Upaya memahami kandungan Al-Quran melalui sebuah penafsiran dibutuhkan perangkat komplit dan kompleks. Salah satunya adalah penguasaan bahasa ushûl al-lughah. Kajian ushûl al-lughah atau fiqh al-lughah meliputi musytarak al-lafzhî, at-tarâduf, haqîqah-majâz dan lain sebagainya. Mengenai musytarak al-lafzhî (satu kata beragam makna) perlu diperkenalkan secara luas. Sehingga pemahaman terhadap ayat menjadi tepat. Sebut saja salah satunya term ummah yang punya makna cukup dinamis. Berikut ini ragam makna ummah dalam Al-Quran menurut Ahli Tafsir.
Dalam bahasa Arab kontemporer, kata ummah diartikan sebagai bangsa/negara. Sebagaimana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab dengan hai’ah al-umam al-muttahidah. Jika merujuk pada kamus al-muʻjam al-wasîth term ummah diartikan dengan majmû’ min an-nâs yatasyârakûn fi umûr musytarakah sawa’ fî siyasiyah aw ghairihâ (sekumpulan manusia yang berserikat dalam urusan yang sama baik politik maupun yang lainnya).
Baca juga: Salah Paham tentang Khayr Ummah, Awal Lahirnya Sikap Superioritas
Dalam Al-Quran, kata ummah –sebagaimana catatan Fuad Abdul Bâqi dalam al-mu’jam al-mufahras li alfâzh al-Qur’ân– tersebar 64 kali di berbagai tempat. Dari jumlah tersebut setidaknya ummah berkembang tidak kurang dari 12 makna. Sembilan di antaranya disebutkan Muqâtil bin Sulaimân (w. 150 H) dalam bukunya, al-Wujûh wa an-Nazhâ’ir yang kemudian dipertegas oleh Hârûn bin Mûsâ (w. 170 H) dan Ad-Dâmighânî (w. 478 H) dalam judul buku yang sama. Kesembilan makna itu sebagaimana berikut:
Pertama, sekelompok (‘ushbah/jamâ’ah)
Sebagaimana doa Nabi Ibrahim as dan Ismail as saat mengangkat pondasi Kakbah yang memohon agar keturunannya menjadi sekelompok Muslim yang berserah diri pada Allah, wa min dzurriyatinâ ummah muslimah laka (Q.S. al-Baqarah [2]: 128). Juga saat Allah swt mengisahkan di antara kaum Nabi Musa as ada sekelompok yang adil dan mendapat hidayah, wa min qaum Mûsâ ummah (Q.S. al-A’râf [7]: 159). Makna pertama ini bisa kita jumpai pada penafsiran ath-Thabarî (w. 310 H) dan al-Baghawî (w. 510 H).
Kedua, waktu bertahun-tahun (sinîn)
Dimaknai demikian karena tahun merupakan sekumpulan dari jam, hari, dan bulan. Penundaan siksa Allah swt bagi orang-orang yang ingkar berlangsung hingga waktu bertahun-tahun, wa lain akhkharnâ ‘anhum al-‘adzâb ilâ ummah ma’dûdah (Q.S. Hûd [11]: 8). Begitu juga kembalinya ingatan salah satu teman Nabi Yusuf setelah bertahun-tahun lamanya, waddakara ba’da ummah (QS Yûsuf [12]: 45). Riwayat Ibn ‘Abbas yang dinukil ath-Thabari (w. 310 H) juga memaknainya dengan (sinîn).
Ketiga, kaum (qaum)
Makna ini berdasarkan riwayat Ibn ‘Abbâs, Mujâhid, Qatâdah dan adh-Dhahhâk yang ditemukan dalam tafsîr ath-Thabarî. Saat satu kaum lebih banyak jumlahnya dibanding kaum lainnya, an takûn ummah hiya arbâ min ummah (Q.S. an-Nahl [16]: 92).
Keempat, imam pemimpin kebaikan (imâm fî al-khair)
Abû Hilâl al-‘Askarî (w. 395 H) juga menambahi maknanya dengan seorang laki-laki hebat karena menjadi rujukan bagi orang-orang sekelilingnya. Makna ini bisa didapati pada Q.S. an-Nahl [16]: 120, innâ Ibrâhîm kâna ummah. Sebagaimana riwayat Ibn Mas’ûd dalam Jâmi’ al-Bayân karya ath-Thabarî. Râghib al-Ashfihânî (w. 425 H) memaknainya sebagai sesosok yang ibadahnya kepada Allah menyamai ibadah sekelompok orang banyak.
Kelima, umat-umat kafir terdahulu (al-umam al-khâliyah min al-kuffâr)
Sebagaimana penafsiran ath-Thabari, setiap umat kafir yang telah lewat memiliki seorang Rasul, wa likulli ummah rasûl (Q.S. Yûnus [10]: 47) dan wa in min ummah illâ khalâ fîhâ nadzîr (Q.S. Fâthir [35]: 24).
Baca juga: Inilah Tinjauan Tafsir Ummatan Wasatha Menurut M. Thalibi
Keenam, umat Muhammad saw dari kalangan Muslim (al-muslimûn khâshshah)
Makna ini seperti yang dimaksud dalam kuntum khaira ummah ukhrijat li an-nâs (Q.S. Ali ‘Imrân [3]: 110) dan ja’alnâkum ummah washath (Q.S. al-Baqarah [2]: 143). Ath-Thabari dan al-Baghawi juga memaknainya demikian.
Ketujuh, umat Muhammad saw dari kalangan non-Muslim (al-kuffâr khâshshah)
Makna ini sebagaimana makna kata ummah dalam kadzâlika arsalnâka fî ummah qad khalat min qablihâ umam (Q.S. ar-Ra’d [13]: 30).
Kedelapan, makhluk (al-khalq)
Sebagaimana riwayat as-Sudî dinukil oleh ath-Thabari dalam ayat wa mâ min dâbbah wa lâ thâir yathîr bi janâhaih illâ umam amtsâlukum (Q.S. al-An’âm [6]: 38).
Kesembilan, agama (millah/dîn)
Seperti dalam ayat kâna an-nâs ummah wâhidah (Q.S. al-Baqarah [2]: 213) dan wa lau syâ’a Allâh laja’alakum ummah wâhidah (Q.S. an-Nahl [16]: 52). Makna ini diperkuat dengan riwayat ath-Thabari dari Ibn ‘Abbâs dan as-Sudî serta pemaknaan Al-Khalil (w. 175 H) terhadap kata ummah pada Q.S. az-Zukhruf [43]: 22 dengan keyakinan (dîn).
Kemudian, makna ini dikembangkan lagi oleh Abû Hilâl al-‘Askarî (w. 395 H) dalam buku yang berjudul sama, al-Wujûh wa an-Nazhâ’ir, menjadi dua makna; agama itu sendiri (millah bi ‘ainihâ) dan pemeluk agama Islam (ahl al-Islâm bi ‘ainih) dan wa inna hâdzihi ummatukum ummah wâhidah (Q.S. al-Anbiyâ’ [21]: 92). Sehingga pemeluk agama Islam menjadi makna kesepuluh. Kemudian makna ummah dalam kâna an-nâs ummah wâhidah (Q.S. al-Baqarah [2]: 213) diperluas lagi oleh Râghib al-Ashfihânî (w. 425 H) dengan shinfan wâhidan (satu jenis).
Ibnu Fâris (w. 395 H) melalui Maqâyîs al-Lughah menambahkan makna keduabelas dari ummah yaitu para ulama. Diperkuat kembali oleh Râghib al-Ashfihânî (w. 425 H) dengan ulama yang mengamalkan ilmunya hingga menjadi teladan. Sebagaimana termuat dalam Q.S. Ali ‘Imrân [3]: 104, wal takun minkum ummah yad’ûna ila al-khair.
Baca juga: Menilik Makna Ummatan Wasatha dalam Surat Al-Baqarah Ayat 143 Dari Berbagai penafsiran
Menurut hemat penulis, ragam makna ummah bisa disimpulkan pada dua asal makna kata yaitu: jam’ (kumpulan) dan qashd (tujuan). Sebagaimana Râghib al-Ashfihânî (w. 425 H) –dalam al-mufradât fî gharîb al-Qur’ân-menyimpulkan ragam makna kata ummah dengan sekumpulan yang disatukan dalam satu urusan yang sama baik itu teologi (keyakinan agama), waktu, maupun tempat. Hal yang menyatukan itu bisa bersifat alamiah (taskhîr) ataupun bisa diupayakan (ikhtiyâr).
Sementara itu, menurut Abû Hilâl al-‘Askarî (w. 395 H) dalam al-Wujûh wa an-Nazhâir- ragam makna ummah bisa dikembalikan pada satu kata asal yaitu qashd (tujuan). Sebab, suatu umat pasti mempunyai tujuan dan misi yang sama. Dinamakan umat Muhammad saw karena memiliki tujuan yang sama, yaitu mengimaninya. Jika dirunut akar katanya berasal dari kata kerja amma yaummu imâman yang berarti di depan. Seorang imam harus berdiri lebih depan dibanding makmum. Sehingga disebut ummah karena kepentingan umat harus diprioritaskan dan ditempatkan di depan dibanding kepentingan lainnya. Wallahu a’lam []