BerandaTafsir TahliliTafsir Surat An Nisa’ Ayat 16-18

Tafsir Surat An Nisa’ Ayat 16-18

Ayat 16

Adapun terhadap orang yang belum pernah kawin, laki-laki atau perempuan yang melakukan zina, apabila telah lengkap saksi sebagaimana disebut dalam ayat 15 di atas maka hukuman mereka diserahkan kepada umat Islam pada masa itu, hukuman apa yang dianggap wajar/sesuai dengan perbuatannya. Hukuman ini sementara menjelang turunnya ayat ke-2 Surah an-Nur dengan perincian hadis Nabi sebagaimana tersebut di atas.

Hukuman ini dilakukan selama keduanya belum tobat dan menyesal atas perbuatan mereka. Apabila mereka bertobat hendaklah diterima dan dihentikan hukuman atas mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-Nya. Demikianlah hukuman terhadap perbuatan zina pada permulaan Islam sebelum turunnya ayat-ayat mengenai hukuman zina (rajam atau dera).

Ayat 17

Tobat seseorang dapat diterima apabila dia melakukan perbuatan maksiat yakni durhaka kepada Allah  baik dengan sengaja atau tidak, atau dilakukan karena kurang pengetahuannya, atau karena kurang kesabarannya atau karena benar-benar tidak mengetahui bahwa perbuatan itu terlarang, kemudian datanglah kesadarannya, lalu ia menyesal atas perbuatannya dan ia segera bertobat meminta ampun atas segala kesalahannya dan berjanji dengan sepenuh hatinya tidak akan mengulangi lagi perbuatan tersebut.

Orang-orang yang demikianlah yang tobatnya diterima Allah, karena Allah Maha Mengetahui akan kelemahan hamba-Nya dan mengetahui pula keadaan hamba-Nya yang dalam keadaan lemah, tidak terlepas dari berbuat salah dengan sengaja atau tidak.

Ayat 18

Tetapi tobat tidak akan diterima Allah jika datangnya dari orang yang selalu bergelimang dosa sehingga ajalnya datang barulah ia bertobat. Orang semacam ini seluruh kehidupannya penuh dengan noda dan dosa, tidak terdapat padanya amal kebajikan walau sedikit pun. Bertobat pada waktu seseorang telah mendekati ajalnya sebenarnya bukanlah penyesalan atas dosa dan kesalahan, melainkan karena ia telah putus asa untuk menikmati hidup selanjutnya. Jadi tobatnya hanyalah suatu kebohongan belaka.

Begitu pula Allah tidak akan menerima tobat dari orang yang mati dalam keadaan kafir, ingkar kepada agama Allah. Kepada mereka ini yakni orang yang baru bertobat setelah maut berada di hadapannya atau orang yang mati dalam keingkarannya, Allah mengancam akan memberikan azab yang pedih nanti di hari perhitungan sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya semasa hidupnya di dunia.

Tingkat orang yang melakukan tobat yang telah diperingatkan ini diperinci oleh para sufi sebagai berikut:

  1. Ada orang yang memiliki jiwa yang pada dasarnya (fitrahnya) sempurna dan selalu dalam kebaikan. Orang yang demikian apabila suatu waktu tanpa kesengajaan berbuat kesalahan walau sekecil apapun ia akan merasakannya sebagai suatu hal yang sangat besar. Ia sangat menyesal atas kejadian tersebut dan segera ia memperbaiki kesalahannya dan menjauhkan diri dari perbuatan itu. Nafsu yang demikian disebut dengan nafs mutma’innah.
  2. Ada kalanya seseorang memiliki jiwa yang memang pada dasarnya labil, goyah, sehingga segala tindak tanduknya dikemudikan oleh nafsu dan syahwatnya saja. Sifat yang sudah demikian mendalam pada dirinya dan telah mendarah daging. Setelah sekian lama ia bergelimang dosa dengan memperturutkan kehendak hawa nafsunya akhirnya datanglah hidayah dan taufik Allah kepadanya sehingga ia sadar dan berjuang untuk memperbaiki tindakannya yang salah dan ia kembali pada tuntunan yang diberikan Allah. Hal semacam ini memang jarang terjadi dan bagi yang mendapatkannya benar-benar merupakan orang yang diberi petunjuk oleh Allah. Nafsu yang seperti di atas disebut nafs ammarah.
  3. Ada pula orang yang memiliki jiwa di mana untuk mengerjakan dosa besar ia dapat mawas diri, sehingga ia tidak pernah mengerjakannya, tetapi mengenai dosa kecil sering dilakukannya, dengan perjuangan yang sungguh-sungguh, kadang-kadang nafsu dan syahwatnya dapat ditundukkan dan menanglah petunjuk bahkan kadang-kadang terjadi sebaliknya. Nafsu yang demikian disebut dengan nafs musawwilah.
  4. Terakhir ada pula orang yang memiliki nafs lawwamah. Orang ini sama sekali tidak dapat menghindarkan diri dari perbuatan dosa, baik besar maupun kecil. Apabila ia mengerjakan dosa maka datang kesadarannya dan ia bertobat minta ampun. Tetapi suatu saat datang lagi dorongan nafsu syahwatnya untuk berbuat dosa dan ia kerjakan pula dan kemudian bertobat lagi sesudah datang kesadarannya, begitulah seterusnya. Tobat yang demikian itu adalah tobat yang terendah derajatnya, namun begitu kepada orang seperti ini tetap dianjurkan agar selalu mengharap ampunan dari Allah.

(Tafsir Kemenag)

Maqdis
Maqdis
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pegiat literasi di CRIS Foundation.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...