Membincang Kebahagiaan dalam Al-Qur’an: Hakikat, Bentuk, dan Cara Menggapainya

Membincang Kebahagiaan dalam Al-Qur’an: Hakikat, Bentuk, dan Cara Menggapainya
Kebahagiaan dalam Al-Qur’an

Pada dasarnya kebahagiaan sering didefinisikan sebagai suatu kesenangan dan ketenteraman hidup, keberuntungan, dan kemujuran yang bersifat lahir dan batin. Titik tekan yang hendak menjadi acuan dalam kebahagiaan adalah ketenteraman. Adapun tenteram berarti perasaan aman, damai, dan sentosa lahir dan batin, bebas dari segala yang menyusahkan. Kata lain yang menggambarkan kebahagiaan adalah kenikmatan, kepuasan, dan kesenangan.

Kenikmatan diartikan sebagai keadaan yang nikmat, yang antara lain berkonotasi pada kecukupan dalam hal makanan dan tempat tinggal. Sedangkan kepuasan diartikan perihal atau perasaan puas, lega, gembira karena telah terpenuhi hasrat hatinya, yang dapat saja berkonotasi negatif, misalnya hasrat mencelakakan orang lain. Adapun kesenangan diartikan sebagai kondisi senang karena mendapatkan keenakan dan kepuasan.

Namun ada beberapa prinsip dasar yang membedakan antara kebahagiaan, kenikmatan, kepuasan dan kesenangan. Kebahagiaan merupakan kondisi kejiwaan yang meliputi ketenteraman yaitu perpaduan antara rasa aman, damai, dan tenang. Sedangkan kenikmatan, kesenangan, maupun kepuasan walaupun bisa menjadi barometer kebahagiaan, namun tidak dapat disangkal bahwa ketiganya juga dapat mendatangkan kesengsaraan atau lawan dari kebahagiaan.

Baca juga: Berikut Ini Adalah Cara Meraih Kebahagiaan Menurut Al-Quran

Kebahagiaan dalam Al-Qur’an

Kata kebahagiaan apabila dicarikan padanan katanya di dalam al-Qur‘an memiliki beberapa padanan seperti kata sa‘adah, ḥasanah, ṭuba, mata‘, surur, falaḥ, fawz, dan faraḥ. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, hal 82).

Al-Isfahani mengartikan kata sa‘adah atau sa‘id dengan pertolongan kepada manusia terhadap perkara ketuhanan untuk memeroleh kebaikan. Kata sa‘id sering dihubungkan dengan kata syaqawah (kesengsaraan) sebagai lawan katanya. Kedua terma ini tersirat dalam QS. Hud [11]: 105:

 يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيد

“Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.”

Term kebahagiaan (sa‘adah) pada ayat di atas dapat dipahami dalam konteks dualitas, yaitu merupakan lawan dari kata sengsara. Kesadaran manusia pada dasarnya selalu bersifat dualistis. Artinya kehidupannya di setiap tempat dan waktu merupakan polarisasi yang tajam antara sakit dan lezat, bahagia dan derita. Ia akan selalu berhadapan dengan kesusahan atau kesenangan, bahagia atau sengsara.

Manusia akan selalu berhadapan dengan dua realitas ini, yaitu kesenangan atau kesusahan, termasuk ekspresinya, yaitu tertawa atau menangis. Tangisan adalah tanda kesedihan atau sesuatu yang menyakitkan, sedangkan tertawa adalah bukti kebahagiaan, kegembiraan, atau kesenangan (Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan dalam al-Qur‘an, hal 41).

Orang yang berbahagia biasanya menampakkan wajah yang penuh senyuman atau berseri-seri. Sebaliknya, orang yang sedih biasanya menunjukkan wajah yang muram atau penuh tangisan. Orang yang sengsara adalah orang yang sesat, tidak tau jalan hidup yang harus ditempuh, tidak sadar apakah ia berbuat benar atau salah, atau tidak dapat membedakan mana yang hak dan yang batil.

Sementara orang yang bahagia adalah kebalikan dari itu. Jiwanya tenang, hatinya tenteram, tenang menghadapi persoalan, hatinya disinari cahaya iman kepada Allah, dan di dalam jiwanya tertanam akidah yang kuat dan sadar bahwa segala sesuatu telah diatur oleh Allah Swt. Orang berbahagia adalah orang yang merasa aman, tenang, dan punya kekuatan untuk menjalani kehidupan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ṭaha [20]: 123:

 قَالَ اهۡبِطَا مِنۡهَا جَمِيۡعًا‌ بَعۡضُكُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوٌّ‌ فَاِمَّا يَاۡتِيَنَّكُمۡ مِّنِّىۡ هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَاىَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشۡقٰى

“Dia (Allah) berfirman, “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka (ketahuilah) barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka”.

Baca juga: Tafsir Surah Yunus Ayat 12: Bersabar Saat Bahaya dan Bersyukur Kala Bahagia

Selain kata sa‘adah, term lain dalam al-Qur‘an yang menunjukkan pengertian kebahagiaan adalah falah. Menurut Ibn Manẓur, arti kata falaḥ adalah beruntung, selamat, abadi dalam kenikmatan dan kebaikan. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. al-Mu‘minun [23]: 1:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”.

Al-Isfahani mengatakan, bahwa sesungguhnya dikatakan kepada ahli surga adalah orang-orang yang beruntung karena keberuntungan mereka yang tetap abadi di surga (al-Isfahani, Mufradat Alfaẓ al-Qur’an, hal 644).

Al-Isfahani menyebutkan bahwa kata falaḥ adalah al-ẓafr wa idrak al-bughyah, memeroleh apa yang dikehendaki. Kata ini seringkali diterjemahkan dengan beruntung, berbahagia, atau memeroleh kemenangan. Selain itu, al-Isfahani membagi kata falaḥ dalam arti kebahagiaan menjadi dua bagian, yaitu duniawi dan ukhrawi. Kebahagiaan duniawi mencakup usia panjang, kekayaan, dan kemuliaan. Sedangkan kebahagiaan ukhrawi mencakup kekekalan tanpa kepunahan, kekayaan tanpa kebutuhan, kemuliaan tanpa kehinaan, dan pengetahuan tanpa kebodohan.

Menurut M.Quraish Shihab, kata falaḥ mempunyai derivasi berupa kata aflaḥa yang berarti “memeroleh yang dikehendaki” (M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, hal 430). Kata aflaḥ ditemukan dalam al-Qur‘an sebanyak empat kali, salah satunya adalah QS. Ṭaha [20]: 64:

فَاَجۡمِعُوۡا كَيۡدَكُمۡ ثُمَّ ائۡتُوۡا صَفًّا‌ وَقَدۡ اَفۡلَحَ الۡيَوۡمَ مَنِ اسۡتَعۡلٰى

“Maka kumpulkanlah segala tipu daya (sihir) kamu, kemudian datanglah dengan berbaris. Sungguh beruntung orang yang menang pada hari ini”.

Selain itu, menurut Quraish Shihab, kata aflaḥa merupakan penegasan Allah Swt. yang ditemukan pada surah al-Ala‘ [87] ayat 14, al-Syams [91] ayat 9, dan al-Mu‘minun [23] ayat 1. Dalam al-Mu‘minun [23] ayat 1-9, dikemukakan sifat-sifat orang mukmin yang akan meraih kemenangan (falaḥ). Sifat-sifat tersebut mencerminkan pula usaha-usaha mereka (orang-orang yang beriman) yang pada akhirnya dapat dinilai sebagai upaya penyucian diri (tazakka), sebagaimana terdapat dalam surah al-Ala’ [87] ayat 14:

قَدۡ اَفۡلَحَ مَنۡ تَزَكّٰ

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman)”.

Upaya-upaya itu meliputi khusyu’ dalam salat, menunaikan zakat, menjauhkan diri dari perbuatan sia-sia, menjaga kemaluan kecuali pada pasangan yang sah, memelihara amanat dan janji, dan memelihara waktu salat.

Baca juga: Tafsir Surah An Nahl Ayat 97: Tips Meraih Hidup Bahagia

Penutup

Wawasan al-Qur‘an tentang arti kebahagiaan sebagaimana dikemukakan di atas, dapat disimplifikasikan ke dalam dua aspek. Pertama, bahwa kebahagiaan di dalam al-Qur‘an merujuk pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Setiap individu sangat ditekankan untuk memeroleh kedua kebahagiaan ini. Kebahagiaan dunia dikatakan dalam al-Qur‘an bersifat temporar dan sesaat, sedangkan kebahagiaan akhirat bersifat abadi dan selamanya.

Kedua, bahwa kebahagaiaan juga mencakup kebahagiaan fisik dan non-fisik. Namun banyak di dalam al-Qur‘an yang mengindikasikan bahwa kebahagiaan hakikat adalah kebahagiaan non-fisik (al-Isfahani, Mufradat Alfaẓ al-Qur’an, hal 644). Semoga kita senantiasa mendapatkan keberkahan dari al-Qur’an dan dikaruniai kebahagiaan, baik di dunia terlebih di akhirat kelak. Amin ya rabbal ‘alamin.

Baca juga: Tafsir Surat Hud Ayat 3: Raih Kebahagiaan dengan Beristighfar