Beranda blog Halaman 238

Ragam Fenomena Kezaliman Terhadap Diri Sendiri dalam al-Qur’an

0
Kezaliman terhadap diri
Kezaliman terhadap diri sendiri dalam Al-Quran

Ada beberapa bentuk kezaliman terhadap diri sendiri yang digambarkan oleh al-Qur’an. Fenomena zalim terhadap diri sendiri tersebut begitu khas dengan frasa ظلم dan نفس. Melalui pelacakan dengan menggunakan kedua frasa ini, penulis menemukan beberapa contoh kasus yang dapat dikategorikan sebagai tindakan merugikan/ zalim terhadap diri sendiri. Kemudian melakukan filter dengan mengambil secara spesifik beberapa kasus yang mengandung ekspresi penyesalan berupa doa di dalamnya.

Q.S. al-A’raf (7): 23

Fenomena pertama ditemukan pada Q.S. al-A’raf (7): 23:

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَآ اَنْفُسَنَا وَاِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

“Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.”

Ayat ini mengisahkan doa yang dipanjatkan oleh Adam As. dan Hawa sebagai pernyataan penyesalan yang telah mereka perbuat. Dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Tabari, dikisahkan bahwa penyesalan ini terjadi akibat ketidaktaatan mereka terhadap perintah Tuhan untuk tidak mendekati salah satu pohon terlarang di surga. Hal ini diakibatkan oleh keduanya yang tak mampu menahan godaan Iblis yang menjerumuskan mereka.

Baca Juga: Bagaimana Relasi Gender dalam Keluarga Dibangun: Perspektif Tafsir Feminis

Maka dalam kasus Adam as. dan Hawa ini, yang menjadi bentuk kezaliman terhadap diri sendiri ialah berupa ketidakmampuan melawan hawa nafsu yang berujung pada tindakan ketidaktaatan kepada Allah. Namun dalam kehidupan saat ini representasi kasus sebagaimana pada tipologi pertama ini, tidak mungkin dijumpai. Oleh sebab itu, filosofi terjadinya kejadian ini yang menjadi tolak ukurnya yaitu ketidaktaatan yang disebabkan oleh ketidakmampuan mengendalikan hawa nafsu. Jadi bentuk kasus yang terjadi mungkin berbeda namun secara filosofis memiliki pola sebab-akibat yang sama.

Poin menarik dalam mengkaji ayat ini ialah bahwa doa ini merupakan doa yang diajarkan langsung oleh Allah kepada Adam As. sebagai apresiasi atas penyesalannya atas perbuatan yang telah dilakukan. Maka jika merasa telah melakukan tindakan zalim terhadap diri sendiri, ayat ini dapat dijadikan sebagai wasilah dalam bertobat.

Q.S. al-Naml: 44

قِيْلَ لَهَا ادْخُلِى الصَّرْحَۚ فَلَمَّا رَاَتْهُ حَسِبَتْهُ لُجَّةً وَّكَشَفَتْ عَنْ سَاقَيْهَاۗ قَالَ اِنَّهٗ صَرْحٌ مُّمَرَّدٌ مِّنْ قَوَارِيْرَ ەۗ قَالَتْ رَبِّ اِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ وَاَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمٰنَ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ࣖ

Dikatakan kepadanya (Balqis), “Masuklah ke dalam istana.” Maka ketika dia (Balqis) melihat (lantai istana) itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya (penutup) kedua betisnya. Dia (Sulaiman) berkata, “Sesungguhnya ini hanyalah lantai istana yang dilapisi kaca.” Dia (Balqis) berkata, “Ya Tuhanku, sungguh, aku telah berbuat zalim terhadap diriku. Aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan seluruh alam.”

Pada kasus kedua ini ada kisah menarik yang perlu diketahui. Ratu Balqis yang terkenal sebagai pemegang tahta tertinggi di kerajaan Saba’ berniat diislamkan oleh Sulaiman As. Beberapa cara dilakukan oleh Sulaiman dalam upaya mewujudkan niatannya tersebut. Sebab Saba’ adalah negeri yang makmur namun masih menyembah matahari dan merasa cukup angkuh akan kemegahan kerajaannya.

Dalam Tafsir Kemenag dijelaskan bahwa ayat ini kemudian menjadi saksi bahwa salah satu upaya Sulaiman As. berhasil meluluhkan Ratu Balqis. Upaya yang dilakukan oleh Sulaiman As. kala itu ialah mendirikan sebuah istana yang megah dan tak tertandingi keindahannya tatkala ia mengetahui bahwa Balqis akan mengunjungi negerinya. Maka saat sesampainya Balqis ke istana Sulaiman As. ia begitu terpukau dengan interior yang nampak di depan matanya, terutama pada lantai yang terlihat seperti sungai namun sebenarnya berupa kristal tembus pandang.

Melihat kemegahan yang tak tertandingi itu, Balqis pun mengakui bahwa istananya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan oleh istana Sulaiman As. Ia pun luluh dan keangkuhannya pun sirna, lalu ia pun mau menerima penjelasan Sulaiman As. mengenai ajaran tauhid yang benar dan menyatakan bahwa dirinya akan tunduk kepada Allah berkat Sulaiman As.  Dalam Tafsir Kemenag juga dijelaskan bahwa alasannya selama ini menolak ialah kekhawatirannya akan dikucilkan oleh masyarakat kerajaannya (Q.S. al-Naml: 43).

Maka dari uraian penafsiran tersebut didapati bahwa bentuk kezaliman terhadap diri sendiri yang dirasakan oleh Balqis ialah berupa keangkuhannya yang berimbas pada ketidakinginannya untuk mendengarkan ajaran yang benar. Hal itulah yang membuatnya sangat susah keluar dari kekafiran, setelah akhirnya berhasil disadarkan oleh Sulaiman As.

Q.S. al-Qashash: 16

قَالَ رَبِّ اِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَغَفَرَ لَهٗ ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Dia (Musa) berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku.” Maka Dia (Allah) mengampuninya. Sungguh, Allah, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Ayat menceritakan tragedi pembunuhan yang dilakukan Nabi Musa As. terhadap seorang Qibti. Tragedi itu terjadi tatkala Musa ingin menolong kawannya dari pem-bully-an seorang Qibti yang merupakan salah satu utusan Fir’aun. Musa pun memukulnya hingga tewas dan kemudian ia pun begitu menyesali perbuatannya sehingga ia pun memanjatkan doa sebagai bentuk pertaubatannya.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Munafiqun Ayat 1-4: Sifat dan Perilaku Orang Munafik

Dalam Tafsir al-Munir karya Wahbah Zuhaili dituliskan bahwa Musa As. juga mengutarakan bahwa suatu kezaliman yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain hakikatnya merupakan bentuk kezaliman pada diri sendiri. Maka doa ini juga seakan memberikan pesan bahwa tindakan kezaliman apapun kepada orang lain haruslah dijauhi sebab apabila dilakukan maka sejatinya tindakan itu juga merusak diri sendiri.

Dari ketiga kasus dalam al-Qur’an yang telah diuraikan di atas didapati bahwa ada tiga tipologi bentuk kezaliman terhadap diri sendiri. Ketiga tipologi tersebut ialah 1) ketidaktaatan terhadap perintah Tuhan akibat tidak mampu mengendalikan hawa nafsu; 2) kekafiran yang disebabkan oleh keangkuhan dalam menerima kebenaran; 3) menzalimi orang lain.

Ketiga tipologi tersebut memperlihat bahwa Islam merupakan ajaran yang seimbang. Islam tidak menginginkan umatnya menzalimi dirinya sendiri baik dengan merusak hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia. Sebab keduanya merupakan elemen terpenting yang harus dijaga dalam menjalani kehidupan. Wallahu a’lam.

Empat Fungsi Al-Qur’an Menurut M. Quraish Shihab

0
Fungsi Al-Qur'an
Fungsi Al-Qur'an menurut Quraish Shihab

Perbincangan dan kajian terkait Al-Qur’an tidak pernah mengalami kemandegan. Ia hidup sepanjang zaman. Sebab, Al-Qur’an adalah mukjizat dan keagungannya diakui oleh siapapun. Ilustrasi tersebut Allah gambarkan dalam QS. Al-Kahfi [18]: 109. Jika lautan dijadikan tinta dan pepohon dijadikan pena untuk menulis kalimat-kalimat Tuhan, niscaya tidak akan ada habisnya.

Begitupula dengan tradisi tafsir Al-Qur’an. Tafsir tidak akan pernah ada habisnya. Mulai dari Tafsir Muqatil bin Sulaiman, Tafsir al-Thabari, Tafsir Ibn Hayyan, al-Kasysyaf hingga ke Indonesia, Tarjuman Mustafid, Tafsir al-Ibriz, Tafsir Al-Azhar, dan Tafsir al-Misbah. Tafsir yang terakhir ini adalah magnum opus-nya seorang pakar tafsir asal Indonesia, M. Quraish Shihab, terdiri dari 15 jilid.

Dalam banyak kesempatan, baik dalam seminar, kuliah umum, atau pun mengisi acara-acara keagamaan, Abi Quraish, sapaan akrab M. Quraish Shihab, sering mengutip  perkataan seorang ulama yakni Abdullah Darraz, yang mengatakan bahwa Al-Qur’an bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut lainnya. Karena sebagai intan yang memancarkan cahaya, apa fungsi Al-Qur’an menurut Tafsir al-Misbah karya Abi Quraish tersebut?

Dalam tafsir Al-Misbah, Abi Qurish mendasarkan 4 fungsi al-Qur’an tersebut kepada QS. Yunus [10]: 57.

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَاۤءٌ لِّمَا فِى الصُّدُوْرِۙ وَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ

“Wahai manusia, sungguh telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi sesuatu (penyakit) yang terdapat dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang mukmin” (Terjemah Kemenag 2019)

Baca Juga: Penafsiran Aulia (Pemimpin) Perspektif Hamka dalam Tafsir al-Azhar

Mengutip Thahir Ibn ‘Asyur, Quraish Shihab memulai penjelasan tentang empat fungsi al-Qur’an tersebut. Menurut Ibn ‘Asyur, ayat di atas memberi perumpamaan tentang jiwa manusia dalam kaitannya dengan kehadiran al-Qur’an. Kemudian ia memberikan sebuah ilustrasi seperti orang yang sedang sakit. Seorang dokter tentu akan memberi peringatan lalu memberinya obat untuk kesembuhannya. Serta memberi petunjuk agar bisa hidup sehat dan tidak sakit lagi. Jika orang yang sakit memenuhi tuntunan sang dokter dan bisa hidup sehat, maka itu rahmat yang besar. (Al-Mishbah: vol.5, hlm. 440)

Sejalan dengan Quraish Shihab, Fakhruddin ar-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib menafsirkan bahwa, sesungguhnya Allah ta’ala mensifati Qur’an dalam ayat ini ke dalam empat sifat (fungsi), pertama, sebagai mau’izah hasanah (pengajaran) dari Allah, kedua, obat bagi hati, ketiga, sebagai petunjuk. Dan, keempat, sebagai rahmat bagi orang-orang mukmin. Akan tetapi, lanjut ar-Razi, pada setiap salah satu sifat-sifat tersebut mempunyai faedah tersendiri. (Mafatih al-Ghaib, juz.17, hlm. 121)

Pertama, al-Qur’an sebagai pengajaran.

Al-Qur’an menggunakan fungsi yang pertama sebagai sebuah pengajaran untuk menyentuh hati yang masih diselubungi oleh kabut keraguan dan kelengahan serta aneka sifat kekurangan. Dengan sentuhan pengajaran tersebut, keraguan berangsur sirna dan berubah menjadi keimanan, kelengahan beralih sedikit demi sedikit menjadi kewaspadaan. (Al-Mishbah: vol.5, hlm. 440)

Sebagai fungsi pengajaran maka Al-Qur’an juga bernilai sebagai pesan ajakan. Karena sebagai fungsi pengajaran, ia mengandung nilai ajakan. Terhadap metode mengajak ini, sementara ulama membagi metode berdakwah ke dalam tiga model berdasarkan QS. An-Nahl [16]: 125. Pertama, metode hikmah. Yakni, berdialog dengan menyampaikan dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkatan audiens. Kedua, metode mau’izhah. Yakni memberikan nasehat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf kemampuan audiens yang sederhana. Dan, ketiga, metode jidal (berdebat dengan baik). Yakni dengan menggunakan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan. (Al-Mishbah: vol.6, hlm. 774-775)

Kedua, al-Qur’an sebagai obat.

Setelah mendapatkan pengajaran dengan ayat-ayat al-Qur’an, menurut Shihab, maka secara otomatis ia akan menjadi obat (penawar). Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf memberi penafsiran bahwa Al-Qur’an sebagai syifa adalah obat bagi setiap hati tatkala di dalam hati mereka terdapat akidah yang rusak, dan berdo’a kepada kebenaran. (Al-Kasysyaf, Juz 3, hlm. 150)

Adapun Ibn Katsir memberikan tafsiran frasa syifa lima fi ash-shudur dengan adapun kesembuhan dalam hati seseorang (antara serupa dan samar-samar), adalah hilangnya sesuatu dalam hati seseorang dari sifat keji dan kotor. (Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Juz 7, hlm. 370)

Artinya bahwa Al-Qur’an sebagai obat adalah ia memliki fungsi sebagai penenang, penetram, sekaligus membersihkan noda-noda kotor yang menyelimuti hati. Karenanya dalam sya’ir tombo ati, yang jamak kita dengar, tak salah bila disebutkan bahwa obat hati itu adalah 5 perkara yang salah satunya adalah membaca Al-Qur’an dan maknanya.

Ketiga, al-Qur’an sebagai petunjuk.

Sehinga ia menjadi obat hati orang-orang mukmin maka ia akan mendapat petunjuk. Petunjuk yang mengarah kepada pengetahuan yang benar dan makrifat tentang Tuhan. Ini membawa kepada lahirnya akhlaq luhur, amal-amal kebajikan yang mengantar seseorang meraih kedekatan kepada Allah SWT.

Baca Juga: Adab Lahiriah dan Adab Batiniah dalam Membaca Al-Qur’an

Ibn Katsir menjelaskan wa huda wa rahmah adalah mereka akan mendapatkan  hidayah dan rahmat dari Allah ta’ala. Bahwasanya mereka adalah termasuk kepada orang-orang mukminin (orang-orang yang beriman), siddiqin (membenarkan), muqinin (orang-orang yang yaqin), sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Isra’ [17]: 82 “Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang mukmin, sedangkan bagi orang-orang zalim (Al-Qur’an itu) hanya menambah kerugian” dan QS. Fushshilat [41]:  44, “…. Katakanlah (Nabi Muhammad), “Al-Qur’an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang beriman, sedangkan bagi orang yang tidak beriman, pada telinga mereka ada penyumbat dan mereka buta terhadapnya (Al-qur’an). Mereka itu seperti orang yang dipanggil dari tempat yang jauh . (Tafsir al-Qur’an al-‘adzim, Juz 7, hlm. 370)

Keempat, al-Qur’an sebagai rahmat.

Setelah tiga fungsi di atas dilewati, pada gilirannya nanti, akan mengundang aneka rahmat yang puncaknya adalah surga dan ridha Allah SWT. Pungkas Abi Quraish dalam tafsirnya menjelaskan ayat tersebut. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas menurut Imam Ibn Katsir jika salah seorang diantara mereka mendapat rahmat, maka mereka termasuk orang-orang mukmin, membenarkan (siddiqin), dan yaqin (shiddiqin).

Semoga kita menjadi orang-orang yang mendapat pengajaran, obat, petunjuk dan rahmat Al-Qur’an sebagaimana ayat di atas. Allahumarhamna bi al-Qur’an. Wallahu’alam bish-showab.

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 53-54

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 53-54 berbicara tentang usaha setan yang selalu mengajak manusia agar terjerumus dalam kesesatan, dan al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia untuk menghadapinya godaan tersebut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 52


Ayat 53

Allah menjelaskan berbagai usaha setan-setan beserta pengikut-pengikutnya untuk memperdayakan manusia dengan menambah pengertian yang salah dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan dalam agama Islam.

Perbuatan mereka itu menjadi cobaan bagi manusia, terutama bagi orang-orang yang beriman, orang-orang yang ingkar dan sesat hatinya serta orang-orang munafik. Godaan setan itu menambahkan sesat dan menimbulkan penyakit dalam hatinya, sehingga kekafiran dan kemunafikan mereka bertambah.

Sedang orang-orang yang kuat imannya tidak akan tertipu oleh setan, setiap godaan setan yang datang kepadanya akan menambah kuat imannya.

Sebaliknya orang-orang yang sesat hatinya dan ada penyakit di dalamnya akan jauh menyimpang dari jalan yang benar, karena itu sukar bagi mereka kembali ke jalan yang benar. Mereka tidak dapat lagi mengharapkan keridaan Allah dan tidak akan lepas dari siksaan Allah.

Ayat 54

Allah melakukan yang demikian itu agar orang-orang yang berilmu pengetahuan mengetahui dan merenungkan segala macam hukum yang telah ditetapkan Allah, pokok-pokok sunnatullah, segala macam subhat dan penafsiran ayat-ayat dengan cara yang salah yang dibuat oleh setan dan pengikut-pengikutnya.

Dengan pengetahuan dan pengalaman itu diharapkan iman mereka bertambah, meyakini bahwa Al-Qur’an itu benar-benar berasal dari Allah. sebagaimana mereka meyakini bahwa Allah menjamin keaslian Al-Qur’an dari campur tangan manusia di dalamnya dan dari penafsiran yang salah.

Karena itu hendaklah orang-orang yang beriman yang telah dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, antara iman dan kufur menundukkan dan menyerahkan diri kepada Allah.

Membaca ayat-ayat Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh, melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya, menghentikan segala larangan-Nya, baik yang berhubungan dengan ibadah, muamalat, budi pekerti, hukum dan tata cara bergaul dalam kehidupan masyarakat.

Kemudian ditegaskan bahwa Allah benar-benar akan memberi petunjuk dan taufik kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengikuti semua rasul. Petunjuk dan taufik yang diberikan Allah kepada hamba-Nya dilakukan dengan bermacam cara. Ada cara yang langsung dan ada pula dengan cara yang tidak langsung, kadang-kadang manusia sendiri menyadari bahwa ia telah menerima petunjuk itu.

Dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw banyak didapati saat-saat Allah memberikan petunjuk yang langsung kepadanya. Di antaranya petunjuk-petunjuk Allah kepadanya adalah teguran Allah kepada Nabi, ketika Nabi melakukan perbuatan yang dianggap tidak layak dilakukan oleh rasul, misalnya teguran-Nya kepada Nabi karena meremehkan seorang sahabat yang bertanya kepadanya, Nabi sedang sibuk dengan pembesar Quriasy. Di antara contoh-contohnya ialah sebagai berikut:

Imam Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Ummi Maktum, seorang sahabat Nabi yang buta dan miskin. Pada suatu hari ia datang menghadap Nabi dan ia berkata, “Ya Rasulullah, bacakan dan ajarkanlah kepadaku apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.” Ia mengulangi perkataan itu tiga kali.


Baca Juga: Bukti Perkembangan Al-Qur’an yang Fleksibel dan Tidak Sepi dari Perdebatan


Waktu Ibnu Ummi Maktum bertanya, Rasul saw sedang menerima pembesar Quraisy, yaitu Walid bin Mugirah dan konon musuh umat Islam, sedang Ibnu Ummi Maktum tidak melihat dan mengetahui pula bahwa Rasulullah sedang sibuk menerima tamu-tamunya.

Karena itu Rasulullah saw merasa kurang senang dengan permintaan Ibnu Ummi Maktum, beliau bermuka masam dan berpaling daripadanya. Sikap Rasulullah terhadap Ibnu Ummi Maktum itu ditegur Allah dengan firman-Nya:

عَبَسَ وَتَوَلّٰىٓۙ  ١  اَنْ جَاۤءَهُ الْاَعْمٰىۗ  ٢  وَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّهٗ يَزَّكّٰىٓۙ  ٣  اَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرٰىۗ  ٤  اَمَّا مَنِ اسْتَغْنٰىۙ  ٥  فَاَنْتَ لَهٗ تَصَدّٰىۗ  ٦  وَمَا عَلَيْكَ اَلَّا يَزَّكّٰىۗ  ٧  وَاَمَّا مَنْ جَاۤءَكَ يَسْعٰىۙ  ٨  وَهُوَ يَخْشٰىۙ  ٩  فَاَنْتَ عَنْهُ تَلَهّٰىۚ  ١٠  كَلَّآ اِنَّهَا تَذْكِرَةٌ ۚ  ١١

Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, karena seorang buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum). Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (pembesar-pembesar Quraisy), maka engkau (Muhammad) memberi perhatian kepadanya, padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak menyucikan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang dia takut (kepada Allah), engkau (Muhammad) malah mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh, (ajaran-ajaran Allah) itu suatu peringatan. (‘Abasa/80: 1-11)

Dengan teguran Allah itu Rasulullah menjadi sadar akan kesalahannya, sejak waktu itu beliau tambah menghormati sahabat-sahabat beliau, termasuk menghormati Ibnu Ummi Maktum sendiri. Teguran Allah inilah yang membedakan posisi Nabi dengan manusia biasa.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 55-58


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 52

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 52 mengingatkan kembali kepada manusia bahwa setan adalah musuh yang nyata, ia tidak akan lelah merayu manusia untuk melanggar perintah Allah, segala upaya akan ia lakukan supaya keinginannya terwujud, yakni mengajak sebanyak-banyaknya manusia masuk kedalam neraka.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 48-51


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 52 juga menerangkan bahwa salah satu upaya yang dilakukan oleh setan dimasa Nabi Muhammad adalah membisikkan tafsir yang salah kepada para sahabat ketika Nabi sedang menyampaikan wahyu yang turun. Ini menunjukkan bahwa, meski ada sosok Nabi, mereka tidak akan gentar dan menyerah dalam membujuk manusia, agar terjerumus kedalam lubang dosa.

Namun demikian, Allah selalu melindungi orang-orang yang beriman dengan menanamkan ketakwaan kedalam diri mereka. Sebab itu, meski Nabi Muhammad telah wafat, namun nilai-nilai yang diajarkannya akan selalu dibawa oleh pengikutnya hingga akhir zaman, dan akan ada orang-orang soleh dari setiap generasi yang akan menyampaikan keagungan Allah dan kebejatan setan, sebagaimana yang diterangkan dalam Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 52 berikut.

Ayat 52

Dalam ayat ini Allah memperingatkan orang-orang yang beriman akan usaha-usaha yang dilakukan oleh setan; baik setan dalam bentuk jin, maupun setan dalam bentuk manusia untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah.

Di antara usaha-usaha setan itu ialah apabila Rasul membicarakan ayat-ayat Allah, atau menjelaskan dan menyampaikan syariat yang dibawanya kepada para sahabatnya, maka bangunlah setan-setan itu dan berusahalah mereka memasukkan ke dalam hati para pendengar sesuatu tafsiran yang salah, sehingga mereka meyakini bahwa ayat-ayat atau syariat yang disampaikan Rasul itu, bukan berasal dari Allah, tetapi semata-mata ucapan Rasul saja, yang dibuat-buat untuk meyakinkan manusia akan kenabian dan kerasulannya.

Ada pula di antara setan-setan itu menyisipkan tafsir yang salah terhadap ayat-ayat itu, sehingga tanpa disadari oleh para pendengar, mereka telah menyimpang dengan tafsir itu sendiri dari maksud ayat yang sebenarnya.

Usaha setan itu tidak saja dilakukan terhadap Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi, tetapi juga telah dilakukannya terhadap agama dan kitab-kitab suci yang pernah diturunkan kepada para rasul.

Usaha-usaha setan itu ada yang berhasil. Bila dipelajari dengan sungguh-sungguh sejarah agama yang dibawa para rasul dan sejarah kitab-kitab suci yang diturunkan Allah kepada mereka. Telah banyak dimasukkan oleh setan ke dalam agama-agama itu sesuatu yang dapat menyesatkan manusia dari jalan Allah.

Yang disisipkan itu bukan saja hal yang ringan dan bukan prinsip, tetapi banyak pula yang telah berhasil disisipkan itu sesuatu yang dapat mengubah azas dan pokok agama itu, Allah berfirman:

يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْ مَّوَاضِعِهٖۙ وَنَسُوْا حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوْا بِهٖۚ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلٰى خَاۤىِٕنَةٍ مِّنْهُمْ اِلَّا قَلِيْلًا مِّنْهُمْ ۖ

Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. Engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sekelompok kecil di antara mereka (yang tidak berkhianat). (al-Mā`idah/5: 13)

Agama yang diturunkan Allah kepada para rasul terdahulu yang telah banyak dicampuri oleh perbuatan setan, di antaranya ialah agama Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Daud dan Nabi Isa as.

Dalam sejarah kaum Muslimin setelah Rasulullah saw dan para sahabat terdekat meninggal dunia, nampak dengan jelas usaha-usaha untuk merusak dan mengubah agama Islam meskipun usaha untuk mengubah, menambah atau mengurangi ayat-ayat Al-Qur’an tidak berhasil, karena Al-Qur’an dipelihara oleh Allah, tetapi mereka hampir saja berhasil memasukkan hadis-hadis palsu ke dalam kumpulan hadis-hadis Nabi.

Di samping itu juga mereka hampir berhasil menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan tafsir atau takwil yang jauh dari makna Al-Qur’an yang dikehendaki.

Di samping usaha-usaha mereka untuk mengubah ayat-ayat suci Al-Qur’an, hadis Nabi dan syariat Islam, mereka juga berusaha untuk merusak hidup dan kehidupan manusia, seperti jika seorang mencita-citakan adanya sesuatu kebaikan pada dirinya, maka ditimbulkanlah oleh setan di dalam diri dan pikiran orang itu pendapat atau keyakinan bahwa cita-cita yang diinginkan itu sulit memperolehnya, sehingga timbul pada diri dan kemauan orang itu rasa takut dan rasa tidak sanggup mencapai cita-cita yang baik itu.

Mengenai Al-Qur’an banyak sekali usaha-usaha untuk meniru-nirunya, memasukkan tafsir dan takwilan yang salah ke dalamnya, memasukkan khurafat-khurafat dan sebagainya, namun semua usaha itu mengalami kegagalan. Hal ini sesuai dengan jaminan Allah tehadap pemeliharaan Al-Qur’an itu, Allah berfirman:

اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya. (al-Hijr/15: 9)

Jika diperhatikan sejarah Al-Qur’an, amat banyak cara yang telah dilakukan untuk menjaga otensitas Al-Qur’an itu, di antaranya ialah:

  1. Di masa Rasulullah masih hidup, setiap ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan beliau menyuruh menuliskan dan menghafalnya.
  2. Tidak lama setelah Rasulullah saw meninggal dunia, seluruh Al-Qur’an telah dapat dikumpulkan dan ditulis pada lembaran-lembaran yang kemudian diikat dan disimpan oleh Abu Bakar, sepeninggal Abu Bakar disimpan oleh Umar, kemudian oleh Hafsah binti Umar.

Di masa Usman Al-Qur’an yang ditulis pada lembaran-lembaran itu dibukukan. Al-Qur’an dinamai “Mushaf”. Ada lima buah mushaf yang ditulis di masa Usman itu. Dari mushaf yang lima itulah kaum Muslimin di seluruh dunia Islam di masa itu menyalin Al-Qur’an.

  1. Mendorong dan menambah semangat orang-orang yang berilmu, agar memperdalam ilmunya. Dengan kemampuan ilmu yang ada, mereka dapat mempertahankan kemurnian Al-Qur’an dari segala macam subhat dan penafsiran yang salah.
  2. Sejak masa Nabi saw sampai saat ini, selalu ada orang yang hafal seluruh Al-Qur’an, sehingga sukar dilakukan penyisipan-penyisipan ke dalamnya. Bahkan kesalahan tulisan yang sedikit saja pada ayat-ayat Al-Qur’an telah dapat menimbulkan reaksi yang kuat dari kalangan kaum Muslimin.

Baca Juga: Menghafal Al-Qur’an di Somalia: Semangat, Sejarah dan Metodenya


Dalam setiap kurun sejarah Islam, selalu ada tokoh-tokoh ulama yang sanggup membela dan mempertahankan ajaran Islam dari serangan yang datang dari luar Islam yang beraneka ragam bentuknya.

Pada saat banyak timbul usaha-usaha pemalsuan hadis pada permulaan abad kedua hijriyah, tampillah Khalifah Umar bin Abdul Azìz. Beliau berusaha mengumpulkan dan membukukan hadis-hadis Nabi saw yang masih berada dalam hafalan para tabi`in, dan sebagian telah dituliskan oleh para sahabat.

Beliau memerintahkan para pejabat di daerah-daerah, dan para ulama agar mengumpulkan hadis-hadis Nabi di daerah mereka masing-masing. Di antara para ulama yang menulisnya ialah Imam az-Zuhri. Maka oleh Imam az- Zuhri dikumpulkan hadis-hadis Nabi itu.

Sekalipun pada masa itu belum lagi dilakukan penelitian dan pemisahan hadis-hadis mana yang palsu dan mana yang benar-benar berasal dari Nabi, tetapi usaha ini merupakan landasan dan dasar dari usaha-usaha yang akan dilakukan oleh para Imam hadis yang datang kemudian sesudah angkatan az-Zuhri ini, seperti Imam al-Bukhāri, Muslim, an-Nasā`i, Abu Dāud dan lain-lain. Imam-imam inilah yang melakukan penelitian terhadap hadis-hadis yang telah dikumpulkan di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz itu.

Demikian pula Imam al-Asy’ari telah berhasil mempertahankan kemurnian ajaran Islam dari pengaruh filsafat Yunani yang banyak dipelajari oleh ulama-ulama Islam waktu itu.

Kemudian al-Gazali telah berhasil pula mempertahankan ajaran Islam dari pengajaran atau pengaruh yang kuat dari filsafat Neoplatonisme. Ibnu Taimiyah telah membersihkan ajaran Islam dari berbagai khufarat yang menyesatkan.

Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk segala macam bentuk usaha setan untuk merusak dan merubah ajaran Islam, semua yang terbesit di dalam hati manusia, semua yang nampak dan semua yang tersembunyi.

Dengan pengetahuan-Nya itu pula Dia melumpuhkan tipu daya setan yang ingin merusak agama-Nya, kemudian menimpakan pembalasan yang setimpal bagi mereka itu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 53-54


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 48-51

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Sebelumnya telah dijelaskan tentang janji Allah yang akan menimpakan azab bagi orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya. Adapun Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 48-51 akan menerangkan tentang kuasa Allah atas suatu azab, bahwa Allah akan tetap bermurah hati memberi kesempatan kepada kaum yang demikian untuk bertaubat, dan menerima taubat tersebut jika dilakukan dengan sebenar-benarnya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 46-47


Sebaliknya, Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 48-51 juga menegaskan bahwa setiap manusia pasti akan medapatkan balasan yang adil dari Allah Swt. Karena itu, mereka yang masih memusuhi Nabi-Nya, akan menerima azab dari Allah, sebagaimana yang pernah mereka tanyakan dan yang telah Allah janjikan sebelumnya.

Ayat 48

Allah melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendak dan kebijaksanaan-Nya. Dalam pada itu manusia juga harus ingat akan salah satu dari sifat-sifat Allah, yaitu Dia tidak segera mengazab hamba-hamba-Nya yang berdosa sebelum memberi kesempatan bertobat kepada mereka dengan cara beriman dan beramal saleh. Apabila kesempatan bertobat itu tidak juga digunakan oleh hamba-Nya, barulah mereka ditimpa azab yang dijanjikan itu.

Karena itu berapa banyak negeri yang penduduknya berlaku zalim, setelah beberapa lama, mereka tidak bertobat, bahkan bertambah zalim maka Allah menimpakan azab kepada mereka dengan tiba-tiba dari arah yang tidak mereka ketahui. Hendaklah manusia ingat, bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini adalah kepunyaan Allah, termasuk apa yang ada di dalamnya, semuanya akan kembali kepada Allah.

Di waktu kembali kepada-Nya, ditimbanglah seluruh amal perbuatan mereka, amal baik dibalas dengan surga yang penuh kenikmatan, sedang amal buruk dan perbuatan jahat akan dibalas dengan neraka yang apinya menyala-nyala.

Ayat 49

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar menyampaikan kepada orang-orang yang minta disegerakan datangnya azab bahwa yang menimpakan azab itu bukanlah tugas para rasul. Tugas para rasul hanyalah menyampaikan peringatan dan ancaman Allah kepada manusia, termasuk mereka sendiri.

Tugas para rasul juga menyampaikan bahwa tindakan-tindakan yang telah dilakukan orang-orang musyrik itu telah membawa mereka ke ambang pintu azab yang diancamkan itu. Para rasul tidak berwenang menilai perbuatan hamba karena yang memberi taufik dan hidayah itu hanyalah Allah sendiri. Allah berfirman:

۞ لَيْسَ عَلَيْكَ هُدٰىهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ

Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. (al-Baqarah/2: 272)

Seandainya Allah berkehendak menimpakan azab yang dijanjikan itu, tentu Dia telah melakukannya, dan melakukannya itu adalah mudah bagi-Nya, karena itu janganlah sekali-kali meminta kepada rasul agar azab itu disegerakan atau ditangguhkan, karena semuanya itu adalah wewenang Allah.

Dengan adanya penyampaian ancaman dan peringatan itu, manusia yang hatinya terbuka untuk menerima petunjuk Allah, mempunyai kesempatan untuk menghindarkan diri dari azab Allah yang diancamkan itu, yaitu dengan melakukan semua yang diperintahkan Allah, menghentikan semua yang dilarang dan berusaha menghapuskan segala dosanya dengan mengerjakan amal yang saleh.

Jika mereka tetap dalam kekafiran, tentulah Allah akan melaksanakan ancaman-Nya dengan menimpakan azab yang pedih kepada mereka kapan saja dikehendaki.


Baca Juga: Benarkah Musibah adalah Adzab dari Allah? Gus Baha: Bukan Hak Kita Menjudge!


Ayat 50

Pada ayat ini Allah menerangkan bentuk peringatan dan ancaman itu dengan menyebutkan balasan yang baik bagi orang-orang yang beriman, dan ancaman siksa bagi orang-orang yang kafir.

Orang-orang yang beriman dengan arti yang sebenarnya dan perwujudan imannya itu tampak dalam tindakannya mengerjakan amal-amal saleh, maka Allah akan mengampuni semua dosa-dosanya, membalas perbuatan baik mereka dengan pahala yang berlipat ganda dan rezeki yang mulia.

Di akhirat mereka akan dimasukkan ke dalam surga, tempat dimana mereka akan memperoleh semua yang mereka inginkan, sebagaimana firman Allah:

اُدْخُلُوا الْجَنَّةَ اَنْتُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ تُحْبَرُوْنَ   ٧٠  يُطَافُ عَلَيْهِمْ بِصِحَافٍ مِّنْ ذَهَبٍ وَّاَكْوَابٍ ۚوَفِيْهَا مَا تَشْتَهِيْهِ الْاَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْاَعْيُنُ ۚوَاَنْتُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَۚ   ٧١

Masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan pasanganmu akan digembirakan. Kepada mereka diedarkan piring-piring dan gelas-gelas dari emas, dan di dalam surga itu terdapat apa yang diingini oleh hati dan segala yang sedap (dipandang) mata. Dan kamu kekal di dalamnya.  (az-Zukhruf/43: 70-71)

Bahkan dalam hadis diterangkan bahwa dalam surga itu terdapat kesenangan dan kebahagiaan yang belum pernah dirasakan oleh manusia semasa hidup di dunia sebagaimana firman Allah dalam hadis qudsi:

فِيْهَا مَالاَ عَيْنٌ رَأَتْ وَلاَ أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلاَخَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ. (رواه الطبرانى)

Di dalam surga itu terdapat apa yang belum pernah dilihat mata, dan apa yang belum pernah di dengar telinga, dan apa yang belum pernah terlintas  di dalam hati manusia. (Riwayat at-Thabrāni)

Ayat 51

Adapun orang-orang yang tetap berusaha menentang para rasul, ingin menghancurkan Islam dan kaum Muslimin, mereka akan dimasukkan ke dalam api neraka, dan itulah tempat yang paling buruk yang disediakan Allah untuk mereka, Allah berfirman:

اَلَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَصَدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ زِدْنٰهُمْ عَذَابًا فَوْقَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوْا يُفْسِدُوْنَ

Orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan demi siksaan disebabkan mereka selalu berbuat kerusakan. (an-Nahl/16: 88)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 52


Bagaimana Relasi Gender dalam Keluarga Dibangun: Perspektif Tafsir Feminis

0
Bagaimana Relasi Gender dalam Keluarga Dibangun: Perspektif Tafsir Feminis
Relasi Gender dalam Keluarga

Datangnya Islam dengan diutusnya Nabi Muhammad saw di tengah-tengah masyarakat jahiliyah Arab telah membawa reformasi bagi konstruksi sosial dan moral bangsa Arab ke arah yang lebih baik. Salah satunya adalah mengenai hak-hak perempuan yang saat itu dibatasi.

Kedudukan laki-laki dan perempuan dalam perspektif Islam adalah sama. Meski secara fisiologis keduanya memiliki perbedaan, namun dalam hal derajat di sisi Allah, keduanya diperlakukan dan dipandang setara. Firman Allah dalam Q.S Al-Hujurat: 13:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”

Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, ayat tersebut mengakui kaum perempuan beserta hak-haknya dan tidak membenarkan adanya diskriminasi pada perempuan, karena tidak ada yang melebihkan laki-laki di atas perempuan. Yang membedakan di antara keduanya adalah ketakwaan masing-masing individu.

Islam juga menetapkan hal yang sama mengenai hak-hak yang harus dipenuhi bagi laki-laki dan perempuan seperti hak mendapatkan pendidikan, perlakuan sama di depan hukum, dan sebagainya. Islam telah menjamin terpenuhinya kebutuhan primer dan sekunder masing-masing.

Baca juga: Inilah Tiga Prinsip Kesetaraan Gender dalam Al Quran

Kedudukan Laki-Laki dan Perempuan dalam Keluarga

Keluarga adalah perwujudan dari cinta kasih di antara kedua insan, laki-laki dan perempuan yang diikat oleh tali pernikahan. Tujuan utama dari pernikahan selain meneruskan generasi manusia juga memenuhi kebutuhan emosional serta keseimbangan spiritual. Agar tujuan keluarga tercapai maksimal, dibutuhkan kerjasama dalam mengurusi rumah tangga. Dalam Q.S al-Baqarah: 228 disebutkan bahwa:

…وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ࣖ

“Mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan atas mereka. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”

Ayat di atas dalam pandangan Quraish Shihab bahwa Allah tidak mempunyai tujuan lain melebihkan laki-laki satu tingkatan di atas perempuan melainkan karena laki-laki wajib melindungi dan bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarganya. Hal ini merujuk kepada perbedaan alami antara dua jenis kelamin yang mewajibkan jenis yang lebih kuat melindungi jenis yang lebih lemah. Selain itu, laki-laki (suami) dituntut untuk berlaku adil dalam menjalankan tanggungjawab keluarga.

Berbeda halnya dalam Tafsir al-Jalalain, laki-laki dalam hal ini suami, mempunyai satu tingkatan lebih tentang hak, misalnya keharusan untuk ditaati. Hal ini karena mas kawin dan belanja yang mereka keluarkan untuk kebutuhan keluarga.

Pandangan mainstream di atas harus dipahami berdasarkan konteks masa lampau ketika melindungi keluarga dan mencari nafkah hanya dapat dilakukan melalui kerja-kerja fisik. Laki-laki ketika itu secara sosial sangat diuntungkan dibanding perempuan, bahkan dalam kondisi tertentu perempuan sangat dirugikan.

Said Abdullah Seif al-Hatimy dalam al-Mar’ah fi al-Islam wa Qablahu penyebutkan bahwa perempuan di masa jahiliyyah pernah dipandang sebagai sebuah aib, makhluk rendahan dan tidak ubahnya seperti harta benda yang dapat diwariskan, hingga kemudian Islam datang memberinya hak-hak yang sesuai dengan kewajiban yang dibebankan kepadanya.

Oleh karena itu wajar jika urusan mencari nafkah dan melindungi keluarga oleh al-Qur’an diberikan kepada suami, terlebih istri di sisi lain memiliki tugas khusus sebagai ibu yang mengandung, melahirkan dan menyusui bayinya. Atas kerjanya itu juga, suami berhak dilebihkan dalam hal misalnya menjadi kepala keluarga dan mendapat bagian warisan yang lebih banyak.

Berdasarkan hal tersebut, hak dan kewajiban suami dan istri harus menyesuai peran masing-masing dalam menjalankan rumah tangga. Ini tentunya bersifat kasuistik, relatif, dan tidak tetap.

Baca juga: Kesalingan dan Kesetaraan Relasi Suami-Istri dalam Maqashid Al-Quran

Bagaimana Relasi Gender dalam Keluarga Dibangun

Dalam teori struktural-fungsional, peran masing-masing anggota keluarga sangat ditentukan oleh struktur kekuasaan laki-laki (ayah) yang secara hierarkis memiliki kewenangan paling tinggi. Hierarki dilanjutkan pada perbedaan usia dan jenis kelamin. Relasi yang terbangun seringkali menempatkan seolah-olah laki-laki lebih berkuasa dibanding anggota keluarga perempuan (Ida Zahara Adibah, Struktural Fungsional Robert K. Merton: Aplikasinya Dalam Kehidupan Keluarga).

Banyak streotype bahkan mitos yang sudah tertanam di masyarakat, misalnya tanggungjawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada di tangan ayah/suami, sementara tanggungjawab domestik melulu tanggung jawab ibu/istri.

Padahal, faktanya berdasarkan riset Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia tentang Profil Perempuan Indonesia Tahun 2020, begitu banyak kaum perempuan menjadi tulang punggung keluarga. Banyak pedagang, buruh pabrik perempuan mampu menjadi sumber ekonomi keluarga. Tetapi dalam tradisi di banyak daerah, peran perempuan dalam memperkuat ekonomi keluarga tersebut seringkali tidak diperhitungkan dan selalu dianggap sebagai pelengkap saja (pencari nafkah tambahan).

Persepsi seperti itu selain mengesampingkan peran perempuan dalam keluarga juga membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga. Kesetaraan gender dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun masyarakat sehingga tidak ada peran-peran yang dilabelkan mutlak milik laki-laki saja atau milik perempuan saja.

Jika diamati, pada saat krisis ekonomi terjadi, di mana banyak pekerja (laki-laki) yang terkena PHK, membuat kaum perempuanlah yang bangkit menjadi pengganti peran pemenuhan kebutuhan keluarga. Di permukiman pinggiran kota, banyak kaum ibu yang membuka usaha seperti warung, berjualan makanan atau bekerja paruh waktu untuk tetap menjaga keberlangsungan hidup keluarga mereka.

Faktanya, peran itu telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Artinya, bahwa peran yang dilekatkan pada perempuan sebagai kaum lemah dan hanya dibatasi pada peran-peran tertentu itu tidak benar, karena baik laki-laki maupun perempuan, apabila diberi kesempatan yang setara dapat melakukan tugas yang sama pentingnya baik di sektor domestik maupun publik.

Sistem patriarkal yang memosisikan fungsi-fungsi di dalam keluarga didasarkan pada struktur yang kaku serta memiliki hierarki kekuasaan yang terlalu membatasi adanya peran partisipatif antaranggota keluarga telah menyebabkan terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan. Relasi gender dalam keluarga dapat dibangun jika masing-masing individu saling memahami perbedaan dan kebutuhan yang dimiliki serta mampu memberikan kesempatan yang seimbang tanpa membeda-bedakan peran gender.

Kesetaraan gender tidak berarti menempatkan segala sesuatu harus sama, tetapi lebih pada pembiasaan yang didasarkan pada kebutuhan spesifik masing-masing anggota keluarga. Selain itu, mengisyaratkan adanya keseimbangan pembagian peran antar anggota keluarga sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Dengan demikian, tujuan serta fungsi keluarga sebagai institusi pertama yang bertanggung jawab dalam pembentukan manusia yang berkualitas dapat tercapai.

Baca juga: Surat Al-Baqarah Ayat 187: Isyarat Relasi Kesetaraan Antara Suami dan Istri

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 46-47

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 46-47 menerangkan tentang sikap orang musyrik Mekah, yang selalu mendustakan ayat-ayat Allah Swt melalui lisan Nabi-nya. Mereka adalah kaum yang abai akan kisah-kisah terdahulu, meski kerap menyaksikan bekas kehancuran didaerah yang pernah mereka lewati.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 41-45


Sikap buruk lain yang dimiliki kaum musyrik Mekah adalah bertanya tentang azab Allah dengan maksud untuk mengejek Nabi, mereka beralasan bahwa sudah lama menanti azab itu turun, dan meyakini bahwa tidak akan ada azab yang akan mereka alami, bahkan berkesimpulan bahwa hari Kiamat hanyalah rumor belaka. Simak Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 46-47 berikut.

Ayat 46

Orang-orang musyrik Mekah yang mendustakan ayat-ayat Allah, dan mengingkari seruan Nabi Muhammad saw sebenarnya mereka sering melakukan perjalanan antara Mekah dan Syiria, serta ke negeri-negeri yang berada di sekitar Jazirah Arab.

Mereka membawa barang dagangan dalam perjalanan melihat bekas-bekas reruntuhan negeri umat-umat yang dahulu telah dihancurkan Allah, seperti bekas-bekas negeri kaum ‘Ād dan kaum Tsamud, bekas reruntuhan negeri kaum Lut dan kaum Syu’aib dan sebagainya.

Orang-orang musyrik Mekah telah pula mendengar kisah tragis kaum yang durhaka itu. Apakah semua peristiwa dan kejadian itu tidak mereka pikirkan dan renungkan bahwa tindakan mereka mengingkari seruan Muhammad dan menyiksa para sahabat itu sama dengan tindakan-tindakan umat-umat dahulu terhadap para rasul yang diutus kepada mereka?

Jika tindakan itu sama, tentu akibatnya akan sama pula, yaitu mereka akan memperoleh malapetaka dan azab yang keras dari Allah. Allah Mahakuasa melakukan segala yang dikehendaki-Nya, tidak seorang pun yang sanggup menghalanginya.

Melihat sikap orang-orang musyrik Mekah yang demikian, ternyata mata mereka tidaklah buta, karena mereka dapat melihat bekas-bekas reruntuhan negeri kaum yang durhaka itu, tetapi sebenarnya hati merekalah yang telah buta, telah tertutup untuk menerima kebenaran.

Yang menutup hati mereka itu ialah pengaruh adat kebiasaan dan kepercayaan mereka dari nenek moyang mereka dahulu. Oleh karena itu mereka merasa dengki kepada Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya, sehingga mereka tidak dapat lagi memikirkan dan merenungkan segala macam peristiwa duka yang telah terjadi dan menimpa umat-umat terdahulu.

Ayat 47

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang musyrik Mekah yang mendustakan ayat-ayat Allah, mengingkari seruan Nabi Muhammad saw, tidak percaya kepada adanya hari Kiamat, mereka meminta kepada Nabi Muhammad saw agar kepada mereka ditimpakan pula azab seperti yang telah ditimpakan kepada umat-umat terdahulu. Permintaan itu mereka lakukan, karena yakin bahwa azab itu tidak akan datang.

Permintaan mereka dijawab Allah bahwa azab yang mereka minta itu pasti datang, karena hal itu merupakan Sunnatullah. Allah sekali-kali tidak akan memungkiri janji-Nya. Hanya saja azab itu ditimpakan kepada mereka pada waktu yang telah ditentukan Allah, tidak menurut waktu yang mereka kehendaki.

Waktu kedatangan azab itu hanya Allah sajalah yang mengetahuinya, sebagaimana waktu kedatangan azab kepada umat-umat ter- dahulu, yang datang secara tiba-tiba, tanpa diketahui oleh seorang pun darimana dan kapan azab itu datang.

Sebagaimana firman Allah:

اَفَاَمِنَ اَهْلُ الْقُرٰٓى اَنْ يَّأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَّهُمْ نَاۤىِٕمُوْنَۗ  ٩٧  اَوَاَمِنَ اَهْلُ الْقُرٰٓى اَنْ يَّأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَّهُمْ يَلْعَبُوْنَ  ٩٨

Maka apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang malam hari ketika mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang pada pagi hari ketika mereka sedang bermain? (al-A’rāf/7: 97-98)

Jika orang-orang musyrik Mekah merasa bahwa telah lama masa berlalu, tetapi azab yang dijanjikan itu belum datang, sehingga mereka berpendapat bahwa azab itu tidak akan datang lagi, maka hendaklah mereka ingat bahwa seribu tahun menurut perasaan mereka adalah sama dengan sehari di sisi Allah.

Karena itu hendaklah mereka ingat bahwa Allah pasti menepati janji-Nya setelah berjalan waktu yang lama menurut perasaan mereka. Allah melambatkan kedatangan azab itu bukanlah berarti bahwa Dia telah menyalahi janji yang telah dijanjikan-Nya.

Secara saintis, Ayat ini mensiratkan konsep relativitas waktu. Sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Albert Einstein melalui Teori Relativitas. Sebelumnya, selama hampir 200 tahun, dunia fisika didominasi oleh fisika Newton yang menyatakan bahwa waktu adalah konstan; satu jam adalah sama di mana pun dalam kondisi apa pun.


Baca Juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30: Kecaman terhadap Kaum Musyrikin Mekah


Contoh berikut akan memberikan ilustrasi tentang konsep waktu yang konstan. Misalkan, Hamzah dan Wildan telah menyamakan waktu di jam tangannya masing-masing. Kemudian, dengan menggunakan sebuah pesawat yang memiliki kecepatan yang tinggi, mendekati kecepatan cahaya, Hamzah berangkat meninggalkan Wildan.

Setelah satu jam (menurut jam tanganya) Hamzah kembali dari perjalanannya dan menemui Wildan. Maka, Newton akan mengatakan bahwa Wildan pun akan merasakan bahwa dia telah menunggu Hamzah selama satu jam. Jam tangan Wildan akan menunjukkan waktu yang sama dengan jam tangan Hamzah.

Einstein tidak akan sependapat dengan hal ini. Menurut dia, waktu adalah relatif, bergantung pada kecepatan bergerak dari seseorang atau sesuatu. Jika Hamzah yang bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya merasa telah meninggalkan Wildan selama satu jam (menurut jam di tangannya), maka jam tangan Wildan akan menunjukkan bahwa Hamzah telah pergi selama 10 jam.

Jika Hamzah pergi pada pukul 8 pagi, maka ketika dia kembali, jam tangan Hamzah akan menunjukkan waktu pukul 9 pagi, sementara jam tangan Wildan akan menunjukkan jam 18.00 atau jam 6 sore.

Demikian pula, apabila pada saat Hamzah dan Wildan sama-sama berumur 20 tahun, kemudian Hamzah bepergian meninggalkan Wildan dengan kecepatan mendekati cahaya selama 5 tahun (menurut waktu Hamzah), maka pada saat mereka bertemu, Hamzah akan berumur 25 tahun, sementara Wildan telah berumur 70 tahun. Demikianlah waktu bersifat relatif.

Al-Qur’an telah mengisyaratkan hal ini semenjak 14 abad yang lalu. Allah mengatur urusan dari langit ke bumi dan kembali lagi ke langit dengan kecepatan yang sangat tinggi sedemikian sehingga semua ini hanya berlangsung satu hari yang lamanya sama dengan 1000 tahun menurut hitungan waktu kita. Relativitas waktu seperti ini juga terdapat dalam as-Sajdah/32:5; al-Ma’ārij/70: 4.

Dalam ayat ini, satu hari setara dengan 50.000 tahun. Hal ini bisa saja terjadi, bergantung kepada kecepatan bergerak dari malaikat.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 48-50


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 41-45

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 41-45 menjelaskan sikap teguh yang dimilki orang-orang mukmin saat teraniaya, berkat keyakinan mereka kepada Allah, akhirnya sedikit demi sedikit kekuatan untuk menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya pun terunaikan, seperti shalat, zakat, dan menggaungkan amar ma’ruf nahi munkar.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 40


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 41-45 juga menjelaskan bahwa ayat 42-43 diturunkan sebagai pelipur lara untuk Nabi dan Sahabatnya, supaya tidak bersedih hati menghadapi setiap ujian. Mereka kembali diingatkan dengan kisah-kisah Nabi serta kaum terdahulu yang juga mengalami hal serupa, dan Allah menjamin keamanan dan ketentraman bagi hamba-hamba-Nya yang senantiasa beriman.

Sementara, bagi kaum yang inkar, menyekutukan Allah, lagi memusuhi utusan-utusan-Nya, mereka adalah kaum yang merugi, dan Allah pun menjanjikan azab-Nya, sebagaimana yang telah dialami oleh umat para Nabi terdahulu. Demikianlah yang diterangkan dalam Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 41-45.

Ayat 41

Kemudian Allah menerangkan sifat-sifat orang yang diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar itu. Mereka ialah para sahabat beserta Nabi Muhammad saw, yang kepada mereka Allah telah menjanjikan kemenangan. Jika kemenangan telah mereka peroleh, mereka tidak seperti orang-orang musyrik dan orang-orang yang gila kekuasaan tetapi mereka akan tetap melaksanakan:

  1. Salat pada setiap waktu yang telah ditentukan sesuai dengan yang diperintahkan Allah. Mereka benar-benar telah yakin, bahwa salat itu tiang agama, merupakan tali penghubung yang langsung antara Allah dengan hamba-Nya, mensucikan jiwa dan raga, mencegah manusia dari perbuatan keji dan perbuatan mungkar serta merupakan perwujudan takwa yang sebenarnya.
  2. Mereka menunaikan zakat. Mereka meyakini bahwa di dalam harta si kaya terdapat hak orang-orang fakir dan miskin. Karena itu mereka dalam menunaikan zakat itu bukanlah karena mereka mengasihi orang-orang fakir dan miskin, tetapi semata-mata untuk menyerahkan hak orang fakir dan miskin yang terdapat dalam harta mereka. Jika mereka diangkat sebagai penguasa, mereka berusaha agar hak orang-orang fakir dan miskin itu benar-benar sampai ke tangan mereka.
  3. Perintah untuk menyuruh manusia berbuat makruf dan mencegah perbuatan mungkar. Mereka mendorong manusia mengerjakan amal saleh, memimpin manusia melalui jalan lurus yang dibentangkan Allah. Mereka sangat benci kepada orang-orang yang biasa melanggar larangan-larangan Allah.

Amat benarlah janji Allah. Mereka memperoleh kemenangan yang telah dijanjikan itu. Mereka ditetapkan Allah sebagai pengurus urusan duniawi dan pemimpin umat beragama dengan baik. Dalam waktu yang singkat kaum Muslimin telah dapat menguasai daerah-daerah di luar Jazirah Arab.

Tindakan mereka sesuai dengan firman Allah:

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ   ١١٠

Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik. (Āli ‘Imrān/3: 110)


Baca Juga: Surah Ali Imran [3] Ayat 14: Kecenderungan Alamiah Manusia Terhadap Duniawi Harus Dikontrol


Ayat 42-44

Ayat-ayat ini merupakan penawar hati Nabi Muhammad saw dan hati para sahabat yang sedang susah dan gundah akibat tindakan sewenang-wenang yang dilakukan orang-orang musyrik Mekah terhadap mereka.

Seakan-akan Allah mengatakan kepada Nabi Muhammad, hai Muhammad jika orang-orang musyrik Mekah mendustakanmu, tidak mengindahkanmu, bahkan menentang seruan engkau, berbuat kerusakan di muka bumi, menyakiti dan menyiksa para sahabatmu dengan cara yang beraneka ragam.

Janganlah kamu bersedih hati, janganlah putus asa dan kuatkanlah hatimu dalam menghadapi mereka, karena umat-umat dahulu pun telah mendustakan para rasul yang diutus kepada mereka, tetapi Aku memberikan pertolongan kepada mereka, sehingga kemenangan berada pada mereka.

Allah berfirman:

حَتّٰٓى اِذَا اسْتَا۟يْـَٔسَ الرُّسُلُ وَظَنُّوْٓا اَنَّهُمْ قَدْ كُذِبُوْا جَاۤءَهُمْ نَصْرُنَاۙ فَنُجِّيَ مَنْ نَّشَاۤءُ ۗوَلَا يُرَدُّ بَأْسُنَا عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِيْنَ

Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan kaumnya) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada mereka (para rasul) itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang yang Kami kehendaki. Dan siksa Kami tidak dapat ditolak dari orang yang berdosa. (Yusuf/12: 110)

Demikianlah Nuh as telah didustakan oleh kaumnya, mereka mengancam dan mendurhakainya, termasuk anaknya sendiri. Nabi Hud as telah didustakan oleh kaumnya, yaitu kaum ‘Ād, Nabi Saleh oleh kaumnya, yaitu kaum Samud, begitu pula Ibrahim, Lut, Syu`aib.

Semuanya didustakan oleh kaumnya, disakiti dan disiksa, tetapi mereka tetap tabah dan sabar. Semakin keras siksa dan penentangan dari kaumnya, semakin bertambah kuat iman mereka. Akhirnya kemenangan berada di pihak mereka.

Musa telah didustakan oleh Fir`aun dan kaumnya, mereka tidak mempercayai semua mukjizat yang diperlihatkan Musa, sekalipun mereka tidak dapat mengalahkan Musa as atau mendatangkan mukjizat seperti mukjizat Nabi Musa itu.

Karena mereka tetap ingkar, maka sunnah Allah berlaku bagi mereka, yaitu Allah menolong orang-orang yang beriman dan menghancurkan semua orang kafir yang durhaka kepada-Nya, pada saat yang ditentukan-Nya.

Perhatikanlah sejarah umat-umat dahulu yang menentang para rasul yang diutus kepada mereka, akhirnya semua ditimpa malapetaka yang dahsyat, sehingga kesombongan, kegembiraan dan kesenangan yang ada pada mereka beralih seketika menjadi kesedihan dan kesengsaraan yang tiada taranya.

Kemudian setelah mengalami malapetaka yang dahsyat itu, di akhirat mereka akan ditimpa azab yang pedih. Mengubah suatu kemewahan dan kesenangan menjadi suatu kesengsaraan dan penderitaan, suatu kemenangan berubah menjadi suatu kekalahan dalam waktu yang sangat singkat amatlah mudah bagi Allah Yang Mahakuasa dan Maha Bijaksana melakukannya.

Allah berfirman:

اِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيْدٌ ۗ

Sungguh, azab Tuhanmu sangat keras. (al-Buruj/85: 12)

Dan firman Allah:

وَكَذٰلِكَ اَخْذُ رَبِّكَ اِذَآ اَخَذَ الْقُرٰى وَهِيَ ظَالِمَةٌ  ۗاِنَّ اَخْذَهٗٓ اَلِيْمٌ شَدِيْدٌ  ١٠٢

Dan begitulah siksa Tuhanmu apabila Dia menyiksa (penduduk) negeri-negeri yang berbuat zalim. Sungguh, siksa-Nya sangat pedih, sangat berat. (Hud/11: 102)

Ayat 45

Ayat ini menerangkan bahwa banyak negeri yang telah dibinasakan Allah, karena penduduknya menyekutukan Allah, membuat kerusakan di muka bumi dan berlaku zalim. Banyak negeri yang dihancur luluhkan, atap-atap rumahnya roboh, kemudian ditimpa oleh reruntuhan dindingdindingnya.

Banyak sumur-sumur yang tidak dipergunakan lagi oleh pemiliknya disebabkan para pemiliknya telah meninggal atau musnah bersamasama dengan musnahnya negeri-negeri itu, karena kedurhakaan mereka kepada Allah.

Demikian pula banyak istana-istana dan mahligai-mahligai menjulang tinggi yang telah kosong, tidak berpenghuni lagi, karena penghuni-penghuninya yang angkuh dan sewenang-wenang itu telah musnah.

Semuanya itu bagi mereka merupakan imbalan dari kedurhakaan dan keganasan mereka dan menjadi pelajaran yang berharga, bagi manusia yang datang kemudian, yang ingin memperoleh kebahagian di dunia dan di akhirat.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 46-47


Tugas dan Kedudukan Manusia di Muka Bumi Menurut Al-Qur`an

0
Tugas dan Kedudukan Manusia di Muka Bumi Menurut Al-Qur`an
Tugas dan Kedudukan Manusia di Muka Bumi

Allah Swt menciptakan alam semesta dan telah menentukan fungsi-fungsi dari setiap elemen alam ini. Matahari punya fungsi, bumi punya fungsi, udara punya fungsi, begitulah seterusnya; bintang-bintang, awan, api, air, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya, termasuk manusia pun diciptakan di muka bumi ini, juga memiliki kedudukan dan tugasnya sendiri.

Sebagaimana dijelaskan di dalam banyak ayat, bahwa manusia memiliki dua predikat atau status yaitu sebagai hamba Allah Swt (`abdullah) dan sekaligus sebagai wakil Allah Swt (khalifatullah) di muka bumi. Sebagai hamba Allah, manusia hanya sekadar makhluk sebagaimana makhluk lain ciptaan-Nya.

Oleh karena itu, tugasnya adalah menyembah dan berpasrah diri kepada-Nya. Di sisi lain, sebagai khalifatullah, manusia diberi tugas dan tanggung jawab sangat besar di muka bumi, yaitu memakmurkannya.

Tugas dan Kedudukan Manusia di Muka Bumi Perspektif Surah Al-Baqarah: 30 dan Surah Adz-Dzariyat: 56 

Allah berfirman dalam al-Qur`an surah Al-Baqarah ayat 30 sebagai berikut.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ (٣٠)

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal Kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (QS. Al-Baqarah [3]: 30).

Ayat tersebut menyebutkan bahwasannya salah satu tugas manusia di muka bumi ini sebagai khalifah. Merujuk dari Tafsir Ibnu Katsir bahwasannya Allah Swt hendak menjadikan khalifah di bumi, yakni suatu kaum yang akan menggantikan satu kaum lainnya, kurun demi kurun, dan generasi demi generasi (Tafsir Ibnu Katsir: 99).

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ke-khalifahan di bumi ini tidak hanya menghendaki Nabi Adam saja. Allah Swt lah yang paling mengetahui tentang mengapa kedudukan manusia di muka bumi ini dijadikan sebagai khalifah, sebagaimana yang dinyatakan dalam potongan ayat أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ .

Allah Swt mengetahui dalam penciptaan manusia ini terdapat kemaslahatan yang lebih besar daripada kerusakan yang dikhawatirkan dan tidak diketahui oleh malaikat. Allah menjadikan di antara mereka para nabi dan rasul. Dan di antara mereka juga terdapat para shiddiqun, syuhada`, orang-orang shalih, orang-orang yang taat beribadah, ahli zuhud, para wali, orang-orang yang dekat dengan Allah, para orang khusyu`, dan orang-orang yang cinta kepada-Nya serta orang-orang yang mengikuti rasul-Nya.

Beberapa mufassir mengatakan bahwasanya makna manusia dijadikan sebagai khalifah yaitu orang yang memutuskan perkara secara adil di antara semua makhluk (Pengantar Ulumul Qur’an: 145). Khalifah tersebut adalah Adam dan mereka yang menempati posisinya dalam ketaatan kepada Allah dan pengambil keputusan secara adil di tengah-tengah umat manusia. Manusia   tidak   akan   dapat menanggung  beban  tugasnya  sebagai  khalifah  jika  dalam  dirinya  tidak  terbentuk  perasaan tunduk, patuh, pasrah (ibadah) yang total kepada Allah. (Tafsir Ibnu Katsir: 100).

Baca juga: TGB Zainul Majdi: Makna Khalifah dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 30 Tidak Memuat Tendensi Politis

Sedangkan di dalam surah Adz-Dzariyat ayat 56 dijelaskan bahwa mengabdi pada Allah Swt juga adalah tugas  manusia.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ (٥٦)

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (QS. Adz-Dzariyat: 56).

Ibnu Katsir menjelaskan makna dari ayat ini, yaitu “Aku ciptakan mereka itu dengan tujuan untuk menyuruh mereka beribadah kepadaku. Bukan karena aku membutuhkan mereka. Ali bin Abi Thalhah menjelaskan sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas makna dari إِلا لِيَعْبُدُون adalah “melainkan mereka tunduk beribadah kepada-Ku baik secara sukarela ataupun terpaksa (Tafsir Ibnu Katsir: 546).

Bermula dari mufrodat(يَعْبُدُونِ) ini ketemulah istilah ‘abd yang muncul dengan peran sebagai hamba yang hidup hanya untuk menghamba kepada Tuhan. Terlepas dari realita yang ada bahwa manusia hidup membutuhkan aktifitas yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup, di sini ditegaskan semua aktivitas manusia  hanya semata untuk menghamba kepada Tuhan. Dengan memerankan itu tadi maka ‘abd (hamba) telah memenuhi nilai yang terkandung di dalam dirinya, yaitu menyembah kepada Sang Pencipta.

Baca juga: Makna Khalifah dan Tugasnya Menurut Para Mufasir

Salah satu tugas manusia di bumi adalah menjadi seorang khalifah. Tugas manusia sebagai seorang khalifah ini sendiri memiliki berbagai versi penafsiran. Tafsir Kemenag yang merupakan salah satu tafsir modern menjelaskan bahwa di dalam surah Al-Baqarah ayat 30 Allah menjelaskan khalifah itu akan terus berganti dari satu generasi ke generasi sampai hari kiamat nanti dalam rangka melestarikan bumi ini dan melaksanakan titah Allah yang berupa amanah atau tugas-tugas keagamaan. (Tafsir Kemenag RI, QS. Al-Baqarah (2) 30)

Penciptaan manusia adalah rencana besar Allah di dunia ini. Allah Maha Tahu bahwa pada diri manusia terdapat hal-hal negatif sebagaimana yang dikhawatirkan oleh malaikat, tetapi aspek positifnya jauh lebih banyak. Dari sini bisa diambil pelajaran bahwa sebuah rencana besar yang mempunyai kemaslahatan yang besar jangan sampai gagal hanya karena kekhawatiran adanya unsur negatif yang lebih kecil pada rencana besar tersebut.

Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh tokoh pimpinan yang dimaksudkan itu, antara lain ialah: adil serta berpengetahuan yang memungkinkannya untuk bertindak sebagai hakim dan mujtahid, tidak mempunyai cacat jasmaniah, serta berpengalaman cukup, dan tidak pilih kasih dalam menjalankan hukum-hukum Allah.

Kemudian di dalam surah Adz-Dzariyat ayat 56 dijelaskan juga kedudukan manusia sebagai hamba Allah. Sebagaimana dijelaskan di dalam tafsir Kemenag RI bahwa ayat ini menegaskan bahwa Allah tidaklah menjadikan jin dan manusia melainkan untuk mengenal-Nya dan supaya menyembah-Nya (Tafsir Kemenag RI: 472).

Pendapat tersebut sama dengan pendapat az-Zajjaj, tetapi ahli tafsir yang lain berpendapat bahwa maksud ayat tersebut ialah bahwa Allah tidak menjadikan jin dan manusia kecuali untuk tunduk kepada-Nya dan untuk merendahkan diri. Maka setiap makhluk, baik jin atau manusia wajib tunduk kepada peraturan Tuhan, merendahkan diri terhadap kehendak-Nya. Menerima apa yang Dia takdirkan, mereka dijadikan atas kehendak-Nya dan diberi rezeki sesuai dengan apa yang telah Dia tentukan.

Baca juga: Menyingkap Relasi Makna Kata Khalifah dan Khilafah dalam Al-Qur’an

Tafsir Ahkam: Larangan Berjalan dan Berdiam Diri di Masjid Bagi Orang yang Junub

0
Tafsir Ahkam: Larangan Berjalan dan Berdiam Diri di Masjid Bagi Orang yang Junub
Berdiam Diri di Masjid Bagi Orang yang Junub

Al-Qur’an menetapkan bahwa orang yang junub atau hadas besar sebab berhubungan intim atau keluar sperma, tidaklah diperbolehkan menjalankan salat sebelum mandi besar. Ini adalah salah satu kesimpulan yang disepakati ulama’ berdasar surah An-Nisa’ ayat 43 dan Al-Maidah ayat 6.

Namun berdasarkan surah An-Nisa ayat 43, sebagian ulama’ berpendapat bahwa hal yang dilarang bagi orang yang junub tidak hanya salat saja, tapi juga berdiam diri di masjid. Bagaimana ulama’ memahami larangan berdiam diri di masjid bagi orang yang junub lewat ayat tersebut? Berikut penjelasannya.

Larangan Berjalan dan Berdiam Diri di Masjid Bagi Orang yang Junub

Menurut sebagian ulama, Al-Qur’an menetapkan larangan berdiam diri di masjid dalam firman Allah yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan dan jangan (pula menghampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu (saja) sehingga kamu mandi (junub) (QS. An-Nisa’ [4]: 43).

Imam Ibn Katsir Menyatakan, lewat ayat ini Allah melarang hambanya menjalankan salat tatkala sedang mabuk; yaitu keadaan yang membuat ia tidak menyadari apa yang ia ucapkan. Selain itu, Allah juga melarang bagi orang yang junub untuk mendekati tempat salat kecuali hanya sekadar lewat saja tanpa berdiam diri. Dari sini seakan-akan Allah melarang kita mengerjakan salat dalam keadaan kurang layak, yang justru dapat merusak tujuan salat. Juga menjauhkan kita dari mendekati tempat salat dalam keadaan kurang layak sebagaimana saat junub (Tafsir Ibn Katsir/2/308-313).

Imam Al-Qurthubi menyatakan, sebagian ulama’ memahami bahwa maksud salat dalam ayat di atas adalah “tempat salat”, bukan tindakan salat itu sendiri. Sehingga ayat di atas bermakna jangan mendekati tempat salat dalam keadaan mabuk sampai mampu mengetahui apa yang ia sendiri ucapkan, alias sudah sadar. Juga saat keadaan junub, kecuali hanya sekedar lewat saja. Dari sini maka orang yang junub dilarang berdiam diri di masjid. Pendapat ini adalah pendapat yang diyakini Imam Malik dan Imam Syafi’i.

Sedang Imam Abu Hanifah meyakini bahwa salat dalam ayat di atas, bermakna tindakan salat itu sendiri. Oleh karena itu, ayat di atas bermakna jangan melakukan salat dalam keadaan mabuk sampai mengetahui apa yang ia sendiri ucapkan. Juga saat keadaan junub, kecuali bagi musafir yang tidak menemukan air.

Sebagian ulama’ lain menyatakan, maksud dari salat di atas adalah tindakan salat juga sekaligus tempat salat itu sendiri. Sebab di zaman dahulu, orang mendekati tempat salat atau masjid tujuannya adalah salat itu sendiri. Dan mereka tatkala hendak salat, juga menuju tempat salat sebab senantiasa salat berjamaah (Tafsir Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an/5/202).

Imam Ar-Razi menerangkan, menggunakan kata salat dengan maksud makna tempat salat adalah penggunakan yang masuk kategori umum dan diperbolehkan. Beliau mencontohkan kata salat dalam surah Al-Hajj ayat 40 yang dimaksudkan untuk tempat salat. Namun untuk permasalahan kata salat dalam surah An-Nisa’ di atas, Imam Ar-Razi menyatakan bahwa mayoritas ulama’ meyakini bahwa makna salat dalam ayat tersebut adalah tindakan salat itu sendiri, bukan tempat salat (Tafsir Mafatih al-Ghaib/5/212).

Baca juga: Kajian Semantik Asal Usul Kata Salat dalam Al-Quran

Kesimpulan Hukum Mendekati Masjid Bagi Orang yang Junub

Surah An-Nisa’ ayat 43 hanyalah salah satu dasar yang dijadikan pertimbangan ulama’ dalam menentukan hukum mendekati tempat salat bagi orang yang junub. Selain surah tersebut, masih banyak dasar-dasar lain terutama dari hadis Nabi. Untuk memberikan keterangan lengkap tentang pro-kontra hukum mendekati masjid bagi orang yang junub, maka kami akan memaparkan keterangan Imam An-Nawawi; salah seorang pakar perbandingan mazhab tentang masalah ini.

Imam An-Nawawi menyatakan bahwa menurut mazhab Syafi’i hukumnya haram bagi orang yang junub berdiam di masjid, entah itu dalam keadaan duduk, berdiri maupun berputar-putar, memiliki wudhu atau tidak memilikinya. Namun kalau sekadar lewat, entah itu untuk suatu keperluan atau tidak, maka diperbolehkan.

Imam Ahmad membolehkan orang yang junub berdiam di masjid tatkala memiliki wudhu, dan tidak memperbolehkannya lewat di masjid bila tanpa suatu keperluan. Sedang Imam Abu Hanifah dan Malik tidak membolehkan berdiam di masjid, dan membolehkan lewat kalau dalam keadaan terpaksa. Imam Muzani dan Ibn Mundzir menyatakan pendapat yang cukup berbeda dari kesemuanya dengan membolehkan orang yang junub berdiam di masjid secara mutlak (al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab/2/160). Wallahu a’lam bish shawab.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Salat Orang yang Tidak Menemukan Air dan Debu untuk Bersuci