikmat tentu dibolehkan, selama niatnya benar dalam rangka bersyukur dan memotivasi orang lain.

Kedua, menyembunyikan nikmat sebagai cara aman dari efek buruk menampakkannya. Beberapa ulama mengingatkan kita agar berhati-hati dari dampak buruk menampakkan nikmat, sehingga beberapa dari mereka lebih menyarankan untuk menyembunyikan nikmat, sebagaimana hikmah dari kisah Nabi Yusuf dan sudara-saudaranya.

Baca Juga: Penegasan Alquran Terkait Perbedaan antara Pamer dan Tahadduts bin Ni’mah

Kesimpulan dari diskusi tahadduts bi an-ni’mah adalah kembali pada niat. Hal itu boleh dilkakukan dengan segala batasan-batasan yang telah disebutkan. Batasan dan aturan ini diperlukan untuk terhindar dari riya’ dan ujub, dan hal lain yang tidak dinginkan, misal iri dan dengki dari orang lain.

Bila tahadduts bi an-ni’mah dirasa bisa mendatangkan maslahat, maka silakan dilakukan. Namun jika malah menghadirkan mafsadat, maka lebih baik berhati-hati, tidak tahadduts bi an-ni’mah sepertinya menjadi pilihan yang lebih aman. Wallah a’lam

Nasihat Memberikah Upah Pekerja dalam Al-Quran

0
Upah Pekerja
Upah Pekerja

Memperoleh upah ialah tujuan dari seseorang melakukan pekerjaan. Upah menjadi peran yang penting dalam hubungan tersebut, pentingnya mekanisme pengupahan tersebut yang kemudian membuat pemerintah turut memberikan berbagai kebijakan yang dituankan dalam perundang-undangan. Teknis upah pekerja sudah diatur dalam PP. No 78  Tahun 2015, yang dalam pasal 18 ayat 1 menyebutkan, pengusahan wajib membayar upah pada waktu yang telah diperjanjikan antara pengusaha dengan pekerja.

Dalam perjalanannya upah mempunyai yang sangat sensitif terhadap pendorong bagi pekerja untuk lebih produktif dalam bekerja. Tidak hanya itu keberadaan juga bisa menjadi problematika apabila yang didapat oleh pekerja tidak sesuai.

Upah dalam Perspektif Agama Islam merupakan imbalan (compensation) yang diperoleh seseorang melalui pekerjaan yang ada nilai manfaat didalamnya, bentuk imbalan bisa berbentuk maeteri didunia dan juga dalam bentuk imbalan pahala di akhirat kelak. Islam memaknai upah lebih luas tidak hanya mencakup duniawi dan ukhrawi.

Menjelaskan Jenis Pekerjaan Sebelum Memberikan Upah

Jika pada kajian muamalah proses terjadinya transaksi diantara barang dan alat pembayaran (uang) dikenal dengan istilah saman/harga. Sedangkan jika yang terjadi antara jasa atau tenaga manusia dan uang dikenal dengan istilah ujrah/upah. Mereka yang telah melakukan suatu pekerjaan atau profesi tertentu sejatinya telah melakukan transaksi jasa yang diberikan yang megharapkan ujrah didalamnya.

Baca Juga: Ketika Allah Mengajarkan Nabi Daud tentang Kepemimpinan

Pada perjalannya banyak sekali fenomena yang terkadang pekerja/buruh merasa dirugikan dikarenakan pemberian upah pekerja yang kurang sesuai dengan apa yang telah diusahakan. Pada kasus seperti ini yang dapat memperburuk kondisi hubungan antara pengusaha dan pekerjanya. Alangkah lebih baiknya jika jenis pekerjaan dan ringan atau tidaknya pekerjaan tersebut dan ketentuan-ketentuan lain dapat disampaikan diawal agar tidak terjadi gesekan dan perselisihan dikemudian hari

Salah satu nasihat sebelum mempekerjakan seseorang dan memberikan upah Alquran dalam Surah Al-Qashash ayat 26 menjelaskan bahwasannya, Allah Swt berfirman;

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَاأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ  (٢٦)

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”

Ayat diatas mengandung cerita tentang nabi Musa didalamnya, dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwasannya ketika anak perempuan memberikan usul kepada ayahnya agar memekerjakan ia (nabi Musa) untuk menggembalakan ternak kambing mereka.

Kemudian, wanita tersebut juga mengatakan “sesungguhnya orang yang paling yang kamu ambil untuk berkerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dipercaya”. Setelah itu muncul pertanyaan dari ayahnya bahwasannya “Apakah yang mendorongmu menilainya seperti itu?”. Wanita tersebut menjawab “sesungguhnya ia dapat mengangkat batu besar yang tidak dapat diangkat kecuali oleh 10 orang laki-laki”. ( Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6). Dari hal tersebut terlihat bahwasannya tedapat anjuran agar memberikan penjelasan terkait jenis pekerjaan terlebih dahulu sebelum mempekerjakan orang lain, dengan adanya kejelasan kerja dan nilai manfaatnya maka akan diketahui nilai ujrah yang diberikan.

Mekanisme Pengupahan Dalam QS. Al-Qashash Ayat 27

Agama Islam dalam mekanisme pemberian upah pekerja, tidak memperkenankan diskriminasi, upah yang diperoleh harus sesuai dengan usaha dan nilai manfaat didalamnya juga benar tidak bertentangan dengan ketentuan syariah.

Salah satu nasihat mekanisme upah, Allah jelaskan dalam QS. Al-Qashash ayat 27,

قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَۖ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَۚ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ  (٢٧)

“Berkatalah dia (Syu’aib), sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.”

Dalam buku Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, Azhari Akmal Tarigan menggambarkan bahwasannya kata ta’jurani dapat dimaknai sebagai “engkau mengmbil upah”. Ketika bekerja nabi Syuaib mengisyaratkan memberikan kontrak kepada Musa bisa 8 tahun atau bisa juga 10 Tahun. Kemudian kata wa ma uridu an asyuqqa ‘alaika menandakan tidak ada paksaan dalam bekerja, maksudnya ialah bentuk pekerjaan dan upah tidak boleh memberatkan bagi pekerja, serta harus ada kerelaan atas apa yang diperjanjikan.

Atas dasar hal diatas terlihat bahwasannya tidak hanya pekerjaan yang disoroti ketidakbolehan memberatkannya tetapi juga upah, hal ini berarti mekanisme pengupahan harus proposional sesuai dengan nilai jasa dan manfaat atas pekerjaan yang dilakukan. Selain itu juga dianjurkan agar rela.

Baca Juga: Beberapa Makna ‘Kufr’ dalam Alquran

Penelitian dari Armansyah Waliam tentang Upah Berkeadilan ditinjau dari Hukum Islam bahwasannya menjelaskan kegiatan muamamalah dalam agama Islam harus jelas disetiap transaksinya, termasuk dalam konteks kerja dan upah. Mulai dari pekerjaan yang diberikan, waktu atau durasi pekerjaan, serta jumlah upah yang diterima pekerja (QS. Al-Qashash; 26-27).

Kesesuaian pengupahan pada dasarnya ialah upah akan diperoleh berdasarkan jenis dan tanggungjawab pekerjaannya. Disatu sisi para pekerja perlu melihat keadaan perusahaan, sebab menjadi tidak baik ketika menuntut sesuatu ke pihak lain yang melebihi kemampuannya

Yusuf Qardhawi pun mengatakan, sesungguhnya pekerja hanya punya hak upah jikalau telah menyelesaikan pekerjaan sesuai yang ada pada kesepakatan, karena setiap yang menjalani perikatan akan terikat dengan syarat-syarat yang ada antar mereka, terkecuali syarat yang mengaramkan yang halal dan sebaliknya. Oleh karena itu pekerja dengan profesi apapun berhak atas upah setalah melakukan pekerjaan, dan sebaliknya pengusaha atau perusahaan berkewajiban membayarnya. Wallahu A’lam.

Mengenal Hasyiah al-Shawi, Kitab Penjelas Tafsir al-Jalalain

0
Mengenal Hasyiah al-Shawi, Kitab Penjelas Tafsir al-Jalalain
Kitab Hasyiah al-Shawi.

Tafsir al-Jalalain ditulis oleh dua orang Jalal al-Din, yaitu al-Mahalli dan al-Suyuthi. Keduanya memiliki hubungan guru dan murid. Al-Mahalli adalah gurunya dan al-Suyuthi adalah muridnya. Al-Mahalli memulai penafsiran pada Al-Kahfi sampai dengan An-Nas ditambah dengan Al-Fatihah. Sementara al-Suyuthi memulai dari Al-Baqarah sampai dengan Al-Isra. Dalam menulisnya, al-Suyuthi mengikuti metode yang diterapkan oleh al-Mahalli dengan corak yang ringkas, padat, juga dengan beberapa penjelasan kebahasaan. Kitab tafsir ini banyak digunakan di pesantren dan perguruan tinggi keislaman dan dipandang sebagai tafsir dengan corak ijazi (singkat) dan menjadi tafsir pendahuluan sebelum mempelajari tafsir yang lain.  

Tafsir ini telah banyak diberi syarah atau hasyiah oleh beberapa ulama setelahnya. Penjelasan tafsir ditulis oleh al-Karkhi al-Bakri, (w. 1006 H) dalam Majma’ al-Bahrain wa Mathla’ al-Badrainala Tafsir al-Jalalain, al-Azhary al-Jamal (w. 1204 H) dalam Al-Futuhat al-Ilahiyah bi Taudhih al-Jalalain li al-Daqaiq al-Khafiyah, Ahmad bin Muhammad as-Shawi (w. 1241 H) dalam Hasyiah al-Shawi ala al-Jalalain, Usman Jalaluddin al-Kalantani (1880-1952) dalam Anwar al-Huda wa Amthar al-Nada, dan Muhammad Ahmad Kan’an al-Qadhi dalam Qurrah al-Ainain ala Tafsir al-Jalalain. Dari beberapa kitab ini, yang cukup populer di Indonesia adalah karya al-Shawi. Namun, kalau ditelusuri lebih lanjut, akan muncul kitab-kitab lain atau hasil penelitian terhadap kitab ini.  

Baca juga: Tafsir Jalalain dan Sederet Fakta Penting Tentangnya

Latar Belakang Penulisan 

Al-Shawi memiliki nama lengkap Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Misri al-Khalwati, lahir pada 1175 H/1761 M di pinggiran Mesir (Sa’ al-Hijr) dan wafat pada tahun 1241 H/1852 M). Beliau adalah pemimpin ulama al-Azhar yang bermazhab Maliki juga penganut tarekat al-Khalwatiyah. Al-Shawi merupakan ulama yang memiliki banyak karya di bidang fikih, akidah, tafsir, hadis, dan tasawuf.  

Tafsir al-Jalalain dijelaskan oleh beberapa ulama, termasuk salah satunya adalah al-Shawi. Nuansa penafsiran al-Shawi ada yang sama penjelasannya dengan penulis lain dan ada pula yang berbeda. Struktur kebahasaan dibahas oleh al-Shawi berikut dengan beberapa makna istilah yang terkandung di dalamnya. Kitab penjelasan yang ditulisnya tidak bisa dilepaskan dari Syaikh Sulaiman al-Jamal, penyusun penjelasan tafsir al-Jalalain, yang dikenal kitabnya dengan sebutan Hasyiyah al-Jamal. 

Menurutnya, Tafsir al-Jalalain merupakan produk tafsir yang agung dan tinggi derajatnya. Di dalamnya terkumpul beragam makna yang dapat dipelajari dan dianalisis oleh para ahli ilmu. Suatu saat, al-Shawi merasakan adanya dorongan Ilahi untuk menyibukkan diri dalam mempelajarinya sesuai dengan daya kemampuannya. Begitu pun, ia menulis secara ringkas penjelasan dari gurunya, Syaikh Sulaiman al-Jamal, dengan tambahan penjelasan.  

Dalam menulis kitabnya, al-Shawi juga merujuk pada ragam kitab tafsir, yang ia sebut sekitar 20 kitab, seperti al-Baidhawi, hasyiyah al-Baidhawi, al-Khazin, al-Khathib, al-Samin, Abu al-Su’ud, al-Kawayi, al-Bahr, al-Nahr, al-Saqiyah, al-Qurthubi, al-Kasysyaf, Ibn Athiyah, al-Tahbir, dan al-Itqan. Dalam penulisannya, al-Shawi secara umum tidak menghubungkan dengan pemahaman-pemahaman lain dari penyusunnya melainkan sesuai dengan yang dijelaskan oleh penulis yang disebutkan tadi.  

Dalam penulisannya, al-Shawi cukup teliti. Al-Shawi melakukan verifikasi isi kitabnya dari awal sampai akhir sebanyak dua kali. Verifikasi dilakukan terhadap Syaikh Sulaiman al-Jamal, Syaikh Ahmad al-Dardiri, dan Syaikh al-Amir. Beberapa ulama ini dihubungkan dengan keilmuannya dengan al-Hafnawi dan Syaikh al-Sha’idi al-‘Adawi. Syaikh al-Hafnawi dihubungkan dengan Syaikh al-Budairi al-Dimyathi, dari Syaikh ‘Ali al-Syibramalisi, dari Syaikh al-Halabi, dari Syaikh ‘Ali al-Ajhuri, dari Syaikh al-Burhan al-‘Alqami, dari saudaranya yaitu Syaikh Muhammad al-‘Alqami, dari al-Imam al-Suyuthi.  

Rangkaian garis keilmuan ini menunjukkan kredibilitas dan ketelitian al-Shawi dalam menyusun kitab tafsir yang memiliki sanad ilmu sampai pada penulis awal, yaitu al-Imam al-Suyuthi.  

Baca juga: Alasan Tafsir Jalalain Jadi Tafsir Favorit di Pesantren

Corak Penafsiran al-Shawi 

Dalam menjelaskan maksud ayat, al-Shawi menerapkan beragam disiplin ilmu. Dalam kitabnya, dapat ditemukan usul fikih, fikih, nahu, saraf, dan qiraat. Selain itu, penjelasan dengan pendekatan sufistik juga tampak, berhubungan al-Shawi sebagai sufi dan penganut tarekat al-Khalwatiyah. Beragam pendekatan disiplin ilmu yang digunakan menunjukan bahwa al-Shawi termasuk ulama yang menguasai banyak disiplin ilmu.  

Memperhatikan beragam pendekatan ini, al-Shawi cenderung menggunakan metode tahlili. Beliau menjelaskan makna Alquran dengan berbagai aspek yang berkaitan dengannya dan juga dengan penggunaan ragam ilmu yang dikuasainya. Namun, ia tetap merujuk pada urutan mushaf Utsmani.  

Penjelasan terhadap teks Alquran, al-Shawi memulainya dengan uraian kebahasaan terutama dari aspek nahu, saraf, dan maknanya. Contohnya dalam menjelaskan teks tentang penunjukkan tempat, misalnya hadzihi al-qaryah, al-Shawi turut menjelaskan posisi geografis dengan mengutip ragam pendapat dari Mujahid dan Ibnu ‘Abbas. Begitu pula, ia merujuk pada Tafsir al-Khazin 

Dalam menyebutkan ulama yang pemikirannya dikutip, al-Shawi sering tidak menyebutkan nama aslinya. Yang disebutkan adalah gelar seperti al-‘arif, al-mufassir, dan sebagainya. 

Penjelasannya tidak semata-mata hasil pemikirannya. Al-Shawi menyandarkan pada hadis, pendapat sahabat, dan tabiin. Penjelasannya dapat dipandang pula bersentuhan dengan tafsir bi al-ra’y, karena al-Shawi menjelaskan ayat sesuai dengan keilmuan dan pemahamannya meskipun tetap memperhatikan pendapat yang dianggap paling sahih pada ilmu nahu, sharaf, i’rab, dan perbedaan bacaan Alquran. Wallahu a’lam. 

Baca juga: Menelusuri Jejak Tafsir ‘Faidl al-Rahman’ Kiai Sholeh Darat