Beranda blog Halaman 236

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 8-13

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 8-13 meneruskan tafsir sebelumnya tentang sifat-sifat orang beriman yang beruntung, yaitu mereka yang memenuhi janji, serta melaksanakan shalat lima waktu, mereka yang menjalankan tujuh sifat tersebut akan mendapatkan syurga firdaus, sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 1-7


Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 8-13 juga menerangkan tentang awal penciptaan manusia, bahwa manusia berasal dari sari pati tanah, kemudian dengan kuasa-Nya, manusia juga berasal dari air mani. Ini menunjukkan bahwa manusia tercipta dari bahan yang tidak istimewa, manusia diajarkan untuk tetap merendah, tidak sombong, dan menyadari bahwa kelak manusia pun akan kembali ke awal terciptanya, yaitu tanah.

Ayat 8

Memelihara amanat-amanat yang dipikulnya dan menepati janjinya. Dalam ayat ini Allah menerangkan sifat keenam dari orang mukmin yang beruntung itu, ialah suka memelihara amanat-amanat yang dipikulnya, baik dari Allah ataupun dari sesama manusia, yaitu bilamana kepada mereka dititipkan barang atau uang sebagai amanat yang harus disampaikan kepada orang lain, maka mereka benar-benar menyampaikan amanat itu sebagaimana mestinya, dan tidak berbuat khianat.

Demikian pula bila mereka mengadakan perjanjian, mereka memenuhinya dengan sempurna. Mereka menjauhkan diri dari sifat kemunafikan seperti tersebut dalam sebuah hadis yang masyhur, yang menyatakan bahwa tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu kalau berbicara suka berdusta, jika menjanjikan sesuatu suka menyalahi janji dan jika diberi amanat suka berkhianat.

Ayat 9-10

Memelihara salat yang lima waktu. Dalam ayat ini Allah menerangkan sifat yang ketujuh, yaitu orang mukmin yang berbahagia itu selalu memelihara dan memperhatikan salat lima waktu secara sempurna, tepat waktu, dan memenuhi persyaratan dan rukun-rukun.

Ayat ini tidak sama dengan ayat kedua di atas, sebab di sana disebutkan bahwa mereka khusyuk dalam salatnya, sedangkan di sini disebutkan, bahwa mereka selalu memelihara salat dengan tertib dan teratur.

Kelompok ayat-ayat ini dimulai dengan menyebutkan salat dan disudahi pula dengan menyebut salat, hal ini memberi peringatan betapa pentingnya salat yang telah dijadikan tiang agama.

Rasulullah pernah bersabda, “Barang siapa yang mendirikan salat sungguh ia telah mendirikan agama dan barang siapa yang meninggalkan salat, sungguh ia telah merobohkan agama.” Berikut penjelasan hadis mengenai keutamaan salat:

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَيُّ الْعَمَلِ اَحَبُّ اِلَى اللهِ قَالَ اَلصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا قُلْتُ ثُمَّ اَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قُلْتُ ثُمَّ اَيٌّ قاَلَ اَلْجِهَادُ فِى سَبِيْلِ اللهِ.( رواه الشيخان)

Dari Abdullah bin Mas’ud berkata, saya bertanya kepada Rasulullah, amalan apa yang paling dicintai Allah, Nabi menjawab, salat pada waktunya, kemudian apa? Nabi menjawab, birrul wālidain (berbuat baik kepada kedua orang tua). Kemudian apa lagi? Nabi bersabda, jihad di jalan Allah. (Riwayat asy-Syaikhān)

Tersebut pula dalam sebuah hadis Nabi saw:

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ النَِّبيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ ِاسْتَقِيْمُوْا وَلَنْ تَحُصُّوْا، اِعْلَمُوْا اَنَّ خَيْرَ اَعْمَالِكُمْ  اَلصَّلاَةُ وَلاَيُحَافِظُ عَلَى الصَّلاَةِ اِلاَّ مُؤْمِنٌ.( رواه احمد والحاكم والبيهقى)

Dari Tsaubān, Nabi bersabda, “Istiqamahlah kamu dan jangan menghitung-hitung. Ketahuilah bahwa perbuatanmu yang paling baik ialah salat, dan tidak ada orang yang menjaga salat melainkan orang yang beriman. (Riwayat Ahmad, al-Hākim dan al-Baihaqi)


Baca Juga : Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 14-16: Asal Mula Penciptaan Manusia dan Jin


Ayat 11

Mereka yang memiliki tujuh sifat mulia itu akan mewarisi surga, disebabkan amal kebajikan mereka selama hidup di dunia, yaitu surga Firdaus yang paling tinggi, yang di atasnya berada `Arsy Allah Yang Maha Pemurah, dan mereka kekal di dalamnya. Umar meriwayatkan sebuah hadis, dimana Rasulullah saw bersabda:

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ اُنْزِلَ عَلَيَّ عَشْرُ اَيَاتٍ مَنْ اَقَامَهُنَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ (ثُمَّ قَرَأَ قَدْ َأفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ) حَتىَّ خَتَمَ الْعَشْرَ.( رواه الترمذي)

Dari Umar bin al-Khattab, Rasulullah bersabda, “Telah diturunkan kepadaku sepuluh ayat: Barang siapa yang menegakkannya akan masuk surga, lalu ia membaca sepuluh ayat ini dari permulaan Surah al-Mu`minun. (Riwayat at-Tirmizi)

Ayat 12

Sesungguhnya Kami (Allah) telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Ada segolongan ahli tafsir menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan manusia di sini ialah keturunan Adam termasuk kita sekalian, yang berasal dari air mani.

Dari hasil penelitian ilmiah, sebenarnya air mani itu pun berasal dari tanah setelah melalui beberapa proses perkembangan. Makanan yang merupakan hasil bumi, yang dimakan oleh manusia, dan alat pencernaannya berubah menjadi cairan yang bercampur dengan darah yang menyalurkan bahan-bahan hidup dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh manusia ke seluruh bagian anggotanya.

Jika manusia itu meninggal dunia dan dimasukkan ke dalam kubur di dalam tanah, maka badannya akan hancur lebur dan kembali menjadi tanah lagi, sesuai dengan firman Allah:

۞ مِنْهَا خَلَقْنٰكُمْ وَفِيْهَا نُعِيْدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً اُخْرٰى

Darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu dan kepadanyalah Kami akan mengembalikan kamu, dan dari sanalah Kami akan mengeluarkan kamu pada waktu yang lain. (Thāhā/20: 55)

Ayat 13

Kemudian Kami (Allah) tempatkan saripati air mani itu dalam tulang rusuk sang suami yang dalam persetubuhan dengan istrinya ditumpahkan ke dalam rahimnya, suatu tempat penyimpanan yang kukuh bagi janin sampai saat kelahirannya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 14


Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 1-7

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Surah al-Mu’minun termasuk surah Makkiyah yang terdiri dari 118 ayat. Adapun episode tafsir ini dimulai dari Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 1-7, yang membicarakan beberapa aspek penting yang harus diperhatikan oleh manusia.

Masuk diantaranya aspek fundamental dalam agama Islam, seperti beriman kepada Allah, shalat, zakat, dan dilanjutkan dengan aspek internal manusia itu sendiri, seperti melakukan kegiatan positif dan menjauhi aktivitas negatif, yang demikian, akan mengantarkan manusia menjadi hamba yang beruntung. Berikut penjelasannya.

Ayat 1

Beriman kepada Allah dan rukun iman yang enam. Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa sungguh berbahagia dan beruntung orang-orang yang beriman, dan sebaliknya sangat merugi orang-orang kafir yang tidak beriman, karena walaupun mereka menurut perhitungan banyak mengerja-kan amal kebajikan, akan tetapi semua amalnya itu akan sia-sia saja di akhirat nanti, karena tidak berlandaskan iman kepada-Nya.

Ayat 2

Khusyuk dalam salat. Dalam ayat ini Allah menjelaskan sifat yang kedua, yaitu seorang mukmin yang beruntung, jika salat benar-benar khusyuk dalam salatnya, pikirannya selalu mengingat Allah, dan memusatkan semua pikiran dan panca inderanya untuk bermunajat kepada-Nya.

Dia menyadari dan merasakan bahwa orang yang salat itu benar-benar sedang berhadapan dengan Tuhannya, oleh karena itu seluruh anggota tubuh dan jiwanya dipenuhi kekhusyukan, kekhidmatan dan keikhlasan, diselingi dengan rasa takut dan diselubungi dengan penuh harapan kepada Tuhannya.

Untuk dapat memenuhi syarat kekhusyukan dalam salat, harus memperhati-kan tiga perkara, yaitu:

  1. a) Paham apa yang dibaca, supaya apa yang diucapkan lidahnya dapat dipahami dan dimengerti, sesuai dengan ayat:

اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهَا

Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur’an ataukah hati mereka sudah terkunci? (Muhammad/47: 24)

  1. b) Ingat kepada Allah, sesuai dengan firman-Nya:

 وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ

Dan laksanakanlah salat untuk mengingat Aku. (Tāhā/20: 14)

  1. c) Salat berarti munajat kepada Allah, pikiran dan perasaan orang yang salat harus selalu mengingat dan jangan lengah atau lalai. Para ulama berpendapat bahwa salat yang tidak khusyuk sama dengan tubuh tidak bernyawa.

Akan tetapi ketiadaan khusyuk dalam salat tidak membatalkan salat, dan tidak wajib diulang kembali.

Ayat 3

Menjauhkan diri dari setiap perbuatan atau perkataan yang tidak berguna. Dalam ayat ini Allah menjelaskan sifat yang ketiga, yaitu bahwa seorang mukmin yang bahagia itu ialah yang selalu menjaga waktu dan umurnya supaya jangan sia-sia.

Sebagaimana ia khusyuk dalam salatnya, berpaling dari segala sesuatu kecuali dari Tuhan penciptanya, demikian pula ia berpaling dari segala perkataan yang tidak berguna bagi dirinya atau orang lain.


Baca Juga : 3 Macam Sikap Sabar yang Digambarkan dalam Al-Quran


Ayat 4

Menunaikan zakat wajib dan derma yang dianjurkan. Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa sifat keempat dari orang mukmin yang beruntung itu, ialah suka mengeluarkan zakat dan memberi derma yang dianjurkan, yang oleh mereka dipandang sebagai usaha untuk membersihkan harta dan dirinya dari sifat kikir, tamak serakah, hanya mengutamakan diri sendiri (egois), dan juga untuk meringankan penderitaan hamba-hamba Allah yang kekurangan, sesuai dengan firman-Nya:

قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ

Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu). (asy- Syams/91: 9)

Ayat 5-7

Menjaga kemaluan dari perbuatan keji. Dalam ayat ini Allah menerangkan sifat kelima dari orang mukmin yang berbahagia, yaitu suka menjaga kemaluannya dari setiap perbuatan keji seperti berzina, meng-erjakan perbuatan kaum Lut (homoseksual), onani, dan sebagainya.

Ber-sanggama yang diperbolehkan oleh agama hanya dengan istri yang telah dinikahi dengan sah atau dengan jariahnya (budak perempuan) yang di-peroleh dari jihad fisabilillāh, karena dalam hal ini mereka tidak tercela.

Akan tetapi, barangsiapa yang berbuat di luar yang tersebut itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.

Dalam ayat ini dan yang sebelumnya Allah menjelaskan bahwa kebahagiaan seorang hamba Allah itu tergantung kepada pemeliharaan kemaluannya dari berbagai penyalahgunaan supaya tidak termasuk orang yang tercela dan melampaui batas.

Menahan ajakan hawa nafsu, jauh lebih ringan daripada menanggung akibat dari perbuatan zina itu. Allah telah memerintahkan Nabi-Nya supaya menyampaikan perintah itu kepada umatnya, agar mereka menahan pan-dangannya dan memelihara kemaluannya dengan firman:

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pan-dangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (an-Nur/24: 30)

(Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 8-13

Semua Manusia itu Sama, Lantas Kenapa Ada Kafaah dalam Pernikahan? Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13

0
kafaah dalam pernikahan
kafaah dalam pernikahan

Islam tidak hanya mengatur kebahagiaan di akhirat nanti,  kebahagiaan di dunia pun juga diperhatikan olehnya. Salah satunya adalah jaminan kebahagiaan rumah tangga yang  sakinah, mawaddah  dan rahmah dengan konsep kafaah. Istilah kafaah ini sudah masyhur dalam dunia pernikahan. Bahwa pasutri harus sama atau setara dalam semua hal, agar rumah tangga pasangan beda jenis kelamin ini bisa harmonis.

Kafaah sendiri dalam KBBI dipahami dengan seimbang. Padanan dari kara seimbang adalah sepadan, sama, sesuai atau sebanding. Bagaimana kemudian kafaah (seimbang dalam pernikahan) ini jika dikaitkan dengan konsep ke’sama’an manusia di mata Allah, seperti yang tercantum dalam Al-Quran, surah Al-Hujurat ayat 13?

Baca Juga: Surah Ar-Rum Ayat 21: Sebenarnya, Apa Makna Pasangan dalam Rumah Tangga?

Semua manusia sama, lantas..

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.(Q.S Al hujarat [49] :13).

Pada ayat ini dijelaskan bahwa satu-satunya pembeda dari manusia adalah dari segi ketakwaannya. Lalu bagaimana dengan konsep kafaah dalam pernikahan yang berarti secara tidak langsung memberikan pengertian bahwa manusia itu tidak sama, karena itu kemudian diminta untuk mencari pasangan yang sama atau sepadan, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Ad Daruqutni dari sahabat Jabir bin Abdullah Nabi berkata, “tidaklah seorang perempuan boleh di nikahi melainkan bagi laki-laki yang yang setara…..”.

Meski tidak langsung menyebutkan kesepadanan, hadis lain yang sudah sangat popular tentang kriteria memilih pasangan yaitu,

عن النّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم قالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“-biasanya- perempuan itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari)

Baca Juga: Surah Ar-Rum [30] Ayat 21: 3 Tujuan Pernikahan Menurut Al-Quran

Dua hadis di atas, baik secara tersurat maupun tersirat menunjukkan bahwa menikah itu memang sudah seharusnya mencari dan memilih, tujuannya tiada lain karena agar rumah tangga nanti itu harmonis dan salah satu kriteria pilihan itu adalah kafaah. Sayyid al Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha ad Dimiyati Al Misri, dalam kitab Ianah At Thalibin menegaskan bahwa konsep kesepadanan atau kafaah dalam pernikahan itu termasuk salah satu syarat  sah dari nikah.

Namun di lain kali ada sebagian ulama diantaranya Imam As Tsauri, Hasan Al Basri dan Al Karakhi. Mereka menyatakan, bahwa konsep kesepadanan tidak perlu di terapkan lagi dengan berlandas pada hadits yang di riwayatkan Ibnu Lal dari sahabat Sahl bin Saat dalam kitab Subulus Salam, juz 3 hal. 129 Nabi, SAW berkata, “manusia itu sama seperti gigi-gigi sisir, tidaklah lebih utama penduduk Arab dari selainya. Hanya saja keutamaan itu dengan takwa”. Di samping itu juga terdapat Firman Allah berikut;

Kita pun tahu baagaimana gigi sisir di buat sama, maka seperti itulah keadaan manusia satu sama lain. Sehingga tidak perlu lagi adanya syarat kesetaraan dalam pasutri. Bahkan konsep semacam ini akan memunculkan permasalahan baru dalam dunia jodoh atau pernikahan. Banyak kasus terjadi di beberapa tempat sebagian lelaki tidak lagi mau menikah karena  merasa trauma lamarannya selalu di tolak, meski terkadang mereka beralasan bahwa semua ini adalah takdir baik yang sudah Tuhan berikan, sehingga tidak pantas perempuan masih memilah-milih tentang pasangan hidupnya, demikian pula dengan perempuan.

Argumen di atas tidak senuhnya benar, karena sebagian ulama menyatakan dengan memberi  interpretasi maksud dari hadits dan ayat di atas. Bahwa kesetaraan manusia dalam manusia yang lain dalam konteks ukhrawi saja, yaitu di hadapan Allah, SWT kelak di hari kiamat, yang membedakan hanya tingkat ketakwaannya semata. Namun hal itu tentu berbeda dalam pandangan setiap manusia satu dengan yang lain. Buktinya mereka yang di beri rizki melimpah dan ilmu yang banyak tidaklah sama dengan yang hidupnya melarat dan dan dalam kebodohan. (Fiqh Islami wa Adillatuhu, juz 7 hal. 228).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum dan Ketentuan Jumlah Mahar dalam Pernikahan

Tolok ukur kafaah dalam pernikahan

Dalam beberapa literatur fikih prihal tolok ukur konsep kafaah dalam pernikahan banyak dijelaskan dengan banyak varian pendapat yang disuguhkan. Imam Al Hamawi pun menyenandungkan syi’ir, sebagai berikut;

كفاءة في النكاح تكون في        ست لها بيت قد ان ال ضبط

نسب واسلام كذلك حرفة                 حرية وديانة مال فقط

Jumhur ulama sedikit berbeda dengan apa yang sudah di sampaikan Imam Al Hamawi, yaitu berkisar antara harta atau kekayaan. Al Malibari dalam kitab Fath al Muin, hal.106, selaras dengan pendapat jumhur bahwa harta tidak menjadi pertimbangan dalam kafaah. Bagi beliau hanya orang rendah tak berakal yang masih  membangga-banggakan kekayaan.

Sebenarnya tolok ukur dari konsep kesepadanan ini adalah adat atau kebiasaan setempat, sehingga wajar jika antara satu tempat yang lain nantinya berbeda. Karena secara histori pada masa Imam Al Malibari nasab memang menjadi kebanggaan di setiap suku, bahkan terjadi pada masa Nabi, sangatlah pantas jika nasab di pertimbangkan. Beda lagi dengan adat yang berlaku di masa kita ini. Mungkin nasab sudah tidak lagi menjadi kebanggaan di kalangan masyarakat, dan nasab tidak menjamin kebahagian dalam akad perikahan. Wallahu a’lam

Surah Ar-Rum Ayat 21: Sebenarnya, Apa Makna Pasangan dalam Rumah Tangga?

0
Apa Makna Pasangan dalam Rumah Tangga?
Apa Makna Pasangan dalam Rumah Tangga?

Tanda jodoh kerap kali membingungkan dalam menentukan pilihan, dan yang sudah menemukan pasanganpun masih banyak juga yang belum yakin untuk menuju ke bahtera rumah tangga. Apalagi seringkali kita mendengar kasus perceraian dalam rumah tangga, membuat perasaan cemas dan tidak berharap memiliki nasib demikian. Dengan begitu, hal ini menarik kita kupas terkait apa makna pasangan dalam rumah tangga menurut Al-Qur’an?

Pada FirmanNya dalam surah ar-rum ayat 21, sekilas menjelaskan tentang alasan Allah Swt menciptakan sebuah perkawinan dengan tujuan agar lelaki dan perempuan mampu meraih ketenangan. Berikut surah ar-rum ayat 21:

وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-rum 21)

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 3-4: Lima Karakter Orang Bertakwa

Penafsiran Surah Ar-rum Ayat 21

Pada Jami’ al-Bayan an-Ta’wil Ay al-Qur’an karya imam At-Thabary, menjelaskan surah ar-rum ayat 21 diturunkan, karena adanya hubungan tali pernikahan. Dalam sebuah tali pernikahan, Allah menghadirkan kasih sayang yang bisa membuat kalian saling mengasihi pasangan kalian. Rasa kasih sayang di antara kalian, merupakan salah satu tanda dari kebesaran Allah Swt.

Dan perlu diperhatikan, pada ayat di atas menegaskan bahwa istri-istri diciptakan bukan untuk kebutuhan biologis sang suami belaka, melainkan untuk menemukan ketentraman hati dan kasih sayang dari masing-masing pasangan.

Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 139: Larangan Bersikap Pesimis

Ada penafsiran yang berbeda dari beberapa mufassir. Menurut Nawawi al-Bantani, dalam Marah Labid  kata azwajan pada ayat di atas yang berarti istri-istri (perempuan). Berbeda dalam al-Tahrir wa al-Tanwir, Ibnu ‘Asur menjelaskan kata azwajan bermakna pasangan seseorang tesebut, baik itu laki-laki atau perempuan. Karena pasangan merupakan seseorang yang menjadi bagian dari rumah tangga seseorang, jadi tidak ada khusus buat istri atau laki-laki, semuanya terlibat.

Kemudian Ibnu ‘Asur juga menambahkan, Allah menciptakan bagi setiap umatnya masing-masing memiliki pasangan. Jadi tidak perlu sedih dan galau bagi yang belum mendapat pasangan (jomblo), karena sesungguhnya Allah sudah mempersiapkan pasangan kalian.

Mengapa Harus Sakinah, Mawaddah dan Warrahmah?

Namun demikian, harapan memiliki keluarga sakinah, mawaddah dan warrahmah selalu dikumandangkan dalam rumah tangga, padahal membentuk keluarga sakinah jelas tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Meskipun secara konseptual, dalam karya Fauzil Adhim, Memasuki Pernikahan Agung, menulisan bahwa keluarga sakinah mudah dipelajari. Karena keluarga sakinah adalah keluarga yang di dalamnya cukup dengan ketulusan cinta rahmah, kasih sayang mawaddah, dan kedamaian hati sakinah. Namun, yang sulit adalah bagaimana ketiga itu mampu bertahan hingga selamanya, baik ketika di dunia maupun di akhirat kelak.

Adanya perasaan cinta dan kasih sayang dalam pasangan, mampu membangkitkan semangat optimis dalam menatap kehidupan. Singkatnya, dalam keluarga sakinah ketenangan hati mudah ditemui, ketenteraman jiwa dapat terjaga, dan masing-masing elemen keluarga saling melengkapi kemaslahatannya.

Begitu pula dengan Sayyid Quttb, menuliskan dalam Tafsir Fi ZiIaI aI-Qur’an, bahwa Allah yang telah menciptakan mereka dengan menganugerahkan perasaan-perasaan cinta  dalam jiwa mereka. Selain itu, Allah juga menjadikan dalam hubungan itu rasa tenang bagi jiwa dan sarafnya. Rasa tenang ini mampu memberikan kedamaian bagi kehidupan.

Sehingga terbntuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yaitu:
Sakinah
Yaitu perasaan nyaman, cendrung, tentram atau tenang kepada yang dicintainya dan disayanginya.

لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا

Artinya: “Supaya kamu merasa nyaman kepadanya”

Mawaddah dan rahmah

Yaitu perasaan kasih dan sayang yang dimiliki kedua pihak pasangan.

وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً

Artinya: ”Dan dijadikan-Nya antaramu mawaddah (kasih)  dan warohmah (sayang)”

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an menuliskan bahwa kehidupan berkeluarga ibarat satu bangunan, demi terpeliharanya bangunan itu dari hantaman badai dan goncangan gempa yang mengancam, maka meraka harus mendirikan fondasi yang kuat dengan bahan yang kokoh serta jalinan perekat yang lenket, fondasi kehidupan berkeluarga adalah ajaran agama disertai rasa kasih sayang dan cinta diantara keduanya. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 3-4: Lima Karakter Orang Bertakwa

0
Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 3-4: Lima Karakter Orang Bertakwa
Surah Al-Baqarah Ayat 3-4

Ketakwaan adalah keadaan yang diharapkan oleh setiap kaum beriman. Mereka yang beriman meyakini bahwa takwa adalah satu-satunya standar kemuliaan di sisi Allah. Keyakinan seperti ini membawa mereka pada upaya untuk terus meningkatkan kualitas takwa mereka.

Untuk meraih ketakwaan, dibutuhkan usaha yang maksimal dan konsisten. Mengingat predikat takwa tidak mungkin diraih tanpa keimanan dan amal yang saleh. Untuk mengetahui karakter orang yang bertakwa, perlu kiranya kita merujuk ayat-ayat Al-Qur’an.

Satu dari rangkaian ayat yang membahas karakter orang bertakwa adalah ayat 3-4 dari surah Al-Baqarah. Rentetan ayat ini menjelaskan bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi orang bertakwa. Kemudian, dilanjutkan dengan menguraikan lima karakter orang bertakwa. Berikut akan diulas secara ringkas lima tipologi tersebut.

Beriman Kepada yang Gaib

Tipologi pertama dari orang bertakwa adalah beriman kepada yang gaib. Gaib adalah segala sesuatu yang tidak bisa dilihat, diraba, dan diketahui hakikatnya. Jika demikian, sesuatu yang diimani adalah yang abstrak dan tidak terjangkau oleh panca indera. Puncaknya, keyakinan ini tertuju kepada wujud dan keesaan Allah. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah).

Sayyid Quthub lebih lanjut menerangkan, bahwa meyakini yang gaib bertujuan untuk meningkatkan diri manusia untuk tidak menganggap wujud hanya segala yang bisa diindra saja sebagaimana hewan melihat, akan tetapi lebih luas. Selain itu, meyakini yang gaib berdampak pada cara pandang dan cara bersikap seorang mukmin. (Sayyid Quthub, Fi Dzilal al-Qur’an).

Keyakinan kepada yang gaib adalah tipologi pertama dari orang bertakwa. Artinya, tipologi ini menjadi titik pemisah antara orang yang bertakwa dan yang tidak bertakwa. Berikut redaksi ayatnya:

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ

Artinya: “mereka yang beriman kepada yang gaib.”

Baca juga: Kriteria Orang Bertakwa dalam Al-Quran Surat Yunus Ayat 133-135

Senantiasa Melaksanakan Salat

Setelah mengimani yang gaib, tipologi berikutnya adalah menegakkan salat. Sebagai konsekuensi dari mengimani Yang Maha Gaib, maka salat menjadi niscaya. Salat sebagai bentuk penghambaan, ketundukan dan rasa syukur sebagai hamba yang bertakwa.

Dalam Tafsir al-Jalalain, yuqimun al-shalah ditafsirkan sebagai melaksanakan salat berdasarkan hak-haknya. Yakni, melakukannya dengan penuh khusyuk, sesuai syariat, rukun dan sunnahnya. (Tafsir al-Jalalain).

Tipologi kedua ini merupakan wujud dari keimanan kepada Allah. Dengan melakukan salat, seorang yang bertakwa menjalin hubungan dengan Allah. Hal ini dikenal dengan hubungan baik dengan Allah (hablun minallah).

Ayat ini berbunyi:

وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ

Artinya: “yang melaksanakan salat.”

Menginfakkan Sebagian Rezeki

Setelah beriman kepada yang Gaib dan melaksanakan salat, tipologi selanjutnya adalah dengan berbuat baik kepada sesama manusia (hablun minannas). Yaitu dengan menginfakkan sebagian rezeki yang telah Allah karuniakan. Allah berfirman:

وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Artinya: “dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.

Yang menarik di ayat ini adalah kata infak tidak dikaitkan secara langsung dengan harta. Hal ini bermakna bahwa infak bisa juga dilakukan selain dengan harta. Artinya, orang beriman dapat berinfak dengan ilmu, tenaga, waktu, jasa, pengabdian dan semisalnya.

Namun, ada catatan yang perlu diperhatikan. Bahwa orang beriman saat berinfak harus meyakini bahwa segala yang diinfakkan berasal dari Allah. Mereka hanya perantara agar tersampaikannya karunia-Nya. Sebagaimana pesan dari frasa “mimma razaqna”.

Baca juga: 3 Konsep Takwa dalam Surat Ali ‘Imran Ayat 133-134

Beriman Kepada Al-Qur’an dan Kitab Terdahulu

Tipologi yang keempat adalah keimanan kepada kitab-kitab para nabi, baik itu kitab Al-Qur’an maupun kitab-kitab samawi yang telah lalu. Kitab samawi terdahulu misalnya Taurat, Injil, dan Zabur.

Keyakinan terhadap kitab-kitab ini meniscayakan adanya kesatuan misi di antara para nabi dengan Nabi Muhammad. Bahwa Al-Qur’an dan kitab terdahulu memiliki misi satu, yaitu mengenalkan ajaran tauhid. Walaupun dengan syariat yang beragam, bergantung pada zamannya masing-masing. Firman Allah:

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ

Artinya: “dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu.”

Meyakini Hari Akhir

Setelah berhasil meraih keempat tipologi tersebut, tipologi terakhir bagi mereka yang bertakwa adalah meyakini hari akhir. Berikut redaksi ayatnya:

وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ

Artinya: “serta tentang (kehidupan) akhirat mereka yakin.

Frasa “kehidupan akhirat” didahulukan sebelum menyebut “mereka yakin”. Menurut Quraish Shihab, hal ini mengisyaratkan betapa kukuh dan besarnya perhatian mereka terhadap Hari Akhir. Bahkan, keyakinan ini turut mewarnai sikap dan perilakunya, dan tidak terbatas pada “sekarang” dan “hari ini” saja.

Yang menjadi catatan penting dari kelima tipologi ini adalah penggunaan kata kerjanya. Apabila kita perhatikan, maka bentuk kata kerja yang digunakan adalah fiil mudhari’ (present tense). Bentuk kata ini memiliki makna masa kini dan masa depan. Selain itu juga mengandung makna berkesinambungan dan dan terus mengalami pembaharuan (istimrar wa tajdid).

Dengan demikian, ketakwaan hanya bisa diraih oleh mereka yang mengamalkan lima tipologi tersebut dengan berkesinambungan dan sungguh-sungguh. Yakni mereka yang senantiasa beriman kepada yang gaib, senantiasa melaksanakan salat dengan penuh khusyuk dan senantiasa menginfakkan rezekinya dengan optimal. Serta, mereka yang senantiasa meyakini kitab-kitab para nabi dan Hari Akhir.

Semoga, lima tipologi ini dapat menjadi pengingat dan penguat kita untuk dapat bergabung dengan mereka yang bertakwa. Mengingat takwa adalah simbol kemuliaan, maka upaya ini adalah upaya yang harus terus dievaluasi dan ditingkatkan. Agar kita semua menjadi hamba yang mulia di sisi Allah. Wallahu’alam bishshawab.

Baca juga: Memahami Qalbun Munib sebagai Karakter Orang yang Bertakwa

Tafsir Surah Ali Imran Ayat 139: Larangan Bersikap Pesimis

0
Ali Imran Ayat 139: Larangan Bersikap Pesimis
Ali Imran Ayat 139: Larangan Bersikap Pesimis

Kata pesimis, merujuk pada KBBI, berarti orang yang berpandangan atau bersikap tidak memiliki harapan baik, atau orang yang mudah putus asa. Sementara itu, antonim kata pesimis yakni optimis memiliki arti sebaliknya, yaitu orang yang selalu memiliki harapan atau pandangan baik dalam hidupnya. Dari sini kita dapat memahami bahwa pesimis merupakan sikap yang kurang baik, namun seringkali dirasakan oleh banyak orang, lantas bagaimana Al-Quran menanggapi hal tesebut? adakah dalil larangan bersikap pesimis?

Manusia tentu memiliki prinsip atau pandangan hidup masing-masing. Prinsip itulah yang menjadi pegangan dalam menghadapi setiap peristiwa yang sudah ataupun akan terjadi dalam kehidupan. Beberapa orang mungkin mudah berputus asa dikala menerima ujian, Akan tetapi, tetap saja terdapat orang-orang yang selalu berjuang demi kehidupan yang lebih baik. Singkatnya, bahagia atau tidak kehidupan seseorang bergantung dengan prinsip hidup yang ada pada dirinya sendiri.

Baca juga: Mengapa Tafsir Jalalayn Begitu Populer di Kalangan Pesantren?

Menilik pada kedua kata tersebut (pesimis dan optimis) yang nampaknya memiliki pengaruh cukup besar dalam menjalani kehidupan, pada kesempatan kali ini penulis akan membahas mengenai larangan bersikap pesimis dalam QS. Ali Imran ayat 139.

وَلَا تَهِنُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَنتُمُ ٱلْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

Artinya: Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 139

Sebelum masuk pada penafsiran ayat tersebut, perlu diketahui bahwa sebab turunnya QS. Ali Imran ayat 139 ini adalah untuk mengobati kesedihan kaum muslim yang sempat terpukul mundur dalam perang Uhud. Dengan kata lain, ayat ini merupakan sebuah motivasi bagi kaum muslim agar tidak pesimis dalam menghadapi persoalan kehidupan.

Adapun penafsiran dari ayat ini, bersumber pada Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, huruf لَا berarti sebuah larangan. Kemudian kata تَهِنُوا۟ berasal dari kata al-wahnu (الوهن) yang berarti menyatakan kelemahan pada fisik dan kata تَحْزَنُوا۟ yang berasal dari kata al-haznu (الحزن) memiliki arti dukacita atau kesedihan akibat kehilangan sesuatu yang dicintai. Sementara itu, kata الْأَعْلَوْنَ berati memiliki derajat yang paling tinggi disebabkan Allah Swt sebagai penolong mereka (kaum muslim).

Baca juga: Empat Fungsi Al-Qur’an Menurut M. Quraish Shihab

Penafsiran lainnya yakni pada Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian al-Qur’an karya M. Quraish Shihab, diterangkan pula mengapa kaum muslim harus bersedih, sementara yang mereka perjuangkan adalah kebenaran. Mengapa kita bersedih padahal orang-orang yang gugur di antara kita mendapat pengampunan Ilahi dan menuju surga, yakni jika kamu benar-benar beriman.

Adapun dalam Tafsir Ayat-Ayat Hukum II karya Luthfie Abdullah Ismail, diterangkan bahwa makna kalimat وَأَنتُمُ ٱلْأَعْلَوْنَ yang berarti kaum muslim paling tinggi derajatnya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, kemampuan perang yang dimiliki umat Islam lebih baik daripada kaum kafir dan kedua, umat Islam berperang untuk Allah Swt atau demi menegakkan agama yang haqq, sementara kaum kafir berperang untuk Thagut yakni ke-bathil-an.

Baca juga: Surah Ibrahim Ayat 28: Larangan Memanipulasi Nikmat Allah Swt dalam Konteks Berbangsa

Allah Swt Melarang Kaum Muslim untuk Pesimis 

Pemaknaan ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah Swt melarang kaum muslim untuk pesimis, bersedih dan berputus asa disebabkan kehilangan mereka karena terbunuh ataupun terluka di perang Uhud. Sebaliknya, Allah Swt ingin mengajarkan kepada kaum muslim untuk menjadikan kesedihan di perang Uhud tersebut sebagai cambuk agar lebih semangat berjuang dalam membela agama Allah Swt.

Adapun kontekstualisasi QS. Ali ‘Imran ayat 139 dengan keadaan saat ini berdasarkan penafsiran di atas adalah bahwa sikap lemah dan dukacita tidak lain hanya akan membawa seseorang pada ketakutan dalam bertindak ataupun bayangan kegagalan bahkan sebelum mencoba.

Selain itu, ayat tersebut juga menjelaskan bahwa seseorang harus mampu menumbuhkan kepercayaan pada dirinya sendiri, sebagaimana yang terdapat pada kalimat وَأَنتُمُ ٱلْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ yakni umat Islam harus percaya bahwa perjuangan mereka akan senantiasa mendapat pertolongan Allah Swt sehingga kemenangan atas memerangi kaum kafir dapat tercapai.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa hidup tidak akan pernah terbebas dari ujian ataupun cobaan. Untuk itu, melalui QS. Ali ‘Imran ayat 139, pembelajaran dan pemahaman mengenai konsep untuk selalu bersikap optimis atau larangan bersikap pesimis sangat diperlukan dalam kehidupan, sehingga dalam menghadapi setiap kesulitan, seseorang dapat selalu bersikap optimis, berusaha mengambil hikmah dari setiap kejadian, dan menjadikannya sebagai pelajaran ataupun motivasi dalam menjalani kehidupan. Wallahu a’lam[]

Mengapa Tafsir Jalalayn Begitu Populer di Kalangan Pesantren?

0
Tafsir Jalalayn
Ervan Nurtawab Menjelaskan Tradisi Pengajaran Tafsir Jalalayn

Ketika berbicara mengenai tafsir di lingkungan Pesantren yang pertama kali terlintas di benak para santri adalah Tafsir Jalalayn. Popularitas penggunaan Tafsir Jalalayn sebagai kitab tafsir yang dikaji oleh para santri di berbagai pesantren di Indonesia tidak diragukan. Tafsir ini sangat dominan mengisi ruang kajian pada kelas-kelas di Pesantren, baik di Pesantren “tradisional” maupun “modern”.

Bila ditarik ke belakang, popularitas Tafsir Jalalayn bahkan telah dimulai sejak akhir abad ke-14 M yaitu sekitar tahun 1471. Pada tahun tersebut, Tafsir Jalalayn telah populer di India, wilayah yang sangat jauh dari tempat kelahirannya di Mesir. Mengingat pada tahun tersebut transportasi belum semaju sekarang.

Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Ervan Nurtawab, dosen IAIN Metro Lampung dan juga Alumni Monash University Australia, pada acara Kajian Membumikan Al-Quran (KMQ) yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Al-Quran (PSQ) bekerja sama dengan Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) cabang Indonesia pada Kamis (26/08) pukul 10.00 – 12.00 melalui Zoom.

Acara dengan tajuk Tafsir Santri: Tradisi Pengajaran dan Khazanah Pemaknaan di Lingkungan Pesantren ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurtawab ketika menyelesaikan disertasinya di Monash University dengan judul “Jalalayn pedagogical practices: Styles on Qur’an and tafsir learning in contemporary Indonesia.” Ervan melakukan studi tentang sejauh mana Tafsir Jalalayn dipelajari oleh pesantren tradisional dan pesantren modern di Indonesia.

Berdasarkan penelitian antropologis selama beberapa tahun di Pesantren di Jawa Barat khususnya di Pesantren Assalafiyah 1 Sukabumi sebagai representasi pesantren dengan gaya bandongan atau sorogan dan juga di Pesantren Persatuan Islam (Persis) 99 Rancabango Garut sebagai representasi pesantren reformis/modernis, Ervan menemukan bahwa terdapat cara pengajaran yang khas dan berbeda antara masing-masing pesantren.

Secara garis besar Ervan mengemukakan ada dua cara pengajaran yang dipraktikkan di lingkungan Pesantren ketika mengajarkan Tafsir Jalalayn. Pertama, metode chanting atau menembang. Metode ini khusus banyak digunakan di pesantren-pesantren tradisional. Model ini bisa menjadi prasyarat bagi pengajar Tafsir Jalalayn sebagai alat penjaga konsentrasi santri dan untuk mengawal kebersamaan dalam melewatkan kata demi kata kandungan Tafsir.

Kedua, metode pedagogi tekstual. Metode ini berkaitan dengan penguasaan pengajar terhadap teks Tafsir Jalalayn yang tanpa harakat kemudian melahirkan tradisi pencatatan yang diterapkan baik di lingkungan pesantren tradisional maupun modern.

Dalam konteks pesantren tradisional, metode pedagogi tekstual ini dikenal dengan istilah ngalogat atau maknani. Biasanya aksara yang digunakan adalah aksara pegon dengan bahasa lokal baik Sunda, Jawa, Melayu ataupun Madura. Begitu pun dengan pesantren modern juga turut mengembangkan tradisi pedagogi tekstual. Di Pesantren yang diteliti oleh Ervan, ditemukan bahwa para santri mencatat dalam bentuk terjemah bahasa Indonesia dan melakukan tradisi vokalisasi atau memberikan harkat pada kitab.

Perbedaan lain yang tampak di antara pesantren tradisional dan modern adalah penggunaan alat tulis. Di pesantren tradisional alat tulis yang digunakan adalah pulpen. Hal ini terkait dengan social prestise karena kitab yang sudah penuh dengan catatan bisa diwariskan, dan yang mendapat warisan bisa memberikan catatan kembali juga revisi/koreksi (parateks). Kalau di pesantren modern lebih banyak memakai pensil dengan alasan takut mengotori kitabnya.

Kemudian kaitannya dengan mengapa Tafsir Jalalayn begitu populer, menurut Ervan bisa jadi terkait dengan fokus Tafsir Jalalayn pada 3 aspek: Qiraat, Gramatikal, dan Naratif.  Ketiga aspek ini paling sering dibahas oleh guru-murid selama praktik mereka belajar mengajar. Selain itu, Tafsir ini juga mengakomomir fleksibilitas karena penjelasannya yang ringkas. Semakin ringkas tafsir, fleksibilitas menyampaikan ke audiens semakin mudah. Semakin rumit, maka semakin sulit untuk disampaikan. Pengajar akan terkurung oleh penjelasan mufasir.

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 78 (2)

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 78 (2) adalah series akhir dari tafsir surah al-Hajj. Melanjutkan pembahasan sebelumnya, kali ini akan mengulas tentang karakter dari agama Islam, bahwa Islam adalah agama yang mudah, lapang, dan meyakini adanya hari Kiamat.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 78 (1)


Ditegaskan pula dalam Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 78 (2) bahwa Islam merupakan warisan dari agama Ibrahim yang berasaskan tauhid kepada Allah Swt, karena itu, agama tidaklah menentang agama-agama sebelumnya, melainkan penyempurna dari aspek syariat yang dibawa Rasul terdahulu.

Ayat 78 (2)

Rasulullah saw pernah memberikan suatu peringatan yang keras kepada suatu golongan yang memberatkan beban dalam agama, sebagaimana tersebut dalam hadis.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ صَنَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْرًا فَتَرَخَّصَ فِيْهِ فَبَلَغَ ذَلِكَ نَاسًا مِنْ اَصْحَابِهِ فَكَأَنَّهُمْ كَرِهُوْهُ وَتَنَزَّهُوْا عَنْهُ فَبَلَغَهُ ذَلِكَ فَقَامَ خَطِيْبًا فَقَالَ مَابَالُ رِجَالٍ بَلَغَهُمْ عَنِّى اَمْرٌ تَرَخَّصْتُ فِيْهِ فَكَرِهُوْهُ وَتَنَزَّهُوْا عَنْهُ فَوَاللهِ لَاَنَا اَعْلَمُهُمْ بِاللهِ وَاَشَدُّهُمْ لَهُ خَشْيَةً. (رواه البخاري ومسلم)

Dari `Aisyah ra, ia berkata, “Rasulullah saw pernah membuat sesuatu, lalu beliau meringankannya, lalu sampailah hal yang demikian kepada beberapa orang sahabat beliau. Seolah-olah mereka tidak menyukainya dan meninggalkannya.

Maka sampailah persoalan itu pada beliau. Beliau lalu  berdiri berpidato dan berkata: Apakah gerangan keadaan orang-orang yang telah sampai kepada mereka tentang sesuatu perbuatan yang aku meringankannya, lalu mereka tidak menyukainya dan meninggalkannya? Demi Allah (kata Rasululah): Sesungguhnya aku adalah  orang yang paling tahu di antara mereka tentang Allah dan orang yang paling takut di antara mereka kepada-Nya.”  (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim)

Diriwayatkan bahwa beberapa orang sahabat Rasul ingin menandingi beliau, sehingga ada yang berkata, “Aku akan puasa setiap hari.” Yang lain lagi berkata, “Aku tidak akan mengawini perempuan.” Maka sampailah hal itu kepada Rasulullah, lalu beliau bersabda:

مَابَالُ أَقْوَامٍ قَالُوْا كَذَا لَكِنِّي اُصَلِّى وَاَنَامُ وَاَصُوْمُ وَاُفْطِرُ وَاَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى. (رواه النسائى)

Apakah gerangan keadaan orang yang telah mengharamkan perempuan, makan dan tidur? Ketahuilah, sesungguhnya aku salat dan tidur, berpuasa dan berbuka puasa serta menikahi perempuan-perempuan. Barangsiapa yang benci kepada sunnahku, maka ia bukanlah termasuk umatku. (Riwayat an-Nasā`i)

Dengan keterangan hadis-hadis di atas nyatalah bahwa agama Islam adalah agama yang lapang, meringankan beban, tidak picik dan tidak mempersulit.

Seandainya ada praktek dan amalan agama Islam yang memberatkan, picik dan sempit, maka hal itu bukanlah berasal dari agama Islam, tetapi berasal dari orang yang tidak mengetahui hakikat Islam itu.

Dalam kehidupan sehari-hari terlihat masih banyak kaum Muslimin yang belum memahami dengan baik tujuan Allah menurunkan syariat-Nya kepada Nabi saw.

Seperti Allah mensyariatkan salat dengan tujuan agar manusia terhindar dari perbuatan keji dan mungkar, tetapi sebagian kaum Muslimin merasa berat mengerjakan salat yang lima waktu itu, bahkan ada di antara mereka yang mengatakan bahwa salat itu menganggu waktu berharga bagi mereka. Demikian pula pendapat mereka tentang ibadah-ibadah lainnya.


Baca Juga: Pesan di Balik Doa Nabi Ibrahim dalam Surah Asy-Syu’ara Ayat 83-89


Kemudian Allah menerangkan bahwa agama yang dibawa Muhammad itu adalah sesuai dengan agam Ibrahim, nenek moyang bangsa Arab dan kedua agama itu sama-sama bersendikan ketauhidan.

Seakan-akan Allah memperingatkan kepada bangsa Arab waktu itu, “Hai bangsa Arab, kamu mengaku memeluk agama yang dibawa nenek moyangmu Ibrahim, karena itu ikutilah agama yang dibawa Muhammad, agama yang berazaskan tauhid, tidak ada kesempitan dan kepicikan di dalamnya. Dan Allah menamakan orang-orang yang memeluk agama tauhid dengan “muslim”.”

Dalam ayat ini disebutkan bahwa Rasulullah saw menjadi saksi di hari Kiamat atas umatnya. Maksudnya ialah dia bersaksi bahwa ia telah menyampaikan risalah Allah kepada mereka, menyeru mereka agar beriman kepada Allah dan agar mereka tetap berpegang teguh kepada agama Allah, serta beribadah kepada Allah dan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhkan larangan-larangan-Nya.

Sedangkan kaum Muslimin menjadi saksi atas manusia di hari Kiamat kelak, maksudnya ialah mereka telah melakukan seperti yang telah dilakukan Rasul atas mereka, yaitu mereka telah menyeru manusia agar beriman, menyampaikan agama Allah, melakukan tugas yang dibebankan Allah dan Rasul kepada mereka dengan sebaik-baiknya.

Setelah itu mereka menyerahkan urusan mereka kepada Allah, apakah ajakan mereka diterima atau ditolak.

Sebagian Ahli tafsir dalam menafsirkan ayat ini menyatakan bahwa kaum Muslimin menjadi saksi atas manusia termasuk di dalam persaksian mereka atas umat-umat terdahulu, yang telah diutus kepada mereka Rasul-rasul.

Mereka mengetahui hal itu dari Allah melalui Al-Qur’an yang menerangkan bahwa Rasul dahulu telah menyampaikan agama yang bedasar tauhid kepada mereka.

Semua perintah Allah yang disebutkan itu dapat dilaksanakan dengan baik, agar umat Muhammad yang ditugaskan menjadi saksi terhadap manusia pada hari Kiamat dapat melakukan persaksian itu dengan sebaik-baiknya, maka Allah memerintahkan kepada mereka:

  1. Selalu melaksanakan salat yang lima waktu, karena salat menjauhkan manusia dari perbuatan keji dan mungkar dan merupakan penghubung yang kuat antara Tuhan yang disembah dengan hamba-Nya.
  2. Menunaikan zakat, agar dapat membersihkan jiwa dan harta, agar mempersempit jurang antara si kaya dan si miskin.
  3. Berpegang teguh dengan tali Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhkan segala larangan-Nya.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 78 (1)

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 78 (1) diawali dengan pembahasan tentang jihad, dimana Allah Swt memerintahkan kepada orang beriman untuk berjihad dijalan-Nya. Lantas, jihad bagaimana yang dimaksud dalam tafsir ini? Apakah jihad dalam arti perang? Ataukah ada makna lain selain perang? Simak penjelasan berikut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 73-77


Ayat 78 (1)

Di samping perintah-perintah di atas, Allah juga memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar berjihad di jalan Allah dengan sungguh-sungguh, semata-mata dilaksanakan karena Allah dan janganlah kaum Muslimin merasa khawatir dan takut kepada siapa pun dalam berjihad selain kepada Allah.

Ada empat macam jihad di jalan Allah yaitu:

  1. Jihad dalam arti mempertahankan diri dari serangan musuh, sebagaimana firman Allah:

وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗ

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. (al-Baqarah/2: 190)

  1. Jihad dalam arti menegakkan agama Allah dan untuk meninggikannya, sebagaimana firman Allah:

وَقَاتِلُوْهُمْ حَتّٰى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَّيَكُوْنَ الدِّيْنُ كُلُّهٗ لِلّٰهِۚ فَاِنِ انْتَهَوْا فَاِنَّ اللّٰهَ بِمَا يَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. (al- Anfāl/8: 39)

  1. Jihad dengan arti berusaha melepaskan diri dari godaan setan, yang mengarah kepada masalah kemanusiaan seperti menolong orang, bertugas untuk kebaikan dan lain sebagainya, sebagaimana firman Allah:

اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۚ وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ الطَّاغُوْتِ فَقَاتِلُوْٓا  اَوْلِيَاۤءَ الشَّيْطٰنِ ۚ اِنَّ كَيْدَ الشَّيْطٰنِ كَانَ ضَعِيْفًا ۚ ࣖ

Orang-orang yang beriman, mereka berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan Tagut, maka perangilah kawan-kawan setan itu, (karena) sesungguhnya tipu daya setan itu lemah. (an-Nisā`/4:76)

  1. Jihad dengan arti memerangi hawa nafsu, sebagaimana diterangkan dalam hadis Nabi:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَدِمَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْمٌ غُزَاةٌ فَقَالَ: قَدِمْتُمْ خَيْرَ مَقْدَمٍ قَدِمْتُمْ مِنَ الْجِهَادِ اْلاَصْغَرِ اِلَى الْجِهَادِ اْلاَكْبَرِ قِيْلَ وَمَا الْجِهَادُ اْلاَكْبَرِ قَالَ مُجَاهَدَةُ الْعَبْدِ هَوَاهُ.

Dari Jabir ia berkata, “Telah datang kepada Rasulullah saw suatu kaum yang baru dari peperangan. Maka beliau bersabda, “Kamu datang dengan kedatangan yang baik, kamu telah datang dari jihad yang kecil dan akan memasuki jihad yang besar.” Seseorang berkata, “Apakah jihad yang besar itu?” Rasulullah menjawab, “Perjuangan hamba melawan hawa nafsu.” (Riwayat al-Khatib al-Baghdadi)

Pada mulanya peperangan itu dibenci oleh kaum Muslimin, sebagaimana firman Allah:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. (al-Baqarah/2: 216)


Baca Juga : Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 52: Jihad itu Memerangi Hawa Nafsu


Sekalipun perang itu dibenci oleh kaum Muslimin, tetapi karena tujuannya untuk mempertahankan diri dan menegakkan agama Allah, maka peperangan itu dibolehkan dan kaum Muslimin harus melakukannya. Dalam pada itu Allah melarang kaum Muslimin melakukan perbuatan-perbuatan yang melampaui batas dalam peperangan.

Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah telah memilih umat Muhammad untuk melakukan jihad. Perintah itu datang karena agama yang dibawa Muhammad adalah agama yang telah disempurnakan Allah, yang di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan tentang Jihad. Hal ini merupakan pertolongan Allah kepada Nabi Muhammad beserta umatnya.

Allah menerangkan bahwa agama yang telah diturunkan-Nya kepada Muhammad itu bukanlah agama yang sempit dan sulit, tetapi adalah agama yang lapang dan tidak menimbulkan kesulitan kepada hamba yang melakukannya.

Semua perintah dan larangan yang terdapat dalam agama Islam bertujuan untuk melapangkan dan memudahkan hidup manusia, agar mereka hidup berbahagia di dunia dan di akhirat. Hanya saja hawa nafsu manusialah yang mempengaruhi dan menimbulkan dalam pikiran mereka bahwa perintah-perintah dan larangan-larangan Allah itu terasa berat dikerjakan.

Rasulullah saw mengatakan bahwa agama Islam itu mudah, orang-orang yang memberat-beratkan beban dalam agama akan dikalahkan oleh agama sendiri, sebagaimana tersebut dalam hadis:

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ اَحَدٌ اِلاَّ غَلَبَهُ فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا وَاَبْشِرُوْا وَاسْتَعِيْنُوْا بِالْغُدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْئٍ مِنَ الدُّلْجَةِ. (رواه البخاري)

Dari Abi Hurairah ra, dari Nabi saw, beliau bersabda, “Sesungguhnya agama itu mudah dan sekali-kali tidak akan ada seorang pun yang memberatkan agama, kecuali agama itu akan mengalahkannya. Karena itu kerjakanlah dengan benar, dekatkanlah dirimu, gembiralah, dan mohonlah pertolongan di pagi dan petang hari serta waktu berpergian awal malam.” (Riwayat al-Bukhāri)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 78 (2)


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 73-77

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Secara umum Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 73-77 membicarakan dua golongan manusia, yakni golongan musyrik dan beriman. Pada golongan pertama, ditegaskan kesalahan mereka yang menyembah patung sebagai tuhan, meski mereka beralasan bahwa patung tersebut adalah perantara untuk menyembah Allah. Di sini, mereka diminta untuk merenungi perbuatan mereka tersebut, pantaskan benda mati yang mereka buat dijadikan sebagai tuhan? Bukankan sudah diutus Rasul untuk menyampaikan kebenaran?


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 70-72


Sementara golongan kedua yang dibicarakan dalam Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 73-77 adalah kaum beriman. Allah meminta kepada orang mukmin untuk senantiasa; melaksanakan sholat, menyegerakan taubat, dan melanggengkan amal kebajikan, itu semata-mata untuk menumbuhkan ketakwaan dalam diri mereka, dan mendapatkan kenikmatan dunia dan akhirat.

Ayat 73

Ayat ini menyeru manusia terutama orang-orang yang mem-persekutukan Allah dengan menyembah patung yang terbuat dari benda mati dan dibuat oleh mereka sendiri, agar mereka memperhatikan perumpamaan yang dibuat Allah bagi mereka, kemudian merenungkan dan memikirkannya dengan sebaik-baiknya.

Apakah yang telah mereka lakukan itu sesuai dengan akal pikiran yang benar, hendaklah direnungkan kembali ayat-ayat Allah yang dibacakan itu, agar mereka mendapat petunjuk.

Perumpamaan itu ialah segala berhala yang mereka sembah itu, dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan mereka memohonkan sesuatu kepadanya, meski patung-patung itu tidak dapat menciptakan sesuatu.

Begitu pula sekiranya patung itu mempunyai suatu barang, kemudian barang itu disambar oleh seekor lalat kecil, lemah dan tidak ada kekuatannya, niscaya patung-patung yang mereka sembah itu tidak akan sanggup merebut barang itu kembali dari lalat yang kecil itu.

Perumpamaan yang dikemukakan Allah dalam ayat ini, seakan-akan memperingatkan orang-orang yang menyembah patung atau benda mati itu, bahwa Tuhan yang berhak disembah ialah Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha Pencipta, tidak ada sesuatu kekuatan pun yang dapat mengatasi kekuatan-Nya.

Jika orang-orang kafir menyembah patung, berarti mereka menyembah benda mati, yang tidak tahu suatu apapun, bahkan ia tidak dapat mempertahankan apa yang dimilikinya, seandainya seekor lalat kecil yang tidak berdaya merampas kepunyaannya itu daripadanya.

Apakah patung yang demikian itu layak disembah? Tindakan orang-orang musyrik itu menunjukkan kebodohannya. Alangkah kelirunya orang-orang yang menyembah patung itu, demikian pula patung yang disembah itu.


Baca Juga: Ibrah Kisah Nabi Yusuf, Penjara sebagai Sarana Mendekatkan Diri kepada Allah


Ayat 74

Orang-orang musyrik mengaku bahwa mereka menyembah berhala atau patung itu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tetapi pengakuan mereka itu dibantah Allah bahwa cara yang mereka lakukan itu, tidak saja menghina Allah, bahkan menganggap bahwa Allah tidak dapat langsung menerima permohonan dan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya, sehingga perlu adanya sesuatu yang membantunya sebagai perantara.

Sungguh Allah yang berhak disembah itu Mahakuat dan Kuasa, Maha Perkasa, tidak ada sesuatu pun yang dapat mengalahkan-Nya. Dia berbuat menurut yang dikehendaki-Nya, tidak seperti patung yang disembah oleh orang-orang musyrik itu, yang tidak dapat merebut kembali, benda yang telah direbut lalat daripadanya. Allah berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ

Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (aZ-Zāriyāt/51: 58)

Ayat 75

Diriwayatkan bahwa Walid bin Mugirah pernah berkata, “Apakah pernah diturunkan wahyu atasnya di antara kita?” Maka Allah menurunkan ayat ini.

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa Dia telah memilih beberapa orang di antara para malaikat, untuk menjadi perantara antara Dia dengan para Rasul yang diutusnya, untuk menyampaikan wahyu, seperti malaikat jibril.

Demikian pula Allah telah memilih beberapa orang rasul yang akan menyampaikan agama-Nya kepada manusia. Hak memilih para rasul adalah hak Allah, tidak seorang pun yang berwenang menetapkannya selain dari Dia.

Allah Maha Mendengar semua yang diucapkan oleh hamba-hamba-Nya, melihat keadaan dan mengetahui kadar kemampuan mereka, sehingga Dia dapat menetapkan dan memilih siapa yang patut menjadi rasul atau nabi di antara mereka.

Hadis Nabi saw, beliau bersabda:

انَّ الله َاصْطَفَى مُوْسَ بِالْكَلاَمِ وَاِبْرَاهِيْمَ الْخُلَّةَ. (رواه الحاكم فى المستدرك عن ابن عباس)

Sesungguhnya Allah telah memilih Musa sebagai Kalimullah dan Ibrahim sebagai Khalilullah. (Riwayat al-Hākim dalam al-Mustadrak dari Ibnu ‘Abbās).

Ayat 76

Allah Maha Mengetahui keadaan para malaikat dan keadaan manusia, baik sebelum mereka diciptakan maupun sesudah mereka diciptakan dan mengetahui pula keadaan mereka sesudah tiada nanti.

Allah Maha Mengetahui apa yang akan terjadi, apa yang telah terjadi, dan mengetahui pula akhir segala sesuatu nanti, karena kepada-Nyalah kembalinya urusan segala sesuatu.

Ayat 77

Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar:

  1. Mengerjakan salat pada waktu-waktu yang telah ditentukan, lengkap dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya.

Pada ayat ini salat disebut dengan “ruku`” dan “sujud”, karena ruku` dan sujud itu merupakan ciri khas dari salat dan termasuk dalam rukun-rukunnya.

  1. Menghambakan diri, bertobat kepada Allah, dan beribadah kepada-Nya merupakan perwujudan dari keimanan di hati sanubari yang telah merasakan kebesaran, kekuasaan dan keagungan Allah, karena diri manusia sangat tergantung kepada-Nya.

Hanya Dialah yang menciptakan, memelihara kelangsungan hidup dan mengatur seluruh makhluk-Nya.

Beribadah kepada Tuhan ada yang dilakukan secara langsung, seperti salat, puasa bulan Ramadan, menunaikan zakat dan menunaikan ibadah haji.

Ada pula ibadah yang dilakukan tidak secara langsung, seperti berbuat baik kepada sesama manusia, tolong menolong, mengolah alam yang diciptakan Allah untuk kepentingan manusia.

  1. Mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik, seperti memperkuat hubungan silaturrahmi, berbudi pekerti yang baik, hormat menghormati, kasih-mengasihi sesama manusia. Termasuk melaksanakan perintah Allah.

Jika manusia mengerjakan tiga macam perintah di atas, maka mereka akan berhasil dalam kehidupan memperoleh kebahagiaan ketentraman hidup, dan di akhirat mereka akan memperoleh surga yang penuh kenikmatan.

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 78 (1)