BerandaTafsir TematikBerikut Ini Adalah Cara Meraih Kebahagiaan Menurut Al-Quran

Berikut Ini Adalah Cara Meraih Kebahagiaan Menurut Al-Quran

Artikel ini akan menjelaskan tentang cara meraih kebahagiaan menurut al-Quran berdasarkan pada frasa la’allakum tuflihun (supaya kalian berbahagia). Dengan petunjuk meraih kebahagiaan ini, bisa dikatakan bahwa al-Quran adalah kitab kebahagiaan. Allah Swt berfirman:

وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ …

“…dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung (bahagia).”

(Q.S. Al-Baqarah: 189)

Dalam sejumlah ayat, Al-Qur’an memberikan tuntunan tentang cara meraih kebahagiaan. Bahkan, kalau dikaji lebih jauh, tujuan akhir setiap perintah Allah Swt. adalah: “supaya kalian berbahagia/beruntung” (la’allakum tuflihuna).

Baca Juga: Surah Al-Anam Ayat 153, Menyusuri Jalan Menuju Kebahagiaan

Dalam Al-Qur’an, kalimat la’allakum tuflihuna yang berarti ‘supaya kalian berbahagia’ disebut sebanyak 11 kali, yaitu pada: Q.S. Al-Baqarah: 189, Q.S. Ali Imran: 130, 200, Q.S. Al-Maidah: 35, 90, 100, Q.S. Al-A’raf: 69, Q.S. Al-Anfal: 45, Q.S. Al-Hajj: 77, Q.S. An-Nur: 31, dan Q.S. Al-Jumu’ah: 10.

Dari penelusuran tentang ayat-ayat tersebut, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa semua perintah Allah dimaksudkan agar kita hidup bahagia. Ya, hidup bahagia yang sesungguhnya, tidak hanya di dunia saja, tetapi juga di akhirat kelak.

Jika kita telusuri lebih lanjut ayat-ayat yang berbicara tentang kebahagiaan di atas, maka akan kita dapati sejumlah langkah yang harus kita tempuh untuk dapat mencapai kebahagiaan.

Secara garis besar, dari hasil bacaan serta kajian penulis terhadap sejumlah ayat tersebut, kata kunci agar kita meraih kebahagiaan dunia-akhirat adalah: takwa. Takwa biasa dimaknai dengan kepatuhan dan ketaatan menjalankan segala perintah dan seruan Allah, serta kesabaran dan ketabahan dalam menghindari dan menjauhi segala larangan-Nya.

Adapun penjabaran dari makna takwa pada rangkaian ayat-ayat tersebut antara lain sebagai berikut:

Pertama, sabar. Sabar secara bahasa adalah menahan atau mengendalikan diri. Adapun secara syari’at, sabar adalah mengendalikan diri dalam tiga kondisi: pertama, sabar dalam taat kepada Allah Swt; kedua, sabar dalam menahan diri terhadap perkara yang diharamkan; ketiga, sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan dari Allah Swt.

Kedua, syukur. Secara bahasa, kata syukur berarti menyingkap (al-kasyfu) atau membuka, lawan kata menutup (al-kufru). Ar-Raghib al-Asfahani dalam Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an menjelaskan bahwa makna syukur adalah ‘gambaran di dalam benak tentang kenikmatan dan menampakkannya ke permukaan’.

Syukur dalam pengertiannya yang lebih luas adalah mengakui dan meyakini bahwa segala nikmat itu berasal dari Allah Swt., yang kadar serta ketentuan nikmat itu sesuai dengan kehendak Allah. Dengan memahami konsep ini, maka setiap orang akan menerima sepenuh hati nikmat yang Allah berikan kepadanya. Syukur atas nikmat adalah salah satu cara efektif untuk bisa merasakan kebahagiaan hidup.

Ketiga, banyak menyebut dan mengingat Allah (zikir). “…Dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung (berbahagia)…” (Q.S. Al-Anfal: 45). Salah satu bukti rasa cinta seseorang yang akan menimbulkan perasaan bahagia adalah seringnya menyebut dan mengingat nama yang dicintainya. Dengan terus menerus menyebut nama yang dicintainya, maka seseorang akan merasakan kebahagiaan.

Demikian halnya, jika seorang hamba benar-benar mencintai Tuhannya, maka dia akan terus-menerus mengingat dan menyebut nama Tuhannya. Karena hal ini akan menimbulkan perasaan bahagia tak terhingga. “…Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (Q.S. Ar-Ra’d: 28)

Keempat, menjauhi prasangka. Di antara penyebab kegelisahan hati, ketidaktenangan jiwa, serta keresahan batin adalah munculnya prasangka (negatif) atau buruk sangka. Seseorang yang selalu berprasangka negatif terhadap orang lain, juga berprasangka buruk terhadap Allah tidak akan pernah merasakan ketenangan batin serta jauh dari perasaan bahagia. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa…” (Q.S. Al-Hujurat: 12).

Kelima, berserah diri hanya kepada Allah (tawakkal). Secara bahasa tawakal berarti: bersandar, berserah diri, mewakilkan. Adapun secara istilah, tawakal biasa dimaknai dengan penyerahan sesuatu kepada Allah atau menggantungkan urusan diri kepada Allah setelah sebelumnya berikhtiar maksimal.

Menurut Imam Al-Ghazali, tawakal adalah: “menyandarkan diri kepada Allah Swt., dalam menghadapi setiap kepentingan, bersandar keapada-Nya dalam waktu kesukaran, teguh hati ketika ditimpa bencanan, dengan jiwa yang tenang dan hati yang tenteram.” Orang yang bertawakal akan menyerahkan dan mengembalikan masalah yang dihadapinya kepada Allah setelah benar-benar berikhtiar. Ia berserah diri karena memang semua usaha sudah dilakukan secara maksimal. Apa pun hasil akhir dari ikhtiar yang telah dilakukannya, akan diterimanya dengan sikap tawakal.

Baca Juga: Tafsir Surat Hud Ayat 3: Raih Kebahagiaan dengan Beristighfar

Beberapa langkah yang diajarkan Al-Qur’an tersebut, juga langkah-langkah lain yang terdapat dalam sejumlah ayat lainnya, akan menuntun kita menapaki tangga demi tangga menuju kebahagiaan hakiki, yaitu kebahagiaan abadi, yang dimulai sejak hidup di dunia ini hingga sampai ke akhirat nanti.

Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kitab kebahagiaan.

Didi Junaedi
Didi Junaedi
Dosen Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN Syekh Nurjati Cirebon
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...