Beranda blog Halaman 150

Marak e-commerce, Antara Kemudahan dan Keborosan: Refleksi Surah Al-Furqan Ayat 67

0
Marak E-Commerce dan pengaruhnya
Marak E-Commerce dan pengaruhnya

12-12- memang sudah lewat, tapi kegemaran berbelanja online tetap terus berlanjut, tidak peduli tentang tanggal yang tidak ‘cantik lagi’. Kehadiran e-commerce sebagai buah tangan teknologi modern sangat memudahkan kita dalam proses kehidupan ekonomi. Kemudahan tersebut secara alami memantik perilaku konsumtif yang cukup masif. Apalagi dengan adanya wadah bernama “media sosial”, konten-konten iklan penjualan bertebaran di beranda setiap orang. Ini semakin memantik psikologis untuk berperilaku konsumtif.

Dewasa ini e-commerce benar-benar menjadi primadona bagi manusia. Bagaimana tidak, iklan-iklan promo selalu menjadi makanan setiap hari bagi kita semua. Setiap bulan, banyak diantara kita yang melakukan transaksi pembelian dengan tanpa pertimbangan yang cukup matang dan lebih mengedepankan trend dan gengsi sosial. Alhasil, perilaku konsumtif tersebut menyebabkan maraknya pinjaman-pinjaman online yang cukup meresahkan, bahkan cenderung memberatkan bagi kita di kemudian hari.

Maka dari itu, filterisasi informasi benar-benar dibutuhkan di zaman serba mudah ini. Khususnya dalam masalah ekonomi, utamanya tentang e-commerce, seyogyanya kita senantiasa mengedepankan sikap efisien dalam membelanjakan harta kita. Hal ini juga yang banyak disinggung dalam Al-Quran, bagaimana sepatutnya manajemen ekonomi yang efisien dan terukur selalu kita perhatikan.

Baca Juga: Self Reward Berujung Pemborosan, Begini Manajemen Harta ala Al-Qur’an

Efisiensi adalah Ekonomi itu Sendiri

Term efisiensi seringkali digunakan dalam dunia bisnis dan organisasi. Dalam dunia ekonomi, efisiensi memegang peranan krusial. Hal ini sebagaimana menurut Samuelson, seorang pakar ekonomi, ia mengatakan bahwa “economy is producting efficiently..” Tesis tersebut menunjukkan bahwa efisien merupakan ruh dan prinsip pokok ekonomi itu sendiri. Apabila sebuah tujuan tercapai secara maksimal dengan waktu dan sumber daya yang minimal, maka hal ini dapat dikatakan terjadi secara efisien. Dengan kata lain, efisien dapat juga dikatakan sebagai pola hidup hemat dan terukur.

Begitu juga dalam pandangan Islam, Al-Quran menyatakan bahwa core dari ekonomi atau bahkan kehidupan secara umum adalah efisiensi. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT. surah Al-Furqan ayat 67.

 وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا  (67)

“Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.” (Q.S. Al-Furqan [25]: 67)

Lafaz “anfaqu” dalam ayat ini menurut Imam Jalalain bermakna membelanjakan atau menfkahkan. Ayat ini secara umum berupa peringatan bagi kita agar selalu mengedepankan efisiensi dalam membelanjakan harta.

Komentar senada juga diungkapkan Al-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir, menurutnya ayat ini secara eksplisit menuntun kita untuk bersikap adil dalam menggunakan harta, tidak berlebihan, dan sesuai dengan kebutuhan. Hal ini sebagaimana nilai yang terkandung dalam ayat tersebut, yakni posisi antara berlebihan dan kikir yang dapat dimaknai sebagai sikap hemat. Artinya, konsep ekonomi yang baik adalah ekonomi yang mengedepankan efisiensi, bukan hanya sebatas ego dan gengsi.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Maidah 87-88: Sikap Seseorang sebagai Konsumen

Hubungan Efisiensi dengan Al-Iqtishad

Dalam kajian ekonomi Islam, ekonomi itu sendiri dikenal dengan istilah “al-iqtishad”. Secara morfologi istilah tersebut berasal dari kata qashdu yang berarti al-i’tidal wa al-tawashuth atau seimbang. Hal ini sebagaimana menurut Ibnu Mandzur dalam Lisan al-‘Arab, menurutnya kata qashdu berarti istikamah, seimbang, adil, dan hemat.

Term al-iqtishad ini secara general memiliki korelasi filosofis yang erat dengan efisiensi yang mana merupakan ruh dari ekonomi itu sendiri. Dengan demikian maka para ulama mendefinisikan ekonomi sebagai al-iqtishad, yakni cara mendistribusikan harta dengan nilai keadilan dan seimbang. Sehingga harta yang digunakan tersebut akan memiliki nilai manfaat yang lebih dominan daripada mafsadatnya.

Semangat aliqtishad ini tentunya dapat dikatakan juga sebagai dasar prinsip perekonomian Islam (al-iqtishadiyah islamiyah) sehingga manusia memiliki kehidupan yang layak. Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW, “ma ‘ala man iqtashada” yang berarti tidak akan (mengalami) kekurangan orang yang berhemat. Hadits ini mengindikasikan bagaimana manajemen ekonomi yang sesuai nilai dan prinsip Islam adalah efisiensi dalam pendistribusian harta.

Maka dari itu, Islam secara prinsip benar-benar melarang manusia untuk bersikap konsumtif tanpa pertimbangan, yakni berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta (Q.S. 7: 31; 17: 26-27). Sementara di lain sisi, Allah SWT memberikan pedoman kepada manusia agar  senantiasa hemat (Q.S. 25: 67), efektif dan efisien (Q.S. 25: 67; 103: 1-3), serta seimbang antara produktif dan konsumtif (Q.S. 20: 105).

Dengan demikian, kehadiran teknologi perbelanjaan (e-commerce) yang semakin mudah kini harus senantiasa kita sikapi dengan selektif. Jangan sampai terbuai dengan ego dan gengsi yang hanya akan menjerumuskan kita kepada jurang kemiskinan. Seyogyanya perilaku konsumtif kita batasi dengan hanya belanja dengan prinsip “by need” bukan ”by want” atau bahkan “by feed”. Wallahu a’lam.

Tafsir Ahkam: Efek Membasuh Telapak Tangan Sebelum Wudhu

0
Membasuh Telapak Tangan
Membasuh Telapak Tangan

Ibn Katsir dalam Tafsir Al-Qur’anul Adhim menyinggung perihal kesunnahan membasuh telapak tangan saat hendak wudhu, sebelum memasukkan keduanya ke wadah air. Kesunnahan tersebut didasarkan oleh sebuah hadis yang menyatakan, apabila bangun tidur dan akan wudhu hendaknya ia membasuh tangannya terlebih dahulu. Sebab ia tidak tahu kemana arah tangannya saat tidur.

Ada anggapan bahwa hadis di atas adalah dasar kesunnahan membasuh tangan saat hendak wudhu. Sehingga ada yang merasa janggal, bukankah hadis di atas berbicara tentang saat bangun dari tidur, lalu kenapa membasuh tangan di sunnahkan sebelum wudhu meski saat tidak sedang bangun dari tidur? Faktanya hadis tentang membasuh tangan sebelum wudhu tidak hanya satu. Lebih lengkapnya, simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Baca juga:  Tafsir Ahkam: Hukum Membaca Basmalah Sebelum Wudhu

Membasuh Tangan Sebelum Wudhu

Imam Ibn Katsir tatkala menguraikan tafsir Surat Al-Maidah ayat 6 menyebutkan salah satu kesunnahan dalam berwudhu, yaitu disunnahkan membasuh kedua tangan tatkala hendak memasukkannya ke wadah air. Terlebih saat bangun dari tidur. Kesunnahan ini didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah dan berbunyi (Tafsir Ibn Katsir/3/47):

وَإِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِى وَضُوئِهِ ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ

Dan Ketika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, hendaknya ia membasuh tangannya sebelum memasukkannya ke air wudhunya. Sesungguhnya salah seorang kalian tidak mengerti kemana semalam tangannya berada (HR. Bukhari).

Bila menyimak hadis di atas, sekilas dapat diperoleh kesimpulan bahwa kesunnahan membasuh tangan sebelum wudhu hanya berlaku saat bangun dari tidur dan hendak memasukkan tangannya ke wadah air saat hendak wudhu. Beberapa kitab syarah hadis memang menyatakan demikian. Imam Syaukani di dalam Subulus Salam tatkala mengulas hadis di atas menjelaskan, bahwa hadis tersebut hanya menyinggung orang yang dalam wudhunya hendak mencelupkan tangannya ke sebuah wadah air untuk wudhu. Bukan mengambil airnya lewat gayung semisal, atau orang yang wudhunya pada kolam besar.

Imam Syaukani juga menjelaskan, bahwa membasuh tangan sebelum memasukkannya ke wadah air tatkala bangun dari tidur, baik di malam atau siang hari, menurut Imam Ahmad hukumnya wajib. Sedang selain Imam Ahmad memandangnya sebagai kesunnahan belaka yang apabila meninggalkannya hanya menyebabkan hukum makruh (Subulus Salam/1/124).

Baca juga: Keutamaan dan Perintah Memberi dalam al-Quran

Meski penjelasan di atas sekilas menunjukkan kesunnahan membasuh tangan di luar keadaan tersebut hukumnya tidak sunnah, tapi Imam Syaukani juga menjelaskan bahwa membasuh tangan selain keadaan di atas hukumnnya sunnah berdasar hadis lain. Imam An-Nawawi dalam Kitab Al-Majmu’ syarah Muhadzdzab juga mengingatkan bahwa hadis di atas hanya menyinggung anjuran membasuh telapak tangan tatkala bangun dari tidur. Bukan dasar kesunnahan membasuh tangan sebelum wudhu pada setiap keadaan. Sebab membasuh tangan tatkala hendak wudhu disunnahkan dalam segala keadaan berdasar hadis sahih yang diriwayatkan oleh sahabat Utsman dan Ali tentang sifat wudhu Nabi (Al-Majmu’/1/347).

Dari berbagai uraian di atas kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya ada dua macam redaksi hadis tentang kesunnahan membasuh tangan sebelum wudhu yang sekilas tampak bertentangan, tapi sebenarnya tidak. Beberapa ulama’ seperti Imam Mawardi kemudian memberi kesimpulan bahwa dianjurkan membasuh tangan sebelum wudhu dalam semua keadaan. Hanya saja, ada perdebatan cukup panjang pada kasus orang yang bangun dari tidur dan hendak wudhu dengan mencelupkan tangannya pada sebuah wadah yang airnya sedikit.

Mayoritas ulama’ menganggap hukum mencuci tangan sebelum memasukkannya ke wadah dalam kasus di atas hukumnya tetap sunnah. Sedang Imam Hasan Al-Basri, Dawud serta Ahmad ibn Hanbal menganggapnya sebagai sebuah kewajiban. Perbedaan pendapat ini dipengaruhi adanya kemungkinan tangan menyentuh najis, sebab umum ditemui di masa Nabi orang yang bercebok atau istinja’ sebatas menggunakan batu (Al-Hawi Al-Kabir/1/160). Wallahu a’lam bish showab[].

Baca juga: Berbagai Alasan Memilih Childfree dan Pertimbangannya Menurut Tafsir

Penafsiran Maqasidi Syekh Nawawi al-Bantani Pada Kitab Marah Labid

0
Penafsiran Maqasidi Syekh Nawawi al-Bantani
Penafsiran Maqasidi Syekh Nawawi al-Bantani

Tafsir Maqasidi bukan lagi istilah yang asing di telinga para pengkaji studi Al-Qur’an beberapa tahun terakhir. Beberapa tokoh modern ternama, seperti Ibnu ‘Asyur, Rasyid Ridha, Muhammad al-Ghazali, Yusuf al-Qaradhawi, dan Taha Jabir al-Alwani memberi banyak kontribusi terhadap pendekatan maqasidi dalam membaca teks-teks Al-Qur’an dan hadis.

Sederhananya, Tafsir Maqasidi bisa dipahami sebagai tafsir yang menguak makna-makna logis yang terkait ayat-ayat Al-Qur’an. Embrio Tafsir Maqasidi sudah bisa ditemukan sejak masa Nabi saw. dan para sahabat. Praktik Nabi saw. yang pernah tidak menjatuhkan hukum potong tangan menjadi salah satu argumentasi penting akan keniscayaannya. Kala itu Nabi saw. mempertimbangkan mudarat yang lebih besar jika sang pencuri dijatuhi hukuman potong tangan, ia akan melarikan diri ke kubu musuh lalu membocorkan rahasia-rahasia umat Islam yang kala itu sedang berperang dengan orang kafir.

Era sahabat pun demikian, Umar dengan berbagai kebijakannya dalam menerapkan beberapa hukum, seperti menolak pembagian ganimah karena ingin membaginya ke khalayak lebih luar agar tidak segelintir orang saja yang menikmatinya dan tidak memberi hukuman potong tangan kepada pencuri saat masa paceklik. Setelah masa sahabat, diskusi mengenai Maqasid ini semakin berkembang hingga dirumuskan konsep al-Maslahah al-Mursalah, lalu dirumuskannya konsep al-Darurat oleh al-Juwaini dan al-Ghazali, hingga dimatangkan oleh al-Syatibi. Demikian perkembangan singkat konsep Maqasid yang kala itu bernuansa fikih, perkembangan mutakhir kemudian mengambil konsep Maqasid ini untuk digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga tidak lagi terbatas dalam kajian fikih belaka.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Membaca Basmalah Sebelum Wudhu

Penafsiran Maqasidi Syekh Nawawi al-Bantani

Jika merunut ke konteks yang dekat dengan Indonesia, penulis menemukan Syekh Nawawi al-Bantani, salah satu mufassir ternama Nusantara juga menggunakan penafsiran yang menguak Maqasid ayat-ayat Al-Qur’an dalam salah satu kitabnya, Marah Labid. Namun, harus digaris bawahi penafsiran tersebut tidak secara eksplisit menggunakan terma Maqasid maupun derivasinya. Seperti ketika menafsirkan QS. al-Baqarah [2]: 238 tentang perintah menjaga salat secara konsisten. Dengan analisis bahasa, Syekh Nawawi menafsirkan bahwa kata hafizu yang pada ayat tersebut yang memiliki wazan musyarakah memiliki arti kesalingan antara hamba dan Tuhan dalam menjaga. Ketika hamba menjaga salatnya, maka Tuhan pun akan menjaga hambanya (Marah Labid, 1:84).

Maqasid ayat juga dijelaskan Syekh Nawawi ketika menafsirkan QS. al-Baqarah [2]: 115 dan 142 tentang peralihan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Ia menjelaskan bahwa tidak ada kekhususan satu arah dalam ibadah karena sejatinya semua arah adalah milik Allah swt. Kiblat bukanlah tujuan ibadah, namun Allah swt. sebagai pemberi perintah menghadap kiblatlah yang menjadi tujuan ibadah. Di sini Syekh Nawawi menegaskan bahwa yang disembah ketika salat bukanlah Ka’bah, melainkan menyembah Dia yang memberi perintah menghadap Ka’bah (Marah Labid 1:40-41 dan 49).

Dalam ayat-ayat tentang puasa, Syekh Nawawi juga menggunakan penafsiran yang menguak Maqasid. Dalam QS. al-Baqarah [2]: 183, dijelaskan bagaimana puasa bisa mencapai derajat takwa. Puasa sebagai sarana untuk melawan nafsu makan dan nafsu syahwat bisa mengantar kepada derajat takwa yang kedua nafsu ini notabene adalah godaan terberat bagi manusia. Ketika dua godaan ini sudah teratasi, maka godaan-godaan lainnya pun akan terasa lebih mudah dihindari. Demikianlah Syekh Nawawi menguak bagaimana puasa menjadi salah satu sarana penting dalam pemeliharaan jiwa (Tarbiyah al-Nafs) (Marah Labid 1: 60).

Baca juga: Kisah Ibu Para Nabi dalam Al-Quran (1): Perjuangan Siti Hajar, Ibu Nabi Ismail

Demikianlah beberapa penafsiran Maqasidi ala Syekh Nawawi. Pada titik ini, penulis ingin menekankan keniscayaan Tafsir Maqasidi, sehingga penafsiran tidak lagi hanya terbatas pada penjelasan makna, namun lebih jauh menelusuri apa sebenarnya tujuan dan maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini pula yang nampaknya ingin disampaikan Syekh Nawawi dalam tafsir Marah Labidnya, ia tidak hanya membatasi penafsiran makna-makna luar saja. Namun, penafsiran logis yang menjelaskan tujuan suatu ayat juga tak lupa ditampilkan dalam tafsirnya.

Toleransi Menjelang Natal: Refleksi Surah Ali Imran Ayat 61 dan 64

0
toleransi menjelang natal_refleksi surah Ali Imran ayat 61 dan 64
toleransi menjelang natal_refleksi surah Ali Imran ayat 61 dan 64

Menjelang momen natal yang akan dirayakan oleh saudara kristiani kita, opini umat muslim Indonesia terbagi menjadi dua. Kubu satu mengharamkan mengucapkan selamat natal. Adapun yang lainnya membolehkan mengucapkan selamat natal kepada saudara kristiani dan menganggap hal tersebut termasuk dalam toleransi beragama. Jika kita amati, pro-kontra tipikal seperti ini terus saja terulang pada momen-momen tertentu.

Toleransi dalam istilah Islam disebut tasamuh. Terdapat beberapa hadits Nabi yang mengandung ajaran toleransi. Seperti yang diriwayatkan Imam al-Bukhari,

أَحَبُّ الدِّينِ إِلَى اللَّهِ الحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ

“Agama yang paling dicintai Allah adalah yang hanif (tidak mengandung kebatilan) dan samhah (tidak mengandung kekerasan dan pemberatan).” (Shahih al-Bukhari, juz 1 hal 16)

Hadits di atas merupakan hadits pertama dalam bab “agama yang mudah” dalam Shahih Bukhari. Secara tersirat, Imam al-Bukhari ingin mengatakan bahwa agama Islam yang mudah (yusr) memiliki karakteristik toleran dan anti kekerasan.

Dengan isi yang sama, Adab al-Mufrad menceritakan bahwa Nabi Muhammad pernah ditanya oleh salah seorang sahabat perihal agama apa yang paling dicintai oleh Allah. Kemudian Nabi menjawab, “Agama yang hanif dan samhah.” (Al-Adab al-Mufrad, Juz 1 hal 149)

Dengan jawaban seperti ini andaikan Nabi kembali ditanya perihal cara beragama yang seperti apa yang paling dicintai oleh Allah. Maka boleh jadi Nabi akan menjawab, “Hamba yang beragama dengan hanif dan samhah.” (Perandaian saya ini memiliki dasar dalam usul fikih, yaitu dalam konsep mafhum muwafaqah).

Baca Juga: Siapakah yang Disebut Ahl al-Kitab dalam Al-Quran itu?

Belajar Batas Toleransi dari Teladan Nabi

Klaim bahwa toleransi dapat melunturkan akidah muslim tidak sepenuhnya salah jika memang sampai melanggar batas-batas toleransi. Bersikap toleran juga perlu dilakukan, namun dengan proposional. Lalu, bagaimana bersikap toleran yang proposional tersebut?

Nabi Muhammad saw. telah memberikan contoh yang baik dalam hal bertoleransi. Ajaran bersikap toleran Nabi Muhammad yang saya maksud adalah ketika beliau kedatangan delegasi pendeta Nasrani dari negeri Najran. Kabar bahwa terdapat seorang Nabi yang telah hijrah ke Madinah dan membangun suatu peradaban madani di sana sampai hingga ke daerah barat, yaitu Negeri Najran.

Delegasi Nasrani yang datang ke Madinah memiliki misi untuk menguji kenabian Nabi Muhammad. Mereka mendebat Nabi perihal kebenaran ajaran Islam yang dibawanya. Nabi Muhammad tentu saja kokoh dengan kebenaran ajarannya. Di dalam al-Quran kisah ini diabadikan dalam surah Ali Imran ayat 61 berikut.

فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ (61)

“Siapa yang membantahmu dalam hal ini selain engkau memperoleh ilmu, katakanlah (Muhammad), “Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istrimu, kami sendiri dan kamu juga, kemudian marilah kita ber-mubāhalah agar laknat Allah ditimpangkan kepada orang-orang yang dusta.” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 61)

Ayat di atas turun setelah orang-orang Najran terus menerus memperdebatkan kebenaran Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Tidak mau repot, Allah menurunkan ayat di atas kepada Nabi sebagai cara instan untuk membuat Pendeta Najran tidak lagi berkutik dengan perdebatan-perdebatan. Caranya adalah dengan sumpah mubahalah yaitu sumpah saling laknat oleh kedua pihak. Di mana keduanya mendoakan agar pihak yang salah dan berdusta dilaknat oleh Allah.

Mendapati ajakan tersebut, utusan Najran tidak berani melangsungkan mubahalah saat itu. Padahal Nabi Muhammad telah bersungguh-sungguh dengan mengikutsertakan Sayyidina Ali, Sayyidah Fathimah, dan kedua cucunya, Hasan dan Husain. Mendapati itu, Delegasi Najran meminta penangguhan agar dapat berdiskusi dahulu dengan tetua mereka.

Orang-orang Najran lalu melakukan rapat dengan al-Aqib Abdul Masih. Ia adalah tetua mereka dan pengambil keputusan-keputusan penting. Dalam rapat tersebut al-Aqib berkata,

“Demi Allah wahai sekalian umat Nasrani, sungguh telah kalian ketahui bahwa Muhammad adalah nabi yang diutus Allah. Ia mendatangi kalian dengan penjelasan kabar sahabat-sahabat kalian. Dan sungguh kalian telah tahu bahwa tidak ada orang yang saling laknat dengan seorang Nabi kemudian masih hidup orang-orang tuanya dan masih bisa hidup anak-anaknya (sebab terkena laknat Allah).” (Tafsir Ibnu Katsir, juz 2 hal 51)

Sikap yang ditunjukkan Nabi Muhammad dengan mubahalah ini termasuk sikap yang anti toleran tentu saja. Sebab memang tidak ada kata toleransi dalam berakidah. Mengetahui kesungguhan orang yang dihadapinya, Al-‘Aqib dan para utusan Nasrani tentu saja tidak berani bersumpah mubahalah dengan sosok Nabi yang telah mereka ketahui kebenarannya.

Baca Juga: Al-Qur’an dalam Menjaga Harmonisasi dan Toleransi Antar Umat Beragama

Meski begitu, memahami ayat al-Quran tidak boleh sepotong-sepotong. Terdapat hubungan interelasi antar setiap ayat. Demikian juga surah Ali Imran ayat 61 di atas harus kita pahami dengan ayat selanjutnya yaitu ayat 64 surah yang sama.

قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (64)

“Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakannlah, (kepada mereka), “Saksikannlah, bahwa kami adalah orang muslim.” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 64)

Setelah diskusi panjang dengan al-‘Aqib, kaum Nasrani bermufakat untuk tidak bersumpah mubahalah dengan Nabi Mubahammad. Keesokan harinya, mereka kembali mendatangi Nabi Muhammad untuk menyampaikan penolakan sumpah mubahalah. Sabda Nabi kemudian, “Kalau kalian menolak maka islamlah,” utusan Nasrani tetap menolak. “Kalau kalian tetap menolak bayarlah jizyah.”

Kaum Nasrani kemudian berkata,

“Kami tidaklah mampu memerangi orang-orang Arab. Namun kami meminta perdamaian, Engkau tidak akan memerangi kami dan tidak merendahkan kami dan tidak memurtadkan kami dari agama kami dengan ganti kami akan memberikan 2000 setelan pakaian merah setiap tahunnya. 1000 di bulan safar dan 1000 di bulan Rajab. Dan juga 30 perisai besi.”

Nabi Muhammad menerima perjanjian damai tersebut. Maka orang Nasrani tidak akan mengusik agama Islam, begitu juga orang Islam tidak akan memaksa kaum Nasrani untuk masuk Islam. Lalu Beliau mengajak orang-orang Nasrani untuk berpegang pada 3 pijakan bersama seperti kandungan isi ayat di atas. Tidak hanya itu, beliau juga mengutus sahabatnya, Abu ‘Ubaidah al-Jarrah sebagai duta perdamaian. Itu setelah kaum Nasrani meminta orang kepercayaan Nabi sebagai penengah dalam menyelesaikan masalah apabila muncul persoalan di antara kedua pihak di kemudian hari. (Al-Tahrir wa al-Tanwir, juz 3 hal 268)

Baca Juga: Inilah Rambu-Rambu Toleransi Beragama Menurut Al-Quran: Perbedaan Adalah Keniscayaan

Dari kisah dalam surah Ali Imran ayat 61 dan 64 di atas, dapat kita saksikan bagaimana teladan yang diajarkan Nabi perihal toleransi. Sejak awal, Islam tidak mengenal toleransi dalam bidang akidah. Selamanya Islam adalah agama yang benar dan tidak akan membenarkan yang salah. Namun selalu ada ruang untuk dapat hidup bersama dan menciptakan dunia yang damai di atas perbedaan agama yang ada. Menyilahkan saudara kristiani melaksanakan natal tanpa hingar bingar narasi pengharaman juga usaha menciptakan dunia yang damai tersebut. Wallah a’lam

Kisah Nabi Ibrahim As dalam Q.S al-An’am Ayat 75-79 dan Ajaran Tauhid

0
Ajaran Tauhid
Ajaran Tauhid

Artikel ini akan sedikit mengulas tentang pencarian ajaran tauhid yang dialami oleh Nabi Ibrahim as sejak masih belia dan relevansinya dengan ajaran tauhid di Nusantara. Fakhruddin Ar-Razi dalam dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib menceritakan secara cukup panjang lebar ketika membahas Q.S al-An’am ayat 75-79. Adapun bunyi ayatnya adalah sebagai berikut:

وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ (75) فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ (76) فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ (77) فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (78) إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (79)

Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam”. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat”. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”

Alkisah, ketika Nabi Ibrahim masih kanak-kanak, ia bertanya kepada Ibunya, “siapakah yang mengurusku Bu?” Ibunya menjawab, “Aku yang mengurusmu, aku yang memenuhi kebutuhanmu.”

Ibrahim kecil pun bertanya, “Lalu siapa yang mengurusmu?” “Bapakmu, dialah yang memenuhi kebutuhanku,” jawab Ibunya singkat. Ia pun beralih kepada bapaknya. “Bapak, siapa yang mengurusmu?” Bapaknya kemudian menjawab, “Raja Negeri ini, dialah yang menyediakan pekerjaan.”

Baca Juga: Mengenal Teks Manuskrip Kaifiat Qulhu dari Dayah Tanoh Abee

Tidak segera puas, anak itu pun meragukan jawaban kedua orang tuanya. Ia pergi ke gua di atas bukit. Tempat yang tidak asing baginya. Ia disembunyikan Ibunya untuk menghindari kejaran intel Raja Namrudz yang ketika itu dihantui mimpi buruk kelahiran bayi laki-laki yang merusak kerajaannya. Sehingga Ia tidak menghendaki ada bayi laki-laki lahir di wilayahnya.

Di dalam gua, anak yang cerdas ini telah berpikir untuk menemukan pertanyaan pelik, siapakah sesungguhnya yang telah mengurus dirinya, kedua orang taunya, dan si raja. Dalam proses pencarian, Ia sempat mengira kalau Bintang, Bulan, dan Matahari adalah sosok yang dicarinya itu. Tetapi Bintang, Bulan, dan Matahari selalu hilang, terus berganti seiring proses alamiah perputaran waktu. Ia pun tak puas.

Pada akhirnya anak itu menyimpulkan, dibalik semua hal yang Ia lihat dengan panca indera, ada Dzat yang menciptakan dan mengurus semuanya. Dialah Tuhan yang Maha Esa, Allah swt. Demikian penjelasan Ar-Razi dalam tafsirnya.

Seperti kita ketahui, Ibrahim adalah figur yang diyakini menjadi muara dari tiga agama besar; Yahudi, Kristen, dan Islam, yang dikenal dengan sebutan Abrahamic Religions. Ketiga agama ini sama-sama memuat kisah Ibrahim dalam kitab sucinya, sesuai dengan versi masing-masing. Oleh karenanya, konsep monotheisme telah dikenal ribuan tahun yang lalu. Umat Islam sekarang ini mengenal konsep ini dengan istilah Tauhid, Mengesakan Tuhan.

Definisi paling mudah tentang ajaran tauhid adalah mengesakan Tuhan. Tidak ada yang patut disembah, diharapkan, dan bahkan tidak ada sesuatu yang ada, melainkan hanya Tuhan. La ma’bud, la mathlub, la maujud, illa Allah. Dalam tataran ini, seluruh umat Muslim akan bersepakat bahwa Tuhan, Allah swt, adalah Esa, tidak ada keraguan.

Dalam perjalanan sejarahnya, ada masa dimana konsep Tauhid menimbulkan perdebatan yang cukup sengit di kalangan para cendekiawan muslim sehingga melahirkan ratusan karya dan berjilid-jilid buku. Tauhid menjadi sebuah diskursus yang kaya bernama ilmu Kalam. Dari perbedaan paham mengenai konsep Tauhid dan relasinya dengan aktivitas manusia, memunculkan aliran-aliran teologis seperti Jabbariyah dan Qadariyyah serta macam-macam lain sebagaiman ditulis dengan rinci oleh Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal.

Peristiwa penting yang tercatat dalam sejarah terkait dengan kerasnya pertentangan seputar ilmu Kalam ini dapat tergambar dari kasus mihnah, dimana para cendekiawan dipaksa untuk meyakini konsep khalq al-Quran yang disodorkan mu’tazilah, dipimpin oleh sang khalifah al-Ma’mun. Akibat perdebatan ini, tokoh-tokoh yang menentang pendapat ini dijebloskan ke penjara.

Baca Juga: Contoh Penafsiran dengan Menggunakan Ilmu Nasakh

Kita bisa lihat keseruan perdebatan tentang apakah manusia bisa melihat Tuhan ketika sudah mati misalnya, dalam kitab Al-Ghazali al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Dalam kitab ini akan tampak bagaimana argumentasi dan sistematika yang dibangun Al-Ghazali telah sangat runut dan filosofis dalam memecahkan masalah Tauhid ketika dipertentangkan dengan dalil logika yang disodorkan kelompok mu’tazilah.

Ketika Islam masuk ke wilayah Nusantara, dalam kurun waktu yang tidak lama dari masa Al-Ghazali, ajaran tauhid dibawa dalam nuansa yang menyenangkan jauh dari perdebatan sengit dan argumentasi yang njelimet. Walisongo menggunakan medium wayang dan kearifan lokal lainnya seperti pupuh untuk mengajarkan Tauhid kepada masyarakat Nusantara. Konsep Tauhid dan praktek yang berlangsung di Nusantara menjadikan Islam sebagai agama yang masuk ke relung sanubari rakyat, karena dikemas dalam bentuk cerita-cerita yang digemari oleh seluruh lapisan masyarakat. Tauhid menjadi sesuatu yang meresap dan dirasakan, bukan dipikirkan terlampau serius.

Inilah Tauhid dalam corak Nusantara yang kita kenal. Memahami Tuhan, Allah swt, dengan cara merasa dekat dengan-Nya, dengan memuji-Nya lewat puji-pujian sebelum adzan dan juga lewat pupuh yang diajarkan Walisanga. Di Pesantren-Pesantren pun, ketika berbicara soal Tuhid, maka yang wajib kita ketahui adalah 50 sifat Allah swt dan Rasul dengan rincian-rinciannya, itu sudah cukup. Yang menjadi bagian dari cara memahami dan mengenal Tuhan. Wallahu A’lam.

Tafsir Ahkam: Hukum Membaca Basmalah Sebelum Wudhu

0
Basmalah Sebelum Wudhu
Membaca Basmalah Sebelum Wudhu

Cukup banyak kesunnahan-kesunnahan yang dapat dilakukan sebelum wudhu, salah satunya adalah membaca bamalah. Namun tidak seperti kesunnahan lainnya, pentingnya membaca basmalah sebelum wudhu cukup menguras perhatian ulama’. Hal ini disebabkan ada hadis yang secara khusus agak tegas dalam mendorong membaca basmalah sebelum wudhu. Sampai-sampai sebagian ulama’ menganggap membaca basmalah sebelum wudhu bukan lagi suatu kesunnahan melainkan suatu kewajiban. Lebih lengkapnya, simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Basmalah Sebelum Wudhu

Allah Swt berfirman:

 يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ ٦

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki (QS. Al-Ma’idah [5] :6)

Imam Ibn Katsir tatkala menguraikan tafsir ayat di atas menyebutkan salah satu kesunnahan dalam berwudhu, yaitu disunnahkan membaca basmalah sebelum membasuh wajah. Syaikh Wahbah Az-Zuhaili di dalam Tafsir Munir juga menyebutkan perihal membaca basmalah sebelum wudhu. Hanya saja ia mengungkapkan bahwa membaca basmalah sebelum wudhu adalah suatu kewajiban menurut mazhab Imam Ahmad. Ibn Katsir dan Syaikh Wahbah menyebutkan sebuah hadis yang menjadi dasar baik pendapat yang menyatakan membaca basmalah sebelum wudhu adalah kesunnahan maupun kewajiban: Yaitu hadis yang diriwayatkan beberapa sahabat salah satunya Abi Hurairah dan berbunyi (Tafsir Ibn Katsir/3/47 dan Tafsir Munir/6/107):

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ

Tidak ada salat bagi orang yang tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah ta’ala (HR. Ibn Majah, Al-Hakim, Abu Dawud dan selainnya).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Kesunnahan Membersihkan Bulu Ketiak

Imam Al-Mawardi menjelaskan bahwa di antara ulama’ yang mewajibkan membaca basmalah sebelum wudhu adalah Imam Ishaq ibn Rahwaih. Menurutnya, bila sengaja meninggalkan basmalah maka wudhu tidak sah. Bila lupa maka sah. Mazhab Dzahiriyah malah menyatakan wudhu menjadi tidak sah bila tidak menyebut basmalah, entah itu disengaja atau tidak (Al-Hawi Al-Kabir/1/157).

Ulama’ yang menyatakan membaca basmalah sebelum wudhu adalah kesunnahan beragumen bahwa andai membaca basmalah suatu kewajiban, tentu akan disinggung dalam Al-Maidah ayat 6. Selain itu, sanad dari hadis di atas bermasalah. Andai hadis di atas dapat dijadikan sebagai dasar hukum, tentu maknanya bukan wudhu tidak sah tanpa basmalah, melainkan wudhu tidak sempurna tanpa basmalah (Syarah Ibn Bathal/1/244).

Imam Al-Munawi dalam kitab syarah hadis berjudul Faidul Qadir mengartikan redaksi “tidak ada wudhu” dalam hadis di atas, sebagai “wudhu tidak dapat sempurna” bukan “Wudhu menjadi tidak sah”. Menurut Imam Al-Munawi, hal ini sesuai dengan Mazhab Syafi’i dan Hanafi yang menganggap membaca basmalah di awal wudhu sebagai kesunnahan. Berbeda dengan salah satu riwayat dari Mazhab Hanbali yang menganggapnya sebagai kewajiban (Faidul Qadir/6/557).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Menggunakan Emas Sebagai Gigi Palsu dan Selainnya

Sebagai penutup uraian di atas, Imam An-Nawawi dalam Kitab Al-Majmu’ syarah Muhadzdzab menyatakan, hadis tentang membaca basmalah di awal wudhu di atas adalah hadis yang dinilai lemah oleh banyak tokoh ahli hadis. Mayoritas ulama’ meyakini bahwa membaca basmalah di awal wudhu hukumnya sunnah. Hal ini sama dengan permasalahan membaca basmalah saat hendak melakukan segala kebaikan, bahkan bersenggama dengan istri sekalipun.

Imam An-Nawawi juga menjelaskan bahwa kesunnahan sebenarnya adalah menyebut nama Allah, bukan membaca basmalah dengan lafad sebagaimana kita kenal. Sehingga dengan mengucapkan “bismillah” (dengan menyebut nama Allah) saja, tanpa mengucapkan ar-rahman ar-rahim, sudah meperoleh kesunnahan. Namun yang lebih sempurna adalah menggabungkan dua redaksi tersebut. Selain itu, apabila lupa di awal wudhu membaca basmalah, maka cukup membacanya di tengah-tengah wudhu (Al-Majmu’/1/342) Wallahu a’lam bish showab.

Keutamaan dan Perintah Memberi dalam al-Quran

0
Keutamaan Memberi
Keutamaan Memberi dalam al-Quran

Kata memberi dalam bahasa Indonesia berasal dari kata ‘beri’. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian kata ‘beri’ sangat variatif hingga memiliki 8 pengertian. Pengertian yang sesuai dengan uraian ini ialah pengertian ‘beri’ yang berarti “menyerahkan, membagikan, menyampaikan sesuatu.” Keutamaan memberi dalam Islam sangat banyak. Umat Islam dianjutkan untuk memberi dalam berbagai bentuk.

Di dalam bahasa Arab, kata pemberian itu identik dengan kata-kata berikut, yaitu al-‘atha’ (العطاء), yang berarti “pemberian’, al-mauhibah (الموهبة), al-rizk (الرزق), yaitu pemberian rezeki, al-in’ām (الإنعام), yaitu ‘pemberian nikmat’, al-shadaqah (الصدقة), dan al-infāq (الانفاق), yang berarti ‘pemberian’.

Dari kata-kata inilah muncul istilah-istilah yang menunjukkan makna pelaku, seperti:

  1. al-Mu’thiy (المعطي), yang berarti “Yang (Maha) Memberi”, yaitu Allah swt. yang memberi tiada henti, kepada siapa pun, kepada seluruh umat manusia, tanpa diskriminasi, baik kepada yang beriman maupun kepada yang kafir.
  2. al-Wahhāb (الوهاب), yang berarti “Yang Maha Memberi”, yaitu Allah swt. yang Maha Memberi tiada henti, kepada siapa pun, kepada seluruh umat manusia, tanpa diskriminasi, baik kepada yang beriman maupun kepada yang kafir.
  3. al-Razzāq (الرزاق), yang berarti ‘Yang Maha Memberi rezeki”, yaitu Allah swt. yang Maha Memberi rezeki tiada henti, kepada siapa pun, kepada seluruh umat manusia, tanpa diskriminasi, baik kepada yang beriman maupun kepada yang kafir.
  4. al-Mun’im (المنعم), yang berarti ‘Yang Maha Memberi nikmat’, yaitu Allah swt. yang Maha Memberi nikmat yang tiada henti, kepada siapa pun, kepada seluruh umat manusia, tanpa diskriminasi, baik kepada yang beriman maupun kepada yang kafir. Nikmat adalah segala sesuatu yang menyenangkan.

Baca Juga: Kenikmatan Malam dan Manfaatnya bagi Manusia dalam Al-Quran

Semua sebutan ini hanya disandarkan kepada Allah sebagai “Pemberi Yang Hakiki.”

Gelar-gelar yang diberikan kepada manusia dalam kaitan dengan sifat memberi itu, yaitu:

  1. al-mu’thiy (المعطي), adalah orang yang suka memberi ke saudara-saudaranya sesamanya.
  2. al-wahib (الواهب), adalah orang yang suka memberi ke saudara-saudaranya sesamanya.
  3. Al-mutashaddiq (المتصدق), adalah orang yang suka bersedekah, suka memberi,
  4. al-munfiq (المنفق), adalah orang yang memberi infak, membelanjakan sesuatu.

Analisis terhadap makna pengertian di atas menunjukkan bahwa “memberi” itu melibatkan beberapa unsur, yaitu 1) pihak pemberi, 2) pekerjaan memberi, 3) sesuatu yang diberikan, 4) yang menerima pemberian, dan 5) Ikhlas dalam memberi. Masing-masing dijelaskan sebagai berikut:

  1. Unsur pertama, ialah pihak yang memberi secara hakiki adalah Allah swt., dan manusia adalah pemberi apa yang telah diberikan Allah. Pemberi selain kedua pemberi ini adalah bersifat majazi (metaforis).
  2. Unsur kedua adalah pekerjaan memberi. Pekerjaan ini dapat dilakukan secara hakiki oleh Tuhan dan manusia. Pekerjaan memberi selain keduanya ini bersifat majazi (metaforis). Misalnya, alam telah memberikan manfaat yang banyak bagi manusia. Alam pada hakikatnya tidak memberi, yang memberi pada hakikatnya Tuhan.
  3. Unsur yang ketiga ialah sesuatu yang diberikan. Sesuatu yang diberikan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu sesuatu yang bersifat fisik (material), seperti uang, makanan, dan minuman dan yang kedua adalah bersifat non-fisik (non-material), seperti ilmu, nasehat, kalimat-kalimat yang baik.
  4. Unsur yang keempat ialah yang menerima pemberian. Yang menerima pemberian itu pada umumnya adalah manusia. Manusia menerima pemberian Allah dalam bentuk berbagai nikmatnya, dan manusia lain menerima pemberian dari saudaranya.
  5. Unsur kelima ialah keikhlasan/ketulusan. Seseorang yang memberi sesuatu harus ikhlas karena Allah dalam memberi sesuatu. Ia memberi hanya semata-semata lillahi Ta’ala. Dia tidak memberi kepada orang lain karena ingin membalas budi baiknya, tidak karena mengharap sesuatu dari yang diberi, tidak karena suatu harapan terhadap orang yang diberi, dan bukan pula mengharap pujian dari orang lain.

Ada sejumlah dalil dari ayat-ayat di dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah yang menggambarkan tentang perintah untuk membelanjakan harta dan memberi kepada orang lain tanpa merusak dirimu. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Allah di dalam QS. Al-baqarah [2]: 195:

وَأَنفِقُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٩٥

“dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

Ada empat pesan penting yang disampaikan oleh Allah di dalam ayat di atas, yaitu:

Pertama, perintah untuk memberi, yaitu membelanjakan sebagian dari harta yang dimiliki manusia di jalan Allah, jalan-jalan kebaikan, jalan-jalan yang diridai Allah. Harta yang telah diberikan Allah harus dimanfaatkan untuk kebaikan, kemaslahatan. Jangan digunakan untuk sesuatu yang tidak bermanfaat dan membahayakan kehidupan.

Kedua, larangan menjatuhkan diri dalam kebinasaan. Allah melarang manusia untuk membelanjakan harta yang dimiliki itu melebihi dari apa yang mampu diberikan, dan jumlah yang diinfakkan. Seseorang tidak boleh memberi kepada orang lain, menginfakkan harta yang dimiliki sehingga ia sendiri mengalami kesulitan dalam hidup. Karena itu, Allah memerintahkan memberi, berinfak, hanyalah semampunya. Sebab, memberi lebih dari yang mampu diberikan akan membahayakan kehidupan pemberinya itu.

Baca Juga: Keutamaan Malam Hari dalam Al-Quran

Ketiga, perintah untuk berbuat yang lebih baik (berbuat ihsan= berbuat baik yang lebih). Ihsan adalah segala perbuatan yang lebih yang dilakukan oleh seseorang untuk kemaslahatan, baik untuk kemaslahatan dirinya, untuk kemaslahatan orang lain, maupun untuk kemaslahatan lingkungannya. Termasuk dalam kategori ihsan itu adalah membelanjakan harta di jalan Allah, bersedekah kepada mereka yang tidak mampu.

Keempat, pernyataan Allah yang menyatakan bahwa perbuatan membelanjakan harta di jalan Allah itu adalah perbuatan yang baik. Membelanjakan harta yang tidak menimbulkan kebinasaan diri adalah sebuah kebaikan. Melakukan perbuatan baik yang lebih adalah suatu kebaikan. Allah Swt. sangat mencintai semua kebaikan itu.

Demikianlah penjelasan singkat tentang keutamaan memberi. Wallahu A’lam.

Berbagai Alasan Memilih Childfree dan Pertimbangannya Menurut Tafsir

0
Berbagai alasan memilih childfree
Berbagai alasan memilih childfree

Childfree merupakan keputusan untuk tidak memiliki anak, entah mereka yang memilih ini atas dasar diskusi dan pertimbangan yang matang antara suami istri atau hanya ikut-ikutan trend saja. Banyak platform media sosial yang membahas isu ini bahkan childfree community sudah banyak digalakkan di kehidupan nyata.

Banyak alasan memilih childfree bagi seseorang, ada karena faktor finansial, faktor banyaknya populasi manusia, alasan kebebasan gender dan lainnya. Bagaimana tanggapan ulama tafsir dalam melihat hal ini?

Baca Juga: Pandangan Al-Qur’an tentang Childfree, Muslimah Karir dan Tujuan Pernikahan dalam Islam

Keputusan memilih Childfree

Gerakan  childfree ini awalnya popular di barat, tepatnya di Inggris pada akhir abah ke 20. Tidak sedikit dari mereka memilih untuk tidak memiliki anak dalam rumah tangganya. Tak kalah menarik, isu ini juga sedang hangat di perbincangkan di Indonesia, gerakan ini sudah mulai banyak di anut oleh pasangan suami istri, salah satunya Gita Savitri.

Dalam Channel Youtube (Analisa Channel 2021) Gita Savitri secara terang-terangan mengumumkan bahwa ia memilih childfree. Bukan tanpa alasan, memang memilih untuk childfree adalah keputusan yang sangat ekstrem tetapi kita tidak bisa mengklaim ini adalah pilihan yang buruk karena dalam diskursus gender sikap ini menjadi hak privasi individu.

Menurut Robert Louis Stevenson dalam bukunya Childfree and Loving It by Nicki Defagohal 3 memberikan pendapat bahwa dunia ini penuh dengan banyak hal yang ia yakini setiap kita harus bahagia seperti raja. Ada banyak alasan yang logis untuk tidak memiliki anak diantaranya alasan filosofis, psikologis, ekonomi, hingga medis.

Pada dasarnya keputusan memilih childfree ini datang dari pihak perempuan karena dirinyalah yang mengandung, melahirkan, dan menyusui. “Seorang perempuan memiliki hak dan kebebasan atas dirinya”, klaim seperti ini menjadi alasan kuat bagi mereka dengan pernyataan bahwa ini atas dasar keadilan gender. Padahal diskursus gender bukan hanya satu-satunya pisau bedah untuk menganalisis sesuatu, terkadang konsep gender mendistorsi ini.

Ekstrem memang jika mengatakan demikian, hal ini bukan berarti penulis tidak setuju dengan konsep keadilan gender. Coba kita analisis lebih dalam jika alasannya seperti ini, bukankan diskursus tentang gender perlu adanya pemahaman studi keagamaan juga? karena pada dasarnya segala keputusan harus mampu dipandang memiliki kemaslahatan

Benar saja perempuan memiliki kebebasan atas dirinya, tetapi ketika seorang perempuan terikat hubungan suami istri apapun persoalan yang berkaitan diantara keduanya perlu adanya ruang diskusi. Pilihan memiliki anak atau tidak bukan hanya persoalan perempuan saja, walaupun memang pada dasarnya perempuan yang mengalami proses biologis tersebut.

Sama halnya dengan keputusan mempunyai anak, ini juga perlu pertimbangan dan persiapan yang matang antara suami dan istri. Baik itu dalam segi finansial, pendidikan anak, motherhood, dan psikologis. Karena bukan hal yang mudah untuk mengurus seorang anak.

Baca Juga: Childfree dan Tujuan Pernikahan dalam Tafsir Surah Ar-Rum Ayat 21

Alasan memilih childfree dan pertimbangannya dalam tafsir

Banyak perdebatan di khalayak umum tentang childfree, mereka yang tidak setuju dengan konsep ini menganggap bahwa hal ini bertentangan dengan syariat Islam dan tujuan pernikahan itu sendiri. Tetapi, populasi manusia di bumi semakin banyak, ini bisa saja menjadi alasan sosial bagi mereka yang setuju childfree.

Menurut Ibnu Qayyim tujuan dari sebuah pernikahan adalah untuk menjaga keberlangsungan dan melahirkan anak yang sholeh. Selain dari itu, anak merupakan titipan dari Allah dan anugerah bagi sepasang suami istri.

Tambahan lagi, anak juga sumber kebahagiaan dalam rumah tangga, walaupun tidak lepas dari ini sumber kebahagiaan bisa di dapat dari mana saja. Tetapi, seorang anak bisa menjadi teman di masa tua dan banyak lagi keistimewaan ketika pasangan dikaruniai seorang anak.

Terlepas dari ini, tanggung jawab ketika memiliki anak sangatlah besar, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Kesiapan seorang suami dan istri patut menjadi pertimbangan karena didikan yang diberikan akan membentuk karakter seorang anak. Selain itu, kesiapan dalam segi finansial, karena anak memiliki hak atas kenyamanan, pendidikan dan kebutuhannya.

Kekhawatiran finansial ini menjadi salah satu pemicu seseorang memilih untuk childfree. Tetapi, bukankah Allah sudah menjamin rezeki bagi setiap pasangan, seperti dalam firman Allah swt. Qs. An-Nur [24]: 32.

وَأَنكِحُوا۟ ٱلْأَيَٰمَىٰ مِنكُمْ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا۟ فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

Dalam ayat ini jelas bahwa diperintahkan untuk menikah dan jika diantara mereka takut miskin maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya karena Allah Maha Pemberi lagi Maha Mengetahui. Bahkan kita seringkali mendengar pernyataan yang mungkin bagi orang jawa sudah tidak asing lagi yaitu “banyak anak banyak rezeki”.

Baca Juga: Urgensi Ucapan Selamat atas Kelahiran Anak Perspektif Al-Qur`an

Selain itu ada banyak keistimewaan dari seorang anak, salah satunya yaitu hadits dalam “Sunan Ibnu Majah, no. 3650” yang menceritakan ada seseorang yang akan di angkat derajatnya di surga karena anaknya yang memohonkan ampunan untuknya. Hadis tersebut berbunyi:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ عَبْدِ الْوَارِثِ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْقِنْطَارُ اثْنَا عَشَرَ أَلْفَ أُوقِيَّةٍ كُلُّ أُوقِيَّةٍ خَيْرٌ مِمَّا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ أَنَّى هَذَا فَيُقَالُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

Rasulullah juga bersabda: “Sesungguhnya seseorang akan diangkat derajatnya di surga, lalu orang tersebut akan bertanya, ‘bagaimana ini bisa terjadi?’ lalu dijawab, ‘karena anakmu telah memohonkan ampunan untukmu.” (Sunan Ibnu Majah)

Banyak dijelaskan dalam diskursus islam bahwa keutamaan dan keistimewaan memiliki seorang anak. Tetapi dalam konteks childfree ini memang seseorang tidak bisa dipaksakan dalam memilih. Karena memang pada dasarnya memiliki seorang anak bukanlah suatu kewajiban, ini adalah sebuah pilihan. Dan dalam mengambil keputusan perlu adanya kemaslahatan.

Boleh saja seseorang memilih untuk childfree jika memiliki alasan yang kuat dan adanya kerelaan diantara suami dan istri. Walaupun mungkin banyak diskursus Islam yang menentang ini atau mungkin studi gender mendukung konsep ini, tetapi apapun itu yang perlu di ingat adalah adanya kemaslahatan di dalamnya.

Kisah Ibu Para Nabi dalam Al-Quran (1): Perjuangan Siti Hajar, Ibu Nabi Ismail

0
Kisah Siti Hajar, Ibu Nabi Ismail
Kisah Siti Hajar, Ibu Nabi Ismail

Hajar namanya (orang Indonesia menyebutnya dengan Siti Hajar). Al-Quran tidak pernah menyebut langsung namanya, bahkan sekadar menyebut Umm Ismail juga tidak. Padahal dari darah, air susu dan doanya lahir dan besar seorang Nabi yang meneruskan generasi para Nabi berikutnya hingga Nabi Muhammad saw, yaitu Nabi Ismail as., darinya juga lahir ritual ibadah yang disyariatkan, yaitu sa’i (rukun haji, kegiatan lari-lari kecil dari bukit Shafa dan bukit Marwah). Demikian keterangan Ibn Abbas dalam riwayatnya di Tafsir At-Thabari. Tidak banyak perempuan yang menjadi ‘sebab’ lahirnya sebuah ritual ibadah suatu agama, terlebih pada agama yang lahir dalam tradisi patriarki.

Bint Syati’ ketika membahas tentang Ibu Nabi Ismail (Hajar), ia mengutip satu ayat di surah Ibrahim,

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ (37)

 “Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim [14]: 37)

Jika melihat runtutan ayat dalam Mushaf Usmani, ayat di atas merupakan rangkaian doa Nabi Ibrahim dari ayat 35-41 surah Ibrahim. Meskipun demikian, daripada doa-doa yang lain, doa di ayat 37 ini sangat identik dengan perjuangan Siti Hajar, ibu Nabi Ismail, untuk mendapatkan makanan dan minuman untuk Nabi Ismail kecil yang sedang menangis karena lapar dan haus. Dugaan ini dapat dilihat pada beberapa penafsiran para mufasir, seperti At-Thabari, As-Samarqandi, Ar-Razi dan lainnya.

Baca Juga: Kisah Nabi Ismail, Siti Hajar dan Asal Usul Air Zamzam

Pada ayat tersebut jelas dikatakan bahwa Makkah, tempat Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan Nabi Ismail kecil adalah tempat yang gersang, tidak ada tanaman, terlebih sumber air. Selain karena tempat tersebut dimuliakan oleh Allah, para mufasir tidak menyinggung alasan lain Nabi Ibrahim membawa dan meninggalkan istri dan anak kecilnya tersebut. Di Mafatih Al-Ghaib, Ar-Razi mengutip sedikit percakapan Siti Hajar dan Nabi Ibrahim. Mengetahui sekelilingnya yang tidak ada tanaman dan sumber air, Siti Hajar kemudian bertanya ke Nabi Ibrahim ‘kepada siapa kita berpasrah?’, -sebuah pertanyaan yang wajar yang muncul dari kekawatiran seorang ibu terhadap anaknya yang masih kecil-. Nabi Ibrahim menjawabnya ‘berpasrah kepada Allah’, lalu membaca doa sebagaimana ayat di atas.

Al-Quran memang tidak detail dan runtut dalam mengisahkan masa kecil Nabi Ismail, ibu dan ayahnya. Asumsi dari Mun’im Sirry, hal ini karena masyarakat Arab pada saat itu sudah sangat mengenal kisah tersebut dari kitab suci sebelumnya. Ar-Razi pun melanjutkan cerita singkat keadaan Hajar dan Nabi Ismail kecil. Setelah ditinggal Nabi Ibrahim, ketakutan Hajar dan Nabi Ismail kecil benar-benar terjadi, Nabi Ismail yang masih bayi menangis karena lapar dan haus, bisa dibayangkan bagaimana kepanikan dan kebingungan Siti Hajar saat itu, ia sendirian, sama sekali tidak ada orang lain untuk dimintai tolong, sekelilingnya juga kering dan gersang, tidak ada satupun tanaman untuk dimakan, dan tidak ada setetespun air untuk diminum, ia hanya bisa berlari ke sana ke mari, bolak balik di medan yang tidak datar pula dengan perasaan takut, kawatir, kalut, bingung, dan semacamnya, hingga pada akhirnya dari ujung kaki Nabi Ismail bayi yang sedang menangis itu keluar air ‘ajaib’ yang hingga sekarang tidak pernah surut, yang dikenal dengan air zam zam. Sungguh kejadian yang luar biasa yang mengiringi perjuangan keras seorang ibu.

Dalam tafsir, disampaikan bahwa pada bagian kisah ini, Nabi Muhammad saw. berdoa,

«رَحِمَ اللهُ أُمَّ إِسْمَاعِيْلَ لَوْلَا أَنَّهَا عَجِلَتْ لَكَانَتْ زَمْزَمُ عَيْنًا مَعِيْنًا»

‘Semoga Allah merahmati Ibu Nabi Ismail (Siti Hajar), karena kalua dia tidak segera membendung air zam zam, tentulah air itu akan menjadi air yang mengalir’. Doa ini juga banyak terdokumemtasi dalam kitab hadis, salah satunya di Shahih Al-Bukhari, hadis nomor 3112 riwayat Ibn Abbas.

Baca Juga: Kisah Rencana Penyembelihan Nabi Ismail dan Asal-Usul Ibadah Kurban

Sekilas Profil Siti Hajar, Ibu Nabi Ismail

Dalam Umm an-Nabi, Bint Syati’ menyampaikan bahwa Siti Hajar adalah seorang budak perempuan dari Siti Sarah (istri Nabi Ibrahim yang pertama) yang dibawanya dari Mesir ke Palestina ketika dalam perjalanan menemani Nabi Ibrahim suaminya. Siti Sarah yang pada saat itu dalam kondisi mandul, ia pun menyerahkan budak perempuannya itu kepada Nabi Ibrahim, mungkin ‘sang budak’ tersebut bisa memberikan anak dan membahagiakan Nabi Ibrahim.

Dalam keterangan yang lain, Siti Hajar ini adalah putri seorang raja yang kalah dalam perang, dan akhirnya menjadi tawanan musuh. Latar belakang inilah yang sangat dimungkinkan menjadi pertimbangan Siti Sarah untuk membawanya dan memberikannya pada suaminya. Namun demikian, ketika Siti Hajar hamil, sikap Siti Sarah pun berubah, ia merasa cemburu dan tidak rela, perempuan yang baru bersama suaminya itu bisa hamil, sementara ia sendiri sudah bertahun-tahun menemani suaminya tapi tidak kunjung hamil. Itu sangat manusiawi.

Mengetahui hal ini, Nabi Ibrahim beruasaha menenangkan Siti Sarah dengan mempersilahkan istrinya tersebut untuk melakukan apapun kepada Siti Hajar, namun Siti Sarah tidak melakukan apapun, karena Siti Hajar masih dalam kondisi mengandung, toleransinya kepada Siti Hajar yang hamil masih ia tahan sampai Siti Hajar melahirkan. Ketika bayi Siti Hajar sudah lahir, kecemburuan Siti Sarah tidak bisa terbendung lagi, dan kesabarannya juga sudah habis. Seketika itu juga ia meminta Nabi Ibrahim untuk membawa Siti Hajar dan bayinya untuk keluar dari rumahnya. Di sini tergambar bagaimana dua perempuan yang sama-sama berjuang mempertahankan nasibnya masing-masing.

Baca Juga: Jangan Pernah Lupakan Sayyidah Hajar!

Peran Siti Hajar dalam Tumbuh Kembang Nabi Ismail

Tidak diceritakan secara detail dalam Al-Quran tentang lanjutan kisah Siti Hajar dalam membesarkan Nabi Ismail. Hanya saja kita tahu bahwa ketika Nabi Ismail tersebut beranjak dewasa, Nabi Ibrahim mendapat perintah dari Allah untuk menyembelihnya. (QS. As-Shaffat [37]: 102). Memang ada dua riwayat tentang anak yang akan disembelih dalam ayat ini. Penjelasan As-Samarqandi tentang ini mengakomodir dua pendapat. Riwayat dari Muqatil mengatakan bahwa anak yang akan disembelih itu Ishaq, sedang riwayat dari Al-Kalbi yaitu Nabi ismail, bahkan riwayat yang sama-sama bermuara dari Ibn Abbas pun ada dua versi, ada yang berpendapat Nabi Ishak dan ada yang mengatakan Nabi Ismail.

Terlepas dari itu, kita ikuti dulu pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Ismail adalah anak yang dimaksud dalam Al-Quran, kemudian kita amati sikap Nabi Ismail yang tersurat dalam Al-Quran. Sang anak percaya penuh terhadap ayahnya dan bahkan meyakinkan sang ayah untuk melaksanakan perintah Allah tersebut. Berdasar dari sepenggal kisah ini, kita mendapatkan gambaran mengenai kepribadian dari Nabi Ismail kecil yang memiliki keimanan yang teguh dan kuat terhadap Allah.

Bagaimana Nabi Ismail bisa tumbuh dengan keimanan yang begitu kuat, sementara ia tidak selalu tinggal bersama ayahnya? Siapa yang mengajari dan membimbingnya? Jawabannya adalah Ibunya, Ibu Nabi Ismail.

Begitulah perjuangan Siti Hajar, Ibu Nabi Ismail (Umm Ismail) mulai dari mengandung Nabi Ismail, merawat dan membesarkannya. Kisah perjuangannya tidak banyak yang tahu, tersembunyi di balik kebesaran Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Perjuangan ini bisa juga terjadi dan dirasakan oleh banyak ibu di dekat kita. Seorang ibu memang tidak butuh pengakuan, tapi bukan berarti ia dilupakan, ibu juga tidak butuh penghormatan, tapi tidak berarti ia bisa seenaknya diperlakukan.

Selamat Hari Ibu, terimakasih atas perjuanganmu, ibu, doa cinta untuk para ibu, calon ibu, kaum ibu dan semua yang sayang sama ibu.

Tafsir Surah Ibrahim Ayat 4: Semiotika Komunikasi Umberto Eco dan Pesan Kepada Para Mufasir

0
semiotika komunikasi dalam penafsiran
semiotika komunikasi dalam penafsiran

Tulisan ini merupakan lanjutan dari bahasan sebelumnya tentang menyoal slogan kembali pada Al-Quran dan Sunnah, khususnya tentang kualifikasi yang harus dimiliki role model (ustadz, kiyai atau ulama) yang akan melakukannya itu berat dan tidak mudah. Kali ini akan dibahas tentang bagaimana memahami role model (ustadz, kiyai atau ulama). Selain terkait sejauhmana pemahaman yang dimiliki oleh “role model” terkait Al-Qur’an dan Sunnah, pun dengan segala tujuan, kepentingan, dan tendensinya, ada faktor lain tentang bagaimana karakter keberagamaan masyarakat terbentuk. Faktor tersebut terkait pola komunikasi, atau lebih tepatnya mengenai bagaimana kemampuan “role model” tersebut dalam menyampaikan setiap pesan-pesan dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Untuk tujuan tersebut kiranya menjadi penting untuk memperhatikan lebih jauh tentang yang ditawarkan Umberto Eco terkait semiotika komunikasi dalam Semiotics and Philosophy of Language, yang nampaknya juga selaras dengan kandungan dalam QS. Ibrahim [14]: 4.

Baca Juga: Menyoal Slogan Kembali Kepada Al-Qur’an dan Sunnah: Memangnya Bisa?

Umberto Eco dan Semiotika Komunikasi

Ia adalah Umberto Eco, seorang filosof, ahli di bidang semiotika, kritikus sastra, sekaligus novelis berkebangsaan Italia. Umberto Eco lahir pada 5 Januari 1932 di Piedmont, Italia Utara, dan wafat pada 19 Februari 2016. Dalam bidang karir pedidikannya, Umberto Eco tercatat telah menyelesaikan S1, S2, dan S3-nya di bidang filosofi dan sastra di University of Turin.

Secara sederhana, semiotika komunikasi yang ditawarkan Umberto Eco merupakan sebuah proses perpindahan sinyal dari sebuah sumber melalui pengirim atau saluran menuju sebuah penerima atau tujuan. Ia pada dasarnya bersifat pragmatis, yang sangat tergantung dengan bagaimana sebuah praktek dijalankan dengan melihat situasi yang ada.

Setidaknya terdapat delapan poin penting yang harus diperhatikan dalam semiotika jenis ini. Kedelapan poin tersebut meliputi sumber, pengirim, sinyal, saluran, sinyal, penerima, pesan, tujuan. Perhatian terhadap kedelapan komponen ini, pada akhirnya, akan sangat berpengaruh pada hasil yang sedang dikomunikasikan.

Singkatnya, dalam semiotika jenis ini, Umberto Eco mensyaratkan kepada para aktor publik, juga dapat disebut ’role model’, yang dalam konteks ini disebut oleh pendakwah, mengetahui target pembaca, audiens, jamaah merupakan satu hal yang penting. Ia harus masuk dengan menggunakan kode bahasa, budaya, dan sebagainya agar pada akhirnya pesan yang ingin disampaikan dapat dengan mudah dipahami oleh masyarakat.

Baca Juga: Memahami Kata Islam dalam QS. Ali Imran: 19 Perspektif Semiotika Roland Barthes

Lisan tidak hanya berarti bahasa

Hal yang sama, yang juga memerintahkan untuk memahami bahasa dan pemahaman masyarakat, secara rapi tercatat di dalam Al-Qur’an, tepatnya dalam QS. Ibrahim [14]: 4. Narasi yang dihadirkan dalam ayat ini kurang lebih berbunyi:

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهٖ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۗفَيُضِلُّ اللّٰهُ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

”Kami tidak mengutus seorang rasul pun, kecuali dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka, Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki (karena kecenderungannya untuk sesat), dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Dia Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”.

Terkait hal ini, Yusuf Ali, sebagaimana dikutip Nurcholis Majid dalam Islam Universal, menyebut bahwa yang dimaksud bahasa tidak hanya terbatas pada aspek linguistik­-nya saja. Bahasa dalam pengertian Yusuf Ali juga merujuk kepada arti kultural, pun dengan bagaimana pola berfikir. Argumentasi yang demikian muncul dari pengetahuannya pada hal yang mendasar, bahwa diturunkannya Kitab Suci Al-Qur’an memiliki tujuan yakni rahmatan lil ’alamin. Terang lagi menerangkan. Dan tentu tidak memihak.

Untuk menyampaikan tujuan yang dimiliki Al-Qur’an, Allah mengutus Nabi Saw. dengan menggunakan bahasa yang berlaku di kalangan masyarakat, yakni Bahasa Arab. Namun demikian, seiring dengan meninggalnya Nabi Saw. juga disertai dengan menyebarnya Islam yang menjangkau masyarakat yang heterogen, hal ini juga menuntut untuk hadirnya penjelasan lanjutan Al-Qur’an dari kalangan pendakwah (baca: mufassir) dengan menyesuaikan apa yang menjadi standar dalam masyarakat.

Pengertian-pengertian yang demikian, dalam disiplin keilmuan Al-Qur’an serupa dengan ”Tafsir Kontekstual”. Sahiron Syamsuddin, misalnya, dalam Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an dengan pendekatan Ma’na-cum-Maghza.

Di sini, ia menghendaki untuk memahami dua latar sekaligus sebelum pada akhirnya menentukan pesan yang paling mendekati kebenaran Al-Qur’an. Dua latar ini meliputi masa lalu—di dalamnya terkait sejarah, bahasa, dan konteks di mana Al-Qur’an diturunkan—dan masa kini, juga termasuk di dalamnya konteks yang berlaku di masyarakat.

Ketidakpahaman, ketidakmampuan, pun dengan keengganan para pendakawah untuk memahami bahasa, budaya, dan cara berpikir masyarakat justru dapat menghambat pesan sejati dalam Al-Qur’an. Maka tidak mengherankan jika pada akhirnya, konsekuensi paling logis dari yang disebutkan sebelumnya berujung pada ketidakpahaman, bahkan yang paling mengerikan memunculkan karakter keberagamaan yang ”marah”. Wallahu’alam.