Beranda blog Halaman 235

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 29-34

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 29-34 mengisahkan beberapa kaum yang juga ingkar kepada setiap Rasul yang diutus kepada mereka, selain kaum Nabi Nuh, ada pula kaum lain seperti, kaum ‘Ad, Tsamud, Madyan, hingga kaum musyrik dimasa Nabi Muhammad yang kisahnya tidak jauh berbeda, bahkan kaum yang disebutkan terakhir juga mengingkari kisah dari kaum-kaum sebelumnya.

Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 26-28

Ayat 29

Nuh disuruh berdoa pula, “Ya Tuhanku, turunkanlah aku, bila topan sudah berakhir, pada tempat yang diberkati dan hanya Engkaulah yang dapat memberi tempat yang sebaik-baiknya, yang mengetahui tempat-tempat yang cocok lagi selaras bagi kami.” Qatadah berkata, Allah mengajarkan kepada kita supaya membaca doa ini ketika naik kapal:

۞ وَقَالَ ارْكَبُوْا فِيْهَا بِسْمِ اللّٰهِ مَجْرٰ۪ىهَا وَمُرْسٰىهَا ۗ

Dan dia berkata,  ”Naiklah kamu semua ke dalamnya (kapal) dengan (menyebut) nama Allah pada waktu berlayar dan berlabuhnya. (Hud/11: 41).

Dan ketika berada di atas kendaraan membaca:

سُبْحٰنَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هٰذَا وَمَا كُنَّا لَهٗ مُقْرِنِيْنَۙ   ١٣  وَاِنَّآ اِلٰى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ   ١٤

Mahasuci (Allah) yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.”  (az-Zukhruf/43: 13-14)

Ayat 30

Sesungguhnya dalam peristiwa topan besar yang membinasakan kaum Nuh yang mendustakan Rasul-Nya, dengan mengingkari keesaan Allah dan menyembah berhala-berhala, terdapat pelajaran bagi kaum Quraisy yang mendustakan kerasulan Muhammad saw, bahwa peristiwa yang menimpa kaum Nuh itu dapat pula menimpa kaum Quraisy yang berani mendustakan Rasulullah dan memusuhinya.

Pada kejadian itu benar-benar terdapat beberapa azab yang sangat besar kepada kaum Nuh itu, supaya orang-orang yang datang kemudian mengambil pelajaran daripadanya, sesuai dengan firman Allah:

وَلَقَدْ تَّرَكْنٰهَآ اٰيَةً فَهَلْ مِنْ مُّدَّكِرٍ

Dan sungguh, kapal itu telah Kami jadikan sebagai tanda (pelajaran). Maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran? (al-Qamar/54: 15)

Ayat 31

Ayat ini menerangkan bahwa Allah menciptakan umat yang lain setelah kaum Nuh, yaitu Kaum ‘Ad kaumnya Nabi Hud, kaum Tsamud kaumnya Nabi Saleh, dan kaum Madyan yaitu kaumnya Nabi Syu’aib.  Dari tiga kaum ini pendapat yang paling kuat yang sesuai dengan ayat ini kaum ‘Ad karena dalam sejarah kenabian setelah Nabi Nuh yang diutus kemudian adalah Nabi Hud. Jadi, yang dimaksud dengan  qarnan ākhar³n adalah kaum ‘Ad, Tsamud dan Madyan.


Baca Juga : Kisah Nabi Syuaib dan Penduduk Madyan dalam Al Quran


Ayat 32

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah mengutus kepada kaum ‘Ad itu seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yaitu Nabi Hud yang melaksanakan dakwah kepada mereka seraya menyerukan, “Hai kaumku, sembahlah Allah dan tinggalkanlah semua berhala-berhalamu, karena sekali-kali tidak ada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya melainkan Dia. Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?”

Ayat 33

Pemuka-pemuka kaumnya yang kafir mengingkari ketauhidan kepada Allah, dan adanya kebangkitan dan hisab pada hari Kiamat karena terlalu cinta pada kemewahan hidup di dunia.

Mereka menjawab seruan Nabi Hud dengan berkata, “Orang ini (Hud) tidak lain hanyalah seorang manusia biasa seperti kamu, tidak mempunyai kelebihan, makan minum biasa seperti kita. Karena itu seruannya tak usah dihiraukan sama sekali.”

Ayat 34

Pemuka orang kafir itu melanjutkan ucapannya, “Jika kamu sekalian menaati manusia biasa seperti kamu, dan mengikuti saja seruan Hud tanpa penelitian lebih dahulu, niscaya kamu akan menjadi manusia yang merugi dan tertipu.”

Mereka tidak mau jika rasul itu hanya manusia biasa. Mereka ingin rasul itu dari malaikat sehingga tampak hebat dan luar biasa.

Padahal jika rasul itu malaikat mereka pasti tidak mampu mengikutinya, karena karakter malaikat tidak sama dengan karakter manusia.

Manusia tidak mungkin dapat mengikuti cara beribadah dan cara hidup malaikat yang tidak memiliki nafsu sehingga hidupnya selalu dan hanya untuk beribadah. Sedangkan manusia lemah, memiliki nafsu dan mudah tergoda oleh iblis dan setan.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 35-42


Tafsir Ahkam; Definisi dan Pernak-Perniknya

0
Tafsir al-Iklil, salah satu tafsir ahkam
Tafsir al-Iklil, salah satu tafsir ahkam

Mengkaji dan memahami al-Qur’an adalah sebuah aktifitas yang tidak akan ada habisnya. Ada saja hal baru yang ditemukan oleh setiap generasi yang akan menjadi peninggalan bagi generasi berikutnya. Dari sisi obyek yang dikaji yakni ayat-ayat al-Qur’an, tafsir terbagi menjadi dua macam; tafsir yang berkaitan dengan kosa kata dan tafsir yang berkaitan dengan makna. Yang pertama misalnya tafsir yang fokus pada kajian kosa kata asing (gharīb), akar kata dan garamatikal, serta ragam bacaan al-Qur’an. Adapun yang kedua berkaitan dengan keyakinan (ushūl al-dīn), ilmu fikih dan penggalian hukum (ushūl al-fiqh), ilmu ma’ānī dan bayān atau ilmu balaghah (Ushūl al-Tafsīr wa Qawā’iduhū, 47).

Baca Juga: Belajar dari Mbah Fadhal al-Senory, Guru Besar Ulama Nusantara dan Tafsir Fikihnya

Tafsir Ahkam dan Ragamnya

Kemudian, dari sisi coraknya kita bisa menemukan misalnya tafsir shūfī (teosofi), tafsir fiqhī (fikih), tafsir falsafī (nalar), tafsir ‘ilmī (ilmiah), tafsir adabī ijtimā’ī (kebahasaan dan sosial), dan lainnya. Tafsir dengan berbagai coraknya ini biasanya disajikan dengan metode tahlīlī. Karya tafsir yang menggunakan corak fikih dikenal dengan istilah tafsir ahkam.

Ali Iyāzī mendefinisikan tafsir fiqhī dengan tafsir dimana penafsirnya memprioritaskan kajiannya dengan penggalian hukum terhadap ayat yang berkaitan dengan hukum yang lima (al-Mufassirūn; Hayātuhum wa Manhajuhum, 88). Fokus kajiannya berupa ayat-ayat yang mengandung hukum bagi orang mukallaf baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Dalam kajian tafsir yang bercorak fiqhi, ayat semacam ini dikenal dengan istilah ayat ahkām.

Ragam karya tafsir ahkam tergantung pada banyaknya mazhab fikih yang dikenal dalam Islam. Dalam Mazhab Hanafi misalnya, ada Tafsir al-Jashshāsh yang terdiri dari 3 jilid. Kemudian gambaran fikih Mazhab Maliki bisa kita temukan dalam Tafsir al-Qurthūbī yang bernama al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān. Untuk Mazhab Syafi’i sendiri ada Tafsir al-Iklīl karya al-Syuyūthī. Kemudian ada Zād al-Masīr karya Ibn al-Jauzī yang mewakili fikihnya Mazhab Hambali. (Ushūl al-Tafsīr wa Manāhijuhū, 94).

Empat tafsir ini banyak dikenal oleh kalangan Ahlus Sunnah atau Sunni. Kemudian dalam mazhab  Syiah ada Masālik al-Afhām karya al-Kāzhimī dan Zubdat al-Bayān karya al-Muqaddas al-Irdiblī. Selain karya tafsir yang ditulis oleh para ulama’ dari dua aliran ini, masih ada lagi tafsir lainnya yang dimiliki oleh kalangan Khawarij dan Zhahirīyah (al-Mufassirūn; Hayātuhum wa Manhajuhum, 90).

Baca Juga: Mengenal Corak Tafsir Fiqhi dan Kitab-kitabnya

Ayat Ahkām; Jumlah dan Cara Mengetahuinya

Menurut Imam al-Ghazāli dan sementara ulama, jumlah ayat ahkām sebanyak 500 ayat dari total ayat-ayat al-Qur’an yang berjumlah 6236 ayat. Menurut sebagian yang lain, jumlahnya lebih sedikir yakni hanya 150 ayat. Mengenai jumlah yang sedikit ini ada yang berkata bahwa jumlah tersebut merupakan jumlah ayat yang secara jelas berbicara mengenai hukum sesuatu, karena dalam ayat-ayat kisah dan perumpamaan juga terdapat sebuah hukum yang bisa digali (al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, 5/1928).

Penggalian hukum pada ayat non ahkām relatif lebih berat karena melalui proses yang rumit dan cenderung melibatkan perangkat ilmu-ilmu yang lain. Kemudian mengenai jumlah ayat ahkām ini sumber lain yang mengatakan bahwa jumlahnya mencapai 700 ayat, 1100 ayat, dan bahkan sampai tidak terhingga (Fath al-‘Allām, 8). Perbedaan ini tidak lain kembali pada kejelian para penghitung ayat ahkām yang ada. Karena bisa jadi seorang ulama bisa menemukan sebuah hukum yang terkandung dalam ayat A namun ulama lain tidak bisa menemukannya.

Untuk mengetahui sebuah ayat mengandung hukum atau tidak, Imam ‘Izzuddīn ibn ‘Abdussalām menuliskan setidaknya ada 3 kriteria yang bisa menjadi panduan untuk hal tersebut; redaksi atau kosa kata yang dipilih, jumlah khabariyah yang digunakan, dan penyebutan konsekuensi dari suatu perbuatan (al-Imām fī Bayāni Adillat al-Ahkām, 79). Untuk redaksi seseorang harus faham mana kosa kata yang mengandung perintah, larangan dan lainnya. Kemudian untuk kriteria kedua sendiri yang dimaksudkan adalah jumlah khabariyah yang bermaksud perintah atau larangan (QS. al-Baqarah [2]: 228 dan QS. al-Nisā` [3]: 23).

Kemudian untuk mengetahui hukum yang ada dalam sebuah ayat, Imam ‘Izzuddīn ibn ‘Abdussalām – sebagaimana kutip Imam al-Suyūthī (5/1928) – menawarkan tiga cara yang bisa digunakan; langsung, proses istinbāth tanpa penggabungan antar ayat, dan istinbāth dengan penggabungan. Hal ini wajar mengingat ayat-ayat al-Qur’an bersifat saling berkait satu sama lain. Bahkan ada yang sampai yufassiru ba’dluhū ba’dlan (saling menafsirkan satu sama lain).

Sebuah hukum bisa diketahui secara langsung karena pesan yang ada sudah jelas dan tegas. Misalnya haramnya bangkai, darah, daging babi, dan lainnya yang tercantum dalam QS. al-Mā`idah [5]: 3. Kemudian status kehalalan jual beli dan keharaman praktik riba yang disebutkan dalam QS. al-Baqarah [2]: 275. Keharaman menikahi wanita-wanita yang Allah sebutkan dalam QS. al-Nisā` [4]: 23, dan sebagainya.

Baca Juga: Ragam Corak Tafsir Al-Quran

Cara berikutnya adalah melalui proses istinbāth tapi dengan mengaitkannya pada ayat-ayat lain. Misalnya bilangan 6 bulan yang menjadi usia minimal masa kehamilan. Bilangan ini diperoleh dari informasi yang ada pada QS. al-Ahqāf [46]: 15 setelah dipadukan dengan QS. Luqmān [31]: 14. Pada surat ke-46 yang ada pada juz 26 ini Allah menyebutkan bahwa masa mengandung dan menyusui adalah 30 bulan atau 2,5 tahun. Kemudian pada surah ke-31 Allah hanya menyebutkan masa menyusui saja, yakni 2 tahun atau 24 bulan. Dari dua informasi ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa masa mengandung bisa terjadi dalam 6 bulan. Yakni 30 bulan dikurangi 24 bulan.

Adapun cara terakhir adalah dengan ber-istinbāth tanpa penggabungan antar ayat-ayat al-Qur’an. Berbeda dengan yang kedua, cara ini lebih simpel karena seseorang tidak dituntut untuk mencari ayat lain yang berkaitan dengan ayat yang sedang dikajinya. Ia cukup memperhatikan ayat yang ada dengan seksama menggunakan perangkat ilmu penunjang yang dibutuhkan kemudian mengambil kesimpulan hukum yang dikandungnya. Misalnya adalah sahnya pernikahan sesama non-muslim yang bisa disimpulkan dari penyebutan al-Qur’an terhadap pasangan Abu Lahab dan istrinya dengan kata imra`atuhū (QS. al-Lahab [111]: 4). Kemudian juga mengenai sahnya puasa orang dalam keadaan junub dimalam hari yang bisa disarikan dari QS. al-Baqarah [2]: 187. wallāhu a’lam

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 26-28

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 26-28 melanjutkan kisah Nabi Nuh pada tafsir sebelumnya, bahwa keingkaran kaumya sudah diambang batas, Nuh pun berdoa kepada Allah dari sifat buruk kaumnya tersebut. Doapun dikabulkan, Allah memeritahkan Nuh untuk membuat sebuah kapal, yang nantinya akan digunakan oleh Nuh dan pengkutnya yang beriman, sementara mereka yang ingkar akan menerima azab dari Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 22-25


Ayat 26

Setelah Nuh melihat keingkaran kaumnya yang tidak mau menyadari kesesatan mereka, padahal Nuh cukup lama melaksanakan kewajiban dakwahnya, maka Allah mewahyukan kepadanya bahwa kaumnya tidak akan pernah beriman.

Pengikutnya yaitu orang-orang yang sudah beriman tidak akan bertambah lagi jumlahnya. Nuh kemudian berdoa kepada Tuhan supaya diberi pertolongan, seraya berdoa, “Ya Tuhanku, tolonglah aku, karena mereka mendustakan aku.” Doa Nuh itu disebutkan dalam firman Allah:

فَدَعَا رَبَّهٗٓ اَنِّيْ مَغْلُوْبٌ فَانْتَصِرْ

Maka dia (Nuh) mengadu kepada Tuhannya, ”Sesungguhnya aku telah dikalahkan, maka tolonglah (aku).” (al-Qamar/54: 10).

Dan seperti dalam firman-Nya:

وَقَالَ نُوْحٌ رَّبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْاَرْضِ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ دَيَّارًا

Dan Nuh berkata, ”Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. (Nuh/71: 26)

Ayat 27

Setelah doa Nuh diperkenankan, maka Allah mewahyukan kepada-nya, agar ia mulai membuat perahu di bawah pengawasan dan petunjuk wahyu-Nya, supaya perahu itu kokoh dan tidak mudah mengalami kerusakan dan supaya Nuh mengetahui teknik pembuatannya, sebab pembuatan sebuah perahu yang besar dan kukuh tentu saja memerlukan keahlian.

Apabila perintah Allah sudah datang untuk membinasakan kaumnya dengan topan yang besar, dan tanda-tandanya sudah tampak, yaitu tannµr tempat membakar roti di bawah tanah sudah mulai memancarkan air, maka Allah menyuruh Nabi Nuh memasukkan ke dalam perahu itu sepasang jantan dan betina dari tiap-tiap jenis binatang.

Dalam perahu dibuat bertingkat-tingkat. Tingkat yang paling bawah untuk binatang buas seperti singa, harimau, dan sebagainya.

Di tingkat kedua binatang ternak seperti: sapi, kambing, dan sebagainya. Di tingkat ketiga semua jenis burung sepasang-pasang dan di tingkat yang paling atas sekali


Baca Juga : Hidangan Manna dan Salwa dalam Al-Qur’an Beserta Manfaatnya


Nabi Nuh dengan sekalian keluarganya yang selamat, di antaranya tiga orang putranya: Sām, Hām dan Yafis. Adapun putra beliau yang bernama Kan’an termasuk orang yang tenggelam, karena ia tidak mau ikut bersama ayahnya.

Dengan dimasukkannya setiap jenis binatang yang ada pada waktu itu, maka perahu Nuh merupakan kebun binatang yang lengkap.

Semua binatang yang tidak masuk ke dalam perahu dan orang kafir yang tidak mengikuti ajakan Nabi Nuh ditenggelamkan dalam topan besar itu, sesuai dengan ancaman Allah bahwa mereka akan ditimpa azab.

Allah sebelumnya melarang Nuh supaya jangan memberitahukan rencana Allah dan maksud pembuatan perahu kepada orang-orang yang zalim itu, karena mereka semuanya akan ditenggelamkan.

Ayat 28

Allah memerintahkan kepada Nuh, jika ia bersama orang-orang yang beriman telah berada di atas perahu, maka ia harus mengucapkan pujian kepada Allah sebagai rasa syukur atas keselamatan mereka semuanya yang berada dalam perahu itu, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim.”

Ayat ini memberi petunjuk bahwa kita tidak boleh merasa gembira dengan turunnya azab kepada orang atau golongan lain, kecuali bila di dalamnya mengandung keselamatan bagi kaum mukminin, terhindarnya mereka dari bahaya kemusnahan, dan tersapu bersihnya dunia dari segala bentuk kemusyrikan dan kemaksiatan.

Menurut keterangan Ibnu ‘Abbas ra bahwa yang berada dalam perahu Nuh itu selain semua jenis binatang itu ada 80 orang manusia, yaitu Nuh beserta tiga orang putranya beserta istri-istrinya dan 72 orang mukmin umat Nuh yang setia kepadanya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 29-31


Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 23-25

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 22-25 secara umum mengisahkan tentang perilaku kaum Nabi Nuh yang menolak seruan untuk beriman kepada Allah Swt. Mereka menganggap Nabi Nuh sebagai manusia biasa yang menginginkan popularitas, bahkan mereka sampai mengatakan hal-hal yang tidak pantas, meskipun sadar bahwa tanda-tanda kerasulan sudah ada dalam diri Nabi Nuh.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 19-21


Ayat 23

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah mengutus Nuh kepada kaumnya untuk memberi peringatan kepada mereka tentang azab Allah, bila mereka membuat kemusyrikan kepada-Nya dan mendustakan Rasul-Nya, seraya berkata dengan lemah lembut kepada mereka.

“Hai kaumku, sembahlah olehmu Allah Yang Esa, jangan sekali-kali mempersekutukan-Nya, karena tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak merasa takut akan azab-Nya, dan menjauhkan diri dari menyekutukan-Nya?”

Ayat 24

Seruan Nabi Nuh yang lemah lembut ini dijawab dengan cemoohan kaumnya, bahwa Nuh tidak lain hanya seorang manusia biasa seperti mereka, tidak mempunyai kelebihan apa-apa, baik fisik maupun mental sehingga ia pantas untuk menjadi utusan Allah dan menerima wahyu.

Nuh dituduh hanya ingin menjadi orang yang kedudukannya lebih dari mereka, dan ingin lebih berkuasa. Untuk mencapai tujuannya itu, ia mengaku menjadi utusan Allah, padahal sebenarnya ia tidak pantas. Lalu mereka menyebutkan dua hal yang menjadi alasan untuk tidak mengakui Nuh sebagai utusan Allah.

Pertama, seandainya Allah menghendaki mengutus seorang rasul yang memerintahkan beribadah hanya kepada Allah saja, tentu Dia mengutus beberapa malaikat, dan bukan mengutus seorang manusia biasa.

Kedua, mereka belum pernah mendengar dari nenek moyang mereka sendiri apa yang dikemukakan oleh Nuh, tentang penyembahan hanya kepada Allah, Tuhan Yang Esa.

Seruan kepada ketauhidan itu tidak ada dalam tradisi nenek moyang mereka, maka mereka menentang keras dakwah Nabi Nuh. Hal demikian menunjukkan bahwa mereka telah terseret dalam taklid buta dan kesesatan.


Baca Juga : Sejarah dan Dinamika Tradisi Kelisanan Al-Qur’an dari Masa ke Masa


Ayat 25

Ayat ini menerangkan sikap orang-orang kafir akibat pandangan mereka yang meremehkan posisi Nuh sebagai rasul. Mereka mengatakan bahwa Nuh tidak lain hanyalah seorang laki-laki yang miring otaknya, yang berbicara seenaknya, dan apa yang diucapkannya tidak beralasan sama sekali, sehingga tidak perlu dilayani.

Oleh karena itu, mereka meminta kepada kaumnya untuk sabar sampai Nuh pada suatu waktu sadar dan kembali ke keadaannya yang normal dan kembali memeluk agama nenek moyang mereka.

Ucapan mereka itu menunjukkan keingkarannya, padahal mereka mengetahui, bahwa Nuh orang yang paling cerdas pikirannya di antara mereka.

Menyimak perkataan kaum Nabi Nuh, yang menolak kedudukannya sebagai rasul, bisa dikatakan bahwa setiap rasul seharusnya memiliki kelebihan dari umatnya dari segi akhlak dan mukjizat. Seorang rasul kedudukannya harus lebih tinggi karena dengan demikian semua petunjuknya akan diikuti.

Di samping itu seorang rasul harus berwibawa, supaya dengan wibawanya ia dapat memimpin umatnya ke jalan yang benar, dan rasul itu maksum, yakni terpelihara dari segala dosa termasuk kesombongan.

Ucapan mereka bahwa seruan kepada ketauhidan itu belum pernah mereka terima dari nenek moyang mereka dahulu. Padahal ucapan mereka itu tidak cukup untuk dijadikan alasan menolak risalah Nuh. Tuduhan mereka bahwa Nabi Nuh menderita sakit ingatan, bertentangan dengan kenyataan yang mereka lihat dan alami sendiri.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 26-28


Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 19-22

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Sebelumnya telah dijelaskan bagaimana kekuasaan Allah Swt, diantaranya adalah langit dan segala isinya. Adapun Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 19-21 berbicara tentang salah satu dari peran langit, yaitu hujan, bahwa hujan termasuk dari fenomena alam yang sangat penting untuk kelansungan makhluk hidup di dunia.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 15-18


Selain itu, Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 19-21 juga menerangkan tentang manfaat dari hewan, diantaranya adalah berternak. Dengan beternak, hewan tersebut bisa dikosumsi ataupun bisa dijual, terlebih lagi, Allah akan menanamkan perasaan ‘bahagia’ bagi si peternak terhadap hewan yang ia ternaki.

Ayat 19-20

Lalu dengan sebab air hujan itu Allah menumbuhkan untuk manusia kebun-kebun kurma dan anggur dan buah-buahan lain yang ber-aneka warna yang dapat di makan. Ada pula dari tanam-tanaman itu yang menjadi sumber penghidupan, seperti dari hasil pohon lada, pala, cengkeh dan sebagainya.

Dijadikan pula untuk manusia sejenis pohon kayu yang keluar dari gunung Sinai yaitu pohon zaitun yang banyak tumbuh di sekitar gunung itu, yang banyak menghasilkan minyak dan sering digunakan untuk melezatkan hidangan dan pada akhir-akhir ini dapat pula dijadikan bahan kosmetik dan obat-obatan karena minyak zaitun tidak mengandung kolesterol yang berbahaya bagi tubuh.

Ayat 21

Sesungguhnya pada penciptaan binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran yang sangat penting bagi manusia di samping manfaatnya yang besar sebagai nikmat pemberian Allah.

Binatang ternak bisa menjadi sumber pembelajaran dan bahan riset, misalnya bagaimana sapi yang makanan utamanya, setelah dikunyah dan masuk dalam perutnya, saripatinya kemudian bercampur dengan darah bisa menghasilkan susu yang sangat bermanfaat bagi tubuh.

Dari perutnya kemudian, Allah berkuasa untuk me-misahkan air susu dari percampuran dua benda yang kotor itu, yaitu darah dan kotoran sapi yang ada diperutnya, sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

وَاِنَّ لَكُمْ فِى الْاَنْعَامِ لَعِبْرَةً ۚ نُسْقِيْكُمْ مِّمَّا فِيْ بُطُوْنِهٖ مِنْۢ بَيْنِ فَرْثٍ وَّدَمٍ لَّبَنًا خَالِصًا سَاۤىِٕغًا لِّلشّٰرِبِيْنَ

Dan sungguh, pada hewan ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari apa yang ada dalam perutnya (berupa) susu murni antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya (an-Nahl/16: 66)


Baca Juga : Mencari Unsur Kemuliaan dalam Lafadz “Haram” Melalui Kacamata Isytiqaq Saghir


Kemudian Allah menggambarkan dalam ayat lain kebahagiaan yang dirasakan pemilik sapi ketika melepaskan sapi-sapinya ke padang rumput di pagi hari. Kebahagiaan yang sama juga dirasakannya ketika ternak-ternak itu kembali ke kandangnya pada sore hari. Firman Allah:

وَلَكُمْ فِيْهَا جَمَالٌ حِيْنَ تُرِيْحُوْنَ وَحِيْنَ تَسْرَحُوْنَۖ

Dan kamu memperoleh keindahan padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya (ke tempat penggembalaan). (an-Nahl/16: 6).

Jika diperinci, terdapat banyak manfaat yang diperoleh manusia dari binatang ternak itu:

  1. Air susu yang sangat lezat untuk diminum dan mengandung berbagai unsur yang dibutuhkan tubuh agar tetap sehat, juga dapat dijadikan mentega, keju, dan lain-lain.
  2. Bulu atau rambutnya dapat dijadikan bahan pakaian dan selimut yang sangat berguna terutama di musim dingin.
  3. Dagingnya dapat dimakan segera atau diawetkan dalam kaleng.
  4. Dijadikan kendaraan, terutama untuk pergi ke tempat yang jauh yang sulit dicapai dengan kendaraan lain seperti tersebut dalam ayat 21.

وَتَحْمِلُ اَثْقَالَكُمْ اِلٰى بَلَدٍ لَّمْ تَكُوْنُوْا بٰلِغِيْهِ اِلَّا بِشِقِّ الْاَنْفُسِۗ

Dan ia mengangkut beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup mencapainya, kecuali dengan susah payah. (an-Nahl/16: 7)

Ayat 22

Di atas punggung binatang ternak itu, terutama unta, dapat dijadikan sarana untuk mengangkut manusia atau barang ke tempat yang sangat jauh melalui padang pasir yang sulit untuk dilalui oleh kendaraan lain, di samping dapat mempergunakan kapal-kapal sebagai kendaraan di laut.

وَّالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيْرَ لِتَرْكَبُوْهَا وَزِيْنَةًۗ وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui. (an-Nahl/16: 8)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 22-25


Pengaruh Kesarjanaan Barat Terhadap Transformasi Kajian Akademik Al-Quran dan Tafsir di Indonesia

0
Pengaruh kesarjanaan Barat terhadap transformasi kajian akademik Al-Quran dan tafsir
Pengaruh kesarjanaan Barat terhadap transformasi kajian akademik Al-Quran dan tafsir

Sabtu, 28 Agustus 2021, tafsiralquran.id bekerja sama dengan prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Institut Pesantren KH. Abdul Chalim, Mojokerto kembali menyelenggarakan Serial Diskusi Tafsir. Kali ini mengusung tema ‘Pengaruh Kesarjanaan Barat dalam Kajian Tafsir di Indonesia’. Bertindak sebagai pembicara adalah Dr. Yusuf Rahman, MA., Dosen senior, Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan juga peneliti yang produktif.

Salah satu konsentrasi penelitiannya hingga sekarang, yaitu tentang kesarjanaan Barat dalam kajian Al-Quran dan tafsir, mulai dari respon dan resepsi terhadapnya hingga pengaruhnya terhadap transformasi kajian akademik Al-Quran dan tafsir. Hasil peneitian ini sudah terbit dan bisa diakses di beberapa jurnal nasional maupun internasional dan buku, namun ada pula yang masih proses penulisan, yang membahas tentang ‘Western Quranic Studies in the Indonesian Islamic Universities’, sebuah penelitian bersama Dr. Ervan Nurtawab yang meneliti tentang pengaruh kesarjanaan barat dalam kajian Al-Quran dan tafsir di beberapa perguruan tinggi Islam Negeri di Indonesia.

Baca Juga: Kajian Barat atas Timur: Dari Edward Said Sampai Angelika Neuwirth

Respon teologis-polemis dan resepsi akademis-reformis

Mengenai respon dan resepsi terhadap karya kesarjanaan non-muslim Barat tentang Al-Quran dan tafsir misalnya, pak Yusuf (sapaan beliau) telah mengulasnya dalam tulisannya yang berjudul Theological and Polemical Reception on Western Scholarship in Al-Qur’an and Tafsir Studies in Indonesia. Di sini Yusuf Rahman mengkalsifikasi respon sarjana muslim Indonesia menjadi dua, positif dan negatif. Respon negatif setidaknya diwakili oleh nama-nama sarjana muslim seperti Hamid Fahmi Zarkasyi, Adnin Armas, Syamsuddin Arif, dan Adian Husaini. Respon mereka mengerucut pada satu tesis bahwa karya kesarjanaan Barat itu tidak dapat diterima, karena akan membahayakan umat Islam.

Kelompok ini juga beralasan pada Al-Quran, surah Al-Baqarah ayat 120 ‘wa lan tardha ‘anka al-yahudu wa lan nashara hatta ttabi’a millatahum’ yang dikawatirkan akan terjadi melalui penerimaan karya-karya Sarjana non-muslim Barat. Oleh karena alasan inilah, Yusuf Rahman mengkategorikan respon ini dengan respon teologis dan polemis.

Sedang untuk respon yang positif dapat ditemui dalam beberapa karya sarjana muslim lainnya, seperti Nur Kholis Setiawan, Sahiron Syamsuddin, Almakin dan Mun’im Sirry. Positif di sini berarti menerima, namun tidak berarti mengiyakan dan menyetujui langsung semua isi dan klaim dari para sarjana non muslim Barat tersebut. Mereka melakukan pemetaan terhadap karya-karya Kesarjanaan Barat secara akademik, dan menghasilkan kesimpulan bahwa motif, pandangan, pendekatan dan tujuan para sarjana non-muslim Barat dalam kajian Al-Quran dan tafsir itu berbeda-beda, dalam istilah Mun’im Sirry kita kenal revisionis dan tradisionalis, dalam tesis Sahiron Syamsuddin kita kenal the historical critical approaches, the interpretive approaches, descriptive anthropological and sociological approaches. Untuk respon yang kedua ini, Yusuf Rahman menyebutnya dengan resepsi akademis dan reformis.

Baca Juga: Studi Al-Quran di Barat, Antara Iman dan Objektifitas Akademik

Transformasi kajian akademik Al-Quran dan tafsir

Kehadiran karya-karya kesarjanaan non-muslim Barat di tengah pengkaji Al-Quran dan tafsir di Indonesia khusunya, tentu berpengaruh pada model kajian Al-Quran dan tafsir. Jika sebelumnya kajian Al-Quran masih normatif, motivasinya adalah dakwah Islam, bukan akademik, mau melakukan kajian kritis masih ada kekawatiran dianggap menghancurkan Al-Quran dan Islam, maka tesis dan kesimpulan para Sarjana non-muslim Barat ini mengubah kajian Al-Quran dan tafsir menjadi kajian akademik.

“sisi positif dari kesarjanaan Barat mengajarkan kita untuk bisa mengkaji secara akademik terhadap kajian Al-Quran dan tafsir” komentar pak Yusuf Rahman.

Salah satu ciri dari kajian akademik menurutnya adalah ‘Thesis-Driven’, maksudnya adalah sebuah kajian harus didasarkan pada beberapa klaim dan juga harus menawarkan klaim yang lain, dan ini juga berlaku untuk kajian Al-Quran dan tafsir “kajian atau sebuah karya harus didasarkan pada perdebatan masyarakat akademik, perdebatan teoritis masyarakat akademik, perdebatan kesimpulan masyarakat akademik, harus punya musuh dalam kesimpulan, bukan musuh dalam agama” demikian pak Yusuf Rahman memberi catatan.

Bagaimana bentuk transformasi tersebut? Stay tune di tafsiralquran.id!

Ketika Al-Quran Dibaca, Dengarkan dan Perhatikanlah!

0
Ketika Al-Quran dibaca
Ketika Al-Quran dibaca

Di antara adab ketika Al-Quran dibacakan adalah mendengarkannya dengan baik dan diam, tidak berisik atau berbuat sesuatu yang menyebabkan kegaduhan. Hal ini sebagai praktik dari firman Allah:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dan apabila dibacakan Al-Quran maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf [7]: 204)

Imam An-Nawawi berkata dalam kitabnya, At-Tibyan Fii Adabi Hamalatil Quran, “Di antara penghormatan terhadap Al-Quran, yaitu menghindari tertawa, bersorak-sorai, dan berbincang-bincang ketika Al-Quran dibaca, kecuali perkataan yang sangat mendesak. Adab ini ia dasarkan pada riwayat Ibnu Abi Daud, dari Ibnu Umar ra bahwa jika membaca Al-Quran ia tidak berbicara hingga menyelesaikannya.”

Baca Juga: Ketahui Sembilan Adab Ketika Membaca Al-Quran

Sebagian para mufasir menyebutkan bahwa perintah diam pada ayat di atas khusus bagi orang yang shalat bersama imam, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

إِنَّمَا جُعِلَ اْلإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا ، وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوْا

Sesungguhnya dijadikannya imam untuk diikuti, jika bertakbir maka bertakbirlah dan jia ia membaca maka diamlah.” (HR. Muslim)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan Allah memerintahkan diam ketika Al-Quran dibaca sebagai penghormatan dan pemuliaan terhadap Al-Quran, sehingga tidak seperti orang kafir yang mengatakan, “Janganlah kamu mendengarkan (bacaan) Al-Quran ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya.” (QS. Fushilat [41]: 26). Adapun dalam shalat maktubah (lima waktu) maka perintah untuk mendengarkan bacaan Al-Quran itu lebih ditekankan saat Imam membaca Al-Quran dengan bacaan jahr (bacaan yang nyaring).

Namun demikian, perintah untuk diam dalam ayat tersebut bukanlah diam pasif, tanpa memberikan respon apapun terhadap bacaan yang didengar terutama ketika mendengar bacaan di luar shalat, karena Nabi Saw pernah menegur para sahabat yang hanya diam tanpa respon apapun ketika dibacakan Al-Quran di hadapan mereka.

Dari Jabir ia berkata ketika Rasulullah Saw membacakan surah Ar-Rahman kepada para sahabat hingga selesai, beliau bersabda, “Mengapa saya melihat kalian diam saja? Sungguh kalangan Jin merespon lebih baik dari kalian, tidaklah aku membacakan kepada mereka berkali-kali ayat ‘فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ’ ‘maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan’, kecuali mereka mengatakan: wahai Rab kami tidak ada sesuatupun dari nikmat-Mu yang kami dustakan maka bagi-Mu lah segala pujian.” (HR. Tirmidzi dan Al-Hakim). Ini pula yang disampaikan oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki dalam Al-Qawaid Al-Asasiyah si Ulumil Quran

Rasulullah Saw memberi pujian pada kalangan jin karena mereka memiliki respek yang baik ketika beliau Saw membacakan Al-Quran kepada mereka, tidak hanya diam saja dan pasif tanpa respon apapun. Bahkan Allah memuji bangsa jin yang mendengarkan bacaan Al-Quran dengan baik dan mengatakan kepada sesamanya agar diam, dan setelah selesai mendengar mereka segera kembali kepada kaumnya untuk memberi peringatan. Allah Swt berfirman:

وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِّنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنصِتُوا فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَىٰ قَوْمِهِم مُّنذِرِينَ

Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”. Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.” (QS. Al-Ahqaf [46]: 29)

Imam Al-Qurthubi berkata: ayat ini sebagai celaan terhadap orang musyrik quraisy yang berpaling dan tetap pada kekafiran setelah mendengar Al-Quran sedangkan kalangan Jin mereka mendengar lalu beriman dan meyakini bahwa hal ini datangnya dari Allah.

Baca Juga: Mengaplikasikan Metode Tadabbur Saat Membaca Al-Quran dan Langkah-Langkahnya

Kesimpulan

Al-Quran adalah Kalamullah (firman Allah) yang berarti ketika seseorang membacanya, Allah sedang berbicara kepada hamba tersebut termasuk kepada yang mendengarkannya. Maka sepatutnya ketika dibacakan Al-Quran adalah mendengarkan dan diam agar bisa menyimak dengan baik apa yang sedang difirmankan Allah.

Sebagaimana nasehat dari Hasan Al-Basri rahimahullah, “Jika kau ingin Allah bicara padamu; maka bacalah Quran. Dan jika kau ingin bicara pada Allah; maka shalatlah.” Kemudian memberikan respon terbaik setelah mendengarkannya baik melalui lisan ataupun perbuatan. Jika melewati ayat tentang azab maka segera mohon perlindungan, jika ada perintah segera dilaksanakan dan jika ada larangan segera ditinggalkan, sehingga menunjukkan bahwa kita benar-benar memahami Kalamullah. Untuk itu bahasa Arab menjadi penting untuk dipelajari agar bisa memahami, kalaupun tidak, minimal kita mau membaca Al-Quran dan terjemahannya agar lebih mudah memahami Al-Quran. Wallah a’lam

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 15-18

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 15-18 menegaskan bahwa kekuasaan Allah Swt. itu mutlak, setelah menjelaskan proses penciptaan manusia, di sini Allah mempertegas bahwa setiap manusia pasti akan menemui kematian, yang sifatnya rahasia dan tidak bisa dihindari.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 14 (2)


Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 15-18 juga menjelaskan bahwa Allah menciptakan tujuh lapis langit, yang setiap tingkatannya memiliki peran berbeda, termasuk darinya seperti, tempat berkumpulnya awan dan turunnya hujan, darinya kita bisa melihat bulan, bintang, matahari, serta di langit terdapat planet-planet yang beredar sesuai porosnya.

Ayat 15

Kemudian sesudah penciptaanmu yang pertama itu, kamu sekalian pasti akan menemui ajalmu yang telah ditentukan. Allah berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗوَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ

Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami. (al-Anbiyā`/21: 35)

Ayat 16

Kemudian sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan dari kuburmu pada hari Kiamat, untuk dihisab segala amal perbuatanmu selama berada di dunia ini, yang baik akan diberi pahala, yang buruk akan diberi siksa.

Ayat 17

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah menciptakan di atas manusia tujuh lapis langit, sebagian berada di atas sebagian lain yang menjadi tempat peredaran bintang-bintang, yang telah dikenal orang sejak dahulu kala, dan telah ditemukan lagi beberapa bintang lainnya oleh ulama falak pada masa kini.

Allah sekali-kali tidaklah lengah terhadap semua ciptaan itu, baik terhadap peredaran-peredaran maupun terhadap yang lainnya, karena peredaran semua planet di angkasa luar itu mengikuti peraturan tertentu.

Seandainya Allah lengah terhadapnya, niscaya akan terjadi benturan-benturan planet itu satu sama lain, yang mengakibatkan timbulnya bencana yang tidak dapat diperkirakan kedahsyatannya. Memang itu pun akan terjadi, akan tetapi waktunya nanti pada hari Kiamat, di mana segala sesuatunya telah direncanakan di Lauh Mahfuz.


Baca Juga : Tafsir An-Nahl Ayat 12: Tanda Kekuasaan Allah dalam Pergerakan Matahari


Ayat 18

Lalu Allah menurunkan dari langit air hujan dengan kadar yang diperlukan, tidak terlalu lebat sehingga menimbulkan bencana banjir dan tidak terlalu sedikit sehingga cukup untuk mengairi kebun-kebun yang memerlukannya.

Ada pula tanah-tanah yang memerlukan banyak air, akan tetapi tidak tahan menerima hujan yang lebat, maka air yang diperlukan itu didatangkan dari negeri lain melalui sungai-sungai yang besar seperti sungai Nil di Mesir yang bersumber di tengah-tengah benua Afrika.

Di samping membawa air yang diperlukan, juga membawa lumpur yang sangat bermanfaat untuk menambah kesuburan. Air dapat tersimpan  baik sebagai sungai-sungai, danau-danau dan bahkan sebagian tersimpan dalam bumi sebagai air tanah dangkal maupun air tanah  dalam atau sering disebut sebagai groundwater.

Sebagian dari air itu dijadikan Allah menetap dalam bumi untuk mengisi sumur-sumur dan parit-parit yang berfungsi dalam bidang irigasi, dan karena air dalam bumi itu bersentuhan pula dengan lapisan-lapisan logam dan zat kimia lainnya.

Air itu mengandung unsur-unsur kimiawi yang menambah kesuburan tanah, dan bila lewat di lereng gunung-gunung berapi dapat pula menjadi sumber-sumber air panas yang mengandung belerang, dan dapat dijadikan tempat pemandian air panas yang sangat berguna untuk menyembuhkan penyakit kulit dan sebagainya.

Semua sumber penggunaan air itu, jika dimanfaatkan dengan rasa syukur kehadirat Allah, niscaya akan dapat dinikmati, akan tetapi jika manusia serakah dan merusaknya, maka sesungguhnya Allah berkuasa pula untuk menghilangkannya, terutama bila tempat-tempat itu dipakai untuk perbuatan maksiat.

(Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 19-21

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 14 (2)

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Setelah melewati tahap dari air mani hingga pembentukan tulang belulang, maka Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 14 (2) akan menjelaskan bagaimana proses manusia selanjutnya, yaitu saat penenaman daging, otot, kulit, hingga lahir dan tumbuh menjadi manusia dewasa dan berakal. Ketika dewasa, manusia akan menjalani beragam aktivitasnya, yang aktivitas/amal tersebut akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 14 (1)


Ayat 14 (2)

  • Dua tahapan terakhir yang disebutkan pada surah al-Mu’minun/23: 14 bercerita tentang ‘pembentukan tulang belulang’ setelah tahap mudgah.

Pada akhirnya, ceritera diakhiri dengan memberinya “baju”, yang terdiri atas daging dan otot.  Apabila kita mengikuti pertumbuhan embrio, maka kira-kira pada umur empat minggu suatu proses ‘diferensiasi’ mulai berjalan.

Dalam proses ini kelompok-kelompok sel pada embrio akan berubah bentuk dan mulai membentuk organ-organ berukuran besar.  Salah satu yang berkembang pertama kali adalah tulang tengkorak.

Proses ini akan disusul kemudian oleh pembentukan calon otot, telinga, mata, ginjal, jantung dan banyak lagi.

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis dari Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah mengatakan:

ِانَّ اَحَدَكُمْ لَيُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطْنِ اُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُوْنَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَالِكَ، ثُمَّ يَكُوْنَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَالِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ اِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفَخُ فِيْهِ الرُّوْحُ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعَةِ كَلِمَاتِ: رِزْقُهُ وَاَجَلُهُ وَعَمَلُهُ، وَهَلْ هُوَ شَقِيٌّ اَمْ سَعِيْدٌ؟ فَوَالَّذِي لاَ ِالَهَ غَيْرُهُ اِنَّ اَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ اَهْلِ الْجَنَّةِ حَتىَّ مَا يَكُوْنَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا اِلاَّ ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيُخْتَمُ لَهُ بِعَمَلِ اَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَاِنَّ اَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ اَهْلِ النَّارِ حَتىَّ مَا يَكُوْنَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا اِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيُخْتَمُ لَهُ بِعَمَلِ اَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا. (رواه احمد)

“Sesungguhnya seseorang di antara kamu dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya empat puluh hari, kemudian menjadi ‘alaqah seperti itu, kemudian menjadi mudhgah (gumpalan daging) seperti itu. Kemudian malaikat diutus kepadanya, lalu ia meniupkan ruh padanya. Dan  ia diperintahkan kepada empat kalimat, rizqinya, ajalnya, amalnya, dan apakah ia seorang yang celaka atau bahagia. Demi Zat yang tidak ada tuhan selain-Nya, sesungguhnya seseorang di antara kamu beramal amalan penghuni surga, sehingga antara dia dan surga hanya tinggal satu hasta saja. Namun dia sudah tercatat sebagai penghuni neraka, maka ia mengakhiri amalnya dengan amalan penghuni neraka, sehingga ia masuk neraka. Dan sesungguhnya seseorang di antara kamu beramal amalan penghuni neraka, sehingga antara dia dengan neraka hanya tinggal satu hasta saja. Namun  ia sudah tercatat sebagai penghuni surga, maka ia mengakhiri amalnya dengan amalan penghuni surga, sehingga ia masuk surga.” (Riwayat Ahmad)


Baca Juga : Tafsir Al-Mukminun Ayat 12-14: Menjadi Insan Kamil Perspektif Murtadha Muthahhari


Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab berkata: Keinginanku bersesuaian dengan kehendak Allah pada empat perkara.

Pertama: Saya usulkan pada Rasulullah saw supaya di belakang Maqam Ibrahim dijadikan tempat salat maka turunlah firman Allah:

وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَّقَامِ اِبْرٰهٖمَ مُصَلًّىۗ

Dan jadikanlah maqam Ibrahim  itu tempat salat. (al-Baqarah/2: 125)

Kedua: Saya usulkan kepada Rasulullah saw supaya istri-istrinya memasang tabir (hijab) bila kedatangan tamu laki-laki, yang kadang-kadang tidak saleh semuanya, maka turunlah firman Allah:

وَاِذَا سَاَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَسْـَٔلُوْهُنَّ مِنْ وَّرَاۤءِ حِجَابٍۗ

Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (al-Ahzāb/33: 53)

Ketiga: Saya berkata kepada istri-istri Nabi supaya berhenti menimbulkan kesulitan kepada beliau, karena mungkin Allah akan memberi ganti dengan istri-istri yang lebih baik, maka turunlah firman Allah:

عَسٰى رَبُّهٗٓ اِنْ طَلَّقَكُنَّ اَنْ يُّبْدِلَهٗٓ اَزْوَاجًا خَيْرًا مِّنْكُنَّ

Jika dia (Nabi) menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu. (at-Tahrim/66: 5)

Keempat: Setelah turun ayat 12, 13 dan 14 Surah al-Mu`minµn, maka saya ucapkan  fatabārakallāhu aḥsanul Khāliqin, dan Rasululah saw bersabda, “Demikian itu sesuai dengan yang diturunkan-Nya.”

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 15-18


Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 14 (1)

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Sebelumnya telah disinggung sedikit soal awal penciptaan manusia, dan pada Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 14 (1) ini akan dijelaskan kembali proses bagaimana manusia itu terlahir ke dunia, dimulai dari sepercik ‘air mani’ lalu tumbuh, berkembang, menjadi sesuatu yang hidup, dan memiliki bentuk yang khas lagi istimewa. Untuk lebih jelasnya, simak penjelasan berikut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 8-13


Ayat 14

Kemudian air mani itu Kami (Allah) kembangkan dalam beberapa minggu sehingga menjadi al-‘alaq (yang menempel di dinding rahim), dari al-‘alaq dijadikan segumpal daging, dan segumpal daging dijadikan tulang belulang, dan ada bagian yang dijadikan daging, kemudian tulang belulang itu dibungkus dengan daging, laksana pakaian penutup tubuh.

Kemudian dijadikan makhluk yang (berbentuk) lain, setelah ditiupkan Roh ke dalamnya, sehingga menjadi manusia yang sempurna, dapat berbicara, melihat, mendengar, berpikir yang tadinya hanya merupakan benda mati. Maka Mahasuci Allah, Pencipta Yang Paling Baik.

Menurut para saintis, Tahapan-tahapan dalam embriologi manusia sebagai berikut:

  • Nutfah, atau dalam bahasa Arabnya ‘nutfa’, mempunyai arti ‘sedikit air’, atau ‘setetes air’. Hal ini jelas mendeskripsikan air yang sedikit yang dipancarkan lelaki saat bersanggama. Air yang sedikit ini mengandung sperma.

Sperma atau spermatozoa terdapat di dalam air yang menjijikan dan berbentuk ikan yang berekor panjang (ini adalah salah satu arti kata sulalah).

Dalam surah As-Sajdah/32 ayat 8, air mani disebut sebagai “….. Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang diremehkan….” Surah al-Insān/76 ayat 2 dan as-Sajdah/32 ayat 8 berkaitan dengan kandungan dari air mani.


Baca Juga: Hakikat Penciptaan Manusia dalam Surah al-Dzariyat ayat 56


Ilmu pengetahuan modern menemukan bahwa air mani terdiri atas empat macam lendir yang berbeda yang dihasilkan oleh empat kelenjar yang berbeda, yaitu kelenjar biji pelir, kelenjar saluran seminal, kelenjar prostat, dan kelenjar saluran kencing.

  • Sperma dibentuk di dalam buah pelir. Buah pelir sendiri dibentuk, sebagaimana dibuktikan ilmu pengetahuan, oleh sel-sel yang ada di bawah bakal ginjal, di bagian punggung embrio.

Kelompok sel ini kemudian turun sampai di bawah tulang rusuk, pada saat beberapa minggu sebelum kelahiran bayi. Diperkirakan jumlah sperma dalam satu kali ejakulasi adalah 500 – 600 juta ekor.

Akan tetapi dari jumlah tersebut, hanya satu yang dapat melakukan pembuahan.  Setelah terjadi pembuahan, maka terjadi perubahan cepat dari indung telur.  Ia segera menghasilkan membran yang mencegah sperma lain untuk ikut membuahi.

  • Setelah sel telur dibuahi, dan menempelkan diri di dinding uterus dan memperoleh makanan dari ibunya, maka ia akan tumbuh cepat.

Pada waktu dua sampai tiga minggu kemudian, apabila dilihat dengan mata telanjang, ia akan berubah dari bentukan ‘lintah’  atau “‘alaqah” ke bentukan ‘mudhgah’ atau ‘daging yang telah dikunyah’.  Pola yang terakhir ini sebetulnya dibentuk oleh adanya tonjolan dan lekukan, yang pada waktunya nanti akan menjadi organ-organ dalam (jantung, usus) dan luar (kaki, tangan).

Surah al-Hajj/22: 5 menambahkan satu catatan dari embrio.  Dalam ayat ini, mudghah dideskripsikan dengan tambahan “yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna kejadiannya …..”

Ini menggambarkan hal yang terjadi pada tahap ‘diferensiasi’, dimana banyak organ mulai berkembang dalam waktu yang tidak bersamaan.  Sehingga menimbulkan situasi antara selesai di bagian lain namun belum sempurna di bagian lainnya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 14 (2)