Beranda blog Halaman 240

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28 (2)

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Setelah menyimak manfaat haji dari 1-4, maka pada Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28 (2) kali ini akan dilanjutkan tentang uraian manfaat lain dari ibadah haji, diantaranya adalah memperluas memori kita untuk mengenang kisah perjalanan Ibrahim dalam memulai ritus tersebut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28 (1)


Dijelaskan pula dalam Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28 (2) tentang bagaimana pertemuan yang akan dialami manusia pada peristiwa tersebut, serta  upaya untuk menjaga hatinya. Diwaktu bersamaan, terdapat momen menarik pada masa haji, yakni penyembelihan hewan kurban yang dilakukan serempak oleh umat Islam diseluruh dunia, yang umumnya penyembelihan dilakukan pada tanggal 10-13 Dzulihijjah, berikut penjelasannya.

Ayat 28 (2)

  1. Menghayati kehidupan dan perjuangan Nabi Ibrahim beserta putranya Nabi Ismail dan Nabi Muhammad beserta para sahabatnya. Waktu Ibrahim pertama kali datang di Mekah bersama istrinya Hajar dan putranya Ismail yang masih kecil, kota Mekah masih merupakan padang pasir yang belum didiami oleh seorang manusia pun.

Dalam keadaan demikianlah Ibrahim meninggalkan istri dan putranya di sana, sedang ia kembali ke Palestina. Hajar dan putranya yang masih kecil merasakan berbagai penderitaan, tidak ada tempat mengadu dan minta tolong kecuali hanya kepada Tuhan saja.

Sesayup-sayup mata memandang, yang ada hanyalah gunung batu, tanpa tumbuh-tumbuhan yang dapat dijadikan tempat berlindung. Dapat dirasakan kesusahan Hajar berlari antara Safa dan Marwa mencari setetes air untuk diminum anaknya. Dapat direnungkan dan dijadikan teladan tentang ketaatan dan kepatuhan Ibrahim kepada Allah. Setelah itu beliau menyembelih putra tercintanya, Ismail, sebagai kurban, semata-mata untuk memenuhi dan melaksanakan perintah Allah.

Kaum Muslimin selama mengerjakan ibadah haji dapat melihat bekas-bekas dan tempat-tempat yang ada hubungannya dengan perjuangan Nabi Muhammad beserta sahabatnya dalam menegakkan agama Allah. Sejak dari Mekah di saat beliau mendapat halangan, rintangan bahkan siksaan dari orang-orang musyrik Mekah, kemudian beliau hijrah ke Medinah, berjalan kaki, dalam keadaan dikejar-kejar orang-orang kafir.

Demikianlah pula usaha-usaha yang beliau lakukan di Medinah, berperang dengan orang kafir, menghadapi kelicikan dan fitnah orang munafik dan Yahudi. Semuanya itu dapat diingat dan dihayati selama menunaikan ibadah haji dan diharapkan dapat menambah iman ketakwaan kepada Allah Yang Mahakuasa, Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

  1. Setiap Muktamar Islam seluruh dunia. Pada musim haji berdatanganlah kaum Muslimin dari seluruh dunia. Secara tidak langsung terjadilah pertemuan antara sesama Muslim, antara suku bangsa dengan suku bangsa dan antara bangsa dengan bangsa yang beraneka ragam coraknya itu.

Antara mereka itu dapat berbincang dan bertukar pengalaman dengan yang lain, sehingga pengalaman dan pikiran seseorang dapat diambil dan dimanfaatkan oleh yang lain, terutama setelah masing-masing mereka sampai di negeri mereka nanti.


Baca Juga: Kisah Nabi Ismail, Siti Hajar dan Asal Usul Air Zamzam


Jika pertemuan yang seperti ini diorganisir dengan baik, tentulah akan besar manfaatnya, akan dapat memecahkan masalah-maslaah yang sulit yang dihadapi oleh umat Islam di negara mereka masing-masing. Semuanya itu akan berfaedah pula bagi individu, masyarakat dan agama.

Alangkah baiknya jika pada waktu itu diadakan pertemuan antara kepala negara yang menunaikan ibadah haji, pertemuan para ahli, para ulama, para pemuka masyarakat, para usahawan dan sebagainya.

Walaupun amat banyak manfaat yang akan diperoleh oleh orang yang mengerjakan ibadah haji, tetapi hanyalah Allah yang dapat mengetahui dengan pasti semua manfaat itu. Dari pengalaman orang-orang yang pernah mengerjakan haji didapat keterangan bahwa keinginan mereka menunaikan ibadah haji bertambah setelah mereka selesai menunaikan ibadah haji yang pertama.

Makin sering seseorang menunaikan ibadah haji, makin bertambah pula keinginan tersebut. Rahasia dan manfaat dari ibadah haji itu dapat dipahamkan pula dari doa Nabi Ibrahim kepada Allah, sebagaimana yang tersebut dalam firman-Nya:

فَاجْعَلْ اَفْـِٕدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِيْٓ اِلَيْهِمْ

Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka. (Ibrāhim/14: 37)

Manfaat lain dari ibadah haji, yaitu agar manusia menyebut nama Allah pada hari-hari yang ditentukan dan melaksanakan kurban dengan menyembelih binatang kurban atau hadyu (dam) bagi jamaah haji yang melanggar kewajiban haji.

Adapun pelaksanaannya yaitu sesudah melempar jamrah ‘aqabah dan hanya dilaksanakan di tanah Haram Mekah. Sedangkan daging  hadyu (dam) hanya diperuntukan bagi fakir miskin Mekah, kecuali jika sudah tidak ada fakir miskin di kota Mekah, maka daging tersebut boleh diberikan kepada orang miskin di kota/negara lain.

Yang dimaksud dengan hari-hari yang ditentukan ialah hari raya haji dan hari-hari tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah. Pada hari-hari ini dilakukan penyembelihan binatang kurban. Waktu menyembelih binatang kurban ialah setelah pelaksanaan salat Idul Adha sampai dengan terbenamnya matahari tanggal 13 Zulhijjah. Rasulullah saw bersabda:

مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَاِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَتَمَّ نُسُكَهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِيْنَ (رواه البخاري عن البراء)

Siapa yang menyembelih kurban sebelum salat Idul Adha maka sesungguhnya ia hanyalah menyembelih untuk dirinya sendiri dan siapa yang menyembelih sesudah salat Idul Adha (dan setelah membaca dua Khutbah) maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya dan telah melaksanakan sunnah kaum Muslimin. (Riwayat al-Bukhāri dari al-Barra’)

Dan sabda Rasulullah saw:

وَكُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ ذَبْحٌ (رواه أحمد عن جبير بن مطعم)

“Semua hari-hari tasyriq adalah waktu dilakukannya penyembelihan kurban.” (Riwayat Ahmad dari Jubair bin Muth’im)

Setelah binatang kurban itu disembelih, maka dagingnya boleh dimakan oleh yang berkurban dan sebagiannya disedekahkan kepada orang-orang fakir dan miskin. Menurut jumhur ulama, sebaiknya orang-orang yang berkurban memakan daging kurban sebagian kecil saja, sedang sebagian besarnya disedekahkan kepada fakir miskin. Orang yang berkurban dibolehkan untuk menyedekahkan seluruh daging kurbannya itu kepada fakir miskin.

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 29-30


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28 (1)

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Sebelumnya telah dijelaskan tentang asal muasal ritual haji dan kewajibannya, maka Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28 (1) akan mengulas tentang alasan diwajibkannya haji. Selain karena tradisi, ternyata ada beberapa manfaat yang bisa didapatkan seseorang dengan melaksanakan ritual ini.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 27


Puncak dari haji yang diinginkan mayoritas mukmin adalah haji yang mabrur. Untuk mendapatkan haji yang mabrur tentu membutuhkan kebersihan hati ketika menunaikan ibadah tersebut, sebab ritual haji selalu dihadiri muslim dipenjuru dunia, tentu akan ada pertemuan beragam karakter antar masing-masing negara, serta menjadi momen kaum muslimin dalam menjalani hubungan  yang harmonis.

Ayat 28 (1)

Ayat ini menerangkan tujuan disyariatkan ibadah haji, yaitu untuk memperoleh kemanfaatan. Tidak disebutkan dalam ayat ini bentuk-bentuk manfaat itu, hanya disebut secara umum saja. Penyebutan secara umum kemanfaatan-kemanfaatan yang akan diperoleh orang yang mengerjakan ibadah haji dalam ayat ini, menunjukkan banyaknya macam dan jenis kemanfaatan yang akan diperoleh itu.

Kemanfaatan-kemanfaatan itu sukar menerangkannya secara terperinci, hanya yang dapat menerangkan dan merasakannya ialah orang yang pernah mengerjakan ibadah haji dan melaksanakannya dengan niat ikhlas.

Kemanfaatan itu ada yang berhubungan dengan rohani dan ada pula dengan jasmani, dan ada yang langsung dirasakan oleh individu yang me-laksanakannya, dan ada pula yang dirasakan oleh masyarakat, baik yang berhubungan dengan dunia maupun yang berhubungan dengan akhirat.

Para ulama banyak yang mencoba mengungkap bentuk-bentuk manfaat yang mungkin diperoleh oleh para jamaah haji, setelah mereka mengalami dan mempelajarinya kebanyakan mereka itu menyatakan bahwa mereka belum sanggup mengungkap semua manfaat itu. Di antara manfaat yang diungkapkan itu ialah:

  1. Melatih diri dengan mempergunakan seluruh kemampuan mengingat Allah dengan khusyu` pada hari-hari yang telah ditentukan dengan memurnikan kepatuhan dan ketundukan hanya kepada-Nya saja. Pada waktu seseorang berusaha mengedalikan hawa nafsunya dengan mengikuti perintah-perintah Allah dan menjuahi larangan–larangan-Nya walau apapun yang menghalangi dan merintanginya.

Latihan-latihan yang dikerjakan selama mengerjakan ibadah haji itu diharapkan membekas di dalam sanubari kemudian dapat diulangi lagi mengerjakannya setelah kembali dari tanah suci, sehingga menjadi kebiasaan yang baik dalam penghidupan dan kehidupan.

  1. Menimbulkan rasa perdamaian dan rasa persaudaraan di antara sesama kaum Muslimin. Sejak seorang calon haji mengenakan pakaian ihram, pakaian yang putih yang tidak berjahit, sebagai tanda ia sedang mengerjakan ibadah haji, maka sejak itu ia telah menanggalkan pakaian duniawi, pakaian kesukaannya, pakaian kebesaran, pakaian kemewahan dan sebagainya.

Semua manusia kelihatan sama dalam pakaian ihram itu; tidak dapat dibedakan antara si kaya dengan si miskin, antara penguasa dengan rakyat jelata, antara yang pandai dengan yang bodoh, antara tuan dengan budak, semuanya sama tunduk dan menghambakan diri kepada Tuhan semesta alam, sama-sama tawaf, sama-sama berlari antara bukit Safa dan bukit Marwa, sama-sama berdesakan melempar Jamrah, sama-sama tunduk dan tafakkur di tengah-tengah padang Arafah.

Dalam keadaan demikian akan terasa bahwa diri kita sama saja dengan orang yang lain. Yang membedakan derajat antara seorang dengan yang lain hanyalah tingkat ketakwaan dan ketaatan kepada Allah. Karena itu timbullah rasa ingin tolong menolong, rasa seagama, rasa senasib dan sepenanggungan, rasa hormat menghormati sesama manusia.


Baca Juga: Tafsir Ahkam: Syarat Wajib Haji dan Beberapa Ketentuannya


  1. Mencoba membayangkan kehidupan di akhirat nanti, yang pada waktu itu tidak seorang pun yang dapat memberikan pertolongan kecuali Allah, Tuhan Yang Mahakuasa. Wukuf di Arafah ditempat berkumpulnya manusia yang banyak pada hari Arafah, merupakan gambaran kehidupan di Padang Mahsyar nanti. Semua itu menggambarkan saat-saat ketika manusia berdiri di hadapan Mahkamah Allah di akhirat.
  2. Menghilangkan rasa harga diri yang berlebih-lebihan. Seseorang waktu berada di negerinya, biasanya terikat oleh adat istiadat yang biasa mereka lakukan sehari-hari dalam pergaulan mereka. Sedikit saja perubahan dapat menimbulkan kesalahpahaman, perselisihan dan pertentangan.

Pada waktu melaksanakan ibadah haji, bertemulah kaum Muslimin yang datang dari segala penjuru dunia, dari negeri yang berbeda-beda, masing-masing mempunyai adat istiadat dan kebiasaan hidup dan tata cara yang berbeda-beda pula maka terjadilah persinggungan antara adat istiadat dan kebiasaan hidup itu. Seperti cara berbicara, cara makan, cara berpakaian, cara menghormati tamu dan sebagainya. Di waktu menunaikan ibadah haji terjadi persinggungan dan perbenturan badan antara jama`ah dari suatu negeri, dengan jama`ah dari negara yang lain, seperti waktu tawaf, waktu sa`i, waktu wukuf di Arafah, waktu melempar jumrah dan sebagainya.

Waktu salat di Masjidil Haram, tubuh seorang yang duduk dilangkahi oleh temannya yang lain karena ingin mendapatkan saf yang paling depan, demikian pula persoalan bahasa dan isyarat, semua itu mudah menimbulkan kesalahpahaman dan perselisihan.

Bagi seorang yang sedang melakukan ibadah haji, semuanya itu harus dihadapi dengan sabar, dengan dada yang lapang, harus dihadapi dengan berpangkal kepada dugaan bahwa semua jamaah haji itu melakukan yang demikian itu bukanlah untuk menyakiti temannya dan bukan untuk menyinggung perasaan orang lain, tetapi semata-mata untuk mencapai tujuan maksimal dari ibadah haji. Mereka semua ingin memperoleh haji mabrur, apakah ia seorang kaya atau seorang miskin dan sebagainya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28 (2)


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 27

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 27 berbicara tentang ibadah haji, bahwa haji merupakan ibadah wajib, sebagaimana yang terdapat dalam rukun Islam. Haji diperuntukkan bagi setiap muslim yang mampu untuk menjalankannya, dan haji adalah ibadah sakral yang sudah dilakukan turun temurun semenjak Nabi Ibrahim AS.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 26


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 27 juga mejelaskan tentang asal muasal ritual haji saat ini, mayoritas Mufassir mengatakan bahwa ritual itu sudah dilakukan sejak era Nabi Ibrahim AS. Akan tetapi ada silang pendapat terkait ‘siapa’ yang hendak dituju ayat ini, beberapa ulama mengatakan kepada Ibrahim sebagian lagi kepada Muhammad.

Hal terakhir yang diperbincangkan oleh para ulama dalam Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 27 adalah terkait hal teknis, seperti rute perjalanan, kendaraan yang digunakan, dan sebagainya, yang semata-mata untuk memperluas wawasan dan menambah nilai kesakralan dalam ibadah tersebut.

Ayat 27

Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim as agar menyeru manusia untuk mengerjakan ibadah haji ke Baitullah dan me-nyampaikan kepada mereka bahwa ibadah haji itu termasuk ibadah yang diwajibkan bagi kaum Muslimin.

Kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa perintah Allah dalam ayat ini ditujukan kepada Nabi Ibrahim as yang baru saja selesai membangun Ka`bah. Pendapat ini sesuai dengan ayat ini, terutama jika diperhatikan hubungannya dengan ayat-ayat yang sebelumnya.

Pada ayat-ayat yang lalu disebutkan perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw agar mengingatkan orang-orang musyrik Mekah akan peristiwa waktu Allah memerintah Ibrahim supaya membangun Ka`bah, sedang ayat-ayat ini menyuruh orang-orang musyrik itu mengingat peristiwa ketika Allah memerintahkan Ibrahim menyeru manusia agar menunaikan ibadah haji.

Pendapat ini sesuai  pula dengan riwayat Ibnu `Abbas dari Jubair yang menerangkan, bahwa tatkala Ibrahim as selesai membangun Ka`bah, Allah memerintahkan kepadanya, “Serulah manusia untuk mengerjakan ibadah haji.”

Ibrahim as menjawab, “Wahai Tuhan, apakah suaraku akan sampai kepada mereka?” Allah berkata, ”Serulah mereka, Aku akan menyam-paikannya.” Maka Ibrahim naik ke atas bukit Abi Qubais, lalu mengucapkan dengan suara yang keras, “Wahai sekalian manusia, se-sungguhnya Allah benar-benar telah memerintahkan kepadamu sekalian mengunjungi rumah ini, supaya Dia memberikan kepadamu surga dan melindungi kamu dari azab neraka, karena itu tunaikanlah olehmu ibadah haji itu.”

Maka suara itu diperkenalkan oleh orang-orang yang berada dalam tulang sulbi laki-laki dan orang-orang yang telah berada dalam rahim perempuan, dengan jawaban, “Labbaika, Allahumma labbaika”. Maka berlakulah “talbiyah” dengan cara yang demikian itu. Talbiyah ialah doa yang diucapkan orang yang sedang mengerjakan ibadah haji atau umrah, doa itu ialah, “Labbaika, Allahumma Labbaika.”

Al-Hasan berpendapat bahwa perintah Allah dalam ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. Alasan beliau ialah semua perkataan dan pembicaraan dalam ayat-ayat Al-Qur’an itu ditujukan kepada Nabi Muhammad saw, termasuk di dalamnya perintah melaksanakan ibadah haji ini. Perintah ini telah dilaksanakan oleh Rasulullah bersama para sahabat dengan mengerjakan haji wada` (haji yang penghabisan), sebagaimana tersebut dalam hadis:

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ خَطَبَنَا رَسُوْلُ الله صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَااَيُّهَا النَّاسُ, اِنَّ الله َقَدْ فَرَضَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحَجُّوْا. (رواه احمد)

Dari Abi Hurairah, ia berkata, “Rasulullah telah berkhotbah dihadapan kami, beliau berkata, “Wahai sekalian manusia Allah telah mewajibkan atasmu ibadah haji, maka kerjakanlah ibadah haji.” (Riwayat Ahmad)

Jika diperhatikan, maka sebenarnya kedua pendapat ini tidaklah berlawanan. Karena perintah menunaikan ibadah haji itu ditujukan kepada Nabi Ibrahim dan umatnya diwaktu beliau selesai membangun Ka`bah. Kemudian setelah Nabi Muhammad saw diutus, maka perintah itu diberikan pula kepadanya, sehingga Nabi Muhammad saw dan umatnya diwajibkan pula menunaikan ibadah haji itu, bahkan ditetapkan sebagai rukun Islam yang kelima.


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28: Manfaat Ibadah Haji dalam Segi Sosial dan Ekonomi


Dalam ayat ini terdapat perkataan, “…niscaya mereka akan datang kepadamu…” Dari perkataan ini dipahami, seakan-akan Tuhan mengatakan kepada Ibrahim as bahwa jika Ibrahim menyeru manusia untuk menunaikan ibadah haji, niscaya manusia akan memenuhi panggilannya itu, mereka akan berdatangan dari segenap penjuru dunia walaupun dengan menempuh perjalanan yang sulit dan sukar.

Siapapun yang memenuhi panggilan itu, baik waktu itu maupun kemudian hari, maka berarti ia telah datang memenuhi panggilan Allah seperti Ibrahim dahulu telah memenuhi pula. Ibrahim dahulu pernah Allah perintahkan datang ke Mekah yang masih sepi, Ibrahim memenuhinya walaupun perjalanannya sukar, melalui terik panas padang pasir yang terbentang antara Mekah dan Syiria.

Perintah itu telah dilaksanakan dengan baik, bahkan Ibrahim bersedia menyembelih anak kandungnya Ismail, semata-mata untuk melaksanakan perintah Allah, karena itu Allah akan menyediakan pahala yang besar untuk Ibrahim, dan pahala yang seperti itu akan Allah berikan pula kepada siapa yang berkunjung ke Baitullah ini, terutama bagi orang yang sengaja datang ke Mekah ini untuk melaksanakan ibadah haji.

Perkataan ini merupakan penghormatan bagi Ibrahim dan menunjukkan betapa besar pahala yang disediakan Allah bagi orang-orang yang menunaikan ibadah haji semata-mata karena Allah.

Para ulama sependapat bahwa datang ke Baitullah untuk mengerjakan ibadah haji dibolehkan mempergunakan kendaraan dan cara-cara apa saja yang dihalalkan, seperti dengan berjalan kaki, dengan kapal laut atau dengan pesawat terbang atau dengan kendaraan melalui darat dan sebagainya.

Tetapi Imam Malik dan Imam Asy-Syafi`ì berpendapat bahwa pergi menunaikan ibadah haji dengan menggunakan kendaraan melalui perjalanan darat itu lebih baik dan lebih besar pahalanya, karena cara yang demikian itu mengikuti perbuatan Rasulullah.

Dengan cara yang demikian diperlukan perbelanjaan yang banyak, menempuh perjalanan yang sukar serta menambah syi`ar ibadah haji, terutama di waktu melalui negara-negara yang ditempuh selama dalam perjalanan. Sebagian ulama berpendapat bahwa berjalan kaki lebih utama dari berkendaraan, karena dengan berjalan kaki lebih banyak ditemui kesulitan-kesulitan daripada dengan berkendaraan.

Dalam masalah ini berkendaraan atau tidak adalah masalah teknis saja. Secara umum Islam tidak menghendaki kesukaran tetapi kemudahan. Islam juga tidak membebani seseorang sesuatu yang dia tidak mampu melakukannya.

Melaksanakan ibadah haji baik dengan kendaraan atau pun dengan berjalan kaki, pasti akan memperoleh pahala yang besar dari Allah, jika ibadah itu semata-mata dilaksanakan karena Allah. Yang dinilai adalah niat dan keikhlasan seseorang serta cara-cara melaksanakannya.

Sekalipun sulit perjalanan yang ditempuh, tetapi niat mengerjakan haji itu bukan karena Allah maka ia tidak akan memperoleh sesuatu pun dari Allah, bahkan sebaliknya ia akan diazab dengan azab yang sangat pedih karena niatnya itu.

Jika seseorang telah sampai di Mekah dan melihat Baitullah, disunnahkan mengangkat tangan, sebagaimana tersebut dalam hadis:

رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ تُرْفَعُ اْلاَيْدِي فِى سَبْعِ مَوَاطِنَ افْتِتَاحِ الصَّلاَةِ وَاسْتِقْبَالِ الْبَيْتِ وَالصَّفَا وَالْمَرْوَةَ وَالْمَوْقِفَيْنِ وَالْجَمَرَتَيْنِ. (رواه أحمد)

Diriwayatkan oleh Ibnu `Abbas ra dari Nabi saw, beliau bersabda, “Diangkat kedua tangan pada tujuh tempat, yaitu pada pembukaan salat, waktu menghadap Baitullah, waktu menghadap bukit Safa dan bukit Marwah, waktu menghadap dua tempat (Arafah dan Muzdalifah)  dan waktu melempar dua jamrah.” (Riwayat Ahmad)

Hadis ini diamalkan oleh Ibnu Umar ra

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28 (1)


Tafsir Surah Yunus Ayat 99-100: Dai Hanya Menyampaikan, Allah yang Mengislamkan

0
Tafsir Surah Yunus Ayat 99-100: Dai Hanya Menyampaikan, Allah yang Mengislamkan
Surah Yunus Ayat 99-100

Nabi dan rasul merupakan manusia pilihan Allah yang ditugaskan untuk menyampaikan risalah. Namun demikian, tak jarang dari para nabi dan rasul tersebut menerima respon yang buruk dari umatnya, yakni didustakan. Tak terkecuali Nabi Muhammad. Beliau juga mengalami pendustaan dari orang-orang yang didakwahinya. Padahal ia sangat menginginkan semua manusia beriman kepada Allah. Keinginan yang amat kuat tersebut menjadikan Nabi Muhammad sangat sedih ketika ada orang yang tidak kunjung beriman. Oleh karena itu, untuk menghibur Nabi Muhammad, Allah berfirman dalam surah Yunus ayat 99-100

وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ لَأٓمَنَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ كُلُّهُمۡ جَمِيعًاۚ أَفَأَنتَ تُكۡرِهُ ٱلنَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُواْ مُؤۡمِنِينَ (99) وَمَا كَانَ لِنَفۡسٍ أَن تُؤۡمِنَ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ وَيَجۡعَلُ ٱلرِّجۡسَ عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يَعۡقِلُونَ(100)

Jika Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang di bumi beriman seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?

Tidak seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan azab kepada orang yang tidak berpikir. (QS. Yunus ayat 99-100).

Tafsir Surah Yunus Ayat 99-100

Menurut al-Khazin, QS. Yunus ayat 99-100 menjadi penghibur bagi Nabi Muhammad yang memang sangat menginginkan semua umat manusia beriman kepada Allah dan membenarkan dakwahnya. Akan tetapi, pada ayat ini, Allah secara tersirat tidak menghendaki demikian. Hanya orang-orang yang telah ditetapkan menerima keberuntungan di zaman azali sajalah yang akan beriman padanya. (Al-Khazin, Lubāb Al-Ta’wīl fi Ma’āni Al-Tanzīl, juz 2, hal 466).

Ayat ini juga berkaitan dengan Abu Thalib. Nabi Muhammad sangat menginginkan keislaman paman tercintanya ini yang selama hidupnya senantiasa berusaha melindungi Nabi Muhammad dari orang-orang yang ingin mencelakainya. Hanya saja Allah tidak menghendaki demikian. Alhasil, sampai akhir hayatnya, Abu Thalib tidak pernah mengucapkan dua kalimat syahadat  dan ini membuat Nabi Muhammad sangat sedih (Al-Wahidi, Al-Tafsīr Al-Basīth, juz  11, hal 324).

Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?Artinya Nabi Muhammad tidak berhak memaksa seseorang untuk beriman. Hak itu milik Allah semata. Hal ini karena keimanan bagian dari perbuatan seorang hamba dan perbuatan hamba berada dalam kekuasaan Allah. Meski demikian, perbuatan hamba tidak bisa terealisasi sebelum hamba itu memilih.

Menurut Al-Nasafi, Allah dengan sifat kelembutan-Nya bisa saja memberikan keimanan kepada seluruh manusia. Akan tetapi, Allah mengetahui sebagian dari mereka tidak akan beriman sehingga Allah tidak memberikan mereka pertolongan untuk beriman. Redaksi pertanyaan dalam ayat tersebut juga berarti bahwa Nabi Muhammad tidak memiliki hak untuk memaksa manusia untuk beriman karena keimanan itu membutuhkan pembenaran, sedangkan dalam pemaksaan tidak mungkin ada pembenaran (Al-Nasafi, Madārik Al-Tanzīl wa Ḥaqā’iq Al-Ta’wīl, juz 2 halaman 43).

Baca juga: Tafsir Surah al-Kahfi Ayat 6: Petunjuk Allah Saat Dakwah Ditolak

Adapun ayat selanjutnya, Tidak seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan azab kepada orang yang tidak berpikir, merupakan penegasan dari keterangan yang pertama. Yakni manusia tidak akan beriman kecuali karena kehendak Allah dan pertolongan-Nya. Mereka tidak sepenuhnya punya otoritas mandiri untuk memilih, tetapi terikat dengan sunnatullah. Allah akan memberi petunjuk kepada yang dikehendaki-Nya dengan dasar kebijaksaaan, pengetahuan, dan keadilan-Nya (Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr Al-Munīr, juz 11, hal 272).

Muhammad Mutawali Al-Sya’rawi menambahkan keterangan bahwa fitrah keimanan manusia merupakan hasil dari tafakkur misalnya terhadap langit yang indah, bumi yang terbentang luas, laut pasang surut, dan angin yang bertiup. Semua fenomena alam tersebut menunjukkan keberadaan Allah Sang Pencipta. Namun apakah Allah meninggalkan manusia cukup dengan itu? Tidak. Allah bahkan mengutus banyak utusan untuk mengingatkan manusia mengenai tanda-tanda kekuasaan-Nya dan agar tidak lalai (al-Sya’rawi, Tafsīr Al-Sya’rāwī. Juz 10, hal 6224-6225).

Maksud “dan Allah menimpakan azab kepada orang yang tidak mengertiadalah Allah telah mengajak manusia untuk beriman. Telah jelas bahwa buah dari keimanan adalah kebaikan. Allah juga telah memperingatkan akibat buruk dari mendustakan Allah dan rasul-Nya. Siapa yang beriman, ia akan selamat dan berbahagia. Sedangkan dia yang tidak beriman, Allah akan menimpakan azab kepadanya sebagai balasan. Ketika manusia mau berpikir tentang tanda-tanda kekuasaan Allah, balasan di akhirat, dan  mengambil pelajaran dari umat-umat terdahulu, tentu dia tidak akan mengingkari Allah, mendurhakai-Nya, dan menentang-Nya (Abu Bakar al-Jazā’iri, Aisar Al-Tafāsīr, juz 2, hal 511).

Baca juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 21: Dakwah Rasulullah itu Menyampaikan Kebenaran dengan Cara yang Benar Pula

Penutup

Sekarang Nabi Muhammad telah wafat, maka tugas umatnya kemudian ialah meneruskan perjuangan. Tugas tersebut adalah beriman kepada Allah, memerintahkan yang ma’ruf, dan mencegah yang mungkar. Namun demikian, manusia dalam menerima dakwah sebagian merespon dengan baik, sebagian diam, dan sebagian bahkan ada yang menentang sebagaimana dialami oleh Nabi Muhammad dan utusan-utusan sebelumnya.

Untuk itu, Abu Bakar al-Jazā’iri dalam kitabnya Aisar al-Tafāsīr menjelaskan bahwa tidak ada keimanan kecuali atas izin Allah. Jadi, tidak seharusnya bagi para pendakwah untuk bersedih hati atas tidak berimannya orang-orang yang didakwahinya. Mereka tidak beriman karena memang Allah telah menetapkannya demikian di zaman azali (Abu Bakar al-Jazā’iri, Aisar Al-Tafāsīr, juz 2, hal 511).

Tugas dari pendakwah sebagaimana para nabi dan rasul dahulu yaitu menyampaikan. Dia mendapat hidayah atau tidak, itu merupakan kehendak Allah. Manakala kesadaran ini terbangun dalam diri pendakwah setelah berusaha semaksimal mungkin namun tidak sesuai dengan yang diharapkan, pendakwah tidak akan merasa sedih karena tahu ini adalah kehendak-Nya. Pendakwah juga perlu menanamkan sikap optimisme. Semisal keyakinan bahwa dia yang didakwahi namun belum mendapatkan hidayah, bisa jadi anak cucu orang tersebut di kemudian hari yang akan mendapat hidayah. Wallahu a’lam bi al-sawab.

Baca juga: Inilah Metode Dakwah Ideal Menurut Al-Quran, Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125

Tafsir Ahkam: Kewajiban Mandi Bagi Orang Junub dan Beda Pendapat Cara Mandinya

0
Tafsir Ahkam: Kewajiban Mandi Bagi Orang Junub dan Beda Pendapat Cara Mandinya
Mandi Junub

Al-Qur’an menetapkan bahwa orang yang junub atau hadas besar sebab berhubungan intim atau keluar sperma, tidaklah cukup mensucikan diri dengan berwudhu. Melainkan harus dengan mandi besar. Bagaimana keterangan Al-Qur’an yang mewajibkan mandi bagi orang junub? Lalu apa saja hal-hal yang wajib dipenuhi tatkala mandi besar, agar dapat mensucikan diri dari hadas besar? Berikut penjelasannya:

Kewajiban Mandi Bagi Orang yang Berhadas Besar di dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an menetapkan kewajiban mandi bagi orang yang berhadas besar salah satunya di dalam firman Allah yang berbuyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan dan jangan (pula menghampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu (saja) sehingga kamu mandi (junub) (QS. An-Nisa’ [4]: 43).

Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa redaksi “sehingga kamu mandi junub” menunjukkan bahwa Allah melarang orang yang junub untuk salat sampai mereka melakukan mandi. Dan redaksi taghtasilu (mandi) di sini adalah sesuatu yang dapat dicerna oleh akal serta diketahui oleh umumnya masyarakat Arab; yakni menggosokkan tangan beserta air ke anggota badan yang dimandikan.

Imam Al-Qurthubi kemudian mengutip perkataan orang Arab yang menunjukkan bahwa menurut mereka tidak semua tindakan menyiramkan air ke suatu benda dapat disebut taghtasilu. Mereka membedakan antara ghusl (menyiram) dan ifadhah (menuangkan air) (Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an/5/209).

Selain pada QS. An-Nisa [4]: 43 di atas, Allah juga menyinggung kewajiban mandi dalam firman-Nya, QS. Al-Ma’idah [5]: 6 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak berdiri melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah (QS. Al-Ma’idah [5]: 6).

Imam Ar-Razi menerangkan bahwa dalam ayat di atas terdapat keterangan bersuci dari hadas kecil dan bersuci dari hadas besar. Bersuci dari hadas kecil diwujudkan dengan keterangan tata cara berwudhu, sedang bersuci dari hadas besar diwujudkan dengan keterangan “Jika kamu dalam keadaan junub, maka bersucilah (mandilah)!” Bagaimana bisa bersuci dari junub di ayat di atas dipahami dengan mandi?

Menurut Imam Ar-Razi, hal itu dapat dilihat dari tidak ditentukannya objek anggota tubuh yang disucikan. Sebab dengan tidak adanya ketentuan terkait mana anggota tubuh yang wajib dibasuh, hal itu menunjukkan memang tidak ditentukan pada bagian tertentu alias mencakup keseluruh tubuh. Dan ini sesuai dengan firman Allah dalam An-Nisa: 43 tentang kewajiban mandi bagi orang yang junub (Tafsir Mafatih al-Ghaib/5/490).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Ketahuilah, Apa Makna Junub Di dalam Al-Qur’an

Pro Kontra Kewajiban Menggosok Tubuh

Imam Al-Jashshash menyatakan, ulama’ berbeda pendapat terkait bagaimana cara mandi besar yang benar sehingga dapat menghilangkan hadas besar dari orang yang junub. Pendapat pertama, yaitu pendapat Imam Malik yang mengatakan bahwa mandi besar harus disertai menggosok-gosok tubuh dengan tangan. Pendapat kedua dan merupakan pendapat mayoritas ulama’, mandi besar cukup dengan mengalirkan air ke seluruh badan. Pendapat ketiga, yaitu pendapat yang diriwayatkan dari Abi Yusuf, mandi besar dapat dicukupkan dengan cara mengusapkan tangan yang basah ke tubuh sebagaimana mengusapkan minyak (Ahkam al-Qur’an li al-Jashshash/5/372).

Dari berbagai keterangan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa orang yang junub haruslah mandi terlebih dahulu sebelum mengerjakan salat. Dan mandi tersebut, menurut pendapat mayoritas ulama’, cukup mengalirkan air ke seluruh tubuh. Tidak perlu sampai menggosok-gosokkan tangan ke tubuh. Meski begitu, Mazhab Syafi’i menganjurkan dalam mandi wajib untuk menggosok-gosokkan tangan ke anggota tubuh yang dapat dijangkau dalam rangka khuruj min al-khilaf (keluar dari perbedaan pendapat) (Al-Hawi Al-Kabir/1/388). Wallahu a’lam bi al-shawab.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Senggama dengan Istri Sebelum Mandi Wajib dari Haid

Apakah Iblis Termasuk Golongan Malaikat atau Bukan? Ini Kata Ulama

0
Apakah Iblis Termasuk Golongan Malaikat atau Bukan? Ini Kata Ulama
Apakah Iblis Termasuk Golongan Malaikat atau Bukan?

Kita sering membaca dalam al-Qur’an kisah pembangkangan Iblis ketika diperintahkan sujud kepada Nabi Adam? Ia pertama kali disinggung di surah kedua, yaitu surah Al-Baqarah pada ayat 34, kemudian diulang-ulang dengan beberapa tambahan detail cerita di beberapa surah berikutnya. Secara umum, perulangan cerita itu tetap mengarah pada subtansi makna yang sama: kedurhakaan dan pembangkanagan Iblis pada perintah Tuhan. Di antaranya termaktub dalam Q.S Al-Baqarah [2]: 34, Al-Araf [7]: 12, Al-Kahfi: 50, dan Al-Hijr [15]: 33.

Secara umum empat ayat di atas dapat kita bagi menjadi dua topik utama. Pertama, Allah menyatakan kedurhakaan dan keengganan Iblis untuk sujud  kepada Nabi Adam, yaitu pada surah al-Baqarah: 34 dan al-Kahfi: 50. Sementara pada dua surah yang lain, yaitu pada surah al-Araf  [7]: 12 dan al-Hijr [15]: 33, memastikan jawaban apa yang akan diberikan oleh Iblis atas tindakan yang sudah dia lakukan.

Dalam kitab al-Fawaid al-Mukhtarah milik Habib Zain bin Ibrahim bin Tsamit, beliau mengutip pendapat dari kitab Lathaif al-Minan, tentang pembelaan diri Iblis. Bahwa apa yang sudah dia lakukan merupakan kehendak atau takdir Tuhan. Sehingga tidak pantas dirinya dikatakan mahkluk yang durhaka.

“Wahai Tuhanku,” Ucap Iblis, “Bagaimana mungkin Engkau menyiksaku karena tidak melakukan sujud pada Adam, bukankah Engkau pulalah yang menghendaki hal itu (sujud) tidak terjadi?”, Allah pun menjawab dengan balik bertanya, “Kapan kamu menyadari bahwa Aku tidak menginginkan hal itu terjadi, apakah setelah kau menyadari bahwa kau membangkang terhadap perintahku atau sebelum itu?” Iblis menjawab, “Setelah aku membangkang perintah-Mu ya Tuhanku,”  Allah menjawab, “Maka dengan itulah Aku kelak akan menyiksamu.”

Syahdan, Iblis tidak bisa berlindung atas tindakan yang dia lakukan pada takdir Allah, karena ia di sisi lain juga diberikan pilihan dalam melakukan sesuatu. Oleh karena itu dia pantas digolongkan termasuk makhluk yang membangkang atas perintahNya.

Iblis Golongan Malaikat atau Bukan?

Pada surah Al-Baqarah ayat 34, Allah Swt. berfirman;

وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ اَبٰى وَاسْتَكْبَرَۖ وَكَانَ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir. (Q.S. AlBaqarah [1]: 34),

Secara dhahir annash, dapat kita pahami sepintas bahwa Iblis termasuk golongan Malaikat. Sebab pada surah di atas, Allah Swt. mencantumkan adat al-istisna’ illa (kata pengecualian) sebelum kata Iblis disebutkan. Sehingga dapat dipahami bahwa Iblis termasuk dalam golongan malaikat yang disebutkan sebelumnya. Artinya, sebelum itu Iblis pernah diakui bahwa dia termasuk dari golongan malaikat, hingga pada akhirnya dia dikecualikan.

Dalam literatur ushul fikih, sebagaimana yang diungkapkan Al-Ghazali dalam karyanya yang bertajuk al-Mustasfa, terdapat bab kajian tentang takhsis, yaitu sebuah sistem yang mengkhsuskan cakupan lafaz umum pada masadaq (makna hakikat) atau refren tertentu. Salah satu cara men-takhsis lafad yang umum tersebut adalah menggunakan adat al-istisna’ sebagaimana yang terjadi pada ayat di atas.

Zakariyah al-Ansahri (w. 926) dalam kitabnya, Ghayah al-Wusul membagi istisna’ dengan kata illa menjadi dua; muttasil (tersambung) dan munfasil (terpisah). Muttasil berarti antara sesuatu yang dikecualiakan -yang dalam hal ini “Iblis”- dengan yang dikecualikan darinya -yaitu “Malaikat”- sejenis. Sementara munfasil terjadi jika sesuatu yang dikecualiakan dengan yang dikecualikan darinya tidak lagi sejenis. Lalu pertanyaannya, sejeniskah antara Malaikat dengan Iblis?

Kita ketahui kata “Malaikat” pada ayat di atas adalah salah satu dari lafaz yang terkategorikan umum, sebagai bentuk jama’ dari mufrad “malakun.” Sehingga sangat mungkin pada kata “Malaikat” diterapkan kajian takhsis dengan mengkhusukan pada refren-refren tertentu. Atau dengan kata lain mengecualikan sebagian cakupan maknanya menggunakan adat alistisna’ illa  sebagaimana yang tercantum pada ayat.

Sujud yang diperintahkan Allah Swt. kepada para malaikat tentu mengarah pada setiap makhluk yang berstatus malaikat. Yang mana, selama dia termasuk dalam golongan malaikat, maka tidak bisa menghindar atau menyangkal perintah sujud itu. Sehingga kalau kita menggunakan adat al-Istisna’ al-Muttasil, jelas bahwa Iblis memang sejenis dengan malaikat  yang kemudian dia dikecualikan kemudian akibat ketidakpatuhan atas perintah Allah.

Baca juga: Ketika Iblis Membangkang Sujud Kepada Adam

Namun tidak bisa kita pungkiri, ada sebagian orang yang tidak suka ketika makhluk  yang dikenal taat dalam setiap perintah Tuhan, malaikat, disamakan dengan Iblis yang durhaka. Artinya mereka lebih setuju kata illa pada ayat di atas diarahkan pada al-istiana’ al-munfasil, antara Iblis dan malaikat tidaklah sama atau sejenis. Namun pada penerapan konsep kedua ini, yaitu alIstisna’ al-munfasil ada sedikit cacat logika. Sebab apa gunanya mengecualiakan kata “Iblis” dari kata “Malaikat”  kalau keduanya tidak sejenis? Sehingga Imam Zakariyah al-Anshari menyatakan bahwa sebenarnya al-Istisna’ al-munfasil ini pemberlakuannya secara majas saja.

Para ulama pun lebih lanjut mengkaji tentang  perbedaan ini. Ibnu Abbas rupanya menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa Iblis bagian dari Malaikat. Beliau mengatakan “Andai Iblis bukan bagian dari Malaikat, tentunya dia tidak akan diperintahkan sujud kepada Nabi Adam bersama para malaikat lainnya.” Bersamaan dengan alasan lain yang dikemukakan oleh mayoritas ulama dalam menafsiri firman Allah berikut;

وَجَعَلُوا۟ بَيْنَهُۥ وَبَيْنَ ٱلْجِنَّةِ نَسَبًا ۚ وَلَقَدْ عَلِمَتِ ٱلْجِنَّةُ إِنَّهُمْ لَمُحْضَرُونَ

Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara jin. Dan sesungguhnya jin mengetahui bahwa mereka benar-benar akan diseret (ke neraka) (Q.S. As–Saffat [37]: 158).

Maka sesuai ayat ini yang dimaksud dengan jinnah adalah  malaikat. Sehingga jelas antara Iblis dan malaikat keduanya sejenis.

Sementara pendapat minoritas yang menyatakan bahwa Iblis bukanlah jenis dari Malaikat, melainkan dia sejenis dengan jin yang durhaka pada Allah Swt. Pendapat ini  dikemukakan oleh Hasan Al-Bashri yang sekaligus mendapat dukungan dari al-Zamakhsyari, Abu al-Baqa’, al-Fakhrurrazi, dan as-Syanqiti dengan berlandaskan pada Q.S. al-Kahfi [18]: 50;

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَٰٓئِكَةِ ٱسْجُدُوا۟ لِءَادَمَ فَسَجَدُوٓا۟ إِلَّآ إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ ٱلْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِۦٓ ۗ أَفَتَتَّخِذُونَهُۥ وَذُرِّيَّتَهُۥٓ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِى وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّۢ ۚ بِئْسَ لِلظَّٰلِمِينَ بَدَلًا

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turanan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zalim.

Demikian perbedaan pendapat para ulama tentang apakah Iblis termasuk golongan malaikat atau bukan. Untuk kebenarannya, hanya Allah Swt yang tahu, wallahu a’lam bi al-sawab.

Baca juga: Penjelasan Mufasir Terkait Sujud Kepada Selain Allah dalam Al-Quran

Perbedaan antara Teori dan Aplikasi dalam Rasm ‘Utsmaniy

0
Teori dan Aplikasi
Teori dan Aplikasi dalam Rasm Utsmani

Salah satu bentuk keunikan dalam tradisi keilmuan Islam adalah adanya perpaduan yang menarik antara teori dan aplikasi. Di satu kesempatan, keduanya boleh jadi saling support. Namun di kesempatan yang lain, keduanya bahkan akan saling bertolak satu sama lain dan berjalan di tempatnya masing-masing.

Hubungan yang terjadi diantara keduanya ini menunjukkan bahwa, kadang satu teori keilmuan akan diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Namun tak jarang, teori akan tetap dibiarkan menjadi teori tanpa diikuti dengan langkah aplikasi.

Pada tulisan kali ini, ijinkan penulis bercerita tentang hubungan teori dan aplikasi dalam kajian rasm ‘utsmaniy yang boleh dikatan, terjadi selisih di antara keduanya. Dimana teori yang ada tidak dibarengi dengan aplikasi nyata.

Selisih Pendapat Teori Rasm ‘Utsmaniy

Mereka yang mengkaji rasm ‘utsmaniy pasti mengerti bahwa di dalamnya terdapat selisih pendapat, setidaknya dalam dua masalah besar: hakikat wujud dan hukum aplikasinya. Masalah yang pertama, tentang hakikat wujud, berkutat pada apakah rasm ‘utsmaniy adalah sesuatu yang tauqifiy atau ijtihadiy.

Baca Juga: Mengenal Kitab Bahr al-‘Ulum; Tafsir Klasik dari “Negeri di Seberang Sungai”

Pendapat tauqifiy mengacu pada isi kandungan QS. Al-Hijr [15] ayat 9, sebuah riwayat yang menyebutkan Nabi Saw. pernah memberikan arahan penulisan secara langsung terhadap Mu‘awiyah yang kala itu berstatus katib al-wahy, dan sirr (rahasia) yang tersimpan dari adanya perbedaan tulisan Al-Qur’an yang pastinya memiliki alasan-alasan tertentu.

Beberapa tokoh yang dinisbatkan pada pendapat ini adalah Malik bin Anas (w. 179 H.), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H.) –shahibay al-madzhab-, Yahya al-Naisaburiy (w. 226 H.), dan Ahmad bin al-Husain al-Baihaqiy (w. 450 H.).

Sedangkan pendapat kedua yang menyebut bahwa rasm adalah ijtihadiy memberikan argumentasi lain yang menolak kebenaran hujjah atas QS. Al-Hijr dan riwayat sebelumnya. Pendapat kedua ini bahkan mengklaim bahwa tidak ada satu nash pun yang mengharuskan satu model penulisan tertentu dalam Al-Qur’an.

Pendapat ini lebih mendasarkan pada aspek kesejarahan penulisan Arab, yang karenanya tokoh masyhur yang dianggap mendukungnya adalah ‘Abd al-Rahman Ibn Khaldun (w. 808 H.). Meskipun sejatinya terdapat satu tokoh lagi yang mestinya lebih awal, Abu Bakr al-Baqilaniy (w. 403 H.).

Sementara masalah kedua yang menjadi aspek perdebatan kajian rasm adalah hukum aplikasinya dalam penulisan Al-Qur’an. Secara umum, perdebatan yang ada dapat dipetakan menjadi empat pendapat: wajib, jawaz atau boleh, haram, dan tafshil atau terjadi pemilahan hukum.

Aplikasi Rasm dalam Mushaf Al-Qur’an

Ketika mencermati penulisan mushaf-mushaf di dunia, perbedaan pendapat yang telah disebutkan sebelumnya ternyata tidak memberikan dampak yang berarti. Ragam hukum yang ada tidak kemudian menjadi pijakan untuk memilih: mengaplikasikan karena wajib atau tidak mengaplikasikan karena hanya ‘boleh’ atau bahkan haram. Dan penulisan Al-Qur’an tetap sedapat mungkin dilakukan mengikuti kaidah rasm.

Mushaf al-Madinah al-Nabawiyyah cetakan Mujamma‘ Malik Fahd misalnya, mengikuti kaidah rasm syaikhani dengan tarjih terhadap mazhab Abu Dawud. Atau Mushaf al-Jamahiriyyah Libya yang lebih men-tarjih Al-Daniy. Dan Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia yang meski tidak menyebut tarjih-nya, condong kepada Al-Daniy. Yang disebutkan terakhir ini bahkan sempat mengalami pergantian dan penyempurnaan rasm dalam beberapa penulisan yang ada.

Baca Juga: Ragam Qiraat Sebagai Hujah Kebahasaan, Antara Mazhab Basrah dan Kufah

Hal ini berarti bahwa kelonggaran yang tersedia dari adanya perbedaan pendapat yang ada tidak lantas menjadi sebuah argumentasi untuk tidak menerapkan rasm Al-Qur’an. Lebih dari itu, perbedaan pendapat mengenai rasm hanya berhenti pada tataran kajian teoritis semata, tidak sampai pada level praktis.

Hal ini juga berarti bahwa berpedoman pada sebuah teori keilmuan tidak dapat dibenarkan manakala tidak disertai dengan tinjauan aspek aplikasinya di kehidupan yang nyata. Karena aplikasi memiliki fungsi konfirmasi terhadap setiap teori. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Mengenal Syed Muhammad Naquib Al-Attas: Penggagas Epistemologi Tafsir Metalinguistik (1)

0
Naquib Al-Attas
Naquib Al-Attas

Di kalangan pemerhati—terutama—kajian Islam-Melayu, Syed Muhammad Naquib Al-Attas dikenal cukup luas. Namanya semakin melambung ketika dirinya digadang-gadang sebagai penerus aspirasi teologi rasional klasik di era modern. Tapi tak banyak yang tahu kalau pemikir yang satu ini ternyata memiliki caranya tersendiri ketika membaca teks Al-Quran. Ketika membaca teks Al-Quran, Al-Attas menggabungkan perspektif filsafat, sufistik, linguistik dan metafisika.

Epistemologi ala Al-Attas ini oleh Ansuna Putra dan Zikwan dalam Peradaban Teks: Konsep Penafsiran Al-Quran Syed Naquib Al-Attas Menghadapi Modernitas disebut sebagai tafsir metalinguistik. Dalam artikel ini, terlebih dulu saya ingin memperkenalkan lebih jauh sosok Al-Attas dan beberapa karya-karyanya. Kemudian akan dilanjutkan pada artikel berikutnya untuk mengulas bagaimana epistemologi tafsir metalinguistik milik Al-Attas itu.

Tentang Naquib Al-Attas

Naquib lahir di Bogor, yang saat ini merupakan provinsi Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931 M. Ia adalah adik kandung dari Prof. Dr. Syed Husen Al-Attas, pakar sosiologi dan ilmuwan di Universitas Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Nama lengkap Naquib adalah Syed Muhammad Naquib bin Abdullah bin Muhsin Al-Attas. Ayahnya adalah Syed Ali bin Abdullah al-Attas, dan ibunya adalah Syarifah Raquan Al-Aydarus, seseorang yang merupakan keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura Jawa Barat.

Baca Juga: Metodologi Tafsir Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Konstruksi Fiqh Ke-Indonesiaan

Syed Ali bin Abdullah Al-Attas berasal dari Arab. Ia merupakan keturunan ulama dan ahli tasawuf yang terkenal dari kalangan Sayyid dalam keluarga Ba’alawi di Hadramaut dan silsilahnya sampai pada Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad SAW. Leluhur Naquib dari pihak ibu adalah seorang ulama yang bernama Syed Muhammad al-Aydarus. Syed Muhammad Al-Aydarus adalah guru dan pembimbing ruhani Syed Abu Hafs Umar Basyaibani dari Hadramaut, dan yang mengantarkan Nur ad-Din ar-Raniri, salah satu ulama’ terkemuka di dunia Melayu, ke tarekat Rifa’iyah.

Riwayat pendidikan Naquib dimulai sejak ia berusia lima tahun ketika itu ia berada di Johor Baru, tinggal bersama dan di bawah didikan saudara ayahnya Encik Ahmad. Pada tahun 1939 M sampai sampai 1941 M ia belajar di Ngee Neng English Premary School di Johor Baru. Pada zaman Jepang, ia kembali ke Jawa Barat selama empat tahun. Ia belajar agama dan bahasa Arab di Madrasah al-Urwatul Wutsqa di Sukabumi Jawa Barat pada tahun 1942 M sampai dengan 1945 M.

Kemudian pada tahun 1946 M, Naquib melanjutkan studinya di Bukit Zahrah School dan seterusnya di English College Johor Baru selama tiga tahun. Karena kecemerlangannya ia dipilih untuk melanjutkan latihan dan studi ilmu militer di Eaton Hall, Chester Inggris dan kemudian di Royal Militery Academy Sandhurst Inggris pada tahun 1952-1955 M. Dengan pangkat terakhirnya Letnan, karena menjadi tentara bukan minatnya, akhirnya ia keluar dan melanjutkan studi di Universitas Malaya pada tahun 1957-1959 M.

Naquib melanjutkan studinya di Universitas McGill Montreal Canada dan mendapatkan gelar M.A. dengan nilai yang membanggakan pada bidang Studi Islam tahun 1962 M. Naquib melalui sponsor Sir Richard Winstert dan Sir Monimer Wheler dari British Academy, melanjutkan studi pada program Pasca Sarjana di University of London pada tahun 1963-1964 M dan ia meraih gelar Ph.D. dengan predikat cumlaude bidang filsafat Islam dan kesusastraan Melayu Islam pada tahun 1965 M.

Kepakaran Naquib dalam berbagai ilmu, seperti filsafat, sejarah dan sastra sudah diakui di kalangan Internasional. Pada tahun 1970 M ia di lantik oleh para filosof Amerika sebagai International Member of the America Philosophical Association. Ia juga pernah diundang mengisi ceramah di Temple University, Philadelpia, Amerika Serikat dengan topik Islam in Southeast Asia: Rationality Versus Iconography (1971) dan di Institut Vostokovedunia, Moskow, Rusia dengan topik The Role Islam in History dan Culture of the Malays (1971).

Ia juga menjadi pimpinan panel bagian Islam di Asia Tenggara dalam XXIX Conggres International Des Orientalistis, Paris (1973). Ia juga rajin menghadiri kongres seminar internasional sebagai ahli panel mengenai Islam, filsafat dan kebudayaan (al-Tamaddun) baik yang diadakan UNESCO maupun yang diadakan oleh badan ilmiah dunia lainnya. Ia ikut menyumbangkan pikirannya untuk pendirian universitas Islam kepada organisasi konferensi negara-negara Islam di Jeddah, Saudi Arabia. Ia juga pernah ditawari untuk menjadi Profesor program Pasca Sarjana dalam bidang Islam di Temple University dan profesor tamu di Berkeley University, California, Amerika Serikat.

Karya-karya Naquib Al-Attas

Syed Muhammad Naquib al-Attas tergolong pribadi produktif. Beberapa karya yang sudah ia tulis adalah The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (1980), Islam and Secularism (1978), Islam and the Philosophy of Science (1989), Aims and Objectives of Islamic Education (1979) (buku ini ditulis bersama tujuh orang termasuk di dalamnya Syed Muhammad Naquib al-Attas).

Baca Juga: Ibnu Al-Arabi atau Ibnu Arabi? Inilah Dua Mufasir dari Andalusia

Selain karya-karya di atas, masih terdapat beberapa karya yang lain, terutama karya yang berkaitan erat dengan kebudayaan Islam Melayu. Beberapa di antaranya The Nature of Man and the Phsychology of the Human Soul (1990), The Intuition of Existence (1990), On Quaddity and Essence (1990), The Meaning and Experience of Happiness in Islam (1993), The Degrees of Existence (1994), dan Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (1995).

Kemudian ada pula beberapa karya lain seperti: Some Aspect of Sufism as Understood and Practiced among the Malays (1963), Raniri and the Wujudiyah of 17th century Acheh, Monograph of the Royal Asiatic Society (1966), The Origin of the Malay Sha’ir (1968), Preleminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago (1969), The Mysticism of Hamzah Fansuri (1969), Concluding Postcript to hte Malay Sha’ir (1971), The Correct Date of the Trengganu Inscription (1971), dan Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (1972). Wallahu a’lam []

Memahami Pesan Q.S Al-Nisa: 1 dengan Kacamata Filosofi Kemanusiaan

0
Q.S Al-Nisa: 1
Q.S Al-Nisa: 1

Q.S al-Nisa: 1 merupakan salah satu ayat yang familiar didengar oleh umat Islam khususnya pada momen jumatan. Namun terkadang hanya pesan yang sifatnya vertikal saja yang ditekankan, sedangkan pesan yang sifatnya horizontal dalam kaitannya dengan habl min al-nas masih belum terlalu sering didengungkan. Untuk itu artikel ini akan membahas sisi yang masih belum terjamah tersebut dan membacanya dengan kacamata filosofis untuk menekankan dimensi kemanusiaan yang merupakan salah satu wacana hangat dewasa ini.

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.

Penggalan awal Q.S al-Nisa: 1 ini menginformasikan mengenai salah satu tuntutan yang dibebani kepada manusia. Tuntutan ini bukan tanpa alasan, namun didasarkan pada fakta bahwa Allah merupakan sang Khaliq sekaligus Rabb yang memelihara manusia sehingga bisa berkembang biak. Fakta ini menjawab pertanyaan filosofis tentang asal-muasal manusia sekaligus tugas yang harus dilaksanakan manusia di muka bumi ini.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 1: Benarkah Hawa Tercipta dari Tulang Rusuk Nabi Adam?

Selain itu, penggalan ayat ini juga menginformasikan proses konkrit dari sejarah lahirnya manusia dan hukum alam mengenai akar dari perkembang biakan manusia. Mensarikan narasi Tabari dalam tafsirnya Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an bahwa representasi Adam As. dan Hawa—yang diciptakan dari bagian tubuhnya—sebagai sejarah lahirnya manusia menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara manusia secara filosofis. Artinya satu dengan lainnya memiliki hak yang sama dan tidak ada alasan untuk membedakan antara satu dengan lainnya dalam aspek apapun baik etnis maupun gender.

Narasi ini memberikan penekanan akan dimensi kemanusiaan di mana manusia satu dengan lainnya memiliki kedudukan yang sama. Tidak ada perbedaan yang boleh menjadi sebab bagi satu manusia atau satu etnis tertentu untuk merendahkan manusia atau etnis manusia lainnya. Maka dalam hal tuntutan untuk bertakwa, al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib-nya mengatakan bahwa tidak ada satu pun manusia yang lepas dari tuntutan tersebut. Jika dikontekstualisasikan pada kehidupan di Indonesia—sebagai negara hukum, artinya manusia berkedudukan sama di depan hukum tidak ada perbedaan yang bisa membuat manusia lepas dari tuntutan hukum apapun kedudukannya dalam kehidupan sosial.

Kemudian pada penggalan kedua ayat ini (وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ), ada pengulangan sekaligus penambahan tuntutan bagi manusia. Pengulangan terjadi pada objek dari perintah اتَّقُوا di mana kata Allah dan Rabb merupakan kata yang sama dalam substansi yang dimaksud, meskipun dalam penekanan makna apabila dikaji secara semantis memiliki perbedaan sebagaimana artikel Rabb yang pernah penulis publikasikan. Namun meskipun objek yang dituju sama, terdapat perbedaan alasan di baliknya. Pada penggalan kedua ini, ada aspek lokalitas yang diadopsi oleh al-Qur’an.

Aspek lokalitas tersebut ditemukan pada penafsiran al-Razi yang memasukkan pendapat bahwa tasa’ul billah merupakan budaya Arab yang terbiasa mengucap nama Allah dalam berbagai urusan. Maka tidak mengherankan jika ada perdebatan terkait hukum nahwu dari kata وَالْاَرْحَامَ, sebab perilaku tasa’ul ini kadang juga disertai ucapan ar-rahim sebagai nama lain Allah.

Namun, dalam tulisan ini penulis lebih condong menggunakan pendapat yang menempatkan وَالْاَرْحَامَ ber-athaf dengan lafadz Allah daripada bih. Sebab secara makna akan lebih mengena khususnya jika diaplikasikan dalam wacana kemanusiaan. Hal itu didasari dengan data bahwa وَالْاَرْحَامَ dimaknai sebagai hubungan silaturrahim yang begitu erat kaitannya dalam konteks kemanusiaan.

Maka menarik sebenarnya jika konteks lokalitas tadi dibawa pada konteks umum. Jadi dalam segala urusan yang dilakukan manusia, ia tidak bisa lepas dari ketergantungannya kepada Allah sebagai pemelihara dan pengawasnya (اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا), juga tidak bisa lepas dari keterkaitan dengan manusia lain sebagai sunnatullah bahwa manusia ialah makhluk sosial.

Dengan begitu, penekanan atas tuntutan menjaga hubungan baik antar sesama manusia memiliki makna yang dalam serta landasan yang kuat. Sebab sebagaimana pada penjelasan penggalan pertama bahwa manusia dengan manusia lainnya memiliki keterikatan dari hakikat filosofis yang sama dari sisi asal-muasal dan maupun proses perkembangannya, serta didukung oleh penjelasan penggalan kedua yang menunjukkan bahwa manusia dengan manusia lain juga punya sunnatullah sebagai makhluk sosial yang tidak pernah terpisahkan dalam urusan duniawi.

Baca Juga: Tafsir Surah An-Nisa Ayat 3: Pesan Utama Al-Qur’an yang Sering Dilupakan

Oleh sebab itu, pesan mendalam yang didapat dalam ayat ini-khususnya pada ranah wacana kemanusiaan—ialah bahwa manusia harus saling bahu-membahu, kasih-mengasihi, menjaga satu sama lain serta merawat harmonisasi hubungan di antara mereka. Manusia tidak memiliki alasan untuk merendahkan manusia lainnya atau bahkan membinasakan kelompok yang berbeda darinya akibat adanya perbedaan dalam hal SARA maupun gender, maupun pemikiran—sebagai konsekuensi dianugerahinya akal, li kulli ra’s ra’y.

Maka konteks ketakwaan tidak bisa hanya dimaknai secara vertikal hanya kepada sang Khaliq semata namun juga harus diaktualisasikan dalam wujud ketakwaan horizontal. Sebab itulah wujud keseimbangan kehidupan yang diidealkan oleh al-Qur’an. Mungkin Q.S Al-Nisa: 1 ini saja sudah cukup untuk dijadikan sebagai bahan untuk mengisi khutbah Jum’at. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 26

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 26 kembali menegaskan bahwa tidak ada yang berhak menghalangi siapa saja yang ingin masuk Masjidil Haram. Karena itu, Allah memerintahkan Muhammad Saw. untuk memperingati orang-orang musyrik dari perilaku demikian, bahwa Masjidil Haram bukanlah milik mereka, dan bukan mereka pula yang membangunnya. Lalu bagaimana awal mula konstruksi Masjidil Haram? Siapakah yang membangun? Berikut penjelasannya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 25 (2)


Ayat 26

Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar mengingatkan kepada orang-orang musyrik Mekah yang menghalang-halangi manusia masuk agama Islam dan masuk Masjidil Haram tentang peristiwa yang pernah terjadi dahulu, ialah pada waktu Allah menunjukkan kepada Nabi Ibrahim as, letak Baitullah yang akan dibangun kembali dan waktu ia memaklumkan kepada seluruh manusia di dunia atas perintah Allah bahwa Baitullah menjadi pusat peribadatan bagi seluruh manusia.

Dengan mengingatkan peristiwa-peristiwa itu diharapkan orang-orang musyrik Mekah tidak lagi menghalang-halangi manusia masuk agama Islam dan masuk Masjidil Haram, karena agama Islam itu adalah agama nenek moyang mereka Ibrahim dan Masjidil Haram itu didirikan oleh nenek moyang mereka pula.

Menurut ayat ini, Ibrahimlah orang yang pertama kali membangun Ka`bah. Tetapi menurut suatu riwayat bahwa Ibrahim hanyalah bertugas membangun Ka`bah itu kembali bersama putranya Ismail as, sebelumnya telah didirikan Ka`bah itu, kemudian runtuh dan bekasnya tertimbun oleh pasir.

Menurut riwayat tersebut, setelah Ismail putra Ibrahim dan istrinya Hajar yang ditinggalkannya di Mekah menjadi dewasa maka Ibrahim datang ke Mekah dari Palestina, untuk melaksanakan perintah-perintah Allah yaitu mendirikan kembali Ka`bah bersama putranya Ismail. Allah memberitahukan kepada Ibrahim bekas tempat berdirinya Ka`bah yang telah runtuh itu dengan meniupkan angin kencang ke tempat itu, menjadi bersih, lalu Ibrahim as dan putranya Ismail as mendirikan Ka`bah di tempat itu.

Kemudian Allah memerintahkan kepada Ibrahim as dan umatnya agar mentauhidkan Allah; tidak mempersekutukannya dengan sesuatu pun, membersihkan Ka`bah dari segala macam perbuatan yang mengandung unsur-unsur syirik, mensucikannya dari segala macam najis dan kotoran, menjadikan Ka`bah itu sebagai pusat peribadatan bagi orang-orang yang beriman, seperti mengerjakan tawaf (berjalan mengelilingi Ka`bah).


Baca Juga: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 122-124


Perkataan “salat, ruku` dan sujud”, merupakan isyarat bahwa Ka`bah itu didirikan untuk umat Islam, karena salat, ruku` sujud itu, merupakan ciri khas ibadah umat Islam yang dilakukan dengan menghadap Ka`bah.

Allah telah melimpahkan karunia-Nya yang besar kepada kaum Muslimin, yang telah mempersiapkan pusat peribadatan mereka sejak lama sebelum diutus rasul mereka yang membawa risalah Islamiyah.

Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa pendirian Ka`bah yang dilaksanakan Nabi Ibrahim atas perintah Allah itu, merupakan persiapan penyampaian risalah Islamiyah. Karena di kemudian hari Ka`bah itu dijadikan Allah sebagai kiblat salat kaum Muslimin dan tempat mereka mengerjakan ibadah haji dan umrah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 27