Beranda blog Halaman 199

Sepuluh Perintah Tuhan dalam Al-Qur’an dan Al-Kitab: Membaca Argumen Sebastian Günter

0
Sepuluh Perintah Tuhan
Sepuluh Perintah Tuhan

Fakta bahwa terdapat sepuluh perintah Tuhan yang secara mendasar memiliki makna yang mendalam bagi kalangan Yahudi dan Kristen tidak dapat terbantahkan lagi. Sepuluh perintah ini merupakan mikrokosmos dari sumber ajaran yang lebih besar, yakni Al-Kitab, yang dalam catatan beberapa sarjana berasal dari perjanjian yang terjadi antara Tuhan dengan manusia di sebuah pegunungan Sinai. Tulisan ini berusaha melihat temuan-temuan Sebastian Günter (Günther 2007), terkait sejauhmana Al-Qur’an mengakomodir secara tegas sepuluh perintah Tuhan dalam Al-Kitab. Lebih lanjut, Sebastian Günter juga ingin melihat sejauhmana kolerasi di antara Al-Kitab dan Al-Qur’an ketika berbicara berkenaan dengan sepuluh perintah Tuhan.

Sepuluh Perintah dalam Al-Kitab

Secara umum, merujuk kepada Keluaran 20: 1-17, juga biasa disebut dengan Perjanjian Lama, sepuluh perintah Tuhan yang diyakini dalam keyakinan umat Yahudi dan Kristen ini berisi mengenai daftar ajaran dalam agama, tatanan hukum, dan kode etik sosial yang terbagi menjadi dua bagian penting—dengan masing-masing lima perintah.

Bagian pertama, terkait hubungan Tuhan dengan manusia. Bagian ini meliputi antara lain larangan menyembah Tuhan selain Allah, melarang politeisme, penyembahan terhadap berhala, ketetapan untuk beristirahat satu hari dalam tujuh hari, dan menghormati orang tua. Bagian kedua, terkait interaksi sesama manusia. Bagian kedua ini meliputi antara lain larang untuk tidak membunuh sesama manusia tanpa disertai dengan sebab yang dibenarkan (tidak adil), larangan perzinaan, larangan mencuri, berdusta dalam kesaksian, dan larangan mengambil hak atau barang yang bukan miliknya.

Baca Juga: Sepak Terjang Orientalis dalam Penerjemahan Al-Qur’an dan Respons Umat Islam

Hal serupa juga dinyatakan kembali dalam Perjanjian Baru lengkap dengan penguatan signifikansinya. Hanya saja, sebagaimana disebutkan dalam Markus 10:19, Yesus, sebagai sosok yang diyakini sebagai manusia yang melakukan perjanjian, menyebut sepuluh perintah hanya dengan sebutan ‘Perintah’. Hal ini juga diperkuat dalam Matius 19: 17-19, yang menyatakan bahwa Perjanjian Baru ini mengikat di bawah tatanan Hukum Baru dan memberikan daftar singkat tentangnya.

Sepuluh Perintah, Al-Qur’an, dan Tafsir

Meskipun pada dasarnya Al-Qur’an tidak secara terang-terangan berbicara mengenai sepuluh perintah Tuhan, namun jika melihat secara lebih mendalam, pada dua kesempatan, yakni QS. Al-Baqarah [2]: 83-84 (periode Madinah) dan QS. Al-A’raf [7]: 142-145 (periode Mekkah akhir) nampaknya Al-Qur’an telah memberikan kode referensi khusus yang berkaitan dengan sepuluh perintah sebagaimana tercantum dalam Al-Kitab.

Terkait dengan tafsir atas referensi yang pertama (QS. Al-Baqarah [2]: 83-84), para penafsir dari kalangan muslim awal menawarkan penjelasan berkenaan dengan hukum perjanjian Allah dengan orang Israel. Sebastian Günter tidak menyebutkan secara tegas ihwal siapa yang menjadi rujukan dalam era ini. Ia hanya menunjukkan bahwa komentar atas hadirnya ayat ini menunjukkan bahwa ayat ini ditujukan kepada orang-orang Yahudi untuk memenangkan mereka demi Islam dan menjadikan mereka sebagai sekutu Muslim.

Terlepas dari komentar yang hadir pada era ini, para penafsir justru lebih tertarik pada keyakinan bahwa orang Israel terlah melanggar perjanjian yang dibuat di Gunung Sinai. Ini terlihat dengan jelas dalam QS. Al-Baqarah [2]: 83 dan Keluaran 32:8. Adapun dalam pandangan penafsir abad pertengahan, mereka tidak banyak memberikan komentar hubungan langsung ayat ini dengan sepuluh perintah dalam Al-Kitab. Umumnya, para penafsir era ini mengajukan argumen bahwa ayat ini sejajar dengan apa yang ada di dalam Taurat.

Sementara itu, terkait dengan QS. Al-A’raf [7]: 142-145, sampai pada titik tertentu menyatakan bahwa ayat ini berkaitan erat dengan ‘Tablet’ yang diterima oleh Musa. Namun isi dari apa yang terdapat di dalam ‘Tablet’ tersebut tidak cukup menarik perhatian beberapa kalangan penafsir abad pertengahan.

Ketidakpedulian ini nampaknya sangat berkaitan erat dengan doktrin bahwa pada akhirnya melalui Al-Qur’an, Tuhan telah memberikan petunjuk apa yang harus diketahui oleh umat manusia. At-Tabari (w. 310/923) misalnya. Ia menyatakan bahwa teks yang terima Musa dalam ‘Tablet’ hanya diperuntukkan untuk kalangan orang Israel saja. Dan karenanya, bagi At-Tabari, ini dianggap tidak memiliki pengaruh langsung pada umat Islam.

Di sisi yang lain, Fakhruddin al-Razi (w. 606/1209) turut dalam perbincangan ayat ini. Secara ringkas ia menyebut bahwa ‘Tablet’ yang diterima Musa di Gunung Sinai ini termasuk dalam ‘peraturan hukum’, juga sebagai materi naratif yang berfungsi mendorong kepada sikap patuh. ‘Tablet’ ini berisi apa yang Musa dan kaumnya perlu ketahui tentang agama, apa yang diperbolehkan dan dilarang.

Perspektif yang berbeda hadir dari Abu Ishaq al-Thalabi (w. 427/1035) dalam Qasas al-Anbiya’. Ia menjelaskan QS. Al-A’raf [7]: 142-145 dengan memberikan parafrase yang dekat dengan QS. Al-Isra’ [17]: 22-39 dan QS. Al-An’am [6]: 151-153. Menurutnya, ada dua poin penting yang berkait dengan ayat tersebut. Pertama, dalam QS. Al-Isra’ [17]: 22-39, Al-Qur’an mengakomodir tidak hanya secara umum dari apa yang disebut dengan ‘sepuluh perintah’ dalam Al-Kitab, bahkan secara khusus dan terperinci dari ‘sepuluh perintah’. Kedua, dalam QS. Al-An’am [6]: 151-153, Al-Qur’an memberikan identifikasi ringkas yang berkaitan dengan ‘sepuluh perintah’ dalam Al-Kitab.

Sebagaimana para penafsir pada abad sebelumnya, penjelasan yang berkaitan dengan QS. Al-Baqarah [2]: 83-84 dan QS. Al-A’raf [7]: 142-145 juga hadir di era modern. Beberapa nama yang tercatat dalam usaha ini antara lain Muhammad al-Amin al-Shinqiti (w. 1913), Muhammad Syahrur (b. 1938) dalam al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah, dan Abu al-Maududi (1903-1979).

Muhammad Syahrur, misalnya, menyatakan bahwa kedua ayat tersebut jika direnungkan secara mendalam merujuk kepada ‘sepuluh perintah’ dalam Al-Kitab. Al-Maududi juga menjelaskan ayat tersebut dengan menghubungkan QS. Al-Isra’ [17]: 36. Menurutnya, dalam QS. Al-Isra’ [17]: 36 terdapat katalog perintah yang menentukan prinsip dasar dari ‘sepuluh perintah’ dalam Al-Kitab, yang di dalam Islam, hal ini bertujuan membangun seluruh struktur kehidupan manusia.

Temuan-temuan

Berdasarkan usaha ini, Sebastian Günter menemukan tiga poin penting. Pertama, sejak kebangkitan Islam, wacana untuk melihat dengan QS. Al-Isra’ [17]: 22-39 dan QS. Al-An’am [6]: 151-153 sebagai sebuah katalog perintah telah mencerminkan pada adanya kesejajaran dengan ‘sepuluh perintah’ dalam Al-Kitab. Lebih lanjut, dalam usaha ini telah terjadi pergeseran perhatian untuk melihat secara lebih mendalam apa yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah [2]: 83-84 dan QS. Al-A’raf [7]: 142-145, terutama ihwal ajaran-ajaran etis-religius.

Baca Juga: Mengenal Asal Muasal Doa Khatmil Quran

Kedua, baik di dalam Al-Kitab maupun dalam Al-Qur’an, keduanya memberikan persamaan penekanan dalam menjelaskan ihwal keberadaan Tuhan yang satu, menjalankan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.

Ketiga, meskipun kedua kitab suci ini memiliki dimensi persamaan yang cukup signifikan, namun keduanya memiliki perbedaan pada titik tertentu. Misalnya terkait dengan menjaga kekudusan hari Sabat dan tidak melakukan pekerjaan apapun di hari itu. Di dalam Al-Qur’an, penekanan yang dominan justru berkaitan dengan nilai moral-kemanusiaan. Wallahu ‘alam

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 150-156

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 150-156 berbicara mengenai dakwah Nabi Saleh kepada kaumnya. Mereka menolak seruan Nabi Saleh meski bukti-bukti kebenarannya tidak dapat dibantah oleh kaumnya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 146-149


Ayat 150-152

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Nabi Saleh tetap melaksanakan tugasnya sebagai rasul Allah. Dia menyeru kaumnya untuk bertakwa kepada Allah, dan mengikuti agama yang disampaikannya.

Nabi Saleh juga mengajak mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang diridai Allah dan bermanfaat bagi hidup mereka di dunia dan di akhirat, yaitu menyembah Allah yang telah memberikan berbagai nikmat itu kepada mereka. Nabi Saleh mengingatkan agar mereka tidak lagi menaati para pemimpin mereka yang selalu mengerjakan kejahatan, kemaksiatan, dan kerusakan di bumi ini.

Ayat 153

Semua yang dikemukakan Nabi Saleh kepada kaumnya, berupa bukti-bukti kebenaran dakwah, tidak dapat mereka bantah. Bahkan hati mereka mengakui kebenaran yang disampaikan kepada mereka, tetapi jiwa mereka yang telah rusak yang menyebabkan mereka ingkar kepada seruan Nabi Saleh.

Oleh karena itu, mereka mengatakan kepada Nabi Saleh, “Hai Saleh, engkau mengemukakan sesuatu kepada kami yang bertujuan agar kami meninggalkan agama nenek moyang kami, dan mengikuti agama yang engkau bawa.

Cara-cara engkau menyampaikan agama itu sangat menarik dan memesona kami, seakan-akan engkau telah menyihir kami. Sebenarnya engkau telah gila dan terkena sihir, karena tuhan kami telah menimpakan penyakit gila kepadamu, maka tiada pantas lagi kami mendengar perkataanmu dan menerima ajakanmu.”


Baca juga: Tafsir Ahkam: Ini Perbedaan Wudhu dan Tayamum yang Wajib Diketahui


Ayat 154-156

Kaum Samud tetap tidak percaya pada kerasulan Nabi Saleh karena menurut mereka, dia adalah manusia biasa seperti mereka juga. Seharusnya rasul yang diutus Allah itu bukan manusia biasa, tetapi malaikat atau makhluk yang berbeda dengan mereka.

Utusan harus sanggup melakukan sesuatu yang ajaib dan aneh, di mana manusia tidak sanggup melaksanakannya.Oleh karena itu, mereka meminta Nabi Saleh untuk mendatangkan mukjizat sebagai bukti kerasulannya, atau yang menunjukkan bahwa dia adalah benar-benar nabi yang diutus Allah kepada mereka.

Allah memenuhi keinginan mereka dengan mendatangkan seekor unta betina sebagai mukjizat bagi Nabi Saleh. Mereka dilarang mengganggu unta tersebut, dan membiarkannya makan dan minum sesukanya. Nabi Saleh mengancam mereka dengan mengatakan bahwa mereka akan segera diazab Allah jika mengganggu unta itu.

Aspek-aspek kemukjizatan unta itu menurut para mufasir ialah:

  1. Unta itu keluar dari batu, sedangkan unta-unta yang lain tidak demikian.
  2. Sumber-sumber air minum penduduk dibagi dua antara unta dan penduduk negeri itu. Pada hari unta itu minum, penduduk tidak boleh mengambil air. Untuk memenuhi keperluan air minum, mereka diper-bolehkan memerah susu unta itu. Pada waktu giliran penduduk mengambil air, maka unta tidak datang untuk minum air ke tempat itu.
  3. Pada hari unta itu minum, binatang-binatang lain tidak datang ke tempat itu.;Sifat luar biasa dari unta itu merupakan bukti yang nyata bagi kerasulan Saleh. Mereka akan dibinasakan oleh Allah, jika melanggar perintah-Nya tentang unta itu.

Larangan Nabi Saleh agar mereka tidak menyentuh dan mengganggu unta itu tidak mereka hiraukan, bahkan mereka ingin membuktikan kebenaran ucapan Nabi Saleh. Oleh sebab itu, mereka ingin membunuhnya dan menantang apa yang telah diancamkan kepada mereka. Nabi Saleh mengatakan bahwa mereka akan dibinasakan oleh Allah setelah berlalu tiga hari karena perbuatan membunuh unta itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 157-159


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 146-149

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 146-149 berbicara mengenai peringatan Nabi Saleh kepada kaumnya agar selelau bersyukur atas nikmat yang telah dianugerahkan kepada mereka.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 140-145


Ayat 146-149

Nabi Saleh mengingatkan mereka akan nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada mereka, yaitu:

  1. Mereka hidup dengan aman di negeri mereka, bebas dari gangguan musuh, dan memperoleh kebahagiaan serta ketenteraman hidup.
  2. Mereka mempunyai tanah pertanian yang subur, binatang ternak yang banyak, dan memiliki sumber air yang dapat dimanfaatkan untuk membuat kanal-kanal irigasi yang teratur. Mereka hidup sebagai petani, penggembala, saudagar, dan penggali logam dari dalam tanah. Oleh karena itu, negeri mereka menjadi indah, dipenuhi tanaman yang menyenangkan mata orang yang memandangnya. Bahkan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa negeri merekalah sebenarnya surga yang dijanjikan Allah.
  3. Mereka diberi kemampuan memahat gunung batu untuk dijadikan tempat tinggal.

Itulah berbagai nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada kaum Samud. Mereka seharusnya mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah itu, tetapi semakin hari mereka semakin sombong. Mereka merasa bahwa kebahagiaan dan kenikmatan itu hanya karena usaha mereka sendiri, bukan karena nikmat Allah. Oleh karena itu, mereka tidak percaya akan adanya hari Kiamat. Hidup yang sebenarnya menurut mereka adalah hidup di dunia ini dan mereka menginginkan agar kekal di dunia.


Baca juga: Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya


Kaum Samud tidak lagi memikirkan bagaimana nasib mereka nanti, seandainya pada suatu waktu, Allah secara tiba-tiba mencabut semua kebahagiaan dan kemakmuran mereka dan menukarnya dengan malapetaka yang dahsyat. Semua itu bisa dilakukan Allah karena keingkaran dan kesombongan mereka sendiri.

Ayat ini mengandung makna bagaimana dengan bekal akal yang kuat maka manusia dapat memahat batu gunung untuk dijadikan tempat tinggal sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Samud. Pada saat ini, teknologi alat-alat pemahat sudah berkembang dan dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhan mereka, antara lain untuk memotong dan membelah batu gunung yang keras. Peralatan-peralatan tersebut sepenuhnya digerakkan oleh tenaga mesin atau robot.

Bahkan manusia telah mampu menciptakan teknologi pemahatan super-canggih di mana objek dipotong atau dibelah dengan sinar laser. Hasilnya sangat halus dan tepat. Dengan alat mutakhir ini, batuan granit yang sangat keras pun menjadi mudah dibelah atau dipotong. Itulah hasil pikiran manusia.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 159-156


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 140-145

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 140-145 berbicara mengenai Nabi Saleh yang diutus kepada kaum Samud. Di sini dijelaskan pulan mengenai keterkaitan antara kaum ‘Ad dan kaum Samud yang merupakan satu nenek moyang.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 139


Ayat 140

Allah menjelaskan dalam ayat ini bahwa Tuhan Muhammad adalah Tuhan Yang Mahakuasa dalam mengambil pembalasan dari orang-orang yang durhaka, dan rahmat-Nya dilimpahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.

Ayat 141

Ayat ini menerangkan bahwa kaum Samud telah mendustakan rasul yang diutus kepada mereka, yaitu Nabi Saleh (al-A’raf/7: 73-79).

Nabi Saleh termasuk salah seorang keturunan dari seorang yang bernama Tsamud. Dengan perkataan lain bahwa Nabi Saleh dengan kaum Samud sama-sama berasal dari keturunan Tsamud. Menurut suatu riwayat, Tsamud adalah anak kandung ‘Ad, sedang menurut riwayat yang lain, Tsamud adalah saudara sepupu dari ‘Ad.

Sekalipun ada perbedaan demikian, namun dapat ditetapkan bahwa antara kaum Samud dengan kaum ‘’Ad masih mempunyai hubungan yang dekat. Tsamud adalah putra dari Aus bin Aram bin Sam bin Nuh.

Kaum Samud bertempat tinggal di kota Hijr (Mada’in Salih) sampai ke Wadil Qura, yaitu tempat yang terletak antara Hejaz dan Syam, di sebelah tenggara negeri Madyan.

Peninggalan mereka sampai sekarang masih terdapat di daerah ini, yang pada umumnya dapat menunjukkan bagaimana kekuasaan mereka dahulu dan betapa kemakmuran yang telah mereka capai.

Periode kehidupan mereka setelah periode kaum ’Ad dan pengutusan Nabi Saleh kepada kaum Samud ini adalah sebelum pengutusan Nabi Ibrahim kepada bangsa Babilonia (lihat kosakata Samud dalam Tafsir ini).


Baca juga: Pentingnya Mengetahui Ilmu Asbab an-Nuzul dalam Memahami Al-Quran


Ayat 142-154

Nabi Saleh menyeru kaum Samud untuk kembali pada agama tauhid dan bertakwa kepada Allah. Semula mereka beriman kepada Allah, kemudian menjadi kafir dan menyembah berhala yang mereka persekutukan dengan-Nya.

Untuk mengembalikan mereka kepada agama tauhid, Allah mengutus Nabi Saleh kepada mereka. Nabi Saleh menyeru kaumnya agar bertakwa kepada Allah, mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya, serta mengakui bahwa Nabi Saleh adalah rasul yang diutus Allah kepada mereka.

Dalam Surah Hµd diterangkan bahwa Nabi Saleh menyeru kaumnya agar beriman pada agama tauhid.

Pokok dakwahnya ialah menyembah Allah dalam arti bahwa hanya Allah yang harus disembah, bukan patung-patung yang mereka buat. Untuk menguatkan dakwahnya, Nabi Saleh menyampaikan alasan bahwa tidak ada tuhan selain Allah yang menciptakan mereka, memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan, dan menjadikan mereka para saudagar, gembala, pengusaha, dan pemakmur bumi, sebagaimana firman Allah:

وَاِلٰى ثَمُوْدَ اَخَاهُمْ صٰلِحًا ۘ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗ ۗهُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا فَاسْتَغْفِرُوْهُ ثُمَّ تُوْبُوْٓا اِلَيْهِ ۗاِنَّ رَبِّيْ قَرِيْبٌ مُّجِيْبٌ

Dan kepada kaum Samud (Kami utus) saudara mereka, Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan memperkenankan (doa hamba-Nya)”.  (Hµd/11: 61)

Nabi Saleh menjelaskan alasannya, yaitu bahwa Allah telah menciptakan mereka dari bumi yaitu dari tanah. Ini adalah suatu hal yang nyata bagi mereka, tidak dapat mereka ingkari. Nabi Saleh juga mengatakan bawah Allah telah menjadikan mereka pemakmur bumi. Ini merupakan kenyataan juga bagi mereka.

Mereka memang telah memakmurkan bumi dengan memanfaatkan sumber-sumber air, membangun irigasi yang berfungsi mengatur distribusi air, sampai tanah mereka menjadi subur, tanaman mereka tumbuh dan berbuah, dan ternak mereka hidup dengan baik.

Mereka juga telah mengeluarkan logam dari dalam tanah yang bermanfaat bagi perusahaan dan perniagaan. Dengan demikian, mereka telah mengolah dan memakmurkan bumi, dan inilah suatu hal nyata yang mereka jalani setiap hari.

Nabi Saleh menerangkan bahwa dia tidak akan meminta upah sedikit pun kepada mereka. Dia hanya mengharapkan upah dari Allah yang mengutusnya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 146-149


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 139

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 139 berbicara mengenai kedurhakaan kaum ‘Ad. Mereka tetap tidak mengindahkan seruan Nabi Hud as. di disebutkan pulan perbedaan antara kaum ‘Ad yang pertama dan yang kedua.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 130-138


Ayat 139

Ayat ini menerangkan bahwa kaum ‘Ad tetap durhaka dan tidak mengindahkan seruan Nabi Hud.

Dalam firman-Nya yang lain, Nabi Hud mengancam kaumnya dengan mengatakan bahwa jika mereka tetap ingkar, mereka akan dihancurkan oleh Allah dan menggantinya dengan kaum yang lain, yang akan berkuasa dan menjadi cikal-bakal bagi generasi-generasi mendatang.

Sedangkan mereka tidak akan dapat mendatangkan kemudaratan sedikit pun kepada Allah. Allah berfirman:

فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقَدْ اَبْلَغْتُكُمْ مَّآ اُرْسِلْتُ بِهٖٓ اِلَيْكُمْ ۗوَيَسْتَخْلِفُ رَبِّيْ قَوْمًا غَيْرَكُمْۗ وَلَا تَضُرُّوْنَهٗ شَيْـًٔا ۗاِنَّ رَبِّيْ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَفِيْظٌ

Maka jika kamu berpaling, maka sungguh, aku telah menyampaikan kepadamu apa yang menjadi tugasku sebagai rasul kepadamu. Dan Tuhanku akan mengganti kamu dengan kaum yang lain, sedang kamu tidak dapat mendatangkan mudarat kepada-Nya sedikit pun. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pemelihara segala sesuatu.”  (Hµd/11: 57)

;Di antara kaum ‘Ad ini ada yang beriman kepada Nabi Hud, tetapi sebagian besar dari mereka tetap ingkar. Kaum ‘²d yang tidak beriman ini dimusnahkan Allah dengan mendatangkan angin yang sangat dingin, hingga mereka mati bergelimpangan, kota-kota dan negeri mereka roboh dan terpendam dalam tanah, sebagaimana firman Allah:

وَاَمَّا عَادٌ فَاُهْلِكُوْا بِرِيْحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍۙ  ٦  سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَّثَمٰنِيَةَ اَيَّامٍۙ حُسُوْمًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيْهَا صَرْعٰىۙ  كَاَنَّهُمْ اَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍۚ  ٧  فَهَلْ تَرٰى لَهُمْ مِّنْۢ بَاقِيَةٍ   ٨

Sedangkan kaum ‘Ad, mereka telah dibinasakan dengan angin topan yang sangat dingin, Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus, maka kamu melihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk). Maka adakah kamu melihat seorang pun yang masih tersisa di antara mereka?  (Al-Haqqah/69: 6-8)

Kaum yang tidak beriman dan dibinasakan Allah itu disebut ‘Ād al-Ula (‘Ad yang pertama). Adapun orang-orang yang beriman dan diselamatkan Allah bersama-sama dengan Nabi Hud disebut ‘Ad al-Tsaniyah (‘Ad yang kedua).


Baca juga: Kunci Pertama Menggapai Kebahagiaan: Beriman Kepada Allah Swt


Di antara mereka yang beriman ini ada yang pindah bersama Nabi Hud ke sebelah selatan, yakni Hadramaut. Sampai sekarang di daerah itu masih ada kota yang bernama Madinah Qabri Hµd, yang terletak sebelah timur kota Tariem, salah satu kota terbesar di Hadramaut.

Di Madinah Qabri Hµd ini terdapat sebuah kuburan yang bernama Qabri Hµd, yang diabadikan sampai sekarang, untuk menjadi bukti atas kebenaran kisah Hud yang tersebut di dalam Al-Qur’an.

Sekalipun negeri kaum ‘Ad terpendam di dalam tanah akibat azab Allah, namun masih ada tanda-tanda bahwa tempat itu pernah didiami manusia yang berkebudayaan tinggi. Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menyuruh orang mengadakan perjalanan di muka bumi untuk memperhatikan bekas-bekas pemukiman penduduk yang telah dibinasakan oleh Allah, di antaranya kaum Hud, untuk dijadikan sebagai pelajaran.

Pada abad ke-20 datang ke sana ekspedisi yang dipimpin oleh sarjana-sarjana Barat, di antaranya yang dipimpin oleh H. St. John Philby, yang dapat mengadakan ekspedisi ke ar-Rub’ al-Khali atas izin Raja Arab Saudi, Abdul Aziz Alu Su’ud.

Dia menulis sebuah buku yang berjudul The Heart of Arabia. Seorang sarjana Belanda, Van der Mulen, juga pernah memimpin ekspedisi ke sekitar ar-Rab’ al-Khali, dan menulis sebuah buku berjudul Hadramaut.

Kisah Nabi Hud dan kaumnya hanya disebut dalam Al-Qur’an, tidak terdapat pada kitab-kitab Samawi yang lain. Pada kisah kaum Hud itu terdapat pelajaran bagi kaum Muslimin, karena mereka yang dibinasakan itu adalah mereka yang tidak beriman.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 140-145


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 130-138

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 130-138 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai prilaku kaum ‘Ad yang kasar dan kejam. Kedua nasehat Nabi Hud as yang ditolak mentah-mentah oleh kaum ‘Ad.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 128-129


Ayat 130

Ayat ini menerangkan perilaku kaum ‘Ad yang kasar dan kejam. Apabila menyiksa musuh, mereka melakukannya dengan kejam tanpa rasa belas kasihan sedikit pun. Mereka dianugerahi tubuh yang kuat, tinggi, dan perkasa. Watak mereka sesuai pula dengan tubuh yang perkasa itu.

Dengan kekuatan yang ada, mereka menyerang negeri-negeri lain hingga sampai ke negeri Syam dan Irak. Dalam peperangan, mereka menindak dan memperlakukan musuh-musuh secara kejam.

Ayat 131-132

Melihat sikap yang demikian itu, Nabi Hud mengingatkan mereka agar bertakwa dan menghambakan diri kepada Allah. Nabi Hud mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan Allah kepada mereka. Oleh karena itu, hendaklah mereka mensyukuri nikmat itu agar Allah menambahnya dengan nikmat yang lebih banyak lagi dan lebih tinggi nilainya.

Ayat 133-134

Di antara nikmat yang dianugerahkan Allah kepada kaum ‘Ad ialah binatang-binatang ternak yang dapat mereka manfaatkan, dan anak keturunan yang dapat menyambung generasi dan penerus cita-cita mereka.

Mereka juga dianugerahi kebun-kebun yang indah, yang ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan yang amat berguna bagi mereka. Demikian pula air yang dapat mengairi bumi sebagai hasil irigasi yang telah mereka buat semuanya dengan pertolongan Allah.


Baca juga: Belajar Menjadi Pendidik Profesional Melalui Kisah Dakwah Nabi Yunus


Ayat 135

Nabi Hud menyampaikan kepada mereka bahwa semua yang diperoleh itu merupakan nikmat dari Allah. Ia khawatir nikmat-nikmat yang tak terhingga yang mereka peroleh itu akan dicabut atau dihentikan, sebagai azab dari Allah atas keingkaran dan kesombongan mereka. Apakah mereka tidak takut terjadi yang demikian?

Menurut sunah Allah, Dia akan menambah nikmat kepada orang yang mensyukuri nikmat-Nya dan akan mengazab orang yang mengingkarinya.

Ayat 136

Ayat ini menerangkan bahwa kaum ‘Ad tetap tidak mengindahkan seruan Nabi Hud, bahkan mereka berkata, “Menurut pendapat kami sama saja engkau berikan peringatan atau tidak, kami tetap pada pendirian kami. Kami tidak mau lagi mendengar kata-katamu, dan tidak akan mundur sedikit pun dari pendirian kami.”

Ayat 137-138

Selanjutnya mereka mengatakan bahwa agama yang mereka anut adalah agama nenek moyang yang telah diwariskan kepada mereka. Mereka yakin tidak akan diazab karena mengikuti agama nenek moyang itu.

Pada ayat yang lain diterangkan bahwa Hud menantang kaumnya yang semakin ingkar itu dengan menyeru mereka agar melakukan usaha untuk membunuhnya dilakukan bersama-sama.

Hud juga menyuruh mereka untuk mengikutkan dewa-dewa yang mereka sembah, seandainya mereka benar-benar percaya akan kemampuan dewa-dewa itu melakukan sesuatu yang mereka inginkan. Seakan-akan Hud berkata kepada mereka, “Bersatulah kamu sekalian dengan dewa-dewa yang kamu sembah itu untuk membunuhku, dan laksanakanlah pembunuhan itu sekarang juga, jangan ditangguhkan lagi.

Aku tidak takut sedikit pun dibunuh karena aku bertawakal kepada Allah, Tuhanku dan Tuhanmu yang sebenarnya. Makhluk apa pun yang ada di bumi ini selalu dijaga, dipelihara, dan dikuasai oleh Allah dan perkataan-Nya selalu benar dan lurus.”

Tantangan yang dikemukakan Hud kepada kaumnya adalah bukti bahwa dia seorang rasul yang diutus Allah. Andaikata ia bukan seorang rasul, dia tidak akan berani melakukan tantangan yang demikian terhadap kaumnya yang lebih kuat tubuhnya dan lebih kejam sifatnya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 139


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 128-129

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 128-129 berbicara mengenai terguran Nabu Hud kepada kaum ‘Ad dalam membuat bangunan yang megah-megah. Mereka ingin hidup abadi, padahal hanya Allah SWT yang Maha Kekal.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 125-127


Ayat 128

Hud mempertanyakan kebiasaan kaumnya mendirikan bangunan di puncak-puncak bukit atau di tiap jalan semata-mata untuk memperlihatkan kehebatan, kemegahan, dan kekayaan. Kenapa mereka tidak membangunnya berdasarkan kemanfaatan dan tujuan positif lainnya.

Kaum ‘Ad memang telah memiliki peradaban yang tinggi menurut ukuran zamannya. Mereka telah sanggup mendirikan negara yang kuat, daerah-daerah dan kota-kota yang teratur, beserta bangunan-bangunannya yang megah. Pembangunan itu bukanlah untuk tujuan yang baik, tetapi semata-mata untuk memperlihatkan kekayaan mereka.

Belum ada ahli sejarah yang dapat memastikan masa kejayaan kerajaan kaum ‘Ad itu. Ada yang memperkirakan kerajaan kaum ‘Ad semasa dengan kerajaan Babilonia, yaitu kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi. Akan tetapi, hal ini tidak sesuai dengan kenyataan karena Nabi Hud diutus kepada kaum ‘Ad sebelum Nabi Ibrahim diutus ke Babilonia, yaitu pada zaman Nebukadnezar.


Baca juga: Tafsir Surah Hud Ayat 27: Konflik Sosial di Balik Pendustaan Dakwah Nabi Nuh


Ayat 129

Ayat ini menerangkan peringatan Hud kepada kaumnya yang membangun istana dan benteng-benteng yang kukuh dengan maksud ingin hidup abadi di dunia, padahal sesungguhnya hanya Allah Yang Mahakuasa.

Sejarah membuktikan bahwa ‘Ad telah mampu membangun perusahaan-perusahaan, menggali logam dalam bumi, dan membuat kanal-kanal untuk irigasi yang teratur. Dengan adanya irigasi yang teratur itu, bumi mereka menjadi subur sehingga kemakmuran mereka semakin meningkat.

Mereka mendirikan kota Iram dengan tiang yang tinggi dan megah sebagai ibu kota kerajaan mereka. Pendirinya bernama Syaddad bin ‘Ad, salah seorang raja mereka. Di sekeliling kota ini, mereka dirikan benteng-benteng yang kuat untuk mempertahankannya dari serangan musuh.

Kemakmuran dan kekuatan yang mereka miliki itu membuat mereka menjadi sombong dan takabur. Mereka mengira bahwa keadaan mereka yang demikian itu akan kekal selama-lamanya. Mereka membangkang kepada Allah dengan menyembah berhala dan berbuat semena-mena. Allah berfirman:

;فَاَمَّا عَادٌ فَاسْتَكْبَرُوْا فِى الْاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَقَالُوْا مَنْ اَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً ۗ اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّ اللّٰهَ الَّذِيْ خَلَقَهُمْ هُوَ اَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً ۗ وَكَانُوْا بِاٰيٰتِنَا يَجْحَدُوْنَ

Maka adapun kaum ‘Ad, mereka menyombongkan diri di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran dan mereka berkata, “Siapakah yang lebih hebat kekuatannya dari kami?” Tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan mereka. Dia lebih hebat kekuatan-Nya dari mereka? Dan mereka telah mengingkari tanda-tanda (kebesaran) Kami.  (Fussilat/41: 15).


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 130-138


(Tafsir Kemenag)

Memetik Replika Kehidupan dari Film Viral Squid Game

0
Squid Game
Squid Game

Baru-baru ini Netflix merilis sebuah film yang berasal dari Korea. Drama tersebut berjudul “Squid Game” yang rilis sejak tanggal 17 September 2021 lalu. Drama ini digarap sutradara Hwang Dong Hyuk dan mendapat rating sebesar 90 persen di laman Asian Wiki dengan total vote dari 1.238 pengguna. Sementara pada laman IMDb, drama ini mendapat rating 8,3 dari 10 berdasarkan 234 ulasan (Tirto.id).

Drama yang menceritakan tentang sebuah permainan mematikan ini cukup menarik banyak penonton dan bahkan viral di media sosial seperti Tik-Tok. Alur cerita dalam Squid Game mengisahkan tentang orang-orang yang mengikuti permainan dengan hadiah yang cukup besar. Namun untuk mendapat hadiah besar itu, mereka harus rela mempertaruhkan nyawanya sendiri ketika salah langkah dalam bermain.

Aturan dalam permainan menjelaskan bahwa pemain hanya boleh bergerak ketika boneka raksasa mengatakan lampu hijau dan berhenti ketika dikatakan lampu merah. Ketika tidak mengikuti aturan main, mereka akan tertembak dan mati. Setiap yang bermain penuh dengan ambisi besar untuk menjadi satu-satunya pemenang tanpa memperdulikan teman, kerabat atau yang lainnya.

Jika diamati, drama ini hanya sebuah halusinasi dan tidak ada di kehidupan nyata. Namun sebenarnya drama ini menggambarkan realita kehidupan yang sejatinya ada di sekitar kita. Ada banyak orang yang berambisi dengan kekayaan, ketenaran, dan berbagai kenikmatan dunia lainnya tanpa memandang orang-orang di sekitar demi memuaskan egonya sendiri.

Baca Juga: Al-Qur’an dalam Menjaga Harmonisasi dan Toleransi Antar Umat Beragama

Melihat fenomena demikian, al-Qur’an mengingatkan tentang upaya syaitan dalam menakut-nakuti manusia akan kemiskinan sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah [2]: 268 sebagai berikut.

ٱلشَّيۡطَٰنُ يَعِدُكُمُ ٱلۡفَقۡرَ وَيَأۡمُرُكُم بِٱلۡفَحۡشَآءِۖ وَٱللَّهُ يَعِدُكُم مَّغۡفِرَةٗ مِّنۡهُ وَفَضۡلٗاۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ

“Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 268)

Tafsir QS. Al-Baqarah [2]: 268 tentang Hasutan Syaitan Kepada Manusia

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini berisi tentang permberitahuan Allah tentang syaitan yang menakut-nakuti manusia dengan kemiskinan, sehingga mereka akan mempertahankan harta yang dimiliki dan enggan menginfakkannya untuk mencari keridhaan Allah Swt. Syaitan juga membujuk manusia untuk berbuat maksiat, dosa, melanggar berbagai larangan, dan menyalahi aturan Allah Swt.

Senada dengan hal di atas, al-Qurthubi dalam tafsirnya juga menjelaskan bahwa syaitan menakut-nakuti manusia dengan kemiskinan sehingga tidak mau bersedekah atau membantu sesamnya. Sebab dengan tidak bersedekah itu, manusia telah bermaksiat dan kemudian saling memutuskan hubungan di antara sesamanya.

Sementara Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menambahkan penjelasan bahwa di dalam ayat ini at-Takhwiif (menakut-nakuti) diungkapkan dengan kata al-Wa’du, sebagai bentuk al-Mubaalaghah (melebih-lebihkan) di dalam memberikan keyakinan bahwa apa yang setan kabarkan itu seolah-olah benar-benar akan terjadi. Seolah-olah terjadinya sesuatu yang dikabarkan itu berdasarkan kehendaknya.

Karena telah diketahui bahwa al-Wa’du (janji) adalah pengabaran tentang sesuatu yang akan terjadi dari arah orang yang memberi kabar. Di sini setan tidak berkata, “innii saufaqqirukum” (saya akan menjadikan kalian miskin). Namun bagi orang-orang yang lemah imannya akan mudah terbujuk dan mengikuti rayuan syaitan tersebut.

Hidup Dianggap Sebagai Persaingan

Berdasarkan penafsiran QS. Al-Baqarah [2]: 268 di atas terlihat bahwa ada manusia-manusia yang dapat dipengaruhi oleh syaitan. Syaitan menggoyahkan keyakinan orang-orang beriman akan kemiskinan yang tidak banyak diinginkan oleh manusia. Sehingga menjadi senjata ampuh yang dapat dijadikan hasutan dalam meluluh lantahkan keteguhan hati.

Syaitan dapat menjadikan seseorang enggan bersedekah atau membantu sesamanya karena takut harta atau bantuannya tersebut dapat membuatnya rugi atau hartanya akan berkurang. Padahal, rasa takut tersebut hanyalah rayuan syaitan dan bukan syaitan pula yang akan menjadikan manusia miskin.

Namun asumsi-asumsi itu akan terus melekat di benak setiap orang yang terlalu dibutakan oleh dunia. Mereka akan menganggap setiap orang yang dapat mengurangi hartanya adalah saingan termasuk orang-orang miskin yang memerlukan santunan. Sehingga mereka tidak peduli dengan keadaan saudara-saudaranya yang tertimpa musibah dan kesusahan.

Sebab ketakutan yang telah merasuki bahwa jika mereka menyisihkan hartanya akan berdampak pada kemelaratan belaka. Pada akhirnya, hidup orang-orang seperti layaknya seperti mengikuti sebuah permainan yang menjanjikan hadiah besar hingga melupakan segalanya dan hanya memedulikan kepuasan hawa nafsunya akan nikmat dunia.

Penutup

Drama Squid Game yang kini viral tidak hanya menyajikan tontonan imajinasi belaka. Namun film ini dapat merepresentasikan keadaan sebagian sifat manusia yang terlalu berambisi dengan kenikmatan dunia hingga menjadikannya sebagai orientasi hidup yang utama.

Baca Juga: Tafsir Maqashidi dan Makna Dharaba dalam Surah An-Nisa’ Ayat 34

Ada banyak orang yang merelakan hidup bahkan agamanya demi mengejar dunia. Saudara, tetangga, dan masyarakat sekitarnya dapat menjadi saingan dan musuh yang mengancam ketika dihadapkan pada kebutaan harta.

Maka semestinya setiap manusia yang beriman menjadikan dunia hanya sekedar jembatan untuk mendapat kenikmatan akhirat yang tiada tara. Menjadikan hidup sebagai ladang untuk pengabdian kepada Allah Swt. dan senantiasa menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Sebab setiap keadaan dalam hidup termasuk kesuksesan ataupun kemiskinan adalah Allah yang tentukan. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Ghafir Ayat 10-11

0
Tafsir Surah Ghafir
Tafsir Surah Ghafir

Tafsir Surah Ghafir Ayat 10-11 secara umum  menerangkan bagaimana kondisi orang-orang kafir di akhirat. Bahwa, mereka pasti akan menerima azab dari Allah Swt. yang teramat pedih, dan tiada henti merintih kesakitan. Disaat itu pula mereka menyadari kesalahan sewaktu di dunia, menyesal akan sikap buruk kepada para Rasul, mengingkari kebenaran, bahkan sampai membunuh beberapa utusan tersebut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah GhafirAyat 6-9


Ayat 10

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa di akhirat orang-orang kafir yang sedang berada di dalam neraka merasakan azab yang amat pedih, saling membenci dan melaknat antara satu dengan yang lain.

Bahkan mereka membenci diri mereka sendiri karena perbuatan yang telah dilakukannya di dunia yang menyebabkannya masuk neraka.

Namun, malaikat berkata kepada mereka, “Sesungguhnya kebencian Allah pada saat kalian menolak seruan para nabi lebih besar dibandingkan dengan kebencianmu terhadap dirimu sendiri ketika menghadapi siksa neraka.” Firman Allah:

اَلْاَخِلَّاۤءُ يَوْمَىِٕذٍۢ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ اِلَّا الْمُتَّقِيْنَ ۗ

Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa. (az-Zukhruf/43: 67).

Dan firman-Nya:

ثُمَّ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ يَكْفُرُ بَعْضُكُمْ بِبَعْضٍ وَّيَلْعَنُ بَعْضُكُمْ بَعْضًا

…Kemudian pada hari Kiamat sebagian kamu akan saling mengingkari dan saling mengutuk… (al-‘Ankabut/29: 25)


Baca Juga : Tafsir Surah Yasin Ayat 48-50: Hari Kiamat Datang dengan Tiba-Tiba


Ayat 11

Setelah mendengar seruan malaikat dan tidak tahan lagi merasakan azab yang amat pedih, orang-orang kafir berkata;

“Wahai Tuhan, Engkau telah mematikan kami dua kali dan menghidupkan kami dua kali. Engkau menjadikan kami dalam keadaan mati lalu menghidupkan kami dengan meniupkan roh ke dalam rahim ibu kami, kemudian mematikan kami di dunia setelah ajal kami berakhir, dan di akhirat nanti kami dihidupkan kembali dengan mengembalikan roh kami untuk dibangkitkan.”

Firman Allah:

كَيْفَ تَكْفُرُوْنَ بِاللّٰهِ وَكُنْتُمْ اَمْوَاتًا فَاَحْيَاكُمْۚ  ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْ

Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. (al-Baqarah/2: 28).

Manusia mati ketika masih janin dan berada dalam tubuh orang tuanya. Kemudian dihidupkan ketika lahir ke dunia, lalu kematian berikutnya sudah merupakan suatu keharusan.

Setelah itu dihidupkan pada hari Kebangkitan (hari Kiamat). Mereka mengalami dua kali hidup dan dua kali mati.

Setelah menyaksikan kekuasaan Allah mematikan dan menghidupkan mereka berulang kali, orang-orang kafir menjadi sadar.

Mereka mengakui kesalahan-kesalahan di dunia ketika mengingkari hari Kebangkitan dan mengerjakan dosa-dosa yang tak terhitung banyaknya, untuk menebus kesalahan-kesalahan mereka itu.

Mereka meminta supaya dikeluarkan dari neraka dan dikembalikan ke dunia untuk beramal saleh dan tidak akan mengerjakan kesalahan dan dosa lagi. Permintaan seperti ini disebutkan juga pada ayat yang lain sebagaimana firman Allah:

وَلَوْ تَرٰىٓ اِذِ الْمُجْرِمُوْنَ نَاكِسُوْا رُءُوْسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۗ رَبَّنَآ اَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا اِنَّا مُوْقِنُوْنَ

Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata), “Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), niscaya kami akan mengerjakan kebajikan. Sungguh, kami adalah orang-orang yang yakin.” (as-Sajdah/32: 12)

رَبَّنَآ اَخْرِجْنَا مِنْهَا فَاِنْ عُدْنَا فَاِنَّا ظٰلِمُوْنَ

Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami darinya (kembalikanlah kami ke dunia), jika kami masih juga kembali (kepada kekafiran), sungguh, kami adalah orang-orang yang zalim. (Gafirun/23: 107)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ghafir 12-14


Tafsir Surah Ghafir Ayat 25-26

0
Tafsir Surah Ghafir
Tafsir Surah Ghafir

Tafsir Surah Ghafir Ayat 25-26 mengisahkan perjuangan Nabi Musa dalam mendakwahkan ketauhidan Allah Swt. Perjuangan yang terhitung berat, sebab yang dihadapinya bukan hanya Fir’aun, namun juga kebengalan dari kaumnya sendiri, yaitu Bani Israil.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ghafir Ayat 21-24


Ayat 25

Nabi Musa menjelaskan kepada Fir’aun, Haman, dan Karun tentang Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa dan kewajiban manusia untuk beriman dan berbuat baik, serta tentang kerasulan-Nya. Akan tetapi, mereka marah sekali.

Mereka tidak mau menerima apa yang disampaikan Nabi Musa karena bertentangan dengan kepercayaan yang sudah ditanamkan kepada penduduk Mesir bahwa Tuhan itu adalah Fir’aun. Juga karena ajaran yang dibawa Nabi Musa bisa membahayakan kekuasaan dan kedudukan mereka.

Lalu mereka memerintahkan agar anak-anak laki-laki Bani Israil dibunuh dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka.

Perintah membunuh anak-anak laki-laki Bani Israil itu adalah perintah kedua. Perintah pertama dikeluarkan Fir’aun atas nasihat ahli-ahli nujumnya yang menakwil mimpinya bahwa dari kalangan Bani Israil akan lahir seorang anak laki-laki yang akan menggulingkannya dan meruntuhkan kerajaannya.

Maksud pembunuhan itu adalah untuk melemahkan Bani Israil, karena kaum laki-laki mereka akan habis, sedangkan kaum perempuan mereka akan dapat dikuasai. Juga bertujuan untuk memusnahkan etnis Bani Israil dari bumi Mesir karena mereka bisa mengalahkan penduduk asli Mesir sendiri. Akan tetapi, Allah mempunyai rencana lain.

Dengan rencana-Nya,  Allah justru membuat Musa yang masih bayi diasuh dan dibesarkan di istana Fir’aun sendiri sebagai anaknya. Setelah dewasa, Musa harus keluar dari Mesir karena jiwanya terancam akibat membunuh seorang Mesir.

Perintah kedua pembunuhan setiap bayi laki-laki Bani Israil ini dikeluarkan Fir‘aun setelah Nabi Musa kembali ke Mesir sebagai nabi yang diperintahkan Allah untuk menyadarkan Fir’aun dan mengajaknya untuk beriman.

Menurut Ibnu Katsir, tujuan Fir’aun hendak membunuh anak laki-laki Bani Israil itu adalah untuk menanamkan rasa tidak puas di kalangan para pengikut Nabi Musa sendiri terhadapnya.

Sebab dengan ancaman pembunuhan kedua kali itu, berarti Nabi Musa telah mengakibatkan dua kali kesulitan bagi mereka, pertama ketika Nabi Musa belum lahir dan kedua setelah beliau menjadi nabi yang menyeru Fir’aun.

Dalam pikiran Fir’aun, bila Bani Israil tidak puas kepadanya, maka Nabi Musa akan dikalahkan oleh bangsanya sendiri. Kemungkinan itu dikisahkan dalam Al-Qur’an:

قَالُوْٓا اُوْذِيْنَا مِنْ قَبْلِ اَنْ تَأْتِيَنَا وَمِنْۢ بَعْدِ مَا جِئْتَنَا ۗقَالَ عَسٰى رَبُّكُمْ اَنْ يُّهْلِكَ عَدُوَّكُمْ وَيَسْتَخْلِفَكُمْ فِى الْاَرْضِ فَيَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ

Mereka (kaum Musa) berkata,”Kami telah ditindas (oleh Fir’aun) sebelum engkau datang kepada kami dan setelah engkau datang.” (Musa) menjawab, “Mudah-mudahan Tuhanmu membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi; maka Dia akan melihat bagaimana perbuatanmu.” (al-A’raf/7: 129).


Baca Juga : Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 14-15: Tragedi Pembunuhan Juru Masak Fir’aun


Akan tetapi, maksud itu tidak tercapai. Rencana kedua kalinya untuk membunuhi anak-anak laki-laki Bani Israil gagal total, karena Allah menurunkan berbagai musibah sebagai azab-Nya, seperti datangnya topan dahsyat, munculnya serangan belalang, kutu, katak, dan air yang berubah menjadi darah (lihat al-A’raf/7: 133).

Maksud untuk menghalang-halangi manusia dari beriman kepada Nabi Musa dan ajaran yang disampaikannya juga tidak berhasil, karena kebenaran tidak mungkin ditampik dan kehendak Allah pasti terjadi sebagaimana difirmankan-Nya:

كَتَبَ اللّٰهُ لَاَغْلِبَنَّ اَنَا۠ وَرُسُلِيْۗ اِنَّ اللّٰهَ قَوِيٌّ عَزِيْزٌ

Allah telah menetapkan, “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang.” Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa. (al-Mujadalah/58: 21)

Ayat 26

Fir’aun tidak hanya bermaksud melemahkan Bani Israil dan melenyapkan etnisnya, tetapi juga hendak memusnahkan agama tauhid dengan membunuh Nabi Musa sendiri.

Ia menyatakan kepada pengikut-pengikutnya bahwa ia sendiri yang akan melaksanakan pembunuhan itu dan untuk itu ia meminta supaya tidak dihalang-halangi. Ia yakin sekali dapat segera membunuh Nabi Musa. Oleh karena itu, ia menantang Nabi Musa supaya meminta bantuan kepada Tuhannya.

Latar belakang rencana Fir’aun membunuh Nabi Musa itu adalah kekhawatirannya bahwa Nabi Musa akan menukar agama rakyat Mesir dengan agama tauhid yang diajarkannya. Atau, ia khawatir Nabi Musa akan mengubah kepercayaan, kebiasaan, dan adat istiadat rakyatnya dan akhirnya akan membuat rakyatnya terhasut untuk memberontak kepadanya sehingga ia akan kehilangan kekuasaannya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ghafir 27-29