Beranda blog Halaman 237

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 70-72

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Dengan sedikit satir, Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 70-72 menjelaskan ilmu Allah Swt. kepada Nabi Muhammad – meski yang dituju manusia seluruhnya –, bahwa ilmu Allah sangatlah luas, sementara yang diketahui manusia hanya secuil darinya.

Di sini, Allah juga menegaskan kesalahan orang musyrik Mekah, diantara kesalahan mereka adalah menyembah selain-Nya, yaitu menuhankan berhala yang mereka buat sendiri. Selain itu, mereka termasuk dari kaum yang menentang seruan para utusan, dan kelak mereka akan mendapatkan balasan atas sikap tersebut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 67-69


Ayat 70

Ayat ini menegaskan kepada Nabi Muhammad saw, tentang keluasan ilmu Allah. Sekalipun Nabi Muhammad yang dituju tetapi dalam ayat ini termasuk di dalamnya seluruh umatnya.

Seakan-akan Allah mengatakan kepadanya, “Apakah engkau tidak mengetahui hai Muhammad, bahwa ilmu Allah itu amat luas, meliputi segala apa yang ada di langit dan segala apa yang ada di bumi, tidak ada sesuatu pun yang luput dari ilmu-Nya itu, walaupun barang itu sebesar zarroh (atom) atau lebih kecil lagi dari atom itu, bahkan Dia mengetahui segala yang terbetik di dalam hati manusia.”

Semua ilmu Allah itu tertulis di Lauh Mahfuz, ialah suatu kitab yang di dalamnya disebutkan segala yang ada dan kitab itu telah ada dan lengkap, mempunyai catatan sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.

Menurut Abu Muslim al-Asfahani, yang dimaksud dengan kitab dalam ayat ini ialah pemeliharaan sesuatu dan pencatatannya yang sempurna. Tidak ada sesuatu yang tidak tercatat di dalamnya. Hal inilah yang merupakan ilmu Allah.

Pengetahuan yang amat sempurna dan pencatatan yang lengkap tentang segala sesuatu serta penetapan hukum yang dijadikan bahan pengadilan di akhirat kelak tidaklah sukar bagi Allah untuk menetapkannya. Dia menetapkan sesuatu di akhirat nanti dengan seadil-adilnya, karena segala macam yang dijadikan bahan pertimbangan telah ada catatan-Nya, tidak ada yang kurang sedikit pun.


Baca Juga: Catatan atas Pemaknaan Kata Istawa dalam Tafsir Kemenag


Ayat 71-72

Allah menerangkan bahwa kepercayaan orang-orang musyrik itu salah, baik ditinjau dari segi wahyu, akal pikiran, maupun dari sikap orang-orang musyrik itu sendiri di kala mereka mendengar ayat-ayat Allah.

  1. Orang-orang musyrik Mekah menyembah selain Allah, dengan menyembah berhala-berhala yang mereka buat sendiri. Kepercayaan mereka itu tidak berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, padahal suatu kepercayaan yang benar adalah kepercayaan yang berdasarkan wahyu dari Allah.

Kepercayaan mereka itu hanyalah berdasarkan adat kebiasaan nenek moyang mereka dahulu, kemudian mereka mengikuti dan mempercayainya.

  1. Mereka menyembah selain Allah, hal itu tidak berdasarkan pemikiran yang benar, dan tidak berdasarkan ilmu pengetahuan. Mereka membuat sendiri berhala-berhala yang mereka sembah itu. Oleh karena itu mereka tidak akan mendapat seorang penolong pun yang akan menolong mereka untuk menegakkan pendapat dan pikiran mereka, atau yang akan menolakkan azab dari mereka di akhirat kelak.
  2. Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, maka tampaklah pada air muka mereka tanda-tanda keangkuhan, kesombongan dan kekerasan hati, serta ucapan marah yang timbul di hati mereka. Manakala dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada mereka, mereka ingin menyerang dan memukul orang-orang yang sedang membaca ayat itu.

Seandainya mereka ingin mencari kebenaran, tentulah mereka mendengarkan ayat-ayat yang dibacakan itu, kemudian mereka merenungkan dan memikirkannya, dan kalau ada sesuatu yang tidak berkenan di hati mereka tentulah mereka menanyakan atau mencari alasan-alasan yang kuat untuk mematahkan kebenaran ayat-ayat Allah.

Kemudian Allah mengancam mereka bahwa kebencian dan kemarahan mereka karena mendengar ayat-ayat Allah itu sebenarnya adalah lebih kecil dari kepedihan azab yang akan mereka rasakan nanti di hari Kiamat.

Allah menegaskan ancaman-Nya kepada orang-orang musyrik itu dengan memerintahkan nabi Muhammad saw agar mengatakan kepada mereka, “Hai orang-orang musyrik, apakah kamu hendak mendengarkan berita yang lebih besar dan lebih jahat lagi dari kemarahan hatimu kepada orang-orang yang membaca ayat-ayat Allah, sehingga hampir saja kamu menyerang dan memukul mereka?”

Kemudian pertanyaan di atas langsung dijawab, bahwa berita besar dan lebih buruk dari kemarahannya itu ialah azab neraka yang telah dijanjikan kepada orang-orang kafir sebagai balasan dari perbuatan mereka itu waktu hidup di dunia. Neraka itu adalah seburuk-buruk tempat kembali yang disediakan bagi orang-orang musyrik.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 73-74


Hidangan Manna dan Salwa dalam Al-Qur’an Beserta Manfaatnya

0
Manna dan Salwa
Manna dan Salwa

Manna dan Salwa adalah dua hidangan spesial yang diturunkan kepada Bani Israil saat mereka berada di padang gurun (tih). Kedua hidangan ini selalu disebut beriringan oleh al-Qur’an dan selalu menunjukkan kenikmatan. Kedua hidangan ini disebut oleh al-Qur’an sebanyak tiga kali pada tiga ayat. Ketiga ayat ini adalah sebagai berikut:

Q.S. Al-A’raf (7): 160

وَأَنْزَلْنَا عَلَيْهِمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَى

Dan Kami turunkan kepada mereka manna dan salwa.

Q.S. Taha (20): 80

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَى

Dan Kami telah menurunkan kepada kamu manna dan salwa

Q.S al-Baqarah (2): 57

وَأَنْزَلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَى

Kami menurunkan kepadamu manna dan salwa.

Pengertian Manna dan Salwa

Di dalam al-Qur’an, salwa diartikan dengan seekor burung yang mirip dengan burung thamani (burung puyuh). Arti ini diperkuat dengan pendapat Ibnu ‘Atiyah dalam kitab Adwa’ al-Bayan fi Idah al-Qur’an bi al-Qur’an (4/74) yang menyatakan bahwa para ulama’ tafsir sepakat bahwa kata salwa dalam al-Qur’an menunjukkan salah satu jenis burung. Begitu juga pendapat mayoritas ulama’ lainnya. Namun, dalam konteks arab, kata ini lebih masyhur diartikan dengan madu, sebagaimana pendapat Ibnu Manzur dalam kitab Lisan al-‘Arab.

Baca Juga: Kuffar dalam Al-Quran Tidak Selalu Bermakna Orang-Orang Kafir, Lalu…

Sedangkan Manna menurut Sayyid Tantawi dalam kitab al-Tafsir al-Wasit (9/134) adalah hidangan yang rasanya manis dan menyerupai madu. Hidangan ini jatuh di atas pohon mulai dari terbit fajar sampai terbit matahari. Menurut Rashid Rid}a,  yang menukil dari safar al khuruj , Bani Israil mengkonsumsi manna selama empat puluh tahun. Rasanya seperti roti yang dilapisi dengan madu. Bagi mereka, makanan ini sebagai ganti dari roti.

Namun demikian, bukan berati mereka tidak makan selain manna dan salwa. Mereka juga mengkonsumi daging – daging hasil peternakan, tetapi mereka tidak mengkonsumsi tumbuh – tumubuhan dan kacang – kacangan.

Kedua hidangan ini tidak pernah habis meski dikonsumsi setiap hari. Karena itu, Bani Israil tidak perlu bekerja keras, bersusah payah dan saling berebut untuk mendapatkannya. Kedua hidangan ini diturunkan oleh Allah setiap hari secara cuma-cuma (kecuali hari sabtu). Karena itu, Bani Isra’il tidak perlu menyimpan kedua hidangan ini pada tempat penyimpanan makanan. Kebutuhan pangan mereka benar-benar telah dicukupi oleh Allah Swt.

Disamping itu, Manna dan salwa adalah hidangan yang belum pernah dikonsumsi oleh umat para Nabi sebelum Nabi Musa as, sebagaimana dalam Q.S. al-Ma’idah (5) : 20.

وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ

Dan (Dia) memberikan kepada kamu apa yang belum pernah diberikan kepada seorang pun di antara umat yang lain

Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, yang dimaksud dalam ungkapan “yang belum pernah diberikan kepada seorang pun di antara umat yang lain” pada ayat ini adalah Manna, salwa, batu (batu yang dipukul dengan tongkat Nabi Musa memancarkan air yang dapat diminum oleh Bani Isra’il) dan awan.

Manfaat Manna dan Salwa

Kata Manna dan salwa yang disebut oleh al-Qur’an secara bersamaan mengisyaratkan bahwa keduanya merupakan bahan pokok yang sangat penting bagi kesehatan Bani Israil. Manna mengandung karbohidrat nabati, sedangkan salwa mengandung protein hewani. Keduanya berfungsi sebagai kekuatan tubuh dan membangun sel darah merah dan putih dalam tubuh manusia. Salwa baik untuk pencernaan dan tubuh manusia dari pada daging ternak.

Menurut Zaghlul al-Najjar dalam kitab al-Hayawan Fi al-Qur’an (241), protein yang bersumber dari daging burung seperti burung puyuh bermanfaat untuk memperlancar pencernaan. Disamping itu, protein yang berasal dari daging burung lebih baik dari pada yang berasal dari daging hewan ternak.

Daging burung puyuh mengandung 21,10% protein, sedangkan kandungan lemaknya hanya 7,7%. Tingginya kandungan protein dan rendahnya kandungan lemak menyebabkan daging burung puyuh dapat dijadikan sebagai pilihan pemenuh kebutuhan protein hewani bagi masyarakat. Tetapi, beberapa masyarakat, khususnya dalam konteks Indonesia belum memahami manfaat burung ini.

Sedangkan karbohidrat nabati yang terdapat dalam Manna merupakan nutrisi utama yang dibutuhkan tubuh bersama protein dan lemak. Fungsi utamanya adalah sebagai sumber energi bagi tubuh. Sebagaian dari karbohidrat diubah langsung menjadi energi untuk aktivitas tubuh, dan sebagian lagi disimpan dalam bentuk glikogen di hati dan otot.

Baca Juga: Kisah Bani Israil Dalam Al-Quran dan Hidangan Dari Langit

Secara umum, kedua hidangan ini tidak memiliki efek samping saat dikonsumsi oleh manusia. Jenis hidangan ini jauh lebih baik dari pada model kehidupan di perkotaan yang biasanya orang suka mengkonsumsi makanan siap saji, daging – daging dan berbagai ragam makanan lainnya. Ditambah lagi polusi udara yang sangat membahayakan kesehatan.

Dengan demikian, bisa jadi kecerdasan Bani Isra’il dilatarbelakangi oleh konsumsi hidangan yang menyehatkan dan tersedia dalam jumlah yang sangat besar. Apalagi, selama empat puluh tahun mereka mengkonsumsi kedua hidangan ini secara terus menerus. Seluruh kebutuhan pangan mereka tercukupi dengan sempurna. Mereka tidak pernah mengalami busung lapar.

Namun, dengan berbagai anugerah nikmat yang Allah berikan kepada Bani Isra’il, sebagian besar dari mereka tetap tidak bersyukur dan terus berbuat dosa bahkan melakukan penganiayaan. Namun apa yang mereka lakukan itu, pada hakikatnya tidak lah mereka menganiaya Allah, justru merekalah yang berulangkali menganiya diri mereka sendiri. Wallahu A’lam.

Tafsir Ahkam: Apakah Berendam Menggugurkan Kewajiban Mandi Besar?

0
Berendam
Apakah berendam menggugurkan kewajiban mandi?

Al-Qur’an menetapkan bahwa orang yang junub baru diperbolehkan salat, membaca Al-Qur’an dan selainnya bila sudah mandi besar. Namun dengan munculnya beragam model mandi seseorang kadang menimbulkan permasalahan, seperti apakah sekedar berendam di air sudah bisa menggugurkan kewajiban mandi seseorang?

Misalnya berendam dengan menenggelamkan diri sesaat di kolam renang sebagaimana di masyarakat perkotaan, atau sungai besar sebagaimana di masyarakat perdesaan yang dekat dengan sungai besar. Atau apakah mandi besar mengharuskan ada tindakan menyiramkan air ke tubuh disertai menggunakan sabun dan sampo serta menggosok tubuh seperti yang biasa kita lakukan? Berikut penjelasan para pakar tafsir dan fikih:

Pro Kontra Hukum Mandi Besar Dengan Cara Berendam

Salah satu permasalahan yang didiskusikan para pakar tafsir tentang tata cara mandi besar yang benar, adalah mengenai hukum mandi besar dengan cara berendam. Para pakar tafsir dan fikih mengistilahkan “berendam” dalam permasalahan mandi besar dengan Bahasa yanghamisu atau inghimas yang secara literal bermakna berendam.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Apakah Mulut dan Lubang Hidung Wajib Dibasuh Ketika Mandi Besar?

Mandi besar dengan cara sekedar berendam saja ini memancing perdebatan sebab menurut sebagian ulama’ tidak dianggap sebagai prilaku mandi. Sebab mandi meniscayakan adanya rangkaian usaha membuat air mengenai tubuh dengan cara menyiramkan (ifaadhah) dan menggok-gosok tubuh dengan air (dalku). Inilah makna mandi besar sebenarnya menurut mereka yang dibahasakan dengan kata taghtasilu, sebagaimana yang disinggung oleh Allah dalam firmannya (Al-Istidkar Al-Jami’ li Fuqahail Anshar/1/228):

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan dan jangan (pula menghampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu (saja) sehingga kamu mandi (junub) (QS. An-Nisa’ [4] :43)

Ahli tafsir yang menyinggung secara langsung soal “berendam” dalam permasalahan mandi besar adalah Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an dan Ibn ‘Arabi dalam Ahkamul Qur’an-nya. Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ulama’ berbeda pendapat mengenai mandi besar dengan cara hanya sekedar dengan berendam, tanpa menggosok-gosokkan tangan ke tubuh. Imam Malik menganggap cara itu tidaklah cukup. Sebab tidak bisa disebut dengan mandi. Pendapat ini juga diyakini oleh Imam Muzani dari kalangan Mazhab Syafiiyah (Tafsir Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an/5/210).

Pendukung Imam Malik menjelaskan, mandi besar dengan cara berendam tidaklah bisa disebut dengan ghuslun (mandi) dalam perbendaharaan Bahasa Arab. Sebab orang Arab memiliki Bahasa lain untuk tindakan berendam, yakni ghamsu (berendam). Dan Al-Qur’an memerintahkan Ghuslun, bukan ghamsu (Ahkamul Qur’an libni al-Arabi/2/377).

Namun mayoritas ulama’ menolak pendapat tersebut. Dan mereka menyatakan bahwa dengan berendam saja sudah bisa disebut mandi besar. Asal air sudah merata ke seluruh tubuh. Sebab beberapa riwayat hadis yang menceritakan cara mandi besar Nabi, menunjukkan bahwa mandi besar cukup membuat air mengenai tubuh saja. Tidak perlu menyiramkan maupun sampai menggosok-gosok tubuh (Tafsir Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an/5/210)

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Kewajiban Mandi Bagi Orang Junub dan Beda Pendapat Cara Mandinya

Penutup

Kitab Mausu’atul Ijma’ Fi Fiqhil Islami mendokumentasikan cukup banyaknya klaim ijma’ atau kesepakatan ulama’, mengenai sahnya mandi besar seseorang dengan cara berendam saja. Diantaranya adalah Imam At-Tirmidzi, Ibn ‘Arabi, Ibn Rusyd dan Imam An-Nawawi. Hanya saja kitab tersebut memaparkan penelitiannya bahwa ijma’ tersebut hanya sekedar klaim semata, alias sebenarnya ada juga ulama’ yang menyatakan tidak sah sebab mensyaratkan air yang digunakan untuk mandi haruslah diguyurkan (Mausu’atul Ijma’ Fi Fiqhil Islami /1/484).

Dari berbagai pemaparan di atas kita dapat mengambil kesimpulan, mandi besar dengan cara berendam di kolam renang semisal, tanpa mengguyurkan air ke tubuh atau menggosok-gosok tubuh, hukumnya menurut mayoritas ulama’ adalah sah. Dan juga, yang terpenting adalah air mengenai tubuh, sehingga tak menjadi bahasan apakah ia menggunakan sabun serta sampo atau tidak. Wallahu a’lam bish shawab.

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 67-69

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 67-69 menjelaskan bahwa setiap masa akan diutus para Rasul untuk menyampaikan risalah ilahi, dan setiap Rasul itu membawa syariat yang berbeda, seperti Nabi Daud, Nabi Musa, Nabi Isa, hingga Nabi Muhammad Saw. Dijelaskan pula bahwa Nabi Muhammad hanya bertugas untuk mendakwahkan ajaran Islam, bukanlah wilayah Nabi untuk mengislamkan umatnya, sebab masalah iman adalah urusan Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 65-66


Ayat 67

Allah telah mengutus para rasul kepada tiap-tiap umat sampai kepada masa Nabi Muhammad saw. Tiap-tiap rasul membawa syariat yang berbeda dengan syariat rasul yang lain, sesuai dengan keadaan, tempat dan masa dimana umat itu berada sehingga syariat itu dapat mereka lakukan dengan baik dan sesuai dengan kesanggupan, kemanfaatan dan kebutuhan hidup mereka.

Kitab Taurat diturunkan kepada Musa as, yang akan disampaikan kepada Bani Israil. Bani Israil di waktu itu sedang terjangkit paham materialisme dan kehidupan yang materialistis. Hidupnya didasarkan kepada kebendaan.

Baginya hidup ini adalah serba benda. Bani Israil tatkala ditinggalkan Nabi Musa yaitu dikala beliau naik ke bukit Tursina untuk menerima Taurat, mereka membuat patung anak sapi dari emas untuk disembah.

Isi Taurat banyak memberi petunjuk kepada manusia tentang cara-cara membina diri dan umat agar terhindar dari paham materialisme dan kehidupan yang materialistis itu. Demikian pula Injil diturunkan kepada Nabi Isa as, banyak memberi petunjuk cara-cara pembinaan kejiwaan, rohani, sesuai pula dengan keadaan orang Yahudi di waktu itu.

Pada akhirnya Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Syariat yang dikandung Al-Qur’an itu adalah syariat untuk seluruh umat manusia sampai akhir zaman. Di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang memberi petunjuk kepada manusia agar mereka di samping memikirkan kehidupan rohani juga memikirkan kehidupan duniawi, kehidupan duniawi merupakan persiapan kehidupan akhirat.

Demikianlah ketetapan Allah yang berlaku bagi seluruh umat manusia sejak dahulu sampai sekarang. Maka seharusnya orang-orang kafir itu tidak menentang seruan Nabi Muhammad yang disampaikan kepada mereka.

Karena itu Allah memperingatkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya agar jangan terpengaruh oleh tantangan dan pembangkangan orang-orang kafir. Tetaplah melakukan dakwah, menyeru mereka dengan hikmat dan kebijaksanaan, mengajak mereka kepada ketauhidan, yang menunjukkan kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.


Baca Juga: Puasa Jasmani dan Rohani menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani


Ayat 68

Seandainya orang-orang kafir itu menentang dan mengingkari dakwah Nabi, padahal telah disampaikan kepada mereka bukti-bukti dan keterangan-keterangan yang menunjukkan kebenaran agama yang disampaikan kepada mereka, maka tugas Nabi Muhammad adalah menyampaikan agama, bukan untuk menjadikan seseorang itu menjadi kafir atau beriman. Semuanya menjadi wewenang Allah. Allah berfirman:

وَاِنْ كَذَّبُوْكَ فَقُلْ لِّيْ عَمَلِيْ وَلَكُمْ عَمَلُكُمْۚ اَنْتُمْ بَرِيْۤـُٔوْنَ مِمَّآ اَعْمَلُ وَاَنَا۠ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تَعْمَلُوْنَ

Dan jika mereka (tetap) mendustakanmu (Muhammad), maka katakanlah, ”Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu tidak bertanggung jawab terhadap apa yang aku kerjakan dan aku pun tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Yunus/10: 41)

Katakanlah kepada mereka bahwa Allah lebih mengetahui tentang apa yang mereka kerjakan dan akan membalas mereka terhadap pekerjaan-pekerjaan yang telah mereka kerjakan di dunia ini.

Ayat 69

Setelah Allah memerintahkan pada ayat-ayat yang lalu agar Rasulullah berpaling dari orang-orang yang kafir, maka pada ayat ini Allah menegaskan bahwa Allah akan menentukan keputusan dan hukum pada hari Kiamat antara mereka yang berselisih dalam persoalan agama itu, sehingga terbukti mana yang benar dan mana yang salah.

Orang-orang yang beriman mereka bersabar, dan menguatkan keimanan mereka, sebagaimana firman Allah:

فَلِذٰلِكَ فَادْعُ ۚوَاسْتَقِمْ كَمَآ اُمِرْتَۚ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْۚ وَقُلْ اٰمَنْتُ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنْ كِتٰبٍۚ وَاُمِرْتُ لِاَعْدِلَ بَيْنَكُمْ

Karena itu serulah (mereka beriman) dan tetaplah (beriman dan berdakwah) sebagaimana diperintahkan kepadamu (Muhammad) dan janganlah mengikuti keinginan mereka dan katakanlah, ”Aku beriman kepada Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan agar berlaku adil di antara kamu. (asy-Syura/42: 15)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 70-72


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 65-66

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Setelah sebelumnya dijelaskan tentang nikmat Allah kepada manusia berupa awan dan hujan yang dapat bermanfaat untuk menumbuhkan tanaman, dan mengairi sungai. Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 65-66 pun menegaskan nikmat lain, yaitu kemampuan manusia untuk befikir sehingga muncul pengetahuan seperti; bertani, berkebun, berburu, dan sebagainya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 62-64


Adapun nikmat terbesar yang dimiliki manusia adalah terlahirnya mereka ke dunia dalam bentuk yang sempurna, dari ketiadaan menuju ada, Allah mampu menjadikan sesuatu yang mati itu hidup, ini menunjukkan bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah Swt, sebagaimana yang akan diulas dalam Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 65-66 berikut.

Ayat 65

Di antara nikmat yang telah diberikan Allah kepada hamba-Nya ialah Dia menundukkan dan memudahkan bagi manusia untuk memanfaatkan segala yang terkandung di dalam bumi dan segala yang ada di permukaannya, sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup dan kehidupan manusia.

Manusia diberi pengetahuan dan kemampuan menanam dan menyuburkan tanaman, menggali barang-barang tambang yang beraneka ragam macamnya. Kemudian Allah menunjukkan cara-cara memanfaatkan semuanya itu. Allah berfirman:

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مِّنْهُ ۗ

Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. (al-Jātsiyah/45: 13)

Manusia telah dianugerahi Allah ilmu yang banyak. Kadang-kadang sebagian mereka menjadi angkuh dan sombong dengan ilmu yang dimilikinya itu, hendaklah manusia ingat bahwa ilmu yang diberikan itu, hanyalah sedikit bila dibandingkan dengan ilmu Allah yang belum diketahui manusia. Ilmu manusia  tidak ada artinya sama sekali bila dibandingkan dengan ilmu Allah, sebagaimana firman Allah:

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِۗ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا

Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh. Katakanlah, ”Roh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.” (al-Isrā`/17: 85)

Demikianlah Allah menundukkan dan memudahkan penguasaan kapal dan laut kepada manusia. Dimudahkan kapal berlayar ke samudera, membawa manusia dan keperluan manusia ke segenap penjuru dunia.

Dengan kapal itu pula manusia mencari rezeki di lautan berupa ikan, mutiara, barang tambang dan khazanah lautan berupa ikan yang tidak terhitung banyaknya.

Allah menciptakan alam semesta, yang terdiri atas ruang angkasa dan planet-planetnya yang tidak terhitung banyaknya. Semua terapung dan beredar melalui garis edar yang telah ditentukan Allah. Masing-masing planet itu mempunyai daya tarik, sehingga ia tidak jatuh berantakan, kecuali jika Allah menghendaki-Nya. Firman Allah:

اِذَا السَّمَاۤءُ انْفَطَرَتْۙ  ١  وَاِذَا الْكَوَاكِبُ انْتَثَرَتْۙ  ٢

Apabila langit terbelah,  dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan.  (al- Infithār/82: 1-2)

Semuanya itu tidak dijadikan Allah dengan cara kebetulan saja, tetapi dengan maksud tertentu, dengan hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan yang rapi dan teliti. Dengan hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan itu manusia dapat mengambil manfaat daripadanya, mereka dapat terbang di jagat raya, naik ke planet lain, mereka dapat meramalkan keadaan cuaca.

Mereka dapat berpergian dari suatu negeri ke negeri yang lain dalam waktu yang tidak lama, dan banyak lagi manfaat lain yang dapat mereka ambil dengan menggunakan ketentan-ketentuan dan hukum-hukum Allah itu. Semuanya itu menunjukkan kasih sayang Tuhan kepada manusia.


Baca Juga: Surah Ibrahim Ayat 28: Larangan Memanipulasi Nikmat Allah Swt dalam Konteks Berbangsa


Ayat 66

Di antara nikmat Allah yang paling besar yang dianugerahkan kepada manusia ialah menciptakan manusia hidup dari benda-benda mati, memberi roh, jiwa, akal pikiran dan perasaan, sehingga manusia dapat hidup dan menikmati kehidupan, dapat mengolah bumi untuk kesenangan mereka.

Dengan jiwa, akal pikiran dan perasaan itu pula, manusia dapat melaksanakan perintah-perintah Allah dan menghentikan larangan-larangan-Nya, sehingga di akhirat mereka dilimpahkan lagi nikmat yang paling besar yang tiada taranya, yaitu berupa surga yang telah dijanjikan-Nya.

Sekalipun demikian banyaknya nikmat-nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada manusia, tetapi sedikit manusia yang mensyukuri-Nya, bahkan banyak di antara mereka yang mengingkari-Nya, bahkan ada yang mendurhakai dan menyekutukan-Nya dengan makhluk yang lain. Allah berfirman:

كَيْفَ تَكْفُرُوْنَ بِاللّٰهِ وَكُنْتُمْ اَمْوَاتًا فَاَحْيَاكُمْۚ  ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْ ثُمَّ اِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ

Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (al-Baqarah/2: 28)

Dan firman Allah:

قُلِ اللّٰهُ يُحْيِيْكُمْ ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يَجْمَعُكُمْ اِلٰى يَوْمِ الْقِيٰمَةِ لَارَيْبَ فِيْهِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ

Katakanlah, ”Allah yang menghidupkan kemudian mematikan kamu, setelah itu mengumpulkan kamu pada hari Kiamat yang tidak diragukan lagi; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (al-Jātsiyah/45: 26)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 67-70


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 62-64

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 62-64 berbicara tentang sifat dan kekuasaan Allah Swt. yang amatlah sempurna, tidak ada satupun kekurangan pada diri-Nya. Allah menyindir manusia yang masih abai akan kekuasaan-Nya, tidak merenungi atas setiap ciptaan yang sudah mereka saksikan, bahwa segala yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah Swt., hanya  kepada-Nya manusia menyembah dan mensyukuri segala nikmat yang telah tercurah.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 59-61


Ayat 62

Sifat-sifat yang demikian itu, yaitu kekuasaan yang sempurna, ilmu yang luas dan sempurna, meliputi segala macam ilmu ada pada Allah, karena Dialah yang wajibul-wujud, pasti adanya, mempunyai segala macam sifat kesempurnaan, tidak mempunyai kekurangan sedikit pun.

Dialah yang memiliki agama yang benar, yang disampaikan nabi-nabi dan rasul-rasul yang diutus-Nya, yang paling akhir ialah Nabi Muhammad saw.

Dialah Tuhan Yang Maha Esa, tiada seorang pun yang menjadi syarikat bagi-Nya. Karena itu beribadah kepada-Nya adalah suatu yang wajib, sesuatu yang paling benar, demikian pula pertolongan-Nya, janji-Nya adalah suatu yang hak.

Segala yang disembah selain Allah adalah sembahan yang salah, dan ibadah itu merupakan ibadah yang tidak ada dasarnya. Dia berkuasa menciptakan segala yang dikehendaki-Nya. Jika Dia ingin menciptakan sesuatu, cukuplah Dia mengatakan, “Jadilah”. Maka terwujudlah barang itu.

Sesungguhnya Allah Mahatinggi, semua berada dibawah-Nya da Dia di atas segala sesuatu. Tidak ada sesuatu pun yang menyamainya dalam kekuatan, ketinggian dan kebesaran serta pengetahuan-Nya.

Ayat 63

Dalam ayat ini Allah menyebutkan tanda-tanda kebesaran-Nya yang juga merupakan nikmat yang telah dilimpahkan kepada manusia, yaitu apakah manusia tidak melihat dan memperhatikan bahwa Allah mengedarkan awan, lalu dari awan itu turunlah hujan di atas bumi, air hujan itu menyuburkan bumi.

Maka timbullah beraneka macam tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan yang indah bentuknya, seakan-akan bumi menghiasi dirinya dengan tumbuhnya tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan yang beraneka warna.

Di antara yang tumbuh itu ada yang dapat dimakan manusia, sehingga terpelihara kelangsungan hidupnya, ada yang dapat dijadikan bahan-bahan pakaian, bahan kecantikan, dan beraneka keperluan manusia yang lain.

Sesungguhnya Allah Mahaluas ilmu-Nya, karena pengetahuan-Nya meliputi seluruh makhluk-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan-Nya, sejak dari yang kecil sampai kepada yang besar, sejak dari yang mudah sampai kepada yang sulit dan rumit yang kadang-kadang tidak diketahui oleh manusia.


Baca Juga: Ngaji Gus Baha: Tafsir Kesempurnaan Agama dalam Surah Al-Maidah Ayat 3


Karena itu Allah mengatur, menjaga kelangsungan hidup dan kelangsungan adanya makhluk-Nya itu. Maka ditetapkan hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan untuk mengatur makhluk-Nya.

Tentang pengetahuan Allah terhadap makhluk-Nya, diterangkan dalam firman-Nya:

وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَّبِّكَ مِنْ مِّثْقَالِ ذَرَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِى السَّمَاۤءِ وَلَآ اَصْغَرَ مِنْ ذٰلِكَ وَلَآ اَكْبَرَ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ

Tidak lengah sedikit pun dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah baik di bumi atau pun di langit. Tidak ada sesuatu yang lebih kecil dan yang lebih besar dari itu, melainkan semua tercatat dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz). (Yunus/10: 61)

Ayat 64

Hanya Allah yang memiliki segala apa yang di langit dan segala apa yang di bumi, tidak ada sesuatu pun yang berserikat dengan-Nya dalam pemilikan itu. Karena itu hanya Dia pulalah yang menentukan apa yang dilakukan-Nya terhadap makhluk-Nya itu, tidak ada sesuatu pun yang menghalangi kehendak-Nya.

Dia tidak memerlukan sesuatu, hanya makhluk-Nyalah yang memerlukan-Nya. Dia Maha Terpuji karena kebaikan dan nikmat yang tiada terhingga yang telah diberikan kepada makhluk-Nya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 65-66


Mengingat Allah Swt dengan Muhasabah dalam Al-Quran dan Hadis

0
Mengingat Allah
Mengingat Allah Swt

Allah Swt mengingatkan manusia agar dia tidak melupakan-Nya. Kalau dia mengingat Allah berarti dia telah melakukan muhasabah. Mengingat Allah Swt adalah bahagian yang terpenting dari kegiatan muhasabah. Hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam QS. Al-Hasyr (59): 19: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.

Dalam kaitannya dengan muhasabah, ayat di atas mengingatkan orang-orang beriman agar tidak melupakan Allah. Mereka diperintahkan untuk selalu mengingat Allah, mengerjakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Apabila mereka melupakan Allah, maka Allah akan menjadikan mereka melupakan diri mereka sendiri.

Allah memerintahkan untuk selalu mengingat Allah Swt kapan pun dan di mana pun. Allah menyatakan di dalam Q.S. Al-A’raf (7): 205: “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”

Baca Juga: Pentingnya Muhasabah dan Perintah dalam Al-Quran dan Hadis

Secara tegas ayat di atas memerintahkan kepada kaum muslimin untuk senantiasa mengingat Allah kapan saja dan di mana saja, baik dalam keadaan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Bahkan Allah mengingatkan agar kaum muslimin tidak menjadi orang-orang yang lupa akan Allah.

Bermuhasabah tidak hanya berkaitan dengan upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk urusan akhiratnya, tetapi juga untuk urusan dunia. Mengurus urusan akhirat harus dengan mengurus urusan dunia. Mengurus urusan dunia harus seimbang dengan mengurus urusan akhirat. Ini yang disebut keseimbangan hidup dunia dan akhirat. Hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam QS. Al-Qashash [28]: 77: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Dalam kaitannya dengan muhasabah, ayat ini memerintahkan kepada kaum muslimin untuk melakukan 4 hal: yaitu (1) Carilah (tuntutlah) akhiratmu dengan menggunakan segala apa yang telah diberikan Allah kepadamu di dunia ini, (2) jangan melupakan bahagianmu di dunia, (3) Berbuat baiklah kalian sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kalian, dan (4) jangan kalian membuat kerusakan di muka bumi. Allah ingin menegaskan dalam ayat ini bahwa manusia tidak melupakan bahagian untuk kehidupannya di dunia dan bahagian untuk kehidupannya di akhirat.

Di dalam hadis Nabi pun cukup banyak teks-teks yang berbicara mengenai muhasabah ini. Di antara hadis yang sangat populer di kalangan kaum muslimin adalah hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, yang terjemahannya adalah sebagai berikut.

Dari Syaddad bin Aus, dari Nabi Muhammad saw., beliau berkata: “Orang yang kuat ialah orang yang dapat menundukkan hawa-nafsunya dan beramal untuk kehidupannya sesudah mati, dan orang yang lemah adalah orang mengikuti hawa nafsunya dan selalu berangan-angan kepada Allah. Ia berkata bahwa yang dimaksud dengan menundukkan dirinya di sini ialah menghitung-hitung (menilai) dirinya di dunia ini sebelum ia dihitung (dinilai) di akhirat nanti. Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, ia berkata: “Hitunglah (nilailah) diri kalian sebelum kalian dihitung (dinilai) di akhirat nanti, dan berhiaslah dengan akhlak yang mulia, karena sesungguhnya penilaian di akhirat nanti akan menjadi ringan bagi seseorang yang terlebih dahulu menghitung (menilai) dirinya di dunia ini. Diriwayatkan dari Maimun bin Mahran, ia berkata: “Seorang hamba tidak dipandang bertakwa sehingga ia menghitung (menilai) dirinya sebagaimana ia menilai dan melihat kepada kawannya dari mana ia mendapat makanan dan pakaiannya. (HR Tirmidzi)

Baca Juga: Berinfak di Jalan Allah Swt dan Balasan yang Didapatkan

Ada beberapa aspek penting yang terkait dengan muhāsabah di dalam hadis di atas, yaitu:

  1. Orang yang kuat ialah orang yang dapat menundukkan hawa-nafsunya. Kekuatan yang ada di dalam diri seseorang akan dinilai dari kemampuan dan kekuatannya untuk mengendalikan hawa nafsunya. Hawa nafsu tidak mungkin dihilangkan, tetapi harus dikendalikan ke arah kebaikan dan kemaslahatan. Sebab, nafsulah yang mendorong setiap orang untuk melakukan apa saja, yang baik maupun yang buruk.
  2. Orang yang kuat ialah orang yang beramal untuk kehidupannya sesudah mati. Kekuatan yang di dalam diri seseorang akan dinilai dari kemampuannya untuk beramal untuk mempersiapkan dirinya menghadapi kehidupan akhirat dengan mempersiapkan diri dan bekal untuk kehidupan di akhirat. Ingatlah, amalmu akan selalu mendampingi ketika berada di alam akhirat. Amal baikmu akan mendampingimu dalam kebahagiaan dan kesenangan dan amal burukmu akan selalu mendampingi dalam keburukan.
  3. Orang yang lemah adalah orang mengikuti hawa nafsunya. Kelemahan yang ada di dalam diri seseorang akan dinilai dari ketidakmampuannya dan ketidakberdayaannya untuk mengendalikan hawa nafsunya. Dia tidak boleh membiarkan hawa nafsunya untuk melakukan apa saja yang sesuai dengan keinginannya tanpa menyaring dan memilihnya dengan amal yang baik. Membiarkan hawa nafsu mendorong Anda kepada keburukan akan menimbulkan hal buruk bagi dirimu.
  4. Orang yang lemah adalah orang yang berangan-angan kepada Allah, selalu mau dekat dengan Allah, tetapi angan-angannya itu tidak terwujud karena tidak dibarengi dengan kemampuan untuk mengamalkan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan apa yang dilarang Allah. Seharusnya dia berharap kepada Allah dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.
  5. Setiap orang harus menundukkan dirinya dengan cara-cara ber- muhāsabah atau menghitung-hitung (menilai) dirinya di dunia ini dengan mengukur sejauh mana amal saleh yang dilakukannya, sejauh mana pula amal buruk yang pernah dilakukannya. Dengan muhāsabah ia mampu memilih dan menilai amal yang telah dilakukannya. Amal salah yang masih kurang harus ditingkatkan dan amal buruk yang telah dilakukannya harus ditinggalkan dan dijauhkan dari dirinya. Muhāsabah di dunia ini perlu dilakukan oleh setiap orang sebelum ia dihitung (dinilai) di akhirat nanti. Sebab setiap orang akan dihisab di akhirat nanti.
  6. Umar bin Khattab berpesan kepada kita semua: “Hitunglah (nilailah) diri kalian sebelum kalian dihitung (dinilai) di akhirat nanti. Semua amalmu yang besar maupun yang kecil, yang nyata maupun yang tersembunyi, yang disengaja maupun yang tidak disengaja, yang berat maupun yang ringan semuanya akan dihitung dan dinilai oleh Allah swt. Tidak ada satu pun amal yang luput dari penghitungan Allah di hari hisab nanti.
  7. Salah satu bentuk muhasabah itu berhias diri dengan akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak yang mulia salah satu faktor yang mendukung amalmu di akhirat. Sebab, sesungguhnya penilaian di akhirat nanti akan menjadi ringan bagi seseorang yang terlebih dahulu menghitung (menilai) dirinya di dunia ini.
  8. Maimun bin Mahran berkata bahwa: “Seorang hamba tidak dipandang bertakwa sehingga ia menghitung (menilai) dirinya sebagaimana ia menilai dan melihat kepada kawannya dari mana ia mendapat makanan dan pakaiannya.

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 59-61

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Melanjutkan tafsir sebelumnya, Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 59-61 menerangkan bahwa perlakuan istimewa yang dimaksudkan kepada orang yang hijrah adalah karunia dari Allah berupa kenikmatan yang akan mereka terima kelak di akhirat.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 55-58


Selain mereka yang hijrah, Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 59-61 juga menegaskan bahwa mereka yang berjihad dijalan Allah akan mendapat perlakuan yang sama, mereka akan mendapatkan syurga karena jihad mereka dalam melindungi diri dari kezaliman.

Terlebih lagi, mereka akan mendapatkan jaminan perlindungan dan keamanan dari Allah, dengan syarat, jihad yang dilakukan untuk mencari keridaan dari-Nya. Sebagaimana yang akan dijelaskan dalam Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 59-61 berikut.

Ayat 59

Allah akan memasukkan semua orang yang terbunuh di jalan-Nya dan orang-orang yang meninggal dalam keadaan hijrah itu ke dalam surga yang penuh kenikmatan di akhirat kelak, sebagai balasan bagi apa yang telah mereka lakukan.

Inilah yang dimaksud dengan rezeki pada ayat 58, dan kapan rezeki itu diberikan-Nya. Allah menerangkan bahwa Dia mengetahui semua perbuatan yang telah dilakukan oleh orang-orang yang hijrah, mengetahui segala amal yang telah mereka perbuat, baik yang kecil maupun yang besar, baik yang nampak maupun yang tersembunyi.

Sebagaimana Allah mengetahui pula perbuatan-perbuatan orang yang zalim. Sekalipun demikian Allah tidak segera menimpakan siksa kepada orang-orang yang zalim, karena Dia juga Maha Penyantun, Allah selalu memberi kesempatan kepada manusia yang berdosa untuk bertobat dan kembali mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik dan diridai Allah.

Ayat 60

Demikianlah, Allah akan memberikan rezeki yang baik dan surga yang penuh kenikmatan kepada orang-orang yang meninggal dalam keadaan hijrah dan berjihad di jalan Allah, dalam memerangi musuh-musuh mereka.

Kemudian Allah menegaskan jaminan pertolongan-Nya kepada orangorang yang hijrah dan berjihad, yaitu siapa di antara orang-orang yang beriman membalas siksaan orang-orang kafir, karena mereka telah diperangi, kemudian musuh-musuhnya itu memaksa mereka untuk hijrah meninggalkan kampung halaman mereka, pastilah Allah akan menolong mereka dan akan membalas perbuatan itu kembali.

Dalam pada itu Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya. Karena itu janganlah orang-orang yang beriman memerangi musuh-musuh mereka yang telah menyerah dan hendaklah mereka melindungi orang-orang yang minta perlindungan kepada mereka. Jika orang-orang kafir membiarkan kaum Muslimin menjalankan agamanya, tidak mengganggu dan menyakiti mereka, Allah melarang memerangi orang-orang kafir itu.

Allah memerintahkan untuk memaafkan kesalahan mereka, sebagaimana Allah telah memaafkan pula kesalahan orang-orang yang beriman. Allah berfirman:

وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنْتَصِرُوْنَ   ٣٩  وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۚفَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ  ٤٠

Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim, mereka membela diri.  Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim. (asy-Syura/42: 39-40)

Ayat 61

Memberikan pertolongan dan menjamin kemenangan bagi orang-orang yang beriman itu adalah suatu janji yang pasti dari Allah. Karena Dia Maha Menguasai segala sesuatu. Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya itu, Dia pada suatu musim panas memasukkan malam ke dalam siang, maka siang menjadi panjang, dan pada suatu musim dingin memasukkan siang ke dalam malam, maka malam menjadi panjang.

Di daerah khatulistiwa perbedaan waktu malam dan waktu siang ini tidak begitu dirasakan. Tetapi di daerah sub-tropis dan daerah kutub Utara atau Selatan, perbedaan ini sangat kelihatan. Pada musim dingin kelihatan malam amat panjang, sedang di musim panas waktu sianglah yang lebih panjang dari waktu malam.

Ayat di atas merupakan salah satu ayat dari sekian ayat dalam Al-Qur’an yang mengungkapkan secara berulang perkara kejadian siang dan malam.  (QS 10;67, 16:12, 17;12, 21:33, dst). Dan itu terjadi semata karena kuasa-Nya yang tercermin dari bunyi awal ayat.


Baca Juga: Bayangan Matahari dan Inspirasi Pengembangan Sains dalam Al-Quran


Menurut para saintis, malam dan siang merupakan fenomena alam yang terjadi karena posisi bumi yang bergerak mengelilingi matahari pada lintasan yang tetap “hampir berbentuk” lingkaran. Karena itu pula bumi terhindar dari mengalami suhu-suhu ekstrem yang mematikan.

Bumi yang bulat ketika mengelilingi matahari tadi sambil terus berputar pada sumbunya. Malam terjadi pada bagian bumi yang tidak tersinari oleh sinar matahari dan siang ketika bagian bumi lainnya terkena sinar matahari. Malam itu gelap dan siang itu terang.

Mengenai perputaran(rotasi) bumi pada sumbunya, data menunjukkan bahwa kecepatannya adalah 1.670 km per jam. Bandingkan dengan kecepatan peluru ketika dilepaskan dari senjata modern yaitu 1.800 km per jam. Betapa cepatnya rotasi bumi.

Sementara kecepatan orbit bumi terhadap matahari adalah 60 kali kecepatan peluru, yakni sekitar 108.000 km per jam. Dengan kecepatan demikian sebuah pesawat akan dapat mengelilingi bumi dalam waktu 22 menit saja.

Perputaran bumi pada sumbunya terjadi satu kali dalam sehari yang menurut pengamatan para ahli merupakan kecepatan yang tepat untuk menghasilkan suhu yang sedang dan nyaman untuk kehidupan di atas permukaan bumi.

Dan lebih mencengangkan adalah besarnya sudut sumbu putar bumi ini  telah memungkinkan untuk terjadinya 4 musim di belahan utara dan selatan garis equator dan hanya 2 musim di daerah yang terletak tepat di garis equator bumi.

Ketepatan perputaran (rotasi) yang mengakibatkan keteraturan terjadinya siang dan malam di bumi ini ditegaskan oleh ayat ini,….Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya” (Yāsin/36:40)

Dengan pergantian siang dan malam yang secara berkala dan teratur suatu ketetapan Allah untuk menjadi perhitungan waktu bagi kehidupan manusia di bumi. Satu putaran siang dan malam lamanya Allah SWT tentukan 24 jam. Ini yang kita kenal dengan hitungan hari. Satu hari adalah 24 jam.

Sementara satu putaran bulan (sebagai satelit bumi) yang mengelilingi bumi memerlukan waktu 29 atau 30 hari. Atau disebut satu bulan.. Sedangkan lamanya bumi mengelilingi atau mengorbit matahari satu putaran penuh dibutuhkan selama 360 hari, dan dikenal dengan satu tahun. Semua ini adalah dasar disusunnya perhitungan waktu atau kalender.

Memasukkan malam kepada siang, dan memasukkan siang kepada malam itu menurut ukuran manusia adalah lebih sulit melakukannya dari memberi kemenangan. Karena itu memberikan kemenangan kepada orang-orang teraniaya sangat mudah dilakukan Allah. Allah mendengarkan segala doa yang dimohonkan hamba kepada-Nya dan melihat semua perbuatan yang dilakukan hamba-Nya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 62-64


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 55-58

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 55-58 menjelaskan bahwa orang-orang kafir akan selalu mengingkari al-Qur’an, bahkan sebagian dari mereka membuat penafsiran yang salah, serta tidak meyakini adanya hari Kiamat. Sementara orang yang mengimani al-Qur’an dijamin oleh Allah akan mendapatkan petunjuk dari-Nya, termasuk mereka yang hijrah dari situasi yang buruk ke situasi yang lebih baik, merekalah kaum yang akan mendapat perlakuan istimewa dari Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 53-54


Ayat 55

Ayat ini menjelaskan sikap orang kafir terhadap Al-Qur’an, mereka tidak percaya terhadap Al-Qur’an, mekipun telah datang bukti-bukti kebenaran Al-Qur’an sebagai kalamullah bukan ciptaan Muhammad.

Dengan teguran Allah kepada Nabi yang tidak layak di atas, orang kafir tetap ragu dan tidak mau beriman kepada Allah sampai hari Kiamat atau sampai datang azab kepada mereka.

Ayat 56

Allah menerangkan bahwa apabila telah datang hari Kiamat, maka segalanya berada di tangan Allah. Dialah yang berkuasa pada waktu itu dan berkuasa menyelesaikan segala sesuatu dengan memberikan balasan yang layak kepada manusia, sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya selama hidup di dunia.

Orang-orang yang beriman kepada Al-Qur’an, mengamalkan segala yang terkandung di dalamnya, beriman kepada Muhammad sebagai Rasul Allah, mengamalkan hadis-hadisnya melaksanakan perintah-perintah Allah dan menghentikan larangan-larangan-Nya, akan diberi balasan surga yang penuh kenikmatan. Mereka memperoleh apa yang dikehendakinya, merasakan kebahagiaan, kesenangan yang belum pernah mereka rasakan selama hidup di dunia.

Ayat 57

Orang-orang kafir yang mendustakan ayat-ayat Allah, memasukkan penafsiran yang salah dan membuat keraguan ke dalam ayat-ayat-Nya, mendakwahkan bahwa Al-Qur’an adalah buatan Muhammad, mereka akan ditimpa azab yang sangat keras, tidak dapat dibandingkan keras dan beratnya itu dengan siksa atau malapetaka yang pernah terjadi selama mereka hidup di dunia.

Ayat 58

Ayat ini menerangkan bahwa semua orang yang hijrah di jalan Allah, meninggalkan kampung halamannya, meninggalkan keluarga dan harta bendanya, hanya untuk mencari rida Allah, dengan tujuan menegakkan agama Islam bersama Nabi Muhammad saw. Kemudian mereka terbunuh dalam peperangan atau meninggal secara normal dalam keadaan yang demikian itu, maka Allah akan membukakan rezeki yang mulia kepada mereka di akhirat.


Baca Juga:Pandangan Kaum Sufi Terhadap Al-Qur’an dan Kalamullah Menurut Abu Bakar al-Kalabadzi


Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa pada hakikatnya orang yang terbunuh atau mati biasa dalam keadaan hijrah untuk mempertahankan dan membela agama Allah adalah sama-sama akan diberi rezeki yang mulia di sisi Allah. Itulah yang dimaksud dengan ayat ini, dan juga disebutkan dalam firman Allah:

۞ وَمَنْ يُّهَاجِرْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ يَجِدْ فِى الْاَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيْرًا وَّسَعَةً ۗوَمَنْ يَّخْرُجْ مِنْۢ بَيْتِهٖ مُهَاجِرًا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ اَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Dan barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (an-Nisā`/4: 100)

Dan dalam hadis Nabi saw:

عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ مَاتَ مُرَابِطًا اُجْرِيَ عَلَيْهِ الرِّزْقُ وَاَمِنَ مِنَ الْفَتَّانِيْنَ وَاقْرَؤُوْا اِنْ شِئْتُمْ. (رواه ابن ابى حاتم)

 Dari Salman al-Fārisi ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang mati dalam keadaan bertugas (siap bertempur pada jalan Allah), dia diberi rezeki, dan aman dari segala yang memfitnah dia. Dan bacalah olehmu jika kamu menghendaki (ayat ini).” (Riwayat Ibnu Abi Hātim)

Dari ayat ini dapat pula ditetapkan hukum, bahwa apabila ada perbuatan baik, sesuai dengan apa yang diperintahkan agama dan dikerjakan oleh beberapa orang, dalam pelaksanaan pekerjaan itu ada kaum Muslimin yang meninggal karena pekerjaan itu, dan ada yang mati secara normal di waktu melaksanakan pekerjaan itu, maka orang-orang yang mati secara normal itu diberi pahala yang sama oleh Allah.

Dalam ayat ini terdapat perkataan “rezeki” yang mulia, Allah tidak menerangkan apa yang dimaksud dengan rezeki yang mulia itu, dan kapan rezeki itu diberikan. Hal ini akan diterangkan pada ayat berikutnya (ayat 59).

Kemudian Allah menerangkan bahwa Dia adalah pemberi rezeki yang paling baik. Maksudnya ialah Allah memberikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya itu, semata-mata karena kasih sayangnya kepada mereka, sehingga ia memberikannya tiada terhingga kepada siapa yang dikehendaki-Nya, tanpa mengharapkan sesuatu balasan dari hamba-Nya itu.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 59-61


Serial Diskusi Tafsir: Pengaruh Kesarjanaan Barat dalam kajian Tafsir di Indonesia

0
Pengaruh Kesarjanaan Barat Terhadap Transformasi Kajian Akademik Al-Quran dan Tafsir di Indonesia
Pengaruh Kesarjanaan Barat Terhadap Transformasi Kajian Akademik Al-Quran dan Tafsir di Indonesia

Perkembangan studi tentang Al-Quran di Barat diawali dengan upaya penerjemahan Al-Quran ke dalam Bahasa Latin sebagaimana dilakukan oleh Robert of Ketton di sekitar tahun 1143 M. Pasca penerjemahan ini, semakin marak penerjemahan-penerjemahan ke dalam Bahasa Eropa lain dan studi terhadap Al-Quran dan Tafsir.

Bila merujuk pada teori Orientalism yang dicetuskan Edward Said, maka kajian terhadap Al-Quran yang dilakukan para sarjana Barat pada waktu itu berada dalam bayang-bayang imperialisme dan bersifat polemik. Artinya, kajian mereka bersifat mencari-cari kekeliruan dan kelemahan Al-Quran. Kecenderungan polemik ini terus belanjut hingga abad ke-19 sebagaimana ditunjukkan oleh Abraham Geiger yang meneliti kemungkinan narasi Al-Quran meminjam gagasan tradisi Yahudi.

Seiring berkembangnya studi Al-Quran di Barat dengan kehadiran para Sarjana Muslim yang berkiprah di Barat semisal Fazlur Rahman, berpengaruh pada nuansa simpatik terhadap Studi Al-Quran. Pertanyaannya kemudian bagaimana perkembangan mutakhir kesarjanaan Barat terhadap Studi Al-Quran? Apa pengaruh Studi Al-Quran di Barat terhadap perkembangan Studi Al-Quran di Indonesia?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tafsiralquran.id bekerjasama dengan Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Institut Pesantren KH. Abdul Halim (IKHAC) menyelenggarakan Serial Diskusi Tafsir dengan topik Pengaruh Kesarjanaan Barat dalam kajian Tafsir di Indonesia. Mengundang Dr. Yusuf Rahman, M.A selaku narasumber yang memang menggeluti topik ini, diharapkan dapat memberikan pencerahan sekaligus diskusi yang dinamis kepada para pengkaji Al-Quran di tanah air dan masyarakat secara lebih luas.

Acara akan dibuka oleh Rektor IKHAC Dr. Mauhibur Rokhman dan dipandu oleh Pemimpin Redaksi tafsiralquran.id Limmatus Sauda’, M.Hum. Bagi Anda yang berminat untuk mengikuti Serial Diskusi Tafsir seri ke-8 pada Sabtu 28 Agustus 2021 pukul 19.30 sampai selesai dapat melakukan registrasi melalui link berikut ini: Diskusi Tafsir 08