Beranda blog Halaman 239

Tafsir Surah Al-Munafiqun Ayat 1-4: Sifat dan Perilaku Orang Munafik

0
Tafsir Surah Al-Munafiqun Ayat 1-4: Sifat dan Perilaku Orang Munafik
Sifat dan Perilaku Orang Munafik

Dalam kehidupan, seringkali apa yang diharapkan tidak berjalan mulus tanpa hambatan. Seperti halnya dakwah Nabi Muhammad saw yang seringkali mendapaat cobaan, baik yang berasal dari luar Islam; kaum kafir Quraisy, maupun dari internal umat Islam; orang-orang munafik.

Musuh yang berada di luar kelompok sendiri cenderung lebih mudah dikenali dan diwaspadai, tetapi pengkhianat yang berasal dari dalam kelompok justru terlihat samar dan sangat membahayakan.

Di antara orang munafik pada zaman Rasulullah saw adalah Abdullah bin Ubay dan Al-Akhnas bin Syariq. Secara dzahir, kedua orang tersebut mengakui Islam sebagai agama yang haqq dan Rasulullah saw sebagai utusan-Nya, namun diam-diam mereka menghasut orang lain untuk membenci dan tidak mentaati Rasulullah saw.

Pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas QS. Al-Munafiqun: 1-4 yang membicarakan beberapa sifat dan perilaku orang munafik, supaya kita sedikit banyak kenal dengan karakter mereka.

Al-Munafiqun merupakan surah ke-63 dan tergolong dalam surah Madaniyah. Surah ini terdiri dari 11 ayat. Dinamakan al-Munafiqun, sebab kandungan dalam surah ini menceritakan sifat dan perilaku orang munafik. Kata munafik berasal dari kata naafaqa-yunaafiqu-nifaqan wa munafaqan (ناَفَقَ ـ يُناَفِقُ ـ نِفَقاٌ وَ مُناَفَقاً).

Dalam Kitab al-Bidayah wa al-Nihayah oleh Ibnu Katsir, kata an-nafiqa berarti lubang tempat keluarnya hewan sejenis tikus (yarbu’) dari sarangnya. Dalam artian, jika dicari dari lubang yang satu, maka ia akan keluar dari lubang yang lain. Adapun dalam Islam, orang munafik didefinisikan sebagai orang yang menampakkan keislaman dan kebaikannya, tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatannya. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sifat dan perilaku orang munafik, simak penjelasan mengenai tafsir surah Al-Munafiqun: 1-4 dibawah ini.

Baca juga: Tafsir Surah As-Saff ayat 2-3: Celaan Bagi Orang yang Perkataannya Tidak Sesuai dengan Tindakannya

QS. Al-Munafiqun: 1-4 dan Tafsirnya

اتَّخَذُوا أَيْمَانَهُمْ جُنَّةً فَصَدُّوا (١)إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّهُمْ سَاءَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (٢) ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لا يَفْقَهُونَ (٣) وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ (٤)

Artinya: 1. Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka berkata, “Kami mengakui, bahwa engkau adalah rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta. 2. Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Sungguh, betapa buruknya apa yang telah mereka kerjakan. 3. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir, maka hati mereka dikunci, sehingga mereka tidak dapat mengerti. 4. Dan apabila engkau melihat mereka, tubuh mereka mengagumkanmu. Dan jika mereka berkata, engkau mendengarkan tutur katanya. Mereka seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa setiap teriakan ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari kebenaran)?

Dalam Tafsir al-Madinah al-Munawwarah, dijelaskan bahwa ayat pertama dari surah Al-Munafiqun berisi tentang peringatan Allah Swt bagi orang-orang beriman dan Rasulullah saw agar menjauhi orang-orang munafik. Mereka yang ketika mendatangi Rasulullah, akan berkata,“Kami bersaksi bahwa kamu wahai Muhammad benar-benar Rasulullah”. Akan tetapi perkataan tersebut tidak lain hanyalah dusta dan tipu daya belaka.

Selanjutnya, pada ayat kedua, sebagaimana keterangan yang terdapat dalam Zubdah al-Tafsir min Fath al-Qadir, disebutkan bahwa sumpah orang-orang munafik itu hanyalah sebagai tameng agar mereka tidak ditawan ataupun dibunuh. Disebutkan pula bahwa orang-orang munafik senantiasa menghalang-halangi manusia dari melakukan perintah Allah Swt seperti beriman dan berjihad. Selain itu, mereka juga sangat gencar dalam menghasut dan menyebarkan kebencian atas diri Rasulullah saw. Oleh karena perbuatan buruk tersebut, mereka enggan mengikuti kebenaran sebab Allah Swt telah menutup hati mereka.

Adapun penafsiran ayat ketiga, sebagaimana yang terdapat dalam Tafsir Al-Mukhtashar, bahwa tertutupnya hati orang-orang munafik disebabkan mereka tidak mengetahui hakikat iman. Mereka beriman hanya di lisan saja, tetapi tidak sampai ke hati. Oleh sebab itulah, Allah swt menutup hati mereka sehingga mereka tidak dapat mengetahui dan memahamai apa yang baik dan benar bagi mereka.

Terakhir, penafsiran ayat keempat. Dalam Tafsir Al-Wajiz, dijelaskan bahwa ketika melihat orang-orang munafik, maka diri kita akan terkejut disebabkan ketampanan atau kecantikan wajahnya,  keindahan tata bahasa, kefasihan serta kejelasan ucapan mereka dalam berbicara. Namun perlu diingat, bahwa mereka sesungguhnya tidak memiliki ilmu yang sepadan dengan Rasulullah saw. Dan mereka itulah musuh bagi orang-orang beriman.

Baca juga: Alegori Keadaan Orang Munafik dalam Surah Al-Baqarah Ayat 17-20

Penutup

Begitulah sifat dan perilaku orang munafik yang disebutkan dalam QS. Al-Munafiqun ayat 1-4. Mereka (orang munafik) mungkin akan cenderung menarik perhatian disebabkan beberapa kelebihan yang dimilikinya seperti paras yang indah ataupun kefasihan dalam berbicara. Namun, perlu digaris bawahi bahwa mereka tetaplah musuh orang-orang beriman, sebab perilaku mereka sangatlah buruk, yakni bersikap seolah-olah beriman kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, namun nyatanya mereka ingin memecah-belah dan menghancurkan umat Islam.

Adapun hikmah dari penafsiran QS. Al-Munafiqun 1-4 yang dapat kita ambil adalah bahwa iman bukanlah sesuatu yang hanya diucapkan dalam lisan, tetapi juga diyakini dalam hati, dan diwujudkan melalui tindakan. Semoga kita termasuk golongan orang beriman yang dapat mengetahui hakikat iman dan terhindar dari perilaku orang-orang munafik.

Baca juga: Haruskah Selalu Bersikap Kasar dan Keras Terhadap Orang Kafir dan Munafik? Tafsir Surah At-Taubah Ayat 73

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 40

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Sebelumnya telah diterangkan tentang ‘izin berperang’ bagi kaum mukmin menghadapi kaum kafir, sementara alasan perizinan tersebut akan dijelaskan Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 40. Ada beberapa alasan kenapa Allah mengizinkan kaum mukmin beperang, diantaranya adalah karena sikap aniaya yang mereka terima dari orang-orang kafir, dan berikut penjelasannya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 39


Ayat 40

Pada ayat ini Allah menerangkan keadaan orang-orang yang diizinkan berperang, karena orang-orang musyrik Mekah telah melakukan tindakan yang tidak berperikemanusiaan terhadap kaum Muslimin.

Mereka disiksa, dianiaya, disakiti dan sebagainya, bukanlah karena sesuatu kesalahan atau kejahatan yang telah mereka perbuat, tetapi semata-mata karena mereka telah berkeyakinan bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah, selain Tuhan Yang Mahakuasa.

Mereka tidak mempercayai lagi kepercayaan nenek moyang mereka. Mereka telah berserah diri kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa dan mereka telah menjadi orang-orang muslim.

Tindakan orang musyrik Mekah terhadap kaum Muslimin itu diterangkan dalam firman Allah:

يُخْرِجُوْنَ الرَّسُوْلَ وَاِيَّاكُمْ اَنْ تُؤْمِنُوْا بِاللّٰهِ رَبِّكُمْۗ

“…mereka mengusir Rasul dan kamu sendiri karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu…” (al-Mumtahanah/60: 1)

Penderitaan dan kesengsaraan yang dialami Nabi dan para sahabat karena mereka beriman kepada Allah, telah dialami pula oleh para rasul dan umatnya yang telah diutus dahulu. Allah berfirman:

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِرُسُلِهِمْ لَنُخْرِجَنَّكُمْ مِّنْ اَرْضِنَآ اَوْ لَتَعُوْدُنَّ فِيْ مِلَّتِنَاۗ

Dan orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka, ”Kami pasti akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu benar-benar kembali kepada agama kami.” (Ibrāhim/14: 13)

Mereka yang diizinkan berperang itu telah diusir sebelumnya oleh kaum musyrikin dari kampung halaman mereka, telah disiksa dan disakiti tanpa alasan yang benar.

Seandainya perbuatan kaum musyrik itu dibiarkan, tentulah kezaliman mereka semakin bertambah, semakin lama mereka bertambah gila kekuasaan, mereka akan menghancurkan biara-biara, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah dan mesjid-mesjid yang ada didalamnya disebut dan diagungkan nama Allah.

Karena itu Allah mensyariatkan dalam agama-Nya agar tiap-tiap orang yang beriman dihalangi menyembah Tuhannya itu membela agamanya, berperang dijalan Allah, tetapi membela kebenaran, menolak kebatilan dan kezaliman.


Baca Juga: Al-Qur’an dan Realitas Sosial: Membincang Makna Adil dalam Islam


Pada hakekatnya perang yang terjadi itu adalah perang antara yang hak dan yang batil, perang antar orang yang telah mendapat petunjuk dari Allah dengan orang yang mengingkari petunjuk itu.

Perang yang seperti itu adalah peperangan yang tujuannya untuk membina kehidupan manusia, yaitu kehidupan dunia yang sejahtera yang diridai Allah dan kehidupan ukhrawi yang bahagia dan abadi.

Ayat ini juga mengisyaratkan agar setiap kelompok kaum Muslimin mempunyai sebuah mesjid yang didirikan oleh para anggota kelompok itu. Di dalam mesjid tersebut diagungkan asma Allah, dilaksanakan salat berjamaah setiap waktu, diperbincangkan hidup dan kehidupan kaum Muslimin, dijadikan mesjid itu tempat berkumpul dan tempat bermusyawarah.

Pada ayat ini Allah menguatkan perintah berperang pada ayat di atas, dengan memberikan perintah dan janji. Yang diperintahkan Allah adalah agar kaum Muslimin menolong dan membela agama Allah, berjihad dan melaksanakan perintah Allah. Yang dijanjikan, ialah barangsiapa yang membela agama Allah, ia berhak mendapat pertolongan Allah, berupa kemenangan dan pahala di akhirat nanti.

Allah berfirman:

وَكَانَ حَقًّاۖ عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ

Dan merupakan hak Kami untuk menolong orang-orang yang beriman. (ar- Rµm/30: 47)

Janji Allah itu pasti ditepatinya, karena Dia Mahakuasa dan Maha Perkasa. Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَنْصُرُوا اللّٰهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ اَقْدَامَكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (Muhammad/47: 7)

Pada permulaan ayat di atas Allah menjanjikan kemenangan bagi orng-orang yang beriman. Kemudian pada akhir ayat, Allah menegaskan lagi bahwa kemenangan itu pasti diperoleh orang-orang yang beriman. Pada permulaannya kaum Muslimin belum meyakini kebenaran janji itu maka perlu dikuatkan oleh pernyataan kedua. Maksudnya ialah untuk menenangkan dan menenteramkan hati, mengokohkan pendirian pada saat kaum Muslimin sedang mendapat cobaan dari Allah.

Pada akhir ayat Allah menepati janji yang telah dijanjikan-Nya kepada orang-orang yang beriman. Dia Mahakuasa melakukan segala sesuatu dan tidak seorang pun yang dapat menghalangi terjadinya sesuatu kehendak-Nya.

Allah berfirman:

وَلَقَدْ سَبَقَتْ كَلِمَتُنَا لِعِبَادِنَا الْمُرْسَلِيْنَ ۖ  ١٧١  اِنَّهُمْ لَهُمُ الْمَنْصُوْرُوْنَۖ  ١٧٢  وَاِنَّ جُنْدَنَا لَهُمُ الْغٰلِبُوْنَ  ١٧٣

Dan sungguh, janji Kami telah tetap bagi hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, (yaitu) mereka itu pasti akan mendapat pertolongan. Dan sesungguhnya bala tentara Kami itulah yang pasti menang. (as-Shāffāt/37: 171-173)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 41


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 39

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Melanjutkan tafsir sebelumnya tentang anjuran bersabar atas ujian dan rintangan yang dialami orang mukmin, Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 39 berisi tentang izin Allah untuk memerangi kaum kafir yang memusuhi mereka. Diizinkannya berperang sendiri karena upaya lisan gagal dan ditolak oleh pihak musuh, maka perang adalah jalan terakhir yang dianjurkan oleh Allah Swt., simak penjelasan berikut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 37-38


Ayat 39

Ayat ini memperbolehkan orang-orang yang beriman memerangi orang-orang kafir, jika mereka telah berbuat aniaya di muka bumi, menganiaya orang beriman dan menentang agama Allah.

Sejak Nabi Muhammad saw menyampaikan risalahnya dan melakukan dakwahnya kepada orang-orang Quraisy, maka sejak itu pula sikap orang musyrik Mekah berubah terhadap Nabi dan para sahabat. Semula mereka menganggap Muhammad sebagai orang yang bisa dipercaya, orang yang adil yang dapat menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi di antara mereka dengan adil.

Tetapi setelah Nabi Muhammad saw menyampaikan risalahnya, mereka lalu mengancam, menyakiti dan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan Nabi saw, para sahabat dan sebagainya. Pernah juga mereka melempari Nabi dengan kotoran binatang dan menganiaya para sahabat, sehingga penderitaan yang dialami Nabi dan para sahabat hampir-hampir tidak tertahankan lagi.

Para sahabat pernah mengadukan hal itu kepada Nabi saw dan memohon kepadanya agar kepada mereka diizinkan untuk membalas tindakan-tindakan orang-orang kafir itu. Rasulullah berusaha menenangkan dan menyabarkan hati para sahabat, karena belum ada perintah dari Allah atau ayat yang diturunkan untuk mengadakan perlawanan dan mempertahankan diri.

Semakin hari penderitaan itu dirasakan semakin berat dan untuk menghindarkan diri dari terjadinya bentrokan dengan orang-orang kafir, maka pernah beberapa kali kaum Muslimin melakukan hijrah, seperti hijrah ke Habasyah, ke °aif yang akhirnya Rasulullah dan para sahabat bersama-sama hijrah ke Medinah.

Setelah kaum Muslimin hijrah ke Medinah, barulah turun ayat-ayat yang memerintahkan kaum Muslimin memerangi orang-orang yang berbuat aniaya terhadap orang yang beriman dan berusaha menghancurkan agama Islam.

Ayat ini adalah ayat yang pertama kali diturunkan yang berhubungan dengan perintah berperang. Ayat kedua yang berkaitan dengan perintah berperang adalah diperbolehkannya Kaum Muslimin memerangi orang kafir namun secara terbatas yaitu:

وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (al-Baqarah/2: 190)


Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hajj Ayat 39: Perang itu Diizinkan Bukan Diperintahkan


Ayat ketiga perintah berperang adalah:

قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَلَا يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَلَا يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حَتّٰى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَّدٍ وَّهُمْ صَاغِرُوْنَ ࣖ

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan Kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (at-Taubah/9: 29)

Ad-Dahāk berkata, “Para sahabat minta izin kepada Rasulullah saw untuk memerangi orang-orang kafir yang menyakiti mereka di Mekah, maka turunlah ayat 38 Surah ini. Setelah hijrah ke Medinah maka turunlah ayat 39 ini, yang merupakan ayat qitāl yang pertama kali diturunkan.

Dengan ayat ini kaum Muslimin diizinkan berperang. Ayat ini turun setelah Allah melarang orang-orang beriman berperang dalam waktu yang lama dan setelah Rasulullah berusaha beberapa kali menyabarkan, dan menahan semangat orang-orang beriman menghadapi segala macam tindakan orang-orang kafir yang menyakitkan hati mereka.

Karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa izin berperang itu diberikan kepada kaum Muslimin, jika perang itu merupakan satu-satunya jalan keluar bagi kesulitan yang tidak dapat diatasi lagi. Dengan perkataan yang lain: Bahwa peperangan itu dibolehkan untuk mempertahankan diri dan untuk menegakkan dan membela kalimat Allah.

Sebenarnya Allah Mahakuasa membela dan memenangkan orang-orang yang beriman, tanpa melakukan sesuatu peperangan dan tanpa mengalami kesengsaraan dan penderitaan.

Akan tetapi Allah hendak menguji hati para hamba-Nya yang mukmin, sampai di mana ketabahan dan kesabaran mereka dalam menghadapi cobaan-cobaan Allah, sampai di mana ketaatan dan kepatuhan mereka dalam melaksanakan perintah-perintah Allah.

Betapa banyak orang yang semula dianggap baik imannya, tetapi setelah mengalami sedikit cobaan saja, mereka kembali menjadi kafir. Dengan adanya perintah jihad itu, maka ada kesempatan bagi orang-orang yang beriman untuk memperoleh balasan Allah yang paling besar, yaitu balasan yang disediakan bagi orang-orang yang mati syahid dalam mempertahankan agama Allah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 40


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 37-38

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Masih tentang kurban, Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 37-38 berisi penegasan Allah agar kurban yang dilakukan hendaklah dengan niat yang ikhlas dan semata-mata untuk mengaharapkan keridaan-Nya, sebab setiap helai bulu dan tetesan darah dari hewan tersebut akan mendapatkan balasan yang berlimpah. Maka, sia-sialah mereka yang berkuban dengan niat selain itu.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 36


Ditegaskan pula dalam Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 37-38 bahwa orang-orang mukmin pasti akan mendapatkan rintangan dan ujian dari musuh-musuh Allah. Maka, bagi orang mukmin hendaklah bersabar dan melapangkan hati dalam menghadapi ujian tersebut, dan Allah menjanjikan perlindungan-Nya bagi hamba-hamba yang taat dan beriman kepada-Nya.

Ayat 37

Allah menegaskan lagi tujuan berkurban, ialah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari keridaan-Nya. Dekat kepada Allah dan keridaan-Nya tidak akan diperoleh dari daging-daging binatang yang disembelih itu dan tidak pula dari darahnya yang telah ditumpahkan.

Akan tetapi semuanya itu akan diperoleh bila kurban itu dilakukan dengan niat yang ikhlas, dilakukan semata-mata karena Allah dan sebagai syukur atas nikmat-nikmat yang tidak terhingga yang telah dilimpahkan-Nya kepada hamba-Nya.

Mujahid berkata, “Kaum Muslimin pernah bermaksud meniru perbuatan orang-orang musyrik Mekah. Jika menyembelih binatang kurban, mereka menebarkan daging-daging binatang itu disekitar Ka`bah, sedang darahnya mereka lumurkan ke dinding-dinding Ka`bah dengan maksud mencari keridaan tuhan-tuhan yang mereka sembah. Dengan turunnya ayat ini, maka kaum Muslimin mengurungkan maksudnya itu.”

Allah menegaskan pula bahwa Dia telah memudahkan binatang kurban bagi manusia, mudah didapat, mudah dikuasai, dan mudah pula disembelih. Dengan kemudahan itu manusia seharusnya tambah mensyukuri nikmat yang telah dilimpahkan Allah kepada mereka serta mengagungkan-Nya, karena petunjuk-petunjuk yang telah diberikan-Nya.

Pada akhir ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw menyampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh, serta orang-orang yang melakukan kurban dengan ikhlas bahwa mereka akan memperoleh rida dan karunia-Nya.

Pada ayat yang lalu Allah memerintahkan agar menyebut nama-Nya di waktu menyembelih binatang kurban, sedang pada ayat ini diperintahkan membaca takbir di waktu menyembelih binatang kurban.

Kebanyakan ahli tafsir mengumpulkan kedua bacaan ini, yaitu dengan menyebut nama Allah dan mengucapkan takbir.

Ucapan yang diucapkan itu ialah:

بِسْمِ اللهِ وَالله ُاَكْبَرُ مِنْكَ وَاِلَيْكَ

Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, dari Engkau dan untuk Engkau!


Baca Juga: Nabi Muhammad Saw Gemar Berkurban Setiap Tahun


Alasan dari mufasir itu ialah hadis Nabi Muhammad saw.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ ذَبَحَ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الذَّبْحِ كَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ مَوْجُوْئَيْنِ أَمْلَحَيْنِ فَلَمَّا وَجَّهْهُمَا قَالَ اِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمٰوَاتِ وَاْلاَرْضَ حَنِيْفًا- وَقَرَأَ اِلَى قَوْلِهِ وَاَنَا اَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَاُمَّتِهِ بِاسْمِ اللهِ وَاللهُ اَكْبَرُ ثُمَّ ذَبَحَ. (رواه ابو داود)

Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, “Nabi saw menyembelih pada hari raya kurban dua ekor domba yang mempunyai tanduk yang tajam dan berwarna putih kehitam-hitaman. Tatkala beliau menghadapkan keduanya ke kiblat, beliau mengucapkan, (artinya) “Sesungguhnya aku menghadapkan mukaku kepada yang menciptakan langit dan bumi dalam keadaan cenderung kepada agama yang benar,” sampai kepada perkataan, “dan aku adalah orang yang pertama kali yang menyerahkan diri.” “Wahai Tuhan! Dari Engkau untuk Engkau, dari Muhammad dan umatnya, dengan nama Allah dan Allah Mahabesar, kemudian beliau menyembelihnya.” (Riwayat Abu Dāud)

Ayat 38

Ayat ini mengisyaratkan bahwa orang-orang beriman selalu mendapat cobaan dan rintangan dari musuh-musuh Allah dan orang-orang yang menginginkan agar agama Allah lenyap dari permukan bumi.

Sekalipun demikian, Allah tetap membela orang-orang yang beriman dengan menguatkan hati mereka, memantapkan langkah-langkah mereka untuk mengikuti jalan yang lurus yang telah dibentangkan Allah, dan memperkuat kesabaran dan ketabahan hati mereka.

Jaminan Allah terhadap pembelaan-Nya pada orang Mukmin ditegaskan dalam firman-Nya:

كَتَبَ اللّٰهُ لَاَغْلِبَنَّ اَنَا۠ وَرُسُلِيْۗ اِنَّ اللّٰهَ قَوِيٌّ عَزِيْزٌ

Allah telah menetapkan, ”Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang.” Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa. (al-Mujādalah/58: 21)

Karena itu diwajibkan atas orang-orang yang telah beriman yang telah ditolong Allah, membela dan menegakkan agama Allah, sebagai tanda bersyukur atas pertolongan-Nya.

Allah membela orang-orang yang beriman karena mereka telah menepati janjinya untuk menegakkan agama Allah, oleh sebab itu,  Allah membenci orang-orang yang khianat dan orang-orang kafi yang telah mengkhianati janji Allah yang telah ditetapkan-Nya, sebagaimana yang telah diterangkan dalam firman Allah:

وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ  اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), ”Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, ”Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ”Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” (al- A’rāf/7: 172)

Mereka mengingkari perintah Allah dan tidak mengindahkan larangan-larangan-Nya, mendustakan ayat-ayat Allah, sehingga mereka tidak diacuhkan Allah di akhirat nanti, Allah beriman:

اِنَّ الَّذِيْنَ يَكْتُمُوْنَ مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ الْكِتٰبِ وَيَشْتَرُوْنَ بِهٖ ثَمَنًا قَلِيْلًاۙ اُولٰۤىِٕكَ مَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ اِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللّٰهُ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَلَا يُزَكِّيْهِمْ ۚوَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Kitab, dan menjualnya dengan harga murah, mereka hanya menelan api neraka ke dalam perutnya, dan Allah tidak akan menyapa mereka pada hari Kiamat, dan tidak akan menyucikan mereka. Mereka akan mendapat azab yang sangat pedih. (al-Baqarah/2: 174)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 39


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 36

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Sebagaimana pada penjelasan telah lalu tentang disyariatkanya kurban, serta ciri hewan yang diperbolehkan untuk dijadikan kurban. Di sini, Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 36 menjelaskan tentang peran unta sebagai hewan yang umum terdapat di tanah Arab, dan termasuk hewan terbaik untuk dijadikan sebagai kurban.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 34-35


Selain karena unta memiliki daging yang segar, serta air susu yang bisa diminum, unta juga adalah hewan yang heroik dan kuat. Dimasanya, unta juga kerap kali memabantu syiar Nabi Muhammad Saw. Selain itu, ada beberapa hewan yang dinilai baik untuk dijadikan sebagai kurban untuk mengganti unta, berikut penjelasan ringkas ulama terkait hal itu.

Ayat 36

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa dia menciptakan unta agar diambil manfaatnya oleh manusia dan menjadikan unta itu sebagai salah satu syi`ar-syi`ar Allah dengan menyembelihnya sebagai binatang kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Kemudian Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berkurban pahala yang berlipat ganda di akhirat.

Menurut Imam Abu Hanifah yang berasal dari pendapat Atha` dan Sa’id bin Musayyab dari golongan tabi’in bahwa yang dimaksud dengan, “Budna” yang tersebut dalam ayat, ialah unta atau sapi. Pendapat ini dikuatkan pula oleh pendapat Ibnu Umar bahwa tidak dikenal arti “badanah” (mufrad budna) selain arti unta dan sapi.

Seekor unta atau lembu dapat dijadikan kurban oleh tujuh orang berdasarkan hadis Rasulullah saw:

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ حَجَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَحَرْنَا اْلاِبِلَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ.( رواه مسلم)

Berkata Jabir ra, “Kami menunaikan ibadah haji bersama Rasulullah saw, maka kami berkurban seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang.” (Riwayat Muslim)

Jika seseorang tidak mendapatkan unta/sapi, ia boleh menggantinya dengan tujuh ekor kambing berdasarkan hadis:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُمَا اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ اِنَّ عَلَيَّ بَدَنَةً وَاَنَا مُوْسِرٌ وَلاَ أَجِدُهَا فَأَشْتَرِيَهَا فَأَمَرَهُ النَّبِيَّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبْتَاعَ سَبْعَ شِيَاهٍ فَيَذْبَحُهُنَّ. (رواه أحمد وابن ماجه بسند صحيح)

“Dari Ibnu ‘Abbas ra bahwa Nabi saw telah didatangi seseorang, ia berkata, “Sesungguhnya telah wajib atasku menyembelih unta/sapi, sedangkan aku orang yang sanggup melakukannya, tetapi aku tidak mendapatkannya untuk kubeli. Maka Rasulullah saw menyuruhnya membeli tujuh ekor kambing, kemudian ia menyembelihnya.” (Riwayat Ahmad dan Ibnu Mājah dengan sanad yang sahih)

Allah memerintahkan agar menyebut nama Allah di waktu menyembelihnya. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa haram hukumnya menyebut nama selain Allah diwaktu menyembelihnya.


Baca Juga: Tafsir Ahkam: Haruskah Menyebut Allah Saat Menyembelih, Bagaimana Jika Lupa?


Apabila binatang kurban telah disembelih, telah roboh dan diyakini telah benar-benar mati, maka kulitilah, makanlah sebagian dagingnya, dan berikanlah sebagian yang lain kepada fakir miskin yang meminta dan yang tidak meminta karena mereka malu melakukannya. Tentu saja memberikan (daging) seluruhnya adalah lebih baik dan lebih besar pahalanya.

Orang-orang Arab jahiliyah tidak mau memakan daging kurban yang telah mereka sembelih, maka dalam ayat ini Allah membolehkan kaum Muslimin memakan daging kurban mereka.

Demikianlah Allah telah memudahkan penguasaan binatang kurban bagi orang-orang yang beriman, padahal binatang itu lebih kuat dari mereka. Yang demikian itu dapat dijadikan pelajaran agar manusia bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah dilimpahkan kepada mereka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 37-38


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 34-35

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 34-35 diawali dengan penjelasan tentang syariat Allah Swt, termasuk syariat kurban. Allah menegaskan bahwa ritual kurban memiliki tujuan dan manfaatnya, terlebih ritual tersebut lansung dari Allah dan Rasul-Nya, maka bagi mereka yang melaksanakannya berarti telah menunaikan perintah tersebut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 31-33


Dijelaskan pula dalam Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 34-35 tentang sifat-sifat yang dimilki oleh orang yang bertakwa. Secara tersurat, takwa artinya adalah takut, yaitu perasaan takut untuk melakukan sesuatu yang dilarang oleh Allah, dengan keyakinan bahwa Allah selalu mengawasi hamba-hamba-Nya, dimanapun dan kapanpun, tidak ada yang luput dari pengawasan-Nya.

Ayat 34

Allah telah menetapkan syariat bagi tiap-tiap manusia termasuk di dalamnya syariat kurban. Seseorang yang berkurban berarti ia telah menumpahkan darah binatang untuk mendekatkan dirinya kepada Allah dan ingin mencari keridaan Allah.

Allah memerintahkan kepada orang-orang yang berkurban itu agar mereka menyebut dan mengagungkan nama Allah waktu menyembelih binatang kurban itu, dan agar mereka mensyukuri nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada mereka. Di antara nikmat Allah itu ialah berupa binatang ternak, seperti unta, lembu, kambing dan sebagainya yang merupakan rezeki dan makanan yang halal bagi mereka.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa orang-orang yang beriman dilarang mengagungkan nama apapun selain daripada nama Allah. Setelah datangnya Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir yang membawa risalah bagi seluruh umat manusia, maka agama yang benar dan harus diikuti oleh seluruh umat manusia hanyalah agama Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad. Firman Allah:

اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ

Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab. (Āli ‘Imrān/3: 19)

Lebih jelas lagi siapapun  yang mencari atau berpegang pada agama selain Islam maka tidak akan diterima Allah dan termasuk orang yang rugi. Firman Allah:

وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi. (Āli ‘Imrān/3: 85);Rasulullah saw menyembelih binatang kurban dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, sebagaimana tersebut dalam hadis beliau:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: أُتِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ اَمْلَحَيْنِ (فِيْهِمَا بَيَاضٌ يُخَالِطُهُ سَوَادٌ) أَقْرَنَيْنِ فَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صَفَاحِهَا. (رواه البخاري ومسلم)

Dari Anas, ia berkata, “Rasulullah saw dibawakan  dua ekor domba yang bagus (pada kedua domba itu terdapat warna putih yang bercampur hitam) yang bertanduk bagus, lalu beliau menyebut nama Allah dan bertakbir (waktu menyembelihnya) dan meletakkan kakinya di atas rusuk binatang itu.” (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim)


Baca Juga:Takwa dan Tawakkallah, Tips Mencari Rezeki Menurut Al-Quran


Pada akhir ayat ditegaskan bahwa Allah yang berhak disembah itu adalah Tuhan Yang Maha Esa, dan kepercayaan tauhid itu telah dianut pula oleh orang-orang dahulu, karena itu patuh dan taat hanya kepada Allah, mengikuti semua perintah-perintah-Nya, menjauhi semua larangan-Nya dan melakukan semua pekerjaan semata-mata karena-Nya dan untuk mencari keridaan-Nya.

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar menyampaikan berita gembira kepada orang-orang yang tunduk, patuh, taat, bertobat dan merendahkan dirinya kepada-Nya bahwa bagi mereka disediakan pahala yang berlipat ganda, berupa surga di akhirat nanti.

Perkataan “maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa” memberi peringatan bahwa kurban, menghormati syi`ar-syi`ar Allah, dan beribadah sesuai dengan petunjuk para rasul yang diutus kepada mereka, sekalipun ibadah dan syariat itu berbeda pada tiap-tiap umat, namun termasuk dalam agama Allah, termasuk jalan yang lurus yang harus ditempuh oleh setiap yang mengaku sebagai hamba Allah, dalam menaati dan mencari rida-Nya.

Perbedaan cara-cara beribadah antara umat-umat yang dahulu dengan umat-umat yang datang kemudian, di dalamnya umat Nabi Muhammad, janganlah dijadikan alasan yang dapat menimbulkan perpecahan di antara orang-orang yang beriman. Semuanya itu dilakukan dengan tujuan untuk menghambakan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Ayat 35

Dalam ayat ini disebutkan tanda-tanda orang yang taat dan patuh kepada Allah, yaitu:

  1. Apabila disebutkan nama Allah di hadapan mereka, gemetarlah hati mereka, karena merasakan kebesaran dan kekuasaan-Nya. Mendengar nama Allah itu timbul rasa harap dan takut dalam hati mereka. Mereka mengharapkan keridaan-Nya, sebagaimana mereka pula mengharapkan ampunan dan pahala yang disediakan Allah bagi orang yang takwa.

Mereka sangat ingin agar dimasukkan ke dalam kelompok orang-orang yang bertakwa itu. Mereka takut mendengar nama Allah, karena mereka belum mempunyai persiapan yang cukup untuk menghadap-Nya, seperti ibadah yang mereka kerjakan, perbuatan baik dan jihad yang telah mereka lakukan, semuanya itu dirasakan mereka belum cukup dikerjakan, karena itu mereka takut kepada siksa Allah, yang akan ditimpakan kepada orang-orang kafir. Mereka ingin terhindar dari siksa itu.

  1. Mereka sabar menghadapi segala cobaan dari Allah. Di saat mereka memperoleh rezeki dan karunia yang banyak dari Allah, mereka ingat bahwa di dalam harta mereka itu terdapat hak orang fakir dan orang miskin, karena itu mereka mengeluarkan zakat dan sedekah.

Di saat mereka menjadi miskin, mereka sadar bahwa itu adalah cobaan terhadap iman mereka, karena itu kemiskinan tidak menggoyahkan iman mereka sedikitpun. Mereka yakin bahwa cobaan dari Allah itu bermacam-macam bentuk dan ragamnya, ada yang berupa kesenangan dan ada pula berupa kesengsaraan. Hanyalah hamba Allah yang sabar dan tabahlah yang akan memperoleh keberuntungan.

  1. Mereka selalu mendirikan salat yang difardukan atas mereka pada waktu-waktu yang telah ditentukan.
  2. Mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka. Tindakan menginfakkan harta itu mereka lakukan semata-mata untuk mencari keridaan Allah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 36


Penafsiran Aulia (Pemimpin) Perspektif Hamka dalam Tafsir al-Azhar

0
Penafsiran Aulia (Pemimpin) Perspektif Hamka dalam Tafsir al-Azhar
Penafsiran Aulia (Pemimpin) Perspektif Hamka dalam Tafsir al-Azhar

Lafadz aulia (pemimpin) yang merupakan jamak dari kalimat wali ternyata memiliki arti yang amatlah luas. Seperti halnya wali bisa dimaknai dengan pemimpin, penguasa, pengurus, pengatur, dan lainnya. Istilah lafadz wali sendiri di dalam dinamika sejarah, khususnya dalam pemerintahan Islam, nyatanya juga pernah digunakan, misalnya pada masa Amr bin al-Ash, ia disebut menjadi wali di wilayah Mesir. Kemudian Mu’awiyah bin Abu Sufyan sebelum menjadi Khalifah pertama Bani Umayyah juga disebut dengan wali. Dalam hal ini ternyata, penulis Tafsir al-Azhar juga seingkali meminjam istilah wali untuk Negara Indonesia.

Pada Tafsir al-Azhar menyebutkan bahwa term-term makna aulia pada Al-Qur’anul karim disebutkan hingga 42 kali. Kemudian Buya Hamka selaku penulis Tafsir al-Azhar dalam menafsirkan term-term aulia mengklasifikasikan lafadz-lafadz aulia tersebut menjadi tujuh pemaknaan yaitu pemimpin, pelindung, penolong, pengikut, penguasa, sahabat, dan saudara.

Kemudian buya Hamka sendiri dalam menafsirkan lafadz-lafadz aulia menggunakan metode tafsir bi al-Iqtiran (penafsiranya tak hanya bertumpu ataupun bersumber dari Al-Qur’an, hadis, pendapat sahabat dan tabi’in serta riwayat kitab-kitab tafsir semata). Menariknya, Hamka dalam penafsirannya melibatkan aspek ilmiah (ra’yu).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Apakah Mulut dan Lubang Hidung Wajib Dibasuh Ketika Mandi Besar?

Penasiran Aulia dari Aspek Ilmiah (Ra’yu)

Penafsiran Buya Hamka terkait lafadz-lafadz aulia dari aspek ilmiah (ra’yu) terlihat sangat jelas saat Buya Hamka  mengaitkan lafadz aulia tersebut dengan istilah kebahasaan Hindia Belanda yaitu landvoogd yang berarti Gubernur. Dalam perihal ini Buya Hamka melihat lafadz aulia tersebut dari sisi pemaknaan radix (akar kata) istilah tersebut muncul pertama kali yang merujuk ataupun bersumber dari aspek kesejarahan bangsa kita yaitu NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Baca juga: Tafsir Surah Yunus Ayat 99-100: Dai Hanya Menyampaikan, Allah yang Mengislamkan

Hamka dalam memparodikan kalimat aulia tidak hanya dari aspek pendekatan sejarah saja, akan tetapi juga dari aspek kebahasaan.  Kemudian yang lainnya juga ada dalam aspek Interaksi sosio-kultur dalam masyarakat dan keadaan geografi suatu wilayah. Dengan begitu, terlihat sangat jelas saat Buya Hamka menceritakan bahwasanya, dahulu pada masa Hindia Belanda seorang Gubernur Jenderal disebut wali negeri olehnya.

Namun tidak hanya itu, ditemukan pula sebuah fakta yang menarik untuk dijadikan sebagai bahan kajian ataupun sebuah pelajaran sejarah bangsa. Terkait pada zaman federal dahulu, ada kepala-kepala negara yang dengan sengaja diinisiasi ataupun dibentuk oleh seorang Van Mook disebut wali  negara. Seperti contohnya seorang Dr. Mansur menjadi wali negara di wilayah Sumatera Timur, Abdul Malik menjadi wali di wilayah negara Sumatera Selatan dan lain-lain.

Dan tidak hanya itu saja, di zaman revolusi di wilayah Sumatera Barat, kepala negerinya ditukar sebutanya menjadi wali negeri dan hal tersebut dilakukan guna untuk memecah belah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) agar menjadi negara-negara bagian yang sama sekali tidak memiliki power (kekuatan). Wallahu a’lam[]

Tafsir Ahkam: Apakah Mulut dan Lubang Hidung Wajib Dibasuh Ketika Mandi Besar?

0
Apakah Mulut dan Lubang Hidung Wajib Dibasuh Ketika Mandi Besar?
Apakah Mulut dan Lubang Hidung Wajib Dibasuh Ketika Mandi Besar?

Al-Qur’an telah menetapkan kewajiban ketika mandi besar bagi orang yang junub. Perintah ini secara tidak langsung mengharuskan air mengenai seluruh tubuh dan tidak boleh ada yang terlewat. Berbeda dengan wudhu yang hanya bagian-bagian tertentu pada tubuh.

Kewajiban tersebut memancing perdebatan di antara ulama’. Yakni apakah bagian dalam mulut serta hidung juga wajib dibasuh, dan apakah hukum berkumur serta menyedot air ke hidung juga diwajibkan? Berikut penjelasan ulama’ pakar tafsir dan pakar hukum fikih terkait permasalahan tersebut.

Baca juga: Tafsir Surah Yunus Ayat 99-100: Dai Hanya Menyampaikan, Allah yang Mengislamkan

Kewajiban Mandi Bagi Orang Yang Junub

Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan dan jangan (pula menghampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu (saja) sehingga kamu mandi (junub) (QS. An-Nisa’ [4] :43).

Imam Ibn Katsir menyatakan, hukum tamadmadha (berkumur) dan istingsyaq (menyedot air ke hidung) di dalam wudhu dan mandi besar hukumnya diperselisihkan oleh para ulama’. Ada yang mewajibkan keduanya dalam mandi dan wudhu, ada yang menganggap keduanya Sunnah dalam mandi dan wudhu, ada yang menganggap keduanya wajib dalam mandi saja, dan ada pula yang menganggap bahwa yang wajib hanya menyedot air ke hidung, bukan berkumur (Tafsir ibn katsir/3/48).

Imam Al-‘Umrani memberikan rincian. Yang mewajibkan keduanya dalam mandi dan wudhu adalah Imam Ibn Abi Laila dan Ishaq; yang menganggap keduanya Sunnah dalam mandi dan wudhu adalah Imam Syafi’i dan Malik; yang menganggap keduanya hanya wajib dalam mandi, tidak dalam wudhu adalah Imam Tsauri dan Abu Hanifah; yang menganggap yang wajib dalam mandi dan wudhu adalah menyedot air ke hidung saja, tidak berkumur, adalah Imam Ahmad dan Dawud (Al-Bayan/2/113).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Kewajiban Mandi Bagi Orang Junub dan Beda Pendapat Cara Mandinya

Apakah Mulut dan Hidung Wajib Dibasuh Ketika Mandi Besar?

Imam Al-Qurthubi menjelaskan, sumber perbedaan pendapat antar para ulama’ yakni tentang kewajiban berkumur serta menyedot air ke hidung ketika mandi dan wudhu.  Dalam hal ini meimbulkan pertanyaan apakah bagian dalam mulut dan hidung termasuk bagian dari wajah ? Apabila dalam mulut dan dalam hidung merupakan bagian dari wajah maka berkumur dan menyedot air ke hidung wajib dilakukan, apabila tidak, maka tidak wajib dilakukan (Tafsir Al-Jami’ Lil Ahkamil Qur’an/6/84).

Imam Abu Hanifah menganggap bagian dalam mulut serta hidung termasuk bagian dari wajah dan yang merupakan bagian dari luar wajah adalah pipi dan dahi. Maka, jika tidak membasuh keduanya, mengharuskan untuk mengulangi mandi, sebagaimana tidak boleh ada bagian tubuh yang tidak terlewati air (Tafsir Al-Jami’ Lil Ahkamil Qur’an/5/212).

Imam Malik dan Syafi’i menganggap bagian dalam mulut dan hidung bukan termasuk wajah, melainkan bagian dalam tubuh sebagaimana daging dan selainnya. Sebab wajah adalah bagian yang tampak saat berhadap-hadapan antar dua orang. Sedang bagian dalam mulut serta hidung bukan termasuk bagian yang tampak saat berhadap-hadapan. Sehingga bukan termasuk wajah (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/484).

Baca juga: Apakah Iblis Termasuk Golongan Malaikat atau Bukan? Ini Kata Ulama

Imam Al-Qurthubi mengklaim bahwa mayoritas ulama’ meyakini bahwa berkumur dan menyedot air ke hidung hukumnya tidak wajib. Namun meski keduanya tidak wajib, tidak sepatutnya kita mengabaikan keduanya dengan tidak melakukan keduanya. Sebab sebagaimana diungkapkan oleh Imam Al-Mawardi, meski Imam Syafi’i tidak menganggap berkumur dan menyedot air ke hidung sebagai sesuatu yang wajib, tapi beliau memberi pernyataan untuk melakukan keduanya. Bahkan sampai tiga kali basuhan (Tafsir Al-Jami’ Lil Ahkamil Qur’an/6/84 dan Al-Hawi Al-Kabir/2/1096). Wallahu a’lam bish showab[].

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 31-33

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 31-33 diawali dengan penegasan Allah Swt supaya manusia menjauhi perbuatan syirik, yakni menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain. Bagi Allah, perbuatan syirik tidak bisa ditawar, pelakunya pasti akan mendapatkan azab yang pedih kelak di akhirat, dan tidak ada yang bisa menyelamatkan mereka.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 29-30


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 31-33 dilanjutkan dengan pembahasan tentang kurban, bahwa hewan yang hendak dijadikan kurban ialah hewan yang sehat, gemuk, dan terbaik, pun dilarang mengurbankan hewan yang cacat fisiknya. Diperbolehkan untuk memanfaatkan hewan tersebut sebelum dijadikan kurban, seperti dikendarai, membajak sawah, dan lain-lain, asal sekedarnya dan tidak untuk menyiksa hewan tersebut.

Ayat 31

Ayat ini menegaskan bahwa manusia harus menjauhi berhala dan perkataan dusta dengan memurnikan ketaatan kepada Allah, tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya. Kemudian Allah menjelaskan tentang besarnya dosa akibat mengerjakan perbuatan syirik.

Siapa yang menyekutukan Allah, berarti telah membinasakan dirinya sendiri, karena orang yang berbuat syirik itu akan memperoleh malapetaka yang besar di dunia dan akhirat, tidak ada lagi harapan untuk memperoleh keselamatan bagi dirinya.

Ayat ini menyerupakan orang yang berbuat syirik dengan seorang yang jatuh dari langit yang tinggi, kemudian tubuhnya disambar oleh burung-burung buas yang beterbangan di angkasa, burung-burung itu memperebutkan tubuhnya, sehingga terkoyak-koyak menjadi bagian-bagian yang kecil.

Kemudian dagingnya dimakan oleh burung-burung itu, atau tubuhnya itu diterbangkan angin sampai terlempar ke tempat yang jauh, ada yang jatuh ke dalam laut, ada yang jatuh ke dalam jurang yang dalam dan sebagainya. Maka tidak ada sesuatu pun yang dapat diharapkan lagi dari orang itu, kecuali menerima kesengsaraan dan azab yang kekal.

Allah berfirman:

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَصَدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ قَدْ ضَلُّوْا ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا

Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah, benar-benar telah sesat sejauh-jauhnya.  (an-Nisā`/4: 167)

Dan firman Allah:

قُلْ اَنَدْعُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَا لَا يَنْفَعُنَا وَلَا يَضُرُّنَا وَنُرَدُّ عَلٰٓى اَعْقَابِنَا بَعْدَ اِذْ هَدٰىنَا اللّٰهُ كَالَّذِى اسْتَهْوَتْهُ الشَّيٰطِيْنُ فِى الْاَرْضِ حَيْرَانَ

Katakanlah (Muhammad), ”Apakah kita akan memohon kepada sesuatu selain Allah, yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak (pula) mendatangkan mudarat kepada kita, dan (apakah) kita akan dikembalikan ke belakang, setelah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan oleh setan di bumi, dalam keadaan kebingungan.” (al-An’ām/6: 71)


Baca Juga: Dasar Hukum dan Syarat-Syarat Penyembelihan Hewan Kurban


Ayat 32

Siapa yang menghormati syi`ar-syi`ar Allah, memilih binatang kurban yang baik, gemuk dan besar, maka sesungguhnya yang demikian adalah perbuatan orang yang benar-benar takwa kepada Allah dan perbuatan yang berasal dari hati sanubari orang yang mengikhlaskan ketaatannya kepada Allah.

Dalam hadis diterangkan binatang yang biasa disembelih para sahabat.

عَنْ اَبِي اُمَامَةَ بْنِ سَهْلٍ كُنَّا نُسَمِّنُ اْلاُضْحِيَّةِ بِالْمَدِيْنَةِ وَكاَنَ الْمُسْلِمُوْنَ يُسَمِّنُوْنَ. (رواه البخارى)

Dari Abu Umāmah bin Sahal, “Kami menggemukan hewan kurban di Medinah, dan kaum Muslimin mengemukkannya pula.” (Riwayat al-Bukhārه)

Dan hadis Nabi Muhammad saw:

عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعٌ لاَتَجُوْزُ فِي اْلاَضَاحِى الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوْرُهَا وَالْمَرِيْضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيْرَةُ الَّتِى لاَتُنْقِى. (رواه البخاري واحمد)

Dari al-Barā, ia berkata telah bersabda Rasulullah saw, “Empat macam yang tidak boleh ada pada binatang kurban, yaitu yang buta matanya sebelah, yang jelas kebutaannya, yang sakit dan jelas sakitnya, yang pincang dan  jelas pincangnya dan yang patah kakinya, dan yang tidak dapat membersihkan diri (yang parah).”(Riwayat al-Bukhāri dan Ahmad)

Ayat 33

Pada ayat ini ditegaskan bahwa binatang kurban itu dapat diambil manfaatnya sebelum disembelih, yaitu dapat digunakan sebagai kendaraan dalam perjalanan menuju tanah suci, dapat diminum air susunya dan sebagainya.

Setelah disembelih bulunya dapat dimanfaatkan, dagingnya dapat dimakan, disedekahkan kepada fakir dan miskin, sebagaimana yang diterangkan pada hadis Nabi saw:

عَنْ اَنَسٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلاً يَسُوْقُ بَدَنَةً قَالَ ارْكَبْهَا قَالَ اِنَّهَا بَدَنَةٌ قَالَ ارْكَبْهَا وَيْحَكَ فِىالثَّانِيَةِ اَوِالثَّالِثَةِ. (رواه البخاري ومسلم)

Dari Anas bahwasanya Rasulullah saw melihat seorang menggiring seekor badanah (unta yang digemukkan untuk dijadikan kurban) maka beliau bersabda, Naikilah!” Orang itu menjawab, “Dia digemukkan untuk dijadikan kurban! Maka Nabi bersabda, “Naikilah! Rugilah kamu!” pada yang kedua atau ketiga. (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim)

Tempat penyembelihan binatang kurban itu ialah di sekitar daerah Haram atau di tempat sekitar Ka`bah. Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَاَنْتُمْ حُرُمٌ ۗوَمَنْ قَتَلَهٗ مِنْكُمْ مُّتَعَمِّدًا فَجَزَۤاءٌ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهٖ ذَوَا عَدْلٍ مِّنْكُمْ هَدْيًاۢ بٰلِغَ الْكَعْبَةِ اَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسٰكِيْنَ اَوْ عَدْلُ ذٰلِكَ صِيَامًا لِّيَذُوْقَ وَبَالَ اَمْرِهٖ ۗعَفَا اللّٰهُ عَمَّا سَلَفَ ۗوَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللّٰهُ مِنْهُ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ ذُو انْتِقَامٍ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu membunuh hewan buruan, ketika kamu sedang ihram (haji atau umrah). Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan hewan ternak yang sepadan dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadyu yang dibawa ke Ka’bah, atau kafarat (membayar tebusan dengan) memberi makan kepada orang-orang miskin, atau berpuasa, seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, agar dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barang siapa kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Dan Allah Mahaperkasa, memiliki (kekuasaan untuk) menyiksa. (al-Mā`idah/5: 95)

Maksud dibawa sampai ke Ka`bah menurut ayat di atas ialah membawanya ke daerah Haram untuk disembelih di tempat itu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 34-35


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 29-30

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Sebelumnya telah dijelaskan tentang ibadah kurban yang bertepatan dengan momen ibadah haji. Adapun Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 29-30 masih akan membahas perihal haji, yaitu tentang hal-hal yang perlu dilakukan oleh umat muslim setelah menunaikan ibadah haji dan kurban, supaya ibadahnya semakin sempurna.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28 (2)


Dijelaskan pula dalam Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 29-30 bahwa semua yang telah diulas berkaitan dengan haji haruslah diperhatikan dengan seksama, baik yang sifatnya perintah ataupun larangan, sebab, itu adalah bagian dari menghormati ritual haji tersebut. Di sini, kembali akan diulas tentang apa-apa saja yang dilarang dan diperintahkan, dan yang termasuk dari hurmatillah.

Ayat 29

Ayat ini menerangkan bahwa setelah orang yang mengerjakan ibadah haji selesai menyembelih binatang kurbannya, hendaklah mereka melakukan tiga hal:

  1. Menghilangkan dengki atau kotoran yang ada pada diri mereka, yaitu dengan menggunting kumis, menggunting rambut, memotong kuku dan sebagainya. Hal ini diperintahkan karena perbuatan-perbuatan itu dilarang melakukannya selama mengerjakan ibadah haji.
  2. Melaksanakan nazar yang pernah diikrarkan, karena pada waktu, tempat dan keadaan inilah yang paling baik untuk menyempurnakan nazar.
  3. Melakukan tawaf di Ka`bah. Yang dimaksud dengan tawaf adalah mengelilingi Ka`bah sebanyak tujuh kali. Tawaf ada tiga macam, yaitu:
  4. Tawaf qudum, yaitu tawaf yang dilakukan ketika pertama kali memasuki/datang di Mekah.
  5. Tawaf Wada` yaitu tawaf yang dilakukan ketika akan meninggalkan Mekah setelah selesai melaksanakan ibadah haji.
  6. Tawaf Ifadah yaitu tawaf yang dilakukan dalam rangka melaksanakan rukun haji.

Dalam ayat ini Baitullah disebut Baitul ‘Atiq, yang berarti “rumah tua” karena Baitullah adalah rumah ibadah pertama kali didirikan oleh Nabi Ibrahim as beserta putranya Nabi Ismail as kemudian barulah didirikan Baitul Maqdis Palestina oleh Nabi Daud as beserta Nabi Sulaiman as.

Ayat 30

Ayat ini menerangkan bahwa semua yang tersebut pada ayat-ayat yang lalu, seperti mencukur rambut, memotong kuku, memenuhi nazar, tawaf mengelilingi Ka`bah, termasuk kewajiban yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang yang menunaikan ibadah haji.

Siapa yang melaksanakan semua yang diperintahkan itu selama mereka berihram, karena ingin mengagungkan dan mencari keridaan Allah, maka perbuatan itu adalah perbuatan yang paling baik di sisi Allah dan akan dibalasnya dengan pahala yang berlipat ganda serta surga yang penuh kenikmatan.

Menurut Ibnu ‘Abbas yang dimaksud dengan “Hurumātillāh”, ialah apa yang dilarang dilakukannya oleh orang-orang yang sedang menunaikan ibadah haji, seperti berlaku fasik, bertengkar, bersetubuh dengan istri, berburu dan sebagainya.

Menghormati “Hurumātillāh”, ialah menjauhi semua larangan itu. Sedang menurut riwayat Zaid bin Aslam, yang dimaksud dengan “Hurumātillāh”, ialah al-Masyharil Haram, Masjidil Haram, Baitul Haram (Ka`bah), Bulan-bulan Haram dan Tanah Haram.

Menghormati “Hurumātillāh” itu adalah berbuat baik di tempat-tempat tersebut, tidak berbuat maksiat dan hal itu merupakan perbuatan yang paling baik di sisi Allah.


Baca Juga: Ghazwul Fikri Pada Umat Islam dan Peringatan Al-Qur’an Tentang Ajakan Para Penolak Kebenaran


Dalam ibadah haji terdapat dua macam ibadah, yaitu ibadah yang berhubungan dengan anggota badan, disebut ibadah “badaniyah”, seperti tawaf, sa`i, melempar jumrah dan sebagainya. Yang kedua ialah ibadah yang berhubungan dengan harta, disebut “māliyah”, seperti menyembelih binatang kurban dan sebagainya.

Dalam ayat ini disebutkan makanan yang dihalalkan, dan perintah menjauhi perkataan dusta. Sekalipun perintah itu ditujukan kepada semua kaum Muslimin, tetapi orang-orang yang sedang menunaikan ibadah haji sangat diutamakan melaksanakannya.

Allah menerangkan bahwa dihalalkan bagi orang-orang yang beriman memakan dan menyembelih unta, lembu dan sebagainya, kecuali binatang-binatang yang telah ditetapkan keharamannya, sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih, dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala…. (al-Mā`idah/5: 3);

Dan firman Allah:

قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖۚ

Katakanlah, ”Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan  memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah…. (al-An’ām/6: 145)

Allah tidak pernah mengharamkan memakan daging binatang seperti yang diharamkan oleh kaum musyrik Mekah, perbuatan itu adalah perbuatan yang mereka ada-adakan saja. Mereka mengharamkan Bahirah, Sā`ibah, Washilah, Hām dan sebagainya, sebagaimana firman Allah:

مَا جَعَلَ اللّٰهُ مِنْۢ بَحِيْرَةٍ وَّلَا سَاۤىِٕبَةٍ وَّلَا وَصِيْلَةٍ وَّلَا حَامٍ ۙوَّلٰكِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَۗ وَاَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ

Allah tidak pernah mensyariatkan adanya  Bahirah, Sa’ibah, Washilah dan Ham. Tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti. (al-Mā`idah/5: 103)

Dalam ayat ini disebutkan dua macam perintah Allah, yaitu:

  1. Perintah menjauhi perbuatan menyembah patung atau berhala, karena perbuatn itu adalah perbuatan yang menimbulkan kekotoran dalam diri dan sanubari seseorang yang mengerjakannya dan perbuatan itu berasal dari perbuatan setan. Setan selalu berusaha mengotori jiwa dan diri manusia.
  2. Perintah menjauhi perkataan dusta dan melakukan persaksian yang palsu.

Dalam ayat ini penyebutan persaksian palsu dan penyembahan berhala secara bersamaan, karena kedua perbuatan itu pada hakekatnya adalah sederajat, semua sama berdusta dan mengingkari kebenaran. Dari ayat ini dapat dipahami pula betapa besar dosanya mengadakan persaksian palsu itu karena disebutkan setelah larangan menyekutukan Allah.

Dalam hadis Nabi Muhammad saw pun diterangkan bahwa persaksian palsu itu sama beratnya dengan menyekutukan Allah:

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ صَلَّى الصُّبْحَ قَائِمًا وَاسْتَقْبَلَ النَّاسَ بِوَجْهِهِ وَقَالَ عَدَلَتْ شَهَادَةُ الزُّوْرِ الاِشْرَاكَ بِاللهِ عَدَلَتْ شَهَادَةُ الزُّوْرِ الاِشْرَاكَ بِاللهِ, عَدَلَتْ شَهَادَةُ الزُّوْرِ الاِشْرَاكَ بِاللهِ. (رواه أحمد وابو داود وابن ماجه والطبرانى)

Dari Nabi saw bahwa beliau salat Subuh, setelah selesai memberi salam, beliau berdiri dan menghadap kepada manusia dan berkata, “Persaksian palsu sama beratnya dengan mempersekutukan Allah, persaksian palsu sama beratnya dengan mempersekutukan Allah, persaksian palsu sama beratnya dengan mempersekutukan Allah.” (Riwayat Ahmad, Abu Dāud, Ibnu Mājah dan at-Thabarāni)

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 31-32