Beranda blog Halaman 92

Panuduh: Doa dan Penghormatan terhadap Alquran

0
panuduh
panuduh

Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam tulisannya yang berjudul “The Living Al-Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi”—dimuat dalam Jurnal Walisongo Volume 20 Nomor 1 Tahun 2012—mengemukakan bahwa salah satu makna Alquran bagi masyarakat yaitu sebagai kitab suci yang dikeramatkan. Oleh karena posisinya yang keramat tersebut, maka fisik Alquran harus dimuliakan.

Ada banyak cara untuk memuliakan fisik (baca: mushaf) Alquran. Contoh yang paling jelas yaitu bahwa seseorang harus suci dari hadas besar dan kecil untuk dapat menyentuh mushaf Alquran. Menariknya, selain yang berdasarkan ajaran agama, ada juga perilaku memuliakan Alquran yang berdasarkan pada tradisi.

Baca Juga: Living Quran; Melihat Kembali Relasi Al Quran dengan Pembacanya

Contoh tradisi memuliakan mushaf Alquran yaitu penggunaan alat tunjuk ketika belajar atau membaca Alquran. Tradisi itu ada dalam masyarakat Banten, dan mungkin masyarakat lain di nusantara. Di (sebagian) masyarakat Banten, alat tunjuk Alquran itu disebut panuduh atau tutuduh—berasal dari Bahasa Sunda “tuduh”, yang berarti “menunjuk”.

Penggunaan alat tunjuk dalam membaca Alquran yang berupa tongkat kecil seukuran sumpit atau sedotan, selain bertujuan untuk mendapatkan fokus huruf atau ayat yang dibaca, dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan terhadap Alquran; karena menunjuk ayat-ayat Alquran dengan jari dianggap tidak hormat.

Kini, panuduh itu telah menjelma dalam nama dan rupa yang baru. Di toko-toko buku, dapat ditemukan kalam atau qolam, alat tunjuk Alquran yang biasanya terbuat dari plastik dengan warna yang terang—meskipun ada juga yang terbuat dari kayu atau bambu, tetapi lebih jarang ditemukan—dengan hiasan tertentu di bagian atasnya.

Pada masa lalu, panuduh terbuat dari lidi kelapa (Cocos nucifera), lidi aren (Arenga pinnata), ranting bambu (Bambusoideae), atau batang daun dadap (Erythrina variegata). Ada maksud yang bermakna doa dalam pemilihan bahan-bahan untuk panuduh itu.

Lidi pohon kelapa dan pohon aren serta ranting bambu dipilih karena ketiga tanaman itu dianggap memiliki banyak manfaat: buah kelapa, buah aren, dan tunas bambu dapat dikonsumsi; daun kelapa dan aren untuk membuat atap; lidi kelapa dan aren—yang didapat dari ruas-ruas daunnya—dapat dijadikan sapu; sementara batang kelapa dan batang bambu merupakan bahan bangunan.

Ada kaidah tersendiri dalam memilih ranting bambu sebagai panuduh; yaitu dengan menghitung ruas ranting bambu berdasarkan urutan kata dari Bahasa Jawa Banten: belet, peteng, calakan, lancar. Belet berarti “bodoh”, peteng berarti “gelap”—simbol dari kebodohan, calakan berarti “cerdas”, sementara lancar memiliki arti yang sama dengan kata lancar dalam Bahasa Indonesia.

Panuduh dari batang daun dadap berupa batang kecil yang menghubungkan daun dengan dahan pohon dadap, yang sudah mengering. Bagian dalam batang daun dadap menyerupai gabus; dapat dipisahkan dari batang dengan cara mendorongnya keluar dengan lidi atau benda lain. Setelah gabusnya keluar, batang daun dadap akan menyerupai sebatang pipa kecil—atau sedotan.

Baca Juga: Relasi Islam, Alquran, dan Budaya

Kesemua bahan panuduh itu merupakan simbolisasi doa. Lidi dari pohon kelapa dan pohon aren serta ranting bambu merupakan simbol dari manfaat. Harapan dari penggunaan panuduh dari bahan-bahan tersebut yaitu bahwa seorang pembelajar atau pembaca Alquran bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat serta menjadi manusia yang bermanfaat bagi diri dan masyarakatnya.

Sebuah panuduh dari ranting bambu harus memiliki jumlah ruas yang jika dihitung berdasarkan urutan kata—belet, peteng, calakan, lancar—jatuh pada kata calakan atau lancar; tidak boleh jatuh pada kata belet atau peteng. Itu adalah doa agar seorang pembelajar dan pembaca Alquran diberikan kecerdasan dan kelancaran—serta dijauhkan dari kebodohan—ketika belajar Alquran.

Sementara itu, batang daun dadap yang bolong merupakan lambang dari kelapangan, keluasan, atau kelancaran; yang dimaknai sebagai harapan akan ketiadaan hambatan dalam belajar Alquran serta kelapangan hati dalam menerima ilmu dari Alquran.

Demikanlah gambaran mengenai salah satu tradisi masyarakat Banten dalam memuliakan Alquran yang mewujud dalam panuduh. Lebih jauh lagi, penggunaan alat tunjuk baca Alquran yang tradisional itu, selain dalam rangka memuliakan Alquran, juga sebagai simbolisasi doa bagi para pembelajar dan pembaca Alquran.

Perbedaan Jumlah Surah dalam Alquran di Masa Sahabat

0
Perbedaan Jumlah Surah dalam Alquran di Masa Sahabat
Perbedaan Jumlah Surah dalam Alquran di Masa Sahabat

Alquran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat penyampai wahyu, yaitu Jibril. Tentu seperti yang telah kita ketahui, di dalam Alquran, terdapat beberapa surah, ribuan ayat dan jutaan huruf.

Kita bahas terlebih dahulu tentang apa itu surah? Surah adalah bagian dari Alquran yang memuat beberapa ayat -paling sedikit berjumlah tiga ayat-.

Dalam Ulumul Qur’an, terdapat beberapa pendapat yang mengatakan bahwa jumlah surah dalam Alquran ada 116 surah, 114 surah, 113 surah, dan 112 surah. Perbedaan jumlah surah dalam Alquran terjadi karena pada saat itu, para sahabat memiliki mushaf pribadi dengan nama yang dinisbahkan kepada mereka. Sahabat tersebut antara lain: Abdullah Ibn Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Hafsah binti Umar, Aisyah binti Abu Bakar, Ummu Salamah, Abdullah nin ‘Amr, dan Abdullah bin Zubair.

Baca juga: Ragam Sumber Penyalinan Mushaf Alquran

Dalam mushaf Ibn Mas’ud, terdapat 112 surah, sebab, di dalam mushhafnya tidak ditulis al-Mu’awwidzatain (surah Alfalaq dan Annaas). Ada beberapa orang yang mengatakan bahwasannya Abdullah Ibn Mas’ud tidak mencantumkan al-Mu’awwidzatain ini karena bukan termasuk salah satu kitabullah. Demikianlah, pendapat para Imam termasuk Imam Nawawi, Ibnu Hazim, Qadhi Abu Bakar.

Qadhi Abu Bakar dalam pendapatnya menyatakan:  “Tidak benar Ibnu Mas’ud menolak dua surah tersebut sebagai bagian dari Alquran. Beliau memang menghafalnya. Hanya saja, beliau menolak menuliskannya karena menurutnya yang tertulis dalam Alquran hanya yang diperintahkan oleh Nabi saw. untuk menulisnya. Sedangkan beliau tidak menemukan tulisan 2 surah tersebut dan Nabi pun tidak memerintahkan untuk menuliskannya. (Kuliah Ulumul Qur’an, hlm.73).

Kemudian, di dalam mushaf sahabat lain yaitu Ubay bin Ka’ab terdapat 116 surah. Karena beliau menuliskan dua surah tambahan di akhir mushaf, yaitu surah al-Hafdu dan al-Khulu’. Muhammad bin Nashr al-Maruzi mengeluarkan sebuah riwayat di dalam Kitab al-Shalah, dari Ubay bin Ka’ab, bahwa dia dulu mebaca Qunut dengan dua surah, kemudian dia menyebut keduanya, dan pernah menulis kedua surah dalam mushafnya.

Baca juga: Genealogi Kajian Tafsir di Kawasan Yaman: Masa Nabi dan Sahabat (1)

Ibnu al-Dhurais menuturkan dari Ahmad bin Jamil al-Maruzi, dari Abdullah bin Mubarak, dari Ajlah, dari Abdullah bin Abdur Rahman, dari ayahnya ia berkata: “Di dalam Mushaf Ibnu Abbas ada qira’ah Ubay dan Abu Musa: “Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma inna nasta’inuka wa nastaghfiruka, wa nutsni ‘alaikal khaira wa la nakfuruk, wa nakhla’u wa natruku man yafjuruk.’ Di dalamnya terdapat ‘Allahumma iyyaka na’bud, wa laka nushalli wa nasjud, wa ilaika nas’a wa nahfid, nakhsya ‘adzabak, wa narju rahmatak, inna ‘adzabaka bil kuffari mulhiq’.”

Kemudian pada riwayat lain, dari Imam al-Baihaqi, terdapat sebuah riwayat dari jalan periwayatan Sufyan al-Tsauri, dari Ibnu Juraij, dari Atha’, dari Ubaid bin Umair yang berkata: sesungguhnya Umar bin Khattab membaca doa Qunut setelah rukuk: “Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma inna nasta’inuka wa nastaghfiruka, wa nutsni ‘alaikal khaira wa la nakfuruk, wa nakhla’u wa natruku man yafjuruk.’ Di dalamnya terdapat ‘Allahumma iyyaka na’bud, wa laka nushalli wa nasjud, wa ilaika nas’a wa nahfid, nakhsya ‘adzabak, wa narju rahmatak, inna ‘adzabaka bil kuffari mulhiq.” Demikian para ulama yang lainnya ada yang menukil dari mushaf Ubay bahwa Alquran terdiri dari 116 surah, padahal yang betul 115 karena surah Quraisy dan Alfiil termasuk satu surah. (al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, terj., juz 1, hlm. 253).

Ada berberapa pendapat juga yang mengatakan bahwa jumlah surah dalam Alquran itu sebanyak 113. Kenapa? Karena dikatakan bahwasannya surah Alanfal dan Bara’ah merupan satu surah.

Baca juga: Kekhawatiran Ulama Era Awal Terhadap Modifikasi Mushaf Al-Qur’an

Ibnu Asytah mengeluarkan sebuah riwayat dari Ibnu Luhai’ah, dia berkata, “Mereka berkata bahwa sesungguhnya (surah) Bara’ah itu termasuksurah Yas-alunaka (Alanfal), dan sesungguhnya ‘Bismillahirrahmanirrahmim’ tidak ditulis di awal surah Bara’ah, karena surah Bara’ah termasuk surah Yas-alunaka (Alanfal).” (al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, terj. juz 1, hlm. 251).

Kemudian, ada riwayat yang mengatakan, ada seorang sahabat yang menanyakan kepada Ali bin Abi Thalib tentang alasan surah Bara’ah tidak dituliskannya ‘bismillahirrahmanirrahim’ di dalamnya. Ali mengatakan karena basmalah itu (memberikan rasa) aman, sedangkan Bara’ah itu turun dengan pedang.

Perbedaan tersebut yang telah dijelaskan, karena mushaf pribadi para sahabat yang dinisbahkan kepada namanya sendiri dan dalam tartib surah. Akan tetapi, jumlah yang masyhur atau yang telah disepakati oleh para ulama yaitu 114 surah yang telah di sepakati oleh para penulis lembaran-lembaran mushaf zaman kekhalifahan Utsman bin Affan. Tentu, adanya perbedaan jumlah surah pada Alquran di antara para sahabat bukan berarti mereka itu mengada-ngada ataupun membuat hal baru. Perbedaan tersebut semata sebagai bukti bahwa pengumpulan Alquran dalam bentuk mushaf-mushaf para sahabat adalah hasil ijtihad dari mereka sendiri dan apa yang mereka dengar dari Rasulullah saw. Wallahu a’lam.

Tantangan pembelajaran Al-Quran Masa Kini Menurut M. Quraish Shihab

0
Tantangan Pembelajaran Al-Quran
Tantangan Pembelajaran Al-Quran Menurut M. Quraish Shihab

Di era modern, tantangan pembelajaran Al-Quran kian beraneka ragam. Tantangan itu, menurut Quraish Shihab, menyangkut pemahaman seseorang tentang Al-Quran dan menyangkut cara kita mengajarkan Al-Quran kepada masyarakat. Memang, Allah menghendaki perbedaan pemahaman dalam cara kita menafsirkan Al-Quran. Sudah banyak beratus-ratus dan berjilid-jilid kitab tafsir dan turunannya yang mengulas atau mengkaji Al-Quran sebagai pedoman umat Islam dalam beragama.

Akan tetapi, penafsiran Al-Quran tidaklah stagnan melainkan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan peradaban manusia. Karena Perubahan adalah keniscayaan alam semesta. Hal tersebut senada dengan sebuah ungkapan yang menyebutkan, seperti yang dikutip Quraish Shihab dan Husein Muhammad, “al-‘alam mutaghayyir wa kullu mutaghayyir hadits, yuntij al-‘alamu hadits” (alam semesta adalah eksistensi yang berubah, setiap yang berubah adalah baru, alam adalah baru. Dan kata ‘alam bermakna segala selain Tuhan).

Kaidah di atas membuktikan bahwa sebenarnya ada wujud Tuhan yang melalui hukum-hukumnya (sunnatullah) terjadi perubahan-perubahan dalam masyarakat bahkan dalam segala wujud. Tidak ada yang berubah kecuali perubahan itu sendiri, yang tidak berubah adalah Yang Abadi, demikian kata Quraish Shihab dalam Youtube Quraish Shihab.

Kata al-‘abad dalam bahasa Al-Quran, menurut Shihab, adalah yang tidak berpemulaan dan tidak berakhir. Selainnya itu, berpemulaan dan juga berakhir, apapun dan siapapun dia pasti mengalami fase tersebut. Yang tidak berubah adalah kalamullah (firman Allah), akan tetapi penafsirannya selalu berubah dan berkembang seiring peradaban manusia. Karena itu, Al-Quran selalu memerintahkan kepada setiap orang untuk memikirkan dan mempelajari Al-Quran sebagai bagian daripada memahami ajaran Islam itu sendiri.

Kitab tafsir yang terus kita kaji sekarang, lanjut Shihab, pun tidak terlepas dari konteks ruang dan waktu yang mengitarinya. Andai kata, mereka para mufassir tersebut hidup di masa kini tentu akan melakukan reupgrading agar kandungan Al-Quran senantiasa kontekstual bagi kehidupan manusia. Hingga Abbas al-‘Aqaid menulis, “seandainya sahabat nabi hidup pada masa sekarang atau berlanjut kehidupannya hingga masa kini, maka pasti pendapat-pendapatnya yang lama akan diubahnya sesuai dengan konteks perkembangan zaman”.

Persoalannya adalah bagaimana cara kita mengarifi sekian banyak pemahaman atas Al-Quran? Zaki Najib Mahmud yang dikutip Quraish Shihab dalam bukunya, Wawasan Al-Quran, menyatakan bahwa sekarang ini kita menghadapi pemikiran yang baru dan dikemukakan oleh orang yang baru. Ia menggarisbawahi setidaknya ada beberapa kategori menyikapi sekian pemahaman, yaitu ada yang baru tetapi sudah dikembangkan oleh orang yang lama sehingga penafsiran tersebut tetap relevan sampai sekarang. Dan ada yang lama dan masih dikemukakan saat ini, serta ingin dipertahankan sampai saat ini.

Dalam hal ini, Quraish Shihab menegaskan kita tidak ingin mengubah teks-teks Al-Quran tetapi kita berkewajiban mengubah penafsirannya sesuaai dengan perkembangan masa kini tanpa melanggar ketentuan-ketentuan agama. Di sinilah letak kesulitannya, kata Shihab. Bagaimana kita bisa memajukan/ menawarkan penafsiran yang baru yang menurut pandangan kita tidak melenceng dari garis-garis Al-Quran di satu sisi, namun kita ingin memelihara turats, apa yg dihasilkan oleh ulama-ulama kita masa lalu dengan melakukan penyeleksian di sisi yang lain. Shihab memberi batasan, kalau itu baik dan bahkan lebih baik, maka ambillah. Tetapi kalau tidak, berlaku kaidah “al-muhafadzah ala qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil aslah” (melestarikan sesuatu yang lama dan mengadopsi sesuatu yang baru yang lebih baik).

Setidaknya ada empat prinsip dalam konteks mempelajari Al-Quran menurut Quraish Shihab, yaitu Pertama, kita harus sadar bahwa tidak boleh ada suatu penafsiran yang bertentangan dengan ushuluddin (dasar pokok agama Islam). Kedua, tidak boleh ada penafsiran yang bertentangan dengan bahasa yang digunakan pada masa turunnya Al-Quran serta tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah kebahasaan yang disepakati.

Quraish Shihab mencontohkan kata sayyarah. Sayyarah artinya mobil, namun kata ini tidak digunakan untuk makna mobil oleh Al-Quran. Kalau seseorang menggunakan makna tersebut dalam penafsiran Al-Quran, maka kita tolak. Sebab, ada kaidah-kaidah kebahasaan yang disepakati, misalnya ada yang dinamai muannas majazi. Muannas majazi ada yang menafsirkan bahwa yang lebih dulu diciptakan Tuhan adalah perempuan dengan merujuk pada Q.S. An-Nisa [4]: 1.

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (Q.S. An-Nisa [4]: 1)

Ayat ini menegaskan bahwa Nabi Adam a.s. dan Hawa tidak diciptakan melalui proses evolusi hayati seperti makhluk hidup lainnya, tetapi diciptakan secara khusus seorang diri, lalu diciptakanlah pasangannya dari dirinya. Mekanismenya tidak dapat dijelaskan secara sains. Selanjutnya, barulah anak-anaknya lahir dari proses biologis secara berpasangan-pasangan sesuai kehendak-Nya.

Contoh lain dari muannas majazi adalah wahidatin (وَّاحِدَةٍ). Jadi kalau begitu, dia diciptakan dari perempuan dulu karena wa khalaqa minha zaujaha itu zauj, laki-laki. Tentu hal itu bertentangan dengan kaidah kebahasan. Selain itu, menurut Shihab, ada kata-kata di dalam Al-Quran yang bisa mengandung dua makna, yaitu ada makna yang memang berbeda dan yang bisa digabung keduanya. Jika ada makna yang bisa digabung itu dapat dilakukan dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah kebahasaaan, maka diperbolehkan. Lain halnya dengan makna yang memang tidak bisa digabung dan dua-duanya dibenarkan secara kaidah kebahasaan, maka kita diperbolehkan memilih, tapi jangan mempersalahkan yang lain sebab ia tetap sesuai dengan kaidah kebahasaan.

Ambil contoh Surat Al-Baqarah ayat 282,

وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْ ۗ

Ambillah saksi apabila kamu berjual beli dan janganlah pencatat mempersulit (atau dipersulit), begitu juga saksi. Jika kamu melakukan (yang demikian), sesungguhnya hal itu suatu kefasikan padamu. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 282)

Dalam hal ini, kita fokus pada redaksi wa la yudharra katibun wala syahid. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah memaknai dengan dua makna; janganlah penulis dan saksi memudharatkan yang bermuamalah, dan dapat juga berarti janganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis. Kedua makna ini menurut kaidah kebahasaan dibenarkan karena yudharra asal katanya adalah bisa yudharrir dan yudharrar. Kalau kita baca yudharrir katibun, maka menjadi fa’il (subjek) yang berarti janganlah seorang penulis atau saksi merugikan mereka yang bertransaksi, atau melakukan hutang-piutang. Di sini larangan tertuju pada notaris, penulis dan saksi-saksi.

Namun, jika kita baca yudharrar katibun, maka ia menjadi naibul fa’il, yang bermakna janganlah yang melakukan transaksi memberi mudharrat kepada penulis/ saksi. Dalam hal ini, makna kedua-duanya bisa diterima, dan kita tidak perlu bertengkar soal itu, begitu kata Quraish Shihab. Menurutnya, sebagian problematika kita sekarang adalah menolak penafsiran yang masih bisa diterima karena dia hanya memahami satu penafsiran.

Quraish Shihab menggarisbawahi bahwa sebenarnya dalam konteks pembelajaran tafsir, kita harus lebih menekankan pada pengajaran tentang kaidah-kaidah tafsir daripada berkutat pada pengajaran tentang kandungan tafsir sebab kandungan tafsir bisa berubah dan bisa jadi sudah out of date di masa sekarang. Tidak hanya menukil yang lama, namun bisa mengajukan penafsiran yang baru dengan tetap tidak bertentangan dengan kaidah kebahasaan dan kebutuhan masa kini.

Salah satu yang ditekankan dalam pembelajaran Al-Quran adalah at-tadabur at-tilawah, berusaha memahami, membaca dan mengikutinya dengan pengamalan, itulah makna tilawan. Menurut Shihab, qiraah itu hanya membaca, artinya dari satu teks ke teks yang lain maupun tanpa teks. Tetapi, kalau dibarengi dengan pengamalan, utlu ma uhiya ilaika min rabbik, itu jauh lebih baik. Dalam konteks ini, akhlak harus mencerminkan tuntunan Al-Quran. Wallahu a’lam.

Peran Penulis dan Penyurat Terengganu di Mushaf Nusantara

0
Peran Penulis dan Penyurat Terengganu di Mushaf Nusantara
Mushaf Hatuwe 4 cetakan Singapura.

Pertama-tama, penulis hendak menyampaikan disclaimer bahwa setiap naskah kuno, termasuk mushaf Alquran, memiliki keunikan dan keindahan tersendiri yang menjadi ciri khasnya. Oleh karenanya, penilaian terhadap sebuah naskah kuno boleh jadi merupakan subjektivitas peneliti.

Annabel Teh Gallop dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Studio Al-Qur’an PISM Universiti Malaysia Terengganu (UMT) (12/12/22) menyampaikan bahwa di antara mushaf-mushaf Nusantara yang dapat disejajarkan dengan mushaf lain di dunia dalam keindahannya adalah mushaf-mushaf Terengganu.

Keindahan mushaf Terengganu ini terlihat terutama dari gaya (style) yang digunakan, penggunaan warna yang terang, dalam, dan berkilau, serta kerapatan motif yang dituliskan (selengkapnya lihat pada The Art of The Malay Qur’an). Hal ini, menurut Bu Annabel, tidak terlepas dari tingginya tingkat keterampilan penulis dan penyurat asal Terengganu.

Sebagai informasi, ada perbedaan istilah yang digunakan pada literatur mushaf kuno dalam menyebut aktivitas menyalin atau menulis teks dan menggambar atau melukis iluminasi. Menyalin atau menulis teks disebut dengan redaksi menyurat (dengan kata dasar surat). Sedangkan menggambar atau melukis disebut dengan menulis (dengan kata dasar tulis). Warisan penggunaan istilah ini terlihat dari frasa batik tulis yang dalam produknya justru berisi gambar alih-alih teks atau tulisan.

Perbedaan istilah juga digunakan untuk menyebut hiasan dalam iluminasi seperti bingkai halaman, yang dalam salah satu naskah kuno disebut dengan istilah kepala. Namun, dalam penggunaan era modern kini, istilah tersebut tidak digunakan dan berpindah kepada istilah lain. Penjelasan perubahan istilah ini sebagaimana Bu Annabel dalam Dreamsea Collouium 2022 – Session 1 dengan tema Manuskrip & Keragaman Tradisi Nusantara (14/12/2022).

Baca juga: Iluminasi Terengganu dalam Mushaf Kuno Indonesia

Kembali pada mushaf Terengganu. Keterampilan para penulis dan penyurat inilah yang menyebabkan posisi penting mereka di Nusantara. Masih dari Bu Annabel, beliau memberikan “bocoran” jika Pak Ali Akbar saat ini tengah mengumpulkan informasi dan melakukan kajian terhadap penulis dan penyurat mushaf kuno di Nusantara.

Kajian ini sangat penting bagi dunia permushafan Nusantara terutama untuk mengetahui asal sebuah mushaf. Sebagaimana salah satu tujuan utama dari penelitian filologi adalah untuk menemukan asal sebuah naskah. Selain itu, kajian ini juga bermanfaat dalam melakukan pembacaan terhadap gaya atau kesenian yang digunakan mushaf kuno.

Posisi penting para penulis dan penyurat ini, berdasarkan pada bocoran Bu Annabel, dapat dilihat dari mushaf-mushaf cetakan Singapura yang tersebar di beberapa wilayah di Nusantara. Percetakan Singapura sendiri, yang aktif melakukan produksi di tahun 1860-1870, diketahui telah melakukan rekrutmen terhadap beberapa kaligraf Terengganu mengingat reputasi yang mereka miliki.

Berdasarkan informasi ini, penulis kemudian mencoba melakukan penelusuran terhadap mushaf-mushaf kuno, terutama di Indonesia, dan mendapati hasil yang cukup mengesankan. Ditemukan setidaknya ada tiga mushaf cetakan Singapura yang memiliki gaya Terengganu. Penggunaan gaya ini menjadi satu bukti penting adanya pengaruh dari penulis dan penyurat terhadap produk yang dihasilkan.

Ketiga mushaf tersebut adalah mushaf yang kini tersimpan di Masjid Agung Surakarta dan mushaf milik Elang Panji Jaya, yang dalam buku Mushaf Kuno Nusantara edisi Jawa masing-masing bernomor 7 dan 3, serta mushaf Hatuwe, Maluku, yang dalam buku Mushaf Kuno Nusantara edisi Sulawesi & Maluku berkode MA 14. Sayangnya penulis tidak mendapati gambar yang cukup baik pada mushaf milik Elang Panji Jaya untuk ditampilkan.

Mushaf Masjid Agung Surakarta nomor 7 cetakan Singapura.

Baca juga: Para Penulis Alquran di Zaman Nabi Muhammad

Dalam deskripsi yang tertera, ketiganya dijelaskan sebagai cetakan Singapura. Selain itu juga terdapat informasi lain yang memberikan penguatan, seperti penggunaan teknik cetak batu atau litografi (mushaf Hatuwe 4) dan tahun cetakan yang menunjukkan angka 1868 M. atau setara 1285 H. (mushaf Masjid Agung Surakarta).

Dari sisi tampilan, mushaf-mushaf tersebut juga menunjukkan gaya iluminasi Terengganu sebagaimana dijelaskan Bu Annabel, seperti iluminasi yang terdiri dari dua bingkai, yakni bingkai dalam yang mengelilingi teks dan bingkai luar yang merapat pada tepi kertas; kubah pada bingkai dalam yang saling berkesinambungan; serta warna yang cenderung terang.

Dari ketiga mushaf ini serta informasi yang diberikan Bu Annabel, setidaknya dapat diketahui seberapa pentingnya posisi penulis dan penyurat asal Terengganu dalam dunia permushafan Nusantara. Namun, untuk lebih pastinya, mari bersama-sama kita tunggu hasil kajian Pak Ali Akbar yang sebelumnya telah dibocorkan oleh Bu Annabel. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Baca juga: Background Sosial-Budaya Penulisan Tafsir di Nusantara Menurut Islah Gusmian

Surah Ali Imran Ayat 19 dan Monopoli Kebenaran Perilaku Beragama

0
Surah Ali Imran Ayat 19 dan Monopoli Kebenaran Perilaku Beragama
Photo by Brett Jordan on Unsplash

Bangsa Indonesia bukan hanya diberkahi dengan kesuburan tanah, tetapi juga diberkahi dengan kemajemukan agama dan keyakinan masyarakatnya. Namun demikian, isu keagamaan hingga saat ini menjadi isu krusial yang akan terus menjadi tantangan dalam menata kehidupan berbangsa, khususnya dalam konteks ke-Indonesia-an yang sarat akan pluralitas agama. Misalnya kasus monopoli kebenaran atau truth claim perilaku beragama belakangan ini, yang sejatinya hal itu berpotensi dapat merusak tatanan sosial serta hubungan antarumat beragama.

Pada faktanya, memang semua agama nyaris tidak bisa menghindari apa yang disebut truth claim. Mengutip dari Said Aqil Siradj dalam Islam Kalap dan Islam Karib, bahwa truth claim merupakan watak dasar seseorang dalam menganggap benar apa yang diyakini dan dipraktekkan serta kecenderungan menganggap apa yang dilakukan agama lain sebagai kesalahan.

Oleh karena klaim kebenaran seperti itu, kelompok tertentu percaya bahwa hanya pengikut mereka yang akan selamat di akhirat nanti, sedangkan kelompok lain berada di jalan yang salah dan celaka. Sikap ini telah tersebar luas dan menjadi tantangan serius bagi masyarakat yang plural dari segi religiusitas. Sebab, monopoli kebenaran itu biasanya akan berujung pada kebencian, kekerasan terhadap kelompok lain, bahkan bisa menjadi musibah tragedi kemanusiaan.

Dalam tradisi tafsir, keberadaan truth claim turut serta mewarnai produk tafsir yang dihasilkan. Ada sebuah ayat Alquran misalnya, yang sering dipahami sebagian orang sebagai alat justifikasi pembenaran agama Islam di atas agama lain, yakni Q.S. Ali Imran ayat 19, yang mengatakan bahwa agama di sisi Tuhan adalah Islam. Padahal jika ditelaah dengan mendalam belum tentu ayat itu menegaskan bahwa satu-satunya agama yang benar adalah Islam (dalam artian agama yang terlembaga).

Baca juga: Inklusivitas Kebenaran dalam Islam

Tafsir Q.S. Ali Imran [3]: 19, Salah Kaprah Islam, dan Truth Claim

Para mufasir Alquran di Indonesia, khususnya pada periode kontemporer, umumnya melihat dan mempertimbangkan adanya pluralitas pada ayat tersebut sehingga dalam melakukan penafsiran sebisa mungkin menghindari hal-hal yang dapat mengusik tata sosial yang damai.

Bagi Hasbi ash-Shiddieqy, salah satu mufasir kontemporer Indonesia ini, misalnya, pengertian ayat di atas bukanlah pernyataan kebenaran eksklusif dalam Islam, melainkan deklarasi bahwa sejatinya Islam adalah berserah diri kepada Allah secara mutlak dengan jiwa dan hatinya, patuh kepada hukum Allah yang dia pegangi dan berlaku adil dalam kehidupan sosial serta mengedepankan perdamaian.

Selaras dengan itu, dalam al-Tahrir wa al-Tanwir, Ibnu ‘Asyur menyatakan bahwa makna Islam adalah “taslim al-zat li awamir Allah” yang artinya kepatuhan total orang terhadap perintah-perintah Allah). Demikian pula al-Razi yang menyatakan bahwa muslim adalah orang-orang yang menyerahkan diri mereka untuk ketaatan kepada Allah dengan tulus.

Al-Zamakhsyari menyatakan bahwa seorang muslim adalah siapapun yang menyucikan dirinya untuk Tuhan dan tidak mensekutukan-Nya dengan yang lain. Ungkapan itu berarti bahwa dia percaya pada Tuhan yang Esa dan Satu-satunya.

Sehubungan dengan tafsir ayat di atas, Hasbi ash-Shiddieqy mengemukakan bahwa sesungguhnya semua agama dan semua syariat yang dibawa oleh para nabi dan rasul, ruhnya adalah Islam. Ini berarti core-nya adalah patuh, berserah diri, damai, mengesakan Allah, dan berlaku adil dalam semua masalah meskipun sebagian tata cara (dalam beramal dan beribadah) berbeda antara satu dengan lainnya. Islam adalah agama yang diwasiatkan oleh para rasul kepada seluruh umatnya untuk mewarnai gerak-gerik kehidupan.

Dengan melihat pelbagai uraian tafsir pada ayat di atas, dapat dipahami bahwa mereka yang ingin selamat dan mendapat rida-Nya harus berislam. Maksudnya adalah menumbuhkan sikap yang telah diterangkan di atas. Biarpun ada seorang pemeluk Islam (dalam arti agama yang terlembaga) yang mengaku muslim, tetapi dia tidak menunjukkan sikap dan ciri-ciri yang telah disebutkan, maka sejatinya dia tidak berislam sesuai dengan yang dikehendaki Allah.

Baca juga: Makna Kebenaran dan Kebebasan Beragama dalam Alquran

Islam Agama Benar, tapi Jangan Salahkan Agama Lain!

Hal ini juga mengajarkan kita bahwa semestinya seorang muslim tidak membuat klaim kebenaran secara sepihak serta mengatakan yang lain adalah salah dan sesat. Sebab, Allah yang menganugerahkan bangsa kita yang beragam. Pastinya itu adalah kehendak-Nya dan merupakan rahmat dari-Nya. Pada firman-Nya yang lain Allah memerintahkan umat Islam untuk saling menghormati, menghargai, dan toleransi dengan umat lain. Jelas tidak ditemui ada perintah Allah untuk membenci dan menyesatkan manusia lain.

Penyebaran Islam di tanah air Indonesia melalui para wali mengajarkan keniscayaan dakwah dengan jalan kedamaian, kelembutan, dan tidak kaku atau keras. Tidak ada dalam catatan sejarah yang menyatakan bahwa mereka mengusik agama, tradisi, dan kepercayaan umat lain dalam kerja-kerja dakwah. Ini sebagaimana juga suri teladan dari Nabi Muhammad yang mempelopori Piagam Madinah yang menjamin kebebasan beragama semua umat manusia. Meskipun mereka berbeda agama, tetapi tidak masalah untuk bersatu dan saling bekerjasama.

Sebagai penutup, ada satu kalimat yang biasanya menjadi pemungkas dalam kitab yang ditulis oleh para ulama-ulama salaf, yaitu “wallahu a’lam bisshawab” yang berarti “hanya Allah yang mengetahui kebenaran”. Ini memberi kesadaran bahwa kebenaran bukanlah terletak pada diri sendiri yang terbatas pengetahuannya, melainkan kebenaran adalah di sisi-Nya. Para ulama salaf mengajarkan sikap kerendahhatian dalam bersikap, berpendapat. Jika dihubungkan dalam konteks ini hidup bersosial, ini menjadi teguran untuk tidak bertindak kontraproduktif karena justru akan menimbulkan permusuhan dan perpecahan antar sesama.[]

Baca juga: Mari Berlomba dalam Kebaikan dan Sudahi Saling Klaim Kebenaran!

Beberapa Makna ‘Kufr’ dalam Alquran

0
Makna Kufr dalam Alquran
Makna Kufr dalam Alquran

Sesungguhnya apa makna kufr? Kira-kira demikianlah pertanyaan umat beragama. Belakangan ini, term kafir mencuat kembali, terlebih di tahun politik. Harus diakui, term kafir memang terdapat secara eksplisit dalam Alquran dan sah adanya. Akan tetapi, jika diperhatikan secara serius, term kafir tidak dapat terlepas dari konteks ruang dan waktu. Artinya, kata kafir pun yang acapkali dipolitisir untuk mengafirkan seseorang tidak boleh digunakan secara serampangan karena dapat berakibat secara teologis dan psikologis kepada seseorang.

Oleh karena itu, artikel ini mengulas beberapa makna kufr dalam Alquran baik secara semantik/ tata bahasa maupun istilah/ pendapat para ulama. Begini penjelasannya.

Kata kufr dan turunannya terulang ratusan kali dalam al Quran, Abu Hilal al-Askary, sebagaimana dikutip Afifuddin Dimyathi, pakar tafsir Alquran dan bahasa Arab, mengatakan bahwa secara bahasa al-kufr bermakna menutupi, orang Arab bisa mengatakan, “al-lailu kafirun” (الليل كافِر), artinya malam adalah kafir, karena malam menutupi segala sesuatu dengan kegelapannya.

Sama seperti halnya kalimat “mendung menutupi bintang” (كَفَر الغمامُ النجومَ). Begitupun, orang yang menanam, kata Afifuddin Dimyathi atau Gus Awis, bisa disebut juga kafir, karena menyembunyikan/menutup benih di dalam tanah. Apalagi seseorang yang jelas-jelas tidak bersyukur atau mengkufuri atas nikmat yang Allah diberikan, itu lebih jelas lagi disebut kufur nikmat, karena menutupi kenikmatan yang telah diberikan kepadanya.

Baca Juga: Kuffar dalam Al-Quran Tidak Selalu Bermakna Orang-Orang Kafir, Lalu…

Menurut Afifuddin Dimyathi atau kerap disapa Gus Awis, dalam ilmu Al-Wujuh wa al-Nadhair fi Alquran, di antara beberapa makna dari kata kufr atau kafir dalam Alquran, di antaranya adalah,

Lawan dari Keimanan

Makna ini nampak dalam firman Allah Q.S. At-Taghabun [64]: 2,

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ فَمِنْكُمْ كَافِرٌ وَّمِنْكُمْ مُّؤْمِنٌۗ

Dialah yang menciptakan kamu, lalu di antara kamu ada yang kafir dan ada yang mukmi. (Q.S. At-Taghabun [64]: 2)

Atau dalam firman Allah berikut,

فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ

Barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir. (Q.S. Al-Kahfi [18]: 29)

Lawan dari Ketakwaan

Makna ini bisa dilihat dalam firman Allah Q.S. Az-Zumar [39]: 71-73,

وَسِيقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَىٰ جَهَنَّمَ زُمَرًا (الزمر ٧١)

Orang-orang kafir digiring ke neraka jahannam secara berombongan. (Q. S. Az-Zumar [39]: 71)

Kemudian diikuti oleh firman Allah berikutnya,

وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا (الزمر ٧٣)

Dan orang-orang yang bertaqwa kepada Tuhannya diantar ke dalam surga secara berombongan. (Q.S. Az-Zumar [39]: 73).

Kekafiran dalam makna kedua ini bukan termasuk kafir akidah, akan tetapi lebih dekat dengan makna pelanggaran/ kejahatan (الإجرام). Hal ini dikuatkan dengan ayat-ayat yang senada seperti,

يَوْمَ نَحْشُرُ الْمُتَّقِيْنَ اِلَى الرَّحْمٰنِ وَفْدًا وَنَسُوْقُ الْمُجْرِمِيْنَ اِلٰى جَهَنَّمَ وِرْدًا ۘ

(Ingatlah) suatu hari (ketika) Kami mengumpulkan orang-orang yang bertakwa (menghadap) kepada (Allah) Yang Maha Pengasih bagaikan rombongan yang terhormat dan Kami akan menggiring para pendurhaka ke (neraka) Jahanam dalam keadaan dahaga. (Q.S. Maryam [19]: 85-86)

Baca Juga: Konsep Kafir dalam Al-Qur’an Perspektif Farid Esack

Lawan dari Syukur/ Ingkar Kenikmatan

Makna ini bisa dilihat dalam ayat berikut,

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.” (Q.S. Ibrahim [14]: 7)

Juga dalam firman Allah,

وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

Dan barang siapa bersyukur, sesungguhnya ia bersyukur kepada dirinya sendiri, dan barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji. (Q.S. Luqman [31]: 12)

Dalam ayat yang lain,

اِنَّا هَدَيْنٰهُ السَّبِيْلَ اِمَّا شَاكِرًا وَّاِمَّا كَفُوْرًا

Sesungguhnya Kami telah menunjukkan kepadanya jalan (yang lurus); ada yang bersyukur dan ada pula yang sangat kufur. (Q.S. Al-Insan [76]: 3)

Kafir dalam makna ini bukan termasuk kafir akidah. Akan tetapi, menurut penafsiran Quraish Shihab, adalah mereka yang enggan menjemput hidayah Allah dan tidak menggunakan kenikmatan tersebut sesuai yang diridhai Allah swt.

Lawan dari amal shalih

Yaitu berbuat kerusakan (mafsadat). Hal ini bisa kita lihat dalam firman Allah Q.S. Ar-Rum [30]: 44,

مَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهٗۚ وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِاَنْفُسِهِمْ يَمْهَدُوْنَۙ

Siapa yang kufur, maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekufurannya. Siapa yang mengerjakan kebajikan, maka mereka menyiapkan untuk diri mereka sendiri (tempat yang menyenangkan). (Q.S. Ar-Rum [30]: 44)

Kafara dalam ayat ini bukan bermakna kufr akidah, melainkan berbuat kerusakan, karena lawan dari amal shalih merusak (الفساد) sebagaimana dalam ayat berikut:

اَمْ نَجْعَلُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ كَالْمُفْسِدِيْنَ فِى الْاَرْضِ

Apakah (pantas) Kami memperlakukan orang-orang yang beriman dan beramal saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di bumi? (Q.S. Shad [38]: 28)

Baca Juga: Haruskah Selalu Bersikap Kasar dan Keras Terhadap Orang Kafir dan Munafik? Tafsir Surah At-Taubah Ayat 73

Bebas atau tidak ada keterkaitan

Makna ini bisa dilihat dalam firman Allah berikut; Q.S. Al-Mumtahanah [60]: 4, Q.S. Al-Ankabut [29]: 25), dan Q.S. Ibrahim [14]: 22).

Sebagai penutup, makna kufr atau kafara, seperti yang dipaparkan Quraish Shihab, memiliki dua pengertian; secara etimologis atau semantik dan terminologis atau secara istilah. Secara etimologi, istilah kafir berasal dari kata kafara, yang berarti menutup. Sedangkan secara istilah, Al-Qur’an menggunakan kata tersebut untuk berbagai makna yang masing-masing dapat dipahami sesuai dengan kalimat dan konteksnya.

Dalam hal ini, menurut Shihab, kata kafir sekurangnya terdapat tiga pemaknaan. Pertama, Yang mengingkari keesaan Allah dan kerasulan Muhammad saw., seperti pada QS. Saba’ [34]: 3. Kedua, Yang tidak mensyukuri nikmat Allah, seperti pada QS. Ibrahim [14]: 7. Dan ketiga, Tidak mengamalkan tuntunan Ilahi walau mempercayainya, seperti QS. al-Baqarah [2]: 85.

Apakah kata kafir hanya berhenti pada ketiga pemaknaan tersebut? Tentu saja tidak. Shihab menjelaskan masih ada arti lain dari kata kufr, namun dapat disimpulkan bahwa secara umum kata itu menunjuk kepada sekian banyak sikap yang bertentangan dengan tujuan kehadiran/tuntunan agama. Sementara ulama merumuskan bahwa semua kata kufr dalam berbagai bentuknya yang terdapat dalam ayat-ayat yang turun sebelum Nabi saw. berhijrah, semuanya bermakna orang-orang musyrik atau sikap-sikap mereka yang tidak mengakui kerasulan Nabi Muhammad atau meninggalkan ajaran-ajaran pokok Islam.

Kesimpulannya, makna kufr dalam Alquran bermacam-macam. Ia bisa berarti kufr dalam akidah, berbuat pelanggaran, mengingkari kenikmatan Allah, berbuat kerusakan dan pengingkaran keterkaitan/hubungan. Pemaknaan ini bisa diamati melalui konteks ayat dan kaitannya dengan ayat yang lain. Wallahu a’lam.

Menelusuri Kitab Tafsir Ahkam dari Pesantren di Indonesia

0
Kitab Tafsir Ahkam dari Pesantren
Kitab Tafsir Ahkam dari Pesantren

Istilah tafsir ahkam dari pesantren yang dimaksudkan dalam artikel ini adalah tafsir ahkam yang ditulis oleh kiai pesantren, yang dijadikan sebagai bahan pembelajaran bagi santri pada khususnya dan komunitas lain pada umumnya. Sepanjang penelusuran saya menemukan bahwa terdapat dua karya tafsir ahkam yang lahir dari ruang pesantren. Dua karya tafsir ahkam yang dimaksud adalah Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān al-Karīm karya Abil Fadhal, dan al-Tibyān fī Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān karya Ahmad Nasrullah Abdurrahim.

  1. Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān al-Karīm karya Abil Fadhal, Senori Tuban

Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān al-Karīm tidak diketahui secara pasti kapan mulai ditulis oleh Abil Fadhal. Namun, di beberapa bagian naskah ditemukan catatan bahwa tafsir ini mulai didiktekan pada 14 Januari 1971 dan terakhir diajarkan pada malam Rabu, 30 Muharram 1394 H/ 13 Februari 1974 M (Tafsir Ayat Aḥkām dari Pesantren, Vol. 10, No. 2, Desember 2017).

Di samping itu, tidak ditemukan pula motivasi dan tujuan penulisan tafsir ini. Hanya saja, Abil Fadhal dalam mukadimahnya, menuturkan bahwa tujuan penulisan tafsir ahkamnya adalah agar Allah Swt senantiasa memberikan manfaat kepada orang-orang yang sedang mencari ilmu agama (Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān al-Karīm, 1). Namun, secara praktis tafsir ini ditujukan sebagai diktat Mata Pelajaran Tafsir yang diajarkan di Madrasah Diniyah dalam naungan Pesantren -sekarang menjadi MA (Madrasah Aliyah) Islamiyyah Sunnatun Nur, Senori, Tuban, Jawa Timur- pada era 1970-an.

Tafsir ini ditulis dalam bahasa Arab. Tafsir ini sekaligus juga memperpanjang deretan dominasi produktivitas karya-karya berbahasa Arab Abil Fadhal lainnya. Sesuai dengan namanya, Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān al-Karīm, topik yang dibahas dalam kitab ini adalah seputar hukum-hukum Islam dalam perspektif Alquran. Berbeda dengan tafsir ahkam pada umumnya, sistematika penulisan tafsir ini mengikuti format bab-bab sebagaimana yang termaktub dalam kitab-kitab fikih, yakni dimulai dengan pembahasan ṭahārah (bersuci), ‘ubūdiyyah (amaliah seorang hamba terhadap Tuhannya), mu’āmalah (transaksi antar sesama manusia), dan permasalahan mengenai warisan. Dengan demikian, hadirnya Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān al-Karīm karya Abil Fadhal ini memberikan tren baru terhadap kajian-kajian fikih dalam perspektif tafsir Alquran.

Baca Juga: Sejarah Kemunculan Tafsir Pesantren

  1. Al-Tibyān fī Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān karya Ahmad Nasrullah Abdurrahim, Jombang

Sama seperti Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān al-Karīm karya Abil Fadhal, tafsir al-Tibyān fī Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān karya Ahmad Nasrullah Abdurrahim ini juga tidak diketahui kapan mulai ditulis. Namun, menurut Gusmian, tafsir ini dapat diprediksi bahwa penulisannya dilakukan sekitar tahun 1990-an (Islah Gusmian, wawancara via seluler, 8 Juni 2017).

Asumsi Gusmian tersebut kiranya senada dengan apa yang dikatakan cucu Kiai Nasrullah, Ning Nabilah. Nabilah mengatakan bahwa kakeknya, Kiai Nasrullah, di tahun 1990-an memang lagi gemar-gemarnya memperdalam disiplin ilmu tafsir. Tidak hanya Tafsīr Jalālain yang kerap kali ia baca, tetapi tafsir-tafsir ahkam seperti Rawāi’ al-Bayān karya ‘Alī al-Ṣābūnī dan Tafsīr al-Aḥkām karya ‘Alī al-Sāyis juga menjadi bahan bacaannya di sela-sela kesibukannya mengajar di pesantren dan dakwah di masyarakat. Melalui pendalamannya terhadap dua tafsir yang disebutkan terakhir, Kiai Nasrul—sapaan akrab Kiai Nasrullah—lantas mempunyai keinginan kuat untuk menulis tafsir yang secara khusus memuat ayat-ayat hukum Islam.

Dengan didasari komitmen yang kuat dan niat yang ikhlas, keinginannya tersebut segera terealisasi dengan terciptanya karya tafsir tiga jilid tipis yang diberi nama al-Tibyān fī Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān (Kiai Nasrul: antara Bantaran Brantas dengan Tambakberas, dalam buku Tambakberas: Menelisik Sejarah Memetik Uswah, 360).

Informasi berbeda datang dari putri Kiai Nasrul, Umdatul Choirot. Dia mengatakan bahwa al-Tibyān fī Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān ditulis oleh Kiai Nasrul selama kurang lebih dua tahun, yaitu 1985-1987. Penulisan tafsir ini dilatarbelakangi oleh faktor di mana Kiai Nasrul yang semula menggunakan Tafsīr Jalālain dengan model taḥlīlī sebagai bahan ajar tafsir di pesantrennya, ternyata tidak mudah dipahami para santri. Oleh karena itu, Kiai Nasrul berinisiatif membuat tafsir mauḍū’ī (tematik) yang dikhususkan pada domain hukum, agar para santri mampu memahaminya dengan mudah (Metodologi Penafsiran Achmad Nasrullah Abdurrohim, 2019, 50).

Informasi yang disampaikan Umdatul Choirot tersebut kiranya lebih kuat untuk dijadikan dasar, sebab dibeberkan langsung oleh orang terdekat sekaligus putri Kiai Nasrul sendiri. Sebagai tambahan, dalam mukadimah Kiai Nasrul juga secara eksplisit menyampaikan bahwa tafsir yang ditulis dalam bahasa Arab ini difungsikan untuk mempermudah siswa MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Tambakberas di naungan Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Jombang, dalam mengkaji tafsir ayat ahkam yang sejalan dengan ragam persoalan hukum-hukum Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari (al-Tibyān fī Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur`ān, I: 3).

Baca Juga: Menyelisik Awal Kemunculan Tafsir Ahkam di Indonesia

Berdasarkan penelusuran di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir ahkam yang lahir dari rahim pesantren masih terbilang sedikit, di tengah maraknya karya-karya tafsir al-Qur’an yang berkembang di Indonesia. Dari kedua tafsir ahkam di atas, hanya tafsir ahkam karya Abil Fadhal hadir dengan membawa nuansa tren kebaruan yang berbeda dengan model karya-karya tafsir ahkam di dunia Islam pada umumnya. Sebab, sistematika penulisan tafsir yang diterapkan Abil Fadhal mengacu pada sistematika penulisan kitab-kitab fikih. Namun, kedua tafsir ahkam dari pesantren tersebut dari aspek penggunaan bahasa Arab yang diterapkan cenderung “elitis” di tengah tren penulisan tafsir yang umumnya menggunakan bahasa dan aksara lokal di Indonesia.

Tafsir Surah Almaidah Ayat 4: Binatang pun Menjadi Mulia jika Terdidik

0
Tafsir Surah Almaidah Ayat 4: Binatang pun Menjadi Mulia jika Terdidik
Image by David Mark from Pixabay

Pendidikan merupakan fondasi dan sarana penting bagi setiap manusia untuk memperoleh kemuliaan. Gelar mulia didapat karena pada hakikatnya seseorang yang mengenyam pendidikan akan tampak berbeda dari berbagai aspek dibanding dengan orang yang tidak memperoleh pendidikan, sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.S. Azzumar [39]: 9. Hal ini terjadi sebab Allah Swt. telah berjanji dalam Q.S. Almujadilah [58]: 11 akan mengangkat derajat seseorang yang menuntut ilmu menjadi mulia.

Berbicara mengenai derajat, sesungguhnya Allah Swt. benar-benar sangat adil terhadap seluruh makhluknya, tak terkecuali pada binatang. Sebenarnya, pengangkatan derajat yang disebutkan sebelumnya tidak terbatas pada manusia saja, bahkan pada binatang juga berlaku hal-hal yang demikian sekalipun binatang yang dimaksud itu sering dianggap hina di kalangan masyarakat, anjing misalnya. Perhatikan firman Allah Swt. berikut.

يَسۡئَلُونَكَ مَاذَآ أُحِلَّ لَهُمۡۖ قُلۡ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ وَمَا عَلَّمۡتُم مِّنَ ٱلۡجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ ٱللَّهُۖ فَكُلُواْ مِمَّآ أَمۡسَكۡنَ عَلَيۡكُمۡ وَٱذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ عَلَيۡهِۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِ  ٤

Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ia tangkap untukmu dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya (Q.S. Almaidah [5]: 4).

Baca juga: Aspek Pertama Membentuk Pribadi Manusia Unggul: Ilmu Pengetahuan

Penjelasan ayat

Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul menjelaskan bahwa terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan sebab turun ayat ini. Salah satunya adalah riwayat dari Ibnu Jarir dari Muhammad bin Ka’ab al-Qarzhi. Dia berkata, “Ketika Nabi saw. memerintahkan agar anjing-anjing dibunuh, orang-orang berkata, ‘Wahai Rasulullah, lalu apa yang dibolehkan untuk kami dari anjing-anjing ini?’ Lalu turunlah ayat ini.”

Menurut riwayat lainnya, Ibnu Jarir juga meriwayatkan dari jalur asy-Sya’bi bahwa ‘Adi bin Hatim ath-Tha’i berkata, “Seorang lelaki mendatangi Rasulullah saw. untuk menanyakan hasil buruan anjing. Beliau tidak menjawabnya hingga ayat ini turun.”

Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi dalam tafsir Khawatir al-Sya’rawi Haula al-Qur’an al-Karim, menerangkan bahwa kata مُكَلِّبِين (mukallabin) pada ayat ini berasal dari kata كَلْبٌ (kalbun) yang bermakna anjing.

Pada hakikatnya kata مُكَلِّبِين (mukallabin) bermakna anjing-anjing yang telah terlatih. Namun, مُكَلِّبِين (mukallabin) yang dimaksud pada ayat ini bermakna umum, yakni mencakup semua binatang pemburu yang telah diajari dan terlatih seperti serigala, elang, macan dan lain sebagainya, sehingga tidak terkhusus kepada makna anjing saja.

Penyebutan kata مُكَلِّبِين (mukallabin) pada ayat ini dianggap lebih pantas dan tepat daripada binatang lainnya karena anjing adalah binatang berburu yang paling populer di antara binatang pemburu lainnya.

Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, menjelaskan bahwa binatang hasil tangkapan anjing atau binatang pemburu termasuk makanan yang halal dimakan, dengan syarat:

  1. Binatang pemburu dibimbing oleh pelatih yang berpengalaman.
  2. Binatang pemburu tidak membantah pelatihnya.
  3. Nama Allah Swt. disebut saat akan melepas binatang pemburu.
  4. Binatang hasil buruan haruslah dimaksudkan untuk pelatihnya bukan untuk binatang pemburu tersebut.

Baca juga: Keutamaan Ilmu Menurut Alquran: Tafsir Surah Almujadilah Ayat 11

Realitasnya, anjing kerap kali dianggap sebagai binatang yang hina dan harus dijauhi oleh umat muslim, karena faktor air liurnya yang tergolong najis, serta adanya larangan dari syariat untuk memakannya. Namun, jika persyaratan di atas telah terpenuhi, maka hasil buruan yang tertangkap oleh anjing pemburu tersebut halal hukumnya untuk dikonsumsi. Sehingga, tidaklah sama hukum memakan hasil buruan anjing yang terdidik dengan yang tidak terdidik.

Hal ini menunjukkan bahwa ketika anjing mendapatkan pendidikan dan bimbingan dari pelatih yang mumpuni, maka berubahlah status anjing tersebut daripada anjing lainnya yang tidak mendapat pendidikan. Bahkan, anjing terdidik ini diistimewakan oleh syariat, yaitu dengan diperbolehkannya memelihara anjing selama tujuannya untuk membantu manusia berburu, menjaga tanaman, maupun ternak.

Jika ditilik secara mendalam, maka akan didapati pada ayat ini pembahasan terkait urgensi pendidikan yang terlihat dari kata عَلَّمَ. Quraish Shihab dalam tafsirnya, al-Mishbah, menjelaskan bahwa pada kalimat وَمَا عَلَّمۡتُم مِّنَ ٱلۡجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ ٱللَّهُ terdapat tiga kali pengulangan kata عَلَّمَ  yang mengandung makna mengajari.

Selain itu, dalam kitab al-Mu’jam al-Maushu’i li Alfazh al-Qur’an dijelaskan bahwa kata عَلَّمَ pada ayat ini juga mengandung makna دَرَّبَ yang berarti melatih atau membuat (binatang pemburu tersebut) terlatih.

Quraish Shihab dan sebagian besar ulama lainnya menganggap bahwa pengulangan kata عَلَّمَ pada ayat ini sebagai bentuk penekanan dan penegasan, serta mengisyaratkan bahwa pengajaran pada binatang pemburu itu hendaknya dilakukan melalui pelatihan yang sungguh-sungguh dan dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian dan pengalaman dalam bidang tersebut.

Sebab, jika tidak demikian, dikhawatirkan binatang pemburu tersebut akan menggunakan ilmu berburu yang telah didapatnya untuk berburu bagi dirinya sendiri. Jika demikian, anjing tersebut masih tergolong sebagai binatang yang tidak terdidik, sehingga haramlah hukum memakan hasil buruannya. Maka oleh karena itu, pelatih memiliki kewajiban untuk mendidik binatang pemburu itu dengan benar.

Di antara tanda-tanda yang menunjukkan bahwa binatang pemburu tersebut telah berhasil dididik dengan baik adalah jika diperintah pergi, binatang pemburu itu pergi; bila dilarang, ia tunduk; dan bila dicegah, ia menurut. Kemudian jika diperintah untuk menangkap binatang buruan, ia tidak akan memakannya melainkan akan diserahkan secara utuh kepada tuannya.

Baca juga: Keutamaan Ilmu dalam Alquran dan Kiat Memiliki Anak yang Alim

Penutup

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat dianalogikan bahwa untuk kadar seekor binatang saja harus diajari dengan benar, apalagi manusia. Ayat ini juga mengisyaratkan agar setiap orang harus lebih serius dan selektif ketika belajar. Sebab, jika ilmu yang dimiliki seseorang hanya sedikit, maka kemungkinan besar akan dapat menimbulkan kesalahpahaman bagi orang tersebut dalam memahami suatu hal. Bagian terpentingnya adalah manusia berkewajiban untuk mengetahui bahwa pada hakikatnya ilmu itu berasal dari Allah Swt.

Dari sinilah tampak bahwa betapa agung dan mulianya kedudukan ilmu. Ilmu yang melekat pada diri seseorang, menjadikannya makhluk yang lebih mulia di antara makhluk lainnya. Bukan hanya manusia, anjing yang berilmu dengan anjing yang tidak berilmu pun berbeda derajatnya serta dibedakan pula hukum buruannya.

Hal ini bermakna bahwa Allah Swt. akan mengangkat derajat makhluknya, baik manusia maupun binatang, selama makhluk tersebut memperoleh pendidikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita sebagai manusia untuk terus belajar. Jika ayat ini direnungkan secara mendalam, sungguh ia akan mampu memotivasi setiap manusia untuk terus belajar dan memperluas wawasannya hingga ajal menjemput. Wallahu a’lam.

Baca juga: Perintah dan Keutamaan Membaca dalam Alquran

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Penyebutan Binatang dalam Al-Quran

0
Binatang dalam Al-Quran
Binatang dalam Al-Quran

Al-Quran tidak hanya sebagai pedoman hidup bagi manusia, dan untuk umat muslim pada khususnya. Di dalamnya juga terdapat berbagai pelajaran yang dapat diambil seperti isyarat atas ilmu pengetahuan. Salah satu pembahasan yang dapat dipetik adalah binatang dalam Al-Quran yang tersebar dalam beberapa ayat.

Binatang dalam Al-Quran cukup banyak ditemukan di beberapa ayat. Tidak hanya disebutkan pada penggalan ayat, bahkan binatang juga dijadikan sebagai nama surat dalam Al-Qur’an. al-Baqarah (sapi), Al-Nahl (lebah), al-Naml (semut), al-Fil (gajah) adalah contoh binatang dalam Al-Quran yang dapat dijadikan pelajaran bahwa al-Qur’an juga peduli dengan kehidupan binatang.

Di antara dari sekian banyak ayat yang menginformasikan tentang binatang adalah sebagaimana yang disebutkan pada QS. al-Nur ayat 45, dan al-Nahl ayat 66.

Baca Juga: Tiga Tingkatan Takwa dan Janji Allah bagi yang Berhasil Melaluinya

Binatang yang diinformasikan pada surah An-Nur ayat 45 adalah sebagaimana berikut:

وَاللَّهُ خَلَقَ كُلَّ دَابَّةٍ مِنْ مَاءٍ فَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى بَطْنِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى رِجْلَيْنِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى أَرْبَعٍ يَخْلُقُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Dan Allah telah menciptakan semua jenis binatang dari air, maka sebagian ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Menurut Tanthawi Jauhari, binatang dibagi menjadi tiga kelompok: Binatang yang berjalan di atas perutnya, binatang yang berjalan dengan dua kaki, dan binatang yang berjalan dengan empat kaki. Dari ayat tersebut, kemudian Tanthawi menghubungkanya dengan surah al-Hajj ayat 73 yang berbunyi

…إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا…

“Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya.”

Hubungan antara kedua ayat tersebut bahwasanya kita dapat mempelajari bentuk anatomi tubuh dari seekor lalat. Sehingga dari situ memungkinkan bahwa binatang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu, pertama, binatang yang mempunyai darah dan tulang, mereka termasuk binatang spinal (faqriyyah). Kedua, binatang yang tidak memiliki darah dan tulang, mereka termasuk kedalam binatang toroidal (halqiyyah), yang bersuara nyaring, lunak, dan memakan tumbuh-tumbuhan.

Di tempat selanjutnya, informasi terkait dengan binantang dapat ditemukan pada surat al-Nahl ayat 66 sebagaimana berikut:

وَإِنَّ لَكُمۡ فِي ٱلۡأَنۡعَٰمِ لَعِبۡرَةٗۖ نُّسۡقِيكُم مِّمَّا فِي بُطُونِهِۦ مِنۢ بَيۡنِ فَرۡثٖ وَدَمٖ لَّبَنًا خَالِصٗا سَآئِغٗا لِّلشَّٰرِبِينَ

“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.”

Al-Maraghi dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa proses keluarnya susu dari binatang ternak (yang terutama adalah unta, sapi, dan domba) yang digambarkan pada ayat di atas berada di antara darah dan sisa makanan. Informasi ini pada akhirnya dapat diketahui sebagai hakikat ilmiah pada masa modern ini seakan menunjukkan bahwa binatang juga memiliki “teknologinya” sendiri. “Teknologi” yang ada di dalam tubuh binatang ternak tersebut dapat memisahkan antara darah yang terus mengalir ke seluruh tubuh dengan sisa makanan yang akhirnya keluar menjadi kotoran.

Sehingga dari ayat tersebut dapat dipetik sebuah pelajaran, bahwa ketika manusia memikirkan kejadian alam yang terjadi pada binatang (ternak), maka manusia akan mendapatkan sebuah pelajaran pada binatang unta, lembu, kambing, biri-biri, yang dari kesemuanya itu dapat ditemukan tanda kekuasaan Allah dan kebesaran-Nya.

Baca Juga: Keseimbangan Perspektif Al-Qur’an Sebagai Terapi Self-Healing

Dari perut binatang-binatang tersebut keluar minuman yang bersih, yang mudah diminum, bergizi, dan lezat rasanya. Sumber susu yang memancar pada binatang ternak ini berasal dari makanan yang dimakannya. Dan dari makanan itu mengandung zat-zat yang kemudian berubah menjadi darah, susu, dan ampasnya menjadi hasil eksresi. Oleh karena itu susu menjadi makanan yang sempurna yang dapat menggantikan makanan bayi atau dijadikan minuman yang melengkapi 4 sehat 5 sempurna.

Beberapa dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menginformasikan tentang binatang yang telah disampiakan di atas menunjukkan bahwa binatang merupakan makhluk unik dengan berbagai fenomena yang ada di dalam tubuhnya dan sekitarnya. Sehingga ilmu modern saat ini dapat mendukung untuk mengungkap fakta-fakta ilmiah lain yang sebenarnya telah diinformasikan Al-Qur’an 14 abad silam.

Ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas berbagai fenomena alam, biasanya pada ayat tersebut diikuti dengan kata-kata: “Apa kamu tidak memikirkannya? Apa kamu tidak mentadaburinya? Ini untuk pelajaran bagi orang yang mau berpikir.”

Kata-kata tersebut seakan menjadi sindiran yang mengisyaratkan bahwa kejadian yang ada di alam ini merupakan sebuah kejadian hebat yang menunjukkan betapa Agung dan Maha Kuasanya Sang Pencipta alam raya ini, dan manusia tidaklah ada apa-apanya. Lantas mengapa masih ada manusia yang masih menyombongkan diri?

Isyarat Ketahanan Pangan Nasional dalam Surah Yusuf Ayat 46-49

0
surah Yusuf ayat 46-49
surah Yusuf ayat 46-49

Ketahanan pangan masih menjadi isu sentral di dunia global, khususnya Indonesia. Ketahanan pangan diartikan sebagai terpenuhinya pangan setiap warga negara hingga level individu. Ketersediaan, pemanfaatan, dan nilai dari sebuah pangan menjadi indikator penting.

Menurut Undang-Undang (UU) RI No 18 Tahun 2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif, akan tetapi perubahan iklim, konversi lahan, dan minat masyarakat dalam mengelola bumi masih rendah dan berdampak pada ketahanan pangan. Jika ketahanan pangan terganggu, maka berimplikasi buruk pada stabilitas ekonomi.

Aktivitas ekonomi, seperti produksi, distribusi, dan konsumsi di komoditas pangan merupakan isu yang tidak dipisahkan dari pembahasan ketahanan pangan. Sebab, ketahanan pangan mencakup tiga aktivitas tersebut.

Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf ayat 41-52

Surah Yusuf ayat 46-49 memberikan konsepsi tentang pangan yang dapat dijadikan sebagai langkah untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional.

يُوْسُفُ اَيُّهَا الصِّدِّيْقُ اَفْتِنَا فِيْ سَبْعِ بَقَرٰتٍ سِمَانٍ يَّأْكُلُهُنَّ سَبْعٌ عِجَافٌ وَّسَبْعِ سُنْۢبُلٰتٍ خُضْرٍ وَّاُخَرَ يٰبِسٰتٍۙ لَّعَلِّيْٓ اَرْجِعُ اِلَى النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَعْلَمُوْنَ ٤٦ قَالَ تَزْرَعُوْنَ سَبْعَ سِنِيْنَ دَاَبًاۚ فَمَا حَصَدْتُّمْ فَذَرُوْهُ فِيْ سُنْۢبُلِهٖٓ اِلَّا قَلِيْلًا مِّمَّا تَأْكُلُوْنَ ٤٧ ثُمَّ يَأْتِيْ مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ سَبْعٌ شِدَادٌ يَّأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ اِلَّا قَلِيْلًا مِّمَّا تُحْصِنُوْنَ ٤٨ ثُمَّ يَأْتِيْ مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ عَامٌ فِيْهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيْهِ يَعْصِرُوْنَ ࣖ ٤٩

(Dia berkata,) “Wahai Yusuf, orang yang sangat dipercaya, jelaskanlah kepada kami (takwil mimpiku) tentang tujuh ekor sapi gemuk yang dimakan oleh tujuh (ekor sapi) kurus dan tujuh tangkai (gandum) hijau yang (meliputi tujuh tangkai) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu supaya mereka mengetahuinya.” (46). (Yusuf) berkata, “Bercocoktanamlah kamu tujuh tahun berturut-turut! Kemudian apa yang kamu tuai, biarkanlah di tangkainya, kecuali sedikit untuk kamu makan (47). Kemudian, sesudah itu akan datang tujuh (tahun) yang sangat sulit (paceklik) yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya, kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan (48). Setelah itu akan datang tahun, ketika manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras (anggur).” (49).

Menurut al-Zuhaili, dalam al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari‘ah wa al-Manhaj (juz 12: 273), ayat di atas adalah salah satu takwil mimpi Nabi Yusuf terhadap raja Mesir (al-Rayyan bin Walid). Raja tersebut bermimpi menyaksikan tujuh ekor sapi betina kurus memakan tujuh ekor sapi betina gemuk. Kehadiran mimpi tersebut menimbulkan kegelisahan dalam jiwa raja, sehingga raja mencari orang yang tepat untuk menafsirkan mimpi tersebut.

Kegelisahan tersebut tidak terlepas dari psikologi seorang pemimpin yang melihat nasib masyarakat dan negaranya. Tidak heran mimpi tersebut menjadi tanda awal bahwa negeri Mesir akan dilanda musim subur selama tujuh tahun dan kekeringan dengan masa yang sama (7 tahun). Hal ini sekaligus menginformasikan tentang pemanfaatan hasil tanah ketika masa subur untuk menghadapi musim paceklik.

Musim paceklik tersebut tidak terlepas dari pengertian musibah. Hal ini juga ditegaskan oleh Hendri Utami dalam tulisannya yang berjudul Ada Isyarat Mitigasi Bencana dalam Mimpi Sang Raja di Kisah Nabi Yusuf. Ia memberikan ilustrasi bahwa mimpi raja sebagai informasi awal mitigasi bencana.

Kecerdasan Nabi Yusuf bukan saja dalam hal menakwil mimpi, namun dia menawarkan langkah konkret untuk menciptakan ketahanan pangan. Keterkaitan ketahanan pangan dengan ayat di atas ditandai dengan perintah bercocok tanam yang sekaligus merepresentasikan aktivitas dalam produksi pangan.

Baca Juga: Belajar Investasi dari Nabi Yusuf, Tafsir Surah Yusuf Ayat 47-49

Tiga Langkah Mencapai Ketahanan Pangan ala Nabi Yusuf

Ada isyarat langkah strategis dalam surah Yusuf ayat 46-49 mengenai ketahanan pangan. Pertama, meningkatkan produktivitas tanaman. Poin ini sangat tergantung pada kualitas lahan yang digunakan untuk tanaman tersebut. Ketersediaan lahan merupakan keniscayaan yang tidak bisa diabaikan. Jika lahan tersebut berkurang, secara tidak langsung produktivitas tanaman berkurang.

Selain ketersediaan lahan, masyarakat harus mampu memanfaatkan lahan yang dimiliki walaupun tidak luas. Hal ini berdasarkan anjuran Nabi saw. “Barangsiapa yang memiliki tanah, maka lebih baik menanaminya atau diberikan kepada saudaranya; jika dia tidak tidak mau, sebaiknya memelihara tanah itu” (H.R Al-Bukhari dan Muslim).

Kedua, manajemen stok pangan. Langkah kedua ini merupakan isyarat dan anjuran dari ayat ke-48. Oleh karena itu, selama masa subur tujuh tahun, Nabi Yusuf memerintahkan untuk menanam dan menyimpan tanaman yang sudah dipanen.

Tujuan dari langkah kedua ini untuk mengatur dan menyeimbangkan pola konsumsi masyarakat, sehingga adanya pemerataan di setiap lapisan masyarakat. Selain itu, akan tercipta kesetaraan hak mendapatkan pangan di tengah masyarakat.

Ketiga, membiasakan hidup hemat. Memiliki sifat hemat merupakan cerminan dari akhlak Muslim. Dia sanggup menyimpan harta sekaligus menyalurkannya dengan efektif dan tepat sasaran.

Membiasakan hidup hemat dalam konteks ketahanan pangan adalah meminimalisir hidup yang bersifat konsumtif. Sebab, tingginya konsumsi masyarakat akan berimplikasi pada penyediaan pangan. Jika konsumsi masyarakat tidak diimbangi dengan ketersediaan pangan, maka akan melahirkan rendahnya stok pangan.

Oleh karena itu, masyarakat harus memiliki kemampuann dan kreativitas yang tinggi guna menghasilkan pangan secara mandiri. Bahkan, masyarakat bisa membantu dan memfasilitasi sesama dalam rangka membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul. Pada akhirnya, hidup hemat dalam mengonsumsi pangan akan lahir jika masyarakat memiliki kesadaran tentang manajemen pangan.  Wallahu A’lam.