Beranda blog Halaman 91

Tafsir Ahkam: Sumber Dana Perawatan Jenazah

0
Biaya perawatan jenazah
Sumber dana perawatan jenazah

Dalam proses pemakaman seorang muslim, pemerintah hanya memfalitasi warga negaranya dengan petugas pendamping atau biasa dikenal modin. Pemerintah tidak memfalitasi penyediaan kafan serta keperluan perawatan jenazah lainnya yang cukup menyedot banyak biaya. Lalu, sebenarnya siapa yang bertanggung jawab atas segala keperluan perawatan jenazah? Apakah pemerintah yang harus menanggung semua biaya perawatan jenazah, kerabat yang merawat jenazah, atau malah diri jenazah sendiri? Berikut keterangan selengkapnya.

Sumber dana perawatan jenazah

Saat menguraikan tafsir surah Ali Imran ayat 185, Imam al-Qurthubi menjelaskan ulama sepakat bahwa mengafani jenazah hukumnya wajib. al-Qurthubi juga menerangan skema orang yang bertanggung jawab atas pembiayaan perawatan seorang jenazah.

Pertama, apabila si jenazah memiliki harta, maka biaya jenazah diambilkan dari hartanya sendiri. Kedua, apabila si jenazah tidak memiliki harta, maka yang menanggung biaya adalah orang yang berkewajiban menafkahinya, semisal orang tua bila anaknya meninggal, atau anak si jenazah apabila si jenazah adalah manula yang tidak sanggup bekerja. Ketiga, apabila si jenazah tidak memiliki harta atau orang yang menafkahi, maka biaya dibebankan pada kas umat muslim (baitul mal). Keempat, bila tidak tersedia, maka menjadi kewajiban umat muslim secara umum (Tafsir al-Qurthubi/4/299).

Baca juga: Pandangan al-Qurthubi tentang Hukum Memandikan Jenazah

Bagaimana bisa sumber dana pertama justru harta si jenazah sendiri dan bukan pemerintah atau kerabat yang mungkin kelak menjadi ahli waris? Ulama menentukan dana perawatan si jenazah pada harta pribadi si jenazah sendiri, berdasarkan hadis yang diriwayatkan Ibn Abbas:

بَيْنَمَا رَجُلٌ وَاقِفٌ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَةَ إذْ وَقَعَ عَنْ رَاحِلَتِهِ فَوَقَصَتْهُ ، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ

“Ada seorang lelaki yang melakukan wukuf bersamaan Nabi melakukan wukuf di Arafah. Lelaki itu tiba-tiba jatuh dari tunggangannya dan meninggal. Hal itu dikabarkan pada Nabi. Lalu Nabi bersabda: “mandikanlah dia dengan air dan daun bidara. Dan kafani dia dengan dua bajunya” (HR. Bukhari, Muslim, dan selainnya).” (al-Bayan/3/39)

Dalam Nailul Authar, Imam al-Syaukani mengutip penjelasan Ibn Mundzir, bahwa hadis ini menunjukkan sumber pertama dalam dana perawatan jenazah adalah harta milik si jenazah itu sendiri. Yaitu harta yang masih utuh dan belum dikurangi hutang yang mungkin ditanggung atau terbagi atas pembagian warisan yang ada. Dalam hadis di atas, harta tersebut berupa 2 baju yang dikenakan jenazah. Sebab, andai sumber dana pertama bukan murni milik si jenazah dan membutuhkan persetujuan pemiliknya, pasti sebelum Nabi memerintahkan agar menjadikan 2 baju orang tersebut menjadi kafan, tentu terlebih dahulu akan menanyakan si jenazah punya hutang atau tidak. (Nail al-Authar/6/157)

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Mengumumkan Berita Kematian

Imam al-Nawawi menjelaskan, penggunakan harta peninggalan jenazah untuk kebutuhan perawatan jenazahnya, harus didahulukan dari kebutuhan menutup hutang si jenazah. Entah apakah dia orang miskin atau kaya. Hal ini mencakup kebutuhan mebeli kain kafan, biaya mengubur, dan lain sebagainya.

Selain itu, andai sebagian ahli waris meminta agar biaya di tanggung oleh harta pribadinya, dan sebagian lain meminta agar biaya diambilkan dari tirkah atau harta peninggalan jenazah, maka hendaknya tetap diambilkan dari harta tirkah. Tujuannya agar tidak menjadi pemicu masalah di antara para ahli waris di kemudian hari (al-Majmu’/5/189)

Kesimpulan

Dari berbagai keterangan di atas dapat diambil pemahaman, bahwa sebenarnya biaya perawatan jenazah tetaplah menjadi tanggung jawab jenazah sendiri. Pada praktiknya, biaya tersebut diambilkan dari harta yang ditinggalka, meskipun sebenarnya jenazah tidak patut disebut bertanggung jawab sebab tidak lagi bernyawa.

Hal ini mengajarkan pada kita untuk tidak menjadi beban hidup orang lain meski sudah meninggal. Selama dirinya masih bisa berusaha untuk merawat dirinya sendiri, maka hendaknya dia mengurus dirinya sendiri. Bahkan kalau bisa, meninggalkan jasa-jasa yang menguntungkan orang lain meski dirinya sudah meninggal. Wallahu a’lam.

Ilmu Qiraah dan Tahfiz Alquran di Pesantren At-Thohiriyah Pelamunan 

0
Ilmu Qiraah dan Tahfiz Alquran di Pesantren At-Thohiriyah Pelamunan 
Pesantren At-Thohiriyah Pelamunan (Sumber: Kobong Pesantren)

Sanad merupakan hal yang vital dalam transmisi ilmu di pesantren. Sanusi dalam tulisannya yang berjudul “Transfer Ilmu di Pesantren”—dimuat dalam Jurnal Ta’lim 11 (1) tahun 2013—mengemukakan bahwa sanad adalah bentuk pertanggungjawaban dan kewenangan transfer ilmu yang valid, yang memberikan kejelasan tentang silsilah suatu ilmu. 

Setiap ilmu yang diajarkan di pesantren, khususnya pesantren berbasis salafiyah atau tradisional, memerlukan sanad yang jelas dan tepercaya. Termasuk dalam ilmu-ilmu tersebut yaitu ilmu qiraah—ilmu baca Alquran—dan tahfiz Alquran. 

Di Desa Pelamunan, Kabupaten Serang, Banten, terdapat Pondok Pesantren Moderat At-Thohiriyah; sebuah pondok pesantren yang melahirkan ahli-ahli qiraah serta memiliki pengkhususan dalam tahfiz Alquran. Pesantren tersebut didirikan oleh K.H. Muhammad Thohir sekitar tahun 1929; dan termasuk salah satu pesantren tertua di Banten. 

Sebenarnya, At-Thohiriyah bukanlah satu-satunya pesantren di wilayah Pelamunan yang mewarisi keilmuan dan meneruskan perjuangan K.H. Muhammad Thohir. Masih ada sekitar 12-an pesantren lain. Salah satunya yaitu Pondok Pesantren Madaarijul ‘Ulum. Namun, karena keterbatasan ruang, tulisan ini hanya berfokus pada At-Thohiriyah. 

KH Muhammad Thohir merupakan murid dari Syekh Tubagus Ma’mun. Nama yang disebut belakangan adalah seorang ulama Alquran asal Serang, Banten, yang lahir pada tahun 1872 dan wafat pada tahun 1928. Syekh Ma’mun dilahirkan di Serang, Banten, tetapi sejak bayi dibawa ayahnya—yaitu Tubagus Rafiuddin—untuk tinggal di Makkah. 

Selama tinggal di Makkah, Syekh Ma’mun belajar berbagai cabang ilmu agama Islam, termasuk ilmu-ilmu Alquran. Beliau merupakan orang yang cerdas, sehingga mampu menghafalkan 30 juz Alquran beserta qiraat sab’ah-nya pada usia kira-kira 19 tahun. Seiring berjalannya waktu, kealiman Syekh Ma’mun diakui oleh para ulama dan masyarakat Makkah pada waktu itu. 

Pengakuan akan keilmuan Syekh Ma’mun ketika berada di Makkah dibuktikan di antaranya dengan penunjukkan beliau sebagai imam salat tarawih di Masjidil Haram serta keberadaan majelis pengajian di Qusyaisyiyyah yang beliau isi dengan materi khusus Alquran dan qiraahnya. 

Setelah kembali ke Nusantara pada tahun 1914, Syekh Ma’mun menjadi tujuan bagi para pencari ilmu. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya para murid yang berasal dari luar Banten; dari Jakarta, Bogor, Garut, Bandung, Sukabumi, Cirebon, Brebes, Semarang, Pasuruan, Palembang, bahkan dari Makkah. 

Baca juga: Tradisi Santri Pesantren Zainul Hasan Menyambut Nuzul Al Quran

Program dan skema pembelajaran  

KH Muhammad Thohir—sebagai murid dari Syekh Ma’mun—dikenal sebagai ahli ilmu qiraah. Di pesantren yang didirikannya, diajarkan ilmu tajwid, Alquran binnadhar—membaca Alquran di hadapan guru, dan beberapa kitab tafsir seperti Tafsir Jalalain dan Tafsir Marah Labid; di samping ilmu-ilmu nahu saraf dan fikih. 

Program pengkhususan tahfiz Alquran di At-Thohiriyah dimulai pada era 1990-an. Pada masa itu, program tersebut ditujukan bagi santri putri saja. Dalam perkembangannya, serta dalam rangka menjawab tantang zaman, At-Thohiriyah mendirikan SMP Plus 30 Juz pada tahun 2019 serta SMK Plus 30 Juz pada tahun 2021; yang ditujukan bagi santri putri maupun putra. 

Santri-santri yang belajar di At-Thohiriyah dapat mengikuti program pengkhususan tahfiz Alquran jika yang bersangkutan memiliki keinginan yang kuat untuk menghafal Alquran. Skema lainnya yaitu jalur para santri yang menjadi siswa-siswi SMP dan SMK yang dikelola At-Thohiriyah. 

Setelah satu tahun mereka belajar di SMP atau SMK tersebut, para santri itu akan mendapatkan asesmen dalam hal kemampuan mereka untuk menghafal Alquran. Mereka yang dianggap mampu untuk menghafal Alquran sambil belajar di sekolah formalnya, maka akan dimasukkan ke dalam program pengkhususan Alquran. 

Baca juga: Tafsir Alquran Aksara Pegon yang Dikenal dalam Tradisi Tafsir Pesantren

Sanad keilmuan   

Sanad ilmu qiraah di At-Thohiriyah terutama memang dari Syekh Ma’mun melalui jalur K.H. Muhammad Thohir. Selain itu, sanad dari Syekh Ma’mun di At-Thohiriyah juga mengalir melalui Hj. Ratu Rodhatul Farihah, cicit Syekh Ma’mun yang dinikahi K.H. Ahmad Ulfi Zaini Thohir—cucu K.H. Muhammad Thohir. 

Di samping itu, ada sanad tahfiz dari K.H. Mufid Pandanaran, Yogyakarta, melalui beberapa pengajar Alquran di At-Thohiriyah; yaitu jalur Hj. Ratu Rodhatul Farihah, Hj. Farhiyyahadik K.H. Ahmad Ulfi Zaini Thohir, dan Alm. K.H. Muhtadi Zaini Thohiradik K.H. Ahmad Ulfi Zaini Thohir. 

Ada juga sanad tahfiz dari K.H. Abu Bakar Cirebon melalui Hj. Nukhbatul Maula, istri K.H. Drs. Munifi Zaini Thohir—cucu K.H. Muhammad Thohir. Terakhir, ada sanad dari Syekh Abbad Rajab Salim Bakhomis, Yaman, melalui H. Muhammad Imaduddin, Lc., cicit K.H. Muhammad Thohir, seorang hafiz yang menjabat Kepala Madrasah Alquran santri putra At-Thohiriyah. 

Demikianlah gambaran eksistensi ilmu qiraah dan tahfiz Alquran di Pondok Pesantren Moderat At-Thohiriyah Pelamunan beserta sanad-sanadnya. Tampak bahwa At-Thohiriyah mewarisi beberapa sanad yang jelas dan tepercaya; dan di antaranya merupakan salah satu sanad ilmu qiraah Alquran yang sangat tua, yaitu yang berasal dari Syekh Ma’mun. 

Baca juga: Alasan Tafsir Jalalain Jadi Tafsir Favorit di Pesantren

Belajar Kepada Abu Bakar tentang Ikhlas Memaafkan

0
Tafsir Abu Bakar
Belajar Kepada Abu Bakar

Abdullah bin Abu Quhafah atau yang lebih sering dipanggil dengan nama Abu Bakar ash-Shiddiq, salah seorang sahabat Nabi yang dikenal kedermawanannya. Ia begitu mencintai Islam, rela berjuang demi agamanya dengan jiwa dan raganya, serta gemar menyedekahkan harta bendanya untuk menjaga keluhuran kalimat Allah.

Adalah Misthah bin Atsatsah, salah satu orang yang selalu mendapatkan bantuan dari Abu Bakar ash-Shiddiq. Ia merupakan anak dari bibi Abu Bakar, sedarah dan senasab dengan beliau. Ia disebut sebagai orang miskin dan salah satu rombongan Muhajirin yang hijrah bersama Rasulullah ke Madinah. Namun karena suatu kejadian, Abu Bakar ash-Shiddiq bersumpah tidak lagi mau menyedekahkan hartanya kepada Mishthah. Karena hal itu Allah langsung menegurnya sebagaimana telah terekam dalam QS. an-Nur [24]: 22.

Asbabun Nuzul

Dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir, ayat di atas diturunkan karena sumpah yang diucapkan Abu Bakar ash-Shiddiq. Ketika itu, ia bersumpah untuk menghentikan bantuan nafkah kepada seorang kerabatnya karena terlibat menyebarkan haditsul ifki tentang puterinya ‘Aisyah.  Abu Bakr dikenal sebagai orang mulia dan dermawan terhadap para kerabatnya dan orang lain yang bukan kerabatnya. Ketika ayat ini turun sampai kalimat “Allâ tuhibbûna an yaghfirallahu lakum” Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian? (QS. An-Nur: 22).

Baca Juga: Abu Bakar RA dan Penafsiran Sufistik Terhadap Surah Ar-Rum Ayat 41

Seketika itu juga Abu Bakar ash-Shiddiq berkata: “Benar. Demi Allah, sungguh kami suka, wahai Tuhan kami, bila Engkau mengampuni kami.” Kemudian ia kembali memberi bantuan nafkah kapada Misthah (seperti dulu) sembari berujar: “Demi Allah, aku tidak akan mencabut (bantuanku lagi) selama-lamanya,” sebagai pengimbang perkataannya yang lalu, (yaitu ucapan): “Demi Allah, aku tidak akan memberinya bantuan lagi selama-lamanya.” Karena itulah Abu Bakr adalah ash-Shiddiq,yang artinya orang yang sangat terpercaya.

Penjelasan serupa dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib Fakhruddin ar-Razi juga menuturkan bahwa ketika Abu Bakr mendengar Rasulullah membaca penggalan ayat “Alâ tuhibbûna an yaghfirallahu lakum”, Abu Bakar pun mengakui kesalahannya. Seraya berkata, “Ya, wahai Tuhanku. Aku sangat senang bahwa Engkau mengampuniku, dan aku telah melewati batas yang Engkau tentukan.” Peristiwa di balik ayat tersebut menjadi titik berangkat untuk memahami tafsir surat An-Nur ayat 22.

Kemuliaan yang Dianugerahkan Allah Kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq

Allah berfirman dalam surat an-Nur ayat 22, bahwa Dia mengaruniakan berbagai kenikmatan kepada hamba terkasihnya, yang dalam konteks ayat ini Abu Bakr ash-Siddiq, ia adalah sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah. Jelas tidak diragukan lagi perihal agamanya, akhlaqnya, begitu pula dengan ketaqwaannya kepada Tuhannya, selain itu dalam hal urusan dunia Abu Bakr terkenal menjadi saudagar yang kaya raya. Sebagai halnya dalam ayat ini menjelaskan bahwa “ulul fadhli” dan “as-sa’ah” yang dimaksudkan adalah Abu Bakr ash-Siddiq. Karena ada orang yang mendapatkan hanya “ulul fadhli” namun tidak dalam “as-sa’ah”, seperti sahabat ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar al-Ghiffari, dan Abdurrahman bin ‘Auf, atau sebaliknya hanya mendapatkan “as-sa’ah” saja. Namun Abu Bakr-lah yang mendapatkan dua keutamaan tersebut.

Wahbah Zuhaili, dan ar-Razi menjelaskan bahwa makna “ulul fadhli” maksudnya adalah “ulul fadhli fii ad-din” atau keutamaan dalam hal agama, dan menurut Ibnu ‘Asyur maknanya keutamaan perihal akhlaqnya. Sementara “as-sa’ah” menurut mereka adalah “al-ghina” yaitu keluasan yang bersifat material.

Sebagaimana dimengerti juga bahwa Abu Bakr itu disebut sebagai orang yang paling utama setelah Rasulullah. Melalui turunya ayat ini Allah langsung menegur Abu Bakr, karena tidak mungkin Allah membiarkan orang-orang yang dekat kepadanya untuk bermaksiat. Sebab kepatuhannya itu juga Abu Bakr langsung tunduk akan perintahNya dengan kelapangan hatinya ia mencabut sumpahnya dan kembali memberi bantuan nafkah untuk kerabatnya. Padahal jelas kesalahan yang dilakukan Misthah itu bukan kesalahan biasa, ia ikut menyebarkan fitnah tentang ‘Aisyah puteri kesayangannya.

Ibrah Yang Dapat Diambil dari Kisah Abu Bakar

Pelajaran bahwa sebesar apa pun kesalahan seseorang, memaafkan jauh lebih baik daripada menjadi pendendam. Kekecewaan Abu Bakar ash-Shiddiq tentu dapat dipahami, karena orang yang selama ini dibantunya ikut terlibat dalam penyebaran fitnah keji atas puterinya, apalagi Misthah adalah kerabatnya sendiri. Meski demikian, karena ketaatan kepada Allah yang memerintahkannya untuk berlapang dada memaafkan kesalahan Misthah. Inilah yang kemudian ditampilkan Abu Bakr ash-Shiddiq hingga ia berjanji tidak akan menghentikan bantuannya lagi selama-lamanya.

Sebab Abu Bakr ash-Shiddiq yang memiliki kecerdasan hati, ia langsung paham maksud ayat tersebut turun untuk menegurnya. Setelah Allah dengan kasih sayangnya menurunkan hujan kenikmatan, seperti yang disebutkan diatas “ulul fadli” dan “as-sa’ah”, baru kemudian Allah meminta sesuatu yang sedikit yaitu “wal ya’fû wal yasfahû” hendaklah memaafkan dan berlapang dada. Kita seharusnya bisa menyadari bahwa Allah yang telah menganugerahkan berbagai karuniaNya, mengapa kita tidak mau mengikuti sarannya untuk berlapang dada dan memaafkan mereka yang berbuat salah kepada kita?

Melalui Abu Bakr as-Shiddiq kita diajarkan untuk menjadi pemaaf kepada orang yang berbuat salah kepada kita, sekalipun kesalahan itu sungguh berat. Sebab dalam ayat ini pula dinyatakan bahwa orang yang memaafkan, akan mendapatkan peluang dimaafkan lebih besar ketika ia berbuat salah. Lantaran itu Allah mengajukan pertanyaan (QS. an-Nur: 22): “Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?”

Kita bisa melihat kesinambungan pada ayat ini, dijelaskan secara berkait dalam Tafsir Ibnu Katsir, yaitu: “Kau mengampuni dosa orang yang bersalah kepadamu, maka Allah pun mengampuni dosa-dosamu; sebagaimana kau memaafkan (kesalahan orang lain), maka Allah pun memaafkan (kesalahan)mu juga.”

Baca Juga: Kisah Kesetiaan Abu Bakar As-Shiddiq dibalik Surah At-Taubah Ayat 40

Tentu, tidak ada seorang pun yang tidak menginginkan maghfirah dari Allah. Semua orang pasti mengharapkan ampunanNya. Telah jelas disebutkan dalam banyak ayat, bahwa bisa jadi batu ujian dalam kehidupan, penyakit, dan kesempitan hidup, atau mendapatkan perilaku dzalim dari orang lain namun dengan lapang hati kita memaafkannya, akan menjadi sebab turunnya ampunan dan rahmat Allah kepada kita.

Mari kita bersama-sama mengintropeksi diri, jika ada orang yang menyakiti hati kita meskipun sangat berat kesalahan yang mereka perbuat, kita bisa sungguh-sungguh memaafkan dan berlapang dada kalau motivasi kita hanya karena Allah dan ingin mendapatkan maghfirahNya. Sebagaimana Abu Bakr ash-Siddiq yang mau memberi maaf Misthah, bukan karena ia kerabatnya, bukan sebab Misthah adalah orang miskin dan muhajirin. Namun yang menjadi satu-satunya motivasi Abu Bakr mengampuni orang yang bersalah kepadanya, yaitu karena panggilan ayat al-Quran, “Alâ tuhibbûna an yaghfirallahu lakum.”

Dengan berkaca kepada figur Abu Bakr as-Shiddiq, semoga Allah menjadikan diri kita Abu Bakr-Abu Bakr lain, yang diberikan keutamaan dan keluasan, sehingga kita bisa berkontribusi dalam kehidupan sosial dan memiliki hati yang lembut karena mudah memaafkan orang lain.[]

Pandangan al-Qurthubi tentang Hukum Memandikan Jenazah

0
Hukum memandikan jenazah menurut al-Qurthubi
Hukum memandikan jenazah menurut al-Qurthubi

Dalam tafsir al-Jami li Ahkam al-Qur’an, Imam al-Qurthubi memberikan pernyataan yang terkesan agak berbeda dengan pandangan umum umat muslim terkait hukum memandikan jenazah. Dia menyatakan bahwa memandikan jenazah, selain jenazah yang berstatus syahid, berstatus hukum sunah. Pernyataan ini kemudian memunculkan pemahaman pada sebagian ulama, bahwa sebenarnya hukum memandikan jenazah masih diperselisihkan. Berikut keterangan lengkapnya.

Pandangan al-Qurthubi tentang hukum memandikan jenazah

Saat menguraikan tafsir surah Ali Imran ayat 185, Imam al-Qurthubi menyatakan bahwa hukum memandikan jenazah adalah sunah. Namun dia juga menyatakan bahwa adapula ulama yang meyakini hukum wajib. Sumber perbedaan pendapat tersebut menurut al-Qurthubi bermuara pada salah satu hadis yang diriwayatkan dari Ummi Athiyah:

دَخَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ تُوُفِّيَتِ ابْنَتُهُ فَقَالَ « اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مَنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ

“Rasulullah menemui kami ketika putri beliau wafat. Beliau kemudian bersabda: “Mandikan dia tiga atau lima atau lebih banyak lagi apabila kalian memandang itu perlu, dengan menggunakan air dan daun bidara.” (HR. Bukhari)

al-Qurthubi menjelaskan, dalam memahami hadis tersebut, ulama berbeda pendapat mengenai keterkaitan redaksi perintah dalam hadis dengan hukum asal memandikan jenazah atau bilangan memandikan jenazah. Yang jelas, memandikan jenazah adalah tindakan yang disyariatkan di dalam Islam. (Tafsir al-Qurthubi/4/299)

Imam al-Qurthubi dalam karya syarah hadisnya yang berjudul al-Mufhim lima Usykila min Talkhisi Muslim, menyatakan bahwa pro kontra hukum memandikan jenazah berada di antara hukum wajib dan sunah muakadah. Dia juga menyinggung hadis di atas dan menyatakan, perintah dalam hadis tersebut adalah sekedar perintah dalam rangka “mendidik”, bukan menjelaskan hukum asal memandikan jenazah. Sehingga, lebih utama bila difahami bahwa hukum memandikan jenazah adalah sunah. (al-Mufhim/2/592)

Baca juga: Beberapa Kesunahan dalam Merawat Jenazah

Imam Ibn Hajar di dalam Fath al-Bari menyinggung pandangan al-Qurthubi ini. Ibn Hajar menyatakan, keterangan Imam al-Nawawi yang menyatakan bahwa ulama sepakat bahwa memandikan jenazah berstatus hukum fardu kifayah, adalah sebuah klaim yang ceroboh. Sebab, pro kontra dalam hukum memandikan jenazah sudah cukup masyhur dalam Mazhab Malikiyah. Sampai-sampai, Imam al-Qurthubi mengunggulkan pendapat bahwa hukum memandikan jenazah adalah sunah. Hanya saja, mayoritas ulama menyatakan hukumnya wajib. (Fath al-Bari/4/279)

Pernyataan Ibn Hajar ini disanggah oleh rival sezamannya; Imam al-Aini. Al-Aini menyatakan bahwa kesimpulan Ibn Hajar tidak kalah cerobohnya dengan tuduhannya pada Imam al-Nawawi. Sebab, hukum sunah yang dimaksud Imam al-Qurthubi adalah sunah muakadah. Sementara sunah muakadah yang beliau maksud sama kuatnya dengan hukum wajib. (Umdah al-Qari/12/196)

Kesimpulan

Yang jelas, dari berbagai keterangan di atas kita akan memperoleh kesimpulan bahwa memandikan jenazah adalah sesuatu yang disyariatkan dalam Islam. Sedang hukumnya, ada yang menyatakan bahwa ulama sepakat untuk mewajibkan, ada yang menyatakan masih diperselisihkan.

Menurut pandangan pribadi penulis, pernyataan Imam al-Qurthubi memanglah perlu dikaji ulang. Apakah memang benar yang beliau maksud dengan redaksi “sunah” berarti tidak berdosa apabila ditinggalkan, atau sebenarnya juga berdosa bila ditinggalkan tapi memiliki kreteria yang berbeda dengan redaksi “wajib”? Ini bisa jadi persoalan perbedaan pemahaman dalam penggunaan istilah usul fikih, yang jamak ditemui dalam persoalan fikih lintas mazhab.

Baca juga: Hukum Menuntun Bacaan Tahlil kepada Orang yang Mendekati Ajal

Atau mungkin saja kesimpulan al-Qurthubi hanya terbatas berdasar hadis dari Ummi Athiyah di atas saja. Sebab, hanya hadis itulah yang disinggung Imam al-Qurthubi dalam Tafsir al-Jami’-nya serta kitab al-Mufhim terkait kesimpulannya tersebut. Bisa jadi, Imam al-Qurthubi sebenarnya juga menyatakan wajib tapi tidak berdasar hadis di atas, mengingat sebenarnya hadis tentang memandikan jenazah cukup banyak. Wallahu a’lam.

Menelusuri Jejak Tafsir ‘Faidl al-Rahman’ Kiai Sholeh Darat

0
Halaman Sampul Faidl al-Rahman
Halaman sampul pada naskah Faidl al-Rahman museum Masjid Agung Demak

Dari beberapa tulisan yang membahas tentang Kiai Sholeh Darat, penulis belum mendapati tulisan yang secara khusus membicarakan Faid al-Rahman sebagai sebuah objek kajian. Kebanyakan tulisan yang ada cenderung menyorot pemikiran sufistik Kiai Sholeh. Kalau pun ada tulisan yang membicarakan Faidl al-Rahman, umumnya hanya pada aspek permukaan saja, tidak sampai pada tahap kritis.

Di antara tulisan yang menyorot pemikiran Kiai Sholeh seperti trilogi milik Nur Ahmad berjudul Penulis Satu-Satunya Tafsir Isyari Nusantara: Kiai Sholeh Darat Semarang, Konsep Awal Tafsir ‘Isyari’ Kiai Sholeh Darat, dan Konsep Awal Tafsir Isyari Kiai Sholeh Darat (Bag. 2). Sedangkan tulisan yang menyinggung karya Faidl al-Rahman di dalamnya seperti Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Sholeh Darat As-Samarani karya Muhammad Rafi dan Jihad Nir-Kekerasan Ala Kiai Sholeh Darat karya penulis sendiri.

Signifikansi kajian kritis terhadap Faidl al-Rahman terletak pada mengetahui validitas isi tafsir yang hingga hari ini, boleh dibilang, belum menemui kejelasan. Hal ini, menurut pandangan awal penulis, disebabkan adanya kerancuan dalam rujukan yang digunakan sekaligus kesalahan pemahaman pada aktivitas perujukan yang dilakukan.

Sebagaimana disebutkan oleh Rafi dan Fais sebelumnya, Faidl al-Rahman berisi penafsiran 13 juz dari Alquran. Padahal naskah-naskah yang dijumpai saat ini belum ada satu pun yang menunjukkan demikian. Naskah yang dijumpai berjudul Faidl al-Rahman karya Kiai Sholeh hanya berisi penafsiran surah Al-Fatihah sampai surah An-Nisa’ (juz 6).

Penelusuran penulis terhadap beberapa literatur mendapati bahwa artikel yang menjadi rujukan utama dalam masalah ini adalah artikel ‘lama’ tahun 2012 yang ditulis oleh M. Masrur berjudul Kyai Soleh Darat, Tafsir Fa’id al-Rahman dan RA. Kartini. Artikel ini lah yang agaknya menjadi penyebab rancunya validitas isi Faidl al-Rahman.

Dalam artikel tersebut, Masrur menyebut setidaknya dua tafsir yang menjadi karya Kiai Sholeh. Pertama, Faidl al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik al-Dayyan yang terdiri dari dua juz: juz pertama berisi surah Al-Fatihah dan surah Al-Baqarah, dan juz kedua berisi surah Ali Imran dan surah An-Nisa’. Kedua, terjemahan Alquran yang dihadiahkan kepada RA. Kartini yang berisi 13 juz dari Alquran, yang oleh Masrur disebut sebagai Faizhur Rohman fi Tafsiril Quran.

Kemiripan nama yang diberikan ini lah yang kemudian menyebabkan kerancuan dalam memahami ‘hakikat’ Faidl al-Rahman. Teks tafsir pertama yang disebutkan Masrur adalah teks yang naskahnya masih dapat ditemukan saat ini. Sedangkan teks yang kedua, penulis belum dapat menjumpai data pendukung yang menyebutkan informasi tersebut. Masrur pun tidak menyebutkan sumber yang ia kutip kecuali tulisan berjudul spirit kartini.. untuk direnungkan, yang menurut penulis ‘kurang meyakinkan’ sebagai rujukan ilmiah.

Naskah-naskah yang saat ini banyak direproduksi ulang oleh Komunitas Pecinta Kiai Sholeh Darat (Kopisoda) Semarang melalui teknik photocopy yang juga tersedia dalam versi digital, hanya mencakup pada teks pertama yang disebutkan oleh Masrur, yakni Faidl al-Rahman. Kalau pun ada naskah lain, itu adalah naskah yang berisi teks Hidayah al-Rahman, bukan Faizhur Rohman fi Tafsiril Quran.

Alasan penulis mengangkat topik ini adalah adanya temuan naskah Faidl al-Rahman pada penelitian digitalisasi yang penulis ikuti bersama Pak Anasom, salah seorang peneliti senior bidang naskah dan Walisongo dari UIN Walisongo Semarang. Naskah tersebut cenderung mendukung keberadaan teks pertama yang disebutkan oleh Masrur, Faidl al-Rahman, bukan teks kedua, Faizhur Rohman.

Saat ini, naskah Faidl al-Rahman tersebut tersimpan di Museum Masjid Agung Demak. Catatan di dalamnya menunjukkan bahwa naskah tersebut berasal dari Drs. H Masruhin asal Pilang Wetan, Dempet (sekarang Kebonagung), Kabupaten Demak, dan diserahkan kepada pihak museum pada tanggal 6 Maret 1996.

Melihat fisiknya, ada kemungkinan bahwa naskah tersebut merupakan cetakan asli litograf dari percetakan. Tertulis pada bagian kolofonnya, (percetakan) Haji Muhammad Amin Singapura. Pada bagian lain juga tertulis al-thab‘ah al-ula 1312 (H.) atau cetakan pertama 1312 (H.). Naskah tersebut memiliki dimensi 29,5 cm x 21 cm dengan tebal 5 cm serta memiliki ukuran bidang teks sebesar 25,5 cm x 15 cm.

Berdasar pada data-data yang telah penulis kemukakan, agaknya klaim yang menyebutkan bahwa Faidl al-Rahman berisi penafsiran 13 juz perlu dikaji kembali. Mengacu sejarah yang menyebutkan pemberian terjemah tersebut kepada RA. Kartini, agaknya arsip-arsip Raden Ajeng perlu dilibatkan dalam penelusuran. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Anjuran Untuk Segera Menguburkan Jenazah

0
Menguburkan Jenazah
Menguburkan Jenazah

Suasana yang jamak ditemui tatkala ada orang yang meninggal, adalah seakan-akan tergesa-gesa segera mengurusi jenazahnya sehingga dapat segera dimakamkan. Tradisi yang berkembang di masyarakat tersebut adalah wujud dari mengamalkan sabda Nabi terkait anjuran untuk segera menguburkan jenazah. Imam al-Qurthubi di dalam tafsirnya mengutip dua hadis terkait anjuran tersebut. Berikut ini keterangan selengkapnya.

Segera menguburkan jenazah

Allah berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَاِنَّمَا تُوَفَّوْنَ اُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَاُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Ali Imran [3] 185).

Baca Juga: Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Penyebutan Binatang dalam Al-Quran

Saat menguraikan tafsir ayat ini, Imam al-Qurthubi menyingung tentang anjuran merawat jenazah seperti memandikan dan menguburkan yang harus dilakukan dengan segera. Tujuannya adalah agar keadaan jenazah tidak terlanjur mengalami perubahan. Dia kemudian mengajukan dua hadis untuk menguatkan penjelasannya. Hadis pertama adalah sabda Nabi yang beliau ucapkan pada sekelompok orang yang tidak segera menguburkan orang di sekitar mereka yang mati:

عَجِّلُوْا بِدَفْنِ جِيْفَتِكُمْ

“Bergegaslah menguburkan orang mati diantara kalian.”

Hadis kedua adalah hadis sahih yang diriwayatkan dari Abi Hurairah:

«أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ ، فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌتُقَدِّمُونَهَا { إِلَيْهِ } ، وَإِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ »

“Bergegaslah mengurus jenazah. Apabila dia sosok yang soleh, maka hal itu adalah kebaikan yang kalian lakukan padanya. Apabila tidak soleh, maka keburukan yang kalian letakkan pada pundak kalian.” (HR. Bukhari) (Tafsir al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an/4/298).

Berdasar hadis di atas, para ulama menjelaskan bahwa dianjurkan proses merawat jenazah dilakukan dengan cepat. Ulama juga menjelaskan bahwa sifat anjuran tersebut hanyalah sekedar hukum sunah saja. Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ menerangkan, para ulama sepakat akan hukum sunah tersebut (al-Majmu’/5/271).

Hanya saja, ulama berbeda pendapat dalam memahami bagian mana dalam prosesi merawat jenazah yang harus dipercepat. Imam al-Nawawi misalnya, meyakini bahwa yang sunah dipercepat adalah proses berjalan membawa jenazah ke pemakaman. Hal ini dibuktikan dalam hadis riwayat Abu Hurairah di atas, ada redaksi “pundak” yang menunjukkan prosesi memanggul jenazah untuk dibawa ke pemakaman (Syarah Sahih Muslim/3/362).

Ulama lainnya meyakini bahwa yang sunah dipercepat adalah keseluruhan prosesi merawat jenazah seperti memandikan, mengkafani dan mensalati. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengutip menjelasan Imam al-Fakihi, bahwa bisa saja “pundak” yang disinggung dalam hadis di atas adalah sekedar kiasan saja. Seperti dalam ungkapan orang arab: “Orang itu membawa beberapa dosa di pundaknya”. Selain itu, tidak semua jenazah dibawa ke pemakaman dengan diangkat di atas pundak.

Baca Juga: Beberapa Kesunahan dalam Merawat Jenazah

Ibnu Hajar sendiri sepertinya lebih meyakini bahwa yang sunah dipercepat adalah seluruh proses merawat jenazah. Dia mengajukan 2 hadis untuk menguatkan pendapat tersebut. Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar:

إِذَا مَاتَ أَحَدكُمْ فَلَا تَحْبِسُوهُ وَأَسْرِعُوا بِهِ إِلَى قَبْره

Ketika salah seorang kalian meninggal, maka janganlah kalian menahan jenazahnya. Bergegaslah membawanya ke makamnya (HR. Abu Dawud) (Fathul Bari/4/371).

Kesimpulan

Dari berbagai keterangan di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa memang ada anjuran dalam bergegas memandikan, mengkafani, mensalati sampai menguburkan jenazah. Hal ini mungkin sedikit mengganggu keadaan keluarga si jenazah yang sedang berkabung. Namun syariat melihat sisi kebaikannya. Yaitu menjaga kemuliaan si jenazah sebagai manusia, dengan segera menguburkannya sebelum tubuhnya mengalami perubahan. Seperti memunculkan bau busuk dan selainnya. Wallahu a’lam.

Ketika Allah Mengajarkan Nabi Daud tentang Kepemimpinan

0
Ketika Allah Mengajarkan Nabi Daud tentang Kepemimpinan
Photo by Hansjörg Keller on Unsplash

Menjadi seorang pemimpin bukanlah perkara yang mudah bagi setiap orang. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk bisa mengayomi setiap anggotanya, tidak kalah penting dari kemampuan untuk bersikap adil yang juga sangat diperlukan. Itu semua memengaruhi berhasil atau tidaknya kepemimpinan yang dia jalankan. Adil adalah memperlakukan perkara sesuai tempat, waktu, cara, dan ukurannya secara proporsional; dan lawan dari adil adalah zalim.

Dalam Q.S. Shad [38]: 26, Alah Swt. berfirman, ”Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Yusuf: Menjadi Pejabat di Bawah Kepemimpinan Nonmuslim

Tafsir surah Shad ayat 26: peringatan Allah kepada Nabi Daud

Nabi Daud a.s. diberikan amanah untuk menjadi penegak hukum di antara manusia. Di samping itu, beliau juga diberikan tugas sebagai penguasa yang mengelola wilayah tertentu atau dengan kata lain mempunyai kekuasaan politik. Hal ini diperolehnya berkat anugerah Ilahi yang mengajarkannya akan hikmah dan ilmu pengetahuan. Pada ayat ini Allah mengingatkan Nabi Daud a.s. untuk berlaku adil dan tidak menuruti hawa nafsunya dalam menjalankan kekhalifahannya.

Menurut Wahbah az-Zuhaili, Q.S. Shad [38]: 26 bermakna “Wahai daud, sesungguhnya Kami telah menjadikanmu sebagai khalifah di kerajaan bumi untuk menjadi hakim atas permasalahan manusia. Maka putuskanlah permasalahan manusia dengan penuh keadilan. Jangan kau ikuti hawa nafsu, yang akan menjauhkanmu dari bukti-bukti kebenaran. Sesungguhnya orang-orang yang menentang perintah Allah dan petunjuk-Nya akan mendapatkan azab yang pedih atas keacuhan dan ketidakpedulian mereka untuk beramal sebagai bekal hari perhitungan di akhirat. Dia Maha Adil dalam memutuskan.”

Lebih lanjut dijelaskan dalam Tafsir as-Sa’di bahwa berlaku adil itu tidak mungkin dapat dilakukan kecuali dengan ilmu pengetahuaan tentang yang wajib, pengetahuan tentang realita, dan kemampuan menegakkan yang hak. Sedangkan mengikuti hawa nafsu adalah seperti lebih condong kepada seseorang karena adanya hubungan keluarga, hubungan persahabatan, rasa cinta atau rasa tidak suka kepada yang lain.

Sebagai contoh, biasanya sering dijumpai dalam sebuah permasalahan relasi sosial terdapat dua orang yang berselisih. Seorang pemimpin yang zalim atau mengikuti nafsunya akan condong kepada salah seorang dari keduanya karena adanya hubungan kekerabatan atau pertemanan, atau bisa jadi karena ia berpaling darinya karena adanya permusuhan.

Menurut Quraish Shihab, larangan pemimpin mengikuti hawa nafsu ini logis, karena kekuasaan dapat memperdaya manusia menjadi cinta kepada dunia dan meninggalkan perintah Allah. Oleh karena itu, hawa nafsu dapat menyesatkan seseorang dari jalan Allah yang lurus dan orang-orang yang tersesat dari jalan Allah akan mendapatkan azab yang berat.

Baca juga: Tiga Karakter Kepemimpinan Rasulullah yang Patut Dicontoh

Ibrah ayat: pemimpin harus adil dan menjauhi hawa nafsu

Ayat ini mengandung pesan kepada ulil amri (para memimpin, siapapun mereka) agar menetapkan hukum dengan berpijak kepada kebenaran yang diturunkan oleh Allah Swt. dan tidak menyimpang darinya. Sebab, sebagaimana telah disebutkan dalam penjelasan ayat di atas, hal itu akan menyesatkan mereka dari jalan-Nya.

Islam telah mengajarkan bahwa untuk menjadi pemimpin, seseorang harus memiliki tauhid yang kuat. Dikutip dari Gus Dur, makna bertauhid tidak lantas berhenti hanya mengesakan Allah Swt., tetapi nilai ketauhidan adalah bagaimana Tuhan dimaknai sebagai sumber kehidupan dengan menjalankan amanat kekhalifahan di muka bumi serta memperkuat nilai-nilai Ilahiyah yang diwujudkan ke dalam laku kehidupan.

Jika tauhid itu telah tertanam pada diri seorang pemimpin, akan terlahir dalam dirinya konsepsi Ilahiyah, yang akan memandu setiap pemimpin dalam memimpin apa yang dipimpinnya (dalam level apapaun termasuk memimpin dirinya sendiri, keluarga, atau dalam lingkup masyarakat). Konsekuensi logisnya, akan terjadi kedekatan antara pemimpin dengan anggotanya, seperti hubungan saudara, bukan hubungan transaksional sebagaimana hubungan bos dan majikan.

Dengan demikian, seorang pemimpin akan memimpin secara adil, jika ia memiliki perhatian penuh terhadap permasalahan anggotanya dan tidak membeda-bedakan di antara mereka. Di antara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurusi, dan melayani semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar belakang.

Baca juga: Sabar dan Tekad Kuat, Kunci Sukses Menjadi Pemimpin

Tahadduts bi al-Ni’mah sebagai Ekspresi Rasa Syukur

0
Ekspresi rasa syukur
Ekspresi rasa syukur

Allah swt. telah menganugerahkan nikmat yang tak terhingga jumlahnya kepada makhlukNya, termasuk manusia. Dalam Surah Annahl ayat 18, disebutkan bahwa manusia tidak akan mampu menghitung nikmat Tuhan. Sebagai seorang hamba yang telah mendapat nikmat, kita diwajibkan untuk bersyukur atas nikmat dan fasilitas yang kita terima selama hidup di dunia.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mensyukuri nikmat Tuhan. Menurut Imam al-Ghazali, mensyukuri nikmat tuhan terdiri dari tiga komponen. Pertama, ilmu, artinya sadar dan yakin bahwa nikmat yang Dia peroleh merupakan anugrah Tuhan. Kedua, hal (keadaan), artinya gembira dan suka cita atas nikmat yang dia terima. Ketiga, amal, yakni menggunakan nikmat tersebut untuk kebaikan dan hal-hal yang diridai Allah. [Ihya’ Ulum al-Din, juz 4, hlm. 81]

Baca juga: Tafsir Ayat-ayat Syukur: Hiduplah dengan Bahagia!

Masih menurut Imam al-Ghazali, bersyukur dengan amal perbuatan dapat dilakukan dengan hati, lisan, dan aksi nyata. Mengucap “alhamdulillah” dan berbuat kebaikan merupakan salah satu cara mengekspresikan rasa syukur kepada Sang Pemberi Nikmat. Selain itu, menceritakan dan menampakkan nikmat juga menjadi salah satu cara untuk mensyukuri nikmat Allah. Inilah yang lumrah disebut sebagai tahadduts bi al-ni’mah.

Tafsir Surah Adduha ayat 11

Tahadduts bi al-ni’mah dapat berarti menceritakan nikmat yang telah diterima dengan tujuan agar setiap orang yang mendengarnya dapat mengambil hikmah. Menceritakan nikmat dengan tujuan di atas merupakan salah satu bentuk syukur yang diperintahkan dalam agama. Allah swt. berfirman:

وأمَّا بنعمةِ ربك فحدِّث

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).” Q.S. Adduha [93]: 11

Dari penggalan ayat tersebut, dapat dipahami bahwa Allah swt. memerintahkan manusia untuk menyebut-nyebut nikmatNya sebagai ungkapan rasa syukur. Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Syekh Ibnu Ajibah bahwa Nabi saw. Bersabda: “tahadduts bi al-ni’mah  merupakan bentuk rasa syukur.”

Oleh karena itu, ada sebagian ulama salaf mengatakan, “Saya telah mendapat nikmat begini-begini,” “Saya telah melakukan solat sekian rakaat,” dan lain-lain. Hal ini boleh dilakukan dengan tujuan syukur atau supaya diikuti orang lain, bukan dalam rangka riya atau pamer. [al-Bahr al-Madid, jilid 8, hlm. 489].

Baca juga: Kegundahan Nabi Muhammad Saw Dibalik Turunnya Surah Ad-Dhuha

Menurut Imam al-Razi, seseorang boleh berbangga dan menceritakan perilaku terpuji serta kebaikan yang dilakukan jika ia menduga kuat bahwa orang lain akan mengikuti perilaku dan kebaikannya. [Tafsir al-Kabir, jilid 32, hlm. 270]

Imam Mujahid, seorang mufasir dari kalangan tabi’in, menjelaskan maksud dari tahadduts bi al-ni’mah. Beliau mengatakan:

هُوَ الْعَمَلُ الصَّالِحُ يَعْمَلُهُ الرَّجُلُ فَيُحَدِّثُ بِهِ إِخْوَانَهُ مِنْ أَهْلِ ثِقَاتِهِ لِيَسْتَنَّ بِهِ وَيَعْمَلَ مِثْلَهُ

“Tahadduts bi al-ni’mah adalah kondisi dimana seorang hamba telah meelakukan suatu kebaikan lantas ia ceritakan kepada orang sekitar yang ia percaya. Tujuannya agar orang tersebut melakukan kebaikan seperti yang ia lakukan.” [Tafsir Mujahid, jilid 1, hlm. 735]

Menurut Imam al-Ghazali, menerapkan tahadduts bin al-ni’mah tidak harus dengan menceritakannya secara langsung secara verbal. Bahasa tubuh dan perilaku yang menunjukkan rasa syukur serta dapat menggugah dan memotivasi orang lain untuk melakukan kebaikan juga dapat dikategorikan sebagai tahadduts bin al-ni’mah. Misalnya, dengan melakukan sedekah secara terang-terangan yang diniati sebagai bentuk rasa syukur dan memotivasi orang lain. [Ihya Ulum al-Din, jilid 1, hlm. 228-229]

Dengan lebih pragmatis, Imam al-Maraghi menjelaskan bahwa tahadduts bi al-ni’mah bukan hanya soal menceritakan nikmat kepada orang lain. lebih dari itu, ia sebenarnya mengandung arti agar kita memperbanyak pemberian dan uluran tangaan kepada kaum papa. Selain itu, kita juga dituntut untuk memberikan bimbingan kepada orang lain terkait nikat ukhrawi yang kita terima. [Tafsir al-Maraghi, jilid 30, hlm. 187]

Baca juga: Penegasan Alquran Terkait Perbedaan antara Pamer dan Tahadduts bin Ni’mah

Menurut beliau, orang kikir biasanya menyembunikan harta dan nikmat yang dia peroleh dengan tujuan agar dia punya alasan untuk tidak memberi. Berbeda dengan orang-orang dermawan, mereka akan senantiasa menunjukkan nikmat yang diperoleh dengan cara mendermakannya.

Dengan demikian, menyebut-nyebut nikmat dan kebaikan merupakan salah satu cara mengekspresikan rasa syukur kepada Sang Pemberi Nikmat. Selain menampakkan nikmat dengan bahasa lisan, diharapkan pula agar kita dapat melakukan aksi nyata dengan nikmat tersebut. Hal ini karena tahadduts bi al-ni’mah bukan hanya sekedar menceritakan kebaikan, tetapi juga mendayagunakannya agar manfaatnya dapat dirasakan orang lain.

Meski demikian, kita harus waspada. Jangan sampai tahadduts bi al-ni’mah kemudian menimbulkan rasa pamer yang dilarang agama. Oleh karenanya, perlu untuk melakukan perbaikan niat setiap saat agar tidak terjerumus kedalam hal-hal yang dilarang. Wallahu ‘alam.

Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak Perspektif Alquran

0
Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak Perspektif Alquran
Image by Sasin Tipchai from Pixabay

Dalam bahtera mulia bernama rumah tangga, anak merupakan salah satu rezeki terbesar yang dianugerahkan Allah Swt. Alquran bahkan menyebutnya sebagai perhiasan (Q.S. 18: 46), kebanggaan (Q.S. 57: 20), dan penyejuk hati (Q.S. 25: 74) bagi manusia. Namun selain itu, Alquran juga menyebutkan bahwa kehadiran seorang anak adalah amanah yang menjadi ujian (fitnah) (Q.S. 8: 28; 64: 15) bagi orang tuanya, bahkan terindikasi juga dapat menjadi musuh (‘aduww) bagi keduanya (Q.S. 64: 14).

Oleh karena itu, orang tua memiliki peranan penting dalam mengasuh dan membimbing anak-anaknya sehingga mengejawantah predikatnya sebagai perhiasan dan kebanggaan, yakni anak-anak yang berbakti dan bermanfaat. Dalam konteks ini, peran keduanya—ayah dan ibu—secara bersama begitu penting. Sebab, beberapa penelitian menyebutkan bahwa kebanyakan anak yang dibesarkan tanpa bimbingan ibu cenderung berkepribadian lemah, sementara anak tanpa ayah cenderung keras.

Dengan demikian, jangan sampai anak dengan orang tua yang lengkap kehilangan bimbingan dari salah satu orang tuanya. Kehadiran sosok ayah dan ibu merupakan modal fundamental bagi tumbuh kembang seorang anak. Adapun dalam konteks ini, ayah menjadi sorotan utama dalam pengasuhan anak. Sebab tidak jarang, seorang anak kehilangan hak pengasuhan dari ayahnya karena terlalu sibuk dengan hal lain. Fenomena ini disebut “fatherless”, yakni kondisi pertumbuhan anak tanpa disertai peran bimbingan dan asuhan dari sang ayah.

Terkait fenomena fatherless, Indonesia menjadi urutan ketiga di dunia sebagai negara tanpa “ayah”. Hal ini menyedihkan, sebab ketidakhadiran peran serta ayah tersebut sangat berpengaruh terhadap kondisi fisik dan psikis seorang anak. Hal ini juga yang sering didengungkan Alquran, bahwa peran seorang ayah sangat penting dalam sebuah keluarga. Setidaknya ada tiga amanat Alquran yang penting untuk digarisbawahi seorang ayah agar senantiasa mewujudkan perannya dalam pengasuhan anak, yakni:

Baca juga: Peran Ayah dalam Keluarga Menurut Alquran

Memberikan wasiat Islam

Aspek pertama yang harus dipenuhi oleh seorang ayah terhadap anaknya adalah menuntunnya kepada agama Islam. Hal ini sebagaimana amanat Alquran berikut:

﴿ وَوَصّٰى بِهَآ اِبْرٰهٖمُ بَنِيْهِ وَيَعْقُوْبُۗ يٰبَنِيَّ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰى لَكُمُ الدِّيْنَ فَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ۗ ١٣٢ اَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاۤءَ اِذْ حَضَرَ يَعْقُوْبَ الْمَوْتُۙ اِذْ قَالَ لِبَنِيْهِ مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْۢ بَعْدِيْۗ قَالُوْا نَعْبُدُ اِلٰهَكَ وَاِلٰهَ اٰبَاۤىِٕكَ اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ ١٣٣ ﴾

“[132] Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. “Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilihkan agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. [133] Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Yakub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, yaitu Ibrahim, Ismail, dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 132-133).

Ayat tersebut menjelaskan wasiat yang diberikan Nabi Ibrahim dan Nabi Yakub (sebagai Ayah) kepada anak-anaknya. Menurut Ibnu Katsir, ayat tersebut menekankan bahwa pengaruh seorang ayah dalam mendidik dan membimbing anak-anaknya memberikan beragam pemahaman dan pengalaman kepada mereka. Ayahlah yang sangat bertanggungjawab dalam mengenalkan dan membimbing seorang anak kepada tuntunan agama Islam—agama yang diterima Allah Swt.

Begitu pula menurut Al-Zuhaili, bahwa sosok Nabi Ibrahim dan Nabi Yakub adalah prototipe kebijaksanaan seorang ayah yang menghendaki kebaikan terhadap anaknya, sehingga keduanya sama-sama berwasiat, “Ikutilah agama [Islam] ini.”

Wasiat Nabi Ibrahim dan Nabi Yakub dalam ayat di atas juga dapat dipahami sebagai bentuk pendidikan pertama yang penting diperoleh seorang anak dari ayahnya, yakni pendidikan tauhid. Oleh karena itu, pada dasarnya seorang ayah memiliki kewajiban untuk memahami Islam. Jika pun tidak, seorang ayah berkewajiban menemani dan membimbing anaknya agar belajar keislaman kepada guru-guru yang berkompeten.

Baca juga: Belajar Keteguhan Hati Seorang Ayah dari Kisah Nabi Yakub

Memberikan sentuhan kasih sayang

Aspek kedua yang harus dipenuhi oleh seorang ayah terhadap anaknya adalah sentuhan kasih sayang. Hal ini menurut para mufasir terindikasi pada ayat-ayat yang mengggunakan diksi “yâ bunayya”. Misalnya seperti apa yang dicatat Alquran dari kisah Nabi Nuh, yakni:

﴿ وَهِيَ تَجْرِيْ بِهِمْ فِيْ مَوْجٍ كَالْجِبَالِۗ وَنَادٰى نُوْحُ ِۨابْنَهٗ وَكَانَ فِيْ مَعْزِلٍ يّٰبُنَيَّ ارْكَبْ مَّعَنَا وَلَا تَكُنْ مَّعَ الْكٰفِرِيْنَ ٤٢ ﴾

“Kapal itu berlayar membawa mereka ke dalam gelombang laksana gunung-gunung. Nuh memanggil anaknya, ketika dia (anak itu) berada di tempat yang jauh terpencil, “Wahai anakku! naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.” (Q.S. Hud [11]: 42).

Menurut Al-Zuhaili, ayat tersebut menjelaskan bagaimana ketika itu terjadi badai besar, kemudian Nabi Nuh memanggil semua umatnya untuk menaiki kapal, termasuk anaknya (Kan`an) yang tidak beriman kepadanya. Meskipun akhirnya Kan`an tidak menghiraukan seruan ayahnya. Namun, dalam frasa ayat tersebut, Nabi Nuh tetap memanggilnya dengan lemah lembut dan mesra melalui frasa “ya bunayya”. Artinya, Nabi Nuh tidak pernah bosan mendidik anaknya sampai ajal menjemputnya. Sekalipun Kan`an durhaka, beliau tidak pernah meninggalkannya.

Selain itu ada juga sosok Syeikh Madyan yang diceritakan Alquran. Allah berfirman:

﴿ قَالَتْ اِحْدٰىهُمَا يٰٓاَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖاِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْاَمِيْنُ ٢٦ قَالَ اِنِّيْٓ اُرِيْدُ اَنْ اُنْكِحَكَ اِحْدَى ابْنَتَيَّ هٰتَيْنِ عَلٰٓى اَنْ تَأْجُرَنِيْ ثَمٰنِيَ حِجَجٍۚ فَاِنْ اَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَۚ وَمَآ اُرِيْدُ اَنْ اَشُقَّ عَلَيْكَۗ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ ٢٧ ﴾

“[26] Salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, “Wahai ayahku! Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya. [27] Dia (Syekh Madyan) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja untukku selama delapan tahun. Jika engkau sempurnakan sepuluh tahun, itu adalah (suatu kebaikan) darimu. Aku tidak bermaksud memberatkan engkau. Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (Q.S. Al-Qashash [28]: 26-27).

Menurut para mufasir, ayah dari dua orang perempuan tersebut adalah Nabi Syuaib. Rupanya salah seorang anak perempuannya kagum kepada Nabi Musa karena beliau kuat, ulet, dan bisa dipercaya. Kemudian ia meminta ayahnya untuk mempekerjakan Nabi Musa. Menurut Sayyid Quthub, barangkali Nabi Syuaib merasakan adanya kecenderungan fitrah yang lurus untuk membangun keluarga antara anaknya dan Nabi Musa. Oleh karena itu, beliau mengajukan kepada Nabi Musa agar menikahi salah seorang anak perempuannya dengan mahar berupa jasa menggembalakan ternak.

Secara struktural, dalam ayat ini tidak ada dialog berupa nasihat dari Nabi Syuaib kepada anaknya. Sebaliknya, ada dialog dari anak perempuan kepada ayahnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa Alquran mengisahkan kedekatan seorang ayah dengan anak perempuannya. Artinya, seorang anak perempuan tidak perlu takut atau segan sehingga bersikap tertutup. Demikian pula seorang ayah hendaknya dapat merasakan keinginan hati anaknya. Hal ini mungkin terjadi jika anak perempuan merasakan kasih sayang seorang ayah dan ia tahu bahwa ayahnya memahami dan peduli atas keinginannya.

Baca juga: Fashabrun Jamil, Kisah Kebijaksanaan Sang Ayah saat Ditipu Anak-anaknya

Bertanggung jawab terhadap anak

Ungkapan bahwa anak tidak meminta untuk dilahirkan dalam satu sisi memang dapat dianggap relevan. Hal ini tentu saja memberikan konsekuensi logis bahwa kehadiran anak adalah tanggung jawab orang tua, khususnya ayah sebagai kepala keluarga. Terkait hal ini, kita juga dapat belajar dari kisah Nabi Syuaib dalam Q.S. Al-Qashash di atas, yakni bagaimana beliau menyiapkan dengan matang masa depan bagi anak perempuannya. Nabi Syuaib merencanakan masa depan yang baik dengan menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki yang memiliki potensi, baik lahir maupun batin.

Dalam melakukan berbagai perannya di atas, para ayah yang diceritakan Alquran adalah ayah yang lemah lembut dan mencurahkan kasih sayang kepada anak-anaknya berikut sikap tanggung jawab atas pendidikan dan masa depannya. Artinya, kehadiran ayah dalam pengasuhan anak sangat dibutuhkan dan berpengaruh terhadap proses perkembangan anak. Sebab, menurut beberapa penelitian, kehadiran seorang ayah secara konsekuen memberikan stimulasi afeksi sehingga memberikan rasa nyaman dan penuh kehangatan. Wallahu a’lam. []

Baca juga: Parenting Demokratis ala Nabi Ibrahim dalam Q.S. As-Saffat: 102

Ngaji Gus Baha: Etika Bertamu Saat Berkunjung ke Rumah Orang Lain

0
Gus Baha
Gus Baha

Al-Quran dalam surah an-Nur ayat 27 secara gamblang menerangkan bagaimana seharusnya seorang muslim memiliki tata krama saat bertamu. Gus Baha dalam menafsirkan ayat tersebut menerangkan bahwa kunci utama bertamu yaitu pengunjung dan tuan rumahnya keduanya harus merasa nyaman (isti’nas). Berikut firman Allah surah an-Nur ayat 27.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَدْخُلُوْا بُيُوْتًا غَيْرَ بُيُوْتِكُمْ حَتّٰى تَسْتَأْنِسُوْا وَتُسَلِّمُوْا عَلٰٓى اَهْلِهَاۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Demikian itu lebih baik bagimu agar kamu mengambil pelajaran.” (QS. an-Nur [24]: 27)

Tafsir Surat an-Nur ayat 27: Menerapkan Isti’nass dalam Bertamu

Firman Allah pada penggalan ayat di atas, hatta tasta’nisu, kata tasta’nisu menurut Ali ash-Shabuni bermakna lembut. Sebab yang dimaksud bukan semata-mata minta izin tetapi juga mengetahui kerelaan dengan senang hati pemilik rumah untuk mengizinkan si tamu untuk masuk dalam rumahnya. Ia kemudian mengutip perkataan al-Maududi yang berpendapat bahwasannya orang sering mengartikan kata isti’nas diartikan minta izin, padahal menurutnya antara dua kata itu ada perbedaan arti yang halus, yaitu bahwa kata isti’nas itu lebih umum dan lebih meliputi daripada kata isti’dzan, sehingga makna hatta tasta’nisu itu ialah sehingga mengetahui kerelaan dan kesenangan hati tuan rumah akan keinginan tamu masuk rumahnya.

Baca Juga: Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Penyebutan Binatang dalam Al-Quran

Al-Qurtubi menyatakan bahwa menurut satu pendapat, makna tasta’nisu adalah mencari tahu, yakni mencari tahu orang yang ada di dalam rumah. Pengertian inilah yang disinyalir oleh al-Qurtubi sebagaimana dikemukakan oleh at-Tabari bahwa tasta’nisu mengandung makna mencari tahu. Senada pula dengan pernyataan Al-Qurtubi, Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa kata isti’nas artinya adalah isti’lam, yaitu mencari tahu dan istikshaf, yaitu berusaha mengungkap sesuatu dalam keadaan jelas dan terbuka. Dengan demikian menurutnya barangsiapa yang ingin masuk ke rumah orang lain, maka harus mencari tahu dari penghuni rumah apa yang mereka inginkan, apakah tuan rumah tidak keberatan dan mengizinkan untuk dikunjungi si tamu.

Menurut Sayyid Qutb, isti’nas merupakan ungkapan yang sangat sensitif dan halus, untuk memelihara kondisi jiwa dan menghormati situasi orang-orang yang ada di dalam rumah. Juga kondisi darurat yang tidak seharusnya para penghuni rumah merasa tertekan ketika menerima kedatangan tamunya. Quraish Shihab dalam hal ini menjelaskan dengan detail, kata tasta’nisu terambil dari kata (uns) yaitu kedekatan, ketenangan hati dan keharmonisan. Penambahan huruf (sin) dan (ta’) pada kata ini bermakna permintaan, dengan demikian penggalan ayat ini menurutnya memerintahkan mitra bicara untuk melakukan sesuatu yang mengundang simpati tuan rumah agar mengizinkannya masuk ke rumah, sehingga tuan rumah tidak didadak dengan kehadiran seseorang tanpa persiapan.

Saling Merasa Nyaman Antara Tamu dan Tuan Rumah 

Menurut Gus Baha al-Quran surah an-Nur ayat 27 ini sungguh luar biasa karena dapat merangkum makna yang mendalam, isti’nas yang menjadi kunci dalam bertamu. Bahwa jika seseorang ingin bertamu ke rumah orang lain ia harus memastikan apakah itu tidak mengganggu diri sendiri dan orang lain (kaidah la dharara wala dhirara) singkat gkat kata keduanya saling merasa nyaman, si-tamu enjoy mengunjungi penghuni rumah, begitu juga tuan rumah nyaman tidak merasa terganggu dengan kedatangan tamu di rumahnya.

Hal itu bisa diukur dari sisi keakraban, misal seeorang yang mengunjungi saudara sepupunya, karena akrab sejak kecil maka mungkin bisa mengabaikan jam bertamu. Berbeda dengan seorang murid yang ingin sowan kepada gurunya harus memastikan kapan jam kosongnya gurunya sehingga bisa menerima tamu. Selain itu juga si-tamu harus mengerti kebutuhan tuan rumah, seperti membawakan oleh-oleh atau makanan yang membuat hati tuan rumah senang hati terlebih karena kedatangan dirinya.

Baca Juga: Isyarat Ketahanan Pangan Nasional dalam Surah Yusuf Ayat 46-49

Oleh karenanya, Gus Baha menganjurkan seseorang yang mau bertamu tidak mengucapkan salam dulu, pada kasus ini maksudnya tanpa memperhatikan aspek hatta tasta’nisu sebagaimana diterangkan ayat diatas. Karena sesuai tuntunan al-Quran, harus nyaman dulu, sangat penting untuk memastikan kenyamanan pemilik rumah. “Coba bayangkan, kamu bertamu untuk nagih hutang, pasti orang yang ingin kamu tagih itu menganggap kamu itu problem. Hal-hal itu harus diperhatikan.” Imbuhnya.

Diterangkan Gus Baha, salah satu cara melihat apakah tuan rumah itu nyaman, hendaknya menunggu sampai ia sendiri yang mengundang dan mempersilahkan kita untuk datang ke ruamhnya. Karena kalau sudah begitu, tuan rumahnya sudah siap untuk menerima tamu. Tradisi tersebut juga hidup di kaum Nahdliyin, datang ke rumah kiai ketika diundang. Wallahu A’lam.