BerandaTafsir TahliliTafsir Surat Al Baqarah Ayat 238-242

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 238-242

Ayat 238-239

Dalam ayat ini diterangkan keutamaan melakukan salat, dan selalu memeliharanya. Keluarga merupakan bagian dari masyarakat dan dalam memenuhi segala kebutuhan dan persoalan hidupnya banyak sekali menemui kesulitan yang kadang-kadang dapat menjerumuskannya kepada hal-hal yang dilarang agama. Karena itu telah diberi suatu cara yang baik untuk dilakukan manusia agar selalu terjamin hubungan keduniaannya dengan ketakwaan kepada Allah dengan selalu memelihara salat. Mulai dari bangun tidur sebelum melakukan kontak dengan manusia lainnya ia ingat dan bermunajah lebih dahulu dengan Allah (waktu subuh).

Kemudian setelah ia berhubungan dengan masyarakat, dan mungkin sekali terjadi perbuatan yang tidak diridai Allah maka untuk mengingatkan dan menyelamatkannya, ia dipanggil untuk berhubungan lagi dengan Allah pada waktu tengah hari (salat zuhur). Begitulah seterusnya selama 24 jam. Dengan demikian selalu terjalin antara kesibukan manusia (untuk memenuhi hajat hidupnya) dengan ingat kepada Allah dan melaksanakan perintah-perintah-Nya.

Hal ini mempunyai pengaruh dan membekas dalam jiwa dan kehidupan manusia sebagaimana ditegaskan bahwa dengan salat manusia dapat terhindar dari perbuatan jahat dan mungkar. Selain itu, memelihara salat adalah bukti iman kepada Allah, dan menjadi syarat mutlak bagi kehidupan seorang Muslim, menguatkan tali persaudaraan, dan dapat menjamin hak-hak manusia. Menurut riwayat Amhad, Rasulullah saw bersabda:

اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْـنَنَا وَبَيْـنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

(رواه أحمد)

Perjanjian antara kami dengan kaum kafir adalah salat, siapa yang meninggalkannya (dengan sengaja) maka ia telah menjadi kafir. (Riwayat Ahmad)

Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Tabrani, Rasulullah saw bersabda:

مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُورًا وَبُرْهَانًا وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُوْرٌ وَلاَبُرْهَانٌ وَلاَ نَجَاةٌ وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُوْنَ وَفِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ

(رواه أحمد والطبراني)

Barang siapa selalu memelihara salat maka ia akan dapat cahaya dan petunjuk serta akan dapat keselamatan pada hari Kiamat. Sebaliknya orang yang tidak memelihara salat maka tidak ada baginya cahaya, petunjuk dan keselamatan. Di akhirat nanti ia akan bersama Fir’aun, Haman, dan Ubai bin Khalaf di dalam neraka. (Riwayat Ahmad dan at-Tabrani)

Ayat-ayat di atas menjelaskan bagaimana pentingnya menjaga dan memelihara salat. Manusia yang melaksanakan perintah ini benar-benar menjadi makhluk Allah yang bertakwa dan hidupnya akan selalu aman, berada di dalam magfirah dan rida Allah.

Adapun sebab turun ayat ini menurut riwayat dari Zaid bin Sabit, Rasulullah saw selalu melakukan salat zuhur, meskipun pada siang hari yang panas terik yang bagi para sahabat dirasakan berat, maka turunlah ayat ini. Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk selalu menjaga salat lima waktu. Jika salat itu dilaksanakan, ia dapat memelihara diri dari berbuat hal-hal yang jahat dan mungkar. Salat dapat menjadi penenang jiwa dari segala kegelisahan yang menimpa diri. Karena itu salat merupakan tiang agama.

Allah menekankan salat wusta. Salat wusta menurut jumhur Ulama ialah salat Asar. Allah mengajarkan pula, agar dalam melakukan salat kita berlaku khusyuk dan tawaduk. Sebab pemusatan pikiran kepada Allah semata-mata adalah tingkat salat yang paling baik dan salat inilah yang dapat membekas pada jiwa manusia.

Karena pentingnya melaksanakan dan memelihara salat ini seorang Muslim tidak boleh meninggalkannya walau dalam keadaan bagaimanapun. Salat tetap tidak boleh ditinggalkan, meskipun dalam suasana kekhawatiran terhadap jiwa, harta, atau kedudukan. Dalam keadaan uzur, salat dapat dikerjakan menurut cara yang mungkin dilakukan, baik dalam keadaan berjalan kaki, berkendaraan, ataupun sakit. Maka setelah hilang uzur itu, terutama yang berupa kekhawatiran, hendaklah bersyukur kepada Allah, karena Allah mengajarkan kepada manusia hal-hal yang tidak diketahuinya termasuk mengenai kaifiat (cara) melakukan salat dalam masa tidak aman/dalam keadaan perang.

Ayat 240

Allah menganjurkan kepada para suami apabila ia merasa telah dekat ajalnya agar berwasiat untuk istrinya yaitu dengan memberikan sebagian hartanya untuk belanja selama satu tahun, dengan tetap tinggal di rumahnya. Jika istrinya meninggalkan rumah setelah setahun, maka keluarga suami tidak boleh menghalangi tindakan istri tersebut karena tidak melanggar ajaran agama. Umpamanya, untuk aktif di tengah masyarakat dan menunjukkan kesediaannya untuk bersuami lagi. Sebab, statusnya telah bebas, tidak sebagaimana adat jahilliah, perempuan merupakan harta warisan. Allah Mahabijaksana dalam menetapkan hukum-hukum untuk kemaslahatan hamba-Nya.

Perlu dijelaskan di sini, pandangan para ulama tafsir mengenai ayat 240 ini, yaitu sebagaimana ahli ushul berbeda pendapat tentang nasikh dan mansukh di dalam Al-Qur′an, terdapat perbedaan pula di kalangan ahli tafsir.

Ada mufasir yang mengakui adanya nasikh dan mansukh di dalam Alquran dan ada pula yang tidak mengakui. Ahli tafsir yang mengakui nasikh dalam Alquran menafsirkan bahwa ayat ini memerintahkan agar suami berwasiat, yaitu menyisihkan sebagian hartanya untuk istrinya yang ditinggalkan untuk masa satu tahun dan ia tetap tinggal di kediaman suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa idah wafat itu satu tahun lamanya. Maka antara kedua ayat ini (240 dan 234) terdapat hukum yang bertentangan. Golongan ini memandang bahwa:

(a) Ayat yang menunjukkan idah wafat satu tahun itu lebih belakangan letaknya daripada ayat yang menetapkan idah wafat 4 bulan sepuluh hari, tetapi di dalam sejarah turunnya ia lebih dahulu. Atas dasar ini, ayat 234 yang menetapkan idah wafat 4 bulan 10 hari menasakh hukum ayat 240 ini.

(b)  Kalau tidak diakui adanya nasakh dalam Alquran, maka zahir ayat ini mewajibkan suami berwasiat untuk istrinya. Dengan demikian, istri mendapat dua macam bagian, pertama bagian sebagai istri (ahli waris) yang ditetapkan oleh ayat waris, dan kedua, bagian sebagai wasiat menurut ayat ini. Tetapi ayat ini ditakhsis dengan hadis sahih yang berbunyi:

: لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

(رواه أحمد والأربعة إلاّ النسائي)

 “Tidak ada wasiat untuk ahli waris,” (Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali an-Nasa′i), sehingga istri tidak mendapatkan dua macam bagian.

Ayat 241

Tiap-tiap perempuan yang dicerai berhak menerima mut’ah sebagai hiburan dari bekas suaminya dengan cara yang baik. Suami yang memberikan hiburan tersebut adalah orang yang bertakwa kepada Allah yang oleh karenanya ia menjadi pemurah memberikan bantuan kepada bekas istrinya dengan ketulusan hati sejalan dengan petunjuk agama yaitu mengambil istri dengan baik atau menceraikannya dengan baik.

Ayat 242

Demikian Allah menerangkan hukum-hukum-Nya yang seringkali disertai dengan sebab dan akibatnya untuk menjadi petunjuk bagi manusia dalam mencapai kemaslahatan agar diperhatikan oleh manusia.

(Tafsir Kemenag)

Maqdis
Maqdis
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pegiat literasi di CRIS Foundation.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...