Beranda blog Halaman 234

Tafsir Surah An-Nur Ayat 3-5

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 3-5 berbicara megenai dua hal. Pertama mengenai larangan menikahi orang-orang tuna susila kecuali mereka telah bertaubat. Kedua berbicara mengenai dosa melakukan tuduhan zina apabila tidak dapat membuktikan tuduhuannya itu.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 1-2


Ayat 3

Diriwayatkan oleh Mujāhid dan Atà bahwa pada umumnya orang-orang Muhajirin yang datang dari Mekah ke Medinah adalah orang-orang miskin yang tidak mempunyai harta dan keluarga, sedang pada waktu itu di Medinah banyak perempuan tuna susila yang menyewakan dirinya, sehingga penghidupannya lebih lumayan dibanding dengan orang-orang yang lain.

Di pintu rumah perempuan-perempuan tersebut, ada tanda-tanda untuk memperkenalkan dirinya sebagai wanita tuna susila. Maka berdatanganlah laki-laki hidung belang ke rumah mereka.

Melihat kondisi ekonomi perempuan tuna susila itu yang agak lumayan, maka timbullah keinginan sebagian dari orang-orang Muslim yang miskin itu untuk mengawini perempun-perempuan tersebut, supaya penghidupan mereka lumayan, maka turunlah ayat ini sebagai teguran untuk tidak melaksanakan keinginannya itu.

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa laki-laki pezina tidak boleh menikahi perempuan kecuali perempuan pezina atau perempuan musyrik. Begitu juga perempuan pezina itu tidak boleh dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina pula atau laki-laki musyrik.

Artinya tidak pantas sama sekali seorang laki-laki baik-baik, mengawini perempuan pezina yang akan mencemarkan dan merusak nama baiknya.

Sebaliknya, seorang perempuan baik-baik, tidak pantas dinikahi oleh laki-laki pezina yang dikenal oleh lingkungannya sebagai laki-laki yang bejat dan tidak bermoral, karena pernikahan itu akan merendahkan martabat perempuan tersebut dan mencemarkan nama baik keluarganya.

Kecuali bila laki-laki atau perempuan pezina itu sudah bertobat, maka boleh menikah atau dinikahi oleh laki-laki atau perempuan baik-baik.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukuman Zina dan Alasan Perempuan Disebutkan Lebih Dulu


Ayat 4

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang menuduh perempuan yang baik-baik (muhsanāt) berzina, kemudian mereka itu tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhan mereka, dengan mendatangkan empat orang saksi yang adil yang menyaksikan dan melihat sendiri dengan mata kepala mereka perbuatan zina itu, maka hukuman untuk mereka ialah didera delapan puluh kali, karena mereka itu telah membuat malu dan merusak nama baik orang yang dituduh, begitu juga keluarganya.

Yang dimaksud dengan perempuan muhsanat di sini ialah perempuan-perempuan muslimat yang baik sesudah akil balig dan merdeka. Penuduh-penuduh itu tidak dapat dipercayai ucapannya dan tidak dapat diterima kesaksiannya dalam hal apapun selamanya, karena mereka itu pembohong dan fasik, yaitu sengaja melanggar hukum-hukum Allah.

Disebutkan secara jelas perempuan di sini tidaklah berarti bahwa ketentuan itu hanya berlaku bagi perempuan. Bentuk hukuman seperti itu disebut aglabiyah, yaitu bahwa ketentuan itu menurut kebiasaan mencakup pihak-pihak lain. Dengan demikian laki-laki juga termasuk yang dikenai hukum tersebut.

Ayat 5

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang yang menuduh itu apabila tobat, yaitu menarik kembali tuduhan mereka, menyesali perbuatan mereka, memperbaiki diri dan memulihkan nama baik yang dituduh, maka mereka itu kesaksian mereka dapat diterima kembali.

Sebagian mufassirin berpendapat bahwa kesaksian mereka tetap tidak dapat diterima selamanya walaupun mereka sudah bertobat, namun tidak lagi digolongkan sebagai orang-orang fasik. Allah Maha Pengampun dan Maha Pengasih bagi mereka yang benar-benar tobat (taubat na¡µ¥a), yaitu menyesal dan meninggalkan perbuatan jahat mereka selamanya, serta memperbaiki diri dari kerusakan yang mereka timbulkan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 6-9


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah An-Nur Ayat 1-2

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 1-2 berbicara mengenai dosa zina dan menuduh zina. Zina merupakan salah satu dosa besar dalam Islam. pelaku zina akan mendapatkan hukukman berlipat yakni ketika di dunia dan ketika di akhirat.


Baca sebelumnya: 


Ayat 1

Allah menjelaskan bahwa surah ini mengandung dua hal. Pertama, hukum-hukum yang wajib dipatuhi seperti yang akan disampaikan dalam ayat-ayat berikutnya mengenai zina, menuduh perempuan berzina, dan sebagainya.

Hukum-hukum itu, bila dipikirkan oleh manusia dengan pikiran yang obyektif, pasti akan diakui bahwa ketentuan-ketentuan itu benar dan berasal dari Allah bukan buatan manusia. Semua itu diturunkan untuk ditaati dan dijalankan dalam kehidupan. Kedua, bukti-bukti nyata yang menunjuk-kan kekuasaan dan keesaan Allah di dunia ini.

Ayat 2

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang Islam yang berzina baik perempuan maupun laki-laki yang sudah akil balig, merdeka, dan tidak muhsan hukumnya didera seratus kali dera, sebagai hukuman atas perbuatannya itu.

Yang dimaksud dengan muhsan ialah perempuan atau laki-laki yang pernah menikah dan bersebadan. Tidak muhsan berarti belum pernah menikah dan bersebadan, artinya gadis dan perjaka. Mereka bila berzina hukumannya adalah dicambuk seratus kali. Pencambukan itu harus dilakukan tanpa belas kasihan yaitu tanpa henti dengan syarat tidak mengakibatkan luka atau patah tulang.

Bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, tidak dibenarkan bahkan dilarang menaruh belas kasihan kepada pelanggar hukum itu yang tidak menjalankan ketentuan yang telah digariskan di dalam agama Allah. Nabi Muhammad harus dijadikan contoh atau teladan dalam menegakkan hukum. Beliau pernah berkata:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ اَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا  (رواه الشيخان)

Dari ‘Aisyah berkata Rasulullah bersabda, “Andaikata Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti saya potong tangannya.”  (Riwayat asy-Syaikhān)

Hukuman cambuk itu hendaklah dilaksanakan oleh yang berwajib dan dilakukan di tempat umum dan terhormat, seperti di masjid, sehingga dapat disaksikan oleh orang banyak, dengan maksud supaya orang-orang yang menyaksikan pelaksanaan hukuman dera itu mendapat pelajaran, sehingga mereka benar-benar dapat menahan dirinya dari perbuatan zina.

Adapun pezina-pezina muhsan baik perempuan maupun laki-laki hukumannya ialah dilempar dengan batu sampai mati, yang menurut istilah dalam Islam dinamakan “rajam”.

Hukuman rajam ini juga dilaksanakan oleh orang yang berwenang dan dilakukan di tempat umum yang dapat disaksikan oleh orang banyak. Hukum rajam ini didasarkan atas sunnah Nabi saw yang mutawatir.

Diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ali, Jabir bin Abdillah, Abu Said Al-Khudri, Abu Hurairah, Zaid bin Khalid dan Buraidah al-Aslamy, bahwa seorang sahabat Nabi yang bernama Mā`iz telah dijatuhi hukuman rajam berdasarkan pengakuannya sendiri bahwa ia berzina.


Baca juga: Wujud Peran Cahaya Allah dalam Penafsiran Surah An-Nur Ayat 35


Begitu pula dua orang perempuan dari Bani Lahm dan Bani Hamid telah dijatuhi hukuman rajam, berdasarkan pengakuan keduanya bahwa mereka telah berzina. Hukuman itu dilakukan di hadapan umum. Begitulah hukuman perbuatan zina di dunia. Adapun di akhirat nanti, pezina itu akan masuk neraka jika tidak bertaubat, sebagaimana sabda Nabi saw.

اِيَّاكُمْ وَالزِّنَى فَاِنَّ فِيْهِ اَرْبَعَ خِصَالٍ يَذْهَبُ الْبَهَاءَ عَنِ الْوَجْهِ وَيَقْطَعُ الرِّزْقَ  وَيُسْخِطُ الرَّحْمٰنَ وَيُوْجِبُ الْخُلُوْدَ فِى النَّارِ. (رواه الطبرانى فى الاوسط عن ابن عباس)

“Jauhilah zina karena di dalam zina ada empat perkara. Menghilangkan kewibawaan wajah, memutus rezeki, membikin murka Allah, dan menyebabkan kekal di neraka.” (Riwayat at-Tabrāni dalam Mu‘jam al-Ausat, dari Ibnu ‘Abbas)

Kenyataannya adalah bahwa budaya pergaulan bebas laki-laki dan perempuan telah menimbulkan penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan, yaitu HIV/AIDS, hilangnya sistem kekebalan tubuh pada manusia pada akhirnya yang bersangkutan akan mati secara perlahan. Juga telah memunculkan banyaknya bayi lahir di luar nikah, sehingga mengacaukan keturunan dan pada gilirannya mengacaukan tatanan hukum dan sosial.

Perbuatan zina telah disepakati sebagai dosa besar yang berada  pada posisi ketiga sesudah musyrik dan membunuh, sebagaimana dijelaskan di dalam hadis Nabi saw:

قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ اَيُّ الذَّنْبِ اَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ؟ قَالَ اَنْ تَجْعَلَ للهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ, قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ وَاَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ اَنْ يَأْكُلَ مَعَكَ، قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ وَاَنْ تَزْنِيَ بِحَلِيْلَةِ جَارِكَ

Berkata Abdullah bin Mas`ud, “Wahai Rasulullah! Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?” Rasulullah menjawab, “Engkau jadikan bagi Allah sekutu padahal Dialah yang menciptakanmu,” Berkata Ibnu Mas`ud, “Kemudian dosa apalagi?”, jawab Rasulullah, “Engkau membunuh anakmu karena takut akan makan bersamamu.” Berkata Ibnu Mas`µd, “Kemudian dosa apalagi?” Rasulullah menjawab, “Engkau berzina dengan istri tetanggamu.” ;Senada dengan hadis ini, firman Allah:

وَالَّذِيْنَ لَا يَدْعُوْنَ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَ وَلَا يَقْتُلُوْنَ النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُوْنَۚ

Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, serta tidak berzina. (al-Furqān/25: 68)

Hukuman di dunia itu baru dilaksanakan bila tindakan perzinaan itu benar-benar terjadi. Kepastian terjadi atau tidaknya perbuatan zina ditentukan oleh salah satu dari tiga hal berikut: bukti (bayyinah), hamil, dan pengakuan yang bersangkutan, sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Huzaifah:

فَالرَّجَمُ فِى كِتَابِ اللهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى اِذَا اَحْصَنَ مِنَ الرِّجَالِ اَوْ مِنَ النِّسَاءِ اِذَا قَامَتِ اْلبَيِّنَةُ اَوِ الْحَمْلُ اَوِ اْلاِعْتِرَافُ. (رواه البخاري ومسلم)

Hukum rajam dalam Kitabullah jelas atas siapa yang berzina bila dia muhsan, baik laki-laki maupun perempuan, bila terdapat bukti, hamil atau pengakuan. (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim)

Yang dimaksud dengan “bukti” dalam hadis tersebut adalah kesaksian para saksi yang jumlahnya paling kurang empat orang laki-laki yang menyaksikan dengan jelas terjadinya perzinaan. Bila tidak ada atau tidak cukup saksi, diperlukan pengakuan yang bersangkutan, bila yang bersangkutan tidak mengaku, maka hukuman tidak bisa dijatuhkan.

Hukuman di akhirat, yaitu azab di dalam neraka sebagaimana diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan Huzaifah di atas, terjadi bila yang bersangkutan tidak tobat. Bila yang bersangkutan tobat dan bersedia menjalankan hukuman di dunia, maka ia terlepas dari hukuman akhirat, sebagaimana hadis yang mengisahkan seorang sahabat yang bernama Hilal yang menuduh istrinya berzina tetapi si istri membantahnya.

Nabi mengatakan bahwa hukuman di akhirat lebih dahsyat dari hukuman di dunia, yaitu rajam, jauh lebih ringan. Tetapi perempuan itu malah mengingkari bahwa ia telah berzina.

Dari peristiwa itu dipahami bahwa bila orang yang berzina telah bertobat dan bersedia menjalankan hukuman di dunia, ia terlepas dari hukuman di akhirat.


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 3-5


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah An-Nur Ayat 10

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 10 berbicara mengenani penyelesaian kemelut rumah tangga.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 6-9


Ayat 10

Maksud ayat ini adalah bahwa dimudahkannya penyelesaian kemelut rumah tangga dengan membolehkan saling laknat yang mengakibatkan perceraian selamanya, ditutupnya aib dalam rumah tangga, tidak dilaksanakan segera di dunia hukuman bagi orang yang berzina, dan diberikannya kesempatan bagi yang berdosa itu untuk bertobat dari perbuatan zinanya.

Itu semua merupakan karunia Allah dan rahmat-Nya. Bila ia benar-benar tobat dari perbuatan dosanya itu Allah menerima tobatnya. Allah Mahabijaksana dengan menutup aib seseorang, tidak segera menghukumnya di dunia ini, dan memberinya kesempatan untuk bertobat.

Seorang suami yang memergoki istrinya berbuat mesum dengan laki-laki lain tindakan apakah yang akan ia lakukan? Kalau ia membunuh laki-laki itu, tentunya ia akan dibunuh pula (sebagai qisās baginya).

Kalau ia diamkan saja kejadian itu, maka itu adalah satu tindakan yang salah. Dan kalau ia beberkan peristiwa itu dan menuduh istrinya berzina padahal ia tidak punya saksi, maka ia akan di-had, dikenakan hukuman dera dan tidak akan diterima kesaksiannya dan ucapannya selama-lamanya, apabila ia tidak dapat mendatangkan empat orang saksi yang melihat dengan matanya sendiri peristiwa itu.


Baca juga: Tafsir Ahkam Tentang Zina; Mendekati Saja Dilarang, Apalagi Melakukan!


Apakah ia akan pergi mencari empat orang saksi untuk diajak menyaksikan perbuatan mesum istrinya itu? Suatu hal yang tidak mungkin. Maka atas karunia dan rahmat Allah Yang Maha Pengampun dan Bijaksana, suami yang melihat istrinya berzina dengan laki-laki lain itu, tidak lagi dibebani mencari empat orang saksi untuk turut bersama-sama dia menyaksikan peristiwa perzinaan itu, tetapi cukuplah ia bersumpah dan mengemukakan kesaksiannya empat kali, kemudian ditambah satu kali dengan pernyataan kesediaan menerima laknat Allah bila dia berbohong, sebagaimana tersebut di atas yang dikenal dengan istilah “li`ān”.

Dengan demikian terhindarlah ia dari hukuman menuduh, yaitu hukuman dera delapan puluh kali. Untuk menghindarkan istrinya yang dituduh itu dari hukuman zina, maka ia hanya perlu melakukan hal yang sama, yaitu mengajukan sumpah dan kesaksiannya empat kali kemudian ditambah satu kali kesediaan menerima laknat bila suaminya benar dengan tuduhannya, sebagaimana tersebut di atas.


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 11-13


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 111

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 111 berbicara mengenai cara memuji yang diajarkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. selain itu ayat ini juga berbicara mengenai tiga sifat Allah yang wajib diketahui oleh umat Islam.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 110


Ayat 111

Pada ayat ini Nabi diajari cara memuji Allah swt yang memiliki sifat-sifat kemahaesaan, kesempurnaan, dan keagungan. Oleh karena itu, hanya Allah yang berhak menerima segala macam pujian-pujian dan rasa syukur dari hamba dan makhluk-Nya atas segala nikmat yang diberikan kepada mereka.

Ayat ini menjelaskan tiga sifat bagi Allah swt:

Pertama: Bahwa sesungguhnya Allah tidak memiliki anak, karena siapa yang memiliki anak tentu tidak menikmati segala nikmat yang dia miliki, tetapi sebagian nikmat itu dipersiapkan untuk anaknya yang ditinggalkannya bilamana dia sudah meninggal dunia.

Mahasuci Allah swt dari sifat demikian. Orang yang punya anak terhalang untuk menikmati seluruh haknya dalam segala keadaan. Oleh sebab itu, manusia tidak patut menerima pujian dari segala makhluk.

Dengan ayat ini, Allah swt menjelaskan dan membantah pandangan orang Yahudi yang mengatakan Uzair putra Tuhan, juga pendapat orang Nasrani yang mengatakan bahwa Al-Masih putra Tuhan, atau anggapan orang-orang musyrikin bahwa malaikat-malaikat adalah putri-putri Tuhan.

Kedua: Bahwa sesungguhnya Allah swt tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya. Jika sekutu-Nya ada, tentu sulit untuk menentukan mana di antara keduanya yang berhak menerima pujian, rasa syukur, dan pengabdian para makhluk.


Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 3-4: Lima Karakter Orang Bertakwa


Salah satu di antara dua tuhan tadi tentu memerlukan pertolongan dari yang lainnya dan akhirnya tidak ada satupun tuhan yang berdiri sendiri dan berdaulat secara mutlak di atas alam ini.

Ketiga: Bahwa  sesungguhnya  tak  seorang pun  di antara  orang-orang  yang hina diberi Allah kekuasaan yang akan melindunginya dari musuh yang mengancamnya.

Demikianlah Allah swt suci dari segala sifat-sifat yang mengurangi kesempurnaan-Nya, agar para hamba-Nya tidak ragu memanjatkan doa, syukur, dan pujian kepada-Nya. Kemudian Nabi saw diperintahkan untuk mengagungkan-Nya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan. Mengagungkan dan mensucikan Allah itu adalah sebagai berikut:

Pertama: Mengagungkan Allah swt pada Zat-Nya dengan meyakini bahwa Allah itu wajib ada-Nya karena Zat-Nya sendiri tidak membutuhkan sesuatu yang lain. Dia tidak memerlukan sesuatu dari wujud ini.

Kedua: Mengagungkan Allah swt pada sifat-Nya, dengan meyakini bahwa hanya Dialah yang memiliki segala sifat-sifat kesempurnaan dan jauh dari sifat-sifat kekurangan.

Ketiga: Mengagungkan   Allah   swt   pada   af’al-Nya   (perbuatan-Nya) dengan meyakini bahwa tidak ada suatu pun yang terjadi dalam alam ini, melainkan sesuai dengan hikmah dan kehendak-Nya.

Keempat: Mengagungkan  Allah  swt  pada  hukum-hukum-Nya,  dengan meyakini bahwa hanya Dialah yang menjadi Penguasa yang ditaati di alam semesta ini, dimana perintah dan larangan bersumber darinya. Tidak ada seorang pun yang dapat membatasi dan membatalkan segala ketentuan-Nya atas sesuatu. Dialah yang memuliakan dan Dia pula yang menghinakan orang-orang yang Dia kehendaki.

Kelima: Mengagungkan nama-nama-Nya, yaitu menyeru dan menyebut Allah dengan nama-nama yang baik (al-asma’ul husna). Tidak menyifati Tuhan melainkan dengan sifat-sifat kesucian dan kesempurnaan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 111


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 110

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 110 berbicara mengenai pertentangan yang ajukan oleh orang-orang Yahudi. Pertentangan tersebut mengenai sifat-sifat Allah SWT, yaitu sifat ar-Rahman. Orang-orang Yahudi seakan memprotes Nabi SAW ketika sedang berdoa dengan menggunakan lafaz “Ya Allah Ya Rahman.”


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 108-109


Ayat 110

Sabab nuzul ayat ini, menurut riwayat Ibnu Jarir at-Tabari dari Ibnu ‘Abbas, bahwa Rasul saw pada suatu hari salat di Mekah, lalu beliau berdoa. Dalam doanya itu, beliau mengucapkan kata-kata, “Ya Allah Ya Rahman.”

Orang-orang musyrik yang mendengar ucapan Nabi itu berkata, “Perhatikanlah orang yang telah keluar dari agamanya ini, dilarangnya kita berdoa kepada dua Tuhan sedangkan dia sendiri berdoa kepada dua Tuhan. Maka turunlah ayat ini.

Menurut riwayat Ad-Dahhak, sebab turun ayat ini ialah bahwa orang Yahudi bertanya kepada Rasul mengapa kata ar-Rahman sedikit beliau sebutkan, padahal di dalam Taurat, Allah banyak menyebutnya.” Maka turunlah ayat ini.

Bilamana latar belakang turun ayat ini menurut riwayat yang pertama, maka Allah menjelaskan kepada kaum musyrikin bahwa kedua lafal itu (Allah dan ar-Rahman) walaupun berbeda namun sama-sama mengungkap-kan Zat Yang Maha Esa, Tuhan satu-satunya yang disembah. Pemahaman yang demikian sesuai dengan keterangan ayat 111.

Bila latar belakang turunnya ayat ini adalah riwayat yang kedua, maka Allah menjelaskan kepada orang Yahudi bahwa lafal itu sama-sama baik untuk mengutarakan apa yang dimaksud.

Orang Yahudi memandang kata ar-Raaman lebih baik, karena sifat itu yang paling disukai Allah, sehingga banyak disebut dalam Taurat. Ar-Rahman banyak sekali disebut dalam Taurat karena Nabi Musa a.s. berwatak keras dan pemarah.

Oleh karena itu, Allah banyak menyebutkan kata-kata ar- Rahman agar beliau bergaul dengan umatnya dengan kasih sayang, dan beliau sebagai seorang nabi tentulah mencontoh sifat-sifat Allah.

Pada ayat ini, Allah swt menjelaskan tentang keesaan Zat-Nya dengan nama-nama yang baik. Nama-nama yang baik itu hanyalah menggambarkan sifat-sifat kesempurnaan-Nya, bukan wujud Allah yang berdiri sendiri sebagai-mana anggapan kaum musyrikin.

Sesudah menyatakan kesamaan kedua kata itu, Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa kedua lafal itu baik digunakan untuk berdoa, karena Tuhan mempunyai al-asma’ul husna (nama-nama yang paling baik).

Tuhan memberikan keterangan dengan al-husna (paling baik) untuk nama-nama-Nya, karena mengandung pengertian yang mencakup segala sifat-sifat kesempurnaan, kemuliaan, dan keindahan yang tidak satu makhluk pun yang menyerupai.


Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 3-4: Lima Karakter Orang Bertakwa


Orang-orang Yahudi sesungguhnya tidaklah memungkiri nama-nama Allah yang baik itu. Hanya saja mereka memandang ar-Rahman nama yang terbaik di antara nama-nama Tuhan lainnya. Inilah yang tidak dibenarkan dalam ayat ini karena kedua nama tersebut termasuk al-asma’ul husna.

Pendapat seperti di atas juga dianut oleh kaum Muslimin, dimana menurut mereka, ada nama yang lebih tinggi di antara al-asma’ul husna. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw mendengar seorang laki-laki membaca doa:

اَللّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنِّي أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ أَنْتَ اْلأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِيْ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ. (رواه الترمذي عن عبد الله بن بريده الاسلمي عن أبيه)

Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, supaya aku benar-benar bersaksi bahwasanya Engkau Allah yang tiada tuhan melainkan Engkau, Yang Esa lagi tempat bergantung segala makhluk. Yang tiada beranak dan tiada dilahirkan dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia. (Riwayat at-Tirmizi dari Abdullah bin Buraidah al-Aslami dari ayahnya)

Setelah mendengar doa itu Nabi saw bersabda:

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَقَدْ سَأَلَ اللهَ تَعَالَى بِاسْمِهِ اْلأَعْظَم الَّذِيْ إِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ وَإِذَا سُئِلَ بِهِ اَعْطِيَ (رواه ابن جرير الطبري عن سعد)

Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, benar-benar laki-laki itu berdoa dengan nama Tuhan Yang Agung (al-asma’ al-A’zam), yang bila Allah diseru dengan (menyebut) nama itu niscaya Dia menyempurnakannya, dan bila Allah diminta dengan (menyebut) nama itu niscaya Dia memberi. (Riwayat Ibnu Jarir at-Tabari dari Sa’ad)

Diriwayatkan pula oleh Muslim, Ahmad, at-Tirmizi, dan Ibnu Abi Hatim dari Asma’ binti  Yazid bahwa Nabi saw bersabda:

اِسْمُ اللهِ اْلأَعْظَمِ فِي هَاتَيْنِ اْلآيَتَيْنِ

Nama Allah Ta’ala Yang Maha Agung terletak pada dua ayat ini, yaitu:

وَاِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۚ  لَآاِلٰهَ اِلَّا هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ ࣖ

Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. (al-Baqarah/2: 163)

Dan ayat yang kedua ialah pada pembukaan Surah Ali ‘Imran:

الۤمّۤ   ١  اَللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُۗ  ٢

Alif Lam Mim. Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus-mengurus (makhluk-Nya). (Ali ‘Imran/3: 1-2)

Kemudian pada akhir ayat ini, Allah memerintahkan kepada Rasul agar di waktu salat jangan membaca ayat dengan suara keras dan jangan pula dengan suara yang rendah, tetapi di antara keduanya.

Yang dimaksud dengan membaca ayat ini mencakup membaca basmalah dan ayat lainnya. Jika Rasul membaca dengan suara yang keras, tentu didengar oleh orang-orang musyrik dan mereka lalu mengejek, mengecam, dan mencaci-maki Al-Qur’an, Nabi, dan sahabat-sahabatnya. Namun jangan pula membaca dengan suara yang terlalu rendah sehingga para sahabat tidak dapat mendengarnya dengan jelas. Larangan ini turun ketika Rasul masih berada di Mekah berdasarkan riwayat Ibnu ‘Abbas.

Menurut riwayat Ibnu ‘Abbas, ketika Rasul berada di Mekah disuruh membaca ayat dengan suara yang tidak terlalu keras, tetapi juga tidak terlalu rendah, dilarang membaca dengan suara yang pelan dan rendah sehingga tidak terdengar. Tetapi sesudah hijrah ke Medinah, persoalan itu tidak dibahas lagi kecuali membaca ayat dalam salat dengan suara yang keras di luar batas tetap tidak dibenarkan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 111


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 108-109

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 108-109 berbicara mengenai dua hal. Pertama berbicara mengenai prilaku orang-orang yang telah dianugerahi ilmu oleh Allah SWT. Kedua berbicara mengenai sifat-sifat yang dimiliki oleh orang-orang berilmu tersebut.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 106-107


Ayat 108

Dalam ayat ini Allah swt menerangkan bahwa orang-orang yang telah diberi ilmu itu mengucapkan tasbih, yaitu lafal Subhanallah (Mahasuci Allah), sewaktu sujud tanda syukur kepada Allah swt.

Mereka menyucikan Tuhan dari sifat-sifat yang tidak patut bagi-Nya, seperti menyalahi janji-Nya kepada umat manusia untuk mengutus seorang rasul. Mereka juga mengatakan bahwa sebenarnya janji Allah itu telah datang dan menjadi kenyataan.

Ayat ini menunjukkan kebaikan membaca tasbih dalam sujud. ‘Aisyah r.a. berkata, “Adalah Rasul saw banyak membaca dalam sujud dan rukuknya:

سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ رَبَّنَا نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ اللّهُمَّ اغْفِرْلِيْ (رواه مسلم)

Mahasuci Engkau ya Allah Tuhan kami, kami bertasbih dengan memuji-Mu. Ya Allah ampunilah aku. (Riwayat Muslim dalam Sahihnya)

Baca juga:

Ayat 109

Kemudian Allah swt menambahkan dalam ayat ini sifat-sifat yang terpuji pada orang-orang yang diberi ilmu itu. Mereka menelungkupkan muka, bersujud kepada Allah sambil menangis disebabkan bermacam-macam perasaan yang menghentak dada mereka, seperti perasaan takut kepada Allah, dan perasaan syukur atas kelahiran rasul yang dijanjikan.

Pengaruh ajaran-ajaran Al-Qur’an meresap ke dalam jiwa mereka ketika mendengar ayat-ayat yang dibacakan, serta menambah kekhusyukan dan kerendahan hati mereka. Dengan demikian, mereka merasakan betapa kecilnya manusia di sisi Allah swt.

Demikianlah sifat orang berilmu yang telah mencapai martabat yang mulia. Hatinya menjadi tunduk dan matanya mencucurkan air mata ketika Al-Qur’an dibacakan kepadanya. Mencucurkan air mata ketika mendengar atau membaca Al-Qur’an sangat terpuji dalam pandangan Islam.

Bersabda Rasulullah saw:

اِقْرَءُوا الْقُرْآنَ وَابْكُوْا، وَإِذَا لَمْ تَبْكُوْا فَتَبَاكَوْا. (رواه الترمذي عن سعد بن ابي وقاص)

Bacalah Al-Qur’an dan menangislah, jika kamu tidak bisa menangis, maka usahakanlah sekuat-kuatnya agar dapat menangis.(Riwayat at-Tirmizi dari Saad bin Abi Waqas)

Sabda Rasulullah saw lagi:

عَيْنَانِ لاَ تَمَسُّهُمَا النَّارُ، عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ تَعَالَى وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِي سَبِيْلِ اللهِ. (رواه الترمذي عن ابن عباس)

Dua mata yang tidak disentuh api neraka, yaitu yang menangis karena takut kepada Allah swt, dan mata yang berjaga-jaga di malam hari pada jalan Allah (jihad). (Riwayat at-Tirmizi dari Ibnu ‘Abbas)

لاَ يَلِجُ النَّارَ رَجُلٌ بَكَى مِنْ خَشْيَةِ اللهِ حَتَّى يَعُوْدَ اللَّبَنُ فِى الضَّرْعِ وَلاَ اجْتَمَعَ عَلَى عَبْدٍ غُبَارٌ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَدُخَانُ جَهَنَّمَ. (رواه مسلم والنسائي عن أبي هريرة)

Tidaklah masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah, kecuali bila air susu sapi dapat kembali ke dalam kantong susunya, dan tidaklah berkumpul pada seorang hamba, debu dalam peperangan di jalan Allah dengan asap api neraka. (Riwayat  Muslim dan an-Nasa’i dari Abu Hurairah)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 110


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 106-107

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 106-107 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai alasan penurunan al-Qur’an secara berangsur-angsur. Kedua berbicara mengenai perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw agar manyatakan kebenaran al-Qur’an.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 103-105


Ayat 106

Dalam ayat ini Allah swt menerangkan bahwa Al-Qur’an diwahyu-kan kepada Nabi Muhammad saw secara berangsur-angsur sebagian demi sebagian, agar ia dapat membacakannya kepada umatnya, serta memberi pemahaman secara perlahan-lahan.

Ayat Al-Qur’an pertama kali diwahyukan di bulan Ramadan, pada malam qadar, kemudian seterusnya diturunkan kepada Nabi berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan dan peristiwa yang terjadi dalam tempo kurang dari duapuluh tiga tahun. Dengan penurunan secara berangsur-angsur itu, umat Islam memperoleh keutamaan dan manfaat yang besar, antara lain:

Pertama: Kaum Muslimin mudah menghafalnya ketika diturunkan.

Kedua: Kaum   Muslimin   berkesempatan   untuk   memahami   setiap kelompok ayat yang diturunkan, karena jangkauan maknanya yang luas memerlukan waktu yang cukup untuk memahaminya agar mendapat pemahaman yang tepat dan benar.

Ketiga: Kaum Muslimin tidak mengalami kegoncangan jiwa yang berarti dalam menghadapi berbagai perubahan yang dibawa oleh Islam. Sebelum kedatangan agama Islam, mereka menganut kepercayaan animis yang bermacam-macam, dan tidak memiliki peraturan dan tata kehidupan yang dipatuhi.

Penurunan Al-Qur’an secara berangsur-angsur mempermudah mereka menyesuaikan diri dengan ajaran-ajaran yang baru, baik ajaran yang berhubungan dengan akidah, maupun yang berhubungan dengan ibadah dan kemasyarakatan.

Keempat: Sebagian ayat-ayat Al-Qur’an merupakan penjelasan yang berhubungan dengan suatu peristiwa yang terjadi.

Firman Allah swt:

وَلَا يَأْتُوْنَكَ بِمَثَلٍ اِلَّا جِئْنٰكَ بِالْحَقِّ وَاَحْسَنَ تَفْسِيْرًا ۗ

Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa) sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling baik. (al-Furqan/25: 33)

Dengan demikian, kaum Muslimin merasakan bahwa mereka selalu mendapat bimbingan dan petunjuk dari Allah swt ketika menghadapi setiap peristiwa yang terjadi di antara mereka.

Bagi Nabi Muhammad saw, penurunan Al-Qur’an secara berangsur-angsur itu amat besar manfaatnya dalam memperteguh hatinya, seperti dijelaskan Allah dalam firman-Nya:

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْاٰنُ جُمْلَةً وَّاحِدَةً ۛ كَذٰلِكَ ۛ لِنُثَبِّتَ بِهٖ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنٰهُ تَرْتِيْلًا

Dan orang-orang kafir berkata, ”Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?” Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu (Mu-hammad) dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur,  perlahan dan benar). (al-Furqan/25: 32)

Pada umumnya ayat-ayat yang diturunkan berkisar antara lima sampai dengan sepuluh ayat sesuai dengan kebutuhan, sebagaimana Umar bin Khattab berkata:

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: تعلموا الْقُرْآنَ خَمْسَ آيَاتٍ خَمْسَ آيَاتٍ فَإِنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَنْزِلُ بِهِ خَمْسًا خَمْسًا. (رواه البيهقي)

Diriwayatkan dari Umar r.a., dia berkata, “Pelajarilah Al-Qur’an lima ayat lima ayat. Karena sesungguhnya Jibril menurunkannya lima ayat lima ayat. (Riwayat al-Baihaqi).


Baca juga: Ketika Al-Quran Dibaca, Dengarkan dan Perhatikanlah!


Ayat 107

Dalam ayat ini Allah swt memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk menyatakan dengan tegas kepada kaum musyrikin yang ingkar kepada kebenaran Al-Qur’an itu, bahwa sekiranya mereka beriman maka keimanan mereka itu tidaklah memperkaya perbendaharaan rahmat-Nya.

Demikian pula sebaliknya, sekiranya mereka tetap ingkar, tidak mau beriman kepada Al-Qur’an, keingkaran dan penolakan mereka itu tidaklah mengurangi keagungan Allah swt. Firman Allah:

وَقَالُوْا لَنْ نُّؤْمِنَ لَكَ حَتّٰى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الْاَرْضِ يَنْۢبُوْعًاۙ

Dan mereka berkata, ”Kami tidak akan percaya kepadamu (Muhammad) sebelum engkau memancarkan mata air dari bumi untuk kami. (al-Isra’/17: 90)

Pernyataan Rasul saw ini merupakan celaan dan kecaman kepada kaum musyrikin, serta mengandung penghinaan kepada mereka. Bagaimanapun sikap mereka terhadap Al-Qur’an, tidak patut dipedulikan. Kebenaran Al-Qur’an tidak tergantung kepada sikap orang-orang yang ingkar itu.

Tidak mengherankan kalau mereka menolak kebenaran Al-Qur’an, karena mereka memang orang Jahiliah. Tetapi orang-orang baik dan terpelajar di antara mereka tentu beriman dan tunduk sepenuhnya bila mendengar ayat-ayat Al-Qur’an dibacakan.

Seperti Zaid bin Amru bin Nufail dan Waraqah bin Naufal yang telah membacakan kitab-kitab suci yang terdahulu sebelum Al-Qur’an diturunkan, dan mereka mengetahui kelak pada waktunya akan lahir seorang rasul akhir zaman.

Mereka sujud dan bersyukur kepada Allah swt yang telah memenuhi janji-Nya, yaitu mengutus Muhammad saw sebagai rasul terakhir. Dengan turunnya ayat ini, Nabi Muhammad saw merasa terhibur hatinya, karena keimanan orang-orang yang terpelajar lebih berarti dari keimanan orang-orang jahil, meskipun keimanan orang-orang jahil itu tetap diharapkan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 108-109


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 103-105

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 103-105 berbicara mengenai tiga hal. Pertama mengenai rencana jahat Fir’aun kepada Nabi Musa as. Kedua berbicara mengenai penyelamatan Nabi Musa as dari rencana Fir’aun. Ketiga berbicara mengenai kebenaran al-Qur’an.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 100-102


Ayat 103

Setelah Fir’aun melihat kegigihan Musa dalam menyampaikan risalahnya, dan hal itu akan membahayakan diri dan kekuasaannya, maka Fir’aun berencana untuk mengeluarkan Musa dan pengikut-pengikutnya dari bumi Mesir, baik dengan cara mengusir atau melenyapkan mereka. Akan tetapi, Allah swt lebih dahulu menenggelamkan Fir’aun beserta pengikut-pengikutnya ke dalam laut Qulzum.

Ayat 104

Kemudian Allah swt menyelamatkan Musa dan Bani Israil serta memerintahkan mereka agar mendiami negeri yang telah dijanjikan kepada mereka sampai waktu yang ditentukan.

Jika telah sampai waktunya, mereka akan diwafatkan kemudian dibangkitkan kembali pada hari kiamat, untuk menetapkan keputusan yang paling adil di antara mereka. Ketika itu, mereka beserta musuh-musuhnya bercampur baur dan menyatu untuk menerima balasan dari Allah. Perbuatan baik akan dibalas dengan pahala yang berlipat ganda, sedangkan perbuatan mungkar akan dibalas dengan siksa neraka.


Baca juga: Pengaruh Kesarjanaan Barat Terhadap Transformasi Kajian Akademik Al-Quran dan Tafsir di Indonesia


Ayat 105

Dalam ayat ini Allah swt menegaskan kepada Rasul saw bahwa Allah benar-benar telah menurunkan Al-Qur’an dari sisi-Nya. Maka manusia tidak boleh meragukan dan berpaling darinya.

Dalam ayat yang lain Allah swt berfirman:

لٰكِنِ اللّٰهُ يَشْهَدُ بِمَآ اَنْزَلَ اِلَيْكَ اَنْزَلَهٗ بِعِلْمِهٖ ۚوَالْمَلٰۤىِٕكَةُ يَشْهَدُوْنَ ۗوَكَفٰى بِاللّٰهِ شَهِيْدًاۗ

Tetapi Allah menjadi saksi atas (Al-Qur’an) yang diturunkan-Nya kepadamu (Muhammad). Dia menurunkannya dengan ilmu-Nya, dan para malaikat pun menyaksikan. Dan cukuplah Allah yang menjadi saksi. (an-Nisa’/4: 166)

Al-Qur’an membawa berbagai ajaran yang benar yang mendatangkan ketertiban dan kesejahteraan bagi umat manusia. Di dalamnya terdapat ajaran tentang moral, akidah ketuhanan, peraturan-peraturan, hukum, sejarah, dan ilmu pengetahuan.

Segala isinya senantiasa terpelihara, baik lafal maupun maknanya tidak akan ternoda dengan penambahan atau pengurangan yang menyebabkan kekacauan dan kesimpangsiuran, sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya:

اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya. (al-Hijr/15: 9)

Firman-Nya lagi:

لَّا يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهٖ ۗتَنْزِيْلٌ مِّنْ حَكِيْمٍ حَمِيْدٍ

(Yang) tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang (pada masa lalu dan yang akan datang), yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana, Maha Terpuji. (Fussilat/41: 42)

Demikianlah Allah menerangkan sifat-sifat Al-Qur’an dengan segala jaminan akan kesuciannya dari tangan-tangan manusia yang berusaha mengotorinya. Dia diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang diutus kepada umat manusia untuk memberikan kabar gembira tentang pahala dan surga bagi orang-orang yang beriman dan taat kepada ajaran agama, dan memberikan peringatan tentang azab dan neraka bagi yang kafir dan berbuat dosa.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 106-107


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 100-102

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 100-102 berbicara mengenai tiga hal. Pertama mengenai penolakan atas permintaan orang-orang zalim. Kedua berbicara mengenai sembilan mukjizat Nabi Musa as. Ketiga berbicara mengenai kekafiran Fir’aun.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 97-99


Ayat 100

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan sebab-sebab mengapa Dia tidak memperkenankan permintaan orang-orang zalim itu, yaitu walaupun diperkenankan, mereka tetap tidak akan beriman, berlaku kikir, dan tidak mau memberikan sebagian kecil hartanya kepada orang lain yang memerlukannya.

Mereka takut kenikmatan-kenikmatan yang telah diperoleh akan lenyap dari mereka. Padahal nikmat Allah tidak akan pernah habis seberapa pun manusia mengambilnya. Allah juga telah menjanjikan orang-orang yang menginfakkan harta mereka dengan imbalan yang berlipat ganda dari apa yang mereka infakkan.

Sifat kikir adalah watak dan tabiat manusia dengan kadar yang berbeda. Watak dan tabiat yang tidak baik itulah yang menyebabkan manusia mendurhakai perintah Allah dan enggan memperhatikan larangan-larangan-Nya. Firman Allah:

وَّتُحِبُّوْنَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّاۗ  ;

Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan. (al-Fajr/89: 20)

وَاِنَّهٗ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيْدٌ ۗ

Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan. (al-‘Adiyat/100: 8)


Baca juga: Tafsir Ahkam; Definisi dan Pernak-Perniknya


Ayat 101

Ayat ini menerangkan bahwa Allah swt telah memberikan sembilan macam mukjizat kepada Musa a.s. sebagai bukti kerasulannya, ketika diutus kepada Fir’aun dan kaumnya.

Namun demikian, Fir’aun dan kaumnya tetap menolak seruan Nabi Musa untuk beriman pada Allah Sang Pencipta. Dalam ayat yang lain diterangkan bagaimana Fir‘aun dan kaumnya mengingkari seruan Musa.

Allah swt berfirman:

وَجَحَدُوْا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَآ اَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَّعُلُوًّاۗ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِيْنَ ࣖ

Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan. (an-Naml/27: 14)

Para mufasir berbeda pendapat tentang maksud dari sembilan ayat tersebut di atas. Menurut Ibnu Abbas, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abd  Razzaq, Sa’id bin Mansur, Ibnu Jarir at-Tabari, dan Ibnu Munzir, bahwa sembilan ayat tersebut adalah tongkat, tangan, topan, belalang, kutu, katak, darah, musim kemarau, dan kekurangan buah-buahan. Pendapat ini disetujui oleh jumhur ulama.

Mufasir yang lain, seperti ar-Razi, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sembilan ayat tersebut di atas adalah berbagai larangan. Ia mendasar-kan pendapatnya dengan hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmizi, al-Baihaqi, At-Tabrani, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Safwan bin Asal al-Muradi, ketika beliau ditanya oleh orang Yahudi, bahwa yang dimaksud dengan sembilan ayat di sini ialah sembilan macam larangan, yaitu: jangan mempersekutukan Allah, jangan membunuh jiwa kecuali dengan hak, jangan berzina, jangan mencuri, jangan menyihir, jangan makan riba, jangan memfitnah orang yang tidak bersalah kepada penguasa, jangan menuduh wanita yang baik berzina, dan melanggar aturan pada hari Sabat. Ibnu Syihab Al-Khafaji mengatakan, “Inilah tafsir yang diikuti dalam menafsirkan ayat ini.”

Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw agar menanyakan tentang kisah Musa kepada orang-orang Yahudi yang hidup di masanya, seperti Abdullah bin Salam dan lain-lain, niscaya mereka akan membenarkannya.

Pengakuan mereka terhadap kebenaran risalah Nabi Musa akan menambah iman dan keyakinannya. Hal itu juga bertujuan agar Nabi saw yakin bahwa kisah itu juga terdapat dalam kitab mereka.

Tanyakanlah kepada orang-orang Yahudi, tentu mereka akan menerangkan bahwa Musa a.s. telah datang kepada Fir’aun membawa agama tauhid dan mengemukakan berbagai mukjizatnya. Akan tetapi, Fir’aun mengingkarinya, bahkan mengatakan bahwa Musa adalah orang yang rusak akalnya, sehingga mengaku-ngaku sebagai seorang rasul Allah.

Ayat 102

Musa mengatakan kepada Fir’aun bahwa sesungguhnya Fir’aun telah mengetahui bahwa yang menurunkan ayat-ayat ini adalah Tuhan yang memiliki langit dan bumi. Hal itu dijelaskan Nabi Musa sebagai bukti dan keterangan bahwa yang diserukannya itu adalah suatu kebenaran.


Hanya orang yang bersih hatinya yang dapat menerima seruan tersebut. Lebih lanjut Nabi Musa mengatakan kepada Fir’aun bahwa hatinya yang kotor dan tidak mempunyai kesediaan untuk menerima seruan itu. Kebenaran apapun yang dikemukakan kepadanya tetap tidak akan membuatnya menerima seruan tersebut.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 103-105


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah al-An’am Ayat 68 : Bagaimana Menyikapi Orang Yang Melecehkan Al-Qur’an ?

0
Surah al-An’am Ayat 68 : Bagaimana Menyikapi Orang Yang Melecehkan Al-Qur’an ?
Surah al-An’am Ayat 68 : Bagaimana Menyikapi Orang Yang Melecehkan Al-Qur’an ?

Allah Swt berfirman dalam surah al-An’am ayat 68 :

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, Maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), Maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).

Baca juga: Pengaruh Kesarjanaan Barat Terhadap Transformasi Kajian Akademik Al-Quran dan Tafsir di Indonesia

Sebab Nuzul Ayat

Wahbah Zuhayli dalam al-Tafsir al-Munir (7/246) menukil riwayat dari Imam At-Tabari yang menyatakan bahwa, jika orang-orang musyrik duduk bersama dengan orang-orang mukmin, maka mereka mencaci maki Rasul Saw dan Al-Qur’an. Kemudian Allah Swt menurunkan ayat ini yang memerintahkan supaya tidak duduk berdampingan dengan mereka, sampai mereka membicarakan permasalahan lain.

Dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas dan Ibnu Sirrin mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang – orang muslim yang menta’wil ayat ayat Al-Qur’an sesuai dengan hawa nafsunya  untuk memperkuat argumentasi dan madzhabnya.

Baca juga: Tafsir Ahkam; Definisi dan Pernak-Perniknya

Penjelasan Surah al-An’am Ayat 68

Al-Sha’rawi dalam tafsirnya menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya lalu dengan menjadikannya sebagai pemberitahuan kepada Rasul saw. dan umatnya bahwa apa yang beliau sampaikan akan dilecehkan, dan beliau akan dituduh dengan aneka tuduhan (penyihir, penyair, dukun, pembohong dan lain sebagainya). Alhasil, beliau akan dimusuhi, karena itu Allah mengingatkan beliau dua hal pokok:

Pertama, bahwa pengikut-pengikut beliau saat ini (saat turunnya surah ini) masih dalam keadaan lemah, sehingga belum mampu menghadapi masyarakat Mekah yang merupakan musuh yang sangat gigih, dan karena itu beliau diperintahkan agar tidak membebani umat dengan beban yang berat.

Kedua, apabila beliau menemukan orang yang melecehkan agama, maka beliau tidak diperbolehkan untuk menjalin persahabatan dengan mereka, mendengarkan pelecehan mereka dan jangan sampai para sahabat beliau mendengarkan perkataan mereka.

Pendapat al-Sha’rawi ini sejalan dengan pendapat al-Biqa’i yang menyatakan bahwa ayat ini turun di Mekah ketika umat Islam masih dalam posisi lemah. Ketika itu tidak ada jalan lain yang dapat mereka tempuh kecuali menampakkan ketidaksetujuan dan penolakan dalam hati atas kelakuan mereka itu. Mengambil sikap keras (misalnya dengan menindak atau memboikot mereka) akan sangat fatal bagi kelangsungan hidup dan kesinambungan dakwah Islam.

Baca juga: Mengenal Syed Muhammad Naquib Al-Attas: Penggagas Epistemologi Tafsir Metalinguistik (1)

Imam al-Baghawi dalam kitab Ma’alim al-Tanzil Fi Tafsir al-Qur’an (3/155) menukil riwayat dari Ibnu Abbas bahwa pada saat ayat ini diturunkan, orang-orang mukmin bertanya kepada Rasul Saw. : “bagaimana kami dapat duduk (beribadah) dan tawaf di masjidil haram, sedangkan mereka (orang-orang musyrik) selalu mengejek ayat-ayat Allah ?”

Sedangkan dalam riwayat lain, orang-orang muslim berkata: “Sesungguhnya kami takut terhadap dosa ketika kami berpaling dari mereka dan tidak melarang mereka.” Kemudian Allah Swt menurunkan Q.S al-An’am (6) : 69 :

‌وَما ‌عَلَى ‌الَّذِينَ ‌يَتَّقُونَ مِنْ حِسابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَلكِنْ ذِكْرى لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Orang-orang yang bertakwa tidak ada tanggung jawab sedikit pun atas (dosa-dosa) mereka; tetapi (berkewajiban) mengingatkan agar mereka (juga) bertakwa.

Ayat ini memberikan penjelasan bahwa, jika orang-orang mukmin berpaling dari mereka dan tidak duduk bersama para penghina Al-Qur’an, maka mereka (orang-orang mukmin) tidak menanggung dosa orang-orang yang melecehkan Al-Qur’an tersebut. Walaupun begitu, orang-orang mukmin itu harus mengingatkan mereka dengan peringatan yang menyentuh, barang kali mereka sadar dan mengakui kesalahan mereka.

Baca juga: Semua Manusia itu Sama, Lantas Kenapa Ada Kafaah dalam Pernikahan? Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13

Hubungan Surah al-An’am (6) : 38 dengan al-Nisa’ (4) : 140

Pada saat umat Islam sudah dalam posisi kuat, mereka diminta untuk memutuskan hubungan sama sekali dengan para penghina al-Qur’an agar tidak serupa dengan mereka. Hal ini sebagaimana dalam surah al-Nisa>’ ayat 140 yang turun di Madinah :

وَقَدْ ‌نَزَّلَ ‌عَلَيْكُمْ فِي الْكِتابِ أَنْ إِذا سَمِعْتُمْ آياتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِها وَيُسْتَهْزَأُ بِها فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذاً مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جامِعُ الْمُنافِقِينَ وَالْكافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعاً

Dan sungguh, Allah telah menurunkan (ketentuan) bagimu di dalam Kitab (Al-Qur’an) bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka, sebelum mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena (kalau tetap duduk dengan mereka), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sungguh, Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di neraka Jahanam.

Berdasarkan konteks turunnya ayat ini, beberapa ulama’ berpendapat bahwa ayat ini menasakh (mengganti) surah al-An’am (6) : 68 di atas. Saat ayat ini turun, umat Islam tidak hanya sekedar mengingkari perkataan orang-orang yang melecehkan Al-Qur’an dan berpaling dari mereka. Umat Islam diperbolehkan untuk memutuskan hubungan dengan mereka, atau bahkan melakukan boikot.

Menurut Rashid Rida dalam Tafsir al-Manar (7/422), ayat ini bertujuan untuk melarang siapapun melakukan interaksi dan duduk berdampingan dengan orang – orang yang dapat memicu munculnya permusuhan dan perpecahan, baik dari pihak muslim maupun nonmuslim. Allah juga menginformasikan kehancuran bagi siapapun yang selalu bermusuhan dalam hal agama.

Selain itu, ayat ini tidak memerintahkan kepada orang-orang mukmin agar mereka mencaci maki dan memerangi orang-orang yang melecehkan al-Qur’an. Perintah ayat ini hanya sebatas tidak menjalin hubungan dengan mereka dan menghindari duduk bersama mereka dalam satu majlis. Perintah ini bertujuan untuk menghindari konflik antar pemeluk agama yang berbeda.

Di sisi lain, dari ayat ini juga dipahami bahwa tidak ada larangan duduk, mendengar, berinteraksi dan bergaul dengan orang-orang kafir bila pembicaraan mereka bermanfaat. Menimba ilmu dari mana pun merupakan anjuran Rasul Saw.

(Wallahu A’lam).