Beranda blog Halaman 151

Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 88-96

0
Tafsir Surah Al-Waqi'ah
Tafsir Surah Al-Waqi'ah

Pada Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 88-96 merupakan penegasan tentang golongan-golongan yang akan ada pada hari kebangkitan nanti. Dijelaskan pula dalam Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 88-96 konsekuensi yang akan diberikan pada setiap golongan terutama bagi orang-orang golongan kanan.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 77-87


Ayat 88-94

Dalam ayat ini dijelaskan keadaan manusia setelah meninggal dunia. Mereka itu terbagi atas 3 golongan yaitu:

  1. Golongan orang-orang yang selalu mendekatkan diri kepada Allah (al-muqarrabin) dengan mengerjakan berbagai macam ibadah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Mereka ini akan mendapat kemenangan dan kegembiraan serta memperoleh rezeki yang luas dan macam-macam nikmat, tempat kediaman mereka di surga, di mana mereka akan menikmati di dalamnya segala sesuatu yang belum pernah dipandang oleh mata, didengar oleh telinga, dan terlintas di hati.
  2. Golongan kanan yakni (al-Abrar atau Ashabul-yamin) yang akan menerima catatan amalnya dengan tangan kanannya. Mereka itu akan disambut dengan gembira oleh para malaikat sambil menyampaikan salam dari teman-teman mereka dari kalangan Ashabul-yamin.

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ  ٣٠  نَحْنُ اَوْلِيَاۤؤُكُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَفِى الْاٰخِرَةِ ۚوَلَكُمْ فِيْهَا مَا تَشْتَهِيْٓ اَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيْهَا مَا تَدَّعُوْنَ ۗ   ٣١  نُزُلًا مِّنْ غَفُوْرٍ رَّحِيْمٍ ࣖ   ٣٢ 

Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya (surga) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh apa yang kamu minta. Sebagai penghormatan (bagimu) dari (Allah) Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Fussilat/41: 30-32).

  1. Golongan orang-orang kafir (Ashabusy-syimal) ialah yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, sehingga mereka tersesat dari jalan yang lurus dan akan menerima catatan amalnya dengan tangan kirinya. Mereka akan ditempatkan dalam api neraka yang berkobar-kobar nyalanya, diberi minum air yang sangat panas, dan makan buah zaqqµm sehingga menghancurkan isi perut dan seluruh kulit badan mereka.

Baca Juga: Tafsir Surah Yasin ayat 80: ‘Pohon’ Sebagai Perumpaan Hari Kebangkitan


Ayat 95-96

Ayat-ayat ini menerangkan, bahwa segala sesuatu yang telah diungkapkan dalam surah ini, baik yang mengenai hal-hal yang berhubungan dengan hari kebangkitan yang mereka dustakan maupun yang bertalian dengan bukti-bukti yang menunjukkan kebenaran adanya hal-hal yang akan terjadi setelah hari kebangkitan, yaitu yang berkaitan dengan nikmat-nikmat Tuhan yang akan diterima oleh golongan (muqarrabin) Ashabul-yamin dan siksaan Tuhan yang akan menimpa golongan Ashabusy-syimal, semua itu adalah berita yang meyakinkan, yang tidak mengandung sedikit pun hal-hal yang diragukan.

Berhubungan dengan itu, manusia diperintahkan oleh Allah supaya memperbanyak ibadah dan amal saleh, antara lain dengan membaca tasbih, untuk mengagungkan Allah, Tuhan Yang Mahaagung.

Dalam hubungan ayat ini terdapat hadis Nabi yang berbunyi:

وَلَمَّا نَزَلَتْ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ، قَالَ اجْعَلُوْهَا فِى رُكُوْعِكُمْ، وَلَمَّا نَزَلَتْ  سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى قَالَ اجْعَلُوْهَا فِيْ سُجُوْدِكُمْ. (رواه أحمد وابو داود وابن ماجه عن عقبة بن عامر الجهني)

Tatkala turun ayat Fasabbih Bismirabbikal-‘Adzim, kepada Rasulullah, beliau bersabda, “Jadikanlah bacaan Tasbih pada saat kamu ruku’ (yaitu dengan membaca Subhanarabbial-‘Adzim)”, dan tatkala turun ayat Sabbihismarabbikal A’la. Rasulullah bersabda, “Jadikanlah bacaan Tasbih ini ketika kamu sujud (yaitu dengan membaca Subhanarabbial-A’la)” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari ‘Uqbah bin ‘Amir al- Juhani)

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 77-87

0
Tafsir Surah Al-Waqi'ah
Tafsir Surah Al-Waqi'ah

Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 77-87 membahas tentang keutamaan dari Alquran, serta balasan bagi setiap orang yang memperlakukan Alquran dengan baik atau tidak. Selain itu, Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 77-87 membahas pula tentang pedihnya sakaratul maut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 75-76


Ayat 77-80

Allah menjelaskan bahwa Al-Qur’an ini adalah wahyu ilahi yang mengandung faedah dan kemanfaatan yang tiada terhingga dan berisi ilmu serta petunjuk pasti yang membawa kebahagiaan kepada manusia untuk kehidupan dunia dan akhirat, dan membacanya termasuk ibadah.

Al-Qur’an merupakan sumber ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu tasawuf, dan lain-lain. Al-Qur’an terjamin kesuciannya, hanya Malaikat al-Muqarrab³n yang pernah menyentuhnya dari Lauh Mahfudz, yaitu Malaikat Jibril yang ditugaskan menyampaikannya kepada Nabi Muhammad saw.

Mengenai ayat 79, sebagian ahli tafsir berbeda pendapat.

لَّا يَمَسُّهٗٓ اِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَۙ    ٧٩

Tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan. (al- Waqi’ah/56: 79)

Jumhur ulama mengistimbatkan bahwa ayat 79 ini melarang orang-orang yang berhadas, baik hadas kecil maupun hadas besar, menyentuh atau memegang mushaf Al-Qur’an, berdasarkan hadis Muadz bin Jabal, Rasul bersabda, “Tidak boleh menyentuh mushaf kecuali orang suci.” Pendapat inilah yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.

Ada dua pendapat tentang hukum menyentuh mushaf yaitu:

  1. Imam empat mazhab berpendapat tidak boleh menyentuh mushaf tanpa wudu. Menurut Imam Nawawi, firman Allah: la yamassuhu illal-muthahharun bermakna tidak menyentuh mushaf ini kecuali orang suci dari hadas.
  2. Mazhab az-Zahiri berpendapat boleh menyentuh mushaf tanpa wudu dengan alasan bahwa Rasulullah saw pernah mengirim surat yang ada ayat Al-Qur’annya kepada Heraklius padahal dia non muslim dan tidak berwudu. Anak kecil membawa tempat menulis Al-Qur’an dan buku yang ada tulisan Al-Qur’an diperbolehkan oleh para ulama.

Selanjutnya Allah menjelaskan bahwa Al-Qur’an ini sesungguhnya diturunkan dari Tuhan yang menguasai alam semesta. Sebagai pedoman hidup untuk dibaca, dihafal, dipahami dan diamalkan. Maka sungguh sesatlah orang-orang yang menuduh bahwa Al-Qur’an ini sihir atau syair.

Ayat 81-82

Allah mencela orang-orang yang meremehkan Al-Qur’an, yang memandangnya sebagai ucapan manusia biasa, mereka juga mencemoohkan orang-orang yang berpegang kepada Al-Qur’an dan tidak membelanya bila ada orang-orang yang menghinanya.

Selanjutnya Allah swt mencela orang yang tidak mensyukuri nikmat-nikmat Tuhan yang dikaruniakan kepada mereka, bahkan nikmat-nikmat tersebut mereka sambut dengan mendustakannya.

Dalam ayat yang lain yang sama maksudnya, Allah berfirman:

وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ اِلَّا مُكَاۤءً وَّتَصْدِيَةً

Dan salat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan. (al-Anfal/8: 35)


Baca Juga: Keutamaan Membaca Al-Qur’an dalam Keterangan Hadis Nabi saw


Ayat 83-85

Ayat-ayat ini menjelaskan, betapa ngerinya kalau nyawa manusia sudah sampai di tenggorokannya. Keluarga-keluarga yang hadir datang hanya untuk melihat dan menyaksikan peristiwa tersebut sebagai pertemuan terakhir. Dalam peristiwa tersebut, keluarganya tidak dapat menyaksikan malaikat yang mencabut nyawa saudaranya, padahal ia berada di sebelahnya.

Keadaan ini menggambarkan bahwa setiap insan tidak dapat mempertahankan rohnya dari malaikat maut. Ini suatu bukti bahwa baik roh maupun jasad bukan milik manusia.

Ayat 86-87

Ayat-ayat ini menerangkan tentang manusia yang sedang menghadapi sakratulmaut, mereka dalam keadaan sama sekali tidak berdaya, dan manakala mereka mempunyai kesanggupan dan kemampuan, tentulah mereka dapat menahan nyawa mereka ketika sampai di tenggorokan, untuk mengembalikannya kepada keadaan semula seperti ketika keadaan sehat.

Anggapan mereka bahwa hari kebangkitan dan pembalasan semuanya itu tidak ada. Kenyataannya, mereka tidak berdaya menahan rohnya ketika sampai di tenggorokannya, namun mereka membangkang.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 88-96


Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 75-76

0
Tafsir Surah Al-Waqi'ah
Tafsir Surah Al-Waqi'ah

Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 75-76 membahas tentang pentingnya nama-nama yang Allah jadikan sumpah dalam Alquran. Salah satu yang dijelaskan dalam Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 75-76 yaitu tentang bintang yang Allah jadikan sebagai sumpah dengan penjelasan fakta sains.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 71-74


Ayat 75-76

Sebagian ahli tafsir menjelaskan ayat ini, bahwa Allah bersumpah dengan masa turunnya bagian-bagian Al-Qur’an guna menunjukkan betapa pentingnya hal tersebut.

Al-Qur’an diturunkan sekaligus dari Lauh Mahfudz ke langit paling dekat pada malam Lailatul Qadar (malam yang sangat mulia). Kemudian, diturunkan lagi secara berangsur-angsur menurut keperluannya dari langit dunia kepada Nabi Muhammad saw hingga selesai seluruhnya dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari.

Masa turunnya bagian-bagian Al-Qur’an tersebut mengandung arti penting, kebijaksanaan turunnya sebagian-sebagian yaitu tiap surah atau tiap ayat antara lain ialah agar tiap surah atau ayat itu dapat dimengerti secara lebih luas dan lebih mendalam.

Allah menegaskan bahwa sumpah dalam bagian-bagian Al-Qur’an tersebut sangat besar artinya, karena hal itu mengandung isyarat terhadap agungnya kekuasaan Allah dan kesempurnaan kebijaksanaan-Nya dan keluasan rahmat-Nya dan tidak menyia-nyiakan hamba-Nya.

Dalam ayat 75, Allah bersumpah untuk meyakinkan terhadap hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang menggambarkan kemahakuasaan-Nya terhadap alam jagat raya ini, yakni suatu “tempat beredarnya bintang-bintang.”

Andaikan ketika manusia mampu melihat, bagaimana teraturnya bintang-bintang yang selalu bergerak pada orbitnya masing-masing dengan aman dan serasi, tentulah mereka akan berpendapat lain.

Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, barulah diketahui betapa banyaknya kumpulan bintang-bintang di angkasa raya yang tidak terhitung jumlahnya. Para pakar astrofisika dan astronomi menjelaskan bahwa mata telanjang tidak akan mungkin mampu melihat isi jagat yang luas tidak berbatas.

Sistem Tata Surya yang terdiri dari jutaan bintang bahkan mungkin lebih (termasuk di dalamnya bumi kita ini) hanyalah menjadi bagian kecil dari Galaksi Bima Sakti yang memuat lebih dari 100 milyar bintang. Bima Sakti pun itu hanyalah satu dari 500 milyar lebih galaksi dalam jagat raya yang diketahui, subhanallah!

Semua bintang-bintang itu beredar pada orbitnya, termasuk matahari kita. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:

وَالشَّمْسُ تَجْرِيْ لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ۗذٰلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِۗ   ٣٨

Dan matahari beredar di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Mahaperkasa dan Maha Mengetahui. (Yasin/36: 38)

Berdasarkan pengamatan para pakar, matahari bergerak dalam kecepatan yang tinggi kira-kira 720, 000 km per jam mengarah ke bintang Vega dalam satu orbit tertentu dalam sistem Solar Apex. Bersama-sama dengan matahari, dan semua planet dan satelit yang berada dalam lingkungan sistem Tata Surya (sistem solar) juga turut bergerak pada jarak yang sama.


Baca Juga: Wa An-Najm Idha Hawa: Demi Bintang, Demi Muhammad, Demi Al-Quran


Semua benda-benda langit ini bergerak menempati orbit-orbit yang telah dihisab (diperhitungkan). Untuk berapa juta tahun, semuanya ‘berenang’ melintasi orbit masing-masing dalam keseimbangan dan susunan yang sempurna bersama-sama dengan yang lain.

Orbit-orbit dalam alam semesta juga dimiliki oleh galaksi-galaksi yang bergerak pada kecepatan yang besar dalam orbit-orbit yang telah ditetapkan. Ketika bergerak, tidak ada satupun benda-benda langit ini yang memotong orbit atau bertabrakan dengan benda langit lainnya.

Bagaimanapun, hal ini secara jelas diterangkan kepada manusia dalam Al-Qur’an yang diwahyukan ketika itu, karena Al-Qur’an sebenarnya adalah kalam dari Sang Penguasa, Yang Maha Menjaga dan Memelihara Kestabilan Alam Semesta ini.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 77-87


Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 71-74

0
Tafsir Surah Al-Waqi'ah
Tafsir Surah Al-Waqi'ah

Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 71-74 ini membahas tentang nikmat Allah yang lain dan hampir dilupakan oleh manusia yaitu api. Pada Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 71-74 ini kita dapat merenungi nikmat dan kebesaran Allah melalui api.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 68-70



Ayat 71-74

Dalam ayat ini Allah mengungkapkan tentang nikmat yang hampir dilupakan manusia. Ungkapan tersebut berbentuk pertanyaan untuk dipikirkan dan direnungkan oleh manusia, apakah manusia mengetahui pentingnya fungsi api? Cara membuat api yang dilakukan pada zaman purba adalah dengan cara menggosok-gosokkan dua batang kayu, hingga menyala, atau dengan cara menggoreskan baja di atas batu, sehingga memercikkan api dan ditampung percikan tersebut pada kawul (semacam kapuk berwarna kehitam-hitaman yang melekat pada pelepah aren) tersebut, yang kemudian dapat dipergunakan untuk menyalakan api di dapur guna memasak berbagai masakan yang akan dihidangkan untuk dinikmati oleh manusia, atau api yang dinyalakan menurut cara sekarang dengan menggoreskan batang geretan pada korek api, maka menyalalah ia. Atau dengan korek yang mempergunakan roda baja kecil sebagai alat pemutar untuk diputarkan pada batu api kemudian percikannya ditampung pada sumbu yang dibasahi dengan bensin, sehingga sumbu nyala. Atau seperti cara yang sekarang ini melalui kompor minyak tanah atau dengan gas.

Membuat api dengan cara zaman dahulu maupun menurut cara zaman sekarang, yang menjadi pertanyaan ialah siapakah yang menyediakan kayunya atau batu apinya, bajanya, dan kawulnya atau minyak tanah dan gas? Juga siapakah yang menyediakan bahan bensin dan sebagainya? Bukankah bahan-bahan yang menjadi sebab api menyala baik berupa kayu bakar maupun minyak tanah, hanyalah Allah saja yang menjadikan-Nya?


Baca Juga: Kenikmatan Malam dan Manfaatnya bagi Manusia dalam Al-Quran


Meskipun tersedia beras, sayur-mayur dan lauk-pauknya, bila tidak ada api, tidak dapat kita memakannya karena masih mentah. Alangkah tidak enaknya, kalau makanan tersebut mentah seperti, daging mentah, dan nasinya masih berupa beras. Bagaimanakah selera bisa timbul, kalau segala-galanya serba mentah?

Dengan gambaran tersebut, jelaslah bagaimana pentingnya api bagi keperluan hidup manusia. Karena api itu didapat dengan mudah setiap hari, maka hampir-hampir tidak terpikirkan oleh manusia betapa api itu memberi kenikmatan. Hampir-hampir jarang orang bersyukur dan berterima kasih atas adanya api. Karena pentingnya api itu, Allah menegaskan bahwa api dijadikan untuk peringatan bagi manusia dan bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir, maka wajarlah manusia bertasbih dengan menyebut nama Tuhan Yang Mahabesar.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 75-76


Wanita Boleh dan Mampu Jadi Pemimpin, Sejarah Membuktikannya

0
Wanita Boleh dan Mampu Jadi Pemimpin, Sejarah Membuktikannya
Hala Zayed, Menteri Kesehatan Mesir

Sering kali kaum wanita diletakkan di bawah dominasi kekuasaan pria atau para suami. Perempuan diangga hanya sebagai objek, sementara pria atau suami sebagai subjeknya. Dengan beranggapan bahwa perempuan hanya sebagai sarana untuk melanjutkan keturunan dan perempuan dicipta untuk kaum pria. Semua anggapan ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Dalam kehidupan bermasyarakat, banyak kita jumpai peran dan status sosial yang mana juga banyak diperankan oleh kaum pria maupun kaum wanita. Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir di segala aspek kehidupan sosial wanita turut serta di dalamnya, termasuk dalam hal kepemimpinan. Peran dan kepemimpinannya sangat menentukan perkembangan dan kemakmuran suatu zaman.

Wanita Sebagai Khalifatullah

Tugas dan peran wanita di masyarakat menurut konsep Islam memang dipentingkan. Al-Qur’an dan as-sunnah tidak sedikit membicarakan masalah wanita. Sehingga dengannya, Allah Swt. mewahyukan sebuah surah yang diberi nama “An-nisa”. Sebagian besar surah ini membicarakan hal-hal yang berhubungan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak wanita.

Sejarah telah mencatat peran sosial kemasyarakatan kaum wanita sejak dahulu hingga sekarang menunjukkan betapa kaum wanita telah menampilkan kepemimpinannya, baik dalam skala regional maupun dalam skala nasional (Prototipe Kepemimpinan Wanita Islam Dalam Masyarakat, hal. 4).

Pada prinsipnya, agama tidak membatasi wanita dalam mengurus kepentingan publik. Hanya saja perlu disesuaikan dengan kemampuan dan kehormatan wanita itu sendiri, selayaknya yang juga berlaku pada kaum pria. Setidaknya terdapat tiga bidang yang menjadi halangan terciptanya relasi gender yang lebih adil, yaitu berkaitan dengan pandangan agama, persepsi masyarakat, dan politik (Al-Qur’an & Perempuan, hal. 93).

Dalam Islam, wanita mempunyai kedudukan sama dengan pria. Firman Allah dalam Q.S. Al-Ahzab [33] ayat 35:

اِنَّ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمٰتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ وَالْقٰنِتِيْنَ وَالْقٰنِتٰتِ وَالصّٰدِقِيْنَ وَالصّٰدِقٰتِ وَالصّٰبِرِيْنَ وَالصّٰبِرٰتِ وَالْخٰشِعِيْنَ وَالْخٰشِعٰتِ وَالْمُتَصَدِّقِيْنَ وَالْمُتَصَدِّقٰتِ وَالصَّاۤىِٕمِيْنَ وَالصّٰۤىِٕمٰتِ وَالْحٰفِظِيْنَ فُرُوْجَهُمْ وَالْحٰفِظٰتِ وَالذَّاكِرِيْنَ اللّٰهَ كَثِيْرًا وَّالذَّاكِرٰتِ اَعَدَّ اللّٰهُ لَهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا ۝

 Artinya: ”Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”.

Menurut Maulana Muhammad Ali, ayat ini berulang sepuluh kali dengan menyebutkan bahwa wanita mempunyai kesempatan untuk mencapai kebaikan dan kedudukan yang damai dengan pria dan bahwa wanita berada pada tingkatan spiritual yang sama dengan pria.

Baca juga: Reinterpretasi Kepemimpinan dalam Surah Al-Nisa Ayat 34

Selanjutnya, M. Quraish Shihab dalam bukunya, Membumikan Al-Qur’an (hal. 269), mengutip tulisan Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar, Mesir mengatakan: “Tabiat manusia antara laki-laki dan perempuan dapat dikatakan sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana laki-laki dianugerahkan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab serta menjadikan laki-laki dan perempuan dapat melaksanakan aktifitas umum maupun khusus.”

Di dalam masyarakat primitif ataupun masyarakat berkembang, tanpa ada khilafah atau pemerintahan yang melaksanakan tata tertib peraturan dan hukum, kehidupan masyarakat akan mengalami kehancuran. Begitu pula dalam hal kehidupan, wanita dan pria diciptakan sebagai khalifah, minimal memimpin dirinya dan pada umumnya bisa memimpin masyarakat.

Dalam hadist Rasulullah saw pernah bersabda sebagai berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ. فَالإمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْئُولَةٌ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ. أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ

“Dari Abdullah ra berkata: aku mendengar Rasulullah saw. Bersabda, tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin dan setiap pmimpin akan dimintai pertanggung jawabannya terhadap apa yang dipimpinnya . Iman itu adalah pemimpin (pemelihara) dan akan dimintai pertanggung jawabannya terhadap apa yang dipimpinnya. Dan seorang laki-laki (suami) adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabanya terhadap apa yang dipimpinnya). Dan seorang wanita (istri) adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya terhadap yang dipimpinnya.” (H.R. Bukhari No. 4789 & No. 4801).

Dengan memperhatikan hadis tersebut, jelas bahwa semua manusia adalah pemimpin, baik pria maupun wanita mempunyai kedudukan yang sama. Di Negara-negara makmur, jumlah wanita yang bekerja lebih banyak daripada di negara-negara miskin. Di negara-negara tersebut wanita juga memegang peranan besar dalam pemerintahan, bisnis, dan layanan masyarakat.

Baca juga: Bolehkah Perempuan Menjadi Pemimpin Publik? Qiraah Maqashidiyah atas Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis

Sejarah membuktikan wanita mampu menjadi pemimpin

Akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 yang ditandai dengan abad informasi dan globalisasi, menghadirkan suatu kenyataan yang mungkin kompleks sifatnya dengan makin majunya teknologi merambah kehidupan di kota, maupun di desa. Sains dan teknologi kini sudah ada di depan kita, mau tidak mau wanita diperhadapkan dengan kenyataan kompleks itu dan jawabannya tidak terlepas di tangan mereka itu sendiri.

Kaum wanita kini sedang berjuang keras untuk mendobrak sebuah peradaban dan secara gamblang memperlihatkan ada gelombang yang menyebabkan hadirnya apa yang disebut dengan Dasawarsa Wanita. Serta banyak contoh yang kita dapatkan guna mendukung analisis ini.

Di belahan dunia misalnya, bermunculan wanita-wanita yang sedang dan telah memegang tampuk kekuasaan di negara mereka. Tercatat di antaranya adalah Margaret Thacher, mantan perdana menteri Inggris, Cory Aquino, mantan Presiden Filipina, dan Benazir Bhutto.

Ketika Benazir Bhutto menjadi perdana menteri pakistan setelah memenangkan pemilihan umum pada 16 November 1998, semua orang memonopoli hak berbicara atas nama Islam. Nawaza Syarif, pemimpin Islamic Democratic Alliance (IDA) masa itu menghujat, “Sungguh mengerikan. Belum pernah sebuah negara muslim diperintah oleh wanita.”

Nawaza Syarif mengutuk peristiwa ini sebagai hukum alam, karena pengambilan politik di kalangan para leluhur kita, yang menjadi urusan kaum pria sepanjang lima belas abad silam. Sejak tahun pertama Hijriah hingga sekarang, pemegang kekuasaan  merupakam hak istimewa bagi kaum pria (Teknologi Emansipasi dan Transendensi, hal. 145).

Sampai pada abad ke-21 ini, kaum wanita masih terus dan tetap memegang peranan penting. terbukti bahwa wanita mampu memberikan solusi peradaban serta mampu menjawab tantangan zaman. Hal tersebut dibuktikan bahwa para muslimah sepanjang sejarah tidak absen dalam mengambil bagian dalam pembangunan untuk umat.

Selain itu, peranan sosial dalam Islam adalah bagian dari ibadah yang harus dilaksanakan oleh manusia sebagai khalifah di bumi, yang berkewajiban untuk mewujudkan dan memakmurkan tatanan sosial yang baik dan Islami. Wallahu a’lam bish shawab.

Baca juga: Sabar dan Tekad Kuat, Kunci Sukses Menjadi Pemimpin

Surah An-Nur Ayat 30-31: Menjaga Pandangan, Langkah Pencegahan Kekerasan Seksual

0
Surah An-Nur Ayat 30-31: Menjaga Pandangan, Langkah Pencegahan Kekerasan Seksual
Menjaga Pandangan

Apa solusi dari Islam yang bisa kita lakukan agar terhindar dari zina atau bahkan kekerasan seksual? Jawaban ini memang sudah sering kita dengar, akan tetapi masih jarang orang mempraktikkannya. Solusi apakah itu? Yaitu menjaga pandangan terhadap lawan jenis. Menjaga pandangan adalah salah satu langkah pencegahan kekerasan seksual.

Pada tulisan sebelumnya, penulis sudah menyebutkan beberapa solusi yang bisa kita lakukan dalam melakukan keadilan perempuan yang diuraikan oleh Yulianti Muthmainnah (ketua dari lembaga Pusat Studi Islam Perempuan dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan). Antara lain adalah Zakat untuk Korban Kekerasan Perempuan, Tinjauan Tafsir Al-Qur’an dan Pentingnya Heforshe Campaign di Lingkungan Muslim, Upaya Membersamai Perempuan Korban Kekerasan. Selain solusi yang telah disebutkan pada tulisan tersebut, Yulianti juga mengingatkan laki–laki yang baik adalah yang mampu menjaga pandangannya.

Tafsir Surah An-Nur Ayat 30-31

Sebagaimana dalam Al-Qur’an juga disebutkan, bahwasannya Allah meminta hambanya selain menjaga kemaluannya, yang paling pertama dilakukan adalah menjaga pandangannya kepada lawan jenis. Berikut surah An-Nur ayat 30-31 menjelaskan:

 قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ(30)

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوْ نِسَآئِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفْلِ ٱلَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا۟ عَلَىٰ عَوْرَٰتِ ٱلنِّسَآءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(31)

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

Baca juga: Tafsir Surat An-Nur [24] Ayat 30: Perintah Menjaga Pandangan

Menjaga Pandangan Bagian dari Mawas Diri

Ibnu Arabiy menafsirkan surah An-Nur ayat 30-31 bahwa dengan menundukkan pandangan terhadap lawan jenisnya merupakan bagian dari malu dan mawas diri. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh laki-laki saja, akan tetapi oleh kaum perempuan juga.

Sayyid Quṭb dalam kitab tafsirnya, Fi Zilalil Qur’an, memberikan empat cara utama untuk mengelakkan diri dari lembah zina atau hingga masalah kekerasan seksual. Yang pertama adalah meminta izin untuk masuk rumah. Kedua adalah menundukkan pandangan. Manakala yang ketiga adalah memudahkan urusan pernikahan dan yang keempat adalah haram memaksa perempuan untuk berzina, yang mana hal ini jika dimodernkan adalah konflik kekerasan seksual.

Meskipun pada ayat tersebut ditegaskan untuk perempuan beriman agar menjaga auratnya dari pandangan lawan jenis, akan tetapi di era sekarang, korban kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan yang tidak menutup aurat saja, namun juga terjadi pada perempuan yang berhijab dan menutupi auratnya. Maka, pada ayat tersebut jelas adanya, bahwa maksud Allah melarang untuk melihat lawan jenis adalah jika dengan menggunakan syahwat. Jadi perintah menjaga pandangan di sini adalah sebuah larangan melihat lawan jenis dengan menggunakan syahwat.

Kemudian Quraish Shihab pada kitab tafsirnya, menuliskan bahwa penglihatan adalah pintu terbesar menuju hati dan merupakan indera tercepat untuk sampai ke sana. Oleh karena itu banyak terjadi kesalahan akibat penglihatan. Selain itu, penglihatan harus diwaspadai dan menahannya dari hal- hal yang diharamkan. Maksudnya adalah berawal dari pandangan, kemudian dapat berlanjut ke arah yang dapat menimbulkan syahwat sehingga mengarah kepada perbuatan pemaksaan seksual. Semoga kita semua hamba Allah yang beriman dapat menjaga pandangan kita dari perkara yang dapat menimbulkan keharaman. Amin. Wallahu a’lam [].

Baca juga: Tafsir Surah Al-Isra Ayat 32: Kekejian Kekerasan dan Pelecehan Seksual

Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 68-70

0
Tafsir Surah Al-Waqi'ah
Tafsir Surah Al-Waqi'ah

Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 68-70 membahas salah satu nikmat yang Allah limpahkan di bumi untuk seluruh umat manusia yaitu air. Bahwa air merupakan sumber kehidupan. Pada Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 68-70 ini dijelaskan pula tentang fungsi dan kandungan air.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 62-67


Ayat 68-70

Dalam ayat-ayat ini Allah mengungkapkan salah satu dari nikmat-Nya yang agung, untuk direnungkan dan dipikirkan oleh manusia apakah mereka mengetahui tentang fungsi air yang mereka minum. Apakah mereka yang menurunkan air itu dari langit yaitu air hujan ataukah Allah yang menurunkannya.

Air hujan itu manakala direnungkan oleh manusia, bahwa ia berasal dari uap air yang terkena panas matahari. Setelah menjadi awan dan kemudian menjadi mendung yang sangat hitam bergumpal-gumpal, maka turunlah uap air itu sebagai air hujan yang sejuk dan tawar, tidak asin se-perti air laut. Air tawar tersebut menyegarkan badan serta menghilangkan haus. Bila tidak ada hujan, pasti tidak ada sungai yang mengalir, tidak akan ada mata air walau berapa meter pun dalamnya orang menggali sumur, niscaya tidak akan keluar airnya. Bila tidak ada air, rumput pun tidak akan tumbuh, apalagi tanaman yang ditanam orang.

Apabila tidak ada hujan, pasti tidak ada air yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Kalau tanaman dan tumbuh-tumbuhan tidak tumbuh, maka binatang ternak pun tidak ada. Tidak akan ada ayam, tidak akan ada kerbau dan sapi, tidak akan ada kambing dan domba. Sebab hidup memerlukan makan dan minum. Kalau tidak ada yang dimakan, dan tidak ada yang diminum, bagaimana bisa hidup? Dan kalau tidak ada tanaman dan tumbuh-tumbuhan, dan tidak ada air tawar untuk diminum, bagaimana manusia bisa hidup? Apakah mesti makan tanah? Dan apakah yang akan diminum?

Jika air dijadikan Tuhan asin rasanya, pasti tidak bisa menghilangkan haus dan tidak dapat dipergunakan untuk menyiram atau mengairi tanaman. Dan siapakah yang menurunkan hujan tersebut? Bukankah hanya Allah saja yang dapat menurunkan hujan sehingga mengalir dan sumur dapat mengeluarkan air?

Mengapakah manusia tidak bersyukur kepada Allah? Padahal Dia-lah yang menurunkan hujan yang demikian banyak manfaatnya sebagaimana firman-Nya:

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً لَّكُمْ مِّنْهُ شَرَابٌ وَّمِنْهُ شَجَرٌ فِيْهِ تُسِيْمُوْنَ     ١٠  يُنْۢبِتُ لَكُمْ بِهِ الزَّرْعَ وَالزَّيْتُوْنَ وَالنَّخِيْلَ وَالْاَعْنَابَ وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ  ١١

Dialah yang telah menurunkan air (hujan) dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuhan, padanya kamu menggembalakan ternakmu. Dengan (air hujan) itu Dia menumbuhkan untuk kamu tanam-tanaman, zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir. (an-Nahl/16: 10-11)

Dalam hubungan ini terdapat hadis yang berbunyi:

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا شَرِبَ الْمَاءَ قَالَ اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ سَقَانَا عَذْبًا فُرَاتًا بِرَحْمَتِهِ وَلَمْ يَجْعَلْهُ مِلْحًا أُجَاجًا بِذُنُوْبِناَ. (رواه ابن أبى حاتم عن أبي جعفر)

Sesungguhnya Nabi saw apabila selesai minum, beliau mengucapkan, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan minuman kepada kita air tawar yang menyegarkan dengan rahmat-Nya dan tidak menjadikannya asin karena dosa kita.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim dari Abu Ja’far)


Baca Juga: Ketahui Fungsi-Fungsi Air dalam Al-Quran, Inilah Penjelasannya


Menurut kajian ilmiah, air yang dapat diminum dan tidak membahayakan bagi kesehatan manusia adalah air yang mempunyai kandungan garam dan unsur-unsur terlarut cukup dan seimbang, serta tidak mengandung zat yang beracun. Air yang mengandung jumlah garam dan unsur-unsur terlarut yang melebihi keperluan, misalnya air laut, bila diminum berbahaya bagi kesehatan dan dapat merusak organ-organ tubuh. Pemerintah setiap negara biasanya memiliki peraturan yang memberikan batasan tentang air yang bisa diminum berdasarkan hasil analisis kandungan unsur-unsur yang terlarut. Air yang bisa diminum biasa dicirikan dengan warna yang jernih, aroma yang segar dan rasanya yang enak (lihat pula: al-Furqan/25: 48).

Air yang bisa diminum adalah air yang berada di daratan yang berasal dari air hujan. Air laut tidak layak untuk diminum kecuali yang telah diolah melalui destilasi atau ultrafiltrasi. Ayat ini pun menegaskan kembali bahwa Allah-lah yang menurunkan hujan. Meskipun sekarang telah berkembang teknologi untuk melakukan hujan buatan, tetapi teknologi ini hanya dapat diterapkan pada kondisi atmosfir tertentu yang terjadi di luar kendali manusia, syarat terpenting di antaranya adalah tersedianya uap air dalam jumlah yang memadai di udara.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 71-74


Pemikiran Roberto Tottoli Tentang Perkembangan Istilah Asbabun Nuzul

0
Pemikiran Roberto Tottoli Tentang Dinamika Perkembangan Istilah Asbabun Nuzul
Roberto Tottoli

Asbabun nuzul, salah satu dari sekian banyak tema dalam Qur’anic Studies yang sudah banyak dibahas, didiskusikan, dan dibukukan menjadi sebuah karya. Berawal dari karya monumental al-Wahidi (w. 468), kajian ini tetaplah menarik untuk diulik, ditelaah, bahkan didiskusikan kembali, baik sebagai pengulangan untuk menampilkan memori lama yang terekam, ataupun menambahi dan mengkiritiknya dengan menawarkan aspek kebaruan dari tema ini.

Dari sekian banyak pembahasaan asbabun nuzul, ada satu sisi yang jarang diperhatikan oleh para pemerhatinya, yaitu mengenai awal kemuculan istilah asbabun nuzul tersebut. Maka, di sini, penulis hendak memaparkan analisis para sarjanawan terkait bagaimana istilah asbabun nuzul ini lahir dan dikenal oleh kita hingga saat ini.

Adalah Roberto Tottoli, seorang Professor di University of Naples L’Orientale, yang kemudian memberikan ulasan tentang asal muasal istilah tersebut muncul dalam artikelnya yang berjudul Asbabun Nuzul as a Technical Term: Its Emergence and Applications in the Islamic Sources. Tulisannya merupakan salah satu dari esai-esai yang lain dalam buku berjudul Islamic Studies Today. Tujuan dari artikel Tottoli ini tidak lain hanya untuk menyelidiki kapankah ekspresi asbab/sabab nuzul tersebut muncul dan bagaimana para ulama memahaminya.

Meski ulasan Tottoli tergolong ringkas, namun ia menyajikan gambaran yang cukup komprehensif dengan karakter yang bisa dikatakan semi-diakronik. Terlepas dalam artikelnya ia banyak mengulang kembali apa yang pernah diulas oleh Andrew Rippin (w. 2016), karena memang, esainya dan esai-esai lain yang terdapat dalam buku yang dieditori oleh Majid Danesghar and Walid A. Saleh tersebut dipersembahkan untuk Rippin. Ini terlihat dari bunyi anak judul dari buku tersebut, Essays in Honor of Andrew Rippin.

Awal Mula Munculnya Frasa Sabab/Asbab al-Nuzul

Secara terang-terangan Tottoli mengatakan bahwa salah satu studi yang secara komprehensif mengulas tentang asal mula kemunculan dan pengertian asbabun nuzul adalah proyek yang dilakukan oleh Andrew Rippin yang menelusuri bagaimana ekspresi asbabun nuzul pada masa Islam awal dan bagaimana kemudian ekspresi ini berkembang belakangan sebagai sebuah genre sastra eksegesis. Salah satunya adalah disertasi Rippin tahun 1981 berjudul The Qur’anic Asbab al-Nuzul Material: An Analysis of Its Use and Development in Exegesis.

Dalam penyelidikannya, Rippin memulai dengan mengecek dalam literatur-literatur Islam awal untuk melakukan sebuah pembuktian terkait istilah sabab/asbab berserta formulanya. Menurutnya, tokoh-tokoh Islam awal seperti Muqatil bin Sulaiman (w. 150), Muhammad bin Ishaq (w. 150), Waqidi (w. 207), atau pengarang karya Shahih, seperti Bukhari (w. 256) dan Muslim (w. 261), tidak menggunakan istilah ini.

Sementara pada abad kedua-ketiga hijriyah, istilah ini belum menemukan teknis dan formula yang tegas. Maka tidak heran jika dalam karya-karya ulama pada abad ini frasa yang digunakan berbeda-beda dan jarang sekali ditemukan.

Barulah pada abad keeempat-kelima hijriyah, istilah sabab/asbab al-nuzul muncul dan secara konsisten digunakan, terutama semenjak hadirnya karya al-Wahidi. Menariknya, karya itu muncul dengan istilah asbabun nuzul, terinspirasi oleh upaya penafsiran yang dilakukan oleh para mufassir dengan redaksi seperti “sababu nuzuliha, dll”. Sebagaimana uraian di bawah ini yang mengulas penerapan istilah tersebut.

Baca juga: Memahami Definisi dan Pertanyaan-Pertanyaan Lain Soal Asbabun Nuzul

Pemahaman Teknis Istilah Sabab/Asbab al-Nuzul

Menurut Tottoli, istilah sabab/asbab al-nuzul yang dimaknai sebagai sebuah “peristiwa yang melatari turunnya ayat” terinspirasi oleh Ibnu Qutaybah (w. 276 H), di mana dalam semua karyanya hanya satu yang menggunakan diksi sabab, yaitu sabab nuzuliha. Ini bisa dilihat ketika ia hendak menjelaskan tentang proses turunnya suatu ayat; yang terkadang bisa bersifat umum (‘ammah) atau dikarenakan suatu peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat (sabab nuzuliha) (Ibnu Qutaybah, Ta’wil Musykil al-Qur’an, 1981: 162).

Istilah ini kemudian dilanjutkan oleh al-Thabari dengan redaksi yang sedikit lebih panjang. Misalnya ia mengatakan, “Ikhtalafa ahl-ta’wil fi al-sabab alladzi min ajlihi nazalat hadzihi al-ayah” (Para penafsir berbeda pendapat tentang penyebab/kejadian yang mana karenanya ayat ini diturunkan) (al-Thabari, Jami’ al-Bayan, 2000: 10/566;574).

Atas dasar itu, menurut Tottoli, istilah sabab/asbab al-nuzul dipahami sebagai sebuah “peristiwa yang melatari turunnya ayat”. Meski formulanya belum mapan dan redaksi yang digunakan oleh para ulama kemudian sedikit beragam, namun secara teknis awal, sabab/asbab al-nuzul yang dipahami demikian memicu pemahaman yang lebih bisa disepakati pada era selanjutnya.

Redaksi yang lebih pendek kemudian berlanjut, seperti Thahawi (w. 321H) dengan kalimat favoritnya, “al-sabab alladzi kana fihi nuzul qawlih/hadzihi al-ayah”, yang banyak ia gunakan dalam karya-karyanya. Al-Qumi (w. 329) yang paling signifikan menggunakan istilah sababun nuzul untuk merujuk kepada otoritas awal. Al-Maturidi (w. 333H) menyadarkan istilah sabab dengan merujuk kepada wahyu, dan frasa sababun nuzul-nya diikuti dengan indikasi ayat (al-ayah/hadzhi al-ayah). Hal yang serupa juga ditemukan dalam karya al-Nahhas (w. 338), meski ia jarang menggunakannya. Dan al-Jassas (w. 370) dengan istilah yang sama, namun lebih teratur. Karena ia menggunakan redaksi tersebut dengan menghubungkannya dengan ayat-ayat al-Qur’an.

Baca juga: Asbabun Nuzul dalam Perbincangan Inteletual Muslim yang Tak Pernah Usai

Kemapanan Istilah Asbabun Nuzul: Teknis dan Penerapan

Puncaknya pada abad ke lima. Istilah ini kemudian diterima dalam wacana penafsiran. Kontribusi yang diberikan oleh al-Wahidi dalam hal ini tidak bisa dipungkiri. Sebab setelah karya al-Wahidi muncul, pengunaan asbab/sabab nuzul menjadi lebih jelas perannya karena dihubungkan untuk menerangkan peristiwa yang melatari turunnya wahyu.

Menurut Tottoli, kemapanan istilah dan penggunaan asbab/sabab al-nuzul bisa dikatakan baru terjadi pada abad kelima dan setelahnya. Agak rancu kiranya jika ada yang merujuk kepada era abad sebelum kemapanan. Seperti yang dilakukan oleh Abu al-Layth al-Samarqandi ketika menafsirakan QS. Ali Imran [3]: 18, ia merujuk kepada Muqathil bin Sulayman dengan diksi berikut, “Qaala Muqaatil sabab al-nuzul hadzihi al-ayah…”. Padahal menurutnya, Muqatil sama sekali tidak menggunakan istilah sabab nuzul tersebut.

Terlepas dari itu, persoalan asbabun nuzul adalah persoalan yang selalu diperdebatkan di kalangan ulama. Karena itu, mereka kerap menggunakan diksi “ikhtalafuu/yakhtalifuuna/iktalafuu fi asbab al-nuzul,..dll” untuk menerangkan perdebatan tersebut. Terlebih, asbabun nuzul sejatinya memang adalah persoalan riwayat yang ditransmisikan. Namun, pada masa-masa setelahnya, asbabun nuzul menjadi bagian dari aktivitas eksegesis, bahkan menjadi sebuah genre sastra tersendiri di era modern-kontemporer.

Walhasil, istilah asbabun nuzul tidaklah hadir dengan sendirinya. Ia adalah bagian dari kontruksi Intelektual muslim di masa klasik yang perkembangannya tidak banyak diketahui dan ditelusuri oleh para sarjanawan muslim dewasa ini. Oleh karena itu, artikel Tottoli, menurut penulis, selain mengapresiasi upaya yang sudah dilakukan oleh Andrew Rippin yang mengulas secara komprehensif terkait asbabun nuzul dalam warna yang berbeda, ia juga seakan ‘menyindir’ akademisi tafsir al-Qur’an wa ‘ulumuhu yang kurang greget untuk mendalami kitab-kitab turats dengan riset yang serius.

Dan penulis sendiri, meski belum membaca karya Rippin –tentang asbabun nuzul– tersebut secara lansung, namun turut mengapresiasi risetnya, dan berterima kasih pula kepada Tottoli yang sudah memperkenalkan salah satu gagasan Rippin ini, serta menghentakkan semangat akademisi muda untuk segera bangkit dari zona nyamannya. Wallahu a’lam.

Baca juga: Sababun Nuzul Mikro dan Makro: Pengertian dan Aplikasinya

Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 62-67

0
Tafsir Surah Al-Waqi'ah
Tafsir Surah Al-Waqi'ah

Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 62-67 membahas tentang bagaiamana Allah berkuasa atas segala sesuatunya. Dengan Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 62-67 kita dapat merenungi hal-hal kecil yang ada di sekitar kita untuk kembali mengingat kebesaran Allah.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 51-61


Ayat 62

Ayat ini menjelaskan bahwa sesungguhnya manusia itu mengetahui bahwa Allah-lah yang menciptakan mereka dari semula, sejak tidak ada, dan tidak pernah menjadi sebutan sebelumnya.

Cobalah mereka pikirkan dan renungkan bahwa Allah yang Mahakuasa menciptakan mereka pada penciptaan yang pertama, tentunya Ia Mahakuasa menciptakan mereka lagi pada penciptaan yang kedua, yakni Allah Mahakuasa menghidupkan mereka dari tulang-belulang, yang sekian lamanya berada di alam kubur, Allah Mahakuasa untuk menghidupkan kembali seperti keadaan sebelum mati.

Bahkan dinyatakan dalam ayat lain, bahwa menghidupkan orang yang telah mati dari kuburnya itu lebih mudah daripada menciptakannya pada pertama kali, sebagaimana firman-Nya:

وَهُوَ الَّذِيْ يَبْدَؤُا الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيْدُهٗ وَهُوَ اَهْوَنُ عَلَيْهِ

Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya. (ar-Rum/30: 27)

Dan Allah berfirman:

اَوَلَمْ يَرَوْا كَيْفَ يُبْدِئُ اللّٰهُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيْدُهٗ ۗاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌ   ١٩  قُلْ سِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ بَدَاَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللّٰهُ يُنْشِئُ النَّشْاَةَ الْاٰخِرَةَ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ۚ  ٢٠ 

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah memulai penciptaan (makhluk), kemudian Dia mengulanginya (kembali). Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Katakanlah, “Berjalanlah di bumi, maka perhatikanlah bagaimana (Allah) memulai penciptaan (makhluk), kemudian Allah menjadikan kejadian yang akhir. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (al-‘Ankabut/29: 19-20)

Ayat 63-64

Dengan cara mengemukakan pertanyaan, Allah mengungkapkan kepada manusia bahwa sebagian besar dari mereka lupa akan keagungan nikmat yang diungkapkan tersebut, walaupun mereka merasakan kelezatan nikmat-nikmat tersebut sepanjang masa.

Allah menyampaikan pertanyaan kepada manusia, untuk dipikirkan dan direnungkan mengenai berbagai tanaman yang ditanam oleh manusia, baik tanaman yang di sawah, ladang, maupun bibit pohon-pohonan yang ditanam di perkebunan. Diungkapkan bahwa bagi semua tanaman tersebut di atas, kedudukan manusia hanya sekadar sebagai penanamnya, memupuk dan memeliharanya dari berbagai gangguan yang membawa kerugian. Tetapi kebanyakan manusia lupa terhadap siapakah yang menumbuhkan tanaman tersebut. Siapakah yang menambah panjang akarnya menembus ke dalam tanah, sehingga pohon tersebut dapat berdiri tegak? Siapakah yang menumbuhkan daun dan dahannya? Siapa pula yang menumbuhkan bunga dan buahnya?

Pertanyaan-pertanyaan yang dikumpulkan dalam ayat ini adalah soal-soal penting yang sering diabaikan oleh manusia. Bukankah manusia sekedar mencangkul dan menggemburkan tanahnya? Bukankah manusia sekedar menanamkan bibit yang telah dipilihnya sebagai bibit yang terbaik? Dan bukankah manusia sekedar menyiram, mengairinya, dan membersihkannya dari berbagai rumput dan hama yang mengganggu pertumbuhannya dan bukankah manusia sekedar memupuknya?


Baca Juga: Argumentasi Kekuasaan dan KeEsaan Allah Swt: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 164


Tetapi yang terang dan jelas serta tidak ragu-ragu lagi adalah bahwa Allah menumbuhkan tanaman tersebut, menumbuhkan tunas membesarkan pohon-pohonnya, menambah dahan dan ranting serta memekarkan bunga sampai menjadi buah yang bisa dinikmati manusia.

Ayat 65-67

Kemudian dijelaskan oleh Allah, bahwa walaupun tanaman tersebut sangat baik pertumbuhan dan buahnya yang menimbulkan harapan untuk mendatangkan keuntungan berlimpah-limpah, namun apabila Allah menghendaki lain daripada itu, maka tanaman yang diharapkan itu dapat berubah menjadi tanaman yang tidak berbuah, hampa atau terserang berbagai macam penyakit dan hama, seperti hama wereng, hama tikus, dan sebagainya, sehingga pemiliknya tertegun dan merasa sedih, karena keuntungannya dalam sekejap mata menjadi kerugian yang luar biasa. Sedang untuk membayar berbagai macam pengeluaran seperti ongkos-ongkos mencangkul, menanam, menyiram, memupuk, dan membersihkan rumput merupakan beban berat dan merugikan baginya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 68-70


Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 51-61

0
Tafsir Surah Al-Waqi'ah
Tafsir Surah Al-Waqi'ah

Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 51-61 membahas tentang balasan terhadap orang-orang yang termasuk pada golongan kiri. Selain itu, pada Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 51-61 juga membahas tentang kuasa Allah terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Hal tersebut menjadi sebuah sinidiran bagi orang-orang yang selama ini tidak mempercayai kuasa Allah.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 41-50


Ayat 51-55

Kemudian Allah menjelaskan kepada mereka yang sesat, yang senantiasa mengerjakan dosa besar dengan mendustakan para rasul dan mengingkari hari kebangkitan dan hari pembalasan, bahwa mereka benar-benar akan memakan buah pohon zaqqum, dan karena perasaan lapar yang tak terhingga, bukan satu dua buah zaqqum yang dimakannya, melainkan mereka memakan sepenuh perutnya; dan karena perasaan haus dan dahaga yang tidak tertahankan lagi, maka mereka kembali minum air yang sangat panas bagaikan cairan timah dan tembaga yang mendidih, namun mereka tetap minum terus bagaikan minumnya unta yang sangat haus dan sangat dahaga.

Ayat 56

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa buah pohon zaqqum dan minuman air yang sangat panas itu, adalah hidangan pertama yang disediakan untuk golongan kiri tersebut. Hal tersebut disebutkan juga dalam Surah ad-Dukhan ayat 43 berkenaan dengan makanan yang disediakan untuk orang yang berdosa. Golongan kiri adalah orang kafir atau yang berbuat dosa.

Ayat 57

Dalam ayat ini, Allah menciptakan manusia dari tidak ada sama sekali. Bukankah hal tersebut suatu dalil yang tidak dapat dibantah lagi tentang kekuasaan Allah? Dan hal tersebut bukankah suatu dalil yang kuat bahwa Allah Mahakuasa untuk menghidupkan kembali manusia dari kuburnya setelah ia mati, dan hancur tulang-belulangnya?

Hal tersebut adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi tentang adanya hari Kiamat, hari kebangkitan manusia dari dalam kuburnya; dan hal tersebut adalah merupakan penolakan atas anggapan orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak mempercayai adanya hari Kiamat, yang ucapan mereka digambarkan pada ayat lain:

اَىِٕذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَّعِظَامًا ءَاِنَّا لَمَبْعُوْثُوْنَ

Dan mereka berkata, “Apabila kami sudah mati, menjadi tanah dan tulang-belulang, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali? (al-Waqi’ah/56: 47)

Ayat 58-59

Allah menekankan lagi berupa pertanyaan bagaimana orang kafir dapat memproses kejadian air mani (sperma) yang dipancarkan ke dalam rahim? Merekakah yang memproses air mani itu menjadi manusia yaitu tubuh yang lengkap dengan badan, kepala, kaki dan tangan, yang dilengkapi pula dengan mata, hidung, mulut dan telinga ataukah Allah yang mencipta-kannya?

Pastilah orang kafir tidak dapat menjawab kecuali mengakui bahwa sebenarnya Allah yang menyebabkan air mani tersebut menjadi manusia, dan Allah pula yang menentukan apakah air mani tersebut menjadi ma-nusia pria atau wanita; demikian pula, hanya Allah sajalah yang menetapkan berapa umur manusia tersebut.


Baca Juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 1-2: Bukti Kuasa Allah dan Barometer Pribadi Berkualitas


Bukankah Allah yang berkuasa menciptakan manusia pertama kalinya, juga Mahakuasa menghidupkannya kembali sesudah matinya, dengan membangkitkannya pada hari Kiamat untuk menerima balasan yang paling sempurna.

Ayat 60-61

Ayat ini menjelaskan, bahwa sesungguhnya Allah menentukan kematian manusia, dan bahkan Ia telah menetapkan waktu tertentu bagi kematian setiap manusia, yang semuanya itu ditentukan dan ditetapkan menurut kehendak-Nya, suatu hal yang mengandung hikmah dan kebijak-sanaan yang tidak dapat diketahui oleh manusia. Ketentuan dan ketetapan Allah dalam menciptakan atau mematikan seseorang tidaklah dapat dipengaruhi atau dihalang-halangi oleh siapa pun. Demikian juga Allah Mahakuasa untuk menggantikan suatu umat dengan umat lain yang serupa dan Mahakuasa melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh manusia, antara lain membangkitkan manusia kembali dari kuburnya, manusia tidak dapat mengetahui kapan terjadinya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Waqi’ah Ayat 62-67