Etika Membaca Alquran
Membaca Alquran tidak hanya tentang tajwid al-huruf (memperindah huruf-huruf) dan ma‘rifah al-wuquf (mengetahui waqf) sebagaimana dimaksudkan ‘Ali r.a, yang diasosiasikan sebagai prasyarat dan rukun pembacaan Alquran. Membaca Alquran juga tentang etika, yang dengannya, aspek batin setiap pembacanya mendapatkan manfaatnya.
Al-Ghazaliy dalam Al-Arba‘in fi Ushul al-Din menyebutkan,
أَنَّ التَّرْتِيْلَ فِيْ الظَّاهِرِ لِلتَّمَكُّنِ مِنَ التَّدَبُّرِ
“Bahwa sesungguhnya tartil pada lahir (-nya Alquran) adalah supaya menjadikannya mampu untuk tadabur.”
Hal ini, Al-Ghazaliy sampaikan dengan berdasar pada perkataan ‘Ali r.a,
لَا خَيْرَ فِيْ عِبَادَةٍ لَا فِقْهَ فِيْهَا، وَلَا فِيْ قِرَاءَةٍ لَا تَدَبُّرَ فِيْهَا
“Tiada kebaikan dalam ibadah yang tidak ada pemahaman di dalamnya, dan tiada kebaikan (juga) dalam bacaan (Alquran) yang tidak ada perenungan di dalamnya.”
Baca Juga: Penggunaan Bahasa Isyarat dalam Membaca Alquran (Bagian I)
Pentingnya pemahaman (fiqh) dan perenungan (tadabbur) ini yang menjadi landasan pentingnya menerapkan adab dalam segala bentuk ibadah, termasuk membaca Alquran. Oleh para ulama ahli Alquran, dihimpunlah etika tertentu yang harus diketahui dan diamalkan ketika membaca Alquran. Dan hampir di setiap karya ilmu Alquran, pembahasan mengenai hal tersebut tidak akan ketinggalan.
Namun demikian, bukan detail etika tersebut yang akan menjadi fokus tulisan ini. Konteks pembahasan etika dalam tulisan kali ini masih sama dengan bagian-bagian sebelumnya, yakni pembacaan Alquran bagi komunitas tuna rungu. Oleh karenanya, etika membaca Alquran akan dilihat dari seberapa jauh ia dapat diterapkan.
Etika Membaca Alquran bagi Tuna Rungu
Ada begitu banyak etika yang harus dipedomani dalam membaca Alquran. 20-an lebih daftar etika yang penulis dapatkan dari berbagai literatur ilmu Alquran. Di antaranya seperti memurnikan niat, berwudu, menghadap kiblat, memperindah bacaan, memahami makna dan mengamalkan apa yang dibaca, dan lain sebagainya.
Etika tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan parameter tertentu, tetapi dalam tulisan ini penulis hendak membaginya berdasar kemungkinan etika tersebut diterapkan bagi pembacaan Alquran oleh komunitas tuna rungu, perlunya penyesuaian dilakukan, atau bahkan keberadaan etika yang khusus diterapkan dalam pembacaan isyarat.
Secara umum, etika-etika tersebut terbagi menjadi dua, yakni pertama, yang berkaitan dengan modal atau sarana produksi serta proses persepsual, seperti masalah membaca dengan jahr atau israr, membersihkan mulut, menggunakan siwak dan kedua, yang bersifat umum dan tidak bersinggungan langsung dengan modal dan proses persepsual, seperti memurnikan niat, tadabbur, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fath Ayat 17: Islam Memberi Kemudahan Bagi Penyandang Difabel
Etika yang bersifat umum dan tidak bersinggungan dengan modal dan proses persepsual dapat diterapkan secara sama. Artinya, etika-etika ini tidak memerlukan penyesuaian tertentu karena sifatnya yang umum. Etika yang tergolong jenis ini selain yang telah disebutkan sebelumnya adalah menghadirkan hati, membaca dalam keadaan suci, membaca pada tempat yang suci, menjauhi keramaian, memakai pakaian yang indah, tidak berbicara di tengah pembacaan, membaca ta‘awwudz, membaca sesuai tartib mushaf, mengamalkan isi bacaan, dan lain sebagainya.
Sedangkan etika yang bersinggungan langsung dengan modal dan proses persepsual, agaknya membutuhkan beberapa penyesuaian mengingat adanya perbedaan yang dimiliki. Beberapa di antaranya, selain yang telah disebutkan sebelumnya, seperti tahrir al-nuthq atau memperjelas pelafalan, tahsin, dan kemakruhan membaca dengan mulut yang najis.
Modifikasi Etika Pembaca Tuna Rungu
Karena memiliki modal atau sarana produksi dan proses persepsual yang berbeda, maka untuk menerapkan etika-etika tersebut agaknya harus dilakukan modifikasi atau penyesuaian. Kebersihan mulut misalnya, dalam konteks pembaca tuna rungu, tanganlah yang harus dijaga kebersihannya. Sebelum membaca Alquran, etika yang harus dilakukan adalah membersihkan tangan dan bahkan memakai wewangian.
Pun demikian dengan masalah kemakruhan mulut yang najis. Dalam konteks pembaca tuna rungu, tangan yang digunakan untuk memproduksi gestur haruslah suci dari najis. Sebagaimana etika dalam berdoa, tangan seseorang yang terkena najis tidak dianjurkan untuk diangkat dan ditengadahkan ke atas. Tangan yang najis juga tidak seyogyanya digunakan untuk berisyarat.
Tahrir al-nuthq dan tahsin yang secara umum dapat dipahami sebagai memperjelas dan memperindah pelafalan dapat disesuaikan dengan memperjelas gestur tangan sebagai ganti dari artikulasi pembacaan. Di sini, unsur riyadlah al-lisan dalam fondasi dasar ilmu tajwid dapat diterapkan. Pembaca tuna rungu diharapkan dapat melatih (riyadlah) gerak gestur tangan mereka supaya jelas dan tidak terjadi kesalahan (lahn).
Baca Juga: Prinsip Humanisme dan Wacana Disabilitas dalam al-Quran
Sedangkan untuk masalah jahr dan sirr dalam membaca, penulis belum mengetahui modifikasi apa yang bisa diterapkan dalam pembaca tuna rungu. Hal ini dikarenakan adanya kemungkinan pendekatan oral bagi tuna rungu yang masih memiliki kemampuan dengar (hard of hearing atau kurang mampu mendengar), sehingga dimungkinkan memiliki peluang jahr dan sirr.
Salah satu etika yang mungkin khusus berlaku bagi pembaca tuna rungu adalah penggunaan tangan kanan. Tentunya etika-etika ini berlaku bagi mereka yang masih memiliki kedua tangannya dan mampu melakukan pembacaan. Karena pembacaan lisan tidak memungkinkan adanya opsi sebagaimana pembacaan isyarat, dan sebagaimana jamak diketahui, anggota kanan lebih dianjurkan dalam kebaikan ketimbang anggota kiri.
Satu hal yang menjadi pertanyaan penulis adalah, apakah dengan berpindah pada etika yang termodifikasi, etika asli yang disebutkan para ulama tetap bisa diterapkan berikut dengan implikasi hukum yang ditimbulkannya?
Wallahu a‘lam bi al-shawab. []